mhpt-2

12
MAKALAH MANAJEMEN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN Pengambilan Keputusan Dalam Agroekosistem B awang M e r ah   Disusun untuk memenuhi tugas praktikum Manajemen Hama Dan Penyakit Tanaman Disusun Oleh: Fanita Widyah Alviana 11504020011 1044 Ferry Singgih Prasetiyo 115040200111056 Gema Rizky Ibrahim 115040200111096 Farid Riski Noris Solikhin 115040201111003  Amilia Wahyu Agustin 115040201111324 UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS PERTANIAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI MALANG 2013 

Upload: eun-hyo-kim

Post on 14-Oct-2015

44 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

none

TRANSCRIPT

MAKALAHMANAJEMEN HAMA DAN PENYAKIT TANAMANPengambilan Keputusan Dalam Agroekosistem Bawang Merah

Disusun untuk memenuhi tugas praktikum Manajemen Hama Dan Penyakit Tanaman

Disusun Oleh:Fanita Widyah Alviana115040200111044Ferry Singgih Prasetiyo115040200111056Gema Rizky Ibrahim115040200111096Farid Riski Noris Solikhin115040201111003Amilia Wahyu Agustin115040201111324

universitas brawijayaFakultas PertanianProgram Studi AgroekoteknologiMalang2013

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI2I. PENDAHULUAN31.1 Latar Belakang31.2 Tujuan3II. ISI42.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Bawang Merah42.2 Kebutuhan Unsur Hara42.3 Kebutuhan Air42.4 Rekomendasi Tindakan Lanjutan untuk Tanaman Budidaya52.4.1 Manajemen Hara52.4.2 Manajemen Air52.4.3 Manajemen OPT6III. PENUTUP103.1 Kesimpulan103.2 Saran10DAFTAR PUSTAKA11

I. PENDAHULUAN1.1 Latar BelakangBawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang banyak dibudidayakan. Usahatani sayuran khususnya bawang merah memiliki resiko tinggi dan kendala yang dihadapi dalam budidaya, salah satunya adalah serangan OPT (organisme pengganggu tanaman) yang dapat menggagalkan panen. Produktivitas tanaman yang rendah dan serangan hama/penyakit umumnya makin meningkat pada pertanaman di luar musim atau waktuoff-season, yaitu mulai bulan Desember sampai bulan April dalam kondisi iklim normal. Keberhasilan usahatani bawang merah di musim hujan, ditentukan oleh kemampuan budidaya khususnya dalam mengatasi masalah hama/penyakit tanaman, pemilihan varietas, pengolahan lahan yang tepat dan pemupukan tanaman yang efisien. Peledakan populasi hama dan serangan penyakit yang melewati ambang batas bisa terjadi akibat terjadi kesenjangan interaksi dalam ekosistemnya.Di dalam suatu ekosistem tanaman hortikultura merupakan suatu bentuk agroekosistem. Agroekosistem merupakansalah satu bentuk ekosistem binaan manusia yang bertujuan menghasikan produksi pertanian guna memenuhi kebutuhan manusia. Dalam sebuah agroekosistem, terdapat interaksi yang terus berkembang dan interaksi tersebut dapat hilang maupun berubah akibat kegiatan pertanian (interfensi manusia). Pertanian yang dilakukan secara intensif. Misalnya, pemupukan menyebabkan tanaman dapat menyerap unsur hara yang lebih besar. Disamping itu penggunaan pestisida dapat membunuh musuh alami selain hama yang menjadi sasaran.Hal yang diharapkan dari kegiatan pertanian adalah memberikan hasil yang optimal tanpa mengubah ekosistemnya. Akan tetapi, diperlukan pemahaman akan pentingnya pengelolaan agroekosistem yang tepat. Sejak tahun 1992, Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) bekerjasama dengan Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu (PHT) telah merakit dan mengembangkan teknologi PHT pada kedua komoditas tersebut. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai cara pengelolaan agroekosistem yang tepat melalui pendekatan prinsip PHT.1.2 TujuanUntuk menganalisis sebuah agroekosistem hingga pada tingkat pengambilan keputusan tentang tindakan lanjutan untuk tanaman bawang merah yang dibudidayakan.

II. ISI2.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Bawang MerahMorfologi bawang merah adalah : berakar serabut, berbatang sejati dengan bentuk pipih dan batang semu dengan bentuk pelepah daun, daun berbentuk bulat berlubang dan umbi berwarna merah. Tanaman bawang merah adalah merupakan salah satu tanaman sayuran berumur pendek, dan dapat hidup didataran rendah dengan ketinggian 10 s/d 250 dpl, namun demikian tanaman bawang merah dapat diusahakan pada dataran tinggi dengan ketinggian 800 s/d 1.200 dpl. Tinggi tanaman beragam 12-30 cm Jumlah daun per rumpun ada 13-36 helai Jumlah umbi per rumpun ada 7-9 umbi Fase pertumbuhan vegetatif (11 35 hari setelah tanam) Fase pembentukan umbi (36 50 hari setelah tanam) Fase pematangan umbi (51 65 hari setelah tanam)2.2 Kebutuhan Unsur HaraDosis pemupukan bervariasi tergantung dengan situasi setempat, jika kelebihan Urea atau ZA dapat mengakibatkan leher umbi tebal dan umbinya kecil-kecil, akan tetapi jika kurang, pertumbuhan terhambat dan daunnya menguning pucat. Kekurangan KCl juga dapat menyebabkan ujung daun mengering dan umbinya kecil (Surojo, 2006).Pada lahan yang kami amati, pemupukan dilakukan secara rutin menggunakan pupuk kandang dan pupuk NPK, sehingga bisa dikatakan tanaman tidak kekurangan unsur hara. Hal ini didukung dengan hasil pengamatan lapang bahwa tidak terlihat adanya gejala toksisitas maupun defisiensi unsur hara. Namun, dari data sekunder yang didapat, dapat disimpulkan bahwa pemberian pupuk sedikit berlebihan dan kurang efektif karena penggunaan metode yang kurang tepat sehingga perlu adanya evaluasi.2.3 Kebutuhan AirProduktifitas lahan yang tinggi perlu diupayakan dengan menjaga tanah tidak boleh dibiarkan memiliki salinitas tinggi dan drainase jelek. Pada lahan yang diamati, terdapat sistem irigasi sehingga kebutuhan air tanaman tercukupi. Karena petani selalu memperhatikan ketersediaan air aktual di lahannya, maka tidak pernah kekurangan air sepanjang tahun.

2.4 Rekomendasi Tindakan Lanjutan untuk Tanaman Budidaya Meningkatkan Biodiversitas dengan perencanaan pola tanam selain monokultur Pola tanam bawang merah disesuaikan dengan tujuan penanaman, yaitu bawang merah konsumsi dan bawang merah bibit. Rotasi tanam sangatlah penting serta pengelolaaan tanam secara serempak akan menjamin kesuburan tanah dan pengendalian hama dan penyakit. Sebelum dilakukan penanaman maka perlu dilakukan perlakuan pemotongan ujung umbi. Pemotongan ujung umbi bibit ini ini dimaksudkan untuk membuang penghambat tumbuh tunas umbi yang berada pada ujung umbi. Pemotongan ujung umbi ditentukan atas dasar lama penyimpanan bibit atau masa dormansi. Besar pemotongan ujung umbi ditentukan oleh varietas dan lama penyimpanan, semakin lama masa penyimpanan maka semakin sedikit pemotongan ujung umbinya.2.4.1 Manajemen HaraPrinsip pemupukan bawang merah adalah pupuk tepat berimbang. Kandungan unsur hara makro dan mikro harus memenuhi kebutuhan tanaman. Unsur-unsur makro N-P-K harus memenuhi unsur 16-16-16 atau setidaknya 16-16-11. Sedangkan unsur mikro cukup menggunakan pupuk mikro sesuai dosis yang dicampur dengan pupuk makro. Pemupukan dilakukan sebanyak 3 - 4 kali, dimulai pada saat tanaman berumur 2 - 4 minggu setelah tanam, dengan selang waktu 2 - 3 minggu sekali. Pemupukan cukup ditabur secara merata, dengan jumlah kebutuhan pupuk sebanyak 150 - 200 kg pupuk N-P-K/ha/pemupukan (Dahana, 2013).Pada lahan yang kami amati, perlu penambahan pupuk organik dan pupuk hijau. Pupuk organic berfungsi untuk memperbaiki kualitas lahan, sedangkan puppuk hijau bermanfaat untuk menambah biodiversitas tanah sehingga diharapkan dapat menekan perkembangan pathogen tulat tanah. Selain itu, sebelum pengaplikasian pupuk perlu dilakukan uji lab untuk menentukan kebutuhan unsur hara secara lebih akurat dan efisien.2.4.2 Manajemen AirSaluran irigasi akan berfungsi optimal jika saluran irigasi dan drainasenya baik, artinya bersih dari kotoran yang menyumbat dan mencemari air yang mengalir ke pertanaman. Oleh karena itu, perlu pembuatan parit untuk saluran irigasi, kemudian pemeliharaan saluran irigasi dan drainase secara berkala.Pemberian air dilakukan berdasar fase pertumbuhan bawang merah, seperti diketahui bawang merah terdapat tiga fase pertumbuhan :1. Fase pertumbuhan awal (0 10 hari setelah tanam)Pada fase pertumbuhan awal pengairan diberikan dua kali sehari, yaitu pada pagi dan sore hari. Penyiraman di pagi hari diusahakan sepagi mungkin di saat daun bawang merah masih kelihatan basah untuk mengurangi serangan penyakit. Penyiraman sore hari dapat dihentikan jika prosentase tanaman tumbuh telah mencapai lebih 90 %.Air yang digunakan diusahakan bebas dari penyakit bawang merah juga dihindari air dengan salinitas tinggi, dan tinggi permukaan air dalam canal (got) dipertahankan 20 cm dari permukaan bedeng tanaman.2. Fase pertumbuhan vegetatif (11 35 hari setelah tanam)Penyiraman atau pengairan dilakukan satu hari sekali yaitu pada pagi hari, dan jika ada hujan rintik-rintik dan ada serangan thrips dilakukan penyiraman pada siang hari.3. Fase pembentukan umbi (36 50 hari setelah tanam)Pada fase ini dibutuhkan air yang cukup untuk pembentukan umbi, maka pada musim kemarau perlu dilakukan pengairan sehari dua kali, yaitu pada pagi dan sore hari.4. Fase pematangan umbi (51 65 hari setelah tanam)Pada fase ini tidak dibutuhkan banyak air maka penyiraman dapat disesuaikan dengan keadaan tanaman.2.4.3 Manajemen OPTMenurut Untung (1993), sasaran PHT adalah : (1) produktivitas pertanian yang mantap dan tinggi, (2) penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat, (3) populasi hama dan penyakit serta kerusakan tanaman yang ditimbulkannya tetap pada batas yang secara ekonomi tidak merugikan, dan (4) mengurangi resiko pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida. Berdasarkan tujuan dan sasaran tersebut, rakitan komponen teknologi PHT yang dihasilkan oleh Balitsa berpedoman pada prinsip-prinsip PHT, yaitu (1) budidaya tanaman sehat, (2) pelestarian dan pemanfaatan musuh alami, dan (3) pemantauan ekosistem pertanian secara teratur atau rutin. Menerapkan Konsep PHT Budidaya tanaman sehatPada umumnya varietas bawang yang cukup baik adalah Bima Brebes, Kuning, Maja Cipanas, Sumenep, Bangkok, dan Filipina (Putrasamedja dan Suwandi, 1996). Menurut Suhardi (1993) varietas Bangkok paling cocok ditanam pada bulan September Oktober, karena varietas tersebut relatif tahan terhadap serangan penyakit bercak ungu dan potensi hasilnya tinggi.

(Gambar 1)Kriteria bibit bawang merah yang baik (Gambar 1) adalah sebagai berikut (Suwandi dan Hilman, 1995) : cukup umur tanam (lebih dari 65 hari); cukup umur simpan (30-60 hari); padat atau kompak dan kulit umbinya tidak luka, serta warnanya berkilau; ukuran umbi bibit sedang (1,5 1,8 cm); dan apabila bibit bawang merah belum cukup umur simpan, dilakukan pemotongan ujung umbi ( 0,5 cm) dengan tujuan untuk memecahkan masa dormansi Pelestarian dan pemanfaatan musuh alamiPada ekosistem bawang merah dan cabai, musuh alami yang berpotensi untuk menanggulangi OPT adalah virus patogen SeNPV (S. exigua Nuclear Polyhedrosis Virus) yang menyerang ulat bawang dan SpluNPV (S. litura Nuclear Polyhedrosis Virus) yang menyerang ulat grayak (Moekasan, 1998b). Menurut Rubenson, et al (1991), NPV merupakan salah satu jenis virus patogen yang mempunyai potensi untuk digunakan sebagai agens hayati pengendali hama. Virus tersebut bersifat spesifik, sehingga tidak mengganggu perkembangan parasitoid dan predator.Penggunaan NPV sebagai agens hayati dapat diaplikasikan dalam bentuk ekstrak kasar, ekstrak murni, atau yang telah diformulasi dengan bahan pembawa. Dari ketiga bentuk tersebut, ekstrak kasar adalah yang paling murah karena tidak memerlukan teknologi tinggi dan cara aplikasinya mudah. Cara pembuatan ekstrak kasar NPV adalah sebagai berikut : S. exigua atau S. litura yang terinfeksi oleh virus NPV dikumpulkan dari pertanaman bawang merah di lapangan. Ciri khas larva yang terinfeksi oleh NPV adalah kemampuan makannya berkurang, gerakannya lambat, tubuhnya membengkak, dan warna kulitnya berkilau. Sebanyak 15 ekor S. exigua atau 5 ekor S. litura yang terinfeksi oleh virus NPV digerus di atas mortar atau alat penggerus lainnya sampai halus. Larva halus diencerkan dengan 1 liter air bersih, kemudian diaduk hingga rata. Ke dalam larutan tersebut ditam bahkan Agristick (perekat perata) sebanyak 1 ml per liter air, kemudian diaduk sampai rata. Larutan ekstrak kasar tersebut siap untuk disemprotkan pada pertanaman bawang merah. Untuk memperoleh larutan NPV sebanyak 1 tangki semprot (17 liter), diperlukan sebanyak 255 ekor larva S. exigua yang terinfeksi. Untuk mendapatkan larutan ekstrak kasar S. litura yang terinfeksi oleh NPV sebanyak 1 tangki semprot diperlukan 85 ekor (Moekasan, 1998b dan Arifin, 1988). Penyemprotan ekstrak kasar NPV dilakukan mulai tanaman berumur 1 minggu tanam dan diulang tiap minggu sekali.

Pengamatan agroekosistem secara rutinUntuk mengetahui perkembangan tanaman, populasi hama dan intensitas serangan OPT, sejak tanaman bawang merah berumur lima hari dilakukan pengamatan secara rutin dengan interval 3 hari. Pengamatan pada tanaman cabai dilakukan setelah tanaman bawang merah dipanen dengan interval 7 hari. Pengamatan rutin dilakukan pada tanaman contoh, masing-masing sebanyak 50 tanaman/ha. Selain itu dilakukan juga pengamatan petak contoh masing-masing sebanyak 5 buah/ha. Populasi tanaman bawang merah dan cabai per petak contoh masing-masing sebanyak 100 rumpun. Petani sebagai manajer (ahli PHT) di lahannya sendiri Pengambilan KeputusanKeputusan pengendalian OPT pada tanaman bawang merah dan cabai diambil berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan secara rutin. Jika populasi OPT atau kerusakan tanaman yang ditimbulkannya telah mencapai atau melampaui Ambang Pengendalian (AP), dilakukan penyemprotan pestisida namun jika masih di bawah AP, tidak dilakukan penyemprotan. Menurut Untung (1993a), ambang pengendalian adalah suatu tingkatan populasi OPT atau kerusakan tanaman yang ditimbulkannya, yang jika tidak dilakukan tindakan pengendalian akan menimbulkan kerugian secara ekonomis.Ambang Pengendalian OPT bawang merahNilai Ambang Pengendalian (AP) OPT pada tanaman bawang merah adalah sebagai berikut :Pada musim kemarau, AP S. exigua adalah paket telur sebesar 0,1 per tanaman contoh atau kerusakan daun sebesar 5% per tanaman contoh. Pada musim hujan, nilai AP S. exigua adalah paket telur sebesar 0,3 per tanaman contoh atau kerusakan daun sebesar 10% per tanaman contoh (Koestoni dan Sastrosiswojo, 1993a, Moekasan dan Sastrosiswojo, 1993). AP penyakit bercak ungu atau trotol adalah kerusakan daun sebesar 10% atau skor 1 per tanaman contoh (Suhardi dkk., 1994). AP penyakit antraknose atau otomatis adalah kerusakan tanaman sebesar 10% per petak contoh (Moekasan dan Prabaningrum, 1997).

III. PENUTUP3.1 KesimpulanSistem pertanian yang digunakan masih menggunakan sistem konvensional sehingga menimbulkan banyak dampak negatif, seperti rusaknya tanah, kualitas tanaman yang kurang baik karena terkontaminasi pestisida, insektisida dan herbisida, selain itu pencemaran lingungan karena tidak adanya pengelolaaan limbah pertanian secara tepat. Hal yang paling penting adalah resurgensi hama, jika dibiarkan terus-menerus tidak menutup kemungkinan akan menyebabkan resistensi dan tercipta biota baru.Serangan ulat grayak dan embun bulu dapat dikendalikan dengan menstabilkan agroekosistem melalui peningkatan biodiversitas tanaman dan serangga. Penganekaragaman tanaman dapat dilaksanakan dengan menentukan pola tanam, tanaman tahan hama atau tumpangsari, sedangkan penganekaragaman serangga dapat dilakukan dengan melakukan pemantauan secara rutin hama yang menyerang pertanaman seperti ulat grayak, kemudian konservasi musuh alami dengan menggunakan insektisida biologi atau botani.3.2 SaranPerlu dilakukan pendekatan secara teoritis dan implementatif pada lahan tersebut sesuai konsep PHT. Penyuluhan dan SLPHT merupakan salah satu tindakan yang tepat.

DAFTAR PUSTAKAArifin, M. 1988. Pengaruh konsentrasi dan volume Nuclear Polyhedrosis Viruses terhadap kematian ulat grayak kedelai (Spodoptera litura L.) Penel. Pertanian. 8(1):12-14.Dahana, Kres. 2013. Kunci Sukses Budidaya Bawang Merah Asal Biji di Dataran Rendah. http://epetani.deptan.go.id/.diakses pada 21 November 2013Koestoni, T. dan S. Sastrosiswojo. 1993a. Pengujian ambang kendali hama ulat daun (Spodoptera exigua Hubn.) pada tanaman bawang merah di dataran rendah. Laporan Penelitian Kerjasama Balithort Lembang dengan Ciba Geigy R & D Lembang. 7 hal.Moekasan, T.K. dan S. Sastrosiswojo. 1993. Pengujian ambang kendali hama ulat bawang (Spodoptera exigua Hubn.) pada tanaman bawang merah. Laporan Hasil Penelitian PHT-ARM Tahun Anggaran 1992/1993. Balithort Lembang. 12 hal.Moekasan, T.K. dan L. Prabaningrum. 1997. Panduan Teknis : Penerapan PHT pada sistem tanam tumpanggilir bawang merah dan cabai. Kerjasama Balitsa dengan Novartis Crop Protection. 70 hal.Moekasan, T.K. 1998. SeNPV, Insektisida mikroba untuk pengendalian hama ulat bawang, Spodoptera exigua. Monografi No. 15. Balitsa. Bandung. 17 hal.Putrasamedja, S. dan Suwandi. 1996. Bawang merah di Indonesia. Monografi No. 5. Balitsa. Lembang. 18 hal.Rubenson, J.R., S.Y. Young, and T.J. Kring. 1991. Suitability of prey infected by NPV for development survival and reproduction of the predator Nabis roseipennis (Heteroptera : Nabidae). Environ. Entomol. 20(5) : 175-179.Suhardi, 1993. Pengaruh waktu tanam dan interval penyemprotan fungisida terhadap intensitas serangan Alternaria porri dan Colletotrichum gloesporioides pada bawang merah. Bull. Penel. Hort. 26(1) : 138-147.Suhardi, T. Koestoni, dan A.T. Soetiarso. 1994. Pengujian teknologi pengendalian hama dan penyakit terpadu pada bawang merah berdasarkan nilai ambang kendali dan modifikasi tipe nozzle alat semprot. Bull. Penel. Hort. 26(4) : 100-117.Surojo, G. 2006. Pemupukan dan Pemeliharaan Bawang Merah. Dipertabun. NganjukSuwandi dan Y. Hilman. 1995. Budidaya tanaman bawang merah. Dalam H. Sunarjono, Suwandi, A.H. Permadi, F.A. Bahar, S. Susihanti dan W. Broto (Eds.). Teknologi produksi bawang merah. Puslitbanghort. Hal. 51-56.Untung, K. 1993. Pengantar pengelolaan hama terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 273 hal.

2