menimbang sejarah sebagai landasan kajian ilmiah; sebuah ... · dan alat-alat analitis yang...
TRANSCRIPT
EL-BANAT: Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam
Volume 7, Nomor 1, Januari-Juni 2017
Menimbang Sejarah sebagai Landasan Kajian Ilmiah;
sebuah Wacana Pemikiran dalam Metode Ilmiah
Fatchor Rahman Sekolah Tinggi Agama Islam YPBWI Surabaya
Email: [email protected]
Abstraksi Sepertihalnya puzzle yang berserakan, sejarah perlu dikodifikasi
dalam sebuah bingkai ilmiah supaya dapat menyumbangkankan
informasi bagi generasi masa depan. Artikel ini hadir untuk
menjawab permasalahan tersebut. Sejarah tidak mungkin bisa
terlepas dari aspek masyarakat, asumsi yang berkembang, difinisi
yang dipahami, fakta, kebudayaan, bahasa dan pelbagai hal lainnya.
Oleh karena itu, ia harus disusun dalam satu bangunan yang memuat
segala macam ilmu, mulai dari bahasa, philology, dokumen,
ekonomi, kebudayaan bahkan dunia perpolitikan. Sehingga, sejarah
sebagai suatu disiplin keilmuan telah melahirkan pelbagai macam
disiplin lain yang diturunkan darinya, tentunya dengan fokus yang
bermacam-macam, meskipun tetap dalam satu payung besar yang
bernama perubahan era. Dalam prosesnya, sejarah tidak dapat
terlepas dari elemen-elemen seperti; pandangan hidup,
kepercayaan, bias personal, kejujuran, keterpihakan dan
prasangka kelompok. Namun jika hal ini dapat dilalui maka
bukan tidak mungkin ia akan mampu mencapai tujuan
sebenarnya dari belajar dari masa lalu.
Kata kunci: sejarah, Ibn Khaldun, perspektif, subjektif, bias personal
Pendahuluan
Kodifikasi sejarah merupakan sebuah bentuk proses pengisahan
peristiwa-peristiwa masa lalu. Terlepas dari keotentikan pengisahan tersebut,
proses ini sangat erat kaitannya dengan sikap, pendekatan, atau orientasi
hidup manusia. Oleh karena itu, perbedaan pandangan terhadap masa lalu
yang pada dasarnya adalah objektif dan absolut, pada gilirannya akan
menjadi suatu kenyataan yang relatif.1 Sebab, fakta-fakta sejarah ibarat
kepingan-kepingan puzzle berserakan dimana-mana. Sejarawan berperan
merangkai kembali kepingan-kepingan ini, dengan baik dan benar. Dalam
proses ini, kepingan-kepingan fakta dituangkan oleh para sejarawan dalam
1 Dudung Abdurahman, Metodologi Penelitian Sejarah (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007),
16.
Menimbang Sejarah sebagai Landasan Kajian Ilmiah; sebuah Wacana Pemikiran dalam Metode Ilmiah
El-Banat Vol. 7. No.1, Januari-Juni 2017 129
bentuk tulisan, cerita atau yang sering disebut historiografi (penulisan
sejarah).
Karenanya, penyusunan sejarah haruslah dirangkai dengan sebuah
metodologi. Jika tidak, ia terancam akan terjebak dalam sebuah lingkaran
sejarah naratif. Karenanya, untuk setiap peristiwa sejarah yang menyangkut
pelbagai aspek dan dimensi waktu yang berbeda, diperlukan kemampuan,
dan alat-alat analitis yang berbeda. Oleh karena itu, muncul perkembangan
baru dalam penulisan sejarah, khususnya dalam bidang metodologi
penelitian ataupun penulisannya.
Metode sejarah sebagai metode penelitian, prinsipnya adalah
menjawab enam pertanyaan utama dalam sejarah. Pertanyaan tersebut adalah
what (apa), when (kapan), where (dimana), who (siapa), why (mengapa), dan
how (bagaimana), sebuah peristiwa terjadi. Karenanya, pemakalah menilai
penting untuk mengelaborasi metodologi penelitian sejarah secara lebih
mendalam. Di sini pembahasan ini akan dimulai dengan historiografi
penulisan sejarah sebagai ilmu pengetahuan.
Historiografi Sejarah
Ilmu pengetahuan awalnya merupakan sebuah sistem yang
dikembangkan untuk mengetahui keadaan lingkungan sekitar. Tujuannya,
untuk dapat membantu kehidupan manusia menjadi lebih baik. Begitu pula
dengan penulisan sejarah. Karenanya, untuk mengatakan sejarah sebagai
sebuah ilmu pengetahuan tentunya dibutuhkan beberapa kriteria yang
mendasarinya. Sebab, untuk menjadi sebuah ilmu sejarah harus setidaknya
memiliki tujuan, objek, metode, kebenaran, dan bersifat sistematik.
Sejarah sebagai ilmu pengetahuan, tidak semata-mata muncul begitu
saja. Ia telah menjalani serangkaian proses untuk menjelma menjadi sebuah
disiplin keilmuan yang diakui. Sebabnya, tiada lain sebagaimana ungkapan
bahwa pernyataan historis hanyalah sebuah statemen mengenai fakta-fakta
historis, sedangkan peristiwa historis sendiri sifatnya faktual bukan tekstual.2
Dahulu sejarah nampak hanya sebagai sebuah seni, namun ia menjadi lebih
bermakna setelah Herodutus (abad 5 SM) mememperkenalkan karyanya
tentang sejarah kerajaan Persia, dan konflik yang terjadi padanya dengan
Yunani. Karya ini, dianggap karya pertama yang disusun secara sistematis
dan konprehensif, menggunakan konsep sejarah lisan, dan menggunakan
pendekatan geografi dan antropologi. Karya lainnya adalah karya
Thucydides yang menceritakan perang peloponesos (460-400 SM). Ia
mengisahkan perang antara demokrasi Athena dan tirani Sparta.3 Singkat
cerita, kebangkitan sejarah sebagai suatu disiplin ilmu modern dengan
2 F.R. Ankersmit, Refleksi Tentang Sejarah, Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat
Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1987), 160. 3 A. Teeuw, Sastra Dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra (T.t.: Pustaka Jaya, 1984), 242.
Fatchor Rahman
130 Jurnal El-Banat
menggunakan metodologi tersendiri, mulai terjadi di Jerman. Tokoh dalam
metodologi ini adalah Leovold von Ranke (1795-1886). Ranke inilah yang
diangggap bapak historiografi modern.4
Perkembangan selanjutnya pada kelompok Annales di Perancis
(abad 19-20M). Sumbangannya berupa upayanya dalam mendekatkan
sejarah dengan disiplin ilmu-ilmu sosial, yang selama ini berjalan sendiri-
sendiri. Yang mana, kala itu sejarawan lebih banyak terpaku pada sejarah
naratif yang konvensional, atau lebih mengutamakan bercerita secara
kronologis tentang kejadian-kejadian politis dramatis.5 Salah satu tokoh
terkemuka dari kelompok ini adalah Fernand Braudel (1902-1985).
Kerangka analisis Braudel telah menjadi inspirasi bagi ahli ilmu-ilmu sosial
termasuk sejarawan dalam mengembangkan pendekatan dalam suatu
penelitian, pengembangan ini sering juga disebut sejarah struktural, yang
corak penulisan sejarah dan analisanya terhadap fenomena-fenomena sejarah
yang menggunakan pendekatan struktural, manusia sebagai pendukung
sejarah berada dalam struktur yang ada dalam aspek kehidupan manusia.
Adapun di Indonesia, pada awal kemerdekaannya lebih banyak
disugguhi bacaan tentang keadaan sejarah pada priode kolonial.
Penekanannya berada dalam sejarah hidup masa kolonialisme, bukan pada
dinamika masyarakat Indonesia dalam suatu sistem tertentu. Akibatnya,
orang hanya berbicara tentang kelicikan politik devide et impera, kerja
paksa, peperangan dan sebagainya.
Pada umumnya, historiografi sejarah Indonesia terbagi kedalam tiga
fase: Pertama, Historiografi tradisional. Historiografi ini lebih
mengedepankan unsur keturunan. Ciri-ciri utama historiografi ini adalah:
Merupakan gambaran kultural, mengandung unsur mitos, dan alam
dipercaya mempunyai kekuatan dalam perjalanan sejarah. Kedua,
Historiografi kolonial. Merupakan penulisan sejarah Indonesia yang ditulis
untuk kepentingan dan dengan cara pandang kolonial Belanda. Peristiwa
yang terjadi di Indonesia pada masa pemerintahan Belanda ditulis
berdasarkan kepentingannya. Cirinya: Bersifat diskriminatif. Menggunakan
sumber-sumber Belanda. Berisi tenang sejarah orang besar dan sejarah
politik. Merupakan sejarah orang Belanda di tanah jajahan. Menganggap
bahwa Indonesia belum memiliki sejarah sebelum kedatangan orang-orang
Belanda. Ketiga, Historiografi nasional. penulisan dilakukan menurut
kacamata Bangsa Indonesia dengan tetap berpegang pada aturan metode
sejarah, yaitu pendekatan multidimensional. Artinya, sejarah ditulis dengan
4 Samuel Byrskog, Story as History - History as Story: The Gospel Tradition in the Context of
Ancient Oral History (German: Mohr. Siebeck, 2001), 19-20. 5 Lihat: Zed, Mestika, Menggugat Tirani Sejarah Nasional Suatu Telaah Pendahuluan
Tentang Wacana Sejarah Nasional Dalam Perspektif Perbandingan, Makalah. Disampaikan
Dalam Konfrensi Nasional Sejarah Indonesia VII. Jakarta. 28-31 Oktober 2001.
Menimbang Sejarah sebagai Landasan Kajian Ilmiah; sebuah Wacana Pemikiran dalam Metode Ilmiah
El-Banat Vol. 7. No.1, Januari-Juni 2017 131
menggunakan pendekatan ilmu sosial, seperti antropologi, sosiologi, ilmu
politik dan ilmu ekonomi. Cirinya: Sumber yang digunakan tidak hanya
babad, tetapi juga hikayat, berita Cina, dan sumber arkeologis lainnya.
Penulis adalah akademisi kritis dalam bidang bahasa, kesusastraan, dan
kepurbakalaan. Tidak hanya mengangkat sejarah orang-orang besar dan
Negara saja, tetapi lebih pada kemanusiaannya, atau kebudayaannya.
Sumber tidak lagi hanya sumber arsip, tetapi juga sumber lokal. Sudah
mendapat perbandingan sumber kolonial dan lokal.6
Artinya secara filosofis penelitian sejarah tidak akan mungkin begitu
saja terlepas dari beberapa aspek penting. Di antaranya dari aspek
masyarakat, asumsi-asumsi yang berkembang, difinisi yang dipahami, fakta
yang terjadi, kebudayaan, bahasa, dan pelbagai disiplin keilmuan lain yang
secara langsung ataupun tidak bersinggungan dengan penelitian sejarah.
Tujuan dan Karakteristik Penelitian Sejarah
Pada dasarnya metodologi adalah prosedur penjelasan yang
digunakan suatu cabang ilmu pengetahuan, termasuk ilmu sejarah. Fokus
dari metodologi tiada lain merupakan disiplin keilmuan yang membicarakan
jalan atau cara guna mencapai tujuannya.7 Dengan demikian ia dapat
diartikan sebagai kajian tentang metode (science of methods), dengan
prosedur tertentu. Adapun yang dimaksud dengan prosedur di sini adalah
analisis tentang cara, prinsip atau prosedur yang akan membawa,
menunjukkan, mengarahkan, dan menuntun dalam proses penyelidikan suatu
bidang ilmu.
Dalam kajian ini matriks yang dipakai adalah sejarah. Dengan
pengertian sejarah merupakan suatu proses interaksi, dan kejadian yang
terpadu dari kedaan-keadaan atau fakta-fakta masa lampau yang
berkesinambungan.8 Maka metodologi sejarah tiada lain, merupakan proses
menelaah dari pelbagai sumber, yang berisi informasi mengenai masa
lampau, dan diwujudkan dalam bentuk yang sistematis. Singkatnya, ia
merupakan penelitian yang bertugas mendeskripsikan gejala kejadian, tetapi
bukan yang terjadi pada waktu penelitian dilakukan.
Manfaat dari menggunakan metode penelitian sejarah, adalah
terjadinya prosses penyelidikan kritis terhadap situasi, keadaan,
perkembangan, serta pengalaman di masa lampau, dan menimbang secara
teliti dan berhati-hati terhadap validitas bukti dari sumber sejarah. Sehingga
dapat melahirkan suatu gambaran jelas, dan dapat memberikan pemahaman
yang mendalam terhadap peristiwa yang terjadi di masa lalu. Dengan kata
6 Asvi Warman Adam, Pelurusan Sejarah Indonesia (Yogyakarta: Ombak, 2007), 8. 7 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2005), vii. 8 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terj. Nogroho Notosusanto (Jakarta: UI Press, 1986),
27.
Fatchor Rahman
132 Jurnal El-Banat
lain, ia bertujuan untuk memperkaya pengetahuan peneliti tentang
bagaimana, apa, siapa, kapan, di mana, dan mengapa suatu peristiwa masa
lalu dapat terjadi. Mampu memprediksi sesuatu yang akan terjadi pada masa
mendatang. Membantu menguji hipotesis yang berkenaan dengan hubungan
atau kecendrungan. Memahami praktik dan politik pendidikan sekarang
secara lebih lengkap. Serta proses masa lalu itu menjadi masa kini, dan pada
akhirnya, diharapkan darinya ada sumbangsih pemahaman yang lebih baik
tentang kejadian masa lalu, dan masa kini serta memperoleh dasar yang lebih
rasional untuk melakukan pilihan-pilihan di masa kini.9 Hal ini akan dapat
terwujud selama dalam proses penelitian tersebut para peneliti mampu
menjaga keberadaan karakteristik dari model penelitian ini. Yang meliputi:
Pertama, Adanya proses pengkajian peristiwa atau kejadian masa
lalu (berorientasi pada masa lalu). Ia mencoba menggali fakta-fakta
sebenarnya yang terjadi, baik fakta yang nampak ataupun segala kejadian
dibalik layar. Misi yang diemban bukan hanya menyajikan sebuah cerita
runtutan peristiwa, namun ia juga mencakup makna dibalik layar dari
rentetan kejadian itu.
Kedua, Usaha dilakukan secara sistematis dan objektif. Proses
penggalian dan perangkaian informasi harus tersusun secara runtut dan
tersetruktur. Karena sejarah merupakan sebuah rentetan peristiwa yang
berkesinambungan, dan terus berkembang dalam perubahan era.
Ketiga, Merupakan serentetan gambaran masa lalu yang interaktive
antara manusia, peristiwa, ruang dan waktu. Artinya penelitian sejarah harus
mampu menghindari problem abadi sejarah, yaitu: keterjebakan seorang
peneliti sejarah dalam lingkaran “a histois,” atau terjebak dalam wilayah
sejarah yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Dengan kata lain, yang
dimau dari penelitian sejarah adalah menjadikan realitas termasuk kajian
tentang ilmu menjadi benar-benar historis, atau dapat dipertanggung
jawabkan keabsahannya.
Keempat, Dilakukan secara interaktif dengan gagasan, gerakan, dan
intuisi yang hidup pada zamannya (tidak dapat dilakukan secara parsial).10
Artinya seorang peneliti sejarah selain memiliki otoritas keilmuan sejarah,
atau melek sejarah, ia juga harus memiliki misi tersendiri dalam penelitian
ini. Sehingga ia tidak hanya sebatas melakukan proses pengungkapan
peristiwa secara komprehensif, namun mampu menegaskan bahwa
peristiswa tersebut memiliki suatu “misi” rahasia tersendiri yang tidak semua
orang tahu.
Dengan demikian, prinsip, dan tujuan penelitian sejarah tidak dapat
dilepaskan dengan kepentingan masa kini, dan masa mendatang. Ia juga
melukiskan, menyediakan sumber penelitian, peluang pengembangan, 9 Yatim Riyanto, Metodologi Penelitian Pendidikan (Surabaya: SIC, 1996), 23. 10 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta: Tiar Wacana, 1987), 131-133.
Menimbang Sejarah sebagai Landasan Kajian Ilmiah; sebuah Wacana Pemikiran dalam Metode Ilmiah
El-Banat Vol. 7. No.1, Januari-Juni 2017 133
penggalian sejarah dari pelaku-pelakunya, serta mencari keterkaitan
peristiwa tersebut dengan kehidupan masa kini.
Objek Kajian Sejarah
Secara sederhana, objek sejarah merupakan perubahan atau
perkembangan aktivitas manusia dalam dimensi masa lampau. Keyword di
sini adalah aktivitas masa lampau. Karena bahasan tentang waktu merupakan
unsur penting, makanya asal mula, ataupun latar belakang menjadi
pembahasan pokok dalam kajian ini.
Adapun tujuan dari pokok kajian sejarah adalah menjaga warisan
kebudayaan, dan menginformasikan kisah perkembangan umat manusia.11
Sehingga dalam merekonstruksi sejarah diperlukan bukti-bukti atau lebih
tepatnya fakta sejarah. Fakta peninggalan sejarah inilah yang disebut objek,
baik yang bersifat artefak, dokumen tertulis, dan lain sebagainya.
Selama perjalanan penelitian, nilai karya sejarawan akan selalu
tergantung pada nilai objektivitasnya. Suatu karya sejarah akan jauh lebih
baik nilainya apabila sejarawan dengan sengaja tidak objektif.12 Arti
sederhana dari kata objektifitas dalam sejarah adalah sejarah dalam
kenyataan. Sebab, ketidakobjektifitasan di sini akan mampu membawa
peneliti kedalam fokus pembahasan yang lebih detail dari sebuah peristiwa,
karena itu sudah menjadi sangat terbuka akan adanya kemungkinan, bahwa
ada penelitian lain yang berbeda pendapat dengan penelitian tersebut,
sebagai akibat subjektifitas, ataupun focus dari pembahasan peneliti.
Dalam perkembangannya penelitian sejarah telah menresap kedalam
pelbagai disiplin lain. Pelbagai disiplin keilmuan tersebut memainkan peran
ganda, dalam artian selain ia menjadi cabang dari penelitian sejarah itu
sendiri, di sisi lain ia menjadi ilmu bantu bagi penelitian sejarah secara
bersamaan. Di antaranya adalah paleontologi, astronomi, arkeologi,
antropologi dan geologi. Paleontologi merupakan Ilmu mengenai sejarah
kehidupan di bumi termasuk hewan dan tumbuhan zaman lampau yang telah
menjadi fosil. Adapun astronomi lebih mengenai belbagai sisi dari benda-
benda langit seperti asal-usul, sifat fisika/kimia, meteorologi, dan gerak dan
bagaimana pengetahuan akan benda-benda tersebut menjelaskan
pembentukan dan perkembangan alam semesta. Selain itu, Arkeologi dan
antropologi berperan sebagai ilmu tentang kebudayaan manusia masa lalu
melalui kajian sistematis atas data bendawi yang ditinggalkan. Kajian
sistematis meliputi penemuan, dokumentasi, analisis dan interpretasi data.
11 Mundardjito, “Paradigma dalam Arkeologi Maritim,” Yayasan Obor Indonesia, Wacana:
jurnal ilmu pengetahuan budaya, Teori dan Metodologi Ilmu Budaya, vol. 9, no.1 (April
2007), 5-7. 12 Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Bagian 3:
Pendidikan Disiplin Ilmu (T.t.: IMTIMA, 2007), 369-370.
Fatchor Rahman
134 Jurnal El-Banat
Bedanya antropologi lebih berfokus pada budaya masyarakat suatu etnis
tertentu. Terakhir geologi, yaitu ilmu tentang Bumi, komposisinya, struktur,
sifat-sifat fisik, sejarah, dan proses pembentukannya.
Selain kelima disiplin keilmuan tersebut masih ada banyak disiplin
keilmuan lain yang berkenaan dengan sejarah. Seperti Ilmu bahasa,
philology, dokumen, ekonomi, sastra kebudayaan dan sebagainya.13 Artinya,
perkembangan sejarah sebagai suatu disiplin keilmuan khusus telah
melahirkan pelbagai macam disiplin lain yang diturunkan darinya, tentunya
dengan fokus yang bermacam-macam, meskipun tetap dalam satu payung
besar yang bernama perubahan era.
Subjek Penelitian Sejarah
Sejarah dalam arti subjektif, adalah suatu konstruk yang berarti
sebuah bangunan yang disusun oleh penulis sejarah, sebagai suatu uraian
atau rangkaian cerita. Uraian atau rangkaian cerita itu merupakan suatu
kesatuan unit yang mencakup fakta-fakta yang terangkai secara baik.
Gunanya untuk menggambarkan suatu gejala sejarah baik proses maupun
strukturnya.14
Dalam menentukan focus subjek penelitian sejarah seorang peneliti
dapat memulainya dengan mengutarakan beberapa pertanyaan. Sebagaimana
tercantum dalam bagan berikut:15
NO SIFAT FOKUS DAN
MAKSUD CONTOH
1 Geografis
“DI MANA?” =
wilayah dunia yang mana
yang ingin dipelajari
“Di mana” Indonesia?, Arab?,
Eropa? Jawa? dsb
2 Biografis “SIAPA?” = menaruh
minat apa
“Siapa” Nenek moyang Bangsa
Indonesia?, tokoh yang
terkenal?.
3 Kronologis
“BILAMANA?” =
Priode mana yang ingin
dipelajari
Abad ke-5 sebelum masehi?
Abad pertengahan?
4 Fungsional,
atau
Okupasionil
“APA?” = lingkungan
mana yang menarik
minat
“Apa” Kegiatan manusia jenis
apa? Ekonomi? Sastra? Atletik?
Dsb
Dalam sebuah penelitian, subjektifitas merupakan sebuah bentuk
interpretasi, analisis, atau kesaksian dari gambaran hasil pemikiran peneliti.16
13 Hasan Ustman, Metodologi Penelitian Sejarah, terj. A. Muin Umar, et. al. (Jakarta:
Kemenag, 1986), 13. 14 Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia,
1993), 14. 15 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, 41.
Menimbang Sejarah sebagai Landasan Kajian Ilmiah; sebuah Wacana Pemikiran dalam Metode Ilmiah
El-Banat Vol. 7. No.1, Januari-Juni 2017 135
Dalam kaitannya dengan hal ini, ada dua metode yang dapat digunakan
dalam proses interpretasi ini. Yaitu: analisis dan sintesis. Analisis adalah
proses penguraian, sedangkan sintesis adalah proses penyatuan. Keduannya
merupakan metode utama di dalam interpretasi sejarah.17
Dalam proses pengungkapan fakta, peran interpretasi sangat
diperlukan. Subjektif pun diperbolehkan selama dalam koridor tidak
mengandung subjektivistik yang membawa kepada kesewenang-wenangan
peneliti ataupun pihak lainnya.
Peran subjektifitas, ternyata tidak selalu membawa dampak negative,
bahkan ia membuat penelitian lebih bermakna. Karena yang demikian itulah
menjadi berat rasanya untuk menemukan sebuah sejarah yang benar-benar
valid, sebabnya tiada lain adanya beberapa rangkaian peristiwa yang hilang
atau memang sengaja dihilangkan. Jadi penafsiran para sejarawan diperlukan
guna merangkaikan satu peristiwa dengan lainnya. Sehingga diperoleh suatu
statemen yang mendekati kebenaran. Sehingga dapat dikatakan, dalam
penulisan peristiwa sejarah tidak mungkin terlepas dari unsur subjektivitas.
Sebab, dalam proses penulisan sejarah itu sendiri tidak mungkin dapat
objektif 100%.
Dalam proses ini, seseorang tidak dapat melepaskan
subjektifitasnya. Sebab subjektivitas berangkat dari penalaran individu
secara kontekstual. karenanya ada beberapa hal yang dapat menimbulkan
subjektivitas dalam proses ini, yakni: Pandangan pribadi, kepercayaan, dan
filsafat hidup (Personal Bias); Kejujuran, keterpihakan dan prasangka
kelompok (Group Prejudice); Teori interpretasi yang bertentangan dan
berbeda (Divergent Interpretations).18 Subjektifisme inilah yang konon
sering mengganggu proses pencapaian kebenaran sejarah itu sendiri. Namun
demikian, sebagian orang melihat adanya perbedaan pendapat dalam
kalangan sejarawan, justru telah membawa sejarah itu kedalam
objektifitasnya. Karena hal itu, membuat peristiwa sejarah itu sendiri
menjadi bisa dikaji dari pelbagai persfektif.19
Peranan Hipotesis
Hipotesis merupakan kebenaran sementara yang perlu diuji
kebenarannya. Oleh karena itu, ia berfungsi sebagai kemungkinan untuk
menguji kebenaran suatu teori.20 Dalam kasus penelitian sejarah, ada
sebagian orang yang berasumsi bahwa hipotesa tidaklah diperlukan. Namun
pemakalah menilai anggapan tersebut salah, sebab metode-metode lain
16 Dudung Abdurahman, Metodologi Penelitian, 73. 17 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu, 100. 18 R. Moh. Ali, Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2005), 57-74. 19 F.R. Ankersmit, Refleksi Tentang Sejarah, 343. 20 Dani Vardiansyah, Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar (Jakarta: Indeks, 2008), 10.
Fatchor Rahman
136 Jurnal El-Banat
selain metode sejarah juga memerlukan adanya hipotesa sebagai jawaban
sementara dalam memecahkan masalah. Walaupun memang, jika hanya
untuk memperoleh data-data masa lampau untuk kebutuhan masa sekarang,
maka hipotesa tidak diperlukan. Namun, penelitian yang hanya
mengumpulkan data masa lalu, tentunya tidaklah mungkin disebut sebagai
penelitian dalam arti sebenarnya.21 Ia hanyalah sebagian kecil dari hierarki
tatacara dalam metode ilmiah khususnya pada penelitian sejarah.
Seperti halnya penelitian-penelitian lain, metode sejarah juga
bermaksud untuk menemukan suatu generalisasi. Tujuannya ingin
menemukan pengertian-pengertian tentang fenomena-fenomena tertentu,
dengan dimensi waktu tertentu, yang mana generalisasi itu mencakup bukan
saja masa lampau, tetapi juga tentang masa sekarang, dan masa yang akan
datang. Karena itu, hipotesa dalam metode sejarah diperlukan sebagai titik
tolak dalam memfokuskan, serta memandu kerja metode ini. Jadi, peran
hipotesis sangat penting, karena fungsinya yang akan menentukan kemana
arah pemikiran si peneliti dalam proses elaborasi fakta-fakta sejarah.
Sehingga proses pengumpulan data, analisa, pengolahan dan seterusnya akan
menjadi lebih mudah.
Secara singkat, peran hipotesa dalam penelitian mencakup banyak
hal. Di antaranya sebagai jawaban atau kesimpulan sementara dari suatu
masalah; memberikan arah dalam pencarian, pengumpulan, serta analisa
data; memberi kerangka pada penyusunan penelitian; memperjelas keadaan,
kegunaan, serta memudahkan perluasan pengetahuan dalam suatu bidang;
membantu memprediksi kejadian-kejadian mendatang yang mungkin terjadi;
mengemukakan pernyataan tentang hubungan dua konsep yang secara
langsung dapat diuji dalam peneltian.22 Sampai di sini dapat dikatakan,
bahwa peran hipotesa dalam penelitian sejarah mencakup 3 elemen dasar.
Pertama, fungsi penjelas (Explanation). Maksudnya, hipotesa digunakan
untuk memperjelas, dan mempertajam ruang lingkup, atau bangunan
variabel yang akan diteliti. Kedua, fungsi prediksi (Prediction).
Memprediksi, dan membantu menemukan fakta tentang sesuatu hal yang
hendak diteliti. Terakhir, fungsi pengendali (Control). Teori digunakan
untuk mengendalikan focus pembahasan pada tujuan utama, serta terhindar
dari jebakan “godaan-godaan” dalam proses penelitian.23
Peran asumsi dalam penelitian, terletak terutama dalam
mengembangkan teori, dan menafsirkan hasil penelitian. Pengertian
hipotesis adalah kenyataan penting yang dianggap benar tetapi belum
21 Fred Kerlinger, Foundations of Behavioral Research (Orlando: Harcourt Brace, 1986), 15-
25. 22 A. Sonny Keraf and Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis
(Yogyakarta: Kanisius, 2001), 79-84. 23 Asmadi, Konsep Dasar Keperawatan (Jakarta: EGC, 2005), 87-88.
Menimbang Sejarah sebagai Landasan Kajian Ilmiah; sebuah Wacana Pemikiran dalam Metode Ilmiah
El-Banat Vol. 7. No.1, Januari-Juni 2017 137
terbukti kebenarannya. Hipotesis inilah yang kemudian menjadi dasar dari
suatu penelitian. Sebab setiap penelitian berangkat dari asumsi ataupun
hipotesa. Dari asumsi ini, kemudian dibangun teori-teori penelitian. Dengan
kata lain, asumsi dapat kita gunakan untuk membangun suatu konstruksi
bangunan penelitian. Asumsi juga dapat digunakan sebagai alat untuk
menafsirkan kesimpulan setelah diperoleh sebuah hasil temuan dari
penelitian yang telah dilakukan tersebut. Hipotesis diperlukan, guna
mengendalikan focus pembahasan pada tujuan utama, serta terhindar dari
adanya “godaan-godaan” yang dimaksud di atas.
Hubungan Sejarah dengan Disiplin Keilmuan Lain
Sejarah tidak akan disebut sejarah jika tidak dibangun oleh faktor-
faktor penyusunnya. Sebab, sejarah merupakan situasi, keadaan,
perkembangan, serta pengalaman di masa lampau.24 Artinya segala aspek
situasi, perkembangan, dan pengalaman yang berkaitan dengannya tidak
akan luput dari sorotan sejarah. Dengan kata lain, sejarah juga mencakup
segi kebudayaan, tradisi, bahasa, dan keilmuan pada kurun waktu tertentu.25
Sehingga dapat kita gambarkan hubungan sejarah dengan disiplin keilmuan
lain seperti dalam bagan:
Sejarah menjalin hubungan dengan ilmu-ilmu lainnya, terutama
dengan sesama ilmu sosial. Dalam hubungan ini, yang terjadi adalah
hubungan yang saling membutuhkan, lebih tepatnya kita dapat menyebutnya
dengan kombinasi dari dua ilmu sosial. Dalam perkembangannya, ilmu
sejarah cenderung mempergunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial. Alasannya:
Pertama, sejarah deskriptif-naratif tidak lagi cukup untuk menjelaskan
pelbagai masalah yang kompleks dalam peristiwa Sejarah. Kedua, 24 Untuk lebih lanjut, baca: Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu. 25 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta: Gramedia, 2009), 223-225.
bahasa
sejarah pemikiran
Sejarah (Tradisi & Budaya) = Bahasa + Pemikiran
Bahasa = Sejarah + Pemikiran Pemikiran = Sejarah + Bahasa
Fatchor Rahman
138 Jurnal El-Banat
pendekatan multidimensional kerap kali menggunakan konsep, dan teori
ilmu sosial dalam memahami masalah yang kompleks tersebut. Ketiga,
pernyataan-pernyataan mengenai masa silam dapat diperjelas lebih baik,
secara kuantitatif maupun kualitatif dengan bantuan teori sosial, sebab ia
menunjukkan hubungan antara pelbagai faktor (ekonomi, sosial, politik,
budaya, dsb). Keempat, teori-teori dalam ilmu sosial biasanya berkaitan
dengan struktur umum dalam kenyataan sosio-historis. Karena itu, teori-teori
tersebut dapat digunakan untuk menganalisis perubahan-perubahan yang
mempunyai jangkauan luas. Dengan cara ini, pengkajian sejarah yang
dihasilkan tidak lagi dominan dengan subjektifitas yang sering dialamatkan
kepadanya. Kelima, studi sejarah tidak terbatas pada pengkajian hal-hal
informatif tentang “apa, siapa, kenapa, kapan, dimana, dan bagaimana,”
tetapi juga melacak pelbagai struktur masyarakat (sosiologi), pola kelakuan
(antropologi), pola bahasa (lingusistik), pola pikir (filsafat), dan sebagainya.
Studi yang menggunakan pendekatan ini akan melahirkan karya sejarah yang
semakin antropologis (anthropological history), sejarah yang sosiologis
(sosiologycal history),26 dan seterusnya.
Terlepas dari pro dan kontra tentang pembahasan sejarah yang
menggunakan teori-teori ilmu sosial, patut direnungkan bahwa
perkembangan disiplin keilmuan dewasa ini hampir sulit dibedakan antara
satu dengan lainnya. Pendekatan interdisipliner kini sangat dominan
mewarnai wacana perkembangan ilmu pengetahuan. Sejarah sebagai salah
satu bidang ilmu, tidak seharusnya menarik diri dari fenomena itu,
melainkan harus mampu bermain di tengahnya, sehingga tidak dianggap
kumpulan pengetahuan masa lalu semata, tanpa bisa memberikan kontribusi
bagi pembangunan kehidupan manusia, sebagaimana visi sebuah ilmu
pengetahuan.
Aspek Teknis: Sejarah sebagai Metodologi Penelitian
Penelitian sejarah itu unik, dan kompleks. Dikatakan unik karena ia
mencoba merekonstruksi peristiwa masa lampau yang masih kontroversial.
Kompleks karena perlu ketekunan, keterampilan, dan kerja keras dalam
mencari sumber, dan menyangkut eksistensi baik nilai, moral, agama, latar
belakang, kebudayaan dari suatu peristiwa yang dialami manusia, atau
peradaban manusia dari masa lampau, kini dan masa depan.27
Penelitian historis merupakan suatu penyelidikan yang
mengaplikasikan metode analisis-sintesis yang ilmiah dari perspektif
historis. Pada dasarnya landasan utama dari metode sejarah adalah
26 J. W. M. Bakker, Pustaka Filsafat Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar (Yogyakarta:
Kanisius, 1994), 21-24, 37-56. 27 Mona Lohanda, Sumber Sejarah dan Penelitian Sejarah (Jakarta: Lembaga Penelitian, UI,
1998), 24-24.
Menimbang Sejarah sebagai Landasan Kajian Ilmiah; sebuah Wacana Pemikiran dalam Metode Ilmiah
El-Banat Vol. 7. No.1, Januari-Juni 2017 139
bagaimana menangani bukti-bukti sejarah, serta bagaimana
menghubungkannya.28 Tujuan yang ingin dicapai di sini ternyata adalah
berusaha merekonstruksi peristiwa yang terjadi pada masa lampau dengan
serangkaian metode dan metodologi.
Penelitian sejarah memerlukan teori, metode dan metodologi sebagai
pisau bedah dalam mengkaji sebuah topik yang diteliti. Diharapkan dari
adanya ketiga elemen tersebut, suatu penelitian dapat melahirkan sebuah
sejarah analitis, valid, dan kompleks yang mampu mengelaborasi dan
menjawab asal mula (genesis), sebab (causes), kecenderungan (trend),
kondisional dan konteks serta perubahan (changes) suatu peristiwa sejarah.29
Bukan sekadar menghasilkan penelitian naratif yang hanya mampu
menjawab pertanyaan elementer, seperi apa peristiwa yang terjadi?
Bagaimana proses kejadian dari peristiwa tersebut?.
Puncak dari metodologi sejarah, adalah aplikasinya dalam penelitian
sejarah (historical research). Artinya tujuan dibuatnya metodologi itu adalah
untuk diterapkan dalam rangka melakukan penelitian sejarah. Meskipun
demikian ada rambu-rambu dalam penelitian sejarah yang harus dipatuhi
seperti dalam disiplin keilmuan lain.30 Maka dari itu, wajar kiranya jika
beberapa tokoh sejarawan memiliki rumusan, dan bahasan yang berbeda
dalam meramu penelitian sejarah, karena muara mereka satu tujuan, yaitu
menghasilkan sebuah historiografi sebagai khazanah keilmuan bagi khalayak
luas. Artinya bagaimana sejarawan itu menggunakan “ilmu metode” itu pada
tempat yang seharusnya, sehingga untuk mengetahui bagaimana mengetahui
sejarah itu di perlukanlah suatu ilmu yaitu Metodologi Sejarah.31
Sudah menjadi rahasia umum para peneliti, bahwa penyusunan
langkah-langkah penelitian tujuannya tidak lain adalah guna memfokuskan
penelitian. Yaitu, bergerak dimulai dari penentuan topik yang diminati,
kepada hipotesa dan seterusnya kepada rencana penelitian. Walaupun dalam
beberapa kasus hipotesa tidak selalu dirumuskan secara eksplisit.32 Hingga
pada gilirannya nanti akan bermuara pada proses penulisan hasil penelitian.33
Adapun secara singkat proses ini terbagi kedalam 4 tahapan, yaitu:
Pertama, Pengumpulan Sumber (Heuristik). Pada tahapan ini,
kegiatan diarahkan pada penjajakan, pencarian, dan pengumpulan sumber-
28 Untuk keterangan lebih lanjut, baca: William H. Frederick dan Soeri Soeroto, Pemahaman
Sejarah Indonesia Sebelum dan Sesudah Revolusi (Jakarta: LP3ES, t.th.). 29 Suhartono W. Pratono, Teori dan Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), 9-
10. 30 Ibid, 149-150. 31 Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Ombak, 2007), 15. 32 Heather Sutherland, “Meneliti Sejarah Penulisan Sejarah”, dalam Henk Schulte Nurdholt,
dkk Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008 ),
52. 33 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu, 37-39, baca juga: Helius Sjamsuddin, Metodologi, 89.
Fatchor Rahman
140 Jurnal El-Banat
sumber yang akan diteliti, baik yang terdapat di lokasi penelitian, temuan
benda, maupun sumber lisan.34 Heuristik sejarah tidak berbeda dalam
hakikatnya dengan bibliografi yang sejauh ini menyangkut buku-buku yang
tercetak (labogratorium yang lazim digunakan bagi sejarawan adalah
perpustakaan, dan alatnya yang paling bermanfaat disana adalah katalog).
Akan tetapi sejarawan harus mempergunakan banyak lain material yang
tidak terdapat di dalam buku. Jika bahan-bahan itu bersifat arkeologis,
epigrafis, atau numismatis untuk sebagian besar ia harus bertumpu kepada
museum.35
Kedua, Verifikasi (Kritik Sumber dan Keabsahan Sumber). Setelah
sumber sejarah terkumpul, maka langkah berikutnya ialah verifikasi atau
lazim disebut juga dengan kritik sumber untuk memperoleh keabsahan
sumber. Dalam hal ini yang harus diuji ialah keabsahan tentang otentisitas
sumber, yang dilakukan melalui kritik ekstern dan keabsahan tentang
kesahihan sumber (kredibilitas) yang ditelusuri lewat kritik intern. Dengan
demikian, kritik sumber ada dua, yakni kritik ekstern dan kritik intern.36 Satu
keaslian sumber (otentisitas): Peneliti melakukan pengujian atas asli
tidaknya sumber, berarti ia menyeleksi segi-segi fisik dari sumber yang
ditemukan. Dua, kesahihan sumber (kredibilitas): Ada beberapa sebab
kekeliruan sumber: pertama, terjadi dalam usaha menjelaskan,
menginterpretasikan atau menarik kesimpulan. Kedua, kekeliruan yang
disengaja terhadap kesaksian. Para saksi terbukti tidak mampu
menyampaikan kesaksiannya secara sehat, cermat dan jujur.
Setelah kita mengetahui secara persis topik kita, dan sumber sudah
kita kumpulkan, tahap yang beriktnya ialah verifikasi, atau kritik sejarah,
atau kebsahaan sumber. Verifikasi itu dua macam: autentitas, atau keaslian
sumber, atau kritik ekstern, dan kredibilitas, atau kebiasaan dipercayai, atau
kritik intern.37
Ketiga, Intepretasi (Analisis dan Sintesis). Interpretasi sering disebut
sebagai biang subjektifitas. Walaupun demikian. tanpa penafsiran sejarawan,
data tidak bisa berbicara. Itulah sebabnya, subjektifitas penulis sejarah
diakui, tetapi untuk dihindari. Interpretasi terbagi menjadi dua macam, yaitu
analisis dan sintesis. Sintetis sejarah, artinya menyatukan beberapa data yang
ada, dan dikelompokkan menjadi satu dengan generalisasi konseptual.38
Interpretasi juga disebut analisis sejarah. Jika bertujuan
mendapatkan makna dan keterhubungan antara fakta satu dengan lainnya.
Namun, sejarawan harus berfikir plurakausal, sebab segala peristiwa tidak
34 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, 18. 35 Ibid, 42. 36 Nana Supriatna, Sejarah untuk Kelas X SMA (T.t.: Grafindo Media Pratama, 2006), 30-31. 37 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu, 100. 38 Ibid, 100-102.
Menimbang Sejarah sebagai Landasan Kajian Ilmiah; sebuah Wacana Pemikiran dalam Metode Ilmiah
El-Banat Vol. 7. No.1, Januari-Juni 2017 141
hanya disebabkan oleh satu penyebab saja (monokausal). Karenanya,
peristiwa itu harus dilihat dari pelbagai sudut pandang penyebab, inilah yang
disebut multidimensionalitas dalam sejarah.39
Multidimensionalitas gejala sejarah perlu ditampilkan agar
gambaran menjadi lebih bulat dan menyeluruh, sehingga dapat terhindar dari
kesepihakan atau determinisme. Yang penting dari implikasi metodologi ini
ialah pengungkapan dimensi-dimensi pendekatan yang lebih kompleks, yaitu
pendekatan multidimensi. Perlu diketahui, bagi sejarawan yang akan
menerapkan metodologi, ia perlu menguasai pelbagai alat analitis yang
dipinjam dari ilmu sosial.40
Keempat, Penulisan (Historiografi). Langkah terakhir metode
sejarah ialah historiografi, yakni merupakan cara penulisan, pemaparan atau
penulisan laporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan. Penulisan
hasil laporan hendaknya dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai
proses penelitian, dari fase awal hingga akhir atau dengan kata lain ia
merupakan sebuah proses penyimpulan. Karenanya, proses ini dapat bersifat
ilmiah (problem oriented), maupun no problem oriented. Problem oriented
artinya karya sejarah ditulis bersifat ilmiah dan berorientasi kepada
pemecahan masalah, yang tentu saja dengan menggunakan seperangkat
metode penelitian. Sedangkan no problem oriented maksudnya, karya tulis
sejarah ditulis secara naratif, serta tidak menggunakan metode penelitian.
Adapun dalam proses historiografi, diperlukan kecakapan-kecakapan
tertentu untuk menjaga standar mutu seorang sejarawan.41
Kelemahan Historiografi Dalam penyususnan historiografi, sejarawan sering kali
mendapatkan beberapa hambatan. Hambatan-hambatan tersebut terbagi
dalam beberapa aspek, yakni:
1. Adanya keterpihakan sejarawan kepada pendapat atau mazhab
tertentu.
2. Terlalu percaya pada periwayat berita sejarah.
3. Kegagalan dalam menangkap poin pokok atas apa yang dilihat, atau
didengar. Serta menyampaikan laporan atas dasar perkiraan yang
keliru tersebut.
4. Asumsi yang tidak beralasan terhadap sumber berita.
5. Ketidaktahuan dalam mengaitkan antara keadaan dengan realitas
sebenarnya yang terjadi.
39 Ibid. 40 Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu, 87. 41 Sartono Kartodirjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu
Alternatif (Jakarta: Gramedia, 1982), 2-8.
Fatchor Rahman
142 Jurnal El-Banat
6. Kecenderungan untuk mendekatkan diri kepada penguasa atau orang
berpengaruh.
7. Ketidaktahuan tentang hakekat dan kondisi yang muncul dalam
pelbagai peradaban.42
Selain beberapa poin disebut di atas, setidaknya ada hal lain yang
perlu diperhatikan dalam penelitian sejarah. Ini dikarena, meskipun
historiografi adalah langkah terakhir dalam sebuah penelitian yang
menggunakan metode sejarah, namun menurut Soedjatmoko, historiografi
adalah langkah terberat. Karena dalam langkah terakhir ini lah, pembuktian
metode sejarah sebagai suatu bentuk disiplin ilmiah dipertaruhkan. Adapun
menurut Arthur Marwick, langkah-langkah metodologis yang dikerjakan
oleh sejarawan pada umumnya diterima sebagai langkah yang memiliki
validitas objektivitas ilmu. Tapi, langkah selanjutnya disebut sebagai sebuah
“seni” sehingga sejarah sesungguhnya tidak mungkin objektif. Padahal
sejarah sebagai sebuah ilmu dituntut memiliki objektivitas.43
Mengapa sejarah tak mungkin objektif? Karena sejarah sudah
memakai interpretasi, dan seleksi. Interpretasi dapat berarti sejarah telah
menuruti pendapat seseorang, ataupun seleksi dilakukan dalam memilih
fakta-fakta sejarah yang akan dikaji dalam sebuah penelitian dengan metode
sejarah. Interpretasi dan seleksi mau tak mau harus melibatkan pendirian
pribadi peneliti. Fakta sejarah yang dibutuhkan dalam historiografi harus
diolah terlebih dahulu oleh peneliti sejarah dari data-data sejarah. Sebab,
pengungkapan fakta sejarah tidak mungkin dapat objektif karena kumpulan
data sejarah hanya dapat disebut sebagai fakta sejarah apabila diberi arti oleh
peneliti. Maka, dalam sebuah penelitian yang memakai metode sejarah,
subjektivitas tidak dapat dielakkan.44
Subjektivitas dalam sebuah penulisan sejarah sifatnya boleh-boleh
saja, karena tanpa subjektivitas maka tidak akan pernah ada objektivitas.
Bahkan dipandang sebagai ‘kreasi’, ‘konstruksi’ akal rasio peneliti. Berpikir
disamakan dengan menciptakan, bukan membantu kebenaran keluar dari
ketersembunyiannya. Lebih lanjut, Poespoprodjo menyatakan yang tidak
diperbolehkan mempengaruhi sebuah penulisan sejarah adalah adanya unsur
subjektivisme.45
Poespoprodjo mengungkapkan ada tiga hal yang dapat
mempengaruhi subjektivitas peneliti sejarah yang akan membantu menuju
42 Ahmad Syafii Ma’arif, Ibn Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur (Jakarta:
GIP, 1996), 25 lihat juga: Ibn Khaldūn, Al-Muqaddimah (Beirūt: Dār al-Fikr, t.th.), 35-36. 43 W. Poespoprodjo, Logika Scientifika : Pengantar Dialektika dan Ilmu (Bandung: Remadja
Karya, 1987), 1. 44 Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi, 369-370. 45 W. Poespoprodjo, Logika Scientifika, 23.
Menimbang Sejarah sebagai Landasan Kajian Ilmiah; sebuah Wacana Pemikiran dalam Metode Ilmiah
El-Banat Vol. 7. No.1, Januari-Juni 2017 143
objektivitas yakni : peranan human richness (intelektualitas peneliti);46 titik
berdiri (sudut pandang peneliti);47 dan Pengenalan Sumber.48
Dari diskursus tentang proses penelitian Sejarah di atas, dapat kita
simpulkan dalam bentuk bagan berikut.
Bentuk dan Jenis Penelitian Sejarah
Dalam rangka mengungkapkan kembali peristiwa-peristiwa masa
lampau, para sejarawan melakukan serangkaian proses penelitian dengan
metode-metode ilmiah (metode sejarah). Dilihat dari Sumber pengumpulan
datanya, ada dua jenis penelitian sejarah, yakni penelitian lapangan dan
penelitian kepustakaan.
Pertama, berupa penelitian lapangan. Model ini melewati proses
pembacaan terhadap peninggalan-peninggalan bersejarah, baik data fisik,
ataupun pelaku sejarah itu. Kedua, Penelitian Kepustakaan. Model ini
berangkat dari data tertulis (dokumen) di museum atau perpustakaan. Secara
garis besar kedua penelitian tersebut dapat kita golongkan kedalam empat
model besar, yaitu: penelitian sejarah komparatif; yuridis atau legal;
biografis; dan bibliografis.49
46 Ibid, 40-41. 47 Ibid, 48. 48 Ibid, 56. 49 Juraid A. Latief, Haji Hayyun Seorang Imam dan Pejuang (Makassar: Universitas
Hasanuddin, 2004), 67.
Bagan Proses Penelitian Sejarah
Fatchor Rahman
144 Jurnal El-Banat
Penelitian pertama merupakan penelitian dengan metode sejarah
yang dikerjakan untuk membandingkan elemen-elemen dari fenomena
sejenis pada suatu periode masa lampau.50 Selanjutnya dapat dikatakan
sebagai penelitian yuridis manakala dalam metode sejarah bertujuan
menyelidiki segala sesuatu yang bersangkutan dengan hukum, baik hukum
formal ataupun nonformal pada masa yang lampau.51 Ketiga, disebut
biografis, jika penelitian ini digunakan untuk meneliti kehidupan seseorang,
dan hubungannya dengan masyarakat. Objeknya penelitiannya adalah sifat,
watak, pengaruh, baik pengaruh lingkungan maupun pengaruh pemikiran,
dan ide dari subjek penelitian dalam masa hidupnya, serta proses
pembentukan watak figur yang diterima selama hayatnya.52 Terakhir disebut
Penelitian Bibliografis, jika penelitian ini melalui proses pencarian, analisis,
interpretasi serta generalisasi dari fakta-fakta yang merupakan pendapat para
ahli dalam suatu masalah. Artinya penelitian ini mencakup hasil pemikiran,
atau ide yang telah ditulis oleh para ahli lain. Prinsip kerja penelitian ini
adalah dengan menghimpun karya-karya tertentu dan menerbitkan kembali
poin-poin yang dinilai unik yang dianggap hilang atau tersembunyi, dengan
memberikan intepretasi dan generalisasi terhadap karya tersebut.53
Dari semua jenis penelitian sejarah, yang perlu diberi penekanan
lebih adalah pentingnya aspek kronologis. Karena dengan hal itu, sejarah
dapat diinterpretasikan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan pada
zamannya. Sehingga akhirnya, dapat diperoleh data dan kenyataan riil dari
sebuah peristiwa.54
Dalam perjalanannya, penelitian sejarah sering bersinggungan
dengan banyak aspek kehidupan. Darinya lahir beberapa konsep-konsep
yang dipandang memiliki keterikatan, secara langsung dengan proses
penelitian ini. Antara lain:
1. Konsep Perubahan, adalah istilah yang mengacu pada satu hal yang
sifatnya tampil berbeda dari masa ke masa sesudahnya.55
2. Konsep Peristiwa, berarti suatu kejadian dinilai menarik dan unik.
Dalam penelitian sejarah, peristiwa lalu menjadi objek kajian
mengingat salah satu karakteristik sejarah yakni mencari keunikan-
keunikan yang terjadi pada peristiwa tertentu dengan penekanan
pada tradisi-tradisi relativisme.
50 Koetjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II (Jakarta: UI Press, 1990), 4. 51 Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum (Surabaya: Grasindo, t.th.), 224-
227. 52 J. R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif (Surabaya: Grasindo, t.th.), 38-39. 53 Pamusuk Eneste, Bibliografi sastra Indonesia (Magelang: Indonesiatera, 2001), v-vi. 54 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu, 105. 55 Munzir Hitami, Revolusi Sejarah Manusia (Yogyakarta: LKiS, 2009), 203.
Menimbang Sejarah sebagai Landasan Kajian Ilmiah; sebuah Wacana Pemikiran dalam Metode Ilmiah
El-Banat Vol. 7. No.1, Januari-Juni 2017 145
3. Konsep Sebab akibat. Istilah sebab akibat mengacu pada adanya
relasi, singkronisasi dan kausalitas antara kejadian yang lalu, dengan
yang sesudahnya.
4. Konsep Nasionalisme. Konsep ini merupakan salah satu titik konsep
sejarah di mana di dalamnya ada manusia dan bangsanya yang
menjadi pokok perhatian dalam kehidupan.
5. Konsep Kemerdekaan dan Kebebasan. Ia merupakan nilai dasar
yang menjadi naluri setiap manusia dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
6. Konsep Kolonialisme. Konsep ini menjelaskan naluri menguasai
satu sama lain, bangsa yang satu dengan bangsa lainya, dsb.
7. Konsep Revolusi. Konsep revolusi meunjuk pada satu pengertian
tentang peruahan sosial, politik, maupun ekonomi secara cepat dan
radikal.
8. Konsep Peradaban. Konsep yang merujuk pada suatu entitas kultural
seluruh pandangan hidup manusia yang mencakup nilai, norma,
institusi, dan pola pikir masyarakat yang terwariskan dari generasi
ke generasi.
9. Konsep Waktu. Waktu merupakan konsep esensial dari sejarah
karena titik kajian sejarah merupakan peristiwa dan perubahan dari
waktu ke waktu.
Teori-Teori dalam Penelitian Sejarah
Teori merupakan salah satu pondasi utama dari semua disiplin
keilmuan. Karena, dalam mengkaji sebuah fenomena empirik, teori akan
menjadi hukum terhadap fenomena yang diteliti. Walaupun demikian, dalam
ilmu sejarah persoalan teori di perdebatkan secara sengit oleh beberapa
aliran pemikiran, terutama empirisme dan idealisme, khusunya mengenai
penerapan general law, dan teori generalisasi.56 Adanya kontroversi dari dua
aliran ini berimplikasi pada teori-teori sejarah yang dihasilkan. Adapun
beberapa teori yang berkenaan dengan penelitian sejarah khususnya adalah
sebagaimana dikemukakan berikut:
Pertama, Teori Gerak Siklus Sejarah ( Ibnu Khaldun 1332-1406 ).
Ibnu Khaldun, teori ini mengandung beberapa poin pokok, yaitu: Pertama,
Kebudayaan merupakan realisasi masyarakat yang berlandaskan hubungan
antara manusia, lingkungan, dan keilmuan. Akhirnya, menimbulkan upaya
untuk memecahkan kesulitan-kesulitan, dengan bentuk usahanya
membangun perdagangan, industri, hukum dan sebagainya.57 Kedua, dalam
perkembangannya kebudayaan terbagi kedalam empat fase yakni;
56 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa Dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2006), 99-100. 57 Munzir Hitami, Revolusi, 204-207.
Fatchor Rahman
146 Jurnal El-Banat
Fase perintisan atau primitive; urbanisasi atau pengembangan; kemewahan
atau penikmat; dan terakhir fase kemunduran atau kehancuran.58
Kedua, Teori Daur Cultural Spiral (Giambattista Vico 1668-1744).
Menurut teori ini sejarah terbagi kedalam tiga periode. Ketiganya mencakup;
Periode Para Dewa. Di sini manusia cenderung berpikir abstrak dan
irrasional di mana mitos dijadikan pandangan hidup untuk mencapai
kehidupan yang lebih baik. Periode Kepahlawanan. Mulai terjadi perubahan
pola pikir masyarakat dari yang abstrak ke sesuatu yang material dimana
masyarakat mulai menuntut adanya sistem politik yang bersifat manusiawi
bukan dewa. Periode Manusia. Pada periode ini, pemikiran manusia lebih
meluas. Sehingga kemudian berkembanglah disiplin-disiplin pengtahuan
untuk menciptakan lingkungan persemakmuran dan struktur organisasi
dalam bentuk Negara, kerajaan dsb.59
Ketiga, Auguste Comte (1798-1857). Aguste comte juga
merumuskan fase hukum-hukum perkembangan sejarah manusia kedalam
tiga hal. Fase teologi. Dalam proses perkembangan manusia diyakini adanya
sebuah kekuatan supranatural pada semua aspek kehidupan. Fase ini
diwarnai dengan Animisme, Politeisme dan Monoteisme. Fase Metafisik.
Terjadi peralihan pemikiran manusia dari supranatural ke hukum-hukum
alam yang abstrak dan benar-benar melekat pada semua benda-benda dan
menghasilkan semua gejala. Akal merupakan media utama untuk
menjelaskannya. Fase Positifistik. Manusia mulai menempatkan sebuah
kebenaran yang absolute dan hukum-hukum yang tetap pada data empirik
dan rasional.60
Keempat, Dialektika Materialisme (Karl Marx 1818 M). Menurut
marx perkembangan masyakat dan sosial akan sangat bergantung pada pola
perekonomianya.61 Adapun Perkembangan masyarakat dibagi ke dalam lima
tahap yaitu: Masyarakat Primitif. Pola perekonomianya bersifat komunal
dan berdasarkan atas kepemilikan bersama, dalam memenuhi kebutuhan
58 Ibn Khaldūn, Al-Muqaddimah, 133-137. 59 Untuk lebihnya, baca: Giambattista Vico, The New Science of Giambattista Vico, terj.
Thomas Ghoddart, et. al. (USA: Cornell University Press, 1984). 60 Baca: Auguste Comte, A Course of Positive Philosophy (T.t.: Kartindo, t.th.), 10-24. 61 Dialektika menurut Hegel: berarti sesuatu itu hanya benar apabila dilihat dengan seluruh
hubungannya. Ia juga dirumuskan sebagai teori tentang persatuan hal-hal yang bertentangan.
Contoh yang tepat untuk menjelaskan dialektika adalah dialog. Dalam setiap dialog, terdapat
sebuah tesis, yang kemudian melahirkan anti-tesis, dan selanjutnya muncul sintesis. Proses
demikian berulang terus menerus. Baca: Rius, Marx Untuk pemula (Yogyakarta: Insist, 2000),
70-71. Namun hal ini tidak seperti itu menurut Marx, menurutnya ia: Manusia selalu terkait
dengan hubungan-hubungan kemasyarakatan yang melahirkan sejarah. Marx membalik
dialektika ide Hegel menjadi dialetika materi. Apabila Hegel menyatakan bahwa kesadaranlah
yang menentukan realitas, maka Marx mendekonstruksinya dengan mengatakan bahwa
praksis materiallah yang menentukan kesadaran. Baca: Donny Gahral Adian, Percik
Pemikiran Kontemporer (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), 47.
Menimbang Sejarah sebagai Landasan Kajian Ilmiah; sebuah Wacana Pemikiran dalam Metode Ilmiah
El-Banat Vol. 7. No.1, Januari-Juni 2017 147
perekonomianya pekerjaan kolektif dalam berburu dan mengumpulkan
makanan di llakukan secara bersama. Masyarakat Kuno. Terjadi proses
produksi dan perdagangan, seiring berkembangya produksi maka sedikit
demi sedikit dibutuhkan pekerja yang kemudian terbentuk system
perbudakan. Masyarakat Feodal. Masyakat feodal lebih dulu lahir di desa,
seiring dengan produksi pertanian maka kemudian terciptalah tuan-tuan
tanah, dan proses perkembangan perbudakan semakin berkembang.
Masyarakat Kapitalis. Kaum saudagar memproduksi barang sebanyak
mungkin dan menyediakan tempat kerja bagi kaum-kaum budak dan buruh
tadi, akhibatnya lahirlah kelas-kelas sosial yaitu kelas borjuis dan kelas
buruh. Masyarakat Komunis. Kesenjangan sosial akibat dominasi kaum
bojuis dan kelas sosialnya, melahirkan komunisme untuk melawan kapitalis
dan menghapus kelas- kelas sosial yang di ciptakan tadi.62
Kelimat, Teori Siklus. Teori siklus diinisiasi oleh dua tokoh, yaitu
Oswald Spengler (1880-1936) dan Arnold Joseph Toynbee (1889-1975).
Pertama Oswald Spengler, ia menilai sejarah merupakan sebuah serangkaian
peristiwa transformasinya tak berkesudahan. Menurutnya sejarah pasti akan
melalui empat fase. Yaitu: Fase Pertumbuhan, yang merupakan proses awal
lahirnya kebudayaan Fase Perkembangan, Fase kejayaan, dan terakhir Fase
kemuduran, proses seperti ini kemudian juga akan dialami oleh manusia
seperti masa muda, masa tua, masa puncak, sampai masa tua.63 Adapun
menurut Arnold Joseph Toynbee sejarah dan hukum-hukumnya pasti akan
melewati 4 fase. Yakni lahir, tumbuh, pecah atau mandek, dan hancur.
Proses itu sangat dipengaruhi interaksi antara manusia, alam, dan
lingkungannya.64 Toynbee menegaskan bahwa sejarah manusia sama halnya
dengan peradaban, ia akan mengalami siklus, mulai dari kemunculan sampai
pada kehancuran.
Kemunculan, pertumbuhan, dan kehancuran peradaban dikaitkan
dengan sebuah hubungan, yaitu: adanya kalangan pemegang kekuasaan. Ada
sebuah istilah minoritas kreatif yang menjadi penentu peradaban, dan
sejarah. Pada fase kemunduran, yang disebabkan tidak berkembangnya
kaum minoritas kreatif dalam menhadapi tantangan melalui inovasi.
Kemudian ada istilah minoritas dominan yang menyelewengkan
kekuasaannya. Intinya adalah kehancuran dimulai dari mandulnya kreativitas
manusia. Selain itu Toynbee juga mengingatkan kita kepada hasil studinya
yang menyatakan tak ada peradaban yang kebal terhadap kemerosotan tetapi,
62 Karl Marx, and Friedrich Engels, The Communist Manifesto (T.t.: The Floating Press,
2009), 146. Baca juga: Doyle Paul Jhonson, Teori sosiologi Klasik dan Modern, terj. Robert
M. Z. Lawang (Jakarta: Gramedia,1986). 63 H. Stuart Hughes, Oswald Spengler (New Jersey: Transaction Publisher, 1992), 157-160. 64 Supratikno Rahardjo, Peradaban Jawa; Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi
Jawa Kuno (Jakarta: Komunitas Bambu, 2002), 5-12.
Fatchor Rahman
148 Jurnal El-Banat
ada upaya yang bisa dilakukan untuk tetap menjaga eksistensi dengan
mengembangkan inovasi dan kreativitas.65
Penutup
Secara filosofis sejarah merupakan sebuah kumpulan peristiwa yang
terus bergulir. Karenanya, dalam proses pengisahannya, sangat erat
kaitannya dengan sikap, pendekatan, atau orientasi hidup manusia.
Sebabnya, fakta-fakta sejarah hanyalah ibarat kepingan-kepingan puzzle
berserakan dimana-mana. Sejarawan berperan merangkai kembali kepingan-
kepingan ini, dengan baik dan benar.
Karenanya secara metodologis, penyusunan sejarah haruslah
dirangkai dengan sebuah metodologi. Jika tidak, ia terancam akan terjebak
dalam sebuah lingkaran sejarah naratif. Karenanya, untuk setiap peristiwa
sejarah yang menyangkut pelbagai aspek dan dimensi waktu yang berbeda,
diperlukan kemampuan, dan alat-alat analitis yang berbeda pula. Oleh karena
itu, muncul perkembangan baru dalam penulisan sejarah, khususnya dalam
bidang metodologi penelitian ataupun penulisannya. Dari wilayah
metodologis ini dalam perkembangannya. Penelitian ini telah mendapatkan
bentuk, proses, ataupun langkah-langkah yang semakin mendekati
kesempurnaan.
Daftar Rujukan
Abdurahman, Dudung. Metodologi Penelitian Sejarah. Yohyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2007.
Adam, Asvi Warman. Pelurusan Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Ombak,
2007.
Adian, Donny Gahral. Percik Pemikiran Kontemporer. Yogyakarta:
Jalasutra, 2006.
Ali, R. Moh. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Yogyakarta: LKiS, 2005.
Ankersmit, F.R. Refleksi Tentang Sejarah, Pendapat-pendapat Modern
tentang Filsafat Sejarah. Jakarta: Gramedia, 1987.
Anwar, Yesmil, et. al. Pengantar Sosiologi Hukum. Surabaya: Grasindo, t.th.
Asmadi. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC, 2005.
Bakker, JWM. Pustaka Filsafat Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar.
Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Byrskog, Samuel. Story as History-History as Story: The Gospel Tradition
in the Context of Ancient Oral History. German: Mohr. Siebeck,
2001.
Comte, Auguste. A Course of Positive Philosophy. T.t.: Kartindo, t.th.
65 Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan Sosial (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), 49-57.
Baca juga: Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada Media, 2004), 173-
174.
Menimbang Sejarah sebagai Landasan Kajian Ilmiah; sebuah Wacana Pemikiran dalam Metode Ilmiah
El-Banat Vol. 7. No.1, Januari-Juni 2017 149
Darmodiharjo, Darji, et. al. Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2006.
Eneste, Pamusuk. Bibliografi Sastra Indonesia. Magelang: Indonesiatera,
2001.
FIP-UPI, Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan. Ilmu dan Aplikasi
Pendidikan Bagian 3: Pendidikan Disiplin Ilmu. T.t.: IMTIMA,
2007.
Frederick, William H. et. al. Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan
Sesudah Revolusi. Jakarta: LP3ES, t.th.
Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah, terj. Nogroho Notosusanto. Jakarta: UI
Press, 1986.
Hitami, Munzir. Revolusi Sejarah Manusia. Yogyakarta: LKiS, 2009.
Hughes, H. Stuart. Oswald Spengler. New Jersey: Transaction Publisher,
1992.
Indonesia, Yayasan Obor. Wacana: jurnal ilmu pengetahuan budaya, Teori
dan Metodologi Ilmu Budaya. vol. 9, no.1 (April 2007).
Jhonson, Doyle Paul. Teori sosiologi Klasik dan Modern. terj. Robert M. Z.
Lawang. Jakarta: Gramedia,1986.
Kartodirjo, Sartono. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia:
Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia, 1982.
______ Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:
Gramedia, 1993.
Keraf, A. Sonny.et. al. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis.
Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Kerlinger, Fred. Foundations of Behavioral Research. Orlando: Harcourt
Brace, 1986.
Khaldūn, Ibn. Al-Muqaddimah. Beyrūt: Dār al-Fikr, t.th.
Koetjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: UI Press, 1990.
Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiar Wacana, 1987.
______ Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya,
2005.
Latief, Juraid A. Haji Hayyun Seorang Imam dan Pejuang. Makassar:
Universitas Hasanuddin, 2004.
Lauer, Robert H. Perspektif tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Rineka
Cipta, 2010.
Lohanda, Mona. Sumber Sejarah dan Penelitian Sejarah. Jakarta: Lembaga
Penelitian UI, 1998.
Ma’arif, Ahmad Syafii. Ibn Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan
Timur. Jakarta: GIP, 1996.
Marx, Karl. Et. al. The Communist Manifesto. T.t.: The Floating Press, 2009.
Mestika, Zed. Menggugat Tirani Sejarah Nasional suatu Telaah
Pendahuluan Tentang Wacana Sejarah Nasional dalam Perspektif
Fatchor Rahman
150 Jurnal El-Banat
Perbandingan, Makalah. Disampaikan dalam Konfrensi Nasional
Sejarah Indonesia VII. Jakarta. 28-31 Oktober 2001.
Nurdholt, Henk Schulte. et. al. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Poespoprodjo, W. Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu.
Bandung: Remadja Karya, 1987.
Pratono, Suhartono W. Teori dan Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2010.
Raco, J. R. Metode Penelitian Kualitatif. Surabaya: Grasindo, t.th.
Rahardjo, Supratikno. Peradaban Jawa; Dinamika Pranata Politik, Agama,
dan Ekonomi Jawa Kuno. Jakarta: Komunitas Bambu, 2002.
Rius. Marx Untuk pemula. Yogyakarta: Insist, 2000.
Riyanto, Yatim. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya: SIC, 1996.
Sjamsuddin, Helius. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak, 2007.
Supriatna, Nana, Sejarah untuk Kelas X SMA. T.t.: Grafindo Media Pratama,
2006.
Sztompka, Piotr. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media, 2004.
Teeuw, A. Sastra Dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. T.t.: Pustaka
Jaya, 1984.
Tjandrasasmita. Uka, Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Gramedia, 2009.
Ustman, Hasan. Metodologi Penelitian Sejarah. terj. A. Muin Umar, et. al.
Jakarta: Kemenag, 1986.
Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Jakarta:
Indeks, 2008.
Vico, Giambattista. The New Science of Giambattista Vico. terj. Thomas
Ghoddart, et. al. USA: Cornell University Press, 1984.