misteri riba
DESCRIPTION
ribaTRANSCRIPT
MISTERI RIBA’
Oleh: Dr. Alfi Julizun Azwar, M.Ag
Tulisan ini sengaja diformat dalam bentuk lepas. Dalam arti kata jauh dari kesan formal
ilmiah seperti karya-karya ilmiah akademika yang selama ini menggeluti dunia kampus dengan
segala atributnya. Tapi insya Allah tidak akan mengurangi kualitas isi dan ide-ide yang mungkin
dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi komunitas pembaca kampus khususnya dan “dunia”
lain pada umumnya.
Saya kira, orang awam sekalipun sudah tahu hukum dari riba’, bahwa riba’, yang sering
diistilahkan orang-orang “ndeso” dengan “nganakke duit”, itu haram. Walau dalam prakteknya
mereka secara sadar melakukannya. Bisa jadi banyak yang belum mendalami mengapa hingga
riba’ itu diharamkan. Apalagi jika dikaitkan dengan perburuan sousi terhadap kondisi prihatin
ekonomi, sosial dan politik Indonesia bahkan dunia sekarang ini, yang saya anggap sangat
kental berkaitan dengan riba’. Karena itu, memerangi riba’ sekarang ini sama dengan
memulihkan kondisi carut marut tesebut ke arah situasi yang lebih baik.
Perlu diingat, bahwa riba’ ini adalah prilaku ekonomi masyarakat Yahudi Thaif sejak
sebelum datangnya Islam. Dalam sejarah Islam pun ditegaskan, jika tradisi riba’ ini begitu
semaraknya di kalangan Yahudi Madinah sebelum dan pasca hijrah Rasulullah saw. ke sana.
Saking semaraknya, beberapa sahabat pun seperti Abbas bin Abi Thalib, Khalid bin Walid dan
lain-lain sempat melakukan riba’ hingga turun larangan terhadapnya. Kaum Yahudi terheran
dengan pengharaman riba’. Sebab keuntungan yang di dapat dari riba’ dianggap sama dengan
keuntungan dengan berdagang. Padahal jelas dalam QS. Al-Baqarah/2: 275, Allah swt.
berfirman; “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba’”.
Ada indikasi bahwa Allah tidak serta merta mengharamkan riba’. Tapi melalui methode
tadrijiyan/ berangsur-angsur, sama halnya dengan methode pengharaman khamr/ miras/
mikol. Pertama, Alquran menjelaskan adanya unsur negatif di dalam riba’ (QS. Al-Rum: 39), lalu
kemudian diisyaratkan akan haramnya riba’ (QS. Al-Nisa’: 161), keharaman ini dipertegas
dengan mengungkap salah satu bentuk riba’ (Ali Imran: 130), baru pamungkasnya Allah
mengharamkan riba’ dalam berbagai bentuknya. (Al-Baqarah/2: 278).
Hal ini setidaknya menunjukkan bahwa betapa tradisi riba’ ini sudah begitu
mengakarnya tumbuh dalam tradisi bangsa-bangsa lama. Sehingga mustahil dihapus dengan
sekali turun ayat pengharamannya. Meski itu tidak mustahil dalam faham kekuasaan Allah swt.
tapi setidaknya sunnah ini dapat menjadikan mereka lebih bisa menerima dan terhindar dari
penolakan yang serta merta.
Sebenarnya menurut hemat saya, awal pengharaman riba’ lebih tertera pada QS. Ali
Imran: 130, ada disebutkan kata “adh’afan mudha’afan” yang berarti “ berlipat ganda”. Praktek
para renternir Yahudi ketika itu benar-benar sangat mencekik. Pinjaman yang ada harus
dikembalikan dengan dana tambahan. Namun jika tiba hari H-nya belum dapat melunasi apa
yang telah disepakati di awal, maka si renternir akan menambah kewajiban pengembalian
pinjaman dari janji pertama. Begitu seterusnya hingga peminjam terbebani hutang yang
menjadi berlipat-lipat ganda jumlahnya dan tidak sanggup membayar. Sebagai ilustrasi, hutang
sepeda, motor harus melayang. Hutang motor, mobil harus melayang. Hutang mobil, rumah
harus melayang. Inilah yang disebut penzhaliman. Praktik-praktik begini kerap kita temui
terjadi pada nasabah-nasabah hampir seluruh bank di zaman ini. Maka berhati-hatilah jika
meminjam dana ke bank-bank tersebut.
Dalam beberapa ayat dan hadits tentang riba’, seringkali dikaitkan dengan zakat atau
shadaqah (QS. Al-Baqarah: 276; QS. Al-Rum: 39; HR. al-Nasa’i) ini menunjukkan adanya
hubungan antara keduanya. Hubungan itu menurut saya sebagai hubungan sebab akibat.
Akibat dari diharamkannya riba, maka Allah menyarankan zakat atau shadaqah sebagai solusi
dari target yang diinginkan dalam istilah “adh’afan mudha’afan”. Seperti kita ketahui bahwa
zakat atau shadaqah/ beramal adalah perbuatan yang memproduk pahala yang berlipat ganda,
hingga 700 kali lipat bahkan lebih.
Di dalam riba’ ada kezhaliman, ada egoisme, kekikiran, ketamakan, ada penumpukan
dan monopoli barang. Riba’ akan memecah belah masyarakat, antara peminjam dan yang
dipinjami. Hingga timbul rasa benci karena dizhalimi. Itulah prilaku para koruptor dan para
penyeleweng uang negara.
Sedangkan dalam zakat justru kebalikannya. Ada rasa sosial, kepedulian sesama,
membantu beban saudara yang papa. Ada penyebaran kekayaan, mempererat ikatan
persaudaraan dan ummat. Oleh karena itu, kemuliaan zakat dengan nilai-nilai yang
dikandungnya menjadi sebab mengapa zakat itu diwajibkan dan shadaqah dianjurkan. Dan
berbagai ancaman keras Allah swt. bagi mereka yang tidak mengeluarkannya. Allah memberi
gelar bakhil (pelit, medit, kikir, bocor halus) bagi yang tidak bersedekah. Betul-betul bodoh (jahil
murakkab) bila masih seseorang melakukan riba’ dan meninggalkan zakat maupun shadaqah.
Betapa tidak, dengan berzakat dan shadaqah dua hal sekaligus terlaksana, yaitu mendapat
untung yang berlipat ganda sekaligus terhindar dari amarah murka Allah swt. Sebaliknya,
dengan riba’ banyak berdosa sekaligus terkena murka-Nya.
Bagaimana dengan solusi carut marut kondisi sosial ekonomi dan politik negeri dan
dunia sekarang ini? Begini, kalau boleh saya simpulkan bahwa penyebabnya tak lain adalah
praktek riba’ yang telah menggurita. Tradisi riba’ kaum Yahudi Thaif dan Madinah dulu tidaklah
mati dan dipastikan tetap lestari serta mewabah ke seluruh penjuru dunia melalui bank-bank
dan biro jasa keuangan lainya. Hatta sebahagian yang bermerk ”syariah” sekalipun. Semua tidak
lepas dari kendali dan desain Yahudi internasional dengan berbagai mata uang kertas dan
logamnya. Dominasi Yahudi di Madinah pernah tergantikan oleh kerasulan Nabi Muhammad
saw. Meskipun ayat-ayat Riba’, kata Umar bin Khattab ra., termasuk pada bagian akhir
turunnya, dan Rasulullah tidak sempat menjelaskannya, akan tetapi setidaknya pengharaman
riba’ telah tuntas tanpa terkecuali. Pada praktek dan penjelasannya adalah menjadi amanat
para Khulafa’ al-Rasyidin pasca kepemimpinan Rasulullah saw. Artinya, bercermin dari sejarah
Islam, sebenarnya teorinya sederhana saja, bahwa jika ingin menghilangkan dominasi Yahudi
sekarang, maka turutlah apa yang telah dilakukan Rasulullah saw. dan Khulafa’ al-Rasyidin saat
di Madinah dulu. Hidupkanlah zakat, infaq dan shadaqah (ZIS) serta galakkan dan
pergunakanlah mata uang Dinar dan Dirham sebagai alat tukar dalam berniaga.
Inilah misteri di balik kata riba’, prilaku riba’, bentuk-bentuk riba’, alat-alat riba, para
pelaku riba, sebab riba, akibat riba’, sejarah riba’, ayat-ayat riba’, hadits-hadits riba dan dari
segala hal yang berbau riba’. Semoga menjadi aspirasi dan menginspirasi anda-anda para
pembaca. Amin
Wallahu a’lamu bi al-shawab!