metode evaluasi efek negatif

9
Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB 2007 Topik 6. Metode Evaluasi Efek Negatif Komponen Non Gizi 1 Metode Evaluasi Efek Negatif Komponen Non Gizi NS Palupi, FR Zakaria dan E Prangdimurti Pendahuluan Pangan, baik nabati maupun hewani dibutuhkan oleh manusia untuk mempertahankan kehidupannya sebagai sumber karbohidrat (energi), protein, lemak, vitamin, mineral dan sebagainya. Sehubungan dengan itu, maka yang diharapkan adalah pangan yang aman untuk dikonsumsi yang berarti tidak menimbulkan efek negatif apapun bagi yang mengkonsumsinya. Untuk itu maka pemilihan sumber bahan pangan dan cara pengolahannya menjadi dua hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Kemanan pangan dapat ditinjau dari berbagai aspek, yaitu fisik, kimia, mikrobiologi serta biokimia dan gizi. Dalam materi kuliah ini, pembahasan akan diutamakan dari aspek biokimia pangan dan gizi yang akan dikelompokkan menjadi 3 (tiga) sub topik sebagai berikut: 1. Komponen alami pangan yang dapat bersifat sebagai antinutrisi (Handout 1) 2. Komponen alami pangan yang bersifat sebagai toksikan (Handout 2) 3. Bahan tambahan pangan (Handout) 1. Komponen alami pangan yang bersifat sebagai antinutrisi Bahan pangan, terutama bahan nabati, secara alami dapat mengandung senyawa antinutrisi yaitu senyawa-senyawa yang dapat menurunkan nilai gizi bahan pangan tersebut. Adapun berbagai senyawa antinutrisi yang telah banyak dipelajari dan diteliti antara lain adalah antitripsin-antikimotripsin, hemaglutinin, saponin, fitat, oligosakarida penyebab flatulensi dan tanin. Selain dikenal sebagai senyawa antinutrisi, senyawa yang terakhir ini juga dikenal sebagai senyawa antioksidan yang bermanfaat bagi tubuh. Peranannya sebagai antinutrisi atau antioksidan dipengaruhi keberadaannya dalam bahan pangan dan oleh kondisi fisiologis di dalam tubuh. Pada umumnya faktor-faktor antinutrisi dalam bahan pangan dapat diinaktifkan melalui proses pengolahan. Namun terkadang proses pengolahan tidak dilakukan dengan cara yang benar sehingga ada kemungkinan senyawa Topik 6 Tujuan Instruksional Khusus Setelah menyelesaikan topik 2 ini, mahasiswa diharapkan mampu menje- laskan dan menghubungkan faktor-faktor dalam sistem pangan dan dalam tubuh yang dapat berpengaruh buruk terhadap kesehatan

Upload: davidafton

Post on 21-Oct-2015

47 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

bahan pangan

TRANSCRIPT

Page 1: Metode Evaluasi Efek Negatif

Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB 2007

Topik 6. Metode Evaluasi Efek Negatif Komponen Non Gizi 1

Metode Evaluasi Efek Negatif Komponen Non Gizi

NS Palupi, FR Zakaria dan E Prangdimurti

Pendahuluan

Pangan, baik nabati maupun hewani dibutuhkan oleh manusia untuk mempertahankan kehidupannya sebagai sumber karbohidrat (energi), protein, lemak, vitamin, mineral dan sebagainya. Sehubungan dengan itu, maka yang diharapkan adalah pangan yang aman untuk dikonsumsi yang berarti tidak menimbulkan efek negatif apapun bagi yang mengkonsumsinya. Untuk itu maka pemilihan sumber bahan pangan dan cara pengolahannya menjadi dua hal yang sangat penting untuk diperhatikan.

Kemanan pangan dapat ditinjau dari berbagai aspek, yaitu fisik, kimia, mikrobiologi serta biokimia dan gizi. Dalam materi kuliah ini, pembahasan akan diutamakan dari aspek biokimia pangan dan gizi yang akan dikelompokkan menjadi 3 (tiga) sub topik sebagai berikut:

1. Komponen alami pangan yang dapat bersifat sebagai antinutrisi (Handout 1)

2. Komponen alami pangan yang bersifat sebagai toksikan (Handout 2)

3. Bahan tambahan pangan (Handout)

1. Komponen alami pangan yang bersifat sebagai antinutrisi

Bahan pangan, terutama bahan nabati, secara alami dapat mengandung senyawa antinutrisi yaitu senyawa-senyawa yang dapat menurunkan nilai gizi bahan pangan tersebut. Adapun berbagai senyawa antinutrisi yang telah banyak dipelajari dan diteliti antara lain adalah antitripsin-antikimotripsin, hemaglutinin, saponin, fitat, oligosakarida penyebab flatulensi dan tanin. Selain dikenal sebagai senyawa antinutrisi, senyawa yang terakhir ini juga dikenal sebagai senyawaantioksidan yang bermanfaat bagi tubuh. Peranannya sebagai antinutrisi atau antioksidan dipengaruhi keberadaannya dalam bahan pangan dan oleh kondisi fisiologis di dalam tubuh.

Pada umumnya faktor-faktor antinutrisi dalam bahan pangan dapat diinaktifkan melalui proses pengolahan. Namun terkadang proses pengolahan tidak dilakukan dengan cara yang benar sehingga ada kemungkinan senyawa

Topik

6

Tujuan Instruksional Khusus

Setelah menyelesaikan topik 2 ini, mahasiswa diharapkan mampu menje-laskan dan menghubungkan faktor-faktor dalam sistem pangan dan dalam

tubuh yang dapat berpengaruh buruk terhadap kesehatan

Page 2: Metode Evaluasi Efek Negatif

Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB 2007

Topik 6. Metode Evaluasi Efek Negatif Komponen Non Gizi 2

tersebut belum hilang, terutama untuk senyawa-senyawa yang tahan terhadap proses pemanasan. Keberadaan senyawa antinutrisi dalam bahan pangan dapat mengakibatkan penurunan nilai gizinya secara biologis. Seringkali nilai gizi protein secara biologis tidak selalu berkorelasi positif dengan skor kimia protein yang dihitung berdasarkan kandungan asam-asam amino esensialnya. Hal ini disebabkan karena adanya faktor antinutrisi yang dapat berikatan dengan protein sehingga menyebabkan daya cerna protein tersebut berkurang. Bahan pangan yang banyak mengandung senyawa antinutrisi adalah kacang-kacangan dan serealia, sehingga pengolahannya harus mendapatkan perhatian yang serius terutama apabila akan digunakan untuk balita yang sedang dalam masa pertumbuhan dan memerlukan keberadaan protein dengan kualitas yang baik.

a. Antitripsin

Antitripsin adalah senyawa yang mempunyai kemampuan untuk menghambat aktivitas enzim proteolitik dan telah ditemukan dalam bahan pangan terutama kacang-kacangan dan serealia. Antinutrisi sebagai inhibitor protease merupakan protein dengan berat molekul yang relatif kecil bervariasi antara 4.000 – 80.000 dan yang telah banyak dipelajari adalah yang terdapat dalam kacang kedelai.

Jenis. Terdapat sekitar lima atau enam jenis inhibitor protease yang diidentifikasi terdapat dalam kacang kedelai dan yang banyak dipelajari adalah yang pertama kali diisolasi dan dikarakterisasi oleh Kunitz pada tahun 1945 dan oleh karena itu disebut inhibitor Kunitz.

Mekanisme penghambatan. Penghambatan enzim proteolitik (tripsin dan kimotripsin) oleh senyawa antitripsin terjadi karena pembentukan ikatan kompleks antara enzim proteolitik dan senyawa antitripsin, jadi karena adanya interaksi proteion-protein. Pertama, akan terjadi pemutusan ikatan disulfida antara arginin-isoleusin pada senyawa inhibitor oleh enzim tripsin untuk membentuk senyawa inhibitor modifikasi. Selanjutnya terjadi ikatan antara gugus hidroksil serin yang terdapat pada sisi aktif enzim tripsin dan gugus karbonil arginin yang terdapat pada senyawa inhibitor modifikasi yang baru dibebaskan. Senyawa kompleks tripsin-inhibitor yang terbentuk menyebabkan enzim proteolitik tersebut kehilangan aktivitasnya sehingga tidak mampu memecah protein dan menyebabkan daya cerna protein akan menurun. Daya hambat suatu senyawa inhibitor terhadap aktivitas enzim tripsin berbanding lurus dengan jumlah senyawa inhibitornya. Mekanisme penghambatan secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 6.1.

Pengaruh fisiologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tepung kedelai mentah setelah dihilangkan lemaknya menghambat pertumbuhan tikus percobaan, menurunkan absorpsi energi dan lemak, mengurangi daya cerna protein, menyebabkan hipertrofi (pembesaran) pankreas, menstimulir sekresi enzim yang berlebihan dari pankreas dan mengurangi ketersediaan asam-asam amino, vitamin dan mineral. Faktor antitripsin berperanan penting dalam penghambatan pertumbuhan (30-50%) dan terjadinya hipertrofi pankreas (100%)pada hewan percobaan setelah diberi ransum kedelai mentah. Namun demikian, hasil penelitian lain menunjukkan bahwa antitripsin hanya bertanggung jawab terhadap 40% penghambatan pertumbuhan dan terjadinya hipertrofi pankreas hewan percobaan setelah mengonsumsi kedelai.

Mekanisme terjadinya hipertrofi pankreas dihipotesakan bahwa derajat sekresi enzim tripsin dari pankreas ditentukan oleh konsentrasi enzim bebas di

Page 3: Metode Evaluasi Efek Negatif

Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB 2007

Topik 6. Metode Evaluasi Efek Negatif Komponen Non Gizi 3

dalam usus, sehingga apabila konsentrasi enzim tersebut menurun sampai batas

Gambar 6.1. Mekanisme pemghambatan enzim proteolitik oleh senyawa antitripsin.

tertentu, maka pankreas akan bekerja untuk memproduksi enzim lebih banyak lagi. Sebaliknya apabila konsentrasi enzim tripsin dalam usus kembali normal, maka aktivitas pankreas tersebut akan dihambat. Zat yang mengatur mekanisme ini adalah suatu hormon kolesistokinin (cholecystokinine; CCK) yang dapat merangsang aktivitas pankreas. Pelepasan CCK dari mukosa usus dapat dihambat oleh enzim tripsin bebas. Berdasarkan hipotesis ini tampak jelas bahwa penurunan jumlah tripsin bebas dalam usus sebagai akibat adanya reaksi dengan senyawa antitripsin, akan merangsang aktivitas pankreas untu memproduksi enzim dalam jumlah yang lebih banyak. Sebagai manifestasinya maka akan terjadi hipertrofi (pembesaran) pankreas (Gambar 6.2).

Seperti tekah dijelaskan sebelumnya bahwa antitripsin kedelai berperan penting dalam penentuan nilai gizi protein bahan pangan melalui pengujian menggunakan hewan percobaan, namun demikian pengaruhnya terhadap manusia belum tampak jelas. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa enzim tripsin manusia hanya sedikit dihambat oleh antitripsin kedelai dibandingkan dengan enzim tripsin yang berasal dari sapi. Pada umumnya penelitian antitripsin secara in vitro dilakukan menggunakan enzim tripsin yangberasal dari sapi, karena mudah diperoleh secara komersial. Selain itu terdapat hubungan yang erat antara terjadinya hipertrofi pankreas dan berat pankreas relatif terhadap persentasi berat tubuh. Pada spesies yang mempunyai

H2N - Asp ———— Arg - COOH H2N - Ile —————— Leu - COOH | | S ———————————————– S

S –——

S

Inhibitor aseli S –——

S

Inhibitor modifikasi (aktif)

Ser - CH2OH

Tripsin

6564 1981

H2N - Asp ———— Arg - Ile —————— Leu – COOH S ———————— S

—— Arg - COOH H2N – Ile ——

S —————————————SInhibitor modifikasi

Ser - CH2 - O - C

Tripsin

Arg |

O||

|Ile|NH

KompleksTripsin-Inhibitor

— S

Page 4: Metode Evaluasi Efek Negatif

Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB 2007

Topik 6. Metode Evaluasi Efek Negatif Komponen Non Gizi 4

berat pankreas > 0.3% berat tubuhnya, antitripsin akan menyebabkan pembesaran pankreas. Sedangkan apabila berat pankreas < 0.3%, tidak akan menyebabkan pembesaran pankreas. Berkaitan dengan hal tersebut, berat pankreas manusia < 0.3% barat tubuhnya, sehingga meskipun tepung kedelai mentah menyebabkan hipertrofi pankreas pada tikus, namun tidak demikian pada manusia.

Gambar 6.2. Mekanisme sekresi enzim tripsin dari pankreas.

Analisis antritripsin in vitro. Penentuan kadar antitripsin dilakukan berdasarkan penurunan kecepatan hidrolisis suatu substrat alami (kasein) atau substrat sintetik (BAPNA; benzoil-DL-arginin-p-nitroanilid) oleh enzim tripsin. Perubahan warna yang terjadi diukur menggunakan alat spektrofotometer pada panjang gelombang 410 nm. Satu satuan tripsin (trypsin unit, TU) didefinisikan sebagai peningkatan 0.01 satuan absorbansi pada panjang gelombang 410 nm per 10 ml campuran reaksi padakondisiyang digunakan. Aktivitas inhibitortripsin dinyatakan sebagai satuan tripsin yang dihambat (trypsin unit inhibited, TUI).

b. Hemaglutinin

Hemaglutinin (fitohemaglutin; lektin) merupakan suatu senyawa antinutrisi lain yang juga terdapat dalam kacang-kacangan. Telah disebutkan bahwa 40% penyebab penghambatan pertumbuhan pada tikus percobaan yang diberi ransum kedelai mentah adalah antitripsin, maka 60% penyebab lainnya adalah rendahnya daya cerna protein kedelai yang belum terdenaturasi dan faktor antinutrisi lainnya, termasuk diantaranya adalah hemaglutinin. Hemaglutinin

TRIPSINOGEN(pankreas)

HORMON CCK / cholesistokinin(mukosa usus)

TRIPSIN(usus)

Proteolisis

Penyerapan

Metabolisme

PROTEIN(makanan)

KOMPLEKS(tripsin-antitripsin)

feses

— S

ANTITRIPSIN

Page 5: Metode Evaluasi Efek Negatif

Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB 2007

Topik 6. Metode Evaluasi Efek Negatif Komponen Non Gizi 5

adalah suatu glikoprotein yang mempunyai berat molekul (BM) antara 36.000-132.000, tergantung dari derajat polimerisasinya.

Mekanisme penghambatan. Mekanisme aglutinasi oleh hemaglutinin diduga terkait dengan pembentukan ikatan spesifik antara hemaglutinin dan gugus gula yangterdapat pada permukaan sel darah merah. Dugaan ini didasarkan bahwa aglutinasi sel oleh hemaglutinin dapat dihambat oleh adanya gula tertentu. Hemaglutinin mempunyai kemampuan untuk mengikat sisi reseptor spesifik dari permukaan sel epitelial usus, sehingga mempengaruhi penyerapan zat gizi melalui dinding usus. Hal ini terbukti secara in vitro bahwa pemberian hemaglutinin ke dalam ransum tikus percobaan menyebabkan penurunan daya cerna protein. Selain itu dikatakan pula bahwa hemaglutinin akan bereaksi dengan sel enterosit brush border usus bagian duodenal dan jejunal, sehingga menyebabkan terganggunya proses penyerapan zat gizi. Keadaan ini menyebabkan menurunnya kemampuan sel untuk menyerap zat-zatgizi dari saluran pencernaan, sehingga penyebabkan terhambatnya pertumbuhan.

Pengaruh fisiologis. Pengaruh hemaglutinin terhadap manusia masah sulit dideskripsikan sepanjang didasarkan pada hasil-hasil penelitian menggunakan hewan percobaan. Hemaglutinin akan hancur dengan pemanasan, sehingga tidak perlu khawatir untuk mengonsumsi kacang-kacangan atau bahan pangan lain yang mengandung hemaglutinin. Namun kadangkala proses pemanasan tidak dilakukan dalam suhu dan waktu yang tidak cukup sehingga inaktivasi total; hemaglutinin tidak tercapai.

Analisis hemaglutinin in vitro. Penentuan kadar hemaglutinin ditetapkan berdasarkan kemampuannya untuk mengendapkan atau mengaglutinasi sel darah merah yang dapat diamati baik secara visual maupun spektrofotometri.

c. Saponin

Saponin adalah suatu glikosida yang apabila dihidrolisis secara sempurna akan menghasilkan gula dan satu fraksi non-gula yang disebut sapogenin atau genin. Jumlah dan jenis gula-gula yang terdapat dalam saponin bervariasi, antara lain glukosa, galaktosa, arabinosa, ramnosa serta asam galakturonat dan glukoronat. Sapogenin dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu sapogenin triterpenik dan steroidik.

d. Fitat

Asam fitat adalah bentuk utama fosfor dalam biji tanaman. Senyawa ini sulit dicerna sehingga fosfor dalam fitat tidak dapat digunakan oleh tubuh. Masalahgizi lain yangdapat ditimbulkan oleh asam fitat adalah karena kemampuannya dalam mengkelat mineral, terutama kalsium (Ca), magnesium (Mg), besi (Fe) dan seng (Zn), sehingga akan menurunkan ketersediaan mineral-mineral secara hayati.

e. Oligosakarida penyebab flatulensi

Oligosakarida merupakan senyawa yang mengandung ikatan -galatosida yang dikaitkan dengan timbulnya flatulensi, yaitu suatu keadaan menumpuknya gas-gasdalam lambung. Senyawa ini terdapat banyak dalam kacang-kacangan, biji-bijian dan hasil tanaman lainnya yang terutama terdiri dari rafinosa, stakiosa

Page 6: Metode Evaluasi Efek Negatif

Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB 2007

Topik 6. Metode Evaluasi Efek Negatif Komponen Non Gizi 6

dan verbaskosa (Gambar 6.3) dengan ikatan-galakto-glukosa dan -galakto-galaktosa.

FruDGluDGalG )21()61( Rafinosa

FruDGluDGalG )21())61(( 2 Stakiosa

FruDGluDGalG )21())61(( 3 Verbaskosa

Oligosakarida dari famili rafinosa tidak dapatdicerna karena mukosa usus mamalia tidak mempunyai enzim pencernaan galaktosidase, sehingga oligosakarida tersebut tidak dapat diserap oleh tubuh. Karena tidak tercerna dan terserap maka rafinosa tersebut akan difermentasi oleh bakteri-bakteri yang berada di dalam saluran pencernaan sehingga menghasilkan gas-gas yang berupa karbon dioksida, hidrogen dan sejumlah kecil metan. Proses fermentasi ini juga akan menyebabkan penurunan pH lingkungannya.

Flatulensi dianggap merupakan masalah yang cukup serius meskipun tidak berakibat toksik. Suatu peningkatan gas dalam rektum akan menimbulkan gejala patologis antara lain: sakit kepala, pusing, perubahan kecil pada mental, penurunan daya konsentrasi dan oedema kecil. Flatulensi juga bertanggung jawab pada timbulnya konstipasi intestinal serta diare.

Analisis oligosakarida penyebab flatulensi. Penentuan oligosakarida penyebab flatulensi dapat dilakukan dengan metode kromatografi gas, lapis tipis atau kertas. Dalam metode ini oligosakarida penyebab flatulensi (rafinosa, stakiosa, verbaskosa) dipisahkan berdasarkan berat molekulnya menggunakan kromatografi kertas atau yang lain. Selanjutnya jenis oligosakarida yang terpisah dapat dideteksi dengan membandingkan jarak migrasi (Rf) molekul-molekul tersebut dengan standar. Adapun jumlahnya dapat dihitung dengan membandingkan antara luas spot (konsentrasi) sampel yang terbentuk dengan standar oligosakarida murni.

f. Tanin

Tanin merupakan salah satu senyawa polifenol yang dapat membentuk kompleks dengan protein yang bersifattidak larut. Senyawaini terdapatdalam berbagai tanaman, baik yang digunakan sebagai bahan pangan maupun pakan ternak.

Analisis kadar tanin. Penentuan kadar tanin didasarkan reaksi pembentukan warna melalui reduksi ion feri menjadi ion fero oleh adanya tanin atau senyawa polifenol lainnya, yang diikuti oleh pembentukan senyawa kompleks ferisianida dan ion fero. Senyawa yang terbentuk berwarna prussian blue dan intensitasnya dapat diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 720 nm.

Page 7: Metode Evaluasi Efek Negatif

Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB 2007

Topik 6. Metode Evaluasi Efek Negatif Komponen Non Gizi 7

2. Komponen alami pangan yang bersifat toksik

Selain dapat mengandung senyawa antinutrisi, bahan pangan secara alami juga dapat mengandung senyawa-senyawa yang dapat bersifat toksik dan membahayakan bagi tubuh. Apabila faktor antinutrisi hanya berpengaruh dalam menurunkan nilai gizi bahan pangan sehingga tidak bersifat toksik dan mematikan, maka yang dimaksud senyawa toksik bersifatracun dan beberapa diantaranya dapat menyebabkan kematian bagi yang mengonsumsinya. Mengingat jenis senyawa toksik ini sangat banyak, maka dalam modul ini hanya akan dibahas jenis-jenis senyawa toksik yang banyak terkandung dalam bahan pangan yang biasa dikonsumsi di Indonesia antara lain: solanin, sianogenik glukosida, gosipol, asam amino toksik (mimosin dan asam jengkolat) serta glukosinolat.

Selain terdapat secara alami, faktor toksik dalam bahan pangan juga dapat terbentuk akibat dari proses pengolahan. Hal tersebut dapat terjadi karena dalam proses pengolahan sering ditambahkan bahan tambahan pangan kimiawi (food additives) yang berlebihan serta akibat terjadinya reaksi antar molekul dalam bahan pangan yang dapat mengakibatkan terbentuknya senyawa toksik, seperti nitrosamin dan lisinolalanin.

a. Solanin

Solanin termasuk dalam famili solanaceae yang merupakan kelompok tanaman yang penting artinya bagi kehidupan manusia, diantaranya adalah: kentang, tomat dan cabe. Akan tetapi banyak diantara tanaman ini yang mengandung glikoalkaloid yang dapat bersifat racun bagi yang mengonsumsinya. Hal ini disebabkan karena seringkali senyawa ini berada dalam konsentrasi yang tinggi, misalnya dalam kentang yang berwarna hijau atau pada tomat hijau yang masih muda. Hampir semua kasus keracunan yang pernah terjadi pada manusia disebabkan oleh glikoalkaloid yang terdapat pada kentang, yaitu -solanin dan -cakonin.

b. Sianogenik glukosida

Sianogenik glukosida merupakan salah satu bentuk sianida yang dalam jumlah kecil banyak tersebar luas dalam berbagai tanaman. Konsentrasi yang tinggi ditemukan di dalam rumput-rumputan tertentu, umbi-umbian dan kacang-kacangan. Jenis tanaman ini sebagian besar digunakan untuk pakan, namun ada juga yang dikonsumsi manusia. Diantara tanaman sumber sianogenik glukosida yang banyak dikonsumsi manusia adalah ubi kayu, ubi jalar, jagung, sorgum, bambu (rebung), tebu, kacang-kacangan, biji almond, jeruk, appel, aprikot serta biji dari buah-buahan lainnya.

Jenis. Diantara sekian banyak jenis sianogenik glukosida yang paling banyak terkait dengan toksisitas pada manusia hanya ada 4 (empat) jenis, yaitu: amigladin, dhurrin, linamarin dan lotaustralin. Amigladin diidentifikasi dari biji almond pahit dan biji buah-buahan lainnya. Dhurrin terdapat dalam sorgum dan rumput-rumputan lainnya. Linamarin (phaseoulunatin) dan lotaustralin (metillinamarin) adalah glukosida yang terdapat dalam kacang-kacangan, linseed (flax) dan ubi kayu.

Toksisitas.

Page 8: Metode Evaluasi Efek Negatif

Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB 2007

Topik 6. Metode Evaluasi Efek Negatif Komponen Non Gizi 8

Analisis kadar sianida (HCN).

c. Gosipol

Pigmen gosipol termasuk senyawa polifenolik yang terdapat dalam tanaman genus Gossypium dan beberapa anggota ordo Malvales. Dalam tanaman kapas, pigmen ini terdapat di dalam pigment glands (kelenjar pigmen) yangdapat ditemukan baik pada daun, batang, akar maupun bijinya. Terdapatnya gosipol di dalam biji kapas mempunyai pengaruh ekonomi yang besar, karena meskipun biji kapas merupakan hasil samping industri kapas, namun banyak juga industri pengolah biji kapas di negara-negara penghasil kapas. Hasil olahan biji kapastersebut berupa minyak biji kapas yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi, misalnya untuk dibuat menjadi salad oil, margarin dan shortening.

d. Mimosin & asam jengkolat

Mimosin adalah asam amino bebas yang terdapat dalam tanman lamtoro (Leucaena leucocephala). Perhatian pada senyawa ini meningkat karena daun lamtoro banyak digunakan untuk pakan ternak sedangkan biji lamtoro banyak dikonsumsi oleh manusia, sementara itu mimosin yang terdapat dalam tanaman lamtoro bersifat toksik.

Asam jengkolat adalah suatu asam amino bebas yang terdapat dalam biji buah jengkol. Asam amino ini mengandung belerang, berada dalam keadaanbebasdan tersbar merata dalam buah jengkol.

e. Glukosinolat

Glukosinolat disebut juga tioglukosida dan sebgian besar senyawa dari kelas ini dikenal dengan nama trivialnya, misalnya sinigrin, sinalbin dan progoitrin. Sebagian besar tanaman dari famili cruciferae mengandung glukosinolat, meskipun tanaman dari famili lain juga ada yang mengndung glukosinolat. Sebagian besar tanaman cruciferae merupakan sumber pangan dan bumbu termasuk diantaranya adalak kubis dan lobak, yang mengandung glukosinolat dan apabila terhidrolisis akan menghasilkan flavor karakteristik tanaman tersebut.

Rangkuman

1. Pangan, baik nabati maupun hewani dibutuhkan oleh manusia untuk mempertahankan kehidupannya, untuk itu maka pemilihan sumber bahan pangan dan cara pengolahannya menjadi dua hal yang sangat penting untuk diperhatikan agardiperoleh bahan pangan yang aman untuk dikonsumsi. Kemanan pangan dapat ditinjau dari berbagai aspek, yaitu fisik, kimia, mikrobiologi serta biokimia dan gizi. Dalam materi kuliah ini, pembahasan akan diutamakan dari aspek biokimia pangan dan gizi yang akan dikelompokkan menjadi 3 (tiga) sub topik sebagai berikut: (1) Komponen alami pangan yang dapat bersifatsebagai antinutrisi (handout 1);

Page 9: Metode Evaluasi Efek Negatif

Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB 2007

Topik 6. Metode Evaluasi Efek Negatif Komponen Non Gizi 9

dan (2) Komponen alami pangan yang bersifatsebagai toksikan (handout 2)

2. Senyawa antinutrisi merupakan kelompok senyawa yang mempunyai antivitas penghambatan beberapa enzim proteolitik dalam tubuh sehingga dapat menurunkan ketersediaan hayati (bioavailabilitas) protein. Beberapa senyawa antinutrisi yang telah banyak dipelajari adalah: antitripsin, antikimotripsin, hemaglutinin, saponin, fitat, oligosakarida penyebab flatulensi dan tanin.

3. Selain dapat mengandung senyawa antinutrisi, bahan pangan secara alami juga dapat mengandung senyawa-senyawa yang dapat bersifat toksik dan membahayakan bagi tubuh. Apabila faktor antinutrisi hanya berpengaruh dalam menurunkan nilai gizi bahan pangan sehingga tidak bersifat toksik dan mematikan, maka yang dimaksud senyawa toksik bersifatracun dan beberapa diantaranya dapat menyebabkan kematian bagi yang mengonsumsinya. Mengingat jenis senyawa toksik ini sangat banyak, maka dalam modul ini hanya akan dibahas jenis-jenis senyawa toksik yang banyak terkandung dalam bahan pangan yang biasa dikonsumsi di Indonesia antara lain: solanin, sianogenik glukosida, gosipol, asam amino toksik(mimosin dan asam jengkolat) serta glukosinolat.

Daftar Pustaka

Adams MR, Robert Nout MJ. 2001. Fermentation and Food Safety. Aspen Publ., Maryland Proceedings,

De Vries I (ed). 1997. Food Safety and Toxicity. CRC Press, New York

Goldberg I (Ed). 1994. Functional Foods. Chapman and Hall, New York

Harris RS and Karmas E. 1988. Nutritional Evaluation of Food Processing. Third Edition, AVI Publ, Westport

Helferich W, Winter CK. 2001.Food Toxicology.CRC Press,Boca Raton

Hodgson E and Levi PE. 2000. Modern Toxicology. McGraw Hill, Singapore (2nd

ed)

Langseth L. 1996. Oxidants,Antioxidants, and Disease Prevention. ILSI Europe, Brussels

Muchtadi, D. 1989. Aspek Biokimia dan Gizi dalam Keamanan Pangan. Pusat Antar UniversitasPangan dan Gizi. IPB.

Muchtadi, D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Pusat Antar UniversitasPangan dan Gizi. IPB.

Omaye S. 2004. Food and Nutritional Toxicology. CRC Press, Boca Raton, USA

Schmidl MK, Labuza TP. 2000. Essentials of Functional Foods. Aspen Publ. Maryland