minggu, 17 oktober 2010 | media indonesia solusi hijau ... filecara ini, diakui marco, meru-pakan...

1
M ALAM sudah larut, tak jarang kemacetan parah masih terjadi di be berapa titik jalan di Kota Jakarta. Hujan akhir-akhir ini digabung dengan drainase kota yang buruk menjadi penye- babnya. Hal itu semakin membuka mata betapa peliknya kondisi lalu lintas Ibu Kota. Populasi yang padat dan pertumbuhan kendaraan yang tinggi, berba- gai hal bisa mencetus macet. Permasalahan yang kom- pleks itu tentunya butuh solusi yang juga menyeluruh. Tentu solusi kemacetan juga harus diarahkan untuk perbaikan lingkungan hidup kota. Persoalan kemacetan terse- but minggu ini juga dikupas dalam diskusi yang digelar di Goethe-Institute, Jakarta, oleh Perhimpunan Alumni Jerman (PAJ), sebagai penyelenggara- nya. Bertema Mengurai kemacet- an lalu lintas, merintis Jakarta green city, tersembul pemikiran bahwa solusi macet harusnya ju ga membuat Jakarta jadi kota yang lebih hijau. “Macet itu kan menghasilkan emisi. Jadi, solusi kemacetan juga harusnya yang bisa menekan emisi. Dengan begitu, Jakarta baru bisa jadi green city,” kata Fathoni dari PAJ. Macet memang tidak hanya merugikan secara ekonomi, so- sial, juga lingkungan. Bayang- kan, Jakarta saat ini dipenuhi sekitar 6.7 juta kendaraan ber- motor dengan penambahan per harinya sekitar 1.172 unit. Dengan perkiraan per unit- nya membuang 121-225 gram CO2 per kilometernya, bisa di- hitung jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari jalan-jalan Ibu Kota ini. Jumlahnya tentu fantastis. Tidak mengherankan jika Masyarakat Transportasi Indo- nesia (MTI) pernah menyebut sektor transportasi di perkotaan menyumbang 60% emisi kota, secara nasional sekitar 24%. Udar Pristono Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta pu- nya pendapat dalam kesempat- an tersebut. Menurutnya, bus Trans-Jakarta berbahan bakar gas (BBG) adalah salah satu so- lusi untuk mengurangi jumlah kendaraan pribadi sekaligus mengurangi emisi. Namun, ia juga memaparkan penggunaan BBG memiliki banyak kendala lapangan dan regulasi. “Bus kita ada 500, tapi pom (pompa) hanya empat. Dan harga yang ditetapkan ada dua, yakni Rp2.562 dan Rp3.500. Ya jelas, busway (Trans-Jakarta) maunya yang murah, jadi antre panjang,” ungkap Udar. Masalah pengisian, ditambah lagi jalur bus yang belum sepe- nuhnya steril, mengakibatkan bus Trans-Jakarta masih sulit memenuhi ketepatan waktu pelayanan. Pada akhirnya bus ini pun belum benar-benar bisa menarik orang untuk beralih dari kendaraan masing-masing. Pada sisi lain, harga BBG yang murah membuat para investor tidak tertarik untuk ikut mem- bangun stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG). Hal-hal seperi ini tentunya harus lebih dulu diperhatikan ketimbang hanya menambah armada. Fungsi lahan Selain penambahan angkutan umum, baik Trans-Jakarta mau- pun mass rapid transit (MRT) yang rencananya beroperasi pada 2012, Udar mengatakan pemprov tetap harus menam- bah jalan umum untuk meng- urai kemacetan. Meski ruang terbuka hijau (RTH) Jakarta tidak memenuhi angka 30% yang ditetapkan PP No 5/ 2008 tentang Penataan Ruang Jabodetabekpunjur, bah- kan hanya kurang dari 10%, menurut Udar, pemprov tetap harus membangun jalan baru. “Jalan kita baru 6,2%. Sementara jalan di kota-kota besar sedikit- nya 10%, di Amerika bahkan sampai 21%,” ujar Udar. Begitu pun inisiator Jakarta Green Map yang juga Direktur Rujak Center for Urban Studies Marco Kusumawijaya tidak sepakat dengan langkah pem- prov tersebut. “Mungkin macet akan berkurang, tapi sementara saja. Setelah itu, penambahan jalan justru mencetus kemacet- an baru,” katanya. Marco menjelaskan, penam- bahan jalan biasanya diikuti tumbuhnya permukiman dan usaha-usaha baru di sekitarnya. Dengan begitu, kemacetan total yang diprediksi terjadi 2014 juga bukannya terhindari. Penambahan ruas jalan dan angkutan massal, menurutnya, juga belum cukup untuk benar- be nar mengurai kemacetan Jakarta, apalagi membuatnya lebih ‘hijau’. Kedua upaya tersebut seha- rusnya diikuti dengan perubah- an penggunaan lahan. Langkah ini akan mendorong pengu- rangan kepemilikan mobil pribadi, namun bukan dengan cara paksaan, melainkan de- ngan sendirinya. Perubahan yang dimaksud Marco adalah membuat ka- wasan-kawasan hunian di de- kat kawasan bisnis atau disebut land use mix. Cara ini dikatakan telah dilakukan di Seoul, Korea Selatan, dan berhasil mengu- rangi kendaraan pribadi karena jarak tempuh yang jauh lebih dekat. Cara ini, diakui Marco, meru- pakan kerja besar dan akan me- mengaruhi kondisi sosial. Tapi, sangat mungkin dilakukan dan pemerintah sudah memiliki instrumennya, yakni sertikat hak guna bangunan (HGB). Bangunan yang berdiri di atas tanah negara, setelah 20 tahun, bisa dievaluasi apakah masih layak berada di kota atau dike- luarkan dari kota. Dari situ ke- mudian pemerintah bisa meng- atur land use mix baru termasuk juga menambah RTH. Pedestrian Agar lebih memaksimalkan kota yang hijau, dalam land use mix itu sangat penting dibuat fasilitas untuk mendorong transportasi tanpa emisi, yakni jalur sepeda. Dengan jalur ka- yuh ini, warga akan semakin tergerak meninggalkan kenda- raan bermotor. Begitu pun sarana transpor- tasi ini, menurut Marco, juga tidak akan berjalan dengan baik tanpa jalur pedestrian. “Fasilitas pejalan kaki itu sebe- narnya paling penting karena mau naik kendaraan apa pun, nantinya butuh jalan kaki. Jadi, jalur pedestrian itu seperti sa- rana perekat,” tuturnya. Negara-negara maju sudah membuktikan, dengan fasilitas pedestrian yang nyaman dan saling terhubung ke berbagai moda transportasi, aka orang akan mudah menggunakan- nya, terutama transportasi massal. (*/M-1) miweekend @mediaindonesia.com Green Concern | 7 MINGGU, 17 OKTOBER 2010 | MEDIA INDONESIA Bintang Krisanti Mengurai macet dan membuat kota lebih ‘hijau’ tidak cukup lewat sarana transportasi, melainkan juga perubahan tata ruang. Solusi Hijau Kemacetan MACET KIAN PARAH: Kemacetan di DKI Jakarta kian parah dan mudah dicetus berbagai faktor, termasuk cuaca. Solusi kemacetan di ibukota ini semestinya bukan hanya pada sistem transportasi itu sendiri tapi juga yang mendorong kota menjadi lebih hijau. Untuk Jakarta, solusi penambahan jalan dan angkutan massal harus diikuti dengan perbaikan tata ruang. MI/ROMMY PUJIANTO ASBESTOSSURVEYS.ORG DOK DISHUB DKI JAKARTA/OLAH GRAFIS: FREDY Penambahan jalan tanpa penambahan transportasi massal dan perbaikan tata ruang hanya mencetus kemacetan baru.” A NDA tentu kesal karena sampah rumah menumpuk sedangkan tukang sampah tidak kunjung datang. Bingung, ingin mengenyahkan sendiri tapi tidak tahu bagaimana caranya, kecuali dengan membakarnya. Sebenarnya, mengolah sampah sendiri sangat mungkin dilakukan. Tidak harus membakarnya. Caranya adalah lewat composting. Sayangnya, masih sedikit yang mempraktikkan metode ramah lingkungan yang mampu mengurangi volume sampah ini. Di Kelurahan Susukan (Kec Ciracas), dan Plumpang, dengan mengolah sampah organik, warga bisa mendapat penghasilan tambahan. Sekilo kompos rata-rata dihargai Rp5.000-Rp7.000. Jikalau pun tidak dijual, kompos bisa digunakan sendiri. Dengan dibuang begitu saja ke tanah, kompos sudah bisa membuat tanah subur karena banyak mengandung unsur hara. Warga Kelurahan Susukan malah kini dikenal sebagai inovator kompos cair. Membuat kompos juga tidak rumit. Cukup dibalik seminggu sekali selama sekitar 7 minggu. Dengan sistem gotong royong, cara ini tentunya sangat mungkin diusahakan di tiap-tiap permukiman. Keberhasilan pengurangan volume sampah pun terbukti. Warga dua kelurahan ini tidak lagi menggunakan jasa tukang sampah. Menurut Badan Lingkungan Hidup, dengan composting, volume sampah bisa dikurangi hingga 58%. Bisa dibayangkan perannya untuk Jakarta yang per harinya menghasilkan 6.000 ton sampah. Jika Anda tertarik untuk mengetahui lebih banyak manfaat kompos atau malah belajar cara membuatnya, simak pembicaraan soal kompos di Green FM. (Big/M-1) D Tips Green! Pisahkan sampah organik untuk memudahkan pembuatan kompos. SAMPAH KURANG, PENGHASILAN TAMBAH INDONESIA terancam bencana ‘ledakan asbestos’ pada 10- 20 tahun ke depan jika penggunaan asbes tidak dihentikan dan sosialisasi bahaya penggunaan asbes tidak digalakkan. Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat Setiawan Wangsa Atmaja, di Ban- dung, beberapa waktu lalu, mengatakan perkiraan ledakan asbestos di Indonesia tersebut didasarkan pada pengalaman penggunaan asbes oleh negara maju seperti Inggris dan Belanda. Di sana, ledakan asbestos terjadi setelah 20 tahun mereka menggunakan asbes. Akibat ledakan asbestos tersebut, masyarakat Indone- sia akan terkena penyakit komplikasi asbestosisis seperti rusaknya jaringan paru-paru yang berkomplikasi dengan penyakit TBC. Sementara itu, pakar kesehatan dari Teknik Lingkungan Institut Teknologi Nasional (ITENAS), Ban- dung, Juli Soemirat, menjelaskan, asbestos jika masuk ke dalam paru-paru akan melekat atau menusuk sel paru-paru, tetap di sana karena tubuh tidak dapat menghancurkannya. Jika asbestos dalam paru-paru mengendap setelah dua sam- pai lima tahun kemudian, akan banyak sel mati dan meng- akibatkan penderita tidak dapat bernapas. (Ant/Big) Ledakan Asbestos 20 Tahun Lagi INFO HIJAU

Upload: duonganh

Post on 11-Aug-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MA L A M s u d a h la rut, tak jarang kemacetan parah masih terjadi di

be berapa titik jalan di Kota Ja karta. Hujan akhir-akhir ini di gabung dengan drainase ko ta yang buruk menjadi penye-babnya.

Hal itu semakin membuka ma ta betapa peliknya kondisi la lu lintas Ibu Kota. Populasi yang padat dan pertumbuhan kendaraan yang tinggi, berba-gai hal bisa mencetus macet.

Permasalahan yang kom-pleks itu tentunya butuh solusi yang juga menyeluruh. Tentu solusi kemacetan juga harus diarahkan untuk perbaikan ling kungan hidup kota.

Persoalan kemacetan terse-but minggu ini juga dikupas da lam diskusi yang digelar di Goethe-Institute, Jakarta, oleh Perhimpunan Alumni Jerman (PAJ), sebagai penyelenggara-nya. Bertema Mengurai kemacet-an lalu lintas, merintis Jakarta green city, tersembul pemikiran bah wa solusi macet harusnya ju ga membuat Jakarta jadi ko ta yang lebih hijau. “Macet itu kan menghasilkan emisi. Jadi, solusi kemacetan juga ha rusnya yang bisa menekan emisi. Dengan begitu, Jakarta baru bisa jadi green city,” kata Fa thoni dari PAJ.

Macet memang tidak hanya merugikan secara ekonomi, so-sial, juga lingkungan. Bayang-kan, Jakarta saat ini dipenuhi sekitar 6.7 juta kendaraan ber-motor dengan penambahan per harinya sekitar 1.172 unit.

Dengan perkiraan per unit-nya membuang 121-225 gram CO2 per kilometernya, bisa di-hitung jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan da ri jalan-jalan Ibu Kota ini. Jum lahnya tentu fantastis.

Tidak mengherankan jika Masyarakat Transportasi Indo-nesia (MTI) pernah menyebut sektor transportasi di perkotaan menyumbang 60% emisi kota, secara nasional sekitar 24%.

Udar Pristono Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta pu-nya pendapat dalam kesempat-an tersebut. Menurutnya, bus Trans-Jakarta berbahan bakar gas (BBG) adalah salah satu so-lusi untuk mengurangi jumlah kendaraan pribadi sekaligus mengurangi emisi. Namun, ia juga memaparkan penggunaan BBG memiliki banyak kendala lapangan dan regulasi.

“Bus kita ada 500, tapi pom (pompa) hanya empat. Dan har ga yang ditetapkan ada dua,

yakni Rp2.562 dan Rp3.500. Ya jelas, busway (Trans-Jakarta) mau nya yang murah, jadi antre panjang,” ungkap Udar.

Masalah pengisian, ditambah lagi jalur bus yang belum sepe-nuhnya steril, mengakibatkan bus Trans-Jakarta masih sulit me menuhi ketepatan waktu pelayanan. Pada akhirnya bus ini pun belum benar-benar bi sa menarik orang untuk ber alih dari kendaraan masing-ma sing.

Pada sisi lain, harga BBG yang murah membuat para investor tidak tertarik untuk ikut mem-bangun stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG). Hal-hal seperi ini tentunya harus le bih dulu diperhatikan ketimbang hanya menambah ar ma da.

Fungsi lahanSelain penambahan angkutan

umum, baik Trans-Jakarta mau-pun mass rapid transit (MRT) yang rencananya beroperasi pa da 2012, Udar mengatakan pemprov tetap harus menam-bah jalan umum untuk meng-urai kemacetan.

Meski ruang terbuka hijau (RTH) Jakarta tidak memenuhi angka 30% yang ditetapkan PP No 5/ 2008 tentang Penataan Ruang Jabodetabekpunjur, bah-kan hanya kurang dari 10%, menurut Udar, pemprov te tap harus membangun jalan ba ru. “Jalan kita baru 6,2%. Se mentara jalan di kota-kota be sar sedikit-nya 10%, di Ame rika bahkan sampai 21%,” ujar Udar.

Begitu pun inisiator Jakarta Green Map yang juga Direktur Rujak Center for Urban Studies Marco Kusumawijaya tidak se pakat dengan langkah pem-prov tersebut. “Mungkin macet

akan berkurang, tapi sementara saja. Setelah itu, penambahan jalan justru mencetus kemacet-an baru,” katanya.

Marco menjelaskan, penam-bahan jalan biasanya diikuti tum buhnya permukiman dan usaha-usaha baru di sekitarnya. Dengan begitu, kemacetan to tal yang diprediksi terjadi 2014 juga bukannya terhindari. Penambahan ruas jalan dan angkutan massal, menurutnya, juga belum cukup untuk benar-be nar mengurai kemacetan Ja karta, apalagi membuatnya le bih ‘hijau’.

Kedua upaya tersebut seha-rusnya diikuti dengan perubah-an penggunaan lahan. Langkah ini akan mendorong pengu-rangan kepemilikan mobil pri badi, namun bukan dengan ca ra paksaan, melainkan de-ngan sendirinya.

Perubahan yang dimaksud Marco adalah membuat ka-wasan-kawasan hunian di de-kat kawasan bisnis atau disebut land use mix. Cara ini dikatakan telah dilakukan di Seoul, Korea Selatan, dan berhasil mengu-rangi kendaraan pribadi karena

jarak tempuh yang jauh lebih dekat.

Cara ini, diakui Marco, meru-pakan kerja besar dan akan me-mengaruhi kondisi sosial. Tapi, sangat mungkin dilakukan dan pemerintah sudah memiliki instrumennya, yakni sertifi kat hak guna bangunan (HGB).

Bangunan yang berdiri di atas tanah negara, setelah 20 ta hun, bisa dievaluasi apakah ma sih layak berada di kota atau dike-luarkan dari kota. Da ri situ ke-mudian pemerintah bisa meng-atur land use mix baru termasuk juga menambah RTH.

PedestrianAgar lebih memaksimalkan

kota yang hijau, dalam land use mix itu sangat penting dibuat fasilitas untuk mendorong trans portasi tanpa emisi, yakni jalur sepeda. Dengan jalur ka-yuh ini, warga akan semakin ter gerak meninggalkan kenda-raan bermotor.

Begitu pun sarana transpor-tasi ini, menurut Marco, juga tidak akan berjalan dengan baik tanpa jalur pedestrian. “Fasilitas pejalan kaki itu sebe-narnya paling penting karena mau naik kendaraan apa pun, nantinya bu tuh jalan kaki. Jadi, jalur pe destrian itu seperti sa-rana pe rekat,” tuturnya.

Negara-negara maju sudah membuktikan, dengan fasilitas pedestrian yang nyaman dan saling terhubung ke berbagai moda transportasi, aka orang akan mudah menggunakan-nya, terutama transportasi mas sal. (*/M-1)

[email protected]

Green Concern | 7MINGGU, 17 OKTOBER 2010 | MEDIA INDONESIA

Bintang Krisanti

Mengurai macet dan membuat kota lebih ‘hijau’ tidak cukup lewat sarana transportasi, melainkan juga perubahan tata ruang.

Solusi Hijau Kemacetan

MACET KIAN PARAH: Kemacetan di DKI Jakarta kian parah dan mudah dicetus berbagai faktor, termasuk cuaca. Solusi kemacetan di ibukota ini semestinya bukan hanya pada sistem transportasi itu sendiri tapi juga yang mendorong kota menjadi lebih hijau. Untuk Jakarta, solusi penambahan jalan dan angkutan massal harus diikuti dengan perbaikan tata ruang.

MI/ROMMY PUJIANTO

ASBESTOSSURVEYS.ORG

DOK DISHUB DKI JAKARTA/OLAH GRAFIS: FREDY

Penambahan jalan tanpa penambahan transportasi massal dan perbaikan tata ruang hanya mencetus kemacetan baru.”

ANDA tentu kesal karena sampah rumah menumpuk sedangkan tukang sampah tidak kunjung datang.

Bingung, ingin mengenyahkan sendiri tapi tidak tahu bagaimana caranya, kecuali dengan membakarnya.

Sebenarnya, mengolah sampah sendiri sangat mungkin dilakukan. Tidak harus membakarnya.

Caranya adalah lewat composting. Sayangnya, masih sedikit yang mempraktikkan metode ramah lingkungan yang mampu mengurangi volume sampah ini.

Di Kelurahan Susukan (Kec

Ciracas), dan Plumpang, dengan mengolah sampah organik, warga bisa mendapat penghasilan tambahan.

Sekilo kompos rata-rata dihargai Rp5.000-Rp7.000. Jikalau pun tidak dijual, kompos bisa digunakan sendiri. Dengan dibuang begitu saja ke tanah, kompos sudah bisa membuat tanah subur karena banyak mengandung unsur hara.

Warga Kelurahan Susukan malah kini dikenal sebagai inovator kompos cair. Membuat kompos juga tidak rumit. Cukup dibalik seminggu sekali selama sekitar 7 minggu.

Dengan sistem gotong royong,

cara ini tentunya sangat mungkin diusahakan di tiap-tiap permukiman. Keberhasilan pengurangan volume sampah pun terbukti.

Warga dua kelurahan ini tidak lagi menggunakan jasa tukang sampah. Menurut Badan Lingkungan Hidup, dengan composting, volume sampah bisa dikurangi hingga 58%. Bisa dibayangkan perannya untuk Jakarta yang per harinya menghasilkan 6.000 ton sampah.

Jika Anda tertarik untuk mengetahui lebih banyak manfaat kompos atau malah belajar cara membuatnya, simak pembicaraan soal kompos di Green FM. (Big/M-1)D

TipsGreen!

Pisahkan sampah organik

untuk memudahkan

pembuatan kompos.

SAMPAH KURANG, PENGHASILAN TAMBAH

INDONESIA terancam bencana ‘ledakan asbestos’ pada 10-20 tahun ke depan jika penggunaan asbes tidak dihentikan dan sosialisasi bahaya penggunaan asbes tidak digalakkan. Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat Setiawan Wangsa Atmaja, di Ban-dung, beberapa waktu lalu, mengatakan perkiraan ledakan asbestos di Indonesia tersebut didasarkan pada pengalaman penggunaan asbes oleh negara maju seperti Inggris dan Belanda. Di sana, ledakan asbestos terjadi setelah 20 tahun mereka menggunakan asbes.

Akibat ledakan asbestos tersebut, masyarakat Indone-sia akan terkena penyakit komplikasi asbestosisis seperti rusaknya jaringan paru-paru yang berkomplikasi dengan penyakit TBC. Sementara itu, pakar kesehatan dari Teknik Lingkungan Institut Teknologi Nasional (ITENAS), Ban-dung, Juli Soemirat, menjelaskan, asbestos jika masuk ke dalam paru-paru akan melekat atau menusuk sel paru-paru, tetap di sana karena tubuh tidak dapat menghancurkannya. Jika asbestos dalam paru-paru mengendap setelah dua sam-pai lima tahun kemudian, akan banyak sel mati dan meng-akibatkan penderita tidak dapat bernapas. (Ant/Big)

Ledakan Asbestos 20 Tahun Lagi

INFO HIJAU