menjama salat dalam kondisi...
TRANSCRIPT
MENJAMA′ SALAT DALAM KONDISI MACET
(Analisis Hasil Mudzakarah MUI DKI Jakarta Tahun 2015)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
OLEH:
RATNA PUSPITASARI
NIM: 1111043100030
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB DAN FIKIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2016 M
v
ABSTRAK
Ratna Puspitasari, NIM: 1111043100030 MENJAMAʹ SALAT DALAM
KONDISI MACET (Analisis Hasil Mudzakarah MUI DKI Tahun 2015) Program
Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi Perbandingan Mazhab
Fikih, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1437 H/ 2016 M.
Penelitian dalam skripsi ini dilatarbelakangi oleh sebuah fenomena bahwa
menjama′ salat yang dilakukan dalam keadaan macet adalah suatu hal yang asing
di dengar dalam masyarakat kita. Dalam hal ini penulis mengangkat hasil analisis
dalil yang dijadikan dalil pada program Mudzakarah MUI DKI yang membahas
tentang menjama′ salat dalam kondisi macet.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa menjama′ salat dalam keadaan
macet ada beberapa pandangan. Ada yang memperbolehkan dan adapula yang
melarang. Tentunya dengan berbagai dalil dan alasan masing-masing yang kuat
yang merujuk kepada hadits Nabi dan al-Qur’an. Namun dalam hal ini sebagai
penulis, dituntut untuk jeli dalam menganalisis dan mengambil sebuah
kesimpulan. Adapun alasan yang membolehkan menjamaʹ salat dalam keadaan
macet yaitu tidak dijadikan sebagai kebiasaan dikarenakan lebih diutamakan tepat
waktu sebagaimana alasan yang digunakan ulama untuk tidak memperbolehkan
menjamaʹ salat dalam keadaan macet.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif dengan teknik analisis
data kualitatif. Sumber data yang digunakan adalah sumber bahan primer,
sekunder dengan menggunakan metode pengumpulan data penelitian kepustakaan.
Kata Kunci : Menjamaʹ Salat, Hasil Mudzakarah MUI DKI, Dalil
Hukum
Pembimbing : Prof. Dr. H. Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Lc.,MA.
Daftar Pustaka : Tahun 1973 s.d Tahun 2015.
vi
بسم اهلل الر حمن الر حيم
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur bagi Allah SWT, senantiasa
memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kepada kita semua. Selanjutnya
salawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi dan Rasul kita
Muhammad SAW, dan segenap keluarganya, sahabat-sahabat nya serta ummat
nya sepanjang zaman.
Berkat dan rahmat hidayah dari Allah SWT, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiah dan judul “MENJAMA′ SALAT DALAM
KONDISI MACET ANALISIS HASIL MUDZAKARAH MUI DKI
JAKARTATAHUN 2015” dengan baik.
Selama penulisan skripsi ini penulis banyak mengalami kesulitan dan
hambatan untuk mencapai data dari referensi. Namun berkat kesungguhan hati
dan bantuan dari berbagai pihak, sehingga segala kesulitan itu dapat teratasi.
Untuk ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Fahmi Ahmadi,M.Si, Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum dan
Ibu Siti Hanna, S.Ag, Lc, MA Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
3. Prof. Dr.H. Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Lc., MA. selaku pembimbing
skripsi yang telah banyak memberi arahan, saran serta petunjuk dalam
menyelesaikan skripsi ini.
4. Dr. Khamami Zada, MA dan Dr. Muhammad Taufiki, M.Ag, yang telah
menjadikan bagian dari Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum dalam
masa jabatan sebelum Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum periode
baru.
5. Para Dosen Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis semasa
kuliah, semoga amal kebaikannya mendapatkan balasan dari Allah Swt.
6. Seluruh staf dan karyawan Perpustakaan Utama dan staf karyawan fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanan yang baik
dikala penulis mengumpulkan data dan materi skripsi.
7. Kepada keluarga tercinta terutama ibu dan ayah penulis, serta kakakku yang
selalu memberikan dukungan kepada penulis ini sehingga penulis bisa
menyelesaikan skripsi ini.
8. Kepada sahabat, serta teman-teman yang seperjuangan mahasiswa PMH
(Perbandingan Mazhab Hukum) angkatan 2011, khususnya Resti, Dian Rana,
Milah, U Zainullah, Qoharuddin, Mia, Indah, Sasa serta teman-teman yang lain
yang selalu memberikan semangat, dukungan, saran dan masukan kepada
penulis. Terima kasih teman-teman, dengan kebersamaan kita selama ini dalam
suka dan duka. Bagi penulis itu adalah pengalaman berharga yang takkan
pernah terlupakan.
viii
9. Seluruh pihak yang terkait dengan penyusunan skripsi ini yang penulis tidak
bisa sebutkan satu persatu. Semoga Allah senantiasa meridhai setiap langkah
kita.
Semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat
khususnya bagi penulis dan bagi para pembaca pada umumnya. Amin.
Jakarta: 16 Juni 2016 M
11 Ramadhan 1437 H
Ratna Puspitasari
ix
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .... ......................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 6
D. Tinjauan Kajian Terdahulu........................................................... 7
E. Metode Penelitian ......................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ................................................................... 11
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG SALAT JAMAʹ
A. Pengertian Salat ........................................................................... 14
B. Pengertian Salat Jamaʹ .................................................................. 15
C. Dasar Hukum Salat Jama′ ............................................................ 16
D. Waktu-waktu diperbolehkannya Salat Jama′ ............................... 18
E. Sebab-sebab diperbolehkannya Salat Jama′ ................................ 20
BAB III : TINJAUAN TERHADAP MUDZAKARAH MUI DKI JAKARTA
A. Sejarah Singkat MUI DKI Jakarta ............................................... 41
B. Metode Istinbat Hukum MUI DKI Jakarta Dalam Mudzakarah .. 49
x
C. Mudzakarah .................................................................................. 55
1. Pengertian Mudzakarah .......................................................... 55
2. Kedudukan Hasil Mudzakarah di Lembaga MUI DKI
Jakarta .................................................................................... 56
BAB IV : ANALISIS DALIL HUKUM HASIL MUDZAKARAH MUI DKI
JAKARTA MENGENAI MENJAMA′ SALAT DALAM
KONDISI MACET
A. Hasil Mudzakarah MUI DKI Jakarta tentang Hukum Menjamaʹ
Salat dalam Kondis Macet............................................................ 58
B. Analisis Dalil Hukum yang digunakan MUI DKI Jakarta dalam
Hasil Mudzakarahnya tentang Menjama′ Salat dalam Kondisi
Macet.... ........................................................................................ 65
C. Pandangan Ulama terhadap Hasil Mudzakarah MUI DKI Jakarta
Tentang Menjamaʹ Salat Dalam Kondisi Macet .......................... 73
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................... 80
B. Saran-saran ................................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 82
LAMPIRAN ......................................................................................................... 86
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di zaman yang modern seperti sekarang ini, bukan hanya ilmu
pengetahuan dan teknologi yang berkembang, namun seiring berjalannya waktu,
banyak pula permasalahan-permasalahan yang berkembang dari segala bidang
dalam kehidupan, baik dari bidang sosial, politik, hukum, ekonomi, termasuk juga
bidang ibadah. Kehidupan yang semakin menyibukkan sebagian orang dalam
urusan duniawinya, terkadang membuat sebagian orang tersebut kehilangan waktu
senggangnya untuk beribadah kepada sang pencipta, khususnya ibadah salat lima
waktu.
Kehidupan semacam ini sudah terlihat langsung dibeberapa tempat,
khususnya di kota-kota besar. Sebagai contohnya kota Jakarta, kota yang padat
penduduknya, kota yang menjadi pusat pemerintahan Indonesia, belum lagi
sebagai pusat ekonomi yang sering didatangi orang dari daerah lain. Di Jakarta,
kemacetan adalah hal yang sudah biasa dihadapi oleh penduduknya atau
penduduk daerah sekitarnya. Terkadang, walaupun jarak yang harus ditempuh
sebenarnya tidak terlalu jauh, namun karena kemacetan jarak tersebut harus
ditempuh dengan waktu yang lama. Dengan demikian, adanya kemacetan menjadi
salah satu faktor penyebab berkurangnya waktu salat, bahkan bisa menjadikan
mereka yang bekerja, salat tidak pada waktunya. Tentunya hal ini menjadi
permasalahan yang berkembang dalam bidang ibadah.
2
Dari semua pendapat ulama, hukum mengerjakan salat lima waktu adalah
fardhu ‘ain, hal ini bersumber dari al-Quran, sunah, dan ijma1. Maka demikian
salat lima waktu harus selalu dilaksanakan, tidak boleh ditinggalkan apapun
alasannya, kecuali bagi orang yang telah meninggal dunia. Dan meninggalkan
salat adalah perkara dosa sebagaimana yang telah dijelaskan oleh al-Sya’rawi
dalam kitabnya.2
Namun, agama Islam adalah agama yang memberikan kemudahan pada
penganutnya, sehingga ketika seseorang berada dalam keadaan yang membuatnya
sulit beribadah, maka Islam memberikan jalan keluar berupa keringanan.
Dalam bidang ibadah salat, ada beberapa keringanan yang dikhususkan
bagi mereka yang mendapat kesulitan ketika hendak melakukan salat lima waktu,
tetapi agama telah menentukan keadaan yang seperti apa yang bisa menjadikan
seseorang mendapatkan keringanan tersebut. Salah satu keadaan yang
diperbolehkan agama untuk mendapatkan keringanan dalam melaksanakan salat
adalah karena adanya hujan yang lebat, hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam kitab kifayatul akhyar, kitab fikih mazhab Syafi’i terdapat keterangan
tentang menjama′ salat ketika hujan yaitu “Dan bagi orang yang berada di rumah
diperbolehkan melakukan jama′ antara dua salat lantaran ada hujan, dan jama′ itu
dilakukan pada waktu yang pertama.3
1Ibnu Rusydi, Bidāyah al-Mujtahid, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Islamiyah, t.th), Juz. 1, h.89. 2Muhammad Muttawally al-Sya’rawi, Tafsir Āyāt al-Ahkām, (Cairo: al-Maktabah al-
Taufiqqiyah,tt), Jilid. 1, h. 103. 3Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini al-Hushni al-Damasqi al-Syafi’i, Kifayatul
Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Juz. 1, (Damaskus: Darul Khair, 1994 H), h. 37.
3
Selain hujan, ada keadaan yang bisa menyulitkan orang untuk melakukan
salat yaitu musafir yang sedang berada di perjalanan. Mereka dalam kondisinya
seperti itu diberikan keringanan berupa diperbolehkannya untuk melakukan salat
jama′ atau melakukan salat qashar.
Salat jama′ yaitu salat yang digabungkan antara Zuhur dan Ashar dengan
cara dimajukan ke waktu Zuhur (takdîm) atau menggabungkan antara kedua salat
itu dengan cara diakhirkan ke waktu Ashar (takhîr). Salat lainnya yang bisa
dijama′ adalah Maghrib dan Isya4. Sedangkan salat qasar adalah meringkas,
menarik salat Zuhur ke salat Ashar atau sebaliknya, yaitu melakukan salat Ashar
pada waktu Zuhur atau sebaliknya namun dengan jumlah rakaat yang berbeda,
yaitu dua rakaat. Salat lain yang bisa diqashar adalah salat Isya5.
Dalam melaksanakan salat jama′ atau qashar, tidak semua perjalanan
diperbolehkan. Ulama fikih telah menerangkan berapa jumlah jarak tempuh
perjalanan bagi musafir yang diberikan keringanan untuk melaksanakan salat
dalam perjalanan atau salat safar. Kitab-kitab hadits dan fikih telah menjelaskan
jarak tempuh perjalanan yang menyebabkan seseorang bisa disebut musafir.6 Dan
para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
4Abd al-Rahmān al-Jazīrī, al-Fiqh „alā Madzāhib al-„Arba‟ah, Penerjemah Chatibul
Umam dan Abu Hurairah, Fikih Empat Mazhab, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1996),Cet. 1, h. 205. 5Abdurrahman al-Jazîri, al-Fiqhu „alā al-Madzāhib al-„Arba´ah, Penerjemah Chatibul
Umam dan Abu Hurairah,h. 206. 6Muhammad ibn Isma’il abu Abdullah al-Bukhary al-ju’fi, Shahih Bukhari, Cet. 1,
(Madinah: Maktabah al-Dar, 1405 H), h. 142.
4
Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas timbulah permasalahan.
Kemacetan yang terjadi di kota-kota besar telah membuat perjalanan yang jarak
tempuhnya dekat menghabiskan waktu tempuh yang lama, dengan demikian
apakah kondisi seperti ini dapat dijadikan alasan yang syar’i untuk mendapatkan
keringanan? apakah boleh menjama′ atau mengqasar salat karena kemacetan
semacam ini?
Pembahasan tentang salat jama′ dalam kitab fiqh hanya untuk orang-orang
yang sedang musafir dan sedang dalam kondisi hujan, meskipun begitu ada
batasan-batasannya. Namun apakah kondisi macet bisa dimasukan kedalam
kategori musafir dan dikaitkan dengan kondisi hujan? Disinilah umat Islam perlu
teliti dan cermat juga hati-hati dalam mengambil hukum.
Sebelumnya permasalahan ini telah ditanyakan kepada Majlis Ulama
Indonesia (MUI) DKI Jakarta melalui program mudzkarahnya. Dengan beberapa
alasan, secara umum MUI DKI Jakarta memperbolehkan jama′ salat dengan
sengaja, salah satu alasan yang diperbolehkannya karena dalam kondisi macet.
Namun dari hasil mudzakarah tersebut tidak tergambar penjelasan yang jelas dari
dalil-dalil yang dipaparkan. Dengan demikian, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian terkait masalah yang telah diterangkan di atas, apalagi masalah ini
dalam ruang lingkup ibadah yang sebenarnya kaku dalam menerima
pembaharuan. Penulis akan berusaha memberikan penjelasan terhadap
permasalahan ini dalam bentuk karya ilmiah yaitu berupa skripsi yang berjudul
“MENJAMA′ SALAT DALAM KONDISI MACET (Analisis Hasil
Mudzakarah MUI DKI Jakarta Tahun 2015)”
5
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berkaitan dengan latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan di
atas, agar permasalahan yang akan penulis bahas tidak meluas, maka penulis
membatasinya hanya sekitar mengenai fikih ibadah yaitu menjamaʹ salat dalam
kondisi macet dikhususkan dalam pembahasan dalil-dalil yang digunakan MUI
DKI Jakarta dalam menetapkan hukum menjamaʹ salat dalam kondisi macet.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada pembatasan masalah di atas dan dalam rangka
mempermudah penulis dalam menganalisa permasalahan, penulis merumuskan
masalah pada skripsi ini sebagai berikut:
1) Bagaimanakah dalil yang terdapat dalam hasil Mudzakarah MUI DKI Jakarta
dalam menetapkan hukum menjamaʹ salat dalam kondisi macet?
2) Bagaimanakah penjelasan ulama yang terdapat dalam hasil Mudzakarah MUI
DKI Jakarta dalam menetapkan hukum menjamaʹ salat dalam kondisi macet?
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dalam penulisan ini, ada tujuan yang hendak dicapai oleh penulis, dan
tujuan yang dimaksud adalah:
1.) Untuk mengetahui dalil yang terdapat dalam hasil Mudzakarah MUI DKI
Jakarta dalam menetapkan hukum menjamaʹ salat dalam kondisi macet.
2.) Untuk mengetahui penjelasan ulama yang terdapat dalam hasil Mudzakarah
MUI DKI Jakarta dalam menetapkan hukum menjamaʹ salat dalam kondisi
macet.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Manfaat Teoritis:
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan bahan
masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum Islam
khususnya fikih ibadah mengenai menjamaʹ salat dalam kondisi macet.
b. Manfaat Praktis:
1. Bagi Akademis, hasil penelitian ini merupakan informasi cukup penting
dalam bidang ibadah ketika melakukan jama′ salat dalam kondisi macet.
2. Bagi Masyarakat Umum, penulisan ini juga bermanfaat bagi masyarakat
umum, yaitu pengetahuan mengenai salat jama′ dalam kondisi macet,
yang mana kondisi tersebut sudah sering dialami oleh masyarakat umum.
7
3. Bagi Pemerintah, dapat menjadi masukan bagi pemerintah agar dapat
mengatasi permasalah kemacetan sehingga dapat memudahkan orang
Islam dalam melaksanakan salat lima waktu sesuai waktu normalnya.
D. Tinjauan Kajian Terdahulu
Penulis melakukan tinjauan terhadap kajian-kajian terdahulu, diantaranya
adalah skripsi yang berjudul “Hukum Menjama′ Salat Tanpa Sebab” (perspektif
Sunni-Syi‟i) yang ditulis oleh Dede Sadeli, Fakultas Syariah Dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2009. Dalam skripsi
ini Dede Sadeli mengungkapkan perbandingan hukum menjama′ salat menurut
madzhab sunni dan syi’i. Skripsi tersebut dijelaskan bahwa Menurut pendapat
Syi’ah salat jama dapat dilakukan tanpa harus ada sebab seperti wuquf di Arafah,
mabit di Muzdalifah, adanya hujan lebat, bepergian, dan sakit. Artinya bahwa
hukum menjama′ salat tanpa sebab dibolehkan dikalangan Syi’ah. Sedangkan
Bagi Mazhab Sunni menjama′ salat tanpa sebab tidak dibolehkan, karena salat
jama hanya diperbolehkan ketika adanya sebab-sebab tertentu, seperti yang telah
disebutkan mazhab Syi’ah.
Penelitian selanjutnya yaitu, “Konsep Ibnu Sabil dan Musafir Perspektif
Hukum Islam”(Studi Tentang Praktek Salat Qasar Anak Indekos) yang ditulis
oleh Ahmad Fauzi Ridwan,Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2013. Skipsi ini Ahmad Fauzi Ridwan
mengungkapkan tentang konsep ibnu sabil dan musafir serta implikasinya
terhadap pelaksanaan hukum salat qashar bagi anak indekos menurut imam
8
mazhab yang empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah). Skripsi
tersebut disebutkan bahwa seorang yang indekos harus memenuhi syarat agar bisa
dikatakan ibnu sabil dan musafir, diantaranya yaitu: Menurut Mazhab Hanafiyah
berpendapat bahwa bagi seseorang yang sedang melakukan perjalanan dengan
jarak tempuh mencapai 3 hari 3 malam (96 km), baik perjalanannya untuk ibadah
atau maksiat, maka ia wajib untuk mengqasar salatnya. Menurut Mazhab
Malikiyah berpendapat bahwa untuk seseorang yang melakukan perjalanan
dengan jarak tempuh mencapai 4 barid (48 mil atau 77,232 KM), Dan kategori
perjalanannya bukan untuk maksiat, maka hukum mengqashar salat baginya
adalah sunnah muakkad. Akan tetapi hukum tersebut menjadi terhapus jika berniat
untuk tinggal selama 4 ditempat tujuannya dan setelah 4 hari tersebut berlalu ia
wajib menyempurnakan salatnya. Mazhab Syafi’iyah berpendapat seorang
disunnahkan untuk mengqashar salat dengan ketentuan sesorang tersebut sedang
dalam proses perjalanan yang jarak tempuhnya mencapai 2 Marhalah (48 mil atau
77,232 KM), dengan tujuan perjalannya bukan untuk maksiat. Mazhab Hanabilah
yaitu dengan syarat dan ketentuan bahwa ia sedang melakukan perjalanan dan
jarak tempuhnya mencapai 4 barid dan tujuan perjalannya untuk ibadah bukan
maksiat.
Dari skripsi yang telah diuraikan di atas, penulis berpendapat bahwa
skripsi yang ditulis ini berbeda dengan skripsi di atas. Jika skripsi pertama fokus
pembahasanya mengenai perbandingan hukum menjama′ salat menurut madzhab
Sunni dan Syi’i. Kemudian skripsi kedua fokus pembahasannya mengenai
konsep ibnu sabil dan musafir serta implikasinya terhadap pelaksanaan hukum
9
salat qashar bagi anak indekos menurut imam mazhab yang empat (Hanafiyah,
Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah). Dalam penelitian ini penulis
memfokuskan permasalahan tentang hukum menjamaʹ salat dalam kondisi macet.
E. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam menyusun penulisan ini,
penulis akan menggunakan metode:
1. Pendekatan Masalah dan Jenis Penelitian
Dari segi metode penelitian hukum, dengan melihat objek dari penelitian
ini tertuju pada penelitian suatu putusan, maka kajian ini termasuk pada penelitian
hukum normatif. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, yang dimaksud
dengan penelitian hukum normatif yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan
meneliti bahan studi pustaka atau data sekunder belaka.7
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis yang
dilakukan melalui pendekatan kualitatif. Metode deskriptif analisis yang
dilakukan melalui pendekatan kualitatif. Metode deskriptif analisis yaitu metode
yang menggunakan dan memberikan analisa terhadap kenyataan di lapangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan penelitian yang menggunakan pendekatan
kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis dan lisan dari orang perilaku yang diteliti.8
7Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan,
(Jakarta: CV. Rajawali, 1985), h. 14. 8Sudarman Damin, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), Cet. 1, h.
51.
10
Dalam hal ini juga penulis menggunakan metode wawancara untuk
mengumpulkan data dan informasi dari informan.
2. Sumber dan Jenis Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data skunder.
Data Primer dalam penelitian inia dalah hasil Mudzakarah MUI DKI Jakarta
tentang menjama′ salat dalam kondisi macet, al-Qur’an al-Karim, kitab-kitab
hadits, seperti: Sahih Muslim karya Imam Muslim al-Naisaburi, Sahih al-Bukhari,
karya al-Bukhari dan kitab-kitab fikih ibadah, dan lain-lain. Dan hasil wawancara
para ulama Mudzakarah MUI DKI Jakarta tentang menjama′ salat dalam kondisi
macet.
Data sekunder dalam penelitian ini adalah berbagai dokumen yang
berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian yang didapat dari buku-buku,
artikel ilmiah, berita-berita di media masa, dan lainnya.9
a. Teknik Pengumpulan Data
Dalam teknik pengumpulan data penulis menggunakan teknik Penelitian
kepustakaan (library research), yaitu dengan cara menelusuri buku-buku dan
literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dan menghimpun
seluruh data proses ulama Mudzakarah MUI DKI Jakarta terhadap penetapan hasil
Mudzakarahnya Tahun 2015, tentang jama′ salat dalam kondisi macet. Dan
wawancara langsung dengan para ulama MUI DKI Jakarta.
9J. Moelang, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosada Karya, 1997), h.
112-116.
11
b. Metode Analisis Data
Teknik analisis data adalah proses penyederhanaan data kedalam bentuk
yang lebih mudah dibaca dan diinterpensikan, atau mudah dipahami dan
diinformasikan kepada orang lain.10
Dalam menganalisis data yang telah
dihimpun, penulis menggunakan metode deskriptif analisis, dengan memaparkan/
menginterprestasikan data-data yang diperoleh kemudian menginterprestasikan,
dan dilakukan analisa terhadap Dalil Hasil Mudzakarah MUI DKI Jakarta tentang
Jama′ Salat Dalam Kondisi Macet dengan hasil yang diperoleh penulis baik dari
literatur-literatur atau dari dokumen-dokumen lainnya yang membahas tentang
hukum menjama′ salat menurut hokum Islam.
c. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan dan penyusunan skripsi berpedoman pada
prinsip-prinsip yang telah diatur dan dilakukan dalam buku pedoman penulisan
skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2012.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penyusunan skripsi ini, penulis membaginya kepada
lima bab, yang garis besarnya penulis gambarkan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,
pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
10
Sugiono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Bandung: Alfabeta, 2004), h.
224.
12
tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Dengan berangkat dari pendahuluan kita sudah mengetahui garis besar
penelitian bab pertama ini adalah sebagai pengantar. Adapun isi
penelitian seluruh tertuang dalam bab II, III, IV. Inti dari penelitian
seluruhnya tertuang dalam bab V, berisi kesimpulan dan saran.
BABII TINJAUAN UMUM TENTANG SALAT JAMA′
Bab II meliputi pengertian salat jama′, dasar hukum salat jama′, waktu-
waktu diperbolehkannya salat jama′, dan sebab-sebab diperbolehkannya
salat jama′,
BABIII TINJAUAN TERHADAP MUDZAKARAH MUI DKI JAKARTA
Dalam Bab III ini diuraikan penjelasan mengenai sejarah singkat MUI
DKI Jakarta, Metode istinbat hukum MUI DKI Jakarta dalam
Mudzakarahnya, Pengertian Mudzakarah, dan mengenai kedudukan
Mudzakarah dalam lembaga MUI DKI Jakarta.
BAB IV DALIL HUKUM HASIL MUDZAKARAH MUI DKI JAKARTA
MENGENAI MENJAMA′ SALAT DALAM KONDISI MACET
Dalam Bab IV inidijelaskananalisispenulismengenaiHasil Mudzakarah
MUI DKI Jakarta tentang hukum menjamaʹ salat dalam kondisi macet,
dalil-dalil yang digunakan dalam penetapkan hukum membolehkan
menjama′salat dalam kondisi macet berdasarkan hasil Mudzakarah MUI
DKI Jakarta, dan pandangan ulama terhadap Mudzakarah MUI DKI
Jakarta tentang menjamaʹ salat dalam kondisi macet.
13
BAB V PENUTUP
Dalam Bab V ini penulis memberikan beberapa kesimpulan dan
menyampaikan beberapa saran yang berhubungan dengan kajian
penulisan.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG SALAT JAMAʹ
A. Pengertian Salat
Salat berasal dari kata صالة -يصلى -صلى yang berarti berdoa dan
mendirikan sembahyang.1 Sedangkan menurut istilah salat adalah ibadat yang
tersusun dari beberapa perkataan dan beberapa perbuatan yang dimulai dengan
takbir dan disudahi dengan salam, dan memenuhi beberapa syarat yang
ditentukan.2
Sedangkan pengertian salat menurut istilahpara ahli fikih adalah:
3أقوال وأفعال مفتتحة بالتكرب حمتتمة بالتسلم يتعبد هبا بشرائط خمصوصة.
Artinya:“Perkataan (bacaan-bacaan) dan perbuatan (gerakan-gerakan) yang
dimulai dengan takbiratul ihram, diakhiri dengan salam dengan syarat-
syarat yang tertentu”.
Pengertian ini mencakup semua salat yang diawali dengan takbiratul ihram
dan di akhiri dengan salam.4
1Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), Edisi ke. 2, h. 792. 2Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru, 1989), h. 64.
3Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Salat, (Jakarta: Bulan Bintang,
1983), h. 62. 4Abd al-Rahmān al-Jazīrī, al-Fiqh „alā Madzāhib al-„Arba‟ah, Penerjemah Chatibul
Umam dan Abu Hurairah, Fikih Empat Mazhab, h. 9.
15
B. Pengertian Salat Jamaʹ
Jamaʹ secara bahasa berasal dari kata جمعا –يجمع -جمع yang berarti
mengumpulkan atau menghimpun.5 Sedangkan menurut istilah salat jamaʹ ialah
mengumpulkan atau melaksanakan dua salat yang dikerjakan pada satu waktu,
atau mengumpulkan dua salat dalam satu waktu secara berketerusan.6
Misalnya: antara salat Zuhur dengan Asar dikerjakan pada waktu Zuhur
saja atau dikerjakan pada waktu asar saja.Salat jamaʹ ini dibedakan menjadi dua
macam yaitu jamaʹ takdîm dan jamaʹ takhîr. Yang dimaksud dengan jamaʹ takdîm
yaitu mengumpulkan dua salat yang dikerjakan sekaligus di waktu salat yang awal.
Seperti mengumpulkan salat Zuhur dan Asar yang dikerjakan di waktu Zuhur atau
mengumpulkan salat Maghrib dan Isya di waktu Maghrib.7
Sedangkan jamaʹ takhîr yaitu mengumpulkan dua salat yang dikerjakan
sekaligus di waktu salat yang terakhir. Seperti mengumpulkan salat Zuhur dan
Asar yang dikerjakan di waktu Asar atau mengumpulkan salat Maghrib dan Isya
yang dikerjakan di waktu Isya.8
Salat yang boleh dijamaʹ hanyalah yang waktunya berdekatan dan
ditentukan, yaitu salat Zuhur dengan Asar dan salat Maghrib dengan Isya. Jadi
salat yang boleh dijamaʹ adalah semua salat fardhu kecuali salat Subuh, salat
Subuh harus dilakukan pada waktunya. Itu sudah menjadi kesepakatan ulama
tidak boleh menggabungkan dua salat lainnya seperti salat malam digabungkan
5Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), Edisi ke. 2, h. 208. 6Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), Cet. 2, h. 35.
7Alimin Koto el-Majid, TuntunanSafar, (Jakarta: Sahara Publishers,
2006), h. 218 8Abd al-Rahmān al-Jazīrī, al-Fiqh „alā Madzāhib al-„Arba‟ah, Penerjemah Chatibul
Umam dan Abu Hurairah, Fikih Empat Mazhab, h. 205.
16
dengan salat siang, dan salat siang digabungkan dengan salat malam. Salat Zuhur
dan salat Asar adalah salat siang, sedangkan salat Maghrib dan Isya adalah salat
malam.9 Demikian dari itu maka tidak boleh menggabungkan dua salat lainnya,
misalnya salat Subuh dengan Zuhur, dan salat Asar dengan Maghrib, atau salat
Isya dengan salat Subuh.
C. Dasar Hukum Salat Jamaʹ
Para ulama semuanya sepakat bahwa menjamaʹ dua salat itu disyariatkan
dalam agama Islam.Khususnya salat Zuhur dijamaʹ dengan salat Asar dan salat
Maghrib dijamaʹ dengan salat Isya. Dasar disyariatkanya salat jamaʹ ini memang
tidak disebutkan secara khusus di dalam al-Qur‟an. Namun di dalam hadis-hadis
penulis menemukan banyak sekali keterangan tentang hadis jamaʹ salat ini. Salah
satunya yaitu jamaʹ salat yang dilakukan oleh Rasulullah Sallallāhū „Alaihi
Wasallam ketika melaksanakan haji wada‟ di Tahun kesepuluh hijriyah,
sebagaimana disebutkan di dalam hadis Jabir ra berkata:10
أتى بطن الوادي فخطب الناس مث فرسول اهلل صلى اهلل عليو وسلمعن جابر قال )رواه .مث أقامفصلى الظهر مث أقام فصلى العصر ومل يصل بينهما شيئان أذ
11مسلم(
9Ali Raghib, Ahkam al-Shalah, Penerjemah Abdillah al-Fakih dan Mu‟tashim, Ahkamus
Shalah dilengkapi dengan Hukum-Hukum Seputar Puasa, (Bogor: al-Azhar Press, 2009), h. 199. 10
Ahmad Sarwat, Seri Fiqh Kehidupan 3 tentang Salat, (Jakarta: CU Publishing, 2010), h.
289. 11
Muslim al-Nīsāburī, Shahih Muslim, (Bairut: Dar al-Afaq, t.th), Juz.
4, h. 39.
17
Artinya:“Lalu beliau SAW mendatangi wadi dan bekhutbah di depan manusia,
kemudian Bilal beradzan, kemudian iqamah dan salat Zuhur, kemudian
iqamah dan salat Asar, dan tidak salat sunnah diantara keduanya.” (HR.
Muslim).
Menurut riwayat al-Bukhari, dari Ibnu Abbas ra. dia berkata:
يجمع رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلمكان : لاق ضي اهلل عنهمااس ر عن ابن عب)رواه .ءاعشالرب و غامل جيمع بنيو ذا كان على ظهرإظهروالعصر لة ابني صال 12البخارى(
Artinya:“Dari Dan dari Ibnu Abbas radhiyallāhu „anhu berkata: Bahwa
Rasulullah SAW menggabungkan antara salat Zuhur dan Asar apabila
ada dalam perjalanan, dan menggabungkan antara Maghrib dan
Isya.”(HR.Al-Bukhori).
Dan hadis yang diriwayatkan oleh al-Bazzar berkata:
رسول اهلل صلى اهلل عليو ن اعن انس عن ابن عمر رضي اهلل عنهما قال: كر مث صاىل وقت الع هرظخر الأالشمس -هراظمتيل – غن تزيأذا رحل قبل إوسلم
13(راز ب)رواه ال .ن يرحتل صلى الظهرمث ركبأن زاغت قبل إنزل جيمعبينهما ف
Artinya:”Dari Anas, dari Ibnu Umar Radiyallāhu „Anhumā berkata; Bahwasanya
apabila Rasulullah Sallallāhu „Alaihi Wassalam, berangkat (untuk
bepergian) sebelum tergelincir matahari (sebelum masuk waktu Zuhur),
maka Baginda melewatkan salat Zuhur ke dalam waktu Asar, kemudian
singgah di suatu tempat dan melakukan jamaʹ kedua salat itu. Jika
tergelincir matahari (masuk waktu Zuhur) sebelum berangkat, maka
dilakukan salat Zuhur dan kemudian berangkat. (HR. al-Bazzar).
12
al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Kairo: Dar al-Syu‟b, 1987), Jilid. 2,
h. 57. 13
Abu Bakar al-Bazzar, Musnad al-Bazar, (Madinah: Maktabah al-Ulum, 2009), Juz. 13,
h. 26.
18
Dalam hal ini, maka tidak dijumpai sebuah riwayatpun dari Nabi
Sallallāhū „Alaihi Wasallam yang menjelaskan bahwa beliau pernah menjamaʹ
salat selain salat diatas, yaitu selain salat Zuhur dengan salat Asar dan salat
Maghrib dengan salat Isya.14
D. Waktu-Waktu diperbolehkanya Salat Jamaʹ
Seorang musafir yang sudah memenuhi syarat diperbolehkannya salat
qashar juga diperkenankan menjamaʹ salat (mengumpulkan salatnya).15
Yang
diperbolehkan dalam salat jamaʹ itu hanya salat fardhu empat waktu. Yaitu Zuhur,
Asar, Magrib dan Isya. Jika dilihat dari segi waktu kapan boleh dikerjakan salat
jamaʹ ini dibagi menjadi dua yaitu antara lain:16
1. Jamaʹ Takdîm, yaitu jika kedua salat yang dilakukan dengan jamaʹ dikerjakan
pada waktu yang pertama, misalnya salat Zuhur dan Asar dikerjakan di waktu
Zuhur atau diantara salat Magrib dan salat Isya dikerjakan di waktu Magrib.
Salat jamaʹ takdîm mempunyai syarat yang harus dipenuhi, antara lain:17
a. Tertib, yaitu memulai terlebih dahulu dengan salat yang tiba
waktunya.Apabila ia berada di waktu Zuhur dan ia berkehendak untuk
mengerjakannya bersama salat Asar pada waktu Zuhur itu, maka ia
berkewajiban memulai dengan salat Zuhur.
14
Ali Raghib, Ahkam al-Shalah, Penerjemah Abdillah al-Fakih dan Mu‟tashim, Ahkamus
Shalah dilengkapi dengan Hukum-Hukum Seputar Puasa, (Bogor: al-Azhar Press, 2009), h. 200. 15
Hasan, Tafsir Ibadah, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008), h. 69. 16
Abdul Fatah dan Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), h.
75. 17
Abd al-Rahmān al-Jazīrī, al-Fiqh „alā Madzāhib al-„Arba‟ah, Penerjemah Chatibul
Umam dan Abu Hurairah, Fikih Empat Mazhab, h. 210.
19
b. Niat menjamaʹ dalam salat yang pertama. Disyaratkan bahwa niat itu berada
pada salat pertama, meskipun bersamaan dengan salamdarinya. Jadi tidak
cukup niat itu sebelum takbir dan setelah salam.
c. Berturut-turut antara dua macam salat. Yaitu sekiranya tidak dipisah antara
keduanya dengan sesuatu perbuatan yang cukup untuk mengerjakan salat
dua rakaat yang ringan.
d. Masih berlangsungnya bepergian sampai ia memulai dalam salat kedua
dengan takbiratual-ihram, meski bepergian selesai setelah itu
dipertengahannya. Adapun apabila bepergianya telah selesai sebelum
memulai salat yang kedua, maka menjamaʹ tidak sah. Sebab telah hilang
penyebabnya.
e. Waktu salat yang pertama masih tetap secara yakin sampai
terselenggarakanya salat yang kedua.
f. Salat yang pertama diduga telah sah. Apabila salat yang pertama adalah
salat jum‟at dilakukan ditempat salat jumat yang secara terbilang bukan
karena memang diperlukan sedangkan keadaan diragukan mana yang dahulu
dan mana yang bersamaan, maka tidak sah menjama salat Asar bersamanya
secara jamaʹ Takdîm.18
2. Jamaʹ Takhîr, adalah jika kedua salat yang dilakukan dengan jamaʹ dikerjakan
pada waktu yang kedua. Yaitu dikerjakan diwaktu Asar atau Magrib, seperti
halnya jamaʹ takdîm, dalam salat jamaʹ takhîr juga mempunyai syarat-syarat
yang harus dipenuhi:
18
Abd al-Rahmān al-Jazīrī, al-Fiqh „alā Madzāhib al-„Arba‟ah, Penerjemah Chatibul
Umam dan Abu Hurairah, Fikih Empat Mazhab, h. 211.
20
a. Niat mengakhirkan pada waktu salat yang pertama selama waktunya masih
tersisa mencukupi untuk salat secara sempurna atau qashar. Namun apabila
ia tidak berniat mengakhirkan atau meniatkannya, dan sisa waktu tidak
mencukupi untuk menunaikan salat maka ia melakukan kemaksiatan dan
salatnya menjadi salat qada, jika ia tidak bisa menunaikan satu rakaat dalam
waktunya. Jika memperoleh satu rakaat hukumnya salat adaʹ namun
hukumnya haram.
b. Bepergian masih berlangsung sampai dua salat selesai dengan sempurna.
Apabila musafir menjadi orang yang mukim sebelum itu maka yang
diniatkan untuk diakhirkan menjadi salat qada. 19
E. Sebab-Sebab diperbolehkannya Salat Jamaʹ
Bagi seseorang dibolehkan menjamaʹ (menggabungkan) salat Zuhur
dengan Asar dan Magrib dengan Isya, secara takdîm maupun takhîr. Sedang salat
Subuh tetap harus dikerjakan pada waktunya. Demikian itu jika didapatkan salah
satu keadaan apabila:20
1. Berada di Arafah dan Muzdalifah.
Para Ulama sepakat bahwa menjamaʹ takdīm antara salat Zuhur dengan
salat Asar ketika di Arafah dan menjamaʹ takhir antara salat Maghrib dengan
19
Abd al-Rahmān al-Jazīrī, al-Fiqh „alā Madzāhib al-„Arba‟ah, Penerjemah Chatibul
Umam dan Abu Hurairah, Fikih Empat Mazhab, h. 212. 20
al-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah Khairul Amru Harahap dkk, (Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2011), Cet. 3, h. 508.
21
Isya di Muzdalifah adalah sunah,21
yang didasarkan kepada perbuatan
Rasulullah Sallallāhū „Alaihi Wasallam bersabda:
صلى رسول اهلل صلى لو غريه ماإ: والذى ال عن ابن مسعود رضي اهلل عنو قالصالتني مجع بني الظهر والعصر بعرفة ال إيف وقتها ال إة قط اهلل عليو وسلم صال
22)رواه الرتمذى(وبني املغرب والعشاء مبزدلفة.
Artinya:“Dari Ibnu Mas‟ud Radiyallāhu „Anhumā berkata: Aku bersumpah
yang tiada Tuhan selain Allah bahwa Rasulullah Sallallāhu „Alaihi
Wassalam tiada mendirikan salat selain dikerjakan pada waktunya,
kecuali dua jenis salat, yaitu: menjamaʹ salat Zuhur dan Asar ketika di
Arafah dan salat Maghrib dan Isyā ketika di Muzdalifah. (HR. al-Tirmizi).
Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat antara para Ulama para Imam
bahwa jamaʹ antara Zuhur dan Asar sebagai jamaʹ takdîm dalam waktu Zuhur
di Arafah dan diantara magrib dan Isya sebagai jamaʹ takhîr dalam waktu Isya
di Muzdalifah adalah sunnah bagi orang beribadah haji.23
dan Ulama
Hanafiyah melarang menjamaʹ salatnya dalam satu waktu antara dua salat
selain dari dua tempat dan kondisi yaitu:24
a. Menjamaʹ salat Zuhur dan Asar pada waktu Zuhur secara takdîm, dengan
empat macam syarat yaitu:
1) Menjamaʹ salat tersebut pada waktu di Arafah ketika melaksanaan ibadah
haji.
21
IbnuRusyd, Bidāyah al-Mujtahid, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, t.th), Juz. 1, h.
170. 22
Abu Īsa al-Tirmidzī, al-Jāmī‟ al-Shahih Sunan al-Tirmidzī, (Beirut: DarIhyā al-Turāts
al-Arabi, t.th.), Juz. 4, h. 232. 23
Mahmoud Saltout, Alial-Sayis, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1996), h. 66. 24
Abd al-Rahmān al-Jazīrī, al-Fiqh „alā Madzāhib al-„Arba‟ah, Penerjemah Chatibul
Umam dan Abu Hurairah, Fikih Empat Mazhab, h. 213.
22
2) Seseorang yang menjamaʹ salatnya itu sedang ihram dalam haji.
3) Menjamaʹ salat tersebut dibelakang atau bermakmum kepada imam kaum
Muslimin.
4) Salat Zuhur yang dilakukan adalah sah, apabila salat Zuhur jelas telah batal
maka wajib diulang.
b. Menjamaʹ salat maghrib dan Isya di waktu Isya secara takhir dengan memenuhi
syarat yaitu, menjamaʹ salat itu di Muzdalifah dan ketika berihrām haji.25
2. Dalam Bepergian atau Safar
Seseorang yang dalam keadaan bepergian boleh menjamaʹ salatnya, baik
dengan jamaʹ takdîm maupun dengan jamaʹ takhîr. Para fuqaha (Maliki,
Syafi‟i, Hanbali) yang membolehkan salat jamaʹ sependapat, bahwa musafir
dibolehkan menjamaʹ salatnya, baik dengan jamaʹ takdîm maupun dengan
jamaʹ takhîr.26
Berdasarkan hadis dari Mu‟adz yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud dan Tirmidzi menerangkan:
زاغت ذاإتبوك نيب صلى اهلل عليو وسلم كان يف غزوةإن العن معاذ قال: الشمس غن تزيأا ارحتل قبل إذالعصر و يرحتل مجع بني الظهر و ن أالشمس قبل
حتل ر ن يأقبل ن غابت الشمس أرب مثل غامل لعصرويفلهر حىت ينزل ظالخر أل نز ي حىت بخر املغر أب الشمس يتغ نأن ارحتل قبل أو ءالعشاغرب و مجع بني امل
25
Abd al-Rahmān al-Jazīrī, al-Fiqh „alā Madzāhib al-„Arba‟ah, Penerjemah Chatibul
Umam dan Abu Hurairah, Fikih Empat Mazhab, h. 213. 26
Djaelan Husnan, Perbandingan Mazhab dalam Hukum Islam, (Jakarta: Yayasan Wakaf
Baitussalam Billy Moon, 2013), Jilid. 1, h. 372.
23
حسن(. ل ىذا حديثاا. )رواه ابوداود والرتمذى وقنزل فجمع بينهم للعشاء مث 27بوداود والرتمذى()رواه أ
Artinya:“Dari Mu‟adz berkata;” Bahwa Nabi Sallallāhu „Alaihi Wasallam
sewaktu perang tabuk, selalu menjamaʹ salat Zuhur dengan Asar bila
berangkatnya itu sebelum matahari tergelincir, maka salat Zuhur
diundurkan beliau, dan dirangkapnya sekali dengan Asar. Begitu pula
dengan salat Maghrib, yaitu kalau beliau berangkat sesudah matahari
terbenam dijamaʹ nya Maghrib dengan Isya. Tetapi kalau berangkatnya
itu sebelum matahari terbenam diundurkannyalah Maghrib itu sampai
Isya dan jamaʹnya dengan salat Isya. (diriwayatkan oleh Abu Daud serta
Tirmidzi yang menyatakan bahwa hadis ini adalah hadis hasan)”.
Dalam hal bepergian ini ada syarat yang harus ada dalam perjalanan
menurut Ulama fikih antara lain:28
a. Niat Safar
Yang dimaksud dengan niat safar yaitu seseorang memang sengaja untuk
melakukan perjalanan. Sebagaimana layaknya orang yang akan melakukan
perjalanan jauh. Bepergian secara mutlak, baik bepergian dalam jarak boleh
mengqasar salat ataupun tidak, akan tetapi disyaratkan hendaknya bepergian
yang tidak diharamkan dan tidak dimakruhkan. Misalnya: para pemburu yang
mengikuti atau mengejar hewan buruannya hingga menempuh jarak yang
cukup jauh, bila memang tidak berniat melakukan safar sejak awal maka
safarnya itu dianggap bukan safar yang boleh dijamaʹ.29
27
Abu Īsa al-Tirmidzī, al-Jāmī‟ al-Shahih Sunan al-Tirmidzī, Juz. 2, h.
438. 28
Muhammad Anis Sumaji, 125 Masalah Salat, (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, 2008), h. 168. 29
Ahmad Sarwat, Seri Fiqh Kehidupan 3 tentang Salat, h. 289.
24
b. Memenuh Jarak Minimal dibolehkannya Safar
Imam Malik, Syafi‟i, Ahmad dan ulama lain berpendapat bahwa jarak
bolehnya salat qashar adalah empat burud, yaitu jarak perjalanan tidak cepat
dan tidak lambat selama sehari semalam.30
Ketentuan ini berdasarkan pada
hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallāhu „anhu
keduanya bahwa:
وعن ابن عباس رضي اهلل عنهما قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: )رواه . عسفانىلة إالصالة ىف أدىن من أربعة برد من مك اال تقصرو
31(يهقيالب
Artinya:“Dan dari Ibnu Abbas radhiyallāhu „anhu, berkata; Rasulullah
Sallallāhu Alaihi Wassalama bersabda: „janganlah kamu mengqashar
salat pada jarak kurang dari empat burud, (misalnya) dari Mekah ke
Usfan”.(HR. al-Baihaqi).
Juga diriwayatkan dari Ibnu Umar Radiyallāhu anhu, keduanya melakukan
salat dua rakaat serta berbuka jarak empat burud dan lebih dari itu. Karena,
pada jarak tersebut sering muncul kesulitan perjalanan, sedang jarak kurang
dari itu tidak terlalu banyak.32
ثمانية لن رسول اهلل عليو وسلم كان يقتصر يف اإعمر رضي اهلل عنو قال عن 33عشر ميال )رواه مسلم(
30
IbnuRusyd, Bidāyah al-Mujtahid, h. 167. 31
al-Baihaqi, al-Sunan al-Qubro, (Makkah: Maktabah Dar al-Batz, 1994), Juz. 3, h. 137. 32
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2010), Jilid. 2, h. 428. 33
Muslim al-Nīsāburī, Shahih Muslim, (Bairut: Dar al-Afaq, t.th), Juz.
2, h. 145.
25
Artinya:“Dari Umar Radiyallāhu anhu, bahwa Nabi Sallallāhu „Alaihi
Wassalama mengqasar salat dalam jarak tempuh sekitar delapanbelas
mil”. (HR. Muslim).
Banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai batasan jarak
diperbolehkannya mengqashar salat dan menjamaʹnya. Dalam masalah ini Abu
Bakar Ibnu Mundzir menyebutkan lebih dari dua puluh pendapat.34
Akan tetapi
pendapat yang kuat pada dasarnya tidak ada batasan jarak yang pasti. Kecuali
yang disebut safar dalam bahasa arab. Nabi tidak akan lupa menjelaskan hal
tersebut apabila ada kepastian jarak, dan para sahabatpun tidak akan lupa
menanyakan hal itu kepada Nabi Sallallāhū „Alaihi Wasallam.
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menjamaʹ salat dilihat
dari segi batas minimal jarak perjalanan.
Pendapat Pertama: Menurut Imam Malik, Imam Asy-Syafi‟i, Imam
Ahmad bin Hanbal dan lainnya mengatakan minimal berjarak 4 burud (16
farsakh). Para ulama sepakat menyatakan bahwa jarak 1 farsakh itu sama
dengan 3 mil, 1 mil itu 3500 hasta, sama dengan 89 km untuk detailnya yaitu
88,704 km.35
Pendapat Kedua: Abu Hanifah mengatakan jarak diperbolehkannya
menjamaʹ salat yaitu minimal perjalanan 3 hari. Maka angka itu kalau kita
konversikan di masa sekarang berjarak kurang lebih 133 - 135 km.36
Dasar dari pengguna masa waktu tiga hari ini adalah hadis Nabi Sallallāhu
„Alaihi Wasallam, dimana dalam beberapa hadis beliau selalu menyebutkan
34
al-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah Khairul Amru Harahap
dkk,h. 500. 35
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, h. 428. 36
Ahmad Sarwat, Seri Fiqh Kehidupan 3 tentang Salat, h. 32 .
26
perjalanan dengan masa waktu tempuh tiga hari. Seperti hadis tentang
mengusap sepatu, disana dikatakan bahwa seseorang boleh mengusap sepatu
selama perjalanan tiga hari.37
وماملقيم كمال ي حنا أنيمسمر ول اهلل صلى اهلل عليو وسلم يأعن علي كان رس 38()رواه ابن أىب شيبة .ايهالثة أيام وليفرثالاسوامل ةوليل
Artinya:“Dari Ali;Bahwa Rasulullah Sallallāhu „Alaihi Wasallam“seorang
yang bermukim boleh mengusap sepatunya sehari dan semalam penuh,
sementara musafir tiga hari tiga malam.(HR. Ibn Abi Syaibah).
Demikian juga ketika Rasulullah Sallallāhu „Alaihi Wasallam
menyebutkan tentang larangan wanita bepergian tanpa mahram yang
menyertainya, beliau menyebut perjalanan selama tiga hari.
هللامرأة تؤمن بل اللالحياعن عبداهلل بن عمر عن النىب صلى اهلل عليو وسلم ق 39)رواه مسلم( م.ها حمر ع ومال يل إل ثالسرية ثمفر ار أن تسخآلا اليومو
Artinya:“Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Sallallāhu „Alaihi Wasallam
bersabda, “Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dari hari
akhir bepergian sejauh tiga malam kecuali bersama mahram”. (HR.
Muslim).
Pendapat Ketiga: sedangkan Zahiri mengatakan tidak ada batasan minimal.
Yaitu berapapun jaraknya yang penting sudah masuk kriteria safar atau
perjalanan.40
Seorang musafir dapat mengambil rukhsah salat dengan mengqashar dan
menjamaʹ jika telah memenuhi jarak tertentu.
37
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, h. 427. 38
Ibnu Abi Syaibah, al-Musonnaf, (Riyad: Maktabah al-Rusydi,
1409), Jilid. 1,h. 162. 39
Muslim al-Nīsāburī, Shahih Muslim, Jilid. 4, h. 424. 40
IbnuRusyd, Bidāyah al-Mujtahid, h. 168.
27
كان نسأفقال نس بن م الك عن قصر الصال ة أسألت ق العن حيي بن يزيد و فراسخ يصل أميال أمسرية ثال ثة ذا خرجإالنىب صل ى اهلل عليو وسلم
41(يقهبوداود والبيأو محدأوه مسلم و )را .نيركعت
Artinya:”Dari Yahya bin Yazid berkata saya bertanya kepada Anas bin Malik
perihal mengqasar salat. Lalu Anas bin Malik berkata: Rasulullah
Sallallâhu „Alaihi Wasallam melaksanakan salat dua rakaat
(mengqasar salat) kalau sudah keluar sejauh tiga mil atau tiga
farsakh”. (HR. Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan al-Baihaqi).
وعن ابن عباس رضي اهلل عنهما قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم: 42)رواه البيهقي( ال تقصروالصالة ىف أقل من أربعة برد من مكة إىل عسفان.
Artinya:”Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah Sallallâhu „Alaihi Wasallam
bersabda: “Wahai penduduk Mekkah janganlah kalian mengqasar
salat kurang dari empat burdin, dari Mekkah ke Usfan.
Dari Ibnu Syaibah dari arah yang lain berkata:”Qashar shalat dalam
jarak perjalanan sehari semalam”.
Dari Ibnu Umar Radiyallâhu „anhu, dan Ibnu Abbas Radiyallâhu „anhu
mengqasar salat dan buka puasa pada perjalanan menempuh jarak 4 burd yaitu
16 farsakh. Ibnu Abbas menjelaskan jarak minimal dibolehkannya qashar salat
yaitu 4 burd yaitu 16 farsakh. Karena, pada jarak tersebut sering muncul
kesulitan perjalanan.43
Begitulah yang dijelaskan sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.
Sedangkan hadis Ibnu Syaibah menunjukan bahwa qasar salat adalah
41
Muslim al-Nīsāburī, Shahih Muslim, Juz. 1, h. 481. 42
al-Baihaqi, al-Sunan al-Qubro, (Makkah: Maktabah Dar al-Batz, 1994), Juz. 3, h. 137. 43
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, h. 428.
28
perjalanan sehari semalam. Ini adalah perjalanan kaki normal atau perjalanan
unta normal. Setelah diukur ternyata jaraknya adalah sekitar 4 burd atau 16
farsakh, angka ini kalau kita konversikan di masa sekarang setara dengan jarak
88, 656 km. Ada juga yang menghitung menjadi 88,705 km.44
Pendapat inilah
yang diyakini mayoritas ulama seperti Imam Malik, Imam al-Syafi‟i dan Imam
Ahmad serta pengikut ketiga Imam tersebut.45
c. Keluar dari kota tempat tinggalnya.
Mengqashar salat dalam keadaan safar itu sudah boleh dilakukan meski
belum mencapai jarak yang telah ditetapkan. Asalkan sejak awal niatnya
memang akan menempuh jarak sejauh itu.
Salat qashar sudah bisa dimulai ketika musafir itu sudah keluar dari kota
atau wilayah tempat tinggal, tetapi belum boleh dilakukan ketika masih
dirumahnya.46
Rasulullah Sallallāhu „Alaihi Wasallam tidak mulai mengqasar salatnya
kecuali setelah beliau meninggalkan Madinah.
رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم هر معظعن أنس بن مالك قال: صليت ال 47)رواه مسلم(يفة ركعتني.لصل يت معو العصر بذي احلباملدينة أربعا و
Artnya:“Dari Anas bin Malik berkata,”Aku salat Zuhur bersama Rasulullah
Sallallāhu „Alaihi Wasallam di Madinah 4 rakaat, dan salat Ashar
bersama beliau di Dzil Hulaifah 2 rakaat. (HR. Muslim)”.
44
Ahmad Sarwat, Seri Fiqh Kehidupan Bab 3 tentang Salat, h. 78. 45
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, h. 428. 46
al-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah Khairul Amru Harahap dkk,h. 502. Dalam
bukunya Ibnu Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid, menerangkan bahwa menurut Imam Malik orang yang
hendak bepergian tidak boleh mengqashar salatnya sebelum meninggalkan daerahnya (kampung
halamanya). 47
Muslim al-Nīsāburī, Shahih Muslim, Juz. 2, h. 144.
29
Para fuqaha berbeda pendapat dalam masalah batas waktu musafir boleh
mengqasar salat. Diantara pendapat yang terkenal yaitu:48
Menurut Maliki dan Syafi‟i yaitu, apabila musafir sudah niat tinggal di
suatu tempat selama 4 hari, setelah itu maka ia harus menyempurnakan
salatnya.
Dalam hal ini mereka memperkuat pendapatnya dengan hadis:
49)البيهقي(.ورتمىف عالسال م أقام مبكة ثال ثا يقصر ة و نو عليو الصالإ
Artinya:“Sesungguhnya Nabi Sallallāhu „Alaihi Wasallam tinggal di Mekah 3
hari dan beliau mengqasar salat dalam melakukan umrah”.(HR. al-
Baihaqi).
Menurut Imam Ahmad dan Abu Daud, apabila musafir sudah berniat
tinggal di suatu tempat lebih dari 4 hari, maka ia harus menyempurnakan
salatnya.
Imam Ahmad bin Hambal dan Abu Daud mengatakan apabila seorang
musafir berniat tinggal selama lebih dari empat hari, maka ia bukan sebagai
musafir.50
Nabi Sallallāhu „Alaihi Wasallam menetap selama tiga hari berada
di Mekah untuk beribadah haji dengan mengqasar salat selama 4 hari.
Sedangkan Abu Hanifah dan Abu Sufyan berpendapat, apabila musafir
sudah berniat tinggal di suatu tempat selama 15 hari, maka ia harus
menyempurnakan salatnya. Mereka menguatkan dengan ini berdasarkan hadis:
48
Djaelan Husnan, Perbandingan Mazhab dalam Hukum Islam, (Jakarta: Yayasan Wakaf
Baitussalam Billy Moon, 2013), h. 384-385. 49
al-Baihaqi, al-Sunan al-Qubro, Juz. 2, h. 504. 50
IbnuRusyd, Bidāyah al-Mujtahid, h. 169.
30
عن ابن عباس رضياهلل عنهما قال: غزوت مع النيب صلى اهلل عليو وسلم عام 51بو داود()رواه أ. كة سمسة عشر يقصر الصالةالفتح فأقام مب
Artinya:“Dari Ibnu Abbas Radiyallāhu anhu berkata: Aku berperang bersama
Rasulullah pada saat penaklukan kota Makkah, maka beliau bermukim di
Makkah selama 15 hari beliau meringkas salat. (HR. Abu Dawud).
قام النيب صلى اهلل عليو وسلم تسعة عشر ابن عباس رضي اهلل عنهما قال: أعن )وىف راوية: يصلى ركعتني( فنحن إذا سافرنا تسعة عشر قصرا و إن زدنا يقصر
52)رواه البخارى( .متمناأ
Artinya:“Dari Ibnu Abbas Radiyallāhu anhhu, dia berkata:” Nabi Sallallahu
„Alaihi Wasallam (ketika pergi ke Makkah) mengqashar salat selama
19 hari (di dalam riwayat lain): salat 2 rakaat), sehingga ketika kami
bepergian selama 19 hari, maka kami selalu mengqashar salat, dan
ketika waktunya melebihi dari waktu tersebut, maka kami
menyempurnakannya (HR.al-Bukhari).
Sebab terjadinya perbedaan pendapat ini adalah karena batas
kemusafiran dan kebolehan qasar tidak dijelaskan oleh syara‟ sedangkan
mengqiyaskan dengan batasan dalam masalah lain, dinilai para fuqaha tidak
mempunyai kekuatan hukum. Oleh karena itu para fuqaha tidak memperkuat
pendapatnya dengan riwayat dari Nabi Sallallāhu „Alaihi Wasallam, bahwa
beliau mengqasar salat dinilainya sebagai musafir.
Menurut Ibnu Rusyd, bahwa yang benar adalah memilih satu di antara dua
metode, yaitu:53
51
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (T.tp: Dar al-Fikr, tth), Juz. I, h.
392. 52
al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Kairo: Dar al-Syu‟b, 1987), Jilid. 1,
h. 367. 53
Ibnu Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid, h. 170.
31
1) Menetapkan waktu maksimal (berdasarkan riwayat Nabi Sallallāhu „Alaihi
Wasallam yang dibolehkan mengqashar salat. Pertimbangananya karena pada
prinsipnya salat harus dilaksanakan dengan sempurna (tidak diqashar).
2) Yang diambil adalah waktu yang paling sedikit, yaitu yang sudah disepakati
para fuqaha. Kalau Nabi Sallallāhu „Alaihi Wasallam tinggal melebihi waktu
tersebut dan mengqasar salatnya, maka dalam hal ini ada dua kemungkinan:
a) Nabi mengqasar salat menunjukan pada waktu tersebut memang musafir
dibolehkan mengqasar salat.
b) Nabi Sallallāhu „Alaihi Wasallam tinggal di tempat itu dalam waktu selama
itu, karena keadaan menghendaki Nabi Sallallāhu „Alaihi Wasallam harus
tinggal di tempat itu selama itu dan menghendaki Nabi Sallallāhu „Alaihi
Wasallam harus mengqashar salatnya.
d. Safar yang dilakukan Bukan Safar Maksiat.
Salat qashar dapat dilakukan dengan syarat perjalanan ituyang sejak awal
memang diniatkan untuk hal-hal yang mubah, bukan perjalanan maksiat.
Sedangkan safar yang sejak awalnya sudah diniatkan untuk hal-hal yang haram
dan tidak diridhoi Allah SWT, tidak diberikan keringanan untuk mengqashar
salat. Karena, perjalanan merupakan sebab adanya keringanan dan tidak dapat
dibebani oleh maksiat.54
Syarat ini dikemukakan oleh jumhur ulama kecuali
mazhab Hanafi yang mengatakan apapun tujuan safar, baik perjalanan ibadah,
perjalanan mubah maupun perjalanan maksiat, semua membolehkan qashar.55
54
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, h. 430. 55
Ibnu Rusyd, Bidāyah al-Mujtahid, h. 168.
32
Mazhab Imam Syafi‟i dan Hanbali sepakat, bahwa perjalanan yang
terlarang atau maksiat, tidak membolehkan untuk mengqashar salat, kalau
salatnya itu diqashar, maka salat tersebut tidak sah.56
Mazhab Imam Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa mengqashar
salat tidak disyaratkan perjalanan yang mubah. Bahkan menurut mazhab Imam
Abu Hanifah wajib menqashar salatnya atas setiap orang yang melakukan
perjalanan (musafir), walaupun perjalananya termasuk yang terlarang atau
diharamkan. Menurut Imam Malik, salatnya sah walaupun dilakukan bersama
perbuatan dosa.57
Dengan terpenuhinya syarat-syarat inilah menjadi diperbolehkannya
menjamaʹ dan mengqasar salat.
3. Dalam Keadaan Hujan
Dalam sebuah hadis dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan al-Bukhari
menerangkan bahwa:
ن النىب صلى اهلل عليو وسلم مجع بني املغرب والعشاء يف ليلة إعن ابن عباس 58)رواه البخاري( .مطرة
Artinya:”Dari Ibn Abbas, Bahwa Nabi Sallallāhu „Alaihi Wasallam menjamaʹ
antara salat Maghrib dengan salat Isya pada suatu malam turun hujan
lebat.”(HR. Al-Bukhari).
56
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, h. 433. 57
Abd al-Rahmān al-Jazīrī, al-Fiqh „alā Madzāhib al-„Arba‟ah, Penerjemah Chatibul
Umam dan Abu Hurairah, Fikih Empat Mazhab, h. 191. 58
al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jilid. 1, h. 143.
33
Dalam hal ini dikalangan para ulama terdapat perbedaan pendapat. Yaitu,
ulama Syafi‟iyah mengatakan, yang dibolehkan hanyalah jamaʹ takdîm baik salat
Zuhur dengan salat Asar maupun salat Maghrib dengan salat Isya. Dengan syarat
hujan turun ketika membaca takbiratul ikhram pada salat yang pertama hingga
selesai dan hujan masih berlangsung ketika hendak memulai salat yang kedua.59
Ulama Malikiyah berpendapat, yang dibolehkan hanya jamaʹ takdîm antara
salat Maghrib dengan salat Isya di Masjid disebabkan hujan yang telah akan turun
dan terdapat banyak lumpur di tengah jalan disertai dengan gelapnya malam.
Sedangkan ulama Hanabilah mengatakan dalam keadaan hujan boleh menjamaʹ
takdîm atau takhîr antara Maghrib dan Isya yang diselenggarakan dengan jamaʹ ah
di Masjid.60
Keringanan ini hanya diberikan secara khusus kepada orang yang salat
berjamaʹ ah di Masjid dan letak rumahnya jauh, hingga dengan turunnya hujan
dan sebagainya menjadi penghalang bagi dirinya untuk datang ke Masjid.
Sedangkan orang yang tinggal di lingkungan masjid, dan orang yang salat
berjamaʹ ah di dalam rumah, harus datang ke Masjid dengan menggunakan
payung untuk melindungi dirinya dari hujan atau rumahnya berdekatan dengan
masjid, dia tidak dibolehkan menjamaʹ salat. 61
59
al-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Penerjemah Khairul Amru Harahap dkk, Fiqh
Sunnah, h. 511. 60
Malikul Adil, Ilmu Fiqh 1, (Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/ IAIN
di Pusat, 1982), h. 182 61
al-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Penerjemah: Khairul Amru Harahap dkk, Fiqh
Sunnah, h. 512.
34
4. Dalam Keadaan Sakit
Dalam hadis dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Muslim
menerangkan bahwa:
اهلل صلى اهلل عليو وسلم بني رسول مععن ابن عباس رضي اهلل عنهما قاجلال مطر قيل البن عباس واملغرب والعشاء باملدينة يف غري خوف و العصر وهر ظال
62)رواه مسلم( .متوأرج راد ال حيأراد بذ لك؟ قال أماذا
Artinya:“Dari Ibnu Abbas Radiyallāhu anhu berkata: RasulullahSallallāhu
„Alaihi Wasallam pernah melakukan salat Zuhur dan Asar dengan dijamaʹ
, dan salat Maghrib dan Isya dengan dijamaʹ di Madinah, bukan karena
takut dan bukan karena hujan. Lalu orang menanyakan kepada Ibnu
Abbas: kenapa nabi berbuat itu? Katanya:” Maksudnya ialah agar beliau
tidak menyukarkan umatnya.” (HR. Muslim).
Para fuqaha berbeda pendapat dalam masalah menjamaʹ salat karena
keadaan sakit yaitu:
Menurut Imam Malik, al-Qadli Husain, al-Khaththabi, al-Mutawalli, dan
al-Ru‟yani seseorang dibolehkan menjamaʹ salat karena keadaan sakit ini
berdasarkan hadis Ibnu Abbas. Mereka memberi pengertian hadis diatas
kepada kebolehan menjamaʹ salat karena sakit atau hal lain yang sejenis.
Disamping itu mereka juga beralasan, bahwa kesukaran karena sakit lebih berat
dari pada kesukaran karena hujan.63
Mazhab Hambali membolehkan menjamaʹ takdîm atau takhîrdalam
berbagai macam halangan sampai orang yang sedang dalam ketakutan pun
62
Muslim al-Nīsāburī, Sahih Muslim,Juz. 2, h. 152. 63
Djaelan Husnan, Perbandingan Mazhab dalam Hukum Islam, h.
375.
35
dapat melakukan jamaʹ . Mereka membolehkan jamaʹ bagi seorang Ibu yang
menyusui anaknya, jika merasa sulit mencuci pakaian setiap kali ketika mau
salat.Juga istihadhah (keluar darah penyakit), ini merupakan salah satu alasan
dibolehkannya menjamaʹ salat, karena istihadhah termasuk jenis penyakit.64
Menurut Imam Asy-Syafi‟i tidak dibolehkan menjamaʹ salat karena
keadaan sakit. Asy-Syafi‟i berpendapat demikian karena memahami
masyaqqah khusus untuk safar. Dalam hal ini Imam Haramain menganggap
ulama telah ijmaʹ tidak membolehkan jamaʹ lantaran sakit, demikian juga
halnya Imam Turmudzi.65
Namun anggapan ijmaʹ dari kedua beliau itu adalah tidak benar. Sebab
segolongan dari sahabat kita (Imam Syafi‟i) dan lain-lainnya ada yang
berpendapat bahwa melakukan jamaʹ lantaran sakit itu diperbolehkan. Dalam
kitab “Syarah Shahih Muslim” oleh al-Nawawi diterangkan bahwa al-Qadli
Husain, al-Khaththabi, al-Mutawal dan al-Ru‟yani dari golongan Syafi‟iyah
dan Ahmad bin Hanbal memberi pengertian hadis tersebut kepada kebolehan
menjamaʹ salat karena sakit atau hal lain yang sejenis. Ibnu Abbas sendiri telah
melakukan jamaʹ lantaran sakit, kemudian ada seorang dari Bani Tamim yang
ingkar kepada beliau, lalu beliau berkata kepadanya “Apakah kau akan
mengajari saya tentang sunnah?” lalu Ibnu Abbas menyebut-nyebut bahwa
Rasulullah SAW. telah melakukannya. Berkata Ibnu Syaqiq, “Saya ragu-ragu
tentang apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Abbas, karenanya lalu saya
64
al-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah Khairul Amru Harahap
dkk, h. 512. 65
Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini al-Hushni al-Damasqi al-Syafi‟i, Kifayatul
Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, (Damaskus: Dar al-Khair, 1994 H), Juz. 1, h. 37.
36
mendatangi sahabat Abu Hurairah menanyakan tentang hal tersebut, dan
ternyata Abu Hurairah membenarkan ucapan Ibnu Abbas”. Dalam kitab shahih
Muslim ini terdapat riwayat bahwa Nabi saw. telah melakukan salat jamaʹ di
Kota Madinah tanpa adanya kekhawatiran-khawatiran dan bukan lantaran ada
hujan.66
Dan dalam kitab Mukhtasornya Imam Murzani Imam Asna‟i
berpendapat bahwa yang dipilih oleh Imam Nawawi tersebut telah ditegaskan
oleh Imam Syafi‟i pendapat inipun menjadi kuat bila ditinjau dari segi logika.
Yakni, kalau sakit itu membolehkan seseorang tidak berpuasa sebagaimana
halnya bepergian, maka untuk melakukan jamaʹ lebih diperbolehkan lantaran
karena sakit.67
Imam Nawawi juga berkata, dari segi dalil, pendapat ini kuat.” Dalam al-
Mughni disebutkan bahwa sakit yang membolehkan jamaʹ adalah jika setiap
kali dia melaksanakan salat pada waktunya masing-masing, niscaya akan
menyebabkan kesulitan dan kelemahan pada tubuh.68
Disamping itu mereka juga beralasan bahwa kesukaran karena sakit lebih
berat dari pada kesukaran karena hujan.69
Sakit seperti sakit perut atau lainnya
maka dibolehkan melakukan jamaʹ shuury70
dan hal ini bagi orang sakit tidak
dimakruhkan. Sedangkan bagi orang yang sehat hal ini dimakruhkan.
واملغرب والعشاء باملدينة يف غري خوف وال مطر قيل البن عباس العصر هروظصلى اهلل عليو وسلم بني ال عن ابن عباس رضي اهلل عنهما قاجلمع رسول اهلل66
)رواه مسلم( .متوأرج راد ال حيأراد بذ لك؟ قال أماذا Dalam kitabnya Muslim al-Nīsāburī, Sahih Muslim,Juz. 2, h. 152.
67Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini al-Hushni ad-Damasqi Asy Syafi‟i, Kifayatul
Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, (Damaskus: Dar al-Khair, 1994 H), Juz. 1, h. 38. 68
al-Mughni, lihat juga al-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Penerjemah Khairul Amru
Harahap dkk, Fiqh Sunnah, h. 512. 69
Djaelan Husnan, Perbandingan Mazhab dalam Hukum Islam, h.
375. 70
Jamaʹ ‟ shuury yaitu seseorang melakukan salat fardhu yang lebih awal pada akhir
waktunya dan salat fardhu kedua pada awal waktunya.
37
Kemudian seseorang yang takut bila ia pingsan, pusing atau demam ketika
masuk waktu salat yang kedua yaitu asar atau isya maka ia boleh memajukan
salat yang kedua itu pada waktu salat pertama. Ini boleh menurut pendapat
yang lebih kuat. Jadi kesimpulannya yaitu bagi orang yang sakit bila itu hal
yang lebih meringankan untuknya dan karena bila ia akan takut kehilangan
kesadarannya maka dibolehkan menjamaʹ salatnya. Adapun waktu
pelaksanaannya itu pada waktu salat yang pertama.71
5. Ada Suatu keperluan atau Hajat
Segolongan ulama menyatakan bahwa diperbolehkan melakukan jamaʹ di
rumah lantaran adanya hajat (suatu keperluan) yaitu bagi orang yang tidak
melakukannya sebagai kebiasaan.72
Menurut Ibnu Sirin, beberapa fuqaha dari golongan Malikiyah, al-Qaffal,
dan al-Syasyi dari golongan Syafi‟iyah dibolehkan menjamaʹ salat karena ada
suatu keperluan, asal tidak dijadikan suatu kebiasaan.73
Hadis Ibnu Abbas
bahwa Nabi saw. salat di Madinah delapan rakaat dan tujuh rakaat, yaitu Zuhur
dan Asar, Maghrib dan Isya. Pendapat ini juga diperkuat oleh pernyataan Ibnu
Abbas pada waktu beliau menyebutkan bahwa Rasulullah Sallallāhū „Alaihi
Wasallam:
71
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, h. 452. 72
al-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah Khairul Amru Harahap
dkk, h. 513. 73
Djaelan Husnan, Perbandingan Mazhab dalam Hukum Islam, h.
376.
38
بني عن ابن عباس رضي اهلل عنهما قال مجع رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلمدينة يف غري خوف وال مطر قيل البن عباس هر والعصر واملغرب والعشاء باملظال
74)رواه مسلم( .متوأرج ال حيأن راد أراد بذلك؟ قال أماذا
Artinya:“Dari Ibnu Abbas Radiyallāhu anhu berkata: RasulullahSallallāhu
„Alaihi Wasallam pernah melakukan salat Zuhur dan Asar dengan dijamaʹ
, dan salat Maghrib dan Isya dengan dijamaʹ di Madinah, bukan karena
takut dan bukan karena hujan. Lalu orang menanyakan kepada Ibnu
Abbas: kenapa nabi berbuat itu? Katanya:” Maksudnya ialah agar beliau
tidak menyukarkan umatnya.” (HR. Muslim).
Mereka berpendapat demikian berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas di atas
dan perkataan Ibnu Abbas ketika ditanya tentang maksud hadits tersebut, lalu
ia menjawab bahwa Nabi bermaksud supaya tidak menyukarkan umatnya.
Maksud menghindari kesukaran tidak sesuai kalau yang dimaksud hajatnya
jamaʹ dalam kelihatan saja, sedang masing-masing salat berada dalam
waktunya sendiri, karena mengatur yang demikian itu termasuk sukar.75
Ulama Hambaliah memperluas keringanan dalam menjamaʹ salat, dengan
sebab ibu-ibu yang sedang menyusui karena sulitnya membersihkan najis
setiap kali ingin salat. Wanita-wanita yang sedang istihadhoh, Keadaan ini
seperti orang yang sedang sakit.
Ibnu Taimiyyah berkata,” Mazhab yang paling luas dalam memberi
keringanan menjamaʹ salat adalah Mazhab Imam Ahmad, bahwa dia
membolehkan menjamaʹ bagi orang yang sedang sibuk bekerja. Dan bahkan
membolehkan menjamaʹbagi tukang masak, pembuat roti, dan orang-orang
74
Muslim al-Nīsāburī, Sahih Muslim, Juz. 2, h. 150. 75
Mahmoud Saltout, Ali al-Sayis, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1996), h. 73.
39
yang mengkhawatirkan hartanya akan rusak.76
Seperti juga halnya dalam
kegiatan seminar atau loka karya.77
Mazhab Hambali membolehkan orang yang sibuk untuk menjamaʹ salat,
ataupun orang yang memiliki udzur dan membolehkan untuk meninggalkan
salat jumat dan jamaʹ ah, seperti takut bahwa dirinya, kehormatannya ataupun
sesuatu yang dapat membahayakan pekerjaan yang ia butuhkan bila
meninggalkan salat jamaʹ . Ini khusus untuk para pekerja, petani ladang yang
mengurus irigasi pada saat gilirannya. Akan tetapi meninggalkan jamaʹ salat itu
lebih utama.78
Menjamaʹ takdīm antara Zuhur dan Asar. Dan menjamaʹ takhir antara
Magrib dan Isya di Muzdalifah adalah disunahkan, akan tetapi juga
disyariatkan dalam hal-hal dibolehkannya menjamaʹ salat selain dikedua waktu
diatas diharuskan bersetatus sebagai musafir, yang diperbolehkan mengqasar
salat atau orang sakit yang akan kepayahan apabila ia meninggalkan salat
secara jamaʹ atau seperti seorang wanita yang sedang istihadhoh. Dan orang-
orang yang tidak dapat mengetahui kapan waktu salat dengan pasti, maka
dengan itu orang tersebut harus melakukan jamaʹ seperti orang yang buta.
Dan jika melakukannya menurut yang terbaik untuknya, baik itu takdîm
maupun takhîr maka itu lebih baik. Semua udzur diatas dapat menyebabkan
dibolehkanya jamaʹ takdîm atau takhîr.79
76
al-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah Khairul Amru Harahap
dkk, h. 512. 77
Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, h. 116. 78
al-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah Khairul Amru Harahap
dkk, h. 512. 79
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah, Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, h. 457.
40
Dengan demikian sebab-sebab yang telah dituliskan oleh para ulama maka
keringanan yang dianugerahkan dan diberikan oleh Allah Subhānahū Wata‟ālā
kepada umat Islam dalam melaksanakan ibadahnya. Oleh karena itu terimalah
keringanan (rukhshah) yang telah diberikan Allah kepada kita, diwaktu kita
merasa keberatan dalam melaksanakan ibadahnya. Allah Subhānahū
Wata‟ālām suka dan senang kepada orang yang mau menerima keringanan
yang telah diberikan kepadanya, sebagaimana ia suka kepada orang yang tidak
keberatan menerima yang semestinya kepadanya.
41
BAB III
TINJAUAN TERHADAP MUDZAKARAH MUI DKI JAKARTA
A. Sejarah Singkat MUI DKI Jakarta
MUI berdiri atas dilatarbelakanginya adanya kesadaran kolektif Umat
Islam bahwa Negara Indonesia memerlukan suatu landasan kokoh bagi
pembangunan masyarakat yang maju dan berakhlak. Oleh karena itu, keberadaan
organisasi para ulama,zuama, dan cendikiawan muslim ini merupakan
konsekuensi logis dan prasyarat bagi berkembangnya hubungan harmonis antara
berbagai potensi untuk kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia untuk menjawab
setiap masalah sosial keagamaan yang senantiasa timbul dan dihadapi oleh
masyarakat.
Kelahiran Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta lahir pada
tanggal 13 Februari 1975 (1 Shafar 1395 H), ini merupakan sejarah yang unik,
karena ia lahir 5 bulan lebih awal dari pada MUI Pusat. Sementara MUI Pusat
lahir pada tanggal 17 Rajab 1395 H bertepatan dengan tangal 26 juli 1975.1
MUI Provinsi DKI Jakarta meskipun lahir mendahului organisasi
induknya, masih berhubungan secara organisatoris dan historis dengan MUI
Pusat. Bahkan, dalam kancah pergerakan umat Islam di Indonesia, legitimasi
sejarah tetap saja dialamatkan kepada MUI Pusat.
1Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran
Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Penerjemah Soedarso Soekarna, (Jakarta: INIS, 1993), h.
56.
42
Pada bulan Oktober 1962 MUI Pusat pernah berdiri atas instruksi
pemerintah pusat. Pada saat itu, MUI turut ambil bagian dalam pembangunan ala
Demokrasi Terpimpin. Pada saat Soekarno turun dari kursi kepresidenannya, MUI
Pusat justru tidak berfungsi. Sebaliknya, MUI di daerah-daerah yang Islamnya
terkenal kuat, misalnya Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan,
kegiatannya justru semakin meningkat. Karenanya, pada saat itu mekanisme
organisasi MUI tidak sama antara satu daerah dengan daerah lainnya.2
MUI muncul hampir bersamaan dengan dua kondisi politik yang paradoks
di era Orde Baru. Di satu sisi, kegagalan perjuangan merehabilitasi Masyumi,
akibat kekhawatiran Orde Baru terhadap kelompok politik Islam. Di sisi lain,
kebutuhan Orde Baru untuk mendapatkan dukungan politik dari kalangan Islam
untuk mensukseskan pembangunan ala Orde Baru. Di pihak umat Islam,
kekecewaan politik atas kegagalan Masyumi, membuat mereka mendirikan wadah
perjuangan baru dalam bentuk lain.
Pada tanggal 9 Mei 1967, Muhammad Natsir bersama-sama dengan bekas
pemimpin Masyumi lainnya, mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
(DDII). Walaupun tanpa dukungan pemerintah, DDII memperoleh sambutan
hangat di berbagai daerah. Terlebih lagi, ia mendapat dukungan dari Rabithah al-
2A. Syarifuddin Abdul Ghani, Zulfa Mustofa, dkk. Peran Keutamaan MUI Provinsi DKI
Jakarta, Upaya Mewujudkan Perbaikan Akhlak Bangsa dalam Dinamika Masyarakat Ibukota
Jakarta Yang Heterogen, (Provinsi DKI Jakarta: Program Majelis Ulama Indonesia, 2014-2015),
h. 1.
43
Islami Karachi, dimana Natsir menjadi wakil ketua organisasi Islam internasional
itu3
Tanggal 8 September 1969, berdirinya Pusat Dakwah Islam Indonesia
(PDII) yang dibentuk Menteri Agama dengan SK No. 108/1969. karena atas
suksesnya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) ini memunculkan inspirasi
PDII. Lembaga yang diketuai KH. Moh. Ilyas, kemudian H. Sudirman, ketua
Letnan Jenderal Sudirman, Badan ini merupakan badan setengah resmi di mana
tokoh-tokohnya berasal dari pemerintah, organisasi Islam serta ilmuwan.
Dibentuk atas dasar keputusan suatu seminar da‟wah bulan Juni 1969 di Fakultas
Ushuludin IAIN Jakarta.4Karena PDII berdiri didukung pemerintah dan diasuh
tokoh-tokoh Masyumi. Kondisi semacam ini melahirkan kesan, pendirian PDII
untuk menyaingi DDII.
Tanggal 30 September s/d 4 Oktober 1970 di Jakarta atas keberhasilannya
menyelenggarakan Musyawarah Alim Ulama seluruh IndonesiaSalah satu karya
besar PDII, Dalam musyawarahnya yang bertemakan “Mewujudkan Kesatuan
Amaliyah Sosial Umat Islam dalam Masyarakat, dan Partisipasi Alim Ulama
dalam Pembangunan Nasional” itu, para peserta mengajukan usul untuk
mendirikan “lembaga fatwa”. Mereka mengusulkan agar lembaga fatwa itu terdiri
dari alim ulama dan cendikiawan muslim terpilih, yang memiliki pengetahuan
luas, sehingga fatwanya memiliki otoritas agama yang mengikat. Diharapkan,
3A. Syarifuddin Abdul Ghani, Zulfa Mustofa, dkk. Peran Keutamaan MUI Provinsi DKI
Jakarta, Upaya Mewujudkan Perbaikan Akhlak Bangsa dalam Dinamika Masyarakat Ibukota
Jakarta Yang Heterogen, h. 2. 4Lilih Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1983), h. 135.
44
pemerintah dapat menyokong lembaga fatwa itu, sehingga fatwa-fatwa yang
diterbitkan dapat lebih mengikat di masyarakat.
Hanya saja, para peserta musyawarah mengkhawatirkan keberadaan
lembaga fatwa tersebut menjadi tidak independen ; menjadi alat pemerintah untuk
mendikte ulama. Menyikapi kekhawatiran ini, Menteri Agama menegaskan,
lembaga fatwa itu sebenarnya merupakan refleksi peran ulama dan sama sekali
bukan dimaksudkan untuk mendikte ulama.5
Sebelum pendirian MUI, telah muncul beberapa kali pertemuan yang
melibatkan para ulama dan tokoh Islam. Pertemuan tersebut untuk mendiskusikan
gagasan akan pentingnya suatu majelis ulama yang menjalankan fungsi ijtihad
kolektif dan memberikan masukan dan nasehat keagamaan kepada pemerintah dan
masyarakat. Pada tanggal 30 September hingga 4 Oktober 1970 Pusat Dakwah
Islam menyelenggarakan sebuah konferensi. Konferensi tersebut digagas untuk
membentuk sebuah majelis ulama yang berfungsi memberikan fatwa.
Salah satu gagasan muncul dari sebuah makalah yang dipresentasikan oleh
Ibrahim Hosen yang mengutip keputusan Majma al-Buhuts al-Islamiyyah (Cairo,
1964) tentang pentingnya melakukan ijtihad kolektif. Buya Hamka, yang juga
menjadi penyaji makalah saat itu, dengan keras menolak gagasan tersebut,
terutama mengenai pelibatan sarjana sekuler dalam ijtihad kolektif. Akhirnya,
sebagai gantinya landasan itu, Buya Hamka merekomendasikan kepada Presiden
Soeharto agar memilih seorang mufti yang akan memberikan nasehat kepada
pemerintah dan umat Islam Indonesia. Karena muncul kontroversi, maka tidak ada
5A. Syarifuddin Abdul Ghani, Zulfa Mustofa, dkk. Peran Keutamaan MUI Provinsi DKI
Jakarta, Upaya Mewujudkan Perbaikan Akhlak Bangsa dalam Dinamika Masyarakat Ibukota
Jakarta Yang Heterogen, h. 3.
45
keputusan membentuk sebuah majelis. Singkatnya, konferensi tersebut hanya
merekomendasikan bahwa Pusat Dakwah Islam akan melihat kembali
kemungkinan tersebut dengan berbagai pertimbangan. Selama empat tahun
berikutnya, rekomendasi ini tidak diperhatikan lagi.6
Namun saran tersebut baru mendapat tanggapan pada tahun 1974 ketika
Pusat Dakwah Islam Indonesia (PDII) kembali mengadakan lokakarya nasional
bagi juru dakwah muslim Indonesia. Dari pertemuan itu disepakati bahwa
pembentukan majelis ulama harus diprakasai ditingkat daerah. Dan hal ini
mendapat dukungan dari presiden Soeharto bertepatan tanggal 24 Mei 1975
mengemukakan alasan bahwa pemerintah menginginkan kaum muslimin bersatu
dan adanya kesadaran bahwa masalah yang dihadapi bangsa tidak dapat
diselesaikan tanpa keikutsertaan ulama. Sehingga pada tahun 1975 majelis-majelis
daerah telah terbentuk hampir seluruh daerah dari 26 provinsi di Indonesia.7
Akhirnya pada masa orde baru desakan untuk membentuk semacam majelis ulama
nasional nampak begitu jelas. Pada tanggal 1 Juli 1975, pemerintah dengan
diwakili Departemen Agama mengumumkan penunjukan sebuah panitia persiapan
pembentukan majelis ulama tingkat nasional. Panitia itu terdiri dari Jenderal
(Purn) H.Sudirman,selaku ketua dan tiga orang ulama selaku penasehat, yaitu: Dr.
Hamka, K.H. Abdullah Syafi‟i dan K.H. Syukri Ghazali. Tepat pada tanggal 21-
27 Juli 1975/12-18 Rajab 1395, dilangsungkan Muktamar Nasional Ulama. Para
6A. Syarifuddin Abdul Ghani, Zulfa Mustofa, dkk. Peran Keutamaan MUI Provinsi DKI
Jakarta, Upaya Mewujudkan Perbaikan Akhlak Bangsa dalam Dinamika Masyarakat Ibukota
Jakarta yang Heterogen, h. 4-5. 7Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran
Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Penerjemah Soedarso Soekarna, h. 54-55.
46
peserta terdiri dari wakil-wakil majelis ulama daerah yang baru dibentuk, para
wakil pengurus pusat sepuluh organisasi Islam yang ada di Indonesia, sejumlah
ulama bebas (yang tidak mewakili organisasi tertentu) dan empat orang wakil
rohaniawan Islam ABRI. Dan pada akhir Muktamar, tanggal 26 Juli 1975 tersebut
sebuah deklarasi yang ditandatangani oleh 53 peserta, yang mengumumkan
terbentuknya MUI sebagai ketua pertama adalah seorang penulis Dr.Hamka.8
Setelah Undang-Undang No. 35 Tahun 1985 dan No. 8 Tahun 1985
disahkan, Undang-Undang ini telah memperkokoh kedudukan MUI di atas semua
kelompok dan golongan Islam yang ada. Ulama yang tergabung dalam MUI
memiliki citra baru, sebagai pemimpin yang mempunyai kekuatan moral terhadap
semua kekuatan politik dalam mengawal dan memelihara kelurusan aqidah umat.
Mayoritas fatwa dan nasihat MUI pun diterima PPP, Golkar, dan PDI.
Dalam latar kesejarahan MUI disebutkan, setelah lokakarya mubaligh
seluruh Indonesia tanggal 26 s/d 29 Nopember 1974 yang diadakan Pusat Dakwah
Islam Indonesia (PDII), disepakati: Majelis Ulama atau lembaga semacamnya
diperlukan untuk memelihara kelanggengan partisipasi umat Islam dalam
pembangunan.
Untuk melaksanakan konsensus itu, Menteri Dalam Negeri
menginstruksikan agar daerah-daerah yang belum membentuk Majelis Ulama
segera membentuknya. Targetnya, pada bulan Mei 1975, di seluruh daerah tingkat
8Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran
Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Penerjemah Soedarso Soekarna, h. 56.
47
kabupaten maupun provinsi se-Indonesia berdiri Majelis Ulama, termaksud MUI
Provinsi DKI Jakarta.9
Periode pertama (1975-1980) kepemimpinan MUI DKI Jakarta Ketua
Umum dijabat KH. Abdullah Syafi‟i dengan Sekretaris Umum H. Ghazali
Syahlan.Periode kedua (1880-1985), Abdullah Syafi‟i dipilih kembali menjadi
Ketua Umum MUI DKI Jakarta demikian pula Sekretaris Umumnya. Periode
ketiga (1985-1990), Ketua Umum dijabat KH. Achmad Mursyidi dengan
Sekretaris Umum H. Ghazali Syahlan. Periode keempat (1990-1995) Syafi‟i
Hadzami dipilih kembali sebagai Ketua Umum untuk dua periode, dengan
Sekretaris Umum Drs. H. Ibrahim AR. Periode kelima (1995-2000) dengan
Sekretaris Umum H. Cholid Fadlulloh, SH. Pada periode keenam (2000-2005),
Kyai Mursyidi berkantor kembali di H. Awaluddin II, Jakarta untuk memimpin
MUI DKI Jakarta periode 2000-2005 dibantu Sekretaris Umum Drs. H.Zainuddin.
Kyai Mursyidi terpilih lewat Musyawarah Daerah pada tahun 1999. Pada tanggal
9 April 2003, KH. Mursyidi wafat dan posisinya digantikan KH. Ahmad Syatibi
(2003). Tetapi belum sampai satu tahun menjabat sebagai Ketua Umum MUI,
beliau juga wafat dan jabatan Ketua Umum diteruskan oleh KH. Mansyuri Syahid
sampai diselenggarakannya MUSDA VI MUIDKI Jakarta tahun 2005. Akhirnya
9A. Syarifuddin Abdul Ghani, Zulfa Mustofa, dkk, Peran Keutamaan MUI Provinsi DKI
Jakarta Upaya Mewujudkan Perbaikan Akhlak Bangsa dalam Dinamika Masyarakat Ibukota
Jakarta yang Heterogen, h. 8.
48
dalam MUSDA ini, KH. Munzir Tamam, MA ditetapkan sebagai Ketua Umum
MUI DKI Jakarta periode 2005-2010.10
Selanjutnya, pada periode kedelapan (2010-2015) KH. Munzir Tamam,
MA terpilih kembali sebagai Ketua Umum untuk memimpin MUI DKI Jakarta
didampingi Dr. Samsul Maarif, MA sebagai Sekretaris Umum. Namun, di tengah
jalan sebagaimana diberitakan Info Ulama edisi 1 ada perselisihan internal di
kepengurusan MUI DKI Jakarta yang lama yang membuat MUI Pusat turun
tangan untuk menyelesaikannya. MUI Pusat sendiri sudah melakukan mediasi
terhadap pihak-pihak yang berkonflik di internal kepengurusan MUI DKI Jakarta
tersebut. Namun, karena upaya mediasi mengalami jalan buntu, MUI Pusat
kemudian mengganti kepengurusan MUI DKI Jakarta yang lama dengan yang
baru melalui mekanisme Musyawarah Daerah (Musda) yang dipercepat. Musda
MUI Provinsi DKI Jakarta yang dipercepat tersebut diselenggarakan hanya satu
hari pada hari Rabu, 2 September 2013 di Gedung MUI Pusat Jl. Proklamasi,
Menteng Jakarta Pusat. Dari Musda yang dipercepat tersebut, Tim Formatur
menetapkan Kepengurusan MUI DKI Jakarta Masa Khidmat 2013-2018 dengan
K.H. A. Syarifuddin Abdul Ghani, MA sebagai Ketua Umum dan K.H. Zulfa
Mustofa MY sebagai Sekretaris Umum-nya.11
Adapun Susunan Organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) di wilayah
Provinsi DKI Jakarta meliputi:
10
A. Syarifuddin Abdul Ghani, Zulfa Mustofa, dkk, Peran Keutamaan MUI Provinsi DKI
Jakarta Upaya Mewujudkan Perbaikan Akhlak Bangsa dalam Dinamika Masyarakat Ibukota
Jakarta yang Heterogen, h. 9. 11
A. Syarifuddin Abdul Ghani, Zulfa Mustofa, dkk. Peran Keutamaan MUI Provinsi DKI
Jakarta, Upaya Mewujudkan Perbaikan Akhlak Bangsa dalam Dinamika Masyarakat Ibukota
Jakarta Yang Heterogen, h. 10.
49
1. MUI Pusat, berkedudukan di Ibukota Negara. Berdiri pada tanggal 17 Rajab
1395 H bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 M.
2. MUI Provinsi DKI Jakarta, berkedudukan di Ibukota Provinsi DKI Jakarta.
Berdiri pada tanggal 1 Shafar 1395 H bertepatan dengan tanggal 13 Februari
1975 M.
3. MUI Kotamadya/Kabupaten, berkedudukan di Ibukota Kotamadya/Kabupaten
yang terdiri dari:
MUI Kota Administrasi Jakarta Pusat
MUI Kota Administrasi Jakarta Utara
MUI Kota Administrasi Jakarta Barat
MUI Kota Administrasi Jakarta Selatan
MUI Kota Administrasi Jakarta Timur
MUI Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
MUI Kecamatan, terdapat 44 Kecamatan dalam wilayah Privinsi DKI
Jakarta.12
Demikianlah peristiwa atau sejarah singkat menjelang terbentuknya
Majelis Ulama DKI Jakarta oleh pemerintah.
B. Metode Istinbat Hukum MUI DKI Jakarta dalam Mudzakarah
Pengertian Istinbat menurut bahasa adalah mengeluarkan (mengambil) air
dari mata air. Sedangkan menurut istilah adalah mengeluarkan makna-makna dari
12
MUI DKI Jakarta, Laporan Tahunan Majelis Ulama Indonesia Tahun 1992, (Jakarta:
MUI DKI Jakarta, 1992), hal 5.
50
nash (yang terkandung dengan menumpahkan pikiran dan kemampuan atau
potensi naluriah).
Tujuan penetapan hukum tersebut di atas supaya hukum syara‟ yang belum
ditegaskan oleh nash al-Qur‟an dan al-Hadis dapat diketahui dengan melalui
ijtihad atau mencurahkan kemampuan untuk hukum syara‟.13
Di Indonesia, lembaga fatwa MUI merupakan lembaga independen yang
terdiri dari para ahli ilmu dan merupakan kelompok yang berkompeten dan
memiliki otoritas yang memadai untuk memberikan keputusan-keputusan ilmiah.
Untuk itu, lembaga ini dengan seluruh anggotanya selalu berpegang pada dasar-
dasar yang sudah baku dan menjadi aturan yang dijadikan pedoman penetapan
fatwa.
Program acara Mudzakarah ini merupakan salah satu hasil dari bagian
penetapan fatwa. Dalam menetapkan fatwa harus mengikuti tata cara dan prosedur
tertentu yang telah disepakati oleh para ulama, termasuk dalam hal penggunaan
dasar yang menjadi landasan hukum dalam penetapan fatwa. Penetapan fatwa
yang tidak mengindahkan tata cara dan prosedur yang ada merupakan salah satu
bentuk tahakkum (membuat-buat hukum) dan menyalahi esensi fatwa yang
merupakan penjelasan hukum syara‟ terhadap suatu masalah, yang harus
ditetapkan berdasarkan dalil-dalil keagamaan.
Dalam hal ini para ulama mengelompokkan sumber atau dalil syara‟ yang
dapat dijadikan dasar penetapan fatwa menjadi dua kelompok, yakni: dalil-dalil
13
Kamal Muhtar, Ushul Fiqh Jilid II, (Yogyakarta: Dana Bhakti
Wakaf, 1995), h. 5.
51
hukum yang disepakati oleh para ulama untuk dijadikan dasar penetapan fatwa
dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan untuk dijadikan dasar penetapan fatwa.
Para ulama juga telah menjelaskan apa saja dalil-dalil hukum yang
disepakati untuk dijadikan dasar penetapan fatwa yaitu al-Qur‟an, al-Sunnah,
Ijmaʹ, dan Qiyas. Sebagaimana para ulama juga telah menyebutkan dalil-dalil
hukum yang diperselisihkan untuk dijadikan dasar penetapan fatwa, yakni: al-
Istihsan, al-Istishhab, Maslahah al-Mursalah, Sadd al-Zari‟ah, Mazhab
Shahabah, dan sebagainya.14
Dasar yang menjadi justifikasi para ulama dalam menetapkan klasifikasi
pertama yang menyatakan bahwa al-Qur‟an, al-Sunnah, Ijmaʹ, dan Qiyas
merupakan dalil-dalil hukum yang disepakati untuk menjadi dasar penetapan
fatwa adalah firman Allah dalam QS. An-Nisa (4): 59
أيها ا أطيعىا ٱلذين ي ءامنى سىل وأطيعىا ٱلل ر وأولي ٱلر مأ تمأ في ٱلأ زعأ فئن تن منكمأ
وه إلى ء فرد شيأ سىل و ٱلل منىن ب ٱلر إن كنتمأ تؤأ م و ٱلل يىأ خ ٱلأ س ر ٱلأ ر وأحأ لك خيأ ن ذ
ويل ٩٥ تأأArtinya:“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kalian berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur‟an)
dan Rasul (as-Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”.
Disamping ayat tersebut diatas, para ulama yang mempunyai pendapat
bahwa al-Qur‟an, Sunnah, Ijmaʹ dan Qiyas merupakan dasar penetapan fatwa para
ulama, juga mendasarkan pendapatnya pada hadis Mu‟adz bin Jabal ketika diutus
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
14
Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Paramuda Advertising,
2008), h. 55.
52
ال: أقضي إذا عرض لك قضاء؟ ققال لو الرسول: كيف تقضى يا معاذفلم جتد ل: فإناهلل؟ قال: فبسنة اهلل قاب بكتاب اهلل. قال: فإن مل جتد يف كتا
فضرب رسول اهلل صلى اهلل -جتهادأي ال أقصر ىف اإل -هد برأيب ؟ قال: أجتى ملا يرضرسول اهلل رسول هلل الذي وفقوقال احلمد ٬عليو وسلم على صدره
15.ورسولو اهللArtinya:“Rasulullah SAW bertanya kepada Mu‟adz: “Bagaimana engkau
menghukumi sesuatu jika dihadapkan pada persoalan hukum wahai
Mu‟adz?”. Mu‟adz menjawab:” saya menghukuminya berdasarkan kitab
Allah”. “Bagaimana jika engkau tidak mendapatkan (hukum) di dalam
kitab Allah?”, tanya Rasulullah. Mu‟adz menjawab:“Berdasarkan sunnah
Rasulullah”.Jika tidak mendapatkannya?”, lanjut Rasulullah, “Saya
berijtihad dengan akalku”. Kemudian Rasulullah memukul pundak
Mu‟adz sambil mengucapkan: ”segala puji bagi Allah yang telah memberi
taufik kepada delegasi Rasulullah atas ridha Allah dan Rasulnya”.
(Ahmad bin Hambal Abu „Abdullah al-Syaibani).
Meskipun demikian, para ulama memberikan catatan bahwa al-Qur‟an, al-
Sunnah, Ijmaʹ dipandang sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri dalam
menetapkan hukum syari‟ah, sehingga tidak membutuhkan sumber hukum lainya
dalam menetapkan suatu fatwa. Sedangkan qiyas tidak demikian, karena dalam
menetapkan hukum dengan menggunakan qiyas tetap membutuhkan landasan
hukum yang ada dalam al-Qur‟an, sunnah, dan Ijmaʹ, serta memerlukan adanya
„illat yang ada pada hukum asal.16
Dengan demikian dalil qiyas sifatnya tidak
independen dengan dalil yang bersifat naqli, terikat dengan ashl yang terdapat
dalam nash al-Qur‟an dan sunnah.
15
Ahmad bin Hambal Abu„Abdullah al-Syaibani, Musnad bin Hambal, (Kairo:
Muassashah Qurtubah, t.th), Juz. 5, h. 242. 16
Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, h. 57.
53
Untuk melakukan tugas ijtihadnya, MUI mempunyai tata cara dalam
penetapan fatwa yang tertuang dalam prosedur penetapan fatwa pada 1986, yang
pada tahun 1997, diganti menjadi “Pedoman Tata Cara Penetapan Fatwa Majelis
Ulama Indonesia”, dan kemudian disempurnakan dengan judul “Pedoman dan
Prosedur Penetapan Fatwa MUI” Tahun 2001”. Lalu pedoman ini disempurnakan
kembali pada forum Ijtimaʹ Ulama Komisi Fatwa se Indonesia I pada tahun 2003.
Secara operasional, dalam pedoman penetapan fatwa MUI disebutkan ada
beberapa hal yang menjadi dasar dan metode penetapan fatwa MUI, yaitu dalam
Bab II tentang dasar umum dan sifat Fatwa disebutkan bahwa:17
1) Penetapan fatwa didasarkan pada al-Qur‟an, sunnah (hadits), Ijmaʹ, dan Qiyas,
serta dalil lain yang mu‟tabar.
2) Aktifitas penetapan fatwa dilakukan secara kolektif oleh suatu lembaga fatwa
yang dinamakan Komisi Fatwa.
3) Penetapan fatwa bersifat responsif, proaktif, dan antisipatif.
Kemudian dalam bab III disebutkan tentang Metode penetapan Fatwa
yaitu sebagai berikut:18
1) Sebelum fatwa ditetapkan hendaklah ditinjau lebih dahulu pendapat para Imam
Mazhab dan ulama yang mu‟tabar tentang masalahnya.
2) Masalah yang telah jelas hukumnya hendaklah disampaikan sebagaimana
adanya.
3) Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan mazhab, maka:
17
Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI dalam Himpunan Fatwa MUI, (Jakarta:
Sekretariat MUI, 2010), h. 5. 18
Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI dalam Himpunan Fatwa MUI, (Jakarta:
Sekretariat MUI, 2010), h. 8.
54
a. Penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu di antara
pendapat ulama-ulama mazhab melalui metode al-jam‟u wa al-Taufiq; dan
b. Jika usaha penemuan titik temu tidak berhasil dilakukan, penetapan fatwa
didasarkan pada hasil tarjih melalui metode muqaranah dengan
menggunakan kitab-kitab Ushul Fiqh Muqaran.
4) Dalam masalah yang tidak ditemukan pendapat hukumnya di kalangan
mazhab, penetapan fatwa didasarkan pada hasil ijtihad jama‟i (kolektif).
5) Penetapan fatwa harus senantiasa memperhatikan kemaslahatan umum (al-
maslahah al-mursalah) dan maqasid al-syari‟ah.
Setelah melakukan pembahasan secara mendalam komprehensif, serta
memperhatikan pendapat dan pandangan yang berkembang dalam sidang,
komisi menetapkan fatwa. Setiap keputusan Fatwa harus di-tanfidz-kan setelah
ditandatangani oleh Dewan Pimpinan dalam bentuk Surat Keputusan Fatwa
(SKF).19
Didalam Surat Keputusan Fatwa (SKF), harus dicantumkan dasar-dasar
pengambilan hukum disertai uraian dan analisis secara ringkas, serta sumber
pengambilanya. Setiap (SKF) Surat Keputusan Fatwa sedapat mungkin disertai
dengan tindak lanjut dan rekomendasi atau jalan konsekuensi dari SKF
tersebut.
Majelis Ulama Indonesia, secara hierarkis ada dua, yaitu Majelis Ulama
Indonesia Pusat yang berkedudukan di Jakarta dan Majelis Ulama Indonesia
Daerah. Majelis Ulama Indonesia Pusat berwenang mengeluarkan fatwa
mengenai permasalahan keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut
19
Fuad Thohari,Pedoman Penetapan Fatwa Bagi Da‟i, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia
Provinsi DKI Jakarta, 2012), h. 104.
55
permasalahan umat Islam Indonesia secara nasional dan masalah-masalah
keagamaan yang terjadi di daerah-daerah lain, bahkan masalah-masalah
tersebut bisa menasional.20
Meskipun ada hierarki antara MUI Pusat dan MUI daerah, namun fatwa
yang dikeluarkan kedua lembaga tersebut adalah sederajat, artinya bahwa fatwa
yang satu tidak bisa membatalkan fatwa yang lain. Masing-masing fatwa
berdiri sendiri sesuai dengan lokalitas dan kondisinya namun ketika keputusan
MUI Daerah dan MUI Pusat ada perbedaan dalam masalah yang sama, maka
kedua pihak bertemu untuk mencari penyelesaian yang terbaik, agar putusan
tersebut tidak membingungkan umat Islam.21
C. Mudzakarah
1. Pengertian Mudzakarah
Mudzakarah berasal dari kata bahasa arab, yaitu dari“dzaakara-
yudzaakiru-mudzaakaratan”, yang berasal dari wazan “fa‟ala-yufaa‟ilu-
mufaa‟alatan”, yaitu kata kerja yang dilakukan bukan oleh perorangan tapi
secara interaksi. Yang dalam hal ini mudzakarah memiliki arti saling
mengingatkan, yaitu semacam buah dari nasihat.22
Arti lain yang senada
dengan itu ditulis oleh Muhammad Yunus yaitu mengingatkan, belajar bersama
20
Muaz, “Metode Penetapan Fatwa MUI Provinsi DKI Jakarta”, Artikel diakses pada 08
Maret 2016 dari http://www.Muidkijakarta.or.id/2014/12/23/Metode-Penetapan-Fatwa-MUI-
Provinsi-DKI-Jakarta.html. 21
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi,
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h. 134. 22
Syaikh Abdullah shoefie, “Rambu-Rambu dalam Musyawarah dan mudzakarah”,
Artikel diakses pada 08 Maret 2016, dari http://www.al-ulama.net/2009/03/18/rambu-
rambudalammusyawarahdanmudzakarah.html.
56
tanpa guru.23
Metode mudzakarah adalah suatu cara yang digunakan dalam
proses belajar mengajar dengan menggunakan kekuatan hafalan atau saling
mengingatkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2. Kedudukan Hasil Mudzakarah di Lembaga MUI DKI Jakarta
Sebagaimana yang telah ditulis oleh media yang tertera dalam website
MUI DKI Jakarta pada 15 Desember 2015, Program Mudzakarah MUI adalah
sebuah program baru yang diselenggarakan oleh MUI DKI Jakarta yang
memiliki tujuan untuk membicarakan program strategis mengenai
keummmatan, mudzakarah ini bukan hanya dihadiri oleh pengurus MUI
namun, oleh semua Kiyai dan Ulama di DKI Jakarta.
Kiyai Syarifuddin Abdul Ghani, selaku ketua MUI DKI Jakarta
mencontohkan salah satu pembahasan yang dibahas dalam program
Mudzakarah ini adalah membahas persoalan men-jamaʹ salat bagi yang
terjebak kemacetan. Ia mencontohkan dalam kondisi macet di Jakarta sering
kali membuat kalangan pekerja di Jakarta kehilangan waktu maghrib.
Sementara itu AM Fatwa, ketua Dewan Penasehat MUI DKI Jakarta
mengatakan bahwa MUI Harus berada di posisi strategis dan dirasakan oleh
masyarakat dan ummat di DKI Jakarta.24
23
Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta:Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, 1973), h. 134. 24
Nanda,“ Mudzakarah Ulama Program Baru MUI DKI Jakarta yang Strategis”, Berita
diakses pada 08 Maret 2016 dari http://www.muidkijakarta.or.id/2015/04/12/mudzakarah-ulama-
program-baru-mui-dki-yang-strategis/.html.
58
BAB IV
ANALISIS DALIL HUKUM HASIL MUDZAKARAH MUI DKI
JAKARTA MENGENAI MENJAMAʹ SALAT DALAM KONDISI MACET
A. Hasil Mudzakarah MUI DKI Jakarta Tentang Hukum Menjamaʹ Salat
dalam Kondisi Macet
Menghidupkan tradisi keilmuan yang mengupas isu-isu kekinian dengan
rujukan teks-teks Islam klasik sejatinya bukan perkara mudah. Terlebih bila
ikhtiar itu dilakukan oleh para ulama dan umara serta berlangsung di Ibukota
Jakarta pada Sabtu 11 April 2015 lalu mewujudkan hal tersebut.1
Sebagaimana yang dilaporkan dalam website MUI DKI Jakarta, MUI DKI
Jakarta mengadakan acara Mudzakarah ulama yang dilaksanakan pada 11 April
2015 di tempat kediaman ketua MUI DKI Jakarta yaitu di Basmol, Kembangan
Utara. Acara ini tampak begitu dinamis dan menggugah, pasalnya para peserta
mudzakarah yang terbagi menjadi dua komisi yang menunjukkan keseriusan
dalam membedah dua perkara yang menjadi tema penting dalam mudzakarah hari
itu. Yaitu pembahasan tentang alokasi dana bazis yang diberikan kepada non-
muslim yang faqir lagi miskin dan juga membahas tentang salat jamaʹ dalam
kondisi macet. Komisi yang fokus dalam pembahasan menjamaʹ salat dalam
kondisi macet dipimpin oleh K.H. Mishbahul Munir berlangsung dengan khidmat.
Para peserta sepakat ihwal kebolehan menjamaʹ salat dalam kondisi macet. Hanya
1Muaz, “Mudzakarah Ulama MUI DKI Jakarta” Artikel diakses pada 08 Maret 2016 dari:
http://www.muidkijakarta.or.id/2015/04/mudzakarah-ulama-di-jakarta.html.
59
saja perlu diatur lebih lanjut metode istidlal yang dipakai dan kaifiyat (tata cara)
pelaksanaannya.2
Diantara isi pembahasan dalam mudzakarah tentang Hukum menjamaʹ
salat ketika macet dengan jarak dekat adalah terdapat beberapa pertanyaan yang
diajukan pada majelis mudzakarah, yaitu menanyakan pendapat majelis
mudzakarah tentang orang yang mendapat kesulitan di dalam perjalanan jarak
dekat di tengah kemacetan yang parah terutama bagi penduduk Jakarta dan
sekitarnya, diantara pertanyaannya adalah:
ما سكان محة الشديدة ال سيز بتلى يف سفره مع قرب ادلسافة بالماقولكم فيمن ان رسول امارواه مسلم من "اعلى لو مجع الصالة اعتمادجاكرتا وحواليها ىل جيوز
ادلدينة من غري سفر وال مرض "فهذا اهلل صلى اهلل عليو وسلم مجع الصالة يف سئلة، فإن قلتم احلديث إن كان صحيحا، ىل يصلح لالحتجاج دلثل ىذه ادل
3خروج من سبيل؟ يلإبعدم اجلواز فهل Apa pendapat majelis Mudzakarah tentang orang yang mendapat kesulitan
didalam perjalanan jarak dekat di tengah kemacetan yang parah terutama bagi
penduduk Jakarta dan sekitarnya.
1. Apakah boleh orang tersebut menjama‟ salat dengan sengaja, berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim “bahwasanya Rasulullah SAW
menjama‟ salat di Madinah tidak dalam perjalanan dan tidak dalam keadaan
sakit.”
2Muaz, “Mudzakarah Ulama MUI DKI Jakarta” Artikel diakses pada 08 Maret 2016 dari:
http://www.muidkijakarta.or.id/2015/04/mudzakarah-ulama-di-jakarta.html. 3Muaz, “Mudzakarah Ulama MUI DKI Jakarta” Artikel diakses pada 08 Maret 2016 dari:
http://www.muidkijakarta.or.id/2015/04/mudzakarah-ulama-di-jakarta.html.
60
2. Apakah sekalipun hadits ini shahih patut untuk dijadikan dalil dalam masalah
ini?
3. Jika majelis mudzakarah berpendapat tidak boleh, maka apakah ada jalan
keluar bagi masalah ini?
Hasil dari pembahasan Mudzakarah adalah:
1. Hadits yang tertulispadasoal no. 1 lengkapnya adalah sebagai berikut:
حدثنا حيي بن حيي قال قرأت على مالك عن أيب الزبري عن سعيد بن جبري: صلى رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم الظهر والعصر عن ابن عباس قال
4مجيعا وادلغرب والعشاء مجيعا يف غري خوف وال سفر )رواه مسلم(Artinya:“Diceritakan dari Yahya bin Yahya, (dia) berkata telah saya bacakan
kepada Malik dari Abi Zubair dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas ia
berkata: Rasulullah SAW. menjama salat zuhur dan asar, serta maghrib
dan isya tidak dalam keadaan takut dan bepergian. (HR. Muslim).
وحدثنا أمحد بن يونس وعون بن سالم مجيعا عن زىري قال ابن يونس حدثنا ابن عباس قال: صلى رسول اهلل زىري حدسنا أبو الزبري عن سعيد بن جبري عن
صلى اهلل عليو وسلم الظهر والعصر مجيعا بادلدينة يف غري خوف وال سفر. قال فقال سألت ابن عباس كما سألتين فقال أبو الزبري فسألت سعيدا مل فعل ذلك؟
5أراد أن ال حيرج أحدا من أمتو )رواه مسلم(Artinya:“Diceritakan dari Ahmad bin Yunus dan „Aun bin Salam, keduanya
dari Zuhair. Berkata Ibn Yunus diceritakan dari Zuhair diceritakan dari
Abu Zubair dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas ia berkata: Rasulullah
SAW. menjama salat zuhur dan asar, tidak dalam keadaan takut (khawf)
dan bepergian. Abu Zubair berkata: maka aku menanyakan kepada Said
mengapa Rasulullah melaksanakan hal tersebut? Ia Saidmenjawab, aku
telah bertanya kepada Ibnu Abbas sebagaimana pertanyaanmu, dan ia
4Muslim al-Naisabūrī, Shahih Muslim, Juz. 2, h. 151.
5Muslim al-Naisabūrī, Shahih Muslim, Juz. 2, h. 151.
61
menjawab Rasulullah tidak ingin menyulitkan seorangpun dari
umatnya”.(HR. Muslim).
Pada hadits tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan bahwa maksud Rasulullah
melakukan itu agar tidak menyulitkan/ membebani ummatnya.
Para Ulama menyikapi hadis tersebut berbeda dalam menafsirkan/
mentakwilkan kalimat )أن ال حيرج أحدا من أمتو(.
Berdasarkan hadis tersebut, tim mudzakarah memilih pendapat boleh
menjamaʹ salat dalam kondisi macet, karena ada hajat, tapi dengan catatan
tidak dijadikan kebiasaan dan juga tidak direncanakan. Dengan kata lain, bagi yang sudah terbiasa dalam kondisi macet maka
tetap tidak boleh melakukan jamaʹ. Dalam hal ini Rasulullah SAW. bersabda:
ني عن ابن عباس، قال: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم : "من مجع بالصالتني من غري عذر فقد أتى بابا من أبواب الكبائر" )رواه احلاكم يف
6ادلستدراك(
Artinya:“ Dari Ibnu Abbas ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Barang
siapa yang menjamaʹ dua salat tanpa adanya udzur/sebab maka ia telah
mendatangi salah satu pintu dari pintu-pintu dosa besar.
2. Dengan jawaban No.1 maka pertanyaan nomor 2 sudah terjawab, yakni hadis
tersebut dapat dijadikan sebagai dalil diperbolehkan jamaʹ dalam keadaan
macet, dengan catatan-catatan yang telah dijelaskan.
6Al-Hakim al-Naisabūrī, al-Mustadrok, (Bairut: Dar al-Ma‟rifah, t.th),
Juz. 1, h. 275.
62
Hasil mudzakarah tersebut tidak diuraikan dengan panjang lebar, namun
disarikan dari hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas
dalam kitab Shahih Muslim.
Diantara sumber-sumber hukum yang dijadikan referensi pengambilan
hukum menjamaʹ salat dalam kondisi macet tim mudzakarah MUI DKI Jakarta
melampirkan beberapa referensi salah satu diantaranya:
1) Q.S. Al-Hajj ayat 78:
يه وما جعل عليكم في /22 :78 ) )احلج ٨٧ مه حرج ٱلدArtinya:“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali kali tidak menjadikan untuk
kamu dalam agama suatu kesempitan”. (QS. Al-Hajj 78).7
Quraish Shihab dalam tafsir al Misbahnya, menjelaskan bahwa maksud
ayat di atas ialah, Allah swt tidak membebani kalian dengan sesuatu yang tidak
mampu kalian lakukan, melainkan Allah swt pasti menjadikan jalan keluar dan
keringanan didalamnya.8
2) Kaidah fiqhiyyah yang berbunyi :
ادلشقة جتلب التيسري
Artinya:“kesulitan (masyaqqah) dapat mendatangkan kemudahan”.9
7Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Bandung:
Diponegoro, 1995), hal. 523. 8M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002),
hal. 134. 9Abd al-Kafi al-Subkiy, al-Asybah wa al-Nadza‟ir, (Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah,
1991), Cet. 1, h. 48.
63
3) Shahih Muslim bisy-Syarh al-Nawawi:
و منهم من قال: ىو حممول على اجلمع بعذر ادلرض أو حنوه دما ىو يف معناه من األعذار، وىذا قول أمحد بن حنبل والقاضي حسني من أصحابنا، واختاره اخلطايب وادلتويل والروياين من أصحابنا، وىو ادلختار يف تأويلو لظاىر احلديث
يب ىريرة، وألن ادلشقة فيو أشد من ادلطر، وذىب ولفعل إبن عباس وموافقة أمجاعة من األئمة إىل جواز اجلمع يف احلضر للحاجة دلن ال يتخذه عادة، وىو
والشا قول إبن سريين وأشهب من أصحاب مالك، وحكاه اخلطايب عن القفال والشافعي عن أيب إسحاق ادلروزي عن مجاعة من شي الكبري من اصحاب
واختاره ابن ادلنذر ويؤيده ظاىر قول إبن عباس : أراد أال أصحاب احلديث، 10حيرج أمتو، فلم يعللو مبرض وال غريه و اهلل أعلم.
Artinya:“Diantara para ulama ada yang berpendapat bahwa memungkinkan
untuk menjamaʹ salat dengan sebab udzur, sakit atau udzur-udzur lainya,
ini adalah pendapat Ahmad bin Hambal dan Qodi Husain dari golongan
Syafi‟i dan dipilih oleh al-Khaththabiy dan Muttawali dan al-Ruyani dari
golongan Syafi‟i. Pendapat ini dipilih berdasarkan ta‟wil dari tekstual
hadis dan apa yang dilakukan Ibnu Abbas yang sesuai dengan Abu
Hurairah, karena masyaqqah dalam hal ini lebih parah dari pada hujan.
Segolongan Imam berpendapat diperbolehkan menjamaʹ salat di rumah
karena suatu kebutuhan dan tidak dijadikan sebagai kebiasaan. Ini
adalah pendapat Ibnu Sīrīn dan Asyhab dari golongan Maliki, dan
dicerikatan oleh al-Khatabi dari al-Qofal dan Al-Syasyi, al-Kabir dari
golongan Syafi‟i dari Abu Ishak al-Marwazi dari segolongan ahli hadis.
Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Mundzir dan ia menguatkannya dengan
tekstual pendapat Ibnu Abbas.” Rasulullah tidak ingin menyulitkan
umatnya. Maka beliau tidak membuat sulit dengan keadaan sakit atau
yang lainya. Sesungguhnya Allah adalah dzat yang lebih mengetahui”.
(HR. Muslim)”
10
Al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, (Kairo: Dar al-Hadis, 1415 H),
Juz. 3, h. 236.
64
4) Bughyatul Murtasyidin:
القصري اختاره البندينيجي، وظاىر )فائدة (: لنا قول جبواز اجلمع يف السفر احلديث جوازه ولو فيحضر كما يف شرح مسلم، وحكى اخلطايب عن أيب إسحاق جوازه ىف احلضر للحاجة، وإن مل يكنخوف وال مطر وال مرض، وبو قال ابن
11قالئد. ـادلنذراىArtinya:“Faidah: Dalam kalangan Syafi‟iyyah terdapat pendapat yang
memperbolehkan menjamaʹ salat dalam perjalanan jarak dekat. Pendapat
ini dipilih olehal-Bindanijiy. Zhahir hadis (terkait) memperbolehkannya
menjamaʹ salat meskipun dalam keadaan mukim (tidak saat bepergian)
sebagaimana yang dijelaskan dalam syarah Muslim. Sedangkan al-
Khaththabiy menceritakan dari Abi Ishaq bahwa beliau memperbolehan
menjamaʹ salat bagi mukim (tidak saat bepergian) atau hadhar jika ada
desakan kebutuhan (lil hājah), meski tidak ada ketakutan (khawf), hujan,
ataupun sakit. Pendapat ini (juga) yang dikemukakan oleh Ibnu al-
Mundzir.
5) Raudhatuttalibin
قلت القول جبواز اجلمع بادلرض ظاىر خمتار فقد ثبت يف صحيح مسلم أن النيب ايب صلى اهلل عليو وسلم مجع بادلدينة من غري خوف وال مطر وقد حكى اخلط
ق ادلروزي جواز اجلمع يف احلضر اشي عن أيب إسحعن القفال الكبري الشابو قال ابن ادلنذر من أصحابنا و ري اشرتاط اخلوف وادلطر وادلرض و للحاجة من غ
12اهلل أعلم.Artinya:“Pendapat yang memperbolehkan jama salat karena sakit telah
dipilih dengan jelas. Telah ditetapkan dalam shahih Muslim bahwa
Rasulullah SAW. menjamaʹ salat di Madinah tidak dalam keadaan perang
ataupun hujan. Al-Khaththabiy menceritakan dari al-Qofal, al-Kabir, Al-
Syasyi dari Abu Ishak al-Mawardzi tentang kebolehan menjamaʹ salat
dalam keadaan mukim untuk suatu kebutuhan tanpa syarat dalam
keadaan takut (khawf) ,hujan atupun sakit. Ini adalah pendapat Ibnu
11
Abdurrahman bin Muhammad Ba‟alawi, Bugyatul Mustarsyidin, (Dar al-Fikr: tp, t.th),
Juz. 1, h. 160. 12
Al-Nawawi, Raudhlatuttalibin, (Bairut: al-Maktab al-Islami, 1405
H), Juz. 1, h. 401.
65
Mundzir. Dari golongan Syafi‟i. Sesungguhnya Allah adalah dzat yang
lebih mengetahui”.
6) Al-Majmu‟:
جلمع يف احلضر بال خوف وال سفر وال سفر وال مرض: )فرع( يف مذاىبهم يف امذىبنا ومذىب أيب حنيفة ومالك وأمحد واجلمهور أنو ال جيوز وحكى ابن ادلنذر
13عن طائفة جوازه بال سبب قال وجوزه ابن سريين حلاجة أو م مل يتخذه عادة.Artinya:“Mazhab kami (Syafi‟i) dan Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan jumhur
tidak diperbolehkan. Ibnu Mundzir mencerikatan dari suatu golongan,
diperbolehkan tanpa sebab. Ibnu Sīrīn memperbolehkan karena suatu
kebutuhan dan tidak menjadikanya kebiasaan”.
B. Analisis Dalil Hukum yang digunakan MUI DKI Jakarta dalam Hasil
Mudzakarahnya Tentang Menjamaʹ Salat dalam Kondisi Macet
Berdasarkan hasil mudzakarahnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI
Jakarta menyimpulkan bahwa menjamaʹ salat dalam kondisi macet hukumnya
diperbolehkan, dengan syarat tidak disengaja dan tidak dijadikan sebagai
kebiasaan. Tentunya kesimpulan ini didasarkan atas dalil-dalil yang digunakan
oleh MUI DKI Jakarta. Dalil-dalil tersebut diambil dari al-Qur‟an, hadis, dan
qa‟idah fiqhiyah.
1. Dalil al-Qur‟an
Dalam hal menjamaʹ salat MUI DKI Jakarta menggunakan salah satu
ayat dari surat al-Hajj yaitu ayat 78 sebagai berikut:
يه وما جعل عليكم في ٨٧مه حرج ٱلد
13
Al-Nawawi, al-Majmu‟ Syarah al-Muhadzab, (Dar al-fikr: tt.p, tth),
Juz. 4, h. 384.
66
Artinya:“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali kali tidak menjadikan untuk
kamu dalam agama suatu kesempitan”. (QS. Al-Hajj 78).
Dari ayat ini Imam al-Qurtubhi menjelaskan bahwa ayat ini dapat
masuk ke dalam berbagai bidang hukum, dan ayat inipun termasuk sesuatu
yang Allah Subhānahū Wata‟ālā berikan kepada umat ini secara khusus.14
Dengan demikian hukum tentang pensyariatan menjamaʹsalat dapat dimasukan
ke dalam ayat ini.
Berkaitan dengan dibolehkannya menjamaʹ salat sangat tergantung
kepada kondisi tertentu yang membolehkan seseorang untuk menjamaʹ
salatnya, kata حرج dalam ayat ini diartikan kesempitan. MUI DKI Jakarta
menggunakan ayat ini sebagai dalil, karena seseorang yang sedang terjebak
kemacetan di jalan dianggap sedang mengalami kesempitan. Kesempitan
dalam kemacetan yang dimaksud di sini adalah keadaan ketika seseorang
terjebak di tengah kemacetan parah dan tidak memiliki kesempatan untuk
keluar dari keadaan tersebut hingga waktu salat pada saat itu habis. Kehabisan
waktu salat dalam kemacetan hingga akhirnya tidak dapat menunaikan salat
tepat waktu, inilah kesempitan yang dimaksud. Maka dengan kesempitan yang
semacam ini, MUI DKI Jakarta menggunakan ayat ini untuk membolehkan
menjamaʹ salat.
14
Syaikh Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Penerjemah Ahmad Khotib, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008), Cet. 1, h. 254-255.
67
1. Dalil Hadis
Ada beberapa hadis yang digunakan oleh MUI DKI Jakarta dalam
membolehkan menjamaʹ salat karena macet. Pertama, hadis dari Ibnu Abbas
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sebagai berikut:
وحدثنا أمحد بن يونس وعون بن سالم مجيعا عن زىري قال ابن يونس حدثنا ابن عباس قال: صلى رسول اهلل زىري حدسنا أبو الزبري عن سعيد بن جبري عن
هر والعصر مجيعا بادلدينة يف غري خوف وال سفر. قال صلى اهلل عليو وسلم الظأبو الزبري فسألت سعيدا مل فعل ذلك؟ فقال سألت ابن عباس كما سألتين فقال
15أراد أن ال حيرج أحدا من أمتو )رواه مسلم(Artinya:“Diceritakan dari Ahmad bin Yunus dan „Aun bin Salam, keduanya
dari Zuhair. Berkata Ibn Yunus diceritakan dari Zuhair diceritakan dari
Abu Zubayr dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas ia berkata: Rasulullah
SAW. menjamaʹ salat Zuhur dan Asar, tidak dalam keadaan takut (khawf)
dan (alasan) perjalanan. Abu al-Zubayr RA berkata: Aku menanyakan
kepada Sa‟id mengapa Rasulullah melaksanakan hal tersebut? Ia
Saidmenjawab, aku telah bertanya kepada Ibnu „Abbas sebagaimana
pertanyaanmu, dan ia menjawab Rasulullah tidak ingin menyulitkan
seorangpun dari umatnya”.(HR. Muslim).
Hadis ini bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud
dan al-Tirmidzi yang menyatakan bahwa kebolehan menjamaʹ salat itu hanya
ketika bepergian.
زاغت ذاإتبوك نيب صلى اهلل عليو وسلم كان يف غزوةإن العن معاذ قال: الشمس غن تزيأقبل ا ارحتلإذالعصر و ن يرحتل مجع بني الظهر و أالشمس قبل
حتل ر ن يأقبل ن غابت الشمس أرب مثل غادل لعصرويفلهر حىت ينزل ظالخر أل نز ي خر ادلغرب حىتأب الشمس ن تغيأن ارحتل قبل أو ءمجع بني ادلغرب والعشا
15
Muslim al-Naisabūrī, Shahih Muslim, (Bairut: Dar al-Afaq, t.th),
Juz. 2, h. 151.
68
ل ىذا حديث حسن(.اا. )رواه ابوداود والرتمذى وقللعشاء مث نزل فجمع بينهم 16بوداود والرتمذى()رواه أ
Artinya:“Dari Mu‟adz berkata;” Bahwa Nabi Sallallāhu „Alaihi Wasallam
sewaktu perang tabuk, selalu menjamaʹ salat Zuhur dengan Asar bila
berangkatnya itu sebelum matahari tergelincir, maka salat Zuhur
diundurkan beliau, dan dirangkapnya sekali dengan Asar. Begitu pula
dengan salat Maghrib, yaitu kalau beliau berangkat sesudah matahari
terbenam dijamaʹ nya Maghrib dengan Isya. Tetapi kalau berangkatnya
itu sebelum matahari terbenam diundurkannyalah Maghrib itu sampai
Isya dan jamaʹnya dengan salat Isya. (diriwayatkan oleh Abu Daud serta
al-Tirmidzi yang menyatakan bahwa hadis ini adalah hadis hasan)”.
Dari pemaparan kedua hadis di atas terungkap bahwa secara tekstual
matan hadis yang diriwayatkan Imam Muslim bertentangan dengan hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Daud danal-Tirmidzi, akan tetapi secara kontekstual
hadis ini tidak bertentangan. Hadis yang membolehkan menjamaʹ salat hanya
saat bepergian saja merupakan sebuah kemudahan yang diberikan kepada
umatnya agar umatnya tidak merasa kesulitan dalam menjalankan salat ketika
bepergian. Sedangkan hadis yang mengisyaratkan bahwa Rasulullah Sallallāhu
„Alaihi Wasallam menjamaʹ salat tidak sedang dalam safar dan tidak dalam
keadaan takut merupakan sebuah isyarat bahwa suatu saat hambanya dapat
merasakan kesulitan untuk melaksanakan salat dengan alasan lain, yaitu alasan
selain dalam keadaan safar dan ketakutan. Keadaan tersebut sudah terjadi
dimasa sekarang, contohnya seseorang yang terjebak dalam kemacetan. Ia
tidak memenuhi syarat-syarat safar dan juga tidak dalam keadaan takut, akan
tetapi ia tidak dapat menjalankan salat karena tidak dapat keluar dari
kemacetan tersebut dan pada saat inilah ia merasakan kesulitan untuk
16
Al-Tirmidzī, al-Jamī‟ al-Shahih Sunan al-Tirmidzī, Juz. 2, h. 438.
69
menjalankan salat, dapat difahami bahwa salah satu maksud hadis tersebut
adalah untuk hambanya yang mengalami keadaan seperti ini.
Selain itu, kedua hadis tersebut dimaksudkan Nabi agar umat Islam tidak
terbebani. Keduanya memberikan kemudahan dalam perihal menjamaʹ salat
baik dalam keadaan safar ataupun tidak, dengan artian bahwa ada alasan lain
yang membuat umat Islam sulit dalam mengerjakan salat. Meskipun demikian,
kemudahan ini tidak untuk dijadikan suatu kebiasaan. Karena tetap saja bahwa
pengerjaan setiap salat memiliki waktunya masing-masing. Bila tidak ada
alasan yang menyulitkan, maka umat Islam harus tetap melaksanakan salat
tepat pada waktunya. Berdasarkan hadis tersebut, maka sudah tepat jika tim
Mudzakarah MUI DKI Jakarta memilih pendapat boleh melakukan menjamaʹ
salat dalam kondisi macet, karena ada hajat, tapi dengan catatan tidak dijadikan
kebiasaaan dan juga tidak direncanakan. Dengan kata lain, bagi yang sudah
terbiasa dalam kondisi macet maka tetap tidak boleh melakukan jamaʹ.
Pada dasarnya hukum syari‟ah bukanlah untuk mempersulit umat Islam,
tapi justru didasarkan pada kenyamanan, keringanan dan untuk menghilangkan
kesulitan dari masyarakat. Syari‟ah telah memperhatikan keadaan khusus
dimana suatu penderitaan/kesulitan harus diatasi dalam rangka menyediakan
kemudahan bagi umat Islam yang dalam kesulitan.17
Salah satu yang menjadi dasar MUI DKI Jakarta dalam hasil
mudzakarahnya terkait masalah menjamaʹ salat dalam kondisi macet adalah
berdasarkan kaidah fikhiyah sebagai berikut:
17
Muhammad Mansoori, Kaidah-Kaidah Fiqih Keuangan dan Transaksi Bisnis, (Bogor:
Ulil Albab Institute, 2010), h. 75.
70
ادلشقة جتلب التيسري Artinya:“kesulitan menghendaki kemudahan”.
Kaidah ini merupakan dasar paling penting dari sumber syari‟ah.
Mayoritas dispensasi syari‟ah didasari oleh kaidah ini.18
Al-Masyaqqah berasal dari kata يشقق -شقق menurut arti bahasa (etimologi)
adalah al-ta‟ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran.19
Sedangkan al-taisir berasal dari kata ر -يسر يبس secara bahasa berarti
kemudahan atau kelenturan.20
Adapun makna terminologi kaidah tersebut adalah “hukum yang
praktiknya menyulitkan mukallaf pada diri dan sekitarnya terdapat kesulitan,
maka syariat meringankannya sehingga beban tersebut berada di bawah
kemampuan mukallaf tanpa kesulitan dan kesusahan”.21
Dalam ilmu fikih, kesukaran yang membawa kepada kemudahan itu
setidaknya ada tujuh macam yaitu: sebab safar, (bepergian), sebab keadaan
sakit, sebab keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan
hidupnya, Lupa (al-Nisyan), ketidaktahuan (al-Jahl), kesukaran yang umum
terjadi (Umum al-balwa), dan kekurang mampuan bertindak hukum (al-
Naqshu).22
18
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa‟id Fiqhiyyah: Dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 2004), h. 77. 19
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, 1973), h. 201. 20
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, h. 509. 21
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa‟id Fiqhiyyah: Dalam Perspektif
Fiqh, h. 84. 22
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), Cet. 1, h. 56-
57.
71
Dalam kaidah ini ada beberapa bentuk dispensasi syar‟i yang diterapkan
pada persoalan-persoalan fikih diantaranya yaitu: dispensasi dengan cara
mendahulukan (rukhshatu taqdim) adalah dispensasi dengan cara
mendahulukan tanggungan yang bukan pada waktunya. Seperti memajukan
salat Asar diwaktu Zuhur atau salat Isya diwaktu Maghrib ketika melakukan
jamaʹ takdîm antara salat Zuhur dan Asar atau Maghrib dan Isya karena dalam
perjalanan. Dan dispensasi dengan cara mengakhirkan (rukhshatu ta‟khir)
adalah dispensasi dengan cara mengakhirkan kewajiban dari waktunya, seperti
mengakhirkan kewajiban dari waktunya, seperti mengakhirkan pelaksanan
salat Zuhur diwaktu Asar atau Salat Maghrib diwaktu Isya ketika dalam
perjalanan (safar).23
Semua itu menandakan kemurahan yang diberikan Allah dalam
melaksanakan salat bagi orang yang benar-benar tidak mampu melakukan salat
pada waktunya. Tetapi bagi orang yang sanggup melaksanakan salat tepat pada
waktu yang ditentukan diharuskan melakukan pada waktunya. Karena dalam
mengerjakan masing-masing salat wajib lima waktu telah ditentukan waktu
pelaksanaannya. Tidak boleh diubah-ubah dan memiliki batas awal dan batas
akhir. Hal tersebut dijelaskan di dalam QS. An-Nisa (4): 103
لوة إن وقوتا ٱلمؤمىيه على كاوت ٱلص با م (4/101النساء/( ٣٠١كتArtinya:“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya
atas orang-orang yang beriman”.
23
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa‟id Fiqhiyyah: Dalam Perspektif
Fiqh, h. 103.
72
Tetapi supaya tidak membuat susah umat Nabi Muhammad SAW. terdapat
salah satu rukshah/keringanan yang Allah berikan kepada umat Muslim adalah
adanya diperbolehkan menjamaʹ salatnya dalam dua waktu dikerjakan dalam
satu waktu dengan berbagai alasan diantaranya:
1. Berada di Arafah dan Muzdalifah.
2. Dalam bepergian atau safar.
3. Dalam keadaan hujan.
4. Dalam keadaan sakit.
5. Ada suatu keperluan atau hajat.24
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis mendapatkan beberapa kesimpulan
mengenai bagaimana hukum menjamaʹ salat dalam kondisi macet sebagaimana
yang tercantum dalam hasil mudzakarah MUI DKI Jakarta dengan
menganalisis dalil-dalil yang dikemukakan oleh para anggota mudzakarah dan
dihimpun menjadi satu kesimpulan yaitu lembaran mudzakarah MUI DKI
Jakarta.
Dalam hal ini para ulama yang menghadiri mudzakarah MUI DKI Jakarta
menyimpulkan bahwa menjamaʹ salat dalam kondisi macet diperbolehkan
dengan catatan tidak dijadikan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Namun
jika seorang mukallaf masih memiliki waktu luang untuk melaksanakan salat
pada waktunya, maka lakukanlah salat sesuai dengan waktu yang sudah
ditentukan menurut Al-Qur‟an dan al-Hadis.
24
al-Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah Khairul Amru Harahap
dkk,h. 508.
73
C. Pandangan Ulama terhadap Mudzakarah MUI DKI Jakarta Tentang
Menjamaʹ Salat dalam Kondisi Macet
Pembahasan tentang hukum menjamaʹ salat dalam kondisi macet di MUI
DKI Jakarta tidak terlepas dari berbagai pandangan ulama-ulama MUI DKI
Jakarta. Hal ini mendorong penulis untuk menggali ilmu dan informasi dari
beberapa ulama MUI DKI Jakarta yang menghasilkan beberapa kesimpulan.
Penulis telah mewawancarai K.H. Syarifuddin Abdul Ghani selaku ketua MUI
DKI Jakarta dan Dr. Fuad Tohari, MA, selaku sekretaris MUI DKI Jakarta. Dalam
hal ini penulis akan memaparkan pertanyaan beserta jawaban hasil wawancara
bersama kedua Ulama tersebut.
1. Pandangan KH. Syarifuddin Abdul Ghani (Ketua MUI DKI Jakarta)
Penulis melakukan wawancara kepada K.H. Syarifudin Abdul Ghani pada
30 Desember 2015 di kediamannya yang terletak di Kp. Basmol Jakarta Barat.
Pada hari itu penulis mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan
hasil mudzakarah MUI DKI Jakarta tentang menjamaʹ salat dalam kondisi
macet.
Penulis mengajukan pertanyaan dan meminta penjelasan tentang hasil
mudzakarah tentang menjamaʹ salat dalam kondisi macet.
Beliau berpendapat bahwa :
“...macet tidak disebutkan sebagai penyebab dibolehkan jamaʹ. Sehingga
sekalipun orang terjebak macet karena itu tidak dibolehkan jamaʹ, Sedangkan
hadis Muslim atau Tirmidzi Anabi SAW menjamaʹ antara Zuhur dan Asar,
Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena musafir, bukan karena hujan,
bukan karena takut, Imam Tirmidzi mengatakan hadis ini tidak bisa
diamalkan. Dan tidak ada yang mengamalkan itu. Menjamaʹ di Kota tidak
74
dalam keadaan musafir, tidak hujan, dan tidak takut dan tidak karena khauf.
Sekalipun orang Syiah melakukan itu, orang Syiah salatnya ada tiga waktu
saja Maghrib dan Isya dijamaʹ, Zuhur dan Asarpun dijamaʹ. Mayoritas ulama
mengatakan tidak boleh dijamaʹ. Karena ketika Nabi menjelaskan tentang
waktu salat setelah Nabi kembali dari perjalanan relijinya ke langit, itu yang
menunjukan waktunya limit-limit. Musafir boleh dijamaʹ memang ada
ketentuan sendiri.....”
Menanggapi hal tersebut, penulis mengajukan pertanyaan apakah lantas
macet tidak bisa diqiyaskan seperti keadaan musafir? Lalu beliau juga
menjawab:
“...Qiyas itu harus ada „illat jami‟ah. „Illat jamiah itu bisa dipakai kalau ada
maslahahnya, orang mengatakan macet itu sama dengan musafir „illatnya
karena sama-sama masyaqqah, ketika kita baca ushul fiqh masyaqqah itu
tidak bisa dijadikan sebagai masalah „illat, karena „illat itu harus pasti.
Sedangkan masyaqqah itu tidak man‟ut (tidak pasti) sehingga sebagian orang
mengatakan itu masyaqqah sebagian tidak, masyaqqah ini tidak bisa dijadikan
sebagai „illat untuk mengqiyas macet dengan musafir. Kalau begitu salat
ketika macet tidak bisa diqiyas ke musafir. Karena masalah „illatnya tidak
kena. Dalam kitab Jam‟ul jawami‟25
umpamanya masyaqqah (kesulitan) itu
tidak bisa dijadikan sebagai masāliku al-ʹillat karena apa, karena ʹillat itu
harus pasti. Masalah „illat jamiah baena safar. karena tidak bisa diqiyas maka
dalam keadaan macet harus kembali ke hukum asal yaitu salat pada
waktunya. Contohnya adalah gara-gara macet kita tidak bisa melakukan salat
pada waktu nya maka kita harus Qadha‟. Ada ulama (Ibnu Sirrin)
mengatakan boleh menjama sekalipun tidak dalam keadaan musafir tapi
jangan djadikan sebagai sebuah kebiasaan. Artinya biasanya sedang macet
tapi dalam kondisi tertentu yaitu macet total dan tidak bisa salat pada
waktunya Ibnu Sirrin dalam hal ini boleh dijamaʹ asal tidak \dijadikan sebagai
sebuah kebiasaan. Tapi kalau memang orang yang kerja setiap hari, dan biasa
dalam kondisi macet, maka dia tidak boleh menjamaʹ karena itu dijadikan
sebagai sebuah kebiasaan.
25
Abdul Wahhab bin Ali as-Subki, Jam‟ul Jawāmi Fii Ushūl Fiqh, (Beirut: Dār al-Kutub
al-Ilmiyah, 1424), Juz. II, h. 82. Lihat juga Darul Azka dkk. Jam‟u al-Jawāmi Kajian dan
Penjelasan dua Ushul, Lirboyo: Santri Salaf Press, 2014), Cet. I, h. 198. Hukum Ashli (hukum
kasus asal) adalah hukum yang telah ditetapkan terhadap kasus asal, baik berdasarkan al-qur‟an,
al-hadis maupun ijma‟. Salah satu syarat hukum ashal yaitu: hukum ashl tetap tidak berdasarkan
qiyas, atu versi lain juga ijma‟. karena jika tetap berdasarkan qiyas, maka apabila „illatnya satu,
qiyas kedua tidak menjadi berfungsi, karena sudah ducukupkan dengan qiyas far‟u pada ashal
yang pertama. Dan jika „illatnya berbeda, maka qiyas tidak sah dilakukan, karena antara far‟u dan
ashl tidak ada titik temu dalam aspek „illat hukumnya.
75
Dalam kondisi tertentu seperti: riasan perempuan kalau menjadi penganten
dandan dan itu biasanya salatnya dijamaʹ. Boleh tidak perempuan menjama
salat?
Salat jamaʹ dalam kondisi macet diperbolehkan. Alasannya karena kalau
kita merujuk dari perkataan Ibnu Sirrin, mazhab al-Zhahiri dan beberapa
fukaha dari golongan Malikiyah, al-Qaffal, dan al-Syasyi dari golongan
Syafi‟iyah bahwa boleh menjamaʹ salatnya, karena tidak bisa dijadikan
kebiasaan. Tidak mungkin kan jadi pengantin setiap hari. Apalagi sebagai
dokter bedah, membedah penyakit mulai jam 11 siang dan tidak bisa selesai
sampai menjelang maghrib dalam hal ini boleh menjamaʹ.
Dengan demikian dalam masalah macet menurut kiyai Syarifudin Abdul
Ghani kalau tidak bisa dijadikan kebiasaan itu boleh jamaʹ, asal tidak
dijadikan sebagai sebuah kebiasaan karena dalam kondisi tertentu seperti: di
Tol tidak menemukan Rest Area, atau tidak ada Mushala atau Masjid,
bagaimana kita mencari masjid di tol dan macet total. dan dalam kondisi ini
maka boleh menjama salatnya. Sekalipun dekat dan tida mungkin dalam
waktunya maka boleh menjamaʹ salat. Bukan karena musafi, hujan, dan khauf
asal tidak bisa dijadikan kebiasaan. Tidak ada ulama membolehkan kecuali
Ibnu Sirrin.26
2. Pandangan Dr. Fuad Tohari, MA (Staff MUI DKI Jakarta)
Penulis melakukan wawancara kepada Dr. Fuad Tohari, MA selaku
Sekretaris MUI DKI Jakarta pada tanggal 22 April 2016 di Kampus I UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta karena beliau merupakan Dosen Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada hari itu penulis mengajukan
juga beberapa pertanyaan yang sama dengan yang diajukan kepada Ketua MUI
26
Hasil wawancara Pribadi dengan K.H. Syarifuddin Abdul Ghani, (Ketua MUI DKI
Jakarta) Pada 30 Desember 2015 di Kediamannya yang terletak di kp. Basmol Jakarta Barat.
76
DKI Jakarta berkaitan dengan hasil mudzakarah MUI DKI Jakarta tentang salat
jama dalam kondisi macet.
Beliau mengatakan bahwa:
“Pertama menjamaʹ salat (menggabung dua waktu salat pada satu waktu), pada
waktu awal yaitu jamaʹ ta‟dim dan dilakukan pada waktu yang keduan yaitu
jamaʹ ta‟khir itu boleh dilakukan jika ada sebab. Sebab untuk menjamaʹ yang
situasinya normal yaitu: 1. Karena bepergian 2. Karena sakit 3. Karena cuaca
yang tidak normal, misalnya hujan lebat, salju, atau 4. Karena ibadah haji
(linusuk). Itu yang dulu dirumuskan para ulama fikih setelah melihat apa yang
dilakukanakan oleh nabi/ yang dipraktekan nabi. Jadi nabi menjamaʹ salat
karena alasan tersebut. jamaʹ salat yang karena sebab-sebab tersebut, itu
gunanya untuk menghilangakan masyaqqah, masyaqah itu sesuatu yang
menyulitkan/memberatkan, masyaqqah itulah yang menjadi „illat (alasan)
kenapa kita boleh pindah dari melakukan kewajiban yang sifatnya azimah
pindah mengambil rukhsah (keringanan).
Dari sebab-sebab boleh menjamaʹ salat tadi ada alasan tambahan,
misalnya: karena penyebabnya bepergian minimal jarak yang ditempuh adalah
ada yang mengatakan minimal itu jaraknya 16 farsakh, 1 farsakh=3 mil,
dengan demikian 16x3= 48 mil. 1 mil= kurang lebih 12.000 telapak kaki,
kalau diukur dengan jalan kaki itu kalau diukur 2 hari. Dengan demikian
masyafatul qashri (masafah untuk bisa menjamaʹ qashar kalau diukur dengan
kilo, jaraknya 94,5 km. Mayoritas ulama fikih minimal jarak yang bisa yang
menjadi sebab boleh menjama ʹ salat 120 km. Kalau orang itu menjamaʹ salat
karena hujan lebat, itu sebetulnya berlaku bagi orang yang memang biasa
melakukan salat jamaah, kalau orang tersebut tidak pernah melakukan salat
jamaah tidak berhak mengambil rukhsah tersebut, dan tempatnya ini di Masjid.
Kemudian karena sebab ibadah haji, nabi mempraktekan kalau posisinya
setelah wukuf di Arafah kemudian mabid di Muzdalifah maghrib dan Isya, nabi
memilih menjamaʹ takhir. Jadi salat magrib dan Isya di Muzdalifah dengan
jamaʹ takhir. Kalau pada waktu mabid di Mina, nabi memilih jamaʹ takdim.
Bagaimana jika yang menjadi „illat (alasan) menjamaʹ itu kemudian
ditempatkan menjadi sebab , dia melakukan menjamaʹ salat karena macet
misalnya, mayoritas ulama termasuk apa yang diputuskan dalam mu‟tamar NU
tidak membolehkan menjamaʹ salat karena macet.
Cara mengatasinya bagaimana dalam keadaan seperti ini, yaitu dengan
cara apabila seseorang mengetahui salat itu waktunya sudah masuk dia salat
sekedar lil hurmah al waqt (sekedar menghormati waktu) salat sudah tiba.
Kemudian nanti setelah sampai ditujuan, karena salat ini tidak bisa dilakukan
secara normal, misalnya: posisinya dalam kendaraan dalam kondisi macet
apabila dia posisinya tidak mempunyai wudhu dalam kondisi hadas, yaitu niat,
takbiratul ihram semampunya ruku sampai salam, dan nanti kalau sampai
tujuan baru di ulang („ada) yaitu dengan salat secara sempurna. Tetapi kalau
77
posisinya dalam keadaan wudhu, Imam Hanafi membolehkan dia melakukan
salat dalam keadaan dalam kendaraan itu, dan apakah salatnya dilakukan
sendiri-sendiri dalam artian (ada‟an) pas waktu salat Maghrib dia salat
maghrib, nanti kalau pas masih dikendaraan waktu isya dia salat isya, atau
langsung dijamaʹ didepan. jamaʹ takdim magrib isya dilakuan pada waktu
maghrib, atau jamaʹ takhir Maghrib dan Isya digabung dilakukan pada waktu
Isya. Yang baik itu shahibul waktu itu dilakukan terlebih dahulu Isya dulu baru
Maghrib.
Umumnya ulama tidak membolehkan menjamaʹ salat sebabnya karena
macet. Karena macet itu selama ini kategorinya tidak termasuk sebab tapi itu
yang jadi selama ini dalam kitab-kitab fikih memang tidak menjadi alasan
untuk menjamaʹ salat, hanya saja memang ada ulama yang mengatakan seperti
yang terdapat dalam kitab bughyah almurtasyidin boleh menjamaʹ salat karena
macet. Tapi yang baik kalau itu dikerjakan sebaiknya jangan dijadikan sebagai
kebiasaan, itu situasinya karena darurat saja. Ini menurut kaul minoritas.
Kemudian ada juga ulama yang membolehkan menjamaʹ salat tanpa
adanya sebab apa karena hujan, sakit, bepergian dan ketika wukuf di Arafah
boleh menjamaʹ salat tanpa sebab. Termasuk karena sedang ngajar boleh
menjamaʹ, karena jadi pengantin baru boleh menjamaʹ salat. Bahkan Imam al-
Tirmidzi itu dalam kitabnya semua hadis itu bisa diamalkan kecuali dua hal
yaitu: 1. Imam al-Tirmidzi mengatakan menjamaʹ salat tanpa sebab, dan kalau
ada orang mabuk ditangkap dicambuk 40 kali mabok lagi, itu semestinya harus
dicambuk 80 kali. Kata Imam al-Tirmidzi bunuh saja orang itu.
Dua kaul inilah yang menyebabkan bukunya Imam al-Tirmidzi yang
mestinya seandainya tidak ada dua fatwa ini, urutannya ketiga setelah Imam
Bukhori, Imam muslim, al-Tirmidzi. Gara-gara ada dua fatwa ini posisi
kitabnya turun ke empat, ketiganya ditempati sunan Abi Dawud. Jadi
masalahnya karena itu. Dengan demikian pendapat yang hati-hati macet itu
tetap tidak bisa menjadi alasan untuk menjamaʹ salat apalagi mengqashar salat.
menjamaʹ saja mayoritas ulama tidak membolehkan apalagi dengan
mengqashar salat. Kalaupun ada yang membolehkan itu menjamaʹ saja jangan
dengan mengqashar. Misalnya yang dikatakan dalam kitab bughyatul
murtasyidin.27
27
Abdurrahman bin Muhammad Ba‟alawi, Bugyatul Mustarsyidin, Juz. 1, h.
160.“Faidah: Dalam kalangan Syafi‟iyyah terdapat pendapat yang memperbolehkan menjamaʹ
salat dalam perjalanan jarak dekat. Pendapat ini dipilih oleh al-Bindanijiy. Zhahir hadis (terkait)
memperbolehkannya menjamaʹ salat meskipun dalam keadaan mukim (tidak saat bepergian)
sebagaimana yang dijelaskan dalam syarah Muslim. Sedangkan al-Khaththabiy menceritakan dari
Abi Ishaq bahwa beliau memperbolehan menjamaʹ salat bagi mukim (tidak saat bepergian) atau
hadhar jika ada desakan kebutuhan (lil hājah), meski tidak ada ketakutan (khawf), hujan, ataupun
sakit. Pendapat ini (juga) yang dikemukakan oleh Ibnu al-Mundzir”.
78
Menurut saya tidak membolehkan menjamaʹ salat dalam kondisi macet,
misalnya posisinya macet di jalan tol masuk pada waktu mahgrib baik dalam
keadaan suci atau tidak ya salatnya dikerjakan dengan salat lil hurmah al waqt
(sekedar menghormati waktu) niat salat, kemudian niat takbiratul ikhram,
membaca fatihah dan seterusnya (sesuai rukun-rukun salat) semampunya. Dan
nanti kalau sudah sampai lokasi yang dituju dan memungkinkan salat dengan
secara normal salat yang tadi dikerjakan diulang lagi namanya i„ada, kalau
waktunya berada diluar dibatas yang ditentukan namanya ada‟ atau diqadha.
Tetapi kalau seseorang sudah sampai tujuan dan waktu maghrib masih ada
berarti tidak masalah, dan langsung saja melakukan salat. Akan tetapi jika
nyampai lokasi waktunya sudah lewat maka seseorang tersebut mengqadha‟
salatnya.
Jadi yang dilihat bukan semata-mata macetnya tetapi bagaimana hukum
melakukan salat diatas kendaraan itu, kalau menurut ulama Syafi‟iyah tidak
sah karena pertama, kiblatnya sulit untuk bisa dalam posisi menghadap kiblat,
kedua, tidak bisa ruku dan sujud dengan sempurna, dan mazhab lain yaitu
Imam Hanafi asal dia punya wudlu boleh. Dan Syafi‟iyah ini agak ketat yang
boleh meninggalkan menghadap kiblat itu hanya ada dua salat yaitu 1. Salat
sunah 2. Salat karena peperangan yang berkecambuk, dari selain dua salat
tersebut karena tidak sempurna jadi salatnya lil hurmah al waqt (sekedar
menghormati waktu) salat sih salat tapi nanti diulang.”28
Dengan demikian dalam masalah menjamaʹ salat dalam kondisi macet
menurut Fuad Tohari tidak diperbolehkan, lebih baik salatnya dikerjakan seperti
biasanya dengan salat lil hurmah al waqt (sekedar menghormati waktu) yaitu
niat salat, kemudian niat takbiratul ikhram, membaca fatihah dan seterusnya
(sesuai rukun-rukun salat) semampunya. Dan ketika seseorang sudah sampai
lokasi yang dituju dan memungkinkan salat dengan secara normal salat tersebut
dikerjakan dan diulang lagi salatnya yaitu namanya i„ada. Sedangkan kalau
waktunya berada di luar dibatas yang ditentukan namanya ada‟ atau
diqadha‟salatnya.
Namun yang menjadi catatat penting dalam tulisan ini, penulis menggaris
bawahi hadis dari riwayat Imam al-Tirmidzi bahwa menjamaʹ salat dalam
28
Hasil wawancara Pribadi dengan Dr. Fuad Tohari, MA. ( Sekretaris MUI DKI Jakarta)
Pada 22 April 2016 di Kampus I UIN Jakarta.
79
kondisi dia tidak mengalami udzur syar‟i sangat-sangat tidak dibolehkan,
dengan alasan bahwa menjamaʹ salat tanpa sebab berarti seseorang telah
mendatangi pintu-pintu dari dosa besar. Dalam hal ini penulis juga mengambil
kesimpulan, bahwa seorang mukallaf boleh melaksanakan salat jamaʹ dalam
kondisi macet dengan alasan hadis pertama dari riwayat Ibnu Abbas ra. namun
tidak dijadikan kebiasaan menurut riwayat Ibnu Sirrin atas dasar bahwa
Rasulullah SAW. memberikan keringanan kepada umatnya, namun dalam hal
ini catatat terpenting adalah jika seorang mukallaf menjamaʹ salat tanpa sebab
apapun yaitu seperti di Arafah dan Muzdalifah, dalam keadaan bepergian atau
safar, keadaan hujan, keadaan sakit, ada suatu keperluan hajat, juga dalam hal
ini mengalami kondisi macet setiap harinya yang menyebabkan seorang
mukallaf tidak mampu melaksanakan salat tepat pada waktunya, maka seorang
mukallaf tersebut telah mendatangi pintu-pintu dosa besar. Dengan kata lain
seorang mukallaf tidak diperbolehkan menjamaʹ salat dengan tanpa udzur
syar‟i atau alasan yang telah disebutkan oleh Rasulullah SAW. dan ijmaʹ para
ulama.
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penelitian dan kajian terhadap hadis yang dijadikan dalil oleh tim
Mudzakarah MUI DKI Jakarta tentang menjamaʹ salat dalam kondisi
macetadalah:
1. Dalil yang terdapat dalam hasil Mudzakarah MUI DKI Jakarta dalam
menetapkan hukum menjamaʹ salat dalam kondisi macet yaitu bolehnya
menjamaʹ salat dalam kondisi macet disesuaikan dengan dalil al-Qur’an dari
surat al-Hajj ayat 78 bahwasanya Allah SWT. tidak memberikan kesusahan
melainkan memberikan kemudahan bagi mukallaf-mukallaf yang tidak
mampu untuk melaksanakan salat tepat waktu. Dengan catatan tidak
dijadikan kebiasaan dan hal ini diperkuat oleh Ibnu Sirin, ulama Madzhab
azh-zhahiri, dan beberapa fuqaha dari golongan Malikiyah, al-Qaffal, dan
al-Syasyi dari golongan Syafi’iyah yang memperbolehkannya.
2. Penjelasan ulama yang terdapat dalam hasil Mudzakarah MUI DKI Jakarta
dalam menetapkan hukum menjamaʹ salat dalam kondisi macet ialah ada
yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan disebabkan alasan
dalil yang digunakan berbeda. Namun dalam menjamaʹ salat dalam kondisi
macet harus selalu memperhatikan aspek kemaslahatan untuk para mukallaf,
agar tidak terjadi peremehan pada rukhshah/ keringanan di dalam salat.
81
B. Saran
1. Kepada seluruh umat Islam hendaklah beriman dan bertaqwa kepada Allah
swt. Dengan menggunakan al-Qur’an dan hadis sebagai pedoman hidup.
2. Bagi umat Islam yang menggunakan hadis hendaklah tidak sembarangan
hadis, melainkan harus diketahui dengan jelas derajat kualitas hadisnya,
dalam hal ini hadis yang berkualitas shahih yang dapat dijadikan sebagai
hujjah. Dan dalam menentukan sebuah hukum hendaklah untuk berhati-hati
karena akan berakibat fatal, hendaklah meneliti hingga ke akarnya sampai
ditemukan dalil yang kuat sehingga menghasilkan hukum yang relevan dan
kuat pula.
3. Bagi seorang mukallaf yang biasa dalam kondisi macet ketika pulang kerja
dan dari aktivitasnya, sebaiknya mengerjakan salat fardhu terlebih dahulu
pada waktunya dan jangan mengundur-ngundur waktu salat.
4. Bagi para cendekia yang meneliti hadis guna memahami makna hadis,
hendaklah di dukung dengan ilmu lain, seperti, bahasa, sejarah, sosial, agar
lebih luas dalam memahaminya.
5. Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari dengan sepenuh hati belum
sampai pada batas maksimal, dan merupakan suatu kehormatan jika ada
yang melanjutkan atau melakukan kajian ulang guna mencapai
kesempurnaan secara akademik.
82
DAFTAR PUSTAKA
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Cet. 1. Jakarta: Prenada Media Group, 2006.
Abbas, Ahmad Sudirman. Qawa’id Fiqhiyyah: Dalam Perspektif Fiqh. Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 2004.
AbiSyaibah, Ibnu. al-Musonnaf, Jilid. 1.Riyad: Maktabah al-Rusydi, 1409.
Abdul Ghani, A. Syarifuddin, Zulfa Mustofa, dkk. Peran Keutamaan MUI
Provinsi DKI Jakarta, Upaya Mewujudkan Perbaikan Akhlak Bangsa
dalam Dinamika Masyarakat Ibukota Jakarta Yang Heterogen. Provinsi
DKI Jakarta: Program Majelis Ulama Indonesia, 2014-2015.
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Juz. 1. T.tp: Dar al-Fikr, tth.
Amin, Ma‟ruf. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam.Jakarta: Paramuda Advertising,
2008.
Adil, Malikul. Ilmu Fiqh 1. Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/
IAIN di Pusat, 1982.
Ba‟alawi, Abdurrahman bin Muhammad. Bugyatul Mustarsyidin, Juz. 1. Dar al-
Fikr: tp, t.th.
Al-Baihaqi. al-Sunan al-Qubro,Juz. 2. Makkah: Maktabah Dar al-Batz, 1994.
Al-Baihaqi. al-Sunan al-Qubro,Juz. 3. Makkah: Maktabah Dar al-Batz, 1994.
Al-Bazzar, Abu Bakar. Musnad al-Bazar, Juz. 13. Madinah: Maktabah al-
Ulum,2009.
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jilid. 1. Kairo: Dar al-Syu‟b, 1987.
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jilid. 2. Kairo: Dar al-Syu‟b, 1987.
Damin, Sudarman. Menjadi Peneliti Kualitatif, Cet. 1. Bandung: Pustaka Setia,
2002.
Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur'an dan Terjemahnya. Bandung:
Diponegoro, 1995.
Fatah, Abdul dan Ahmadi. Fikih Islam Lengkap. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004.
Hasan, Tafsir Ibadah. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008.
Husnan, Djaelan. Perbandingan Mazhab dalam Hukum Islam, Jilid. 1. Jakarta:
Yayasan Wakaf Baitussalam Billy Moon, 2013.
J. Moelang. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosada Karya, 1997.
83
Al-Jazīrī, abd al-Rahmān. al-Fiqh ‘alā Madzāhib al-‘Arba’ah, Penerjemah
Chatibul Umam dan Abu Hurairah, Fikih Empat Mazhab, Cet. 1, Jakarta:
Darul Ulum Press, 1996.
Al-Ju‟fi, Muhammad ibn Isma‟il abu Abdullah al-Bukhary. Shahih Bukhari, Cet.
1. Madinah: Maktabah al-Dar, 1405 H.
El-Majid, Alimin Koto. Tuntunan Safar. Jakarta: Sahara Publishers, 2006.
Mansoori, Muhammad. Kaidah-Kaidah Fiqih Keuangan dan Transaksi Bisnis.
Bogor: Ulil Albab Institute, 2010.
Mudzhar. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang
Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Penerjemah Soedarso
Soekarna. Jakarta: INIS, 1993.
Mudzhar, M. Atho. Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan
Liberasi,Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998.
Muhtar, Kamal.Ushul Fiqh Jilid II. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.
MUI DKI Jakarta, Laporan Tahunan Majelis Ulama Indonesia Tahun 1992,
Jakarta: MUI DKI Jakarta, 1992.
Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Edisi ke. 2.
Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Al-Naisabūrī, al-Hakim.al-Mustadrok, Juz. 1. Bairut: Dar al-Ma‟rifah, t.th.
Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, Juz. 4. Dar al-fikr: tt.p, tth.
Al-Nawawi, Raudhlatuttalibin,Juz. 1. Bairut: al-Maktab al-Islami, 1405 H.
Al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz. 3. Kairo: Dar al-Hadis, 1415 H.
Al-Nīsāburī, Muslim. Shahih Muslim, Juz. 1. Bairut: Dar al-Afaq, t.th.
Al-Nīsāburī, Muslim. Shahih Muslim, Juz. 2. Bairut: Dar al-Afaq, t.th.
Al-Nīsāburī, Muslim. Shahih Muslim, Juz. 4. Bairut: Dar al-Afaq, t.th.
Noer, Lilih Deliar. Administrasi Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 1983.
Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI dalam Himpunan Fatwa MUI.
Jakarta: Sekretariat MUI, 2010.
Al-Qurthubi, Syaikh Imam. Tafsir al-Qurthubi, Penerjemah Ahmad Khotib, Cet.
1. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
84
Raghib, Ali. Ahkam al-Shalah, Penerjemah Abdillah al-Fakih dan Mu‟tashim,
Ahkamus Shalah dilengkapi dengan Hukum-Hukum Seputar Puasa.
Bogor: al-Azhar Press, 2009.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru, 1989.
Rusydi, Ibnu. Bidāyah al-Mujtahid, Juz. 1.Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, t.th.
Sabiq, al-Sayyid. Fikih Sunnah, penerjemah Khairul Amru Harahap dkk, Cet. 3.
Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011.
Saltout, Mahmoud dan Ali al-Sayis. Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqih.
Jakarta: BulanBintang, 1996.
Sarwat, Ahmad. Seri Fiqh Kehidupan 3 tentang Salat. Jakarta: CU Publishing,
2010.
Al-Shiddieqy, Hasbi. Pedoman Salat. Jakarta: Bulan Bintang, 1983.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah.Jakarta: LenteraHati, 2002.
Soekanto, Soerjono dan Sri, Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan. Jakarta: CV. Rajawali, 1985.
Al-Subkiy, Abd al-Kafi. al-Asybah wa al-Nadza’ir, Cet. 1. Beirut: Dar al-kutub
al-Ilmiyah, 1991.
Al-Subki, Abdul Wahhab bin Ali. Jam’ul Jawāmi Fii Ushūl Fiqh, Juz. 2. Beirut:
Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1424. Lihat juga Darul Azka dkk. Jam’u al-
Jawāmi Kajian dan Penjelasan dua Ushul, Cet. 1. Lirboyo: Santri Salaf
Press, 2014.
Sugiono. Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Bandung: Alfabeta, 2004.
Sumaji, Muhammad Anis. 125 Masalah Salat. Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, 2008.
Al-Syafi‟i, Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini al-Hushni ad-Damasqi,
Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Juz. 1. Damaskus: Darul
Khair, 1994 H.
Al-Syaibani, Ahmad bin Hambal Abu „Abdullah. Musnad bin Hambal, Juz. 5.
Kairo: Muassashah Qurtubah, t.th.
Al-Sya‟rawi, Muhammad Muttawally Tafsir Āyāt al-Ahkām, Jilid. 1. Cairo: al-
Maktabah al-Taufiqqiyah, t.th.
Syarifudin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqh, Cet. 2. Jakarta: Prenada Media, 2005.
85
Thohari, Fuad. Pedoman Penetapan Fatwa Bagi Da’i. Jakarta: Majelis Ulama
Indonesia Provinsi DKI Jakarta, 2012.
Al-Tirmidzī, Abu Īsa. al-Jāmī’ al-Shahih Sunan al-Tirmidzī, Juz. 2. Beirut: Dar
Ihyā al-Turāts al-Arabi, t.th.
Al-Tirmidzī, Abu Īsa. al-Jāmī’ al-Shahih Sunan al-Tirmidzī, Juz. 4. Beirut: Dar
Ihyā al-Turāts al-Arabi, t.th.
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh Islām wa Adillatuh, Penerjemah Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk, Jilid. 2. Jakarta: Gema Insani, 2010.
Yunus, Muhammad. Kamus Arab Indonesia. Jakarta:Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir al-Qur‟an, 1973.
wawancara Pribadi dengan K.H. Syarifuddin Abdul Ghani. Jakarta Barat: 30
Desember 2015.
Wawancara Pribadi dengan Dr. FuadTohari, MA. Jakarta: 22 April 2016.
Muaz, “MetodePenetapan Fatwa MUI Provinsi DKI Jakarta”, Artikel diakses pada
08 Maret 2016 dari http://www.Muidkijakarta.or.id/2014/12/23/Metode-
Penetapan-Fatwa-MUI-Provinsi-DKI-Jakarta.html.
Nanda, “Mudzakarah Ulama Program Baru MUI DKI Jakarta yang Strategis”,
Berita diakses pada 08 Maret 2016 dari
http://www.muidkijakarta.or.id/2015/04/12/mudzakarah-ulama-program-
baru-mui-dki-yang-strategis/.html.
Syaikh Abdullah shoefie, “Rambu-Rambu dalam Musyawarah dan mudzakarah”,
Artikel diakses pada 08 Maret 2016, dari http://www.al-
ulama.net/2009/03/18/rambu-
rambudalammusyawarahdanmudzakarah.html.
86
87