merupakan seorang misionaris belanda beserta
TRANSCRIPT
Gambar yang dijadikan sebagai sampul pada edisi
kali ini adalah visualisasi rumah sakit swasta tertua
di Indonesia, yakni Rumah Sakit PGI Cikini. Berdiri
pada 12 Januari 1898, kini RS PGI Cikini telah genap
berusia 116 tahun. Berlokasi di Jalan Raden Saleh
Nomor 40, Cikini, Jakarta Pusat, di atas tanah seluas
5,6 Ha, RS PGI Cikini menempati sebuah bangunan
bergaya gothic-moors yang dahulu adalah milik
seorang pelukis naturalis kenamaan Indonesia,
yakni Raden Saleh (Huis van Raden Saleh).
“Doeloe, Sachsen Coburg-Gotha, Ratu Victoria,
Johannes van den Bosch, dan Herman Willem
Daendels memesan lukisan emas dari pemilik
istana gothic - moors ini”
Cikal bakal RS PGI Cikini telah dimulai sejak 15
Maret 1895 saat Dominee Cornelis de Graaf yang
merupakan seorang misionaris Belanda beserta
sang isteri Adriana J. de Graaf Kooman mendirikan
Vereeniging Voor Ziekenverpleging In Indie atau
perkumpulan orang sakit di Indonesia. Lalu, balai
pengobatan sebagai wadah pelayanan kesehatan
berbagai golongan masyarakat tanpa memandang
kedudukan dan untuk semua suku, bangsa, serta
agama pun dibuka di Gang Pool (di dekat Istana
Negara) pada 1 September 1895.
Dominee dan Adriana lalu mencari dana untuk
mengawali pekerjaan pelayanan kesehatan tersebut
hingga pada akhirnya mereka pun memperoleh
sumbangan senilai 100.000 gulden dari Ratu Emma yang merupakan Ratu negeri kincir angin saat itu. Dari sumbangan
tersebut, maka dibelilah istana megah milik Raden Saleh (Huis van Raden Saleh) pada Juni 1897 dan kegiatan pelayanan
kesehatan pun dialihkan ke gedung ini. Diketahui, Nirin Ninkeulen yang berasal dari Depok adalah pribumi pertama yang
bekerja sebagai tenaga medis di RS Ratu Emma tersebut. Kemudian, pada 1 Agustus 1913, nama Rumah Sakit Ratu Emma
diubah menjadi Rumah Sakit Tjikini.
Pada masa pendudukan Jepang, RS Cikini dijadikan sebagai Rumah Sakit Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Lalu, pasca
pendudukan Jepang (Agustus 1945-Desember 1948), RS Tjikini dioperasikan oleh RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of
War and Internees) dan selanjutnya oleh Dienst van Volksgezondheld (DVG) sebagai Dinas Kesehatan Rakyat Hindia Belanda
hingga pada akhir 1948, RS Cikini dikembalikan pengelolaannya kepada pihak swasta dan dipimpin oleh R.F. Bozkelman.
Kemudian, pada tahun 1957, pengelolaan Stichting Medische Voorziening Koningen Emma Ziekenhuis Tjikini pun diserahkan
kepada DGI (Dewan Gereja-gereja di Indonesia) dengan Prof. Dr. Joedono sebagai pimpinan sementara hingga diangkatlah dr.
H. Sinaga sebagai direktur pribumi pertama RS Tjikini. Seiring dengan berjalannya waktu, Yayasan Stichting Medische
Voorziening Koningen Emma Ziekenhuis Tjikini diubah namanya menjadi Yayasan Rumah Sakit DGI Tjikini. Sehubungan
dengan penyempurnaan ejaan dalam Bahasa Indonesia, maka Yayasan RS DGI Tjikini diubah menjadi Yayasan Kesehatan PGI
Cikini pada 31 Maret 1989. Kini, Yayasan Kesehatan PGI Cikini membawahi Rumah Sakit PGI Cikini, Akademi Perawat RS PGI
Cikini (Akper Cikini), Pusat Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia RS PGI Cikini (PPSDM), dan Balai Kesehatan
Masyarakat di Tanjung Barat.
Lambat laun, RS PGI Cikini dikenal khususnya pada bidang pelayanan medis ginjal. Adapun Unit Penyakit Dalam Ginjal dan
Hipertensi (PDGH) dirintis oleh alm. Prof. R.P. Sidabutar dan tim medis tersebut merupakan penyelenggara transplantasi ginjal
pertama di Indonesia. Kini, sebagian besar transplantasi ginjal di Indonesia dilakukan di RS Cikini oleh tim PDGH dan Urologi.
Terkait dengan keunggulan tersebut, RS PGI Cikini telah menciptakan gelar MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai rumah
sakit penyelenggara transplantasi ginjal dengan pasien hidup yang paling lama. Selain pelayanan medis ginjal, RS PGI Cikini
juga menyediakan pelayanan neurologi, medical check up, catheterisasi laboratorium, IGD/emergency, rawat jalan, rawat
inap, rawat intensif, bedah/ operasi, farmasi, radiologi, laboratoratorium kesehatan, diagnostik lain, fasilitas umum, dan juga
rumah duka. Berdasarkan visi “Pelayanan Kesehatan Holistik dengan Sentuhan Kasih”, RS PGI Cikini terus berupaya dalam
rangka memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien/masyarakat dengan berasaskan kemanusiaan yang berdasarkan
Ketuhanan YME sebagai wujud jawaban dan kesaksian iman dalam rangka pembangunan dan peningkatan derajat kesehatan
yang optimal.
Sumber: Tropical Museum Amsterdam (http://www.amsterdammuseum.nl), “100 Tahun RS PGI Cikini, dengan Sentuhan Kasih” buah karya
Dr. Poltak Hutagalung, Amir L. Sirait, & Moxa Nadeak. Gambar merupakan buah karya: Charls, Van Es, & Co.NV.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 3 Nomor 2 Februari 2017
Penanggung Jawab Umum Dr. Ede Surya Darmawan, SKM, MDM
CHAMPS
(Center for Health Administration and Policy Studies) FKM UI
Dewan Redaksi
Ketua Dewan Redaksi
Prof. Amal Chalik Sjaaf, SKM, Dr.PH
Universitas Indonesia
Wakil Dewan Redaksi
Dr. Adib A. Yahya, MARS PERMAPKIN
(Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia)
Anggota Dewan Redaksi
Prof. Dr. dr. Adik Wibowo, MPH
Universitas Indonesia
Dr. Supriyantoro, Sp.P, MARS
Prof. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K), DTM&H, MARS. DCTE
Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan
Dr. dr. Anwar Santoso, Sp.JP(K) ARSPI
Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia
Dr. Widodo J. Pudjiraharjo, MS, MPH, Dr.PH
Universitas Airlangga
Dr. Syahrir A. Pasinringi, MS
Universitas Hasanuddin
Dr. Suprijanto Rijadi, MPA, Ph.D PERMAPKIN
Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia
Redaktur Pelaksana Vetty Yulianty Permanasari, S.Si, MPH
drg. Masyitoh, MARS
Puput Oktamianti, SKM, MM
Sekretaris Redaksi Anita P. Lubis, SKM
Jurnal ARSI (Administrasi Rumah Sakit Indonesia) merupa-
kan jurnal ilmiah yang menyajikan artikel orisinal tentang pengetahuan dan informasi riset tentang pengembangan terkini di bidang kesehatan, khususnya terkait dengan isu mengenai administrasi rumah sakit. Jurnal ini diterbitkan 3 kali (3 nomor) dalam 1 tahun (1 volume). Adapun artikel atau naskah ilmiah yang dimuat dalam Jurnal ARSI mencakup ranah penelitian, studi kasus, atau konseptual yang masing-masing mengusung pilar corporate governance, clinical governance, atau keduanya (bridging). Penerbit: Pusat Kajian Administrasi Kebijakan Kesehatan (AKK) FKM UI& Perhimpunan Manajer Pelayanan Kesehatan Indonesia (PERMAPKIN) Alamat Redaksi: Gedung G Lt. 3 R. 312 FKM UI Depok 16424 Tlp. 021-80736060 Fax. 021-7867370 Hp. 085211003451 E-mail: [email protected]
ISSN 2406 9108
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 3 Nomor 2 Februari 2017
e-ISSN 1446008136
1. Jurnal ini memuat naskah dalam bidang ilmu Administrasi Rumah Sakit.
2. Naskah yang diajukan dapat berupa artikel penelitian, artikel telaahan, dan
makalah kebijakan yang belum pernah dipublikasikan.
3. Komponen artikel penelitian, yaitu:
Judul ditulis maksimal 15 patah kata
Identitas penulis ditulis di bawah judul terdiri dari nama, alamat korespodensi,
nomor telepon, dan email
Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris maksimal 200 kata,
dalam satu alinea mencakup masalah, tujuan, metode, hasil, disertai dengan 3-5
kata kunci.
Pendahuluan berisi latar belakang, tinjauan pustaka secara singkat dan relevan
serta tujuan penelitian
Metode meliputi desain, populasi, sampel, sumber data, teknik atau instrumen
pengumpul data, dan prsedur analisis data.
Hasil adalah temuan penelitian yang disajikan tanpa pendapat.
Pembahasan menguraikan secara tepat dan juga argumentatif hasil penelitian
dengan teori dan temuan terdahulu yang relevan.
Tabel diketik 1 spasi dan diberi nomor urut sesuao dengan penampilan dalam
teks. Jumlah maksimal 6 tabel dan atau gambar dengan judul singkat.
Kesimpulan dan saran menjawab masalah penelitian dengan tidak melampaui
kapasitas temuan. Saran mengacu pada tujuan dan kesimpulan dibuat dengan
berbentuk narasi, logis, dan tepat guna.
4. Rujukan sesuai aturan Harvard dengan urut sesuai dengan pemunculan dalam
keseluruhan teks, dibatasi 25 rujukan dan diutamkan rujukan jurnal terkini..
5. Naskah masksimal 20 halaman A4 spasi ganda, ditulis dengan menggunakan
program computer Microsoft Word dan PDF. Dikirm via email ke alamat
[email protected], CD/unggah melalui web www.champs.fkm.ui.ac.id/
content/manuscript.
6. Hardcopy naskah dikirim melalui pos disertai dengan surat pengantar yang
ditandatangani penulis dan akan dikembalikan jika ada permintaan secara
tertulis.
7. Naskah dikirim kepada : Redaksi Jurnal ARSI (Administrasi Rumah Sakit
Indonesia) Gedung G Lt.3 R.312 FKM UI Depok 16424, Tlp.021-80736060
Fax.021-7867370, Hp.085211003451.
8. Substansi naskah terdiri dari 5% abstrak, 10%pendahuluan, 15% tinjauan
teoritis, 10% metodologi penelitian, 35% hasil dan pembahasan, 25%
kesimpulan dan saran terhitung dari jumlah halaman naskah.
Contoh bentuk referensi:
Artikel Jurnal Penulis Individu:
Zainuddin AA. Kebijakan Pengelolaan Kualitas Udara Terkait Transportasi di Provinsi DKI
Jakarta. Kesmas Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2010; 4 (6): 281-8.
Artikel Jurnal Penulis Organisasi:
Diabetes Prevention Program Reaserch Group. Hypertension, Insulin, & Proinsulin in Partici-
pants with Impaired Glucose Tolerance. Hypertension. 2002: 40 (5): 679-86
Buku yang Ditulis Individu:
Murray PR, Rosenthal KS, Kobayashi GS, Pfaller MA. Medical Microbiology. 4th ed. St. Louis:
Mosby; 2002.
Buku yang Ditulis Organisasi dan Penerbit:
Royal Adelaide Hospital; University of Adelaide, Department of Clinical Nursing. Compendium
of Nursing Research & Practice Development, 1999-2000. Adelaide (Australia): Adelaide
University; 2001.
Bab dalam Buku:
Derrida, J. (1979) “Living on Border Lines,” trans. J.Hulbert, in Deconstruction & Criticism, New
York: Continuum, pp. 75–176.
Materi Hukum atau Peraturan:
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Perda) (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 No. 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4844).
CD-ROM:
LeBlanc, Susan, and Cameron MacKeen. "Racism and the Landfill." The Chronicle-Herald 7
Mar. 1992: B1. CD-ROM. SIRS 1993 Ethnic Groups. Vol. 4. Art. 42.
Artikel Jurnal di Internet:
Nielsen, Laura Beth. "Subtle, Pervasive, Harmful: Racist and Sexist Remarks in Public as Hate
Speech." Journal of Social Issues 58.2 (2002): 265.
Buku di Internet:
Foley KM, Gelband H, Editors. Improving Palliative Care For Cancer [Monograph on The
internet]. Washington: National Academy Press; 2001 [cited 2002 Jul 9]. Available from:
<http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/encyclopedia.html>.
Ensiklopedia di Internet:
Duiker, William J. "Ho Chi Minh." Encarta Online Encyclopedia. 2005. Microsoft.
10 Oct. 2005. <http://encarta.msn.com/encyclopedia_761558397/
Ho_Chi_Minh.html>.
Situs Internet:
Gearan, Anne. "Justice Dept: Gun Rights Protected." Washington Post. 8 May 2002.
SIRS. Iona Catholic Secondary School, Mississauga, ON. 23 Apr. 2004 <http://
www.sirs.com>.
ISSN 2406 9108 e-ISSN 1446008136
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 3 Nomor 2 Februari 2017
Artikel Hubungan Fungsi Supervisi dengan Kepatuhan Perawat Menjalankan SOP Identifikasi
Pasien Di RSUP Dr Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2015 …………….………… Fitrirachmawati
Analisis Formularium RSUD Cimacan Tahun 2017...…………………..……………………... Juliana Aritonang
Analisis Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien Pada Alur Pelayanan Penyakit Sepsis Di Rumah Sakit Tebet 2015 …………....…………………………………………………… Rianayanti Asmira Rasam
Audit Implementasi Clinical Pathway Diare Akut di Rumah Sakit Anak dan Bunda Hara-pan Kita Tahun 2016 ………………………………………………………………….……. Desy Rachma Sari Kajian Implementasi Mutu dengan Pendekatan Integrasi Six Sigma dan TQM Melalui Penilaian Malcolm Baldridge di Rumah Sakit Charitas Palembang …….………….………. Jessihana Morgan Manurung
Percepatan Pemulangan Pasien Rawat Inap dengan Konsep Lean di Rumah Sakit Masmitra ………………………..……………….……………………………...……………… Alamsyah Perlukah Keselamatan Pasien Menjadi Indikator Kinerja RS BLU? …..……………………
Masyitoh Basabih
Jurnal arsi Jurnal arsi (Administrasi rumah sakit Indonesia)
Daftar Isi
78
88
100
114
127
139
150
ISSN 2406 9108 e-ISSN 1446008136
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 3 Nomor 2 Februari 2017
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 1 Nomor 3
Jurnal ARSI/Oktober 2016 1
Hubungan Fungsi Supervisi dengan Kepatuhan Perawat Menjalankan SOP
Identifikasi Pasien Di RSUP Dr Mohammad Hoesin Palembang
Tahun 2015
Relationship of Supervision Functions with Nursing Compliance Sun Identification SOP in
RSUP Dr Mohammad Hoesin Palembang Year 2015
Fitrirachmawati
Program Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit Indonesia
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Supervisi adalah suatu bentuk pengawasan yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja petugas melalui proses
yang sistematis meliputi pemberian motivasi, komunikasi dan bimbingan. Penelitian ini menggunakan desain
observasional dengan pendekatan cross sectional dengan menggunakan stratified simple random sampling. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara fungsi supervisi kepala ruangan dengan kepatuhan
perawat pelaksana dalam melakukan SOP identifikasi pasien Hasil penelitian mempergunakan uji Chi Square
membuktikan ada hubungan yang bermakna antara motivasi, komunikasi dan bimbingan dengan kepatuhan
perawat pelaksana menjalankan SOP identifikasi pasien. (p value < α). Kesimpulan dari penelitian ini, adalah
fungsi supervisi kepala ruangan mempunyai peran yang cukup bermakna untuk meningkatkan kepatuhan perawat
dalam melakukan identifikasi pasien sesuai dengan SOP.
Kata kunci: fungsi supervisi, identifikasi pasien, kepatuhan perawat, SOP.
ABSTRACT
Supervision is a form supervisory that aim to improve the staf performance through a systematic process in the
provision of motivation, communication and guidance. This study used an observational design with cross
sectional approach using stratified random sampling. The purpose of this study was to determine the relationship
between the function of head room supervision with the compliance of nurses in performing SOP patient
identification. The result of this research using Chi Square test to prove there is a significant correlation between
motivation, communication and guidance to compliance of nurses in implementating SOP of patient identification
(p value < α). The conclusion of this study is that the functions of the supervision of head room had a substantial
role to improve the nurse complaince in conducting the patient identification based on the SOP.
Keywords: the function of supervision, identification of patient, nurse compliance, SOP.
PENDAHULUAN
Berlakunya Sistem Jaminan Kesehatan telah membuka
akses pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat
Indonesia untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
yang bernutu. Hal ini sejalan dengan Undang–Undang
Nomor 40 tahun 2004 bahwa setiap masyarakat
Indonesia mempunyai hak-hak untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan
tersebut diberikan sesuai dengan pelayanan standar,
baik mutu maupun jenis pelayanannya. Ini juga
dipertegas UU No. 44/ 2009 pasal 32d yang
menyatakan setiap pasien mempunyai hak
memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional. Pengawasan dari pemerintah melalui
Jurnal ARSI/Februari 2017 78
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 79
program akreditasi juga menuntut rumah sakit untuk
berbenah memperbaiki mutu layanan yang diberikan
kepada masyarakat. Selain itu pelayanan kesehatan
yang berfokus pada pasien (patient centre) dan
keselamatan pasien (patient savety) mengindikasikan
bahwa pelayanan yang bermutu menjadi hal yang
mutlak harus dilakukan.
Standar yang jelas dan kepatuhan terhadap standar
operasional prosedur dalam melakukan suatu tindakan
merupakan salah satu faktor yang dapat memutus mata
rantai terjadinya risiko cidera dalam memberikan
pelayanan kesehatan. Prosedur yang jelas dapat menjadi
panduan dalam melakukan suatu tindakan sehingga
risiko cidera dapat dicegah.
Salah satu prosedur yang sangat penting dan harus
dilakukan oleh perawat sebelum memberikan
pelayanan atau melakukan suatu tindakan adalah
melakukan identifikasi pasien. Hal ini dikarenakan
berhubungan dengan keselamatan pasien. Kesalahan
karena kelalaian atau kekeliruan dalam
mengidentifikasi pasien dapat menimbulkan hal yang
fatal karena dapat mengancam nyawa. Kesadaran akan
pentingnya melakukan identifikasi pasien pada setiap
sebelum melakukan tindakan keperawatan perlu
ditanamkan pada diri perawat bahkan dijadikan budaya
dalam bekerja.
Supervisi merupakan salah satu fungsi dari seorang
pemimpin dalam usaha untuk menjaga mutu
pelayanan dan keselamatan pasien diarea tugasnya.
Diruang rawat kegiatan supervisi dilakukan oleh kepala
ruangan. Kepala ruangan sebagai orang yang diberikan
tanggung jawab untuk mengelola pelayanan disuatu
ruang rawat mempunyai andil yang cukup besar untuk
meningkatkan kepatuhan perawat dalam melakukan
identifikasi pasien melalui kegiatan motivasi,
komunikasi dan bimbingan. Ilyas, (2012),
mendefinisikan supervisi sebagai suatu proses yang
memacu anggota unit kerja untuk berkontribusi secara
positif agar tujuan organisasi tercapai.
Hasil studi pendahuluan diketahui bahwa fungsi
supervisi baru terlaksana 53%, tingkat kepatuhan
perawat dalam melakukan identifikasi pasien baru
berjalan 71% dari 100% yang menjadi standar rumah
sakit. Kejadian sentinel yang disebabkan karena
kelalaian identifikasi pasien sebelum memberikan obat
intravena sehingga menyebabkan kematian
merupakan masalah yang serius dan perlu
mendapatkan perhatian. Masih adanya budaya
meyalahkan (Blaming Cultur, menyebabkan data
kelalaian dalam mengidentifikasi pasien sulit
didapat.
Penelitian ini dilakukan diruang perawatan kelas III
dengan mempertimbangkan bahwa ruang rawat inap
kelas III mempunyai risiko yang cukup besar untuk
terjadinya risiko cidera.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara
supervisi yang dilihat dari kegiatan memotivasi,
komunikasi dan bimbingan dengan kepatuhan perawat
melaksanakan SOP Identifikasi pasien.
TINJAUAN PUSTAKA
Kepatuhan adalah merupakan suatu perubahan
perilaku dari perilaku yang tidak mentaati peraturan ke
perilaku yang mentaati peraturan (Lawrence Green
dalam Notoatmodjo, 2007). Kepatuhan dapat
mempengaruhi kinerja seseorang. Ketidakpatuhan
perawat dalam melakukan identifikasi sebelum
memberikan asuhan keperawatan akan mengancam
keselamatan pasien. Adanya ancaman terhadap
keselamatan pasien menandakan mutu layanan yang
diberikan masih rendah.
Menurut Gibson (1987) yang dikutip oleh Ilyas, 2012,
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang
terbagi menjadi 3 yaitu faktor individu yang terdiri dari
kemampuan dan keterampilan, latar belakang dan
demografis yang mencakup usia, etnis, jenis kelamin,
faktor organisasi yang terdiri dari sumber daya manusia,
kepemimpinan, imbalan, struktur organisasi, design
pekerjaan dan faktor psikologi terdiri dari sikap,
persepsi, kepribadian, belajar, dan motivasi. Pendapat
lainnya tentang faktor yang mempengaruhi kepatuhan
dikemukakan oleh Smet (1994) ada beberapa faktor
yang berhubungan dengan ketidaktaatan antara lain
yaitu komunikasi, pengetahuan dan fasilitas kesehatan.
Notoatmojo (2007) menyatakan bahwa pendidikan,
usia dan motivasi dapat mempengaruhi kepatuhan.
Usia merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja
seseorang. Semakin lanjut usia maka kepuasan kerja
akan meningkat hal ini dikarenakan semakin dewasa
dan matang dalam bersikap, bertindak, serta kemampuan
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaan
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 80
lebih mudah. Seseorang yang kehilangan kepuasan
dalam bekerja akan menurunkan motivasi dalam
bekerja. Seseorang yang tidak mempunyai motivasi
dalam bekerja akan sulit untuk diajak bekerja sama
dalam mencapai tujuan organisasi
Jenis Kelamin Perempuan mempunyai rasa peka dan
kepedulian yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki,
terutama dalam memberikan pelayanan keperawatan
kepada pasien, sehingga perawat perempuan lebih
mudah untuk mentaati peraturan- peraturan yang
ditetapkan.
Masa kerja merupakan faktor yang dapat mempengaruhi
motivasi seseorang dalam bekerja. Masa kerja
berhubungan dengan pengalaman kerja. Pengalaman
kerja akan mempengaruhi seseorang dalam berinteraksi
dalam pekerjaan yang dilaksanakannya. Semakin lama
masa kerja seseorang semakin banyak pula pengalaman
kerja yang diperoleh dan semakin banyak hal-hal yang
diketahui tentang apa yang seharusnya mereka kerjakan
ataupun yang tidak semestinya mereka kerjakan.
Tingkat pendidikan diasumsikan mempunyai
pengaruh dalam meningkatkan kinerja. Tingkat
pendidikan yang lebih tinggi akan lebih mudah
termotivasi karena telah memiliki pengetahuan yang
lebih luas dibandingkan yang berpendidikan rendah.
Pendidikan dan keterampilan yang dimiliki dapat
membantu individu dalam mengambil suatu
keputusan.
Supervisi merupakan bagian dari fungsi pengarahan
dan pengawasan dalam manajemen. Supervisi
mempunyai peran yang penting dalam organisasi guna
meningkatkan kinerja. Sejalan dengan yang
dikemukakan oleh Ilyas, (2012) bahwa dinegara-
negara berkembang khususnya Indonesia masih
memerlukan supervisi untuk meningkatkan kinerja
individu. Hal ini dimungkinkan masih rendahnya
kesadaran akan fungsi dan tanggung jawab tenaga kerja
di Indonesia terhadap pekerjaannya.
Dalam manajemen keperawatan, supervisi merupakan
bagian dari fungsi kepemimpinan yang
pelaksanaannya menjadi tanggung jawab pemimpin.
Melalui supervisi seorang pemimpin dapat
mengetahui apakah penyelesaian tugas yang dilakukan
oleh stafnya sudah sesuai dengan tujuan dan standar.
Tanpa melakukan supervise, maka mutu asuhan
keperawatan akan sulit diketahui karena untuk
mengetahui permasalahan yang ada diruangan tidak
cukup hanya diperoleh dari informasi perawat
pelaksana tapi perlu adanya supervisi.
Dalam keperawatan supervisi mempunyai pengertian
yang sangat luas, yaitu meliputi segala bantuan dari
pemimpin/ penanggung jawab kepada perawat yang
ditujukan untuk perkembangan para perawat dan staf
lainnya dalam mencapai tujuan asuhan keperawatan.
Kegiatan supervisi semacam ini merupakan dorongan,
bimbingan dan kesempatan bagi pertumbuhan dan
perkembangan keahlian dan kecakapan para perawat
(Suyanto, 2008). Marquis & Houston (2010)
mendefinisikan supervisi sebagai “suatu aktivitas
pembinaan yang direncanakan untuk membantu
tenaga keperawatan dalam melakukan pekerjaan secara
efektif.”
Pembinaan atau supervisi juga mempunyai tujuan
untuk memotivasi petugas dan mengendalikan suatu
kegiatan agar sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan sehingga kesalahan dan kelalaian dalam
bekerja dapat berkurang bahkan dihindari.
Kegiatan-kegiatan supervisi menurut Arwani, (2006)
yang dikutip oleh Etlidawati, (2012), adalah kegiatan-
kegiatan yang terencana seorang manajer melalui
aktivitas bimbingan, pengarahan, observasi, motivasi
dan evaluasi pada stafnya dalam melaksanakan
kegiatan atau tugas sehari-hari. Menurut Smet (1994)
Komunikasi merupakan salah satu fungsi pokok dalam
manajemen yang dapat mendukung pelaksanaan supervisi
dengan baik.
Motivasi adalah proses-proses psikologi meminta
mengarahkan, arahan dan juga menetapkan tindakan
sukarela yang mengarah pada tujuan (Kreitner &
Kinicki, 2005). Menurut Stoner dan Freeman, (1995),
yang dikutip oleh Nursalam, (2007) bahwa “memotivasi
adalah proses manajemen untuk mempengaruhi tingkah
laku manusia berdasarkan pengetahuan mengenai “apa
yang membuat orang bergerak”. Dalam keperawatan
kepala ruangan merupakan motivator staf keperawatan,
dimana mempunyai peranan yang cukup berarti dalam
hal membangkitkan motivasi kerja. Seorang kepala
ruangan harus mengetahui dan mempertimbangkan
karakteristik stafnya dan berusaha untuk memberikan
tugas sebagai strategi dalam memotivasi stafnya.
Fitrirachmawati, Hubungan Fungsi Supervisi dengan Kepatuhan Perawat Menjalankan SOP Identifikasi Pasien Di RSUP Dr Mohammad
Hoesin Palembang Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 81
Komunikasi merupakan proses manusiawi yang
melibatkan hubungan interpersonal (Swanburg, 2000).
Selanjutnya swanburg menyatakan bahwa 80% dari
waktu para manajer tahap atas dipergunakan untuk
komunikasi, 16 persen membaca, 9 persen menulis, 30
% berbicara dan 45 persen mendengarkan. Dalam
keperawatan, fungsi komunikasi kepala ruangan adalah
bagaimana kemampuan kepala ruangan dalam
membina komunikasi kebawah dan komunikasi
keatas, sehingga informasi tersampaikan dengan baik.
Wibowo, (2014) menyatakan bimbingan merupakan
suatu proses interaktif yang bertujuan untuk
menyelesaikan persoalan kinerja atau
mengembangkan kemampuan staf melalui manajer
dan supervisor. Wibowo, (2014), menyatakan bahwa
manfaat dari memberikan bimbingan adalah dapat
mengatasi masalah, membangun keterampilan staf,
meningkatkan produktivitas, menyiapkan bawahan
yang dapat dipromosikan, memperbaiki ikatan,
memperkuat budaya kerja yang positif. Dalam
pelayanan keperawatan bimbingan sangat diperlukan ,
hal ini dikarenakan ilmu keperawatan berkaitan erat
dengan keselamatan pasien, dimana dalam melakukan
asuhan keperawatan bila tidak didasarkan dengan
standar yang benar maka akan menimbulkan cidera
bahkan mengancam nyawa baik bagi pasien atau bagi
dirinya sendiri.
UU Keperawatan no. 36 tahun 2014 tentang tenaga
kesehatan mendefinisikan Standar Operasional Prosedur
adalah sebagai satu perangkat instruksi atau langkah
kegiatan yang dibakukan untuk menyelesaikan
proses kerja rutin tertentu dengan memberikan langkah
yang benar dan terbaik berdasarkan konsesnsus bersama
untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi
pelayanan yang dibuat oleh fasilitas pelayanan
kesehatan berdasarkan standar profesi. Secara umum
fungsi SOP antara lain adalah untuk memperlancar
tugas petugas/pegawai atau tim/unit kerja, sebagai dasar
hukum bila terjadi penyimpangan, mengetahui dengan
jelas hambatan-hambatannya dan mudah dilacak,
mengarahkan petugas/pegawai untuk sama-sama
disiplin dalam melaksanakan setiap asuhan
keperawatan berdasarkan standar.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian observasional
dengan desain studi crossectional. Variabel
independent yang diteliti adalah kepatuhan perawat
pelaksana menjalankan SOP identifikasi pasien dan
variabel dependent adalah supervisi melalui kegiatan
memotivasi, komunikasi dan bimbingan. Penelitian ini
dilakukan di rumah sakit dr. Mohammad Hoesin
Palembang di ruang rawat kelas III. Populasi penelitian
ini adalah seluruh perawat pelaksana di ruang rawat
kelas III dnegan jumlah sampel 105 perawat pelaksana.
Tekhnik pengambilan sampel yang digunakan adalah
Stratified simple random sampling. Tekhnik ini
digunakan dikarenakan jumlah sampel disetiap ruang
rawat tidak semuanya sama
Data yang akan diolah dalam penelitian ini berasal dari data
primer dan sekunder. Data Primer didapat dari hasil
kuesioner yang disebarkan kepada subjek penelitian
sedangkan data sekunder didapat dari Bidang Perawatan,
Instalasi SDM dan Komite Mutu..
Untuk mengukur variabel-variabel dalam penelitian ini
digunakan kuesioner, yang diukur dengan menggunakan
skala likert, dengan menggunakan empat kriteria, yang
terbagi dalam pernyataan positif dan negatif. Pernyataan
positif disimbolkan dengan angka 1 – 4, dimana 4 =
selalu, 3 = sering, 2 = jarang, 1 = tidak pernah. Pernyatan
negatif juga disimbolkan dengan angka 1 – 4, dimana 4
= tidak pernah, 3 = jarang, 2 = sering, 1 = selalu.
Sebelum kuesioner digunakan terlebih dahulu
dilakukan uji coba validitas dengan menggunakan
rumus Pearson Product Moment dan reabilitas dengan
menggunakan tekhnik Alpha-Cronbach’s.
Data selanjutnya dianalisis secara univariat dan bivariat.
Analisis univariat bertujuan untuk memberikan
gambaran deskriptif masing-masing variabel. Analisis
bivariat bertujuan dari analisis bivariat adalah untuk
melihat hubungan antara variabel-variabel independent
dan dependent yang diteliti. Untuk menganalisa
hipotesa korelasi maka uji yang digunakan adalah uji chi
square. Sebelum dilakukan uji hipotesa data terlebih
dahulu dilakukan uji normalitas data dengan
menggunakan uji kolmogorof sminorv untuk
menentukan cara perhitungan yang dapat digunakan.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 82
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Univariat
Karakteristik Responden
Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi
usia, jenis kelamin, pendidikan dan masa kerja. Hasil
analisis dapat dilihat pada tabel 1.
Dari table 1 tergambar bahwa dari 105 responden
sebagian besar berusia > 29 th sebanyak 64 orang
(61%), ,dengan usia termuda adalah 20 tahun dan yang
paling tua adalah 54 tahun. Usia rata – rata adalah 30,5
tahun, median 29 tahun dan usia terbanyak adalah usia
30 tahun. Dari hasil confidence interval (CI) dapat
disimpulkan bahwa 95% diyakini rata-rata usia
responden adalah diantara 29,19 s/d 31,86
Berdasarkan jenis kelamin, sebagaian besar perawat
pelaksana yaitu 91 orang (86,7%) adalah perempuan.
Dilihat dari analisis pendidikan didapatkan distribusi
pendidikan, sebagain besar perawat pelaksana
(responden) yaitu 83 orang (79%) mempunyai
pendidikan terakhir D3 keperawatan (vokasi).
Berdasarkan distribusi masa kerja, tergambar bahwa
sebagian besar perawat pelaksana mempunyai masa
kerja yang lama sebanyak 58 orang (55,2%). Dengan
masa kerja terendah adalah 1 tahun dan tertinggi adalah
34 tahun. Masa kerja rata–rata adalah 7,3 tahun, median
5 tahun dengan standar deviasi 7,147. Masa kerja yang
terbanyak adalah 3 tahun.. Berdasarkan confidence
interval (CI) disimpulkan bahwa 95% responden
mempunyai masa kerja antara 5,91 s/d 8,68.
Supervisi
Variabel supervisi yang dianalisa terdiri dari motivasi,
komunikasi dan bimbingan. Hasil analisis ditampilkan
dalam tabel 2.
Berdasarkan uji statistik univariat fungsi supervisi yang
dilakukan kepala ruangan melalui kegiatan pemberian
motivasi, komunikasi dan bimbingan menurut persepsi
perawat pelaksana sebagain besar sudah dilakukan
dengan baik.
Kepatuhan Perawat Pelaksana
Gambaran kepatuhan perawat pelaksana dalam
melakukan identifikasi pasien sesuai SPO.
Berdasarkan tabel 3 sebagian besar perawat pelaksana
(65,7%) patuh dalam melakukan identifikasi pasien
sebelum melakukan tindakan keperawatan.
Analisis Bivarait
Hubungan antara variabel dependent dan independent
ditampilkan dalam tabel 4. Diketahui bahwa hanya
variabel motivasi, komunikasi dan bimbingan yang
mempunyai hubungan yang bermakna dengan
kepatuhan perawat melaksanakan SOP identifikasi
pasien, dengan p value < α 0,05.
Diskusi Hasil Penelitian
Hubungan Usia dengan Kepatuhan Perawat
Pelaksana dalam Melaksanakan SOP Identifikasi
Pasien
Dari hasil penelitian diketahui bahwa perawat yang
patuh menjalankan SOP identifikasi pasien lebih
banyak pada usia rata- rata > 29 tahun. Uji Chi-Square
didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara usia
dengan kepatuhan menjalankan SOP Identifikasi
pasien dengan r 1,00, dimana p value > α (0.05)
Menurut Dessler (2004) dalam Parmin, (2009) bahwa
umur produktif seseorang dalam bekerja adalah usia 25
– 40 tahun, dikarenakan pada usia tersebut merupakan
awal individu berkarier. Pada awal karier biasanya
seseorang mempunyai motivasi dan idealisme yang
tinggi dibandingkan tenaga kerja yang telah berusia 40
tahun keatas. Ini juga diperkuat oleh Robbins (2006)
dalam Anugrahini, C (2010) yang mengemukakan
bahwa usia 20 – 40 tahun merupakan perkembangan
puncak kondisi fisik dalam mengaplikasikan ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya. Jadi
dapat disimpulkan bahwa idealnya tingkat kepatuhan
perawat dalam menerapkan SOP sebelum melakukan
identifikasi pasien lebih tinggi diusia muda dikarenakan
pada usia tersebut perawat lebih idealis dan mempunyai
motivasi yang tinggi dalam bekerja. Seseorang yang
mempunyai motivasi yang tinggi akan lebih mudah
diajak untuk bekerja sesuai dengan aturan atau standar.
Fitrirachmawati, Hubungan Fungsi Supervisi dengan Kepatuhan Perawat Menjalankan SOP Identifikasi Pasien Di RSUP Dr Mohammad
Hoesin Palembang Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 83
Berdasarkan uji statistik penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Virawan, Koen. M,
(2012) yang menyatakan bahwa faktor umur tidak ada
hubungannya dengan kepatuhan dalam pelaksanaan
benar dalam menurunkan kasus kejadian yang tidak
diharapkan dan kejadian nyaris cidera.
Hubungan Jenis Kelamin dengan Kepatuhan Perawat
Pelaksana dalam Melaksanakan SOP Identifikasi
Pasien
Dari hasil penelitian diketahui bahwa perawat yang
patuh menjalankan SOP identifikasi pasien sebagian
besar adalah perempuan. Hal ini dimungkinkan pada
umumnya perempuan mempunyai rasa peka dan
kepedulian yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki,
terutama dalam memberikan pelayanan keperawatan
kepada pasien, sehingga perawat perempuan lebih
mudah untuk mentaati peraturan yang ditetapkan oleh
rumah sakit. Begitu juga dalam hal mematuhi SOP
identifikasi pasien sebelum melakukan tindakan
keperawatan, perawat perempuan lebih mudah patuh
dari pada perawat laki-laki.
Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Chi-Square
didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara jenis
kelamin dengan kepatuhan menjalankan SOP
identifikasi pasien, dimana didapatkan hasil p value (
1,00 > α (0,05).
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian
Virawan,MK. (2012) bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara jenis kelamin dengan kepatuhan
menjalankan SOP enam benar dalam pemberian obat
untuk menurunkan kejadian yang tidak diharapkan dan
kejadian nyaris cidera.
Hubungan Pendidikan dengan Kepatuhan Perawat
Pelaksana dalam Melaksanakan SOP Identifikasi
Pasien
Sebagain besar pendidikan responden dalam penelitian
ini adalah Vokasi (D3 Keperawatan) sebanyak 83
orang (79,0%). Tingkat pendidikan diasumsikan dapat
mempengaruhi kinerja seseorang. Seseorang yang
mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan
lebih mudah termotivasi karena telah memiliki
pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan
yang berpendidikan D3. Selain itu seseorang yang
mempunyai pendidikan tinggi tidak hanya bekerja
berdasarkan kemampuan skillnya saja tapi juga mampu
untuk menganalisa apa saja yang akan ditimbulkan bila
“suatu tindakan” dikerjakan atau tidak dikerjakan.
Hasil penelitian melalui uji Chi Square menyatakan
bahwa tidak terdapat hubungan antara pendidikan
dengan kepatuhan, dimana p value (0,316 > α ( 0,05).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Natasia Nazvia, et al, (2014), yang
menyatakan tidak ada hubungan antara tingkat
pendidikan dengan kepatuhan.
Hubungan Masa Kerja dengan Kepatuhan Perawat
Pelaksana dalam Melaksanakan SOP Identifikasi
Pasien
Sebagian besar responden dalam penelitian ini 31 orang
(53,4%) dari 58 perawat mempunyai masa kerja lama
lebih patuh menjalankan SOP identifikasi pasien dan 29
orang (61,7%) dari 47 perawat dengan masa kerja baru
patuh menjalankan SOP identifikasi pasien .
Masa kerja berhubungan dengan pengalaman kerja.
Pengalaman kerja akan mempengaruhi seseorang
dalam berinteraksi dalam pekerjaannya. Semakin lama
masa kerja seseorang semakin banyak pula pengalaman
kerja yang diperolehnya. Semakin banyak pengalaman
kerja semakin banyak hal-hal yang diketahui tentang
apa yang seharusnya dikerjakan dan mana yang tidak.
Dengan mengetahui dampak yang ditimbulkan dari
suatu prosedur yang tidak dilakukan idealnya akan
memberikan dorongan dan menimbulkan
kesadaran pada staf untuk menerapkan SOP identifikasi
pasien sehingga menjadi budaya kerja.
Hasil penelitian dengan menggunakan uji Chi Square
didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara masa
kerja dengan kepatuhan, hal ini di buktikan dengan p
value ( 0,515 > α (0,005). Hasil penelitian ini sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rohani.N,
2009, yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan
signifikan antara lama kerja dengan kepatuhan perawat
dalam pencegahan INOK.
Hubungan Motivasi dengan Kepatuhan Perawat
Pelaksana dalam Melaksanakan SOP Identifikasi
Pasien
Hasil analisis diketahui bahwa dari 54 orang sebanyak
37 orang (68,5%) patuh menjalankan SPO identifikasi
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 84
pasien sebelum melakukan tindakan keperawatan.
Hasil uji statistik dengan menggunakan Chi Square
menyatakan ada hubungan bermakna antara
pemberian motivasi kepala ruangan dengan kepatuhan
perawat dalam melakukan SOP identifikasi pasien
sebelum melakukan tindakan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Natasia, et all, 2014 didapatkan bahwa
terdapat hubungan signifikan antara motivasi dengan
tingkat kepatuhan, dengan p=0,040, α < 0,005 dan OR
0,300. Penelitian yang dilakukan oleh Widhori (2014),
memperkuat pernyataan bahwa terdapat hubungan
antara motivasi dengan kepatuhan perawat dalam
pelaksanaan protap pemasangan infus.
Motivasi merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi kinerja seseorang. Motivasi dapat
memberikan dorongan atau semangat kepada staf
sehingga dapat meningkatkan kinerjanya. Seseorang
yang mempunyai motivasi tinggi akam mempunyai
kinerja yang baik, oleh karena itu motivasi kerja harus
dikembangkan dan ditanamkan dalam diri setiap staf,
sehingga akan menghasilkan kinerja yang optimal.
Membangun motivasi dalam diri staf sangatlah penting
dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan kepatuhan
perawat.
Dalam menjalankan supervisi, seorang manajer
mempunyai peranan yang cukup besar dalam
meningkatkan dan juga membangun motivasi staf.
Kemampuan seorang menajer dalam membangun
motivasi staf akan membawa staf untuk berkontribusi
lebih baik lagi dalam pekerjaannya. Bila motivasi telah
terbangun dengan baik maka akan lebih mudah
seseorang untuk diajak berubah dan menjadi patuh
dalam melaksanakan pekerjaan yang menjadi
tanggung jawabnya.
Hubungan Komunikasi dengan Kepatuhan Perawat
Pelaksana dalam Melaksanakan SOP Identifikasi
Pasien
Dari 105 responden sebagian besar 55 orang (52,38%)
mengatakan bahwa kepala ruangan telah melakukan
komunikasi dengan baik. Berdasarkan uji statistik
menggunakan Chi Square di dapatkan hasil ada
hubungan yang bermakna antara komunikasi dalam
pelaksanaan supervisi kepala ruangan dengan kepatuhan
menjalankan SOP identifikasi pasien, dengan p value =
0,0045 < α 0,05.
Komunikasi efektif merupakan sarana yang dapat
menjadi jembatan seorang manajer (kepala ruangan)
dalam menyampaikan informasi yang diperlukan guna
meningkatkan kinerja. Adapun seorang manajer melalui
komunikasi dapat menyampaikan informasi–informasi
yang diperlukan, sehingga pihak yang menerima
informasi mengetahui apa yang harus dilakukannya.
Robbins, Stephen P & Judge, Timothy A, (2012)
menyatakan bahwa komunikasi memperkuat
motivasi dengan menjelaskan kepada stafnya apa yang
harus dilakukan, seberapa baik mereka bekerja dan apa
yang dapat dikerjakan untuk memperbaiki kinerja yang
dibawah standar. Begitu juga dalam melakukan
supervisi, komunikasi yang efektif sangat diperlukan
agar staf mengerti apa yang disampaikan oleh
supervisor, dan mampu menerapkan apa yang telah
disampaikan oleh supervisor.
Hubungan Bimbingan dengan Kepatuhan Perawat
Pelaksana dalam Melaksanakan SOP Identifikasi
Pasien
Dari 105 responden sebagian besar 69 orang (65,7%)
mengatakan bahwa pelaksanaan bimbingan kepala
ruangan baik, ini berarti 35,3 % masih perlu
ditingkatkan dan mendapat perhatian. Dari 69
responden yang menyatakan mendapat bimbingan
dengan baik 66,7% patuh menjalankan identifikasi
sesuai SOP. Hasil uji statistik dengan menggunakan Chi
Square didapatkan hasil bahwa ada hubungan yang
bermakna antara pelaksanaan bimbingan dalam
supervisi kepala ruangan dengan kepatuhan perawat
pelaksana dalam melakukan SOP identifikasi pasien,
dimana p value(0,0012) < dari α (0,05).
Bimbingan yang dilakukan oleh kepala ruangan sangat
membantu staf perawat untuk lebih mengerti dan
memahami sesuatu yang belum pernah ia lakukan atau
pun sudah sering dilakukan tetapi hanya berdasarkan
rutinitas bukan berdasarkan pada SOP yang berlaku.
Melalui bimbingan kemampuan dan keterampilan
perawat pelaksana akan meningkat. Selain itu melalui
bimbingan akan menimbulkan rasa percaya diri
perawat dalam memberikan asuhan keperawatan.
Fitrirachmawati, Hubungan Fungsi Supervisi dengan Kepatuhan Perawat Menjalankan SOP Identifikasi Pasien Di RSUP Dr Mohammad
Hoesin Palembang Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 85
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang diolah dengan menggunakan
statistik maka didapatkan hasil sebagai berikut :
1. Perawat pelaksana di ruang rawat kelas III RSUP.
Dr. Mohammad Hoesin Palembang sebagian
besar berusia > 29 tahun, berjenis kelamin
perempuan, mempunyai pendidikan D3
keperawatan (vokasi), dan didominasi oleh perawat
yang mempunyai masa kerja 1 – 10 tahun.
2. Pelaksanaan fungsi supervisi melalui kegiatan
memberi motivasi, komunikasi dan bimbingan
terhadap pelaksanaan SOP identifikasi pasien telah
berjalan dengan baik, walaupun masih perlu
ditingkatkan terutama dalam hal pemberian
motivasi dan bimbingan.
3. Pemberian motivasi kepala ruangan kepada
perawat pelaksana berhubungan dengan kepatuhan
perawat pelaksana melakukan identifikasi pasien
sesuai SOP.
4. Komunikasi efektif yang dilakukan oleh kepala
ruangan berhubungan dengan kepatuhan perawat
pelaksana dalam melakukan identifikasi pasien
sesuai dengan SOP.
5. Bimbingan yang dilakukan kepala ruangan
berhubungan dengan kepatuhan perawat pelaksana
dalam melakukan identifikasi pasien sesuai SOP.
6. Karakteristik perawat pelaksana tidak berhubungan
dengan kepatuhan perawat pelaksana dalam
melakukan identifikasi pasien sesuai SOP.
Saran
Pihak Manajemen Rumah sakit
Perlu adanya monitoring mutu pelayanan yang
dilakukan komite mutu rumah sakit dengan
melakukan audit kepatuhan staf terhadap pelaksanaan
SOP, khususnya SOP identifikasi pasien yang
berkolaborasi dengan komite keperawatan, membuat
form penilaian kepatuhan menjalankan identifikasi
berdasarkan SOP.
Bidang Keperawatan dan Komite Keperawatan
1. Perlu dilakukannya audit kepatuhan perawat dalam
melaksanakan identifikasi pasien secara berkala,
mengingat identifikasi meupakan pilar pertama
dalama 6 sasaran keselamatan pasien.
2. Masih dirasakan perlu untuk meningkatkan peran
kepala ruangan dalam memonitoring kepatuhan
perawat pelaksana terhadap SOP, khususnya SOP
identifikasi pasien.
3. Perlu adanya program peningkatan kemampuan
manajemen supervisi kepala ruangan melalui
pelatihan dan bimbingan. Walaupun secara statistik
diketahui bahwa fungsi kepala ruangan dalam
melakukan supervisi telah berjalan dengan baik,
namun baru mencapai 51,4%.- 64%, sehingga
pelaksanaan supervisi perlu ditingkatkan agar tujuan
pelaksanaan supervisi untuk meningkatkan
kepatuhan perawat dalam mengidentifikasi pasien
sebelum melakukan tindakan dapat tercapai.
Kepala Ruangan
Masih perlu ditingkatkannya pengakuan dan penghargaan
terhadap staf yang berprestasi baik berupa reward dalam
bentuk pujian, kesempatan mengikuti pelatihan atau
diajukan dalam promosi jabatan.
Perawat Pelaksana
Perlu menimbulkan kesadaran terhadap kepatuhan
dalam melakukan identifikasi pasien sebagai suatu
budaya kerja bukan hanya sebagai rutinitas kerja belaka
DAFTAR PUSTAKA
Anugrahini.C, (2010). Hubungan Faktor- Faktor Individu dan Organisasi dengan kepatuhan
Perawat Dalam Menerapkan Pedoman Patient Safety di RSAB Harapan Kita
Jakarta. Tesis. FKM. UI. Depok
Etildawati, (2012). Hubungan Strategi Supervisi Kepala Ruangan dengan Motivasi Perawat
dalam Pelaksanaan Pendokumentasian Asuhan Keperawatan di Ruang Rawat Inap RSUD Pariaman. Tesis. Universitas Andalas Sumatera Barat.
http://repository.unand.ac.id/19875/2/TESIS%20NI%20DA.pdf
Ilyas, Y, (2012). Kinerja, Teori, Penilaian dan Penelitian. FKM.UI Depok Jakarta. Kreitner dan Kinicki, (2008). Organizational Behaviour 8th edition. McGrow Hill International
Edition
Marquist & Houston, (2010). Keperawatan dan Manajemen Keperawatan. Teori dan Aplikasi. EGC. Jakarta
Natasia Nazvia, et al, (2014), Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Pelaksanaan SOP
Asuhan Keperawatan di ICU-ICCU RSUD Gambiran Kota Kediri .Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 28, Suplemen No. 1, 2014: Rumah Sakit Umum
Daerah Sumbawa. 23 Maret 2015 http://jkb.ub.ac.id/index.php/jkb/article
/download/513/393 Notoatmodjo, Soekidjo, (2007). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.
Nursalam, (2007). Manajemen Keperawatan Aplikasi dalam Praktik Keperawatan
Profesional, Edisi 2. Salemba Medika Parmin, (2009). Hubungan Pelaksanaan Fungsi Manajemen Kepala Ruangan dengan
Motivasi Perawat Pelaksana Di Ruang Rawat Inap RSUP Undata Palu. Tesis.
FIK.UI.Depok. Jakarta. http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20284809-T%20Parmin.pdf
Robbins, Stephen P & Judge, Timothy A, (2012). Organization Behavior, fifteenth Edition,
Pearson.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 86
Rohani, N.(2009). Faktor –Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Perawat dalam
Upaya Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap RSUD Kota
Bekasi Tahun 2009. Tesis. FKM. UI. Depok Smet, Bart. . (1994). Psikologi Kesehatan. Jakarta. PT Grasindo
Suyanto. (2008). Mengenal Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan di Rumah Sakit.
Jogjakarta : Mitra Cendikia Jogjakarta Swanburg. C. Russell. (2000). Pengantar Kepemimpinan Dan Manajemen Keperawatan,
Untuk Perawat Klinis. Alih Bahasa Samba. Suharyati. EGC. Jakarta
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun (2004) tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
Virawan Koen.M, (2012). Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Staf Perawat dan
Staf Farmasi Menggunakan Enam Benar Dalam Menurunkan Kasus Kejadian
Nyaris Cidera di Rumah Sakit Umum Surya Husadha. Tesis. FKM.UI. Depok Wibowa (2014), Manajemen Kinerja. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta
Widhori, (2014) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Perawat Dalam
Pelaksanaan Protap Pemasangan Infus di Ruang Rawat inap RSUD Padang Panjang Tahun 2014. http://jurnal.umsb.ac.id/wp-content/uploads/2014/09/jurnal
-widhori.pdf
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Demografi
Di Ruang Rawat Inap Kelas III RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2015
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Kegiatan Supervisi Kepala Ruangan
Variabel Kategori
Frekuensi %
Motivasi
Baik 54 51,4
Tidak Baik 51 48,6
Jumlah 105 100
Komunikasi
Baik 55 52,4
Tidak Baik 50 47,6
Jumlah 105 100
Bimbingan
Baik 69 65,7
Tidak Baik 36 34,3
Jumlah 105 100
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Gambaran Kepatuhan Perawat Pelaksana dalam
Melakukan identifikasi pasien
Variabel Kategori
Frekuensi %
Kepatuhan
Patuh 60 65,7
Tidak Patuh 45 34,3
Jumlah 105 100
Variabel Kategori
Frekuensi %
Min
Max
Mean
Median
Modus 95%CI
Usia
≤ 29 th 41 39,0 20
54
30,50
29 30
29,19
s/d 31,86
> 29 th 64 61,0
Jumlah 105 100
Jenis
Kelamin
Laki 14 13,3
- - -
Perempuan 91 86,7
Jumlah 105 100
Pendidikan
Profesional 22 21,0
- - -
Vokasi 83 79,0
Jumlah 105 100
Masa
Kerja
Lama 58 55,2 1
34
7.30
5 3
5,91 s/d
8,68 Baru 47 44,8
Jumlah 105 100
Fitrirachmawati, Hubungan Fungsi Supervisi dengan Kepatuhan Perawat Menjalankan SOP Identifikasi Pasien Di RSUP Dr Mohammad
Hoesin Palembang Tahun 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 2
Tabel 4. Hubungan Karakteristik Demografi, Supervisi
dengan kepatuhan Perawat Pelaksana
Variabel
Tingkat Kepatuhan P OR
Patuh Tidak Patuh Jumlah Value (95% CI)
f % f % f %
Usia
≤ 29 th 23 56.1 18 43.9 41 100 1.000 0.932
> 29 th 37 57.8 27 42.2 64 100
Jumlah 60 57.1 45 42.9 105 100
Jenis
Kelamin
Laki 8 57.1 6 42.9 14 100 1.000 1.000
Perempuan 52 57.1 39 42.9 91 100
Jumlah 60 57.1 45 42.9 105 100
Pendidikan
Profesional 10 45.5 12 54.5 22 100 0.316 0.550
Vokasi 50 60.1 33 39.8 83 100
Jumlah 60 57.1 45 42.9 105 100
Masa Kerja
Lama 31 53.4 27 46.6 58 100 0.515 0.713
Baru 29 61.7 18 38.3 47 100
Jumlah 60 57.1 45 42.9 105 100
Motivasi
Baik 37 68.5 17 31.5 54 100 0.025 2.650
Tidak Baik 23 45.1 28 54.9 51 100
Jumlah 60 57.1 45 42.9 105 100
Komunikasi
Baik 37 67.3 18 32.7 55 100 0.045 2.413
Tidak Baik 23 46 27 54 50 100
Jumlah 60 57.1 45 42.9 105 100
Bimbingan
Baik 46 66.7 23 33.3 69 100 0.012 3.143 Tidak Baik 14 38.9 22 61.1 36 100
Jumlah 60 57.1 45 42.9 105 100
87 Jurnal ARSI/Februari 2017
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 88
Analisis Formularium RSUD Cimacan Tahun 2017
Hospital Formulary Analysis in Cimacan Hospital Year 2017
Juliana Aritonang
Program Studi Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas indonesia
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Rumah sakit harus memberikan pelayanan kesehatan menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan yang dalam
penyelenggaraannya rumah sakit tidak terlepas dari pelayanan farmasi. Kebutuhan akan penyediaan dan
pemakaian obat-obatan yang berkualitas dan rasional diatur dalam sistem formularium dimana obat-obatan yang
dipakai terdapat dalam buku formularium. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa formularium RSUD
Cimacan dilihat dari penyusunan, pemeliharaan dan evaluasi obat formularium. Evaluasi obat formularium dengan
melakukan analisis ABC pemakaian, investasi, indeks kritis dan VEN sehingga didapatkan hasil berupa usulan
revisi formularium RSUD Cimacan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hasilnya adalah proses
penyusunan formularium RSUD Cimacan belum optimal, prosedur pemeliharaan formularium sudah ada namun
belum lengkap, pengadaan dan peresepan belum sesuai formularium. Ditemukan 495.690 pemakaian obat non
formularium dan 201 jenis obat non formularium yang disediakan di instalasi farmasi. Ada 322 jenis obat
formularium yang dipakai (43%), ada 21 jenis obat dengan nilai investasi RP. 3.001.658.694. Hanya 31 jenis obat
yang sangat kritis dan 39 jenis obat yang Vital terhadap pelayanan pasien.
Kata kunci: formularium, Analisis ABC VEN.
ABSTRACT
Hospitals must provide comprehensive, integrated and sustainable health services which in the organization of
the hospital is inseparable from pharmaceutical services. The need for the provision and use of qualified and
rational medicines is regulated in the formulary system where the drugs used are contained in the formulary book.
The purpose of this study was to analyze the formulary of RSUD Cimacan seen from the preparation, maintenance
and evaluation of formulary drugs. Evaluation of formulary drugs by performing ABC analysis of use, investment,
critical index and VEN to obtain the result of proposed revision formulary of RSUD Cimacan. This research uses
qualitative approach. The result is the process of formulary of RSUD Cimacan not optimal, procedure of
maintenance of formulary already exist but not yet complete, procurement and prescription not according to
formulary. 495,690 non-formulary drug use and 201 kinds of non-formulary drugs were provided in
pharmaceutical installations. There are 322 kinds of formulary drugs used (43%), there are 21 types of drugs with
an investment value of RP. 3.001.658.694. Only 31 types of drugs are very critical and 39 types of drugs are Vital
to patient care.
Keywords: formulary, ABC VEN Analysis.
PENDAHULUAN
Setiap Rumah Sakit harus menetapkan obat mana
yang harus tersedia untuk diresepkan dan dipesan oleh
praktisi kesehatan. Keputusan ini didasarkan pada misi
rumah sakit, kebutuhan pasien, dan jenis pelayanan
yang disiapkan. Rumah sakit harus mengembangkan
suatu daftar (formularium) dari semua obat yang ada
di stok atau sudah tersedia, dari sumber luar ( Standar
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 89
Akreditasi Rumah Sakit Bab 6 Manajemen dan
Penggunaan Obat Standar MPO.2).
Menurut Kementrian Kesehatan RI melalui Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 58 tahun 2014,
Formularium rumah sakit merupakan penerapan
konsep obat esensial di rumah sakit yang berisi daftar
obat dan informasi penggunaannya. Obat yang
termasuk dalam daftar formularium merupakan obat
pilihan utama (drug of choice) dan juga obat-obat
alternatifnya.
Menurut Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI (2010) Formularium
merupakan suatu dokumen yang secara terus menerus
direvisi, memuat sediaan obat dan informasi penting
lainnya yang merefleksikan keputusan klinik mutakhir
dari staf medik rumah sakit. Permenkes RI nomor 58
tahun 2014, menyatakan bahwa evaluasi terhadap
Formularium Rumah Sakit harus secara rutin dan
dilakukan revisi sesuai kebijakan dan kebutuhan
Rumah Sakit.
RSUD Cimacan Cianjur sudah memiliki formularium
yang disusun oleh Panitia Farmasi dan Terapi tahun
2011. Saat ini obat yang tercantum dalam formularium
RSUD Cimacan tahun 2011 sebanyak 747 item dari
60 perusahaan farmasi. Formularium RSUD Cimacan
belum pernah di evaluasi dan direvisi sejak tahun 2011.
RSUD Cimacan adalah rumah sakit yang terus
berkembang, semakin besar rumah sakit, semakin
banyak jumlah dokter dengan berbagai macam
keahlian menyebabkan keanekaragaman resep.
Dari tabel 1 dapat diketahui rata rata pertahun resep
obat yang keluar dari rumah sakit mencapai 2158 resep
pertahun dengan jenis obat yang tidak tersedia rata rata
204 jenis, sedangkan dokter penulis resep tersebut rata
rata per tahun adalah 16 orang dokter, yaitu 80% dari
jumlah dokter yang berpraktek di RSUD Cimacan
yang kesemuan berjumlah 20 dokter. Jika
dibandingkan dengan jenis obat yang tercantum dalam
formularium yang sekarang ada di RSUD Cimacan,
dapat diketahui bahwa jenis obat yang tidak tersedia
tersebut terdiri dari obat yang tercantum dalam
formularium dan tidak tercantum dalam formularium
(ditampilkan dalam tabel 2).
Obat yang tidak tersedia yang tidak tercantum dalam
formularium 160 jenis. Yaitu 78% dari obat yang tidak
tersedia di instalasi farmasi RSUD Cimacan tidak
tercantum dalam formularium dan 21% dari jumlah
jenis obat yang ada dalam formularium RSUD
Cimacan. Kondisi ini bisa dikarenakan
ketidakpatuhan peresepan dokter terhadap
formularium atau bisa saja dikarenakan formularium
yang ada belum memuat semua kebutuhan obat
rumah sakit. Berdasarkan data diatas muncul
permasalahan bahwa obat yang tidak tersedia pada
instalasi farmasi RSUD Cimacan lebih banyak adalah
obat obat yang tidak ada dalam formularium. Juga
masih banyak obat yang tercantum di formularium
sangat jarang diresepkan bahkan tidak pernah
diresepkan sama sekali. Hal ini juga mengakibatkan
kerugian bagi rumah sakit. Jika obat yang diresepkan
tidak sesuai dengan obat yang disediakan maka akan
mengakibatkan terjadinya obat yang tidak tersedia di
instalasi farmasi.
TINJAUAN PUSTAKA
Formularium Rumah Sakit disusun mengacu kepada
Formularium Nasional dimana formularium ini
merupakan daftar obat yang disepakati oleh staf medis
dan disusun oleh Tim Farmasi dan Terapi (TFT) yang
ditetapkan oleh Pimpinan Rumah Sakit. Definisi
Formularium (Pedoman Penyusunan Formularium
Rumah Sakit, Depkes (2010) yaitu: Formularium
merupakan suatu dokumen yang secara terus menerus
direvisi, memuat sediaan obat dan informasi penting
lainnya yang merefleksikan keputusan klinik mutakhir
dari staf medik rumah sakit.
Sistem Formularium menurut buku Pedoman
Penyusunan Formularium Rumah Sakit, Direktorat
Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI bekerjasama dengan Japan
Internasional Cooperation Agency 2010 terdiri atas
Evaluasi penggunaan obat, Penilaian dan Pemilihan
Obat. Evaluasi penggunaan obat bertujuan untuk
menjamin penggunaan obat yang aman dan cost
effective, dilakukan dengan dua cara yaitu pengkajian
dengan mengambil data dari pustaka dan pengkajian
dengan mengambil data sendiri. Penilaian, setiap obat
baru yang diusulkan untuk masuk dalam formularium
harus dilengkapi dengan informasi tentang kelas terapi,
indikasi terapi, bentuk sediaan dan kekuatan, kisaran
dosis, efek samping dan efek toksik. Pemilihan obat
dengan memperhatikan faktor kelembagaan yaitu
kebijakan rumah sakit, faktor obat dan faktor biaya.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 90
Isi Formularium berdasarkan buku Pedoman Penyusunan
Formularium Rumah Sakit, Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementrian
Kesehatan RI bekerjasama dengan Japan Internasional
Cooperation Agency 2010 yaitu Formularium berisi
tiga bagian utama :
a. Informasi kebijakan dan prosedur rumah sakit
tentang obat. Kebijakan mencakup antara lain:
tentang pemberlakuan formularium, tatalaksana
obat (kebijakan umum dalam penulisan resep,
kebijakan penulisan obat generik, prosedur
pengusulan obat untuk ditambahkan atau dihapus
dari formularium, SK tentang TFT, dll.
b. Daftar Obat. Bagian ini merupakan inti dari
formularium yang berisi informasi dari setiap obat
disertai satu atau lebih indeks untuk memudahkan
penggunaan formularium.
c. Informasi khusus. Informasi khusus tergantung
pada kebutuhan masing-masing rumah sakit.
Analisis ABC diperlukan untuk evaluasi obat dan
penting untuk mengidentifikasi volume produk obat
dari segi biaya, anggaran obat dan utilisasinya sehingga
melalui analisis ABC dapat membantu manajemen
dalam evaluasi formularium (Saveli 1996). Analisis
VEN merupakan analisa yang digunakan untuk
menetapkan prioritas pembelian obat serta penyesuaian
rencana kebutuhan obat dengan alokasi dana yang
tersedia (Depkes RI,2002). Menurut Siregar (2004),
perlu dilakukan review sistem pengendalian obat
dengan analisis ABC secara periodik karena adanya
perubahan harga dan pemakaian yang dipengaruhi oleh
trend penyakit dan musim. Peninjauan analisis ABC dapat
dilakukan setiap tahunnya bersamaan dengan
dilakukannya perubahan terhadap formularium.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk
menganalisa formularium RSUD Cimacan untuk
mempelajari secara mendalam dari proses penyusunan,
pemeliharaan dan pengawasan formularium RSUD
Cimacan melalui kegiatan kuesioner dan wawancara
mendalam. Penghitungan yang berhubungan dengan
obat digunakan untuk menganalisa isi formularium
dengan analisis ABC Pemakaian, analisis ABC
Investasi, Analisis ABC Indeks kritis dan analisis
VEN. Sehingga hasil analisa ini bisa menjadi masukan
untuk revisi formularium.
Sumber data primer yaitu sumber data untuk
memperoleh daftar nilai kritis obat, daftar obat vital,
esensial dan nonesensial, serta daftar usulan kebutuhan
obat menurut dokter. Sumber untuk memperoleh nilai
kritis obat dan obat VEN adalah dokter spesialis yang
berpraktek di RSUD Cimacan dan yang menuliskan
resep obat ke pasien yaitu 11 orang dokter spesialis
(terdiri atas 3 dokter spesialis penyakit dalam, 2 dokter
spesialis kebidanan, 2 dokter spesialis anak, 1 dokter
spesialis bedah, 1 dokter spesialis kesehatan jiwa, 1
dokter spesialis rehabilitasi medik, dan 1 dokter
spesialis gigi konservatif). Sumber data primer untuk
pengambilan data usulan kebutuhan obat rumah sakit
menurut dokter adalah dokter umum dan dokter
spesialis yang berpraktek di RSUD Cimacan yaitu 20
dokter yang berhubungan langsung dengan pasien dan
menuliskan resep ( 8 dokter umum, 11 dokter spesialis
dan 1 dokter gigi).
Penentuan nilai kritis obat dan kelompok obat VEN
dilakukan dengan penyebaran formulir dan kuesioner
kepada 11 dokter spesialis. Data sekunder dikumpulkan
dengan cara telaah dokumen laporan instalasi farmasi
RSUD Cimacan. Telaah dokumen dilakukan untuk
mendapatkan data pemakaian obat di RSUD Cimacan
dan harga beli terakhir satuan sediaan terkecil obat.
daftar usulan kebutuhan obat rumah sakit menurut
dokter dilakukan dengan penyebaran formulir daftar
kebutuhan obat sesuai standar terapi atau panduan
praktek klinis kepada 8 dokter umum, 11 dokter
spesialis dan 1 dokter gigi. Wawancara mendalam
menggunakan instrumen berupa pedoman wawancara
mendalam untuk menggali lebih dalam mengenai proses
penyusunannya, pemeliharaan serta kepengawasannya
formularium Rumah Sakit Umum Daerah Cimacan.
Pengolahan data obat dengan menggunakan metode
ABC Analisis dan VEN.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil wawancara mendalam manajemen dan
dokter menganggap formularium sangat bermanfaat
baik bagi pasien maupun rumah sakit. Sistem
formularium memberi keuntungan dari sisi terapi,
ekonomi dan keilmuan.
Menurut Anief, 2005 Analisis ABC dipakai untuk
memprioritaskan jenis obat A dalam seleksi obat dan
keputusan pemesanan. Sedangkan analisis ABC
Indeks kritis dipakai untuk memprioritaskan seleksi
Juliana Aritonang., Analisis Formularium RSUD Cimacan Tahun 2017
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 91
obat dan pembelian berdasarkan dampaknya terhadap
kesehatan, yaitu obat mana yang vital dan harus ada
dalam persediaan farmasi. WHO (2004)
menambahkan bahwa jika pemilihan obat tidak
mempertimbangkan pedoman diagnosa dan terapi,
maka tidak akan meningkatkan kualitas pengobatan,
dan obat-obat esensial juga dapat dipergunakan secara
tidak tepat. Obat yang masuk dalam daftar formularium
merupakan obat pilihan utama (drug of choice) dan
obat-obat alternatifnya. Dasar-dasar pemilihan obat-obat
alternatif tetap harus mengindahkan prinsip manajemen
dan kriteria mayor yaitu berdasarkan pada: pola
penyakit yang berkembang di daerah tersebut,
efisiensi, efektivitas, keamanan, kualitas, biaya, dan
dapat dikelola oleh sumber daya dan keuangan rumah
sakit (ASHP 2008).
Dari data pemakaian persediaan obat dalam formularium
dari tahun 2014 sampai dengan 2016, ada 322 jenis
obat yang dipakai dari 747 jenis obat dengan jumlah
pemakaian 2.008.866 serta nilai pembelian oleh pasien
seluruhnya sejumlah Rp 4.261.051.226 (harga satuan
yang dipakai adalah harga jual ke pasien). Obat obat
tersebut kemudian dikelompokkan dengan metode
Pareto. Analisis ABC dilakukan berdasarkan
pemakaian, investasi dan indeks kritis.
Analisis ABC Pemakaian
Data mengenai hasil analisis ABC pemakaian ditampilkan
dalam tabel 3, 4 dan 5, di mana hasil analisis ABC
pemakaian memperlihatkan bahwa obat - obat yang
termasuk dalam formularium tidak terlalu banyak
yang digunakan dokter. Ini dapat disimpulkan karena
banyaknya jenis obat yang masuk dalam kelompok C.
Kelompok C tahun 2014 yaitu 171 jenis obat, tahun
2015 yaitu 199 jenis obat dan tahun 2016 ada 190 jenis
obat, bisa juga dikatakan bahwa obat-obat tersebut
adalah obat yang termasuk dalam kategori slow
moving. Jadi sebaiknya obat obat yang termasuk
kelompok C ini perlu dievaluasi lebih lanjut oleh TFT.
Dan ada 57% jenis obat yang ada dalam formularium
RSUD Cimacan yang sama sekali tidak dipakai oleh
dokter yang perlu dievaluasi lebih lanjut oleh TFT.
Pada analisa ABC pemakaian peneliti melihat trend
pemakaian obat formularium rumah sakit selama 3
tahun.
Dari tahun 2014 -2016 hanya ada 15 jenis obat saja
yang selalu masuk kelompok A. Akan tetapi semua
obat yang masuk kelompok A dari tahun 2014-2016
menjadi prioritas untuk dimasukkan kedalam
Formularium RSUD Cimacan. Dan ada 112 jenis obat
yang selalu masuk dalam kelompok C sejak tahun
2014 – 2016. Kelompok obat ini perlu dievaluasi
kembali oleh TFT untuk tetap dimasukkan dalam
formularium rumah sakit atau dikeluarkan.
Analisis ABC Investasi
Data-data mengani hasil Analisis ABC Investasi
ditampilkan dalam tabel 6, 7 dan 8. Kelompok A,
merupakan kelompok dengan nilai investasi tinggi
yaitu tahun 2014 ada 18 jenis obat, tahun 2015 ada 25
jenis obat, dan tahun 2016 ada 19 jenis obat. Dari tahun
2014-2016 ada 8 jenis obat yang selalu masuk dalam
kelompok A. Kelompok B merupakan kelompok
obat dengan nilai investasi sedang tahun 2014 ada 42
jenis obat, tahun 2015 ada 57 jenis obat, dan tahun 2016
ada 45 jenis obat. Kurang lebih sekitar 20% dari
seluruh investasi RSUD Cimacan. Kelompok C
merupakan kelompok obat dengan nilai investasi
rendah yaitu tahun 2014 ada 178 jenis obat, tahun
2015 ada 200 jenis obat dan tahun 2016 ada 203 jenis
obat. Selama 3 tahun dari tahun 2014-2016 ada 102
jenis obat yang selalu masuk dalam kelompok C.
Obat-obat yang masuk dalam kelompok ini menjadi
bahan untuk dinilai kembali apakah akan tetap
dimasukkan dalam formularium atau dikeluarkan.
Analisis ABC Indeks Kritis
Analisis ABC indeks kritis dibuat dengan melibatkan
pemakai obat untuk mengetahui seberapa besar nilai
kritis obat dalam Formularium bagi dokter di RSUD
Cimacan. Untuk mengetahui nilai kritis obat tersebut
dibuat kuesioner yang berisi kolom nama obat dalam
formularium dan nilai (ditampilkan dalam tabel 9).
Untuk analisis ABC Indeks kritis peneliti melakukan
pengelompokan obat selama 3 tahun dikarenakan
perlu untuk menyimpulkan obat –obat mana saja
selama 3 tahun pernah dipakai dan nilai investasinya.
Dari hasil analisis obat formularium RSUD Cimacan
didapatkan bahwa: . Kelompok A adalah obat dengan
nilai kritis tinggi terdiri dari 31 jenis obat yaitu sebesar
9,6% dari seluruh pemakaian jumlah obat dengan nilai
investasi Rp 2.565.184.814 yang merupakan 60,2%
dari seluruh investasi. Kelompok B adalah obat
dengan nilai kritis sedang sebanyak 200 jenis obat yaitu
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 92
62,1% dari seluruh jumlah pemakaian obat dengan
nilai investasi sebesar Rp. 1.547.653.488 yang merupakan
36,3% dari total investasi. Kelompok C merupakan
obat dengan nilai kritis rendah sebanyak 91 jenis obat
yaitu 28,3 % dari seluruh jumlah obat dengan nilai
investasi Rp. 148.212924 yang merupakan 3,5% dari
seluruh investasi.
Analisis ABC VEN
Langkah-langkah dalam analisis ABC Indeks kritis
VEN (Febriawati,2013): Kelompok obat ABC Indeks
kritis digabungkan dengan kelompok obat VEN
kemudian masukkan kedalam matriks Analisis ABC
Indeks kritis dan VEN. Analisis ABC VEN dibuat
dengan melibatkan pemakai obat untuk mengetahui
seberapa vital, essensial dan non essensial obat dalam
formularium bagi dokter di RSUD Cimacan. Dari
hasil kuesioner didapatkan obat yang masuk
kelompok V ada 39 jenis obat, Kelompok E ada 245
jenis dan kelompok N ada 38. Hasil pengelompokan
VEN digabungkan dalam matriks ABC indeks kritis
VEN dan didapatkan: Kelompok VA ada 3 jenis obat,
Kelompok VB ada 24 jenis obat, Kelompok VC ada
12 jenis obat, Kelompok EA ada 21 jenis obat,
Kelompok EB ada 167 jenis obat, Kelompok EC ada
57 jenis obat, Kelompok NA ada 12 jenis obat,
Kelompok NB ada 18 jenis obat, Kelompok NC ada 8
jenis obat. Jenis obat yang bersifat vital yaitu 39 jenis
obat (VA,VB dan VC) merupakan pilihan utama
untuk tetap dimasukkan dalam formularium rumah
sakit. Sebaliknya obat yang non esensial tetapi
menyerap anggaran banyak (NA) sebanyak 12 jenis
obat dijadikan prioritas untuk dikeluarkan dari formularium.
Dari 747 jenis obat yang tercantum dalam formularium
RSUD Cimacan , ada 322 jenis obat yang dipakai
dirumah sakit berdasarkan analisa ABC Pemakaian
dari tahun 2014-2016, sisanya sebanyak 425 jenis obat
tidak dipakai. Dalam hal ini peneliti mengeluarkan 425
jenis obat yang ada dalam formularium yang tidak
pernah dipakai selama tahun 2014 -2016 dari draft
usulan revisi formularium tahun 2017. Akan tetapi
peneliti juga memperhatikan obat obat yang masuk
kelompok V (vital) yaitu obat obat yang harus tersedia
untuk melayani permintaan guna penyelamatan hidup
manusia atau untuk pengobatan karena penyakitnya
tersebut dapat menyebabkan kematian (live saving)
yang harus selalu tersedia di rumah sakit. Ada 39 jenis
obat yang masuk kelompok V (vital) dan ada 6 jenis
obat kelompok V yang juga terdapat dalam 425 jenis
obat yang akan dikeluarkan dari formularium,
Sehingga peneliti tetap memasukkan keenam jenis obat
diatas dalam draft usulan revisi formularium rumah
sakit. 6 jenis obat.
Dari 322 jenis obat hasil analisa ABC Indeks Kritis, ada
91 jenis obat yang masuk kelompok C. Dari hasil
pengelompokan analisis ABC indeks kritis terlihat
bahwa obat yang masuk dalam kelompok C (28,3%).
Bila dilihat dari jenis obat yang ada dalam kelompok C
maka dapat dibagi menjadi dua yaitu obat yang
memang indeks kekritisannya sangat kecil dan tidak.
Kelompok C dibagi dua agar tidak terjadi penumpukan
stok sehingga sebagian obat dalam kelompok C
tersebut di naikkan menjadi kelompok A. Obat
kelompok C bisa menggantikan obat kelompok A
apabila saat diresepkan obat tersebut tidak ada atau
kosong. Dan untuk obat kelompok C yang memang
penting dan harus ada dapat diatur stoknya tetapi untuk
obat kelompok C yang tidak penting setelah stok habis
menjadi bahan evaluasi apakah dapat dihilangkan dari
formularium.
Dari 91 jenis obat yang masuk kategori C, didapatkan
21 obat dengan skor terendah (empat). Berarti bisa
diambil kesimpulan bahwa 21 obat ini adalah obat
dengan kombinasi paling sedikit pemakaiannya,
paling rendah nilai investasinya dan paling rendah inilai
kritisnya. Obat kelompok C bisa juga dikatakan
bahwa obat obat tersebut adalah obat yang termasuk
dalam kategori slow moving. Dari 91 obat yang masuk
dalam kelompok C didiskusikan dengan TFT RSUD
Cimacan dan dipilih 38 obat untuk dikeluarkan dari
draft usulan revisi formularium rumah sakit.
Dikarenakan obat obat tersebut ada yang sudah tidak
diproduksi lagi, ditarik dari edaran dan sudah ada obat
mee too nya. Sehingga dari 322 obat yang diusulkan
untuk masuk dalam draft usulan revisi formularium
berkurang menjadi 284 jenis obat. Dan ditambah
dengan 6 jenis obat kelompok vital menjadi 290 jenis
obat yang masuk dalam draft usulan revisi formularium.
Ada 201 jenis obat non formularium yang disediakan
di instalasi farmasi dan dibutuhkan oleh dokter. Dari
201 jenis obat ini didiskusikan dengan TFT dan
dilakukan analisa ABC Indeks kritis, dan diperoleh
148 jenis obat saja yang dimasukkan kedalam
formularium rumah sakit dikarenakan 53 jenis obat
lainnya adalah obat yang golongan terapinya sudah
Juliana Aritonang., Analisis Formularium RSUD Cimacan Tahun 2017
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 93
ada dan mee too nya sudah ada. Ada 6 jenis obat yang
masuk katagori Vital (V) yang harus ada dirumah sakit.
Sehingga diperoleh ada 438 jenis obat yang masuk
dalam draft usulan revisi formularium RSUD
Cimacan.
Proses Penyusunan Formularium
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh diketahui
bahwa penyusunan formularium RSUD Cimacan
belum optimal, sehingga ada banyak obat dalam
formularium yang tidak dipakai. Ini terlihat dari hasil
analisis ABC Indeks kritis dari tahun 2014-2016 hanya
322 jenis obat yang dipakai yaitu 43% dari seluruh obat
yang ada dalam formularium.
Proses penyusunan formularium RSUD Cimacan
sudah melibatkan dokter. Meskipun demikian,
keterlibatan dokter dalam proses penyusunan belum
optimal. Dokter hanya diminta untuk mengisi formulir
obat yang dibutuhkan oleh dokter, dan tidak
diikutsertakan dalam pembahasan atau tidak ada
umpan balik dari dokter mengenai draft yang
diusulkan. Dokter yang terlibat dalam TFT hanya 1
orang. Memang dalam literatur tidak ada peraturan
baku yang menentukan komposisi anggota TFT,
namun agar sistem formularium berjalan lancar dan
kepatuhan peresepan formularium meningkat,
sebaiknya paling tidak dokter fulltimer bisa dilibatkan
penuh dalam panitia TFT, karena dokter adalah user
dan pelaksana di lapangan.
Dalam penyusunan formularium, kriteria seleksi obat
yang meliputi pola penyakit setempat, sarana-
prasarana yang dapat mendukung untuk pengelolaan
obat, dan kesesuaian dengan standar pengobatan di
rumah sakit belum ada. Penyesuaian dengan standar
pengobatan pada umumnya tidak dilakukan. Menurut
ketentuan KEPMENKES RI Nomor .1197/
Menkes/SK/X/2004, penyusunan formularium rumah
sakit harus mengacu pada standar pengobatan yang
berlaku. Menurut Atmaja (2012), perencanaan obat
dalam rumah sakit dapat digunakan beberapa data
sebagai pedoman, data morbiditas, sisa stock, data
pemakaian lalu, anggaran, VEN dan ABC, rencana
pengembangan dan rekomendasi komite medik.
RSUD Cimacan sudah memiliki prosedur pemilihan
obat untuk masuk kedalam formularium, prosedur
sudah memuat pemilihan obat berdasarkan data dari
medical record sebagai acuan pemilihan obat akan
tetapi belum memuat proses penyusunan formularium.
Pemeliharaan Formularium
Teknik pemeliharaan formularium mencakup (siregar
2004): Pengkajian golongan terapi obat, Proses
penambahan obat ke atau dihapus dari formularium,
Penggunaan obat nonformularium dalam situasi
penderita khas. Pengkajian golongan terapi obat untuk
mengidentifikasi obat yang dikehendaki masih
berdasarkan golongan jenis obat dan harga, belum
melihat efektifitasnya. Mekanisme penambahan dan
pengeluaran obat dari fomularium rumah sakit belum
berjalan dengan baik. Sudah ada aturan yang diterapkan,
akan tetapi dalam pelaksanaanya diserahkan kepada
instalasi farmasi. Hal ini berakibat pada tingginya daftar
obat non-formularium. Pengadaan obat baru yang
diminta oleh dokter dapat langsung dilakukan tanpa
melalui proses pertemuan TFT.
Menurut peneliti, kebijakan dan prosedur, atau
kebijakan yang ada,sudah cukup. Dalam panduan
pelayanan farmasi sudah memuat kriteria obat masuk
dan dikeluarkan dari formularium. Prosedur penambahan
dan pengeluran obat sudah ada, akan tetapi prosedur
tidak dilaksanakan karena manajemen dan dokter tidak
tahu akan adanya prosedur tersebut. Hal di atas dapat
diantisipasi dengan melakukan sosialisasi kembali
kebijakan dan prosedur mengenai penambahan atau
pemusnahan obat dari daftar formularium atau
mencantumkan kebijakan dan prosedur tersebut
dalam buku formularium sehingga diketahui oleh
semua pihak. Untuk kebijakan dan prosedur mengenai
penggunaan obat nonformularium, RSUD Cimacan
belum memilikinya. Sehingga perlu disusun kebijakan
dan prosedur mengenai penggunaan obat non
formularium termasuk kriterianya. Dua kebijakan ini
akan membuat kebijakan formularium menjadi lebih
dinamis atau lebih fleksibel, sebab rumah sakit
menghargai aspirasi dokter terhadap pilihan obat yang
akan diberikan kepada pasien.
Kriteria penghapusan daftar obat dari formularium
menurut Pedoman Penyusunan Formularium Rumah
Sakit Kemenkes (2010), yaitu obat tidak beredar lagi
dipasaran, obat tidak ada yang menggunakan lagi, sudah
ada obat baru yang lebih cost effective, obat yang
setelah dievaluasi memiliki resiko yang lebih tinggi
dibandingkan manfaatnya. Penambahan obat kedalam
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 94
formularium dilakukan melalui proses pengusulan.
Permohonan harus diajukan secara resmi kepada
PFT, permohonan yang diajukan setidaknya memuat
informasi mekanisme farmakologi obat dan indikasi
yang diajukan, alasan mengapa obat yang diajukan
lebih baik dari pada yang sudah ada dalam formularium,
bukti ilmiah dari pustaka yang mendukung perlunya
obat dimasukkan dalam formularium (Dirjen BinFar
Kemenkes RI,2010
Pengawasan Formularium
Pengawasan meliputi kepatuhan pengadaan dan
peresepan sesuai dengan formularium rumah sakit.
Hingga kini perencanaan persediaan obat di RS hanya
berdasarkan pola peresepan yang sering dikonsumsi
dan permintaan dokter. Jika dokter membutuhkan obat
tertentu tinggal mengajukan ke instalasi farmasi dan
disediakan oleh farmasi tanpa mempertimbangkan
formularium Rumah sakit. Hal - hal seperti ini
menyebabkan terjadi persediaan yang berlebihan,
kurang atau tidak terpakai sama sekali. Menurut
manajemen hal ini disebabkan dokter tidak konsisten
meresepkan salah satu jenis obat, tergantung dari
detailer obat mana yang pada saat itu datang dan
memberi informasi dokter tentang produknya.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti,
mutu dan kelengkapan obat yang tercantum dalam
formularium dapat disimpulkan kurang baik karena
masih ada obat formularium yang tidak ada di rumah
sakit. Kebijakan pengadaan obat RSUD Cimacan
sudah ada, dan sudah memuat pengadaan obat harus
berdasarkan formularium. Termasuk untuk obat baru
harus telah disetujui masuk formularium baru
kemudian dilakukan pengadaan. Akan tetapi
pelaksanaannya tidak sesuai dengan kebijakan.
Berdasarkan data yang diperoleh, instalasi farmasi
RSUD Cimacan menyediakan 573 jenis obat. Obat
yang ada dalam formularium RSUD Cimacan ada
747 jenis. Dari 747 jenis obat yang ada dalam
formularium, instalasi farmasi RSUD Cimacan hanya
menyediakan 372 jenis yaitu 65% dari obat yang
disediakan sisanya 201 jenis obat yaitu 35% adalah
obat diluar formularium RSUD Cimacan. Dan hanya
50% saja jenis obat yang ada dalam formularium yang
disediakan oleh instalasi faramasi.Menurut data diatas
ada penyimpangan atau ketidaksesuaian antara obat
yang disediakan oleh instalasi farmasi dengan obat
formularium rumah sakit. Sehingga perlu disosialisasikan
kembali kebijakan pengadaan kepada instalasi farmasi
dan dokter, dan perlu adanya teguran khusus jika
instalasi farmasi mengadakan obat diluar formularium
rumah sakit.
Berdasarkan data pemakaian obat di RSUD Cimacan
tahun 2014-2016 ada sejumlah 2.008.866 pemakaian
obat formularium, 495.690 pemakaian obat dari 201
jenis obat non formularium. Walaupun pemakaian
obat non formularium hanya 19,7% dari total seluruh
pemakaian obat namun jenis obat yang digunakan ada
201 jenis yaitu 35% dari seluruh jenis obat yang
disediakan di rumah sakit. Dari 201 jenis tersebut bisa
dievaluasi kembali apakah memang golongan obat
tersebut memang benar-benar tidak tersedia dalam
formularium RSUD Cimacan atau sebaliknya banyak
obat me too yang sebenarmya sudah ada.
Menurut manajemen, kesulitan dalam penerapan
formularium di RSUD Cimacan ini adalah karena
kurangnya komitmen dokter, dokter masih belum
mematuhi komitmen awal dan pelaksana di bawah masih
belum tegas. Sedangkan menurut dokter, alasan mereka
menggunakan obat non formularium karena obat tersebut
tidak ada padanannya dalam daftar obat formularium. Atau
bila ada padanannya namun berdasarkan pengalaman
pribadi memang obat dengan merek dagang tersebut lebih
baik khasiatmya. Bentuk dan format formularium dapat
digunakan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan
suatu kepatuhan dalam penggunaannya (Quick, 1997).
Ukuran buku formularium RSUD Cimacan cukup besar
sehingga kurang praktis dan tidak mudah dimasukan
kedalam saku. Format formularium seharusnya mudah
digunakan dan mempunyai bentuk yang atraktif. Informasi
yang relevan dari dokter berkaitan dengan suatu produk
sebaiknya dapat dimuat dalam bentuk tabel atau teks.
Bahkan selama ini buku formularium hanya diberikan
kepada tiap ruangan dan tidak semua dokter memilikinya.
Ini mempersulit dokter untuk mengetahui dan mengingat
apakah obat yang diresepkannya ada dalam daftar, apalagi
jika dokter tersebut praktek di beberapa rumah sakit yang
berbeda.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
A. Penyusunan Formularium
1. Analisis ABC
Juliana Aritonang., Analisis Formularium RSUD Cimacan Tahun 2017
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 95
a. Analisa ABC Indeks Kritis bisa digunakan
dalam mengevaluasi isi formularium. Data
yang digunakan 3 tahun untuk melihat
trend obat di RSUD Cimacan. ABC
Pemakaian untuk melihat trend pemakaian
terbanyak dan obat yang termasuk slow
moving, ABC Investasi digunakan untuk
melihat obat obat mana saja yang investasinya
besar, Nilai Kritis untuk menilai tingkat
kekritisan suatu obat. ABC Indeks kritis
didapat dengan menggabungkan ketiganya
sehingga didapat kelompok obat A adalah
obat-obat dengan pemakaian dan investasi
besar serta kritis, Kelompok obat B adalah
obat obat dengan pemakaian dan investasi
sedang serta kurang kritis dibandingkan
kelompok A, Kelompok C adalah obat
dengan pemakaian dan investasi rendah
serta tidak kritis.
b. Obat yang masuk Kelompok A dan B
menjadi prioritas untuk tetap masuk kedalam
Formularium Rumah Sakit, sedangkan obat
kelompok C dievaluasi kembali obat mana
saja yang akan dimasukkan atau dikeluarkan
dari formularium.
c. Hasil analisa ABC Pemakaian, obat obat
yang tidak digunakan lagi selama 3 tahun
dikeluarkan dari Formularium Rumah
Sakit. Ada 322 jenis obat formularium yang
dipakai di rumah sakit dari 747 jenis obat
yang ada dalam daftar formularium RSUD
Cimacan. Sehingga ada 425 jenis obat
(57%) yang dikeluarkan dari formularium
RSUD Cimacan. Dari tahun 2014 -2016
hanya ada 15 jenis obat saja yang selalu
masuk kelompok A. Akan tetapi semua
obat yang masuk kelompok A dari tahun
2014-2016 menjadi prioritas untuk tetap
dimasukkan dalam Formularium
RSUD Cimacan. Obat yang termasuk
dalam formularium tidak terlalu banyak
dipakai, hal ini dapat dilihat dari banyaknya
jenis obat yang masuk dalam kelompok C.
Kelompok C tahun 2014 yaitu 171 jenis
obat, tahun 2015 yaitu 199 jenis obat dan
tahun 2016 ada 190 jenis obat, bisa juga
dikatakan bahwa obat-obat tersebut adalah
obat yang termasuk dalam kategori slow
moving.
d. Hasil analisis ABC investasi, dari tahun 2014 –
2016 ada 8 jenis obat yang selalu masuk
kelompok A. Dan Jenis obat yang masuk
dalam kelompok ini perlu diperhatikan karena
investasinya sangat besar dan menjadi prioritas
untuk tetap masuk dalam formularium rumah
sakit. Untuk obat-obat kelompok ini perlu
dilakukan pengawasan dalam pembelian dan
penggunaan agar tidak terlalu banyak investasi
dan dilakukan kontrol pencatatan dan juga
pelaporan yang ketat untuk menghindari
penumpukan stock. Ada 102 jenis obat yang
selalu masuk dalam kelompok C selama 3
tahun dari tahun 2014 – 2016. Obat-obat yang
masuk dalam kelompok ini menjadi bahan
untuk dinilai kembali apakah akan tetap
dimasukkan dalam formularium rumah sakit
atau dikeluarkan.
e. Hasil analisis indeks kritis tahun 2014 -2016
hanya 31 jenis obat formularium yang
masuk kelompok A yang sangat kritis
terhadap pelayanan pasien, dan 200 jenis
obat yang masuk kelompok B yaitu obat
yang sangat diperlukan. Dan ada 91 jenis
obat lainnya yang masuk kelompok C yang
dinilai kembali apakah akan dimasukkan
atau dikeluarkan dari formularium RSUD
Cimacan.
2. Analisis VEN
a. Hasil analisis VEN bisa digunakan untuk
mengevaluasi isi formularium. Analisis VEN
merupakan pengelompokan obat berdasarkan
kepada dampak tiap jenis obat terhadap
kesehatan.
b. Obat yang masuk ke dalam kategori V (Vital)
harus masuk dalam formularium walaupun
pemakaiannya sangat jarang. Obat yang
masuk kategori E dan N dianalisa kembali
dengan cara menggabungkannya dengan hasil
analisa ABC Indeks Kritis, sehingga pada
akhirnya didapatkan obat-obat mana saja yang
tetap ada di dalam formularium atau bisa
dikeluarkan.
c. Ada 39 jenis obat yang kategori V (vital), 245
jenis obat masuk kategori V (Esensial) dan 38
jenis obat yang termasuk dalam kategori N
(Non Essensial).
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 96
3. Analisis ABC VEN
a. Hasil analisis ABC VEN adalah pengabungan
analisa ABC Indeks kritis dan Analisa VEN
sehingga diperoleh kelompok obat yang
termasuk kategori A (dalam analisis ABC)
adalah benar benar yang diperlukan untuk
menanggulangi penyakit terbanyak dan obat
tersebut statusnya harus E dan sebagian V (dari
analisa VEN), sebaliknya jenis obat dengan
status N harusnya masuk kategori C.
b. Kelompok obat yang bersifat vital yaitu ada 39
jenis obat (VA,VB dan VC) menjadi prioritas
untuk tetap masuk ke dalam Formularium
RSUD Cimacan. Sebaliknya obat-obat yang
masuk kelompok NC ada 8 jenis obat menjadi
prioritas untuk dikeluarkan dari formularium
RSUD Cimacan.
c. Metode gabungan ini dapat juga digunakan
untuk menetapkan prioritas pengadaan obat
dimana anggaran yang ada tidak sesuai
kebutuhan. Metode ini digunakan untuk
melakukan pengurangan obat.
d. Obat yang masuk kategori NC menjadi
prioritas pertama untuk dihilangkan, kemudian
obat kategori NB menjadi prioritas selanjutnya
dan obat yang masuk kategori NA menjadi
prioritas berikutnya.
4. Situasi Analisis Proses Penyusunan Formularium
a. Sudah ada Tim Farmasi dan Terapi yang
dibentuk sebagai tim penyusun
formularium rumah sakit namun belum
mewakili semua spesialisasi yang ada
dirumah sakit. Beban kerja dan tanggung
jawab dalam penyusunan formularium
belum terbagi dengan baik masih menjadi
beban sedikit orang saja.
b. Proses penyusunan sudah melibatkan
dokter di rumah sakit namun masih belum
optimal. Usulan kebutuhan obat berasal dari
dokter namun dokter tidak diminta kembali
masukannya/feedback setelah draft terusun.
Dikarenakan belum ada kebijakan dan
prosedur penyusunan formularium.
c. Pemilihan jenis obat yang dipakai hanya
berdasarkan pemakaian sebelumnya,
usulan obat dari dokter dan tidak pernah
melihat data morbiditas penyakit di rumah
sakit. Karena belum ada sistem pembuatan
atau perumusan pemilihan obat yang
disepakati. Sehingga masih banyak
ditemukan obat mee too dalam formularium
RSUD Cimacan.
B. Pemeliharaan Formularium
a. Mekanisme pemeliharaan formularium RSUD
Cimacan belum berjalan dengan baik, prosedur
sudah ada namun belum dijalankan.
b. Pengkajian golongan terapi obat belum optimal
baru berdasarkan golongan yang sama dan
harga.
c. Pengajuan obat baru ditujukan ke instalasi farmasi
bukan ke TFT padahal sudah ada prosedur yang
mengatur penambahan obat ke formularium
namun tidak dilaksanakan.
d. Belum ada kebijakan dan prosedur yang memuat
kriteria pemberian obat non formularium yang
disetujui.
C. Pengawasan Formularium
a. Pengadaan obat tidak sesuai dengan
formularium, peresepan tidak sesuai dengan
formularium, kebijakan yang mengatur sudah
ada, namun belum dilaksankan.
b. Ada 2.008.866 pemakaian obat formularium,
495.690 pemakaian obat dari 201 jenis obat
non formularium.
c. Komitmen dokter masih kurang dan pelaksana
di instalasi farmasi juga tidak sesuai prosedur.
d. Rumah sakit belum menemukan sistem kontrol
yang sesuai untuk mengawasi jalannya sistem
formularium.
D. Usulan Formularium RSUD Cimacan
Dari 322 obat yang diusulkan untuk masuk dalam
draft usulan revisi formularium berkurang menjadi
284 jenis obat. Dan ditambah dengan 6 jenis obat
kelompok vital menjadi 290 jenis obat yang masuk
dalam draft usulan revisi formularium. Ada 201
jenis obat non formularium yang disediakan di
instalasi farmasi dan dibutuhkan oleh dokter. Dari
201 jenis obat ini didiskusikan dengan TFT dan
dilakukan analisa ABC Indeks kritis, dan diperoleh
148 jenis obat saja yang dimasukkan kedalam
formularium rumah sakit dikarenakan 53 jenis obat
lainnya adalah obat yang golongan terapinya sudah
ada dan mee too nya sudah ada. Sehingga diperoleh
ada 438 jenis obat yang masuk dalam draft usulan
revisi formularium RSUD Cimacan.
Juliana Aritonang., Analisis Formularium RSUD Cimacan Tahun 2017
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 97
Saran
1. Jangka Pendek (0-3 Bulan)
a. TFT yang dibentuk tahun 2011 sudah tidak lagi
aktif oleh karena sebagian anggotanya sudah tidak
lagi bekerja di RSUD Cimacan. Sehingga perlu
dibentuk TFT yang baru. Pengorganisasian TFT
sebaiknya seperti organisasi TFT yang telah
direkomendasikan dalam Permenkes no 58 tahun
2014. Yang anggotanya terdiri dari dokter yang
mewakili semua spesialisasi yang ada di rumah
sakit, apoteker instalasi farmasi serta tenaga
kesehatan lainnya.
b. Membuat kebijakan dan prosedur terkait dengan
proses penyusunan formularium serta pedoman
pelaksanaannya secara sistematis dan tertulis.
c. Menyusun kebijakan dan prosedur mengenai
penggunaan obat non-formularium yang disetujui
serta kriteria obat non formularium yang disetujui
pemakaiannya.
d. Melakukan sosialisasi kembali semua kebijakan
dan prosedur yang berkaitan dengan formularium
yang sudah ada.
e. Meningkatkan peran aktif dokter mulai dari
penyusunan, pelaksanaan, pemeliharaan dan
pengawasan formularium. TFT dalam menyusun
formularium meminta feed back dari dokter
sehingga formularium yang tersusun benar benar
disepakati oleh semua pihak.
f. Memperbaiki sistem pelaporan data sehingga
memudahkan dalam evaluasi. Terutama dengan
memanfaatkan sistem IT yang ada sehingga lebih
efisien. Memasukkan daftar obat obat formularium
Rumah Sakit kedalam IT di instalasi farmasi.
g. Disarankan agar Instalasi Farmasi menjamin
ketersediaan obat-obat di dalam buku formularium
rumah sakit.
h. Disarankan instalasi farmasi turut mengingatkan
dokter jika ada dokter yang meresepkan diluar
formularium.
i. Melakukan training kepada Tim Farmasi dan
Terapi RSUD Cimacan bagaimana melakukan
evaluasi obat.
2. Jangka Panjang (3 Bulan -1 Tahun)
a. Perlu dilakukan revisi Formularium RSUD
Cimacan dengan menggunakan metode ABC
Indeks kritis dan VEN setiap satu tahun sekali.
Karena metode ini dapat digunakan dipakai untuk
mengevaluasi obat obat mana saja yang perlu
dipertahankan atau dikeluarkan dari formularium
dengan melihat pemakaian, investasi, nilai kritis dan
dampak obat terhadap kesehatan.
b. Mencantumkan semua kebijakan dan prosedur
mengenai formularium kedalam buku Formularium
RSUD Cimacan.
c. Mencetak buku formularium dalam ukuran saku,
dengan format yang menarik dan mudah dibaca.
d. Mengefektifkan sistem sosialisasi secara terus
menerus mengenai keberadaan formularium
rumah sakit. Misalnya dengan memberikan buku
formularium ukuran saku kepada masing- masing
dokter, selalu mengupdate dan mengirim list obat
formularium ke email dokter, mensosialisasikan
formularium pada rapat komite medik, dan lain -
lain.
e. Melakukan evaluasi kepatuhan pengadaan dan
peresepan formularium RSUD Cimacan setiap 3
bulan sekali dan memanfaatkan forum forum
pertemuan dokter dokter untuk menyampaikan
hasilnya sehingga hasil evaluasi diketahui oleh
dokter untuk perbaikan selanjutnya.
f. Menerapkan sistem reward dan punishment yang
jelas bagi dokter terkait penggunaan formularium.
g. Disarankan agar instalasi farmasi mengevaluasi
obat slow moving dalam persediaan, menperhatikan
persediaan obat yang investasinya besar, dan obat
yang sangat kritis terhadap pelayanan pasien
dengan mengunakan metode ABC Indeks Kritis.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M. 2005, Manajemen Farmasi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press ASHP Statement on the Pharmacy and Therapeutics Communitte and the Formulary
System, 27 Maret 2017, http:/www.ashp.org 2008
Atmaja Karuna, 2012, Penggunaan Analisis ABC Indeks Kritis Untuk Pengendalian Persediaan Obat Antibiotik di Rumah Sakit M.H. Thamrin Salemba, Tesis UI,
Jakarta
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Perencanaan dan Pengelolaan Obat.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 2002.
Depkes RI Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Pedoman Penyusunan Formularium Rumah Sakit. Jakarta, 2010
Febriawati Henni, 2013, Manajemen Logistik Farmasi Rumah Sakit, Goysen Publishing.
Yogyakarta Kementerian Kesehatan RI dengan KARS. Standar Akreditasi Rumah Sakit Jakarta 2011
Kementrian Kesehatan RI, keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi Di Rumah Sakit
Kementrian Kesehatan RI Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58
tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit Quick,J. The Selection, P, Distribution and Use of Pharmaceuticals. In Managing Drug
Supply. Second Edition. Kumarian Press Book on International Development.
1997. Savelli, Anthony,et al, 1996, Manual for the development and maintenance of hospital drug
formularies, 28 Maret 2017, http://pdf.usaid.gov/
Siregar,. Ch. J.P., Amalia, L.2004, Farmasi Rumah Sakit, Teori dan Penerapan, 25-49, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
WHO, 2004, How to develop a national formulary based on the WHO model formulary, 19
Maret 2017, http://apps.who.int/medicinedocs/pdf/s6171e/
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 98
Tabel 1. Jumlah Resep Obat yang Keluar Dari RS, Jenis Obat yang Tidak Tersedia, Dokter
Penulis Resep Obat yang Tidak Tersedia pada Instalasi Farmasi RSUD Cimacan Tahun 2014 –
2016
Sumber: Arsip pada Instalasi Farmasi RSUD Cimacan
Tabel 2. Jenis Obat yang Tidak Tersedia, Jenis Obat yang Tidak Tersedia yang Tercantum
dalam Formularium, Jenis Obat yang Tidak Tersedia yang Tidak Tercantum dalam
Formularium pada Instalasi Farmasi RSUD Cimacan Tahun 2014 – 2016
Tahun Jenis Obat yang
Tidak Tersedia
Jenis Obat yang Tidak Tersedia
yang Tercantum dalam
Formularium
Jenis Obat yang Tidak Tersedia
yang Tidak Tercantum dalam
Formularium
2014 247 46 201
2015 176 30 146
2016 189 56 133
Sumber : Arsip pada instalasi farmasi RSUD Cimacan
Tabel 3.Hasil Pengelompokan Obat Berdasarkan Analisis ABC Pemakaian 2014
Tabel 4. Hasil Pengelompokan Obat Berdasarkan Analisis ABC Pemakaian 2015
Tahun Resep obat yang keluar
dari RS
Jenis obat yang tidak
tersedia
Dokter penulis
resep tersebut
2014 1607 247 16
2015 1446 176 15
2016 3422 189 16
Kelompok Jumlah Item
Obat %
Jumlah Pemakaian
Obat %
A 28 11,7 362.009 70,3
B 39 16,3 106.278 20,6
C 171 71,8 46.952 9,1
Total 238 515.239
Kelompok Jumlah Item
Obat %
Jumlah Pemakaian
Obat %
A 36 12,7 407.418 70,6
B 47 16,7 116.116 20,2
C 199 70,6 53.182 9,2
Total 282 576.710
Juliana Aritonang., Analisis Formularium RSUD Cimacan Tahun 2017
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 99
Tabel 5. Hasil Pengelompokan Obat Berdasarkan Analisis ABC Pemakaian 2016
Tabel 6. Hasil Pengelompokan Obat Berdasarkan Analisis ABC Investasi 2014
Kelompok Jumlah Jenis Obat % Nilai Investasi Obat %
A 18 7,6 Rp. 579.851.180 70,1
B 42 17,6 Rp. 171.759.291 20,7
C 178 74,8 Rp. 76.102.376 9,2
Total 238 Rp. 827.712.847
Tabel 7. Hasil Pengelompokan Obat Berdasarkan Analisis ABC Investasi 2015
Tabel 8. Hasil Pengelompokan Obat Berdasarkan Analisis ABC Investasi 2016
Kelompok Jumlah Jenis Obat % Nilai Investasi Obat %
A 19 7,1 Rp. 1.634.412.660 70,5
B 45 16,9 Rp. 471.352.435 20,3
C 203 76 Rp. 212.107.746 9,2
Total 267 Rp. 2.317.872.841
Tabel 9. Hasil Pengelompokan Obat Berdasarkan Analisis ABC Indeks Kritis Tahun
2014-2016
Kelompok Jumlah Jenis
Obat % Nilai Investasi Obat %
A 31 9,6 Rp. 2.565.184.814 60,2
B 200 62,1 Rp. 1.547.653.488 36,3
C 91 28,3 Rp. 148.212924 3,5
322 Rp. 4.261.051.226
Kelompok Jumlah Item
Obat %
Jumlah Pemakaian
Obat %
A 32 12 649.567 70,8
B 45 16,8 182.926 19,9
C 190 71,2 84.424 9,3
Total 267 916.917
Kelompok Jumlah Jenis Obat % Nilai Investasi Obat %
A 25 8,9 Rp. 787.394.854 70,6
B 57 20,2 Rp. 226.166.467 20,3
C 200 70,9 Rp. 101.904.217 9,1
Total 282 Rp. 1.115.465.538
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 3
Jurnal ARSI/Februari 2017 100
Analisis Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien Pada Alur Pelayanan
Penyakit Sepsis Di Rumah Sakit Tebet 2015
Governance Analysis on Patient Safety Goals Pathway in Sepsis Disease’s at Tebet
Hospital 2015
Rianayanti Asmira Rasam
Program Studi Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Dalam konteks pengobatan modern, kompleksitas sistem perumahsakitan dianggap sebagai faktor utama penyebab
insiden kesalahan medis. Dengan paradigma ”pelayanan berfokus pasien”, hak pasien mendapatkan pelayanan
kesehatan yang aman telah menjadi indikator dalam Standar Akreditasi Rumah Sakit versi 2012 (SARS 2012) di
Indonesia, melalui penerapan 6 Sasaran Keselamatan Pasien (SKP). Adapun salah-satu jenis penyakit dengan
mortalitas dan morbiditas yang tinggi adalah Sepsis. Pengunaan modifikasi klinis Internasional Classification of
Desease (ICD) berbasis revisi ke-9, telah menimbulkan kerancuan terminologi dan meningkatkan mortalitas
sepsis. Secara global, mortalitas sepsis mencapai 8 juta/tahun, dengan pertumbuhan di negara berkembang berkisar
8 – 13% per-tahun. Untuk memastikan efektifitas Keselamatan Pasien pada alur pelayanan penyakit sepsis,
dilakukan penelitian terhadap imlementasi Tatakelola 6 Sasaran Keselatanan Pasien. Melalui kerangka studi kasus,
dengan pendekatan kualitatif diskriptik-analitik, dilaksanakan penelitian di Rumah Sakit Tebet Jakarta pada bulan
April-Mei 2015. Hasil penelitian menunjukkan, efektifitas Tatakelola 6 SKP mencapai 96,283%, dengan tingkat
kesalahan dibawah 5%. Penelitian ini berhasil membuktikan implementasi Tatakelola 6 SKP pada alur pelayanan
penyakit sepsis. Disimpulkan bahwa Tatakelola 6 Sasaran Keselamatan Pasien sangat efektif mengurangi resiko
KP.
Kata kunci: akreditasi, rumah sakit, ICD, keselamatan pasien, sepsis.
ABSTRACT
In the context of modern medicine, complexity hospital’s management is regarded as the primary cause of medical
error (ME). The new healthcare paradigm of “Patient-Focused Care”, patient’s right to receive safe healthcare
treatment is considered as main indicator in Standar Akreditasi Rumah Sakit of 2012 (SARS 2012) in Indonesia,
through the implementation of 6 Patient Safety (KP) standards. In the category of emergency medical treatment,
Sepsis is considered as a disease with high mortality and morbidity rate. The use of The International
Classification of Diseases, based on Ninth Revision (ICD-9), have caused terminological confusion and contribute
to the increase of sepsis mortality rate. Globally, sepsis’ mortality rate reaches 8 million/year or 24.000/day, with
growth rate of 8-13% per-year. To ensure the effectiveness of KP standard implementation in sepsis medical
treatment, a research on the implementation of 6 Targets of KP in RS Tebet is conducted. Using case study,
qualitative and descriptive analysis, this research is performed in the course of April-May 2015. The research
shows that effectiveness 6 Targets of KP implementation reaches 96,283%, with 5% margin of error. This research
proves that implementation of 6 Targets of KP in healthcare treatment procedure for sepsis cases can reduce the
risk of ME.
Keywords: accreditation, hospital, ICD, patient safety, sepsis.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 101
PENDAHULUAN
Pada akhir tahun 1999, melalui publikasi “To Err Is
Human: Building A Safer Health System” IOM
melaporkan 44.000 – 99.000/tahun pasien meninggal
akibat medical error (ME), dan lebih 1 juta pasien cidera
setiap tahun. Laporan IOM (1999) telah menempatkan
insiden ME sebagai 8 besar penyebab kematian di
Amerika Serikat (AS), melebihi kecelakaan lalu-lintas,
kanker payudara, dan penyakit AIDS.
Publikasi “To Err Is Human: Building A Safer Health
System” telah mendorong pengungkapan ME diberbagai
negara. Insiden terkait ME dilaporkan terjadi dimana-
mana (Weingert et al, 2000) secara konsisten (WHO
Eropa, 2010), bukan ciri khas AS (Aiken, 2001). ME
adalah fenomena gunung (Battles et al,1998) yang
dipandang sebagai epidemi oleh banyak peneliti
(Weingart et al, 2000; James, 2013), tidak sebatas kasus
tuntutan malpraktik tetapi epidemi malpraktis medis
(Baker, 2005 dalam Alsaadi, 2013).
Dengan maraknya pengungkapan insiden ME, WHO
(2005) kemudian membentuk World Alliance for Patient
Safety (WAPS) untuk mendorong KP menjadi prioritas
utama dalam pelayanan kesehatan. Meskipun tidak ada
pengobatan yang bebas risiko (Vincent, 2010), karena
risiko tidak dapat ditekan menjadi nol (Nolan, 2000),
namun KP harus dikenali sebagai dimensi yang pertama
dari mutu (WHO, 2005).
Hal tersebut tercermin dalam mukadimah Collaborating
Centre for Patient Safety Solutions (CCPSS) (WHO &
JCI, 2007), bahwa seluruh pasien ber-Hak mendapatkan
pelayanan kesehatan yang aman dan efektif pada setiap
waktu, sebagai pernyataan yang selaras dengan maksud
pasal 25 ayat (1) Deklarasi Hak Asasi Manusia (UN,
1948) bahwa setiap orang ber-Hak atas pelayanan
kesehatan yang layak dan aman.
Kompleksitas sistem perumahsakitan ditengarai merupakan
penyebab utama ME. Sistem perumahsakitan yang
diterapkan dinilai telah gagal menyediakan standarisasi
KP yang tepat. Diperlukan penataan ulang yang lebih baik
(IOM, 1999) dengan meningkatkan KP di seluruh
tingkatan sistem dan regulasi pelayanan kesehatan
(Vincent, 2010). Keberhasilan suatu intervensi mutu
pelayanan dan KP tidak terlepas dari regulasi yang
responsif (Berwick, 2002, dalam Utarini, 2011).
Penguatan aspek transparansi dan akuntabilitas dalam
pelayanan kesehatan perlu segera dikedepankan (IOM,
1999; Wachter, 2004; James, 2013).
Di Indonesia, isu KP mendapat perhatian melalui
kehadiran Komite Keselamatan Pasien RS (KKP-RS)
tahun 2005, diikuti pencanangan Gerakan Keselamatan
Pasien dan diterbitkannya Panduan Nasional Keselamatan
Pasien RS (Depkes, 2006, 2008). Pentingnya KP juga
termuat dalam Undang Undang Rumah Sakit No. 40
tahun 2009 (UURS 2009), disertai adanya Sistem
Pelaporan Sukarela Insiden KTD di RS melalui Peraturan
Menteri Kesehatan No. 1691 Tahun 2011 tentang
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (PMK 1691/2011).
Namun, praktek KP masih berlangsung sporadis, dengan
protokol bervariasi (Utarini, 2011).
Menurut penelitian Utarini (2000) dalam Utarini (2011)
pada 15 RS dengan data 4.500 Rekam Medik, angka
Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) pada kategori
diagnostic error berkisar 8,0% – 98,2 %, dan medication
error antara 4,1% – 91,6%. Sedangkan terhadap laporan
145 insiden KP yang disebutkan Komite Keselamatan
Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) (2007) dalam Mulyana
(2013) terdiri dari 46% KTD, 48% KNC dan 6% lain-
lain. Wilayah DKI Jakarta memiliki proporsi KTD
tertinggi.
Sementara itu, perkembangan rumah sakit di Indonesia
mengalami peningkatan yang sangat pesat. Pada tahun
2009 terdapat 1.523 RS, dengan 653 RS terakreditasi
(42,88%) (DIRJEN BUK, 2012). Untuk tahun 2014, per-
29 Januari 2015, data situs Sistem Informasi Rumah Sakit
(SIRS online) Depkes RI mencatat 2.419 RS, dan 1.309
RS terakreditasi (54%). Sedangkan target RS terakreditasi
yang ditetapkan Depkes RI tahun 2014 adalah 90%
(KARS, TT).
Akreditasi adalah komponen penting dari KP (Wachter,
2004; Hinchcliff et.al, 2012), sebagai mekanisme eksternal
yang paling umum untuk mengukur peningkatan kualitas
pelayanan kesehatan (Greenfield & Braithwaite, 2009). Permodelan pada sistem akreditasi RS sering diadopsi
berbagai organisasi kesehatan untuk tujuan perbaikan
layanan atau reformasi kesehatan (Shaw et.al 2013).
Demikian pula di Indonesia. Pada tahun 2012, Depkes RI
mengadopsi Internasional Patient Safety Goals (IPSGs)
dari lembaga akreditasi internasional Joint Commission
Internasional (JCI), yang diterjemahkan menjadi 6
Sasaran KP (SKP) dalam Standar Akreditasi RS versi
2012 (SARS 2012). Sebelum ditetapkannya SARS
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 102
2012, standar mutu pelayanan RS di Indonesia dapat
berbeda-beda, sesuai standar yang diakreditasi. Mulai
dari standar 5 pelayanan, 12 pelayanan, dan 16
pelayanan. Menurut DIRJEN BUK (2012), melalui
SARS 2012, Indonesia memasuki paradigma baru
”Patient-Focused Care” dengan menjadikan KP
sebagai indikator utama pelayanan kesehatan.
RS Tebet adalah RS swasta di wilayah Jakarta Selatan
yang saat ini sedang dalam proses persiapan mengikuti
SARS 2012. Adapun jenis penyakit dengan angka
kematian yang cukup banyak ditemui dalam
pelayananan kegawatdaruratan RS Tebet adalah Sepsis.
Pada saat ini penyakit sepsis merupakan salah-satu
penyebab utama mortalitas dan morbiditas dalam
pengobatan modern (Angus & van der Poll, 2013).
Sejak tahun 2000, Sepsis berkembang menjadi epidemi,
serupa Polytrauma, AMI dan Stroke (Dellinger et al,
2012). Perbandingan konsensus internasional penyakit,
populasi Sepsis 300 per-100.000, Stroke 223 per-
100.000, dan AMI 208 per-100.000 (Ricard, 2013).
Dalam 10 tahun terakhir, pertumbuhan Sepsis
meningkat 2x lipat, menjadi 20 – 30 juta/tahun (WSD,
2014). Secara global, mortalitas Sepsis mencapai 8 juta
per-tahun (Reinhart et al, 2013). Di negara berkembang,
berkisar 8 – 13% per-tahun (Hall et al, 2011, dalam
Reinhart et al, 2013).
Tahun 2008, Sepsis ditetapkan WHO sebagai Global
Burden of Diseases (GBD), untuk wanita dan anak-
anak, hasil deklarasi bersama dengan PBB dalam World
Health Assembly 61.16 (WHA 61.16). Pada tahun 2012,
bersamaan dibentuknya Global Sepsis Alliance (GSA),
WHO menyetujui kampanye tahunan Word Sepsis Day
(WSD) setiap tanggal 13 September. WSD bertujuan
memperkuat aktifitas Surviving Sepsis Campaign (SSC)
dalam kampanye edukasi pengenalan penyakit sepsis dan
mengurangi mortalitas. Untuk mendukung SSC, WHO–
WAPS merekomendasikan penggunaan ICD-10 WHO.
Faktor utama mortalitas sepsis adalah kerancuan
terminologi (Angus & van der Poll, 2013, WSD, 2014),
akibat keterterbatasan pengetahuan awam dan
komunitas medis non-spesialis (Lever & Mackenzie,
2007), serta politisi tingkat nasional (WSD, 2014). Sepsis
dapat rancu dengan penyakit lain, dan seringkali
terlambat terdiagnosa (Reinhart et al, 2013). Peluang
kesalahan diagnosa Sepsis mencapai 85% (Poeze et al,
2004).
Sepsis dan Septikemia sering disamakan (Kemenkes RI,
2012), meskipun keduanya berbeda (Pinson, 2011).
Sepsis berbasis International Classification of Desease
(ICD) revisi ke-10 (ICD-10) namun sering dipertukarkan
dengan Septikemia yang berbasis ICD-9 (Every, 2009),
seperti modifikasi klinis ICD-9 (ICD-9-CM). Modifikasi
pengkodean septikemia terhadap Sepsis pada ICD-
9CM tidak akurat sesuai tabulasi ICD-10 (Weber,
Stefanie & Steven, 2009). Penggunaan ICD – 9 - CM
meningkatkan 2X mortalitas sepsis (Gaieski, et.al, 2013).
Dalam topik Why ICD-10 Matters, situs resmi American
Health Information Management Association (AHIMA),
menjelaskan terdapat perbedaan signifikan antara
prosedur ICD-10 dan ICD-9-CM. Sistem klasifikasi dan
terminologi penyakit ICD-9-CM tidak sesuai kemajuan
teknologi dan praktik medis terkini. ICD-9-CM yang
digunakan sejak tahun 1979 diyakini telah ketinggalan
jaman. Banyak kategori kedokteran modern tidak
terpenuhi. Situs resmi Centre for Disease Control and
Prevention (CDC) dan American Medical Assosiastion
(AMA) menjelaskan bahwa ICD-9-CM akan
digantikan ICD-10 mulai 1 Oktober 2015 di AS.
Di Indonesia terdapat 2 regulasi penggunaan ICD-10,
yaitu Surat Keputusan (SK) Direktorat Jenderal
Pelayanan Medik No. HK.00.05.1.4.00744 Tentang
Penggunaan ICD-10 di RS, tertanggal 19 Februari 1996,
dan SK Menteri Kesehatan RI No. 50/ MENKES
/SK/I/1998 Tentang Pemberlakuan Klasifikasi Statistik
Internasional mengenai Penyakit Revisi Ke-10,
tertanggal 13 Januari 1998. Namun, selain itu, terdapat
regulasi penggunaan ICD-9-CM yaitu Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 27 Tahun 2014 Tentang
Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups
(INA-CBGs) (PMK 27/2014).
Regulasi PMK 27/2014 tersebut merupakan langkah
mundur yang berkontribusi pada praktik pelayanan
medis secara nasional, termasuk penyakit Sepsis. Hal
tersebut merupakan masalah yang perlu dikaji sesuai
dengan paradigma KP SARS 2012 sebagai dimensi
utama dalam pelayanan kesehatan RS di Indonesia.
Karenanya, dilakukan penelitian ilmiah berbasis bukti
(evident based practice) berdasarkan literatur terkini,
untuk memperoleh kepastian tindakan pada alur
pelayanan medis penyakit Sepsis dan hasil keluaran
(outcome) yang lebih baik, aman, serta mengedepankan
KP.
Rianayanti Asmira Rasam., Analisi Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien pada Alur Pelayanan Penyakit Sepsis di
Rumah Sakit Tebel 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 103
TINJAUAN PUSTAKA
“First Do No Harm” sebagai prinsip dasar praktik
medis (WHO Europe, 2010) telah mengisyaratkan
potensi “error” dalam pelayanan kesehatan yang dapat
merugikan pasien. Menurut Nightingale (1863) dalam
Vincent (2010), dalam melakukan tindakan terhadap
suatu penyakit yang diderita pasien, pelayanan RS
“semestinya” tidak merugikan pasien.
Namun demikian, selama ini sistem pelayanan kesehatan
lebih terfokus pada manajemen RS daripada masalah
KP (Dirjen BUK, 2012). Demikian pula fenomena
epidemi ME. Walaupun teori cukup banyak ditemukan
pada literatur medis, namun sedikit yang dipergunakan
untuk memperbaiki fenomena “error” (Michie &
Abraham, 2004, dalam Grol et al, 2007). Banyak hasil
penelitian sulit untuk digeneralisasikan pada komunitas
RS, akibat perbedaan metode (Weingart et al, 2000;
Runciman et.al, 2010). Sedangkan kompleksitas pada
sistem RS sangat disadari senantiasa menghadirkan
potensi error (Leape at al, 1998, Depkes RI 2006).
Salah-satu penyebab utama ME adalah Diagnostik
Error (DE) (Alsaadi, 2013). DE meliputi luput
terdiagnosa (missed), terlambat/penundaan diagnosa
(delayed), dan salah diagnosa (wrong) (Singh, 2013).
Dalam Singh (2013), DE sebagai salah-satu faktor
penting insiden ME disepakati bersama oleh Gandi et al
(2006), Singh et al (2011), Lorincz et al (2013), dan
Schiff et al (2013), sehingga perlu mendapat apresiasi
lebih luas dalam gerakan KP.
Menurut Runciman et al (2010), dari 48 naskah difinisi
KP yang dikaji Methods & Measures Working Group of
the World Health Organization World Alliance for
Patient Safety, KP telah didifinisikan sebagai
“pengurangan resiko kerugian yang tidak seharusnya
terjadi, terkait pelayanan kesehatan minimum yang
dapat diterima”. Sedangkan difinisi yang diajukan (IOM,
1999) “Freedom from injury” (or No Harm), atau bebas
cedera/merugikan pasien menjadi alternatif sederhana
difinisi KP. Dengan adanya kepastian difinisi KP, maka
hal ini sangat membantu dalam proses standarisasi
pelayanan kesehatan.
Pasca laporan IOM (1999) yang menjadi momentum
KP modern, standarisasi sistem yang aman dalam
regulasi pelayanan kesehatan menjadi sangat penting,
termasuk akreditasi RS, mengingat para dokter
umumnya sangat individualistik dan resisten terhadap
standarisasi (Watcher, 2004). Standar pada dasarnya
dipahami sebagai harapan terhadap kinerja, struktur, dan
proses di RS dalam memberikan suatu pelayanan
kesehatan yang bermutu dan aman.
JCI adalah lembaga ekternal akreditasi RS yang menjadi
standar global (Shaw, 2013) dan mengedepankan KP
sebagai fokus utama dari kualitas pelayanan (JCI, 2014).
JCI adalah cabang internasional dari The Joint
Commision (TJC) yang merupakan lembaga akreditasi
di AS. Sejak tahun 2006, JCI menerapkan IPSG sebagai
konsep global standar akreditasi RS (ditampilkan pada tabel
1).
IPSGs yang diadopsi Indonesia menjadi 6 SKP dalam
SARS 2012 merupakan implementasi gagasan
pelayanan berfokus pasien (patient-focused care),
bertujuan mendorong peningkatan pelayanan pada area-
area berpotensi tinggi insiden KP di RS. SARS 2012
adalah regulasi akreditasi yang wajib diikuti (mandatory)
minimal 3 tahun sekali. Demikian halnya dengan RS
Tebet, sebagai RS swasta di DKI Jakarta. Setelah
terakreditasi 16 jenis pelayanan, saat ini RS Tebet sedang
dalam persiapan mengikuti SARS 2012. Dalam
pelayanan kesehatan RS Tebet tahun 2014, penyakit
Sepsis menempati posisi ke-3 dalam hal mortalitas
kegawatdaruratan.
Sepsis adalah salah-satu penyakit tertua yang paling sulit
dipahami dalam sindrom kedokteran (Angus & van der
Poll, 2013), namun sangat sedikit diketahui (Lever &
Mackenzie, 2007; Reinhart, 2013). Pada abad 20, Sepsis
merupakan penyebab mortalitas dalam pengobatan
modern penyakit kritis (Angus et.al, 2001, dalam
Pierrakos & Vincent, 2010), sehingga disebut “bencana
publik tersembunyi” (Angus et.al, 2010, dalam Reinhart
et al, 2013).
Pathophysiology penyakit Sepsis sangat kompleks,
ditandai jumlah penelitian biomarker yang mencapai
3.370 studi, melebihi penyakit lainnya (Pierrakos
&Vincent, 2010). Tidak terdapat faktor kunci sebagai
mediator penyebab Sepsis untuk menjadi acuan
perawatan (Rittirsch, Flierl, Ward, 2008). Karenanya,
tidak ada “golden standar” atau “golden rule” yang
dapat dikalibrasi dalam diagnosis sepsis (Levy et al,
2003; Pierrakos &Vincent, 2010). Namun demikian,
sejumlah penelitian terkini memperlihatkan bahwa
terapi awal pengenalan dini sejak 1 jam pertama, dalam
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 104
fase 3 – 6 jam pertama, dapat mengurangi mortalitas
pasien sepsis (Dellinger et. al, 2008, dalam Reinhart,
2013; Ferrer et al, 2014). Hal tersebut dibuktikan dalam
pelayanan Instalasi Gawat Darurat (IGD) (Nguyen &
Smith, 2007) maupun Intensive Care Unit (ICU)
(Vincent et al, 2006 dalam Vincent, 2009).
Pengenalan yang benar dan sedini mungkin terhadap
sepsis sangat penting karena sepsis merupakan jenis
penyakit bersifat rangkaian (part of a continuum)
(Dellinger et al, 2012), sesuai International Sepsis
Definitions Conference 2001, dengan difinisi (Levy et al,
2003);
Infeksi, yaitu proses patologis yang biasanya
disebabkan invasi jaringan steril atau cairan, atau
rongga tubuh, dengan patogen atau potensi
patogenik mikroorganisme.
Sepsis, yaitu sindrom klinis akibat infeksi dan
respon inflamasi sistemik (SIRS).
Severe sepsis, yaitu komplikasi pada sepsis akibat
disfungsi organ.
Septic shock, yaitu severe sepsis disertai kegagalan
respirasi akut, tidak jelas sebabnya.
Pasca International Sepsis Definitions Conference 2001,
dibentuk Surviving Sepsis Campaign (SSC) untuk
memperbaiki pengenalan dini Sepsis (Levy, 2003),
melalui panduan tatakelola sepsis (management guidline
budled) sebagai rekomendasi praktik terbaik
meningkatkan efisiensi dan efektifitas terapi medis
Sepsis (Dellinger et al, 2012). Konsep Early Goal Direct
Theraphy (EGDT) dari River at al (2001) (Nguyen &
Smith, 2007) kemudian diadopsi menjadi Sepsis
Screening Tools (SST) untuk membantu terapi dini
Sepsis (Daniels, 2010) (ditampilkan pada tabel 2).
Mortalitas sepsis meningkat akibat kerancuan terminologi.
Sepsis yang diklasifikasikan sebagai penyakit pada ICD-
10, sering dipertukarkan dengan Septikemia yang
berbasis ICD-9. Pada ICD-9-CM, Sepsis diklasifikasi
sebagai Syndrom (AHA, 2012), namun tidak terdapat
diskripsi kode diagnostik Sepsis (Gaieski, et.al, 2013).
Diagnosis Sepsis dalam ICD-9-CM adalah hasil
kombinasi kode beberapa penyakit, dan mengacu pada
Septikemia dengan kode numeric 038.9. Unspecified
septicemia. Sedangkan dalam ICD-10 (WHO, 2010,
2015), Sepsis adalah penyakit dengan pengkodean
alphabetik-numerik tersendiri sebagai primary or
principal or main diagnosis, yaitu A.41.9 Sepsis,
unspecified, yang dapat termasuk Septikemia.
Septikemia identik dengan istilah “keracunan darah”
yang dapat menyebabkan Sepsis (WSD, 2014). Istilah Septikemia telah dihindari dalam praktek medis modern,
karena kultur darah – meskipun dibutuhkan – bukan
kriteria diagnostik sepsis (Pinson, 2011). Berbagai
temuan laboratorium, bakteri dalam aliran darah lebih
positif pada septikemia (Every, 2009). Uji faktor nuklir
juga sulit membuktikan pengaruh septikemia pada
sepsis (Bernuth et.al, 2005).
ICD adalah panduan internasional proses diagnosis dan
prosedur tindakan dari klasifikasi penyakit, yang direvisi
secara periodik oleh WHO. Untuk mendukung data
statistik kesehatan, relasi permasalahan penyakit dan
kesehatan (Diseases and other related health problems)
mulai diklasifikasi dalam ICD-10 sebagai International
Family Classification (IFC) (data ditampilkan pada tabel
3).
ICD-9 dipublikasi WHO tahun 1978 (WHO, 2010).
Kemudian modifikasi klinis (Clinical Modification)
sistem pengkodean ICD-9 mulai diperkenalkan AS
pada tahun 1999, disebut ICD-9-CM, dengan
pengembangan prosedur pengkodean dan ekspansi
kode diagnosis (AHA, 2012), yang direvisi setiap tahun
untuk menyesuaikan dengan ICD-10. Namun demikan,
revisi periodik ICD-9-CM tidak memadai sebagai
landasan utama klasifikasi penyakit, akibat rendahnya
akurasi data kondisi medis pasien dan prosedur
perawatan pelayanan (Brook, Brook, TT, h.8), dan
menyebabkan AS kesulitan melakukan perbandingan data
internasional mortalitas penyakit yang telah berbasis
pada ICD-10 (CDC). ICD-10 memudahkan kepastian
diagnosis dan prosedur tindakan, dengan akurasi tinggi
dan fleksibel (Brook, TT, h.8). Perbedaan sistem
pengkodean ICD-9-CM dan ICD-10 ditampilkan pada
tabel 3.
Clinical Patway (CP) atau alur klinis adalah konsep
perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum setiap
langkah pelayanan medik, asuhan keperawatan, dan
pelayanan kesehatan lain berbasis bukti, dengan hasil
yang dapat diukur selama waktu tertentu di RS (Rosch et
al, 2005; Feyner et al, 2005; Gardner et al, 1997; dalam
Rivany, 2009). Namun menurut Currie & Harvey
(1997) dalam De Blesser et al. (2006), konsep global CP
di AS digunakan sebagai kerangka kerja menyeimbangkan
Rianayanti Asmira Rasam., Analisi Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien pada Alur Pelayanan Penyakit Sepsis di
Rumah Sakit Tebel 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 105
biaya dan kualitas (cost of quality), dan di Inggris sebagai
kesinambungan seluruh pengaturan perawatan. Dalam
penerapan CP, menurut Rivany (2009) penggunaan
ICD-10 tidak dapat “ditawar” terkait dengan klasifikasi
penyakit.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah studi kasus dengan pendekatan
diskriptik-analitik kualitatif, memakai data primer dan data
sekunder, untuk mendapatkan gambaran penerapan 6
SKP pada alur pelayanan penyakit sepsis di RS Tebet.
yang dilaksanakan bulan April sampai Mei 2015.
Data primer diperoleh dari kuisioner tertutup, sebagai
indikator utama penerapan 6 SKP di RS Tebet, dan hal-
hal yang dianggap belum terjawab atau sebagai
penjelasan tambahan dari data sekunder. Pengambilan
data kuisioner dari 18 jumlah informan berbentuk
purposive sampling. Mulai pimpinan manajemen
tingkat direksi, manajer, kepala unit, dokter, perawat, staf
pendaftaran, sehingga terdapat keseimbangan
representasi antara manajemen selaku penentu kebijakan
dan pelaksana klinis di lapangan. Masa kerja ditetapkan
minimal 2 tahun sebagai indikasi bahwa informan telah
berdaptasi secara baik dengan lingkungan kerja di RS
Tebet.
Untuk data sekunder, digunakan Rekam Medis (RM)
seluruh pasien Sepsis selama penelitian dilakukan.
Karenanya tidak dilakukan perhitungan sampel. Jenis-
jenis tindakan pelayanan dalam RM, dianalisa dan
disesuaikan dengan pengelompokan setiap variable 6
SKP. Selain itu, dilakukan observasi untuk mendapatkan
gambaran aktifitas pelayanan secara langsung.
Pada pengolahan data, pendapat-pendapat kuisioner
dikelompokkan dalam klasifikasi setiap variabel 6 SKP,
dan dilakukan koding berbentuk tabel frekuensi berupa
angka persentase (%);
1. Efektif (E), untuk jawaban Ya (Y)
2. Kurang Efektif (KE), untuk jawaban Netral atau
Ragu (N)
3. Tidak Efektif (TE), untuk jawaban Tidak (T)
4. Tidak Menjawab (TM), untuk tanpa jawaban atau
kolom jawaban tidak terisi.
Alat ukur yang digunakan adalah Skor Elemen Penilaian
(EP) Survei Akreditasi RS (KARS, 2014), sebagai
pendekatan jika hasilnya berubah-ubah akan tidak cukup
berarti,yaitu:
Tercapai Penuh (TP) = 10 ( 80% – 100% )
Tercapai Sebagian (TS) = 5 ( 20% – 79% )
Tidak Tercapai (TT) = 0 ( < 19% )
Tidak Dapat Diterapkan (TDD) (tidak digunakan,
dan ditiadakan dalam penelitian ini).
Prinsip Skor EP Survei Akreditasi RS (KARS, 2014)
yang diadopsi dari JCI, adalah konsisten dan relevansi
kondisi dengan pelayanan pasien, baik ditingkat
pimpinan manajemen maupun staf operasional.
Selanjutnya dilakukan uji hipotesis sederhana untuk
memastikan korelasi parsial antara persepsi informan
dan jumlah realisasi utilisasi 6 SKP. Derajat kesalahan
ditetapkan 5% atau tingkat kepercayaan 95%. Jika
diperoleh derajad signifikan lebih besar dari 95%, maka
dipastikan terdapat hubungan yang kuat antara hasil
kuisioner dengan jumlah utilisasi dari 6 SKP yang
diterapkan pada alur pelayanan penyakit Sepsis di RS
Tebet.
Untuk memenuhi etika penelitian, peneliti mengajukan
surat permohonan pengambilan data kepada Direktur
Utama RS. Tebet, dilengkapi dengan informed consent
untuk memberikan jaminan bahwa seluruh data
kuisioner tidak terkait dengan penilaian kerja, serta
disimpan secara rahasia dan hanya bisa diakses oleh
peneliti untuk kepentingan ilmiah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data hasil penelitian ditampilkan pada tabel 5 sampai
dengan 7 serta gambar grafik 1 sampai dengan 3.
Berdasarkan data rekam medis pasien, LOS pelayanan
atau perawatan pasien Sepsis adalah 10 hari. Proses
diagnosis telah berbasis kode ICD-10, dengan diagnosis
klasifikasi Sepsis. Pemeriksaan MO kultur dilakukan
sebagai prosedur rutin penegakkan diagnosis sepsis.
Penegakan diagnosis Sepsis belum menggunakan
Screening Tool, sehingga kurang efisiensi dan efektifitas,
serta dapat meningkatkan potensi keterlambatan
diagnosis dan peluang insiden KP.
Dalam hal tingkat transformasi KP, hasil masih relatif
sangat rendah (1:1,5713). Kontribusi dari jumlah 38%
yang mengikuti pelatihan KP terhadap tingkat pemahaman
KP seluruh informan hanya mencapai 61.11%. Jika
dikonversi, maka pemahaman KP dari 3 orang diperoleh
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 106
atas usaha 2 orang lainnya. Rerata, efektifitas pemahaman
SKP adalah 69.015%, tidak signifikan mengubah hasil
total skor 6 SKP yaitu 5 (TS) dalam penelitian ini.
Nilai Skor 10 (TP) dicapai pada penerapan SKP 4 (Tepat
lokasi-prosedur-operasi) dan SKP 6 (Mengurangi resiko
pasien jatuh). Sedangkan SKP 1 (Ketepatan Identifikasi
Pasien), SKP 2 (Meningkatkan efektifitas komunikasi),
SKP 3 (Meningkatkan kewaspadaan obat yang perlu
diwaspadai), dan SKP 5 (Mengurangi risiko infeksi),
keempatnya memperoleh skor 5 (TS).
Penelitian ini berhasil mendapatkan derajat signifikan
96,283%, lebih tinggi dari tingkat kepercayaan 95%
yang ditetapkan, atau dengan tingkat kesalahan 5%,
terhadap korelasi perapanan 6 SKP dengan persepsi
kuisioner mengenai 6 SKP. Secara keseluruhan,
penerapan tatakelola dari ke-6 SKP memperoleh skor
5(TS). Total jumlah penerapanan utilisasi 6 SKP yang
dicapai adalah 307 aktifitas (66,45%) dari total utilisasi
tatakelola 6 SKP yang berjumlah 462 aktifitas (100%).
Jika standar minimal Skor EP Survey dikonversi, yaitu
370 aktifitas, maka selisih antara capaian 6 SKP dengan
EP Survey adalah 63 aktifitas (17,02%).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam
persiapan mengikuti SARS 2012, RS Tebet belum
berdaptasi dengan konsep 6 SKP yang menjadi bagian
penilaian SARS 2012. Pola pelayanan masih lebih
berorientasi manajemen, dan cenderung bersifat atas-
bawah, sehingga mengurangi tingkat partisipasi aktif staf
operasional atau medis dalam penerapan SKP,
khususnya pada SKP 1, SKP 2, SKP 3, dan SKP 5.
Prosedur identifikasi pasien masih beragam, dan belum
menjadikan gelang identitas pasien sebagai standar
identifikasi. Konfirmasi instruksi lisan dan telephone dalam
kaitannya dengan perawatan medis, kurang optimal,
ditandai dengan minimnya tanda-tangan pemberi atau
penerima pesan/instruksi pada lembaran instruksi.
Tindakan pencegahan risiko infeksi lebih terfokus pada
mekanisme “cuci-tangan” tetapi tidak konsisten.
Penggunaan alat-alat disposal belum dimaksimalkan, dan
kebijakan pengendalian risiko infeksi tidak tersosialisasi
baik.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Penelitian berhasil memastikan tatakelola SKP pada
alur pelayanan penyakit sepsis di RS Tebet, dengan
derajat signifikan 96,283%, lebih tinggi dari tingkat
kepercayaan 95%.
2. Penelitian ini berhasil membuktikan 6 SKP sebagai
tatakelola pelayanan penyakit sepsis.
1) transformasi KP lebih praktis dan terukur
2) terapi medis penyakit Sepsis lebih efektif
3) utilisasi 6 SKP memiliki nilai investasi
3. Utilisasi 6 SKP dapat mendiskripsikan jumlah
aktifitas alur pelayanan penyakit sepsis.
4. Diagnosa dan prosedur tindakan penyakit sepsis
dengan ICD-10 lebih akurat dan aman.
5. Belum diterapkannya ST pada penyakit Sepsis,
menjadikan pelayanan kurang efektif dan efisien,
yang berpotensi menyebabkan keterlambatan terapi
dan meningkatkan risiko KP.
6. Pelayanan RS Tebet masih berfokus manajemen,
dan belum berorientasi pada SKP.
Saran
1. Kebijakan
1) Menjadikan 6 SKP sebagai tatakelola sepsis,
dan atau diterapkan pada penyakit lain.
2) RS Tebet perlu menerapkan SOP SKP di area-
area pelayanan yang berpotensi risiko tinggi
insiden KP, seperti IGD, IRNA, OK, ICU,
Farmasi, Laboratorium, Radiologi.
3) Penelitian ini dapat dijadikan dasar acuan
dalam pembuatan COT (Cost Of Treatment).
4) Nilai investasi SKP belum diperhitungkan
sebagai insentif pelayanan kesehatan.
2. Operasional
1) Mengoptimalisasikan fungsi-tugas KKP-RS
sebagai instrumen KP RS Tebet.
Membentuk keorganisasian KKP-RS yang
efektif, efisien, independen atau mandiri, yang
mengedepankan azas transparansi dan juga
akuntabilitas
Memperjelas kewenangan KKP-
RS menerima laporan insiden, menganalisa,
dan memberikan solusi sebagai kebijakan RS
berdasarkan konsep “Error Tolerance”.
Rianayanti Asmira Rasam., Analisi Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien pada Alur Pelayanan Penyakit Sepsis di Rumah Sakit Tebel 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 107
Mempertegas kewenangan KKP-
RS untuk melakukan obversasi dan penilaian.
Menyelenggarakan pelatihan dan
workshop KP secara periodik
2) Dalam persiapan SARS 2012, RS Tebet perlu
melakukan upaya-upaya untuk memberdayakan
penerapan 6 SKP
SKP1
Menjadikan GIP atau GPP sebagai standar
identifikasi pasien
SKP2
Meningkatkan akuntabilitas serta
transparansi atas komunikasi atau informasi
melalui sebuah protab konfirmasi instruksi
dan tanda-tangan sebagai prosedur atau
mekanisme kontrol
SKP 3
Integrasi dan pemberdayaan tatalaksana
obat High Alert NORUM atau LASA
pada unit-unit pelayanan strategis, seperti
IGD, ICU, IRN, OK, dengan turut
melibatkan peran aktif unit Farmasi
dalam pembuatan daftar dan pemberian
lebel High Alert pada obat-obat
NORUM/LASA. Tatalaksana obat High
Alert NORUM/LASA perlu untuk
dilengkapi fasilitas penyimpanan, disertai
kewenangan Hak Akses
SKP 4
Keterlibatan pasien dan keluarga pasien
perlu lebih ditingkatkan
SKP 5
Meningkatkan peran-aktif staf medis atau
operasional sebagai gugus depan kendali
bahaya infeksi
SKP 6
Mengedukasi para pasien serta keluarga
pasien sebagai solusi mengurangi
insiden resiko pasien jatuh.
3) Untuk hal-hal yang masih membutuhkan
waktu dan kajian manajemen, maka dapat
diterapkan Standar Pelayanan Minimum
(SPM) yang bersifat sementara waktu.
DAFTAR PUSTAKA American Hospital Association, 2012, Coding Clinic Alphabetical Index,
Instructions for use of the Coding Clinic for ICD-9-CM, [diakses 10 Februari
2015]
A_ New,_Evidence_based_Estimate _of_Patient_Harms.2.pdf
http://www.ahacentraloffice.org/PDFS/2013PDFs/2012CodingClinicAlphaInde
x.pdf. Brook (TT), dalam ICD-10_Overview_Presentation, Center for Medicare and
Medicaid Services (CMS), [diakses 23 Maret 2015], https://www.
cms.gov/Medicare/Medicare-Contracting/ ContractorLearningResources/downloads/ICD-
10_Overview_Presentation.pdf.
Daniels R., 2010, Defining the Spectrum of Disease, dalam Daniels R, Nutbeam T (eds), ABC of Sepsis. Chichester: Wiley Blackwell.
De Bleser, et al, 2006, Difining Pathway, Journal of Nursing Management, 14:
553–563, Blackwell Publishing [diakses, 9 April, 2015] http://ppr. cs.dal.ca/sraza/files/CP-1.pdf
Depkes RI –PERSI, 2006, Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
Depkes RI –PERSI, 2008, Panduan Nasional Keselamatan Pasien, Edisi 2. Grol, RTPM., et al, 2007, Planning and Studying Improvement in Patient Care:
The Use of Theoretical Perspectives, The Milbank Quarterly, Vol. 85, No.
1, pp. 93–138, [diakses, 9 April, 2015] James, 2013, A New Evidence-based Estimate of Patient Harms Associated with
Hospital Care, Journal Patient Safety, 9: 122-128, [diakses 10 Februari,
2015], http://pdfs.journals.lww.com/journal patientsafety/2013/09000/ Joint Commission International, 2011, Accreditation Standards For Hospitals, 4th
Edition, [diakses 3 Maret, 2015] http://www.mintie.com/pdf/edu cation
/JSI_4th_edition_standards.pdf. Joint Commission International, 2014, Transforming patient safety and quality of
care. [diakses 10 Februari, 2015], http://www.jointcommissioninternational
.org Juknis_Sistem_INA_CBGs_.pdf
Junadi, P. 2008, Aplikasi Studi Kasus Dalam Manajemen, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, [diakses 9 April, 2015] https://staff.
blog.ui.ac.id/purnawan/files/2008/06/studi-kasus.pdf
Kementrian Kesehatan RI, 2012, Standar Akreditasi Rumah Sakit, KARS, DITJEN BUK.
Kementerian Kesehatan RI, 2012, Modul Tatalaksana Standar Pneumonia,
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Komisi Akreditasi Rumah Sakit, 2014, Pedoman Tata Laksana Survei Akreditasi
Rumah Sakit, Edisi 3.
Leape LL, et al, 1998, Promoting Patient Safety by Preventing Medical Error, Editorial, JAMA,Vol 280, No. 16 October 28, [diakses 29 Januari, 2015],
ftp://72.167.42.190/solutionleaders/pdf/
PromotingPatientSafetybyPreventingMedicalError_ JAMA102898.pdf Lever A & Mackenzie I, 2007, Sepsis: definition, epidemiology, and diagnosis,
British Medical Journal, Vol. 335 (879-8327), October, [diakses 23 Maret
2013] http://www.ncbi.nlm.nih.gov /pmc/articles/PMC2043413/pdf/bmj-335-7625-cr-00879.pdf
Levy MM et al, 2003, 2001 SCCM/ESICM /ACCP/ATS/SIS International Sepsis
Definitions Conference, Critical Care Medicine, Vol. 31, No. 4, Lippincott Williams & Wilkins, [diakses 10 Februari 2015] http://www.
esicm.org/upload/ file4.pdf
Nolan TW, 2010, System changes to improve patient safety, BMJ, Vol. 320, 18
March, [diakses 3 Maret 2015] http://www.ncbi.nlm.nih.gov /pmc/articles
/PMC1117771/pdf/771.pdf
Pierrakos C., Vincent JL, 2010, Sepsis biomarkers: a review, Crit Care. 2010;14(1):R15, BioMed Central Ltd, [diakses 23 Maret 2015], http://
www.ccforum.com/content/pdf/cc8872.pdf
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 27 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups, [diakses 23 Maret 2015]
http://sinforeg.litbang.depkes.go.id/upload /reg ulasi/PMK_No._27 _ttg_.
Pusat Bahasa, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 4, Departemen Pendidikan Nasional, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Reinhart, K, 2013, The burden of sepsis – a call to action in support of World Sepsis
Day 2013, [diakses 23 Maret 2013] http://www.jccjournal. org/article/S0883-9441%2813%2900121-4/pdf
Rivani R., 2009, Clinical Pathway & Cost of Treatment Dalam Mendukung
Indonesia Diagnosis Related Groups (INA-DRGs), Workshop, PERSI, Jakarta.
Shadily, H., Echols, JM., 2014, Kamus Inggris-Indonesia, Ed. 3, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta. Singh, H. et al, 2013, Types and Origins of Diagnostic Errors in Primary Care
Settings, JAMA INTERN MED, Vol 173, No. 6, March 2, [diakses, 9
April, 2015], http://www. ajustnhs.com/wp-content/uplo ads/2012/10/diag-errors-JAMA-2013.pdf
Undang Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, [diakses 29
Januari 2015], http://www.gizikia.depkes.go.id/wpcontent/uploads/downlo ads/2012/07/UU-No.-44-Th-2009-ttg-Rumah-Sakit.pdf.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 108
United Nation, 1948, General Assembly of the United Nation, The Universal
Declaration of Human Rights. Palais de Chaillot, Paris; Dec 10, [diakses 20 Februari, 2015] http://www.un.org/en/docu ments/udhr/ .
Utarini, A., 2011, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada, [diakses 23 Maret, 2015] http://kebijakankesehatanindonesia.net.
Vincent JL, 2009, Definition of Sepsis and Non-infectious SIRS,[diakses 10
Februari 2015] http://www.wiley-vch.de/books/sample/3527319352_c01. pdf.
Vincent, C., 2010, Patient Safety, 2nd edition, John Wiley & Sons, Ltd, Chichester,
UK.. Wachter, 2004, The End Of The Beginning: Patient Safety Five Years After ‘To Err
Is Human’, Health Affair, W4.534. November 30 [diakses, 29 Januari,
2015] http://content.healthaffairs.org/content/early/2004/11/30/hlthaff.w4. 534.full.pdf
Weber, Stefanie & Steven, 2009, Sepsis on the death certificate – Is a change to
rule 3 necessary? [diakses 3 Maret, 2015] http://www.who.int/c lassifications/network/D030_MRG.pdf.
Weingart et.al, 2000, Epidemiology of medical error, British Medical Journal, 320,
March. [diakses, 3 Maret 2015] http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/ articles/PMC1117772/pdf/774.pdf
WHO, 2005, World Alliance for Patient Safety, Final Brochure, forward
programme, [diakses 29 Januari, 2015] http://www.who.int/patientsafet y/en/brochure_final.pdf.
WHO, 2010, International Statistical Classification of Diseases and Related
Health Problems ICD-10. Vol.2. [diakses 29 Januari 2015] http://www.who.int/classifications/icd/ICD10Volume
2_en_2010.pdf
WHO, 2015, ICD-10 Online Version:, [diakses 10 dan 20 Februari 2015] http://apps.who.int /classifi cations/icd10/browse/2015/en
WHO & JCI, 2007, Preamble and Patient Safety Solutions, Collaborating Centre
for Patient Safety Solution. [diakses 20 Februari 2015] http://www. jointcommissioninternational.org
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2690312/pdf/milq0085-0093.pdf
Wibowo, A, 2014, Metodologi Penelitian Praktis Bidang Kesehatan, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Tabel 1. 6 SKP Berbasis IPSG
Sumber: SARS 2012 dan JCI (2011)
Rianayanti Asmira Rasam., Analisi Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien pada Alur Pelayanan Penyakit Sepsis di Rumah Sakit Tebel 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 109
Tabel 2. Sepsis atau Severe Sepsis Screening Tool
Sumber: Diaopsi dari Daniel, 2010
Tabel 3. Tahun Revisi dan Pemakaian ICD Revisi Tahun Pemakaian
Ke-1 1900-09
Ke-2 1910-20
Ke-3 1921-29
Ke-4 1930-38
Ke-5 1939-48
Ke-6 1949-57
Ke-7 1958-67
Ke-8 1968-78
Ke-9 1979-98
Ke-10 1999-sekarang
Tabel 4. Perbedaan sistem pengkodean ICD-9-CM dan ICD-10
Sumber: Centre for Desease Control and Prevention (CDC)
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 110
Tabel 5. Perbandingan Clinical Pathway dan Tatakelola 6 SKP
No
Aktifitas Pelayanan U
Clinical Pathway Tatakelola SKP IGD ICU OK IRN
Identifikasi Pasien (SKP1)
a. Admission/Pendaftaran x
1. Pendaftaran pasien/data komputer x
1 Admission 2. Anamnesa, Pemeriksaan Fisik, Diagnosa kerja x
b. Pemasangan Gelang Pasien
1. Gelang indentitas (LK/P) x
2. Gelang Penanda (Alergi/Jatuh/Rescusitasi) x
Identifikasi Pasien (SKP 1)
b. 1. Gelang Indentitas (LK/P) x x x x
2. Gelang Penanda (Alergi/Jatuh/Rescusitasi) x x x x
c. Pada saat pemberian obat x x
d. Pada saat pengambilan/spesimen lain x x
e. Pada saat pemberian darah/produk darah x x x
d. Sebelum memberikan pengobatan x x x x
f. Sebelum memberikan tindakan x x x x
2 Diagnostic Komunikasi (SKP 2)
a. Lembar perintah lisan x x x x
b. Lembar perintah melalui telephone/handphone x x x x
c. Lembar laporan pemeriksaan klinis kritis atau x x x x
rekam medis dari dokter jaga kepada konsulen
Pengurangan risiko jatuh (SKP 6)
a. Pengawasan perpindahan pasien x x x x
b. Kelengkapan alat bantu jalan x x x x
c. Evaluasi pasien jatuh (humpty dumpty scale) x x x x
Identifikasi Pasien (SKP 1)
b. 1 Gelang Indentitas (LK/P) x x x x
2. Gelang Penanda (Alergi/Jatuh/Rescusitasi) x x x x
Peningkatan keamanan obat yang diwaspadai (SKP 3)
a. Kewaspadaan NORUM/LASA x x x x
b. Lokasi penyimpanan obat (pembatasan akses) x x x x
c. Pemberian label "High Alert" x x x x
Pengurangan resiko infeksi (SKP 5)
3 Pra-Therapy a. Kebersihan tangan (hand hygiene) x x x x
b. Penggunaan alat sekali pakai
1. Penggunaan sarung tangan sekali pakai x x x x
2. Penggunaan alat suntik sekali pakai x x x x
c. Keamanan dan kebersihan peralatan standar x x x x
Tepat lokasi, tepat prosedur, tepat operasi (SKP 4)
a. Penandaan lokasi operasi pada tubuh pasien x
b. Verifikasi lokasi, prosedur, dan tepat pasien x
c. Pemeriksaan ulang kelengkapan dokumen & terpampang di R.Operasi x
d. Pemeriksaan ulang peralatan operasi x
f. Time-out sesaat sebelum operasi akan dimulai x
Identifikasi Pasien (SKP 1)
b. 1 Gelang Indentitas (LK/P) x x x x
2. Gelang Penanda (Alergi/Jatuh/Rescusitasi) x x x x
c. Pada saat pemberian obat x x x x
d. Pada saat pengambilan/spesimen lain x x x x
e. Pada saat pemberian darah/produk darah x x x x
d. Sebelum memberikan pengobatan x x x x
f. Sebelum memberikan tindakan x x x x
Peningkatan keamanan obat yang diwaspadai (SKP 3)
4 Therapy a. Kewaspadaan NORUM/LASA x x x x
b. Lokasi penyimpanan obat (pembatasan akses) x x x x
c. Pemberian label "High Alert" x x x x
Pengurangan resiko infeksi (SKP 5)
a. Kebersihan tangan (hand hygiene) x x x x
Rianayanti Asmira Rasam., Analisi Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien pada Alur Pelayanan Penyakit Sepsis di
Rumah Sakit Tebel 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 111
No
Aktifitas Pelayanan U
Clinical Pathway Tatakelola SKP IGD ICU OK IRN
b. Penggunaan alat sekali pakai
1. Penggunaan sarung tangan sekali pakai x x x x
2. Penggunaan alat suntik sekali pakai x x x x
c. Keamanan dan kebersihan peralatan standar x x x x
Pengurangan risiko jatuh (SKP 6)
a. Pengawasan perpindahan pasien x x x x
b. Kelengkapan alat bantu jalan x x x x
c. Evaluasi pasien jatuh (humpty dumpty scale) x x x x
Identifikasi Pasien (SKP 1)
b. 1 Gelang Indentitas (LK/P) x x x x
2. Gelang Penanda (Alergi/Jatuh/Rescusitasi) x x x x
c. Pada saat pemberian obat x x x x
d. Pada saat pengambilan/spesimen lain x x x x
e. Pada saat pemberian darah/produk darah x x x x
d. Sebelum memberikan pengobatan x x x x
f. Sebelum memberikan tindakan x x x x
Komunikasi (SKP 2)
a. Lembar perintah lisan x x x x
b. Lembar perintah melalui telephone/handphone x x x x
c. Lembar laporan pemeriksaan klinis kritis atau RM (dokter jaga-konsulen) x x x x
5 Follow-up Peningkatan keamanan obat yang diwaspadai (SKP 3)
a. Kewaspadaan NORUM/LASA x
b. Lokasi penyimpanan obat (pembatasan akses) x
c. Pemberian label "High Alert" x
Pengurangan resiko infeksi (SKP 5)
a. Kebersihan tangan (hand hygiene) x x x x
b. Penggunaan alat sekali pakai x x x x
1. Penggunaan sarung tangan sekali pakai x x x x
2. Penggunaan alat suntik sekali pakai x x x x
c. Keamanan dan kebersihan peralatan standar x x x x
Pengurangan risiko jatuh (SKP 6)
a. Pengawasan perpindahan pasien x x x x
b. Kelengkapan alat bantu jalan x x x x
c. Evaluasi pasien jatuh (humpty dumpty scale) x x x x
Identifikasi Pasien (SKP 1) x x x x
6 Discharge a. Admission/Pendaftaran
b. 1 Gelang Indentitas (LK/P)
2. Gelang Penanda (Alergi/Jatuh/Rescusitasi)
Tabel 6. Hasil Kuisioner
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 112
Gambar 1. Grafik Hasil Nilai Efektif Hasil Kuisioner 6 SKP ( % )
Rianayanti Asmira Rasam., Analisi Tatakelola Sasaran Keselamatan Pasien pada Alur Pelayanan Penyakit Sepsis di
Rumah Sakit Tebel 2015
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 113
Tabel 7. Total Utilisasi Tatakelola 6 SKP
Gambar 2. Grafik Perbandingan Jumlah Utilisasi 6 SKP dan Capaian RST
Gambar 3. Grafik Perbandingan Selisih Utilisasi Tatakelola 6 SKP
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 115
Audit Implementasi Clinical Pathway Diare Akut di Rumah Sakit Anak dan
Bunda Harapan Kita Tahun 2016
Audit of Clinical Pathway Implementation in Acute Diarrhea at Women and Children
Harapan Kita Hospital in 2016
Desy Rachma Sari
Program Studi Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit Indonesia
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia,
*E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi clinical pathway pada kasus diare akut dengan proses
audit. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dan kualitatif dengan menggunaan konsep operational research dengan
metode telaah dokumen, telaah data dan wawancara mendalam. Hasil penelitian didapatkan topik audit adalah
implementasi clinical pathway diare akut dengan tujuan menilai kelengkapan pengisian clinical pathway,
kepatuhan DPJP, PPJP, Gizi dan Farmasi serta menilai kesesuaian lama hari rawat dengan clinical pathway.
Standar penilaian yang digunakan adalah standar nasional yaitu KARS. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa
kelengkapan pengisian clinical pathway 25%, tidak ditemukan variasi pada pemeriksaan laboratorium, asuhan
nutrisi dan asuhan keperawatan, namun pada tata lakasana diare akut masih ditemukan variasi pada obat tambahan
sebesar 41%, dan lama hari rawat sudah sesuai yaitu 3,3 hari. Beberapa hal yang perlu rumah sakit lakukan adalah
mengembangkan kebijakan terkait clinical pathway, memperbaiki formulir clinical pathway dan sistem sosialisasi,
membuat petunjuk teknis clinical pathway, sistem monitoring dan evaluasi, serta menurukan standar lama hari
rawat dan diskusi terkait variasi terapi.
Kata kunci: clinical pathway, acute diarrhea; audit.
ABSTRACT
This study aims to determine the implementation of clinical pathway of acute diarrhea with the audit process. This
type of research is quantitative and qualitative by using operational research concept with document review
method, data analysis and in-depth interview. The result of the research shows that the audit topic is the
implementation of clinical pathway of acute diarrhea with the aim to assessing completeness of clinical pathway,
compliance of primary responsible physician, primary responsible nurse, nutrition and pharmacy and assessing
the length of stay with clinical pathway. Assessment standard used is the national standard that is KARS. The
result of measurement showed that completeness of filling clinical pathway 25%, no variation on laboratory
examination, nutrition and nursing care, but still found variation on additional drug 41%, and length of stay was
3.3 day. Some things that hospital need to do is developed policies related to clinical pathway, improve clinical
pathway forms and socialization systems, make clinical pathway technical guidance, monitoring and evaluation
systems, and reduce standards length of stay and discussion of variations in therapy.
Keywords: Clinical pathway; acute diarrhea; audit.
PENDAHULUAN
Mutu merupakan gambaran dari sifat suatu jasa pelayanan
atau kinerja yang merupakan bagian dari strategi perusahaan
dalam rangka mendapatkan keunggulan-keunggulan
yang berkesinambungan. Rumah sakit dituntut untuk
senantiasa melakukan peningkatan mutu pelayanan secara
terus menerus. Berdasarkan undang-undang nomor 44
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 116
tahun 2009 tentang rumah sakit menjelaskan bahwa
untuk meningkatkan mutu pelayanan, rumah sakit harus
memiliki peraturan internal rumah sakit (hospital by laws)
dan peraturan staf medis rumah sakit (medical staff by
law). Peraturan tersebut disusun dalam rangka
menyelenggarakan tata kelola perusahaan yang baik
(good corporate governance) dan tata kelola klinis yang
baik (good clinical governance).
Clinical governance merupakan pendekatan secara
sistematis untuk pengelolaan jaminan dan pengendalian
mutu pelayanan klinis. Clinical governance memiliki 4
komponen penting yaitu clinical effectiveness, patient
safety, patient focus dan continuing professional
development (Connell L, 2014). Bentuk pelaksanaan
clinical effectiveness adalah clinical pathway. Clinical
pathway berfungsi untuk standarisasi proses perawatan
sehingga mengurangi variasi pelayanan dan efisiensi
sumber daya. Clinical pathway juga merupakan salah
satu elemen yang dinilai pada akreditasi rumah sakit.
RSAB Harapan Kita sudah menerapkan komponen
dalam clinical governance, yaitu clinical effectiveness.
Adapun clinical effectiveness mencakup evidence-
infomed practice, clinical guideline, dan clinical audit.
RSAB Harapan Kita sudah memiliki tujuh Clinical
pathway, salah satunya yaitu Diare Akut.
Indonesia merupakan negara berkembang yang
memiliki iklim tropis dan endemik dengan beberapa
penyakit infeksi menular seperti DHF dan diare. IR
penyakit Diare pada tahun 2000 sebesar 301/ 1000 penduduk,
tahun 2003 naik menjadi 374 /1000 penduduk, tahun 2006
naik menjadi 423 /1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi
411/1000 penduduk (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Pada tahun 2007 tercatat 16,7% dari jumlah populasi
anak yang berusia <5 tahun (1-4 tahun) menderita diare
di Indonesia. Di Indonesia, diare menjadi penyebab
utama kematian pada balita, yaitu 25,2%, lebih tinggi
dibanding pneumonia, 15,5% (Riskesdas, 2007).
Berdasarkan data Informasi Rekam Medik dan
Informasi Kesehatan jumlah kasus diare akut di RSAB
Harapan Kita termasuk dalam 10 penyakit terbesar di
Instalasi Rawat Inap dari tahun 2014 sampai 2016
(IRMIK RSAB Harapan Kita, 2014-2016).
WHO dan UNICEF meluncurkan Rencana Aksi Global
untuk Pneumonia dan Diare (GAPPD), yang mengusulkan
pendekatan multi sektoral dan terpadu untuk mengurangi
kejadian pneumonia berat dan diare, mengurangi jumlah
anak balita yang kerdil, dan mencegah kematian anak
akibat pneumonia dan diare (WHO/UNICEF, 2013).
Maka dari itu, dibutuhkan standar tata laksana yang
dijadikan panduan di rumah sakit seperti clinical pathway
yang selalu dimonitoring dan dievaluasi berdasarkan acuan
standar yang ditetapkan agar pelayanan yang diberikan
oleh petugas kesehatan dapat terintegrasi dengan baik.
TINJAUAN PUSTAKA
Clinical governance merupakan pendekatan secara
sistematis untuk pengelolaan jaminan dan pengendalian
mutu pelayanan klinis. Clinical governance menjamin
keberlangsungan jaminan mutu dan menyempurnakan
mutu dalam pelayanan klinis (Koentjoro, 2011). Konsep
clinical governance yang dikembangkan oleh National
Health System (NHS), Inggris yang didefinisikan sebagai
kerangka kerja yang digunakan organisasi NHS untuk
bertanggung jawab secara terus menerus meningkatkan
kualitas layanan mereka dan menjaga standar tinggi
perawatan yang diberikan dengan menciptakan suatu
keunggulan dalam perawatan klinis dan terus berkembang
(Zahir, 2001) (Australian Council on Healthcare Standards,
2004).
Empat Komponen/Pilar Utama Clinical Governance
adalah Clinical Effectiveness, Patient Safety, Patient Focus
dan Continuing professional development. Komponen kunci
dalam clinical effectiveness adalah Evidence-informed
practice, Clinical guidelines dan Clinical audit (Connell
L, 2014; Koentjoro, 2011).Audit klinik adalah proses
siklus yang dapat diuraikan dalam beberapa tahap.
Menurut NHS, proses audit terdiri dari 7 (ditampilkan
pada gambar 1).
Hughes (2012) menjelaskan bahwa proses audit itu terdiri
dari 4 langkah (ditampilkan pada gambar 2). Mengacu
kepada teori Hughes (2012) dan NHS (2010), kerangka
konsep dikembangkan untuk mendapatkan proses audit
yang akan digunakan dalam penelitian ini (ditampilkan
pada gambar 3). Pada teori Hughes, peneliti menggunakan
proses audit kliniknya sebagai kegiatan utama yang
dilakukan yaitu perencanaan, pengukuran, analisis hasil
temuan, rekomendasi perbaikan dan melakukan perbaikan.
Rincian kegiatan berdasarkan variabel yang akan diteliti
adalah pada tahap perencanaan peneliti memilih topik
yang akan diaudit, menetapkan tujuan, menetukan
standar. Tahap pengukuran dilakukan penelitian mengenai
kelengkapan pengisian clinical pathway, Kepatuhan
Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP), Perawat
Penanggung Jawab Pasien, Gizi dan Farmasi terhadap
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 117
clinical pathway dan lama hari rawat. Hasil dari variabel
tersebut selanjutnya akan dilakukan analisis dan memberikan
rekomendasi sesuai dengan masalah yang ditemukan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif
dengan telaah dokumen dan dilanjutkan dengan kualitatif
dengan menggunakan metode wawancara mendalam.
Jenis Penelitian ini adalah penelitian operasional.
Penelitian operasional adalah metode ilmiah yang
digunakan untuk pemecahan masalah, dimulai dengan
merumuskan masalah sampai kesimpulan untuk
memberikan solusi terhadap masalah tersebut (Kulej,
2011). Penelitian dilakukan di RSAB Harapan Kita yang
dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2017.
Populasi penelitian adalah semua formulir clinical
pathway kasus diare akut yang terintegrasi dengan rekam
medis di RSAB Harapan Kita pada bulan Januari sampai
Desember 2016 yaitu 163 kasus. Berdasarkan
perhitungan sampel di atas didapatkan jumlah sampel
maksimum adalah 61 kasus.
Sampel diambil berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria
eksklusi. Kriteria inklusi yaitu diare akut viral dan
tidak/disertai muntah dan/atau diare bukan karena
penyakit kronik dengan maupun tanpa demam, mual,
nyeri perut, semua derajat dehidrasi. Kriteria eksklusi
yaitu Diare > 7 hari, Diare berdarah dan Komorbiditas
(penyakit kompleks, gagal ginjal, penyakit jantung, gizi
buruk, pneumonia). Teknik pengambilan sampel adalah
rekam medis diambil secara acak berdasarkan urutan
mulai tanggal 1 Januari s/d 31 Desember 2016 dengan
metode simple random sampling menggunakan
program software Microsoft Excel.
Informan dalam penelitian ini adalah individu – individu
yang terkait dengan proses implementasi clinical
pathway kasus Diare Akut anak RSAB Harapan Kita
dan dipilih berdasarkan kesesuaian dan kecukupan.
Informan akan dipilih secara purposive sampling dengan
menentukan informan kunci kemudian menggunakan
metode snowballing sampling untuk memilih narasumber
selanjutnya. Informan penelitian ini adalah Dokter
Penanggung Jawab Pasien (DPJP) Diare Akut Anak,
Perawat Penanggung Jawab Pasien, Farmasi dan Ahli
gizi serta Komite Medik.
Setelah pengumpulan data kuantitatif, dilakukan proses
manajemen data yaitu editing, coding, entry dan cleaning
data sedangkan data kualitatif akan dilakukan proses
reduksi dalam bentuk matriks, penyajian dan verifikasi
data. Penelitin ini menggunakan validasi data dengan cara
triangulasi sumber dan triangulasi metode.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perencanaan
Perencanaan dalam audit implementasi clinical pathway
terdiri dari menentukan topik, menetapkan tujuan dan
menetapkan standar. Penentuan topik diambil berdasarkan
kasus penyakit terbanyak dalam implementasi clinical
pathway yaitu diare akut. Penentuan topik audit ini
berdasarkan kondisi atau praktik tertentu yang menjadi
prioritas dan memiliki jumlah kasus terbanyak (high
volume) (NHS, 2010) (Connell L, 2014). Setelah
ditetapkan topik kemudian tahap selanjutnya adalah
menetapkan tujuan yang akan dicapai dalam proses audit
ini. Tujuan dibentuk agar proses audit sukses dan tetap
fokus (Hughes, 2012). Berdasarkan hasil wawancara
dengan komite medik didapatkan bahwa tujuan yang
ingin dicapai yaitu menilai kelengkapan pengisian
clinical pathway, menilai kepatuhan DPJP, PPJP, Gizi
dan Farmasi terhadap clinical pathway dan menilai
kesesuaian lama hari rawat pasien terhadap clinical
pathway
Tahap selanjutnya dalah menetapkan kriteria dan stadar
penilaian. Kriteria penilaian disesuaikan berdasarkan
pada tujuan. Kriteria dibuat dalam bentuk pernyataan dan
standar dalam bentuk target atau persentase (NHS, 2010).
Standar penilaian yang digunakan adalah target nasional
yaitu standar KARS. Kriteria dan standar penilaian dalam
audit ini ditampilkan pada tabel 1).
Pengukuran
Persentase kelengkapan pengisian clinical pathway diare
akut pada bulan Januari sampai Desember tahun 2016 di
RSAB Harapan Kita ditampilkan pada tabel 2. Adapun
persentase kelengkapan yang dihitung berdasarkan vaeriabel
clinical pathway ditampilkan pada tabel 3. Di mana
didapatkan hasil telaah formulir clinical pathway diare
akut bukan dari dokumen rekam medis. Telaah formulir
clinical pathway yang dilakukan adalah dengan melakukan
perhitungan pada setiap kolom yang terisi.
Desy Rachma S., Audit Implementasi Clinical Pathway Diare Akut di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Tahun 2016
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 118
Penggunaan obat atau tata laksana pada pasien diare akut
anak pada formulir clinical pathway adalah cairan rehidrasi
oral, cairan intravena, zinc, probiotik, dan antiemetik. Berikut
ini merupakan persentase kesesuaian penggunaan obat
pada pasien diare akut anak dengan clinical pathway
(ditampilkan pada tabel 4).
Terdapat obat tambahan yang diberikan pada tata laksana
pasien diare akut anak pada bulan Januari – Desember
2016 sebesar 41%. Berikut ini persentase obat tambahan
yang diberikan pada tata laksana pasien diare akut anak
pada bulan Januari – Desember 2016 (ditampilkan pada
tabel 5).
Persentase pemeriksaan laboratorium pasien diare akut
anak pada formulir clinical pathway ditampilkan pada
tabel 6.
Asuhan keperawatan, asuhan nutrisi dan lama hari rawat
sudah sesuai dengan clinical pathway hal ini
menunjukkan nilai kepatuhan 100% terhadap asuhan
dan lama hari rawat. Lama hari rawat pada pasien diare
akut anak berdasarkan clinical pathway adalah ≤ 5 hari.
Berdasarkan hasil dalam penelitian ini didapatkan bahwa
rata-rata lama hari rawat adalah 3,3 hari. Berikut ini
merupakan persentase kesesuaian asuhan keperawatan,
asuhan nutrisi dan lama hari rawat dengan clinical
pathway (ditampilkan pada tabel 7).
Analisis Temuan
Hasil pengukuran menunjukan kelengkapan pengisian
clinical pathway sebanyak 25%. Berdasarkan hasil
wawancara diketahui bahwa rendahnya kelengkapan
dalam pengisian ini disebabkan oleh dokter yang merasa
terbebani dengan adanya formulir clinical pathway yang
mengharuskan dokter menulis lebih banyak pada rekam
medis. Selain beban dokter ketidaklengkapan pengisian
disebabkan karena kurangnya sosialisasi sehingga
beberapa tenaga kesehatan masih bingung dan tidak
betul-betul mengetahui adanya formulir clinical pathway.
Selain kendala dalam sosialisasi, berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Widyanita, dkk (2016) diketahui
bahwa responden belum terbiasa sehingga sering lupa,
hal ini karena pelaksanaan penggunaan clinical pathway
barus berjalan selama satu tahun (Widyanita, et al., 2016).
Hal ini juga sejalan dengan hasil wawancara bahwa
clinical pathway disusun pada tahun 2014-2015 dengan
proses uji coba selama 3 bulan kemudian disosialisasi dan
diimplementasikan pada pertengahan tahun 2015.
Penyusunan clinical pathway harus berfokus pada
outcome. Standar ini harus ditetapkan untuk kemajuan
pasien dari hasil perawatan mereka dan mencapai hasil
yang diharapkan. Hal ini memungkinkan adanya variasi
dalam pelayanan. Oleh karena itu, sangat perlu
dilakukannya monitoring dan evaluasi. Berdasarkan hasil
wawancara, didapatkan bahwa monitoring dari pihak
manajemen tidak ada dan evaluasi belum dilakukan
secara optimal. Hal ini dikarenakan belum adanya orang
yang khusus melakukan evaluasi implementasi clinical
pathway yaitu case manager. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan Widyanita, dkk. (2016) fasilitator
merupakan kunci kebeberhasilan penerapan clinical
pathway (Widyanita, et al., 2016).
Pemberian obat tambahan juga digunakan pada pasien
diare akut anak yaitu antibiotik, antijamur, antiparasit,
analgesik dan obat lainnya. Pemberian antibiotik,
antijamur, dan antiparasit ini diberikan kepada pasien
diare akut yang disebabkan karena adanya infeksi bakteri
atau jamur atau parasit pada saat pemeriksaan
laboratorium. Pemberian analgetik seperti parasetamol
diberikan kepada pasien diare akut anak yang disertai
dengan demam. Obat lainnya ini jenis obat untuk pasien
dengan penyakit penyerta tambahan seperti ISPA.
Rekomendasi Perbaikan
Rekomendasi perbaikan berdasarkan pada hasil temuan
dalam audit implementasi clinical pathway diare akut
anak RSAB Harapan Kita ditampilkan pada tabel 8.
Pembahasan
Clinical governance merupakan kerangka kerja yang
digunakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan
menjaga standar perawatan yang diberikan kepada
pasien secara terus menerus dikembangkan sehingga
menciptakan suatu keunggulan dalam perawatan klinis
(Zahir, 2001; Australian Council on Healthcare Standars,
2004). Clinical governance bukan merupakan pendekatan
yang instan, tetapi perlu diawali dengan perubahan
budaya dan tentunya akan membutuhkan waktu dalam
penerapannya (Koentjoro, 2011). Komponen penting dari
clinical governance adalah clinical effectiveness. Komponen
kunci dalam clinical effectiveness adalah audit klinis dan
clinical guidelines (clinical pathway) (Koentjoro, 2011).
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 119
Clinical pathway adalah alat yang digunakan sebagai
panduan perawatan kesehatan berbasis bukti (Kinsman,
dkk, 2010). Clinical pathway disusun dengan tujuan
untuk standarisasi perawatan, mengurangi variasi dalam
pelayanan, menggurangi biaya, meningkatkan komunikasi
multidisiplin, meningkatkan efisiensi dan meningkatkan
kualitas pelayanan (Campbell, et al., 1998; Kinsman,
dkk., 2010; Kusuma, 2013).
Berdasarkan hasil audit ditemukan bahwa dalam
implementasi clinical pathway diare akut anak di RSAB
Harapan Kita bulan Januari – Desember 2016, masih
terdapat variasi dalam pemberian terapi/tata laksana
sebesar 41% yaitu adanya obat tambahan di luar standar
clinical pathway. Variasi ini terjadi karena kondisi pasien
yang diharuskan menggunakan obat tambahan tersebut.
Berdasarkan pedoman penyusunan standar pelayanan
kedokteran dijelaskan bahwa apabila dalam perjalanan
klinis ditemukan hal-hal yang menyimpang, ini harus
dicatat sebagai varian yang harus dinilai lebih lanjut.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Rohmah (2016)
didapatkan bahwa pemberian obat tambahan pada pasien
DHF anak paling banyak diberikan pada pasien dengan
lama hari rawat lebih dari 5 hari (Rohmah, 2016). Hal ini
meningkatkan kemungkinan risiko pasien mengalami
infeksi nosokomial. Menurut Ristiawan & Hartinah
(2013) dalam penelitiannya didapatkan bahwa lama hari
perawatan dan penyakit penyerta ini berhubungan
dengan kejadian infeksi nosokomial (Ristiawan &
Hartinah, 2013). Hal tersebut dapat menyebabkan biaya
perawatan yang dibebankan kepada pasien menjadi lebih
besar dan menunjukan bahwa kualitas pelayanan yang
diberikan kurang baik. Kualitas pelayanan yang kurang
baik akan mempengaruhi tingkat kepuasan pasien
(Yuliani, 2015).
Penerapan clinical pathway diharapkan dapat menurunkan
lama hari rawat sehigga kualitas pelayanan semakin
membaik. Berdasarkan penelitian Reid, et al (2016)
menjelaskan bahwa penerapan clinical pathway di
rumah sakit selain dapat menurunkan lama hari rawat,
clinical pathway juga dapat menurunkan angka kematian
sampai 8,8% (Reid, Dinesen, Jones, & Mirrison, 2016).
Variasi yang terjadi sebaiknya dilakukan analisis setiap 3
bulan sekali (NHS, 2010). Berdasarkan hasil analisis
variasi rumah sakit dapat memperbaiki dan meningkatkan
kualitas pelayanan. Oleh karena itu, variasi penting
dilakukan monitoring dan evaluasi. Berdasarkan hasil
wawancara didapatkan bahwa evaluasi terhadap clinical
pathway dilakukan dalam bentuk audit kepatuhan. Audit
kepatuhan ini dilakukan untuk menilai kesesuaian
tindakan dengan clinical pathway yang dilihat berdasarkan
dokumentasi dan lama hari rawat.
Berdasarkan telaah dokumen proses evaluasi dalam
clinical pathway belum optimal karena audit kepatuhan
belum tercantum dalam kebijakan yang dimiliki oleh
RSAB Harapan Kita yaitu SK Direktur Utama Nomor
HK.00.06 tentang Panduan Pembuatan Jenis-Jenis
Standar dalam Praktik Kedokteran dan belum adanya
laporan evaluasi serta petunjuk teknis terkait implementasi
clinical pathway tersebut. Hal ini juga dikarenakan
sumber daya yang kurang memadai untuk melakukan
evaluasi varian dalam clinical pathway.
Audit kepatuhan sebaiknya disertai dengan feedback.
Audit dan feedback merupakan mekanisme yang
dilakukan untuk meningkatkan kinerja profesional
sehingga meningkatkan kualitas perawatan kesehatan
dan keselamatan pasien. Audit dan feedback sering
digunakan dalam akreditasi atau penilaian organisasi
Berdasarkan penelitian dijelaskan bahwa adanya
feedback dapat mempengaruhi kinerja pegawai (Ngatno,
2006).
Hambatan lain juga ditemukan dari hasil wawancara
bahwa sebagian besar informan menjawab petugas yang
mengisi clinical pathway adalah dokter dan perawat. Hal
ini dapat menyebabkan komunikasi multidisiplin tidak
berjalan dengan baik. Menurut Kemenkes (2014),
dijelaskan bahwa pengisian clinical pathway sebaiknya
diisi oleh seluruh tenaga kesehatan profesional yang
memberikan perawatan pada pasien. Salah satu
penyebabnya adalah belum adanya penjelasan tupoksi
untuk setiap profesional pemberi asuhan dalam pengisian
clinical pathway yang tercantum dalam kebijakan.
Berikut kebijakan terkait clinical pathway di RSAB
Harapan Kita (ditampilkan pada tabel 9).
Penyebab lainnya dikarenakan pelaksanaan sosialisasi
terkait clinical pathway belum optimal dan menyebabkan
ketidaktahuan akan adanya sistem clinical pathway dan
pendokumentasian clinical pathway tersebut. Terbukti
dari hasil pengukuran kelengkapan pengisian clinical
pathway sebesar 25%. Hambatan terkait komunikasi
juga disampaikan oleh Sultoni (2014), Rohmah (2016)
dan Widyanita (2016).
Desy Rachma S., Audit Implementasi Clinical Pathway Diare Akut di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Tahun 2016
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 120
Menurut NHS (2010) menyatakan bahwa berhasilnya
proses implementasi clinical pathway tidak cukup hanya
dengan sosialisasi secara lisan, sebaiknya diadakan sesi
pelatihan sederhana yang menjelaskan tentang konsep
dan bagaimana clinical pathway harus digunakan dalam
asuhan yang diberikan dan adanya feedback dari manajemen
rumah sakit (NHS, 2010). Menurut penelitian Dewi (2005)
dijelaskan juga bahwa ada hubungan signifikan pelatihan
dengan meningkatkan kualitas dan komitmen karyawan
(Dewi, 2005).
Menurut Aisyah (2016), kepatuhan dapat ditingkatkan
dalam mengisi rekam medis salah satunya adalah dengan
memberikan kompensasi (Aisyah, 2016). Berdasarkan
penelitian Novriansyah (2014) dijelaskan bahwa
kompensasi langsung (upah dan gaji atau pay for
performance) merupakan faktor yang paling besar
pengaruhnya terhadap kinerja pegawai. (Novriansyah,
2014). Saat ini, kepatuhan clinical pathway di RSAB
Harapan Kita termasuk dalam Indikator Kinerja Individu
Direktur Utama dan Indikator Kinerja Unit Komite
Medik, tetapi belum masuk dalam Indikator Kinerja
Individu dokter.
Penyebab ketidaklengkapan ini juga dapat dilihat dari sisi
kemudahan dalam pengisian formulir (Aisyah, 2016).
Format clinical pathway dapat rumit dan rinci. Sebagian
kolom yang harus diisi dapat merupakan check-list,
namun tetap harus diberikan ruang untuk menuliskan
hal-hal yang perlu dicatat. Ruang yang tersedia untuk
mencatat hal-hal yang diperlukan juga dapat terbatas,
terutama format yang sama diisi oleh semua profesi yang
terlibat dalam perawatan, karena sifat multidisiplin
clinical pathway (Kemenkes RI, 2014).
Berdasarkan hasil telaah dokumen didapatkan bahwa
format clinical pathway diare akut anak RSAB Harapan
Kita ditemukan masih belum ringkas. Oleh karena itu,
sesuai dengan tahapan pengembangan formulir clinical
pathway pada proses diskusi untuk memperbaharui
dokumen clinical pathway selain membahas varian,
pembahasan format clinical pathway juga perlu
dipertimbangkan untuk mengurangi variabel yang tidak
perlu. Kesesuaian format clinical pathway diare akut di
RSAB Harapan Kita ditampilkan pada tabel 10.
Perubahan pada clinical pathway ini juga disarankan oleh
NHS (2010) bahwa perubahan pada clinical pathway
perlu dilakukan tinjauan dan revisi dalam skala besar
setiap empat tahun sekali. Beberapa clinical pathway
mungkin memerlukan revisi pada pembaharuan yang
lebih sering, terutama jika pada bidang kedokteran ada
bukti baru dan ada perkembangan pada pelayanan pasien
(NHS, 2010). Berdasarkan rencana perkembangan
sistem informasi RSAB Harapan Kita dalam bentuk IT,
untuk dapat meminimalkan kesalahan penulisan,
ketidaklengkapan pengisian dan persentase variasi
disarankan agar clinical pathway dapat diintergrasikan
dalam sistem IT. Penelitian yang dilakukan oleh
Rusmiasih (2000), dengan adanya sistem informasi
seluruh data terintegrasi dari semua unit dan dapat diakses
secara transparan. Hal ini dapat meningkatkan mutu
layanan medis bagi pasien dan mendukung mekanisme
monitoring operasional rumah sakit (Rusmiasih, 2000).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Perencanaan dalam audit implementasi clinical pathway
terdiri dari menentukan topik, menetapkan tujuan dan
menetapkan standar. Topik audit ditentukan berdasarkan
high volume. yaitu audit implementasi clinical pathway
diare akut. Setelah menentukan topik, selanjutnya
dilanjutkan dengan menetapkan tujuan. Tujuan pada
audit ini adalah menilai kelengkapan pengisian clinical
pathway, menilai kepatuhan DPJP, PPJP, Gizi dan
Farmasi terhadap clinical pathway dan menilai
kesesuaian lama hari rawat terhadap clinical pathway
serta penentuan kriteria ditentukan berdasarkan tujuan
dan standar penilaian yang digunakan dalam audit
implementasi clinical pathway adalah standar KARS.
Berdasarkan hasil pengukuran didapatkan bahwa persentase
kelengkapan pengisian clinical pathway adalah 25%,
terapi/tata laksana diare akut yang sesuai dengan clinical
pathway adalah 100% pasien diberikan cairan rehidrasi
secara parenteral, pemberian zinc sebesar 85%,
pemberian probiotik sebesar 92% dan pemberian anti
emetik sebesar 48% dan terdapat variasi pengobatan
sebesar 41%. Persentase pemeriksaan laboratorium
sesuai dengan clinical pathway adalah pemeriksaan Hb,
Ht, Leukosit, Hitung jenis, trombosit sebesar 95%,
pemeriksaan Feses Lengkap sebesar 62%, pemeriksaan
urin lengkap sebesar 28% dan pemeriksaan elektrolit
sebesar 23%. Persentase asuhan keperawatan yang
sesuai dengan clinical pathway sebesar 90%, asuhan gizi
yang sesuai dengan clinical pathway sebesar 89% dan
kesesuaian lama hari rawat dengan clinical pathway
sebesar 100% dengan lama rata-rata hari rawat 3,3 hari.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 121
Berdasarkan hasil pengukuran didapatkan bahwa
hambatan yang dihadapi dalam implementasi clinical
pathway adalah beban penulisan bertambah, kebijakan
belum mencakup evaluasi dan pedoman atau petunjuk
pengisian, kurangnya sosialisasi, belum adanya monitoring,
evaluasi, dan feedback, kepatuhan clinical pathway belum
dimasukkan ke dalam IKI dokter dan formulir clinical
pathway belum ringkas.
Upaya perbaikan yang dapat dilakukan untuk mengatasi
permasalahan yang terjadi adalah memperkuat clinical
pathway dengan melakukan perbaikan kebijakan dengan
menambah poin-poin yang kurang, membuat pedoman
yang berisi tentang tata cara mengisi clinical pathway,
monitoring dan evaluasi clinical pathway, melakukan
sosialisasi secara menyeluruh dan disertakan dengan
pelatihan khusus clinical pathway minimal 1 bulan sekali,
melakukan monitoring dan evaluasi rutin setiap 3 bulan
sekali dan dilakukan feedback, melakukan diskusi
dengan SMF terkait untuk membahas variasi obat, dan
melakukan perbaikan terhadap format clinical pathway.
Saran
Beberapa hal yang perlu dilakukan oleh rumah sakit
adalah memperkuat clinical pathway dengan melakukan
perbaikan kebijakan dengan menambah poin-poin yang
kurang, membuat pedoman yang berisi tentang tata cara
mengisi clinical pathway, monitoring dan evaluasi clinical
pathway, melakukan sosialisasi secara menyeluruh dan
disertakan dengan pelatihan khusus clinical pathway,
melakukan monitoring dan evaluasi rutin setiap 3 bulan sekali
dan dilakukan feedback, melakukan diskusi dengan SMF
terkait untuk menyepakati variasi obat, melakukan
pembaharuan terhadap format clinical pathway dan
mengurangi standar lama hari rawat menjadi 4 hari.
DAFTAR PUSTAKA Aisyah, N. (2016). Analisis Kelengkapan Resume Medis Rawat Inap di Rumah Sakit
Umum Hermina Depok. Universitas Indonesia.
Australian Council on Healthcare Standards. (2004). ACHS news in brief: Clinical governance defined. ACHS NEWS(12), 4.
Campbell, H., Hotchkiss, R., Bradshaw, N., & Porteous, M. (1998). Integrated care
pathways. BMJ, 316, 133-137. Connell L. (2014). A clinical governance handbook for District Clinical Specialist Teams.
Durban: Health Systems Trust.
Cran. (2002). Clinical Effectiveness and Evidence-based Practice. Nursing Standard, 16(24), 39-43.
Dewi, S. (2005). Pengaruh Komitmen Manajemen atas Kualitas Layanan Terhadap
Afeksi dan Kinerja Karyawan. Tesis Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1-140.
Flottorp, S. A., Jamtvedt, G., Gibis, B., & McKee, M. (2010). Using Audit and Feedback
to Health Professionals to Improve the quality and Safety of Health Care. European Observatory on Health Systems and Polices, 1-54.
Hughes, M. (2012). A Manual for Lay Members of the Clinical Audit Team. Healthcare
Quality Improvement Partnership. IRMIK RSAB Harapan Kita. (2014-2016). Data 10 Besar Penyakit . Jakarta: RSAB
Harapan Kita.
Kementerian Kesehatan RI. (2011). Situasi Diare di Indonesia. Jakarta: Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Koentjoro, T. (2011). Regulasi Kesehatan di Indonesia (2nd ed.). Yogyakarta: ANDI
Yogyakarta. Kulej, M. (2011). Operations Research. Poland: PRINTPAP Łódz.
Martha, E., & Kresno, S. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Bidang
Kesehatan (1 ed.). Depok: Grafindo. Ngatno. (2006). Analisis Pengaruh Umpan Balik Supervisi Terhadap Kinerja Salesman.
Jurnal Ilmu Sosial, 5(2), 55-66.
NHS. (2010, August). How to Produce and Evaluate an Integrated Care Pathway (ICP): Information For Staff. pp. 1-22.
NHS. (2010). Improving Patient Care through Clinical Audit. NHS. NHS. (2015). Clinical Effectiveness & Audit Strategy. US: NHS.
Novriansyah, D. (2014). Studi Pengaruh Kepemimpinan dan Kompensasi Terhadap
Kinerja Pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten Lebing Provinsi Bengkulu Tahun 2014. Tesis Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1-158.
Reid, L. E., Dinesen, L. C., Jones, M. C., & Mirrison, Z. J. (2016). The Effectiveness and
Variation of Acute Medical Units: a systematic review. International Journal for Quality in Health Care, 28(4), 433 - 446.
Riskesdas. (2007). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Ristiawan, D., & Hartinah, D. (2013). Hubungan Lama Perawatan dan Penyakit Penyerta
dengan Terjadinya Infeksi Nosokomial di RSI Sultan Hadlirin Jepara. JIKK, 4(1),
10-15. Rohmah, N. (2016). Evaluasi Implementasi Clinical Pathway Pada Penyakit Dengue
Hemorrhagic Fever Anak di RSUP Fatmawati Tahun 2016. Depok: Universitas
Indonesia. Rusmiasih, D. (2000). Perencanaan Strategis Sistem Informasi Untuk Rumah Sakit
Kanker Dharmais. Tesis Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 1-90.
Shelly, T. N. (2012). Evaluasi Sistem Informasi Manajemen di Bagian Rawat Jalan Rumah Sakit Umum Bhakti Yudha, Depok Tahun 2012. Tesis Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1-182.
WHO. (2008). Guide to Operational Research in Programs Supported by the Global Fund. WHO.
WHO/UNICEF. (2013). Ending Preventable Child Deaths from Pneumonia and
Diarrhoea by 2025: The integrated Global Action Plan for Pneumonia and Diarrhoea (GAPPD). WHO.
Widyanita, A., Arini, M., & Dewi, A. (2016). Evaluasi Implementasi Clinical Pathway
Appendicitis Akut pada Unit Rawat Inap Bedah di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Wright, J., & Hill, P. (2003). Clinical Governance. Churchill Livingstone.
Yuliani, U. (2015). Hubungan Kualitas Pelayanan dengan Kepuasan Pasien Rawat Inap di RSUD Dr. Sayidiman Magetan. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Zahir, K. (2001). Clinical governance in the UK NHS. UK NHS Briefing Papers.
Desy Rachma S., Audit Implementasi Clinical Pathway Diare Akut di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Tahun 2016
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 122
Gambar 1. Audit Cycle (NHS, 2010)
Gambar 2. Audit Cycle (Hughes, 2012)
Gambar 3. Kerangka Konsep Audit Implementasi Clinical Pathway Diare Akut di RSAB
Harapan Kita
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 123
Tabel 1. Kriteria dan Standar Audit Implementasi Clinical Pathway Diare Akut
No Kriteria Standar Keterangan
1
Kelengkapan Pengisian 80-100%
Dikatakan patuh jika persentase pengisian form
clinical pathway terisi lengkap 80-100%. Persentase dihitung berdasarkan jumlah kolom
terisi dalam clinical pathway dibagi total kolom
yang sudah disesuaikan dengan jumlah lama hari rawat pasien.
2 Kepatuhan DPJP, PPJP, Gizi dan Farmasi
a. Terapi/Tata laksana (Cairan
IV, Zinc, Probiotik, Antiemetik)
80-100% Sesuai dengan clinical pathway dan Panduan Praktik Klinik
b. Pemeriksaan Penunjang (Hb,
HT, Leukosit, dan Hitung
jenis, trombosit, Feses Lengkap, Urin Lengkap,
Elektrolit)
80-100% Sesuai dengan clinical pathway dan Panduan
Praktik Klinik
c. Asuhan Keperawatan 80-100% Sesuai dengan clinical pathway
d. Asuhan Gizi 80-100% Sesuai dengan clinical pathway
3 Lama Hari Rawat 80-100% Sesuai dengan clinical pathway
Tabel 2. Persentase Kelengkapan Pengisian Clinical Pathway Diare Akut
Bulan Januari – Desember 2016
Pengisian Clinical Pathway Jumlah Persentase (%)
Clinical Pathway Terisi <
80% 46 75
Clinical Pathway Terisi
≥80% 15 25
Total 61 100
Tabel 3. Persentase Kelengkapan Pengisian Berdasarkan Variabel Clinical Pathway Variabel dalam Formulir Clinical Pathway Jumlah Persentase (%)
Triase 42 69
Anamnesis
BAB 59 97
Penyakit penyerta 14 23
Komplikasi 29 48
Penilaian Klinis
Pemeriksaan dokter 52 85
Penilaian derajat dehidrasi 43 70
Kesimpulan derajat dehidrasi 55 90
Asuhan Keperawatan
Pemeriksaan awal 40 66
Asuhan harian 30 49
Tindakan keperawatan 30 49
Pemeriksaan penunjang 58 95
Tata laksana rehidrasi
Cairan Rehidrasi Oral 3 5
Pasang Infus 24 39
Jenis Cairan 56 92
Jumlah Cairan 55 90
Tata laksana lanjutan
Cairan IV 8 13
Cairan Rehidrasi Oral 1 2
Obat – obatan 29 48
Asuhan Nutrisi 4 7
Hasil Outcome
Dehidrasi 23 38
Syok 20 33
Mobilisasi pasien 17 28
Resume medis 20 33
Proses Administrasi 20 33
Pulang 20 33
Jumlah CP 61
Desy Rachma S., Audit Implementasi Clinical Pathway Diare Akut di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Tahun 2016
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 124
Tabel 4. Persentase Kesesuaian Terapi atau Tata laksana Pasien Diare Akut Anak
dengan Clinical Pathway Bulan Januari – Desember 2016
Obat-Obatan Jumlah Persentase (%)
Cairan rehidrasi oral 2 3
Cairan intravena 61 100
Zinc 52 85
Probiotik 56 92
Antiemetik 29 48
Jumlah clinical pathway 61
Tabel 5. Obat Tambahan pada Pasien Diare Akut Anak Bulan Januari – Desember 2016
No Obat Tambahan Jumlah Persentase (%) Keterangan
Antibiotik
1 Amikasin 1 2 Diberikan kepada pasien anak jika ditemukan adanya infeksi. Pada hasil
laboratorium ditemukan peningkatan
angka leukosit melebihhi batas normal, ditemukan darah pada hasil feses
lengkap.
2 Cefixime 1 2
3 Cefotaxime 1 2
4 Ceftriaxone 5 12
5 Claneksi 1 2
6 Bioxam 1 2
7 Mikasin 2 5
Antijamur
8 Mycostatin 5 12 Diberikan untuk anak dengan jamur yang terdapat pada lidah (berwarna
putih)
Antiparasit
9 Metronidazol 2 5 Amoeba positif pada hasil laboratorium feses lengkap 10 Flagyl 2 5
Analgesik
10 Parasetamol 13 30
Adanya Demam pada gejala penyerta 11 Naprek 1 2
12 Ottopan 1 2
Lainya
13 Mucos 1 2 Adanya diagnosis penyerta yaitu ISPA
14 Puyer Batuk 1 2
15 Vostrin 1 2 Vitamin untuk daya tahan tubuh
16 Imunos 1 2
Jumlah Total CP 61 41
Tabel 6. Persentase Pemeriksaan Laboratorium Pasien Diare Akut Anak Berdasarkan
Clinical Pathway Bulan Januari – Desember 2016
Jenis Pemeriksaan Penunjang Jumlah Persentase (%)
Hb, HT, Leukosit, dan Hitung jenis,
trombosit
58 95
Feses Lengkap 38 62
Urin Lengkap 17 28
Elektrolit 14 23
Tabel 7. Persentase Kesesuaian Asuhan Keperawatan, Nutrisi dan Lama Hari Rawat
Pasien Diare Akut dengan Clinical Pathway Bulan Januari – Desember 2016
Variabel Sesuai Clinical Pathway Tidak Sesuai Clinical Pathway
Jumlah (%) Jumlah (%)
Asuhan Keperawatan 55 90 6 10
Asuhan Nutrisi 54 89 7 11
Lama Hari Rawat 61 100 0 0
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 125
Tabel 8. Rekomendasi Perbaikan
No Masalah Analisa Rekomendasi
1 Ketidak lengkapan pengisian clinical pathway
- Kebijakan
Belum adanya petunjuk
teknis pengisian clinical
pathway dan evaluasi
Tupoksi setiap profesional
pemberi asuhan
- Memperkuat clinical pathway dengan memperbaharui kebijakan
yang ada
- Pembuatan paduan implentasi clinical pathway yang berisi
panduan pengisian, panduan
pengawasan dan panduan evaluasi - Memperkaya pedoman audit medik
terkait clinical pathway
Kurangnya sosialisasi Melakukan sosialisasi dan pelatihan
kepada tenaga kesehatan terkait pengisian clinical pathway minimal 3 bulan sekali
Belum adanya monitoring dan
evaluasi
Melakukan monitoring dan evaluasi rutin
setiap 1 bulan sekali
Belum masuk dalam penilaian IKI
dokter
Memasukan indikator kepatuhan clinical
pathway dalam IKI dokter
Formulir clinical pathway belum
ringkas dan masih adanya variabel yang tidak termasuk rencana
perawatan
Melakukan pembaharuan formulir clinical
pathway
2 Pemberian obat tambahan sebesar 41%
Melakukan evaluasi dan diskusi dengan SMF terkait varian dalam obat-obatan
yang digunakan
3 Lama hari rawat Menurukan standar lama hari rawat dalam
clinical pathway
Tabel 9. Kebijakan Terkait Clinical Pathway di RSAB Harapan Kita
Kebijakan Isi Poin yang perlu ditambahkan
SK Direktur Utama Nomor HK.00.06
tentang Panduan Pembuatan Jenis-
Jenis Standar dalam Praktik Kedokteran
1. Jenis – jenis standar dalam praktik
kedokteran di RSAB Harapan Kita
yaitu panduan praktik klinis, clinical pathway, algoritme, protocol dan
standing orders
2. Tujuan dari panduan pembuatan jenis-jenis standar
Tidak Ada
SPO Penyusunan Clinical Pathway
1. Pengertian
2. Tujuan 3. Kebijakan
4. Prosedur
5. Unit terkait
Tidak Ada
Panduan Clinical Pathway
1. Definisi 2. Peran dan Manfaat
3. Clinical pathway sebagai kendali
mutu
1. Tupoksi Profesional Pemberi
Asuhan
2. Petunjuk Teknis Pengisian Clinical Pathway
3. Prosedur Monitoring dan
Evaluasi
4. Tahap Pengembangan
Clinical Pathway
SK Direktur Utama Rumah Sakit
Anak dan Bunda Harapan Kita Nomor: HK.00.06.176 tentang Audit
Medik
1. Penentuan topik oleh subkomite mutu
profesi komite medik 2. Kriteria ditetapkan oleh tim ad-hoc
3. Asisten audit mengumpulkan data
4. Tim ad-hoc melakukan analisa data 5. Diklit melakukan perubahan
6. Tim ad-hoc melakukan re audit
SPO Audit Medik 1. Prosedur penentuan tim audit
1. Menambahkan waktu pelaksanaan audit dalam satu
tahun
2. Feedback hasil audit
Pedoman audit klinis 2016
1. Pengertian audit klinis 2. Siklus audit dan pengorganisasian
3. Penjelasan setiap proses dalam siklus 4. Menyusun laporan
5. Template laporan audit klinis
1. Prosedur audit kepatuhan clinical pathway
2. Kriteria standar penilaian yang digunakan
Desy Rachma S., Audit Implementasi Clinical Pathway Diare Akut di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Tahun 2016
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 126
Tabel 10. Kesesuaian Format Clinical Pathway Diare Akut RSAB Harapan Kita
Campbell, et al., 1998 Kemenkes, 2014 RSAB Harapan Kita Pembahasan
Berurutan berdasarkan skala waktu
1. Bentuk format dapat berbentuk
check-list, namun tetap harus diberikan ruang untuk
menuliskan hal-hal yang perlu
dicatat.
Format dalam bentuk checklist dan terdapat ruang
untuk mencatat
Sudah sesuai
2. Tabel yang kolomnya
merupakan waktu (hari, jam)
Kolom merupakan hari
dimana pasien di rawat Sudah sesuai
Berisi rencana perawatan
pasien
3. Barisnya merupakan
observasi/pemeriksaan/tindakan/intervensi
Terdapat baris yang berisi
proses triase, tindakan IGD, proses admisi, anamnesis,
penilaian klinis, asuhan
keperawatan, pemeriksaan peunjang, tata laksana
rehidrasi, tata laksana
lanjutan (obat-obatan), asuhan nutrisi, hasil
(outcome), resume medis,
proses administrasi, pulang
Kesesuaian baris berisi
perawatan pasien sudah sesuai, namun
dari segi keringkasan
terlihat bahwa masih terdapat proses
administrasi dan tidak
termasuk dalam proses perawatan/tindakan.
Pada proses asuhan keperawatan tidak
dirinci
tindakan/asuhan yag harus diberikan, hanya
menampilkan kegiatan pemeriksaan awal,
asuhan harian,
tindakan keperawatan
Terdapat rincian tugas
dan daftar tindakan yang
akan dilakukan
4. Harus lengkap, rinci dan
ringkas sehingga mudah diisi
Variasi dari rencana
perawatan dicatat
5. Diisi oleh seluruh tenaga
kesehatan profesional yang memberikan perawatan
Terdapat kolom varian
Hanya terdapat kolom tanda
tangan PPJP, DPJP,
Verifikator
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 127
Kajian Implementasi Mutu dengan Pendekatan Integrasi Six Sigma dan
TQM Melalui Penilaian Malcolm Baldridge di Rumah Sakit Charitas
Palembang
Quality Implementation Study with Six Sigma and TQM Integration Approach through
Assessment of Malcolm Baldridge in Hospital Charitas Palembang
Jessihana Morgan Manurung
Program Pasca Sarjana Kajian Administratsi Rumah Sakit Indonesia
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Rumah sakit sebagai suatu organisasi yang bergerak dibidang layanan kesehatan public makin dituntut untuk
memberikan layanan kesehatan yang lebih baik (Muchtar, 2011). Pelayanan prima dan berkualitas akan
berdampak pada kepuasan pasien dan berdampak pada peningkatan loyalitas pelanggan terhadap pelayanan yang
ditawarkan. Salah satu ukuran pencapaian kualitas dari sebuah pelayanan ialah loyalitas dari konsumen. Di Rumah
Sakit Charitas, terjadi penurunan loyalitas pelanggan dari tahun 2013 hingga tahun 2015 sebesar 80%. Hal ini
terbukti pula dengan penurunan indikator mutu di Rumah Sakit Charitas yaitu BOR, LOS, TOI, GDR, NDR yang
turun tiga tahun terakhir ini (Data RS. Charitas, 2016). Diketahui bahwa manajemen mutu TQM dan Six Sigma
masing-masing telah terbukti secara konsep dan empiris sebagai metode perbaikan mutu berkelanjutan yang dapat
membantu meningkatkan kinerja organisasi termasuk rumah sakit. Bagaimana mutu pelayanan di Rumah Sakti
Charitas dilihat dari Kriteria Malcolm Baldrige dalam bidang pelayanan kesehatan dengan integrasi pendekatan
TQM dan Six Sigma?
Kata kunci: mutu rumah sakit, TQM, Six Sigma, Malcolm Baldridge
ABSTRACT
Hospitals increasingly are expected to provide better health services (Muchtar, 2011). Excellent service and
quality have an impact on customer satisfaction and loyalty. One measure of quality achievement is customer
loyalty. Charitas Hospital had a decline in customer loyalty from 2013 to 2015 by 80%. It was determined by a
decrease in the quality indicators that BOR, LOS, TOI, GDR, NDR which dropped on the last three years (Data
RS-Caritas, 2016). Quality management TQM and Six Sigma respectively conceptually and empirically proven
as a quality improvement method to improve organizational performance. How is the quality of service at the
Charitas Hospital observed from the criteria Malcolm Baldrige Criteria with the integration of TQM and Six
Sigma approach?
Keywords: hospital quality, TQM, Six SIGMA, Malcolm Baldridge.
PENDAHULUAN
Dasar Rumah Sakit dibangunnya adalah untuk
memberikan pelayanan kepada pasien. Namun dengan
adanya perubahan paradigma perumahsakitan, dimana
Rumah Sakit merupakan institusi yang padat modal,
padat teknologi dan tenaga, Rumah Sakit juga mudah
dan rawan terjadi konflik dalam proses memberi
pelayanan kesehatan pada masyarakat. Dalam
perkembangan waktu, sebagaimana juga dengan
industri jasa lainnya, salah satu syarat utama agar
rumah sakit dapat survive adalah bila mampu
memberi pelayanan prima pada pelanggannya
(Kalaesaran, 2011). Pelayanan prima dan berkualitas
akan berdampak pada kepuasan pasien dan berdampak
pada peningkatan loyalitas pelanggan terhadap pelayanan
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 128
yang ditawarkan oleh industri jasa tersebut. Salah satu
ukuran pencapaian kualitas dari sebuah pelayanan
ialah loyalitas dari konsumen. Di Rumah Sakit
Charitas, terjadi penurunan nilai indikator pelayanan
BOR, LOS, BTO, TOI, GDR, NDR, jumlah
kunjungan pasien rawat jalan dan rawat inap, serta
loyalitas pasien, mulai dari tahun 2013 hingga tahun
2015 (Data RS.Charitas, 2016).
Loyalitas pelanggan sangat menentukan apakah
seorang pelanggan akan kembali atau tidak dan
apakah mereka akan merekomendasikan pelayanan
diterima kepada orang lain. Menurut Tjiptoni (2000)
dalam Laksono (2008), loyalitas adalah pembelian
ulang suatu merek secara konsisten oleh pelanggan.
Pelanggan loyal akan menjadi spiritual advocates yang
akan terus membela produk atau perusahaan dalam
keadaan apapun dan terus merekomendasikannya
kepada orang lain (Supranto, 2001 dalam Laksono,
2008). Menurut LeBoeuf (1992) dalam Laksono
(2008), pengaruh loyalitas sangat penting terhadap
kelangsungan suatu organisasi. Untuk itu diperlukan
strategi dalam memberikan pelayanan sesuai dengan
kebutuhan pasien secara bermutu. Tuntutan pelanggan
terhadap perbagai aspek pelayanan di Rumah Sakit
dirasakan semakin meningkat. Meningkatnya
pendidikan dan sosial ekonomi masyarakat menuntut
perubahan pelayanan kesehatan yang lebih baikdan
bermutu.
Masyarakat saat ini juga telah menyadari bahwa
kesehatan merupakan salah satu kebutuhan mereka,
bukan lagi barang mewah seperti yang diperlakukan
selama ini (Thabrany, 2011). Masyarakat
menginginkan agar ketika mereka membutuhkan
pelayanan kesehatan, mereka mendapatkan pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhannya tersebut.
Dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat
akan mutu pelayanan, maka fungsi pelayanan
kesehatan harus ditingkatkan. Pengelolaan rumah sakit
dituntut untuk dikelola dengan manajemen modern
dan bersifat sosio-ekonomi agar menjadi lebih efektif
dan efisien. Sebuah rumah sakit harus mampu tanggap
akan perubahan-perubahan yang terjadi dan segera
mengantisipasinya dengan berfokus pada pelanggan
dan pasar serta mengedepankan keselamatan pasien.
Untuk itu perlu adanya strategi yang tepat dalam
menghadapi tantangan masyarakat yang kritis dan
persaingan antara fasilitas kesehatan dalam rangka
memberikan pelayanan yang terbaik dan menjadi
pilihan bagi masyarakat (Ahmad, 2011).
Salah satu solusinya adalah dengan melakukan
tindakan nyata dalam meningkatkan pelayanan di
rumah sakit baik yang bersifat medik maupun non
medik, terutama yang bersifat Customer Oriented,
yang salah satunya adalah bagaimana petugas
kesehatan memberikan pelayanan prima kepada
pasien dan keluarga sehingga dengan adanya
pelayanan prima ini pasien maupun keluarga akan
merasa puas dan nyaman dengan pelayanan yang
diberikan, sehingga mereka akan menjadi sumber
”voice of mouth” yang positif (Kalaesaran, 2011).
Seringkali terdapat perbedaan antara apa yang
diharapkan dengan kenyataan yang dirasakan pasien
terhadap kualitas pelayanan yang diterima. Persepsi
mempunyai peran yang sangat penting, karena
berdasarkan persepsi yang baik dari pasien terhadap
mutu pelayanan di rumah sakit akan dapat menimbulkan
kepuasan pasien dan berpengaruh terhadapimage
yang positif kepada rumah sakit tersebut. Hal ini sejalan
dengan visi rumah sakit RK. Charitas menjadi rumah
sakit unggulan di Sumatera yang dipercaya dan dipilih
masyarakat sebagai mitra pelayanan kesehatan serta
misi rumah sakit yang antara lain adalah memberikan
pelayanan kesehatan prima secara menyeluruh (Profil
RS Charitas, 2016).
Organisasi yang berhasil menjaga agar pelanggannya
selalu puas hampir tak terkalahkan. Para pelanggannya
menjadi lebih setia sehingga mereka lebih sering
membeli, rela membayar lebih banyak dan tetap mau
menjadi pelanggan meskipun organisasi sedang
mengalami kesulitan (Yazid, 1999 dalam Laksono,
2008). Begitupun sebaliknya, apabila suatu organisasi
kehilangan pelanggan yang sebelumnya loyal atau
tidak mampu menciptakan keloyalan pada pelanggan
maka biaya pemasaran organisasi akan meningkat
dikarenakan harus menarik pelanggan baru untuk
ketahanan suatu organisasi, serta keberlangsungan
suatu organisasi dipertaruhkan (Griffin, 2013 dalam
Yunida, 2016).
Peningkatan kualitas secara system terpadu merupakan
strategi yang tepat untuk dijalankan, yang dikenal
dengan Total Quality Management (TQM) (Ahmad,
2011). Meningkatkan kinerja Rumah Sakit dapat
dilakukan dengan cara menerapkan Total Quality
Management yang merupakan salah satu bentuk
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 129
praktek manajemen terbaik dalam organisasi atau
perusahaan yang menekankan paradigm kualitas
secara menyeluruh dalam perusahaan atau organisasi
(Munizu, 2010). Total Quality Management
merupakan suatu konsep manajemen modern yang
berusaha untuk merespon secara tepat terhadap setiap
perubahan yang ada, baik yang didorong oleh
kekuatan eksternal maupun internal dengan lebih
berfokus pada layanan kebutuhan pelanggan dengan
menghasilkan produk layanan yang memiliki kualitas
sebaik mungkin dan berdampak terhadap kepuasan
pelanggan (Elqorni, 2008). Saat ini, penerapan TQM
semakin berkembang dengan menggunakan
kerangka kerja yang lebih terstruktur dan
komprehensif, salah satunya adalah kerangka kerja
Malcolm Baldrige National Quality Award
(MBNQA) sebagai praktek manajemen mutu terbaik
untuk meningkatkan kinerja organisasi (Fening, 2012
dalam Guspianto, 2015).
Revere & Black (2003) dalam Guspianto (2015)
mengungkapkan bahwa meskipun implementasi
TQM telah sukses dan mampu meningkatkan kualitas
pelayanan dan kepuasan pelanggan pada organisasi
secara luas, namun program TQM sering mengalami
kegagalan karena tidak diimplementasikan pada
tingkat produksi atau layanan di lini bawah (bottom
line) untuk memahami variasi dari proses, sehingga
upaya pengembangan rencana perbaikan yang
berkelanjutan menjadi sulit. Alhasil, pada beberapa
rumah sakit yang menerapkan TQM, kualitas masih
tetap menjadi masalah penting dalam sistem
pelayanan kesehatan yang perlu mendapat
penanganan serius (Woodard, 2005; IOM, 2001
dalam Guspianto, 2015). Beberapa faktor penting
dalam keberhasilan penerapan TQM yaitu
termasuk dukungan dari manajemen puncak,
kepemimpinan visioner, manajemen yang efektif dari
sumber daya manusia, keterlibatan karyawan, dan
budaya terhadap komitmen dalam peningkatan
kualitas serta kepuasan pelanggan (Yang, 2011).
Saat ini, metode penjagaan kualitas yang sedang
berkembang adalah Six Sigma. Metode Six Sigma
mengintegrasikan pengetahuan yang mendalam
tentang sistem, proses, teknik, statistik, dan manajemen
proyek, untuk meningkatkan kualitas dan pelayanan,
mengurangi limbah dan biaya, mengembangkan
produk dan proses yang kuat, untuk meningkatkan dan
mempertahankan keunggulan kompetitif organisasi
melalui sistem perbaikan terus-menerus dalam
organisasi (Latief dan Retyaning, 2009). Menurut
Sehwail & DeYong (2003) dalam Guspianto (2015),
implementasi Six Sigma di rumah sakit meliputi
berbagai aspek seperti pemberian pelayanan atau
perawatan langsung, administrasi dan keuangan, serta
operasional rumah sakit. Penerapan Six Sigma di
Rumah Sakit berperan positif dalam mengurangi
siklus waktu di unit emergensi, pengelolaan kapasitas
tempat tidur, pengurangan kesalahan dalam
pengobatan sertaberdampak positif dalam
meningkatkan kepuasan pasien (Antony J, Downey,
Antony F, & Seow, 2007).
Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa
manajemen mutu TQM dan Six Sigma masing-
masing telah terbukti secara konsep dan empiris
sebagai metode perbaikan mutu berkelanjutan yang
dapat membantu meningkatkan kinerja organisasi
termasuk rumah sakit. Oleh karena itu, penulis
merasakan perlu untuk mempelajari implementasi
manajemen mutu yang terintegrasi dari metode TQM
dan Six Sigma di rumah sakit untuk memenuhi
tuntutan dan kebutuhan pelanggan/pasien dalam
rangka mencapai keunggulan kinerja dalam jangka
panjang melalui pengkajian mutu di Rumah Sakit
Charitas dilihat dari metode TQM dan Six Sigma
dengan metode penilaian dengan kriteria Malcolm
Baldridge.
Pengelolaan sarana kesehatan seperti rumah sakit
diruntut untuk dikelola dengan manajemen modern
dan bersifat sosio-ekonomi. Sebuah rumah sakit harus
selalu tanggap akan perubahan-perubahan yang terjadi
cukup cepat dan kemudian segera mengantisipasinya
sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat
dengan selalu mengacu pada kepuasan konsumen
(Customer satisfaction). Tuntutan masyarakat saat ini
adalah pelayanan kesehatan yang mudah, cepat dan
nyaman, yang pada akhirnya dapat memberikan
kepuasan dalam hasil perawatan sesuai dengan
penyakit yang dideritanya, sehingga rumah sakit
sebagai suatu organisasi yang bergerak dibidang
layanan kesehatan public makin dituntut untuk
memberikan layanan kesehatan yang lebih baik
(Ahmad, 2011). Integrasi TQM dan Six Sigma dinilai
sangat penting dan strategis karena dapat memberikan
sinergitas yang diperlukan untuk membantu upaya
operasional dan kinerja ekselen pada organisasi
khususnya di rumah sakit (Yang, 2011). Untuk itu,
Jessihana Morgan Manurung, Kajian Implementasi Mutu dengan Pendekatan Integrasi Six Sigma dan TQM Melalui
Penilaian Malcolm Baldridge di Rumah Sakit Charitas Palembang
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 130
penulis akan mengkaji mutu pelayanan di Rumah
Sakit Charitas dengan pendekatan integrasi TQM dan
Six Sigma, melalui penilaian metode Malcolm
Baldridge.
Berdasarkan uraian di atas, dilakukan penelitian
dengan tujuan, yakni untuk mengetahui persepsi mutu
pelayanan Rumah Sakit RK Charitas ditinjau dari
Kriteria Malcolm Baldrige bidang Pelayanan
Kesehatan dengan integrasi pendekatan TQM dan Six
Sigma.
TINJAUAN PUSTAKA
TQM merupakan filosofi management yang bersifat
holistic yang bertujuan perbaikan berkelanjutan di
seluruh fungsi organisasi, yang dicapai melalui
pemanfaatan utilitas dari akusisi sumber daya untuk
pelayanan pelanggan. Sementara Six Sigma
merupakan komitmen dan filosofi dari manajemen
total yang bersifat unggul, focus terhadap pelanggan,
focus terhadap peningkatan kualitas, dan pengambilan
keputusan berdasarkan pada data, serta Six Sigma
memampukan organisasi terhadap perubahan dari
kebutuhan pelanggan, market, dan teknologi sehingga
menguntungkan karyawan, pelanggan serta
organisasi. Ada kesesuaian antara prinsip-prinsip
kualitas, teknik, dan budaya aspek TQM dan Six
Sigma dan hanya sedikit perbedaan prinsip. Akibatnya,
integrasi TQM dan Six Sigma tidak sesulit yang
terlihat. Poin penting adalah untuk menggabungkan
aspek terbaik dari perbaikan terus-menerus TQM
dengan Six Sigma re-engineering (Yang, 2011).
Pengintegrasian Six Sigma dalam program TQM yang
ada memfasilitasi peningkatan proses melalui analisis
data yang detail dan didapatkan metode pendekatan yg
seksama untuk menganalisis akar permasalahan serta
meningkatkan pendekatan TQM yang ada. Konsep
Six Sigma dapat diaplikasikan oleh seluruh karyawan
sebagai kunci proses yang terkait dengan kebutuhan
pelanggan dan menentukan layanan kinerja produk
dan jasa. Dengan Six Sigma, tujuan-tujuan agresif
dapat ditetapkan dalam hubungannya dengan waktu
penyelesaian rancangan yang cepat. Sehingga target
kinerja dapat disesuaikan dengan kriteria kritis kualitas,
dimana ditentukan berdasarkan suara konsumen. Hal
ini sejalan dengan TQM, di mana peningkatan
berdasarkan pada survey kepuasan pelanggan dan
kebutuhan pelanggan. Dengan cara ini, dua jalan untuk
mengerti kebutuhan dan harapan konsumen
dikombinasikan. Gambar 1 mengambarkan model
intergrasi tersebut (Yang, 2011):
Berdasarkan model terintegrasi TQM dan Six Sigma,
dan merujuk konstruksi MBNQA dan EQA, sebuah
model bisnis holistic seperti pada gambar di atas yang
sempurna dapat dikembangkan (Yang, 2011). Salah
satu Model TQM adalah kerangka kerja MBNQA
yang diperkenalkan pada tahun 1988 untuk memberi
pengakuan dan penghargaan bagi organisasi
organisasi yang telah mengimplementasikan praktek
manajemen mutu terbaik di Amerika Serikat. MBNQA
memberikan pedoman manajemen mutu secara
komprehensif sebagai self-assessment dan perbaikan
berkelanjutan dalam memperkuat kemampuan
saing organisasi (Flynn & Saladin, 2001). Kriteria
MBNQA terdiri dari beberapa kategori, meliputi:
kepemimpinan, perencanaan strategis, fokus pelanggan,
pengukuran, analisis, dan manajemen pengetahuan,
fokus tenaga kerja, fokus operasi, dan hasil (NIST,
2011). Melalui pendekatan system, maka kerangka
penilaian Malcolm Baldridge diatas dapat dijabarkan
(ditampilkan dalam gambar 2).
METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian kuantitatif dan kualitatif, dengan tipe
penelitian kombinasi Sequential Explenatory Desain
(Sugiyono, 2012). yaitu pengumpulan dan analisis data
terdiri dari 2 tahap yaitu: pengumpulan dan analisis
data kuantitatif, diikuti dengan pengumpulan dan
analisis data kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan di
Rumah Sakit RK Charitas pada bulan November
Tahun 2016.
Terdapat sampel sebanyak 30% dari seluruh populasi
sebagai sampel penelitian dengan teknik cluster
sampling yaitu teknik pengambilan sampel
berdasarkan kelompok yang telah ditentukan dari
anggota populasi. Pengelompokan kelompok pada
penelitian dilakukan melalui tahapan, yakni:
1. Pengelompokkan didasarkan pada kriteria
narasumber medis dan non medis.
2. Pada masing-masing kelompok narasumber
diambil dari berbagai jabatan dan tempat unit kerja.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 131
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah anggota
populasi yang sedang cuti, tugas belajar, serta pegawai
magang, serta kontrak.
Pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti
meliputi:
1. Dokumentasi
Merupakan teknik pengumpulan data sekunder
dengan mempelajari dokumen yang terkait dan
relevan dengan bahasan penelitian.
2. Kuisioner
Merupakan teknik pengumpulan data primer
dengan memberikan pertanyaan dan pernyataan
untuk dijawab oleh responden melalui pengisian
lembar kuisioner.
3. Wawancara
Jenis wawancara yang dilakukan dalam penelitian
ini ialah jenis wawancara semi terstruktur dengan
sifat informal.Termasuk dalam katagori in-depth
interview.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh oleh peneliti,
perhitungan total nilai rata-rata dari 7 variabel yang
menggambarkan mutu pelayanan kesehatan
berdasarkan Kriteria Baldrige.
Dari table 1 dapat dilihat bahwa terdapat 3 (tiga)
variabel yang memiliki total nilai rata-rata lebih tinggi
dari jumlah total nilai rata-rataseluruh variabel yang
nilainya 3. Variabel tersebut adalah:
1. Fokus Pada Pelanggan/Pasien dengan nilai rata-
rata 3,156;
2. Kinerja Rumah Sakit dengan nilai rata-rata 3,110;
dan
3. Fokus Pada Proses dengan nilai rata-rata 3,020.
Variabel lain yang tersisa, memiliki nilai rata-rata lebih
rendah dari jumlah total nilai rata-rata, yaitu sebanyak 4
variabel, yaitu:
1. Kepemimpinan dengan nilai rata-rata 2,846;
2. Perencanaan Strategi dengan nilai rata-rata 2,919;
3. Pengukuran, analisis dan manajemen pengetahuan
dengan nilai rata-rata 2,969;
4. Manajemen Sumber Daya Manusia dengan nilai
rata-rata 2,989.
Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui hubungan antara variabel independen
dengan variabel dependen. Analisis bivariat dengan
menggunakan uji Chi Square dapat dilihat pada tabel
2. Hubungan antara variabel kepemimpinan,
perencanaan strategis, fokus pelanggan, fokus sdm,
pengukuran-analisa-dan manajemen pengetahuan,
focus pada proses terhadap kinerja Rumah Sakit
(N=359)
Dari hasil tabel 2 maka berdasarkan hasil perhitungan
dengan Chi Square Test, maka diperoleh Nilai p <
0,05. Sehingga Ho ditolak, Ha diterima. Yang
menunjukkan bahwa ada hubungan signifikan antara
variable independen (Kepemimpinan, Perencanaan
Strategi, Fokus Pada Proses, Fokus Pada pelanggan,
Fokus pada SDM, Fokus pada Pengukuran, Analisa
dan Manajemen Pegetahuan) terhadap variabel
Dependen Yaitu Hasil Kinerja Organisasi.
Hal ini sesuai dengan teori Malcolm Badridge yang
memberikan perspektif sistem yang terdiri dari integrasi
antara kriteria Malcolm Baldridge sebagai proses
kunci untuk mencapai keunggulan kinerja.
Analisa Multivariat
Analisa Multivariat menggunakan analisa Regresi
Logistik untuk mendapatkan hubungan yang paling
bermakna antara variabel independen dengan dependen.
Dari data yang ditampilkan pada tabel 3, dapat dilihat
bahwa yang memiliki kontribusi terhadap kinerja
adalah fokus pada proses kemudian focus pada
pelanggan. Fokus pada proses memiliki nilai ratio odd
0,036 yaitu yang apabila focus pada proses baik
akan menyebabkan kemungkinan 0,036 kali
kinerja buruk atau 27,7 kali kemungkinan berkinerja
baik.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan seluruh variabel
bebas memiliki hubungan yang signifikan terhadap
variabel terikat. Penelitian juga menunjukkan bahwa
variabel berturut-turut yang memiliki kontribusi
terbesar terhadap kinerja adalah focus pada proses
kemudian focus pada pelanggan. Hal ini sesuai dengan
teori Malcolm Baldridge (ditampilkan dalam gambar
3).
Jessihana Morgan Manurung, Kajian Implementasi Mutu dengan Pendekatan Integrasi Six Sigma dan TQM Melalui
Penilaian Malcolm Baldridge di Rumah Sakit Charitas Palembang
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 132
Malcolm Baldridge memberikan suatu perspektif
sistem untuk mengelola organisasi dan proses-proses
kunci suatu organisasi untuk mencapai kinerja yang
optimal. Tujuh kategori Malcolm Baldridge merupakan
mekanisme untuk membangun dan mengintegrasikan
kriteria-kriteria dalam upaya mengembangkan sistem
organisasi yang unggul. Adapun perspektif sistem berarti
memandang dan mengelola organisasi secara keseluruhan,
dengan mengintegrasikan komponen-komponen
menuju kinerja yang optimal. Gambar 3 menunjukkan
sistem Malcolm Baldridge disusun oleh tujuh kategori
yang saling berikatan (Gaspersz, 2007), yakni:
a. Kepemimpinan, Perencanaan Strategi dan Fokus
Pelanggan mempresentasikan atau mewakili
tritunggal. Kategori ini ditempatkan bersama untuk
menekankan dan menjadi landasan tentang
pentingnya suatu kepemimpinan berfokus pada
strategi dan pelanggan
b. Fokus sumber daya manusia, Fokus pada Proses
dan hasil mewakili tritunggal Hasil. Karyawan
organisasi dan proses-proses kunci menyelesaikan
pekerjaan dari organisasi yang menghasilkan
keunggulan kinerja hasil-hasil.
c. Garis anak panah horizontal dalam bagan inti
Malcolm Baldridge mengaitkan tritunggal
kepemimpinan ke tritunggal hasil, yang
merupakan keterkaitan penting untuk keunggulan
organisasi.
d. Anak panah dua arah menunjukkan perlunya
umpan balik dalam suatu sistem manajemen
kinerja yang efektif.
e. Pengukuran, Analisa dan Manajemen Pengetahuan
adalah penting terhadap efektifitas manajemen
organisasi dan juga terhadap sistem (manajemen
pengetahuan) berdasarkan fakta (pengukuran dan
analisis) untuk peningkatan kinerja dan daya saing.
Dari hasil penelitian didapatkan variabel kepemimpinan
merupakan variabel yang memiliki nilai rata-rata terendah
dibandingkan dengan variabel lainnya. Pada variabel
kepemimpinan, dinilai bahwa peran kepemimpinan
dalam transparasi, supevisi, kaderisasi di masa yang
akan datang, serta proses perancanagan dan juga
proses pengelolaan perencanaan strategi masih kurang
optimal. Adapun Gaspersz (2007), dalam bukunya
menyatakan bahwa untuk mencapai kepemimpinan
yang optimal dalam mencapai kinerja organisasi yang
optimal maka perlu memperhatikan pendekatan
ADLI (Approach, Deployment, Learning, Integration)
yaitu:
Efektif, pendekatan sistematis, responsif secara
penuh terhadap semua persyaratan dari Item
Kepemimpinan Senior
Pendekatan disebarluaskan secara penuh tanpa ada
kesenjangan dalam setiap area atau unit-unit kerja
Evaluasi sistematis dan peningkatan kinerja
berdasarkan fakta, pembelajaran organisasi
merupakan alat kunci manajemen lingkup
organisasi; perbaikan dan invoasi yang didukung
oleh keunggulan analisis dan saling berbagi ke
seluruh organisasi
Pendekatan terintegrasi secara baik dengan
kebutuhan organisasi yang teridentifikasi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dibuat oleh peneliti,
maka dapat disimpulkan bahwa mutu pelayanan
Rumah Sakit Charitas dikaji berdasarkan integrasi
TQM dan Six Sigma melalui pendekatan Malcolm
Baldridge, perlu ditingkatkan. Dimana terdapat 4
(empat) variabel yang memiliki nilai rata-rata lebih
rendah dari total nila rata-rata 7 (tujuh) variabel dalam
Kriteria Malcolm Baldridge. Empat kriteria tersebut
ialah kepemimpinan, perencanaan strategi,
manajemen sumber daya manusia, serta pengukuran,
analisis dan manajemen.Variabel yang perlu
mendapatkan perhatian besar karena memiliki nilai
yang paling rendah ialah variabel kepemimpinan dan
perencanaan strategi. Selain itu, berdasarkan hasil
wawancara mendalam, peran yang paling besar dalam
peningkatan kinerja ialah peran kepemimpinan.
Dilihat dari hasil pencapaian indikator kinerja RS.
Charitas yang mengalami penurunan tiga tahun
terakhir, tidak sejalan dengan hasil kuantitatif yang
dicapai pada kriteria variabel kinerja rumah sakit,
dimana menghasilkan nilai yang baik. Salah satu
penyebabnya ialah ketidakselarasan antara program
kerja dan target unit dengan rencana strategi yang telah
ditetapkan. Hal ini dipertegas melalui wawancara
mendalam, rencana strategi yang telah ditetapkan tidak
secara menyeluruh disosialisasikan ke unit-unit.
Sehingga tujuan dari program kerja seringkali
ditemukan tidak sejalan dengan rencana strategi yang
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 133
telah ditetapkan, yang berpengaruh pada perbedaan
persepsi pencapaian kinerja unit dengan kinerja rumah
sakit secara keseluruhan. Selain itu ditemukan tidak
adanya pedoman penilaian kinerja unit.
Saran
Berdasarkan tujuan, manfaat, dan hasil penelitian
maka dapat disampaikan beberapa saran sebagai
berikut:
1. Bagi manajemen rumah sakit
a. Diharapkan dapat menerapkan integrasi
TQM dan Six Sigma dengan pendekatan
Malcolm Baldridge untuk mencapai kinerja
rumah sakit melalui:
o Meningkatkan peran kepemimpinan di
rumah sakit khususnya dalam transparasi,
supevisi, kaderisasi di masa yang akan
datang, serta proses perancanagan dan
pengelolaan perencanaan strategi;
o Mengembangkan serta melaksanakan
rencana strategis yang optimal khususnya
dalam melakukan analisa SWOT secara
optimal, mensosialisasikan ke seluruh
rumah sakit, serta memonitor dan juga
mengevaluasi program unit sehingga
selaras dengan rencana strategi yang
ditetapkan;
o Meningkatkan kemampuan untuk fokus
terhadap pasien atau pelanggan;
o Memberikan perhatian tinggi terhadap
pengelolaan dan pemberdayaan karyawan
yang khususnya dalam meningkatkan aspek
keterlibatan karyawan, yakni peningkatan
kompetensi karyawan, sistem reward and
recognition, serta mutasi dan rotasi yang
dapat meningkatkan motivasi dan juga
kapabilitas karyawan dalam meningkatkan
kinerja;
o Berfokus pada peningkatan mutu dengan
meningkatkan upaya monitoring dan
evaluasi, serta komitmen dalam
penindaklanjutan terhadap informasi dan
data yang didapat.
o Mengembangkan sistem informasi yang
akurat dan terintegrasi sehingga menjadi
landasan dalam penerapan manajemen
berdasarkan fakta.
b. Diharapkan dapat lebih meningkatkan manajemen
mutu untuk mendukung penerapan integrasi TQM
dan Six Sigma dengan pendekatan Malcolm
Baldridge di rumah sakit, khususnya pada variabel-
variabel yang didapatkan belum optimal.
c. Diharapkan dapat memanfatkan penerapan integrasi
TQM dan Six Sigma dengan menggunakan
pendekatan Malcolm Baldridge sebagai evaluasi
diri (self assessment) atas pelaksanaan manajemen
mutu di rumah sakit untuk membangun budaya
mutu di rumah sakit dan meningkatkan kembali
kualitas rumah sakit.
Bagi pemilik rumah sakit (owner):
a. Diharapkan dapat melakukan re-evaluasi terhadap
program manajemenmutu yang selama ini dijalankan
oleh rumah sakit sebagai dasar pertimbangan untuk
mengadopsi dan menerapkan Integrasi TQM dan
Six Sigma melalui pendekatan Malcolm Baldridge
b. Diharapkan dapat membuat kebijakan untuk
mengembangkan program manajemen mutu
rumah sakit dengan cara memanfaatkan kriteria
menerapkan Integrasi TQM dan Six Sigma
melalui pendekatan Malcolm Baldridge termasuk
menyediakan infrastruktur dan sumber daya
pendukung, pelatihan teknis manajemen mutu,
dan alokasi anggaran yang dibutuhkan rumah sakit
dalam implementasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Fatoni. (2006). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta. Ahmad, Muchtar. 2011. Analisis Manajemen Mutu Terpadu (TQM) dalam Pelayanan
Rumah Sakit. Diakses melalui .
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0ahUKEwickIDB_9LPAhUBRI8KHQy_BAAQFggeMAA&url=http%3A%
2F%2Fserver2.docfoc.us%2Fuploads%2FZ2015%2F11%2F26%2FeBV3
SHLzHC%2F77e09636b57051420fc6236a919d2087.pdf&usg=AFQjCNFed7pKnI-Dv35djL_POV3zBzpzOw&cad=rja. Diunduh pada tanggal 30
Agustus 2016.
Aized, Tauseef. 2012. Total Quality Management and Six Sigma. Diakses melalui
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&
cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwj52MCXv7TRAhWIp48KHVoCD1c
QFggbMAA&url=http%3A%2F%2Fwww.intechopen.com%2Fbooks%2Ftotal-quality-management-and-six-sigma&usg=AFQjCNFKdfe-1SfirSc
2wCnm1OCgGPiH4g&sig2=jt671yh1mzdAbIFYqOmkyQ. Diunduh di
tanggal 30 Agustus 2016. Antony, J., Downey-Ennis, K., Antony, F., & Seow, C., 2007. Can Six Sigma be the “Cure”
for or Ailing NHS? Leadership in Health Services, Vol. 20 No. 4, pp. 242-253.
Arikunto, Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Yogyakarta: Rineka Cipta
ASQ. 2009. Lean and Six Sigma Deployments in Hospitals. Diakses melalui
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0ahUKEwjxmdWJj9jPAhXLvY8KHa3uClgQFggeMAA&url=http
%3A%2F%2Fasq.org%2Fconferences%2Fsix-
sigma%2F2009%2Fpdf%2Fproceedings%2Fh3.pdf&usg=AFQjCNFuq1sA82kD4m6CPXg00XgI7wyyWQ&cad=rja diunduh tanggal 10 September
2016.
Ayuningtyas, D. 2013. Perencanaan Strategis untuk Organisasi Pelayanan Kesehatan. Jakarta
Azwar, A, 1996.Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan :aplikasi prinsip lingkaran pemecahan
masalah,Sinar Harapan, Jakarta..
Jessihana Morgan Manurung, Kajian Implementasi Mutu dengan Pendekatan Integrasi Six Sigma dan TQM Melalui
Penilaian Malcolm Baldridge di Rumah Sakit Charitas Palembang
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 134
Bandyopadhyay, Jayanta and Karen Coppens. 2005. Six Sigma Approach to Healthcare
Quality and Productivity Management. International Journal of Quality and Productivity Management.Vol. 5, No. 1. Diunduh tanggal 9 Oktober 2016.
Berander et all, 2005. Software quality attributes and trade-offs. Diakses melalui
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0ahUKEwiL1OGl6dbPAhWIqo8KHecsCtMQFggjMAA&url=http
%3A%2F%2Fwww.ewh.ieee.org%2Fr2%2Fsouthern_nj%2FBarbacciOct
03.pdf&usg=AFQjCNFGmlRRMBfE3HsMO5tIXxy6fPXVhA&sig2=Ynbx4bePs79j5SIQ8jywFA. Diunduh tanggal 2 September 2016.
Cahyono, Uud. 2012. Kajian Mutu Pelayanan Rumah Sakit Bhineka Bakti Husada yang
Telah Lulus Akreditasi Ditinjau dari Kriteria Malcolm Baldridge. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. Thesis.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Buku Petunjuk Pengisian, Pengolahan,
dan Penyajian Data Rumah Sakit. Jakarta : Depkes RI.. Dewantara, et al. 2005. Evaluasi Kinerja Inisiatif Manajemen Pemeliharaan Menggunakan
Kriteria Malcolm Baldridge. Jurnal. Universitas Hasanudin. Diakses melalui
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjUltmfjuvPAhVMP48KHUEoCmMQ
FggwMAI&url=http%3A%2F%2Fpasca.unhas.ac.id%2Fjurnal%2Ffiles%
2F858917be80dd3ff372f943f9fce9fbf8.pdf&usg=AFQjCNFPDuOUYCHtSh3GKgWTpUImd13sMA&sig2=jjLSfY0nUkTwuPFDWcwEpg.
Elqorni, Achmad. 2008. Implementasi TQM di Perusahaan. Diakses melalui
https://elqorni.wordpress.com/category/manajemen-kualitas/total-quality-management/. Diunduh tanggal 3 September 2016.
Flynn, B.B. & Saladin, B., 2001. Further Evidence on the Validity of the Theoretical Models
Underlying the Baldrige Criteria. Journal of Operations Management, Vol. 19, pp. 617–652. Diakses melalui https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&
q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwi61p6IyLbRAhVGNY8KHZwaCkcQFggbMAA&url=http%3A%2F%2Fcites
eerx.ist.psu.edu%2Fviewdoc%2Fdownload%3Fdoi%3D10.1.1.523.5377%
26rep%3Drep1%26type%3Dpdf&usg=AFQjCNG3ERY1T8aajFxVme_B4XtWoax5TQ. Diunduh tanggal 4 September 2016.
Gabor and Munteanu, 2010. A Short Overview on Six Sigma. Bulletin of the Transilvania
University of Brasov.Vol. 3 (52). Diunduh tanggal 9 Oktober 2016. Gaspersz, Vincent. 2007. Ge way and Malcolm baldridge criteria for performance excellence.
Jakarta: Gramedia.
Guspianto. 2015. Pengembangan Model Integrasi TQM dan Six Sigma dalam Manajemen Mutu Rumah Sakit. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas
Indonesia.Disertasi.
Harry, Mikel. 2000. A New Definition AimsTo Connect QualityWith Financial Performance.Quality Progress. Diakses melalui http://asq.org/quality-
progress/2000/01/frontiers-of-quality/a-new-definition-aims-to-connect-quality-
with-financial-performance.html?ct=35a49a2394c3a04b2156d71c8bdf3c0 d7 35173caa99bb894f147f25c0929a78b094ff517efc7309036a5bccb442996f84
1bd9d788f92ac293c837af1d8e7402. Diunduh tanggal 6 September 2016.
Hendrawaty, Ernie. 2006. Pengembangan Konsep Manajemen Mutu Terpadu bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Jasa Keuangan Cabang Bandarlampung.Jurnal
Bisnis dan Manajemen.Vol. 2, No. 3. Diakses melalui https://www.google.
com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rjauact=8& ved=0ahUKEwiQ0vq3k9fPAhVGqY8KHVLZBHQQFggeMAA&url=
http%3A%2F%2Fejournal.narotama.ac.id%2Ffiles%2FPengembangan%25
20Konsep%2520Manajemen%2520Mutu%2520Terpadu%2520Bagi%2520Badan.doc&usg=AFQjCNHZan6Ls3kd754nG5pQrv01DhKHmQ&si
g2=kQwhV--TKdeBYudHpgon0A. Diunduh tanggal 7 Oktober 2016.
Indonesian Quality Award Foundation. 2011. Kriteria Kinerja Berbasis Malcolm Baldrige 2011 - 2012: Organisasi Profit. Indonesian Indonesian Quality Award
Foundation, Jakarta.
Institute of Medicine. 2001. Crossing The Quality Chasm. A New Health System for the 21st Century. Diakses melalui https://www.nap.edu/read/10027/chapter/1. Diunduh
tanggal 2 Oktober 2016.
Isniati. 2007. Mutu Pelayanan Medik Peserta ASKES. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas. Vol. 2, No. 1. Diakses melalui http://download.portalgaruda.o
rg/article.php?article=261607&val=7056&title=MUTU%20PELAYANA
N%20MEDIK%20PADA%20PESERTA%20ASKES. Diunduh tanggal 3 September 2016.
Kalesaran, Jimmy. 2011. Pelayanan Prima (Service Excellent) di Rumah Sakit.Diakses
melalui http://dokumen.tips/documents/pelayanan-prima-rumah-sakit.html. Diunduh tanggal 2 September 2016.
Kementrian Kesehatan, 2015. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-201.
Diakses melalui http://114.6.22.246/154/1/Rencana%20Strategis%20Keme nterian%20Kesehatan%20Tahun%202015-2019%20KepMenKes%20RI
%20Nomor%20HK%2002%2002%20MENKES%2052%202015.pdf.
Diunduh tanggal 24 Agustus 2016. Kumar, et all. 2013. Six Sigma Approach: Application, Benefits and Scope. International
Journl of Mechanical Engineering and Robotics Research.Vol. 2, No. 3. Diakses
melalui https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web
&cd=4&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwi0wZaJxdTPAhUDq48KHeHxCEIQFgg1MAM&url=http%3A%2F%2Fwww.ijmerr.com%2Fuploadfi
le%2F2015%2F0409%2F20150409052855793.pdf&usg=AFQjCNF4xyq
Byju7YB0FQXQQ6FAIjIWkuw&sig2=AFv4hGOQlA7FpBzySXMggQ. Diunduh tanggal 20 Agustus 2016.
Kwak, Y.H., & Anbari, F.T., 2006. Benefits, Obstacles, and Future of Six Sigma
Approach. Technovation, Vol. 26, pp. 708-715. Diakses melalui https://www.resea rchgate.net/profile/Young_Kwak2/publication/222518320_Benefits_obstacles
_and_future_of_Six_Sigma_approach/links/569d323b08aed27a702f951b.pdf
?origin=publication_detail Diunduh tanggal 8 September 2016. Lagrosen, Y., Backstrom, I., & Lagrosen, S., 2007. Quality Management andHealth: A
Double Connection. International Journal of Quality & ReliablityManagement,
Vol. 24 No. 1, pp. 49-61. Lakhal, L., Pasin, F., & Limam, M., 2006.Quality Management Practices andTheir Impact on
Performance. International Journal of Quality & ReliabilityManagement, Vol. 23
No. 6, pp. 625-646. Laksono, 2008. Analisis Kepuasan dan Hubungannya dengan Loyalitas Pasien di Rawat
Inap di Rumah Sakit Dedi Jaya Kabupaten Brebes. Program Studi Magister
Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Diponegoro. Thesis. Latief, Yusuf dan Retyaning Puji Utami. 2009. Penerapan Pendekatan Metode Six Sigma
dalam Penjagaan Kualitas pada Proyek Konstruksi. Jurnal Makara, Teknologi.
Vol. 13, No. 2: pp. 67-72. Diakses melalui https://www.google.com/url?sa=t& rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEw
jy182NttTPAhUJtI8KHYOXBOUQFggeMAA&url=http%3A%2F%2F
journal.ui.ac.id%2Ftechnology%2Findex.php%2Fjournal%2Farticle%2Fdownload%2F471%2F253&usg=AFQjCNF9HlJGY8OVALrk-81F85za-
fHZ7w&sig2=ouWb-GUij7E1AoyrLM3Bsw. Diunduh pada tanggal 4 September 2016.
Moleong, Lexy J. (2002) Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT RemajaRosdakarya
Munizu, Musran. 2010. Praktik Total Quality Management (TQM) Dan Pengaruhnya Terhadap Kinerja Karyawan.Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan. Vol. 12,
No. 2: pp. 185-194. Diakses melalui https://www.google.com/url?sa=
t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjlj_rGndTPAhUHNY8KHWyvCN8QFggxMAI&url=http%3A%2F
%2Fjurnalmanajemen.petra.ac.id%2Findex.php%2Fman%2Farticle%2Fvie
wFile%2F18176%2F18062&usg=AFQjCNEOZQ64Lz3Q9sobyzDcyoniTYU9mw&sig2=e-0qOs7e3Nlc879ZagTh8g. Diunduh tanggal 1 September
2016.
NIST, 2011. Baldrige National Quality Programs: Health Care Criteria for Performance Excellence:, National Institute of Standards and Technology, U.S. Department of
Commerce. Diakses dari http://www.nist.gov.baldrige pada tanggal 5 September
2016. Nurmayanti, Ida. 2015. Peran Pendidikan dan Pelatihan dalam Meningkatkan Kinerja
Pegawai. Diaskes melalui http://bp2sdm.menlhk.go.id/emagazine/index.php
/umum/64-peran-pendidikan-dan-pelatihan-diklat-dalam-meningkatkan-kine rja-pegawai.html. Diunduh tanggal 6 Desember 2016.
Pande, Pete and Larry Holpp. 2002. What is Six Sigma?. A Division of The McGraw Hill.
United States of America.. Radu, Catalina. 2010. Need and potential risks of strategic alliances for competing successfully.
Economia.Seria Management. Vol.13, No 1: pp 165-169. Diakses melalui
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwiv5NiC5vLQAhUMrI8KHaOzDkcQF
ggeMAA&url=http%3A%2F%2Fwww.management.ase.ro%2Frevecono
mia%2F2010-1%2F15.pdf&usg=AFQjCNFc6_9P_HP0HpfECKtg0HZ 8DpccJg&sig2=1gtv1S3dRJWEpxdEeAxtGw. DIunduh tanggal 14
Desember 2016.
Revere, Lee. 2003.Integrating Six Sigma with Total Quality Management: A Case Example for Measuring Medication Errors. Journal of Healthcare Management.
48(6):377-91.
Sailendra, Annie. 2015. Langkah-Langkah Praktis Membuat SOP.Trans Idea Publishing, Yogyakarta.
Sekaran, U. 2006. Research Methods for Business Buku2. Edisi 4. Salemba Empat. Jakarta.
Solehati, Lilis. 2011. Manajemen Mutu dan ISO. Diakses melalui https://www. google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&uac
t=8&ved=0ahUKEwjg9vTk99bPAhVJqI8KHeJLDXYQFggvMAI&url
=http%3A%2F%2Fslideplayer.info%2Fslide%2F1889330%2F&usg=AFQjCNEjCocr9BD6dXpAuZLPJO9ggLDegg&sig2=yUgxXlGHU_n5CJ
EZ--fhNw. Diunduh tanggal 5 September 2016.
Stamatis, D.H., 2000. Who Needs Six Sigma, Anyway? Quality Digest. Diakses melalui http://www.qualitydigest.com/may00/html/sixsigmacon.html.
Sscx.2012. Infrastruktur Peran dalam Lean Six Sigma: Mengenal Green Belt, Black Belt dan
Master Black Belt. Diakses melalui http://shiftindonesia.com/infrastruktur-peran-dalam-lean-six-sigma-mengenal-green-belt-black-belt-dan-master-black-belt/.
Tanggal 8 September 2016.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 135
Suhanura, Agustina. 2008. Analisis Loyalitas Pelanggan Poli Kebidanan dan Kandungan
Rumah Sakit Asri Tahun 2008. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. Tesis.
Sutopo, H.B. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar teori dan terapannya dalam
penelitian. Edisi-2. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Tasie, George. 2016. An Exploratory Review of Total Quality Management and
Organizational Performance. International Journal of Business and Law
Research. Vol. 4, No. 1: pp 39-45. Diakses melalui https://www.google.com /url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=5&cad=rja&uact=8&ved=
0ahUKEwiRqrfzjNfPAhUiT48KHewqDK0QFggvMAQ&url=http%3A
%2F%2Fseahipaj.org%2Fjournals-ci%2Fmar-2016%2FIJBLR%2Ffull%2 FIJBLR-M-5-2016.pdf&usg=AFQjCNFx_UoFEfKu-N4lHrFE4R2GroC
HnA&sig2=WNVB7vcA8c9ynKuZUWbDRw. Diunduh tanggal 7
September 2016. Thabrany, Hasbullah. Reformasi Pelayanan Kesehatan Harus Lebih Memihak Kepada
Masyarakat. Diakses melalui https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q
=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjdgO3vjdPPAhUaTY8KHSemAUgQFggvMAI&url=http%3A%2F%2Fstaff.ui.a
c.id%2Fsystem%2Ffiles%2Fusers%2Fhasbulah%2Fmaterial%2Fsistempen
danaankesehatanpropublik.pdf&usg=AFQjCNF9lQXq6mKTljYjSTuLAY
GEIRdAMA. Diunduh tanggal 2 September 2016. Tjiptono, F. & Diana, A., 2004.Total Quality Management. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Wibisono, Dermawan. 2006. Manajemen Kinerja, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Wicaksono, Setiawan. 2006. Pengaruh Implementasi Total Quality Management terhadap Budaya Kualitas. Program Studi Manajemen Minat Manajemen Sumber Daya
Manusia. Universitas Brawijaya, Tesis.
Wiyono, D., 2003. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan. Airlangga University Press Yang, Ching-Chow, 2011. Development of an Integrated model of a business excellence
system. Total Quality Management and Business Excellence 2011; 22(1-2) 22.
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwiN3NausNTPAhUHvY8KHX3ZCBIQ
FghIMAY&url=http%3A%2F%2Fcdn.intechweb.org%2Fpdfs%2F11581.
pdf&usg=AFQjCNF8DDIIpVABUcOO1X8Dw466c7RQqQ&sig2=0jXnsz0T_LKw9f8J-tt5lw. Diunduh tanggal 30 Agustus 2016
Yunida, Margita. 2016. Pengaruh Citra Rumah Sakit dan Kualitas Pelayanan terhaap
Loyalitas Pelanggan melalui Kepuasan Pelanggan. Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Yogyakarta: Skripsi.
Jessihana Morgan Manurung, Kajian Implementasi Mutu dengan Pendekatan Integrasi Six Sigma dan TQM Melalui
Penilaian Malcolm Baldridge di Rumah Sakit Charitas Palembang
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 136
Gambar 1. Model Terintegrasi TQM dan Six Sigma
Gambar 2. Baldridge Criteria for Performance Excellence Framework
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 137
Tabel 1. Total Nilai Rata-Rata Seluruh Variabel
Tabel 2. Hubungan Antara Variabel
Variabel Kinerja Rumah Sakit
OR Baik Tidak Baik Total
Kepemimpinan
Baik 103 (58,2%) 74 (41,8%) 177
3,052 (1,980 – 4,706) Tidak Baik 57 (31,3%) 125 (68,7%) 182
Total 160 199 359
Perencanaan Strategi
Baik 119 (58,3%) 85 (41,7%) 204
3,893 (2,476 – 6,121) Tidak Baik 41 (26,5%) 114 (73,5%) 155
Total 160 199 359
Fokus Pada Pelanggan
Baik 123 (72,8%) 46 (27,2%) 169
11,057 (6,749 – 18,114) Tidak Baik 37 (19,5%) 153 (80,5%) 190
Total 160 199 359
Fokus SDM
Baik 118 (64,5%) 65 (35,5%) 183
5,792 (3,656 – 9,177) Tidak Baik 42 (23,9%) 134 (76,1%) 176
Total 160 199 359
Pengukuran, Analisa & Manajemen Pengetahuan
Baik 129 (63,9%) 73 (36,1%) 202
7,183 (4,415 – 11,685) Tidak Baik 31 (19,7%) 126 (80,3%) 157
Total 160 199 359
Fokus Pada Proses
Baik 137 (85,6%) 23 (14,4%) 160
45,6 (24,5 – 84,7) Tidak Baik 23 (11,6%) 176 (88,4%) 199
Total 160 199 359
Tabel 3. Analisa Multivariat
B S
.E. Wald
D
f Sig. Exp(B)
Step 1a
Kepemimpinan(1) ,743 ,
458 2,636 1 ,104 2,103
Renstra(1) -,195 ,
420 ,217 1 ,642 ,823
Fokuspelanggan(1) -1,354 ,
348 15,179 1 ,000 ,258
FokusSDM(1) -,457 ,
399 1,310 1 ,252 ,633
Pengukuran(1) -,332 ,
449 ,545 1 ,460 ,718
FokusProses(1) -3,158 ,
388 66,108 1 ,000 ,043
Constant 2,576 ,
321 64,502 1 ,000 13,146
No Variabel Nilai Rata-rata
1 Kepemimpinan 2,846
2 Perencanaan Strategi 2,910
3 Fokus Pelanggan/ Pasien 3,156
4 Manajemen Sumber Daya Manusia 2,989
5 Pengukuran, analisis dan manajemen pengetahuan 2,969
6 Fokus pada Proses 3,020
7 Kinerja Rumah Sakit 3,110
Rata-Rata 3
Jessihana Morgan Manurung, Kajian Implementasi Mutu dengan Pendekatan Integrasi Six Sigma dan TQM Melalui
Penilaian Malcolm Baldridge di Rumah Sakit Charitas Palembang
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 138
B S
.E. Wald
D
f Sig. Exp(B)
Step 2a
Kepemimpinan(1) ,659 ,
418 2,478 1 ,115 1,932
Fokuspelanggan(1) -1,377 ,
344 16,043 1 ,000 ,252
FokusSDM(1) -,465 ,
399 1,357 1 ,244 ,628
Pengukuran(1) -,360 ,
445 ,654 1 ,419 ,698
FokusProses(1) -3,163 ,
388 66,347 1 ,000 ,042
Constant 2,538 ,
309 67,645 1 ,000 12,659
Step 3a
Kepemimpinan(1) ,555 ,
396 1,967 1 ,161 1,742
Fokuspelanggan(1) -1,351 ,
343 15,534 1 ,000 ,259
FokusSDM(1) -,550 ,
383 2,055 1 ,152 ,577
FokusProses(1) -3,288 ,
362 82,386 1 ,000 ,037
Constant 2,469 ,
292 71,315 1 ,000 11,817
Step 4a
Kepemimpinan(1) ,347 ,
363 ,911 1 ,340 1,415
Fokuspelanggan(1) -1,387 ,
341 16,534 1 ,000 ,250
FokusProses(1) -3,424 ,
354 93,517 1 ,000 ,033
Constant 2,364 ,
277 72,582 1 ,000 10,629
Step 5a
Fokuspelanggan(1) -1,311 ,
330 15,735 1 ,000 ,270
FokusProses(1) -3,320 ,
330 101,004 1 ,000 ,036
Constant 2,449 ,
265 85,230 1 ,000 11,576
a. Variable(s) entered on step 1: Kepemimpinan, Renstra, Fokuspelanggan, FokusSDM, Pengukuran, FokusProses.
Gambar 3. Baldrige Criteria for Performance Excellent Framework
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 139
Percepatan Pemulangan Pasien Rawat Inap dengan Konsep Lean di
Rumah Sakit Masmitra
Acceleration Discharge of Patients Hospitalized with Lean Concepts in Masmitra Hospital
Alamsyah
Program Studi Pasca Sarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Proses pemulangan pasien di Rumah Sakit Masmitra saat ini masih belum optimal, oleh karena belum ada alur
yang menggambarkan proses pemulangan pasien secara menyeluruh. Dengan mengaplikasikan konsep lean,
dilakukan pemetaan aliran nilai kondisi sekarang (value stream map) yang menunjukkan bahwa pada proses
pemulangan pasien terdapat 41 kegiatan dan hanya 51 % bersifat value added, dan tentu saja mempunyai implikasi
adanya pemborosan. Dari hasil analisis akar masalah diperoleh ide-ide perbaikan, kemudian dilakukan desain
ulang kedalam alur proses baru yang dianggap ideal menghasilkan total hanya 17 kegiatan, 83 % diantaranya
bersifat value added. Dengan diterapkannya konsep lean di RS Masmitra, diharapkan efisiensi juga akan terjadi
bila pekerjaan dilakukan sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh pasien, tepat waktu, tepat ukuran dan tepat
sasaran.
Kata kunci: konsep lean, percepatan, pemulangan pasien.
ABSTRACT
The process discharge of patients in hospital Masmitra is still not optimal, because there is no groove that
describes the process of returning the patient as a whole. By applying the concept of Lean, value stream mapping
current conditions which shows that the process of returning patients there were 41 activities and only 51% are
value added, and of course has implications for wastage. From the analysis of the root causes of acquired ideas
repair, and then carried into the re-design of the new process flow is considered ideal to produce a total of only
17 activities, 83% of which is value added. With the implementation of Lean Concept in RS Masmitra, expected
efficiency will also occur when the work is done in accordance with what is required by the patient, right time, the
right size and right on target.
Keywords: lean concepts, acceleration, patient discharge.
PENDAHULUAN
Rumah sakit bukan hanya sebuah tempat, tetapi juga
sebuah fasilitas, sebuah institusi dan sebuah organisasi.
Oleh karena itu, rumah sakit merupakan lembaga yang
padat modal, padat karya, padat teknologi dan padat
masalah yang dihadapinya. Di pihak lain, Rowland
dalam buku Hospital Administration Handbook
menyampaikan bahwa rumah sakit adalah salah satu
sistem kesehatan yang paling kompleks dan paling
efektif di dunia (Aditama, 2007).
Pada era globalisasi, persaingan pelayanan kesehatan
semakin tinggi, untuk itu semua organisasi harus
mempunyai strategi agar tetap bisa bertahan dan maju
dalam melaksanakan kepentingan bisnisnya. Begitu
pula dengan rumah sakit, terutama rumah sakit swasta
yang dananya tidak disubsidi oleh pemerintah dituntut
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 140
untuk harus kreatif mencari solusi agar rumah sakit tetap
eksis (Kusumo, 2012).
Pelayanan keehatan yang bermutu dibentuk berdasarkan
lima prinsip Service Quality, yaitu Reliability,
Responsiveness, Assurance, Emphaty dan Tangibles
(Pasuraman et al, 1998). Suatu pelayanan dikatakan baik
oleh pasien, jika jasa yang diberikan dapat memenuhi
kebutuhan pasien, dengan menggunakan persepsi tentang
pelayanan yang diterima. Kepuasan dimulai dari
pelayanan terhadap pasien sejak pasien pertama kali
datang sampai pasien meninggalkan rumah sakit
(Anjaryani, 2009).
Penundaan (delay) akan mempengaruhi kondisi pasien
(outcome) selanjutnya, 1158 pasien yang mengalami
penundaan dalam proses masuk unit ranap 12,4%
diantaranya mengalami waktu pemanjangan masa
perawatan (Length of Stay) sehingga biaya perawatan
juga meningkat (Jurnal BMC Emergency Medicine,
2010). Penundaan proses pemulangan (discharge)
pasien juga mengakibatkan resiko infeksi nosokomial
meningkat, Forster (2010) menemukan 1,5 kasus infeksi
nosokomial per 1000 pasien ranap yang mengalami
pemanjangan LOS.
Rumah Sakit Masmitra adalah rumah sakit umum
swasta tipe D yang menyediakan pelayanan medik,
pelayanan penunjang medik, pelayanan dan asuhan
keperawatan serta pelayanan rujukan, Proses
pemulangan pasien di Rumah Sakit Masmitra hingga
saat ini mengacu pada Standar Prosedur Operasional,
belum ada alur proses yang menggambarkan proses
pemulangan pasien rawat inap secara menyeluruh,
sehingga seluruh unit yang terkait belum menyadari
bahwa hal ini harus dirancang seefisien mungkin untuk
mewujudkan pelayanan yang lebih berkualitas
KepMenkes RI Nomor 129 tahun 2008 tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit menyebutkan bahwa
standar waktu pemberian informasi tagihan pasien rawat
inap adalah ≤2 jam. Proses pemberian informasi tagihan
adalah bagian dari proses pemulangan pasien, dimulai
dari saat Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP)
memberikan instruksi pemulangan untuk pasien rawat
inap hingga pasien keluar dari ruang rawat inap.
Bertitik tolak dari hal diatas, diperlukan analisis yang
mendalam mengenai proses pemulangan pasien rawat
inap di Rumah Sakit Masmitra saat ini dan perlu
dilakukan penelitian yang berfokus pada efisiensi proses
dengan menghilangkan hal-hal atau langkah yang tidak
perlu.
Untuk mencapai pelayanan yang berkualitas, telah
banyak metode atau prinsip manajemen yang
diaplikasikan ke rumah sakit atau pusat layanan
kesehatan. Beberapa diantaranya adalah Total Quality
Management (TQM), Six Sigma dan yang terbaru adalah
Konsep Lean (Graban, 2009). Konsep Lean menitik
beratkan pada alur proses atau flow dari suatu industri
atau perusahaan, dimana aplikasinya membutuhkan
observasi yang ketat dan mendetail mengenai setiap
langkah pada suatu proses usaha dan mengacu pada
value atau nilai yang ingin dicapai oleh proses tersebut,
misalnya nilai kepuasan pasien (Womack & Jones,
1996)
TINJAUAN PUSTAKA
Dengan keberhasilan aplikasi metode Lean di berbagai
industri, bidang pelayanan kesehatan pun ikut tergerak
untuk mengadopsinya ke dalam praktik manajemen
rumah sakit. Setiap organisasi, termasuk rumah sakit,
pada umumnya selalu memikirkan masalah arus kas,
kepuasan pelanggan, dan kualitas. Hal-hal ini dapat
ditingkatkan dengan mengaplikasikan Lean pada alur
proses bisnis yang terjadi pada organisasi tersebut.
Rumah sakit dan proses-proses yang terjadi didalamnya
kebanyakan masih terlihat penuh dengan waste atau
inefisiensi. Dari berbagai studi yang dilakukan di seluruh
dunia, prinsip dan metode Lean merupakan hal efektif
yang dapat diterapkan untuk mengatasi hal ini dan
menciptakan kualitas serta produktivitas pelayanan
kesehatan secara optimal (Graban, 2009).
Konsep Lean merupakan strategi perbaikan yang efektif
untuk diaplikasikan pada rumah sakit, karena konsep
yang digunakan menekankan dan memperhatikan
proses dari ujung ke ujung, menciptakan arus proses
yang mulus, value dari waktu pasien dan keahlian
pegawai, serta mengenali kegiatan mana yang tidak
menambah value bagi pasien sebagai waste (Ben-
Tovim et al, 2008).
Lean Healthcare merupakan strategi yang berfokus
menghilangkan tidak efisien sehingga memberikan
waktu yang lebih untuk aktivitas pelayanan pasien
(Lestie, 2006). Graban dalam “Lean Hospital”
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 141
mendefinisikan Lean menjadi dua bagian yang sangat
sederhana, yaitu:
1) Total elimination of waste
Pemborosan, muda, atau waste merupakan segala
aktivitas yang tidak mencerminkan bantuan dalam
proses penyembuhan terhadap pasien. Semua
pemborosan harus dihilangkan atau minimal
dikurangi agar dapat menekan biaya rumah sakit,
meningkatkan kepuasan pasien serta meningkatkan
keselamatan pasien dan pegawai. Contoh pemborosan
di rumah sakit ialah:
a. Waktu tungggu pasien untuk diperiksa dokter;
b. Waktu tunggu untuk proses berikutnya;
c. Adanya suatu kesalahan yang sangat
membahayakan pasien; dan
d. Pergerakan yang tidak perlu, misal letak apotik
dan kasir yang berjauhan.
2) Respect of people
Respect dalam koridor konteks Lean memiliki
makna sejumlah cara untuk mendorong karyawan
agar termotivasi dan melakukan pekerjaan lebih
baik dengan cara yang konstruktif. Hal ini bukan
berarti meninggalkan segala hal untuk menyelesaikan
masalah dan beban kerja mereka masing-masing.
Akan tetapi, respect for people memiliki makna
respect kepada pasien, karyawan, dokter, komunitas,
dan semua stakeholders rumah sakit beserta
lingkungannya, sehingga dapat dikatakan jika
melakukan hal yang buruk kepada salah satunya saja
merupakan suatu tindakan yang sangat tidak dapat
diterima. Spear (2010) menggambarkan rasa hormat
terhadap orang lain adalah ikut melibatkan orang
terebut dan menghargai ide yang diberikan, bukan
hanya mengandalkan segelintir orang saja.Ketika
konsep Lean digunakan dalam industri kesehatan,
elimination of waste dan respect of people adalah
respek kepada pasien, karyawan, dokter, komunitas
dan stakeholder rumah sakit serta lingkungannya,
sehingga segala tindakan yang diambil harus dapat
diterima oleh semua yang terlibat. Cindy Jimmerson
(2005) merumuskan komponen dari situasi ideal
berdasarkan prinsip Toyota Production System yang
di adaptasikan untuk pelayanan kesehatan, yaitu
terdiri dari:
a. Memberikan pelayanan yang tepat dan sesuai
kebutuhan pasien, bebas dari kesalahan (defect
free);
b. Satu per satu dirancang khusus untuk setiap
pasien secara individu;
c. On demand, persis seperti yang diminta;
d. Respon langsung terhadap masalah atau
perubahan;
e. No waste; dan
f. Aman untuk pasien, staf, klinisi: secara fisik,
emosional, dan professional.
Metode Lean memiliki aturan yang spesifik untuk
menentukan kegiatan yang menambah value (value
added) dan yang tidak bisa menambah value (non
value added). Adapun aturan atau kriteria dari value
added activity adalah sebagai berikut:
a. Pelanggan harus mau membayar untuk semua
aktivitas tersebut;
b. Aktivitas tersebut haruslah dapat mentransformasi
sebuah produk atau layanan dalam suatu
bentuk; dan
c. Aktivitas tersebut haruslah dilakukan dengan
benar sejak pertama kali dilakukan.
Apabila kegiatan tidak memenuhi ketiga kriteria
diatas, maka kegiatan tersebut termasuk non value
added activity.
METODOLOGI PENELITIAN
Desain penelitian ini adalah observasional dengan
pendekatan kualitatif yaitu melalui telaah data dari rumah
sakit dan observasi proses pemulangan pasien rawat inap
Rumah Sakit Masmitra serta wawancara dengan
petugas dari unit terkait dan perwaklian dari manajemen
rumah sakit.
Sampel dalam penelitian ini adalah pasien rawat inap
yang telah diizinkan pulang oleh Dokter Penanggung
Jawab Pelayanan (DPJP) pada saat visit dokter. Cara
peneliti mengetahui pasien yang akan pulang adalah
melalui informasi dari perawat ruangan, dimana pada
sebagian pasien satu hari sebelumnya sudah ada rencana
pemulangan dari DPJP. Sampel yang diambil sebanyak
10 pasien, tanpa membedakan jenis penyakit dan umur
pasien.
Informan dipilih secara purposive yaitu pengambilan
sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu dan
dilakukan untuk menghindari bias. Informan yang
diambil sebanyak 7 orang, terdiri dari Direktur RS,
Kepala Runag Rawat Inap, Perawat Pelaksana, Petugas
Penata Rekening, Petugas Instalasi Farmasi, Petugas
Kasir dan Staf IT.
Alamsyah., Percepatan Pemulanga Pasien Rawat Inap dengan Konsep Lean di Rumah Sakit Masmitra
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 142
HASIL DAN PEMBAHASAN
Unit yang terlibat dalam proses pemulangan pasien
adalah Dokter Penganggung Jawab Pasien (DPJP),
Perawat, Penata Rekening, Farmasi, Kasir, Laboratorium
dan Radiologi. Unit Radiologi dan Laboratorium sudah
online ke penata rekening, tagihan secara otomatis sudah
online. Seluruh unit yang terlibat dalam proses pelayanan
di unit rawat inap terbagi menjadi tiga shift yaitu pagi,
siang dan sore. Pagi dari jam 08.00-14.00. siang dari jam
14.00-21.00 dan malam 21.00-08.00, kecuali Penata
Rekening hanya ada satu shift yaitu dari jam 08.00-
17.00. Gambaran proses pemulangan pasien di Rumah
Sakit Masmitra dapat dilihat pada Cross Functioal
Flowchart (ditampilkan dalam gambar 1).
Proses pemulangan pasien rawat inap dimulai dengan
instruksi pemulangan dari DPJP dan berakhir pada saat
pasien meninggalkan ruang rawat inap. Setelah DPJP
visit dan memberikan instruksi pulang, perawat
menyiapkan resep obat yang akan dibawa pulang oleh
pasien, obat-obat dan alat-alat kesehatan yang akan di
retur serta berkas-berkas tagihan pasien. Resep obat
pulang pasien dan returan obat/alkes diantarkan oleh
perawat ke instalasi farmasi, sedangkan berkas-berkas
tagihan pasien diantarkan ke bagian penata rekening.
Petugas penata rekening melakukan input semua berkas
tagihan pasien berupa jasa visit dan tindakan dokter
kemudian akan menginformasikan melalui telfon
kepada petugas kasir bila semua berkas tagihan telah
selesai di input.
Petugas farmasi menyiapkan obat yang akan dibawa
pulang oleh pasien, menghitung obat/alkes yang di retur
serta melakukan input seluruh berkas tagihan pemakaian
obat pasien selama dirawat. Setelah selesai semua proses,
kemudian petugas farmasi akan menginformasikan ke
Unit Rawat Inap agar obat pulang pasien diambil oleh
perawat ke Instalasi Farmasi dan menyerahkan seluruh
berkas tagihan pemakaian obat ke petugas Kasir. Petugas
Kasir akan melakukan cross chek seluruh berkas yang
diserahkan oleh Petugas Instalasi Farmasi, walaupun
secara on line data yang di input oleh petugas farmasi dan
petugas penata rekening juga bisa dilihat di komputer
kasir. Petugas Kasir akan menginformasikan Unit
Rawat Inap bila semua proses telah selesai dilakukan,
agar keluarga turun ke Kasir untuk menyelesaikan
administrasi. Perawat akan menjelaskan perihal obat-
obat pulang, diet dan aktivitas yang bisa dilakukan di
rumah serta waktu kontrol setelah keluarga menyerahkan
tanda bukti lunas, yang dilanjutkan dengan melepas infus
dan membawa pasien keluar dari ruang rawat inap.
SPO pemulangan pasien hanya ada di ruang rawat inap
saja, pada unit lain yang terkait dengan proses
pemulangan pasien seperti Penata Rekening, Instalasi
Farmasi dan Kasir tidak ditemukan adanya SPO
tersebut. Pada waktu peneliti menanyakan kepada
petugas terkait, mereka menyatakan tidak pernah melihat
dan mengetahui isi SPO tersebut.
Dari 10 pasien rawat inap yang pulang didapat waktu
rata - rata keluarga menerima informasi tagihan dan
waktu rata – rata pasien keluar dari kamar rawat inap.
Dari tabel 11 dapat dilihat waktu rata – rata keluarga
pasien menerima informasi tagihan adalah 160 menit,
waktu ini masih tergolong cukup lama, karena
KepMenkes RI Nomor 129 Tahun 2008 tentang
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit yang
menyebutkan bahwa standar pada waktu pemberian
informasi tagihan pasien rawat inap adalah < 2jam.
Sedangkan waktu rata - rata pasien keluar dari kamar
rawat inap adalah 182 menit dimulai sejak DPJP
menyatakan pasien boleh pulang.
Dalam penelitian ini seluruh kegiatan proses pemulangan
pasien yang dilakukan oleh DPJP, Perawat, Penata
Rekening, Instalasi Farmasi dan Kasir disusun kemudian
ditentukan jenis mana yang value added dan non value
added (ditampilkan dalam tabel 2).
Dari tabel diatas dapat dilihat total kegiatan pada proses
pemulangan pasien rawat inap saat ini di Rumah Sakit
Masmitra ada 41 kegiatan, 21 kegiatan ( 51 %) bersifat
value added dan 20 kegiatan (49 %) bersifat non value
added.
Setelah mengumpulkan data-data mengenai proses
pemulangan pasien melalui observasi dan wawancara
mendalam serta menyusun Tabel Value Assessment,
maka langkah selanjutnya adalah memetakan Current
State Value Stream Mapping Value Stream Map
merupakan tehnik Lean yang dianggap efektif untuk
mengidentifikasi dan menghilangkan waste dalam rantai
pasokan. Gambaran Value Stream Map proses
pemulangan pasien rawat inap tersebut ditampilkan
dalam gambar 2.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 143
Pada Current State Value Stream map, maka
digambarkanlah bentuk untuk menyelesaikan administrasi
pemulangan pasien harus melalui 5 proses yaitu di DPJP,
Perawat, Penata Rekening, Instalasi Farmasi dan Kasir.
Proses di DPJP ada 6 kegiatan, Unit Rawat Inap 15
kegiatan, Penata Rekening 8 kegiatan, Instalasi Farmasi
6 kegiatan dan Kasir 6 kegiatan.
Dalam Current State Value Stream proses pemulangan
pasien, dapat dilihat juga mobilitas dari perawat yang
diberi simbol gambar orang harus berjalan dari ruang
rawat inap ke Penata Rekening dan Instalasi Farmasi
yang memerlukan jarak tempuh 140 meter untuk
mengantarkan berkas tagihan rawap inap, resep obat
pulang, returan obat dan mengambil obat pulang.
Aliran informasi yang terjadi digambarkan dengan
simbol tanda panah, dimana petugas Penata Rekening
ini harus melakukan rekapitulasi seluruh tagihan baik
yang berasal dari ruang rawat inap maupun dari Instalasi
Farmasi. Petugas Instalasi Farmasi setelah melakukan
input data tagihan kemudian menyerahkan berkas
tagihan ke petugas kasir untuk dilakukan pengecekan
berkas tagihan, setelah selesai kemudian petugas kasir
akan menginformasikan ke perawat agar keluarga
pasien menyelesaikan pembayaran dan meyerahkan
bukti lunas ke perawat.
Gambar yang paling bawah menunjukkan waktu yang
value added dan non value added dari masing-masing
proses. Juga ditunjukkan jumlah total kegiatan itu untuk
proses pemulangan pasien saat ini ada sebanyak 41
kegiatan, 21 kegiatan value added dan 20 kegiatan non
value added.
Pada alur proses pemulangan pasien rawat inap yang
sebenarnya ditemukan ketidak sesuaian terhadap SPO
pemulangan pasien rawat inap Rumah Sakit Masmitra
yang telah ada. Menurut Perry dan Potter (2005), SPO
adalah suatu standar atau pedoman tertulis yang
dipergunakan untuk mendorong dan menggerakkan
suatu kelompok untuk mencapai tujuan organisasi.
Standar Prosedur Operasional merupakan tata cara atau
tahapan yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk
menyelesaikan suatu proses kerja tertentu. Keberadaan
SPO pemulangan pasien tidak pada semua unit yang
terkait, hanya ada di ruang rawat inap, serta berdasarkan
wawancara mendalam sebagian besar tidak mengetahui
isi SPO tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa SPO
pemulangan pasien tersebutpun belum terdistribusikan
dan tersosialisai dengan baik. Menurut Notoatmodjo
(1992), melakukan pekerjaan secara efisien tidak hanya
bergantung kepada kemampuan atau ketrampilan
pekerja semata, tetapi juga dipengaruhi oleh beberapa
hal, satu diantaranya adalah prosedur kerja yang
berisikan uraian tugas yang jelas.
Kegiatan DPJP setelah menyatakan pasien boleh
pulang, kemudian melanjutkan visite ke pasien lain serta
memberikan penjelasan pada keluarga pasien yang lain
adalah waste, tapi disisi lain kedua kegiatan tersebut tidak
bisa dihilangkan karena sudah menjadi kewajiban DPJP.
Namun, hal itu bisa dilaksanakan setelah DPJP
menyelesaikan dokumen yang diperlukan untuk proses
pemulangan pasien, sehingga tidak ada kewajiban DPJP
yang diabaikan dan tidak menambah waktu tunggu
proses pemulangan pasien selanjutnya. Menurut Graban
(2009), segala aktivitas yang tidak memberikan nilai
terhadap pasien adalah suatu waste, yang harus
dihilangkan atau di minimalisir. Waste itu sendiri dalam
Konsep Lean ada 2 Type yaitu Waste/Muda tipe 1 dan
Waste/Muda tipe 2, dimana Waste tipe 1 adalah aktivitas
yang menghasilkan pemborosan namun tidak dapat
dihilangkan , tapi dapat di minimalisir, sedangkan Waste
tipe 2 adalah kegiatan yang benar-benar memboroskan
dan seharusnya dihilangkan. Di Rumah Sakit Masmitra
belum ada kebijakan dan SPO yang bisa mengatur
langkah diatas, oleh karena itu pendekatan yang baik
kepada DPJP oleh jajaran manajemen, diharapkan bisa
menjadi dasar untuk membuat kebijakan dan SPO yang
mengatur proses ini agar menjadi lebih Lean.
Masalah yang terjadi di Unit Rawat Inap adalah ketika
dalam waktu yang bersamaan ada DPJP lain yang
melakukan visite, bila hal ini terjadi dan kebetulan juga
pasien banyak pulang, maka proses pemulangan pasien
menjadi lebih lama. Hal tersebut dikarenakan jumlah
SDM yang ada di Unit Rawat Inap belum mencukupi
dan tidak adanya pembagian tugas yang jelas pada tiap
shift nya. Menurut Ilyas (2011) bahwa salah satu
indikator keberhasilan rumah sakit yang efektif dan
efisien adalah tersedianya SDM yang cukup dengan
kualitas yang tinggi, profesional yang sesuai dengan
fungsi dan tugas personil. Jumlah SDM yang cukup
diiringi dengan komitmen profesional. Disamping
masalah kurangnya jumlah SDM dan tidak adanya
pembagian tugas yang jelas, peneliti juga melihat belum
adanya perencanaan pemulangan (discharge planning)
yang baik. Menurut The Royal Marsden Hospital
(2004), discharge planning sangat dibutuhkan, karena
Alamsyah., Percepatan Pemulanga Pasien Rawat Inap dengan Konsep Lean di Rumah Sakit Masmitra
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 144
mempersiapkan pasien dan keluarga secara fisik dan
psikologis sebelum pulang ke rumah serta mempersiapkan
segala sesuatunya pada hari sebelumnya, agar pada hari
pemulangannya semua proses berjalan tanpa hambatan.
Sebagai solusi menurut peneliti dengan menambah
Pembantu Perawat ruangan pada tiap shift serta adanya
pembagian tugas yaitu pada tiap shift ada seorang
perawat yang bertanggung jawab dalam pemulangan
pasien, maka aliran informasi dari Unit Rawat Inap tidak
memerlukan banyak waktu tunggu. Didukung
Discharge Planning yang baik, perawat yang
bertanggung jawab dalam pemulangan pasien, sudah
memperkirakan pasien mana yang akan dipulangkan,
segera menerima instruksi pemulangan pasien dari
DPJP dan melanjutkan proses selanjutnya.
Proses di Penata Rekening merupakan ujung tombak
dalam proses pemulangan pasien, waktu rata-rata yang
diperlukan untuk menyelesaikan semua rincian adalah
38 menit. Lama waktu proses di bagian ini dipengaruhi
oleh lama waktu proses di bagian lain, jika proses
dibagian lain cepat dan tidak bermasalah, maka proses di
penata rekening juga lebih cepat. Penyerahan berkas
tagihan dari Unit Rawat Inap menemui kendala jika ada
pasien banyak pulang dan waktunya berdekatan maka
ada kecenderungan untuk menunggu satu sama lain. Hal
ini terjadi karena selama ini tidak ada standar waktu
berapa lama yang dianggap berdekatan, serta standar
jumlah pasien yang harus segera diantarkan berkas
tagihannya, sehingga saat ini perawat hanya menggunakan
persepsinya masing-masing. Lokasi antara ruang rawat
inap terhadap Penata Rekening dan Instalasi Farmasi
yang tidak berada dalam se lantai satu sama lainnya juga
menjadi alasan untuk efisiensi, sehingga perawat
mengumpulkan beberapa pasien pulang untuk diantar ke
Penata Rekening dan Instalasi Farmasi. Namun apapun
alasannya harus ada standar waktu yang ditetapkan oleh
rumah sakit. Standar adalah suatu pedoman atau model
yang disusun dan disepakati bersama serta dapat diterima
pada suatu tingkat tertentu untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan (Reyers, 1983). Sebagai solusi untuk
mengatasi lamanya proses di Penata Rekening adalah
menghilangkan waste di Unit Rawat Inap dan Instalasi
Farmasi seperti yang telah dipaparkan sebelumnya,
karena sebagian besar akar masalahnya berasal dari
kedua unit tersebut. Disamping itu perlu dilakukan
relokasi ruangan Penata Rekening ke ruang Kasir yang
bersebelahan dengan Instalasi Farmasi, sehingga bisa
mengurangi jarak tempuh dari Pembantu Perawat ketika
menyerahkan berkas tagihan dan retur obat/alkes.
Penambahan jumlah SDM di Penata Rekening juga
perlu dipertimbangkan agar jam kerja Penata Rekening
dibagi menjadi 2 shift, guna menunjang beban kerja di
Kasir.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah didapat rata-rata
waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proses di
Instalasi Farmasi adalah 48 menit. Lamanya waktu
proses tersebut disebabkan oleh belum adanya
pemisahan tugas antara petugas yang menangani pasien
rawat jalan dan rawat inap, sehingga apabila pasien rawat
jalan banyak, maka pelayanan pasien rawat inap yang
pulang menjadi terkendala, karena pelayanan terhadap
pasien rawat jalan didahulukan. Dampaknya adalah
input data tagihan pemakaian obat dan alkes selama
perawatan serta penyerahan berkas tagihan ke petugas
kasir menjadi tertunda. Standar pelayanan farmasi di
rumah sakit menyebutkan bahwa Instalasi Farmasi
Rumah Sakit di dalam melaksanakan pelayanan farmasi
dibagi menjadi 3 shift pelayanan dalam waktu 24 jam.
Distribusi tenaga farmasi ditempatkan pada 2 depo
pelayanan yaitu depo farmasi IGD/rawat jalan dan depo
farmasi rawat inap. Masing-masing depo pelayanan
dipimpin oleh apoteker. Solusi permasalahan di Instalasi
Farmasi adalah adanya pemisahan tugas, dengan adanya
hal tersebut memberi pengaruh waktu tunggu dan
kegiatan di unit lain.
Proses di Kasir merupakan akhir dari proses administarsi
pemulangan pasien rawat inap. Pada bagian inilah
keluarga pasien dapat mengetahui seluruh perincian
biaya selama pasien di rawat inap di rumah sakit. Proses
di kasir dipengaruhi oleh lama nya proses di bagian lain,
dari hasil penelitian ini didapatkan rata-rata lamanya
keluarga pasien menerima informasi tagihan dari kasir
adalah 160 menit (> 2 jam). Penyebab dari waktu tunggu
yang lama dalam pemberian informasi tagihan adalah
petugas kasir harus melakukan pengecekan berkas
tagihan dari Instalasi Farmasi. Kegiatan ini bisa tertunda,
ketika Petugas Kasir harus melayani pembayaran dari
pasien rawat jalan, apotek serta penunjang lain, terlebih di
waktu kunjungan poliklinik sedang ramai. Menurut
peneliti dengan keberadaan Penata Rekening di ruang
Kasir, pengecekan berkas tagihan dari Instalasi Farmasi
yang selama ini dilakukan oleh Petugas Kasir dialihkan
ke Petugas Penata Rekening, dengan demikian kegiatan
pengecekan ini tidak terhambat oleh kegiatan lain.
Dalam Konsep Lean Hospital, ada 8 jenis waste yang
ada dalam lingkungan rumah sakit, namun dalam
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 145
penelitian ini hanya ditemukan 6 jenis waste yang terkait
dengan proses pemulangan pasien rawat inap di Rumah
Sakit Masmitra, yaitu: Over Production, Over
Transportation, Over Processing, Defect, Waiting dan
Motion. Setelah melakukan penggolongan waste yang
terjadi pada proses pemulangan, langkah selanjutnya
adalah mencari akar masalah yang menyebabkan
terjadinya waste dengan Metode Caused and Effect
(Fishbone Diagram). Dari hasil analisis dengan Metode
Cause & Efect didapatkan faktor yang menjadi sebab
waste pada sistem alur proses pemulangan pasien.
Peneliti mengusulkan langkah-langkah perbaikan untuk
dapat meminimalisir waste yang ada, pertimbangan-
pertimbangan lain yang disadari oleh peneliti bahwa
untuk mengubah dan merencanakan suatu usulan/ide di
Rumah Sakit Masmitra harus melalui proses yang
panjang dan rumit, karena menyangkut berbagai
kebijakan dari pihak manajemen serta anggaran rumah
sakit. Peneliti dalam memberikan usulan perbaikan
menggunakan kriteria jangka pendek, menengah dan
jangka panjang. Adapun uraian dari usulan - usulan
perbaikan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1) Usulan perbaikan jangka pendek
Revisi, Distribusi dan Sosialisasi SPO Pemulangan
pasien Rawat Inap.
Menciptakan komitmen antar unit: menetapkan
standar waktu proses dari masing- masing unit
terkait proses pemulangan pasien.
Meningkatkan koordinasi antar unit
2) Usulan perbaikan jangka menengah
Pendekatan kepada DPJP dalam hal pemulangan
pasien.
Pembagian tugas di Instalasi Farmasi.
Relokasi Penata Rekening ke Ruang Kasir.
3) Usulan perbaikan jangka panjang
Penambahan SDM di Ruang Rawat Inap.
Penambahan SDM di Penata Rekening.
Apabila semua usulan perbaikan dilaksanakan maka
akan didapat proses pemulangan pasien yang ideal,
dimana total proses pemulangan pasien rawat inap dapat
diringkas menjadi 17 kegiatan, 14 kegiatan bersifat value
added dan 3 kegiatan bersifat non value added
(ditampilkan dalam gambar 3).
Dapat dilihat disini setelah dilakukan usaha-usaha
perbaikan, terjadi perubahan pada masing-masing unit,
yaitu: Proses di DPJP ada 1 kegiatan, Unit Rawat Inap
ada 7 kegiatan, Proses di Penata Rekening ada 3
kegiatan, Proses di Instalasi Farmasi ada 5 kegiatan dan
Proses di Kasir ada 1 kegiatan.
Jarak tempuh perawat setelah Ruang Penata Rekening
pindah ke Ruang Kasir yang bersebelahan dengan
Instalasi Farmasi berkurang menjadi 40 meter. Petugas
Kasir tidak lagi melakukan pengecekan berkas tagihan
dari Instalasi Farmasi, karena dengan keberadaan
Petugas Penata Rekening di ruang Kasir, kegiatan
tersebut bisa dilakukan oleh Petugas Penata Rekening.
Tentunya apabila semua usulan perbaikan dilaksanakan,
maka Rumah Sakit Masmitra membutuhkan biaya yang
sangat besar, kerena terkahit dengan penambahan SDM,
oleh karena itu peneliti juga melakukan analisis apabila
perbaikan dilakukan tanpa harus menambah SDM,
hasilnya.
Data pada tabel 3 menunjukkan bila hanya dengan
melakukan usulan perbaikan tanpa menambah SDM,
hasilnya jauh lebih baik dari kondisi sekarang, walaupun
tidak sebaik bila melakukan usulan perbaikan dengan
penambahan SDM, karena masih ada waste di unit
rawat inap dan bottle neck di kasir bila ada pasien rawat
inap yang pulang diatas jam 17.00 dimana Petugas Penata
Rekening sudah tidak ada dan kunjungan pasien Poliklinik
sedang ramai.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1) Proses pemulangan pasien rawat inap di Rumah
Sakit Masmitra saat ini masih memerlukan waktu
yang cukup lama. Penyebab lamanya proses
pemulangan pasien tersebut disebabkan oleh;
DPJP setelah menyatakan pasien boleh pulang
tidak segera membuat instruksi pulang dan
membuat resep obat pulang, melainkan
melanjutkan visit ke pasien-pasien yang lainnya.
Belum ada perawat yang bertanggung jawab
untuk menyelesaikan proses pemulangan pasien di
unit rawat inap,
Belum ada pembagian tugas yang jelas di
Instalasi Farmasi, sehingga bila pasien rawat
jalan ramai, proses yang berkaitan dengan
pasien pulang menjadi tertunda.
2) Current State Value Stream Map menunjukkan
bahwa ada 6 jenis waste yang ditemukan pada
Alamsyah., Percepatan Pemulanga Pasien Rawat Inap dengan Konsep Lean di Rumah Sakit Masmitra
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 146
proses pemulangan pasien rawat inap saat ini di
Rumah Sakit Masmitra, yaitu: Over Production,
Over Transportation, Over Processing, Defect,
Waiting dan Motion.
3) Apabila seluruh usulan perbaikan dilaksanakan
akan didapat proses pemulangan pasien rawat inap
yang dianggap ideal, yaitu total kegiatan dapat
diringkas menjadi 17 kegiatan, 14 kegiatan bersifat
value added (94,4 %) dan 3 kegiatan bersifat non
value added (5,6 %).
4) Apabila semua usulan perbaikan dilaksanakan,
tentunya Rumah Sakit Masmitra membutuhkan
biaya yang cukup besar, karena terkait dengan
penambahan SDM. Namun apabila perbaikan
dilakukan tanpa adanya penambahan SDM,
ternyata hasilnya masih jauh lebih baik bila
dibandingkan dengan kondisi saat ini walaupun
tidak seoptimal dengan dengan yang ideal.
Saran
1) Proses pemulangan pasien rawat inap saat ini yang
telah dituangkan ke dalam Current State Value
Stream Map pada penelitian ini sebaiknya disosialisasikan
kepada seluruh petugas yang terkait pada proses
pemulangan pasien.
2) Usulan-usulan perbaikan yang telah disusun dalam
penelitian ini diharapkan bisa menjadi masukan
bagi jajaran manajemen Rumah Sakit Masmitra
untuk dilaksanakan, terutama usulan perbaikan jangka
pendek, karena tidak membutuhkan banyak biaya.
Pada implementasinya, manajemen Rumah Sakit
Masmitra dapat segera memperbaiki SPO Pemulangan
pasien kemudian mendistribusikan dan mensosialisasikan
kepada seluruh petugas terkait.
3) Melakukan relokasi ruang penata rekening yang
sekarang ke ruang kasir juga sudah bisa mulai
difikirkan, mengingat ruang kasir yang baru
dibangun ini masih ada ruang kosong yang masih
memungkinkan untuk ditempati oleh Petugas
Penata Rekening disitu. Dengan dilakukannya
relokasi tersebut, Perawat/Pembantu Perawat tidak
harus naik turun dalam mengantar berkas tagihan dan
resep obat pulang serta returan, karena lokasi antara
Ruang Kasir dan Instalasi Farmasi sekarang adalah
bersebelahan.
4) Di Instalasi Farmasi perlu segera dilakukan pembagian
tugas antara yang menangani pasien rawat jalan dan
rawat inap, dengan demikian walaupun banyak pasien
rawat jalan yang dilayani, kegiatan yang menyangkut
proses pasien pulang tidak tertunda.
5) Perlu dibuat SPO pemulangan pasien bagi DPJP yang
intinya menegaskan bahwa setelah menyatakan pasien
boleh pulang, DPJP segera menyelesaikan instruksi
pulang dan resep obat pulang, sehingga aliran informasi
ke tahap selanjutnya menjadi lancar. Namun untuk
merealisasikan hal ini, pihak manajemen tidak bisa
berjalan sendiri tetapi harus meminta bantuan pihak lain
yang mengkomunikasikan dan memediasikan yaitu
Komite Medis.
6) Masalah perubahan jam kerja Penata Rekening
menjadi dua shift, bisa disiasati dengan melemburkan
petugas yang dianggap mampu untuk melaksanakan
kegiatan Penata Rekening pada waktu diatas jam 17.00,
sehingga bila ada pasien rawat inap yang pulang
diwaktu tersebut, kegiatan input seluruh data tagihan
tidak dilakukan oleh Petugas Kasir, seperti yang
dilaksanakan pada saat ini. Langkah ini tentunya bisa
jauh lebih menghemat biaya bila dibandingkan rumah
sakit harus merekrut lagi karyawan baru untuk
menambah shift Petugas Penata Rekening.
DAFTAR PUSTAKA
Parasuraman, A, Zeithaml V.A. and A. Berry L.L. 1998. SERVEQUAL: A Multiple-item Scale
for Measuring Consumer Perseption of Service Quality, Journal of Retailing, Vol. 64
(January), p. 12-35.
Anjaryani, WD., 2009 Kepuasan Pasien Rawat Inap Terhadap Pelayanan Perawat di RSUD Tugurejo Semarang. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.
Diunduh 20 Februari 2015.
Discharge Planning Assotiation. 2008. Discharge Planning di http:www discharge Planning.org.au/index.htm. Diunduh pada tanggal 2 maret 2015
Departemen Kesehatan RI. 2008. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor:
129/Menkes/SK/II/2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik.
Graban M. 2009 Lean Hospitals: Improving Quality, Patient Safety, and Employee Satisfaction.
New York: Taylor & Francis Group; 2009. Jimmerson, Cindy, Dorothy Weber, dan Durward K. Sobek. 2005. Reducing waste and errors:
Piloting Lean Principles at Intermountain Healthcare. J Quality patient Safety. Notoatmodjo, Soekidjo. 2009. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Potter, Patricia A. & Perry, Anne Griffin. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep,
Proses, Dan Praktik. Edisi 4. Jakarta: EGC. Ben-Tovim, David I., et al.2008. Patient journeys: the process of clinical redesign. Med J
Australia 2008; 188(6); S14-17.
Womack, James P. dan Daniel T. Jones. 1996 Lean Thinking: Banish Waste and Create Wealth in Your Corporation. New York: Simon & Schuter.
Wibowo, A. 2014. Metodologi Penelitian Praktis Bidang kesehatan. Jakarta: Rajawali Press.
Rother, M. dan Shook, J. 2003. Learning to See: Value stream mapping to add value and
eliminate muda. Cambride, MA: Lean Enterprise Institute.
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 147
Gambar 1. Proses Pemulangan Pasien Rawat Inap di RS Masmitra
Tabel 1. Rangkuman Waktu Pasien Menerima Informasi Tagihan dan Keluar Ranap
No.
Pasien Mulai
Informasi Tagihan Keluar Kamar Ranap
Selesai Total waktu (menit) Selesai Total Waktu (menit)
1. 10.15 13.11 176 menit 13.28 193 menit
2. 08.20 12.04 224 menit 12.26 246 menit
3. 12.35 16.29 236 menit 16.54 259 menit
4. 08.35 10.36 121 menit 10.59 144 menit
Tabel 1.1 Rangkuman Waktu Pasien Menerima Informasi Tagihan dan Keluar Ranap
(sambungan)
No.
Pasien Mulai
Informasi Tagihan Keluar Kamar Ranap
Selesai Total waktu (menit) Selesai Total Waktu
(menit)
5. 10.05 12.26 141 menit 12.48 163 menit
6. 08.10 10.47 157 menit 11.09 179 menit
7. 10.10 12.38 148 menit 11.30 170 menit
8. 08.40 11.08 137 menit 10.30 160 menit
9. 08.10 10.27 137 menit 10.50 160 menit
10. 11.40 13.48 128 menit 14.11 151 menit
Rata - rata 160 menit 182 menit
Tabel 2. Value Assesment
Unit Jumlah kegiatan Jenis Kegiatan
Value Added Non Value Added
DPJP 6 Kegiatan 4 Kegiatan 2 Kegiatan
Perawat 15 Kegiatan 8 Kegiatan 7 Kegiatan
Penata Rekening 6 Kegiatan 4 Kegiatan 2 Kegiatan
Farmasi 8 Kegiatan 3 Kegiatan 5 Kegiatan
Kasir 6 Kegiatan 2 Kegiatan 4 Kegiatan
Total 41 Kegiatan 21 Kegiatan 20 Kegiatan
Alamsyah., Percepatan Pemulanga Pasien Rawat Inap dengan Konsep Lean di Rumah Sakit Masmitra
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 148
Gambar 2. Current State VSM Proses Pemulangan Pasien Rawat Inap RS Masmitra
Gambar 3. Future State VSM Proses Pemulangan Pasien Rawat Inap RS Masmitra
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Volume 3 Nomor 2
Jurnal ARSI/Februari 2017 149
Tabel 3. Perbedaan antara Current State dan Usulan perbaikan Tanpa Penambahan
SDM dan Future State
No. Perubahan Current State Usulan Perbaikan Tanpa Penambahann
SDM Future State
1. Jumlah kegiatan 41 17 17
2. Presentase kegiatan VA 51% 76,5% 94,4%
3. Presentase kegiatan Non VA 49% 23,5 % 5,6 %
4. Prosentase VA time 30,5% 75 % 92,3 %
5. Prosentase NVA time 69,5% 25 % 7,7 %
6. Total jarak tempuh 140 meter 44 meter 44 meter
7. Total waktu keluarga pasien menerima informasi tagihan
160 menit 76 menit 65 menit
8. Total waktu proses pemulangan
pasien rawat inap 182 menit 88 menit 78 menit
Alamsyah., Percepatan Pemulanga Pasien Rawat Inap dengan Konsep Lean di Rumah Sakit Masmitra
141
ABSTRAK
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan melalui peraturannya mengamanahkan pentingnya keselamatan
pasien. Hal ini dapat dilihat dari disebutkannnya keselamatan pasien dalam empat pasal di Undang-Undang Nomor
44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan secara khusus dalam Peraturan Menteri Kesehatan. Pentingnya isu kesela-
matan pasien di rumah sakit tidak berbanding lurus dengan indikator kinerja Rumah Sakit BLU yang tertulis dalam
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor 34 Tahun 2014 Tentang Pedoman Penilaian Kinerja Badan
Layanan Umum Bidang Layanan Kesehatan. Dalam Perdirjen ini, dapat dilihat bahwa penilaian kinerja RS BLU
terdiri dari aspek keuangan dan aspek pelayanan. Keselamatan pasien dapat dilihat pada aspek pelayanan lebih khu-
susnya dapat dilihat pada kelompok indikator mutu klinik yang memiliki skor maksimal 12 dari 100. Mutu klinik di
ukur dengan lima indikator yang empat di antaranya adalah angka kematian. Jika merujuk kepada besarnya
penekanan terhadap keselamatan pasien dan definisi keselamatan pasien, maka pertanyaannya adalah apakah indi-
kator berupa angka kematian cukup merepresentasikan pentingnya keselamatan pasien dirumah sakit? Penulisan ini
bertujuan untuk memberikan gambaran peranan keselamatan pasien dalam tatanan indikator kinerja Rumah Sakit
BLU. Penulisan ini menggunakan metode literatur review. Hasil dari telaah ini menunjukkan bahwa upaya kesela-
matan pasien belum sepenuhnya menjadi tolak ukur kinerja Rumah Sakit BLU.
Kata kunci: keselamatan pasien, rumah sakit, indikator kiner ja RS BLU.
ABSTRACT
The government which is the Ministry of Health through its regulations mandates the importance of patient safety.
This can be seen from the mention of patient safety in the four articles in Undang-Undang Number 44 Year 2009
about Hospital and specifically in the Minister of Health Regulation. The importance of patient safety issues in hos-
pitals is not directly proportional to the performance indicators of the BLU Hospital written inPeraturan Direktur
Jenderal Pembendaharaan Number 34 Year 2014 about the Guidelines for Performance Appraisal of Public Ser-
vice Bodies for Health Services. In this regulation, it can be seen that the performance assessment of BLU Hospital
consists of financial aspect and service aspect. Patient safety can be seen in service aspect more specially can be
seen in group of clinical quality indicator which have maximum score 12 from 100. Clinic quality is measured with
five indicator which four of them is death rate. If it refers to the magnitude of the emphasis on patient safety and the
definition of patient safety, then the question is whether the indicator of mortality adequately represents the im-
portance of patient safety in the hospital? This article aimed to provide an overview of the role of patient safety in
the performance indicators of hospital performance BLU. This study was conducted by using the literature review
method. The results of this study indicate that the patient's safety efforts have not fully become the benchmark of
BLU Hospital performance.
Keywords: patient safety, hospital, performance indicators of BLU Hospital.
Perlukah Keselamatan Pasien Menjadi Indikator Kinerja RS BLU?
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Kampus Baru Universitas Indonesia Depok, Jawa Barat, 16424, Telp. (021) 7864974
*Email: [email protected]
PENDAHULUAN
To Err is Human adalah sebuah laporan yang disam-
paikan oleh US Institute of Medicine pada tahun 1999.
Dalam hasilnya disampaikan bahwa setiap negara di-
harapkan menyusun National Goal for Patient safety.
Kegiatan ini diikuti oleh WHO pada tahun 2002 dan
Joint commission mulai mempromosikan pada tahun
2003. Indonesia juga mulai menyusun standar dan sasa-
ran terhadap keselamatan pasien yang tertulis jelas pada
Peraturan Menteri Kesehatan no 1691 tentang Kesela-
matan Pasien.
Keselamatan Pasien adalah paradigma yang menjadi
sangat penting untuk dijadikan dasar dalam memberikan
pelayanan. Pentingnya paradigm ini dapat dilihat dalam
empat pasal yang disampaikan dalam Undang-Undang
Rumah Sakit. Dalam perjalananya, keselamatan pasien
belum secara maksimal mendasari pelayanan yang
diberikan oleh rumah sakit. Berbeda dengan prinsip
efisiensi yang menjadi sorotan penting dalam mem-
berikan pelayanan. Banyak sekali media yang menyam-
Masyitoh Basabih
Should Patient Safety Be a Performance Indicator of RS BLU?
Jurnal ARSI/Februari 2017 150
141
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 3 Nomor 2
paikan bahwa tanpa jaminan maka pelayanan tidak dapat
diberikan dan kenyataannya hal tersebut menjadi ke-
bijakan dirumah sakit yang mutlak sifatnya. Hal ini
menunjukkan pentingnya peranan perspektif keuangan,
lantas bagaimana dengan keselamatan pasien? Seberapa
besar keselamatan pasien menjadi dasar dalam membuat
kebijakan di rumah sakit?
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat in-
ap, rawat jalan, dan gawat darurat. Dalam undang-undang
yang sama disampikan juga bahwa rumah sakit milik
pemerintah harus berbentuk Badan Layanan Umum atau
Badan Layanan Umum Daerah (Kementerian Kesehatan,
2009).
Dalam Peraturan Pemerintah No 23 Tentang Badan
Layanan Umum, BLU didefinisikan sebagai instansi di
lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari
keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasar-
kan pada prinsip efisiensi dan produktivitas, sementara
pola pengelolaan keuangannya memberikan fleksibilitas
dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyara-
kat. Tujuan dari BLU adalah meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat (PP, 2005).
Dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada masyara-
kat, Rumah Sakit BLU memiliki sejumlah indikator
kinerja yang terbagi menjadi aspek keuangan dengan skor
maksimal 30 dan aspek pelayanan dengan skor maksimal
70 yang kemudian diatur dalam Perdirjen No 43 Tahun
2014 Tentang Pedoman Penilaian Kinerja Badan Layanan
Umum Bidang Layanan Kesehatan. Aspek pelayanan
meliputi subaspek Layanan dan Subaspek Mutu dan
Manfaat kepada masyarakat.
Dalam memberikan pelayanannya Rumah sakit sebagai
sebuah institusi diatur dalam Undang-Undang Rumah
Sakit, dimana terdapat empat pasal dalam undang-undang
tersebut yang mengamanahkan keselamatan pasien. Ama-
nah keselamatan pasien dalam Undang-Undang Rumah
Sakit telah dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Men-
teri Kesehatan No 1691 Tahun 2011 Tentang Kesela-
matan pasien. Yang menjadi pertanyaan dalam makalah
ini adalah apakah penekanan keselamatan pasien dalam
Undang-Undang Rumah Sakit menjadi komponen
penilaian kinerja?
TINJAUAN PUSTAKA
Rumah Sakit
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat in-
ap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah Sakit mempu-
nyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna untuk itu Rumah Sakit memiliki fungsi
(Kemkes, 2009):
1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan
kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sa-
kit;
2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan
melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat
kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis
3. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber
daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan
dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan
4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta
penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka
peningkatan pelayanan kesehatan dengan memper-
hatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
Keselamatan Pasien dalam Undang-Undang Rumah Sakit
Dalam undang-undang ini jelas diamanahkan mengenai
keselamatan pasien, berikut dibawah ini adalah rinciann-
ya dalam pasal:
1. Pada pasal 2 disebutkan bahwa penyelenggaraan Ru-
mah Sakit didasarkan pada nilai kemanusiaan, etika
dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak
dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan
keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial.
2. Pasal 3 ayat dua yang menyebebutkan bahwa penga-
turan penyelenggaran Rumah Sakit bertujuan untuk
memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasi-
en.
3. Pasal 13 yang mengatakan bahwa setiap tenaga yang
bekerja dirumah sakit harus mengutamakan kesela-
matan pasien.
4. Pasal 43 secara khusus menjelaskan mengenai kewa-
jiban penerapan keselamatan pasien di Rumah Sakit
(Kemkes, 2009).
Keselamatan Pasien
Keselamatan pasien di definisikan sebagai suatu sistem
dimana Rumah Sakit membuat asuhan pasien lebih aman
yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengel-
olaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari
insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi
untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah
terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tinda-
kan yang seharusnya diambil (Kemkes, 2011).
Terdapat tujuh standar keselamatan pasien yang di atur
melalui Peraturan Menterian Kesehatan, yaitu:
1. Hak Pasien
Pasien dan keluarganya berhak memperoleh informa-
si terkait rencana tindakan, hasil pelayanan dan ke-
mungkinan terjadinya insiden. Untuk memuhi stan-
dar 1 ini maka terdapat sejumlah kriteria yang harus
dipenuhi:
a. Harus ada dokter penanggungjawab pelayanan;
Jurnal ARSI/Februari 2017 151
141
b. Dokter penanggungjawab elayanan wajib mem-
buat rencana pelayanan; serta
c. Dokter penanggung jawab wajib memberikan
penjelasan yang komprehensif tentang rencana,
prosedur, pengobatan dan hasil pelayanan.
2. Mendidik pasien dan keluarga
Rumah sakit bertugas untuk mendidika pasien dan
keluarganya tentang kewajiban dan tanggungjawab
pasien dalam asuhan pasien. Rumah sakit diharap-
kan memiliki mekanisme dalam hal ini, output dari
standar ini adalah pasien dan keluarga diharapkan
dapat:
a. Memberikan informasi yang benar, jelas, leng-
kap dan jujur;
b. Mengetahui kewajiban dan tanggungjawab pa-
sien dan keluarga;
c. Dapat mengajukan pertanyaan apabila ada hal
yang tidak dimengerti;
d. Memahami dan menerima konsekuensi dari pela-
yanan ;
e. Mematuhi aturan dan instruksi yang diberikan;
f. Memiliki sikap menghormati dan tenggang rasa;
serta
g. Memnuhi kewajiban finansial
3. Keselamatan pasien dalam kesinambungan pela-
yanan
Dalam hal ini rumah sakit menjamin keselamatan
pasien dengan memastikan koordinasi antar tenaga
kesehatan dan antar unit dalam rangka kesinambun-
gan pelayanan. Hal ini dapat dilihat dari :
a. Adanya koordinasi pelayanan secara komprehen-
sif mulai dari saat pasien masuk, pemeriksaan,
diagnosis, perencanaan pelayanan, tindakan pen-
gobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari ru-
mah sakit.
b. Adanya koordinasi pelayanan yang disesuaikan
dengan kebutuhan pasien dan kelayakan sumber
daya secara berkesinambungan sehingga pada
seluruh tahap pelayanan transisi antar unit pela-
yanan dapat berjalan baik dan lancar.
c. Adanya koordinasi pelayanan termasuk dida-
lamnya peningkatan komunikasi dalam rangka
memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan
keperawatan, pelayanan sosial, konsultasi dan
rujukan, pelayanan kesehatan primer dan tindak
lanjut lainnya.
d. Antar profesi kesehatan terjalin komunikasi dan
transfer informasi.
4. Penggunaan metode peningkatan kinerja untuk
melakukan evaluasi dan program peningkatan ke-
selamatan pasien
Pada standar ini rumah sakit diharapkan mampu
mendesain proses baru atau memperbaiki proses
yang ada dalam rangka meningkatkan kinerja dan
keselamatan pasien. Hal ini dapat dilihat dari:
a. Rumah Sakit melakukan proses perancangan
yang baik yang mengacu kepada kebutuhan
pasien, kaidah klinis, dan faktor-faktor lain yang
berpotensi menimbulkan risiko.
b. Rumah Sakit harus melakukan pengumpulan da-
ta kinerja yang terdiri dari pelaporan insiden,
akreditasi, manajemen risiko, utilisasi, mutu
pelayanan dan keuangan.
c. Rumah sakit harus melakukan evaluasi terhadap
insiden.
d. Rumah sakit menentukan perubahan sistem
dengan berbasis kepada data dan indormasi hasil
analisis.
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatankan kese-
lamatan pasien
a. Pemimpin mendorong dan menjamin implemen-
tasi program keselamatan pasien.
b. Pemimpin menjamin berlangsungnya kediatan
identifikasi resiko terhadap keselamatan pasien.
c. Pemimpin mengalokasikan sumberdaya yang
adekuat.
d. Pemimpin mengukur dan mengkaji efektifitas
kontribusinya
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
a. Memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orien-
tasi untk setiap jabatan; dan
b. Menyelenggarakan pendidikan dan juga pelati-
han yang berkelanjutan.
7. Komunikasi sebagai kunci efektif; serta
a. Merencanakan dan mendesain proses mana-
jemen informasi terkait keselamatan pasien; dan
b. Transmisi data dan informasi akurat dan tepat
waktu.
Untuk itu terdapat enam sasaran keselamatan pasien,
yang terdiri dari:
1. Ketepatan identifikasi pasien
2. Peningkatan komunikasi efektif
3. Peningkatan keamanan obat
4. Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur dan tepat
pasien operasi
5. Pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan kese-
hatan
6. Pengurangan resiko pasien jatuh
Menurut National Patient Safety Foundation terdapat
sejumlah cara untuk mendapatkan sistem manajemen
keselamatan pasien yang baik (Murphy et al., 2009):
1. Mendorong semua staf untuk bertanggung jawab
atas keselamatan diri sendiri, rekan kerja, pasien
serta pengunjung;
2. Memprioritaskan keselamatan diatas keuangan dan
tujuan operasional;
3. Memberikan penghargaan terhadap identifikasi,
pelaporan, dan resolusi masalah keselamatan;
Jurnal ARSI/Februari 2017
Masyitoh Basabih, Perlukah Keselamatan Pasien Menjadi Indikator Kinerja RS BLU?
152
141
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia
4. Menyediakan organisasi pembelajaran dari sebuah ke-
celakaan;
5. Mengalokasikan sumber daya yang tepat, struktur, dan
akuntabilitas untuk menjaga sistem keamanan yang
efektif; sertaMenghindari perilaku sembarangan
Menilik ke negara tetangga, kita dapat melihat bahwa da-
lam menetapkan safety goal Taiwan memaksukkan juga
kegiatan seperti pelaporan yang menjadi goal. Berikut
dibawah ini adalah Patient safety annual goal Taiwan
yang terdiri dari (Wung et al., 2011):
1. Meningkatkan keselamatan dalam penggunaan obat;
2. Pengurangan infeksi tenaga kesehatan;
3. Mengurangi salah lokasi, salah pasien dan salah
prosedur;
4. Meningkatkan ketepatan identifikasi pasien;
5. Pencegahan pasien jatuh;
6. Pelaporan insiden ;
7. Meningkatkan komunikasi dan keselamatan dalam
transfer dan handoff pasien; serta
8. Meningkatkan keterlibatan pasien.
Dari data diatas yang berbeda dengan di Indonesia adalah
pengurangan infeksi terhadap tenaga kesehatan dan pela-
poran insiden.
Key Performance indicator diartikan sebagai perhitungan
yang digunakan sebuah organisasi untuk mengukur
kesuksesan dalam upaya memenuhi tujuannya. KPI ber-
fokus kepada pemenuhan tujuan jangka panjang sementara
indikator kinerja tidak. KPI menjadi perhatian penting bagi
pembuat kebijakan, sementara indikator kinerja menjadi
penting bagi para manajer sektor publik.
KPI yang baik seharusnya dapat membantu para pengam-
bil kebijakan untuk (Rozner, 2013):
1. Menggambarkan data baseline:
2. Menyusun standard an target; serta
3. Melakukan perhitungan dan pelaporan.
METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan sebagai basis dalam
penulisan artikel ini adalah literature review dari beberapa
peraturan kebijakan kesehatan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Standar pelayanan minimal adalah ketentuan tentang jenis
dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib
daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal
juga merupakan spesifikasi teknis tentang tolak ukur pela-
yanan minimum yang diberikan oleh Badan Layanan
Umum Kepada Masyarakat. Dalam Permenkes tentang
Keselamatan Pasien disebutkan mengenai standar, kriteria
dan sasaran dalam keselamatan pasien. Jika mengacu kepa-
da kamus besar Bahasa Indonesia, standar diartikan se-
bagai ukuran tertentu yang dijadikan patokan, sementara
kriteria adalah ukuran yang menjadi dasar penilaian atau
penetapan sesuatu. Sasaran adalah sesuatu yang menjadi
tujuan. Dalam penilaian kinerja rumah sakit yang
digunakan adalah indikator, indikator adalah sesuatu yang
dapat memberikan pentunjuk (KBBI, 2016). Jadi secara
singkat dapat disimpulkan bahwa dalam memberikan pela-
yanan yang mengacu kepada keselamatan pasien, rumah
sakit mengacu pada standar yang detailnya dapat dilihat
pada kriteria, dan standar ini memiliki sasaran yang harus
dituju. Pada tabel dibawah ini coba dipadankan antara
standar, kriteria dan sasaran dalam keselamatan pasien.
Tabel 1. Matriks Padanan Standar, Kriteria, dan Sasaran Keselamatan Pasien
No Standar Kriteria Sasaran
1
Hak Pasien Standar Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk menda
-patkan informasi tentang rencana dan hasil pelaya-nan termasuk kemungkinan terjadinya insiden.
Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) yang membuat rencana pelayanan dan
menjelaskannya ke pasien
a. Ketepatan identifikasi
pasien b. Peningkatan komu-
nikasi efektif c. Peningkatan keamanan
obat d. Kepastian tepat lokasi,
tepat prosedur dan
tepat pasien operasi e. Pengurangan resiko
infeksi terkait pela-yanan kesehatan
f. Pengurangan risiko
pasien jatuh
2
Mendidik pasien dan keluarga Standar: Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya
tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien
Rumah sakit memiliki mekanisme untuk meng-edukasi pasien dan keluarganya tentang kewajiban
dan tanggungjawab. Diharapkan dengan mekanis-
me ini pasien dapat memberikan informasi yang benar.
3
Keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan Standar: Rumah Sakit menjamin keselamatan pasien dalam
kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan.
Rumah sakit memiliki sistem koordinasi pelayanan yang komprehensif (perjalanan pasien, pelayanan
sesuai kebutuhan pasien, komunikasi dan transfer
informasi antar profesi kesehatan)
4
Metode peningkatan kinerja untuk melakukan evalua-si dan program peningkatan keselamatan pasien Standar: Rumah sakit harus mendesain proses baru atau mem-perbaiki proses yang ada, memonitor dan mengeval-
uasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif insiden, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta kesela-
matan pasien
Rumah sakit memiliki desain pelayanan yang yang mengacu kepada visi, misi, dan tujuan rumah sakit,
kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan,
kaidah klinis dan keselamatan pasien. 1. Setiap rumah sakit harus melakukan pengum-
pulan data kinerja dan evaluasi yang antara lain terkait dengan: pelaporan insiden, akreditasi,
manajemen risiko, utilisasi, mutu pelayanan,
keuangan. 2. Menggunakan data untuk meningkatkan kinerja
keselamatan pasien.
Jurnal ARSI/Februari 2017
Volume 3 Nomor 2
153
141
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa semua standar
keselamatan pasien bertujuan untuk tercapainya sasaran.
Pertanyaan yang paling mendasar yang ingin disampaikan
penulis adalah peranan keselamatan pasien dalam kinerja
rumah sakit. Dalam peraturan Dirjen Perbendaharaan No.
34 tertulis bahwa kinerja Rumh Sakit BLU dinilai dari
aspek keuangan dan aspek pelayanan. Aspek keuangan
memiliki bobot 30 % dan aspek pelayanan 70%. Dalam
tabel di bawah ini diperlihatkan indikator kinerja dalam
aspek pelayanan RS BLU.
Lanjutan Tabel 1. Matriks Padanan Standar, Kriteria, dan Sasaran Keselamatan Pasien
No Standar Kriteria Sasaran
5
Peran kepemimpinan dalam meningkatkan kesela-matan pasien
Standar:
1. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien.
2. Pimpinan menjamin berlangsungnya program
proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi
insiden.
3. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komu-nikasi dan koordinasi antar unit dan individu.
4. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang
adekuat untuk mengukur, mengkaji, dan mening-katkan kinerja rumah sakit serta meningkatkan
keselamatan pasien.
5. Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan kinerja rumah
sakit dan keselamatan pasien.
1) Terdapat tim keselamatan pasien. 2) Tersedia program proaktif untuk identifikasi
risiko keselamatan dan program meminimalkan
insiden. 3) Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin
bahwa semua komponen dari rumah sakit terin-
tegrasi dan berpartisipasi dalam program keselamatan pasien.
4) Tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap
insiden. 5) Tersedia mekanisme pelaporan internal dan
eksternal (termasuk Analisis Akar Masalah
“Kejadian Nyaris Cedera” (Near miss) dan “Kejadian Sentinel”.
6) Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai
jenis insiden. 7) Tersedia sumber daya dan sistem informasi
yang dibutuhkan.
8) Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi.
a. Ketepatan identifikasi
pasien
b. Peningkatan komu-nikasi efektif
c. Peningkatan keamanan
obat d. Kepastian tepat lokasi,
tepat prosedur dan
tepat pasien operasi e. Pengurangan resiko
infeksi terkait pela-
yanan kesehatan f. Pengurangan risiko
pasien jatuh
6
Mendidik staf tentang keselamatan pasien Standar:
1. Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelati-
han dan orientasi yang mencakup keselamatan pasien.
2. Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung
pendekatan interdisipliner dalam pelayanan
pasien.
Paradigm keselamatan pasien masuk dalam pro-
gram pendidikan, pelatihan dan sosialisasi staf.
7
Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk men-capai keselamatan pasien.
Standar:
1. Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi keselamatan pasien untuk
memenuhi kebutuhan informasi internal dan ek-
sternal. 2. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu
dan akurat.
Pengelolaan manajemen informasi terkait kesela-
matan pasien.
Sumber: Peraturan Menteri Kesehatan No. 1691 Tahun 2011 Tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit
Tabel 2. Indikator Kinerja Aspek Pelayanan Rumah Sakit BLU
No. Subaspek/Kelompok Indikator Skor a Pertumbuhan Produktifitas 18
1
1 Pertumbuhan Rata-Rata Kunjungan Rawat Jalan 2 Pertumbuhan Rata-Rata Kunjungan Rawat Darurat 3 Pertumbuhan hari perawatan rawat inap 4 Pertumbuhan Pemeriksaan radiologi 5 Pertumbuhan pemeriksaan laboratorium 6 Pertumbuhan Operasi 7 Pertumbuhan Rehab Medik 8 Pertumbuhan Perserta didik Pendidikan Kedokteran 9 Pertumbuhan Penelitian yang dipublikasikan b Efektifitas Pelayanan 14 1 Kelengkapan Rekam Medik 24 Jam selesai pelayanan 2 Pengembalian Rekam Medik 3 Angka pembatalan operasi 4 Angka kegagalan hasil Radiologi 5 Penulisan Resep sesuai formularium 6 Angka pengulangan pemeriksaan laboratorium
Jurnal ARSI/Februari 2017 154
Masyitoh Basabih, Perlukah Keselamatan Pasien Menjadi Indikator Kinerja RS BLU?
141
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia
Jika merujuk kepada definisi dari keselamatan pasien,
maka Keselamatan pasien di definisikan sebagai suatu sis-
tem di mana Rumah Sakit membuat asuhan pasien lebih
aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan
pengelolaan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden,
dan upaya meminimalkan resiko (Kemkes, 2011) maka
indikator dalam tabel diatas menurut penulis belum me-
wakili dari definisi keselamatan pasien. Dapat kita cermati
bahwa definisi tersebut memiliki penekanan pada upaya
pencegahan agar membuat asuhan pasien menjadi lebih
aman, sementara indikator diatas lebih menekankan pada
perhitungan kuantitatif terhadap output yang seharusnya
dapat ditekan dengan adanya implementasi program
keselamatan pasien.
Dalam tabel dibawah ini akan diperlihatkan padanan antara
indikator kinerja BLU dengan sasaran keselamatan pasien
yang dilihat dari berbagai aturan.
Lanjutan Tabel 2. Indikator Kinerja Aspek Pelayanan Rumah Sakit BLU
Sumber: Peraturan Dirjen Perbendaharaan No. 34 Tentang Pedoman Penilaian Kinerja Badan layanan Umum Bidang Kesehatan (Kemkeu, 2014)
Tabel 3. Matriks Padanan Sasaran, Indikator, dan Keselamatan Pasien
No. Subaspek/Kelompok Indikator Skor
1
7 Bed Occupacy rate (BOR) c Pertumbuhan Pembelajaran 3 1 Rata-rata jam pelatihan karyawan 2 Persentase dokter pendidik klinis yang mendapat TOT 3 Program reward dan punishment
2
a Mutu dan Manfaat Kepada Masyarakat 35 1 Mutu Pelayanan 14 2 Emergency Respon Time Rate 3 Waktu tunggu rawat jalan 4 Length of stay 5 Kecepatan pelayanan resep obat jadi 6 Waktu tunggu sebelum operasi 7 Waktu tunggu hasil laboratorium 8 Waktu tunggu hasil radiologi b Mutu Klinik 12 1 Angka kematian digawat darurat 2 Angka kematian/ kebutaan > 48 jam 3 Post operatif death rate 4 Angka infeksi nosocomial 5 Angka kematian ibu di Rumah Sakit c Kepedulian terhadap masyarakat 1 Pembinaan kepada pusat kesehatan masyarakat dan sarana kesehatan lain 2 Penyuluhan kesehatan 3 Rasio tempat tidur kelas III d Kepuasan Pelanggan 2 1 Penanganan pengaduan 2 Kepuasan Pelanggan e Kepedulian terhadap lingkungan 3 1 Kebersihan Lingkungan (program Rumah Sakit Berseri) 2 Propor Lingkungan
Total Skor 70
NO SASARAN SPM (Indikator)
KINERJA RS BLU (indikator)
AKREDITASI KARS (Sasaran)
1 Ketepatan identifikasi pasien - - Ketepatan Identifikasi Pasien 2 Peningkatan komunikasi efektif - - Peningkatan Komunikasi Efektif
3 Peningkatan keamanan obat Tidak adanya kejadian kesalahan pemberian obat - Peningkatan Keamanan Obat
yang perlu diwaspadai
4 Kepastian tepat lokasi, tepat prose-
dur dan tepat pasien operasi
1. Tidak adanya kejadian operasi salah sisi
2. Tidak adanya kejadian operasi
salah orang 3. Tidak adanya kejadian operasi
salah orang
- Kepastian tepat lokasi, tepat-
prosedur, tepat pasien operasi
5 Pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan
Kejadian infeksi pasca operasi Kejadian Infeksi Nosokomial
Angka Infeksi Nosokomial
Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan
6 Pengurangan risiko pasien jatuh Tidak adanya kejadian pasien jatuh yang berakibat kecatatan/
kematian - Pengurangan risiko pasien jatuh
Sumber: (1) Keputusan Menteri Kesehatan No. 129 Tahun 2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit; (2) Peraturan Menteri Kesehatan No. 1691 Tahun 2011 Tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit; (3) Peraturan Dirjen Perbendaharaan No. 34 Tahun 2014 Tentang
Pedoman Penilaian Kinerja Badan Layanan Umum Bidang Layanan Kesehatan; dan Instrumen Akreditasi Rumah Sakit Standar Akreditasi Versi
Jurnal ARSI/Februari 2017
Volume 3 Nomor 2
155
141
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa sasaran dalam
akreditasi KARS (KARS, 2012) sama persis dengan sasa-
ran keselamatan pasien dalam Permenkes 1691 Tahun
2011 Tentang Keselamatan pasien. Hal ini dikarenakan
sasaran keselamatan pasien dalam instrument akreditasi
merujuk kepada Permenkes 1691. Terdapat dua sasaran
keselamatan pasien yang tidak terdapat dalam standar pela-
yanan minimal rumah sakit (Kemkes, 2008), yaitu sasaran
mengenai ketepatan identifikasi pasien dan komunikasi
efektif. Hal ini mungkin saja terjadi mengingat bahwa
standar pelayanan minimal merupakan peraturan yang
dikeluarkan pada tahun 2008 sementara Peraturan
mengenai keselamatan pasien keluar pada tahun 2011.
Empat dari enam sasaran keselamatan pasien merupakan
indikator dalam standar pelayanan minimal, hal ini dikare-
nakan Keputusan Menteri Kesehatan Tentang Standar Pe-
layanan minimal masuk dalam peraturan yang diingat un-
tuk menyusun Peraturan tentang keselamatan pasien dan
hanya satu dari enam sasaran keselamatan pasien yang
masuk dalam indikator kinerja RS BLU.
Dari tabel 2 dan 3 dapat dilihat bahwa indikator terkait
keselamatan pasien diwakili oleh kelompok mutu klinik
dimana hanya satu dari enam sasaran keselamatan pasien
yang masuk dalam indikator kinerja rumah sakit BLU.
Mutu klinik sendiri hanya memiliki skor 12 dari total 100
skor pada kedua aspek, sehingga dapat dikatakan hanya 14
% dari skor total kinerja Rumah Sakit BLU. Hal ini men-
jadi kurang representasi jika kita melihat kepada empat
pasal dalam Undang-Undang Rumah Sakit yang mengama-
nahkan keselamatan pasien.
Empat dari lima indikator mutu klinik adalah angka ke-
matian. Pertanyaannya adalah dapatkah kematian dicegah
atau dikurangi dengan menerapkan prinsip keselamatan
pasien? Jawabannya tentu bisa, keselamatan pasien yang
diterapkan dengan baik tentu akan mampu mendeteksi
kejadian yang tidak diharapkan (KTD), Kejadian Nyaris
Cedera (KNC), Kejadian Tidak Cedera (KTC) dan kejadi-
an potensi cedera. Hasil penelitian terbaru mengatakan
bahwa medical error adalah menyebab kematian nomer
tiga di Amerika (Makary and Daniel, 2016). Menurut IOM
Medical Error dapat diartikan sebagai kegagalan untuk
menyelesaikan sebuah rencana tindakan seperti yang telah
direncanakan atau penggunaan rencana yang salah dalam
mencapai tujuan (Murphy et al., 2009b). Jika budaya
keselamatan pasien diterapkan maka medical error dapat
dideteksi salah satunya dengan pelaporan. Menurut hasil
penelitian yang dilakukan di Norwegia terbukti bahwa
pelaporan memiliki hubungan dengan keselamatan pasien
(Bjertnaes et al., 2014).
Dalam Undang-Undang Rumah Sakit jelas mengama-
nahkan untuk menerapkan budaya keselamatan pasien.
Dari keempat pasal dalam Undang-Undang Rumah Sakit
kita dapat menyimpulkan bahwa penyelenggaraan rumah
sakit didasarkan pada keselamatan pasien, peraturan yang
dikeluarkan juga bertujuan untuk memberikan perlin-
dungan terhadap keselamatan pasien dan rumah sakit
memiliki kewajiban untuk menerapkan keselamatan pa-
sien. Menjadi sebuah dasar penyelenggaraan pelayanan
tentu merupakan hal yang penting untuk dinilai dalam
kinerja rumah sakit, baik pemerintah maupun swasta baik
BLU maupun Non BLU.
Keselamatan pasien bertumpu pada upaya pencegahan
untuk itu menurut hemat penulis ada baiknya jika indikator
kinerja rumah sakit lebih menekankan kepada upaya yang
dapat dilakukan untuk mengurangi angka kematian dan
kejadian infeksi nosokomial. Kematian yang terjadi di ru-
mah sakit dapat disebabkan oleh banyak hal yang bisa saja
tidak menggambarkan kinerja rumah sakit. Ambil saja
contoh, sebuah rumah sakit tipe B milik pemerintah, maka
besar kemungkinan pasien yang datang adalah pasien ru-
jukan yang tentunya dengan level severity yang lebih ting-
gi. Apabila terjadi sebuah kondisi dimana pasien dirujuk
dalam keadaan tidak baik, setelah dilayani beberapa saat
lalu pasien meninggal apakah bisa kondisi tersebut terhi-
tung sebagai kinerja RS yang menerima rujukan? Tentunya
kondisi ini memerlukan audit medik lebih lanjut. Akan
berbeda bila kinerja rumah sakit dinilai dari upaya yang
sudah dilakukan rumah sakit untuk memberikan pelayanan
yang terbaik seperti misalnya Australia yang menempatkan
adverse event dan pasien jatuh sebagai salah satu indi-
kator dalam kinerja sistem kesehatan (AIHW, 2013).
Memang tidaklah mudah menilai kinerja sebuah rumah
sakit melalui indikator. Kinerja rumah sakit haruslah di-
wakilkan oleh indikator yang menggambarkan faktor
sukses kunci rumah sakit yang dapat diukur. Proses untuk
menyusun indikator kinerja adalah proses yang kompleks
karena adanya kepentingan stakeholder yang harus diper-
timbangkan dan perlunya perhitungan secara kuantitatif
(Doucette and Millin, 2011). Indikator kinerja rumah sakit
diartikan sebagai indikator yang definisikan secara statistik
atau bentuk informasi lain baik secara langsung ataupun
tidak langsung yang merefleksikan pencapaian terhadap
outcome yang diharapkan atau kualitas dari proses pen-
capaian hasil (AIHW, 2013).
Kinerja adalah sebuah proses yang dilaksanakan dalam
rangka mendapatkan hasil. Lantas pertanyaan berikutnya
adalah bagaimana kinerja disusun? Jika keselamatan
pasien menjadi dasar sebuah penyelenggaraan dan rumah
sakit memiliki kewajiban atasnya bukankah sepantasnya
mendapat perhatian dalam bentuk indikator kinerja rumah
sakit?
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil telaah didapatkan bahwa Indikator kinerja ru-
mah sakit BLU belum sepenuhnya menjalankan amanah
Undang-Undang Rumah Sakit terkait keselamatan pasien.
Indikator yang digunakan untuk merepresentasikan kesela-
matan pasien belum sepenuhnya merujuk kepada peraturan
mengenai keselamatan pasien.
Mengingat pentingnya keselamatan pasien maka, penulis
menyarankan:
Jurnal ARSI/Februari 2017 156
Masyitoh Basabih, Perlukah Keselamatan Pasien Menjadi Indikator Kinerja RS BLU?
141
Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia
1. Keselamatan pasien perlu mendapatkan perhatian lebih
besar dalam bentuk indikator kinerja rumah sakit yang
terukur.
2. Indikator yang dipergunakan sebaiknya disusun dalam
rangka menciptakan budaya keselamatan pasien diru-
mah sakit.
3. Standar Pelayanan Minimal rumah sakit perlu untuk
direvieu kembali seiring dengan keluarnya Undang-
Undang Rumah Sakit dan Permenkes tentang Kesela-
matan Pasien.
4. Indikator kinerja rumah sakit BLU perlu untuk di-
revieu, sehingga data yang dilaporkan dapat menjadi
dasar yang akan kemudian digunakan dalam membuat
kebijakan.
DAFTAR RUJUKAN
Aihw 2013. Australian Hospital Statistic 2012 - 2013. Australian Institute
Of Health And Welfare.
Bjertnaes, O., Deilkås, E. T., Skudal, K. E., Iversen, H. H. & Bjerkan, A. M. 2014. The Association Between Patient-Reported Incidents
In Hospitals And Estimated Rates Of Patient Harm. Interna-
tional Journal For Quality In Health Care 26-30. Doucette, D. & Millin, B. 2011. Should Key Performance Indicators For
Clinical Services Be Mandatory? The Canadian Journal Of
Hospital Pharmacy, 64.
Kars 2012. Instrumen Akreditasi Rumah Sakit Standar Akreditasi Versi 2012. Jakarta: Komite Akreditasi Rumah Sakit.
Kbbi. 2016. Kemdikbud. Available: Http://Kbbi.Web.Id/Standar-2
[Accessed 11 Oktober 2016 2016]. Kemkes 2008. Keputusan Menteri Kesehatan No 129 Tahun 2008 Ten-
tang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. In: Kesehatan,
K. (Ed.). Jakarta: Kementerian Kesehatan. Kemkes 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun
2009 Tentang Rumah Sakit. In: Kesehatan, K. (Ed.). Jakarta:
Kementerian Kesehatan. Kemkes 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1691/Menkes/Per/Viii/2011 Tentang Keselamatan Pasien
Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan. Kemkeu 2014. Peraturan Jenderal Perbendaharaan Nomer Per-34/
Pb/2014 Tentang Pedoman Pebilaian Kinerja Bdan Layanan
Umum Bidang Layanan Kesehatan. In: Keuangan, K. (Ed.). Jakarta: Kementerian Keuangan.
Makary, M. A. & Daniel, M. 2016. Medical Error—The Third Leading
Cause Of Death In The Us. Bmj 353. Murphy, D. M., Shannon, K. & Pugliese, G. 2009. Risk Management
Handbook For Health Care Organizations. In: Carroll, R. L.
(Ed.) Patient Safety And The Risk Management Professional New Challenges And Opportunities. San Francisco: Jossey
Bass.
Pp. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.
Jakarta. Rozner, S. 2013. Developing And Using Key Performance Indicators A
Toolkit For Health Sector Managers.
Wung, C. H.-Y., Yu, T.-H., Shih, C.-L., Lin, C.-C., Liao1, H.-H. & Chung, K.-P. 2011. Is It Enough To Set National Patient Safe-
ty Goals? An Empirical Evaluation In Taiwan. International
Jurnal ARSI/Februari 2017
Volume 3 Nomor 2
157
ormulir F
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :
Alamat :
Telepon :
Email :
Bersedia untuk menjadi pelanggan Jurnal ARSI (Administrasi Rumah Sakit Indonesia) sejumlah biaya cetak dan biaya kirim dengan rincian sebagai
sebagai berikut:
Volume : ………………………………………………………………………………………………………………………………………
…...…………………………, …………
(……………………………………….)
Untuk besaran biaya dan informasi lebih lanjut, Anda dapat menghubungi Sekretariat Jurnal ARSI di nomor telepon 021-786 7370,
HP. 08568246932, e-mail: [email protected], atau kunjungi website: http://journal.fkm.ui.ac.id/arsi
Kami Menyediakan Forum
Pelatihan Untuk Anda
1. Developing Hospital Business Strategy to Improve
Hospital Service & Quality
2. Meningkatkan Kendali Mutu Layanan Rumah Sakit
Melalui Clinical Pathway & Panduan Praktis Klinis
3. Strategic Leadership and Systems Thinking
C HAMPS Informasi Lebih Lanjut:
Gedung G Lt. 3 R. 312 FKM UI
HP. 085284722766, Fax. 021-7867370,
E-mail: [email protected], [email protected]
Meningkatkan Kendali Mutu Layanan Rumah Sakit Melalui Clinical Pathway & Panduan Praktis Klinis
TUJUAN
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan kemampuan rumah
sakit dalam membuat clinical pathway dan panduan praktik klinis.
PESERTA
Peserta terdiri dari tim praktisi perumahsakitan baik pemerintah maupun
swasta yang tergabung dalam tim, yang terdiri dari:
1. Klinisi dan penunjang (dokter); 2. Perawat; 3. Tenaga farmasi; 4. Tenaga gizi;
5. Tenaga rekam medik; dan
6. Peserta maksimal 10 tim.
TEMPAT DAN TANGGAL
Tempat dan tanggal dapat disepakati sesuai permintaan.
BIAYA
Biaya dalam pelatihan ini sebesar untuk satu tim rumah sakit (terdiri dari 5 orang) adalah Rp. 15.000.000/Rumah Sakit (belum termasuk biaya
akomodasi dan tiket narasumber bila kegiatan dilakukan di luar Jakarta).
Strategic Leadership and Systems Thinking
TUJUAN
Tujuan Umum:
Meningkatkan pemahaman para peserta mengenai
kepemimpinan strategis dan berfikir sistem.
Tujuan Khusus
1. Meningkatkan pemahaman peserta mengenai berfikir sistem dan kepemimpinan
strategis;
2. Meningkatkan pemahaman peserta mengenai mental model sebagai landasan
dalam berfikir sistem;
3. Meningkatkan pemahaman peserta mengenai personal mastery sebagai modal
dasar dalam kepemimpinan;
4. Meningkatkan pemahaman peserta dan mampu mengaplikasikan theory of
constraint dan root cause analysis; dan
5. Meningkatkan pemahaman peserta mengenai learning organization dan team
learning.
PESERTA
Peserta pelatihan ini dibatasi 30 orang.
TEMPAT DAN TANGGAL
Tempat dan tanggal dapat disepakati sesuai permintaan.
BIAYA
Biaya dalam pelatihan ini sebesar Rp. 3000.000,-/peserta (besaran
biaya belum termasuk biaya akomodasi, tiket narasumber dan outbond
bila kegiatan dilakukan di luar Jakarta).
“Bersama kami, mari beraktualisasi!”
- CHAMPS FKM UI
Developing Hospital Business Strategy to Improve Hospital Service & Quality
TUJUAN
Peserta akan memperoleh wawasan, pengetahuan, & keterampilan tentang:
1. Peningkatan pemahaman seluruh peserta tentang peta kebijakan strategis pelayanan kesehatan;
2. Peningkatan pemahaman seluruh peserta tentang konsep strategi bisnis untuk peningkatan mutu layanan RS;
3. Peningkatan motivasi seluruh peserta yang dilandasi core value dan core belief untuk mengadopsi konsep
manajemen strategi dalam meningkatkan mutu layanan di rumah sakit;
4. Tersusunnya rencana strategis bisnis RS; dan
5. Peningkatan kemampuan RS dalam melakukan praktik bisnis yang sehat yaitu mempunyai manajemen yang
baik, bermutu dan berkesinambungan yang semua itu berdampak pada meningkatnya kepuasan
pelanggan.
PESERTA
Peserta pelatihan ini adalah praktisi perumahsakitan dan pengambil keputusan strategis rumah sakit baik
pemerintah maupun swasta. Peserta dibatasi 30 orang.
TEMPAT DAN TANGGAL
Tempat dan tanggal dapat disepakati sesuai permintaan.
BIAYA
Biaya dalam pelatihan ini sebesar Rp. 3000.000,-/peserta (belum termasuk biaya akomodasi dan tiket
narasumber bila kegiatan dilakukan di luar Jakarta).
Hospital Management
Program (HMP)
Hospital Administration
Conference (HAC)
Program Kerja
Unggulan