menuju holistik pembelajaran campuran (blended learning)
TRANSCRIPT
Holistik
Journal For Islamic Social Sciences
IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Publikasi Online : Agustus 2017
http://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/holistik
Volume 2, Nomor 1, 2017. Hal 1 - 15
e.ISSN: 2527 – 9556
p.ISSN: 2527 – 7588
Menuju holistik pembelajaran campuran (blended learning)
Ani Cahyadi1
1Fakultas Ilmu Tarbiyah & Keguruan IAIN Antasari Banjarmasin
(email: [email protected])
Received: 25 Juni 2017 Received in revised form: 29 Juli 2017 Accepted:31 Juli 2017
ABSTRAK
Blended Learning/hybrid learning atau pembelajaran campuran disinyalir memiliki
beberapa kelemahan intrinsik, di antaranya melupakan domain afektif dalam
pembelajaran.Blended learning juga diduga kuat ikut menyebabkan tumbuhnya generasi
yang belakangan disebut ‘digital native’. Selain itu, model ini juga terindikasi hanya dapat
“menambah nilai” ketika difasilitasi oleh tenaga pendidik yang memiliki keterampilan
interpersonal, handal, dan melek menggunakan teknologi. Dengan demikian, blended
learning sesungguhnya masih belum berbasis pada sebuah teori yang koheren. Melalui
pendekatan naratif dan fenomenologis tulisan berikut akan mengungkapkan beberapa
kelemahan ini, sembari menggagas konsepsi blended learning yang berwawasan holistik.
Diharapkan melalui konstruksi ini, kelemahan-kelemahan blended learning dapat ditekan
atau dihilangkan.
Kata kunci: Blended Learning, Prophetic Blended Learning, Kelemahan, Tantangan
1. Pendahuluan
.
Lanskap pendidikan terus berubah. Belakangan, menyebar luasnya model pembelajaran
campuran mulai lembaga pendidikan tingkat dasar hingga perguruan tinggi (Larreamendy-
Joerns&Leinhardt, 2006: 568, Means, Toyama, Murphy, Bakia & Jones, 2009: xi, Oosterhof, Conrad
& Ely, 2008: 195) tidak lantas menafikan adanya “sisi gelap” pembelajaran ini. Pasalnya belakangan
model pembelajaran campuran terindikasi memiliki kelemahan-kelemahan baik yang bersifat intrinsik
dan ekstrinsik (turunan).
Meskipun diakui banyak memiliki kelebihan, blended learning, seperti ditemukan beberapa
peneliti seperti H. Rastegarpour, justru akan abai terhadap domain afektif peserta didik. Ini disebabkan
instruksi dalam pembelajaran campuran yang disampaikan seringkali bercampur-aduk (mixed
instruction) (H. Rastegarpour, 2011: 43, Bagus Haryono, 2011: 106). Di sisi lain, karena sangat identik
dengan teknologi online, pembelajaran campuran diduga juga ikut berkontribusi terhadap tumbuhnya
generasi ‘digital native’.
Prensky (2001: 1) menyebut ‘digital native’ sebagai kalangan yang menavigasi website sembari
mencari hyperlink untuk menjangkau tujuan tertentu ketimbang membaca secara logis dari bagian atas
layar komputer; kalangan yang mengunduh konten gratisan tertentu daripada membelinya; menonton
via smartphone atau komputer daripada melakukannya via televisi.
Selain itu, beberapa pengalaman dan evaluasi yang dilakukan oleh Michael Derntl dan Renate
Motschnig-Pirik (2005: 112) menemukan bahwa “pertambahan nilai” pada pembelajaran campuran
2 Ani Cahyadi
hanya akan terjadi bila difasilitasi oleh pendidik yang memiliki skil interpersonal tinggi, handal dan
mudah menggunakan (easy-to-use) teknologi.
Martin Oliver dan Keith Trigwell menyebut dua argumentasi untuk “memprotes” penggunaan
blended learning (2005: 17-26). Argumentasi pertama yang bersifat filosofis terkait dengan ide
dikotomi bahwa pembelajaran dengan teknologi lebih efektif, sementara pembelajaran lain itu tidak
efektif. Argumentasi kedua adalah bahwa pembelajaran campuran, melalui perspektif peserta didik
dianggap jarang bahkan tidak sama sekali menjadi subjek pembelajaran. Pada pembelajaran ini,
umumnya yang digunakan justru format instruksi, pengajaran, atau paling baik pedagogis. Implikasinya,
terma “pembelajaran” telah ditinggalkan.
Maka ketika berbicara beberapa kekurangan itu, sesungguhnya kita akan mendiskusikan evaluasi
dari konsepsi, input, proses, dan output, bahkan internalisasi pembelajaran campuran. Dapat disebut
bahwa beberapa peneliti telah melakukan penelitian tertentu sebagai evaluasi terhadap pembelajaran ini
(e.g. Biggs, Kember, & Leung, 2004: 33-49).
Pada tataran konseptual, beberapa hal di atas mengindikasi hipotesis bahwa blended learning
masih belum berbasis pada teori yang koheren. Seperti yang pernah ditulis oleh Michael Derntl dan
Renate Motschnig-Pirik (2005: 112) bahwa masih belum ada satu teori yang koheren sebagai landasan
dalam mendesain pembelajaran campuran.
Belum lagi kendala-kendala teknis dan didaktis yang masih menghambat pelaksanaan model
pembelajaran campuran ini. Dapat dibayangkan lembaga pendidikan di daerah pedalaman dengan
fasilitas terbatas akan sangat kesulitan untuk menerapkan model pembelajaran campuran ini (Colin
Latchem&Insung Jung,, 2010: 8). Tampaknya sebuah masyarakat ‘yang terkoneksi’ (a connected/a
networked society) merupakan keniscayaan dalam penerapan model pembelajaran campuran.
Maka dalam perspektif yang lebih pokok, tampaknya kita akan tiba pada kesimpulan konfirmatif
bahwa pemerataan kualitas pendidikan masih menjadi pekerjaan rumah yang patut segera selesai.
Wallin (2006: 33) menyebut bahwa idealisme ‘era dot com’ berupa kesetaraan (equality) dalam kualitas
pendidikan justru masih belum tercapai.Maka tidak aneh bila Harvey Singh (2003: 51),telah mewanti-
wanti agar blended learning tidak hanya menawarkan banyak pilihan, namun juga agar dapat berfungsi
lebih efektif..
2. Hasil dan Pembahasan
A. Dinamika Blended Learning
Pembelajaran merupakan upaya peningkatan kemampuan yang multi-dimensi. Melalui berbagai
input dan sumber belajar yang berbeda, upaya peningkatan itu dilakukan. Dalam konteks ini, dapat
dipahami bila terjadi pergeseran tren utama pembelajaran, dari guru-terpusat kepada murid-terpusat (J.
Hart, 2008: 2-12). Berbagai model pendekatan pembelajaran itu tampaknya akan melangkah menuju
titik yang dapat menggabungkan elemen-elemen terbaik dari berbagai pendekatan pembelajaran. Titik
inilah yang disebut dengan hybrid learning, mixed learning atau blended learning.
Pada titik ini, tampaknya pembelajaran campuran tidak hanya metode yang berciri khas
menggabungkan dua hal, yaitu pembelajaran dan pelatihan, namun ia juga menjadi tren pembelajaran
yang fashionable.
Curtis J. Bonk dan Kyong-Jee Kim (2005: 3644-3649) dari Indiana University mengidentifikasi
setidaknya ada 10 tren blended learning dewasa ini, yaitu (1) Mobile blended learning; (2) Greater
visualization, Individualization, & Hands-on Learning; (3) Self-Determined Blended Learning; (4)
Increased Conntectedness, Community & Collaboration, (5) Increased Authenticity & on-Demand
3
Menuju holistik pembelajaran campuran (blended learning)
Learning; (6) Linking Work & Learning; (7) Changed Calendaring; (8) Blended Learning Course
Designations; (9) Changed Instructor Roles; dan (10) The Emergence of Blended Learning Specialists.
Pertanyaannya tentu saja: mengapa pembelajaran campuran dianggap laik dan reliabel untuk
menjadi model? Untuk menjawab hal ini, dapat dikatakan bahwa secara umum kelaikan dan reliabelitas
itu terkait dengan tiga hal: kemudahan akses, efektivitas pedagogik (Barbour, M.K., & Reeves, T.C.,
2009: 402-416), dan ektensitas interaksi—kesempatan pendidikan (educational opportunities).
Di sisi lain, karena setiap orang terkait dengan latar belakang budaya dan tempat berbeda,
pendekatan tunggal dalam pembelajaran tentunya dianggap tidak lagi relevan(E. Lanham, Augar N,
&Zhou W., 2005: 2623-2630). Cukup banyak penelitian yang mengungkap efektivitas blended
learning. Untuk sekadar menyebut, El-Ghayar& Dennis (2005: 176-182) menemukan suasana
pembelajaran dengan blended learning memang reliabel. Sementara Yu, Choy, Chan &Lo (2008: 316 -
327) mengungkap bahwa dibanding dengan pendekatan kelas klasik (classical classes) yang terbatas,
pembelajaran hybrid meningkatkan jam belajar dan interaksi antara siswa dan guru sehingga proses
pembelajaran semakin meningkat.
Pendekatan blended learning secara substantif mencoba menggabungkan “pendekatan
campuran” yang terdiri atas pembelajaran berbasis online, pembelajaran tatap-muka (face to face) dan
pembelajaran berbasis naskah (paper-based learning)(J. Young, 2002: 33, Don Hinkelmen& Paul
Gruba, 2012: 46).Terkait “hubungan tripartit” ini, berbagai pendekatan pembelajaran berfungsi sebagai
pendukung pendekatan pembelajaran tatap muka (I. Sahin, 2007: 113).
Secara teoritis, hybrid atau blended learning bertujuan untuk menyediakan kesempatan bagi
pendidik dan peserta didik untuk membuat pembelajaran lebih independen dan berguna. Lebih dari itu,
pendekatan ini, dimaksudkan agar terwujud pembelajaran yang berkelanjutan (sustainable)(S. Y. Lee,
2012: 7). Tampaknya pembelajaran berkelanjutan dimaksudkan agar proses pembelajaran dapat
dilakukan sesuai dengan kondisi dan situasi. Dengan begitu, iklim pembelajaran dapat dilakukan di
manapun bahkan kapan pun.
Peningkatan kualitas dan pengembangan kuantitas dari gerak pendidikan yang dituju oleh
pembelajaran campuran dapat dilihat dari dua dimensi: dimensi horizontal dan dimensi vertikal
(Neumeier P., 2005: 163-178, Derntl M, Motschning-Pitrik R, 2004: 916-923). Dalam dimensi
horizontal, pembelajaran ini mencoba untuk melebarkan ruang lingkup instrumen yang dapat
memfasilitasi pembelajaran sehingga terwujud kombinasi terbaik. Kombinasi ini diharapkan akan
berimplikasi terhadap kualitas penyelenggaraan pendidikan.
Sementara dimensi vertikal dari pembelajaran campuran adalah terkait proses pembelajaran
campuran baik berupa analisis yang tajam dan mendalam terhadap pembelajaran, pemahaman yang
lebih baik terhadap materi pembelajaran, dan teknik apa yang digunakan untuk mewujudkan
maksimalisasi pembelajaran dan pemahaman terbaik atas subjek ajar.
B. Jalan Sukses
Untuk mewujudkan pembelajaran yang independen, berguna dan berkelanjutan diperlukan proses
pembelajaran yang kokoh (persistent learning). Dalam bahasa Don Hinkelmen dan Paul Gruba,
pembelajaran yang kuat adalah aksi yang mempengaruhi outcome (hasil) (Don Hinkelmen& Paul
Gruba, 2012: 46).Untuk itu, pembelajaran campuran memerlukan pendidik yang kapabilitas dan nilai-
nilai interpersonalnya dapat dipercaya, dengan struktur dan pattern yang reliabel (Michael Derntl&
Renate Motschnig-Pirik, 2005: 112).
4 Ani Cahyadi
Adalah tantangan besar untuk mewujudkan model pembelajaran campuran yang “paripurna”, di
tengah keadaan yang serba tidak pasti seperti kesejahteraan yang minim, keterbatasan infrastruktur,
kebijakan pendidikan yang tidak reliabel, dan tantangan-tantangan lainnya.
Maka kata kuncinya adalah berjalannya seluruh komponen penopang sistem pendidikan nasional
secara simultan dan harmonis.Bila itu dapat terwujud, maka dunia pendidikan tidak lagi berwajah
muram.
Maka untuk mewujudkan pembelajaran campuran yang sukses dan berkekuatan, paling tidak
dapat diidentifikasi empat beberapa faktor penentu kesuksesan pembelajaran campuran yang meliputi
(1) faktor institusi; (2) faktor pendidik [Zhao, et al. 2005: 183-684]; (3) peserta didik; dan (4)
pertimbangan pedagogik dan teknologi.
1. Institusi
Dalam konteks institusi, Sharpe dan beberapa peneliti lain menegaskan bahwa model
pembelajaran campuran harus dibangun agar dapat merespon keperluan lokal, komunitas dan
organisasi, ketimbang hanya menggunakan pendekatan umum (E. Ossiannilson& L. Landgren, 2012:
46, A Sharpe, et. al, 2006: 3). Agak berbeda dengan pendapat ini, mestinya keperluan yang
dinomorsatukan justru keperluan peserta didik. Konteks dan bias pendidik, masing-masing harus
disisihkan terlebih dahulu (R. Mason dan F. Rennie, 2006:110).
Tampaknya, dalam pandangan pertama, pembelajaran campuran dimaksudkan untuk dapat
merespon kebutuhan konteks pendidikan. Sementara dalam skala prioritas, kebutuhan peserta didik
tetap dinomorsatukan. Namun intinya, jelas harus ada semacam perencanaan matang (institutional
planning, support and recognition) dalam menyusun kebutuhan konteks pendidikan.
Hambatan-hambatan dalam institusi mencakup kesiapan institusional, sumber daya teknis yang
cukup, fakultas yang bersemangat, komunikasi yang baik serta kanal umpan balik (feedback channels)
dengan para peserta didik(S.Tabor, 2007: 47-57).
Faktor institusi ini, baik faktor sukses dan penghambat, perlu untuk disikapi dengan baik agar
pembelajaran campuran yang berfungsi transformatif dapat berjalan dengan efektif dan efisien.
Dalam perspektif tertentu, faktor institusi dapat berarti bahwa kebijakan pendidikan mestinya
mendukung terwujudnya pendidikan sebagai kebutuhan pokok seluruh bangsa yang mudah diakses dan
berkualitas. Kemudahan dan kualitas pendidikan juga amat terkait dengan tersedianya infrastruktur
pendidikan itu sendiri.
Isu-isu institusional juga berkaitan dengan ranah administrasi, hubungan akademis, pelayanan
peserta didik, dan keorganisasian. Maka pertanyaan-pertanyaan seperti apakah analisis kebutuhan telah
menjawab kebutuhan peserta didik, perlu untuk dikemukakan.
Aspek manajemen juga dapat diidentifikasi dalam kerangka institusi.Manajemen dimaksudkan
untuk mengatur sedemikian rupa logistik dan infrastruktur pembelajaran, termasuk di dalamnya fase
registrasi, notifikasi, dan penjadwalan elemen-elemen dalam pembelajaran campuran.
Dengan demikian, sesungguhnya faktor leadership amat urgen dalam menjalankan faktor
institusi. Dalam menjalankan fungsinya, gaya dan efektivitas pemimpin selanjutnya memiliki peran
terpusat. Gaya dan efektivitas ini seringkali pada kenyataannya amat terbantu dengan sikap simpatik
dan mendorong staff. Peran eksternal yang tampaknya dapat membantu adalah menciptakan budaya
institusi yang mendukung terciptanya inovasi, pengembangan dan pembangunan institusi.
5
Menuju holistik pembelajaran campuran (blended learning)
2. Pendidik
Faktor kedua penentu keberhasilan pembelajaran campuran adalah pendidik. Dalam hal ini yang
pertama tampaknya masih terus diperlukan pembangunan profesionalitas tenaga pendidik (R. Garrison
dan H. Vaughan, 2008: 49). Pembangunan ini dapat dicapai melalui dukungan teknis dan pedagogis
dalam sebuah komunitas pembelajaran campuran. Diharapkan dari sini terwujud inovasi dalam
pembelajaran campuran.
Adanya skil yang mumpuni dari pendidik adalah hal yang tampaknya mutlak. Skil ini setidaknya
terbagi dua: didaktis dan teknis (R. Motschnig-Pitrik& K. Mallich, 2004: 177). Kemampuan ini
diperlukan karena pada kenyataannya ketimbang menggunakan slide sebagai penyimpanan materi yang
menyenangkan dan mudah, masih relatif banyak pendidik yang kekurangan waktu, wawasan didaktis,
keahlian teknis, insentif dan fleksibelitas untuk menggunakan flatform pembelajaran berbasis online.
Dalam berbagai kasus, seringkali juga masih didapati pendidik yang tidak memiliki ruangan
untuk mengembangkan pemaknaan dia terhadap pembelajaran campuran ini. Ruangan seringkali masih
dimaknai sebagai kelas tatap muka, pembelajaran aktif dan komitmen terhadap konsep.
Sebagian hal yang perlu diperhatikan dalam kemampuan teknis adalah kemampuan menjalankan
(mendesain dan memfasilitasi) teknik role play untuk memaksimalkan peserta didik-terpusat (student-
centered), memaksimalkan agar pembelajaran berfungsi lebih konstruktif, dan cocok untuk berbagai
subjek ajar(Mary Dracup, 2008: 293-310).
Terkait dengan psikologi pendidik, Vaughan menekankan pentingnya perhatian pada
(kemungkinan) adanya ketakutan para pendidik terkait dengan implikasi pembelajaran online seperti
kehilangan control (loss of control), rendahnya umpat balik peserta didik, dan kekhawatiran lainnya(N.
Vaughan, 2007: 81-94). Perhatian ini dimaksudkan agar ketakutan-ketakutan ini dapat diatasi
sedemikian rupa.
Mengingat bahwa pembelajaran campuran menggabungkan materi online dan non-online, maka
hal lain yang perlu untuk diperhatikan adalah beban kerja pendidik. Beberapa peneliti seperti Littlejohn
dan Pegler (2006: 169)mengindentifikasi beban ini dan menggagas adanya sumber daya digital yang
dapat diguna-ulang (reuseable) dan dapat dibagi (shareable), agar beban kerja pendidik dalam
pembelajaran campuran dapat berkurang.
Isu terkait dengan aspek etik merupakan domain yang mestinya dielaborasi oleh pendidik. Oleh
Harvey Singh (2003: 53), ini dapat berupa isu tentang kesempatan yang sama, keberagaman budaya,
dan nasionalisme.
3. Peserta Didik
Individu abad ini disebut sebagai ‘generasi-net’—meminjam istilah S. Y. Lee (2011: 2) atau
‘native digital’—meminjam istilah Prensky (2001: 1). Peserta didik pada umumnya sudah kenal dengan
internet dan gadget. Di Indonesia, dan bahkan di banyak bagian dunia, sebagian anak-anak usia dini,
minimal sudah bermain hape dan game-game berbasis teknologi.
Fenomena ini menjadi salah satu ciri khas abad ke-21.Ciri khas ini mewakili “gelombang ketiga”
dunia yang kita diami. Sosiolog seperti Daniel Bell menyebutnya dengan fase post-industrial society
(Alvin Toffler, 1981: 11). Implikasinya adalah demassifikasi, diversitas, produksi yang berbasis ilmu
pengetahuan dan akselerasi perubahan yang tidak menentu, juga tumbuhnya budaya instan—bahasa lain
dari diktum ‘efisiensi’ dan ‘efektivitas’.
Maka dari itu, ketimbang secara logis dari bagian atas layar computer, apa yang kita sebut sebagai
kalangan ‘native digital’ lebih memilih untuk menavigasi internet dengan fokus hyperlink; mereka
6 Ani Cahyadi
mengunduh konten gratisan tertentu ketimbang harus merogoh kocek untuk membelinya. Kalangan ini
juga cenderung menonton via smartphone atau komputer daripada melakukannya via televisi.
Kalangan ini yang dapat diidentifikasi sebagai kalangan ‘the technology-oriented group’—
meminjam istilah Jung-Chuan Yen, Chu-Yi Lee—yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk
menggunakan instrument teknologi. Oleh karenanya, diperlukan literasi teknologi agar peserta didik
lebih terarah dan terdukung dalam bidang akademis dan sosialnya.
Peserta didik sejatinya juga siap untuk mengikuti pembelajaran campuran dengan segala
tuntutannya untuk menghasilkan pembelajaran independen. Demikian pula ekspektasi peserta didik dan
pola komunikasi yang konsisten dan transparan(S. Tabor, 2007: 47-57, N. Vaughan, 2007: 81-94).
Dengan demikian, persiapan yang meliputi advokasi dan bimbingan berupa manajemen diri dan
motivasi diri (C. McLoughlin& M.J.W. Lee, 2008: 16), sebelum pembelajaran mutlak diperlukan.
Terlepas dari isu gender dalam pembelajaran campuran (Jung-Chuan Yen, Chu-Yi Lee, 2011:
144), kesiapan ini menjadi penting karena seperti ditemukan beberapa peneliti (C. J. Bonk, T. M. Olson,
R. A. Wisher, & K. L. Orvis, 2002: 97-118), peserta didik seringkali kesulitan untuk menyesuaikan diri
dengan pembelajaran tersebut.
Domain afektif
Namun, sekali lagi terlepas dari kelebihannya, disinyalir karena instruksi yang mudah berubah
dan bercampur aduk, hybrid atau blended learning melupakan domain afektif dalam proses
pembelajaran.
Dalam pembelajaran, domain afektif terkait dengan kecenderungan manusia. Pada beberapa
simulasi, kecenderungan manusia cenderung kurang responsif terhadap instruksi yang bercampur aduk
dan berubah-ubah. Ilustrasinya seperti yang ditulis oleh M. Nichols (2003: 1-10) bahwa blended
learning cenderung sangat deskriptif, terlalu berbasis pengalaman (experience-based), dan seringkali
minim isyarat untuk menggeneralisasi skenario pembelajaran. Generalisasi ini dimaksudkan agar
transfer pada domain dan konteks berbeda dimungkinkan. Namun demikian, generalisasi jangan sampai
terjebak pada persepsi yang salah dari peserta didik terkait volume belajar yang diperlukan (Paul Gins
& Robert Ellis, 2007: 55).
Kelalaian pada domain afektif ini tampaknya juga turut disumbang oleh fokus pembelajaran
campuran pada isu-isu dari muatan online (e-content issues), sementara proses dan setting pembelajaran
seringkali diabaikan(G. Salmon, 2000: 29).
Dengan demikian, dalam blended learning diperlukan instruksi dan skenario yang lugas dan tidak
sakleg. Skenario ini juga mestinya tidak hanya digunakan dalam skala yang lebih luas, namun perlu
terus diuji.
4. Pertimbangan Pedagogis dan Teknologis
Faktor terakhir adalah pertimbangan pedagogis. Dalam pertimbangan pedagogis, diperlukan
adanya suatu pemahaman terhadap kelemahan dan kekuatan iklim belajar kombinatif antara virtual dan
fisik. Sebagai contoh, beberapa penulis seperti Meyer (2004: 101–114) memberikan kerangka
pedagogis di mana setiap fase pembelajarannya menggunakan kekuatan media yang berbeda dan
menyuguhkan nilai pada aktivitas pembelajaran. Pertimbangan pedagogis tampaknya harus berorientasi
pada pencarian formulasi yang tepat untuk mengelaborasi kelemahan dan kekuatan pembelajaran
campuran ini.
Sisi pedagogis sejatinya juga memperhatikan titik kombinasi dari konten yang disampaikan
(content analysis), keperluan peserta didik (audience analysis), dan tujuan pembelajaran (goal analysis).
Sisi pedagogis juga meliputi desain dan strategi dari pembelajaran.
7
Menuju holistik pembelajaran campuran (blended learning)
Sementara isu teknologi menjadi penting ketika kita mengindentifikasi bahwa aspek
penyampaian dan materi gabungan menjadi bagian tak terpisahkan dari pembelajaran campuran. Maka
dalam dimensi ini, kita akan berbicara terkait Learning Management System (LMS) yang berfungsi
untuk mengatur tipe-tipe penyampaian. Kita juga akan berjibaku dengan Learning Content Management
System (LCMS) yang bertugas mengkatalogisasi konten-konten aktual/modul online, atau belakangan
dengan Electronic Document and Records Management System (EDRMS)(M. Linton & Kevin Dwyer,
2012: 20-24). Ini juga berarti bahwa isu-isu perkembangan teknologi pembelajaran harus menjadi porsi
penting dalam pembelajaran campuran.
Dalam tataran teknis, pertimbangan teknologi akan sangat berkaitan dengan desain interface yang
digunakan pengguna teknologi. Desain ini misalnya berupa struktur konten, navigasi, grafis, dan fitur
help. Sementara dimensi evaluasi berhubungan dengan kegunaan dari model pembelajaran
campuran.Untuk mewujudkan hal ini, dukungan sumber daya yang berkaitan pembuatan sumber yang
berbeda, baik yang offline atau yang online, mutlak diperlukan. Dukungan sumber daya juga dapat
berupa tutor yang selau sedia melaui e-mail, atau system chat.
Namun demikian, minimnya interaksi langsung antara peserta didik dan pendidik menjadi titik
kritis yang perlu disikapi melalui pemikiran kratif dan sistemik.Pemikiran ini diharapkan dapat
mengatasi keterbatasan ini (R. T. Osguthorpe& C. R. Graham, 2003: 227).
C. Mencari Kerangka Holistik
Menyadari adanya jebakan berupa tidak efektifnya model pembelajaran campuran, Badrul Khan,
seperti dikutip Harvey Singh (2003: 52) menawarkan kerangka oktagonal dalam pembelajaran tersebut.
Kerangka ini meliputi enam elemen: (1) institusional, (2) pedagogis, (3) teknologi, (4) desain interface,
(5) evaluasi, (6) manajemen, (7) dukungan sumber daya, dan (8) etika.
M. Linton & Kevin Dwyer(2012: 21) menyebut bahwa untuk mewujudkan pembelajaran
campuran yang sukses, perlu dilakukan Training Needs Analysis (TNA) atau semacam “analisis
keperluan” dalam pelatihan bagi pendidik. Selanjutnya, melalui TNA akan didapatkan desain (Barbour,
M.K., & Reeves, T.C. 2009: 402) dan konten penyampaian apa saja yang ditentukan. Dan terakhir,
komponen dari pembelajaran campuran akan sangat tergantung dari terlaksananya tujuan dan iklim
program yang dapat dikembangkan dan dilaksanakan.
Tujuan dan Skup Proyek
Kematangan Skil dan Praktis Anggaran Internal
& Eksternal
Style dan Kekuatan
Leadership
Sikap &Kultur
Organisasi
Logistik dan Lokasi
Dukungan kepada Staf Internal
Teknologi yang
Tersedia
TRAINING
NEEDS
ANALYSIS
8 Ani Cahyadi
Gambar 1. Kerangka TNA dan desain pengembangan pembelajaran campuran versi linton dan dwyer
Lain lagi dengan Dabner, N., Davis, N., & Zaka, P.(2012: 71-114) yang menyebut desain dan
konten yang dianggap relevan dengan pembelajaran campuran. Desain dan konten ini mereka sebut
dengan Authentic Project-Based Design yang terdiri atas lima elemen, yaitu komunitas pembelajaran,
strategi kunci pembelajaran dan pengajaran, konten, aplikasi, dan dimensi.
Komunitas Pembelajaran
• Guru K-12
• Pendidik tersier
• Pendidik berbasis komunitas
• Fasilitator pengembangan tenaga
professional
Strategi Kunci Pembelajaran dan
Pengajaran
• Konteks pembelajaran dan pengajaran
• Refleksi dan praktik penelitian yang
informatif
• Kolaborasi
• Komunitas para praktisi (termasuk ahli
yang diundang)
• Pembelajaran konstruktif
• Penggunaan Web. 2.0 Tools
• Adanya modeling oleh pendidik dan
rekanan
• Adanya penilaian rekanan
• Adanya asesmen otentik: mencakup
umpan-balik formatif atau summatif
Konten
• Pengantar Blended Learning
• Review atau presentasi peserta didik terkait
dengan penelitian/literatur pilihan sesuai
dengan kepentingan
• Menginvestigasi kesiapan institusional
untuk mengadopsi pembelajaran campuran
• Virtual Schooling
• Learning Management System-
pengembangan dan desain situs dan konten
• Desain konseptual, asesmen dan evaluasi
• Pembelajar yang memimpin (pendidik)
dalam iklim pembelajaran online
• Keterikatan dan kesuksesan peserta didik
dalam iklim pembelajaran online
• Lensa alternatif untuk pembelajaran online
(e.g. MOOCS, open courseware, expert
capture, RSS Feeds)
Aplikasi
• Review peserta didik atas kesiapan
organisasional untuk
pembelajaran/pengajaran online
• Pengajaran pengembangan situs
Dimensi Asesmen
• Ilmu pengetahuan dan pemahaman yang
luas dan mendalam.
• Keterlibatan aktif dalam penelitian maupun
praksis yang kaya informasi dan berbasis
penelitian
- Plan rollout
- Membuat komunikasi
- Membangun Rekaman Tim
- Stakeholder dan Manejer
- Membangun Skil Super dari Pengguna
- Membangun End-Skill dari Pengguna
- Membuat program transfer keahlian
- Menteknisi proses bisnis
DESAIN & PENGEMBANGAN
9
Menuju holistik pembelajaran campuran (blended learning)
• 2 kali pilot course manajemen: Desain
konseptual, implementasi, evaluasi dan
refleksi.
• Pengembangan kolaboratif: Wiki
sebagai literatur bersama (shared
literature Wiki), presentasi dan
repository/ Web 2.0 tools repository.
• Keterikatan dengan praktik yang bersifat
reflektif
• Keterampilan Komunikatif dan kolaboratif
• Adanya keterikatan dalam kritik dan debat.
Gambar 2. Authentic project-based design
Sementara itu, E. Ossiannilson & L. Landgren (2012: 49) agaknya menekankan bahwa pembelajaran
campuran merupakan pembelajaran dengan paradigma inti berupa peserta didik- terpusat (student-
centered) dan disokong oleh efektifnya peran produk, jasa dan manajemen pembelajaran tersebut. Pada
lapis terluar, terdapat tujuh elemen yaitu personalisasi, fleksibelitas, produktivitas, partisipasi, interaksi,
transparansi, dan aksesibilitas.Model ini dia sebut sebagai pembelajaran campuran dengan perspektif
holistik.
Gambar 3. Kerangka konseptual terkait kualitas e-learning/blended learning perspektif holistik ala e.
ossiannilson & l. landgren
Dari beberapa kerangka di atas, dapat dinyatakan adanya kerangka variatif dalam pembelajaran
campuran. Variasi ini dapat berimplikasi negatif atau positif. Positif, bila itu dianggap sebagai khazanah
dalam pelaksanaan pembelajaran ini, sehingga para penyelenggara pendidikan dapat memilah dan
memilih kerangka apa yang paling cocok dengan konteks pendidikannya. Namun bila dianggap sebagai
kerangka yang bersifat ketat (tight), maka keberagaman ini tampaknya menjadi diskursus yang tidak
berujung dan cenderung membingungkan.
D. Identifikasi Kolaboratif
Oleh karena itu, beberapa tawaran kerangka di atas perlu untuk diuji dalam konteks pembelajaran
campuran yang berkaitan dengan kebutuhan dan kondisi peserta didik, iklim belajar, faktor institusi,
dan pertimbangan pedagogis dan teknis.
Keempat kerangka di atas, belum dapat menjawab tantangan terkait dengan tumbuhnya generasi
digital native yang serba instan, kurang menekankan elaborasi etik demi pembangunan sisi afektif, amat
tergantung dengan kekuatan pendidik, dan masih dianggap berfilosofi pendidikan dikotomis dan
10 Ani Cahyadi
bertentangan dengan realitas karena berformat instruktif, top-down. Secara per se, beberapa critical
areas dapat dilihat dari tabel berikut.
Tabel 1. Daftar critical areas dari beberapa kasus kerangka blended learning
Kerangka Pembelajaran
Campuran
Sasaran Ranah Kritis
(Selected Critical Areas
[SCA])
Usulan Ranah Kritis
(Suggested Critical Areas
[SgCA])
Oktagonal Blended Learning - Terbatasnya cakupan
Etika pada kesempatan
yang sama, keberagaman
budaya, patriotism, dan
nasionalisme.
- Tidak menyertakan
elemen komunitas
- Elaborasi Muatan Etika
- Komunitas
Kerangka TNA dan Desain
Pengembangan Pembelajaran
Campuran versi Linton dan
Dwyer
- Tidak ada pengembangan
desain pada sisi afektif
- Belum ada sisi asesmen
- Desain afektif
- Asesmen
Authentic Project-Based
Design
- Tidak ada elemen
institusional (kultur dan
sikap institusi)
- Minim peningkatan Skill
dan pengembangan
- Belum ada manajemen
dan leadership
- Tidak ada penekanan
pada sisi anggaran
- Miskomunikasi
- Elemen institusional
- Skill Development
- Specific Management
- Accountability
- Communication Pattern
Perspektif Holistik ala E.
Ossiannilson & L. Landgren
- Reduktif dan sangat
terbatas
- Reformulasi, Research &
Development
Secara lebih elaboratif, kerangka holistik dari blended learning sejatinya dapat mencakup elemen-
elemen penting dari empat kerangka berikut.
(1) Faktor filosofis
-Dikotomi pembelajaran teknologi dan non-teknologi
(2) faktor institusi
- Tidak peka terhadap keperluan peserta didik
- Keperluan lokal, komunitas dan organisasi
- Ketidaksiapan institusional
- Kekurangan Sumber daya teknis dan non-teknis
- Fakultas yang bersemangat,
11
Menuju holistik pembelajaran campuran (blended learning)
- Pola komunikasi satu arah
- Tertutupnya kanal umpan balik (feedback channels) dengan para peserta didik
- Kebijakan yang tidak reliabel
- Mandegnya pembangunan akuntabilitas/quality assurance
- Hubungan akademis,
- Pelayanan yang mengecewakan
- Manajemen buruk
- Leadership lemah
(3) faktor pendidik
- Mandegnya pembangunan profesionalitas, seperti inovasi.
- Kurangnya skil teknis dan didaktis
- Minim komunitas
- Kekurangan waktu, wawasan didaktis, keahlian teknis, insentif dan fleksibelitas untuk
menggunakan flatform pembelajaran berbasis online
- Ruangan seringkali masih dimaknai sebagai kelas tatap muka, pembelajaran aktif dan komitmen
terhadap konsep
- Adanya ketakutan para pendidik terkait dengan implikasi pembelajaran online seperti
kehilangan control (loss of control), rendahnya umpat balik peserta didik
- Beban kerja pendidik berlebihan
- Gaya komunikasi dan interaksi satu arah
(4) peserta didik
- Tumbuhnya native digital
- Siap untuk mengikuti pembelajaran campuran dengan segala tuntutannya untuk menghasilkan
pembelajaran independen.
- Ekspektasi peserta didik terlalu tinggi.
- Pola komunikasi yang tidak konsisten dan tidak transparan.
- Domain afektif terabaikan karena materi cenderung deskriptif, terlalu berbasis pengalaman
(experience-based), seringkali minim isyarat untuk menggeneralisasi skenario pembelajaran,
dan cenderung fokus pada pembelajaran campuran pada isu-isu dari muatan online (e-content
issues).
(5) pertimbangan pedagogik dan teknologi
- Belum adanya pemahaman terhadap kelemahan dan kekuatan iklim belajar kombinatif: virtual
dan fisik.
- Kurang elaborasi muatan etik
- Tidak menggunakan kekuatan media berbeda
- Pencarian formulasi yang tepat untuk mengelaborasi kelemahan dan kekuatan.
- Kurang merambah desain sisi afektif
- Minim asesmen, research & development
12 Ani Cahyadi
Hasil identifikasi kolaboratif antara ranah kritis dan tantangan dalam lima kerangka di atas dapat dilihat
dalam skema sebagai berikut:
Gambar 4. Kerangka holistic blended learning
3. Simpulan
Memang pembelajaran campuran tidak dapat menjanjikan output pendidikan bermutu. Sebagai
salah satu alternatif model pembelajaran, ia tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Gagasan model
holistik dalam artikel ini dapat berarti bahwa pembelajaran campuran sementara ini belum menyentuh
sisi filosofis dan kurang maksimal pada proses dan output.
Pembelajaran
Campuran yang
Non-Dikotomis
Institutional
- Kesiapan institusional - Peka terhadap kebutuhan peserta
didik, lokal, komunitas dan organisasi
- Sumber daya teknis dan logistik yang cukup,
- Komunikasi yang baik - Kanal umpan balik (feedback
channels) dengan para peserta didik
- Kebijakan reliabel - Administrasi/WTP - Akuntabilitas/quality assurance - Hubungan akademis, - Pelayanan yang memuaskan
- Open Manajemen dan Strong Leadership
- Semangat dan kultur institusi
Peserta didik
- Manajemen diri - Personalisasi - Evaluasi
Pendidik
- Pembangunan profesionalitas (e.g. skil teknis dan didaktis)
- Komunitas - Berfikir inovatif, fleksibel
dan kreatif - Kreativitas pembelajaran - Kepercayaan diri (self
confidence) - Beban kerja seimbang - Gaya komunikasi dan
interaksi - Melakukan student-
centered - Asesmen
Pertimbangan Teknologi
- Desain sisi afektif - Research &
development - Resource support - Konten, aplikasi dan
interaksi (Interface Design, dst)
- Aksesibilitas - Produktivitas - Fleksibilitas - Asesmen
Pertimbangan
Pedagogic
- Adanya pemahaman integral terkait kelemahan dan kelebihan pembelajaran campuran
- Elaborasi muatan etik - Eksplorasi kekuatan media
berbeda - Reformulasi dan
pengujian - Strategi pembelajaran
13
Menuju holistik pembelajaran campuran (blended learning)
Fokus blended learning konvensional terhadap konten e-learning dan cenderung deskriptif,
tampaknya mengkonfirmasi hipotesis bahwa pembelajaran campuran belum mampu menjawab
tantangan berupa tumbuhnya generasi ‘digital native’ yang serba instan. Hal ini ditambah kurangnya
tekanan pembelajaran campuran terhadap elaborasi etik demi pembangunan sisi afektif. Pembelajaran
campuran juga amat tergantung dengan kekuatan pendidik dan bertentangan dengan realitas karena
berformat instruktif, dan top-down. Beberapa model pembelajaran campuran justru mengidap penyakit
berupa minimnya penekanan pada komunitas pembelajaran campuran, elemen institusional, skil
development, manajemen, akuntabilitas, komunikasi yang cenderung satu-arah, manajemen, research
& development, dan asesmen.
A. Dengan demikian, kerangka Holistic Blended Learning dimaksudkan untuk menutupi kelemahan
dan tantangan itu. Kelemahan yang ditemukan dapat bersifat filosofis, proses, dan output. Semoga
tulisan ini dapat menjadi langkah awal menunju pembelajaran campuran yang holistik.
Daftar Pustaka
Aycock, Garnham & Kaleta. 2002. Lesson Learned from the Hybrid Course Project.Teaching with
Technology Today, 8.
Barbour, M.K., & Reeves, T.C. 2009. The reality of virtual schools: A review of the literature.
Computers and Education, 52(2), 402.
Bonk, C. J., T. M. Olson, R. A. Wisher, & K. L. Orvis. 2002. Learning from Focus Groups: An
examination of Blended Learning. Journal of Distance Education, 17(3): 97–118.
Bonk, Curtis J. &Kyong-Jee Kim. 2005. Future Directions of Blended Learning in Higher Education
and Workplace Learning Settings,” dalam Proceedings of World Conference on Educational
Multimedia, Hypermedia and Telecommunications 2005.Chesapeake, VA: AACE.
Cresswell, J. W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions.
London: Sage.
Dabner, N.,N. Davis, & P. Zaka. 2012. Authentic project-based design of professional development for
teachers studying online and blended teaching.Contemporary Issues in Technology and Teacher
Education, 12[1].
Derntl, Michael & Renate MP. 2005 The Role of Structure, Patterns, and People in Blended
Learning.The Internet and Higher Education, 8: 112.
Dracup, Mary. 2008. Role Play in Blended Learning: A Case Study Exploring the Impact of Story and
Other Elements.Australasian Journal of Educational Technology, 24 [3]: 293-310.
El-Ghayyar, O. & Dennis T. 2005. Effectiveness of Hybrid Learning Environment,” Issues in
Information System, 6 (1): 176-182.
Garrison, R. dan H. Vaughan. 2008. Blended Learning in Higher Education: Framerwork, Principles,
and Guidelines. San Francisco: Jossey-Bass.
Gins, Paul& Robert Ellis. 2007. Quality in Blended Learning: Exploring the Relationships between On-
line and Face-toface Teaching and Learning,” Internet and Higher Education, 10: 53-64.
Hart,J. 2008. Understanding Today’s Learner.The e-Learning Guide’s Learning Solutions: Practical
Applications of Technology for Learning e-Megazine, 2: 2-12.
Haryono, Bagus. 2011. Estimasi Parameter Integrasi Sosial Suku Tionghoa-Jawa di Yogyakarta dan
Surakarta: Pengembangan Hybrid Model.Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Tahun 15
Nomor.2: 106.
Hinkelmen, Don& Paul Gruba. 2012. Power within Blended Language Learning Programs in
Japan.Language Learning & Technology, vol. 16 No. 2: 46.
Lanham, E.,Augar N, & Zhou W. 2005. Creating a Blended Learning Model for Cross-Cultural e-
Learning: Putting Theory into Practice. Dalam Proceeding of E-Learning in Corporate,
Government, Healthcare and Higher Education. Vancouver: AACE.
Larreamendy-Joerns, J., &Leinhardt, G. 2006. Going the distance with online education.Review of
Educational Research, 76(4), 567-605.
14 Ani Cahyadi
Latchem, Colin&Insung Jung. 2010.Distance and Blended Learning in Asia. New York: Routledge.
Lee, S. Y. 2012. Hybrid Learning Utilizing GLOSS. diakses dari: ww.ebookbrowse.com/4-29-utilizing-
corpus-analysis-software-in-language teaching-pdf (Akses pada 7 Juni, 2012).
Linton, M. & Kevin Dwyer. 2012. Creating Your Blended Learning Success Story,” IQ: 21.
Littlejohn, A.& C. Pegler. 2007. Preparing for Blended e-Learning. London: Routledge, 2007.
M,Derntl, Motschning-Pitrik R. 2004. Pattern for Blended, Person-Centered Learning: Strategy,
Concepts, Experiences and Evaluation. ACM New York.: 916-923.
Mason, R. dan F. Rennie. 2006. ELearning: The Key Concepts. London: Routledge.
McConnell, D. 2000. Implementing Computer Supported Collaborative Learning. London: Kogan
Page.
McLoughlin, C. & M.J.W. Lee. 2008. The three P’s pedagogy for the networked society:
personalisation, participation and productivity. International Journal of Teaching and Learning
in Higher Education, 20: 10–27.
Means, B., Toyama, Y., Murphy, R., Bakia, M., & Jones, K. 2009. Evaluation of evidence-based
practices in online learning: A meta-analysis and review of online-learning studies. Washington,
DC: U.S. Department of Education, Office of Planning, Evaluation, and Policy Development.
Meyer,K. 2004. Evaluating Online Discussions: Four Different Frames of Analysis.Journal of
Asynchronous Learning Networks, 8 [2].
Motschnig-Pitrik, R. & K. Mallich. 2004. Effects of Person-Centered Attitudes on Professional and
Social Competence in A Blended Learning Paradigm.Journal of Educational Technology and
Society, 7 [4]: 176-192.
Nichols,M. 2003. A Theory for e-Learning,” Journal of Educational Technology and Society, 6 [2]: 1-
10.
Oliver, Martin dan Keith Trigwell. 2005. Can ‘Blended Learning’ Be Redeemed.E-Learning, vol. 2, no.
1: 17-26.
Oosterhof, A., Conrad, R.M., & Ely D.P. 2008. Assessing learners online. Columbus, OH: Pearson.
Osguthorpe, R. T. & C. R. Graham. 2003. Blended learning environments: Definitions and
directions.The Quarterly Review of Distance Education, 4, [3]: 227–233.
Ossiannilson, E. & L. Landgren. 2012. Quality in e-Learning –A Conceptual Framework Based on
Experiences from Three International Benchmarking Projects.Journal of Computer Assisted
Learning, 28: 46.
P., Neumeier. 2005. A Closer Look at Blended-Parameters for Designing A Blended Learning
Environment for Language Teaching and Learning. ReCALL, 17: 163-178
Prensky, M. 2001. Digital Natives, Digital Immigrants. On The Horizon, 9 [5].
Rastegarpour, H. 2011. What is the Hoopla About Blended Learning: Something Old Is New
Again.World Journal on Educational Technology, Vol. 3, 1: 39-47.
Rossett, A. [ed]. 2002.The ASTD e-Learning Handbook. New York: McGraw-Hill.
Sahin. (2007). Predicting Student Satisfaction in Distance Education and Learning
Environments.Turkish Online Journal of Distance Education-TOJDE, 8 (2): 113-119.
Salmon, G. 2000. E-Moderating—the Key to Teaching and Learning Online. London: Kogan Page.
Sharpe, dkk. 2006.The Undergraduate Experience of Blended Learning: A Review of UK Literature and
Practice. London: H E Academy.
Singh, Harvey. 2003. Building Effective Blended Learning Programs,” Issue of Educational
Technology, vol. 43 [6]: 53.
Tabor, S. 2007. Narrowing the Distance: Implementing a Hybrid Learning Model for Information
Security Education.The Quarterly Review of Distance Education, 8 [1]: 47-57.
Toffler,Alvin.1981. The Third Wave. New York: Bantam.
Vaughan, N. 2007. Perspective on Blended Learning in Higher Education.International Journal on
ELearning, 6 [1]: 81-94.
15
Menuju holistik pembelajaran campuran (blended learning)
Wallin, J. D. 2006. Assuring the Quality of e-Learning in Higher Education Through Accreditation : A
Case of Solution Hiding in the Question,” The National Institute of Multimedia Education
International Symposium, NMESI, Tokyo: 33-43.
Y. T. Yu, M. Y. Choy, E. Y. K. Chan&Y. T. Lo. 2008. A Hybrid Learning Course on Software
Development—Requirements Validation of Tool Support.Hybrid Learning and Education.Vol.
5169: 316-327.
Yen, Jung-Chuan& Chu-Yi Lee. 2011. Exploring Problem Solving Patterns and Their Impact on
Learning Achievment in a Blended Learning Environment.Computers and Education, 56: 144.
Young, J. 2002. Hybrid Teaching Seeks to End the Divide between Traditional and Online
Instruction.Chronicle of Higher Education, 48 (28): 33.
Zhao, et al. 2005.What Makes the Difference? A Practical Analysis of Research on the Effectiveness of
Distance Education.Teachers Collage Record, 107 [8]: 183-684.