milenial, pemimpin politik, dan debat capres indonesia 2019
TRANSCRIPT
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication e-ISSN 2721-0162
Corresponding author: Mochamad Rizki Firdaus; e-mail: [email protected] Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication Volume 1 Issue 1 2020 © The Author(s) 2020. Published by Department of Communication Science Universitas Brawijaya. All right reserved. For permissions, please e-mail: [email protected]
ARTIKEL ORISINAL
Milenial, Pemimpin Politik, dan Debat Capres Indonesia
2019
Mochamad Rizki Firdausa dan Justito Adiprasetiob
aProgram Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran bPusat Studi Komunikasi, Media dan Budaya, Universitas Padjadjaran
This study tries to explain and the reception of millenial generation in Universitas Padjadjaran
towards the representation of leaders in the nonverbal message and the substance of the message
of Indonesian Presidential candidates in 2019 presidential debate. Data was collected by in-
depth interviews and FGDs of eight informants. The results of this study indicate that the reading
of informants on the representation of the leaders of the candidates for the substance and
nonverbal candidates in the 2019 Indonesian Presidential Debate shows candidate 01 superior
to candidate 02. Candidate 01 excels in five variables: nonverbal kinesik, nonverbal artifactual,
substance alignment topics, substance selection and alternative solution arguments, and the
substance of the stimulation of alternative solutions. Whereas candidate 02 is only one variable
superior namely nonverbal paralinguistic.
Keywords: representation of leaders, presidential debate, millennial, reception.
Penelitian ini berupaya mengungkap resepsi generasi milenial Universitas Padjadjaran terhadap
representasi pemimpin pada pesan nonverbal dan substansi kandidat Capres Indonesia dalam
tayangan debat presiden 2019, melalui analisis resepsi. Pengumpulan data dilakukan dengan
wawancara mendalam dan FGD terhadap delapan orang informan. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pembacaan informan terhadap representasi pemimpin para kandidat atas
substansi dan nonverbal capres dalam tayangan debat capres Indonesia 2019 yakni kandidat 01
unggul lima variabel terhadap representasi pemimpin, yaitu nonverbal kinesik, nonverbal
artifaktual, substansi penyelarasan topik, substansi pemilihan dan argumen solusi alternatif,
serta substansi stimulasi solusi alternatif. Sedangkan kandidat 02 hanya unggul satu variabel
yakni nonverbal paralinguistik.
Kata Kunci: representasi pemimpin, debat presidensial, milenial, resepsi.
Literatur yang menjelaskan tentang milenial dalam politik menyebutkan bahwa milenial
memiliki karakter politik yang berbeda apabila dibandingkan dengan generasi sebelumnya
(Milkman, 2017). Generasi milenial adalah “generasi politis” yang memiliki ciri khas yang
unik, yaitu digital native, menggunakan jaringan berbasis komunikasi seperti media sosial,
lebih terdidik dibandingkan dengan generasi sebelumnya, dan menjadi tumbal atas
meningkatnya prekariasi pekerjaan dalam polarisasi pasar buruh atau pekerjaan (Kalleberg,
2011). Pasca-2008, di Amerika terjadi gelombang protes besar-besaran terkait berbagai isu
yang mematahkan justifikasi bahwa milenial merupakan generasi yang apolitis (Milkman,
Luce, & Lewis, 2013). Pada tahun yang sama, kita juga dapat melihat bagaimana Obama
berhasil mendulang suara dari milenial melalui kampanye media sosial (Talbot, 2008). Di
Milenial, Pemimpin Politik, dan Debat Capres Indonesia 2019
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 43-66
44
Indonesia, milenial juga memainkan peran besar dalam politik, terutama pada pemilihan
Presiden 2014. Kandidat presiden Joko Widodo (Jokowi) menggunakan kampanye kreatif
seperti video, musik, aplikasi permainan dan beragam desain visual untuk menarik perhatian
pemilih muda (Arianto, 2015). Kampanye mengandalkan media sosial untuk merengkuh
suara milenial (Tapsell, 2015).
Secara kuantitatif, milenial Indonesia saat ini memainkan peran yang sangat besar dalam
politik, terutama pada Pemilu 2014 dan 2019. Berdasarkan DPTHP III (Daftar Pemilih Tetap
Hasil Perbaikan), total DPT Pemilu 2019 sebanyak 192.866.254 jiwa (Andayani, 2019),
dengan jumlah DPT rentang usia 20-30 tahun lebih dari 60 juta jiwa. Setidaknya milenial
merepresentasikan 31% dari total DPT dalam negeri maupun luar negeri yang telah
ditetapkan KPU (Komisi Pemilihan Umum). Pilpres Indonesia 2019 telah dilaksanakan pada
17 April 2019, dengan saling tarungnya Joko Widodo (Jokowi) sebagai kandidat nomor urut
01 dan Prabowo Subianto (Prabowo) sebagai kandidat nomor urut 02, melanjutkan
pertandingan yang sama lima tahun sebelumnya.
Jokowi dan Prabowo masing-masing menggunakan model kepemimpinan dan
pendekatan yang berbeda dalam kontestasi pemilihan umum (Aspinall, 2015). Jokowi
cenderung menunjukkan identitas kerakyatan yang dia lanjutkan, terutama, setelah
memenangkan kursi gubernur Jakarta pada tahun 2012 (Fukuoka & Djani, 2016; Tomsa,
2017; Susanto, 2017). Sedangkan Prabowo membawa aspek ketegasan dan pendekatan yang
cenderung militeristik. Model kepemimpinan adalah hal yang vital, terutama dalam upaya
memengaruhi dan meningkatkan loyalitas pengikut (Bass & Riggio, 2014; van Knippenberg,
Wisse, De Cremer, & A. Hogg, 2004; McIntyre, Lloyd, & Smith, 2001; Kaase, 1994)
Hal yang tercermin salah satunya melalui pendekatan masing-masing dalam debat calon
presiden (debat capres) yang diselenggarakan menjelang pemilihan umum. Pendekatan yang
juga memengaruhi bagaimana mengonstruksi identitas masing-masing kandidat (Putri &
Tono, 2015). Sebelum dilaksanakan pemungutan suara pada pemilihan umum 2019, KPU
menyelenggarakan debat calon presiden sebanyak lima kali, ditayangkan oleh televisi
nasional masing-masing pada 17 Januari 2019, 17 Februari 2019, 17 Maret 2019, 30 Maret
2019, dan 13 April 2019. Penelitian ini pada dasarnya berupaya mengungkap bagaimana
resepsi milenial terhadap kepemimpinan masing-masing kandidat, yakni Jokowi dan
Prabowo dalam debat capres yang diselenggarakan menjelang pemilu 2019.
Secara definitif generasi milenial sendiri memiliki beragam pengertian dari beberapa
penelitian pendahulu. Wilson & Gerber (2008) mendefinisikan generasi milenial juga
sebagai generasi Y, atau mereka yang lahir tahun 1982 hingga 2003. Pengertian lainnya
berasal dari Delloitte (2019), yang berpendapat bahwa generasi milenial adalah mereka yang
lahir pada 1980 hingga 1995. Delloitte juga menjelaskan bahwa tidak ada definisi yang
diterima secara universal dalam pelabelan generasi milenial, hal ini disebabkan masing-
masing peneliti menggunakan argumen dan parameter yang berbeda dalam pembabakan
generasinya. Pada artikel ini, generasi milenial merujuk pada mereka yang berada dalam
rentang usia 17-30 tahun pada saat diselenggarakannya pemilu 2019. Berdiri di atas argumen
Mannheim (1927, 1944) bahwa setiap generasi memiliki struktur sosialnya sendiri, termasuk
aras ideologi.
M. R. Firdaus dan J. A. Adiprasetio
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 43-66
45
Terdapat beberapa temuan terkini yang mencoba memetakan karakter milenial. Delloitte
(2019) dalam studinya menjelaskan bahwa milenial cenderung menginginkan pemimpin
yang berfokus pada perhatian kesejahteraan, pengembangan sumber daya manusia, serta
pemimpin yang mempunyai visi, ketegasan, dan gairah dalam memimpin. Senada dengan
hal tersebut, studi Long & Long (2017) menemukan bahwa milenial cenderung menyukai
gaya kepemimpinan yang melayani.
Debat calon presiden di Indonesia pertama kali dilaksanakan pada pemilu presiden 2004.
Debat yang disiarkan televisi tersebut merupakan terobosan dalam perjalanan politik
Indonesia. Kelima pasangan kandidat yang beradu argumen dalam debat pemilu presiden
2004 adalah pasangan Wiranto - Salahuddin Wahid, Megawati Soekarnoputri - Hasyim
Muzadi, Amien Rais - Siswono Yudo Husodo, Susilo Bambang Yudhoyono - Jusuf Kalla,
serta Hamzah Haz - Agum Gumelar. Pasca-debat tersebut, beragam penilaian masyarakat
atas debat muncul. Seperti penilaian jalannya debat masih canggung, tidak maksimal, tidak
menampilkan ‘debat’ yang sesungguhnya, dan menjadi meme serta komedi satir (Wadilapa,
2015).
Studi-studi sebelumnya telah berupaya menjelaskan bagaimana debat capres di
Indonesia mampu memengaruhi pemirsa, seperti meningkatkan partisipasi politik
(Soemardjo, 2015). Hal ini membuat masing-masing kandidat akan mencoba
mempresentasikan diri sebaik mungkin. Masing-masing kandidat membangun branding diri
dalam memilih piranti bahasa untuk meningkatkan potensi identitas diri mereka di hadapan
permisa, tak terkecuali milenial yang telah disebutkan sebelumnya. Hal ini memainkan peran
yang sangat signifikan dalam kontestasi calon presiden (Qeis, 2014; Setiana, 2015; Nugroho
& Basuki, 2017).
Dalam sejarah debat calon presiden dunia, Amerika Serikat adalah negara pertama yang
menyiarkan debat capres melalui televisi secara langsung. Yakni debat calon presiden tahun
1960 antara John F. Kennedy dan Richard R. Nixon (History.com, 2010). Debat capres
Amerika Serikat 1960 kemudian dianggap publik AS merupakan hal penting dalam
rangkaian pemilihan presiden. Sebab publik AS dapat menilai kepribadian serta substansi
para kandidat, bahkan ketika kandidat menyampaikan kekeliruan logika, data tak akurat,
hingga retorika yang tidak mengesankan.
Benoit, Hansen, & Verser (2010) memaparkan beberapa temuan berdasarkan debat calon
presiden di Amerika Serikat: (1) debat dapat meningkatkan pengetahuan isu dan arti penting
isu kandidat; (2) debat dapat mengubah preferensi isu kandidat; (3) debat memiliki efek
‘agenda setting’; (4) debat dapat mengubah persepsi pemilih terhadap kepribadian kandidat;
(5) debat dapat memengaruhi preferensi suara pemilih; (6) debat primer meningkatkan
pengetahuan masalah bagi pemilih; serta (7) debat dapat memengaruhi persepsi karakter
kandidat. Setelah 1960, publik Amerika mulai mengharapkan kelanjutan debat calon
presiden yang ditayangkan melalui televisi. Bagi publik Amerika, debat calon presiden
menawarkan informasi tentang kandidat yang akan bertarung, juga kecakapan masing-
masing dalam beretorika. Hal yang akan menjadi pertimbangan untuk memilih di bilik suara
nanti.
Calon presiden pada akhirnya dituntut menjadi komunikator yang dapat meyakinkan
pemirsa atas identitas dirinya, dengan tujuan akhir meraup suara pemirsa pada pemungutan
Milenial, Pemimpin Politik, dan Debat Capres Indonesia 2019
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 43-66
46
suara nanti. Untuk menjadi komunikator dan meyakinkan pemirsa debat diperlukan
performa yang serba baik dan terlatih. Burgoon (2003) menjelaskan bahwa persepsi
kepribadian dapat dipengaruhi oleh faktor nonverbal serta perilaku verbal. (Birdwhistell,
1955; Philipott, 1983). Behavior (2016) menjelaskan bahwa pendapat pemirsa tentang para
kandidat berubah secara dramatis setelah menyaksikan tayangan debat. Perubahan ini terjadi
terkait dengan penilaian subyek terhadap citra kandidat, serta "gaya" atau substansi. Benoit,
Hansen & Server (2003) menyimpulkan bahwa sebagian dari publik mendiskusikan karakter
dalam pengucapan saat debat berlangsung, sedangkan yang lain membahas kebijakan.
Komunikasi politik tidak lagi hanya tentang isu dan kampanye tetapi juga tentang estetika,
serta cara penyampaian.
Penelitian ini dengan analisis resepsi dan pendekatan kualitatif berupaya untuk
menjelaskan bagaimana resepsi milenial terhadap representasi pemimpin para capres dalam
tayangan debat capres Indonesia 2019. Peneliti mencoba mengungkap bagaimana khalayak
milenial menilai penggunaan aspek nonverbal serta substansial kandidat capres dalam
tayangan debat capres Indonesia 2019. Penelitian ini akan membatasi mahasiswa Universitas
Padjadjaran sebagai subjek penelitian.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis resepsi dengan pendekatan
kualitatif. Pendekatan kualitatif dapat membantu peneliti dalam menghasilkan penelitian
yang mendalam seperti yang disebutkan oleh Creswell (2015). Pendekatan kualitatif dapat
membantu peneliti dalam memberdayakan subjek penelitian untuk dapat menceritakan
pengalaman yang dimiliki (Morrisan, Wardhani, & Hamid, 2010).
Analisis resepsi khalayak dikembangkan oleh Stuart Hall (1973, 2013). Hall
mengungkapkan bahwa riset khalayak mempunyai perhatian langsung terhadap: (a) analisis
dalam konteks sosial dan politik tatkala isi media diproduki (encoding); dan (b) konsumsi
isi media (decoding) dalam konteks kehidupan sehari-hari. Seperti yang dikatakan McQuail
(1997), analisis resepsi menekankan pada penggunaan media sebagai refleksi dari konteks
sosial budaya, serta dari pemberian makna melalui persepsi khalayak atas pengalaman
produksi. Hall juga menganggap bahwa khalayak merupakan bagian aktif yang dapat
menginterpretasi dan memaknai teks media secara relativistik (Hall, 1973).
Model encoding-decoding Hall digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis
interpretasi informan dalam menentukan posisi pembacaan. Model encoding-decoding Hall
mengelaborasikan bahwa pembacaan khalayak dapat dikategorikan pada tiga posisi
pembacaan, yakni dominant hegemonic reading, negotiated reading, dan oppositional
reading. Dominant hegemonic reading, atau posisi pembaca dominan, adalah ketika
khalayak secara dominan memiliki posisi yang sama terhadap pesan/makna yang
disampaikan media. Negotiated reading, atau posisi pembaca negosiasi, adalah ketika
khalayak menerima sebagian dan menolak sebagian makna yang disampaikan oleh media.
Oppositional reading, atau posisi pembaca oposisi, adalah ketika khalayak menolak
pesan/makna yang disampaikan media. Dalam penelitian ini, teori encoding-decoding akan
diterapkan untuk mengelompokan hasil interpretasi informan.
Wawancara mendalam dilakukan pada delapan informan. Pemilihan informan dilakukan
secara purposif, didasarkan pada kriteria telah menyaksikan tayangan debat calon presiden
Indonesia 2019, dan merupakan bagian pemilih muda generasi milenial Universitas
M. R. Firdaus dan J. A. Adiprasetio
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 43-66
47
Padjadjaran. Terdapat dua variabel pertanyaan besar, yakni: (1) bagaimana resepsi terhadap
pesan nonverbal (kinesik, artifaktual, paralinguistik) kandidat capres dalam tayangan debat
pilpres Indonesia 2019; (2) bagaimana resepsi terhadap substansi (penyelarasan topik,
pemilihan dan argumen terkait solusi alternatif terpilih, kemampuan stimulasi
lembaga/birokrasi terhadap alternatif terpilih) kandidat capres.
Selain wawancara, untuk mengakumulasikan data, penelitian ini juga menggunakan
Focus Group Discussion (FGD) sebagai teknik pengumpulan data. Lehoux, Poland, &
Daudelin (2006) menjelaskan FGD memiliki kekuatan utama berupa menghadirkan interaksi
antar partisipan untuk memperoleh kedalaman dan kekayaan data yang lebih padat, yang itu
tidak diperoleh dari hasil wawancara mendalam. FGD dilakukan pada delapan informan
yang sebelumnya telah diwawancarai. Pengambilan data pada FGD dilakukan dengan
menayangkan tayangan debat pertama dengan tema hukum, hak asasi manusia, korupsi, dan
terorisme (capres & cawapres); tayangan debat kedua dengan tema energi, pangan,
infrastruktur, sumber daya alam, dan lingkungan hidup (capres); tayangan debat keempat
dengan tema ideologi, pemerintahan, pertahanan, keamanan, serta hubungan internasional
(capres), serta tayangan debat kelima dengan tema ekonomi dan kesejahteraan sosial,
keuangan dan investasi, perdagangan dan Industri (capres & cawapres). Proses FGD
dilakukan dengan menampilkan cuplikan tayangan debat capres yang telah peneliti pilih
sebagai materi bahasan. Peneliti kemudian melontarkan pertanyaan kepada informan
mengenai pemahamannya, untuk kemudian ditimpali oleh informan lainnya. Hasil diskusi
dicatat oleh seorang notulen untuk membantu peneliti melakukan pengamatan selama
melakukan proses FGD. FGD diselenggarakan pada 9 Juli 2019.
Pesan nonverbal yang digunakan dalam variabel penelitian ini mengacu pada pengertian
nonverbal menurut Rakhmat (1996), yaitu: kinesik, proksemik, artifaktual, paralinguistik,
pesan sentuhan, dan bau-bauan. Dalam penelitian ini, peneliti hanya menggunakan tiga
pesan nonverbal. Yakni, (1) kinesik, yakni ekspresi gestur, postur; (2) artifaktual, yakni
pakaian, aksesoris, sepatu; serta (3) paralinguistik, yakni intonasi, nada, kecepatan. Ketiga
pesan nonverbal tersebut dipilih karena ketiga pesan tersebut adalah pesan yang diterima
secara utuh oleh informan saat menyaksikan tayangan debat capres 2019.
Substansi yang dianalisis dalam penelitian ini, mengikuti uraian Jamieson (2015). Yakni:
(1) penyelarasan topik, ketika kapasitas seorang presiden membawa isu yang diangkat dalam
debat dengan berfokus pada isu terdahulu yang akan dikerjakan dalam pemerintahannya
kelak; (2) pemilihan dan argumen solusi alternatif, merupakan kapasitas seorang presiden
dalam memilih solusi alternatif di antara banyaknya alternatif, serta menjelaskan alternatif
tersebut secara argumentatif dan meyakinkan dalam debat capres; (3) stimulasi atas solusi
alternatif, merupakan kapasitas seorang presiden menstimulasi pihak yang dituju atas solusi
alternatif yang ditawarkannya dalam debat, serta menjelaskan secara komprehensif solusi
alternatif yang ditawarakan, sehingga pihak yang dituju dapat memahami dengan baik.
Penelitian ini melibatkan delapan informan yang dipilih berdasarkan kategori pemilih
muda dari milenial Universitas Padjadjaran yang telah menyaksikan tayangan debat capres
Indonesia 2019 ke-1, 2, 4, dan 5. Pemilihan informan dilakukan secara purposif terhadap
mahasiswa Universitas Padjadjaran yang menyatakan memiliki cukup pengetahuan dan
menaruh perhatian terhadap politik Indonesia. Informan penelitian ini terdiri dari empat
Milenial, Pemimpin Politik, dan Debat Capres Indonesia 2019
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 43-66
48
informan rumpun ilmu saintek (sains dan teknologi) dan empat informan rumpun ilmu
soshum (sosial dan humaniora) Universitas Padjadjaran. Pembagian dua kategori ini
dilakukan untuk mendapatkan representasi dari masing-masing rumpun ilmu yang ada di
Universitas Padjadjaran. Diharapkan representasi yang berimbang antara kedua kategori
tersebut dapat memberikan informasi yang reliabel. Berikut adalah tabel identitas informan
secara keseluruhan:
Tabel 1. Profil informan
Subjek Jenis
kelamin
Usia
(tahun)
Pekerjaan Kategori
A Laki-laki 21 Mahasiswa Sosial (Ilmu Komunikasi)
B Laki-laki 22 Mahasiswa Saintek (Peternakan)
C Perempuan 21 Mahasiswi Sosial (Manajemen Komunikasi)
D Perempuan 22 Mahasiswi Saintek (Keperawatan)
E Laki-laki 22 Mahasiswa Saintek (Geofisika)
F Laki-laki 22 Mahasiswa Sosial (Ilmu Komunikasi)
G Perempuan 21 Mahasiswi Sosial (Ilmu Komunikasi)
H Perempuan 21 Mahasiswi Saintek (Peternakan)
Pesan nonverbal
Pembacaan khalayak terhadap pesan nonverbal para kandidat capres dalam tayangan debat
pilpres Indonesia 2019 terhadap representasi pemimpin dibagi menjadi tiga aspek, yakni
substansi nonverbal yang mencakup: (1) kinesik, yakni ekspresi gestur, postur; (2)
artifaktual, yakni pakaian, aksesoris, sepatu; (3) paralinguistik, yakni intonasi, nada,
kecepatan. Berikut adalah hasil pembacaan yang didapat dari para informan.
Kinesik
Analisis pembacaan nonverbal kinesik para kandidat capres dalam tayangan debat pilpres
Indonesia 2019 berfokus pada penilaian informan mengenai bisa dan tidaknya kandidat
capres untuk merepresentasikan dirinya menjadi seorang pemimpin yang dibutuhkan saat
ini.
Tabel 2. Pembacaan khalayak kinesik capres Indonesia 2019 terhadap representasi pemimpin
Hasil pembacaan Nomor urut capres Indonesia
2019
Informan
G A F E C D B H
Merepresentasikan 1 x x x x
2 x x
Tidak
merepresentasikan
1 x x x
2 x x x x x
Negosiasi 1 x
2 x
M. R. Firdaus dan J. A. Adiprasetio
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 43-66
49
Hasil wawancara menunjukan separuh informan membaca penggunaan kinesik kandidat
01 merepresentasikan pemimpin. Dua Informan membaca penggunaan kinesik kandidat 02
merepresentasikan pemimpin. Satu informan membaca penggunaan kinesik para kandidat
tidak merepresentasikan pemimpin yang dibutuhkan untuk Indonesia saat ini. Sedangkan
satu Informan berpendapat para kandidat merepresentasikan pemimpin jika kedua kandidat
dapat memenuhi beberapa kriteria tertentu.
Salah satu informan, berinisial D, berpendapat bahwa gaya kepemimpinan yang terkesan
memberi komando tidaklah relevan untuk diterapkan saat ini. D menambahkan bahwa gaya
kepemimpinan yang mengedepankan kalimat-kalimat persuasif layaknya seorang bapak
kepada anaknya, dan itu terkesan menyelesaikan permasalahan secara bersama, merupakan
gaya kepemimpinan yang relevan untuk Indonesia saat ini.
Sedangkan B berpendapat bahwa Indonesia yang notabene dikategorikan bukan negara
maju, membutuhkan pemimpin yang menggunakan pendekatan yang terkesan baik pada
audiensnya. B menjelaskan bahwa pendekatan baik yang dimaksud adalah yang
menyampaikan secara high context dengan penggunaan kalimat serta penggunaan postur dan
gestur yang beragam. B menjelaskan penggunaan postur dan gestur kandidat 01 high context
menggunakan gestur-gestur yang lebih beragam, seperti penggunaan tangan dalam
penyampaiannya. B menilai kandidat 01 lebih merepresentasikan pemimpin yang
dibutuhkan Indonesia saat ini karena penggunaan kinesiknya yang lebih beragam. B
menambahkan bahwa pendekatan kandidat 02 kurang relevan dengan karakter masyarakat
Indonesia karena penggunaan postur dan gestur kandidat 02 yang lebih minim atau low
context, sehingga tidak merepresentasikan pemimpin yang dibutuhkan saat ini.
Posisi akhir pembacaan nonverbal kinesik B terhadap kandidat 01 dan kandidat 02 dalam
tayangan Debat Capres Indonesia 2019 adalah negosiasi. Saat sesi wawancara, B
menjabarkan bahwa Indonesia saat ini membutuhkan pemimpin dengan penggunaan kinesik
yang terkesan ‘baik’ kepada audiensnya. B menambahkan, Indonesia adalah negara yang
dikategorikan bukan negara maju sehingga membutuhkan pemimpin dengan penggunaan
kinesik seperti kandidat 01. Saat FGD, moderator menayangkan potongan video tayangan
debat capres ke-2 sesi penjabaran visi para kandidat. Setelah potongan tayangan debat
ditampilkan, B berpendapat penggunaan kinesik kandidat 02 sangat menguasai panggung,
tegas dan cepat dalam menjelaskan. B menambahkan penggunaan ekspresi, postur dan gestur
kandidat 02 terlihat sangat percaya diri sehingga menggambarkan seseorang yang
berpengalaman dalam politik. Sedangkan untuk kandidat 01, B menilai penggunaan ekspresi
dalam tayangan FGD, kurang meyakinkan untuk merepresentasikan seorang pemimpin
menurutnya.
A berpendapat gaya kepemimpinan yang dibutuhkan saat ini adalah mereka yang
terkesan ‘apa adanya’, serta benar-benar turun ke lapangan. Bagi A, gaya kepemimpinan
‘apa adanya’ adalah pemimpin yang menggunakan ekspresi, postur dan gestur yang tidak
meledak-ledak dalam setiap penyampaiannya, sehingga terkesan santun.
Ada dua Informan yang berpendapat penggunaan kinesik kandidat 02 merepresentasikan
pemimpin. Mereka adalah E dan H. Menurut E, pemimpin dengan pembawaan seperti militer
cocok untuk Indonesia saat ini. E memberi contoh bahwa gaya kepemimpinan seperti
Soekarno dan Soeharto merupakan hal yang tepat untuk diterapkan sekarang. E
Milenial, Pemimpin Politik, dan Debat Capres Indonesia 2019
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 43-66
50
menambahkan, gaya kepemimpinan militer adalah gaya pemimpin yang pandai berorasi
dengan menggunakan postur dan gestur yang tegas, sehingga apa yang disampaikan terkesan
meyakinkan.
Hampir sama dengan E, H berpendapat bahwa pemimpin merupakan role model sebuah
negara, sehingga kesan tegas dan berkharisma dalam penggunaan kinesik haruslah ada. H
menjelaskan bahwa kesan tegas dan berkharisma adalah yang menggunakan aspek-aspek
bahasa rendah dalam setiap penyampaiannya. Menurut H, penggunaan postur dan gestur
kandidat 02 lebih menggunakan aspek bahasa low context, karena penggunaan postur dan
gestur yang tidak hiperbolis sehingga menimbulkan kesan berkharisma. H menambahkan
bahwa kedua orangtuanya merupakan orang Sumatra, yang menurutnya menggunakan aspek
bahasa rendah, sehingga H terbiasa dengan gaya seperti itu.
Sedangkan informan yang berpendapat kedua kandidat tidak merepresentasikan
pemimpin dalam penggunaan kinesik adalah G, sebab, penggunaan kinesik kandidat 01
terlihat tidak bersemangat dalam setiap penyampaian. G berharap kandidat 01 dapat lebih
ekspresif serta menggunakan gestur yang lebih beragam dari setiap penyampaiannya
sehingga lebih membawa kesan semangat dalam penyampaiannya. Kandidat 02, menurut G,
dalam tayangan debat terlihat gugup, dan terkesan hanya menghafal topik debat saat tampil,
sehingga tidak merepresentasikan pemimpin menurutnya. Dia menjelaskan bahwa seeorang
pemimpin pada tayangan debat haruslah dapat mengendalikan kegugupannya, sehingga
dapat berpikir jernih dalam menjawab segala pertanyaan, serta menggunakan aspek ekspresi
dan gestur yang tepat dari setiap narasi yang disampaikan.
Artifaktual
Analisis pembacaan nonverbal artifaktual para kandidat capres dalam tayangan debat pilpres
Indonesia 2019 berfokus pada penilaian informan mengenai bisa dan tidaknya kandidat
capres untuk merepresentasikan dirinya menjadi seorang pemimpin yang dibutuhkan saat
ini.
Tabel 3. Pembacaan khalayak artifaktual capres Indonesia 2019 terhadap representasi pemimpin
Hasil pembacaan Nomor Urut capres Indonesia
2019
Informan
G A F E C D B H
Merepresentasikan 1 x x x x x
2 x x x
Tidak
merepresentasikan
1 x x x
2 x x x x x
Negosiasi 1
2
Hasil wawancara menunjukan lima informan membaca penggunaan artifaktual kandidat
01 merepresentasikan pemimpin yang dibutuhkan Indonesia saat ini. Tiga Informan
membaca penggunaan artifaktual kandidat 02 merepresentasikan pemimpin yang
dibutuhkan Indonesia saat ini.
M. R. Firdaus dan J. A. Adiprasetio
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 43-66
51
G berpendapat bahwa gaya penggunan artifaktual kandidat 01 adalah langkah terobosan
terbaru karena belum pernah digunakan calon presiden Indonesia sebelumnya. Dengan
menggunakan kemeja putih dan sepatu sneaker, membuat kandidat 01 terkesan santai dan
menarik pemilih muda generasi milenial. G berpendapat bahwa penggunaan artifaktual
kandidat 01 yang dirasa lebih merepresentasikan pemimpin harus selaras juga pada substansi
yang digunakan dalam tayangan debat.
Sedangkan A berpendapat bahwa gaya artifaktual penggunaan kandidat 01
merepresentasikan pemimpin yang dibutuhkan saat ini karena kandidat 01 menggambarkan
sosok pemimpin kerja nyata. A juga menjelaskan bahwa penggunaan kemeja putih serta
sepatu sneaker kandidat 01 memvisualisasikan pemimpin yang selalu turun ke lapangan,
karena terkesan dapat tampil dalam kondisi formal maupun non-formal.
Pembacaan F condong pada penggunaan artifaktual kandidat 01. F berpendapat bahwa
diskursus sosial media saat ini condong pada kepemimpinan penggunaan artifaktual
kandidat 01. F menjelaskan penggunaan artifaktual kandidat 01 lebih merepresentasikan
pemimpin saat ini, karena kandidat 01 terlihat lebih mengkarakterkan diri dengan
menggunakan kemeja putih dan sepatu sneakers yang membuatnya terkesan menjadi
pemimpin yang fleksibel. F menilai cara strategi kandidat capres 01 yang konsisten pada
karakterisasi diri sejak Pilgub DKI merupakan cara yang tepat untuk menarik perhatian
kalangan tertentu, dalam hal ini berhasil menarik perhatian generasi milenial.
Menurut B mengungkapkan penggunaan artifaktual 01 dalam tayangan debat
merepresentasikan pemimpin karena terkesan pemimpin yang sederhana dan fleksibel.
Penggunaan pakaian yang sederhana dan fleksibel menurut B adalah penggunaan pakaian
yang bisa digunakan dalam acara formal maupun non-formal. B menilai kandidat 01 lebih
merepresentasikan pemimpin yang dibutuhkan saat ini, karena pakaian dan sepatu yang
digunakan dalam tayangan debat mengesankan pemimpin yang siap untuk turun ke
lapangan, sehingga memvisualisasikan pemimpin yang memiliki mobilitas tinggi.
D berpendapat penggunaan artifaktual kandidat 02 lebih mencirikan militeristik, dengan
penggunaan jas, sepatu pantofel, serta peci, yang kesemuanya itu menggambarkan individu
yang disiplin karena terkesan menggunakan seragam. D menilai penggunaan artifatual
kandidat 02 lebih ideal untuk diplomasi global, namun tidak demikian untuk kalangan
generasi milenial dalam negeri. Menurut D penggunaan artifaktual kandidat 01 yang
menggunakan kemeja putih sederhana, terlihat lebih santai dan lebih menggambarkan
pemimpin yang fleksibel jika dibandingkan kandidat 02.
Tiga Informan berpendapat penggunaan artifaktual 02 merepresentasikan seorang
pemimpin yang dibutuhkan saat ini adalah C, H, dan E. C berpendapat bahwa konstruksi
sosial tentang cara berpakaian seorang pemimpin sebuah negara telah ada, dan hal tersebut
yang dilakukan oleh kandidat 02 dalam tayangan debat capres Indonesia 2019. C
menambahkan bahwa 01 lebih mengambil citra pemimpin yang santai dan fleksibel, hal ini
diperlihatkan dengan penggunaan kemeja putih polos. C menambahkan karakter yang
dibangun kandidat 01 terkesan menggaet perhatian pemilih muda generasi milenial karena
menggunakan pakaian yang simpel. C menilai bahwa penggunaan artifaktual kandidat 02
lebih merepresentasikan pemimpin yang dibutuhkan saat ini, sebab kontruksi sosial tentang
cara berpakaian seorang pemimpin diperlihatkan dengan baik oleh 01. Hal ini, menurut C,
Milenial, Pemimpin Politik, dan Debat Capres Indonesia 2019
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 43-66
52
dapat mengurangi perdebatan dalam masayarakat tentang cara berpakaian seorang
pemimpin.
Informan selanjutnya yang condong pada penggunaan artifaktual kandidat 02 adalah H.
H berpendapat bahwa penggunaan artifaktual seperti Soekarno, presiden terdahulu
Indonesia, telah menggambarkan kesan pemimpin yang berkharisma dalam kancah
internasional. H menilai kandidat 02 lebih memenuhi aspek artifaktual dalam seorang
pemimpin.
Berbeda dengan H, E menilai penggunaan artifaktual kandidat 01 terlalu membangun
karakter dalam penggunaan artifaktualnya, dengan menggunakan sepatu sneakers serta
kemeja putih yang membuatnya terkesan santai, sehingga terlihat sangat berusaha menarik
perhatian pemilih muda generasi milenial. E menilai usaha tersebut tidak perlu dilakukan
oleh seorang calon presiden, karena seorang pemimpin yang dibutuhkan dalam menarik
perhatian suatu kalangan adalah dengan substansi yang segar untuk dibawa dalam debat
nantinya.
Paralinguistik
Analisis pembacaan nonverbal paralinguistik para kandidat capres dalam tayangan debat
pilpres Indonesia 2019 adalah penilaian merepresentasikan atau tidaknya para kandidat
capres untuk menjadi seorang pemimpin yang dibutuhkan saat ini dalam sudut pandang
informan. Hasil pembacaan informan atas nonverbal paralinguistik para capres yang didapat
cukup beragam.
Tabel 4. Pembacaan khalayak paralinguistik capres Indonesia 2019 terhadap representasi pemimpin
Hasil pembacaan Nomor urut capres Indonesia
2019
Informan
G A F E C D B H
Merepresentasikan 1 x
2 x x x x
Tidak
merepresentasikan
1 x x x x x x
2 x x x
Negosiasi 1 x
2 x
Separuh informan membaca penggunaan paralinguistik kandidat 02 merepresentasikan
pemimpin yang dibutuhkan Indonesia saat ini. Hanya satu informan membaca penggunaan
paralinguistik kandidat 01 merepresentasikan pemimpin. Dua informan membaca
penggunaan paralinguistik kedua kandidat tidak merepresentasikan pemimpin yang
dibutuhkan Indonesia saat ini. Sedangkan satu informan yang berpendapat para kandidat
dapat merepresentasikan pemimpin jika dapat memperbaiki beberapa hal.
Empat Informan membaca penggunaan paralinguistik kandidat 02 merepresentasikan
pemimpin adalah A, E, C, dan H. A berpendapat pemimpin ideal dalam penggunaan
paralinguistik adalah yang menggunakan nada tegas, logika yang baik, serta artikulasi yang
jelas dalam setiap penyampaiannya, sehingga audiens dapat memahaminya dengan baik. A
menilai kandidat 02 lebih memenuhi dari berbagai aspek paralinguistik seorang pemimpin
dibandingkan dengan kandidat 01. Dengan public speaking, tempo, serta artikulasi kandidat
M. R. Firdaus dan J. A. Adiprasetio
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 43-66
53
02 yang dinilai A lebih baik dan tepat, kandidat 02 lebih merepresentasikan seorang
pemimpin dari segi paralinguistik yang dibutuhkan saat ini.
Selaras dengan A, C berpendapat bahwa penggunaan artikulasi nada, serta kecepatan
dari paralinguistik kandidat 02 sudah tepat. C menjelaskan penggunaan nada tinggi dan
rendah, dengan artikulasi yang baik, serta kecepatan yang tepat, membuat kandidat 02 lebih
merepresentasikan pemimpin dibandingkan dengan kandidat 01 dari segi paralinguistik.
E berpendapat penggunaan paralinguistik kandidat 02 lebih merepresentasikan
pemimpin karena gaya kepemimpinan militer menjadi idola E. Selaras dengan E, H menilai
penggunaan paralinguistik kandidat 02 lebih merepresentasikan pemimpin karena nada yang
digunakan lantang dan tegas dalam setiap penyampaiannya. H menjelaskan bahwa aspek
paralinguistik seperti presiden Soekarno, yang terkesan lantang dalam setiap
penyampaiannya, membuatnya mengidolakan sosok pemimpin yang menggunakan
paralinguistik seperti itu. H menilai penggunaan paralinguistik kandidat 02 lebih memenuhi
kriteria representasi pemimpin dari segi paralinguistik.
Satu Informan yang membaca penggunaan paralinguistik kandidat 01 merepresentasikan
pemimpin adalah B. B berpendapat bahwa penggunaan paralinguistik kandidat 01 terkesan
lebih biasa dalam menyampaikan pesan, karena penyampaiannya yang terkesan ‘santai’,
tidak cepat, serta tanpa penekanan suara yang berlebihan, dinilai B dapat dipahami dengan
baik oleh audiens tayangan debat.
Sedangkan F berpendapat kandidat 01 dalam penyampaian seperti bapak pada anaknya,
sedangkan kandidat 02 lebih seperti instruktur. Penggunaan kandidat 01 yang terkesan
menggunakan nada yang rendah, serta kecepatan yang lambat membuatnya menginterpretasi
hal tersebut. F menjelaskan, kesan instruktur paralinguistik kandidat 02 adalah karena
menggunakan nada serta kecepatan yang tinggi, serta artikulasi yang kurang jelas, sehingga
terkesan sesorang yang hanya memberikan instruksi dengan cepat. F menambahkan bahwa
kedua kandidat dapat merepresentasikan pemimpin jika kedua kandidat lebih
mengedepankan artikulasi yang baik, tegas, serta tidak terlalu cepat dalam setiap
penyampaiannya. Menurut F, kedua kandidat dalam beberapa kesempatan sesi debat, tidak
menunjukan aspek-aspek tersebut. Jika hal tersebut dipenuhi oleh masing-masing kandidat,
menurut F, kedua kandidat dapat merepresentasikan pemimpin dalam penggunaan
paralinguistik.
Posisi akhir pembacaan nonverbal paralinguistik F terhadap kandidat 01 dan kandidat 02
dalam tayangan debat capres Indonesia 2019 adalah negosiasi. Saat sesi wawancara, F
menjelaskan bahwa kedua kandidat memiliki gaya penyampaiannya masing-masing. F
menjelaskan jika penyampaian kandidat 01 terkesan seperti seorang bapak yang memberi
tahu anaknya, sedangkan penyampaian kandidat 02 tegas namun terkesan terburu-buru. F
menilai penggunaan paralinguistik kedua kandidat dapat merepresentasikan pemimpin jika
kedua kandidat memperhatikan kesan tegas dan artikulasi yang baik. Dalam sesi FGD, F
menjelaskan bahwa pemimpin yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah mereka yang
menggunakan penyampaian low context, sebab hal ini tepat dengan karakter masyarakat
Indonesia.
Dua informan yang membaca penggunaan paralinguistik kedua kandidat tidak
merepresentasikan pemimpin adalah G dan D. G berpendapat bahwa kedua kandidat tidak
Milenial, Pemimpin Politik, dan Debat Capres Indonesia 2019
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 43-66
54
merepresentasikan pemimpin dalam penggunaan paralinguistik, karena jika kandidat 01
membawakan pesan yang disampaikan terkesan tidak semangat, sebab tidak ada penekanan-
penekanan nada yang disesuaikan oleh topik tertentu, serta kecepatan suara yang digunakan
cenderung lambat. Sedangkan kandidat 02, menurut G, artikulasi yang disampaikan
terkadang tidak jelas, sehingga sulit untuk dipahami dengan baik oleh audiens.
Selaras dengan G, D berpendapat kedua kandidat belum merepresentasikan seorang
pemimpin, karena kandidat 01 tidak bisa menggunakan aspek paralinguistik dengan baik,
sebab tidak ada penekanan serta kecepatan yang konsisten dalam setiap penyampaian, serta
penyampaiannya tidak selaras dengan topik yang diangkat. Sedangkan kandidat 02 menurut
D terkesan menggebu-gebu dalam setiap penyampaiannya, sehingga kedua kandidat belum
dapat merepresentasikan pemimpin.
Substansi
Pembacaan khalayak terhadap substansi para kandidat capres dalam tayangan debat pilpres
Indonesia 2019 terhadap representasi pemimpin dibagi menjadi tiga aspek yakni
penyelarasan topik, pemilihan dan argumen solusi alternatif terpilih, serta stimulasi solusi
alternatif. Berikut adalah hasil pembacaan yang didapat dari para informan.
Penyelaran topik
Analisis pembacaan substansi penyelarasan topik para kandidat capres dalam tayangan debat
pilpres Indonesia 2019 adalah penilaian merepresentasikan atau tidaknya para kandidat
capres untuk menjadi seorang pemimpin yang dibutuhkan saat ini dalam sudut pandang
informan. Hasil pembacaan informan atas substansi penyelarasan topik para capres yang
didapat cukup beragam.
Tabel 5. Pembacaan khalayak substansi penyelarasan topik capres Indonesia 2019 terhadap representasi
pemimpin
Hasil pembacaan Nomor urut capres Indonesia
2019
Informan
G A F E C D B H
Merepresentasikan 1 x x x x x
2
Tidak
merepresentasikan
1
2 x x x x x x x x
Negosiasi 1 x x x
2
Lima informan membaca penggunaan penyelarasan topik kandidat 01 merepresentasikan
pemimpin yang dibutuhkan Indonesia saat ini. Tiga informan lain membaca penggunaan
penyelarasan topik kandidat 01 dapat merepresentasikan pemimpin jika memenuhi kriteria
tertentu. Sedangkan tidak ada informan yang membaca penggunaan penyelarasan topik
kandidat 02 merepresentasikan pemimpin.
Lima informan membaca penggunaan penyelarasan topik kandidat 01 merepresentasikan
pemimpin adalah A, E, C, B, dan H. A berpendapat penggunaan penyelarasan topik kandidat
M. R. Firdaus dan J. A. Adiprasetio
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 43-66
55
01 sudah tepat, sebab kandidat 01 berfokus pada isu perkembangan industri 4.0 yang
memang dibutuhkan untuk perkembangan digital negeri ini. Berbeda dengan A, B
berpendapat penyelarasan topik kandidat 01 lebih merepresentasikan pemimpin karena
dinilai lebih realistis serta memahami kondisi lapangan, terutama dalam bidang impor
kebutuhan daging Indonesia. B menambahkan kandidat 01 lebih selaras karena melihat
kestabilan harga, juga atas ketersediaan suatu produk. Sedangkan menurut B kandidat 02
kurang selaras dalam topik impor kebutuhan daging sapi Indonesia, karena hanya berfokus
pada ambisi pengembangan produk lokal dengan tidak melihat ketersediaan dan kestabilan
harga secara realistis.
Tiga Informan lain berpendapat penyelarasan topik kandidat 01 merepresentasikan
pemimpin adalah E, C, dan H. Mereka memiliki pendapat yang senada, bahwa penyelarasan
topik kandidat 01 tepat karena konsen pada perubahan zaman. E menjelaskan bahwa kedua
kandidat memiliki konsen terhadap permasalahan secara berbeda. Kandidat 01, menurut E,
ingin membawa Indonesia ke arah perkembangan zaman, dengan membawa isu-isu yang
berfokus pada dunia digital, seperti bisnis digital serta dukungannya terhadap e-sport.
Sedangkan kandidat 02, menurut E, ingin memperkuat Indonesia secara fundamental
terlebih dahulu, dengan mengangkat isu-isu swasembada pangan, juga anggaran pertahanan.
E menilai kedua kandidat memiliki fokus yang berbeda dalam mewujudkan Indonesia yang
lebih baik, namun E menilai kandidat 01 lebih merepresentasikan pemimpin yang
dibutuhkan saat ini, karena menurutnya jika Indonesia tidak mulai fokus pada perkembangan
zaman, terutama terhadap isu-isu yang berkaitan dengan digitalisasi, maka Indonesia akan
tertinggal oleh negara lain.
Menurut C kedua kandidat merepresentasikan pemimpin dalam menawarkan solusi pada
tayangan debat, namun C menilai, representasi pemimpin kedua kandidat ditentukan
penilaian masing-masing individu terhadap solusi kedua kandidat untuk Indonesia saat ini.
C menilai kandidat 01 ingin mendigitalkan Indonesia, dengan mengembangkan segala aspek
kehidupan menjadi elektronik. Sedangkan kandidat 02 menurut C lebih terkesan ingin
memulai dari kekuatan rumah dahulu, dengan fokus pada masalah birokrasi, serta anggaran
pertahanan.
Selaras dengan E dan C, H menilai pemimpin yang dibutuhkan saat ini adalah yang
pemimpin yang konsen pada isu-isu perkembangan zaman. Menurut H, negara saat ini sudah
seharusnya mengangkat isu-isu yang mengarah pada digitalisasi, sebab hal tersebut dapat
mengefisienkan berbagai aspek kehidupan. H menambahkan bahwa kandidat 01 lebih
merepresentasikan pemimpin yang dibutuhkan saat ini dengan narasi yang dibawakannya,
seperti narasi industri digital yang ingin dikembangkan.
Tiga informan membaca kedua kandidat tidak merepresentasikan pemimpin adalah G, F
dan D. G berpendapat kedua kandidat tidak merepresentasikan pemimpin ketika membahas
topik infratruktur dan HAM. G menilai jika kandidat 01 tidak bisa menjelaskan secara
spesifik tentang hubungan ekonomi dengan kebijakan infrastrukturnya, sebab hanya
menekankan konektifitas antar pulau. Selain itu, kedua kandidat saat berdebat tentang topik
HAM, tidak membahas keadaan serta pelanggaran HAM negeri ini secara gamblang dan
terbuka, sehingga terkesan menutup-nutupi permasalahan tersebut.
Milenial, Pemimpin Politik, dan Debat Capres Indonesia 2019
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 43-66
56
Posisi akhir pembacaan substansi penyelarasan topik G terhadap kandidat 01 dalam
tayangan debat capres Indonesia 2019 adalah negosiasi. Saat sesi wawancara, G menilai
bahwa penyelarasan topik kedua kandidat tidak merepresentasikan pemimpin, karena
keduanya tidak membahas secara gamblang kasus-kasus lampau pelanggaran HAM di
negeri ini. G menjelaskan bahwa kedua kandidat tidak terbuka dan memberikan solusi nyata
atas kasus lampau pelanggaran HAM. Saat dilakukan FGD, moderator menayangkan
potongan tayangan video debat capres pertama sesi pertanyaan panelis tentang peraturan
tumpang tindih antara tingkat pusat dan daerah. Setelah potongan tayangan debat
ditampilkan, G berpendapat penyelarasan topik kandidat 01 lebih merepresentasikan
pemimpin, karena kandidat 01 terkesan lebih memahami konsekuensi atas solusi tentang
regulasi satu pintu, agar tidak ada tumpang tindih antara peraturan pusat dengan daerah.
Sedangkan untuk kandidat 02, menurut G, solusi yang ditawarkan hanya melibatkan badan
pengawas untuk memperbaiki kondisi regulasi, padahal hal ini tidak cukup untuk
memberikan solusi yang signifikan.
Sedangkan D menilai kedua kandidat belum merepresentasikan pemimpin dalam
penyelerasan topik, karena kedua kandidat tidak menjabarkan langkah konkret atas solusi
yang ditawarkan. D menjelaskan kandidat 01 hanya dominan menawarkan solusi
berdasarkan yang telah dikerjakan, dan tidak berdasarkan status quo secara spesifik.
Sedangkan kandidat 02 hanya memiliki tujuan dan ambisi besar terhadap solusi alternatif,
tanpa adanya penjelasan secara detail bagaimana realisasinya. D menjelaskan bahwa
kesibukannya saat SMA dan kuliah yang sering mengikuti ajang debat politik,
mengajarkannya dalam melihat kelebihan dan kekurangan secara kritis terhadap berbagai
aspek, termasuk dengan debat capres 2019.
Posisi akhir pembacaan substansi penyelarasan topik D terhadap kandidat 01 dalam
tayangan debat capres Indonesia 2019 adalah negosiasi. Saat sesi wawancara, D menjelaskan
bahwa kedua kandidat terkadang tidak menjawab secara spesifik pertanyaan yang
disampaikan moderator, seperti pada topik ideologi. D menilai kedua kandidat hanya
memberikan jawaban atas topik ideologi bersifat normatif tanpa disertai langkah konkret ke
depannya. D menambahkan bahwa kandidat 02 memiliki ambisi, tujuan, serta visi yang
besar, namun tidak bisa menjabarkan secara spesifik bagaimana realisasinya. Saat dilakukan
FGD, moderator menayangkan potongan tayangan video debat capres pertama, sesi
pertanyaan panelis tentang peraturan tumpang tindih antara tingkat pusat dan daerah. Setelah
potongan tayangan debat ditampilkan, D berpendapat bahwa kandidat 01 lebih
merepresentasikan pemimpin karena solusi regulasi satu pintu yang ditawarkan lebih dapat
diterima, dengan melihat permasalahan yang terjadi di Indonesia.
Berbeda dengan D, F berpendapat penggunaan penyelarasan topik kandidat 01, hanya
berdasarkan evaluasi dari kinerja sebelumnya dengan melakukan sedikit perubahan.
Sedangkan untuk kandidat 02, menurut F, yang ditawarkan belum berdasarkan landasan kuat
dan masih bersifat ambisi. Sebagai contoh solusi menaikan gaji beberapa ASN untuk
mengatasi korupsi. F menilai bawah kita memang belum tahu seberapa efektif kebijakan itu,
namun, bagi F, penyelarasan topik pemimpin yang ideal adalah yang mengangkat solusi
berdasarkan evaluasi pemerintahan, lalu menambahkan beberapa solusi eksperimen yang
dapat diterapkan ke depannya.
M. R. Firdaus dan J. A. Adiprasetio
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 43-66
57
F juga berpendapat kandidat 01 dapat lebih merepresentasikan pemimpin dibandingkan
kandidat 02, karena stimulasi yang digunakan tepat berdasarkan solusi yang ditawarkan.
Menurut F stimulasi kandidat 01 lebih jangka panjang karena berfokus pada era 4.0, serta
mulai mengembangkan industri digital. Menurut F generasi muda akan mamahami dengan
baik solusi yang ditawarkan kandiat 01, karena terkesan jangka panjang dan visioner.
Sedangkan penggunaan stimulasi kandidat 02, menurut F kurang visioner karena tetap
menggunakan narasi lama dalam sebuah negara, seperti menaikan gaji dalam mengurangi
korupsi.
Posisi akhir pembacaan substansi penyelarasan topik F terhadap kandidat 01 dalam
tayangan debat capres Indonesia 2019 adalah negosiasi. Saat sesi wawancara, F menjelaskan
bahwa kedua kandidat memiliki gaya penyelarasan topik permasalahan yang berbeda.
Menurut F, penyelarasan topik kandidat 01 secara detail menjelaskan apa yang ingin
dilakukan ke depan, berdasarkan evaluasi pemerintahannya. F menambahkan bahwa
kandidat 01 terkesan membanggakan pencapaian, padahal kandidat 01 hanya menambah
solusi atas suatu permasalahan secara tidak maksimal. Sedangkan kandidat 02, menurut F,
apa yang disampaikan terkesan ambisi yang masih bersifat eksperimental, sehingga belum
meyakinkannya untuk merepresentasikan pemimpin. Saat dilakukan FGD, moderator
menayangkan potongan tayangan video debat capres pertama, sesi pertanyaan panelis
tentang peraturan tumpang tindih antara tingkat pusat dan daerah. Setelah potongan tayangan
debat ditampilkan, F berpendapat bahwa penyelarasan topik kandidat 01 lebih
merepresentasikan pemipin karena solusi yang ditawarkan terkesan lebih efisien, visioner,
dan memahami kondisi permasalahan di Indonesia. Sedangkan kandidat 02, menurut F,
solusi yang ditawarkan bersifat hanya ambisi semata.
Pemilihan dan argumen solusi alternatif
Analisis pembacaan substansi pemilihan dan argumen solusi alternatif para kandidat capres
dalam tayangan debat pilpres Indonesia 2019 adalah penilaian merepresentasikan atau
tidaknya para kandidat capres untuk menjadi seorang pemimpin yang dibutuhkan saat ini
dalam sudut pandang informan.
Tabel 6. Pembacaan Khalayak Substansi Pemilihan dan Argumen Solusi Alternatif Capres Indonesia 2019
Terhadap Representasi Pemimpin
Hasil pembacaan Nomor urut capres Indonesia
2019
Informan
G A F E C D B H
Merepresentasikan 1 x x x x x x x x
2
Tidak
merepresentasikan
1
2 x x x x x x x
Negosiasi 1
2 x
Seluruh informan membaca penggunaan pemilihan dan argumen solusi alternatif
kandidat 01 merepresentasikan pemimpin yang dibutuhkan Indonesia saat ini. Satu informan
membaca penggunaan pemilihan dan argumen solusi alternatif kedua kandidat tidak
Milenial, Pemimpin Politik, dan Debat Capres Indonesia 2019
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 43-66
58
merepresentasikan pemimpin yang dibutuhkan Indonesia saat ini. Sedangkan tidak ada
informan yang membaca penggunaan dan argumen solusi alternatif kandidat 02 yang
merepresentasikan pemimpin.
G menjelaskan penggunaan pemilihan dan argumen solusi alternatif kandidat 01 lebih
merepresentasikan pemimpin, karena apa yang disampaikan cenderung berdasarkan data,
sehingga lebih meyakinkan. G memaparkan kandidat 01 lebih meyakinkan karena terkesan
memahami permasalahan lapangan yang ada. Sedangkan menurut G, kandidat 02 dalam
argumen solusi yang ditawarkan cenderung tidak berdasarkan data, dan hanya menggunakan
konsep serta teori pemerintahan. G berpendapat belum ada rekam jejak kandidat 02 sejak
2014 sampai 2019 yang dapat meyakinkannya jika beliau dapat memimpin sebuah
pemerintahan. G menambahkan, selama masa debat capres, ia aktif memantau Twitter, Tirto,
serta channel Najwa Shihab, yang notabene terdapat livecheck pernyataan kedua kandidat
presiden.
Berbeda dengan G, B berpendapat penggunaan pemilihan dan argumen solusi alternatif
kandidat 01 lebih merepresentasikan pemimpin yang dibutuhkan Indonesia saat ini, karena
lebih memahami kondisi lapangan terutama terkait topik pangan, khususnya daging sapi. B
menjelaskan bahwa solusi yang ditawarkan kandidat 01 lebih memihak dua sisi, yakni
produsen dan konsumen. Kandidat 01 dinilai B fokus pada kestabilan harga, serta tetap
mengandalkan produk daging lokal dengan diimbangi impor daging terhadap permintaan
pasar. B menjelaskan bahwa kapasitas peternak sapi Indonesia hanya mampu memenuhi
permintaan pasar saat Idul Adha, sedangkan untuk kebutuhan sehari-hari secara realistis
belum dapat memenuhi secara kuantitas.
Penggunaan pemilihan dan argumen solusi alternatif kandidat 02, yang berambisi bahwa
kebutuhan daging Indonesia haruslah dipenuhi dari produksi lokal, menurut B hanyalah
langkah yang ambisius tanpa memahami keadaan lapangan. B memaparkan kondisi
produsen daging Indonesia belum mampu mencukupi pemenuhan permintaan pasar lokal. B
menambahkan pemimpin itu harus realistis dan memahami lapangan dengan baik.
Empat Informan lain yang berpendapat penggunaan penyelarasan topik 01
merepresentasikan pemimpin adalah A, E, C, dan H. C menjelaskan penggunaan pemilihan
dan argumen solusi alternatif kandidat 01 lebih merepresentasikan pemimpin yang
dibutuhkan saat ini, dengan melihat topik debat tumpang tindih regulasi antara daerah
dengan pusat, kandidat 01 menawarkan solusi sistem regulasi satu pintu pusat dengan
daerah. C menilai langkah yang ditawarkan merupakan sebuah terobosan, karena sistem satu
pintu lebih terasa solutif karena tidak akan ada perbedaan regulasi antara pusat dan daerah.
C menilai, penggunaan pemilihan dan argumen solusi alternatif pada topik regulasi
tumpang tindih daerah dan pusat, kandidat 02 lebih kaku dengan menawarkan solusi yang
terkesan birokratif. C menilai solusi kandidat 02 yang hanya menawarkan beragam pakar
ahli untuk mengurangi tumpang tindih regulasi antara pusat dan daerah adalah solusi yang
bersifat sementara.
Sedangkan H berpendapat fokus kandidat 01 pada era 4.0 merupakan keputusan yang
penting, dan oleh karenanya kandidat 01 lebih merepresentasikan seorang pemimpin. H
menilai fokus kandidat 01 yang ingin mendigitalkan segala aspek dalam kehidupan akan
sangat berguna bagi masyarakat. H menambahkan, pemilihan dan argumen solusi alternatif
M. R. Firdaus dan J. A. Adiprasetio
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 43-66
59
pada topik korupsi, kandidat 02 menawarkan solusi berupa penambahan gaji untuk hakim,
jaksa, dan polri, adalah langkah yang kurang rasional terhadap permasalahan yang ada.
E menjelaskan pemilihan dan argumen solusi alternatif kandidat 01 pada solusi kartu
Indonesia sehat (KIS), kartu Indonesia pintar (KIP), serta kartu pra-kerja, merupakan
pemilihan solusi yang nyata dibutuhkan masyarakat Indonesia. Pemilihan solusi kandidat 01
terkesan ingin menyejahterahkan masyarakat Indonesia lapisan bawah secara nyata,
sehingga lebih merepresentasikan pemimpin yang dibutuhkan saat ini.
Selaras dengan E, A berpendapat bahwa penggunaan solusi dan argumen solusi alternatif
kandidat 01 yang tetap meneruskan kebijakan KIS dan KIP dinilai merepresentasikan
pemimpin saat ini. Dengan meneruskan solusi kartu Indonesia, menurut A, hal ini dapat
menyejahterakan masyarakat Indonesia lapisan bawah.
A berpendapat pemimpin ideal dalam pemilihan dan argumen solusi alternatif adalah
yang memperhatikan sektor riset. Dengan mengembangkan riset, A menilai negara dapat
memanfaatkannya menjadi ilmu pengetahuan. A menambahkan, suatu negara maju adalah
negara yang memulai kebijakan berlandaskan hasil riset.
F berpendapat penggunaan pemilihan dan argumen solusi alternatif kandidat 01 lebih
merepresentasikan pemimpin dibandingkan kandidat 02, karena penggunaan substansi yang
terasa lebih jangka panjang. Sebab kandidat 01 lebih berfokus pada era 4.0, dan serius pada
pengembangan industri digital. F menilai pemilihan dan argumen solusi alternatif kandidat
01 lebih merepresentasikan pemimpin generasi milenial, karena melihat karakter generasi
milenial, seperti aktif dalam dunia digital. Menurut F generasi muda akan mamahami dengan
baik solusi yang ditawarkan kandiat 01, karena pemilihan dan argumen solusi alternatif yang
digunakan terkesan jangka panjang dan visioner.
Posisi akhir pembacaan substansi pemilihan dan argumen solusi alternatif F terhadap
kandidat 01 dan kandidat 02 dalam tayangan debat capres Indonesia 2019 adalah dominan.
Saat sesi wawancara, F menjelaskan bahwa kedua kandidat belum merepresentasikan
pemimpin, karena kandidat 01 berusaha solutif dan ingin berfokus pada perbaikan dengan
solusi yang sudah ada sebelumnya, sedangkan kandidat 02 berusaha solutif dengan
menawarkan program kerja baru yang bersifat eksperimental. F menjelaskan bahwa solusi
keduanya dibutuh seorang pemimpin, sebab representasi pemimpin yang dibutuhkan saat ini
adalah yang penggabungan dari kedua karakter tersebut. Yakni pemimpin yang memperbaiki
suatu masalah dengan solusi sebelumnya, serta yang menawarkan ide baru. Saat dilakukan
FGD, moderator menayangkan potongan tayangan video debat capres ke-5, sesi pertanyaan
panelis tentang penerimaan pajak negara. Setelah potongan tayangan debat ditampilkan, F
berpendapat pemilihan dan argumen solusi alternatif kedua kandidat dapat
merepresentasikan pemimpin jika menggabungkan solusi kedua kandidat. F menilai solusi
kandidat 01 yang lebih bersifat praktis, serta solusi kandidat 02 yang lebih bersifat ambisi,
dapat merepresentasikan pemimpin jika solusi keduanya digabungan secara tepat.
Stimulasi solusi alternatif
Analisis pembacaan substansi stimulasi solusi alternatif para kandidat capres dalam
tayangan debat pilpres Indonesia 2019 adalah penilaian merepresentasikan atau tidaknya
Milenial, Pemimpin Politik, dan Debat Capres Indonesia 2019
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 43-66
60
para kandidat capres untuk menjadi seorang pemimpin yang dibutuhkan saat ini dalam sudut
pandang informan.
Tabel 7. Pembacaan khalayak substansi stimulasi solusi alternatif capres Indonesia 2019 terhadap
representasi pemimpin
Hasil pembacaan Nomor urut capres Indonesia
2019
Informan
G A F E C D B H
Merepresentasikan 1 x x x x
2 x
Tidak
merepresentasikan
1 x
2 x x x x x
Negosiasi 1 x x x
2 x x
Empat informan membaca penggunaan stimulasi solusi alternatif kandidat 01
merepresentasikan pemimpin yang dibutuhkan Indonesia saat ini. Dua informan membaca
penggunaan stimulasi solusi alternatif kandidat 01 dapat merepresentasikan pemimpin jika
dapat memperbaiki beberapa aspek. Satu informan membaca penggunaan stimulasi solusi
alternatif kandidat 02 merepresentasikan pemimpin. Sedangkan satu informan membaca
penggunaan stimulasi solusi alternatif yang dilakukan kedua kandidat tidak
merepresentasikan yang dibutuhkan Indonesia saat ini.
Enam informan membaca penggunaan stimulasi solusi alternatif kandidat 01
merepresentasikan pemimpin adalah G, A, F, C, D, dan B. G berpendapat penggunaan
stimulasi solusi alternatif kandidat 01 lebih merepresentasikan pemimpin, karena dalam
penyampaiannya ia melihat kultur Indonesia, serta menjelaskan kebijakan yang ditawarkan
dengan kesan ramah, dan memberi penjelasan mengenai urgensi dari kebijakan yang
diambil, sehingga audiens dapat memahami dengan baik stimulasi kebijakan yang diangkat.
G menilai penggunaan stimulasi kandidat 02 tidak berdasarkan data yang kuat, sehingga
kebijakan-kebijakan yang ditawarkan dalam debat capres terkesan eksperimental, belum
dapat meyakinkan publik bahwa kebijakan yang akan dilakukannya nanti bila terpilih
sebagai presiden, adalah kebijakan yang benar-benar dibutuhkan.
Posisi akhir pembacaan substansi stimulasi solusi alternatif G terhadap kandidat 01 dan
kandidat 02 dalam tayangan debat capres Indonesia 2019 adalah negosiasi. Saat sesi
wawancara, G menjelaskan bahwa kedua kandidat memiliki gaya penyampaian stimulasi
yang berbeda. G menambahkan, stimulasi solusi alternatif kandidat 01 merepresentasikan
pemimpin karena meninjau kultur yang ada di Indonesia dalam penyampaiannya, namun G
menyayangkan bahwa stimulasi yang dilakukan kandidat 01 tidak berlandasakan pada riset
mendalam, sehingga tidak memberikan inovasi yang signifikan. Sedangkan kandidat 02,
menurut G, belum meyakinkannya secara kalkulasi rasional terhadap solusi yang
ditawarkan, karena masih terkesan eksperimental. Saat dilakukan FGD, moderator
menayangkan potongan tayangan video debat capres ke-4, sesi tanya jawab tentang anggaran
pertahanan negara. Setelah potongan tayangan debat ditampilkan, G berpendapat kandidat
02 lebih unggul dalam merepresentasikan pemimpin dalam topik tersebut, karena menilai
M. R. Firdaus dan J. A. Adiprasetio
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 43-66
61
kandidat 02 mengulik permasalahan yang disampaikan secara detail dibandingkan kandidat
01 yang cenderung membahas infrastruktur.
Berbeda dengan G, B menilai penggunaan stimulasi solusi alternatif kandidat 01 lebih
baik. Pada solusi alternatif sistem regulasi satu pintu yang ditawarkan kandidat 01, B menilai
hal tersebut lebih solutif, karena adanya kontrol nyata dari pusat terhadap permasalahan
tumpang tindih regulasi antara pusat dan daerah.
Informan selanjutnya yang condong pada stimulasi solusi alternatif kandidat 01 adalah
D. D menjelaskan bahwa stimulasi kandidat 01 lebih merepresentasikan yang dibutuhkan
saat ini, karena dapat menjelaskan kebijakan yang ditawarkan secara detail dan urgensinya.
D menambahkan bahwa bagi dia yang awam terhadap aspek infrastruktur, stimulasi yang
dilakukan 01 menjadikannya paham akan pentingnya kebijakan infrastruktur yang
ditawarkan.
D berpendapat penggunaan stimulasi solusi alternatif kandidat 02 atas pernyataan yang
disampaikan dalam debat, belum dapat meyakinkannya bahwa hal tersebut tepat dilakukan.
D menilai bahwa kandidat 02 tidak menjelaskan secara spesifik terhadap berbagai keputusan
yang diambil. D memberi contoh saat topik debat infrastruktur, kandidat 02 tidak menyetujui
pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah, namun kandidat 02 tidak
menjelaskan secara detail pernyataannya, sehingga keputusannya belum meyakinkan publik.
Posisi akhir pembacaan substansi stimulasi solusi alternatif D terhadap kandidat 01
dalam tayangan debat capres Indonesia 2019 adalah negosiasi. Saat sesi wawancara, D
menjelaskan kandidat 01 lebih berhasil menjelaskan solusi yang ditawarkan secara detail
beserta urgensinya, dan hal tersebut tidak dilakukan oleh kandidat 02. Saat dilakukan FGD,
moderator menayangkan potongan tayangan video debat capres ke-4, sesi tanya jawab
tentang anggaran pertahanan negara. Setelah potongan tayangan debat ditampilkan, D
berpendapat bahwa kandidat 01 kurang merepresentasikan pemimpin pada topik tersebut,
karena tidak membahas masalah pertahanan sebagai konsen utamanya.
A menjelaskan bahwa penggunaan stimulasi solusi alternatif kandidat 02 terkesan kuno.
A menjelaskan bahwa stimulasi solusi kandidat 02 ketika akan menaikan gaji polisi, hakim,
dan jaksa dalam mengurangi permasalahan korupsi Indonesia, dinilai sebagai kebijakan
yang hanya bertujuan untuk menaikan jumlah pemilih. A menilai stimulasi kandidat 01 lebih
merepresentasikan pemimpin yang dibutuhkan saat ini, karena dalam kebijakannya terkesan
nyata ingin mempermudah masyarakat. A menambahkan, kebijakan sistem regulasi satu
pintu yang ditawarkan kandidat 01 dapat menjadi hal inovatif untuk diterapkan.
F menilai pemimpin untuk saat ini cenderung tidak relevan jika menggunakan gaya
kepemimpinan diktator militeristik. Gaya kepemimpinan diktator militeristik yang
dijelaskan F adalah cara penyampaian yang tidak menggunakan kalimat persuasi sesuai
karakter masyarakat Indonesia, penyampaian yang langsung pada pokok penyampaian tanpa
menggunakan teknik bahasa tinggi, sehingga terkesan seperti instruktur yang memberi
instruksi pada bawahannya.
F berpendapat kandidat 01 lebih merepresentasikan pemimpin karena pemimpin saat ini
tidak harus memiliki postur tubuh yang tegap, tetapi juga menggunakan cara-cara
penyampaian persuasi yang disesuaikan dengan karakter masyarakat Indonesia. Sehingga
penyampaian tersebut lebih terkesan mengajak dalam penyelesaian permasalahan. F juga
Milenial, Pemimpin Politik, dan Debat Capres Indonesia 2019
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 43-66
62
menjelaskan diskursus sosial media merupakan hal penting untuk melakukan pertimbangan,
karena hal tersebut adalah hasil opini publik saat ini.
C menjabarkan bahwa penggunaan stimulasi solusi alternatif kandidat 01 lebih
merepresentasikan pemimpin, karena dalam setiap penyampaian kebijakan yang ditawarkan,
kandidat 01 menjelaskannya secara bertahap. Hal ini mengakibatkan audiens dapat
membayangkan dengan baik rencana yang ditawarkan, sehingga terkesan lebih realistis. C
menambahkan bahwa stimulasi kandidat 02 kurang konkret, karena menjelaskan kebijakan
yang ditawarkan hanya berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, serta tidak menjelaskan
realita permasalsahan yang ada.
Posisi akhir pembacaan substansi stimulasi solusi alternatif C terhadap kandidat 01 dan
kandidat 02 dalam tayangan debat capres Indonesia 2019 adalah negosiasi. Saat sesi
wawancara, C menjelaskan bahwa kedua kandidat memiliki gaya stimulasi penyampaian
yang berbeda, namun C condong pada kandidat 01, karena menurutnya stimulasi yang
disampaikan membuat audiens memahami dengan baik, serta dapat menjelaskan bagaimana
solusi yang akan dilakukan secara bertahap. Saat dilakukan FGD, moderator menayangkan
potongan tayangan video debat capres ke-4, sesi tanya jawab tentang anggaran pertahanan
negara. Setelah potongan tayangan debat ditampilkan, C berpendapat bahwa kandidat 02
lebih unggul dalam merepresentasikan pemimpin dalam topik tersebut, karena kandidat 02
lebih realistis dan praktikal pada bidang pertahanan. E berpendapat penggunaan stimulasi
solusi alternantif kandidat 01 dapat merepresentasikan pemimpin ketika menggunakan topik
menyejahterakan kalangan bawah, dengan tetap menggunakan kebijakan KIS, KIP, serta
kartu pra-kerja, yang dinilai E dipahami dengan baik urgensi kebijakannya oleh semua
kalangan.
Sedangkan menurut H, informan yang berpendapat penggunaan solusi alternatif kandidat
02 merepresentasikan pemimpin, menilai bahwa penggunaan bahasa kandidat 02 yang tegas
dan menggunakan aspek komunikasi tingkat rendah dalam penyampaiannya, merupakan
faktor ia memilih kandidat 02.
Penutup
Terdapat beragam posisi akhir pembacaan informan terhadap representasi pemimpin para
kandidat capres dalam tayangan debat capres Indonesia 2019. Pembacaan informan pada
posisi akhir pembacaan negosiasi terhadap representasi pemimpin adalah analisis gabungan
para informan ketika wawancara dan FGD. Posisi akhir pembacaan dominan adalah saat
informan saling menjabarkan pembacaan mereka terhadap salah satu kandidat yang
merepresentasikan pemimpin, baik saat wawancara maupun FGD. Posisi akhir pembacaan
oposisi adalah ketika informan menjabarkan saat wawancara dan FGD, bahwa salah satu
kandidat tidak merepresentasi pemimpin.
Hasil akhir menunjukan separuh informan membaca penggunaan kinesik kandidat 01
merepresentasikan pemimpin. Dua Informan membaca penggunaan kinesik kandidat 02
merepresentasikan pemimpin. Satu informan membaca penggunaan kinesik para kandidat
tidak merepresentasikan pemimpin yang dibutuhkan untuk Indonesia saat ini. Sedangkan
M. R. Firdaus dan J. A. Adiprasetio
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 43-66
63
satu Informan berpendapat para kandidat merepresentasikan pemimpin jika kedua kandidat
dapat memenuhi beberapa kriteria tertentu.
Pembacaan khalayak terhadap penggunaan kinesik kandidat 01 adalah: pemimpin yang
kurang bersemangat; pemimpin yang merepresentasikan rakyat Indonesia; pemimpin yang
santai; pemimpin yang dapat meyakinkan; pemimpin yang terkesan layaknya seorang bapak.
Sedangkan pembacaan khalayak terhadap penggunaan kinesik kandidat 02 adalah:
pemimpin yang otoriter; pemimpin yang terlihat gugup; pemimpin yang tegas dan
berkharisma; pemimpin yang mempunyai jiwa berapi-api; pemimpin yang terkesan memberi
komando.
Hasil akhir menunjukan lima informan membaca penggunaan artifaktual kandidat 01
merepresentasikan pemimpin yang dibutuhkan Indonesia saat ini. Tiga Informan membaca
penggunaan artifaktual kandidat 02 merepresentasikan pemimpin yang dibutuhkan
Indonesia saat ini.
Pembacaan khalayak terhadap penggunaan artifaktual kandidat 01: pemimpin yang
sederhana; pemimpin yang mudah bergaul; pemimpin yang santai; pemimpin yang berusaha
memberi identitas dirinya; pemimpin yang membangun citra islami; pemimpin yang mobile
dalam bekerja. Sedangkan berikut adalah pembacaan khalayak terhadap penggunaan
artifaktual kandidat 02: pemimpin pada umumnya; pemimpin yang ingin terlihat kredibel
dan tertata; pemimpin yang profesional, disiplin dan serius; pemimpin yang berusaha
mencitrakan diri sebagai pemimpin yang khas Indonesia; pemimpin yang mencontoh sosok
presiden Indonesia terdahulu.
Separuh informan membaca penggunaan paralinguistik kandidat 02 merepresentasikan
pemimpin yang dibutuhkan Indonesia saat ini. Hanya satu Informan membaca penggunaan
paralinguistik kandidat 01 merepresentasikan pemimpin. Dua Informan membaca
penggunaan paralinguistik kedua kandidat tidak merepresentasikan pemimpin yang
dibutuhkan Indonesia saat ini. Sedangkan satu Informan yang berpendapat para kandidat
dapat merepresentasikan pemimpin jika dapat memperbaiki beberapa hal.
Pembacaan khalayak terhadap penggunaan paralinguistik kandidat 01: pemimpin yang
penyampaiannya lembut; pemimpin yang membosankan dalam setiap penyampaian;
pemimpin yang terkesan santai. Sedangkan berikut adalah pembacaan khalayak terhadap
penggunaan paralinguistik kandidat 02: pemimpin layaknya pemimpin Indonesia terdahulu;
pemimpin yang tegas; pemimpin yang terkesan sebagai instruktur; pemimpin yang memiliki
jiwa menggebu dan berapi-api; pemimpin yang lantang dalam penyampaian.
Lima informan membaca penggunaan penyelarasan topik kandidat 01 merepresentasikan
pemimpin yang dibutuhkan Indonesia saat ini. Tiga informan lain membaca penggunaan
penyelarasan topik kandidat 01 dapat merepresentasikan pemimpin jika memenuhi kriteria
tertentu. Sedangkan tidak ada informan yang membaca penggunaan penyelarasan topik
kandidat 02 merepresentasikan pemimpin.
Pembacaan khalayak terhadap penggunaan penyelarasan topik kandidat 01: Pemimpin
yang normatif; pemimpin yang tidak selaras dengan isu terdahulu; pemimpin yang realistis;
pemimpin yang ingin membawa Indonesia ke arah modern; pemimpin yang evaluatif;
pemimpin yang ingin mendigitalkan Indonesia. Sedangkan berikut adalah pembacaan
khalayak terhadap penggunaan penyelarasan topik kandidat 02: pemimpin yang tidak selaras
Milenial, Pemimpin Politik, dan Debat Capres Indonesia 2019
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 43-66
64
dengan isu terdahulu; pemimpin yang terlihat hanya ingin menaikan jumlah pemilih;
pemimpin yang hanya berangan-angan, pemimpin yang ingin memperkuat dasar Indonesia
terlebih dahulu; pemimpin yang ambisius dan kurang realistis.
Seluruh informan membaca penggunaan pemilihan dan argumen solusi alternatif
kandidat 01 merepresentasikan pemimpin yang dibutuhkan Indonesia saat ini. Satu Informan
membaca penggunaan pemilihan dan argumen solusi alternatif kedua kandidat tidak
merepresentasikan pemimpin yang dibutuhkan Indonesia saat ini. Sedangkan tidak ada
Informan yang membaca penggunaan dan argumen solusi alternatif kandidat 02 yang
merepresentasikan pemimpin.
Pembacaan khalayak terhadap penggunaan pemilihan dan argumen solusi alternatif
kandidat 01: pemimpin yang berdasarkan data; pemimpin yang solutif dan revolusioner;
pemimpin yang mempermudah masyarakat kelas bawah; pemimpin yang berpengalaman
dan realistis. Sedangkan berikut adalah pembacaan khalayak terhadap penggunaan
pemilihan dan argumen solusi alternatif 02: pemimpin yang tidak berdasarkan data;
pemimpin yang menyampaikan janji semata; pemimpin yang penuh perhitungan dalam
melangkah; pemimpin yang ambisius dan kaku; pemimpin yang menawarkan solusi kurang
tepat.
Empat informan membaca penggunaan stimulasi solusi alternatif kandidat 01
merepresentasikan pemimpin yang dibutuhkan Indonesia saat ini. Dua informan membaca
penggunaan stimulasi solusi alternatif kandidat 01 dapat merepresentasikan pemimpin jika
dapat memperbaiki beberapa aspek. Satu informan membaca penggunaan stimulasi solusi
alternatif kandidat 02 merepresentasikan pemimpin. Sedangkan satu informan membaca
penggunaan stimulasi solusi alternatif yang dilakukan kedua kandidat tidak
merepresentasikan yang dibutuhkan Indonesia saat ini.
Pembacaan khalayak terhadap penggunaan stimulasi solusi alternatif kandidat 01:
pemimpin yang baik cara penyampaiannya; pemimpin yang menawarkan solusi jangka
panjang dan efektif; pemimpin yang praktikal; pemimpin yang dapat menjelaskan urgensi
atas solusi yang ditawarkannya. Sedangkan berikut adalah pembacaan khalayak terhadap
stimulasi solusi alternatif topik kandidat 02: pemimpin yang kuno dalam substansi;
pemimpin yang fokus pada sub-urban; pemimpin yang menawarkan solusi kurang konkret
dan efektif.
Daftar pustaka
Andayani, D. (2019). KPU: DPT Pemilu Hasil Perbaikan Bertambah Jadi 192 Juta Orang Lebih.
Retrieved April 6, 2019, from https://news.detik.com/berita/d-4501983/kpu-dpt-pemilu-hasil-
perbaikan-bertambah-jadi-192-juta-orang-lebih
Arianto, B. (2015). Kampanye Kreatif dalam Kontestasi Presidensial 2014. Jurnal Ilmu Sosial Dan
Ilmu Politik2, 19(1), 16–39.
Aspinall, E. (2015). Oligarchic Populism: Prabowo Subianto’s Challenge to Indonesian Democracy.
In Indonesia (Vol. 99). https://doi.org/10.1353/ind.2015.0002
Bass, B. M., & Riggio, R. E. (2014). Transformational leadership. New York: Routledge.
Behavior, P. (2016). The Effects of Primary Season Debates on Public Opinion Author ( s ): David
J. Lanoue and Peter R. Schrott Published by : Springer Stable URL :
M. R. Firdaus dan J. A. Adiprasetio
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 43-66
65
http://www.jstor.org/stable/586156 REFERENCES Linked references are available on JSTOR
for this article : You. 11(3), 289–306.
Benoit, W. L., Hansen, G. J., & Verser, R. M. (2010). Presidential Debates. (July 2014), 37–41.
https://doi.org/10.1080/0363775032000179133
Delloitte. (2019). A new understanding of Millennials: Generational differences reexamined.
Deloitte.
Gigi, D. M., & Kellner. (2006). Media and cultural studies: Keyworks. Malden, MA: Blackwell.
Hall, S. (1973). Decoding in the Television Discourse. Birmingham: University of Birmingham.
Hall, S. (2011). Budaya Media Bahasa: Teks Utama Pencanang Cultural Studies Budaya Media
Bahasa: Teks Utama Pencanang Cultural Studies 1972-1979. Yogyakarta, jalasutra.
Hall, S. (2013). Representation. Los Angeles: Sage.
History.com, E. (2010). The Kennedy-Nixon Debates. Retrieved April 6, 2019, from A&E
Television Networks website: https://www.history.com/topics/us-presidents/kennedy-nixon-
debates
Jamieson, K. H. (2015). The Discipline’s Debate Contributions: Then, Now, and Next. Quarterly
Journal of Speech. 101:1, 85-97.
Judee K. Burgoon, Aa. E. B. (2003). Nonverbal Communication Skills. University of Arizona.
Kalleberg, A. (2011). Good Jobs, Bad Job. New York: Russel Sage Foundation.
Lehoux, Poland, & Daudelin. (2006). Focus group research and the patient’s view. Social Science
and Medicine.
Long, S., & Long, S. (2017). Exploring Which Leadership Styles are Effective with Millennial
Employees This is to certify that the doctoral dissertation by.
Mannheim, K. (1927). The Problem of Generations. In Essays on the Sociology of Knowledge.
London: Routledge & Kegan Paul.
Mannheim, K. (1944). The Problem of Youth in Modern Society. In Diagnosis of Our Time. New
York: Oxford University Press.
McIntyre, A., Lloyd, G., & Smith, S. (2001). Middle way leadership in Indonesia : Sukarno and
Abdurrahman Wahid compared. Indonesia Today : Challenges of History, 85–96.
Milkman, R. (2017). A New Political Generation: Millennials and the Post-2008 Wave of Protest.
American Sociological Review, 82(1), 1–31.
Milkman, R., Luce, S., & Lewis, P. (2013). Changing the Subject: A Bottom-Up Account of Occupy
Wall Street in New York City.
Morrisan, Wardhani, & Hamid. (2010). Teori Komunikasi Massa. Rineka Cipta.
Nugroho, R. M. J., & Basuki. (2017). Pemakaian Bahasa dalam Acara Debat Calon Presiden dan
Wakil Presiden Tahun 2014 di Metro TV. CARAKA, 3(2), 94–109.
Putri, A., & Tono, A. (2015). Diskursus Indonesia dan Konstruksi Ideologi Media dalam Berita
Debat Calon Presiden 2014 di Media Metro TV dan TV One. Jurnal LISKI, 1(2), 184–208.
Qeis, M. I. (2014). Kajian Branding Prabowo dan Jokowi dalam Pemilu Presiden 2014. Jurnal
Desain, 2(1), 49–54.
Rakhmat, J. (1996). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Setiana, A. (2015). Aspek Kebahasaan Jokowi pada Debat Calon Presiden dan Kegunaannya dalam
Pembelajaran. Jurnal Kata (Bahasa, Sastra Dan Pembelajarannya), April, 1–12.
Soemardjo, S. (2015). Peran Televisi dalam Meningkatkan Partisipasi Politik Masyarakat pada
Pemilu Presiden 2014. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Komunikasi Dan Informatika,
5(3), 45–54.
Susanto, E. (2017). Jokowi’s Political Communication in Jakarta Governor Election to Win Age-
Based Voters. In Mediterranean Journal of Social Sciences.
https://doi.org/10.5901/mjss.2017.v8n1p312
Talbot, D. (2008). How Obama Really Did It. Technological Review, 111(5), 78–83.
Tapsell, R. (2015). Indonesia’s Media Oligarchy and the “Jokowi Phenomenon.” In Indonesia (Vol.
99). https://doi.org/10.1353/ind.2015.0004
Tomsa, D. (2017). INDONESIA IN 2016: Jokowi Consolidates Power. Southeast Asian Affairs, 149–
162.
van Knippenberg, D., Wisse, B., De Cremer, D., & A. Hogg, M. (2004). Leadership, Self, and
Milenial, Pemimpin Politik, dan Debat Capres Indonesia 2019
Tuturlogi: Journal of Southeast Asian Communication 1 (2020) 43-66
66
Identity: A Review and Research Agenda. In The Leadership Quarterly (Vol. 15).
https://doi.org/10.1016/j.leaqua.2004.09.002
Wadilapa, R. P. (2015). Meme Culture & Komedi-Satire Politik: Kontestasi Pemilihan Presiden
dalam Media Baru. Jurnal Ilmu Komunikasi2, 12(1), 1–18.
Wilson, M., & Gerber, L. E. (2008). How Generational Theory Can Improve Teaching : Strategies
for Working with the “ Millennials .” 1(1), 29–44.