minggu 4

24
INFUS CAIRAN INTRAVENA (Macam-Macam Cairan Infus) Infus cairan intravena (intravenous fluids infusion) adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh. Secara umum, keadaan-keadaan yang dapat memerlukan pemberian cairan infus adalah: 1. Perdarahan dalam jumlah banyak (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah) 2. Trauma abdomen (perut) berat (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah) 3. Fraktur (patah tulang), khususnya di pelvis (panggul) dan femur (paha) (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah) 4. “Serangan panas” (heat stroke) (kehilangan cairan tubuh pada dehidrasi) 5. Diare dan demam (mengakibatkan dehidrasi) 6. Luka bakar luas (kehilangan banyak cairan tubuh) 7. Semua trauma kepala, dada, dan tulang punggung (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah) Indikasi pemberian obat melalui jalur intravena antara lain: 1. Pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat melalui intravena langsung masuk ke dalam jalur peredaran darah. Misalnya pada kasus infeksi bakteri dalam peredaran darah (sepsis). Sehingga memberikan keuntungan lebih dibandingkan memberikan obat oral. Namun sering terjadi, meskipun pemberian antibiotika intravena hanya diindikasikan pada infeksi serius, rumah sakit memberikan antibiotika jenis ini tanpa melihat derajat infeksi. Antibiotika oral (dimakan biasa melalui mulut) pada kebanyakan pasien dirawat di RS dengan infeksi bakteri, sama efektifnya dengan antibiotika intravena, dan lebih menguntungkan dari segi kemudahan administrasi RS, biaya perawatan, dan lamanya perawatan. 2. Obat tersebut memiliki bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika dimasukkan melalui mulut) yang terbatas. Atau hanya tersedia dalam sediaan intravena (sebagai obat suntik). Misalnya antibiotika golongan aminoglikosida yang susunan kimiawinya “polications” dan sangat polar, sehingga tidak dapat diserap melalui jalur gastrointestinal (di usus hingga sampai masuk ke dalam darah). Maka harus dimasukkan ke dalam pembuluh darah langsung. 3. Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau memang tidak dapat menelan obat (ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti ini, perlu dipertimbangkan pemberian melalui jalur lain seperti rektal (anus), sublingual (di bawah lidah), subkutan (di bawah kulit), dan intramuskular (disuntikkan di otot). 4. Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedak—obat masuk ke pernapasan), sehingga pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan. 5. Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh balik/vena). Peningkatan cepat konsentrasi obat dalam darah tercapai. Misalnya pada orang yang mengalami hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada penderita diabetes mellitus. Alasan ini juga sering digunakan untuk pemberian antibiotika melalui infus/suntikan, namun perlu diingat bahwa banyak antibiotika memiliki bioavalaibilitas oral yang baik, dan mampu mencapai kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri. Indikasi Pemasangan Infus melalui Jalur Pembuluh Darah Vena (Peripheral Venous Cannulation) 1. Pemberian cairan intravena (intravenous fluids). 2. Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam darah) dalam jumlah terbatas. 3. Pemberian kantong darah dan produk darah. 4. Pemberian obat yang terus-menerus (kontinyu). 5. Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum prosedur (misalnya pada operasi besar dengan risiko perdarahan, dipasang jalur infus intravena untuk persiapan jika terjadi syok, juga untuk memudahkan pemberian obat) 6. Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya risiko dehidrasi (kekurangan cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum pembuluh darah kolaps (tidak teraba), sehingga tidak dapat dipasang jalur infus. Kontraindikasi dan Peringatan pada Pemasangan Infus Melalui Jalur Pembuluh Darah Vena 1. Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan infus. 2. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci darah). 3. Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki). Beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan infus: 1. Hematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya pembuluh darah arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum, atau “tusukan” berulang pada pembuluh darah. 2. Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan pembuluh darah), terjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah. 3. Tromboflebitis, atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi akibat infus yang dipasang tidak dipantau secara ketat dan benar. 4. Emboli udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah, terjadi akibat

Upload: deska-pertiwi

Post on 27-Nov-2015

9 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

testestes tes test

TRANSCRIPT

Page 1: minggu 4

INFUS CAIRAN INTRAVENA (Macam-Macam Cairan Infus)

Infus cairan intravena (intravenous fluids infusion) adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh.Secara umum, keadaan-keadaan yang dapat memerlukan pemberian cairan infus adalah:1. Perdarahan dalam jumlah banyak (kehilangan cairan

tubuh dan komponen darah)2. Trauma abdomen (perut) berat (kehilangan cairan tubuh

dan komponen darah)3. Fraktur (patah tulang), khususnya di pelvis (panggul) dan

femur (paha) (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)4. “Serangan panas” (heat stroke) (kehilangan cairan tubuh

pada dehidrasi)5. Diare dan demam (mengakibatkan dehidrasi)6. Luka bakar luas (kehilangan banyak cairan tubuh)7. Semua trauma kepala, dada, dan tulang punggung

(kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)Indikasi pemberian obat melalui jalur intravena antara lain:1. Pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat

melalui intravena langsung masuk ke dalam jalur peredaran darah. Misalnya pada kasus infeksi bakteri dalam peredaran darah (sepsis). Sehingga memberikan keuntungan lebih dibandingkan memberikan obat oral. Namun sering terjadi, meskipun pemberian antibiotika intravena hanya diindikasikan pada infeksi serius, rumah sakit memberikan antibiotika jenis ini tanpa melihat derajat infeksi. Antibiotika oral (dimakan biasa melalui mulut) pada kebanyakan pasien dirawat di RS dengan infeksi bakteri, sama efektifnya dengan antibiotika intravena, dan lebih menguntungkan dari segi kemudahan administrasi RS, biaya perawatan, dan lamanya perawatan.

2. Obat tersebut memiliki bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika dimasukkan melalui mulut) yang terbatas. Atau hanya tersedia dalam sediaan intravena (sebagai obat suntik). Misalnya antibiotika golongan aminoglikosida yang susunan kimiawinya “polications” dan sangat polar, sehingga tidak dapat diserap melalui jalur gastrointestinal (di usus hingga sampai masuk ke dalam darah). Maka harus dimasukkan ke dalam pembuluh darah langsung.

3. Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau memang tidak dapat menelan obat (ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti ini, perlu dipertimbangkan pemberian melalui jalur lain seperti rektal (anus), sublingual (di bawah lidah), subkutan (di bawah kulit), dan intramuskular (disuntikkan di otot).

4. Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedak—obat masuk ke pernapasan), sehingga pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan.

5. Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh balik/vena). Peningkatan cepat konsentrasi obat dalam darah tercapai. Misalnya pada orang yang mengalami hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada penderita diabetes mellitus. Alasan ini juga sering digunakan

untuk pemberian antibiotika melalui infus/suntikan, namun perlu diingat bahwa banyak antibiotika memiliki bioavalaibilitas oral yang baik, dan mampu mencapai kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri.

Indikasi Pemasangan Infus melalui Jalur Pembuluh Darah Vena (Peripheral Venous Cannulation)1. Pemberian cairan intravena (intravenous fluids).2. Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam

darah) dalam jumlah terbatas.3. Pemberian kantong darah dan produk darah.4. Pemberian obat yang terus-menerus (kontinyu).5. Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum

prosedur (misalnya pada operasi besar dengan risiko perdarahan, dipasang jalur infus intravena untuk persiapan jika terjadi syok, juga untuk memudahkan pemberian obat)

6. Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya risiko dehidrasi (kekurangan cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum pembuluh darah kolaps (tidak teraba), sehingga tidak dapat dipasang jalur infus.

Kontraindikasi dan Peringatan pada Pemasangan Infus Melalui Jalur Pembuluh Darah Vena1. Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi

pemasangan infus.2. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena

lokasi ini akan digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci darah).

3. Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki).

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan infus:1. Hematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh

akibat pecahnya pembuluh darah arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum, atau “tusukan” berulang pada pembuluh darah.

2. Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan pembuluh darah), terjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah.

3. Tromboflebitis, atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi akibat infus yang dipasang tidak dipantau secara ketat dan benar.

4. Emboli udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah, terjadi akibat masuknya udara yang ada dalam cairan infus ke dalam pembuluh darah.

Komplikasi yang dapat terjadi dalam pemberian cairan melalui infus:• Rasa perih/sakit• Reaksi alergiJenis Cairan Infus:1. Cairan hipotonik: osmolaritasnya lebih rendah

dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik” dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada

keadaan sel “mengalami” dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.

2. Cairan Isotonik: osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).

3. Cairan hipertonik: osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga “menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin.

Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya:1. Kristaloid: bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi

sejumlah volume cairan (volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang singkat, dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera. Misalnya Ringer-Laktat dan garam fisiologis.

2. Koloid: ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga tidak akan keluar dari membran kapiler, dan tetap berada dalam pembuluh darah, maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh darah. Contohnya adalah albumin dan steroid.

JENIS-JENIS CAIRAN INFUSASERINGIndikasi:Dehidrasi (syok hipovolemik dan asidosis) pada kondisi: gastroenteritis akut, demam berdarah dengue (DHF), luka bakar, syok hemoragik, dehidrasi berat, trauma.Komposisi:Setiap liter asering mengandung: Na 130 mEq K 4 mEq Cl 109 mEq Ca 3 mEq Asetat (garam) 28 mEqKeunggulan:1. Asetat dimetabolisme di otot, dan masih dapat ditolelir

pada pasien yang mengalami gangguan hati2. Pada pemberian sebelum operasi sesar, RA mengatasi

asidosis laktat lebih baik dibanding RL pada neonatus

Page 2: minggu 4

3. Pada kasus bedah, asetat dapat mempertahankan suhu tubuh sentral pada anestesi dengan isofluran

4. Mempunyai efek vasodilator5. Pada kasus stroke akut, penambahan MgSO4 20 %

sebanyak 10 ml pada 1000 ml RA, dapat meningkatkan tonisitas larutan infus sehingga memperkecil risiko memperburuk edema serebral

KA-EN 1BIndikasi:1. Sebagai larutan awal bila status elektrolit pasien belum

diketahui, misal pada kasus emergensi (dehidrasi karena asupan oral tidak memadai, demam)

2. < 24 jam pasca operasi3. Dosis lazim 500-1000 ml untuk sekali pemberian secara

IV. Kecepatan sebaiknya 300-500 ml/jam (dewasa) dan 50-100 ml/jam pada anak-anak

4. Bayi prematur atau bayi baru lahir, sebaiknya tidak diberikan lebih dari 100 ml/jam

KA-EN 3A & KA-EN 3BIndikasi:1. Larutan rumatan nasional untuk memenuhi kebutuhan

harian air dan elektrolit dengan kandungan kalium cukup untuk mengganti ekskresi harian, pada keadaan asupan oral terbatas

2. Rumatan untuk kasus pasca operasi (> 24-48 jam)3. Mensuplai kalium sebesar 10 mEq/L untuk KA-EN 3A4. Mensuplai kalium sebesar 20 mEq/L untuk KA-EN 3BKA-EN MG3Indikasi :1. Larutan rumatan nasional untuk memenuhi kebutuhan

harian air dan elektrolit dengan kandungan kalium cukup untuk mengganti ekskresi harian, pada keadaan asupan oral terbatas

2. Rumatan untuk kasus pasca operasi (> 24-48 jam)3. Mensuplai kalium 20 mEq/L4. Rumatan untuk kasus dimana suplemen NPC dibutuhkan

400 kcal/LKA-EN 4AIndikasi :1. Merupakan larutan infus rumatan untuk bayi dan anak2. Tanpa kandungan kalium, sehingga dapat diberikan pada

pasien dengan berbagai kadar konsentrasi kalium serum normal3. Tepat digunakan untuk dehidrasi hipertonikKomposisi (per 1000 ml): Na 30 mEq/L K 0 mEq/L Cl 20 mEq/L Laktat 10 mEq/L Glukosa 40 gr/LKA-EN 4BIndikasi:1. Merupakan larutan infus rumatan untuk bayi dan anak

usia kurang 3 tahun2. Mensuplai 8 mEq/L kalium pada pasien sehingga

meminimalkan risiko hipokalemia3. Tepat digunakan untuk dehidrasi hipertonikKomposisi:

Na 30 mEq/L K 8 mEq/L Cl 28 mEq/L Laktat 10 mEq/L Glukosa 37,5 gr/LOtsu-NSIndikasi:1. Untuk resusitasi2. Kehilangan Na > Cl, misal diare3. Sindrom yang berkaitan dengan kehilangan natrium

(asidosis diabetikum, insufisiensi adrenokortikal, luka bakar)Otsu-RLIndikasi:1. Resusitasi2. Suplai ion bikarbonat3. Asidosis metabolikMARTOS-10Indikasi:1. Suplai air dan karbohidrat secara parenteral pada

penderita diabetik2. Keadaan kritis lain yang membutuhkan nutrisi eksogen

seperti tumor, infeksi berat, stres berat dan defisiensi protein3. Dosis: 0,3 gr/kg BB/jam4. Mengandung 400 kcal/LAMIPARENIndikasi:1. Stres metabolik berat2. Luka bakar3. Infeksi berat4. Kwasiokor5. Pasca operasi6. Total Parenteral Nutrition7. Dosis dewasa 100 ml selama 60 menitAMINOVEL-600Indikasi:1. Nutrisi tambahan pada gangguan saluran GI2. Penderita GI yang dipuasakan3. Kebutuhan metabolik yang meningkat (misal luka bakar,

trauma dan pasca operasi)4. Stres metabolik sedang5. Dosis dewasa 500 ml selama 4-6 jam (20-30 tpm)PAN-AMIN GIndikasi:1. Suplai asam amino pada hiponatremia dan stres metabolik

ringan2. Nitrisi dini pasca operasi3. Tifoid

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi Cairan Tubuh

Cairan tubuh adalah cairan suspensi sel di dalam tubuh makhluk

multiseluler seperti manusia atau hewan yang memiliki fungsi fisiologis

tertentu.

II. Fisiologi Cairan Tubuh dan Elektrolit

A. Distribusi cairan tubuh

Air adalah pelarut (solven) terpenting dalam komposisi cairan makhluk

hidup. Persentase air tubuh total (Total Body Water) terhadap berat

badan berubah sesuai umur, menurun cepat pada awal kehidupan. Pada

saat lahir, TBW 78% berat badan. Pada beberapa bulan pertama

kehidupan, TBW turun cepat mendekati kadar dewasa 55-60 % berat

badan pada saat usia 1 tahun. Pada masa pubertas, terjadi perubahan

TBW selanjutnya. Karena lemak mempunyai kadar air yang lebih

rendah, persentase TBW terhadap berat badan lebih rendah pada wanita

dewasa yang mempunyai lebih banyak lemak tubuh (55%) daripada laki-

laki, yang mempunyai sedikit lemak. Seluruh cairan tubuh

didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular dan kompartemen

ekstraselular. 

Cairan intraselular

Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan intraselular. Pada

orang dewasa, sekitar dua pertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di

intraselular (sekitar 27 liter rata-rata untuk dewasa laki-laki dengan berat

badan sekitar 70 kilogram), sebaliknya pada bayi hanya setengah dari

berat badannya merupakan cairan intraselular. Cairan intraseluler terlibat

dalam proses metabolik yang menghasilkan energi yang berasal dari

nutrien-nutrien dalam cairan tubuh.

Cairan ekstraselular

Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Cairan

ekstraseluler berperan dalam mempertahankan sistem sirkulasi,

mensuplai nutrient ke dalam sel, dan membuang zat sisa yang bersifat

toksik. Jumlah relatif cairan ekstraselular berkurang seiring dengan usia.

Page 3: minggu 4

Pada bayi baru lahir, sekitar setengah dari cairan tubuh terdapat di cairan

ekstraselular. 

Cairan ekstraselular dibagi menjadi :

o Cairan Interstitial

Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar

11- 12 liter pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume

interstitial.

o Cairan Intravaskular

Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya

volume plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6L

dimana 3 liternya merupakan plasma, sisanya terdiri dari sel darah

merah, sel darah putih dan platelet.

o Cairan transeluler

Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu

seperti serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan

sekresi saluran pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume cairan

transeluler adalah sekitar 1 liter, tetapi cairan dalam jumlah banyak

dapat masuk dan keluar dari ruang transeluler.

B. Komponen cairan tubuh

Selain air, cairan tubuh mengandung dua jenis zat yaitu elektrolit dan

non elektrolit.

Elektrolit

Merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan menghantarkan arus

listrik. Elektrolit dibedakan menjadi ion positif (kation) dan ion negatif

(anion). Jumlah kation dan anion dalam larutan adalah selalu sama

(diukur dalam miliekuivalen).

Kation : Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium (Na+),

sedangkan kation utama dalam cairan intraselular adalah potassium

(K+). Suatu sistem pompa terdapat di dinding sel tubuh yang memompa

keluar sodium dan potassium ini.

Natrium

Natrium sebagai kation utama didalam cairan ekstraseluler dan paling

berperan di dalam mengatur keseimbangan cairan. Kadar natrium

plasma: 135-145mEq/liter.12 Kadar natrium dalam tubuh

58,5mEq/kgBB dimana + 70% atau 40,5mEq/kgBB dapat berubah-ubah.

Ekresi natrium dalam urine 100-180mEq/liter, faeces 35mEq/liter dan

keringat 58mEq/liter. Kebutuhan setiap hari = 100mEq (6-15 gram

NaCl). 

Natrium dapat bergerak cepat antara ruang intravaskuler dan interstitial

maupun ke dalam dan keluar sel. Apabila tubuh banyak mengeluarkan

natrium (muntah,diare) sedangkan pemasukkan terbatas maka akan

terjadi keadaan dehidrasi disertai kekurangan natrium. Kekurangan air

dan natrium dalam plasma akan diganti dengan air dan natrium dari

cairan interstitial. Apabila kehilangan cairan terus berlangsung, air akan

ditarik dari dalam sel dan apabila volume plasma tetap tidak dapat

dipertahankan terjadilah kegagalan sirkulasi.

Kalium

Kalium merupakan kation utama (99%) di dalam cairan ekstraseluler

berperan penting di dalam terapi gangguan keseimbangan air dan

elektrolit. Jumlah kalium dalam tubuh sekitar 53 mEq/kgBB dimana

99% dapat berubah-ubah sedangkan yang tidak dapat berpindah adalah

kalium yang terikat dengan protein didalam sel. 

Kadar kalium plasma 3,5-5,0 mEq/liter, kebutuhan setiap hari 1-3

mEq/kgBB. Keseimbangan kalium sangat berhubungan dengan

konsentrasi H+ ekstraseluler. Ekskresi kalium lewat urine 60-90

mEq/liter, faeces 72 mEq/liter dan keringat 10 mEq/liter.

Kalsium

Kalsium dapat dalam makanan dan minuman, terutama susu, 80-90%

dikeluarkan lewat faeces dan sekitar 20% lewat urine. Jumlah

pengeluaran ini tergantung pada intake, besarnya tulang, keadaan

endokrin. Metabolisme kalsium sangat dipengaruhi oleh kelenjar-

kelenjar paratiroid, tiroid, testis, ovarium, da hipofisis. Sebagian besar

(99%) ditemukan didalam gigi dan + 1% dalam cairan ekstraseluler dan

tidak terdapat dalam sel.

Magnesium

Magnesium ditemukan di semua jenis makanan. Kebutuhan unruk

pertumbuhan + 10 mg/hari. Dikeluarkan lewat urine dan faeces.

Anion: Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan

bikarbonat (HCO3-), sedangkan anion utama dalam cairan intraselular

adalah ion fosfat (PO43-).

Karbonat

Asam karbonat dan karbohidrat terdapat dalam tubuh sebagai salah satu

hasil akhir daripada metabolisme. Kadar bikarbonat dikontrol oleh

ginjal. Sedikit sekali bikarbonat yang akan dikeluarkan urine. Asam

bikarbonat dikontrol oleh paru-paru dan sangat penting peranannya

dalam keseimbangan asam basa.

Non elektrolit

Merupakan zat seperti glukosa dan urea yang tidak terdisosiasi dalam

cairan. Zat lainya termasuk penting adalah kreatinin dan bilirubin.

C. Proses Pergerakan Cairan Tubuh

Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian tubuh

melibatkan mekanisme transpor pasif dan aktif. Mekanisme transpor

pasif tidak membutuhkan energy sedangkan mekanisme transpor aktif

membutuhkan energi. Difusi dan osmosis adalah mekanisme transpor

pasif. Sedangkan mekanisme transpor aktif berhubungan dengan pompa

Na-K yang memerlukan ATP.

Page 4: minggu 4

Proses pergerakan cairan tubuh antar kompertemen dapat berlangsung

secara:

a. Osmosis

Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran

semipermeabel (permeabel selektif) dari larutan berkadar lebih rendah

menuju larutan berkadar lebih tinggi hingga kadarnya sama. Seluruh

membran sel dan kapiler permeable terhadap air, sehingga tekanan

osmotik cairan tubuh seluruh kompartemen sama. Membran

semipermeabel ialah membran yang dapat dilalui air (pelarut), namun

tidak dapat dilalui zat terlarut misalnya protein.

Tekanan osmotik plasma darah ialah 285+ 5 mOsm/L. Larutan dengan

tekanan osmotik kira-kira sama disebut isotonik (NaCl 0,9%, Dekstrosa

5%, Ringer laktat). Larutan dengan tekanan osmotik lebih rendah

disebut hipotonik (akuades), sedangkan lebih tinggi disebut hipertonik.

b. Difusi

Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan

bergerak dari konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah.

Tekanan hidrostatik pembuluh darah juga mendorong air masuk

berdifusi melewati pori-pori tersebut. Jadi difusi tergantung kepada

perbedaan konsentrasi dan tekanan hidrostatik.

c. Pompa Natrium Kalium

Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transpor yang memompa

ion natrium keluar melalui membran sel dan pada saat bersamaan

memompa ion kalium dari luar ke dalam. Tujuan dari pompa natrium

kalium adalah untuk mencegah keadaan hiperosmolar di dalam sel.

 

D. Asupan dan ekskresi cairan dan elektrolit fisiologis

Homeostasis cairan tubuh yang normalnya diatur oleh ginjal dapat

berubah oleh stres akibat operasi, kontrol hormon yang abnormal, atau

pun oleh adanya cedera pada paru-paru, kulit atau traktus

gastrointestinal.

Pada keadaan normal, seseorang mengkonsumsi air rata-rata sebanyak

2000-2500 ml per hari, dalam bentuk cairan maupun makanan padat

dengan kehilangan cairan rata rata 250 ml dari feses, 800-1500 ml dari

urin, dan hampir 600 ml kehilangan cairan yang tidak disadari

(insensiblewater loss) dari kulit dan paru-paru.

I. Perubahan cairan tubuh

Perubahan cairan tubuh dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu :

1. Perubahan volume

a. Defisit volume

Defisit volume cairan ekstraselular merupakan perubahan cairan tubuh

yang paling umum. Penyebab paling umum adalah kehilangan cairan di

gastrointestinal akibat muntah, penyedot nasogastrik, diare dan drainase

fistula. Penyebab lainnya dapat berupa kehilangan cairan pada cedera

jaringan lunak, infeksi, inflamasi jaringan, peritonitis, obstruksi usus,

dan luka bakar. Keadaan akut, kehilangan cairan yang cepat akan

menimbulkan tanda gangguan pada susunan saraf pusat dan jantung.

Pada kehilangan cairan yang lambat lebih dapat ditoleransi sampai defisi

volume cairan ekstraselular yang berat terjadi.

Dehidrasi

Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi serum

dari natrium menjadi isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik (<139

mEq/L) atau hipernatremik (>150 mEq/L). Dehidrasi isonatremik

merupakan yang paling sering terjadi (80%), sedangkan dehidrasi

hipernatremik atau hiponatremik sekitar 5-10% dari kasus.

Dehidrasi isotonis (isonatremik): terjadi ketika kehilangan cairan

hampir sama dengan konsentrasi natrium terhadap darah. Kehilangan

cairan dan natrium besarnya relatif sama dalam kompartemen

intravaskular maupun kompartemen ekstravaskular.

Dehidrasi hipotonis (hiponatremik): terjadi ketika kehilangan cairan

dengan kandungan natrium lebih banyak dari darah (kehilangan cairan

hipertonis). Secara garis besar terjadi kehilangan natrium yang lebih

banyak dibandingkan air yang hilang. Karena kadar natrium serum

rendah, air di kompartemen intravaskular berpindah ke kompartemen

ekstravaskular, sehingga menyebabkan penurunan volume

intravaskular.15

Dehidrasi hipertonis (hipernatremik): terjadi ketika kehilangan cairan

dengan kandungan natrium lebih sedikit dari darah (kehilangan cairan

hipotonis). Secara garis besar terjadi kehilangan air yang lebih banyak

dibandingkan natrium yang hilang. Karena kadar natrium tinggi, air di

kompartemen ekstraskular berpindah ke kompartemen intravaskular,

sehingga meminimalkan penurunan volume intravaskular.15

b. Kelebihan volume

Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat

iatrogenic (pemberian cairan intravena seperti NaCl yang menyebabkan

kelebihan air dan NaCl ataupun pemberian cairan intravena glukosayang

menyebabkan kelebihan air) ataupun dapat sekunder akibat insufisiensi

renal (gangguan pada GFR), sirosis, ataupun gagal jantung

kongestif.9,10 Kelebihan cairan intaseluler dapat terjadi jika terjadi

kelebihan cairan tetapi jumlah NaCl tetap atau berkurang.10

2. Perubahan konsentrasi

a. Hiponatremia

Kadar natrium normal 135-145 mEq/L, bila kurang dari 135 mEq/ L,

Page 5: minggu 4

sudah dapat dibilang hiponatremia. Jika < 120 mg/L maka akan timbul

gejala disorientasi, gangguan mental, letargi, iritabilitas, lemah dan henti

pernafasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan timbul gejala

kejang, koma. Hiponatremia ini dapat disebabkan oleh euvolemia

(SIADH, polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal,

diare, muntah, third space losses, diuretika), hipervolemia (sirosis,

nefrosis). Keadaan ini dapat diterapi dengan restriksi cairan (Na+ ≥ 125

mg/L) atau NaCl 3% ssebanyak (140-X)xBBx0,6 mg dan untuk

pediatrik 1,5-2,5 mg/kg.12

Koreksi hiponatremia yang sudah berlangsung lama dilakukan scara

perlahanlahan, sedangkan untuk hiponatremia akut lebih agresif. Untuk

menghitung Na serum yang dibutuhkan dapat menggunakan rumus :

Na= Na1 – Na0 x TBW

Na = Jumlah Na yang diperlukan untuk koreksi (mEq)

Na1 = 125 mEq/L atau Na serum yang diinginkan

Na0 = Na serum yang aktual

TBW = total body water = 0,6 x BB (kg)

b. Hipernatremia

Bila kadar natrium lebih dari 145 mEq/L disebut dengan hiperkalemia.

Jika kadar natrium > 160 mg/L maka akan timbul gejala berupa

perubahan mental, letargi, kejang, koma, lemah. Hipernatremi dapat

disebabkan oleh kehilangan cairan (diare, muntah, diuresis, diabetes

insipidus, keringat berlebihan), asupan air kurang, asupan natrium

berlebihan. Terapi keadaan ini adalah penggantian cairan dengan 5%

dekstrose dalam air sebanyak {(X-140) x BB x 0,6}: 140.12

c. Hipokalemia

Jika kadar kalium < 3 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut

kalium dari cairan ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan

kronis kadar total kalium tubuh. Tanda dan gejala hipokalemia dapat

berupa disritmik jantung, perubahan EKG (QRS segmen melebar, ST

segmen depresi, hipotensi postural, kelemahan otot skeletal, poliuria,

intoleransi glukosa. Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi faktor

presipitasi (alkalosis, hipomagnesemia, obat-obatan), infuse potasium

klorida sampai 10 mEq/jam (untuk mild hipokalemia ;>2 mEq/L) atau

infus potasium klorida sampai 40 mEq/jam dengan monitoring oleh

EKG (untuk hipokalemia berat;<2mEq/L disertai perubahan EKG,

kelemahan otot yang hebat).13 Rumus untuk menghitung defisit

kalium18 :

K = K1 – K0 x 0,25 x BB

K = kalium yang dibutuhkan

K1 = serum kalium yang diinginkan

K0 = serum kalium yang terukur

BB = berat badan (kg)

d. Hiperkalemia

Terjadi jika kadar kalium > 5 mEq/L, sering terjadi karena insufisiensi

renal atau obat yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-

inhibitor, siklosporin, diuretik). Tanda dan gejalanya terutama

melibatkan susunan saraf pusat (parestesia, kelemahan otot) dan sistem

kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG). Terapi untuk hiperkalemia

dapat berupa intravena kalsium klorida 10% dalam 10 menit, sodium

bikarbonat 50-100 mEq dalam 5-10 menit, atau diuretik, hemodialisis.

3. Perubahan komposisi

a. Asidosis respiratorik (pH< 3,75 dan PaCO2> 45 mmHg)

Kondisi ini berhubungan dengan retensi CO2 secara sekunder untuk

menurunkan ventilasi alveolar pada pasien bedah. Kejadian akut

merupakan akibat dari ventilasi yang tidak adekuat termasuk obstruksi

jalan nafas, atelektasis, pneumonia, efusi pleura, nyeri dari insisi

abdomenatas, distensi abdomen dan penggunaan narkose yang

berlebihan. Manajemennya melibatkan koreksi yang adekuat dari defek

pulmonal, intubasi endotrakeal, dan ventilasi mekanis bila perlu.

Perhatian yang ketat terhadap higiene trakeobronkial saat post operatif

adalah sangat penting.

b. Alkalosis respiratorik (pH> 7,45 dan PaCO2 < 35 mmHg)

Kondisi ini disebabkan ketakutan, nyeri, hipoksia, cedera SSP, dan

ventilasi yang dibantu. Pada fase akut, konsentrasi bikarbonat serum

normal, dan alkalosis terjadi sebagai hasil dari penurunan PaCO2 yang

cepat. Terapi ditujukan untuk mengkoreksi masalah yang mendasari

termasuk sedasi yang sesuai, analgesia, penggunaan yang tepat dari

ventilator mekanik, dan koreksi defisit potasium yang terjadi.

c. Asidosis metabolik (pH<7,35 dan bikarbonat <21 mEq/L)

Kondisi ini disebabkan oleh retensi atau penambahan asam atau

kehilangan bikarbonat. Penyebab yang paling umum termasuk gagal

ginjal, diare, fistula usus kecil, diabetik ketoasidosis, dan asidosis laktat.

Kompensasi awal yang terjadi adalah peningkatan ventilasi dan depresi

PaCO2. Penyebab paling umum adalah syok, diabetik ketoasidosis,

kelaparan, aspirin yang berlebihan dan keracunan metanol. Terapi

sebaiknya ditujukan terhadap koreksi kelainan yang mendasari. Terapi

bikarbonat hanya diperuntukkan bagi penanganan asidosis berat dan

hanya setelah kompensasi alkalosis respirasi digunakan.

d. Alkalosis metabolik (pH>7,45 dan bikarbonat >27 mEq/L)

Kelainan ini merupakan akibat dari kehilangan asam atau penambahan

bikarbonat dan diperburuk oleh hipokalemia. Masalah yang umum

terjadi pada pasien bedah adalah hipokloremik, hipokalemik akibat

defisit volume ekstraselular. Terapi yang digunakan adalah sodium

klorida isotonik dan penggantian kekurangan potasium. Koreksi

alkalosis harus gradual selama perode 24 jam dengan pengukuran pH,

PaCO2 dan serum elektrolit yang sering.

II. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pembedahan

Page 6: minggu 4

Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal

yang umum terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-

faktor preoperatif, intraoperatif dan postoperatif.

A. Faktor-faktor preoperatif

1. Kondisi yang telah ada

Diabetes mellitus, penyakit hepar, atau insufisiensi renal dapat

diperburuk oleh stres akibat operasi.

2. Prosedur diagnostik

Arteriogram atau pyelogram intravena yang memerlukan marker

intravena dapat menyebabkan ekskresi cairan dan elektrolit urin yang

tidak normal karena efek diuresis 

osmotik.

3. Pemberian obat

Pemberian obat seperti steroid dan diuretik dapat mempengaruhi eksresi

air dan elektrolit

4. Preparasi bedah

Enema atau laksatif dapat menyebabkan peningkatan kehilangan air dan

elekrolit dari traktus gastrointestinal.

5. Penanganan medis terhadap kondisi yang telah ada

6. Restriksi cairan preoperatif

Selama periode 6 jam restriksi cairan, pasien dewasa yang sehat

kehilangan cairan sekitar 300-500 mL. Kehilangan cairan dapat

meningkat jika pasien menderita demam atau adanya kehilangan

abnormal cairan.

7. Defisit cairan yang telah ada sebelumnya

Harus dikoreksi sebelum operasi untuk meminimalkan efek dari

anestesi.

B. Faktor-faktor intraoperatif

1. Induksi anestesi

Dapat menyebabkan terjadinya hipotensi pada pasien dengan

hipovolemia preoperatif karena hilangnya mekanisme kompensasi

seperti takikardia dan vasokonstriksi.

2. Kehilangan darah yang abnormal

3. Kehilangan abnormal cairan ekstraselular ke third space (contohnya

kehilangan cairan ekstraselular ke dinding dan lumen usus saat operasi)

4. Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada

luka operasi yang besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan)

C. Faktor-faktor postoperatif

1. Stres akibat operasi dan nyeri pasca operasi

2. Peningkatan katabolisme jaringan

3. Penurunan volume sirkulasi yang efektif

4. Risiko atau adanya ileus postoperatif

III. Terapi Cairan

Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh

dalam batas-batas fisiologis dengan cairan infus kristaloid (elektrolit)

atau koloid (plasma ekspander) secara intravena.

Terapi cairan berfungsi untuk mengganti defisit cairan saat puasa

sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat

pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi, dan mengganti cairan

yang pindah ke rongga ketiga.

Terapi cairan resusitasi

Terapi cairan resusitasi ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut

cairan tubuh atau ekspansi cepat dari cairan intravaskuler untuk

memperbaiki perfusi jaringan. Misalnya pada keadaan syok dan luka

bakar. Terapi cairan resusitasi dapat dilakukan dengan pemberian infus

Normal Saline (NS), Ringer Asetat (RA), atau Ringer laktat (RL)

sebanyak 20 ml/kg selama 30-60 menit. Pada syok hemoragik bisa

diberikan 2-3 L dalam 10 menit. 

Terapi rumatan 

Terapi rumatan bertujuan memelihara keseimbangan cairan tubuh dan

nutrisi. Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35

ml/kgBB/hari dan elektrolit utama Na+=1-2 mmol/kgBB/haridan K+=

1mmol/kgBB/hari. Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan

yang hilang akibat pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat

(lewat kulit) dan pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible

water losses. 

Untuk anak digunakan rumus Holiday Segar 4:2:1, yaitu :

Terapi rumatan dapat diberikan infus cairan elektrolit dengan kandungan

karbohidrat atau infus yang hanya mengandung karbohidrat saja. Larutan

elektrolit yang juga mengandung karbohidrat adalah larutan KA-EN,

dextran + saline, DGAA, Ringer’s dextrose, dll. Sedangkan larutan

rumatan yang mengandung hanya karbohidrat adalah dextrose 5%.

Tetapi cairan tanpa elektrolit cepat keluar dari sirkulasi dan mengisi

ruang antar sel sehingga dextrose tidak berperan dalam hipovolemik.

Dalam terapi rumatan cairan keseimbangan kalium perlu diperhatikan

karena seperti sudah dijelaskan kadar berlebihan atau kekurangan dapat

menimbulkan efek samping yang berbahaya. Umumnya infus

konvensional RL atau NS tidak mampu mensuplai kalium sesuai

kebutuhan harian. Infus KA-EN dapat mensuplai kalium sesuai

kebutuhan harian.

Pada pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke

ruang peritoneum, ke luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar

kecilnya pembedahan, yaitu :

• 6-8 ml/kg untuk bedah besar

• 4-6 ml/kg untuk bedah sedang

• 2-4 ml/kg untuk bedah kecil

Page 7: minggu 4

A. Jenis-Jenis Cairan

1. Cairan Kristaloid

Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES =

CEF). Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali

cairan koloid) ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid

untuk mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu paruh cairan

kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit.

Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak

digunakan untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan

yang hampir menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung

dalam cairan tersebut akan mengalami metabolisme di hati menjadi

bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah NaCl

0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan asidosis

hiperkloremik (delutional hyperchloremic acidosis) dan menurunnya

kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida.

Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid

akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan

koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di

ruang interstitiel.

Pada suatu penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah

sedikit larutan kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul

edema perifer dan paru serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan

dan edema jaringan luka, apabila seseorang mendapat infus 1 liter NaCl

0,9Selain itu, pemberian cairan kristaloid berlebihan juga dapat

menyebabkan edema otak dan meningkatnya tekanan intra kranial.

2. Cairan Koloid

Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut “plasma

substitute” atau “plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat

zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas

osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama

(waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu koloid

sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok

hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita dengan hipoalbuminemia

berat dan kehilangan protein yang banyak (misal luka bakar).

Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:

a. Koloid alami: 

Yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5 dan 2,5%).

Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60°C selama 10

jam untuk membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein

plasma selain mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa

globulin dan beta globulin. 

b. Koloid sintetis:

1. Dextran:

Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran

70 (Macrodex) dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh

bakteri Leuconostoc mesenteroides B yang tumbuh dalam media

sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan volume expander yang lebih

baik dibandingkan dengan Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu

memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi mikro karena dapat

menurunkan kekentalan (viskositas) darah. Selain itu Dextran

mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangi platelet

adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis

dan melancarkan aliran darah. Pemberian Dextran melebihi 20

ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross match, waktu perdarahan

memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat menimbulkan

reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan memberikan Dextran

1 (Promit) terlebih dahulu.

 

2. Hydroxylethyl Starch (Heta starch)

Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 – 1.000.000,

rata-rata 71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 30

mmHg. Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal akan

dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam

waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga dapat menimbulkan reaksi

anafilaktik dan dapat meningkatkan kadar serum amilase ( walau

jarang). Low molecullar weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch)

mirip Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5

kali volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena

potensinya sebagai plasma volume expander yang besar dengan

toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Penta

starch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita

gawat.

3. Gelatin

Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul

rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang.

Ada 3 macam gelatin, yaitu:

- modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)

- Urea linked gelatin

- Oxypoly gelatin

B. Terapi Cairan Preoperatif

Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa,

lavement) harus diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti

pada masa pra-bedah sebelum induksi. Setelah dari sisa defisit yang

masih ada diberikan pada jam pertama pembedahan, sedangkan sisanya

diberikan pada jam kedua berikutnya. Kehilangan cairan di ruang ECF

ini cukup diganti dengan ciran hipotonis seperti garam fisiologis, Ringer

Laktat dan Dextrose. Pada penderita yang karena penyakitnya tidak

mendapat nutrisi yang cukup maka sebaiknya diberikan nutrisi enteral

atau parenteral lebih dini lagi. Penderita dewasa yang dipuasakan karena

Page 8: minggu 4

akan mengalami pembedahan (elektif) harus mendapatkan penggantian

cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam lama puasa. Defisit karena perdarahan

atau kehilangan cairan (hipovolemik, dehidrasi) yang seringkali

menyertai penyulit bedahnya harus segera diganti dengan melakukan

resusitasi cairan atau rehidrasi sebelum induksi anestesi.

 

C. Terapi Cairan Intraoperatif

Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan

kebutuhan dasar ditambah dengan kehilangan cairan akibat pembedahan

(perdarahan, translokasi cairan dan penguapan atau evaporasi). Jenis

cairan yang diberikan tergantung kepada prosedur pembedahannya dan

jumlah darah yang hilang.

1. Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis misalnya

bedah mata (ekstrasi, katarak) cukup hanya diberikan cairan rumatan

saja selama pembedahan.

2. Pembedahan dengan trauma ringan misalnya: appendektomi dapat

diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar

ditambah 4 ml/kgBB/jam untuk pengganti akibat trauma pembedahan.

Total yang diberikan adalah 6 ml/kgBB/jam berupa cairan garam

seimbang seperti Ringer Laktat atau Normosol-R.

3. Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan sebanyak 2

ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 8 ml/kgBB/jam untuk

pembedahannya. Total 10 ml/kgBB/jam.

D. Terapi Cairan Postoperatif

Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini:

1. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi.

Kebutuhan air untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal

sekitar ± 50 ml/kgBB/24 jam. Pada hari pertama pasca bedah tidak

dianjurkan pemberian kalium karena adanya pelepasan kalium dari

sel/jaringan yang rusak, proses katabolisme dan transfusi darah. Akibat

stress pembedahan, akan dilepaskan aldosteron dan ADH yang

cenderung menimbulkan retensi air dan natrium. Oleh sebab itu, pada 2-

3 hari pasca bedah tidak perlu pemberian natrium. Penderita dengan

keadaan umum baik dan trauma pembedahan minimum, pemberian

karbohidrat 100-150 mg/hari cukup memadai untuk memenuhi

kebutuhan kalori dan dapat menekan pemecahan protein sampai 50%

kadar albumin harus dipertahankan melebihi 3,5 gr%. Penggantian

cairan pasca bedah cukup dengan cairan hipotonis dan bila perlu larutan

garamisotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai penderita dapat

minum dan makan.

2. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:

- Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap

kenaikan 1°C

suhu tubuh

- Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau

muntah.

- Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi

dan

humidifikasi.

3. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama

pembedahan yang belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10

gr%, sebaiknya diberikan transfusi darah untuk memperbaiki daya

angkut oksigen.

4. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi

cairan tersebut. Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama

meliputi tekanan darah, frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran,

diameter pupil, jalan nafas, frekuensi nafas, suhu tubuh dan warna kulit.

BAB III

KESIMPULAN

Tubuh mengandung 60 % air yang disebut juga cairan tubuh. Cairan

tubuh didalamnya terkandung nutrisi-nutrisi yang amat penting

peranannya dalam metabolisme sel, sehingga amat penting dalam

menunjang kehidupan.

Dalam pembedahan, tubuh kekurangan cairan karena perdarahan selama

pembedahan ditambah lagi puasa sebelum dan sesudah operasi.

Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal

yang umum terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-

faktor preoperatif, perioperatif dan postoperatif.

Terapi cairan parenteral digunakan untuk mempertahankan atau

mengembalikan volume dan komposisi normal cairan tubuh. Dalam

terapi cairan harus diperhatikan kebutuhannya sesuai usia dan keadaan

pasien, serta cairan infus itu sendiri. Jenis cairan yang bisa diberikan

untuk terapi cairan adalah cairan kristaloid dan cairan koloid.

Syok Hipovolemik

PENATALAKSANAAN SYOK HIPOVOLEMIK

DEFINISI SYOK HIPOVOLEMIK Syok hipovolemik adalah suatu

keadaan akut dimana tubuh kehilangan cairan tubuh, cairan ini dapat

berupa darah, plasma, dan elektrolit (Grace, 2006). Syok hipovolemik

adalah suatu keadaan dimana terjadi kehilangan cairan tubuh dengan

cepat sehingga dapat mengakibatkan multiple organ failure akibat

perfusi yang tidak adekuat

Perdarahan merupakan penyebab tersering dari syok pada pasien-pasien

trauma, baik oleh karena perdarahan yang terlihat maupun perdarahan

yang tidak terlihat. Perdarahan yang terlihat, perdarahan dari luka, atau

hematemesis dari tukak lambung. Perdarahan yang tidak terlihat,

misalnya perdarahan dari saluran cerna, seperti tukak duodenum, cedera

Page 9: minggu 4

limpa, kehamilan di luar uterus, patah tulang pelvis, dan patah tulang

besar atau majemuk.

Syok Hipovolemik

Syok hipovolemik juga dapat terjadi karena kehilangan cairan tubuh

yang lain. Pada luka bakar yang luas, terjadi kehilangan cairan melalui

permukaan kulit yang hangus atau di dalam lepuh. Muntah hebat atau

diare juga dapat mengakibatkan kehilangan banyak cairan intravaskuler.

Pada obstruksi, ileus dapat terkumpul beberapa liter cairan di dalam

usus. Pada diabetes atau penggunaan diuretik kuat, dapat terjadi

kehilangan cairan karena diuresis yang berlebihan. Kehilangan cairan

juga dapat ditemukan pada sepsis berat, pankreatitis akut, atau peritonitis

purulenta difus.

Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan kuat, kecuali jika

miokard sudah mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat

berkurang. Respons tubuh terhadap perdarahan bergantung pada volume,

kecepatan, dan lama perdarahan. Bila volume intravaskular berkurang,

tubuh akan selalu berusaha untuk mempertahankan perfusi organ-organ

vital (jantung dan otak) dengan mengorbankan perfusi organ lain seperti

ginjal, hati, dan kulit. Akan terjadi perubahan-perubahan hormonal

melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron, sistem ADH, dan sistem

saraf simpatis. Cairan interstitial akan masuk ke dalam pembuluh darah

untuk mengembalikan volume intravaskular, dengan akibat terjadi

hemodilusi (dilusi plasma protein dan hematokrit) dan dehidrasi

interstitial.

Dengan demikain, tujuan utama dalam mengatasi syok perdarahan

adalah menormalkan kembali volume intravaskular dan interstitial. Bila

defisit volume intravaskular hanya dikoreksi dengan memberikan darah

maka masih tetap terjadi defisit interstitial, dengan akibat tanda-tanda

vital yang masih belum stabil dan produksi urin yang kurang.

Pengembalian volume plasma dan interstitial ini hanya mungkin bila

diberikan kombinasi cairan koloid (darah, plasma, dextran, dsb) dan

cairan garam seimbang.

Penatalaksanaan Syok Hipovolemik

Pasang satu atau lebih jalur infus intravena no. 18/16. Infus dengan cepat

larutan kristaloid atau kombinasi larutan kristaloid dan koloid sampai

vena (v. jugularis) yang kolaps terisi. Sementara, bila diduga syok

karena perdarahan, ambil contoh darah dan mintakan darah. Bila telah

jelas ada peningkatan isi nadi dan tekanan darah, infus harus

dilambatkan. Bahaya infus yang cepat adalah udem paru, terutama

pasien tua. Perhatian harus ditujukan agar jangan sampai terjadi

kelebihan cairan.

Pemantauan yang perlu dilakukan dalam menentukan kecepatan

infus:

Nadi: nadi yang cepat menunjukkan adanya hipovolemia.

Tekanan darah: bila tekanan darah < 90 mmHg pada pasien normotensi

atau tekanan darah turun > 40 mmHg pada pasien hipertensi,

menunjukkan masih perlunya transfusi cairan.

Produksi urin. Pemasangan kateter urin diperlukan untuk mengukur

produksi urin. Produksi urin harus dipertahankan minimal 1/2

ml/kg/jam. Bila kurang, menunjukkan adanya hipovolemia. Cairan

diberikan sampai vena jelas terisi dan nadi jelas teraba. Bila volume intra

vaskuler cukup, tekanan darah baik, produksi urin < 1/2 ml/kg/jam, bisa

diberikan Lasix 20-40 mg untuk mempertahankan produksi urine.

Dopamin 2–5 µg/kg/menit bisa juga digunakan pengukuran tekanan

vena sentral (normal 8–12 cmH2O), dan bila masih terdapat gejala

umum pasien seperti gelisah, rasa haus, sesak, pucat, dan ekstremitas

dingin, menunjukkan masih perlu transfusi cairan.

Kesimpulan

Berhasil tidaknya penanggulangan syok tergantung dari kemampuan

mengenal gejala-gejala syok, mengetahui, dan mengantisipasi penyebab

syok serta efektivitas dan efisiensi kerja kita pada saat-saat/menit-menit

pertama penderita mengalami syok

DEFINISI DAN PENYEBAB SYOK

Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasi

yang menyebabkan ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi

jaringan, dengan akibat gangguan mekanisme homeostasis. Berdasarkan

penelitian Moyer dan Mc Clelland tentang fisiologi keadaan syok dan

homeostasis, syok adalah keadaan tidak cukupnya pengiriman oksigen

ke jaringan. Syok merupakan keadaan gawat yang membutuhkan terapi

yang agresif dan pemantauan yang kontinyu atau terus-menerus di unit

terapi intensif.

Syok secara klinis didiagnosa dengan adanya gejala-gejala seperti

berikut:

1. Hipotensi: tekanan sistole kurang dari 80 mmHg atau TAR (tekanan

arterial rata-rata) kurang dari 60 mmHg, atau menurun 30% lebih.

2. Oliguria: produksi urin kurang dari 20 ml/jam.

3. Perfusi perifer yang buruk, misalnya kulit dingin dan berkerut serta

pengisian kapiler yang jelek.

Syok dapat diklasifikasi sebagai syok hipovolemik, kardiogenik, dan

syok anafilaksis. Di sini akan dibicarakan mengenai syok hipovolemik

yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan intravaskuler, misalnya

terjadi pada:

1. Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan yang

mengalir keluar tubuh seperti hematotoraks, ruptura limpa, dan

kehamilan ektopik terganggu.

2. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung

kehilangan darah yang besar. Misalnya, fraktur humerus menghasilkan

500-1000 ml perdarahan atau fraktur femur menampung 1000-1500 ml

perdarahan.

3.   Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena

kehilangan protein plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada:

Page 10: minggu 4

1. Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis.

2. Renal: terapi diuretik, krisis penyakit Addison.

3. Luka bakar (kombustio) dan anafilaksis.

Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat

berkurangnya aliran darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya

pelepasan oksigen ke dalam jaringan. Kekurangan oksigen di jaringan

menyebabkan sel terpaksa melangsungkan metabolisme anaerob dan

menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah dengan adanya

asam laktat, asam piruvat, asam lemak, dan keton (Stene-Giesecke,

1991). Yang penting dalam klinik adalah pemahaman kita bahwa fokus

perhatian syok hipovolemik yang disertai asidosis adalah saturasi

oksigen yang perlu diperbaiki serta perfusi jaringan yang harus segera

dipulihkan dengan penggantian cairan. Asidosis merupakan urusan

selanjutnya, bukan prioritas utama.

Gejala dan Tanda Klinis

Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi

premorbid, besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya

berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan tubuh merupakan faktor kritis

respons kompensasi. Pasien muda dapat dengan mudah

mengkompensasi kehilangan cairan dengan jumlah sedang dengan

vasokonstriksi dan takhikardia. Kehilangan volume yang cukp besar

dalam waktu lambat, meskipun terjadi pada pasien usia lanjut, masih

dapat ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu yang cepat

atau singkat.

Apabila syok telah terjadi, tanda-tandanya akan jelas. Pada keadaan

hipovolemia, penurunan darah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera

kembali dalam beberapa menit. Adalah penting untuk mengenali tanda-

tanda syok, yaitu:

1.  Kulit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian

kapiler selalu berkaitan dengan berkurangnya perfusi jaringan.

2. Takhikardia: peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah

respons homeostasis penting untuk hipovolemia. Peningkatan kecepatan

aliran darah ke mikrosirkulasi berfungsi mengurangi asidosis jaringan.

3. Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh

darah sistemik dan curah jantung, vasokonstriksi perifer adalah faktor

yang esensial dalam mempertahankan tekanan darah. Autoregulasi aliran

darah otak dapat dipertahankan selama tekanan arteri turun tidak di

bawah 70 mmHg.

4.  Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang pada syok

hipovolemik. Oliguria pada orang dewasa terjadi jika jumlah urin kurang

dari 30 ml/jam.

Pada penderita yang mengalami hipovolemia selama beberapa saat, dia

akan menunjukkan adanya tanda-tanda dehidrasi seperti:

(1) Turunnya turgor jaringan;

(2) Mengentalnya sekresi oral dan trakhea, bibir dan lidah menjadi

kering; serta

(3) Bola mata cekung.

Akumulasi asam laktat pada penderita dengan tingkat cukup berat,

disebabkan oleh metabolisme anaerob. Asidosis laktat tampak sebagai

asidosis metabolik dengan celah ion yang tinggi. Selain berhubungan

dengan syok, asidosis laktat juga berhubungan dengan kegagalan

jantung (decompensatio cordis), hipoksia, hipotensi, uremia,

ketoasidosis diabetika (hiperglikemi, asidosis metabolik, ketonuria), dan

pada dehidrasi berat.

Tempat metabolisme laktat terutama adalah di hati dan sebagian di

ginjal. Pada insufisiensi hepar, glukoneogenesis hepatik terhambat dan

hepar gagal melakukan metabolisme laktat. Pemberian HCO3

(bikarbonat) pada asidosis ditangguhkan sebelum pH darah turun

menjadi 7,2. Apabila pH 7,0-7,15 dapat digunakan 50 ml NaHCO3 8,4%

selama satu jam. Sementara, untuk pH < 7,0 digunakan rumus 2/2 x

berat badan x kelebihan basa.

Pemeriksaan Laboratorium – Hematologi

Pemeriksaan laboratorium sangat bermanfaat untuk menentukan kadar

hemoglobin dan nilai hematokrit. Akan tetapi, resusitasi cairan tidak

boleh ditunda menunggu hasil pemeriksaan. Hematokrit pasien dengan

syok hipovolemik mungkin rendah, normal, atau tinggi, tergantung pada

penyebab syok.

Jika pasien mengalami perdarahan lambat atau resusitasi cairan telah

diberikan, nilai hematokrit akan rendah. Jika hipovolemia karena

kehilangan volume cairan tubuh tanpa hilangnya sel darah merah seperti

pada emesis, diare, luka bakar, fistula, hingga mengakibatkan cairan

intravaskuler menjadi pekat (konsentarted) dan kental, maka pada

keadaan ini nilai hematokrit menjadi tinggi.

Diagnosa Differensial

Syok hipovolemik menghasilkan mekanisme kompensasi yang terjadi

pada hampir semua organ tubuh. Hipovolemia adalah penyebab utama

syok pada trauma cedera. Syok hipovolemik perlu dibedakan dengan

syok hipoglikemik karena penyuntikan insulin berlebihan. Hal ini tidak

jarang terjadi pada pasien yang dirawat di Unit Gawat Darurat.

Akan terlihat gejala-gejala seperti kulit dingin, berkeriput, oliguri, dan

takhikardia. Jika pada anamnesa dinyatakan pasien sebelumnya

mendapat insulin, kecurigaan hipoglikemik sebaiknya dipertimbangkan.

Untuk membuktikan hal ini, setelah darah diambil untuk pemeriksaan

laboratorium (gula darah sewaktu), dicoba pemberian 50 ml glukosa

50% intravena atau 40 ml larutan dextrose 40% intravena.

Resusitasi Cairan

Manajemen cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen dapat

berakibat fatal. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input

cairan harus sama untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan itu

termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi cairan bukan untuk

kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan

menurunkan angka mortalitas.

Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan gangguan

pada fungsi kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan

merupakan akibat lanjut. Pada keadaan demikian, memperbaiki keadaan

Page 11: minggu 4

umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan dengan

pemberian cairan elektrolit, plasma, atau darah.

Untuk perbaikan sirkulasi, langkah utamanya adalah mengupayakan

aliran vena yang memadai. Mulailah dengan memberikan infus Saline

atau Ringer Laktat isotonis. Sebelumnya, ambil darah ± 20 ml untuk

pemeriksaan laboratorium rutin, golongan darah, dan bila perluCross

test. Perdarahan berat adalah kasus gawat darurat yang membahayakan

jiwa. Jika hemoglobin rendah maka cairan pengganti yang terbaik adalah

tranfusi darah.

Resusitasi cairan yang cepat merupakan landasan untuk terapi syok

hipovolemik. Sumber kehilangan darah atau cairan harus segera

diketahui agar dapat segera dilakukan tindakan. Cairan infus harus

diberikan dengan kecepatan yang cukup untuk segera mengatasi defisit

atau kehilangan cairan akibat syok. Penyebab yang umum dari

hipovolemia adalah perdarahan, kehilangan plasma atau cairan tubuh

lainnya seperti luka bakar, peritonitis, gastroenteritis yang lama atau

emesis, dan pankreatitis akuta.

Pemilihan Cairan Intravena

Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien,

konsentrasi elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan

parenteral telah dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai

kondisi medis. Terapi cairan intravena atau infus merupakan salah satu

aspek terpenting yang menentukan dalam penanganan dan perawatan

pasien.

Terapi awal pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai 2

liter larutan isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu

merupakan cairan terbaik untuk resusitasi. Resusitasi cairan yang

adekuat dapat menormalisasikan tekanan darah pada pasien kombustio

18-24 jam sesudah cedera luka bakar.

Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan

kristaloid, koloid, dan darah. Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi

syok hipovolemik. Keuntungan cairan kristaloid antara lain mudah

tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi, dan

sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat

berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih

perlu dicegah.

Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok

hipovolemik dengan hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis

metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan

cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah

besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis

metabolik, kombustio, dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan

Dextrose 5% digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti

kehilangan cairan insensibel.

Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat

metabolisme laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal,

sedangkan asetat dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh

dengan otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan Ringer Asetat

sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan

fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat

dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena

dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.

Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk

mengganti kehilangan cairan akut dan rumatan untuk mengganti

kebutuhan harian.

CAIRAN INTRAVENA  

Terapi cairan intravena terdiri dari cairan kristaloid, koloid, atau suatu

kombinasi kedua-duanya. Solusi cairan kristaloid adalah larutan

mengandung ion dengan berat molekul rendah (garam) dengan atau

tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid berisi ion dengan berat molekul

tinggi seperti protein atau glukosa. Cairan koloid menjaga tekanan

oncotic  plasma dan sebagian besar ada di intravascular, sedangkan

cairan kristaloid dengan cepat didistribusikan keseluruh ruang cairan

extracellular.  

Ada kontroversi mengenai penggunaan cairan koloid dan kristaloid

untuk pasien dg pembedahan. Para ahli mengatakan bahwa koloid dapat

menjaga plasma tekanan oncotic plasma, koloid lebih efektif dalam

mengembalikan volume intravascular dan curah jantung.Ahli yang lain

mengatakan bahwa pemberian cairan kristaloid efektif bila diberikan

dalam jumlah yang cukup. Pendapat yang mengatakan bahwa koloid

dapat menimbulkan edema pulmoner pada pasien dengan peningkatan

permeabilitas kapiler paru adalah tak benar, sebab tekanan onkotik

interstitial paru-paru sama dengan plasma ( lihat Bab 22). Beberapa

pernyataan dibawah ini yang mendukung : 

1. Kristaloid, jika diberikan dalam jumlah cukup sama

efektifnya dengan koloid dalam mengembalikan volume

intravascular. 

2. Mengembalikan deficit volume intravascular dengan

kristaloid biasanya memerlukan 3-4 kali dari jumlah cairan

jika menggunakan koloid. 

3. Kebanyakan pasien yang mengalami pembedahan

mengalami deficit cairan extracellular melebihi deficit cairan

intravascular.. 

4. Defisit cairan intravascular yang berat dapat

dikoreksi dengan cepat dengan menggunakan cairan koloid. 

5. Pemberian cairan kristaloid dalam jumlah besar (>

4-5 L) dapat menimbulkan edema jaringan.

Beberapa kasus membuktikan bahwa, adanya edema jaringan

mengganggu transport oksigen, memperlambat penyembuhan luka dan

memperlambat kembalinya fungsi pencernaan setelah pembedahan.

Cairan Kristaloid

Cairan kristaloid merupakan cairan untuk resusitasi awal pada pasien

dengan syok hemoragik dan septic syok seperti pasien luka bakar, pasien

dengan trauma kepala untuk menjaga tekanan perfusi otak, dan pasien

dengan plasmaphersis dan reseksi hepar. Jika 3-4 L cairan kristaloid

telah diberikan, dan respon hemodinamik tidak adekuat, cairan koloid

dapat diberikan. 

Ada beberapa macam cairan kristaloid yang tersedia. Pemilihan cairan

tergantung dari derajat dan macam kehilangan cairan. Untuk kehilangan

cairan hanya air, penggantiannya dengan cairan hipotonik dan disebut

juga maintenance type solution. Jika hehilangan cairannya air dan

elektrolit, penggantiannya dengan cairan isotonic dan disebut juga

replacement type solution. Dalam cairan, glukosa berfungsi menjaga

tonisitas dari cairan atau menghindari ketosis dan hipoglikemia dengan

cepat. Anak- anak cenderung akan menjadi hypoglycemia(< 50 mg/dL)

4-8 jam puasa. Wanita mungkin lebih cepat hypoglycemia jika puasa (>

24 h) disbanding pria. 

Kebanyakan jenis kehilangan cairan intraoperative adalah isotonik, maka

yang biasa digunakan adalah replacement type solution, tersering adalah

Ringer Laktat. Walaupun sedikit hypotonic, kira-kira 100 mL air per 1

liter mengandung Na serum 130 mEq/L, Ringer Laktat mempunyai

komposisi yang mirip dengan cairan extraselular dan paling sering

dipakai sebagai larutan fisiologis. Laktat yang ada didalam larutan ini

Page 12: minggu 4

dikonversi oleh hati sebagai bikarbonat. Jika larutan salin diberikan

dalam jumlah besar, dapat menyebabkan dilutional acidosis

hyperchloremic oleh karena Na dan Cl yang tinggi (154 mEq/L):

konsentrasi bikarbonat plasma menurun dan konsentrasi Clorida

meningkat. 

Larutan saline baik untuk alkalosis metabolic hipokloremik dan

mengencerkan Packed Red Cell untuk transfusi. Larutan D5W

digunakan untuk megganti deficit air dan sebagai cairan pemeliharaan

pada pasien dengan restriksi Natrium. Cairan hipertonis 3% digunakan

pada terapi hiponatremia simptomatik yang berat (lihat Bab 28). Cairan

3 – 7,5% disarankan dipakai untuk resusitasi pada pasien dengan syok

hipovolemik. Cairan ini diberikan lambat karena dapat menyebabkan

hemolisis. 

Cairan Koloid

Aktifitas osmotic dari molekul dengan berat jenis besar dari cairan

koloid untuk menjaga cairan ini ada di intravascular. Walaupun waktu

paruh dari cairan kristaloid dalam intravascular 20-30 menit,

kebanyakan cairan koloid mempunyai waktu paruh dalam intravascular

3-6 jam. Biasanya indikasi pemakaian cairan koloid adalah : 

1. Resusitasi cairan pada pasien dengan deficit cairan

intravascular yang berat (misal: syok hemoragik) sampai ada

transfusi darah. 

2. Resusitasi cairan pada hipoalbuminemia berat atau

keadaan dimana 

Kehilangan protein dalam jumlah besar seperti luka bakar. Pada pasien

luka bakar, koloid diberikan jika luka bakar >30% dari luas permukaan

tubuh atau jika > 3-4 L larutan kristaloid telah diberikan lebih dari 18-24

jam setelah trauma. 

Beberapa klinisi menggunakan cairan koloid yang dikombinasi dengan

kristaloid bila dibutuhkan cairan pengganti lebih dari 3-4 L untuk

transfuse. Harus dicatat bahwa cairan ini adalah normal saline ( Cl 145 –

154 mEq/L ) dan dapat juga menyebabkan asidosis metabolic

hiperkloremik. 

Banyak cairan koloid kini telah tersedia. Semuanya berasal dari protein

plasma atau polimer glukosa sintetik. Koloid yang berasal dari darah

termasuk albumin ( 5% dan 25 % ) dan fraksi plasma protein (5%).

Keduanya dipanaskan 60 derajat selama 10 jam untuk meminimalkan

resiko dari hepatitis dan penyakit virus lain. Fraksi plasma protein berisi

alpha dan beta globulin yang ditambahkan pada albumin dan

menghasilkan reaksi hipotensi. Ini adalah reaksi alergi yang alami da

melibatkan aktivasi dari kalikrein. 

Koloid sintetik termasuk Dextrose starches dan gelatin. Gelatin

berhubungan dengan histamine mediated- allergic reaction dan tidak

tersedia di United States.Dextran terdiri dari Dextran 70 ( Macrodex )

dan Dextran 40, yang dapat meningkatkan aliran darah mikrosirkulasi

dengan menurunkan viskositas darah. Pada Dextran juga ada efek

antiplatelet. Pemberian melebihi 20 ml/kg/hari dapat menyebabkan masa

perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat

juga bersifat antigenic dan anafilaktoid ringan dan berat dan ada reaksi

anafilaksis. Dextan 1 ( Promit ) sama dengan Dextran 40 atau dextran 70

untuk mencegah reaksi anafilaxis berat.;bekerja seperti hapten dan

mengikat setiap antibody dextran di sirkulasi. 

Hetastarch (hydroxyetil starch) tersedia dalam cairan 6 % dengan berat

molekul berkisar 450.000. Molekul-molekul yang kecil akan dieliminasi

oleh ginjal dan molekul besar dihancurkan pertama kali oleh amylase.

Hetastarch sangat efektif sebagai plasma expander dan lebih murah

disbanding albumin.. Lebihjauh, Hetastarch bersifat nonantigenik dan

reaksi anafilaxisnya jarang. Studi masa koagulasi dan masa perdarahan

umumnya tidak signifikan dengan infus 0.5 – 1 L. Pasien transplantasi

ginjal yang mendapat hetastarch masih controversial. Kontroversi ini

dihubungkan juga dengan penggunaan hetastarch pada pasien yang

menjalani bypass kardiopulmoner. Pentastarch, cairan starch dengan

berat molekul rendah, sedikit efek tambahannya dan dapat menggantikan

hetastarch.

 

TERAPI CAIRAN PERIOPERATIF

Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian deficit cairan,

kehilangan cairan normal dan kehilangan cairan lewat luka operasi

termasuk kehilangan darah.

Kebutuhan Pemeliharaan Normal    

Pada waktu intake oral tidak ada, deficit cairan dan elektrolit dapat

terjadi dengan cepat karena adanya pembentukan urin yang terus

berlangsung,sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses dari

kulit dan paru. Kebutuhan pemeliharaan normal dapat diestimasi dari

tabel berikut:

Tabel Estimasi Kebutuhan Cairan Pemeliharaan

       Berat Badan                                                       Kebutuhan        

10 kg pertama                                                            4 ml/kg/jam

10-20 kg kedua                                                          2 ml/kg/jam

Masing-masing kg  > 20 kg                                       1 ml/kg/jam

Contoh: berapa kebutuhan cairan pemeliharaan untuk anak 25 kg?

Jawab: 40+20+5=65 ml/jam

Preexisting Deficit    

Pasien yang akan dioperasi setelah semalam puasa tanpa intake cairan

akan menyebabkan defisit cairan sebanding dengan lamanya puasa.

Defisit ini dapat diperkirakan dengan mengalikan normal maintenance

dengan lamanya puasa. Untuk 70 kg, puasa 8 jam, perhitingannya (40 +

20 + 50) ml / jam x 8 jam atau 880 ml. Pada kenyataannya, defisit ini

dapat kurang sebagai hasil dari konservasi ginjal. Kehilangan cairan

abnormal sering dihubungkan dengan defisit preoperatif. Sering terdapat

hubungan antara perdarahan preoperatif, muntah, diuresis dan diare.

Penggantian Cairan Intraoperatif

Terapi cairan intraoperatif meliputi kebutuhan cairan dasar dan

penggantian deficit cairan preoperative seperti halnya kehilangan cairan

intraoperative ( darah, redistribusi dari cairan, dan penguapan).

Pemilihan jenis cairan intravena tergantung dari prosedur pembedahan

dan perkiraan kehilangan darah. Pada kasus kehilangan darah minimal

dan adanya pergeseran cairan, maka maintenance solution dapat

digunakan. Untuk semua prosedur yang lain Ringer Lactate biasa

digunakan untuk pemeliharaan cairan. Idealnya, kehilangan darah harus

digantikan dengan cairan kristaloid atau koloid untuk memelihara

volume cairan intravascular ( normovolemia) sampai bahaya anemia

berberat lebih (dibanding) resiko transfusi. Pada kehilangan darah dapat

diganti dengan transfuse sel darah merah. Transfusi dapat diberikan pada

Hb 7-8 g/dL (hematocrit 21 - 24%).

Hb < 7 g/dL cardiac output meningkat untuk menjaga agar transport

Oksigen tetap normal. Hb 10 g/dL biasanya pada pasien orang tua dan

penyakit yang berhubungan dengan jantung dan paru-paru. Batas lebih

tinggi mungkin digunakan jika diperkirakan ada kehilangan darah yang

terus menerus. Dalam prakteknya, banyak dokter memberi Ringer Laktat

kira-kira 3-4 kali dari banyaknya darah yang hilang, dan cairan koloid

dengan perbandingan 1:1 sampai dicapai Hb yang diharapkan.

Tabel. Perkiraan Volume Darah Rata-Rata (Average Blood Volumes) 

Umur                                          Volume Darah

NEONATES

     PREMATURE                            95 ML/KG

     FULL-TERM                             85 ML/KG

INFANTS                                       80 ML/KG

ADULTS

     MEN                                            75ML/KG

Page 13: minggu 4

     WOMAN                                     65 ML/KG

Pada keadaan ini   kehilangan darah dapat diganti dengan Packed red

blood cell.

Banyaknya transfusi dapat ditentukan dari hematocrit preoperatif dan

dengan perkiraan volume darah. Pasien dengan hematocrit normal

biasanya ditransfusi hanya setelah kehilangan darah >10-20% dari

volume darah mereka. Sebenarnya tergantung daripada kondisi pasien]

dan prosedur dari pembedahan . Perlu diketahui jumlah darah yang

hilang untuk penurunan hematocrit sampai 30%, dapat dihitung sebagai

berikut: Estimasi volume darah dari Tabel 29-5.

Estimasi volume sel darah merah (RBCV) hematocrit preoperative (RBCV preop).

Estimasi RBCV pada hematocrit 30% ( RBCV30%), untuk menjaga volume darah normal.

Memperkirakan volume sel darah merah yang hilang ketika hematocrit 30% adalah RBCV lost = RBCV preop - RBCV 30%.

Perkiraan jumlah darah yang hilang = RBCV lost X 3

Contoh :

Seorang perempuan 85 kg mempunyai suatu hematocrit preoperatif

35%. Berapa banyak jumah darah yang hilang untuk menurunkan

hematocritnya sampai 30%?

Volume Darah yang diperkirakan = 65 mL/kg x 85 kg = 5525 ml.

RBCV 35 % =  5525 x 35 % = 1934 mL.

RBCV30% = 5525 x 30 % = 1658 mL

Kehilangan sel darah merah pada 30% = 1934 - 1658 = 276 mL.

Perkiraan jumlah darah yang hilang = 3 x 276 mL = 828 mL.

Oleh karena itu, transfusi harus dipertimbangkan hanya jika pasien

kehilangan darah melebihi 800 ml. Transfusi tidak direkomendasikan

sampai terjadi penurunan hematocrit hingga 24% (hemoglobin < 8.0

g/dL), tetapi ini diperlukan untuk menghitung banyaknya darah yang

hilang, contohnya pada penyakit jantung dimana diberikan transfusi jika

kehilangan darah 800 mL.

Tabel. Redistribusi dan evaporasi kehilangn cairan saat pembedahan

DERAJAT DARI TRAUMA JARINGAN               PENAMBAHAN

CAIRAN

MINIMAL (contoh hernioraphy)                                        0 – 2 ml/Kg

SEDANG  ( contoh cholecystectomy)                               2 – 4 ml/Kg

BERAT (contohreseksi usus)                                               4 – 8 ml/Kg

Petunjuk lain yang biasa digunakan sebagai berikut:

1. Satu unit sel darah merah sel akan meningkatkan

hemoglobin 1 g/dL dan hematocrit 2-3% (pada orang dewasa);

dan 

2. 10mL/kg transfusi sel darah merah akan

meningkatkan hemoglobin 3g/dL dan hematocrit 10%.

Menggantikan Hilangnya Cairan Redistribusi dan Evaporasi

Sebab kehilangan cairan ini dihubungkan dengan ukuran luka dan

tingkat manipulasi dan pembedahan, dapat digolongkan menurut derajat

trauma jaringan. Kehilangan cairan tambahan ini dapat digantikan

menurut tabel di atas, berdasar pada apakah trauma jaringan adalah

minimal, moderat, atau berat. Ini hanyalah petunjuk, dan kebutuhan

yang sebenarnya bervariasi pada masing-masing pasien.   

TRANSFUSI 

GOLONGAN DARAH

Membran sel darah merah berisi sedikitnya 300 faktor penentu antigenic

berbeda. Sedikitnya 20 antigen golongan darah terpisah dapat dikenal;

tanda dari masing-masing adalah di bawah control genetic dari

chromosom loci. Kebetulan, hanya ABO dan Rh Sistem yang penting

pada transfusi darah. Setiap orang biasanya menghasilkan antibody

( alloantibodies). Antibodi bertanggung jawab untuk reaksi-reaksi dari

transfusi. Antibodi dapat menjadi “alami” atau sebagai respon atas

sensitisasi dari suatu kehamilan atau transfusi sebelumnya.

Sistem ABO

Kromosomal untuk sistem ABO ini menghasilkan dua alleles: A dan B.

Masing-masing merepresentasikan suatu enzim yang merupakan

modifikasi dari suatu permukaan sel glycoprotein, menghasilkan antigen

yang berbeda. (Sebenarnya, ada berbagai varian A dan B.) Hampir

semua individu tidak mempunyai A atau B " natural" yang menghasilkan

antibody [ sebagian besar immu-noglobulin M ( IgM)] melawan antigens

( Tabel 29-7) di dalam tahun pertama kehidupan. Antigen H adalah

precursor dari system ABO tetapi diproduksi oleh suatu chromosom

tempat berbeda. Tidak adanya  antigen H( hh genotype, juga

disebut Bombay pheno-type) mencegah munculny gen A atau B;

individu dengan  kondisi sangat jarang ini  akan mempunyai anti-A, anti-

B, dan anti-H antibodi.

Sistem Rh

Sistem Rh ditandai oleh dua gen yang menempati chromosome. Ada

sekitar 46 Rh-berhubungan dengan antigens, tetapi secara klinis, ada

lima antigen utama ( D, C, c, E, dan e) dan menyesuaikan dengan

antibody .Biasanya, ada atau tidak allele yang paling immunogenic dan

umum, D antigen, dipertimbangkan. Kira-Kira 80-85% tentang populasi

orang kulit putih mempunyai antigen D. Individu yang kekurangan allele

ini disebut Rh-Negative dan biasanya antibodi akan melawan antigen D

hanya setelah terpapar oleh ( Rh-Positive) transfusi sebelumnya atau

kehamilan ( seorang Ibu Rh-Negative melahirkan bayi Rh-Positive).

Sistem Lain

Sistem lain ini meliputi antigen Lewis, P, li, MNS, Kidd, Kell, Duffy,

Lutheran, Xg, Sid, Cartright, YK, dan Chido Rodgers antigens.

Kebetulan, dengan beberapa perkecualian ( Kell, Kidd, Duffy, Dan),

alloantibodi melawan sistem ini jarang menyebabkan reaksi hemolytic

serius. 

TES KOMPATIBILITAS 

Tujuan tes ini adalah untuk memprediksi dan untuk mencegah reaksi

antigen-antibody sebagai hasil transfusi sel darah merah. Donor dan

penerima donor darah harus di periksa adanya antibody yang tidak baik.

Tabel. Golongan darah ABO

  TIPE                              Adanya antibodi dalam serum          Insidensi*

     A                                                anti– B                                    45%

     B                                                anti – A                                      8%

   AB                                                    -                                             4%

      O                                            anti A, anti–B                             43%

* angka rata-rata  pada orang di Eropa

Tes ABO-Rh

Reaksi Transfusi yang paling berat adalah yang berhubungan dengan

inkompatibilitas ABO; antibody yang didapat secara alami dapat

bereaksi melawan antigen dari transfusi (asing), mengaktifkan

komplemen, dan mengakibatkan hemolisis intravascular. Sel darah

merah pasien diuji dengan serum yang dikenal mempunyai antibody

melawan A dan B untuk menentukan jenis darah. Oleh karena prevalensi

secara umum antibodi ABO alami, konfirmasi jenis darah kemudian

dibuat dengan menguji serum pasien melawan sel darah merah dengan

antigen yang dikenal.

Sel darah merah pasien juga diuji dengan antibody anti-D untuk

Page 14: minggu 4

menentukan Rh. Jika hasilnya adalah Rh-Negative, adanya antibodi anti-

D d dapat diuji dengan mencampur serum pasien dengan sel darah

merah Rh (+).Kemungkinan berkembangnya antibodi anti-D setelah

paparan pertama pada antigen Rh adalah 50-70%.

Crossmatching

Suatu crossmatch transfusi: sel donor dicampur dengan serum penerima.

Crossmatch mempunyai tiga fungsi: ( 1) Konfirmasi jenis ABO dan Rh (

kurang dari 5 menit), ( 2) mendeteksi antibodi pada golongan darah lain ,

dan ( 3) mendeteksi antibody dengan titer rendah atau tidak terjadi

aglutinasi mudah. Yang dua terakhir memerlukan sedikitnya 45 menit.

Screening Antibodi

Tujuan test ini adalah untuk mendeteksi dalam serum adanya antibodi

yang biasanya dihubungkan dengan reaksi hemolitik non-ABO. Test ini

( dikenal juga Coombs Tes tidak langsung) memerlukan 45 menit dan

dengan mencampur serum pasien dengan sel darah merah dari antigen

yang dikenal; jika ada antibodi spesifik, membran sel darah merah

dilapisi, dan penambahan dari suatu antibodi antiglobulin menghasilkan

aglutinasi sel daraah. Screening ini rutin dilakukan pada seluruh donor

darah dan dilakukan untuk penerima donor sebagai ganti dari crossmatch

.

Type & Crossmatch versus Type & ScreenTimbulnya suatu reaksi

hemolytic yang serius setelah transfusi dari ABO- dan Rh-Compatible

Transfusi dengan screening negatif tetapi tanpa crossmatch kurang dari

1%. Crossmatching, bagaimanapun, meyakinkan pentingnya kemanan

yang optimal dan mendeteksi adanya antibody yang lain yang muncul

dalam screening. Crossmatch kini dilakukan hanya untuk prosedur

operasi elektif dg kemungkinan transfusi darah. Oleh karena waktunya

sekitar 45 menit jika sebelumnya prosedur dua type dan screen telah

didokumentasikan, pada beberapa Center telah memulai crossmatch

secara komputer.

Pemesanan Darah Untuk OperasiKebanyakan rumah sakit menyusun

daftar operasi yang akan dilakukan dan yang maksimum jumlah unit

yang dapat dicrossmatch preoperati. Seperti pada praktek mencegah

berlebihan Crossmatching darah. Daftar pada umumnya didasarkan pada

masing-masing pengalaman institusi. Suatu crossmatch-to-transfusion

perbandingan kurang dari 2.5:1 dipertimbangkan bisa diterima. Hanya

suatu type and screen dilakukan jika timbulnya transfusi untuk suatu

prosedur kurang dari 10%. Jika transfusi diperlukan, dilakukan cross-

match . Pinjaman secara khas dibuat untuk pasien anemic dan mereka

yang mempunyai kelainan pembekuan.

TRANSFUSI DALAM KEADAAN DARURAT

Ketika pasien sedang exsanguinating, kebutuhan transfusi terjadi

sebelum penyelesaian suatu crossmatch, penyaringan , atau bahkan

identifikasi tipe darah. Jika jenis darah pasien sudah dikenal, dilakukan

crossmatch kurang dari 5 menit, akan mengkonfirmasikan kompatibilitas

ABO. Jika jenis darah penerima tidak dikenal dan transfusi harus

dimulai sebelum penentuan, jenis O Rh-Negative darah mungkin bisa

digunakan.

BANK DARAH

Darah dari pendonor disaring untuk mengeluarkan zat-zat yang dapat

mempengaruhi kondisi medis yang kurang baik bagi penerima donor.

Hematocrit ditentukan, jika >37% untuk allogeneic atau 32% untuk

donor autologous, darah dikumpulkan, diidentifikasi, disaring untuk

antibodi, dan dilakukan pengujian adanya Hepatitis B, Hepatitis C,

sipilis,human T cell leukemia virus ( HTLV)-1 dan HTLV-2, dan

Human immunodeficiency virus ( HIV)-1 dan HIV-2. Kebanyakan pusat

penelitian sedang melakukan tes terhadap asam nucleat virus RNA untuk

mendeteksi Hepatitis B dan C dan virus HIV ,dan sedang melakukan

deteksi terhadap West Nile Virus. Ada test yang sangat sensitif, dan

mereka perlu membatasi virus dengan window positif tetapi test negatif.

Pertama, darah dikumpulkan kemudian tambahkan larutan anticoagulant.

Larutan yang paling umum digunakan adalah CPDA-1, yang berisi sitrat

sebagai antikoagulan (berikatan dengan Calcium), fosfat sebagai buffer,

dextrose sebagai sumber energi sel darah merah, dan adenosine sebagai

precursor dari sintesa ATP.

Darah dengan CPDA-1- dapat disimpan untuk 35 hari, setelah

kelangsungan hidup sel darah merah dengan cepat berkurang. Sebagai

alternatif, penggunaan AS-1 ( Adsol) atau AS-3 ( Nutrice) meluas umur

rata-rata 6 minggu.

Semua unit yang dikumpulkan dipisahkan ke masing-masing komponen,

yang diberi nama, sel darah merah, platelets, dan plasma.

Ketika disentrifuge, 1 unit Whole blood utuh menghasilkan sekitar 250

mL packed red blood cel ( hematocrit 70%); mengikuti penambahan

larutan saline, volume suatu unit packed red cell sering mencapai 350

mL. Sel darah merah secara normal disimpan pada 1-6°C. Sel darah

merah dapat dibekukan dalam larutan glycerol hypertonis sampai 10

tahun. Teknik yang belakangan pada umumnya disediakan untuk

penyimpanan darah dengan phenotypes jarang. Supernatant disentrifuge

untuk menghasilkan platelets dan plasma. 1 Unit platelets yang diperoleh

biasanya berisi 50-70 mL plasma dan dapat disimpan pada 20- 24°C

untuk 5 hari. Sisa plasma supernatant diproses dan dibekukan untuk

menghasilkan Fresh frozen plasma; pembekuan cepat mencegah

inaktifasi faktor pembekuan ( V dan VIII). Pencairan yang lambat dari

Fresh frozen plasma menghasilkan suatu gelatin presipitat (cryo-

precipitate) yang berisi faktor VIII dan fibrinogen dengan konsentrasi

tinggi. Ketika dipisahkan, cryoprecipitate ini dapat dibekukan kembali

untuk disimpan. Satu unit darah menghasilkan sekitar 200 mL plasma,

yang mana dapat dibekukan untuk disimpan; sekali ketika, harus

ditransfusi dalam 24 jam. Platelets boleh sebagai alternatif untuk

mencapai plateletpheresis, yang ekuivalen dengan enam unit reguler dari

pasien .

TRANSFUSI INTRAOPERATIF   

Packed Red Blood Cells

Transfusi darah sebaiknya diberikan packed red cell, dan dapat

mengoptimalkan penggunaan dan pemanfaatan bank darah. Packed Red

Blood Cell ideal untuk pasien yang memerlukan sel darah merah tetapi

tidak penggantian volume ( misalnya, pasien anemia dengan congestive

heart failure). Pasien yang dioperasi memerlukan cairan seperti halnya

sel darah merah; kristaloid dapat diberikan dengan infuse secara

bersama-sama dengan jalur intravena yang kedua untuk penggantian

volume cairan.

Sebelum transfusi, masing-masing unit harus diperiksa secara hati-hati

dicek dengan kartu dari bank darah dan identitas dari penerima donor

darah. Tabung transfusi berisi 170-J.m untuk menyaring gumpalan atau

kotoran. Dengan ukuran sama dan saringan berbeda digunakan untuk

mengurangi leukocyte isi untuk mencegah febrile reaksi transfusi febrile

pada pasien yang sensitif. Darah untuk transfusi intraoperative harus

dihangatkan sampai 37°C. terutama jika lebih dari 2-3 unit yang akan

ditransfusi; jika tidak akan menyebabkan hypothermia. Efek tambahan

hypothermia dan secara khas 2,3-diphosphoglycerate ( 2,3-DPG)

konsentrasi rendah dalam darah yang disimpan dapat menyebabkan

suatu pergeseran kekiri ditandai hemoglobin-oxygen kurva-disosiasi dan,

menyebabkan hipoxia jaringan. Penghangat darah harus bisa menjaga

suhu darah > 30°C bahkan pada aliran rata-rata sampai 150 ml/menit

Fresh Frozen Plasma

Fresh Frozen Plasma ( FFP) berisi semua protein plasma, termasuk

semua factor pembekuan. Transfusi FFP ditandai penanganan defisiensi

faktor terisolasi, pembalikan warfarin therapy, dan koreksi coagulopathy

berhubungan dengan penyakit hati. Masing-Masing unit FFP biasanya

meningkatkan faktor pembekuan 2-3% pada orang dewasa. Pada

umumnya dosis awal 10-15 mL/kg. Tujuannya adalah untuk mencapai

Page 15: minggu 4

30% dari konsentrasi faktor pembekuan yang normal.

FFP boleh digunakan pada pasien yang sudah menerima transfusi darah

masive. Pasien dengan defisiensi ANTI-THROMBIN III atau purpura

thrombocyto-penic thrombotic dapat diberikan FFP transfusi.

Masing-Masing unit FFP membawa resiko cepat menyebar yang sama

sebagai unit darah utuh. Sebagai tambahan, pasien dapat menjadi peka

terhadap protein plasma. ABO-COMPATIBLE biasanya diberi tetapi

tidak wajib. Seperti butir-butir darah merah, FFP biasanya dihangatkan

37°C sebelum transfusi.

Platelets

Transfusi Platelet harus diberikan kepada pasien dengan

thrombocytopenia atau dysfunctional platelets dengan pendarahan.

Profilaxis Transfusi trombosit dapat diberikan pada pasien dengan

hitung trombosit 10,000-20,000 oleh karena resiko perdarahan spontan.

Hitung trombosit kurang dari 50,000 x 109/L dihubungkan dengan

peningkatan perdarahan selama pembedahan. Pasien dengan

thrombocytopenia yang mengalami pembedahan atau prosedur invasive

harus diberikan profilaxis transfusi trombosit sebelum operasi, hitung

trombosit harus meningkat diatas 100,000 x 109/L. Persalinan

pervaginam dan prosedur bedah minor dapat dilakukan pada pasien

dengan hitung trombosit yang agak rendah tapi fungsi trombosit normal

dan hitung trombosit >50,000 x 109/L.

Masing-Masing unit platelets mungkin diharapkan untuk meningkatkan

10,000-20,000 x 109/L dari trombosit. Plateletpheresis unit berisi yang

sejenisnya enam unit donor tunggal. Peningkatan lebih sedikit dapat

diharapkan pasien dengan suatu sejarah platelet transfusi. Disfungsi

dapat meningkatkan perdarahan pada pembedahan bahkan ketika

trombosit normal dan dapat didiagnosa preoperative dengan memeriksa

masa perdarahan. . Transfusi. Platelet diindikasikan pada pasien dengan

disfungsi trombosit dan meningkatkan perdarahan pada pembedahan.

ABO-compatible platelet transfusi adalah diinginkan tetapi tidak perlu.

Transfused Platelets biasanya survive hanya 1-7 hari yang mengikuti

transfusi. ABO kompatibel dapat meningkatkan platelet survival. Rh

sensitisasi dapat terjadi di Rh-Negative donor dalam kaitan dengan

adanyanit donor tunggal. Peningkatan lebih sedikit dapat diharapkan

pasien dengan suatu sejarah platelet transfusi. Disfungsi dapat

meningkatkan perdarahan pada pembedahan bahkan ketika trombosit

normal dan dapat didiagnosa preoperative dengan memeriksa masa

perdarahan. . Transfusi. Platelet diindikasikan pada pasien dengan

disfungsi trombosit dan meningkatkan perdarahan pada pembedahan.

ABO-compatible platelet transfusi adalah diinginkan tetapi tidak perlu.

Transfused Platelets biasanya survive hanya 1-7 hari yang mengikuti

transfusi. ABO kompatibel dapat meningkatkan platelet survival. Rh

sensitisasi dapat terjadi di Rh-Negative donor dalam kaitan dengan

adanya beberapa butir-butir darah merah di (dalam) Rh-Positive platelet

Unit. Lebih dari itu, anti-A atau anti-B zat darah penyerang kuman di

(dalam) yang 70 mL plasma pada setiap platelet unit dapat menyebabkan

suatu reaksi hemolytic melawan terhadap butir-butir darah merah

penerima ketika sejumlah besar ABO-incompatible platelet unit diberi.

Administrasi Rh immuno-globulin ke Rh-Negative Individu dapat

melindungi dari Rh sensitisasi yang mengikuti Rh-Positive platelet

Transfusi. Pasien yang kembang;kan zat darah penyerang kuman

melawan terhadap HLA antigens lymphocytes di (dalam) platelet

berkonsentrasi) atau platelet spesifik antigens memerlukan HLA-

COMPATIBLE atau single-donor unit. Penggunaan plateletpheresis

transfusi boleh ber/kurang kemungkinan sensitisasi.

Transfusi Granulosit

Transfusi Granulosit, yang dibuat dengan leukapheresis, diindikasikan

pada pasien neutropenia dengan infeksi bakteri yang tidak respon

dengan antibiotik. Transfusi granulosit mempunyai masa hidup dalam

sirkulasi sangat pendek, sedemikian sehingga sehari-hari transfusi 1010

granulocytes pada umumnya diperlukan. Iradiasi dari granulosit

menurunkan insiden timbulnya reaksi graft-versus-host , kerusakan

endothelial berhubungan dengan paru-paru, dan lain permasalahan

berhubungan dengan transfusi leukosit (lihat di bawah), tetapi

mempengaruhi fungsi granulosit. Ketersediaan filgrastim ( granulocyte

colony-stimulating faktor, atau G-CSF) dan sargramostim ( granulocyte-

macrophage colony-stimulating faktor, atau GM-CSF) telah sangat

mengurangi penggunaan transfusi granulosit.

KOMPLIKASI TRANSFUSI

A. Komplikasi Imun   

Komplikasi imun setelah transfusi darah terutama berkaitan dengan

sensitisasi donor ke sel darah merah, lekosit, trombosit atau protein

plasma.

1. Reaksi HemolyticReaksi Hemolytic pada umumnya melibatkan

destruksi spesifik dari sel darah merah yang ditransfusikan oleh antibody

resipien. Lebih sedikit biasanya, hemolysis sel darah merah resipien

terjadi sebagai hasil transfusi antibody sel darah merah.Trombosit

konsentrat yang inkompatible, FFP, clotting faktor, atau cryoprecipitate

berisi sejumlah kecil plasma dengan anti-A atau anti-B ( atau kedua-

duanya) alloantibodies. Transfusi dalam jumlah besar dapat

menyebabkan hemolisis intravascular.

Reaksi Hemolytic biasanya digolongkan akut ( intravascular) atau

delayed ( extravascular).

Reaksi Hemolytic AkutHemolisis Intravascular akut pada umumnya

berhubungan dengan Inkompatibilitas ABO dan frekwensi yang

dilaporkan kira-kira 1:38,000 transfusi. Penyebab yang paling umum

adalah misidentifikasi suatu pasien, spesimen darah, atau unit transfusi.

Reaksi ini adalah yang terberat. Resiko suatu reaksi hemolytic fatal

terjadi 1 dalam 100,000 transfusi. Pada pasien yang sadar, gejala

meliputi rasa dingin, demam, nausea, dan sakit dada. Pada pasien yang

dianestesi, manifestasi dari suatu reaksi hemolytic akut adalah suhu

meningkat, tachycardia tak dapat dijelaskan , hipotensi, hemoglobinuria,

dan oozing yang difus dari lapangan operasi. Disseminated Intravascular

Coagulation, shock, dan penurunan fungsi ginjal dapat berkembang

dengan cepat. Beratnya suatu reaksi seringkali tergantung pada berapa

banyak darah yang inkompatibel yang sudah diberikan. Gejala yang

berat dapat terjadi setelah infuse 10 – 15 ml darah yang ABO

inkompatibel. Manajemen reaksi hemoiytic dapat simpulkan sebagai

berikut: Jika dicurigai suatu reaksi hemolytic, transfusi harus dihentikan dengan segera.

Darah harus di cek ulang dengan slip darah dan identitas pasien.

Kateter urin dipasang , dan urin harus dicek adanya hemoglobin.

Osmotic diuresis harus diaktipkan dengan mannitol dan cairan kedalam pembuluh darah.

Jika ada perdarahan akut, indikasi pemberian platelets dan FFP

Reaksi hemolytic lambatSuatu reaksi hemolytic lambat biasanya disebut

hemolysis extravascular biasanya ringan dan disebabkan oleh antibody

non D antigen Sistem Rh atau ke asing alleles di system lain seperti Kell,

Duffy, atau Kidd antigens. Berikut suatu transfusi ABO dan Rh D-

compatible,pasien mempunyai 1-1.6% kesempatan membentuk antibody

untuk melawan antigen asing. Pada saat itu

Sejumlah antibody ini sudah terbentuk ( beberapa minggu sampai

beberapa bulan), tranfusi sel darah telah dibersihkan dari sirkulasi. Lebih

dari itu, titer antibody menurun dan mungkin tidak terdeteksi. Terpapar

kembali dengan antigen asing yang sama selama transfuse sel darah,

dapat mencetuskan respon antibody melawan antigen asing. Peristiwa ini

dilihat jelas dengan Sistem Kidd antigen. Reaksi hemolytic pada tipe

lambat terjadi 2-21 hari setelah transfusi, dan gejala biasanya ringan,

terdiri dari malaise, jaundice, dan demam. Hematocrit pasien tidak

meningkat setelah transfusi dan tidak adanya perdarahan. Serum

Page 16: minggu 4

bilirubin unconjugated meningkat sebagai hasil pemecahan hemoglobin.

Diagnosa antibody - reaksi hemolytic lambat mungkin difasilitasi oleh

antiglobulin (Coombs) Test. Coombs test mendeteksi adanya antibody di

membrane sel darah. Test ini tidak bisa membedakan antara membrane

antibody resipien pada sel darah merah dengan membrane antibody

donor pada sel darah merah. Jadi, ini memerlukan suatu pemeriksaan

ulang yang lebih terperinci pretransfusi pada kedua spesimen : pasien

dan donor.

Penanganan reaksi hemolytic lambat adalah suportif. Frekwensi reaksi

transfusi hemolytic lambat diperkirakan kira-kira 1:12,000 transfusi.

Kehamilan ( terpapar sel darah merah janin) dapat juga menyebabkan

pembentukan alloan-tibodies pada seldarah merah.

2. Reaksi Imun NonhemolitikReaksi imun Nonhemolytic adalah dalam

kaitan dengan sensitisasi dari resipien ke donor lekosit, platelets, atau

protein plasma.

Febrile Reaksi

Sensitisasi lekosit atau Platelet secara khas manifestasinya adalah reaksi

febrile. Reaksi ini umumnya ( 1-3% tentang episode transfusi) dan

ditandai oleh suatu peningkatan temperatur tanpa adanya hemolysis.

Pasien dengan suatu riwayat febrile berulang harus menerima tranfusi

lekosit saja. Transfusi sarah merahh dapat dibuat leukositnya kurang

dengan sentrifuge, filtration, atau teknik freeze-thaw.

Reaksi Urtikaria   

Reaksi Urtikaria pada umumnya ditandai oleh erythema, penyakit gatal

bintik merah dan bengkak, dan menimbulkan rasa gatal tanpa demam.

Pada umumnya ( 1% tentang transfusi) dan dipikirkan berkaitan dengan

sensitisasi pasien ke transfusi protein plasma. Reaksi Urticaria dapat

diatasi dengan obat antihistamine ( H, dan mungkin H2 blockers) dan

steroids.

Reaksi Anafilaksis    

Reaksi anafilaksis jarang terjadi (kurang lebih 150,000 transfusi). Reaksi

ini berat dan terjadi setelah hanya beberapa mililiter darah ditranfusi,

secara khas pada IgA- Pasien dengan Deficiensi anti-IgA yang

menerima tranfusi darah yang berisi IgA. Prevalensi defisiensi IgA

diperkirakan 1:600-800 pada populasi yang umum. Reaksi ini diatasi

dengan pemberian epinephrine, cairan, corticosteroids, dan H1, dan H2

blockers. Pasien dengan defisiensi IgAperlu menerima Washed Packed

Red Cells, deglycerolized frozen red cells, atau IgA-Free blood Unit .

Edema Pulmonary Noncardiogenic  

Sindrom acute lung injury (Transfusion-Related Acute Lung Injury

[ TRALI]) merupakan komplikasi yang jarang terjadi(< 1:10,000). Ini

berkaitan dengan transfusi antileukocytic atau anti-HLA antibodi yang

saling berhubungan dan menyebabkan sel darah putih pasien teragregasi

di sirkulasi pulmoner.Tranfusi sel darah putih dapat berinteraksi dengan

leukoaglutinin. Perawatan Awal TRALI adalah sama dengan Acute

Respiratory distress syndrome ( ARDS), tetapi dapat sembuh dalam 12-

48 jam dengan therapy suportif.

Graft versus Host Disease

Reaksi jenis ini dapat dilihat pada pasien immune-compromised. Produk

sel darah berisi lymfosit mampu mengaktifkan respon imun. Penggunaan

filter leukosit khusus sendiri tidak dapat dipercaya mencegah penyakit

graft-versus-host; iradiasi ( 1500-3000 cGy) sel darah merah,

granulocyte, dan transfusi platelet secara efektif menginaktifasi lymfosit

tanpa mengubahefikasi dari transfusi.

Purpura Posttransfusi

Thrombocytopenia jarang terjadi setelah transfusi darah dan ini

berkaitan dengan berkembangnya alloantibody trombosit. Karena alasan

yang tidak jelas, antibodi menghancurkan trombosit. Hitung trombosit

secara jelas menurun 1 minggu setelah tranfusi. Plasmapheresis dalam

hal ini dianjurkan.

Imun Supresi   

Transfusi leukosit-merupakan produk darah dapat sebagai

immunosuppressi. Ini adalah terlihat jelas pada penerima cangkok ginjal,

di mana transfusi darah preoperatif nampak untuk meningkatkan

survival dari graft. Beberapa studi menyatakan bahwa rekurensi dari

pertumbuhan malignan mungkin lebih mirip pada pasien yang menerima

transfusi darah selamapembedahan. Dari kejadian yang ada juga

menyatakan bahwa tranfusi leukocyte allogenic dapat mengaktifkan

virus laten pada resipien. Pada akhirnya, transfusi darah dapat

meningkatkan timbulnya infeksi yang serius setelah pembedahan atau

trauma.

B. Komplikasi Infeksi 

1. Infeksi virus

HepatitisSampai tes rutin untuk virus hepatitis telah diterapkan,

insidensi timbulnya hepatitis setelah transfusi darah 7-10%. Sedikitnya

90% tentang kasus ini adalah dalam kaitan dengan hepatitis C virus.

Timbulnya hepatitis posttransfusi antarab 1:63,000 dan 1:1,600,000;

75% tentang kasus ini adalah anicteric, dan sedikitnya 50%

berkembang;menjadi penyakit hati kronis. Lebih dari itu, tentang

kelompok yang terakhir ini, sedikitnya 10-20% berkembang menjadi

cirrhosis.

Acquired Immunodeficiency Syndrome ( AIDS )Virus yang

bertanggung jawab untuk penyakit ini, HIV-1, ditularkan melalui

transfusi darah. Semua darah dites untuk mengetahui adanya anti-HIV-1

dan - 2 antibodi . Dengan adanya FDA yang menguji asam nukleat

memperkecil waktu kurang dari satu minggu dan menurunkan resiko

dari penularan HIV melalui tranfusi 1:1.900.000 tranfusi.

Infeksi Virus LainCytomegalovirus (CMV) dan Epstein-Barr Virus

umumnya menyebabkan penyakit sistemik ringan atau

asimptomatik.Yang kurang menguntungkan, pada beberapa individu

menjadi pembawa infeksi asimptomatik; lekosit dalam darah dari donor

dapat menularkan virus. Pasien immunosupresi dan Immunocompromise

( misalnya, bayi prematur dan penerima transplantasi organ ) peka

terhadap infeksi CMV berat setelah tranfusi. Idealnya, . pasien- pasien

menerima hanya CMV negative. Bagaimanapun, studi terbaru

menunjukkan bahwa resiko transmisi CMV dari transfusi dari darah

yang leukositnya berkurang sama dengan tes darah yang CMV negative.

Oleh karena itu, pemberian darah dengan leukosit yang dikurangi secara

klinis cocok diberikan pada pasien seperti itu. Human T sel virus

lymphotropic I dan II ( HTLV-1 dan HTLV-2) adalah leukemia dan

lymphoma virus, kedua-duanya telah dilaporkan ditularkan melalui

transfusi darah; leukemia dihubungkan dengan myelopathy. Penularan

Parvovirus telah dilaporkan setelah transfusi faktor pembekuan. dan

dapat mengakibatkan krisis transient aplastic pada pasient

immunocompromised. Penggunaan filter leukosit khusus nampaknya

mengurangi tetapi tidak mengeliminasi timbulnya komplikasi di atas.

2. Infeksi parasit

Penyakit parasit yang dapat ditularkan melalui transfusi seperti malaria,

toxoplasmosis, dan Penyakit Chagas'. Namun kasus-kasus tersebut

jarang terjadi.

3. Infeksi Bakteri

Kontaminasi bakteri dalam adalah penyebab kedua kematian melalui

transfusi. Prevalensi kultur positif dari kantong darah berkisar dari

1/2000 trombosit sampai 1/7000 untuk pRBC. Prevalensi sepsis oleh

karena transfusi darah berkisar dari 1/25,000 tromobosit sampai

1/250,000 untuk pRBC. Angka-angka ini secara relatif besar

Page 17: minggu 4

dibandingkan ke resiko HIV atau hepatitis, yang adalah di sekitar 1/1-2

juta. Baik bakteri gram-positive ( Staphylococus) dan bakteri gram-

negative ( Yersinia dan Citrobacter) jarang mencemari transfusi darah

dan menularkan penyakit. Untuk mencegah kemungkinan kontaminasi

dari bakteri, darah harus berikan dalam waktu kurang dari 4 jam.

Penyakit bakteri yang ditularkan melalui transfusi darah dari donor

meliputi sifilis, brucellosis, salmonellosis, yersiniosis, dan berbagai

macam rickettsia.

C. Transfusi Darah MasifTransfusi darah masif umumnya

didefinisikan sebagai kebutuhan transfusi satu sampai dua kali volume

darah pasien. Pada kebanyakan pasien dewasa, equivalent dengan 10-20

unit.

KoagulopatiPenyebab utama perdarahan setelah transfusi darah masif

adalah dilutional thrombocytopenia. Secara klinis dilusi dari factor

koagulasi tidak biasa terjadi pada pasien normal. Studi Koagulasi dan

hitung trombosit, jika tersedia, idealnya menjadi acuan transfusi

trombosit dan FFP. Analisa Viscoelastic dari pembekuan darah

(thromboelastography dan Sonoclot Analisa) juga bermanfaat.

Keracunan SitratKalsium berikatan dengan bahan pengawet sitrat

secara teoritis dapat menjadi penting setelah transfusi darah dalam

jumlah besar. Secara klinis hypocalcemia penting, karena menyebabkan

depresi jantung, tidak terjadi pada pasien normal kecuali jika transfusi

melebihi 1 U tiap-tiap 5 menit. Sebab metabolisme sitrat terutama di

hepar, pasien dengan penyakit atau disfungsi hepar ( dan kemungkinan

pada pasien hipothermi) memerlukan infuse calcium selama transfusi

massif ).

Hypothermia

Transfusi Darah massif adalah merupakan indikasi mutlak untuk semua

produk darah cairan intravena hangat ke temperatur badan normal.

Arhitmia Ventricular dapat menjadi fibrilasi ,sering terjadi pada

temperatur sekitar 30°C. Hypothermia dapat menghambat resusitasi

jantung. Penggunaan alat infus cepat dengan pemindahan panas yang

efisien sangat efisien telah sungguh mengurangi timbulnya insiden

hypothermia yang terkait dengan transfusi.

Keseimbangan asam basa Walaupun darah yang disimpan adalah

bersifat asam dalam kaitan dengan antikoagulan asam sitrat dan

akumulasi dari metabolit sel darah merahs (carbondioxida dan asam

laktat), berkenaan dengan metabolisme acidosis metabolik yang

berkaitan dengan transfusi tidaklah umum. Yang terbanyak dari kelainan

asam basa setelah tranfusi darah massif adalah alkalosis metabolic

postoperative.Ketika perfusi normal diperbaiki, asidosis metabolic

berakhir dan alkalosis metabolic progresif terjadi, sitrat dan laktat yang

ada dalam tranfusi dan cairan resusitasi diubah menjadi bikarbonat oleh

hepar.

Konsentrasi Kalium Serum Konsentrasi kalium Extracellular dalam

darah yang disimpan meningkat dengan waktu. Jumlah kalium

extracellular yang transfusi pada unit masing-msaing kurang dari 4 mEq

perunit. Hyperkalemia dapat berkembang dengan mengabaikan umur

darah ketika transfusi melebihi 100 mL/min. Hypokalemia biasanya

ditemui sesudah operasi, terutama sekali dihubungkan dengan alkalosis

metabolisme.

STRATEGI ALTERNATIF UNTUK PENAGANAN

KEHILANGAN DARAH SELAMA PEMBEDAHAN

Transfusi Autologous

Pasien yang mengalami prosedur pembedahan elektif dengan suatu

kemungkinan tinggi untuk transfusi dapat mendonorkan darah mereka

sendiri untuk digunakan selama operasi. Darah ini dapat dikumpulkan

mulai 4-5 minggu sebelum operasi. Pasien diperbolehkan untuk

mendonorkan satu kantong darah sepanjang hematokrit kurang lebih

34% atau hemoglobin sekitar 11 g/dl. Kebutuhan pemakaian darah

minimum 72 jam antara mendonorkan darah dan membuat volume

plasma kembali normal. Dengan suplementasi besi dan terapi

eritropoetin rekombinan ( 400 U perminggu), sedikitnya tiga atau empat

unit pada umumnya dikumpulkan sebelum operasi. Beberapa studi

menyatakan bahwa transfusi darah autologous tidak mempunyai efek

tambahan yang mempengaruhi survival pada pasien yang mengalami

operasi untuk kanker. Walaupun transfusi autologous mungkin

mengurangi resiko infeksi dan reaksi transfusi, mereka tidaklah dengan

sepenuhnya bebas dari resiko. Resiko meliputi reaksi immunologi yang

berhubungan dengan n kesalahan pekerjaan karyawan dalam

pengumpulan dan label, pencemaran, dan gudang/penyimpanan yang

tidak benar. Reaksi alergi dapat terjadi dalam kaitan dengan allergen

(misalnya, ethylen oksida), dapat masuk kedalam darah dari tempat

pengumpulan dan gudang/penyimpanan. Pengumpulan darah

preoperative autologous dilakukan dengan frekwensi berkurang.

Penyimpanan Darah dan Pemberian Cairan Melalui Infus

Berulang 

Teknik ini umumnya digunakan pada bedah jantung, vascular dan bedah

tulang. Darah di aspirasi intraoperatif bersama-sama dengan suatu

pencegah pembekuan darah ( heparin) ke dalam suatu reservoir. Setelah

jumlah darah cukup dikumpulkan, sel darah yang merah di

konsentratkan dan dicuci untuk dimurnikan dari kotoran dan zat

pembeku kemudian di transfusikan kembali ke dalam pasien. Konsentrat

darah tersebut umumnya mempunyai hematocrits 50-60%. Untuk

digunakan secara efektif, teknik ini memerlukan kehilangan darah lebih

besar dari 1000-1500 mL. Kontrainidikasi meliputi pencemaran dari luka

yang busuk dan tumor malignan, meskipun demikian kekhawatiran

tentang kemungkinan reinfusi sel malignan via teknik tills tidak

dibenarkan. Sistem lebih modern dan sederhana memungkinkan rein-

fusion darah tanpa centrifugae.

Normovolemic Hemodilusi

Hemodilution normovolemic akut bergantung pada pendapat bahwa jika

konsentrasi sel darah merah dikurangi, total kehilangan sel darah merah

dapat dikurangi apabila darah dalam jumlah besar ditumpahkan; lebih

dari itu, cardiac output tetap normal sebab volume intravascuiar

terkontrol. Darah umumnya dikeluarkan sebelum operasi melalui kateter

intravena yang besar dan digantikan dengan cairan kristaloid dan koloid,

supaya pasien tetap normovolemic tetapi dengan hematocrit 21-25%.

Darah yang dikeluarkan disimpan dalam kantong CPD pada suhu sampai

6 jam untuk menjaga fungsi dari trombosit; darah di transfusikan

kembali ke pasien setelah kehilangan darah atau lebih cepat jika

diperlukan.

Donor - Transfusi Langsung

Pasien dapat meminta donor darah dari anggota keluarga atau teman

yang mengandung ABO kompatibilitas. Kebanyakan bank darah tidak

menyarankan hal ini dan umumnya memerlukan donor kurang lebih 7

hari sebelum operasi untuk memproses darah dan mengkonfirmasikan

kompatibilitas.

Studi yang membandingkan keamanan dari pendonor-langsung dengan

donor secara random tidak ada perbedaan, ataupun bank darah lebih

aman.

KONSEP UTAMA

1. Walaupun waktu paruh cairan kristaloid didalam

intravascular adalah 20-30 menit, kebanyakan     cairan koloid

mempunyai waktu paruh antara 3-6 jam.

2. Pasien dengan hematocrit normal bisanya ditransfusi

hanya setelah kehilangan darah lebih dari 10-20% dari volume

Page 18: minggu 4

darahnya. Ini berdasarkan kondisi medis pasien dan prosedur

pembedahan.

3. Reaksi transfusi yang paling berat yaitu yang

berhubungan dengan inkompatibilitas ABO, antibody yang

didapat secara alami dapat bereaksi melawan antigen dalam

transfusi (asing), mengaktifkan komplemen,dan

mengakibatkan hemolysis intravascular.

4. Pada pasien yang dianestesi, manifestasi dari reaksi

hemolytic akut adalah kenaikan temperatur, tachycardia yang

tak dapat dijelaskan,hypotensi, hemoglobinuria dan oozing

difus dari lapangan operasi.

5. Transfusi leukocit termasuk produk darah dapat

menjadi immunosuppressive.

6. Pasien immunosupresi dan immunocompromised

(misalnya, bayi premature dan  penerima transplantasi organ)

terutama  peka  terhadap infeksi cytomegalovirus

(CMV) melalui transfusi. Seperti pasien yang hanya

menerima unit CMV-NEGATIVE.

7. Penyebab tersering pendarahan dari transfusi darah

yang massif adalah dilutional  thrombocytopenia.

8. Secara klinis hypocalcemia, menyebabkan depresi

jantung, tidak terjadi pada pasien   normal kecuali jika

transfusi melebihi 1 U tiap 5 menit.

9. Ketidakseimbangan asam basa yang paling sering

setelah transfusi darah masif adalah  alkalosis metabolic post

operative.