mini c-ex pterigyum

31
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA (UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA) Jl. Terusan Arjuna No.6 Kebon Jeruk – Jakarta Barat KEPANITERAAN KLINIK MINI C-EX ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA RS MARDI RAHAYU, KUDUS, JAWA TENGAH Nama : Nim : Tandatangan .................. .................. ........ Dr Pembimbing : Dr Djoko Heru S, Sp.M .................. .................. ......... I. IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. AR Umur : 39 tahun Alamat : KP Sumeneban Semarang Tengah Jenis kelamin : Laki - laki Agama : Islam 1

Upload: rucmanaaga

Post on 15-Dec-2015

244 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

ilmu penyakit mata

TRANSCRIPT

Page 1: Mini C-ex Pterigyum

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)

Jl. Terusan Arjuna No.6 Kebon Jeruk – Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK

MINI C-EX ILMU PENYAKIT MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

RS MARDI RAHAYU, KUDUS, JAWA TENGAH

Nama :

Nim :

Tandatangan

............................................

Dr Pembimbing : Dr Djoko Heru S, Sp.M .............................................

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. AR

Umur : 39 tahun

Alamat : KP Sumeneban Semarang Tengah

Jenis kelamin : Laki - laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Supir

Tanggal masuk RS : 03 Februari 2013

Tanggal pemeriksaan : 03 Februari 2013

Pemeriksa : Henri

Moderator : Dr Djoko Heru, Sp.M

1

Page 2: Mini C-ex Pterigyum

II. PEMERIKSAAN SUBJEKTIF

Auto anamnesis tanggal : 03 Februari 2013, jam 12.30

Keluhan utama

Mata kiri terasa kabur saat melihat jauh 1 hari SMRS

Riwayat penyakit sekarang

Pasien dirawat di RS Mardi Rahayu dengan keluhan pandangan pada mata kiri

tiba – tiba menjadi kabur 1 hari SMRS. Pasien juga mengeluhkan mata yang

merah dan sering terjadi berulang disertai rasa gatal dua tahun terakhir dan pada

mata sebelah kanan sering berair dan disertai kotoran mata. Pasien juga merasa

pada mata kanan dan kiri seperti ada benda asing yang mengganjal.

Pasien merupakan seorang supir bus yang sering terpapar dengan lingkungan

luar dengan pajanan matahari yang tinggi, riwayat trauma sebelumnya disangkal

oleh pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien memiliki riwayat diabetes melitus beberapa bulan terakhir. Pasien

menyangkal memiliki darah tinggi, asma, dan alergi.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang memilki penyakit dengan keluhan yang sama dengan

pasien.

Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien seorang supir bus nusantara sehingga segala biaya operasi dan rawat

inap ditanggung oleh perusahaan.

2

Page 3: Mini C-ex Pterigyum

III. PEMERIKSAAN FISIK

Status Ganeralis

Keadaan Umum : Tampak sakit ringan

Tanda Vital

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 78x/menit

Respiration rate : 20x/menit

Suhu : afebris

Kepala : Normocepali, rambut hitam, distribusi merata

Thoraks,

Jantung : BJ I-II regular, murni, gallop (-), murmur (-)

Paru : SN vesikuler, wheezing (-), ronki (-)

Ekstremitas : Akral hangat, udem -/-.

STATUS OPHTHALMOLOGIS

Catatan : 1 = pterigyum

OD PEMERIKSAAN OS

20/80 Visus 4/60

20/40 Koreksi 20/40

Gerak bola mata normal.

Enopthalmus (-)

Exopthalmus (-)

Strabismus (-)

Bulbus Oculi

Gerak bola mata normal.

Enopthalmus (-)

Exopthalmus (-)

Strabismus (-)

3

1

OD OS

Page 4: Mini C-ex Pterigyum

Nyeri tekan (-)

Edema (-)

Hiperemsi (-)

Blefarospasme (-)

Lagopthalmus (-)

Ektropin (-)

Entropion (-)

Palpebra

Nyeri tekan (-)

Edema (-)

Hiperemis (-)

Blefarospasme (-)

Lagopthalmus (-)

Ektropin (-)

Entropion (-)

Sekret (-)

Perdarahan

subkonjungtiva (-)

Pterigium (+)

Pinguekula (-)

Nevus Pingmentosa (-)

Kista Dermoid (-)

Conjuctiva bulbi

Sekret (-)

Perdarahan

subkonjungtiva (-)

Pterigium (+)

Pinguekula (-)

Nevus Pingmentosa (-)

Kista Dermoid (-)

Normal, warna putih Sclera Normal, warna putih

Bulat, jernih

Edem (-)

Infiltrat (-)

Sikatrik (-)

Kornea

Bulat, jernih

Edem (-)

Infiltrat (-)

Sikatrik (-)

Jernih

Kedalaman cukup

Hipopion (-)

Hifema (-)

Camera Oculi Anterior

Jernih

Kedalaman cukup

Hipopion (-)

Hifema (-)

Kripta (+)

Warna coklat

Edema (-)

Sinekia (-)

Atrofi (-)

Iris

Kripta (+)

Warna coklat

Edema (-)

Sinekia (-)

Atrofi (-)

Reguler

Letak sentral, tampak

jernih

Diameter 3 mm

Pupil

Reguler

Letak sentral, tampak

jernih

Diameter 3 mm

4

Page 5: Mini C-ex Pterigyum

Refleks pupil L/TL :

(+/+)

Refleks pupil L/TL :

(+/+)

Jernih Lensa Jernih

Jernih Vitreus Jernih

Positif, cermelang Fundus Refleks Positif, cermelang

C/D ratio 0,3. Eksudasi -

, arteri : vena = 2:3,

perdarahan - ,

neovaskularisasi - ,

eksudasi -

Retina C/D ratio 0,3. Eksudasi -

, arteri : vena = 2:3,

perdarahan - ,

neovaskularisasi - ,

eksudasi -

Normal Tekanan Intra Okuler Normal

Normal Sistem Lakrimasi Normal

Dalam Batas Normal Tes Konfrontasi Dalam Batas Normal

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak ada

V. RESUME

Subjektif

Pasien laki - laki usia 39 tahun datang dengan keluhan pandangan pada mata

kiri tiba – tiba menjadi kabur 1 hari SMRS. Pasien juga mengeluhkan mata yang

merah dan sering terjadi berulang disertai rasa gatal dua tahun terakhir dan pada

mata sebelah kanan sering berair dan disertai kotoran mata. Pasien juga merasa

pada mata kanan dan kiri seperti ada benda asing yang mengganjal.

Pasien merupakan seorang supir bus yang sering terpapar dengan lingkungan

luar dengan pajanan matahari yang tinggi, riwayat trauma sebelumnya disangkal

oleh pasien. Pasien memiliki riwayat diabetes melitus beberapa bulan terakhir.

Tidak ada keluarga yang memilki penyakit dengan keluhan yang sama dengan

pasien.

Objektif

o Pada pemeriksaan fisik ditemukan dalam batas normal.

o Pemeriksaan Ophthalmologis :

5

Page 6: Mini C-ex Pterigyum

OD PEMERIKSAAN OS

20/80 Visus 4/60

20/40 Koreksi 20/40

Sekret (-)

Perdarahan subkonjungtiva(-)

Pterigium (+)

Pinguekula (-)

Nevus Pingmentosa (-)

Kista Dermoid (-)

Conjuctiva bulbi

Sekret (-)

Perdarahan subkonjungtiva(-)

Pterigium (+)

Pinguekula (-)

Nevus Pingmentosa (-)

Kista Dermoid (-)

VI. DIAGNOSIS BANDING

1. Pterygium

2. Pseudopterygium

3. Pinguekula

VII. DIAGNOSIS KERJA

ODS pterygium + astigma miopy

Dasar Diagnosis:

- Anamnesis:

o Adanya jaringan fibrovaskular pada subkonjungtiva daerah nasal mata

sebelah kanan dan kiri

o mata kiri tiba – tiba menjadi kabur

o mata yang merah dan sering terjadi berulang disertai rasa gatal dan

pada mata sebelah kanan sering berair dan disertai kotoran mata.

o Pasien juga merasa pada mata kanan dan kiri seperti ada benda asing

yang mengganjal.

o Pasien merupakan seorang supir bus yang sering terpapar dengan

lingkungan luar dengan pajanan matahari yang tinggi

- Pemeriksaan status ganeralis:

Dalam batas normal

6

Page 7: Mini C-ex Pterigyum

- Pemeriksaan status ophtalmikus

VOD : S -0,50 C -1,25 X 80

VOS : S -1.00 C 1,50 X 95 20/40

ADS : S + 1,25 ODS

VIII. PENATALAKSANAAN

konservatif

- Tindakan konservatif, mengurangi iritasi maupun paparan sinar ultraviolet

dengan menggunakan kaca mata anti UV dan pemberian air mata buatan.

operatif

IX. PROGNOSIS

OD OS

Ad Functionam Dubia Ad bonam Dubia Ad bonam

Ad Sanationam Dubia Ad bonam Dubia Ad bonam

Ad Cosmetikum Dubia Ad bonam Dubia Ad bonam

Ad Vitam Dubia Ad bonam Dubia Ad bonam

X. USUL

- Operasi pterigyum

XI. SARAN

- Menjaga kebersihan mata

- Mengurangi paparan langsung sinar matahari

7

Page 8: Mini C-ex Pterigyum

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu “Pteron” yang artinya sayap (wing).

Pterygium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada subkonjungtiva

dan tumbuh menginfiltrasi permukaan kornea, umumnya bilateral di sisi nasal, biasanya

berbentuk segitiga dengan kepala/apex menghadap ke sentral kornea dan basis menghadap

lipatan semilunar pada cantus.1,2,3

Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat

degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal

ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga

dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila

terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah. 4

II. EPIDEMIOLOGI

Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan

kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering

mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah <370 lintang utara dan

selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 % di daerah dekat ekuator dan <2 % pada

daerah di atas lintang 400.5

Di Amerika Serikat, kasus pterygium sangat bervariasi tergantung pada lokasi

geografisnya. Di daratan Amerika Serikat, prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk

daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Sebuah

hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet

lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di

lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah. Pasien di bawah umur

15 tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi pterygium meningkat dengan umur, terutama

dekade ke 2 dan 3 kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20-49 tahun. Pterygium

rekuren sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan umur tua. Laki-laki 4 kali lebih

berisiko daripada perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah dan

riwayat paparan lingkungan di luar rumah.5,6

8

Page 9: Mini C-ex Pterigyum

III. ANATOMI KONJUNGTIVA

Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang

membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan

anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi

palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea dilimbus.3

Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola mata dan kelopak

mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bola mata baik dibagian atas

maupun bawah. Refleksi atau lipatan ini disebut dengan forniks superior dan inferior. Forniks

superior terletak 8-10 mm dari limbus sedangkan forniks inferior terletak 8 mm dari limbus.

Lipatan tersebut membentuk ruang potensial yang disebut dengan sakkus konjungtiva, yang

bermuara melalui fissura palpebra antara kelopak mata superior dan inferior. Pada bagian

medial konjungtiva, tidak ditemukan forniks, tetapi dapat ditemukan karunkula dan plika

semilunaris yang penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian lateral, forniks bersifat lebih

dalam hingga 14 mm dari limbus.7

Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:7

1. Konjungtiva Palpebra

Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior kelopak mata

yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi menjadi konjungtiva. Dari titik ini,

konjungtiva melapisi erat permukaan dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi

lagi menjadi zona marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai pada

mucocutaneus junction hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara pada sisi medial dari

zona marginal konjungtiva palpebra sehingga terbentuk komunikasi antara konjungtiva

dengan sistem lakrimal. Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan bagian dari

konjungtiva palpebralis yang melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat sangat vaskuler dan

translusen. Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai dari ujung perifer tarsus hingga

forniks. Pergerakan bola mata menyebabkan perlipatan horisontal konjungtiva orbital,

terutama jika mata terbuka. Secara fungsional, konjungtiva palpebra merupakan daerah

dimana reaksi patologis bisa ditemui.

9

Page 10: Mini C-ex Pterigyum

2. Konjungtiva Bulbi

Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya. Konjungtiva bulbi

dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat translusen sehingga sklera dibawahnya

dapat divisualisasikan. Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera melalui jaringan

alveolar, yang memungkinkan mata bergerak ke segala arah. Konjungtiva bulbi juga melekat

pada tendon muskuler rektus yang tertutup oleh kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus,

konjungtiva bulbi menyatu dengan kapsula tenon dan sklera.

3. Konjungtiva Forniks

Merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain

halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur sekitarnya konjungtiva

forniks ini melekat secara longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator

palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka

konjungtiva forniks dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut

berkontraksi. 7

Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua

arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak vena konjungtiva yang umumnya

mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak.

Pembuluh limfe konjungtiva tersusun didalam lapisan superfisial dan profundus dan

bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus limfatikus. Konjungtiva

menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini

memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.7

Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan epitel

konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan

epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan

pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel skuamous bertingkat. Sel-sel superfisial

mengandung sel-sel goblet bulat dan oval yang mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk

mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata prakornea

secara merata. 7

Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan di dekat

limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma di bagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan

adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa

10

Page 11: Mini C-ex Pterigyum

tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan

adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3 bulan. Hal ini menjelaskan

konjungtivitis inklusi pada nenonatus bersifat papilar bukan folikular dan mengapa

kemudian menjadi folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang

melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang

konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal aksesorius

(kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya mirip kelenjar lakrimal terletak di

dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, sisanya di forniks

bawah. Kelenjar wolfring terletak di tepi tarsus atas.7

IV. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Hingga saat ini etiologi pasti pterygium masih belum diketahui secara pasti. Beberapa

faktor resiko pterygium antara lain adalah paparan ultraviolet, mikro trauma kronis pada

mata, infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa kondisi kekurangan fungsi lakrimal film

baik secara kuantitas maupun kualitas, konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A juga

berpotensi menimbulkan pterygium. Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa etiologi

pterygium merupakan suatu fenomena iritatif akibat pengeringan dan lingkungan dengan

banyak angin karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di

lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir. Beberapa kasus

dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan berdasarkan penelitian

menunjukkan riwayat keluarga dengan pterygium, kemungkinan diturunkan autosom

dominan.2,5,8

Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterygium. Disebutkan

bahwa radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya. Sinar UV-B merupakan

sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih

embrional di basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel),

perubahan pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan dan menyebabkan pengaturan

berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi seluler dan angiogenesis. Perubahan

patologis tersebut termasuk juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan

fibrovesikular, seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal,

menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia. 8

Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi, bahan iritan

lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko pterygium. Orang yang banyak

11

Page 12: Mini C-ex Pterigyum

menghabiskan waktunya dengan melakukan aktivitas di luar ruangan lebih sering mengalami

pterygium dan pinguekula dibandingkan dengan orang yang melakukan aktivitas di dalam

ruangan. Kelompok masyarakat yang sering terkena pterygium adalah petani, nelayan atau

olahragawan (golf) dan tukang kebun. Kebanyakan timbulnya pterygium memang

multifaktorial dan termasuk kemungkinan adanya keturunan (faktor herediter). 8

Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal. Penyebab dominannya

pterygium terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui namun kemungkinan

disebabkan meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra violet di area tersebut. Sebuah

penelitian menyebutkan bahwa kornea sendiri dapat bekerja seperti lensa menyamping (side-

on) yang dapat memfokuskan sinar ultra violet ke area nasal tersebut. 8

Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium memiliki bentuk yang menyerupai

tumor. Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan setelah dilakukannya reseksi

dan jenis terapi yang diikuti selanjutnya (radiasi, antimetabolit). Gen p53 yang merupakan

penanda neoplasia dan apoptosis ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini merupakan

kelainan pertumbuhan yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol daripada

kelainan degeneratif. 11

1. Paparan sinar matahari (UV)

Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam perkembangan

terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya sangat tinggi pada populasi

yang berada pada daerah dekat equator dan pada orang –orang yang menghabiskan banyak

waktu di lapangan. 8

2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)

Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah alergen, bahan

kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan). UV-B merupakan mutagenik untuk

p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-

beta over produksi dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan

angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah degenerasi elastoid

kolagen dan timbulnya jaringan fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi

membran Bowman akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler. 8

12

Page 13: Mini C-ex Pterigyum

Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :

1. Usia

Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada usia dewasa

tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan berpendapat pterygium terbanyak pada

usia dekade dua dan tiga. 8

2. Pekerjaan

Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar UV. 8

3. Tempat tinggal

Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi geografisnya. Distribusi ini

meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad terakhir

menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang lebih

tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya

pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita pterygium 36 kali lebih besar

dibandingkan daerah yang lebih selatan. 8

4. Jenis kelamin

Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.

5. Herediter

Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal dominan. 8

6. Infeksi

Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterygium. 8

7. Faktor risiko lainnya

Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu seperti asap

rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterygium. 8

13

Page 14: Mini C-ex Pterigyum

V. KLASIFIKASI PTERYGIUM 5,9

Pterygium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium,

progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera , yaitu:

1. Berdasarkan Tipenya pterygium dibagi atas 3 :

- Tipe I : Pterygium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi

kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea. Stocker’s line atau deposit besi

dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterygium. Lesi sering asimptomatis, meskipun

sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami

keluhan lebih cepat.

- Tipe II : di sebut juga pterygium tipe primer advanced atau ptrerigium rekuren

tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterygium sering nampak kapiler-kapiler yang

membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi,

berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmat.

- Tipe III: Pterygium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik.

Merupakan bentuk pterygium yang paling berat. Keterlibatan zona optik membedakan tipe ini

dengan yang lain. Lesi mengenai kornea > 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang

luas khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang

meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan

2. Berdasarkan stadium pterygium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:

Stadium I : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea

Stadium II : jika pterygium sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil, tidak

lebih dari 2 mm melewati kornea.

Stadium III : jika pterygium sudah melebihi stadium II tetapi tidak melebihi pinggiran

pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm).

Stadium IV : jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga

mengganggu penglihatan.

14

Page 15: Mini C-ex Pterigyum

3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterygium dibagi menjadi 2 yaitu:

- Pterygium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di

depan kepala pterygium (disebut cap dari pterygium)

- Pterygium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk

membran, tetapi tidak pernah hilang.

4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterygium dan harus diperiksa

dengan slit lamp pterygium dibagi 3 yaitu:

- T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat

- T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat

- T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.

VI. PATOFISIOLOGI

Terjadinya pterygium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar matahari,

walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan paparan terhadap

angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan faktor mutagenik bagi tumor

supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel basal di limbus. Ekspresi berlebihan sitokin

seperti TGF-β dan VEGF (vascular endothelial growth factor) menyebabkan regulasi

kolagenase, migrasi sel, dan angiogenesis.8

Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial

fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi elastoid (degenerasi basofilik)

dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di bawah epitel yaitu substansia propia yang

akhirnya menembus kornea. Kerusakan kornea terdapat pada lapisan membran Bowman yang

disebabkan oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi

ringan. Kerusakan membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk

pertumbuhan pterygium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.5,8

Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi

limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi

limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan

membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada

pterygium dan oleh karena itu banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pterygium

15

Page 16: Mini C-ex Pterigyum

merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell.

Pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler

yang ditutupi oleh epitel. Pada pemeriksaan histopatologi daerah kolagen abnormal yang

mengalami degenerasi elastolik tersebut ditemukan basofilia dengan menggunakan

pewarnaan hematoxylin dan eosin, Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular

sangat khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau

bahkan displastik dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet 2,5,6,8

VII. GAMBARAN KLINIK

Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama

sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata sering berair dan tampak

merah, merasa seperti ada benda asing, dapat timbul astigmatisme akibat kornea tertarik,

pada pterygium lanjut stadium 3 dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam

penglihatan menurun. 1,6,8

Pterygium memiliki tiga bagian :

i. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada

kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan menghancurkan

lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron line/Stocker’s line) dapat dilihat pada

bagian anterior kepala. Area ini juga merupakan area kornea yang kering.

ii. Bagain whitish.Terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah lapisan

vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala.

iii. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat bergerak),

lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan merupakan area paling ujung.

Badan ini menjadi tanda khas yang paling penting untuk dilakukannya koreksi pembedahan10

VIII. DIAGNOSIS

Anamnesis

Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal,

mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat

mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan

sinar mathari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.1,2, 6

16

Page 17: Mini C-ex Pterigyum

Pemeriksaaan fisik

Pada inspeksi pterygium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada

permukaan konjuntiva. Pterygium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan tebal

tetapi ada juga pterygium yang avaskuler dan flat. Perigium paling sering ditemukan pada

konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterygium

pada daerah temporal. 6

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium adalah topografi

kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme ireguler yang

disebabkan oleh pterygium.6

IX. PENATALAKSANAAN

1. Konservatif

Penanganan pterygium pada tahap awal adalah berupa tindakann konservatif seperti

penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi maupun paparan sinar ultraviolet dengan

menggunakan kacamata anti UV dan pemberian air mata buatan/topical lubricating drops.8

2 . Tindakan operatif

Adapun indikasi operasi menurut Ziegler dan Guilermo Pico, yaitu:8

Menurut Ziegler :

1. Mengganggu visus

2. Mengganggu pergerakan bola mata

3. Berkembang progresif

4. Mendahului suatu operasi intraokuler

5. Kosmetik

17

Page 18: Mini C-ex Pterigyum

Menurut Guilermo Pico :

1. Progresif, resiko rekurensi > luas

2. Mengganggu visus

3. Mengganggu pergerakan bola mata

4. Masalah kosmeti

5. Di depan apeks pterygium terdapat Grey Zone

6. Pada pterygium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat

7. Terjadi kongesti (klinis) secara periodik

Pada prinsipnya, tatalaksana pterygium adalah dengan tindakan operasi. Ada berbagai

macam teknik operasi yang digunakan dalam penanganan pterygium di antaranya adalah:8

1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan permukaan

sklera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang

dapat mencapai 40-75%.

2. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, diman teknik ini

dilakukan bila luka pada konjuntiva relatif kecil.

3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk

memungkinkan dilakukannya penempatan flap.

4. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas eksisi untuk

membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi.

5. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva

bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit

atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan (misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare,

Dearfield, Illionis).

18

Page 19: Mini C-ex Pterigyum

X. DIAGNOSIS BANDING

Pterygium harus dapat dibedakan dengan pseudopterygium. Pseudopterygium terjadi

akibat pembentukan jaringan parut pada konjungtiva yang berbeda dengan pterygium,

dimana pada pseudopterygium terdapat adhesi antara konjungtiva yang sikatrik dengan

kornea dan sklera. Penyebabnya termasuk cedera kornea, cedera kimiawi dan termal.

Pseudopterygium menyebabkan nyeri dan penglihatan ganda. Penanganan pseudopterygium

adalah dengan melisiskan adhesi, eksisi jaringan konjungtiva yang sikatrik dan menutupi

defek sklera dengan graft konjungtiva yang berasal dari aspek temporal.10, 11

Selain itu pterygium juga didagnosis banding dengan pinguekula yang merupakan lesi

kuning keputihan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau temporal limbus. Tampak

seperti penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun karena kualitas air mata yang kurang

baik. Pada umumnya tidak diperlukan terapi tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid

topikal.10,11

XI. KOMPLIKASI

Komplikasi pterygium meliputi sebagai berikut:6,12

Pra-operatif:

1. Astigmat

Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterygium adalah astigmat karena

pterygium dapat menyebabkan perubahan bentuk kornea akibat adanya mekanisme penarikan

oleh pterygium serta terdapat pendataran daripada meridian horizontal pada kornea yang

berhubungan dengan adanya astigmat. Mekanisme pendataran itu sendiri belum jelas. Hal ini

diduga akibat “tear meniscus” antara puncak kornea dan peninggian pterygium. Astigmat

yang ditimbulkan oleh pterygium adalah astigmat “with the rule” dan iireguler astigmat.

2. Kemerahan

3. Iritasi

4. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea

5. Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi penglihatan dan

menyebabkan diplopia.

19

Page 20: Mini C-ex Pterigyum

Intra-operatif:

Nyeri, iritasi, kemerahan, graft oedema, corneoscleral dellen (thinning), dan

perdarahan subkonjungtival dapat terjadi akibat tindakan eksisi dengan conjunctival

autografting, namun komplikasi ini secara umum bersifat sementara dan tidak mengancam

penglihatan. 12

Pasca-operatif:

Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut:

1. Infeksi, reaksi bahan jahitan, diplopia, jaringan parut, parut kornea, graft konjungtiva

longgar, perforasi mata, perdarahan vitreus dan ablasi retina.

2. Penggunaan mitomycin C post operasi dapat menyebabkan ektasia atau nekrosis sklera

dan kornea

3. Pterygium rekuren.

XII. PROGNOSIS

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan pasien

dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterygium rekuren dapat

dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran

amnion.6

DAFTAR PUSTAKA

1. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management of

Pterygium. Opthalmic Pearls.2010

20

Page 21: Mini C-ex Pterigyum

2. Caldwell, M. Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 October 23]. Available from :

www.eyewiki.aao.org/Pterygium

3. Riordan, Paul. Dan Witcher, John. Vaughan & Asbury’s Oftalmologi Umum: edisi 17.

Jakarta : EGC. 2010. Hal 119.

4. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. 2006.p.2-7,117.

5. Laszuarni. Prevalensi Pterygium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter Spesialis Mata.

Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2009.

6. Cason, John B., .Amniotic Membrane Transplantation. [online] 2007. [cited 2011 October

23]. Available from : http://eyewiki.aao.org/Amniotic_Membrane_Transplant

7. Lang, Gerhad K. Conjungtiva. In : Ophtalmology A Pocket Textbook Atlas. New York :

Thieme Stutgart. 2000

8. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to Depositions and

Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In: External Disease and Cornea. San

Fransisco : American Academy of Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366

21