metode pemeriksaan spermaerepo.unud.ac.id/id/eprint/26314/1/6cf4e002154dbcb... · spermiogenesis....
TRANSCRIPT
i
METODE PEMERIKSAAN SPERMA
dr. Ida Ayu Putri Wirawati, Sp.PK (K)
PROGRAM STUDI ILMU PATOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/
RUMAH SAKIT UMUM SANGLAH
DENPASAR
2018
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas penyertaanNya
sehingga saya bisa menyelesaikan makalah Metode Pemeriksaan Sperma dengan baik.
Terima kasih juga kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam proses pembuatan
tutor ini. Saya menyadari bahwa tulisan ini masih terdapat kekurangan dari segi penyusunan
dan Bahasa. Oleh karena itu, saya mengharapkan masukan untuk dapat menyempurnakan
tulisan ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.
Denpasar, 2 Oktober 2018
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGATAR ..................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
BAB II PEMERIKSAAN SPERMA ............................................................. 3
2.1 Anatomi Spermatozoa ......................................................................... 3
2.2 Fisiologi Produksi Pria ........................................................................ 4
2.3 Tahap-tahap Spermatogenesis ............................................................. 7
2.3.1 Proliferasi Mitotik ..................................................................... 8
2.3.2 Meiosis ..................................................................................... 8
2.3.3 Pengemasan .............................................................................. 9
2.4 Pengumpulan Spesimen ...................................................................... 10
2.5 Pemeriksaan Sperma ........................................................................... 11
2.5.1 Analisa Sperma Secara Makroskopis ................................ 12
2.5.1.1 Pengukuran Volume ...................................................... 12
2.5.1.2 pH ................................................................................. 13
2.5.1.3 Bau Sperma................................................................... 13
2.5.1.4 Warna Sperma .............................................................. 14
2.5.1.5 Likuefaksi ..................................................................... 15
2.5.1.6 Viskositas ..................................................................... 15
2.5.2 Analisa Sperma Secara Mikroskopik ......................................... 17
iii
2.5.2.1 Jumlah Sperma per Lapang Pandang ............................. 17
2.5.2.2 Pergerakan Sperma ....................................................... 20
2.5.2.3 Morfologi ...................................................................... 21
2.5.2.4 Perhitungan Sel Bulat .................................................... 23
2.6 Interpretasi Hasil Analisa Sperma ....................................................... 24
BAB III RINGKASAN ................................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 28
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Nilai Normal Analisa Sperma ........................................................ 24
Tabel 1.2 Kelainan Sperma ........................................................................... 25
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Anatomi Spermatozoa ................................................................ 3
Gambar 1.2 Anatomi testis yang menggambarkan tempat spermatogenesis ... 5
Gambar 1.3 Potongan melintang dan tampak anterior organ genital pria ........ 6
Gambar 1.4 Tahap-tahap pembentukan spermatozoa ..................................... 10
Gambar 1.5 Kamar hitung Neubauer ............................................................. 19
Gambar 1.6 Struktur normal spermatozoa ..................................................... 22
Gambar 1.7 Bentuk abnormal kepala dan ekor spermatozoa .......................... 2
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Sistem reproduksi tidak berperan dalam homestatis dan tidak esensial bagi
kelangsungan individu, namun sistem ini tetap berperan penting dalam kehidupan seseorang.
Sistem reproduksi pada pria memiliki fungsi esensial yang menghasilkan sperma
(spermatogenesis) dan menyalurkan sperma ke wanita. Organ reproduksi primer pada pria
terdiri dari sepasang testis. Pada kedua jenis kelamin, gonad matur akan menghasilkan garnet
(gametogenesis) yaitu spermatozoa pada pria dan ovum pada wanita. Gonad juga akan
menghasilkan hormon testosteron pada pria, serta hormon estrogen dan progesteron pada
wanita
(Sherwood L. 2016)
Analisa sel spermatozoa adalah pemeriksaan yang di lakukan pada pria untuk menilai
adanya gangguan pada sperma. Data dari populasi berdasarkan studi menunjukkan bahwa 10-
15% pasangan di dunia mengalami infertilitas. Dimana diperkirakan kontribusi pria sekitar
25-30% pada semua kasus infertilitas. Di Afrika, prevalensinya sangat tinggi, di sub-Sahara
mulai dari 20% sampai 60% dari pasangan. Namun di Asia khususnya di Indonesia masih
belum diketahui secara pasti gambaran dari keadaan infertil tersebut. Dari tingginya angka
infertilitas di dunia, ini merupakan salah satu penyebab morbiditas psikologi seperti stres dan
depresi pada pasangan yang mengalaminya. Dengan analisa sperma nantinya akan di dapat
gambaran dari kondisi pria dan membuktikan keterlibatannya dalam kasus infertilitas (Putra
CB, Manuaba IB. 2017)
Kemajuan di bidang andrologi dan assited reproductive technology (ART), serta
peningkatan perhatian terhadap fertilitas, terutama oleh pasangan yang memilih untuk
memiliki anak di kemudian hari, menyebabkan adanya peningkatan penekanan pada analisis
2
semen. Pasien dengan hasil abnormal pada analisis semen rutin yang dilakukan di
laboratorium klinis sering dirujuk ke laboratorium andrologi khusus untuk pemeriksaan lebih
lanjut untuk menentukan kebutuhan in vitro fertilization (IVF). Tenaga laboratorium klinis
juga dapat bekerja di laboratorium andrologi dan melakukan pemeriksaan rutin serta
pemeriksaan khusus. Selain pemeriksaan fertilitas, laboratorium klinis dapat melakukan
analisis semen post vasektomi dan analisis forensik untuk menentukan keberadaan semen
(Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014)
3
BAB II
PEMERIKSAAN SPERMA
2.1 Anatomi Spermatozoa
Spermatozoa memiliki tiga bagian, terdiri dari kepala yang ditudungi oleh akrosom,
bagian tengah dan ekor. Kepala terutama terdiri dari nukleus, yang mengandung informasi
genetik sperma. Akrosom merupakan vesikel terisi enzim yang menutupi ujung kepala,
digunakan sebagai “bor enzim” untuk menembus ovum. Akrosom merupakan modifikasi
lisosom yang dibentuk oleh agregasi vesikel-vesikel yang diproduksi oleh kompleks golgi-
retikulum endoplasma sebelum organel ini disingkirkan. Enzim akrosomal tetap inaktif
hingga sperma berkontak dengan sel telur saat ketika enzim dilepaskan. Mobilitas
spermatozoa dihasilkan oleh suatu ekor panjang mirip cambuk yang gerakannya dijalankan
oleh energi yang dihasilkan oleh mitokondria yang terkonsentrasi di bagian tengah sperma
(Sherwood L. 2016)
Gambar 1.1 Anatomi Spermatozoa (Sherwood L. 2016)
2.2 Fisiologi Reproduksi Pria
4
Pada mudigah, testis berkembang dari gonadal ridge yang terletak di bagian belakang
rongga abdomen. Setelah testis turun kedalam skrotum, lubang di dinding abdomen tempat
kanalis inguinalis lewat menutup erat disekitar duktus penyalur sperma dan pembuluh darah
yang melintas diantara masing-masing testis dan rongga abdomen. Meskipun waktunya
bervariasi, penurunan testis biasanya selesai pada bulan ke tujuh gestasi. Karena itu,
penurunan sudah tuntas pada 98% bayi laki-laki aterm (Sherwood L. 2016, Guyton CA, Hall
JE. 2007)
Suhu rerata didalam skrotum beberapa derajat celsius dibawah suhu tubuh normal.
Penurunan testis kedalam lingkungan yang lebih dingin ini adalah hal esensial karena
spermatogenesis bersifat peka suhu, dan tidak dapat terjadi pada suhu tubuh. Posisi skrotum
dalam kaitannya dengan rongga abdomen dapat diubah-ubah oleh mekanisme refleks spinal
yang berperan penting dalam mengatur suhu tubuh (Sherwood L. 2016, Guyton CA, Hall JE.
2007)
Testis memiliki fungsi ganda yaitu menghasilkan sperma dan mengeluarkan
testosteron. Sekitar 80% massa testis terdiri dari tubulus seminiferosa yang berkelok-kelok
dan menjadi tempat berlangsungnya spermatogenesis. Sel-sel endokrin (sel leydig atau sel
interstisium) yang menghasilkan testoteron terletak di jaringan ikat antara tubulus
seminiferous. Karena itu, bagian testis yang menghasilkan sperma dan mengeluarkan
testosteron secara structural dan fungsional terpisah (Sherwood L. 2016, Guyton CA, Hall JE.
2007).
5
Gambar 1.2 Anatomi testis yang menggambarkan tempat spermatogenesis (Sherwood L.
2016)
Semen terdiri dari empat fraksi yang disumbangkan oleh testis, epididimis, vesikula
seminalis, kelenjar prostat, dan kelenjar bulbouretra (Gambar 1.3). Setiap fraksi berbeda
dalam komposisinya, dan pencampuran keempat fraksi selama ejakulasi sangat penting untuk
menghasilkan spesimen semen yang normal (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014, Guyton CA,
Hall JE. 2007).
6
Gambar 1.3 Potongan melintang dan tampak anterior organ genital pria (Sherwood L. 2016)
Testis merupakan sepasang kelenjar di dalam skrotum yang berisi tubulus seminiferus
untuk sekresi sperma. Lokasi eksterna pada skrotum berkontribusi terhadap suhu skrotum
yang lebih rendah yang optimal untuk perkembangan sperma. Sel-sel germinal untuk
produksi spermatozoa terletak di sel epitel tubulus seminiferus. Sel Sertoli secara spesifik
memberikan dukungan dan nutrisi untuk sel germinal saat sel tersebut menjalani mitosis dan
meiosis (spermatogenesis). Ketika spermatogenesis selesai, sperma imatur (nonmotil)
memasuki epididimis. Pada epididimis, sperma matur dan memiliki flagela. Seluruh proses
memakan waktu sekitar 90 hari. Sperma tetap disimpan dalam epididimis sampai ejakulasi,
pada saat itu sperma didorong melalui duktus deferens (vas deferens) ke duktus ejakulatorius
(Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014, Guyton CA, Hall JE. 2007).
Duktus ejakulatorius menerima sperma dari duktus deferens dan cairan dari vesikula
seminalis. Vesikula seminalis menghasilkan sebagian besar cairan yang ada dalam semen
(60% hingga 70%), dan cairan tersebut merupakan media transport untuk sperma. Cairan
tersebut mengandung konsentrasi fruktosa dan flavin yang tinggi. Spermatozoa
memetabolisme fruktosa untuk menghasilkan energi yang dibutuhkan flagela untuk
mendorong spermatozoa melewati saluran reproduksi wanita. Dengan tidak adanya fruktosa,
sperma tidak menunjukkan adanya motilitas pada analisis semen. Flavin bertanggung jawab
atas penampilan abu-abu dari semen. Berbagai protein yang disekresikan oleh vesikula
7
seminalis terlibat pada koagulasi ejakulasi (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014, Guyton CA,
Hall JE. 2007).
Kelenjar prostat yang muskuler, terletak tepat di bawah vesika urinaria, mengelilingi
uretra atas dan membantu mendorong sperma untuk melewati uretra melalui kontraksi selama
ejakulasi. Sekitar 20% hingga 30% volum semen merupakan cairan asam yang diproduksi
oleh kelenjar prostat. Cairan dari prostat bersifat asam dan berwarna seperti susu yang
mengandung konsentrasi asam fosfatase, asam sitrat, zinc, dan enzim proteolitik yang tinggi
yang bertanggung jawab untuk koagulasi dan likuifaksi semen setelah ejakulasi (Strasinger
KS, Lorenzo SM. 2014, Guyton CA, Hall JE. 2007).
Kelenjar bulbouretra, yang terletak di bawah prostat, berkontribusi pada sekitar 5%
dari volum cairan dalam bentuk lendir alkalin tebal yang membantu menetralkan keasaman
dari sekresi prostat dan vagina. Penting bagi semen bersifat alkali untuk menetralkan
keasaman vagina yang terjadi sebagai akibat dari flora vagina bakteri yang normal. Tanpa
netralisasi ini, motilitas sperma akan berkurang (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014, Guyton
CA, Hall JE. 2007).
2.3 Tahap – Tahap Spermatogenesis
Spermatogenesis adalah suatu proses kompleks ketika sel germinativum primordial
yang relatif belum berdiferensiasi (primitive atau awal). Spermatogonia (masing-masing
mengandung komplemen diploid 46 kromosom) berproliferasi dan diubah menjadi
spermatozoa yang sangat khusus dan motil (sperma), masing-masing mengandung set haploid
23 kromosom yang diterima secara acak (Sherwood L. 2016, Guyton CA, Hall JE. 2007).
2.3.1 Proliferasi Mitotik
Spermatogonia yang terletak dilapisan terluar tubulus terus menerus bermitosis,
dengan semua sel baru yang mengandung komplemen lengkap 46 kromosom identik dengan
8
sel induk. Proliferasi ini menghasilkan pasokan sel germinativum baru yang terus menerus.
Setelah pembelahan mitotik sebuah spermatogonium, salah satu sel anak tetap ditepi luar
tubulus sebagai spermatogonium tidak berdiferensiasi, sehingga turunan sel germinativum
tetap terpelihara. Sel anak yang lain mulai bergerak kearah lumen sambil menjalani berbagai
tahap yang dibutuhkan untuk membentuk sperma, yang kemudian akan dibebaskan kedalam
lumen. Pada manusia, sel anak penghasil sperma membelah secara mitotik dua kali lagi untuk
menghasilkan 4 spermatosit primer identik. Setelah pembelahan mitotik terakhir, spermatosit
masuk ke fase istirahat ketika kromosom-kromosom terduplikasi dan untai-untai rangkap
tersebut tetap menyatu sebagai persiapan untuk pembelahan meiosis pertama (Sherwood L.
2016, Guyton CA, Hall JE. 2007).
2.3.2 Meiosis
Selama meiosis setiap spermatosit primer (dengan jumlah diploid 46 kromosom
rangkap) membentuk dua spermatosit sekunder (masing-masing dengan jumlah haploid 23
kromosom rangkap) selama pembelahan meiosis pertama, akhirnya menghasilkan empat
spermatid (masing-masing dengan 23 kromosom tunggal) akibat pembelahan meiosis kedua
(Sherwood L. 2016, Guyton CA, Hall JE. 2007).
Setelah tahap spermatogenesis, tidak terjadi pembelahan lanjut. Setiap spermatid
mengalami remodeling menjadi spermatozoa. Karena setiap spermatogonium secara mitosis
menghasilakan empat spermatosit primer dan setiap spermatosit primer secara meiosis akan
menghasilkan empat spermatid, rangkaian spermatogenik pada manusia secara teoritis
menghasilkan 16 spermatozoa setiap kali spermatogonium memulai proses ini. Namun
sebagian sel lenyap diberbagai tahap sehingga efisiensi produksi jarang setinggi ini
(Sherwood L. 2016, Guyton CA, Hall JE. 2007).
2.3.3 Pengemasan
9
Setelah meiosis, spermatid secara struktural masih mirip spermatogonia yang belum
berdiferensiasi, kecuali bahwa komplemen kromosomnya kini hanya separuh. Pembentukan
spermatozoa yang sangat khusus dan bergerak dari spermatid memerlukan proses remodeling
atau pengemasan, ekstensif elemen-elemen sel, suatu proses yang dikenal sebagai
spermiogenesis. Sperma pada hakikatnya adalah sel yang sebagian besar sitosol dan semua
organel yang tidak dibutuhkan untuk menyampaikan informasi genetik sperma ke ovum telah
disingkirkan. Karena itu sperma dapat bergerak cepat, hanya membawa serta sedikit beban
untuk melaksanakan pembuahan (Sherwood L. 2016, Guyton CA, Hall JE. 2007).
Gambar 1.4 Tahap-tahap pembentukan spermatozoa (Sherwood L. 2016)
2.4 Pengumpulan Spesimen
10
Spesimen dikumpulkan setelah periode abstinensia seksual minimal 2 hari hingga
tidak lebih dari 7 hari. Spesimen yang dikumpulkan setelah abstinensia yang berkepanjangan
cenderung memiliki volum yang lebih tinggi dan penurunan motilitas. Ketika melakukan
pemeriksaan fertilitas, World Health Organization (WHO) merekomendasikan bahwa dua
atau tiga sampel dikumpulkan secara terpisah dengan jarak waktu tidak kurang dari 7 hari
atau lebih dari 3 minggu, dengan adanya dua sampel abnormal dianggap signifikan.
Laboratorium harus menyediakan gelas steril atau wadah plastik yang hangat untuk pasien.
Kapan pun memungkinkan, spesimen dikumpulkan di ruangan yang disediakan oleh
laboratorium. Namun, jika hal tersebut tidak memungkinkan, spesimen harus disimpan pada
suhu kamar dan dikirimkan ke laboratorium dalam waktu 1 jam pengumpulan. Petugas
laboratorium harus mencatat nama pasien dan tanggal lahir, periode abstinensia seksual,
kelengkapan sampel, kesulitan pengumpulan, dan waktu pengambilan spesimen serta tanda
penerimaan spesimen. Spesimen yang tidak langsung dianalisis harus disimpan pada suhu
37°C. Spesimen harus dikumpulkan dengan masturbasi. Jika hal ini tidak mungkin, hanya
kondom non lubrikasi atau kondom poliuretan yang harus digunakan. Kondom biasa tidak
dapat diterima karena mengandung spermisida (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014, Sarhar S.
2011).
Adanya variasi komposisi fraksi pada semen mendorong pengumpulan yang tepat dari
spesimen lengkap penting untuk evaluasi secara akurat pada fertilitas pria. Sebagian besar
sperma yang terkandung di bagian pertama ejakulasi penting untuk dikumpulkan secara
lengkap guna pemeriksaan spesimen fertilitas dan post vasektomi secara akurat. Ketika
sperma dari bagian pertama ejakulasi tidak ada, jumlah sperma akan menurun, pH meningkat
secara palsu, dan spesimen tidak akan cair. Ketika bagian terakhir dari ejakulasi tidak ada,
volume semen akan menurun, jumlah sperma meningkat secara palsu, pH menurun secara
11
palsu, dan spesimen tidak akan membeku. Pasien harus menerima instruksi secara terperinci
untuk pengambilan spesimen (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014)
2.5 Pemeriksaan Sperma
Semua spesimen semen merupakan reservoir yang potensial untuk virus HIV dan
hepatitis, dan tindakan pencegahan standar harus diamati setiap saat selama analisis.
Spesimen dibuang sebagai limbah biohazard. Analisis semen untuk evaluasi fertilitas terdiri
dari pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis. Parameter yang dilaporkan meliputi
penampilan, volum, viskositas, pH, konsentrasi dan jumlah sperma, motilitas, dan morfologi
(Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014)
2.5.1 Analisa sperma Secara Makroskopis
Sperma yang baru keluar selalu menunjukan adanya gumpalan atau koagolum diantara
lendir putih yang cair. Pada sperma yang normal gumpalan ini akan segera mencair pada
suhu kamar dalam waktu 15 – 20 menit. Peristiwa ini dikatakan sperma mengalami pencairan
(Likuifaksi). Likuifaksi terjadi karena daya kerja dari enzim-enzim yang diproduksi oleh
kelenjar prostat, enzim ini disebut enzim seminim (Oka TG. 1998, Gandosoebrata R. 2016)
2.5.1.1 Pengukuran Volume
Volum semen yang normal berkisar antara 2 dan 5 ml. Hal tersebut dapat diukur
dengan menuangkan spesimen ke dalam silinder bersih yang dikalibrasi dalam skala
volume 0,1 ml. Peningkatan volum dapat dilihat setelah periode abstinensia yang lama.
Penurunan volum lebih sering berhubungan dengan terjadinya infertilitas dan mungkin
menunjukkan fungsi yang tidak baik dari salah satu organ penghasil semen, terutama
vesikula seminalis. Pengambilan spesimen yang tidak lengkap juga harus
12
dipertimbangkan (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014, WHO. 2010, Oka TG. 1998,
Gandosoebrata R. 2016).
Cara kerja:
- Sperma ditampung seluruhnya dalam botol penampung yang bermulut lebar
untuk sekali ejakulasi
- Volume diukur dengan gelas ukur yang mempunyai skala volume 0,1 ml.
- Baca hasil
2.5.1.2 PH
pH semen menunjukkan keseimbangan antara nilai pH dari sekresi prostat yang
asam dan sekresi vesikula seminal yang bersifat alkali. pH harus diukur dalam 1 jam
ejakulasi karena dapat terjadi penurunan CO2. pH normal semen bersifat basa dengan
rentang 7,2 hingga 8,0. Peningkatan pH menunjukkan infeksi di dalam saluran
reproduksi. Penurunan pH mungkin berhubungan dengan peningkatan cairan prostat,
obstruksi duktus ejakulataorius, atau vesikula seminalis yang kurang berkembang.
Pemeriksaan pH pada semen dapat diterapkan pada alas strip reagen pH urinalisis dan
warnanya dibandingkan dengan grafik dari pabrikan. Kertas pemeriksaan pH yang
khusus juga dapat digunakan (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014, WHO. 2010, Oka TG.
1998, Gandosoebrata R. 2016).
Cara kerja:
Celupkan kertas pH dalam sperma yang homogen yang terdapat dalam botol
penampung
baca hasil
2.5.1.3 Bau Sperma
Sperma yang baru keluar mempunyai bau yang khas atau spesifik, untuk
mengenal bau sperma, seseorang harus telah mempunyai pengalaman untuk membaui
13
sperma. Baunya sperma yang khas tersebut disebabkan oleh oksidasi spermin (suatu
poliamin alifatik) yang dikeluarkan oleh kelenjar prostat (Oka TG. 1998).
Cara kerja:
- Sperma yang baru keluar pada botol penampung dicium baunya.
- Dalam laporan bau dilaporkan: khas/tidak khas. Dalam keadaan infeksi,
sperma berbau busuk/amis. Secara biokimia sperma mempunyai bau seperti
klor/ kaporit.
2.5.1.4 Warna sperma
Semen yang normal memiliki warna putih kelabu, tampak translusen, dan
memiliki bau basi yang khas. Ketika konsentrasi sperma sangat rendah, spesimen
mungkin tampak hampir jernih. Peningkatan kekeruhan putih menunjukkan adanya sel
darah putih (leukosit) dan infeksi di dalam saluran reproduksi. Variasi jumlah warna
merah berhubungan dengan adanya sel darah merah dan bersifat abnormal. Warna
kuning dapat disebabkan oleh adanya kontaminasi urin, pengumpulan spesimen setelah
abstinensia yang berkepanjangan, dan obat-obatan. Urin bersifat toksik terhadap
sperma, sehingga mempengaruhi evaluasi motilitas (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014,
WHO. 2010, Lopez, A, et al. 1987).
Cara kerja:
- Sperma yang ada dalam tabung reaksi diamati dengan menggunakan latar
belakang warna putih menggunakan penerangan yang cukup
2.5.1.5 Likuifaksi
Spesimen yang segar adalah semen yang ada penggumpalan dan harus mencair
dalam 30 hingga 60 menit setelah penggumpulan. Oleh karena itu, pencatatan waktu
penggumpulan sangat penting untuk mengevaluasi pencairan semen. Kegagalan
likuifaksi yang terjadi dalam waktu 60 menit dapat disebabkan oleh adanya
14
kekurangan enzim prostat dan harus dilaporkan. Analisis spesimen tidak dapat dimulai
sampai likuifaksi telah terjadi. Jika setelah 2 jam spesimen tidak mengalami likuifaksi,
volum yang sama dari saline buffer fosfat fisiologis Dulbecco atau enzim proteolitik
seperti alfa-kimotrypsin atau bromelain dapat ditambahkan untuk menginduksi
likuifaksi dan memungkinkan sisanya dari analisis yang akan dilakukan. Tindakan
tersebut dapat mempengaruhi pemeriksaan biokimia, motilitas sperma, dan morfologi
sperma, sehingga penggunaannya harus didokumentasikan. Pengenceran semen dengan
bromelain harus diperhitungkan ketika menghitung konsentrasi sperma. Granula
berbentuk seperti jelly (badan gelatin) dapat ditemukan dalam spesimen semen cair dan
tidak memiliki signifikansi klinis. Untaian mukus, jika ada, dapat mengganggu analisis
semen (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014, WHO. 2010).
2.5.1.6 Viskositas (Kekentalan)
Viskositas spesimen mengacu pada konsistensi cairan dan mungkin berhubungan
dengan likuifaksi spesimen. Spesimen yang mengalami likuifaksi secara tidak lengkap
bersifat menggumpal dan sangat kental. Spesimen semen yang normal harus mudah
ditarik ke dalam pipet dan membentuk tetesan kecil yang tidak tampak menggumpal
atau berserabut ketika jatuh dari pipet akibat gravitasi. Tetesan yang membentuk
benang lebih panjang dari 2 cm dianggap sangat kental dan dicatat sebagai abnormal.
Derajat 0 (cair) hingga 4 (seperti gel) dapat ditetapkan untuk laporan viskositas.
Viskositas juga dapat dilaporkan sebagai rendah, normal, atau tinggi. Peningkatan
viskositas dan likuefaksi yang tidak sempurna dapat menghambat pemeriksaan
motilitas sperma, konsentrasi sperma, deteksi antibodi antisperma, dan pengukuran
marker biokimia (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014, WHO. 2010, Overstreet JW, Katz
DF. 1987).
Pemeriksaan viskositas ini dapat dilakukan dengan dua cara:
15
a. Cara subyektif
Dengan menyentuh permukaan sperma dengan pipet atau batang pengaduk,
kemudian ditarik maka akan terbentuk benang yang panjangnya 3 – 5 cm.
Makin panjang benang yang terjadi makin tinggi viskositasnya.
b. Cara Pipet Elliason
Syaratnya sperma harus homogen dan pipet yang digunakan harus kering.
Cara kerja:
- Pipet cairan sperma sampai angka 0,1
- Tutup bagian atas pipet dengan jari
- Arahkan pipet tegak lurus
- Jalankan stopwatch
- Jika terjadi tetesan pertama stopwath dimatikan dan hitung waktunya dengan
detik
2.5.2 Analisa Sperma Secara Mikroskopik
Meskipun fertilisasi dapat dicapai oleh satu spermatozoa, jumlah sperma yang
sebenarnya dalam spesimen semen merupakan ukuran fertilitas yang valid. Berbagai
faktor dapat memengaruhi konsentrasi sperma, seperti jangka waktu abstinensia seksual
sebelum pengumpulan spesimen, infeksi, atau stres. Oleh karena itu, lebih dari satu
spesimen semen harus dievaluasi untuk pemeriksaan infertilitas. Nilai referensi untuk
konsentrasi sperma biasanya dinyatakan sebagai lebih besar dari 20 hingga 250 juta
sperma per mililiter. Konsentrasi antara 10 dan 20 juta per mililiter dianggap garis batas
(borderline). Jumlah sperma total untuk ejakulasi dapat dihitung dengan mengalikan
konsentrasi sperma dengan volum spesimen. Jumlah sperma total lebih dari 40 juta per
ejakulasi dianggap normal (20 juta per mililiter × 2 mL) (Strasinger KS, Lorenzo SM.
2014, WHO. 2010).
16
2.5.2.1 Jumlah sperma per lapang pandang/ perkiraan densitas sperma
Cara kerja:
- Diaduk sperma hingga homogen
- Diambil 1-3 tetes cairan sperma ditaruh diatas obyek glass lalu ditutup dengan
cover glass
- Lihat dibawah mikroskop dengan perbesaran 40X
- Dihitung berapa banyak spermatozoa pada beberapa lapang pandang
Misalnya, dihitung berturut-turut lapang pandang:
I = 10 Spermatozoa
II = 5 Spermatozoa
III = 7 Spermatozoa
IV = 8 Spermatozoa
Dalam laporan dituliskan terdapat 5-10 spermatozoa perlapang pandang. Perkiraan
konsentrasi spermatozoa dikalikan dengan 106 berarti perkiraan konsentrasi spermatozoa
adalah 5-10 juta/ml. Perkiraan konsentrasi spermatozoa dikalikan dengan 106 berarti
perkiraan konsentrasi spermatozoa adalah 200 juta/ml. Jika perlapang pandang didapatkan
nol spermatozoa maka tidak usah dilakukan pemeriksaan konsentrasi, dan disebut
Azoospermia (Oka TG. 1998, Gandosoebrata R. 2016).
Pada laboratorium klinis, konsentrasi sperma biasanya dianalisis menggunakan ruang
hitung Neubauer. Sperma dihitung dengan cara yang sama seperti perhitungan jumlah sel
pada cairan serebrospinal, yaitu dengan menipiskan spesimen dan menghitung sel-sel di
ruang Neubauer. Jumlah pengenceran dan jumlah kuadrat dihitung secara bervariasi di antara
laboratorium (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014, WHO. 2010).
Pengenceran yang paling umum digunakan adalah 1:20 yang disiapkan menggunakan
pipet mekanis (perpindahan positif).
Pengenceran semen sangat penting karena dapat
17
mengimobilisasi sperma sebelum dilakukan perhitungan. Cairan pengencer tradisional
mengandung natrium bikarbonat dan formalin, yang dapat mengimobilisasi dan menjaga sel-
sel sperma; Namun, hasil yang baik juga dapat dicapai dengan menggunakan larutan salin
dan air suling (WHO. 2010).
Menggunakan hemositometer Neubauer, sperma biasanya dihitung di empat kotak
sudut dan kotak pusat, mirip dengan perhitungan sel darah merah secara manual (Gambar
1.4). Kedua sisi hemositometer diisi dan dibiarkan menetap selama 3 hingga 5 menit,
kemudian dilakukan perhitungan, dan jumlah harus sesuai dalam 10%. Rata-rata dari dua
hitungan digunakan dalam perhitungan. Jika jumlah tidak sesuai, baik pengenceran dan
penghitungan dilakukan pengulangan. Hitungan dilakukan menggunakan mikroskopis fase
atau lapangan terang. Pewarna tambahan, seperti kristal violet, ditambahkan ke cairan
pengencer untuk visualisasi saat menggunakan mikroskop medan terang (Strasinger KS,
Lorenzo SM. 2014, WHO. 2010).
18
Gambar 1.5 Kamar hitung Neubauer (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014).
Hanya sperma yang berkembang secara utuh yang dihitung. Sperma imatur dan
leukosit, sering disebut sebagai sel "bulat", tidak boleh dimasukkan dalam perhitungan.
Namun, adanya sel-sel tersebut dapat berjumlah signifikan, dan sel-sel tersebut mungkin
perlu diidentifikasi dan dihitung secara terpisah. Pewarnaan meliputi cairan pengencer untuk
membedakan antara sel sperma imatur (spermatid) dan leukosit, dan sel-sel tersebut dapat
dihitung dengan cara yang sama seperti sperma matur. Perhitungan leukosit yang lebih besar
dari 1 juta per mililiter berhubungan dengan terjadinya inflamasi atau infeksi pada organ
reproduksi yang dapat menyebabkan terjadinya infertilitas (Strasinger KS, Lorenzo SM.
2014, WHO. 2010).
19
Adanya spermatid lebih dari 1 juta per mililiter menunjukkan adanya gangguan
spermatogenesis. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh infeksi virus, paparan bahan kimia
toksik, dan kelainan genetik (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014, WHO. 2010).
2.5.2.2 Pergerakan Sperma
Pemeriksaan sebaiknya dilakukan pada suhu kamar (200
C - 250
C). Dalam memeriksa
pergerakan spermatozoa sebaiknya diperiksa setelah 20 menit karena dalam waktu 20 menit
sperma tidak kental, sehingga spermatozoa mudah bergerak, akan tetapi jangan lebih dari 60
menit setelah ejakulasi sebab dengan bertambahnya waktu maka spermatozoa akan
memburuk pergerakannya, serta pH dan bau mungkin akan berubah. Gerak spermatozoa yang
baik adalah gerak kedepan dan arahnya lurus, gerak yang kurang baik adalah gerak zig-zag,
berputar-putar dan lain-lain (Oka TG. 1998, Gandosoebrata R. 2016).
Dihitung dulu spermatozoa yang tidak bergerak kemudian dihitung yang bergerak kurang
baik, lalu yang bargerak baik, contoh:
- Yang tidak bergerak = 25%
- Yang bergerak kurang baik = 50%
- Yang bergerak baik = 100% - 25% - 50% = 25%
Presentase pergerakan cukup ditulis dengan angka bulat (umumnya kelipatan 5
misalnya: 10%, 15%, 20%). Jika sperma yang tidak bergerak > 50% maka perlu dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut guna mengetahui viabilitas sperma (banyaknya sperma yang hidup)
sebab sprermatozoa yang tidak bergerakpun kemungkinan masih hidup (Oka TG. 1998,
Gandosoebrata R. 2016).
2.5.2.3 Morfologi
20
Morfologi sperma dievaluasi berdasarkan dengan adanya struktur kepala, leher
(neckpiece), badan (midpiece), dan ekor. Abnormalitas pada morfologi kepala berhubungan
dengan penetrasi ovum yang buruk, sedangkan abnormalitas pada leher, badan, dan ekor
mempengaruhi motilitas (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014, WHO. 2010).
Sperma yang normal memiliki kepala berbentuk oval dengan panjang sekitar 5 μm dan
lebar 3 μm dan memiliki satu ekor flagel dengan panjang 45 μm (Gambar. 1.5). Struktur
penting untuk penetrasi pada ovum adalah tudung akrosom yang mengandung enzim yang
terletak di ujung kepala sperma. Tudung akrosom harus mencakup kira-kira setengah dari
kepala sperma dan menutupi kira-kira dua pertiga dari nukleus sperma. Leher melekat pada
ekor dan badan. Badan memiliki panjang kira-kira 7,0 μm dan merupakan bagian paling tebal
dari ekor karena dikelilingi oleh selubung mitokondria yang menghasilkan energi yang
dibutuhkan oleh ekor untuk motilitas (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014, WHO. 2010).
Gambar 1.6 Struktur normal spermatozoa (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014).
Morfologi sperma dievaluasi dengan slide yang dicat tipis di bawah oil immersion.
Pengecatan dibuat dengan menempatkan sekitar 10 μL semen di dekat ujung buram slide
21
mikroskop yang bersih. Letakkan slide kedua dengan bersih, pada tepi halus di depan tetesan
semen pada sudut 45° dan tarik slide hingga tepi tetesan semen, hal tersebut memungkinkan
semen untuk menyebar hingga ujung slide. Ketika semen didistribusikan secara merata di
seluruh slide penyebar, tarik perlahan slide penyebar ke depan dengan gerakan kontinyu
melintasi slide pertama untuk menghasilkan pengecatan. Pengecatan dapat dilakukan
menggunakan pewarnaan Wright, Giemsa, Shorr, atau Papanicolaou sesuai ketersediaan
laboratorium. Slide yang dikeringkan dengan udara dapat stabil selama 24 jam. Setidaknya
200 sperma harus dievaluasi dan adanya persentase sperma yang abnormal dilaporkan.
Abnormalitas yang diidentifikasi secara rutin dalam struktur kepala meliputi kepala ganda,
kepala besar dan amorf, kepala berbentuk seperti jarum, kepala meruncing, dan kepala
sempit. Ekor sperma abnormal yang sering ditemui adalah ekor ganda, menggulung, atau
menekuk (Gambar 1.6). Leher panjang yang abnormal dapat menyebabkan kepala sperma
menekuk ke belakang dan mengganggu motilitas (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014).
22
Gambar 1.7 Bentuk abnormal kepala dan ekor spermatozoa (Strasinger KS, Lorenzo SM.
2014).
2.5.2.4 Perhitungan Sel Bulat
Diferensiasi dan enumerasi sel bulat (sperma imatur dan leukosit) juga dapat dilakukan
selama pemeriksaan morfologi. Granulosit yang positif terhadap peroksidase merupakan
bentuk dominan leukosit dalam semen dan dibedakan dari sel spermatogenik dan limfosit
menggunakan pewarnaan peroksidase. Dengan menghitung jumlah spermatid atau leukosit
yang terlihat dalam hubungannya dengan 100 sperma matur, jumlah per mililiter dapat
dihitung menggunakan rumus berikut, di mana N merupakan jumlah spermatid atau neutrofil
yang dihitung per 100 sperma matur, dan S merupakan konsentrasi sperma dalam juta per
mililiter:
Metode ini dapat digunakan jika perhitungan tidak dapat dilakukan pada perhitungan
hemositometer dan untuk memverifikasi jumlah yang dilakukan oleh hemositometer.
Jumlah leukosit lebih dari 1 juta per mililiter per ejakulasi menunjukkan kondisi
inflamasi yang berhubungan dengan infeksi dan kualitas sperma yang buruk dan dapat
mengganggu motilitas sperma serta integritas DNA (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014,
WHO.2010).
2.6 Interprestasi Hasil Analisa Sperma
World Health Organization (WHO) telah mengeluarkan nilai acuan untuk analisa
sperma yang normal, sebagai berikut:6
23
Jenis Pemeriksaan Nilai normal
Volume
Viskositas
pH
Konsentrasi Spermatozoa
Hitung Jenis Spermatozoa
Pergerakan
Morfologi
Sel bulat
2-5 ml
Banyaknya tetesan
7,2-8
>20 juta/ml
>40 juta/ejakulasi
>50% bergerak lurus kedepan
>14% berbentuk normal
<1 juta/ml
Tabel 1.1 Nilai normal analisa sperma (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014).
No Istilah Jumlah
Spermatozoa
(juta/ml)
Motil Normal
(%)
Morfologi Normal
(%)
1. Normozoospermia > 20 > 80 > 50
2. Oligozoospermia < 20 > 50 > 50
3. Ekstrim
Oligozoospermia
< 50 > 50 > 50
4. Asthenozoospermia > 20 < 50 > 50
5. Teratozoospermia > 20 > 50 < 50
6. Oligo
Asthenozoospermia
< 20 < 50 > 50
7. Oligi Astheno
Teratozoospermia
< 20 < 50 < 50
24
8. Oligo Teratozoospermia < 20 > 50 < 50
9. Astheno
Teratozoospermia
> 20 < 50 < 50
10. Polizoospermia > 250 > 50 > 50
11. Azoospermia Bila tidak ada spermatozoa dalam cairan sperma
12. Nekrozoospermia Bila semua sperma tidak ada yang hidup
13. Aspermia Tidak ada cairan semen yang keluar saat ejakulasi
Tabel 1.2 Kelainan Sperma (Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014).
BAB III
KESIMPULAN
Analisa sel spermatozoa adalah pemeriksaan yang di lakukan pada pria untuk menilai
adanya gangguan pada sperma. Spermatozoa memiliki tiga bagian, terdiri dari kepala yang
ditudungi oleh akrosom, bagian tengan dan ekor. Proses pembentukan spermatozoa melalui 3
tahapan yaitu proses mitotik, meiosis dan pengemasan. Kelainan spermatozoa dilakukan
pemeriksaan melalui metode Analisa spermatozoa. Pemeriksaan ini di lakukan secara
makroskopik dan mikrospkopik. Pada pemeriksaan makroskopik di lakukan pemeriksaan
volume, pH, viskositas, liquefaksi, warna, bau, dan koagulum. Pada pemeriksaan
mikroskopis dilakukakn perhitungan jumlah spermatozoa per lapangan pandang, pergerakan /
motilitas dan morfologi. Hasil dari pemeriksaan secara makroskopis dan mikroskopis di
laporakan dalam ringkasan hasil pemeriksaan Analisa spermatozoa.
25
Kelainan spermatozoa yaitu aspermia, azoospermia, hypospermia, hyperspermia,
oligozoospermia, asthenozoospermia, teratozoospermia, necrozoospermia, leucospermia,
haemospermia.
DAFTAR PUSTAKA
Gandosoebrata R. 2016. Penuntun Laboratorium Klinik. 16th
Edition. Jakarta: Dian Rakyat.
171-5p.
Guyton CA, Hall JE. 2007. Textbook of medical physiology. 11th
Edition. Rachman LY et al.
Editor. Jakarta: ECG. 798-98p.
Lopez, A, et al. 1987. Suitability of solid-phase chemistry for quantification of leukocytes. In:
Cerebrospinal, Seminal and Peritoneal Fluid. 33(8). Clin Chem. 1475–1476p.
Oka TG. 1998. Penuntun Praktikum Patologi Klinik. Bagian Patologi Klinik Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana. Denpasar
Overstreet JW, Katz DF. 1987. Semen analysis. 14(3). Urol Clin North Am. 441-9p.
Putra CB, Manuaba IB. 2017. Gambaran Analisa Sperma Di Klinik Bayi Tabung Rumah
Sakit Umum Pusat Sanglah Tahun 2013. 6(5). E.Jurnal Medika. 1-5p.
Sarhar S. 2011. Andrology laboratory and fertility assessment. In: Henry JB. Editor. Clinical
Diagnosis and Management by Laboratory Methods. 22th
Edition. Philadelphia:
Elsevier Saunders.
Sherwood L. 2016. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. 8th
. Edition. Ong OH, Mahode AA,
Rahmadani D. Editor. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. 782-803p.
26
Strasinger KS, Lorenzo SM. 2014. Urinalysis and Body Fluid. 6th
Edition. Ward MM. Editor.
United State: FA Davis Company. 204-13p
WHO. 2010. WHO Laboratory Manual for The Examination and Processing of Human
Semen. 5th
Edition. Switzerland: 7-44p