metode lyzenga

Upload: tatang-kurniawan

Post on 13-Oct-2015

72 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

salah kaprah metode Lyzenga http://ipasek.blogspot.com/2008/09/hari-ini-aku-bener2-gak-bisa-ngliat.htmlHari ini aku bener2 gak bisa ngliat matahari deh(*sepertinya tiap hari deh).. gimana gak, berangkat jam setengah 5 pagi n pulang jam setengah 8 malem (ketinggalan bus sih sebenernya, karena keasikan cek imel), biasanya sih jam setengah 6 udah nongkrong dikamar or di gym.Sehabis mandi dengan air hangat aku sempatkan nulis uneg2 dulu nih, biar gak lupa apa yang mau ditulis kali ini pengen nyaintifik sedikitlah,,,,,,

Pagi ini Pak Vincent (my best supervisor waktu kuliah dulu) ngirim email, tentang artikel Lyzenga (REMOTE SENSING Handbook for Tropical Coastal Management (extracts)), beliau merupakan orang yang membawa metode Lyzenga ini ke Indonesia (1995) sepulangnya dari Perancis untuk memperoleh PhD-nya.Nah yang menjadi masalah ternyata masih sangat banyak dari scientis2 yang men-salah kaprahkan metode ini, masih banyak dari mahasiswa yang ingin asal lulus baik S1 S2 menggunakan Lyzenga seenaknya baik dalam skripsi maupun tesis sehingga hasil pemetaan yang didapat adalah nothing bias dibayangkan ketika mereka2 menggunakan Lyzenga dalam diseminasi maupun seminar2 nasional bahkan dalam prosiding2, maka informasi yang disampaikan tidaklah benar adanya. Sangat disayangkan.

Sewaktu mengolah data sekitar bulan Januari tahun lalu, aku bener2 mati2an mencari tau penurunan rumus dari algoritma yang konon katanya bisa memetakan dasar perairan dangkal ini, mungkin karena itulah benthic remote sensing masih mengalir dalam darah dagingku saat itu aku sampe2 minta dikirim Prof. Lyzenga sndiri & bbrp minta didownloadkan rekan di LN..

aku juga menemukan salah kaprah metode ini ketika praktikum dasar penginderaan jauh menggunakan ER Mapper yang diasuh oleh asisten dulu.

FILOSOFI dari metode lyzenga sebetulnya begini : Pengaruh kedalaman ternyata mengacaukan pembedaan obyek bentik, baik mata visual maupun lewat citra. Bayangkan kita melihat obyek karang yang sama di kedalaman 2 meter, 5 meter, 10 meter dari atas, apakah kita yakin bahwa obyek tsb akan tampak tetap sama bagi kita ? Bisa jadi karang di kedalaman 5 meter kenampakannya bisa spt lamun, dll. Satelit juga mengalami kesulitan spt itu yg disebabkan kedalaman. Cara mudah sebetulnya jika kita mempunyai nilai koefisien atenuasi untuk band2 yang digunakan, misal band 1, 2 & 3 untuk Landsat. Setelah koefisien atenuasinya dikalikan dg nilai bandnya maka kenampakannya akan bebas pengaruh kedalaman karena telah dikoreksi peredupan / atenuasinya. Sayangnya koefisien atenuasi diukur dg radiometer di lapangan, susah&mahal. Makanya Lyzenga memakai otak-atik dg memakai RASIO koefisien atenuasi setelah sebelumnya nilai bandnya di linierkan (di-ln) (karena cahaya berkurang secara exponential).

Dalam jurnal internasional, persamaan Lyzenga sering disebut sbg index, yaitu depth invariant index. Secara umum (detilnya tmsk penurunan rumus dll, mungkin bs disambung selanjutnya) bentuk persamaannya:Depth invariant index/Index bebas kedalaman:dimana i & j menyatakan band-band dari data satelit yang digunakan yang mempunyai penetrasi ke dalam air, ki/kj adalah rasio koefisien peredupan dari band i dan band j, Lsi dan Lsj adalah komponen gangguan atmosfer untuk band i dan band j, didapat dari sampling pixel laut dalam.Untuk Landsat TM & ETM index Lyzenga asli ini diterapkan ke band 1, 2 & 3 sehingga menghasilkan 3 band baru (kombinasi 1&2, 2&3 dan 1& 3). Dasarnya 3 band landsat tsb masih punya penetrasi ke dalam air, tmsk band 3. Cara mendapatkan ki / kj rumusnya sama dg yg versi Indonesia, tapi caranya beda. Ki / kj harus didapatkan dari obyek yg sama tapi beda kedalaman, yaitu setelah sampling nilainya harus diplot dulu ln band i vs ln band j, nilai sampling obyeknya harus linier, baru dihitung variance / covariance. Semua pasangan band dilakukan demikian. Aku mengeksekusi Ki/Kj ini lewat lapangan dulu, aku pastikan ada pasir yg beda kedalaman/karang yang beda kedalaman, aku pastikan positioningnya, baru aku sampling lewat citra. Semua pasangan band dilakukan demikian. Kemudian dapat 3 band baru hasil transformasi lyzenga. Band2 baru ini juga perlu diuji, apakah benar obyek yang sama tapi beda kedalaman sudah mempunyai nilai yang relatif sama (tidak lagi terpengaruh kedalaman?). Selanjutnya klasifikasi bisa dilakukan supervised atau unsupervised menggunakan informasi obyek dari lapangan atau info panduan spectral obyek RGB citra yang asli (ada jurnalnya).Disamping itu kita perlu memasukkan unsur Lsi ato Lsj, sebagai komponen gangguan atmosfer.1. Ki/Kj untuk Lyzenga asli didapat dg sampling dan plotting yang detil untuk memastikan obyek sama tapi beda kedalaman2. Hasil band baru transformasi Lyzenga asli diuji lewat statistik untuk memastikan bahwa pengaruh kedalaman telah berkurang / bahkan hilang.

Oiya David L. Jupp juga punya metode yg sangat terkenal, setara Lyzenga, namanya DOP, depth of penetration method.. akan kubahas lain kali yah..Karena sekarang saatnya bo2.

analisis terumbu karang, mungkin anda akan bersentuhan dg algoritma Lyzenga. Perlu saya sampaikan algoritma Lyzenga 'asli' hingga saat ini menerapkan kombinasi 3 band visible, sehingga menghasilkan 3 band index baru untuk klasifikasi, ini sesuai paper David Lyzenga th 1978, 1980 & 1981, tidak ada perubahan. Di Indonesia entah kenapa Lyzenga ini hanya diterapkan ke 2 band visible, sehingga hanya mengklasifikasi 1 band index yg sebetulnya agak bertentangan dg prinsip multidimensi dalam klasifikasi digital dan tidak ada peer review journal yg mengkoreksi algoritma Lyzenga ini. Jika menggunakan Lyzenga anda perlu berhati-hati agar Lyzenga anda mmg betul2 mengacu Lyzenga yg masih digunakan hingga saat ini tsb. Bisa anda cek dg referensi2 terbaru yg masih menggunakan Lyzenga.koreksi kolom air penginderaan jauh1.aplikasi penginderaan jarak jauh (indraja) satelit utk kelautan sgt banyak

2.satelit multispektral yg menggunakan lensa kelas optik sinar tampak, bs menghslkn data batimetri dan m'bantu identifikasi substrat dasar3. Filosofi identifikasi substrat dasar dan batimetri dr indraja didahului dgn koreksi atmosferik dan kolom air

4.pada pmbahasan ini kita akan fokus pd koreksi kolom air5.metode populer koreksi kolom air adlh metode yg ditemukan Lyzenga (1981)6.Algoritma yg disusun lyzenga disebut Depth Invariant Index (DII).7.jadi jelas bahwa Metode temuan lyzenga (DII) BUKAN metode utk identifikasi substrat dasr TAPI utk koreksi kolom air (penajaman citra)8.walaupun dalam identifikasi substrat dasar, DII sangat dibutukan sebelum identifikasi dan klasifikasi dilakukan9.DII pd prinsipnya adlh rasio 2 band pd citra yg ditransformasi menggunakan logaritma natural (LN)10.kombinasi spektral band-nya bisa biru-hijau;biru-merah;hijau-merah11.Persamaan DII adalah sbb http://t.co/4CWtIQwJbN

12.Li dan Lsi adalah nilai reflektansi tiap pixel citra utk masing2 band kombinasi pd poin 10http://t.co/rLpRMCboNp merupaka koef atenuasi (pengurangan) nilai reflektansi band kombinasi poin 10 terhadap kedalamanCatatan (1) : seringkali ditemukan tutorial klasifikasi substrat dasar menggunakan Er Mapper, terdapat proses training area warna cyanCatatan (2) :warna cyan tersebut celakanya disebut karang.WARNA CYAN PD TUTORIAL TSB BUKAN KARANG!Catatan (3) : warna cyan tsb adalh substrat dasar (unknown) satu golongan yg menghasilkan nilai reflektansi berbeda krn perbedaan kedalaman14.utk mendapat koef atenuasi (ki/kj) bs dilakukan dng in situ (spektroradiometer) utk hasil detil.http://t.co/ISGL9yPqfi bs jg diket dr hasil analisis matematik JIKA pd citra ditemukan gol substrat yg sama namun...15.....namun hanya dibedakan oleh kedlmn (hamparan substrat pasir, hamparan lamun dll)16. loh min, kan kita blom bisa identifikasi lamun atau pasir dr citra kyk contoh poin 1517.pengetahuan priori (prior) ttg Area of Interest mmg dibutuhkan utk poin 15.18.nah jk ki/kj tlh ditemukan, maka setiap nilai pixel citra ditransformasi melalui persamaan pd poin 11

19.hasil transformasi poin 18,mrpkn citra yg tlh terkoreksi (dihilangkan) pengaruh kolom airnya, shg siap utk diidentifikasi n diklasifikasi20.batasan DII hanya berlaku utk perarian Tipe I dan Tipe II (lihat Jerlov, 1964 utk klasifikasi tipe perairan menurut koef atenuasi).

Pemetaan Substrat Dasar PerairanPada kondisi tertentu pengamatan objek bawah air menggunakan citra satelit dapat dilakukan. Objek bawah air tersebut dapat berupa substrat dasar perairan seperti terumbu karang hidup, terumbu karang mati, pasir, lamun, dan lain sebagainya. Dengan dasar tersebut maka penggunaan citra satelit dapat dikedepankan untuk keperluan pemetaan sumberdaya hayati laut. Mengingat potensi sumberdaya hayati laut Indonesia yang melimpah maka diperlukan pemetaan sumberdaya hayati tersebut. Salah satu cara untuk mengekstraksi substrat dasar perairan dapat digunakan algoritma Lyzenga (1981) . Algoritma ini menerapkan algoritma pemetaan pada citra Landsat MSS dengan mempertimbangkan efek pantulan dasar dan atenuasi air.Penerapan algoritma ini dimaksudkan untuk mendapatkan citra baru dengan cara menggabungkan dua kanal tampak yang mampu penetrasi ke dalam tubuh air hingga kedalaman tertentu, sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi obyek material penutup dasar perairan laut dangkal (termasuk di dalamnya terumbu karang).Penurunan Algoritma LyzengaApabila dasar perairan laut dangkal dapat terlihat atau dengan kata lain cahaya dapat menembus hingga dasar laut dangkal, maka dapat dibentuk suatu hubungan antara kedalaman perairan dengan sinyal pantul yang diterima oleh sensor satelit. Rumus yang dijadikan acuan adalahExponential Attenuation Model yang dikembangkan Lyzenga. Algoritma ini menggunakan dua saluran Band sinar tampak citra Landsat, yaitu TM band 1 dan band 2 yang dapat menembus ke dalam kolom perairan. Pembentukan diagram dua dimensi XTM1 dan XTM2 menjadikan regresi dari nilai pengukuran yang dilakukan pada suatu dasar perairan akan selalu berada pada garis lurus dengan kemiringan KTM1/KTM2 (Ki/Kj). Persamaan regresi Lyzenga untuk nilai a=(var TM1-var TM2/)(2 x covar TM1TM2), sedangkan nilai Ki/Kj =((a.a)+akar dari(a+1)) yang digunakan dalam operasi penggabungan dua kanal tampak TM1 dan TM2 dengan tujuan untuk mendapatkan citra baru yang lebih menampakkan variasi material penutup dasar perairan laut dangkal.Penentuan Koefisien Atenuasi AirNilai KTM1/KTM2 dapat diperoleh melalui iterasi citra pada monitor komputer dengan cara: (1) penentuan training area (TA) pada area yang homogen, dan (2) pembentukan grafik dua dimensi untuk menghitung kemiringan garis regresi. Penentuan KTM1/KTM2 dengan metode iterasi mempunyai kelemahan, yaitu bahwa hasilnya sangat dipengaruhi oleh nilai pantulan rata-rata TA yang digunakan sebagai acuan, karena proyeksi terhadap garis regresi dilakukan ke arah nilai tersebut. Bias garis regresi dapat dikurangi dengan meminimalkan jarak tegak lurus dari nilai pendekatan yang digunakan terhadap garis regresi mengikuti persamaan berikut: Nilai a dihitung untuk setiap TA yang diambil, sehingga hasil perhitungan kTM1/kTM2 masih berupa koefisien atenuasi pada setiap TA. Nilai koefisien atenuasi untuk seluruh citra merupakan rerata koefisien atenuasi semua TA.

Density SlicingKumpulan obyek homogen pada satu scene citra akan menghasilkan sekumpulan kurva normal, sehingga pada umumnya histogram citra saluran tunggal merupakan kurva multimodal. Pemilahan nilai kecerahan (density slicing) dapat dilakukan dengan mengiris kurva besar tersebut menjadi kurva-kurva kecil. Pemotongan ini menjadikan seluruh julat nilai kecerahan (0 255) dipilah menjadi beberapa interval yang masing-masing mewakili klas tertentu. Klasifikasi sementara material penutup dasar perairan laut dangkal tersebut disimbolkan dengan warna yang berbeda, sesuai dengan jumlah hasil pemilahan kurva. Klasifikasi akhir divalidasi dari data lapangan hasil pengukuran in situ.Oleh : Yogi SuardiReferensi : http://sutikno.org/index.php?option=com_content&task=view&id=47&Itemid=2