minggu 4
DESCRIPTION
testestes tes testTRANSCRIPT
INFUS CAIRAN INTRAVENA (Macam-Macam Cairan Infus)
Infus cairan intravena (intravenous fluids infusion) adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh.Secara umum, keadaan-keadaan yang dapat memerlukan pemberian cairan infus adalah:1. Perdarahan dalam jumlah banyak (kehilangan cairan
tubuh dan komponen darah)2. Trauma abdomen (perut) berat (kehilangan cairan tubuh
dan komponen darah)3. Fraktur (patah tulang), khususnya di pelvis (panggul) dan
femur (paha) (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)4. “Serangan panas” (heat stroke) (kehilangan cairan tubuh
pada dehidrasi)5. Diare dan demam (mengakibatkan dehidrasi)6. Luka bakar luas (kehilangan banyak cairan tubuh)7. Semua trauma kepala, dada, dan tulang punggung
(kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)Indikasi pemberian obat melalui jalur intravena antara lain:1. Pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat
melalui intravena langsung masuk ke dalam jalur peredaran darah. Misalnya pada kasus infeksi bakteri dalam peredaran darah (sepsis). Sehingga memberikan keuntungan lebih dibandingkan memberikan obat oral. Namun sering terjadi, meskipun pemberian antibiotika intravena hanya diindikasikan pada infeksi serius, rumah sakit memberikan antibiotika jenis ini tanpa melihat derajat infeksi. Antibiotika oral (dimakan biasa melalui mulut) pada kebanyakan pasien dirawat di RS dengan infeksi bakteri, sama efektifnya dengan antibiotika intravena, dan lebih menguntungkan dari segi kemudahan administrasi RS, biaya perawatan, dan lamanya perawatan.
2. Obat tersebut memiliki bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika dimasukkan melalui mulut) yang terbatas. Atau hanya tersedia dalam sediaan intravena (sebagai obat suntik). Misalnya antibiotika golongan aminoglikosida yang susunan kimiawinya “polications” dan sangat polar, sehingga tidak dapat diserap melalui jalur gastrointestinal (di usus hingga sampai masuk ke dalam darah). Maka harus dimasukkan ke dalam pembuluh darah langsung.
3. Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau memang tidak dapat menelan obat (ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti ini, perlu dipertimbangkan pemberian melalui jalur lain seperti rektal (anus), sublingual (di bawah lidah), subkutan (di bawah kulit), dan intramuskular (disuntikkan di otot).
4. Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedak—obat masuk ke pernapasan), sehingga pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan.
5. Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh balik/vena). Peningkatan cepat konsentrasi obat dalam darah tercapai. Misalnya pada orang yang mengalami hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada penderita diabetes mellitus. Alasan ini juga sering digunakan
untuk pemberian antibiotika melalui infus/suntikan, namun perlu diingat bahwa banyak antibiotika memiliki bioavalaibilitas oral yang baik, dan mampu mencapai kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri.
Indikasi Pemasangan Infus melalui Jalur Pembuluh Darah Vena (Peripheral Venous Cannulation)1. Pemberian cairan intravena (intravenous fluids).2. Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam
darah) dalam jumlah terbatas.3. Pemberian kantong darah dan produk darah.4. Pemberian obat yang terus-menerus (kontinyu).5. Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum
prosedur (misalnya pada operasi besar dengan risiko perdarahan, dipasang jalur infus intravena untuk persiapan jika terjadi syok, juga untuk memudahkan pemberian obat)
6. Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya risiko dehidrasi (kekurangan cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum pembuluh darah kolaps (tidak teraba), sehingga tidak dapat dipasang jalur infus.
Kontraindikasi dan Peringatan pada Pemasangan Infus Melalui Jalur Pembuluh Darah Vena1. Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi
pemasangan infus.2. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena
lokasi ini akan digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci darah).
3. Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki).
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan infus:1. Hematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh
akibat pecahnya pembuluh darah arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum, atau “tusukan” berulang pada pembuluh darah.
2. Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan pembuluh darah), terjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah.
3. Tromboflebitis, atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi akibat infus yang dipasang tidak dipantau secara ketat dan benar.
4. Emboli udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah, terjadi akibat masuknya udara yang ada dalam cairan infus ke dalam pembuluh darah.
Komplikasi yang dapat terjadi dalam pemberian cairan melalui infus:• Rasa perih/sakit• Reaksi alergiJenis Cairan Infus:1. Cairan hipotonik: osmolaritasnya lebih rendah
dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik” dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada
keadaan sel “mengalami” dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.
2. Cairan Isotonik: osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).
3. Cairan hipertonik: osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga “menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin.
Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya:1. Kristaloid: bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi
sejumlah volume cairan (volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang singkat, dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera. Misalnya Ringer-Laktat dan garam fisiologis.
2. Koloid: ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga tidak akan keluar dari membran kapiler, dan tetap berada dalam pembuluh darah, maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh darah. Contohnya adalah albumin dan steroid.
JENIS-JENIS CAIRAN INFUSASERINGIndikasi:Dehidrasi (syok hipovolemik dan asidosis) pada kondisi: gastroenteritis akut, demam berdarah dengue (DHF), luka bakar, syok hemoragik, dehidrasi berat, trauma.Komposisi:Setiap liter asering mengandung: Na 130 mEq K 4 mEq Cl 109 mEq Ca 3 mEq Asetat (garam) 28 mEqKeunggulan:1. Asetat dimetabolisme di otot, dan masih dapat ditolelir
pada pasien yang mengalami gangguan hati2. Pada pemberian sebelum operasi sesar, RA mengatasi
asidosis laktat lebih baik dibanding RL pada neonatus
3. Pada kasus bedah, asetat dapat mempertahankan suhu tubuh sentral pada anestesi dengan isofluran
4. Mempunyai efek vasodilator5. Pada kasus stroke akut, penambahan MgSO4 20 %
sebanyak 10 ml pada 1000 ml RA, dapat meningkatkan tonisitas larutan infus sehingga memperkecil risiko memperburuk edema serebral
KA-EN 1BIndikasi:1. Sebagai larutan awal bila status elektrolit pasien belum
diketahui, misal pada kasus emergensi (dehidrasi karena asupan oral tidak memadai, demam)
2. < 24 jam pasca operasi3. Dosis lazim 500-1000 ml untuk sekali pemberian secara
IV. Kecepatan sebaiknya 300-500 ml/jam (dewasa) dan 50-100 ml/jam pada anak-anak
4. Bayi prematur atau bayi baru lahir, sebaiknya tidak diberikan lebih dari 100 ml/jam
KA-EN 3A & KA-EN 3BIndikasi:1. Larutan rumatan nasional untuk memenuhi kebutuhan
harian air dan elektrolit dengan kandungan kalium cukup untuk mengganti ekskresi harian, pada keadaan asupan oral terbatas
2. Rumatan untuk kasus pasca operasi (> 24-48 jam)3. Mensuplai kalium sebesar 10 mEq/L untuk KA-EN 3A4. Mensuplai kalium sebesar 20 mEq/L untuk KA-EN 3BKA-EN MG3Indikasi :1. Larutan rumatan nasional untuk memenuhi kebutuhan
harian air dan elektrolit dengan kandungan kalium cukup untuk mengganti ekskresi harian, pada keadaan asupan oral terbatas
2. Rumatan untuk kasus pasca operasi (> 24-48 jam)3. Mensuplai kalium 20 mEq/L4. Rumatan untuk kasus dimana suplemen NPC dibutuhkan
400 kcal/LKA-EN 4AIndikasi :1. Merupakan larutan infus rumatan untuk bayi dan anak2. Tanpa kandungan kalium, sehingga dapat diberikan pada
pasien dengan berbagai kadar konsentrasi kalium serum normal3. Tepat digunakan untuk dehidrasi hipertonikKomposisi (per 1000 ml): Na 30 mEq/L K 0 mEq/L Cl 20 mEq/L Laktat 10 mEq/L Glukosa 40 gr/LKA-EN 4BIndikasi:1. Merupakan larutan infus rumatan untuk bayi dan anak
usia kurang 3 tahun2. Mensuplai 8 mEq/L kalium pada pasien sehingga
meminimalkan risiko hipokalemia3. Tepat digunakan untuk dehidrasi hipertonikKomposisi:
Na 30 mEq/L K 8 mEq/L Cl 28 mEq/L Laktat 10 mEq/L Glukosa 37,5 gr/LOtsu-NSIndikasi:1. Untuk resusitasi2. Kehilangan Na > Cl, misal diare3. Sindrom yang berkaitan dengan kehilangan natrium
(asidosis diabetikum, insufisiensi adrenokortikal, luka bakar)Otsu-RLIndikasi:1. Resusitasi2. Suplai ion bikarbonat3. Asidosis metabolikMARTOS-10Indikasi:1. Suplai air dan karbohidrat secara parenteral pada
penderita diabetik2. Keadaan kritis lain yang membutuhkan nutrisi eksogen
seperti tumor, infeksi berat, stres berat dan defisiensi protein3. Dosis: 0,3 gr/kg BB/jam4. Mengandung 400 kcal/LAMIPARENIndikasi:1. Stres metabolik berat2. Luka bakar3. Infeksi berat4. Kwasiokor5. Pasca operasi6. Total Parenteral Nutrition7. Dosis dewasa 100 ml selama 60 menitAMINOVEL-600Indikasi:1. Nutrisi tambahan pada gangguan saluran GI2. Penderita GI yang dipuasakan3. Kebutuhan metabolik yang meningkat (misal luka bakar,
trauma dan pasca operasi)4. Stres metabolik sedang5. Dosis dewasa 500 ml selama 4-6 jam (20-30 tpm)PAN-AMIN GIndikasi:1. Suplai asam amino pada hiponatremia dan stres metabolik
ringan2. Nitrisi dini pasca operasi3. Tifoid
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi Cairan Tubuh
Cairan tubuh adalah cairan suspensi sel di dalam tubuh makhluk
multiseluler seperti manusia atau hewan yang memiliki fungsi fisiologis
tertentu.
II. Fisiologi Cairan Tubuh dan Elektrolit
A. Distribusi cairan tubuh
Air adalah pelarut (solven) terpenting dalam komposisi cairan makhluk
hidup. Persentase air tubuh total (Total Body Water) terhadap berat
badan berubah sesuai umur, menurun cepat pada awal kehidupan. Pada
saat lahir, TBW 78% berat badan. Pada beberapa bulan pertama
kehidupan, TBW turun cepat mendekati kadar dewasa 55-60 % berat
badan pada saat usia 1 tahun. Pada masa pubertas, terjadi perubahan
TBW selanjutnya. Karena lemak mempunyai kadar air yang lebih
rendah, persentase TBW terhadap berat badan lebih rendah pada wanita
dewasa yang mempunyai lebih banyak lemak tubuh (55%) daripada laki-
laki, yang mempunyai sedikit lemak. Seluruh cairan tubuh
didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular dan kompartemen
ekstraselular.
Cairan intraselular
Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan intraselular. Pada
orang dewasa, sekitar dua pertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di
intraselular (sekitar 27 liter rata-rata untuk dewasa laki-laki dengan berat
badan sekitar 70 kilogram), sebaliknya pada bayi hanya setengah dari
berat badannya merupakan cairan intraselular. Cairan intraseluler terlibat
dalam proses metabolik yang menghasilkan energi yang berasal dari
nutrien-nutrien dalam cairan tubuh.
Cairan ekstraselular
Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Cairan
ekstraseluler berperan dalam mempertahankan sistem sirkulasi,
mensuplai nutrient ke dalam sel, dan membuang zat sisa yang bersifat
toksik. Jumlah relatif cairan ekstraselular berkurang seiring dengan usia.
Pada bayi baru lahir, sekitar setengah dari cairan tubuh terdapat di cairan
ekstraselular.
Cairan ekstraselular dibagi menjadi :
o Cairan Interstitial
Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar
11- 12 liter pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume
interstitial.
o Cairan Intravaskular
Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya
volume plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6L
dimana 3 liternya merupakan plasma, sisanya terdiri dari sel darah
merah, sel darah putih dan platelet.
o Cairan transeluler
Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu
seperti serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan
sekresi saluran pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume cairan
transeluler adalah sekitar 1 liter, tetapi cairan dalam jumlah banyak
dapat masuk dan keluar dari ruang transeluler.
B. Komponen cairan tubuh
Selain air, cairan tubuh mengandung dua jenis zat yaitu elektrolit dan
non elektrolit.
Elektrolit
Merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan menghantarkan arus
listrik. Elektrolit dibedakan menjadi ion positif (kation) dan ion negatif
(anion). Jumlah kation dan anion dalam larutan adalah selalu sama
(diukur dalam miliekuivalen).
Kation : Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium (Na+),
sedangkan kation utama dalam cairan intraselular adalah potassium
(K+). Suatu sistem pompa terdapat di dinding sel tubuh yang memompa
keluar sodium dan potassium ini.
Natrium
Natrium sebagai kation utama didalam cairan ekstraseluler dan paling
berperan di dalam mengatur keseimbangan cairan. Kadar natrium
plasma: 135-145mEq/liter.12 Kadar natrium dalam tubuh
58,5mEq/kgBB dimana + 70% atau 40,5mEq/kgBB dapat berubah-ubah.
Ekresi natrium dalam urine 100-180mEq/liter, faeces 35mEq/liter dan
keringat 58mEq/liter. Kebutuhan setiap hari = 100mEq (6-15 gram
NaCl).
Natrium dapat bergerak cepat antara ruang intravaskuler dan interstitial
maupun ke dalam dan keluar sel. Apabila tubuh banyak mengeluarkan
natrium (muntah,diare) sedangkan pemasukkan terbatas maka akan
terjadi keadaan dehidrasi disertai kekurangan natrium. Kekurangan air
dan natrium dalam plasma akan diganti dengan air dan natrium dari
cairan interstitial. Apabila kehilangan cairan terus berlangsung, air akan
ditarik dari dalam sel dan apabila volume plasma tetap tidak dapat
dipertahankan terjadilah kegagalan sirkulasi.
Kalium
Kalium merupakan kation utama (99%) di dalam cairan ekstraseluler
berperan penting di dalam terapi gangguan keseimbangan air dan
elektrolit. Jumlah kalium dalam tubuh sekitar 53 mEq/kgBB dimana
99% dapat berubah-ubah sedangkan yang tidak dapat berpindah adalah
kalium yang terikat dengan protein didalam sel.
Kadar kalium plasma 3,5-5,0 mEq/liter, kebutuhan setiap hari 1-3
mEq/kgBB. Keseimbangan kalium sangat berhubungan dengan
konsentrasi H+ ekstraseluler. Ekskresi kalium lewat urine 60-90
mEq/liter, faeces 72 mEq/liter dan keringat 10 mEq/liter.
Kalsium
Kalsium dapat dalam makanan dan minuman, terutama susu, 80-90%
dikeluarkan lewat faeces dan sekitar 20% lewat urine. Jumlah
pengeluaran ini tergantung pada intake, besarnya tulang, keadaan
endokrin. Metabolisme kalsium sangat dipengaruhi oleh kelenjar-
kelenjar paratiroid, tiroid, testis, ovarium, da hipofisis. Sebagian besar
(99%) ditemukan didalam gigi dan + 1% dalam cairan ekstraseluler dan
tidak terdapat dalam sel.
Magnesium
Magnesium ditemukan di semua jenis makanan. Kebutuhan unruk
pertumbuhan + 10 mg/hari. Dikeluarkan lewat urine dan faeces.
Anion: Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan
bikarbonat (HCO3-), sedangkan anion utama dalam cairan intraselular
adalah ion fosfat (PO43-).
Karbonat
Asam karbonat dan karbohidrat terdapat dalam tubuh sebagai salah satu
hasil akhir daripada metabolisme. Kadar bikarbonat dikontrol oleh
ginjal. Sedikit sekali bikarbonat yang akan dikeluarkan urine. Asam
bikarbonat dikontrol oleh paru-paru dan sangat penting peranannya
dalam keseimbangan asam basa.
Non elektrolit
Merupakan zat seperti glukosa dan urea yang tidak terdisosiasi dalam
cairan. Zat lainya termasuk penting adalah kreatinin dan bilirubin.
C. Proses Pergerakan Cairan Tubuh
Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian tubuh
melibatkan mekanisme transpor pasif dan aktif. Mekanisme transpor
pasif tidak membutuhkan energy sedangkan mekanisme transpor aktif
membutuhkan energi. Difusi dan osmosis adalah mekanisme transpor
pasif. Sedangkan mekanisme transpor aktif berhubungan dengan pompa
Na-K yang memerlukan ATP.
Proses pergerakan cairan tubuh antar kompertemen dapat berlangsung
secara:
a. Osmosis
Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran
semipermeabel (permeabel selektif) dari larutan berkadar lebih rendah
menuju larutan berkadar lebih tinggi hingga kadarnya sama. Seluruh
membran sel dan kapiler permeable terhadap air, sehingga tekanan
osmotik cairan tubuh seluruh kompartemen sama. Membran
semipermeabel ialah membran yang dapat dilalui air (pelarut), namun
tidak dapat dilalui zat terlarut misalnya protein.
Tekanan osmotik plasma darah ialah 285+ 5 mOsm/L. Larutan dengan
tekanan osmotik kira-kira sama disebut isotonik (NaCl 0,9%, Dekstrosa
5%, Ringer laktat). Larutan dengan tekanan osmotik lebih rendah
disebut hipotonik (akuades), sedangkan lebih tinggi disebut hipertonik.
b. Difusi
Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan
bergerak dari konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah.
Tekanan hidrostatik pembuluh darah juga mendorong air masuk
berdifusi melewati pori-pori tersebut. Jadi difusi tergantung kepada
perbedaan konsentrasi dan tekanan hidrostatik.
c. Pompa Natrium Kalium
Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transpor yang memompa
ion natrium keluar melalui membran sel dan pada saat bersamaan
memompa ion kalium dari luar ke dalam. Tujuan dari pompa natrium
kalium adalah untuk mencegah keadaan hiperosmolar di dalam sel.
D. Asupan dan ekskresi cairan dan elektrolit fisiologis
Homeostasis cairan tubuh yang normalnya diatur oleh ginjal dapat
berubah oleh stres akibat operasi, kontrol hormon yang abnormal, atau
pun oleh adanya cedera pada paru-paru, kulit atau traktus
gastrointestinal.
Pada keadaan normal, seseorang mengkonsumsi air rata-rata sebanyak
2000-2500 ml per hari, dalam bentuk cairan maupun makanan padat
dengan kehilangan cairan rata rata 250 ml dari feses, 800-1500 ml dari
urin, dan hampir 600 ml kehilangan cairan yang tidak disadari
(insensiblewater loss) dari kulit dan paru-paru.
I. Perubahan cairan tubuh
Perubahan cairan tubuh dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu :
1. Perubahan volume
a. Defisit volume
Defisit volume cairan ekstraselular merupakan perubahan cairan tubuh
yang paling umum. Penyebab paling umum adalah kehilangan cairan di
gastrointestinal akibat muntah, penyedot nasogastrik, diare dan drainase
fistula. Penyebab lainnya dapat berupa kehilangan cairan pada cedera
jaringan lunak, infeksi, inflamasi jaringan, peritonitis, obstruksi usus,
dan luka bakar. Keadaan akut, kehilangan cairan yang cepat akan
menimbulkan tanda gangguan pada susunan saraf pusat dan jantung.
Pada kehilangan cairan yang lambat lebih dapat ditoleransi sampai defisi
volume cairan ekstraselular yang berat terjadi.
Dehidrasi
Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi serum
dari natrium menjadi isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik (<139
mEq/L) atau hipernatremik (>150 mEq/L). Dehidrasi isonatremik
merupakan yang paling sering terjadi (80%), sedangkan dehidrasi
hipernatremik atau hiponatremik sekitar 5-10% dari kasus.
Dehidrasi isotonis (isonatremik): terjadi ketika kehilangan cairan
hampir sama dengan konsentrasi natrium terhadap darah. Kehilangan
cairan dan natrium besarnya relatif sama dalam kompartemen
intravaskular maupun kompartemen ekstravaskular.
Dehidrasi hipotonis (hiponatremik): terjadi ketika kehilangan cairan
dengan kandungan natrium lebih banyak dari darah (kehilangan cairan
hipertonis). Secara garis besar terjadi kehilangan natrium yang lebih
banyak dibandingkan air yang hilang. Karena kadar natrium serum
rendah, air di kompartemen intravaskular berpindah ke kompartemen
ekstravaskular, sehingga menyebabkan penurunan volume
intravaskular.15
Dehidrasi hipertonis (hipernatremik): terjadi ketika kehilangan cairan
dengan kandungan natrium lebih sedikit dari darah (kehilangan cairan
hipotonis). Secara garis besar terjadi kehilangan air yang lebih banyak
dibandingkan natrium yang hilang. Karena kadar natrium tinggi, air di
kompartemen ekstraskular berpindah ke kompartemen intravaskular,
sehingga meminimalkan penurunan volume intravaskular.15
b. Kelebihan volume
Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat
iatrogenic (pemberian cairan intravena seperti NaCl yang menyebabkan
kelebihan air dan NaCl ataupun pemberian cairan intravena glukosayang
menyebabkan kelebihan air) ataupun dapat sekunder akibat insufisiensi
renal (gangguan pada GFR), sirosis, ataupun gagal jantung
kongestif.9,10 Kelebihan cairan intaseluler dapat terjadi jika terjadi
kelebihan cairan tetapi jumlah NaCl tetap atau berkurang.10
2. Perubahan konsentrasi
a. Hiponatremia
Kadar natrium normal 135-145 mEq/L, bila kurang dari 135 mEq/ L,
sudah dapat dibilang hiponatremia. Jika < 120 mg/L maka akan timbul
gejala disorientasi, gangguan mental, letargi, iritabilitas, lemah dan henti
pernafasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan timbul gejala
kejang, koma. Hiponatremia ini dapat disebabkan oleh euvolemia
(SIADH, polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal,
diare, muntah, third space losses, diuretika), hipervolemia (sirosis,
nefrosis). Keadaan ini dapat diterapi dengan restriksi cairan (Na+ ≥ 125
mg/L) atau NaCl 3% ssebanyak (140-X)xBBx0,6 mg dan untuk
pediatrik 1,5-2,5 mg/kg.12
Koreksi hiponatremia yang sudah berlangsung lama dilakukan scara
perlahanlahan, sedangkan untuk hiponatremia akut lebih agresif. Untuk
menghitung Na serum yang dibutuhkan dapat menggunakan rumus :
Na= Na1 – Na0 x TBW
Na = Jumlah Na yang diperlukan untuk koreksi (mEq)
Na1 = 125 mEq/L atau Na serum yang diinginkan
Na0 = Na serum yang aktual
TBW = total body water = 0,6 x BB (kg)
b. Hipernatremia
Bila kadar natrium lebih dari 145 mEq/L disebut dengan hiperkalemia.
Jika kadar natrium > 160 mg/L maka akan timbul gejala berupa
perubahan mental, letargi, kejang, koma, lemah. Hipernatremi dapat
disebabkan oleh kehilangan cairan (diare, muntah, diuresis, diabetes
insipidus, keringat berlebihan), asupan air kurang, asupan natrium
berlebihan. Terapi keadaan ini adalah penggantian cairan dengan 5%
dekstrose dalam air sebanyak {(X-140) x BB x 0,6}: 140.12
c. Hipokalemia
Jika kadar kalium < 3 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut
kalium dari cairan ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan
kronis kadar total kalium tubuh. Tanda dan gejala hipokalemia dapat
berupa disritmik jantung, perubahan EKG (QRS segmen melebar, ST
segmen depresi, hipotensi postural, kelemahan otot skeletal, poliuria,
intoleransi glukosa. Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi faktor
presipitasi (alkalosis, hipomagnesemia, obat-obatan), infuse potasium
klorida sampai 10 mEq/jam (untuk mild hipokalemia ;>2 mEq/L) atau
infus potasium klorida sampai 40 mEq/jam dengan monitoring oleh
EKG (untuk hipokalemia berat;<2mEq/L disertai perubahan EKG,
kelemahan otot yang hebat).13 Rumus untuk menghitung defisit
kalium18 :
K = K1 – K0 x 0,25 x BB
K = kalium yang dibutuhkan
K1 = serum kalium yang diinginkan
K0 = serum kalium yang terukur
BB = berat badan (kg)
d. Hiperkalemia
Terjadi jika kadar kalium > 5 mEq/L, sering terjadi karena insufisiensi
renal atau obat yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-
inhibitor, siklosporin, diuretik). Tanda dan gejalanya terutama
melibatkan susunan saraf pusat (parestesia, kelemahan otot) dan sistem
kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG). Terapi untuk hiperkalemia
dapat berupa intravena kalsium klorida 10% dalam 10 menit, sodium
bikarbonat 50-100 mEq dalam 5-10 menit, atau diuretik, hemodialisis.
3. Perubahan komposisi
a. Asidosis respiratorik (pH< 3,75 dan PaCO2> 45 mmHg)
Kondisi ini berhubungan dengan retensi CO2 secara sekunder untuk
menurunkan ventilasi alveolar pada pasien bedah. Kejadian akut
merupakan akibat dari ventilasi yang tidak adekuat termasuk obstruksi
jalan nafas, atelektasis, pneumonia, efusi pleura, nyeri dari insisi
abdomenatas, distensi abdomen dan penggunaan narkose yang
berlebihan. Manajemennya melibatkan koreksi yang adekuat dari defek
pulmonal, intubasi endotrakeal, dan ventilasi mekanis bila perlu.
Perhatian yang ketat terhadap higiene trakeobronkial saat post operatif
adalah sangat penting.
b. Alkalosis respiratorik (pH> 7,45 dan PaCO2 < 35 mmHg)
Kondisi ini disebabkan ketakutan, nyeri, hipoksia, cedera SSP, dan
ventilasi yang dibantu. Pada fase akut, konsentrasi bikarbonat serum
normal, dan alkalosis terjadi sebagai hasil dari penurunan PaCO2 yang
cepat. Terapi ditujukan untuk mengkoreksi masalah yang mendasari
termasuk sedasi yang sesuai, analgesia, penggunaan yang tepat dari
ventilator mekanik, dan koreksi defisit potasium yang terjadi.
c. Asidosis metabolik (pH<7,35 dan bikarbonat <21 mEq/L)
Kondisi ini disebabkan oleh retensi atau penambahan asam atau
kehilangan bikarbonat. Penyebab yang paling umum termasuk gagal
ginjal, diare, fistula usus kecil, diabetik ketoasidosis, dan asidosis laktat.
Kompensasi awal yang terjadi adalah peningkatan ventilasi dan depresi
PaCO2. Penyebab paling umum adalah syok, diabetik ketoasidosis,
kelaparan, aspirin yang berlebihan dan keracunan metanol. Terapi
sebaiknya ditujukan terhadap koreksi kelainan yang mendasari. Terapi
bikarbonat hanya diperuntukkan bagi penanganan asidosis berat dan
hanya setelah kompensasi alkalosis respirasi digunakan.
d. Alkalosis metabolik (pH>7,45 dan bikarbonat >27 mEq/L)
Kelainan ini merupakan akibat dari kehilangan asam atau penambahan
bikarbonat dan diperburuk oleh hipokalemia. Masalah yang umum
terjadi pada pasien bedah adalah hipokloremik, hipokalemik akibat
defisit volume ekstraselular. Terapi yang digunakan adalah sodium
klorida isotonik dan penggantian kekurangan potasium. Koreksi
alkalosis harus gradual selama perode 24 jam dengan pengukuran pH,
PaCO2 dan serum elektrolit yang sering.
II. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pembedahan
Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal
yang umum terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-
faktor preoperatif, intraoperatif dan postoperatif.
A. Faktor-faktor preoperatif
1. Kondisi yang telah ada
Diabetes mellitus, penyakit hepar, atau insufisiensi renal dapat
diperburuk oleh stres akibat operasi.
2. Prosedur diagnostik
Arteriogram atau pyelogram intravena yang memerlukan marker
intravena dapat menyebabkan ekskresi cairan dan elektrolit urin yang
tidak normal karena efek diuresis
osmotik.
3. Pemberian obat
Pemberian obat seperti steroid dan diuretik dapat mempengaruhi eksresi
air dan elektrolit
4. Preparasi bedah
Enema atau laksatif dapat menyebabkan peningkatan kehilangan air dan
elekrolit dari traktus gastrointestinal.
5. Penanganan medis terhadap kondisi yang telah ada
6. Restriksi cairan preoperatif
Selama periode 6 jam restriksi cairan, pasien dewasa yang sehat
kehilangan cairan sekitar 300-500 mL. Kehilangan cairan dapat
meningkat jika pasien menderita demam atau adanya kehilangan
abnormal cairan.
7. Defisit cairan yang telah ada sebelumnya
Harus dikoreksi sebelum operasi untuk meminimalkan efek dari
anestesi.
B. Faktor-faktor intraoperatif
1. Induksi anestesi
Dapat menyebabkan terjadinya hipotensi pada pasien dengan
hipovolemia preoperatif karena hilangnya mekanisme kompensasi
seperti takikardia dan vasokonstriksi.
2. Kehilangan darah yang abnormal
3. Kehilangan abnormal cairan ekstraselular ke third space (contohnya
kehilangan cairan ekstraselular ke dinding dan lumen usus saat operasi)
4. Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada
luka operasi yang besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan)
C. Faktor-faktor postoperatif
1. Stres akibat operasi dan nyeri pasca operasi
2. Peningkatan katabolisme jaringan
3. Penurunan volume sirkulasi yang efektif
4. Risiko atau adanya ileus postoperatif
III. Terapi Cairan
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh
dalam batas-batas fisiologis dengan cairan infus kristaloid (elektrolit)
atau koloid (plasma ekspander) secara intravena.
Terapi cairan berfungsi untuk mengganti defisit cairan saat puasa
sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat
pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi, dan mengganti cairan
yang pindah ke rongga ketiga.
Terapi cairan resusitasi
Terapi cairan resusitasi ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut
cairan tubuh atau ekspansi cepat dari cairan intravaskuler untuk
memperbaiki perfusi jaringan. Misalnya pada keadaan syok dan luka
bakar. Terapi cairan resusitasi dapat dilakukan dengan pemberian infus
Normal Saline (NS), Ringer Asetat (RA), atau Ringer laktat (RL)
sebanyak 20 ml/kg selama 30-60 menit. Pada syok hemoragik bisa
diberikan 2-3 L dalam 10 menit.
Terapi rumatan
Terapi rumatan bertujuan memelihara keseimbangan cairan tubuh dan
nutrisi. Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35
ml/kgBB/hari dan elektrolit utama Na+=1-2 mmol/kgBB/haridan K+=
1mmol/kgBB/hari. Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan
yang hilang akibat pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat
(lewat kulit) dan pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible
water losses.
Untuk anak digunakan rumus Holiday Segar 4:2:1, yaitu :
Terapi rumatan dapat diberikan infus cairan elektrolit dengan kandungan
karbohidrat atau infus yang hanya mengandung karbohidrat saja. Larutan
elektrolit yang juga mengandung karbohidrat adalah larutan KA-EN,
dextran + saline, DGAA, Ringer’s dextrose, dll. Sedangkan larutan
rumatan yang mengandung hanya karbohidrat adalah dextrose 5%.
Tetapi cairan tanpa elektrolit cepat keluar dari sirkulasi dan mengisi
ruang antar sel sehingga dextrose tidak berperan dalam hipovolemik.
Dalam terapi rumatan cairan keseimbangan kalium perlu diperhatikan
karena seperti sudah dijelaskan kadar berlebihan atau kekurangan dapat
menimbulkan efek samping yang berbahaya. Umumnya infus
konvensional RL atau NS tidak mampu mensuplai kalium sesuai
kebutuhan harian. Infus KA-EN dapat mensuplai kalium sesuai
kebutuhan harian.
Pada pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke
ruang peritoneum, ke luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar
kecilnya pembedahan, yaitu :
• 6-8 ml/kg untuk bedah besar
• 4-6 ml/kg untuk bedah sedang
• 2-4 ml/kg untuk bedah kecil
A. Jenis-Jenis Cairan
1. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES =
CEF). Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali
cairan koloid) ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid
untuk mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu paruh cairan
kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit.
Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak
digunakan untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan
yang hampir menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung
dalam cairan tersebut akan mengalami metabolisme di hati menjadi
bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah NaCl
0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan asidosis
hiperkloremik (delutional hyperchloremic acidosis) dan menurunnya
kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida.
Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid
akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan
koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di
ruang interstitiel.
Pada suatu penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah
sedikit larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul
edema perifer dan paru serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan
dan edema jaringan luka, apabila seseorang mendapat infus 1 liter NaCl
0,9Selain itu, pemberian cairan kristaloid berlebihan juga dapat
menyebabkan edema otak dan meningkatnya tekanan intra kranial.
2. Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut “plasma
substitute” atau “plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat
zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas
osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama
(waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu koloid
sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok
hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita dengan hipoalbuminemia
berat dan kehilangan protein yang banyak (misal luka bakar).
Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:
a. Koloid alami:
Yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5 dan 2,5%).
Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60°C selama 10
jam untuk membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein
plasma selain mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa
globulin dan beta globulin.
b. Koloid sintetis:
1. Dextran:
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran
70 (Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh
bakteri Leuconostoc mesenteroides B yang tumbuh dalam media
sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan volume expander yang lebih
baik dibandingkan dengan Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu
memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi mikro karena dapat
menurunkan kekentalan (viskositas) darah. Selain itu Dextran
mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangi platelet
adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis
dan melancarkan aliran darah. Pemberian Dextran melebihi 20
ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross match, waktu perdarahan
memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat menimbulkan
reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan memberikan Dextran
1 (Promit) terlebih dahulu.
2. Hydroxylethyl Starch (Heta starch)
Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 – 1.000.000,
rata-rata 71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 30
mmHg. Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal akan
dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam
waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga dapat menimbulkan reaksi
anafilaktik dan dapat meningkatkan kadar serum amilase ( walau
jarang). Low molecullar weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch)
mirip Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5
kali volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena
potensinya sebagai plasma volume expander yang besar dengan
toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Penta
starch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita
gawat.
3. Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul
rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang.
Ada 3 macam gelatin, yaitu:
- modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
- Urea linked gelatin
- Oxypoly gelatin
B. Terapi Cairan Preoperatif
Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa,
lavement) harus diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti
pada masa pra-bedah sebelum induksi. Setelah dari sisa defisit yang
masih ada diberikan pada jam pertama pembedahan, sedangkan sisanya
diberikan pada jam kedua berikutnya. Kehilangan cairan di ruang ECF
ini cukup diganti dengan ciran hipotonis seperti garam fisiologis, Ringer
Laktat dan Dextrose. Pada penderita yang karena penyakitnya tidak
mendapat nutrisi yang cukup maka sebaiknya diberikan nutrisi enteral
atau parenteral lebih dini lagi. Penderita dewasa yang dipuasakan karena
akan mengalami pembedahan (elektif) harus mendapatkan penggantian
cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam lama puasa. Defisit karena perdarahan
atau kehilangan cairan (hipovolemik, dehidrasi) yang seringkali
menyertai penyulit bedahnya harus segera diganti dengan melakukan
resusitasi cairan atau rehidrasi sebelum induksi anestesi.
C. Terapi Cairan Intraoperatif
Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan
kebutuhan dasar ditambah dengan kehilangan cairan akibat pembedahan
(perdarahan, translokasi cairan dan penguapan atau evaporasi). Jenis
cairan yang diberikan tergantung kepada prosedur pembedahannya dan
jumlah darah yang hilang.
1. Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis misalnya
bedah mata (ekstrasi, katarak) cukup hanya diberikan cairan rumatan
saja selama pembedahan.
2. Pembedahan dengan trauma ringan misalnya: appendektomi dapat
diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar
ditambah 4 ml/kgBB/jam untuk pengganti akibat trauma pembedahan.
Total yang diberikan adalah 6 ml/kgBB/jam berupa cairan garam
seimbang seperti Ringer Laktat atau Normosol-R.
3. Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan sebanyak 2
ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 8 ml/kgBB/jam untuk
pembedahannya. Total 10 ml/kgBB/jam.
D. Terapi Cairan Postoperatif
Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini:
1. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi.
Kebutuhan air untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal
sekitar ± 50 ml/kgBB/24 jam. Pada hari pertama pasca bedah tidak
dianjurkan pemberian kalium karena adanya pelepasan kalium dari
sel/jaringan yang rusak, proses katabolisme dan transfusi darah. Akibat
stress pembedahan, akan dilepaskan aldosteron dan ADH yang
cenderung menimbulkan retensi air dan natrium. Oleh sebab itu, pada 2-
3 hari pasca bedah tidak perlu pemberian natrium. Penderita dengan
keadaan umum baik dan trauma pembedahan minimum, pemberian
karbohidrat 100-150 mg/hari cukup memadai untuk memenuhi
kebutuhan kalori dan dapat menekan pemecahan protein sampai 50%
kadar albumin harus dipertahankan melebihi 3,5 gr%. Penggantian
cairan pasca bedah cukup dengan cairan hipotonis dan bila perlu larutan
garamisotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai penderita dapat
minum dan makan.
2. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:
- Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap
kenaikan 1°C
suhu tubuh
- Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau
muntah.
- Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi
dan
humidifikasi.
3. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama
pembedahan yang belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10
gr%, sebaiknya diberikan transfusi darah untuk memperbaiki daya
angkut oksigen.
4. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi
cairan tersebut. Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama
meliputi tekanan darah, frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran,
diameter pupil, jalan nafas, frekuensi nafas, suhu tubuh dan warna kulit.
BAB III
KESIMPULAN
Tubuh mengandung 60 % air yang disebut juga cairan tubuh. Cairan
tubuh didalamnya terkandung nutrisi-nutrisi yang amat penting
peranannya dalam metabolisme sel, sehingga amat penting dalam
menunjang kehidupan.
Dalam pembedahan, tubuh kekurangan cairan karena perdarahan selama
pembedahan ditambah lagi puasa sebelum dan sesudah operasi.
Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal
yang umum terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-
faktor preoperatif, perioperatif dan postoperatif.
Terapi cairan parenteral digunakan untuk mempertahankan atau
mengembalikan volume dan komposisi normal cairan tubuh. Dalam
terapi cairan harus diperhatikan kebutuhannya sesuai usia dan keadaan
pasien, serta cairan infus itu sendiri. Jenis cairan yang bisa diberikan
untuk terapi cairan adalah cairan kristaloid dan cairan koloid.
Syok Hipovolemik
PENATALAKSANAAN SYOK HIPOVOLEMIK
DEFINISI SYOK HIPOVOLEMIK Syok hipovolemik adalah suatu
keadaan akut dimana tubuh kehilangan cairan tubuh, cairan ini dapat
berupa darah, plasma, dan elektrolit (Grace, 2006). Syok hipovolemik
adalah suatu keadaan dimana terjadi kehilangan cairan tubuh dengan
cepat sehingga dapat mengakibatkan multiple organ failure akibat
perfusi yang tidak adekuat
Perdarahan merupakan penyebab tersering dari syok pada pasien-pasien
trauma, baik oleh karena perdarahan yang terlihat maupun perdarahan
yang tidak terlihat. Perdarahan yang terlihat, perdarahan dari luka, atau
hematemesis dari tukak lambung. Perdarahan yang tidak terlihat,
misalnya perdarahan dari saluran cerna, seperti tukak duodenum, cedera
limpa, kehamilan di luar uterus, patah tulang pelvis, dan patah tulang
besar atau majemuk.
Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik juga dapat terjadi karena kehilangan cairan tubuh
yang lain. Pada luka bakar yang luas, terjadi kehilangan cairan melalui
permukaan kulit yang hangus atau di dalam lepuh. Muntah hebat atau
diare juga dapat mengakibatkan kehilangan banyak cairan intravaskuler.
Pada obstruksi, ileus dapat terkumpul beberapa liter cairan di dalam
usus. Pada diabetes atau penggunaan diuretik kuat, dapat terjadi
kehilangan cairan karena diuresis yang berlebihan. Kehilangan cairan
juga dapat ditemukan pada sepsis berat, pankreatitis akut, atau peritonitis
purulenta difus.
Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan kuat, kecuali jika
miokard sudah mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat
berkurang. Respons tubuh terhadap perdarahan bergantung pada volume,
kecepatan, dan lama perdarahan. Bila volume intravaskular berkurang,
tubuh akan selalu berusaha untuk mempertahankan perfusi organ-organ
vital (jantung dan otak) dengan mengorbankan perfusi organ lain seperti
ginjal, hati, dan kulit. Akan terjadi perubahan-perubahan hormonal
melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron, sistem ADH, dan sistem
saraf simpatis. Cairan interstitial akan masuk ke dalam pembuluh darah
untuk mengembalikan volume intravaskular, dengan akibat terjadi
hemodilusi (dilusi plasma protein dan hematokrit) dan dehidrasi
interstitial.
Dengan demikain, tujuan utama dalam mengatasi syok perdarahan
adalah menormalkan kembali volume intravaskular dan interstitial. Bila
defisit volume intravaskular hanya dikoreksi dengan memberikan darah
maka masih tetap terjadi defisit interstitial, dengan akibat tanda-tanda
vital yang masih belum stabil dan produksi urin yang kurang.
Pengembalian volume plasma dan interstitial ini hanya mungkin bila
diberikan kombinasi cairan koloid (darah, plasma, dextran, dsb) dan
cairan garam seimbang.
Penatalaksanaan Syok Hipovolemik
Pasang satu atau lebih jalur infus intravena no. 18/16. Infus dengan cepat
larutan kristaloid atau kombinasi larutan kristaloid dan koloid sampai
vena (v. jugularis) yang kolaps terisi. Sementara, bila diduga syok
karena perdarahan, ambil contoh darah dan mintakan darah. Bila telah
jelas ada peningkatan isi nadi dan tekanan darah, infus harus
dilambatkan. Bahaya infus yang cepat adalah udem paru, terutama
pasien tua. Perhatian harus ditujukan agar jangan sampai terjadi
kelebihan cairan.
Pemantauan yang perlu dilakukan dalam menentukan kecepatan
infus:
Nadi: nadi yang cepat menunjukkan adanya hipovolemia.
Tekanan darah: bila tekanan darah < 90 mmHg pada pasien normotensi
atau tekanan darah turun > 40 mmHg pada pasien hipertensi,
menunjukkan masih perlunya transfusi cairan.
Produksi urin. Pemasangan kateter urin diperlukan untuk mengukur
produksi urin. Produksi urin harus dipertahankan minimal 1/2
ml/kg/jam. Bila kurang, menunjukkan adanya hipovolemia. Cairan
diberikan sampai vena jelas terisi dan nadi jelas teraba. Bila volume intra
vaskuler cukup, tekanan darah baik, produksi urin < 1/2 ml/kg/jam, bisa
diberikan Lasix 20-40 mg untuk mempertahankan produksi urine.
Dopamin 2–5 µg/kg/menit bisa juga digunakan pengukuran tekanan
vena sentral (normal 8–12 cmH2O), dan bila masih terdapat gejala
umum pasien seperti gelisah, rasa haus, sesak, pucat, dan ekstremitas
dingin, menunjukkan masih perlu transfusi cairan.
Kesimpulan
Berhasil tidaknya penanggulangan syok tergantung dari kemampuan
mengenal gejala-gejala syok, mengetahui, dan mengantisipasi penyebab
syok serta efektivitas dan efisiensi kerja kita pada saat-saat/menit-menit
pertama penderita mengalami syok
DEFINISI DAN PENYEBAB SYOK
Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasi
yang menyebabkan ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi
jaringan, dengan akibat gangguan mekanisme homeostasis. Berdasarkan
penelitian Moyer dan Mc Clelland tentang fisiologi keadaan syok dan
homeostasis, syok adalah keadaan tidak cukupnya pengiriman oksigen
ke jaringan. Syok merupakan keadaan gawat yang membutuhkan terapi
yang agresif dan pemantauan yang kontinyu atau terus-menerus di unit
terapi intensif.
Syok secara klinis didiagnosa dengan adanya gejala-gejala seperti
berikut:
1. Hipotensi: tekanan sistole kurang dari 80 mmHg atau TAR (tekanan
arterial rata-rata) kurang dari 60 mmHg, atau menurun 30% lebih.
2. Oliguria: produksi urin kurang dari 20 ml/jam.
3. Perfusi perifer yang buruk, misalnya kulit dingin dan berkerut serta
pengisian kapiler yang jelek.
Syok dapat diklasifikasi sebagai syok hipovolemik, kardiogenik, dan
syok anafilaksis. Di sini akan dibicarakan mengenai syok hipovolemik
yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan intravaskuler, misalnya
terjadi pada:
1. Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan yang
mengalir keluar tubuh seperti hematotoraks, ruptura limpa, dan
kehamilan ektopik terganggu.
2. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung
kehilangan darah yang besar. Misalnya, fraktur humerus menghasilkan
500-1000 ml perdarahan atau fraktur femur menampung 1000-1500 ml
perdarahan.
3. Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena
kehilangan protein plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada:
1. Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis.
2. Renal: terapi diuretik, krisis penyakit Addison.
3. Luka bakar (kombustio) dan anafilaksis.
Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat
berkurangnya aliran darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya
pelepasan oksigen ke dalam jaringan. Kekurangan oksigen di jaringan
menyebabkan sel terpaksa melangsungkan metabolisme anaerob dan
menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah dengan adanya
asam laktat, asam piruvat, asam lemak, dan keton (Stene-Giesecke,
1991). Yang penting dalam klinik adalah pemahaman kita bahwa fokus
perhatian syok hipovolemik yang disertai asidosis adalah saturasi
oksigen yang perlu diperbaiki serta perfusi jaringan yang harus segera
dipulihkan dengan penggantian cairan. Asidosis merupakan urusan
selanjutnya, bukan prioritas utama.
Gejala dan Tanda Klinis
Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi
premorbid, besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya
berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis
respons kompensasi. Pasien muda dapat dengan mudah
mengkompensasi kehilangan cairan dengan jumlah sedang dengan
vasokonstriksi dan takhikardia. Kehilangan volume yang cukp besar
dalam waktu lambat, meskipun terjadi pada pasien usia lanjut, masih
dapat ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu yang cepat
atau singkat.
Apabila syok telah terjadi, tanda-tandanya akan jelas. Pada keadaan
hipovolemia, penurunan darah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera
kembali dalam beberapa menit. Adalah penting untuk mengenali tanda-
tanda syok, yaitu:
1. Kulit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian
kapiler selalu berkaitan dengan berkurangnya perfusi jaringan.
2. Takhikardia: peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah
respons homeostasis penting untuk hipovolemia. Peningkatan kecepatan
aliran darah ke mikrosirkulasi berfungsi mengurangi asidosis jaringan.
3. Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh
darah sistemik dan curah jantung, vasokonstriksi perifer adalah faktor
yang esensial dalam mempertahankan tekanan darah. Autoregulasi aliran
darah otak dapat dipertahankan selama tekanan arteri turun tidak di
bawah 70 mmHg.
4. Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang pada syok
hipovolemik. Oliguria pada orang dewasa terjadi jika jumlah urin kurang
dari 30 ml/jam.
Pada penderita yang mengalami hipovolemia selama beberapa saat, dia
akan menunjukkan adanya tanda-tanda dehidrasi seperti:
(1) Turunnya turgor jaringan;
(2) Mengentalnya sekresi oral dan trakhea, bibir dan lidah menjadi
kering; serta
(3) Bola mata cekung.
Akumulasi asam laktat pada penderita dengan tingkat cukup berat,
disebabkan oleh metabolisme anaerob. Asidosis laktat tampak sebagai
asidosis metabolik dengan celah ion yang tinggi. Selain berhubungan
dengan syok, asidosis laktat juga berhubungan dengan kegagalan
jantung (decompensatio cordis), hipoksia, hipotensi, uremia,
ketoasidosis diabetika (hiperglikemi, asidosis metabolik, ketonuria), dan
pada dehidrasi berat.
Tempat metabolisme laktat terutama adalah di hati dan sebagian di
ginjal. Pada insufisiensi hepar, glukoneogenesis hepatik terhambat dan
hepar gagal melakukan metabolisme laktat. Pemberian HCO3
(bikarbonat) pada asidosis ditangguhkan sebelum pH darah turun
menjadi 7,2. Apabila pH 7,0-7,15 dapat digunakan 50 ml NaHCO3 8,4%
selama satu jam. Sementara, untuk pH < 7,0 digunakan rumus 2/2 x
berat badan x kelebihan basa.
Pemeriksaan Laboratorium – Hematologi
Pemeriksaan laboratorium sangat bermanfaat untuk menentukan kadar
hemoglobin dan nilai hematokrit. Akan tetapi, resusitasi cairan tidak
boleh ditunda menunggu hasil pemeriksaan. Hematokrit pasien dengan
syok hipovolemik mungkin rendah, normal, atau tinggi, tergantung pada
penyebab syok.
Jika pasien mengalami perdarahan lambat atau resusitasi cairan telah
diberikan, nilai hematokrit akan rendah. Jika hipovolemia karena
kehilangan volume cairan tubuh tanpa hilangnya sel darah merah seperti
pada emesis, diare, luka bakar, fistula, hingga mengakibatkan cairan
intravaskuler menjadi pekat (konsentarted) dan kental, maka pada
keadaan ini nilai hematokrit menjadi tinggi.
Diagnosa Differensial
Syok hipovolemik menghasilkan mekanisme kompensasi yang terjadi
pada hampir semua organ tubuh. Hipovolemia adalah penyebab utama
syok pada trauma cedera. Syok hipovolemik perlu dibedakan dengan
syok hipoglikemik karena penyuntikan insulin berlebihan. Hal ini tidak
jarang terjadi pada pasien yang dirawat di Unit Gawat Darurat.
Akan terlihat gejala-gejala seperti kulit dingin, berkeriput, oliguri, dan
takhikardia. Jika pada anamnesa dinyatakan pasien sebelumnya
mendapat insulin, kecurigaan hipoglikemik sebaiknya dipertimbangkan.
Untuk membuktikan hal ini, setelah darah diambil untuk pemeriksaan
laboratorium (gula darah sewaktu), dicoba pemberian 50 ml glukosa
50% intravena atau 40 ml larutan dextrose 40% intravena.
Resusitasi Cairan
Manajemen cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen dapat
berakibat fatal. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input
cairan harus sama untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan itu
termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi cairan bukan untuk
kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan
menurunkan angka mortalitas.
Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan gangguan
pada fungsi kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan
merupakan akibat lanjut. Pada keadaan demikian, memperbaiki keadaan
umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan dengan
pemberian cairan elektrolit, plasma, atau darah.
Untuk perbaikan sirkulasi, langkah utamanya adalah mengupayakan
aliran vena yang memadai. Mulailah dengan memberikan infus Saline
atau Ringer Laktat isotonis. Sebelumnya, ambil darah ± 20 ml untuk
pemeriksaan laboratorium rutin, golongan darah, dan bila perluCross
test. Perdarahan berat adalah kasus gawat darurat yang membahayakan
jiwa. Jika hemoglobin rendah maka cairan pengganti yang terbaik adalah
tranfusi darah.
Resusitasi cairan yang cepat merupakan landasan untuk terapi syok
hipovolemik. Sumber kehilangan darah atau cairan harus segera
diketahui agar dapat segera dilakukan tindakan. Cairan infus harus
diberikan dengan kecepatan yang cukup untuk segera mengatasi defisit
atau kehilangan cairan akibat syok. Penyebab yang umum dari
hipovolemia adalah perdarahan, kehilangan plasma atau cairan tubuh
lainnya seperti luka bakar, peritonitis, gastroenteritis yang lama atau
emesis, dan pankreatitis akuta.
Pemilihan Cairan Intravena
Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien,
konsentrasi elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan
parenteral telah dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai
kondisi medis. Terapi cairan intravena atau infus merupakan salah satu
aspek terpenting yang menentukan dalam penanganan dan perawatan
pasien.
Terapi awal pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai 2
liter larutan isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu
merupakan cairan terbaik untuk resusitasi. Resusitasi cairan yang
adekuat dapat menormalisasikan tekanan darah pada pasien kombustio
18-24 jam sesudah cedera luka bakar.
Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan
kristaloid, koloid, dan darah. Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi
syok hipovolemik. Keuntungan cairan kristaloid antara lain mudah
tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi, dan
sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat
berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih
perlu dicegah.
Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok
hipovolemik dengan hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis
metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan
cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah
besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis
metabolik, kombustio, dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan
Dextrose 5% digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti
kehilangan cairan insensibel.
Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat
metabolisme laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal,
sedangkan asetat dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh
dengan otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan Ringer Asetat
sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan
fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat
dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena
dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.
Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk
mengganti kehilangan cairan akut dan rumatan untuk mengganti
kebutuhan harian.
CAIRAN INTRAVENA
Terapi cairan intravena terdiri dari cairan kristaloid, koloid, atau suatu
kombinasi kedua-duanya. Solusi cairan kristaloid adalah larutan
mengandung ion dengan berat molekul rendah (garam) dengan atau
tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid berisi ion dengan berat molekul
tinggi seperti protein atau glukosa. Cairan koloid menjaga tekanan
oncotic plasma dan sebagian besar ada di intravascular, sedangkan
cairan kristaloid dengan cepat didistribusikan keseluruh ruang cairan
extracellular.
Ada kontroversi mengenai penggunaan cairan koloid dan kristaloid
untuk pasien dg pembedahan. Para ahli mengatakan bahwa koloid dapat
menjaga plasma tekanan oncotic plasma, koloid lebih efektif dalam
mengembalikan volume intravascular dan curah jantung.Ahli yang lain
mengatakan bahwa pemberian cairan kristaloid efektif bila diberikan
dalam jumlah yang cukup. Pendapat yang mengatakan bahwa koloid
dapat menimbulkan edema pulmoner pada pasien dengan peningkatan
permeabilitas kapiler paru adalah tak benar, sebab tekanan onkotik
interstitial paru-paru sama dengan plasma ( lihat Bab 22). Beberapa
pernyataan dibawah ini yang mendukung :
1. Kristaloid, jika diberikan dalam jumlah cukup sama
efektifnya dengan koloid dalam mengembalikan volume
intravascular.
2. Mengembalikan deficit volume intravascular dengan
kristaloid biasanya memerlukan 3-4 kali dari jumlah cairan
jika menggunakan koloid.
3. Kebanyakan pasien yang mengalami pembedahan
mengalami deficit cairan extracellular melebihi deficit cairan
intravascular..
4. Defisit cairan intravascular yang berat dapat
dikoreksi dengan cepat dengan menggunakan cairan koloid.
5. Pemberian cairan kristaloid dalam jumlah besar (>
4-5 L) dapat menimbulkan edema jaringan.
Beberapa kasus membuktikan bahwa, adanya edema jaringan
mengganggu transport oksigen, memperlambat penyembuhan luka dan
memperlambat kembalinya fungsi pencernaan setelah pembedahan.
Cairan Kristaloid
Cairan kristaloid merupakan cairan untuk resusitasi awal pada pasien
dengan syok hemoragik dan septic syok seperti pasien luka bakar, pasien
dengan trauma kepala untuk menjaga tekanan perfusi otak, dan pasien
dengan plasmaphersis dan reseksi hepar. Jika 3-4 L cairan kristaloid
telah diberikan, dan respon hemodinamik tidak adekuat, cairan koloid
dapat diberikan.
Ada beberapa macam cairan kristaloid yang tersedia. Pemilihan cairan
tergantung dari derajat dan macam kehilangan cairan. Untuk kehilangan
cairan hanya air, penggantiannya dengan cairan hipotonik dan disebut
juga maintenance type solution. Jika hehilangan cairannya air dan
elektrolit, penggantiannya dengan cairan isotonic dan disebut juga
replacement type solution. Dalam cairan, glukosa berfungsi menjaga
tonisitas dari cairan atau menghindari ketosis dan hipoglikemia dengan
cepat. Anak- anak cenderung akan menjadi hypoglycemia(< 50 mg/dL)
4-8 jam puasa. Wanita mungkin lebih cepat hypoglycemia jika puasa (>
24 h) disbanding pria.
Kebanyakan jenis kehilangan cairan intraoperative adalah isotonik, maka
yang biasa digunakan adalah replacement type solution, tersering adalah
Ringer Laktat. Walaupun sedikit hypotonic, kira-kira 100 mL air per 1
liter mengandung Na serum 130 mEq/L, Ringer Laktat mempunyai
komposisi yang mirip dengan cairan extraselular dan paling sering
dipakai sebagai larutan fisiologis. Laktat yang ada didalam larutan ini
dikonversi oleh hati sebagai bikarbonat. Jika larutan salin diberikan
dalam jumlah besar, dapat menyebabkan dilutional acidosis
hyperchloremic oleh karena Na dan Cl yang tinggi (154 mEq/L):
konsentrasi bikarbonat plasma menurun dan konsentrasi Clorida
meningkat.
Larutan saline baik untuk alkalosis metabolic hipokloremik dan
mengencerkan Packed Red Cell untuk transfusi. Larutan D5W
digunakan untuk megganti deficit air dan sebagai cairan pemeliharaan
pada pasien dengan restriksi Natrium. Cairan hipertonis 3% digunakan
pada terapi hiponatremia simptomatik yang berat (lihat Bab 28). Cairan
3 – 7,5% disarankan dipakai untuk resusitasi pada pasien dengan syok
hipovolemik. Cairan ini diberikan lambat karena dapat menyebabkan
hemolisis.
Cairan Koloid
Aktifitas osmotic dari molekul dengan berat jenis besar dari cairan
koloid untuk menjaga cairan ini ada di intravascular. Walaupun waktu
paruh dari cairan kristaloid dalam intravascular 20-30 menit,
kebanyakan cairan koloid mempunyai waktu paruh dalam intravascular
3-6 jam. Biasanya indikasi pemakaian cairan koloid adalah :
1. Resusitasi cairan pada pasien dengan deficit cairan
intravascular yang berat (misal: syok hemoragik) sampai ada
transfusi darah.
2. Resusitasi cairan pada hipoalbuminemia berat atau
keadaan dimana
Kehilangan protein dalam jumlah besar seperti luka bakar. Pada pasien
luka bakar, koloid diberikan jika luka bakar >30% dari luas permukaan
tubuh atau jika > 3-4 L larutan kristaloid telah diberikan lebih dari 18-24
jam setelah trauma.
Beberapa klinisi menggunakan cairan koloid yang dikombinasi dengan
kristaloid bila dibutuhkan cairan pengganti lebih dari 3-4 L untuk
transfuse. Harus dicatat bahwa cairan ini adalah normal saline ( Cl 145 –
154 mEq/L ) dan dapat juga menyebabkan asidosis metabolic
hiperkloremik.
Banyak cairan koloid kini telah tersedia. Semuanya berasal dari protein
plasma atau polimer glukosa sintetik. Koloid yang berasal dari darah
termasuk albumin ( 5% dan 25 % ) dan fraksi plasma protein (5%).
Keduanya dipanaskan 60 derajat selama 10 jam untuk meminimalkan
resiko dari hepatitis dan penyakit virus lain. Fraksi plasma protein berisi
alpha dan beta globulin yang ditambahkan pada albumin dan
menghasilkan reaksi hipotensi. Ini adalah reaksi alergi yang alami da
melibatkan aktivasi dari kalikrein.
Koloid sintetik termasuk Dextrose starches dan gelatin. Gelatin
berhubungan dengan histamine mediated- allergic reaction dan tidak
tersedia di United States.Dextran terdiri dari Dextran 70 ( Macrodex )
dan Dextran 40, yang dapat meningkatkan aliran darah mikrosirkulasi
dengan menurunkan viskositas darah. Pada Dextran juga ada efek
antiplatelet. Pemberian melebihi 20 ml/kg/hari dapat menyebabkan masa
perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat
juga bersifat antigenic dan anafilaktoid ringan dan berat dan ada reaksi
anafilaksis. Dextan 1 ( Promit ) sama dengan Dextran 40 atau dextran 70
untuk mencegah reaksi anafilaxis berat.;bekerja seperti hapten dan
mengikat setiap antibody dextran di sirkulasi.
Hetastarch (hydroxyetil starch) tersedia dalam cairan 6 % dengan berat
molekul berkisar 450.000. Molekul-molekul yang kecil akan dieliminasi
oleh ginjal dan molekul besar dihancurkan pertama kali oleh amylase.
Hetastarch sangat efektif sebagai plasma expander dan lebih murah
disbanding albumin.. Lebihjauh, Hetastarch bersifat nonantigenik dan
reaksi anafilaxisnya jarang. Studi masa koagulasi dan masa perdarahan
umumnya tidak signifikan dengan infus 0.5 – 1 L. Pasien transplantasi
ginjal yang mendapat hetastarch masih controversial. Kontroversi ini
dihubungkan juga dengan penggunaan hetastarch pada pasien yang
menjalani bypass kardiopulmoner. Pentastarch, cairan starch dengan
berat molekul rendah, sedikit efek tambahannya dan dapat menggantikan
hetastarch.
TERAPI CAIRAN PERIOPERATIF
Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian deficit cairan,
kehilangan cairan normal dan kehilangan cairan lewat luka operasi
termasuk kehilangan darah.
Kebutuhan Pemeliharaan Normal
Pada waktu intake oral tidak ada, deficit cairan dan elektrolit dapat
terjadi dengan cepat karena adanya pembentukan urin yang terus
berlangsung,sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses dari
kulit dan paru. Kebutuhan pemeliharaan normal dapat diestimasi dari
tabel berikut:
Tabel Estimasi Kebutuhan Cairan Pemeliharaan
Berat Badan Kebutuhan
10 kg pertama 4 ml/kg/jam
10-20 kg kedua 2 ml/kg/jam
Masing-masing kg > 20 kg 1 ml/kg/jam
Contoh: berapa kebutuhan cairan pemeliharaan untuk anak 25 kg?
Jawab: 40+20+5=65 ml/jam
Preexisting Deficit
Pasien yang akan dioperasi setelah semalam puasa tanpa intake cairan
akan menyebabkan defisit cairan sebanding dengan lamanya puasa.
Defisit ini dapat diperkirakan dengan mengalikan normal maintenance
dengan lamanya puasa. Untuk 70 kg, puasa 8 jam, perhitingannya (40 +
20 + 50) ml / jam x 8 jam atau 880 ml. Pada kenyataannya, defisit ini
dapat kurang sebagai hasil dari konservasi ginjal. Kehilangan cairan
abnormal sering dihubungkan dengan defisit preoperatif. Sering terdapat
hubungan antara perdarahan preoperatif, muntah, diuresis dan diare.
Penggantian Cairan Intraoperatif
Terapi cairan intraoperatif meliputi kebutuhan cairan dasar dan
penggantian deficit cairan preoperative seperti halnya kehilangan cairan
intraoperative ( darah, redistribusi dari cairan, dan penguapan).
Pemilihan jenis cairan intravena tergantung dari prosedur pembedahan
dan perkiraan kehilangan darah. Pada kasus kehilangan darah minimal
dan adanya pergeseran cairan, maka maintenance solution dapat
digunakan. Untuk semua prosedur yang lain Ringer Lactate biasa
digunakan untuk pemeliharaan cairan. Idealnya, kehilangan darah harus
digantikan dengan cairan kristaloid atau koloid untuk memelihara
volume cairan intravascular ( normovolemia) sampai bahaya anemia
berberat lebih (dibanding) resiko transfusi. Pada kehilangan darah dapat
diganti dengan transfuse sel darah merah. Transfusi dapat diberikan pada
Hb 7-8 g/dL (hematocrit 21 - 24%).
Hb < 7 g/dL cardiac output meningkat untuk menjaga agar transport
Oksigen tetap normal. Hb 10 g/dL biasanya pada pasien orang tua dan
penyakit yang berhubungan dengan jantung dan paru-paru. Batas lebih
tinggi mungkin digunakan jika diperkirakan ada kehilangan darah yang
terus menerus. Dalam prakteknya, banyak dokter memberi Ringer Laktat
kira-kira 3-4 kali dari banyaknya darah yang hilang, dan cairan koloid
dengan perbandingan 1:1 sampai dicapai Hb yang diharapkan.
Tabel. Perkiraan Volume Darah Rata-Rata (Average Blood Volumes)
Umur Volume Darah
NEONATES
PREMATURE 95 ML/KG
FULL-TERM 85 ML/KG
INFANTS 80 ML/KG
ADULTS
MEN 75ML/KG
WOMAN 65 ML/KG
Pada keadaan ini kehilangan darah dapat diganti dengan Packed red
blood cell.
Banyaknya transfusi dapat ditentukan dari hematocrit preoperatif dan
dengan perkiraan volume darah. Pasien dengan hematocrit normal
biasanya ditransfusi hanya setelah kehilangan darah >10-20% dari
volume darah mereka. Sebenarnya tergantung daripada kondisi pasien]
dan prosedur dari pembedahan . Perlu diketahui jumlah darah yang
hilang untuk penurunan hematocrit sampai 30%, dapat dihitung sebagai
berikut: Estimasi volume darah dari Tabel 29-5.
Estimasi volume sel darah merah (RBCV) hematocrit preoperative (RBCV preop).
Estimasi RBCV pada hematocrit 30% ( RBCV30%), untuk menjaga volume darah normal.
Memperkirakan volume sel darah merah yang hilang ketika hematocrit 30% adalah RBCV lost = RBCV preop - RBCV 30%.
Perkiraan jumlah darah yang hilang = RBCV lost X 3
Contoh :
Seorang perempuan 85 kg mempunyai suatu hematocrit preoperatif
35%. Berapa banyak jumah darah yang hilang untuk menurunkan
hematocritnya sampai 30%?
Volume Darah yang diperkirakan = 65 mL/kg x 85 kg = 5525 ml.
RBCV 35 % = 5525 x 35 % = 1934 mL.
RBCV30% = 5525 x 30 % = 1658 mL
Kehilangan sel darah merah pada 30% = 1934 - 1658 = 276 mL.
Perkiraan jumlah darah yang hilang = 3 x 276 mL = 828 mL.
Oleh karena itu, transfusi harus dipertimbangkan hanya jika pasien
kehilangan darah melebihi 800 ml. Transfusi tidak direkomendasikan
sampai terjadi penurunan hematocrit hingga 24% (hemoglobin < 8.0
g/dL), tetapi ini diperlukan untuk menghitung banyaknya darah yang
hilang, contohnya pada penyakit jantung dimana diberikan transfusi jika
kehilangan darah 800 mL.
Tabel. Redistribusi dan evaporasi kehilangn cairan saat pembedahan
DERAJAT DARI TRAUMA JARINGAN PENAMBAHAN
CAIRAN
MINIMAL (contoh hernioraphy) 0 – 2 ml/Kg
SEDANG ( contoh cholecystectomy) 2 – 4 ml/Kg
BERAT (contohreseksi usus) 4 – 8 ml/Kg
Petunjuk lain yang biasa digunakan sebagai berikut:
1. Satu unit sel darah merah sel akan meningkatkan
hemoglobin 1 g/dL dan hematocrit 2-3% (pada orang dewasa);
dan
2. 10mL/kg transfusi sel darah merah akan
meningkatkan hemoglobin 3g/dL dan hematocrit 10%.
Menggantikan Hilangnya Cairan Redistribusi dan Evaporasi
Sebab kehilangan cairan ini dihubungkan dengan ukuran luka dan
tingkat manipulasi dan pembedahan, dapat digolongkan menurut derajat
trauma jaringan. Kehilangan cairan tambahan ini dapat digantikan
menurut tabel di atas, berdasar pada apakah trauma jaringan adalah
minimal, moderat, atau berat. Ini hanyalah petunjuk, dan kebutuhan
yang sebenarnya bervariasi pada masing-masing pasien.
TRANSFUSI
GOLONGAN DARAH
Membran sel darah merah berisi sedikitnya 300 faktor penentu antigenic
berbeda. Sedikitnya 20 antigen golongan darah terpisah dapat dikenal;
tanda dari masing-masing adalah di bawah control genetic dari
chromosom loci. Kebetulan, hanya ABO dan Rh Sistem yang penting
pada transfusi darah. Setiap orang biasanya menghasilkan antibody
( alloantibodies). Antibodi bertanggung jawab untuk reaksi-reaksi dari
transfusi. Antibodi dapat menjadi “alami” atau sebagai respon atas
sensitisasi dari suatu kehamilan atau transfusi sebelumnya.
Sistem ABO
Kromosomal untuk sistem ABO ini menghasilkan dua alleles: A dan B.
Masing-masing merepresentasikan suatu enzim yang merupakan
modifikasi dari suatu permukaan sel glycoprotein, menghasilkan antigen
yang berbeda. (Sebenarnya, ada berbagai varian A dan B.) Hampir
semua individu tidak mempunyai A atau B " natural" yang menghasilkan
antibody [ sebagian besar immu-noglobulin M ( IgM)] melawan antigens
( Tabel 29-7) di dalam tahun pertama kehidupan. Antigen H adalah
precursor dari system ABO tetapi diproduksi oleh suatu chromosom
tempat berbeda. Tidak adanya antigen H( hh genotype, juga
disebut Bombay pheno-type) mencegah munculny gen A atau B;
individu dengan kondisi sangat jarang ini akan mempunyai anti-A, anti-
B, dan anti-H antibodi.
Sistem Rh
Sistem Rh ditandai oleh dua gen yang menempati chromosome. Ada
sekitar 46 Rh-berhubungan dengan antigens, tetapi secara klinis, ada
lima antigen utama ( D, C, c, E, dan e) dan menyesuaikan dengan
antibody .Biasanya, ada atau tidak allele yang paling immunogenic dan
umum, D antigen, dipertimbangkan. Kira-Kira 80-85% tentang populasi
orang kulit putih mempunyai antigen D. Individu yang kekurangan allele
ini disebut Rh-Negative dan biasanya antibodi akan melawan antigen D
hanya setelah terpapar oleh ( Rh-Positive) transfusi sebelumnya atau
kehamilan ( seorang Ibu Rh-Negative melahirkan bayi Rh-Positive).
Sistem Lain
Sistem lain ini meliputi antigen Lewis, P, li, MNS, Kidd, Kell, Duffy,
Lutheran, Xg, Sid, Cartright, YK, dan Chido Rodgers antigens.
Kebetulan, dengan beberapa perkecualian ( Kell, Kidd, Duffy, Dan),
alloantibodi melawan sistem ini jarang menyebabkan reaksi hemolytic
serius.
TES KOMPATIBILITAS
Tujuan tes ini adalah untuk memprediksi dan untuk mencegah reaksi
antigen-antibody sebagai hasil transfusi sel darah merah. Donor dan
penerima donor darah harus di periksa adanya antibody yang tidak baik.
Tabel. Golongan darah ABO
TIPE Adanya antibodi dalam serum Insidensi*
A anti– B 45%
B anti – A 8%
AB - 4%
O anti A, anti–B 43%
* angka rata-rata pada orang di Eropa
Tes ABO-Rh
Reaksi Transfusi yang paling berat adalah yang berhubungan dengan
inkompatibilitas ABO; antibody yang didapat secara alami dapat
bereaksi melawan antigen dari transfusi (asing), mengaktifkan
komplemen, dan mengakibatkan hemolisis intravascular. Sel darah
merah pasien diuji dengan serum yang dikenal mempunyai antibody
melawan A dan B untuk menentukan jenis darah. Oleh karena prevalensi
secara umum antibodi ABO alami, konfirmasi jenis darah kemudian
dibuat dengan menguji serum pasien melawan sel darah merah dengan
antigen yang dikenal.
Sel darah merah pasien juga diuji dengan antibody anti-D untuk
menentukan Rh. Jika hasilnya adalah Rh-Negative, adanya antibodi anti-
D d dapat diuji dengan mencampur serum pasien dengan sel darah
merah Rh (+).Kemungkinan berkembangnya antibodi anti-D setelah
paparan pertama pada antigen Rh adalah 50-70%.
Crossmatching
Suatu crossmatch transfusi: sel donor dicampur dengan serum penerima.
Crossmatch mempunyai tiga fungsi: ( 1) Konfirmasi jenis ABO dan Rh (
kurang dari 5 menit), ( 2) mendeteksi antibodi pada golongan darah lain ,
dan ( 3) mendeteksi antibody dengan titer rendah atau tidak terjadi
aglutinasi mudah. Yang dua terakhir memerlukan sedikitnya 45 menit.
Screening Antibodi
Tujuan test ini adalah untuk mendeteksi dalam serum adanya antibodi
yang biasanya dihubungkan dengan reaksi hemolitik non-ABO. Test ini
( dikenal juga Coombs Tes tidak langsung) memerlukan 45 menit dan
dengan mencampur serum pasien dengan sel darah merah dari antigen
yang dikenal; jika ada antibodi spesifik, membran sel darah merah
dilapisi, dan penambahan dari suatu antibodi antiglobulin menghasilkan
aglutinasi sel daraah. Screening ini rutin dilakukan pada seluruh donor
darah dan dilakukan untuk penerima donor sebagai ganti dari crossmatch
.
Type & Crossmatch versus Type & ScreenTimbulnya suatu reaksi
hemolytic yang serius setelah transfusi dari ABO- dan Rh-Compatible
Transfusi dengan screening negatif tetapi tanpa crossmatch kurang dari
1%. Crossmatching, bagaimanapun, meyakinkan pentingnya kemanan
yang optimal dan mendeteksi adanya antibody yang lain yang muncul
dalam screening. Crossmatch kini dilakukan hanya untuk prosedur
operasi elektif dg kemungkinan transfusi darah. Oleh karena waktunya
sekitar 45 menit jika sebelumnya prosedur dua type dan screen telah
didokumentasikan, pada beberapa Center telah memulai crossmatch
secara komputer.
Pemesanan Darah Untuk OperasiKebanyakan rumah sakit menyusun
daftar operasi yang akan dilakukan dan yang maksimum jumlah unit
yang dapat dicrossmatch preoperati. Seperti pada praktek mencegah
berlebihan Crossmatching darah. Daftar pada umumnya didasarkan pada
masing-masing pengalaman institusi. Suatu crossmatch-to-transfusion
perbandingan kurang dari 2.5:1 dipertimbangkan bisa diterima. Hanya
suatu type and screen dilakukan jika timbulnya transfusi untuk suatu
prosedur kurang dari 10%. Jika transfusi diperlukan, dilakukan cross-
match . Pinjaman secara khas dibuat untuk pasien anemic dan mereka
yang mempunyai kelainan pembekuan.
TRANSFUSI DALAM KEADAAN DARURAT
Ketika pasien sedang exsanguinating, kebutuhan transfusi terjadi
sebelum penyelesaian suatu crossmatch, penyaringan , atau bahkan
identifikasi tipe darah. Jika jenis darah pasien sudah dikenal, dilakukan
crossmatch kurang dari 5 menit, akan mengkonfirmasikan kompatibilitas
ABO. Jika jenis darah penerima tidak dikenal dan transfusi harus
dimulai sebelum penentuan, jenis O Rh-Negative darah mungkin bisa
digunakan.
BANK DARAH
Darah dari pendonor disaring untuk mengeluarkan zat-zat yang dapat
mempengaruhi kondisi medis yang kurang baik bagi penerima donor.
Hematocrit ditentukan, jika >37% untuk allogeneic atau 32% untuk
donor autologous, darah dikumpulkan, diidentifikasi, disaring untuk
antibodi, dan dilakukan pengujian adanya Hepatitis B, Hepatitis C,
sipilis,human T cell leukemia virus ( HTLV)-1 dan HTLV-2, dan
Human immunodeficiency virus ( HIV)-1 dan HIV-2. Kebanyakan pusat
penelitian sedang melakukan tes terhadap asam nucleat virus RNA untuk
mendeteksi Hepatitis B dan C dan virus HIV ,dan sedang melakukan
deteksi terhadap West Nile Virus. Ada test yang sangat sensitif, dan
mereka perlu membatasi virus dengan window positif tetapi test negatif.
Pertama, darah dikumpulkan kemudian tambahkan larutan anticoagulant.
Larutan yang paling umum digunakan adalah CPDA-1, yang berisi sitrat
sebagai antikoagulan (berikatan dengan Calcium), fosfat sebagai buffer,
dextrose sebagai sumber energi sel darah merah, dan adenosine sebagai
precursor dari sintesa ATP.
Darah dengan CPDA-1- dapat disimpan untuk 35 hari, setelah
kelangsungan hidup sel darah merah dengan cepat berkurang. Sebagai
alternatif, penggunaan AS-1 ( Adsol) atau AS-3 ( Nutrice) meluas umur
rata-rata 6 minggu.
Semua unit yang dikumpulkan dipisahkan ke masing-masing komponen,
yang diberi nama, sel darah merah, platelets, dan plasma.
Ketika disentrifuge, 1 unit Whole blood utuh menghasilkan sekitar 250
mL packed red blood cel ( hematocrit 70%); mengikuti penambahan
larutan saline, volume suatu unit packed red cell sering mencapai 350
mL. Sel darah merah secara normal disimpan pada 1-6°C. Sel darah
merah dapat dibekukan dalam larutan glycerol hypertonis sampai 10
tahun. Teknik yang belakangan pada umumnya disediakan untuk
penyimpanan darah dengan phenotypes jarang. Supernatant disentrifuge
untuk menghasilkan platelets dan plasma. 1 Unit platelets yang diperoleh
biasanya berisi 50-70 mL plasma dan dapat disimpan pada 20- 24°C
untuk 5 hari. Sisa plasma supernatant diproses dan dibekukan untuk
menghasilkan Fresh frozen plasma; pembekuan cepat mencegah
inaktifasi faktor pembekuan ( V dan VIII). Pencairan yang lambat dari
Fresh frozen plasma menghasilkan suatu gelatin presipitat (cryo-
precipitate) yang berisi faktor VIII dan fibrinogen dengan konsentrasi
tinggi. Ketika dipisahkan, cryoprecipitate ini dapat dibekukan kembali
untuk disimpan. Satu unit darah menghasilkan sekitar 200 mL plasma,
yang mana dapat dibekukan untuk disimpan; sekali ketika, harus
ditransfusi dalam 24 jam. Platelets boleh sebagai alternatif untuk
mencapai plateletpheresis, yang ekuivalen dengan enam unit reguler dari
pasien .
TRANSFUSI INTRAOPERATIF
Packed Red Blood Cells
Transfusi darah sebaiknya diberikan packed red cell, dan dapat
mengoptimalkan penggunaan dan pemanfaatan bank darah. Packed Red
Blood Cell ideal untuk pasien yang memerlukan sel darah merah tetapi
tidak penggantian volume ( misalnya, pasien anemia dengan congestive
heart failure). Pasien yang dioperasi memerlukan cairan seperti halnya
sel darah merah; kristaloid dapat diberikan dengan infuse secara
bersama-sama dengan jalur intravena yang kedua untuk penggantian
volume cairan.
Sebelum transfusi, masing-masing unit harus diperiksa secara hati-hati
dicek dengan kartu dari bank darah dan identitas dari penerima donor
darah. Tabung transfusi berisi 170-J.m untuk menyaring gumpalan atau
kotoran. Dengan ukuran sama dan saringan berbeda digunakan untuk
mengurangi leukocyte isi untuk mencegah febrile reaksi transfusi febrile
pada pasien yang sensitif. Darah untuk transfusi intraoperative harus
dihangatkan sampai 37°C. terutama jika lebih dari 2-3 unit yang akan
ditransfusi; jika tidak akan menyebabkan hypothermia. Efek tambahan
hypothermia dan secara khas 2,3-diphosphoglycerate ( 2,3-DPG)
konsentrasi rendah dalam darah yang disimpan dapat menyebabkan
suatu pergeseran kekiri ditandai hemoglobin-oxygen kurva-disosiasi dan,
menyebabkan hipoxia jaringan. Penghangat darah harus bisa menjaga
suhu darah > 30°C bahkan pada aliran rata-rata sampai 150 ml/menit
Fresh Frozen Plasma
Fresh Frozen Plasma ( FFP) berisi semua protein plasma, termasuk
semua factor pembekuan. Transfusi FFP ditandai penanganan defisiensi
faktor terisolasi, pembalikan warfarin therapy, dan koreksi coagulopathy
berhubungan dengan penyakit hati. Masing-Masing unit FFP biasanya
meningkatkan faktor pembekuan 2-3% pada orang dewasa. Pada
umumnya dosis awal 10-15 mL/kg. Tujuannya adalah untuk mencapai
30% dari konsentrasi faktor pembekuan yang normal.
FFP boleh digunakan pada pasien yang sudah menerima transfusi darah
masive. Pasien dengan defisiensi ANTI-THROMBIN III atau purpura
thrombocyto-penic thrombotic dapat diberikan FFP transfusi.
Masing-Masing unit FFP membawa resiko cepat menyebar yang sama
sebagai unit darah utuh. Sebagai tambahan, pasien dapat menjadi peka
terhadap protein plasma. ABO-COMPATIBLE biasanya diberi tetapi
tidak wajib. Seperti butir-butir darah merah, FFP biasanya dihangatkan
37°C sebelum transfusi.
Platelets
Transfusi Platelet harus diberikan kepada pasien dengan
thrombocytopenia atau dysfunctional platelets dengan pendarahan.
Profilaxis Transfusi trombosit dapat diberikan pada pasien dengan
hitung trombosit 10,000-20,000 oleh karena resiko perdarahan spontan.
Hitung trombosit kurang dari 50,000 x 109/L dihubungkan dengan
peningkatan perdarahan selama pembedahan. Pasien dengan
thrombocytopenia yang mengalami pembedahan atau prosedur invasive
harus diberikan profilaxis transfusi trombosit sebelum operasi, hitung
trombosit harus meningkat diatas 100,000 x 109/L. Persalinan
pervaginam dan prosedur bedah minor dapat dilakukan pada pasien
dengan hitung trombosit yang agak rendah tapi fungsi trombosit normal
dan hitung trombosit >50,000 x 109/L.
Masing-Masing unit platelets mungkin diharapkan untuk meningkatkan
10,000-20,000 x 109/L dari trombosit. Plateletpheresis unit berisi yang
sejenisnya enam unit donor tunggal. Peningkatan lebih sedikit dapat
diharapkan pasien dengan suatu sejarah platelet transfusi. Disfungsi
dapat meningkatkan perdarahan pada pembedahan bahkan ketika
trombosit normal dan dapat didiagnosa preoperative dengan memeriksa
masa perdarahan. . Transfusi. Platelet diindikasikan pada pasien dengan
disfungsi trombosit dan meningkatkan perdarahan pada pembedahan.
ABO-compatible platelet transfusi adalah diinginkan tetapi tidak perlu.
Transfused Platelets biasanya survive hanya 1-7 hari yang mengikuti
transfusi. ABO kompatibel dapat meningkatkan platelet survival. Rh
sensitisasi dapat terjadi di Rh-Negative donor dalam kaitan dengan
adanyanit donor tunggal. Peningkatan lebih sedikit dapat diharapkan
pasien dengan suatu sejarah platelet transfusi. Disfungsi dapat
meningkatkan perdarahan pada pembedahan bahkan ketika trombosit
normal dan dapat didiagnosa preoperative dengan memeriksa masa
perdarahan. . Transfusi. Platelet diindikasikan pada pasien dengan
disfungsi trombosit dan meningkatkan perdarahan pada pembedahan.
ABO-compatible platelet transfusi adalah diinginkan tetapi tidak perlu.
Transfused Platelets biasanya survive hanya 1-7 hari yang mengikuti
transfusi. ABO kompatibel dapat meningkatkan platelet survival. Rh
sensitisasi dapat terjadi di Rh-Negative donor dalam kaitan dengan
adanya beberapa butir-butir darah merah di (dalam) Rh-Positive platelet
Unit. Lebih dari itu, anti-A atau anti-B zat darah penyerang kuman di
(dalam) yang 70 mL plasma pada setiap platelet unit dapat menyebabkan
suatu reaksi hemolytic melawan terhadap butir-butir darah merah
penerima ketika sejumlah besar ABO-incompatible platelet unit diberi.
Administrasi Rh immuno-globulin ke Rh-Negative Individu dapat
melindungi dari Rh sensitisasi yang mengikuti Rh-Positive platelet
Transfusi. Pasien yang kembang;kan zat darah penyerang kuman
melawan terhadap HLA antigens lymphocytes di (dalam) platelet
berkonsentrasi) atau platelet spesifik antigens memerlukan HLA-
COMPATIBLE atau single-donor unit. Penggunaan plateletpheresis
transfusi boleh ber/kurang kemungkinan sensitisasi.
Transfusi Granulosit
Transfusi Granulosit, yang dibuat dengan leukapheresis, diindikasikan
pada pasien neutropenia dengan infeksi bakteri yang tidak respon
dengan antibiotik. Transfusi granulosit mempunyai masa hidup dalam
sirkulasi sangat pendek, sedemikian sehingga sehari-hari transfusi 1010
granulocytes pada umumnya diperlukan. Iradiasi dari granulosit
menurunkan insiden timbulnya reaksi graft-versus-host , kerusakan
endothelial berhubungan dengan paru-paru, dan lain permasalahan
berhubungan dengan transfusi leukosit (lihat di bawah), tetapi
mempengaruhi fungsi granulosit. Ketersediaan filgrastim ( granulocyte
colony-stimulating faktor, atau G-CSF) dan sargramostim ( granulocyte-
macrophage colony-stimulating faktor, atau GM-CSF) telah sangat
mengurangi penggunaan transfusi granulosit.
KOMPLIKASI TRANSFUSI
A. Komplikasi Imun
Komplikasi imun setelah transfusi darah terutama berkaitan dengan
sensitisasi donor ke sel darah merah, lekosit, trombosit atau protein
plasma.
1. Reaksi HemolyticReaksi Hemolytic pada umumnya melibatkan
destruksi spesifik dari sel darah merah yang ditransfusikan oleh antibody
resipien. Lebih sedikit biasanya, hemolysis sel darah merah resipien
terjadi sebagai hasil transfusi antibody sel darah merah.Trombosit
konsentrat yang inkompatible, FFP, clotting faktor, atau cryoprecipitate
berisi sejumlah kecil plasma dengan anti-A atau anti-B ( atau kedua-
duanya) alloantibodies. Transfusi dalam jumlah besar dapat
menyebabkan hemolisis intravascular.
Reaksi Hemolytic biasanya digolongkan akut ( intravascular) atau
delayed ( extravascular).
Reaksi Hemolytic AkutHemolisis Intravascular akut pada umumnya
berhubungan dengan Inkompatibilitas ABO dan frekwensi yang
dilaporkan kira-kira 1:38,000 transfusi. Penyebab yang paling umum
adalah misidentifikasi suatu pasien, spesimen darah, atau unit transfusi.
Reaksi ini adalah yang terberat. Resiko suatu reaksi hemolytic fatal
terjadi 1 dalam 100,000 transfusi. Pada pasien yang sadar, gejala
meliputi rasa dingin, demam, nausea, dan sakit dada. Pada pasien yang
dianestesi, manifestasi dari suatu reaksi hemolytic akut adalah suhu
meningkat, tachycardia tak dapat dijelaskan , hipotensi, hemoglobinuria,
dan oozing yang difus dari lapangan operasi. Disseminated Intravascular
Coagulation, shock, dan penurunan fungsi ginjal dapat berkembang
dengan cepat. Beratnya suatu reaksi seringkali tergantung pada berapa
banyak darah yang inkompatibel yang sudah diberikan. Gejala yang
berat dapat terjadi setelah infuse 10 – 15 ml darah yang ABO
inkompatibel. Manajemen reaksi hemoiytic dapat simpulkan sebagai
berikut: Jika dicurigai suatu reaksi hemolytic, transfusi harus dihentikan dengan segera.
Darah harus di cek ulang dengan slip darah dan identitas pasien.
Kateter urin dipasang , dan urin harus dicek adanya hemoglobin.
Osmotic diuresis harus diaktipkan dengan mannitol dan cairan kedalam pembuluh darah.
Jika ada perdarahan akut, indikasi pemberian platelets dan FFP
Reaksi hemolytic lambatSuatu reaksi hemolytic lambat biasanya disebut
hemolysis extravascular biasanya ringan dan disebabkan oleh antibody
non D antigen Sistem Rh atau ke asing alleles di system lain seperti Kell,
Duffy, atau Kidd antigens. Berikut suatu transfusi ABO dan Rh D-
compatible,pasien mempunyai 1-1.6% kesempatan membentuk antibody
untuk melawan antigen asing. Pada saat itu
Sejumlah antibody ini sudah terbentuk ( beberapa minggu sampai
beberapa bulan), tranfusi sel darah telah dibersihkan dari sirkulasi. Lebih
dari itu, titer antibody menurun dan mungkin tidak terdeteksi. Terpapar
kembali dengan antigen asing yang sama selama transfuse sel darah,
dapat mencetuskan respon antibody melawan antigen asing. Peristiwa ini
dilihat jelas dengan Sistem Kidd antigen. Reaksi hemolytic pada tipe
lambat terjadi 2-21 hari setelah transfusi, dan gejala biasanya ringan,
terdiri dari malaise, jaundice, dan demam. Hematocrit pasien tidak
meningkat setelah transfusi dan tidak adanya perdarahan. Serum
bilirubin unconjugated meningkat sebagai hasil pemecahan hemoglobin.
Diagnosa antibody - reaksi hemolytic lambat mungkin difasilitasi oleh
antiglobulin (Coombs) Test. Coombs test mendeteksi adanya antibody di
membrane sel darah. Test ini tidak bisa membedakan antara membrane
antibody resipien pada sel darah merah dengan membrane antibody
donor pada sel darah merah. Jadi, ini memerlukan suatu pemeriksaan
ulang yang lebih terperinci pretransfusi pada kedua spesimen : pasien
dan donor.
Penanganan reaksi hemolytic lambat adalah suportif. Frekwensi reaksi
transfusi hemolytic lambat diperkirakan kira-kira 1:12,000 transfusi.
Kehamilan ( terpapar sel darah merah janin) dapat juga menyebabkan
pembentukan alloan-tibodies pada seldarah merah.
2. Reaksi Imun NonhemolitikReaksi imun Nonhemolytic adalah dalam
kaitan dengan sensitisasi dari resipien ke donor lekosit, platelets, atau
protein plasma.
Febrile Reaksi
Sensitisasi lekosit atau Platelet secara khas manifestasinya adalah reaksi
febrile. Reaksi ini umumnya ( 1-3% tentang episode transfusi) dan
ditandai oleh suatu peningkatan temperatur tanpa adanya hemolysis.
Pasien dengan suatu riwayat febrile berulang harus menerima tranfusi
lekosit saja. Transfusi sarah merahh dapat dibuat leukositnya kurang
dengan sentrifuge, filtration, atau teknik freeze-thaw.
Reaksi Urtikaria
Reaksi Urtikaria pada umumnya ditandai oleh erythema, penyakit gatal
bintik merah dan bengkak, dan menimbulkan rasa gatal tanpa demam.
Pada umumnya ( 1% tentang transfusi) dan dipikirkan berkaitan dengan
sensitisasi pasien ke transfusi protein plasma. Reaksi Urticaria dapat
diatasi dengan obat antihistamine ( H, dan mungkin H2 blockers) dan
steroids.
Reaksi Anafilaksis
Reaksi anafilaksis jarang terjadi (kurang lebih 150,000 transfusi). Reaksi
ini berat dan terjadi setelah hanya beberapa mililiter darah ditranfusi,
secara khas pada IgA- Pasien dengan Deficiensi anti-IgA yang
menerima tranfusi darah yang berisi IgA. Prevalensi defisiensi IgA
diperkirakan 1:600-800 pada populasi yang umum. Reaksi ini diatasi
dengan pemberian epinephrine, cairan, corticosteroids, dan H1, dan H2
blockers. Pasien dengan defisiensi IgAperlu menerima Washed Packed
Red Cells, deglycerolized frozen red cells, atau IgA-Free blood Unit .
Edema Pulmonary Noncardiogenic
Sindrom acute lung injury (Transfusion-Related Acute Lung Injury
[ TRALI]) merupakan komplikasi yang jarang terjadi(< 1:10,000). Ini
berkaitan dengan transfusi antileukocytic atau anti-HLA antibodi yang
saling berhubungan dan menyebabkan sel darah putih pasien teragregasi
di sirkulasi pulmoner.Tranfusi sel darah putih dapat berinteraksi dengan
leukoaglutinin. Perawatan Awal TRALI adalah sama dengan Acute
Respiratory distress syndrome ( ARDS), tetapi dapat sembuh dalam 12-
48 jam dengan therapy suportif.
Graft versus Host Disease
Reaksi jenis ini dapat dilihat pada pasien immune-compromised. Produk
sel darah berisi lymfosit mampu mengaktifkan respon imun. Penggunaan
filter leukosit khusus sendiri tidak dapat dipercaya mencegah penyakit
graft-versus-host; iradiasi ( 1500-3000 cGy) sel darah merah,
granulocyte, dan transfusi platelet secara efektif menginaktifasi lymfosit
tanpa mengubahefikasi dari transfusi.
Purpura Posttransfusi
Thrombocytopenia jarang terjadi setelah transfusi darah dan ini
berkaitan dengan berkembangnya alloantibody trombosit. Karena alasan
yang tidak jelas, antibodi menghancurkan trombosit. Hitung trombosit
secara jelas menurun 1 minggu setelah tranfusi. Plasmapheresis dalam
hal ini dianjurkan.
Imun Supresi
Transfusi leukosit-merupakan produk darah dapat sebagai
immunosuppressi. Ini adalah terlihat jelas pada penerima cangkok ginjal,
di mana transfusi darah preoperatif nampak untuk meningkatkan
survival dari graft. Beberapa studi menyatakan bahwa rekurensi dari
pertumbuhan malignan mungkin lebih mirip pada pasien yang menerima
transfusi darah selamapembedahan. Dari kejadian yang ada juga
menyatakan bahwa tranfusi leukocyte allogenic dapat mengaktifkan
virus laten pada resipien. Pada akhirnya, transfusi darah dapat
meningkatkan timbulnya infeksi yang serius setelah pembedahan atau
trauma.
B. Komplikasi Infeksi
1. Infeksi virus
HepatitisSampai tes rutin untuk virus hepatitis telah diterapkan,
insidensi timbulnya hepatitis setelah transfusi darah 7-10%. Sedikitnya
90% tentang kasus ini adalah dalam kaitan dengan hepatitis C virus.
Timbulnya hepatitis posttransfusi antarab 1:63,000 dan 1:1,600,000;
75% tentang kasus ini adalah anicteric, dan sedikitnya 50%
berkembang;menjadi penyakit hati kronis. Lebih dari itu, tentang
kelompok yang terakhir ini, sedikitnya 10-20% berkembang menjadi
cirrhosis.
Acquired Immunodeficiency Syndrome ( AIDS )Virus yang
bertanggung jawab untuk penyakit ini, HIV-1, ditularkan melalui
transfusi darah. Semua darah dites untuk mengetahui adanya anti-HIV-1
dan - 2 antibodi . Dengan adanya FDA yang menguji asam nukleat
memperkecil waktu kurang dari satu minggu dan menurunkan resiko
dari penularan HIV melalui tranfusi 1:1.900.000 tranfusi.
Infeksi Virus LainCytomegalovirus (CMV) dan Epstein-Barr Virus
umumnya menyebabkan penyakit sistemik ringan atau
asimptomatik.Yang kurang menguntungkan, pada beberapa individu
menjadi pembawa infeksi asimptomatik; lekosit dalam darah dari donor
dapat menularkan virus. Pasien immunosupresi dan Immunocompromise
( misalnya, bayi prematur dan penerima transplantasi organ ) peka
terhadap infeksi CMV berat setelah tranfusi. Idealnya, . pasien- pasien
menerima hanya CMV negative. Bagaimanapun, studi terbaru
menunjukkan bahwa resiko transmisi CMV dari transfusi dari darah
yang leukositnya berkurang sama dengan tes darah yang CMV negative.
Oleh karena itu, pemberian darah dengan leukosit yang dikurangi secara
klinis cocok diberikan pada pasien seperti itu. Human T sel virus
lymphotropic I dan II ( HTLV-1 dan HTLV-2) adalah leukemia dan
lymphoma virus, kedua-duanya telah dilaporkan ditularkan melalui
transfusi darah; leukemia dihubungkan dengan myelopathy. Penularan
Parvovirus telah dilaporkan setelah transfusi faktor pembekuan. dan
dapat mengakibatkan krisis transient aplastic pada pasient
immunocompromised. Penggunaan filter leukosit khusus nampaknya
mengurangi tetapi tidak mengeliminasi timbulnya komplikasi di atas.
2. Infeksi parasit
Penyakit parasit yang dapat ditularkan melalui transfusi seperti malaria,
toxoplasmosis, dan Penyakit Chagas'. Namun kasus-kasus tersebut
jarang terjadi.
3. Infeksi Bakteri
Kontaminasi bakteri dalam adalah penyebab kedua kematian melalui
transfusi. Prevalensi kultur positif dari kantong darah berkisar dari
1/2000 trombosit sampai 1/7000 untuk pRBC. Prevalensi sepsis oleh
karena transfusi darah berkisar dari 1/25,000 tromobosit sampai
1/250,000 untuk pRBC. Angka-angka ini secara relatif besar
dibandingkan ke resiko HIV atau hepatitis, yang adalah di sekitar 1/1-2
juta. Baik bakteri gram-positive ( Staphylococus) dan bakteri gram-
negative ( Yersinia dan Citrobacter) jarang mencemari transfusi darah
dan menularkan penyakit. Untuk mencegah kemungkinan kontaminasi
dari bakteri, darah harus berikan dalam waktu kurang dari 4 jam.
Penyakit bakteri yang ditularkan melalui transfusi darah dari donor
meliputi sifilis, brucellosis, salmonellosis, yersiniosis, dan berbagai
macam rickettsia.
C. Transfusi Darah MasifTransfusi darah masif umumnya
didefinisikan sebagai kebutuhan transfusi satu sampai dua kali volume
darah pasien. Pada kebanyakan pasien dewasa, equivalent dengan 10-20
unit.
KoagulopatiPenyebab utama perdarahan setelah transfusi darah masif
adalah dilutional thrombocytopenia. Secara klinis dilusi dari factor
koagulasi tidak biasa terjadi pada pasien normal. Studi Koagulasi dan
hitung trombosit, jika tersedia, idealnya menjadi acuan transfusi
trombosit dan FFP. Analisa Viscoelastic dari pembekuan darah
(thromboelastography dan Sonoclot Analisa) juga bermanfaat.
Keracunan SitratKalsium berikatan dengan bahan pengawet sitrat
secara teoritis dapat menjadi penting setelah transfusi darah dalam
jumlah besar. Secara klinis hypocalcemia penting, karena menyebabkan
depresi jantung, tidak terjadi pada pasien normal kecuali jika transfusi
melebihi 1 U tiap-tiap 5 menit. Sebab metabolisme sitrat terutama di
hepar, pasien dengan penyakit atau disfungsi hepar ( dan kemungkinan
pada pasien hipothermi) memerlukan infuse calcium selama transfusi
massif ).
Hypothermia
Transfusi Darah massif adalah merupakan indikasi mutlak untuk semua
produk darah cairan intravena hangat ke temperatur badan normal.
Arhitmia Ventricular dapat menjadi fibrilasi ,sering terjadi pada
temperatur sekitar 30°C. Hypothermia dapat menghambat resusitasi
jantung. Penggunaan alat infus cepat dengan pemindahan panas yang
efisien sangat efisien telah sungguh mengurangi timbulnya insiden
hypothermia yang terkait dengan transfusi.
Keseimbangan asam basa Walaupun darah yang disimpan adalah
bersifat asam dalam kaitan dengan antikoagulan asam sitrat dan
akumulasi dari metabolit sel darah merahs (carbondioxida dan asam
laktat), berkenaan dengan metabolisme acidosis metabolik yang
berkaitan dengan transfusi tidaklah umum. Yang terbanyak dari kelainan
asam basa setelah tranfusi darah massif adalah alkalosis metabolic
postoperative.Ketika perfusi normal diperbaiki, asidosis metabolic
berakhir dan alkalosis metabolic progresif terjadi, sitrat dan laktat yang
ada dalam tranfusi dan cairan resusitasi diubah menjadi bikarbonat oleh
hepar.
Konsentrasi Kalium Serum Konsentrasi kalium Extracellular dalam
darah yang disimpan meningkat dengan waktu. Jumlah kalium
extracellular yang transfusi pada unit masing-msaing kurang dari 4 mEq
perunit. Hyperkalemia dapat berkembang dengan mengabaikan umur
darah ketika transfusi melebihi 100 mL/min. Hypokalemia biasanya
ditemui sesudah operasi, terutama sekali dihubungkan dengan alkalosis
metabolisme.
STRATEGI ALTERNATIF UNTUK PENAGANAN
KEHILANGAN DARAH SELAMA PEMBEDAHAN
Transfusi Autologous
Pasien yang mengalami prosedur pembedahan elektif dengan suatu
kemungkinan tinggi untuk transfusi dapat mendonorkan darah mereka
sendiri untuk digunakan selama operasi. Darah ini dapat dikumpulkan
mulai 4-5 minggu sebelum operasi. Pasien diperbolehkan untuk
mendonorkan satu kantong darah sepanjang hematokrit kurang lebih
34% atau hemoglobin sekitar 11 g/dl. Kebutuhan pemakaian darah
minimum 72 jam antara mendonorkan darah dan membuat volume
plasma kembali normal. Dengan suplementasi besi dan terapi
eritropoetin rekombinan ( 400 U perminggu), sedikitnya tiga atau empat
unit pada umumnya dikumpulkan sebelum operasi. Beberapa studi
menyatakan bahwa transfusi darah autologous tidak mempunyai efek
tambahan yang mempengaruhi survival pada pasien yang mengalami
operasi untuk kanker. Walaupun transfusi autologous mungkin
mengurangi resiko infeksi dan reaksi transfusi, mereka tidaklah dengan
sepenuhnya bebas dari resiko. Resiko meliputi reaksi immunologi yang
berhubungan dengan n kesalahan pekerjaan karyawan dalam
pengumpulan dan label, pencemaran, dan gudang/penyimpanan yang
tidak benar. Reaksi alergi dapat terjadi dalam kaitan dengan allergen
(misalnya, ethylen oksida), dapat masuk kedalam darah dari tempat
pengumpulan dan gudang/penyimpanan. Pengumpulan darah
preoperative autologous dilakukan dengan frekwensi berkurang.
Penyimpanan Darah dan Pemberian Cairan Melalui Infus
Berulang
Teknik ini umumnya digunakan pada bedah jantung, vascular dan bedah
tulang. Darah di aspirasi intraoperatif bersama-sama dengan suatu
pencegah pembekuan darah ( heparin) ke dalam suatu reservoir. Setelah
jumlah darah cukup dikumpulkan, sel darah yang merah di
konsentratkan dan dicuci untuk dimurnikan dari kotoran dan zat
pembeku kemudian di transfusikan kembali ke dalam pasien. Konsentrat
darah tersebut umumnya mempunyai hematocrits 50-60%. Untuk
digunakan secara efektif, teknik ini memerlukan kehilangan darah lebih
besar dari 1000-1500 mL. Kontrainidikasi meliputi pencemaran dari luka
yang busuk dan tumor malignan, meskipun demikian kekhawatiran
tentang kemungkinan reinfusi sel malignan via teknik tills tidak
dibenarkan. Sistem lebih modern dan sederhana memungkinkan rein-
fusion darah tanpa centrifugae.
Normovolemic Hemodilusi
Hemodilution normovolemic akut bergantung pada pendapat bahwa jika
konsentrasi sel darah merah dikurangi, total kehilangan sel darah merah
dapat dikurangi apabila darah dalam jumlah besar ditumpahkan; lebih
dari itu, cardiac output tetap normal sebab volume intravascuiar
terkontrol. Darah umumnya dikeluarkan sebelum operasi melalui kateter
intravena yang besar dan digantikan dengan cairan kristaloid dan koloid,
supaya pasien tetap normovolemic tetapi dengan hematocrit 21-25%.
Darah yang dikeluarkan disimpan dalam kantong CPD pada suhu sampai
6 jam untuk menjaga fungsi dari trombosit; darah di transfusikan
kembali ke pasien setelah kehilangan darah atau lebih cepat jika
diperlukan.
Donor - Transfusi Langsung
Pasien dapat meminta donor darah dari anggota keluarga atau teman
yang mengandung ABO kompatibilitas. Kebanyakan bank darah tidak
menyarankan hal ini dan umumnya memerlukan donor kurang lebih 7
hari sebelum operasi untuk memproses darah dan mengkonfirmasikan
kompatibilitas.
Studi yang membandingkan keamanan dari pendonor-langsung dengan
donor secara random tidak ada perbedaan, ataupun bank darah lebih
aman.
KONSEP UTAMA
1. Walaupun waktu paruh cairan kristaloid didalam
intravascular adalah 20-30 menit, kebanyakan cairan koloid
mempunyai waktu paruh antara 3-6 jam.
2. Pasien dengan hematocrit normal bisanya ditransfusi
hanya setelah kehilangan darah lebih dari 10-20% dari volume
darahnya. Ini berdasarkan kondisi medis pasien dan prosedur
pembedahan.
3. Reaksi transfusi yang paling berat yaitu yang
berhubungan dengan inkompatibilitas ABO, antibody yang
didapat secara alami dapat bereaksi melawan antigen dalam
transfusi (asing), mengaktifkan komplemen,dan
mengakibatkan hemolysis intravascular.
4. Pada pasien yang dianestesi, manifestasi dari reaksi
hemolytic akut adalah kenaikan temperatur, tachycardia yang
tak dapat dijelaskan,hypotensi, hemoglobinuria dan oozing
difus dari lapangan operasi.
5. Transfusi leukocit termasuk produk darah dapat
menjadi immunosuppressive.
6. Pasien immunosupresi dan immunocompromised
(misalnya, bayi premature dan penerima transplantasi organ)
terutama peka terhadap infeksi cytomegalovirus
(CMV) melalui transfusi. Seperti pasien yang hanya
menerima unit CMV-NEGATIVE.
7. Penyebab tersering pendarahan dari transfusi darah
yang massif adalah dilutional thrombocytopenia.
8. Secara klinis hypocalcemia, menyebabkan depresi
jantung, tidak terjadi pada pasien normal kecuali jika
transfusi melebihi 1 U tiap 5 menit.
9. Ketidakseimbangan asam basa yang paling sering
setelah transfusi darah masif adalah alkalosis metabolic post
operative.