model dinamik pengaturan hasil hutan...
TRANSCRIPT
MODEL DINAMIK PENGATURAN HASIL HUTAN TIDAK SEUMURDAN KONTRIBUSINYA TERHADAP EKONOMI DAERAH
(Studi Kasus : IUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Papua)
JONNI MARWA
SEKOLAH PASCA SARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Model Dinamik Pengaturan HasilHutan Tidak Seumur dan Kontribusi Terhadap Ekonomi Daerah : Studi KasusIUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Papua adalah karya sayasendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkanmaupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dandicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2009
Jonni MarwaE051060171
ABSTRACT
JONNI MARWA. Dynamic model of uneven-aged forests yield regulationand its contribution toward regional economic : Case Study at Concession ofPT.Bina Balantak Utama Sarmi Regency, Papua Province ). Under directionof Herry Purnomo and Dodik Ridho Nurrochmat
This research was aimed to obtain yield regulation method of uneven-agedforest, based on system dynamics model approach. Logged–over natural forest inthe concession area of PT. Bina Balantak Utama (PT.BBU), Sarmi Regency ofPapua Province was selected for study. Stand structure dynamic model wasestimated from re-measured permanent sample plot. It consists of ingrowth,upgrowth and mortality functions. The model was constructed based on speciesgroup (dipterocarpaceae, non dipterocarpaceae, and non commercial). Then,prediction data were compared with the actual data. The economic criteria werenet present value, benefit cost ratio, internal rate of return and land expectationvalue. The cutting simulation result shows that cutting cycle has negativecorrelation with the income government and income of customary communities.By using yield regulation method of uneven-aged forest PT.BBU contributed to0,56% of local government revenue and 47,91% of customary communities.
RINGKASAN
JONNI MARWA. Model Dinamik Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur danKontribusi Terhadap Ekonomi Daerah : Studi Kasus IUPHHK PT. Bina BalantakUtama Kabupaten Sarmi, Papua. Dibimbing oleh Herry Purnomo dan DodikRidho Nurrochmat.
Pengelolaan hutan di Papua (Propinsi Papua) sudah berjalan kurang lebihtiga dekade dan kini mengarah pada pengelolaan hutan bekas tebangan. Dengantujuan mengejar laju pertumbuhan ekonomi pemerintah telah memberikan ijin hakpengusahaan hutan kepada kurang lebih 54 perusahaan untuk mengelola hutanPapua yang luasnya kira-kira mencapai 31 juta hektar. Sejalan denganperkembangan pemanfaatan hutan tersebut, pemerintah maupun masyarakatsebagai pemilik sumberdaya hutan belum mendapatkan manfaat yang optimal.Kontribusi yang diberikan sektor kehutanan terhadap ekonomi Papua selamatahun 1993-2003 hanya mencapai 6,7% (Pawitno 2003).
Kebijakan-kebijakan baru pengelolaan hutan diharapkan mampumeningkatkan penerimaan daerah dan sekaligus meningkatkan kesejahteraanmasyarakat tanpa mengabaikan aspek-aspek pengelolaan yang lestari. Salah satubentuk pengelolaan hutan yang lestari adalah pengaturan hasil hutan melaluipenentuan jatah produksi tahunan (AAC, Annual Allowable Cutting) yangditetapkan pemerintah. Namun penetapan tersebut sering tidak sesuai dengankondisi spesifik lokal, sehingga menimbulkan pengelolaan hutan yang tidaklestari.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan alternatif pengaturan hasil hutantidak seumur berdasarkan intensitas penebangan dan siklus tebang yang lestarimenggunakan pendekatan sistem dinamik, serta kontribusi metode pengaturanhasil hutan terhadap peningkatan ekonomi masyarakat dan ekonomi daerah.
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah konsesi HPH PT. Bina BalantakUtama (BBU) Kabupaten Sarmi Propinsi Papua, pada Petak Ukur Permanen(PUP) RKT 2000/2001 petak 56 KK. Penelitian dilakukan selama tiga bulan sejakmaret sampai dengan mei 2008.
Data yang dikumpulkan meliputi : data pertumbuhan tegakan dan datastruktur tegakan hutan primer. Data pertumbuhan tegakan yang digunakan dalampenelitian ini adalah hasil pengukuran PUP pada Blok RKT 1999/2000 petak 56KK yang merupakan areal bekas tebangan 2 tahun. Pengukuran dilakukan padatahun 2001 sampai dengan tahun 2005. Data struktur tegakan yang diperoleh dariPUP dan hutan primer dipresentasikan dalam beberapa Kelas Diameter (Phn_D)menurut kelompok jenis dengan interval 10 cm ke atas, diameter terkecil(Phn_D15) berukuran 10-20 cm. Pembagian menurut kelompok jenis dilakukandengan mengelompokan ke dalam jenis dipterocarpaceae, non dipterocarpaceaedan non komersil.
Komponen penyusun dinamika struktur tegakan terdiri dari jumlah pohonpada berbagai kelas diameter dan kelompok jenis, dengan melibatkan unsurdinamika tegakan seperti alih tumbuh ( ingrowth), tambah tumbuh ( upgrowth),dan kematian (Mortality). Rumus Alometrik digunakan untuk menghitungbiomassa tegakan dalam pembuatan model usaha karbon adalah rumus pendugaan
2
biomassa secara umum yang dikemukakan oleh Brown.Selain itu dilakukan pulaanalisisi sistem dengan tahap analisis sistem dan simulasi yang dilakukan adalahsebagai berikut (Purnomo 2004; Grant et al. : Identifikasi isu, tujuan dan batasan,perumusan model konseptual, spesifikasi model kuantitatif serta evaluasi modeldan penggunaan model
Kelompok jenis non dipterocarpaceae merupakan penyusun utama strukturtegakan. Untuk mengetahui keterandalan model dilaukan uji Khi Kuadrat (x2)terhadap model dinamika tegakan. Berdasarkan statistik uji chi square diperolehnilai 2 hitung sebesar 12,98, jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai 2
tabel yaitu sebesar 27,59 pada derajat bebas 17 dan taraf nyata 5%. Hal inimembuktikan bahwa penggunaan model simulasi dinamika struktur tegakancukup handal, lebih mendekati kondisi aktual. Selain itu, dilakukan juga analisissensivitas terhadap perubahan harga, standar kompensasi dan suku bunga untukmelihat perilaku yang diharapkan dengan terlebih dahulu dilakukan simulasi padakondisi base line.
Secara ekonomi skenario siklus tebang memberikan hasil yang layak untukpengelola hutan dengan kondisi NPV, LEV, BCR dan IRR positif. Sedangkanskenario perburuan kayu memberi gambaran bahwa telah terjadi over eksploitasikarena ”double AAC” yaitu AAC HPH ditambah dengan AAC perburuan kayu, sehingga tegakan menjadi kolaps. Dengan demikian jangka waktu yangdiperlukan untuk melakukan penebangan ulang di lokasi yang sama semakinpanjang. Secara ekonomi penerimaan mayarakat dari kegiatan perburuan kayupada tahun-tahun awal menunjukan nilai penerimaan yang besar. Penerimaantersebut didistribusikan kepada pemilik kayu sebesar 20% dan 80% untuk pemilikmodal (penebang). Akibat penebangan secara intensif dalam rentang waktu yangterlalu dekat maka, penerimaan masyarakat pemilik kayu dan penebang kayumenjadi berkurang dan mengarah kepada hilangnya sumber pendapatan. Bagipenebang kayu walaupun penerimaannya makin berkurang, tetapi dapatmemanfaatkan sumberdaya kayu di tempat lain karena menguasai teknologi danmodal kerja (rent seeking). Skenario REDD memberikan hasil yang terbaik padasiklus tebang 30 tahun. Pendapatan skema REDD adalah selisih pemasukankarbon dengan pengeluaran usaha karbon. Pemasukan usaha karbon didapat daripenjualan jasa penyerapan karbon dalam satuan ton (tC) per hektar
Kontribusi yang diberikan berdasarkan skenario siklus tebang sangatlahkecil hanya 0,56% terhadap penerimaan pemerintah daerah. Penerimaan tersebutberasal dari Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH), dana reboisasi (DR), serta pajak-pajak. Kontribusi tersebut berpeluang untuk terus meningkat karena belumtermasuk sub-sektor industri pengolahan hasil hutan primer yang nantinya harusdibuka oleh setiap pemegang IUPHHK di Papua, hal ini terkait dengan kebijakanpemerintah Papua yang melarang penjualan log ke luar Papua dan mewajibkansetiap HPH/IUPHHK untuk membangun industri primer.
Disisi lain apabila pemerintah dan masyarakat terlibat dalam skemaperdagangan karbon melalui REDD, maka kontribusi yang dapat diberikanterhadap rata-rata penerimaan daerah hanya sebesar 0.008% terhadap penerimaandaerah Kabupaten Sarmi. Walaupun kontribusi yang diberikan relatif kecil namunskema yang ditawarkan perlu menjadi pertimbangan.
Kontribusi pengaturan hasil tidak hanya mengakomodir kepentinganpenerimaan pemerintah, tetapi penerimaan masyarakat adat juga disimulasikandalam penelitian ini. Hasil simulasi menunjukan adanya peningkatan jumlahpenerimaan kompensasi pada setiap siklus tebang dengan kontribusi rata-ratasebesar 47,91%. Walaupun jumlah kompensasi yang diterima terlihat cukup besar,namun nilai tersebut relatif kecil apabila didistribusikan kepada penduduk/ kepalakeluarga yang berada pada wilayah tersebut yakni Rp 617.848/ KK/tahun atau Rp51.457/kk/bulan. Pilihan siklus tebang berkaitan erat dengan kontribusi terhadaptambahan penerimaan masyarakat adat dari kompensasi hak ulayat danpenerimaan pemerintah. Walaupun masyarakat dan pemerintah memperoleh nilaitambah akibat aktivitas pemanfaatan kayu, namun bagi perusahan hal tersebutmerupakan biaya sehingga mempengaruhi kinerja finansial perusahaan. Hal inidapat dijadikan instrumen ekonomi sehingga HPH akan lebih termotivasi untukmengelola hutan yang berada dalam wilayah konsesi secara profesional danefisien dengan tetap berpegang pada aspek kelestarian produksi, ekonomi danlingkungan.
Secara keseluruhan dari simulasi yang dibangun hak-hak masyarakat adatterhadap kompensasi dari sumberdaya hutan dapat diakomodir, walaupun masihrelatif kecil dari nilai yang seharusnya diterima.
Kata Kunci : Sistem dinamik, pengaturan hasil, hutan tidak seumur, masyarakatadat
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dariInstitut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya
MODEL DINAMIK PENGATURAN HASIL HUTAN TIDAK SEUMURDAN KONTRIBUSINYA TERHADAP EKONOMI DAERAH
(Studi Kasus: IUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Papua)
JONN MARWA
TesisSebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains padaProgram Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2009
Judul Tesis : Model Dinamik Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumurdan Kontribusinya Terhadap Ekonomi Daerah(Studi Kasus IUPHHK PT. Bina Balantak UtamaKabupaten Sarmi, Papua)
Nama : Jonni Marwa
N R P : E051060171
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc
K e t u a A n g g o t a
Diketahui
Ketua Program StudiIlmu Pengetahuan Kehutanan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr.Ir. Imam Wahyudi, MS Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 7 Januari 2009 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Penulis bersyukur kehadirat Allah Bapa di Surga, atas segala limpahanHikmat dan Berkat-Nya, sehingga penulisan Tesis ini dapat diselesaikan denganbaik.
Tesis yang berjudul “MODEL DINAMIK PENGATURAN HASIL HUTAN TIDAK SEUMUR DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP EKONOMIDAERAH : Studi Kasus IUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi,Papua” disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) Sekolah PascasarjanaInstitut Pertanian Bogor (IPB). Adapun lokasi yang menjadi obyek penelitian iniadalah areal Petak Ukur Permanen (PUP) di dalam wilayah konsesi IUPHHKPT. Bina Balantak Utama (PT.BBU) Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua.
Ada beberapa hal yang menjadi latar belakang penelitian ini, antara lain:telah banyak kawasan hutan berubah menjadi areal bekas tebangan dan memilikikarakteristik yang berbeda dengan kondisi awal, sehingga diperlukan pengaturanhasil yang didasarkan atas kondisi hutan saat ini. Disisi lain hutan sebenarnyamengandung manfaat ganda yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat,namun akibat pemanfaatn eksesif telah mengurangi peranannya terhadapperkembangan ekonomi daerah terutama kesejahteraan masyarakat di dalam dansekitar hutan dan kelestariannya. Karena kompleksitas masalah pengelolaan hutanmaka pendekatan sistem dapat digunakan sebagai alat untuk mencari solusi dalampengaturan hasil dengan tetap mempertahankan kelestarian hutan.
Banyak pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisantesis dan selama penyelesaian studi di IPB ini. Untuk itu pada kesempatan ini,penulis menghaturkan terima kasih kepada Dr. Herry Purnomo, M.Comp dan Dr.Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc selaku pembimbing atas segala bimbingan,masukan dan saran selama penyusunan tesis ini, dan Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MSselaku Penguji Luar Komisi yang ikut menyumbangkan pemikirannya untukpenyempurnaan tulisan ini. Terima kasih penulis sampaikan pula kepada seluruhpimpinan dan staf PT. Bina Balantak Utama yang telah memberi kesempatan,tempat dan waktu untuk melaksanakan penelitian serta tim survey (Pak SteveSinon dan rekan-rekan) yang telah membantu dalam pengambilan data lapangan.
Terimakasih disampaikan juga kepada pemerintah pusat melalui departemenpendidikan nasional, pemerintah Provinsi Papua, serta pemerintah KabupatenSarmi yang telah memberikan beasiswa selama studi. Penghargaan yang tidakterucapkan kepada istri dan anak-anak yang telah mendorong, membantu danmemanjatkan doa serta mendampingi selama studi. Penghargaan jugadisampaikan kepada orang tua, kakak dan adik yang telah memberikan dukunganmoril maupun materil. Serta Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala doa, dorongan dan motivasinya.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian,sebagai tambahan literatur bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalambidang Ilmu Pengetahuan Kehutanan.
Bogor, Januari 2009
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jayapura, Provinsi Papua pada tanggal 3 Januari 1974 dariayah F. Marwa dan ibunda Ketty Sibi. Penulis merupakan putra keempat dari empatbersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Kehutanan, Fakultas PertanianUniversitas Cenderawasih (sekarang Univesitas Negeri Papua), lulus pada tahun 2000.Pada tahun 2006 penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan(IPK), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).
Pada tahun 2001–sekarang penulis bekerja sebagai staf pegajar di FakultasKehutanan Jurusan Manajemen Hutan Universitas Negeri Papua Manokwari. Adapunbidang kajian yang menjadi konsentrasi adalah manajemen hutan, serta ekonomisumberdaya hutan.
Bogor, Januari 2009
DAFTAR ISI
HalamanDAFTAR ISI……………………………………………………………..... iDAFTAR TABEL………………………………………………………… ivDAFTAR GAMBAR……………………………………………………... vPENDAHULUAN…………………………………………………………. 1Latar Belakang …………………………………………………………. 1Perumusan Masalah………………………………..…………………… 2
Tujuan Penelitian...................................................................................... 3
Manfaat Penelitian……………………………………………………… 4
TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………… 5
Konsep Pengaturan Hasil Hutan ......................................……………… 5
Sejarah Metode Pengaturan Hasil ............................................................ 5
Pengaturan Hasil Berdasarkan Model Simulasi ...................................... 6
Tegakan dan Struktur Tegakan................................................................. 9
Dinamika Struktur Tegakan...................................................................... 11
Model Pertumbuhan Hutan Tidak Seumur.............................................. 11
Perkembangan Penelitian Tentang Model Dinamika Struktur Tegakan.. 12
Model Pengelolaan Hutan Alam Secara Optimal..................................... 15
Pendugaan Nilai Lahan Hutan ................................................................ 16
Pendekatan Nilai Kini Bersih (Net Present Value).......................... 16
Pendekatan Nilai Harapan Lahan..................................................... 17
Internal Rate of Return (IRR).......................................................... 18
Benefit Cost Ratio (BCR)................................................................ 18
Usaha Perdagangan Karbon pada Hutan Alam Produksi…………....... 18
Biomassa.......................................................................................... 19
Reduce Emission from Deforestation and Degradation (REDD).... 20
AnalisisFinansial dan Analisisi Ekonomi……….…………………....... 20
Kontribusi Sektor Kehutanan Terhadap Ekonomi Daerah…………….... 21
Penerimaan Daerah dari Sektor Kehutanan…………………………...... 23
Model dan Simulasi.................................................................................. 25
Pendekatan Sistem Dinamik..................................................................... 26
ii
METODOLOGI PENELITIAN…………………………………………… 29
Kerangka Pemikiran Penelitian…………………………………………. 29
Lokasi dan Waktu Penelitian ………………………………………….. 32
Bahan dan Alat…………………………………………………………. 32
Metode Penelitian………………………………………………………. 33
Pengumpulan Data…………………………………………………... 33
Teknik Pengumpulan Data………………………………………… 33
Analisis Data…………………………………………………............ 34
Analisis Sistem dan Simulasi………………………………………... 35
Identifikasi isu, tujuan dan batasan………………………………........... 35
Perumusan Model Konseptual dan Spesifikasi Model Kuantitatif..... 36
Evaluasi Model................................................................................... 41
KEADAAN UMUM LOKASI...................................................................... 42
Letak dan Luas.......................................................................................... 42
Biofisik Kawasan...................................................................................... 43
Potensi Ekonomi Sumberdaya Hutan Kabupaten Sarmi........................... 43
Kondisi Ekonomi Daerah Penelitian......................................................... 45
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 47
Risalah data Petak Ukur Permanen (PUP)................................................ 47
Deskripsi Struktur Tegakan...................................................................... 47
Perhitungan Dinamika Tegakan................................................................ 48
Pembangunan Model Pengaturan Hasil Hutan......................................... 51
Identifikasi Isu, Tujuan dan Batasan…………………………………….. 52
Formulasi Model Konseptual..................................................................... 54
Merepresentasekan Model Konseptual...................................................... 56
Sub Model Dinamika Struktur Tegakan................................................. 56
Sub Model Pengembalian Ekonomi...................................................... 61
Sub Model Pengaturan Hasil................................................................. 64
Sub Model Penerimaan Masyarakat..................................................... 64
Sub Model REDD.................................................................................. 64
Evaluasi Model.......................................................................................... 65
Mengevaluasi Kewajaran dan Kelogisan Model................................ 65
iii
Mengevaluasi Hubungan Perilaku Model dengan Pola yang
diharapakan ...........................................................................................69
Perubahan Harga................................................................................... 70
Perubahan Suku Bunga......................................................................... 72
Perubahan Standar Kompensasi Masyarakat Adat............................... 74
Penggunaan Model ................................................................................... 75
Komparasi Skenario.................................................................................. 84
Kontribusi Terhadap Ekonomi Daerah..................................................... 85
Implikasi Kebijakan dari Simulasi............................................................ 87
KESIMPULAN DAN SARAN..................................................................... 90
Kesimpulan............................................................................................ 90
Saran....................................................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………... 91
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
No Halaman
1. Potensi Hutan Kabupaten Sarmi……………………..…...……….. 43
2. Keberadaan HPH/IUPHHK di Kabupaten Sarmi Tahun 2008........ 44
3. Kontribusi relatif sektor kehutanan terhadap PDRB KabupatenSarmi atas dasar harga konstan 2000 selama tahun 2001-2006 ( %)..
45
4. Riap rata-rata tegakan masing-masing kelompok jenis..................... 47
5. Nilai inrate dari masing-masing kelompok jenis.............................. 48
6. Laju upgrowthpada IUPHHK PT. BBU…………………………... 49
7. Laju mortality pada IUPHHK PT. BBU…………………………… 50
8. Luas Blok RKT, Volume Produksi dan Jumlah Batang selam IIRKL pada IUPHHK PT.BBU Kabupaten Sarmi Papua……………
51
9. Kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan.....………………… 57
10. Hasil Simulasi pengembalian ekonomi pada berbagai perubahanharga…………………………………………………………………
69
11. Petubahan Suku bunga terhadap NPV, LEV, dan BCR…………….. 72
12. Jumlah Pohon Masak Tebang berdasarkan hasil simulasi tanpapenebangan …………………………………………………………
75
13. Preskripsi intensitas penebangan, jumlah pohon yang ditebang,volume dan koefisien kelestarian hasil pada simulasi pengaturanhasil…………………………………………………………………..
77
14. Hasil Simulasi nilai NPV, LEV, BCR dan IRR pada berbagaipreskripsi penebangan dengan suku bungan 9%.................................
78
15. Proyeksi Penerimaan Pemerintah dan masyarakat pada berbagaisiklus tebang…………………………………………………………
79
16. Proyeksi Penerimaan REDD………………………………………... 83
17. Komparasi Skenario………………………………………………… 84
18. Kontribusi Penerimaan Sektor Kehutan dari PT.BBU terhadap rata-rata Penerimaan Daerah Kabupaten Sarmi berdasarkan scenariosiklus tebang…………………………………………………………
85
19. Kontribusi Penerimaan sektor kehutanan dari PT.BBU terhadaprata-rata penerimaan daerah Kabupaten Sarmi berdasarkan skenarioREDD…………………………………………………………
85
20. Kontribusi penerimaan kompensasi masyarakat adapt berdasarkanhasil simulasi dan actual……………………………………………..
86
v
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
1. Sumber Pendapatan Daerah Berdasarkan UU 33/2004…...……….. 22
2. Perbandingan Metode Pemecahan Masalah...……………………... 27
3. Kerangka Pemikiran Model Sistem Dinamik Pengelolaan HutanAlam .................................................................................................
30
4. Lokasi Penelitian hutan alam produksi PT. BBU Kabupaten Sarmi,Papua.................................................................................................
31
5. Diagram causal loop antar komponen dalam model........................ 54
6. Hubungan LBD tegakan (BA) terhadap parameter pertumbuhan..... 56
7. Representase model dinamik tegakan dipterocarpaceae................... 58
8. Representase model dinamik tegakan non dipterocarpaceae............ 58
9. Representase model dinamik tegakan non komersil......................... 59
10. Representase model pengembalian ekonomi.................................... 60
11. Representase model penerimaan masyarakat adat............................ 63
12. Representase Penerimaan REDD...................................................... 64
13. BAU dan Baseline kredit................................................................... 65
14. Proyeksi Dinamika Tegakan Jangka Panjang................................... 66
15. Perbandingan Struktur Tegakan Hasil Pengamatan denganSimulasi setelah 5 tahun menurut kelompok jenis : (a)Dipterocarpaceae, (b) Non Diterocarpaceae, (c) Non Komersil.......
67
16. Struktur Tegakan Hutan di Areal penelitian………………………. 68
17. Nilai harapan lahan pada berbagai siklus tebang dan harga……….. 70
18. Produksi Kayu Bulat IUPHHK PT. BBU tahun 2001-2007………. 70
19. Perubahan Suku Bunga terhadap NPV, LEV, dan BCR………… 72
20. Penerimaan Kompensasi pada kondisi terjadi perubahan standarkompensasi yaitu 0%, 20%, 40% dan 60%.......................................
74
21. Hasil Simulasi 70 tahun kondisi masak tebang jenisDipterocarpaceae, non dipterocarpaceae, dan non komrsil………...
74
22. Proyeksi jumlah pohon masak tebang (a), siklus tebang 30 tahun(b), siklus 35 tahun (c) siklus 40 tahun, (d) Semua siklus………..
76
23. Proyeksi penebangan pohon stiap pohon masak tebang…………... 81
24. Keadaan Penerimaan masyarakat pemilik hak ulayat & penebang... 82
25. Proyeksi Penerimaan REDD……...……………………………….. 83
vi
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
1 Komposisi Jenis dalam tegakan di areal hutan primer........……….. 96
2. Komposisi jenis pohon dalam tegakan di areal bekas tebanan….. 98
3. Model Kuantitatif pengaturan hasil hutan tidak seumur…………. 99
4. Representasi Model dinamika tegakan total..............................…. 112
5. Haisl simulasi nilai NPV, LEV, BCR dan IRR pada berbagaiperubahan suku bunga......................................................................
117
6. Representase sub model biaya produksi……………….................... 118
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ekosistem hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memberikan
manfaat majemuk dalam pelaksanaan pembangunan baik secara ekologi, sosial
maupun ekonomi. Manfaat tersebut sangat kuat dalam menunjang pembangunan
dan memberikan kontribusi sangat penting dalam menghasilkan devisa bagi
negara. Namun peran tersebut kini dihadapkan pada permasalahan pengelolaan
hutan yang tidak lestari karena kondisi hutan yang dikelola telah mengalami
perubahan. Areal berhutan terutama hutan alam produksi sebagian besar
merupakan areal hutan bekas tebangan (logged over area) yang kondisinya terus
mengalami degradasi karena aktivitas pembalakan secara eksesif, sehingga
diperlukan upaya-upaya pengelolaan hutan secara lestari.
Salah satu prasyarat utama tercapainya pengelolaan hutan lestari pada unit
pengelolaan hutan adalah tersedianya rencana pengelolaan hutan jangka panjang,
dimana pengaturan hasil merupakan komponen utamanya. Pengaturan hasil
melalui penentuan jatah tebang sangat berperan dalam pengelolaan hutan secara
lestari dan harus dilakukan secara spesifik karena kondisi dan potensi hutan
bervariasi pada berbagai areal. Pengaturan hasil tersebut harus ditetapkan secara
lebih cermat dan obyektif melalui mekanisme perencanaan yang baik.
Sementara diketahui bahwa preskrispi kunci perencanaan untuk hutan tidak
seumur seperti panjang siklus tebang, intensitas penebangan optimal, limit
diameter tebang dan proporsi jumlah batang yang ditebang memiliki fungsi
penting dalam pelestarian hutan. Penetapan preskripsi tersebut salah satunya
didasarkan pada pertimbangan kondisi dinamika struktur tegakan. Untuk
pertimbangan faktor ekonomi, struktur tegakan dapat menunjukkan potensi tegakan
minimal yang harus tersedia, sedangkan untuk pertimbangan ekologis dari struktur
tegakan akan diperoleh gambaran mengenai kemampuan regenerasi dari tegakan
(Suhendang 1993).
Dinamika struktur tegakan berkaitan erat dengan aspek ekonomi dalam
kegiatan produksi kayu karena memiliki korelasi dengan berapa lama modal
hendak ditanamkan untuk produksi kayu tersebut (Davis et al. 2001).
2
Memaksimumkan pendapatan yang didiskonto bermanfaat dalam mencapai
keadaan intensitas penebangan dan siklus tebang yang optimal. Strategi ini
memerlukan evaluasi finansial sebagai alat untuk menilai kinerja finansial
perusahaan.
Bertumpuh pada pertimbangan dinamika tegakan saja tidak cukup untuk
menjelaskan ekosistem hutan karena hutan memiliki kompleksitas dan
ketidakpastian, dinamis, non linear sehingga diperlukan pengukuran secara
terpadu dengan mempertimbangkan aspek-aspek lain seperti ekonomi dan sosial
(Low et al. 1999; Ness et al. 2007). Sifat kompleksitas dapat didekati dengan
pendekatan sistem dinamik dengan pembangunan model-model menggunakan
perangkat komputer terhadap suatu situasi yang kompleks dan kemudian
melakukan eksperimen serta studi perilaku terhadap model tersebut dalam jangka
waktu tertentu (Caulfield and Maj 2001 dalam Ness et al. 2007).
Menurut Vanclay (1988), beberapa model telah dibangun untuk menguji
suksesi ekologi pada tipe hutan yang berbeda, tetapi model-model tersebut tidak
cocok untuk diterapkan dalam pengaturan hasil. Pendekatan matriks transisi yang
dikembangkan Usher pada tahun 1966 juga kecil kontribusinya untuk memahami
proses-proses pertumbuhan di dalam tegakan hutan. Dengan model sistem
dinamik diharapkan dapat menentukan preskripsi pengaturan hasil pada hutan
tidak seumur yang optimal dipandang dari aspek kelestarian produksi, dan aspek
sosial ekonomi serta kontribusi yang diberikan oleh metode pengaturan hasil
terhadap masyarakat dan penerimaan pemerintah daerah.
Perumusan Masalah
Pengelolaan hutan di Papua (Provinsi Papua) sudah berjalan kurang lebih
tiga dekade dan kini mengarah pada pengelolaan hutan bekas tebangan. Dengan
tujuan mengejar laju pertumbuhan ekonomi pemerintah telah memberikan ijin hak
pengusahaan hutan kepada kurang lebih 54 perusahaan untuk mengelola hutan
Papua yang luasnya kira-kira mencapai 31 juta hektar. Sejalan dengan
perkembangan pemanfaatan hutan tersebut, pemerintah maupun masyarakat
sebagai pemilik sumberdaya hutan belum mendapatkan manfaat yang optimal.
Kontribusi yang diberikan sektor kehutanan terhadap ekonomi Papua selama
3
tahun 1993-2003 hanya mencapai 6,7% (Pawitno 2003).
Kebijakan-kebijakan baru pengelolaan hutan diharapkan mampu
meningkatkan penerimaan daerah dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan
masyarakat tanpa mengabaikan aspek-aspek pengelolaan yang lestari. Salah satu
bentuk pengelolaan hutan yang lestari adalah pengaturan hasil hutan melalui
penentuan jatah tebang tahunan (AAC) yang ditetapkan pemerintah.
Penetapan AAC memiliki konsekuensi baik secara ekologis, ekonomi
maupun sosial. Metode pengaturan hasil yang selama ini digunakan untuk
menetapkan jatah tebang tahunan (AAC) lebih bersifat umum untuk semua
kondisi hutan, sehingga hampir dipraktekan pada sebagian besar HPH. Sementara
kondisi spesifik setiap HPH tidak selalu sama baik aspek klimatis maupun edafis,
sehingga diperlukan pengaturan hasil yang spesifik Salah satu HPH/IUPHHK
yang penetapan AACnya berdasarkan metode pengaturan konvensional adalah
IUPHHK PT. Bina Balantak Utama(BBU) Kabupaten Sarmi yang mengelola
hutan seluas 325.300 ha. Dengan pengetahuan dan teknik silvikultur hutan alam
produksi yang berkembang saat ini serta perubahan-perubahan kebijakan
pemerintah apakah pengelolaan hutan oleh IUPHHK melalui mekanisme
pengaturan hasil yang diterapkan akan memberikan hasil yang lestari? apakah
hutan yang dikelola akan mampu memberikan kontribusi optimal dalam
menopang perekonomian daerah? dan apakah layak untuk tetap diserahkan
kepada pemegang IUPHHK? Jika jawabannya tidak, maka perlu ditemukan
alternatif pengaturan hasil yang lestari.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji :
1. Alternatif pengaturan hasil hutan tidak seumur berdasarkan intensitas
penebangan dan siklus tebang yang lestari menggunakan pendekatan sistem
dinamik
2. Keterkaitan metode pengaturan hasil hutan terhadap peningkatan ekonomi
masyarakat dan ekonomi daerah
4
Manfaat Penelitian
Hasil yang diperoleh dari penelitian dapat dijadikan sebagai masukan
bagi para pembuat kebijakan dalam strategi pengelolaan hutan alam produksi
secara lestari. Alternatif pengaturan hasil yang dikembangkan dapat dijadikan
sebagai teknik pemanfaatan hutan yang optimal dan berkesimbungan sehingga
menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi wilayah.
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Pengaturan Hasil dalam Pengelolaan Hutan
Hasil tegakan adalah banyaknya dimensi tegakan yang dapat dipanen dan
dikeluarkan pada waktu tertentu atau jumlah kumulatif sampai pada waktu
tertentu (Davis & Johnson 1987). Kelestarian hasil tegakan akan dicapai apabila
pertumbuhan dan panen berlangsung secara seimbang.
Kelestarian hasil dipakai sebagai prinsip dasar dalam pemanenan dan
sangat bergantung pada sistem pengaturan hasil yang digunakan. Pengaturan hasil
merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengontrol jumlah, jenis atau
volume kayu sehingga dapat digunakan pada pemanenan berikutnya (McLeish &
Susanty 2000).
Pengaturan hasil memberikan pengaruh terhadap kelestarian sumberdaya
hutan secara ekologi, ekonomi maupun sosial. Tidak hanya itu saja, kelestarian
hasil yang banyak diterapkan di hutan tropis atau subtropis menempatkan
pemanfaatan hutan alam untuk jangka panjang apabila dilakukan secara konsisten
akan memberikan pengaruh yang nyata terhadap jasa lingkungan (seperti
perlindungan tata air dan tanah) maupun kualitas biologinya (seperti
keanekaragaman hayati).
Kelestarian pemanenan berarti jumlah dan tipe produk yang sama (dimensi,
kualitas, dan jenis) dapat diambil secara terus menerus dalam periode jangka
panjang. Hal ini berarti bahwa pemanenan harus mempertimbangkan resiliensi
sumberdaya hutan.
Konsep kelestarian hasil di atas sejalan dengan konsep pengelolaan hutan
yang lestari, yang oleh ITTO (1998) didefinisikan sebagai suatu proses
dalam mengelola hutan untuk mencapai satu atau beberapa tujuan yang secara
jelas telah ditentukan, menyangkut keberlanjutan produksi hasil dan manfaat lain
yang diinginkan tanpa menimbulkan kemunduran nilai produktifitas hutan dan
efek pada lingkungan fisik dan sosial untuk masa yang akan datang. Ada defenisi
lain yang menyatakan bahwa pengaturan hasil adalah penentuan hasil kayu dan
produksi lainnya dalam preskripsi rencana pengelolaan, termasuk dimana dan
kapan serta bagaimana hasil seharusnya diekstraksi (FAO 1998). Kedua defenisi
6
di atas secara bersama-sama menyertakan aspek ekologi, ekonomi dan sosial
budaya dalam pengelolaan hutan. Masuknya aspek sosial dalam pengelolaan
hutan lestari berarti bahwa manusia juga diperhitungkan sebagai bagian dari
ekosistem hutan. Secara teoritis kelestarian hasil tidaklah bersifat mutlak, terdapat
unsur kenisbian di dalamnya. Sumber kenisbian tersebut salah satunya adalah
ukuran yang dipakai untuk menyatakan hasilnya, apakah luas, volume kayu, nilai
uang, atau jumlah batang pohon. Tidak ada jaminan bahwa pemakaian salah satu
ukuran hasil memberikan tingkat kelestarian yang sama apabila diukur oleh
ukuran yang lain. Apabila terdapat tingkat kelestarian yang sama untuk semua
ukuran hasil, maka kejadian tersebut haruslah sangat istimewa dan hal tersebut
bukan merupakan fenomena alam yang biasa (Suhendang 1995).
Pengaturan Hasil Berdasarkan Model Simulasi
Pengaturan hasil berdasarkan model simulasi tidak dapat dipisahkan dari
model pertumbuhan dan hasil. Model simulasi berguna dalam menjelaskan
pemahaman dan prediksi. Selain itu model simulasi juga berguna untuk
menganalisis data, sintesis dan mengkomunikasikan pengetahuan yang ada, serta
mengidentifikasi gap dalam pemahaman (Vanclay 2002).
Model simulasi dapat diterapkan terhadap hutan yang bervariasi dari satu ke
lain tempat karena kompleksitas ekosistem hutan, sehingga asumsi tentang
kehomogenitas tegakan tidak begitu penting. Model ini dapat pula digunakan
untuk menguji berbagai rejim manajemen, dimana realisasi hasil tergantung pada
keakuratan dan kelengkapan model. Model-model tersebut memerlukan
pengetahuan tentang laju pertumbuhan dan dinamika tegakan (Alder 1999 dalam
Krisnawaty 2001).
Saat ini telah dikembangkan beberapa perangkat lunak simulasi untuk
memprediksi AAC atau pengaturan hasil. Beberapa penelitian tentang metode
pengaturan hasil untuk hutan bekas tebangan pada hutan alam produksi telah
dilakukan berdasarkan kombinasi tegakan persediaan hutan, riap volume tegakan
dan dinamika struktur tegakan hutan serta kondisi sosial ekonomi masyarakat
sekitar hutan.
7
a. Dipterocarp Forest Growth Simulation Model (DIPSIM).
DIPSIM (Dipterocarp Simulation Model) adalah suatu perangkat lunak
komputer yang dikembangkan oleh Promosi Sistem Pengelolaan Hutan Lestari
(Promotion of Sustainable Forest Management Systems, SFMP) melalui
kerjasama antara Pemerintah Indonesia (Menteri Kehutanan dan Perkebunan) dan
Jerman (Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit, GTZ). DIPSIM
adalah model pertumbuhan individu pohon yang dikembangkan dari data
pertumbuhan dan hasil melalui pengukuran secara berulang pada PUP di
Kalimantan Timur. DIPSIM digunakan untuk menentukan Jatah Tebang
Tahunan (JTT) berdasarkan simulasi pertumbuhan hutan (riap diameter pohon,
perubahan kualitas pohon, mortality, recruitment) dan simulasi pemanenan (Kleine
& Hinrich 1999 dalam Suhendang 2002).
b. Sustainable and Yield Management for Tropical Forests (SYMFOR).
SYMFOR merupakan model pertumbuhan dan hasil yang digunakan untuk
menilai dan mengevaluasi sistem manajemen secara ekologi, bukan merupakan
model konsesi hutan secara ekonomi. Aplikasi model SYMFOR dapat
dipergunakan untuk memprediksi pertumbuhan pohon, hasil tebangan dan
tegakan tinggal pada setiap periode sehingga dapat menentukan jangka waktu
optimal pemanenan tegakan. Salah satu studi kasus dalam uji coba metode
SYMFOR menunjukan bahwa sistem Reduce Impact Logging (RIL) 70 m3/ha
dengan pengaturan hasil (yield regulation) memberikan bentuk kelestarian hasil
yang lebih baik dibandingkan sistem TPTI dan RIL 8 batang/ha berdasarkan
besarnya potensi produksi terutama untuk areal dengan potensi tinggi (Susanty &
Sarjono 2001).
c. Yield Simulation System (YSS)
YSS adalah perangkat lunak komputer yang terdiri dari beberapa modul
program yang digunakan untuk menduga kondisi tegakan pada waktu yang akan
datang melalui teknik simulasi dengan menggunakan matriks transisi. YSS
dikembangkan pada tahun 1999 oleh Rombouts.
8
d. Model Prototipe The Forest Land Oriented Resource Envisioning System(pFLORES)
Model pFLORES merupakan suatu protipe model FLORES yang dibangun
oleh Muetzelfeldt dkk pada tahun 1997. Model pFLORES yang dibangun
menggunakan software modeling milik AME yang pada dasarnya menjelaskan
interaksi antara faktor-faktor sosiologi, ekologi, lingkungan dan ekonomi yang
berhubungan dengan penggunaan lahan (Muetzelfeldt et al. 1997).
e. Model The Forest Land Oriented Resource Envisioning System (FLORES)
Model FLORES merupakan model yang dikembangkan berdasarkan model
prototype FLORES selama kegiatan workshop di Bukit Tinggi Sumatera Barat
pada tahun 1999. Model ini dibangun selama kurang lebih tiga tahun berdasarkan
ide yang dimunculkan Vanclay pada tahun 1995 dengan menggunakan perangkat
komputer. Materi-materi yang disajikan dan dikirim dalam kegiatan workshop di
Bukit Tinggi tersebut dikompilasi dan dibangun model FLORES. Model
FLORES menggunakan perangkat lunak Simile sebagai tool (alat) dalam
mengolah data. Model ini dikembangkan dalam rangka memahami interaksi
antara manusia dan sumberdaya alam pada hutan-hutan marginal di negara-
negara sedang berkembang seperti Indonesia, Zimbabwe dan Cameroon
(Muetzelfedt dan Massheder 2003).
f. MYRLIN (Methods of Yield Regulations with Limited Information)
Metode ini dibangun oleh Alder bersama rekan-rekannya untuk
memprediksi hasil pertumbuhan tegakan pada hutan hujan tropika. Metode ini
menjelaskan pola-pola pertambahan diameter pohon untuk spesis tumbuhan pada
hutan hujan tropika yang memiliki kesamaan secara luas antara satu wilayah
dengan wilayah lainnya berdasarkan asumsi-asumsi umum yang dibuat terhadap
hasil pertumbuhan. Model ini menggunakan persamaan untuk memprediksi
pertambahan diameter, kematian pohon, dan perubahan lainnya dalam hutan
secara statistik. (Alder 2002 diacu dalam Vanclay 2003).
g. The Simile Visual Modeling Environmental
Bahasa program Simile merupakan suatu wadah yang menyediakan
kemampuan dan kemudahan relatif untuk membangun model-model dan simulasi
9
proses-proses biologi dalam hutan, pertumbuhan tegakan, proses pemasaran,
termasuk manusia dan sistem-sistem di dalam hutan (Vanclay 2003). Simile pada
awalnya dikenal sebagai AME (Agroforestry Modelling Environment) yang telah
dibangun oleh peneliti dari Universitas Edinburgh dan selama lima tahun terakhir
ini lebih fokus pada permasalahan bidang kehutanan. Bahasa program lain yang
sama dengan Simile adalah Vensim, Powersim dan Stella.
Tegakan dan Struktur Tegakan
Buongiorno dan Gilless (1987) mendefinisikan tegakan (stand) sebagai
luasan yang cukup kecil ditebang dalam periode waktu yang singkat, misalnya
satu tahun. Tegakan dapat berupa seluruh areal hutan atau bagian dari areal hutan
yang luas, yang dikelola dengan siklus tebang tertentu. Tegakan dalam perspektif
manajemen hutan merupakan suatu hamparan lahan hutan yang secara geografis
terpusat dan memiliki ciri-ciri kombinasi dan sifat-sifat vegetasi (komposisi jenis,
pola pertumbuhan, kualitas pertumbuhan), sifat-sifat fisik (bentuk lapangan),
memiliki luasan minimal tertentu sebagaimana yang diisyaratkan (Suhendang
1993).
Struktur tegakan dapat dibedakan atas struktur tegakan vertikal, struktur
tegakan horisontal dan struktur tegakan spasial. Menurut Richard (1964), struktur
tegakan vertikal adalah sebaran individu pohon dalam berbagai lapisan tajuk.
Sedangkan struktur tegakan horisontal didefenisikan sebagai banyaknya pohon
per satuan luas pada setiap kelas diameternya (Meyer et al., 1961 dalam Davis et
al. 2001). Struktur tegakan spasial berkaitan dengan keberadaan pohon-pohon
dalam suatu ruang tumbuh tertentu yang ditentukan oleh kondisi lingkungan
setempat, proses-proses kompetisi, kemampuan pohon untuk tumbuh dan
berkembang serta kematian, dan kemungkinan benih untuk berkembang dan
memperbaiki kapasitas tegakan. Penelitian ini hanya berfokus pada struktur
tegakan horisontal.
Struktur tegakan adalah penyebaran fisik dan temporal dari pohon-pohon
dalam tegakan berdasarkan jenis, pola penyebaran vertikal atau horisontal, ukuran
pohon atau pohon termasuk volume tajuk, indeks luas daun, batang, penampang
lintang batang, umur pohon atau kombinasinya (Oliver dan Larson 1990).
10
Bentuk struktur tegakan horizontal hutan alam pada umumnya mengikuti
persamaan eksponensial negatif atau bentuk huruf J-terbalik, tetapi struktur
tegakan hutan alam tidak selamanya mengikuti bentuk huruf J- terbalik (Meyer et
al. 1961; Davis & Johnson 1987). Hasil penelitian di hutan alam hujan tropis di
Imataca, mendapatkan fakta bahwa struktur tegakan untuk semua jenis mengikuti
bentuk huruf J-terbalik, tetapi apabila dibuat untuk setiap jenisnya, maka bentuk
struktur tegakannya beragam, sesuai dengan sifat toleransinya terhadap naungan.
Untuk pertimbangan faktor ekonomi, struktur tegakan dapat menunjukkan
potensi tegakan minimal yang harus tersedia, sedangkan untuk pertimbangan
ekologis dari struktur tegakan akan diperoleh gambaran mengenai kemampuan
regenerasi dari tegakan yang bersangkutan (Suhendang 1993).
Struktur tegakan dengan bentuk kurva yang menyerupai bentuk huruf J-
terbalik dengan model N = N0e -kD telah banyak ditemukan dalam penelitian-
penelitian ekologi hutan. Suhendang (1985) dalam penelitian pada hutan alam
hujan tropis dataran rendah di Bengkunat, Lampung, menyajikan bentuk
struktur tegakan dalam model fungsi kepekatan peubah acak kontinyu, yaitu
berdasarkan sebaran gamma, lognormal, eksponensial negatif dan Weibull.
Lebih jauh diungkapkan bahwa penggunaan model fungsi kepekatan untuk
menyusun struktur tegakan selain keterandalan yang cukup tinggi juga akan lebih
memudahkan dalam penggunaannya. Berdasarkan penelitian Suhendang (1995) di
Propinsi Riau model struktur tegakan N = N0e -kD dapat diterima oleh semua
petak percobaan, dicirikan oleh besarnya koefisien determinasi yang diperoleh
(R2 berkisar 73% sampai 89%).
Model struktur tegakan N = N0e -kD yang lain juga dibentuk oleh
Rosmantika (1997) pada hutan alam bekas tebangan di Stagen Pulau Laut
Kalimantan Selatan dengan nilai R2 yang diperoleh 66% sampai 99,3%.
Krisnawati (2001) dalam penelitiannya di Kalimantan Tengah mendapatkan
model struktur tegakan N = N0e -kD yang mengikuti bentuk J- terbalik dapat
diterima oleh semua kelompok jenis pada setiap areal pengamatan dengan besar
nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh yaitu berkisar antara 87% sampai
98,8% untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae, antara 98,9% sampai 99,6% untuk
11
kelompok jenis Non Dipterocarpaceae, dan antara 98,6% sampai 99,9% untuk
kelompok jenis Non Komersial, sedangkan untuk semua jenis berkisar antara
98,8% sampai 99,6%.
Model Pertumbuhan Hutan Tidak Seumur
Model Pertumbuhan adalah suatu abstraksi dinamika alam dari suatu
tegakan hutan yang meliputi pertumbuhan, kematian dan perubahan lain di dalam
struktur dan komposisi tegakan (Vanclay 1994). Model pertumbuhan terdiri dari
satu seri persamaan matematik yang juga dapat dihubungkan dengan komputer
untuk membuat suatu model.
Pertumbuhan mengarah pada pertambahan dimensi satu atau lebih individu
dalam suatu tegakan hutan dalam suatu periode waktu tertentu (misal
pertumbuhan volume m3ha-1th-1). Hasil tegakan adalah banyaknya dimensi
tegakan yang dapat dipanen dan dikeluarkan pada waktu tertentu atau jumlah
kumulatif sampai pada waktu tertentu (Davis dan Johnson 1987). Dalam suatu
tegakan tidak seumur hasil (yield) adalah total produksi sepanjang periode waktu
tertentu sedangkan pertumbuhan adalah hasil produksi. Pertumbuhan dan hasil
memiliki hubungan secara matematik, jika hasil adalah y maka pertumbuhan
adalah turunannya yaitu dy/dt.
Model pertumbuhan empiris dikategorikan atas 3 (tiga) kelompok, yaitu
model pertumbuhan per pohon (individual tree models atau single tree models),
model kelas tegakan (stand class models), model tegakan keseluruhan (whole
stand models) (Davis et al. 2001; Vanclay 1995; Turland 2007).
Model-model individu pohon menggunakan individu pohon sebagai unit
dasar dalam penyusunan model. Input minimum yang diperlukan untuk penerapan
model ini adalah daftar seluruh jenis pohon yang menyusun tegakan mencakup
ukuran diameter, tinggi dan bentuk tajuk. Model yang lainnya juga memperhatikan
susunan tegakan mencakup ukuran diameter, tinggi dan bentuk tajuk. Posisi spasial
setiap pohon, tinggi pohon dan kelas tajuk. Pendekatan model tegakan keseluruhan
menggambarkan kondisi pohon atau tegakan hutan dengan menggunakan sedikit
parameter (Davis dan Johnson 1987).
12
Sedangkan menurut Vanclay (1995), pendekatan model tegakan secara
keseluruhan dapat digunakan untuk menggambarkan parameter-parameter tingkat
tegakan (langsung per unit area), seperti; tegakan persediaan (pohon/ha), bidang
dasar tegakan (m3/ha) dan volume tegakan (m3/ha).
Terdapat empat variabel kunci dalam pemodelan hutan tidak seumur
yaitu: laju pertumbuhan tegakan, sebaran diameter dalam setiap tegakan,
komposisi jenis dan lamanya siklus tebang (Leuschner 1990). Masalah
utama yang muncul dalam penaksiran produktivitas hutan tropika
(pertumbuhan dan hasil) melalui model pertumbuhan, yang dikelola berdasarkan
tebang pilih seperti TPTI diantaranya adalah : perhitungan kematian (mortality)dan
ingrowth, identifikasi jenis dan keakuratan pengukuran ulang setiap individu
pohon. Ingrowth menyatakan besarnya tambahan terhadap banyaknya pohon per
hektar pada kelas diameter terkecil selama periode waktu tertentu. Upgrowth
menyatakan besarnya tambahan terhadap banyaknya pohon per hektar terhadap
kelas diameter tertentu yang berasal dari kelas diameter yang lebih kecil selama
periode waktu tertentu. Kematian (mortality) menyatakan banyaknya pohon per
hektar yang mati pada setiap kelas diameter selama periode tertentu. Banyaknya
pohon yang tetap pada setiap kelas diameter selama periode waktu tertentu,
diperoleh dari pengurangan angka 1 (jumlah total peluang pertumbuhan) dengan
proporsi mortality dan proporsi ingrowth atau upgrowth. Pendekatan yang paling
sesuai digunakan dalam pemodelan hutan tidak seumur untuk saat ini adalah model
kelas tegakan (stand class models) (Vanclay 1995).
Perkembangan Penelitian tentang Model Dinamika Struktur Tegakan
Model pertumbuhan matriks digunakan juga untuk melihat pengaruh jangka
pendek dan jangka panjang dari berbagai alternatif penebangan terhadap manfaat
ekonomi dan keanekaragaman ekologis pada hutan campuran di Wisconsin, USA
(Lu dan Buongiorno 1993). Model pertumbuhan yang dikembangkan sama
dengan yang diajukan oleh Buongiorno dan Michie (1980), tetapi dengan
melakukan penambahan pengelompokan jenis dan ukuran. Selain itu ingrowth
merupakan fungsi dari bidang diameter dan jumlah pohon yang
persamaannya sebagai berikut:
13
IH = 14,650 - 0,020GH - 0.007GL - 0,016GN + 0.002NH (R2 = 0,3%)
IL = 29,596 - 0,039 GH - 0.033 GL -0,043 GN + 0.010 NH (R2 = 5,8%)
IN = 9,842 - 0,013 GH - 0,01O GL - 0,043 GN + 0,012 NH (R3 = 4,2%)
dimana IH, IL, dan IN la ju ingrowth tahunan (pohon/ha) dari pohon yang bernilai
tinggi, bernilai rendah dan non komersial, GH, GL, dan GN adalah total diameter
(m/ha), dan NH, NL dan NN adalalah total jumlah pohon (pohon/ha).
Selain itu, Buongiorno et al (1995) melakukan studi tentang pertumbuhan
dan manajemen jenis campuran hutan tidak seumur di Jura Prancis serta
implikasinya terhadap pengembalian ekonomi dan keanekaragaman pohon.
Persamaan ingrowth, upgrowth, dan mortaly berdasarkan pengelompokan jenis
(Fir, Spruce, dan Beach). Penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan
model :
Persamaan ingrowth setiap jenis merupakan fungsi dari jumlah pohon dan
terbalik dengan basal area setiap jenis pohon. Persamaan ingrowth sebagai
berikut:
m n n
Ikt = dik Bj ( yijt-hijk)+ ek (ykjt–hkjt) + Ck ( R2 = 37- 47%)i=1 j=1 j=1
dimana:
Ikt = ingrowth atau jumlah pohon jenis k per unit area yang masuk ke kelas diameterterkecil selama interval 5 tahun (pohon/ha)
Bj = rata-rata basal area dari kelas diameter ke-j (m2/ha)dik ek = ParameterCk = konstanta yang diharapkan tidak negatif, dalam artian ingrowth mungkin
terjadi, tidak tergantung keadaan tegakan, dapat terjadi secara bebas daribentuk struktur tegakan sesuai dengan penyebaran semai di sekitartegakan.
Upgrowth (bij) merupakan fungsi dari bidang dasar tegakan (stand basal area)
dan ukuran diameter pohon yang dirumuskan sebagai berikut :
m n n
Ikt = dik Bj ( yijt-hijk)+ ek (ykjt–hkjt) + Ck ( R2 = 37- 47%)i=1 j=1 j=1
m n
bij = pi + qi B ( yijt-hijk)+ si Dj ( R2 = 1,3-40%)
i=1 j=1
14
dimana:
bij = peluang upgrowth jenis ke-i diameterke-j dalam waktu 5 tahun
i = 1,. . . . . . , m ; j = 1 .. . . . . ,n-1 bij =0( i = 1, 2, ...., m)B = total bidang dasar semua jenis pohon ke-i kelas diameter ke-j (m2/ha)DJ = rata-rata diameter pada kelas diameter ke-j (cm)
Pi, qi, S i = parameter/koefisien regresi.
Mortality (mij) adalah peluang pohon yang akan mati dari jenis pohon ke-i dan
kelas diameter ke-j secara alami selama 5 tahun dirumuskan sebagai berikut :
dimana : ui, vi, wi = parameter/koefisien regresi
Kariuki et al (2006), membangun model kuantitatif growth, recruitment dan
mortality pada hutan hujan tropika di North-east South Wales Australia dengan
menggunakan regresi non linear multilevel pada berbagai tingkat gangguan. Hasil
simulasi menggunakan tool (alat) simile didapatkan panen moderat dengan
intensitas 47% basal area (BA) memerlukan waktu 120 tahun untuk menghasilkan
produksi lestari, hal ini belum mempertimbangkan integrasinya dengan aspek
ekologi. Sedangkan untuk single tree selection (35% BA) menghasilkan gap yang
kecil pada kanopi sehingga recruitmen menjadi rendah, terjadi sedikit
peningkatan pada pertumbuhan batang, namun memerlukan 180 tahun untuk
memulihkan areal tersebut. Pada areal yang terkena eksploitasi secara intensif
(50%BA) sebagai akibat dari tingginya kegiatan logging, meningkatkan kerusakan
dan memerlukan waktu 180 tahun untuk pulih. Areal yang terkena dampak
logging secara intensif (65-80% BA) juga mengurangi kerapatan batang dan
menciptakan gap yang semakin besar pada kanopi serta memberikan hasil
pertumbuhan dan recruitmen yang besar. Walaupun demikian kondisi ini telah
meningkatkan jangka waktu pemulihan kerusakan 180-220 tahun.
Selain itu dengan adanya perangkat lunak pengolahan dan simulasi seperti
Stella maka Aswandi (2005), Septiana (2000), Bakri (2000) dan Cahyadi (2001),
Labetubun (2004) telah menggunakan software tersebut untuk mensimulasikan
model dinamika struktur tegakan. Dengan model dinamika sistem ini, Ingrowth,
m n
mij = ui + vi B (yijt-hijk)+ wi Dj ( R2 = 7%)
i=1 j=1
15
Upgrowth, dan Mortality dibuat non linear terhadap bidang dasar tegakan dengan
data hipotesis.
Model Pengelolaan Hutan Alam secara Optimal
Hutan tropis memiliki banyak jenis sehingga sulit mendefenisikan suatu
struktur tegakan optimal dan mungkin lebih relevan dengan penelitian panjang
siklus pemanenan, diameter minimal untuk pemanenan (Vanclay 1995), jumlah
pohon yang dipanen setiap siklus (Mendoza dan Setyarso 1986).
Lu dan Buongiorno (1993) meneliti tentang pengaruh jangka pendek dan
jangka panjang dari alternatif rejim penebangan terhadap pengembalian ekonomi
dan keanekaragaman ekologi pada hutan jenis campuran di hutan hardwoods
Wisconsin Amerika Serikat. Hasil penelitian yang telah dilakukan menemukan
suatu pedoman sederhana penebangan semua pohon yang berdiameter paling kecil
(15 cm) setiap tahun, menunjukkan bahwa keanekaragaman hampir 95% dari
tegakan alami, dan rente tanah adalah sekitar 70% yang dapat dicapai.
Buongiorno et al (1995) menentukan keanekaragaman ukuran pohon dan
pengembalian ekonomi pada tegakan hutan tidak seumur di hutan Northern
hardwoods USA. Hasilnya tegakan alami yang tidak diganggu kemungkinan akan
mencapai kelestarian keanekaragaman ukuran pohon yang paling tinggi.
Biasanya kebijakan pemanenan tegakan yang ekonomis memberikan pengaruh
terhadap menurunnya keanekaragaman ukuran pohon sekitar 10-20% tergantung
pada panjang siklus tebang.
Penelitian lain tentang trade-offs antara pendapatan dan keanekaragaman
pada pengelolaan hutan campuran dipterocarps dataran rendah Malaysia. Diantara
rejim yang diteliti, suatu kompromi yang baik antara ekonomi dan
keanekaragaman adalah menebang dengan banyak pohon berdiameter 30 cm dan
40 cm pohon Dipterocarpaceae dan Non Dinterocarpaceae setiap 10 tahun, ini
akan memelihara beberapa pohon dalam semua kelas ukuran dan jenis.
Pengembalian finansial dapat dibandingkan dengan investasi yang lain di
Malaysia dan sama dengan hasil tertinggi di bawah rejim manajemen sekarang,
namun keanekaragaman pohon akan jauh lebih tinggi (Ingram dan Buongiorno
1996 dalam Labetubun 2004).
16
Penelitian lain tentang suatu model pemanenan yang optimal untuk
mengevaluasi Sistim Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dengan menggunakan
program linear juga telah dilakukan oleh Sianturi. Simulasi dilakukan terhadap 7
macam rotasi tebang, 3 tingkat suku bunga, 3 tigkat kerusakan tegakan dan 6
macam sistem royalti mendapatkan hasil bahwa rotasi tebangan yang optimal
ditentukan oleh besarnya suku bunga serta tingkat kerusakan tegakan tinggal.
Makin besar suku bunga yang digunakan, makin pendek rotasi yang ditebang
sehingga memberikan hasil hutan tertinggi (Sianturi 1993).
Simulasi memberikan lebih banyak fleksibilitas dalam pemodelan
(Buongiorno dan Gilless 1987). Suatu fenomena dapat dipresentasikan melalui
hubungan-hubungan matematika dari suatu bentuk yang mudah dikerjakan dari
suatu sistem yang nyata. Simulasi digunakan sebagai alat yang paling baik dan
serbaguna untuk pemecahan masalah dalam pengelolaan hutan. Output dan
aplikasi yang dapat dihasilkan dari model tersebut antara lain dinamika tegakan,
nilai hutan, siklus tebang terbaik, intensitas penebangan terbaik, jumlah tegakan
tinggal yang terbaik, kombinasi optimum dan analisis sensivitas.
Pendugaan Nilai Lahan Hutan
Sumberdaya alam termasuk lahan hutan secara potensial mempunyai
alternatif penggunaan atau prinsip opportunity cost, maka dalam perhitungan
maksimalisasi perlu dimasukan nilai lahan atau tanah hutan. Keputusan tersebut
dari sudut pandang finansial perlu mempertimbangkan hal-hal berikut : (1) waktu
pemanenan, yaitu menyangkut volume yang dihasilkan, struktur hutan dan pola
output kayu dari waktu ke waktu; (2) prakiraan nilai dari sumber daya hutan
sebagai dampak dari keterbatasan dan kebijakan penggelolaan; (3) ketentuan
sebaran diameter untuk memaksimalkan produksi, dan (4) rencana produksi dalam
kaitannya terhadap pencapaian tujuan (Buongiorno dan Gilless 1987).
Rencana pengelolaan hutan memerlukan analisis finansial sebagai alat untuk
menilai kinerja finansial perusahaan. Beberapa kriteria finansial yang sering
digunakan adalah : (1) Net Present Value (NPV), (2) Nilai harapan lahan (LEV),
(3) Internal rate of return (IRR), (4) Rasio manfaat-biaya (BCR) dan (5)Nilai
hutan (FV) ( Zobrist, et al. 2006).
17
1. Pendekatan Nilai Kini Bersih (Net Present Value)
Ekonomi pasar memiliki prinsip maksimalisasi nilai sekarang (present value)
sehingga cenderung memberikan perhatian terhadap penentuan penggunaan
lahan. Aktivitas penggunaan lahan cenderung ditujukan untuk meningkatkan NPV.
Salah satu bentuk kriteria maksimalisasi nilai sekarang dalam penentuan rotasi
dikenal sebagai NPV atau cashflow terdiskonto.
Menurut Klemperer (1996), pengertian dari pendekatan NPV dapat
diartikan sebagai kesediaan membayar dari investor untuk suatu asset yang
didasari pada pendugaan manfaat, biaya dan suku bunga yang diinginkan
sehingga dapat menjadi alat (tools) yang sangat berguna dalam menilai lahan hutan.
Menurut Davis et al (2001), asumsi yang dipakai dalam analisis perhitungan
dari sewa lahan hutan untuk tujuan produksi kayu diantaranya adalah: (a)
mencakup seluruh biaya pengelolaan uang relevan, biaya administrasi, dan pajak,
(b) acuan rata-rata suku bunga yang mencerminkan secara tepat konteks dan
harapan dari pemilik lahan dan (c) telah ditetapkannya pedoman pengelolaan lahan
untuk masa mendatang dan dengan pedoman yang sama akan digunakan untuk
setiap siklus produksi kayu dimasa mendatang.
Biaya dan manfaat dari NPV diduga pada suatu cashflow dari suatu
pertambahan dengan menggunakan harga riil sekarang, dan sebelum dan sesudah
pengenaan pajak. Dalam hal penyesuaian terhadap rotasi dan juga hasil
maksimum, maka maksimalisasi NPV sangat diperlukan melalui suatu
pengawasan. Hal tersebut dikarenakan bahwa umur maksimum NPV biasanya
lebih kecil dibandingkan dengan maksimum riap rata-rata tahunan (mean annual
increment) akan tetapi lebih besar dibandingkan riap rata-rata periodik (periodic
annual increment).
2. Pendekatan Nilai Harapan Lahan
Nilai harapan lahan (land expectatioan value) merupakan gambaran jumlah
yang harus dibayarkan oleh pembeli untuk lahan yang dipakai sebagai investasi
dalam kegiatan kehutanan (Davis et al. 2001). Nilai lahan tersebut sama dengan
jumlah nilai tunai (amount of cash) pada tingkat bunga tertentu yang akan
menghasilkan pendapatan bersih yang sama dari lahan setiap tahunnya.
18
Land Expectation Value (LEV) disebut juga formula Faustmann. LEV
merupakan kasus khusus dari NPV dimana (1) lahan dikeluarkan dari cashflow
sehubungan dengan perhitungannya sebagai sisa (2) investasi diawali pada lahan
yang kosong, tidak ada tegakan (3) lahan yang secara terus menerus terdapat
tegakan yang sama (4) cash flow tegakan tersebut secara pasti sama. Untuk hutan
alam, biasanya nilai harapan lahan disebut nilai hutan (forest value).
3. Internal Rate of Return (IRR)
Internal Rate of Return (IRR) sama dengan Rate of Return atau tingkat
rendemen atas investasi bersih. IRR adalah tingkat suku bunga yang membuat suatu
proyek akan mengembalikan semua investasi selama umur usaha. Suatu usaha dapat
dilaksanakan apabila nilai IRR lebih besar atau sama dengan tingkat suku bunga yang
berlaku (discount factor), apabila terjadi keadaan sebaliknya, maka usaha tersebut
ditolak (tidak layak). IRR juga merupakan nilai diskonto yang membuat NPV dari
kegiatan usaha sama dengan nol. Dengan demikian IRR merupakan tingkat bunga
maksimum yang dapat dibayar oleh kegiatan usaha tersebut untuk sumberdaya yang
digunakan.
4. Benefit Cost Ratio (BCR)
Benefit Cost Ratio (BCR) adalah perbandingan antara pendapatan dan biaya
yang didiskonto. Suatu usaha yang memiliki nilai BCR lebih besar dari satu dikatakan
layak (feasible) dan bila terjadi sebaliknya, maka usaha tersebut dikatakan tidak layak
(unfeasible).
Nilai IRR dan BCR menentukan tingkat efesiensi suatu usaha dalam
penggunaan sumberdaya apakah efisien atau tidak. Sedangkan NPV adalah ukuran
absolut yang ditentukan oleh umur usaha, yang berarti NPV pada umumnya akan
menjadi besar sesuai dengan besarnya umur usaha. Jika terdapat sejumlah modal atau
dana uang pada suku bunga tertentu akan dipilih proyek yang mempunyai nilai NPV,
BCR dan IRR terbesar.
Usaha Perdagangan Karbon pada Hutan Alam Produksi
Carbon sink merupakan istilah yang sering dipakai di bidang perubahan iklim.
Istilah ini berkaitan dengan fungsi hutan sebagai penyerap (sink) dan penyimpan
19
(reservoir) karbon. Emisi karbon ini umunya dihasilkan dari kegiatan pembakaran
bahan bakar fosil dari sektor industri, transportasi dan rumah tangga (Rusmatoro
2006).
Perdagangan emisi karbon mampu memberikan NPV positif lebih awal dalam
rotasi dibandingkan dengan waktu yang dicapai pada pengelolaan hutan sebagai
penghasil kayu, menggeser break-even point finansial dan secara umum
meningkatkan nilai Internal Rate of Return (IRR). Pengelola hutan dimungkinkan
memilih untuk mengelola tegakannya dengan tujuan murni penyerapan karbon atau
mengkombinasikan antara menghasilkan kayu dan karbon (Harrison et al. 2000).
Biomassa
Biomassa adalah berat dari bahan tanaman hidup yang terdapat di atas
maupun di bawah suatu unit luas permukaan tanah pada suatu titik pada waktu
tertentu ( Catur, 2002). Pendugaan biomassa ini sangat diperlukan, khususnya
pada hutan-hutan di daerah tropis karena berpengaruh besar dalam siklus karbon.
Bila ditinjau dari sisi manajemen hutan, biomassa hutan sangat penting karena
keseluruhan operasional pengelolaan hutan sangat dipengaruhi oleh potensi hutan
melalui penentuan biomassa. Hutan-hutan tersebut mempunyai potensi yang
besar dalam pengurangan kadar CO2 melalui konservasi dan manajemen tegakan
hutan. Biomassa dapat memberikan informasi mengenai nutrisi dan kandungan
karbon suatu tegakan secara keseluruhan.
Reduce Emission from Deforestation and Degradation (REDD)
REDD adalah mekanisme memberi insentif kepada negara-negara pemilik
hutan untuk mempertahankan hutan mereka dari deforestasi dan degradasi.
Degradasi hutan merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca. Di Indonesia
stok hutan berkurang 5% setiap tahun akibat degradasi (Marklund dan Schoene
2006 diacu dalam Mudiyarso et al, 2008). Degradasi di daerah tropis umumnya
terjadi karena aktivitas logging, kebakaran hutan dalam skala besar, pengambilan
kayu bakar dan hasil hutan non kayu, produksi arang, padang penggembalaan,
dan perladangan berpindah (GOFC-GOLD 2008). IPPC (2003) menyebutkan ada
lima karbon pool yang digunakan memonitoring deforestasi dan degradasi yaitu
20
biomassa bagian atas, biomassa bagian bawah, serasah, kayu mati, dan carbon
yang berasal dari tanah.
Provinsi Papua mendedikasikan setengah dari total luas hutan produksinya
untuk kepentingan mereduksi emisi karbon atau Reduction Emission from
Deforestation in Developing Country. Seperempat dari luas hutan konversi Papua
juga akan diperuntukkan bagi kepentingan Mekanisme Pembangunan Ramah
Lingkungan atau Clean Development Mechanism (CDM).
Komitmen pemerintah Papua dalam Konvensi Perubahan Iklim di Bali
tahun 2007 menyediakan 15% (3.285.217 ha) dari total luas hutan produksi bagi
kegiatan perdagangan karbon merupakan upaya yang cukup strategis dilihat dari
kepentingan politik, namun dari sisi ekonomi dan sosial budaya hal tersebut
belum memberikan jaminan yang pasti. Setiap 1 juta ha hutan produksi konversi
yang diputuskan untuk tetap dipertahankan sebagai hutan alam (infact forest) dan
diikutsertakan dalam program carbon trade melalui pendekatan pencegahan
deforestasi (avoided deforestation), bisa menghasilkan penerimaan tunai sampai
mencapai kurang lebih Rp 3 triliun (Suebu 2007). Apabila penerimaan ini
diberikan kepada kurang lebih 2 juta penduduk Papua, maka setiap orang
memiliki penerimaan cash sebesar Rp 1.500.000,- atau Rp 375.000,- per orang
untuk hutan seluas 15% dari luasan hutan Papua untuk kepentingan tersebut.
Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi
Tujuan dari analisis suatu usaha adalah untuk memperbaiki penilaian investasi
akibat keterbatasan sumberdaya, sehingga perlu dilakukan pemilihan terhadap
berbagai macam usaha. Kesalahan dalam melakukan penilaian berakibat pada
pengorbanan sumber-sumber yang langka oleh karena itu sebelum usaha
dilaksanakan perlu diadakan perhitungan percobaan untuk mengetahui hasil dan
kemungkinan memilih alternatif lain dengan cara menghitung biaya dan manfaat
yang dapat diharapkan dari masing-masing usaha (Kadariah 1986).
Analisis finansial dan analisis ekonomi merupakan dua alternatif yang dapat
dipergunakan dalam evaluasi usaha. Analisis finansial atau analisis privat ditujukan
untuk menghitung manfaat dan biaya usaha dari sudut pandang individu-individu
atau swasta sebagai pihak yang berkepentingan dalam proyek. Analisis ekonomi atau
21
sosial ditujukan untuk menghitung manfaat dan biaya proyek dari sudut pandang
pemerintah atau masyarakat secara keseluruhan sebagai pihak yang berkepentingan
dalam usaha tersebut (McLeish, et al. 2002).
Menurut Gittinger (1986), pada dasarnya perhitungan dalam analisis finansial
dan ekonomi berbeda dalam 4 (empat) hal yaitu :
1. Harga
Dalam analisis finansial harga yang digunakan adalah harga pasar. Harga ini
telah memperhitungkan pajak dan subsidi, akan tetapi dalam analisis ekonomi harga
yang dipergunakan adalah harga yang mencerminkan secara tepat nilai-nilai sosial
ekonomi. Harga yang sudah disesuaikan ini disebut harga bayangan (shadow price)
atau harga buku (accounting price) yang merupakan opportunity cost.
2. Pajak dan Subsidi
Dalam analisis ekonomi pajak dan subsidi digunakan sebagai pembayaran
transfer. Pendapatan baru timbul oleh suatu usaha termasuk pajak-pajak yang
ditanggung selama proses produksi dan pajak penjualan yang dibayar oleh pembeli
pada waktu membeli produk hasil usaha. Pajak tersebut merupakan bagian dari
manfaat usaha secara keseluruhan. Sebaliknya, subsidi dari pemerintah kepada usaha
merupakan biaya masyarakat, karena subsidi menjadi pengeluaran dari sumberdaya
sehingga perekonomian harus melakukan pengeluaran untuk menjalankan proyek.
Dalam analisis finansial pajak dianggap sebagai biaya dan subsidi dianggap sebagai
hasil (return).
3. Bunga
Bunga terhadap modal dalam analisis ekonomi tidak dipisahkan dan
dikurangkan dari hasil bruto (gross return), karena modal merupakan bagian dari
hasil bruto (total return) terhadap modal yang tersedia untuk masyarakat secara
keseluruhan dan sebagai hasil keseluruhan. Bunga merupakan hal yang diperkirakan
dalam analisis ekonomi. Dalam analisis finansial bunga dibedakan menjadi bunga
yang dibayarkan kepada orang-orang luar dan bunga atas modal sendiri. Bunga yang
dibayarkan kepada orang-orang yang meminjamkan uangnya pada kegiatan usaha
dianggap cost. Bunga atas modal sendiri tidak dianggap sebagai biaya karena bunga
merupakan bagian dari finansial return yang diterima.
22
4. Manfaat dan Biaya Usaha
Dalam hubungan dengan usaha segala sesuatu yang menambah pendapatan
nasional atau menambah persediaan barang-barang konsumsi baik secara langsung
maupun tidak langsung digolongkan sebagai manfaat usaha. Sebaliknya segala
sesuatu yang berhubungan dengan pengurangan barang-barang konsumsi baik secara
langsung maupun tidak langsung digolongkan sebagai biaya proyek.
Kontribusi Sektor Kehutanan terhadap Ekonomi Daerah
Dari berbagai indikator ekonomi pendapatan daerah merupakan salah satu
indikator penting yang sering kali dirancukan pengertiannya dengan pendapatan
masyarakat. Pendapatan daerah dalam nomenklatur pembangunan di Indonesia
mencerminkan pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah (Gambar 1).
Pendapatan daerah di Indonesia bersumber dari : Pendapatan Asli Daerah (PAD),
Dana Perimbangan Pembangunan, Pinjaman Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan
Daerah lainnya, Hibah, Dana Darurat, dan lain-lain.
Berdasarkan Gambar 1 dapat dipahami bahwa Pendapatan Asli Daerah
(PAD) yang tinggi belum merupakan jaminan tingginya pendapatan masyarakat di
suatu daerah. Namun demikian tingginya pendapatan asli daerah (PAD) dapat
menjadi sumberdaya yang sangat penting bagi pemerintah daerah di dalam
pengembangan wilayah termasuk peningkatan pendapatan masyarakat (Rustiadi et
al, 2005).
Walaupun demikian pendapatan asli daerah jarang digunakan oleh suatu
daerah bahkan negara sebagai ukuran produktivitas wilayah. Pada umumnya yang
digunakan sebagai tolak ukur pembangunan daerah adalah Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) atau Gross Domestic Regional Product (GDRP), karena
ukuran ini yang paling operasional dan diterima secara universal oleh semua
negara. Besarnya PDRB suatu wilayah yang diperoleh pada akhirnya akan
berpotensi menjadi pendapatan daerah. PDRB merupakan total nilai barang dan
jasa yang dihasilkan suatu daerah yang telah dihilangkan unsur-unsur
intermediate-cost dalam kurun waktu tertentu.
23
Gambar 1. Sumber Pendapatan Daerah Berdasarkan UU 33/2004
Penerimaan Daerah dari Sektor Kehutanan
Secara operasional kegiatan pengusahaan hutan atau pemanfaatan hutan
diatur dalam UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dan PP No 6 Tahun 2007
jo PP 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunanan Rencana Pemanfaatan
Hutan. Berdasarkan kedua Undang-undang tersebut, terdapat 6 macam pungutan
yang dikenakan kepada pengusaha:
Sumber-SumberPenerimaan Daerah
Pendapatan AsliDaerah (PAD) Dana Perimbangan Pinjaman daerah
Hasil PengelolaanKekayaan Daerah
Lainnya yangdipisahkan
Lain-lain Hibah,Dana Darurat,Penerimaan
Lainnya
Pajak
Retribusi
Keuntunganperusda
PengelolaanAset Daerah
Lain-lain
Dan
aB
agiH
asil
Dan
aA
loka
siU
mum
Dan
aA
loka
siK
husu
s
Dal
amN
eger
i
Lua
rNeg
eri
Bag
ian
Lab
a
Div
iden
Penj
uala
nSa
ham
Pajak Bumi danBangunan
BPHTB
Hasil hutan,tambang umum,
perikanan
Minyak Bumi
Gas Alam
Kebutuhan di luaralokasi umum
Prioritas Nasional
Dana Reboisasi
Macthing grant
24
a. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH)
b. Dana Reboisasi (DR)
c. Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH)
d. Dana Jaminan Kinerja (DJK)
e. Dana Investasi Untuk Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Latihan,
serta Penyuluhan Kehutanan.
f. Dana Investasi Pelestarian Hutan (DIPH)
Namun demikian pada saat ini yang sudah berjalan karena sudah ada aturan
pelaksanaannya hanyalah tiga jenis pungutan yaitu IHPH/IIUPH, DR dan
PSDH/IHH. Sedangkan untuk DJK, DIPH , dan Dana Investasi Untuk Penelitian
dan Pengembangan, Pendidikan dan Latihan, serta Penyuluhan Kehutanan sama
sekali belum diatur.
1. Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH/IUPHH)
Iuran Hak Pengusahaan Hutan (licence fee) merupakan iuran yang harus
dibayar oleh pemegang HPH. Pungutan ini dikenakan hanya sekali pada saat
penetapan konsesi. Dasar hukum pungutan ini adalah PP Nomor 22 Tahun 1967
perubahannya dengan PP Nomor 21 Tahun 1980.
Selain itu, tertuang juga dalam beberapa surat keputusan menteri sebagai
berikut : SK Menteri Pertanian Nomor 415/Kpts/um/7/1979, SK Menhut Nomor
479/Kpts-II/1992, serta SK Dirjen PH Nomor 403/KPts/IV-TPHH/1989.
2. Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH)
PSDH adalah nilai hasil hutan yang menjadi bagian pemerintah sebagai
pemilik sumberdaya. Nilai ini ditentukan harga jual dan jumlah/volume hasil
hutan yang dijual. Iuran PSDH ditetapkan berdasarkan Surat Edaran Dirjen BPK
Nomor 02/VI-BIKPHH/2005, penetapan harga patokan PSDH berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 436/MPP/Kep/7/2004,
sedangkan tarif PSDH berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun
1999. Petunjuk teknis tentang tata cara pengenaan, pemungutan, pembayaran, dan
penyetoran PSDH diatur dengan keputusan Menteri Kehutanan Nomor 124/Kpts-
II/2003.
25
3. Dana Reboisasi
Jenis pungutan ini pertama kali diberlakukan pada tahun 1980 dengan nama
Dana Jaminan Reboisasi (DJR). Pungutan ini dikenakan terhadap setiap m3 kayu
yang diambil oleh HPH/IUPHHK sebagai dana jaminan reboisasi. Namun
perkembangan selanjutnya pada tahun 1989 pungutan berubah menjadi Dana
Reboisasi (DR), dengan ketentuan HPH/IUPHHK wajib melakukan penanaman
pengayaan di areal HPH/IUPHHK dan tetap membayar DR. Dana ini juga identik
dengan Dana Jaminan Kinerja (DJK), Dana Investasi Pelestarian Hutan (DIPH)
(Tim Fahutan IPB, 2003). Dana Reboisasi berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 35 Tahun 2002 merupakan dana untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan
serta kegiatan pendukungnya yang dipungut dari Pemegang Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan dari hutan alam yang berupa kayu.
Penentuan tarif DR berdasarkan PP Nomor 29 Tahun 1999, sedangkan
petunjuk teknis tentang tata cara pengenaan, pemungutan, pembayaran, dan
penyetoran DR diatur dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 128/Kpts-
II/2003.
4. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Pajak merupakan iuran yang diwajibkan kepada warga negara untuk disetor
kepada kas negara berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan jasa
timbal balik yang langsung, dapat ditujukan dan digunakan untuk membayar
pengeluaran umum (Mardiasmo 2006). Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak
yang dikenakan terhadap bumi dan bangunan.
Areal konsesi HPH merupakan salah satu obyek pajak, wajib dibayarkan
PBB yang besarnya tergantung luasan dan bangunan yang ada. Jika pada luasan
terdapat areal yang tidak produktif maka pemegang konsesi dapat mengajukan
pengurangan pembayaran. Dasar hukum penetapan PBB adalah UU No. 12
Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994.
Jumlah dan jenis pungutan ini berimplikasi terhadap kelestarian hutan.
Disamping pungutan-pungutan pemerintah pusat dengan adanya desentralisasi
kehutanan pungutan di tingkat daerah semakin banyak baik jumlah maupun jenis.
Hal ini berarti beban pengusaha makin besar sehingga untuk mempertahankan
26
kelayakan usaha berbagai cara dapat ditempuh termasuk illegal logging.
Model dan Simulasi
Model merupakan abstraksi dari kenyataan sebenarnya (Hannon dan Ruth,
1994; Grant et al 1997; Banks et al. 1999), yang merupakan penggambaran formal
elemen-elemen esensial dari suatu masalah (Grant at el. 1997).
Selain itu model didefinisikan sebagai representasi dari suatu sistem untuk
tujuan studi sistem. Model penting untuk mempertimbangkan aspek yang diteliti
dari sistem yang mempengaruhi sistem yang diinvestigasi. Aspek-aspek ini
direprensetasikan dalam model dari sistem. Disamping itu, model secara detail
cukup memungkinkan kesimpulan yang valid untuk menjelaskan sistem yang
nyata (real system). Komponen dari sistem adalah unsur (entitas), atribut dan
aktifitas dari model.
Pembangunan suatu model dapat membantu menganalisa data dari petak
percobaan dan observasi. Model dapat membantu mensintesis dan
mengkomunikasi pengetahuan yang ada dan mengidentifikasi kesenjangan
pemahaman kita. Pemodelan memungkinkan cara yang paling efisien untuk
menguji data percobaan, menginvestigasi implikasi dan merumuskan petunjuk
silvikultur yang optimal (Vanclay 2002).
Model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau
proses. Model biasanya diambil dari berbagai asumsi yang berhubungan dengan
operasi sistem. Asumsi ini diekspresikan dalam hubungan matematik, logik dan
simbolik antara obyek atau unsur (entities) dari sistem.
Model dapat dikelompokan menjadi model kualitas, model ikonik dan
model kuantitatif. Model kuantitatif adalah model yang berbentuk rumus
matematik, statistik atau komputer. Model matematik sering dibagi dalam 2
kategori yaiti model statik dan model dinamis. Model statik mempelajari tentang
perilaku sistem yang statis (tidak memasukan unsur waktu). Sedangkan model
dinamis membantu kita berpikir tentang bagaimana suatu sistem berubah menurut
waktu. Pertumbuhan (growth), kerusakan (decay) dan osilasi adalah dasar dari
pola sistem dinamis.
27
Model simulasi dapat digunakan untuk (1) analisa terperinci dari kebijakan
tertentu, (2) analisa sensitifitas (3) perbandingan antara beberapa alternatif
kebijakan (skenario) dan (4) perilaku antara biaya dan manfaat (Eriyatno 1999).
Pendekatan Sistem Dinamik
Menurut Eriyatno (1999) sistem adalah totalitas himpunan hubungan yang
mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimensional terutama
dimensi ruang dan waktu.
Sistem dapat dibayangkan sebagai suatu koleksi yang terisolir dari
komponen-komponen yang berinteraksi. Elemen-elemen sistem dapat berupa
benda, fakta, metode, prosedur kebijakan, bagian organisasi, dan sebagainya.
Hubungan antar sistem dapat berupa transaksi, interaksi, transmisi, koreksi kaitan,
hubungan, dan lain-lain. Dalam sistem terdapat proses transformasi yang
mengolah input menjadi output sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Menurut Eriyatno (1999), terdapat tiga pola pikir yang menjadi pegangan
pokok oleh para ahli sistem dalam menganalisis permasalahan yaitu (1) sibernetik
(cybernetic), yaitu berorientasi pada tujuan, (2) holistik (holistic), yaitu cara
pandang yang utuh terhadap keputusan sistem, dan (3) efektif (effectiveness),
yaitu prinsip yang lebih mementingkan hasil guna yang operasional serta dapat
dilaksanakan daripada pendalaman teoritis untuk mencapai eksistensi keputusan.
Para ahli memberikan batasan permasalahan yang sebaiknya menggunakan
pendekatan sistem dalam pengkajiannya, yaitu permasalahan yang memenuhi
karakteristik : (1) kompleks, (2) dinamis dan (3) probabilistik
Sistem dinamik adalah studi mengenai perubahan sistem menurut waktu
dengan memperhatikan faktor umpan balik (Purnomo 2004). Sistem dinamik
adalah metodologi yang dapat digunakan untuk memahami suatu permasalahan
yang rumit dan kompleks. Model sistem dinamik akan melibatkan input-input,
hubungan dan output diantara bagian-bagian sistem dan model. Masalah-masalah
yang akan dibuat model sistem dinamika harus memiliki sedikitnya dua ciri utama
yaitu (1) bersifat dinamis, meliputi kuantitas yang berubah menurut waktu yang
dapat digambarkan dalam bentuk grafik perubahan menurut waktu. (2) pemikiran
mengenai umpan balik karena semua sistem pada dasarnya mempunyai sistem
28
umpan balik. Ekosistem hutan adalah suatu sistem yang kompleks yang terdiri
dari berbagai interaksi komponen, dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, maka
suatu motode khusus yaitu analisis sistem seharusnya diterapkan. Esensi dari
analisis sistem bukan terletak pada kumpulan teknik kuantitatif, tetapi lebih pada
strategi pemecahan masalah yang sulit atau tidak dapat dipecahkan secara
matematis ataupun statistik, seperti disajikan pada Gambar 2.
Banyak
Banyak data Banyak dataPemahaman rendah Pemahaman tinggi(statistik) (fisika)
Sedikit data Sedikit dataPemahaman rendah Pemahaman tinggi
Analisis Sistem dan SimulasiSedikit
Rendah tinggiTingkat pemahaman proses relatif
Gambar 2. Perbandingan Metode Pemecahan Masalah (Grant et al. 1997)
Jum
lah
data
rela
tif
METODOLOGI PENELITIAN
Kerangka Pemikiran Penelitian
Kerangka pemikiran pengaturan hasil dalam pengelolaan hutan alam dapat
dilihat pada Gambar 3. Kelestarian hasil, baik pengusahaan hutan seumur maupun
tidak seumur adalah tercapainya suatu kondisi tertentu dari suatu tegakan hutan
sehingga dapat diperoleh hasil secara lestari dengan cara pengaturan produktifitas
hutan, baik pertumbuhan maupun pemungutan hasil. Hutan yang memiliki manfaat
ganda (multiple use) baik secara ekonomi maupun ekologis merupakan ekosistem
yang kompleks dan dinamik. Hutan tersebut dikelola berdasarkan unit-unit yang
sesuai dengan tujuan pengelolaan. Pengelolaan hutan sebagai suatu ekosistem harus
menyesuaikan dengan keadaan lingkungan sekitar hutan (adaptif) sehingga diperoleh
preskripsi spesifik yang memungkinkan keseimbangan dinamis ekosistem secara
optimal (Purnomo et al. 2003; Purnomo, 2004). Oleh sebab itu pembagian unit-unit
pengelolaan hutan ini harus berdasarkan karakteristik ekosistem wilayah setempat
yang bersifat spesifik.
Pada setiap unit pengelolaan hutan terdapat kegiatan perencanaan, pemanenan
dan pembinaan. Kegiatan perencanaan pangaturan hasil seperti penentuan preskripsi
penebangan (intensitas penebangan dan siklus tebang) hutan yang optimal dilakukan
berdasarkan kondisi tegakan awal, informasi biaya dan manfaat serta perilaku
dinamika struktur tegakan. Intensitas dan siklus tebang optimal berimplikasi
terhadap penerimaan pemerintah daerah dan penerimaan masyarakat adat dari
kompensasi, yang didasarkan atas informasi biaya dan manfaat pengelolaan hutan.
Perilaku dinamika struktur tegakan berdasarkan informasi pertumbuhan dan hasil
yang diperoleh dari Petak Ukur Permanen (PUP). Pemahaman terhadap struktur
tegakan tidak terlepas dari informasi keanekaragaman jenis pohon dalam PUP dan
hutan primer.
Untuk menentukan preskripsi penebangan (intensitas dan siklus tebang) yang
optimal dikembangkan model dinamika sistem yang terdiri dari model dinamika
struktur tegakan, model pengembalian ekonomi dan model pengaturan hasil serta
model penerimaan masyarakat adat. Sedangkan keanekaragaman jenis pohon
merupakan informasi yang mendukung model dinamika struktur tegakan. Berbagai
model simulasi yang berkaitan dengan intensitas penebangan dan siklus tebang
dilakukan untuk menentukan preskripsi pengaturan hasil yang optimal dipandang
dari aspek kelestarian produksi dan aspek ekonomi.
30
Hutan memiliki kompleksitas dan ketidakpastian, sehingga pemanfaatan hasil
hutan kayu pada unit manajemen tidak dapat dilakukan secara parsial (terpisah)
melainkan secara holistik. Salah satu pendekatan yang dapat mengakomodasi
kompleksitas pengelolaan hutan adalah pendekatan analisis sistem dinamik
(Grant et al. 997). Analisis sistem sebagai model holistik dapat memberikan skenario
dampak dari setiap alternatif kebijakan dengan spektrum yang luas sehingga
memudahkan pemilihan alternatif terbaik yang dapat diambil (Purnomo, et al 2003;
Grant et al. 1997).
31
InformasiKeanekaragaman
Jenis
Petak UkurPermanen
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Model Dinamik Pengaturan Hasil Tidak Seumur
Pemanenan
InventarisasiTegakan Awal
InformasiPertumbuhan &
Hasil
Simulasi Model Dinamik
ManfaatEkonomi
ManfaatEkologis
PerencanaanPembinaan
Pengaturan Hasil
Penentuan Intensitas Penebangan dansiklus Penebangan yang optimal
Model PengembalianEkonomi
Informasi Biaya danManfaat
Unit Manajemen Hutan(Kerakteristik Ekosistem)
Petak UkurPermanen
Model DinamikaStruktur Tegakan
Model PengaturanHasil
Kelestarian Hasil
Kontribusiterhadap Ekonomimasyarakat adat
dan daerah
32
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian berada pada hutan hujan tropis dataran rendah, pada
lokasi contoh hutan alam produksi pada wilayah konsesi IUPHHK PT. Bina
Balantak Utama (BBU) Kabupaten Sarmi Propinsi Papua. Secara geografis
kelompok hutan ini terletak di antara 138005’ - 139000’ Bujur Timur dan 01030’ -
02030’ Lintang Selatan, dengan luas 325.300 ha. Pengumpulan data dilakukan
pada bulan maret sampai dengan mei 2008 di lokasi PUP petak 56 KK RKT
2000/2001.
Gambar 4 Lokasi penelitian hutan alam produksi PT. BBU Kabupaten Sarmi
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah data primer pada tegakan
hutan alam bekas tebangan dan tegakan hutan primer. Tegakan hutan alam bekas
tebangan diambil dari Petak Ukur Permanen (PUP) yang terletak di blok-blok
bekas tebangan yang telah dilakukan pengukuran dan pengamatan selama 5 tahun.
Sedangkan data tegakan hutan primer diperoleh dari kawasan hutan primer yang
berada dalam areal konsesi.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : pita ukur, kompas,
meteran, haga, tambang plastik, tally sheet, alat-alat tulis serta seperangkat
Personal Computer dengan program-program aplikasi : Microsof Excel, dan Stella
Research 9.0.2.
33
Metode Penelitian
Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan meliputi : data pertumbuhan dan hasil tegakan, serta
data struktur tegakan hutan primer. Data pertumbuhan tegakan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah hasil pengukuran PUP-PUP pada Blok RKT yang
merupakan areal bekas tebangan 1-2 tahun dan hutan primer.
Data-data lain yang dikumpulkan berkaitan dengan aspek ekonomi adalah :
produksi kayu bulat, pendapatan daerah, biaya -biaya TPTI, kompensasi bagi
masyarakat lokal, penerimaan perusahaan dan pengeluaran untuk negara .
Data pendukung penelitian ini adalah data risalah PUP, data Laporan Hasil
Produksi (LHP), data iklim, buku Rencana Karya Tahunan (RKT), Rencana
Karya Lima Tahunan (RKL), dan Rencana Karya Pengusahaan Hutan (RKPM),
peta-peta, laporan keuangan dan laporan TPTI serta sumber-sumber lain yang
menunjang penelitian. Data tersebut bersumber dari pencatatan di lapangan (Base
Camp), dan informasi dari instansi terkait.
Teknik Pengumpulan Data
Data primer yang dikumpulkan meliputi : data pertumbuhan tegakan, data
struktur tegakan hutan primer. Data pertumbuhan tegakan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah hasil pengukuran PUP-PUP pada Blok RKT 1999/2000 yang
merupakan areal bekas tebangan 2 tahun. Pengukuran dilakukan pada tahun 2001
sampai dengan tahun 2005. Pengukuran dilakukan ulang setiap satu tahun sekali.
Data struktur tegakan yang diperoleh dari PUP dan hutan primer dipresentasikan
dalam beberapa Kelas Diameter (Phn_D) menurut kelompok jenis dengan interval
10 cm ke atas, diameter terkecil (Phn_D15) berukuran 10-20 cm. Pembagian
menurut kelompok jenis dilakukan dengan mengelompokan ke dalam jenis
dipterocarpaceae, non dipterocarpaceae dan non komersil. Pembagian kelompok
jenis ini berdasarkan pengelompokan yang dilakukan oleh PT. BBU dengan
pertimbangan bahwa kelompok jenis ini mepakan jenis komersil utama yang
diperdagangkan.
34
Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif dan kuantitatif sebagai berikut:
1. Dinamika Struktur Tegakan
Komponen penyusun dinamika struktur tegakan terdiri dari jumlah pohon
pada berbagai kelas diameter dan kelompok jenis, dengan melibatkan unsur
dinamika tegakan seperti alih tumbuh ( ingrowth), tambah tumbuh ( upgrowth),
dan kematian (Mortality).
Model umum struktur tegakan didekati dengan persamaan
eksponensial negatif yang dirumuskan sebagai berikut (Meyer 1961 dalam Davis
et al. 2001) :
N = N0e-kd
dimana:
N = jumlah pohon pada setiap kelas diameterNo = kostanta, yang menunjukan besarnya kerapatan tegakan pada kelas
diameter terkecile = bilangan eksponensial (2,71828182)k = laju penurunan jumlah pohon pada setiap kenaikan diameter pohonD = titik tengah kelas diameter
2. Ukuran Kelestarian Hasil Pengelolaan Hutan
Ukuran kelestarian hasil kayu diukur berdasarkan ukuran fisik dan
finansial. Apabila besarnya hasil pada tahun ke-t dilambangkan dengan Vt,
maka kelestarian hasil dapat dinyatakan dengan persamaan : Vt AAC, untuk t
= 1,2,3......r, r+1....
AAC (Annual Allowable Cut) merupakan jatah tebang tahunan yang
dibenarkan agar kelestarian hasil dapat dicapai, r melambangkan rotasi tebang
yang menyatakan rentang waktu antar penebangan. Apabila AAC pada rotasi
tebang ke t dinyatakan dengan AACt dan AAC pada siklus tebang selajutnya
sebagai AACt+1 maka kelestarian hasil dapat dicapai pada saat qt 1. Apabila riap
dinyatakan dengan I ( m3/ha/tahun), maka qt = 1 akan dicapai pada saat It x rt =
AACt+1. Besar kecilnya nilai q menggambarkan kemungkinan dicapai tidaknya
kelestarian hasil.
35
3. Perhitungan Biomassa Tegakan
Rumus Allometric yang digunakan untuk menghitung biomassa tegakan
hutan adalah rumus pendugaan biomassa secara umum yang dikemukakan oleh
Brown (1997), yaitu :
Y = 42.69 -12.8D + 1.24D2
Dimana : Y = Biomassa pohon (Kg / pohon)
D = Diameter setinggi dada 1,3 m (m)
Penggunaan rumus ini didasarkan pada pertimbangan tempat tumbuh
dengan curah hujan 1500 –4000 mm/tahun, jumlah sampel pohon 172 serta
kisaran diameter 5-148 cm.
Diasumsikan dalam penelitian bahwa karbon yang diserap adalah 50% dari
keseluruhan bagian tumbuhan yang menjadi biomassa (Motagnini dan Poras
1998).
Pendekatan yang digunakan dalam menduga perubahan karbon berdasarkan
stock –difference method (IPCC 2006) yaitu ∆CB = (Ct2 –Ct1)/(t2-t1), dimana
∆CB adalah perubahan stok carbon tahunan, Ct1 merupakan perubahan stok
karbon pada tahun t1 (Ton C), Ct2 perubahan stok karbon pada tahun t2 (Ton C).
Analisis Sistem dan Simulasi
Berdasarkan perumusan masalah dan untuk memperoleh hasil sesuai tujuan
penelitian ini maka penyusunan model dilakukan dengan membagi model dalam sub
model : sub model dinamika tegakan yang terdiri dari dinamika tegakan
dipterocarpacea, non dipterocarpaceae dan tegakan non komersil, dan tegakan
total, sub model pengembalian ekonomi terdiri dari biaya produksi dan sub model
pengembalian ekonomi, sub model pengaturan hasil, sub model penerimaan
masyarakat adat dan Sub model usaha karbon
Tahap- tahap analisis dan simulasi yang dilakukan adalah sebagai berikut
(Grant et al. 1997; Purnomo 2004) :
Identifikasi Isu, Tujuan dan Batasan
Tahap ini bertujuan untuk mengidentifikasi isu-isu sehingga permasalahan
dapat dilihat dengan tepat. Selanjutnya menentukan tujuan pemodelan tersebut.
36
Kemudian isu yang diangkat dan tujuan yang ditetapkan dinyatakan secara
eksplisit.
Setelah itu ditentukan komponen-komponen sistem yang berkaitan dengan
pencapaian tujuan model tersebut. Komponen-komponen tersebut diidentifikasi
keterkaitannya dan merepresentasikan model tersebut dalam diagram kotak-panah
(box-arrow). Pembatasan dan defenisi komponen-komponen dalam sistem sebagai
berikut :
1. Siklus tebang adalah interval waktu (dalam tahun) antara dua penebangan
yang berurutan di tempat yang sama dalam sistem silvikultur polisiklik.
2. Ingrowth didefinisikan sebagai besarnya tambahan terhadap banyaknya pohon
per hektar pada kelas diameter terkecil selama periode waktu tertentu.
3. Upgrowth adalah besarnya tambahan jumlah pohon per hektar terhadap kelas
diameter tertentu yang berasal dari kelas diameter dibawahnya dalam periode
waktu tertentu.
4. Mortality adalah banyaknya pohon per hektar yang mati pada setiap kelas
diameter dalam periode waktu tertentu.
5. Efek penebangan merupakan kematian/kerusakan tegakan yang terjadi akibat
kegiatan penebangan kayu.
6. Masyarakat adat adalah masyarakat yang secara tradisional tergantung dan
memiliki ikatan sosio-kultural dan religius erat dengan lingkungan lokalnya
Perumusan Model Konseptual dan Spesifikasi Model Kuantitatif
Tahapan ini bertujuan untuk membangun pemahaman terhadap sistem yang
diamati ke dalam sebuah konsep untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh
tentang model yang akan dibuat, serta untuk membentuk model kuantitatif dari
konsep model yang telah ditetapkan. Berdasarkan hasil eksekusi yang dicoba
dibuat daftar yang lebih ringkas dari skenario yang memenuhi tujuan pemodelan.
1. Sub Model Dinamika Struktur Tegakan
a. Ingrowth
Ingrowth didefinisikan sebagai besarnya tambahan terhadap banyaknya
pohon per hektar pada kelas diameter terkecil selama periode waktu tertentu
(dalam penelitian ini 1 tahun). Dalam menyusun model penduga ingrowth,
37
ingrowth dinyatakan dengan rumus sebagai berikut :
XjIj =
T
Kemudian ingrowth dapat dinyatakan dalam bentuk proporsi sebagai berikut :
Ij
Inrate =Njt
dimana :
Ij = ingrowth pada jenis pohon ke-i (pohon/ha)Xj = Jumlah pohon dari jenis ke-i yang masuk ke Phn_D15
t = Selang waktu pengukuran (tahun)Inrate = Proporsi pohon yang ingrowthNjt = Jumlah pohon yang ingrowth selama periode pengukuran
b. Upgrowth
Upgrowth adalah besarnya tambahan jumlah pohon per hektar terhadap kelas
diameter tertentu yang berasal dari kelas diameter dibawahnya dalam periode
waktu setahun. Upgrowth diduga dari rataan riap untuk setiap kelas diameter.
Untuk mencari riap diameter rata-rata tahunan digunakan rumus sebagai berikut:
D dimana : MAI = Mean Annual IncreamentMAI = D = Selisih diameter antar pengukuran
t t = Jangka waktu pengukuranW = Interval kelas (10)
Untuk memprediksi perilaku tegakan yang akan datang pada setiap kelas
diameter digunakan rumus :
Riap rata-rata tahunan (MAI)Uprate =
Interval kelas (W)
c. Mortality
Mortality (kematian) dalam penelitian ini adalah banyaknya pohon per hektar
yang mati pada setiap kelas diameter dalam periode waktu satu tahun. Dalam
penyusunan model penduga kematian pohon, kematian pohon dinyatakan dalam
proporsi, dengan rumus sebagai berikut:
m(i )jt
m(i )j = x 100 %
N(i)jt
38
dimana :m(i )
j = Laju mortality jenis pohon ke-i pada kelas diameter ke-j (%/tahun)m(i )
jt = Banyaknya pohon yang mati pada jenis pohon ke-i kelas diameterke-j pada tahun ke-t (pohon/ha)
N(i)jt = Jumlah pohon yang ada di jenis pohon ke-i kelas diameter ke-j pada
tahun ke-t (pohon/ha)
2. Sub Model Pengembalian Ekonomi
Model ini dibuat untuk menggambarkan potensi ekonomis dari hutan.
Model ini terdiri dari dua sub model yaitu sub model biaya produksi dan
submodel pengembalian ekonomi. Metode ini merupakan bentuk lain dari
metode analisis ekonomi yang biasanya dilakukan secara matematis sebagai
berikut (Zobritst et al. 2006; Davis et al. 2001; Lin et al. 1996) :
a. Nilai Harapan Lahan/Land Expectation Value (LEV)
dimana : LEV = Nilai harapan lahan (Rp/ha)Yt = Penerimaan pada tahun ke-t (Rp/ha)Ct = Pengeluaran pada tahun ke-t (Rp/ha)r = Siklus tebang (tahun)t = Tahun kegiatan (tahun)e =Biaya tahunan (administrasi dan umum, perlindungan hutan,
PBB, bina desa hutan dan penyusutan)i = suku bunga dalam angka desimal
b. Nilai Kini Bersih/Net Present Value (NPV)
dimana :
NPV := Net Present Value (Rp/ha)Yt = penerimaan pada tahun ke-t (Rp/ha)Ct = pengeluaran pada tahun ke-t (Rp/ha)r = siklus tebangt = tahun kegiatani = Suku bunga dalam angka desimal
r rYt (1 + i)r-t - Ct (1 + i)r-t
t=0 t=0
LEV= - e/i(1 + i)r - 1
r yt r CtNPV = -
t = 0 (1 + i)t t = 0 (1 + i)t
C. Rasio Manfaat Biaya (BCR)r Yt r Ct
BCR = : t = 0 (1 + i)t
t = 0 (1 + i)t
dimana :
BCR = rasio manfaat biayaYt = penerimaan pada tahun ke-l (Rp/ha)Ct = pengeluaran pada tahun ke-t (Rp/ha)r = siklus tebangt = tahun kegiatani = suku bunga dalam angka desimal
d. Internal Rate of Return (IRR)
dimana : i1 = adalah tingkat discount rate yang menghasilkan NPV1
i2 = adalah tingkat discount rate yang menghasilkan NPV2
Komponen-kompone model pengembalian ekonomi terdiri dari manfaat dan
biaya. Manfaat yang berasal total penerimaan perusahaan merupakan hasil
penerimaan kayu (perubahan harga kayu x volume tebangan). Sedangkan biaya
terdiri dari biaya perencanaan hutan, pemanenan, pembinaan hutan, dan pengeluaran
untuk pemerintah.
3. Sub Model Pengaturan Hasil
Sub model ini dilakukan untuk memberikan gambaran berbagai alternatif
pengaturan hasil hutan kayu oleh HPH dengan mengatur auxilary seperti intensitas
penebangan, lamanya siklus tebang, limit diameter penebangan dan proporsi
jumlah batang yang ditebang. Pengaturan hasil yang digunakan digolongkan
berdasarkan siklus tebang (konvensional). Teknik konvensional dilakukan dengan
menyusun skenario siklus tebang, dan berdasarkan siklus tebang tersebut dipilih
berbagai intensitas tebang yang memberikan hasil lestari.
4. Sub Model Penerimaan Masyarakat Adat
Sub model ini menjelaskan keuntungan masyarakat adat yang diperoleh
sebagai kompensasi terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan yang berada di
NPV1
IRR = i1 + (i2–i1)NPV1 - NPV2
39
40
wilayah kepemilikannya, baik yang dilakukan oleh perusahaan maupun non
perusahaan (pribadi dan kelompok). Sub model ini memiliki keterkaitan dengan
model dinamika tegakan dan pengaturan hasil. Auxilary variable penerimaan
kompensasi dipengaruhi oleh driving variable jumlah penerima. Jumlah penerima
merujuk kepada banyaknya marga-marga yang menerima kompensasi pada
wilayah adatnya. Tidak semua masyarakat yang berada pada wilayah-wilayah
yang terkena dampak HPH menerima kompensasi, sehingga dalam penelitian ini
digunakan angka random (acak). Besarnya penerimaan kompensasi merupakan
hasil perkalian antara jumlah volume dan besarnya standar kompensasi.
Pembuatan sub model ini dilakukan dengan membagi jenis kayu ke dalam
tiga kelompok besar berdasarkan standar kompensasi yang ditetapkan yaitu jenis
kayu merbau, non merbau serta kayu indah. Persentase jumlah masing-masing
jenis diperoleh berdasarkan hasil produksi kayu selama tahun 2007, dengan
persentase merbau (60%), non merbau (39%) dan kayu indah (1%). Sedangkan
auxilary variable pendapatan tebang milik merupakan selisih antara biaya
penebangan dan hasil penjualan kayu. Pendapatan tebang milik selanjuntnya
didistribusikan kepada pemilik kayu (20%) dan penebang kayu (80%).
5. Sub model REDD
Secara umum pertimbangan ekonomi lebih kuat dibandingkan hal-hal lain
seperti mengurangi erosi dan koservasi keaneragaman spesis (Hartley 2002), oleh
sebab itu sub model REDD dalam penelitian disimulasikan untuk menganalisis
keadaan finansial pengelolaan hutan oleh IUPHHK PT. BBU apabila dialihkan
untuk tujuan penyerapan karbon, namun hanya berfokus pada upaya mengurangi
degradasi. Pendapatan usaha karbon adalah selisih pemasukan karbon dengan
pengeluaran usaha karbon. Pemasukan usaha karbon didapat dari penjualan jasa
penyerapan karbon dalam satuan ton (tC) per hektar.
Harga karbon dalam perdagangan karbon sangat bervariasi. Pada awal
sistem perdagangan dan pertukaran karbon, nilai kredit pengurangan emisi karbon
berkisar antara US$2,5 sampai US$5 (Niles, John O et al. 2002). Nilai yang
dipakai dalam penelitian ini adalah nilai US$5, dengan nilai tukar rupiah
diasumsikan Rp 9.500. Simulasi dilakukan untuk menentukan besarnya
penerimaan apabila penebangan dilakukan dengan intensitas rendah (20%).
41
Evaluasi Model
Tujuan dari tahap ini adalah untuk mengetahui keterandalan model yang dibuat
untuk mendiskripsikan keadaan sebenarnya. Proses pengujian dilakukan dengan
mengamati kelogisan model dan membandingkan dengan dunia nyata atau model andal
yang serupa jika tersedia. Perbandingan dilakukan dengan uji Khi Kuadrat (x2)
(Walpole 1995) dengan rumus berikut :
(yaktual–ymodel)2
2hitung =
y model
Dengan hipotesis Ho : Ymodel = Yaktual
H1 : Y modelYaktual
Dengan kriteria uji : 2hitung< 2
tabel : terima Ho
: 2hitung> 2
tabel: tolak Ho
Penggunaan Model
Model yang telah dibentuk digunakan untuk mencapai tujuan
pembentukannya. Kegiatan pertama adalah membuat daftar terhadap semua
skenario yang mungkin dapat dibuat dari model yang dikembangkan. Semua
skenario tersebut dijalankan, kemudian hasil tersebut coba untuk dipahami.
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Letak dan Luas
Penelitian dilakukan dalam areal kerja HPH PT. Bina Balantak Utama
(BBU) sebagai salah satu perusahaan yang tergabung dalam Group Kayu Lapis
Indonesia (KLI). Wilayah kerja HPH PT. Bina Balantak Utama termasuk dalam
kelompok hutan Sungai Tor dan Sungai Apauwer. Secara geografis kelompok
hutan ini terletak di antara 138005’ - 139000’ Bujur Timur dan 01030’ - 02030’
Lintang Selatan, merupakan wilayah pengelolaan Dinas Kehutanan Kabupaten
Sarmi dan Dinas Kehutanan Propinsi Papua.
Berdasarkan peta penafsiran citra satelit liputan tahun 1999, luas wilayah
kerja HPH tersebut 325.300 ha, terdiri dari 215.249 ha berhutan dan 7.080 ha
tak berhutan, 18.067 ha tertutup awan, serta areal berawa seluas 84.904 ha.
Adapun luas dan tataguna hutan berdasarkan TGHK adalah : 1) Hutan
Produksi (HP) seluas 59.693 ha; 2) Hutan Produksi Tetap (HPT) seluas 159.781
ha; 3) Hutan Konversi 102.255 ha; dan 4) Areal Pemanfaatan Lain (APL) seluas
3.571 ha.
Petak-petak pengamatan yang dijadikan obyek dalam penelitian terletak
pada hutan bekas tebangan RKT 2001, RKL III 2001 –2005, petak tebangan 56
KK dan hutan primer. Pada areal bekas tebangan 6 buah petak pengamatan berupa
Petak Ukur Permanen (PUP) dengan luas seri PUP 24 ha. Lokasi PUP terletak
pada ketinggian 35 m dpl dan termasuk dalam wilayah dusun Maran, kelompok
hutan Sungai Tor dan Sungai Apauwer.
Biofisik Kawasan
Jenis Tanah dan konfigurasi lapangan
Jenis tanah yang terdapat pada areal konsesi HPH PT. Bina Balantak Utama
(BBU) adalah Aluvial, rezina, kambisol, dan podsolik. Keadaan lapangan dari
keseluruhan areal terdiri dari : tanah Kering : 80.75%, rawa 6.25% dan payau 13%
dengan ketinggian berkisar dari 0-600 mdpl. Areal Petak Ukur Permanen (PUP)
termasuk kategori datar.
Topografi
43
Berdasarkan kemiringan lahan, sebagian besar wilayah Kabupaten Sarmi
mempunyai tingkat ketinggian antara 100 –500 m dari permukaan laut untuk
Distrik Tor Atas. Sedangkan, Sarmi, Pantai Barat, Pantai Timur dan sebagian
Bonggo memiliki ketinggian kurang dari 100 m dari permukaan laut.
Sedangkan kemiringan lereng wilayah ini berkisar antara 2–65 %
meliputi 2–8 % mencakup Pantai Timur dan Pantai Barat. Tor Atas dan
sebagian Bonggo bervariasi dari < 2 % sampai dengan 8 %.
Keadaan topografi di areal BBU lebih dominan pada daerah-daerah dataran
rendah dengan persentase luas sebesar 47.8%, landai 21.7%, bergelombang
17.2%, agak curam 13.3%. Daerah relatif tidak memiliki topografi sangat curam,
sehingga memperkecil biaya produksi.
Tipe Iklim
Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk tipe iklim A dengan
curah hujan rata-rata setiap tahunnya lebih dari 2.485 mm/th. Curah hujan
tertinggi terjadi pada bulan mei dan terendah pada bulan september. Curah hujan
berlangsung terus menerus tanpa ada bulan kering dengan rata-rata curah hujan 15
hari hujan per bulan.
Vegetasi
Hutan yang berada di areal kerja HPH PT. Bina Balantak Utama termasuk
tipe hutan hujan tropik. Berdasarkan risalah pengukuran PUP, areal tersebut di
dominasi oleh jenis-jenis dipterocarp seperti merbau (Intsia bijuga), matoa
(Pometia spp.), kenari (Canarium sp), nyatoh (Palaquium amboinense), dan resak
(Vatica papuana). Sedangkan jenis-jenis non dipterocarp dan non komersil yang
banyak ditemui adalah kenanga (Cananga odorata), Dahu (Dracontomelum
edule), medang (Litsea sp.), jambu-jambuan (Eugenia spp.), pala hutan (Myristica
spp.), melinjo (Gnentum gnemon), dan buah hitam (kecapi) (Haplolobus) dengan
proporsi yang relatif seimbang.
Potensi Ekonomi Sumberdaya Hutan Kabupaten Sarmi
Kabupaten Sarmi merupakan salah satu kabupaten pemekaran di Propinsi
Papua yang baru berkembang sejak tahun 2002. Luas wilayah Kabupaten Sarmi
kurang lebih 8.948 km2.
44
Kawasan hutan Kabupaten Sarmi berdasarkan Peta Kawasan Hutan dan
Perairan terbagi dalam 6 fungsi kawasan hutan seperti pada Tabel 1.
Tabel 1 Potensi Hutan Kabupaten Sarmi
No Hutan Luas (Ha) (%)1 Hutan Lindung 264.675,02 8,032 Kawasan Suaka Alam &
Pelestarian Alam1.296.782,40 39,37
3 Hutan Produksi Terbatas 391.640,50 11,894 Hutan Produksi Tetap 949.493,05 28,835 Hutan Produksi Konversi 367.412,98 11,156 APL 24.003,40 0,73
Jumlah 3.294.007,36 100Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Papua, 2006
Wilayah Kabupaten Sarmi sebagian besar bervegetasi hutan dengan luas
± 2.825.965 ha atau ± 92,5 % dari luas total wilayah kabupaten. Kondisi
penutupan vegetasi sebagian besar berupa hutan lahan kering seluas ± 2.340.816
ha (76,6 %), dan sebagian lagi berupa hutan rawa seluas ± 466.479 ha (15,3 %)
dan sedikit hutan mangrove di pesisir pantai ± 18.699 ha (0,6 %). Areal bekas
tebangan (hutan sekunder) hanya meliputi luasan 82.615 ha (2,7 %) sehingga
dapat dikatakan kawasan hutan Kabupaten Sarmi sebagian besar adalah hutan
primer.
Potensi hutan yang demikian memberikan peluang pengelolaan bagi
pertumbuhan ekonomi wilayah. Seiring dengan otonomi daerah maka, pemerintah
Kabupaten Sarmi mamacu peningkatan penerimaan daerah salah satunya melalui
penerimaan sektor kehutanan.
Dampak keberadaan IUPHHK BBU dalam menopang perekonomian daerah
Sarmi baru dirasakan sekitar 6 tahun (2002-2008), sebab semenjak tahun 1991
sampai tahun 2001 pengambilan hasil kayu dari hutan Sarmi hanya menjadi
sumber pendapatan bagi pemerintah Kabupaten Jayapura yang dulunya
merupakan kabupaten induk bagi Kabupaten Sarmi. Dengan rata-rata potensi kayu
yang dipanen setiap tahun sebesar 68.512,68 m3 dan harga jual rata-rata sebesar
Rp 600.000 diperoleh nilai manfaat langsung dari kayu sebesar
Rp. 41.107.608.000 per tahun.
Pada awal perkembangannya hingga saat ini kegiatan ekonomi di
Kabupaten Sarmi masih didominasi oleh investasi dibidang eksploitasi
45
sumberdaya alam berupa kehutanan, pertanian dan peternakan serta
pertambangan yang baru berkembang tahun 2007 dengan adanya penambangan
pasir besi.
HPH yang beroperasi hingga saat ini berjumlah 5 unit HPH/IUPHHK
sebagaimana terlihat pada Tabel 2. Keberadaan HPH di Kabupaten Sarmi akan
memberikan nilai tambah terhadap faktor produksi, institusi dan sektor-sektor
ekonomi lainnya, sehingga mempengaruhi pertumbuhan wilayah.
Tabel 2 Keberadaan HPH/IUPHHK di Kabupaten Sarmi Tahun 2008
SK HPH/IUPHHK. NAMA HPH/IUPHHK
Nomor Tanggal
Luas(Ha)
Keterangan
PT. Wapoga Mutiara Timber Unit II 774/Kpts-II/90 13 Des 90 196.900 Aktif
PT. Bina Balantak Utama 40/Kpts-II/91 16 Jan 91 325.300 Aktif
PT. Mamberamo Alas Mandiri 1071/Kpts-II/92 09 Nop 92 677.310 Aktif
PT. Mondialindo Setya Pratama 13 Tahun 2002 21 Peb 02 94.500 Aktif
PT. Salaki Mandiri Sejahtera 15 Tahun 2002 21 Peb 02 80.500 Aktif
JUMLAH 1.374.510
Sumber : Dinas Kehutanan Propinsi Papua, 2006
Nilai pemanfaatan langsung dari sumberdaya hutan oleh perusahaan (5 unit
HPH) yang berasal dari hasil hutan kayu selama 3 tahun (2005-2007) apabila
digunakan harga jual rata-rata sebesar Rp 600.000/m3 adalah sebesar Rp.
153.276.000.000 (Rp 153 milyar). Nilai tersebut terlihat cukup tinggi, namun bila
didistribusikan kepada stakeholders akan sangat kecil diterima oleh masyarakat
sebagai pemilik hak ulayat dan pemerintah sebagai pemilik sumberdaya.
Kondisi Ekonomi Daerah Penelitian
Pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat dari laju pertumbuhan
Produk Domestik Bruto (PDRB). Total nilai barang dan jasa yang dihasilkan di
suatu wilayah yang telah dihilangkan unsur-unsur intermediate cost-nya dikenal
sebagai Produk Domestik Bruto (PDRB). PDRB yang diperoleh suatu wilayah
pada akhirnya akan berpotensi menjadi pendapatan wilayah.
46
Sektor kehutanan merupakan salah satu sub-sektor pertanian menurut
klasifikasi PDRB yang digunakan BPS dan kantor statistik PBB. Berdasarkan
Tabel 3 terlihat bahwa kontribusi sub-sektor kehutanan pada pembentukan PDRB
Kabupaten Sarmi semakin meningkat antara tahun 2001 (Rp. 16,57 milyar)
sampai dengan tahun 2006 (Rp 55,9 milyar), suatu kenaikan sekitar 70,37%
selama 6 tahun atau rata-rata 31,53% tiap tahun. Hal ini mengindikasikan
Kabupaten Sarmi merupakan wilayah dengan aktifitas berbasis sumberdaya hutan.
Table 3 Kontribusi relatif sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Sarmiatas dasar harga konstan 2000 selama tahun 2001-2006 ( %)
2001 2002 2003 2004 2005 2006No Sektor Share
(%)Share(%)
Share(%)
Share(%)
Share(%)
Share(%)
1 Pertanian1.1. Tanaman Bahanmakanan 13,48 14,6 14,01 13,86 13,39 12,761.2. Tanamanperkebunan 4,20 5,2 4,95 4,80 4,67 4,581.3. Peternakan danhasilnya 0,89 0,76 0,72 0,68 0,64 0,611.4. Kehutanan 26,88 33,10 32,71 31,56 29,89 28,091.5. Perikanan 10,20 11,30 11,55 12,13 12,48 12,15
2Pertambangan danPenggalian 1,33 1,65 1,57 1,53 1,50 1,46
3 Industri Pengolahan 3,87 3,89 3,66 3,50 3,36 3,194 Listrik dan Air bersih 0,16 0,15 0,16 0,17 0,17 0,175 Bangunan 4,99 5,37 5,32 5,26 7,37 9,02
6Perdagangan, Hoteldan Restoran 9,48 10,65 10,20 9,85 9,56 9,18
7Pengangkutan danKomunikasi 6,20 7,69 8,27 8,61 8,83 9,22
8Keuangan, Persewaandan Jasa Perusahaan 1,85 2,44 2,38 2,43 2,43 3,80
9 Jasa-jasa 16,46 3,42 4,50 5,64 5,68 5,77Total 100 100 100 100 100 100
Sumber : BPS dan BP3D Kabupaten Sarmi, 2007 (diolah)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Risalah data Petak Ukur Permanen (PUP)
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang
berasal dari IUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Papua. Luas
seri PUP secara keseluruhan adalah 24 hektar, namun yang digunakan dalam
penelitian ini hanya 12 hektar yang terdiri 3 buah PUP yaitu petak 4,5 dan 6 yang
tidak diberi perlakuan silvikultur. Luas petak pengamatan pada masing-masing
petak ukur adalah 100 m x 100 m (1 ha), yang terdiri dari 100 buah plot
pengamatan yang berukuran (jarak datar) 10 m x 10 m. PUP secara geografis
terletak pada 138042’ Bujur T imur dan 1055’ Lintang Selatan.
Data PUP di areal IUPHHK Bina Balantak Utama telah diukur sebanyak 5
kali sejak tahun 2001 –2005. Data yang diambil adalah jenis pohon, keliling
batang, tinggi pangkal tajuk, tinggi total pohon.
Deskripsi Struktur tegakan
Struktur tegakan hutan dalam wilayah konsesi IUPHHK PT. Bina Balantak
Utama dikaji melalui pendataan tegakan pada fase pertumbuhan tiang dan pohon.
Untuk memberikan gambaran yang lebih baik terhadap variasi perilaku individu
pohon dalam kelompok maka, hasil pendataan dikelompokan berdasarkan kelas
diameter dan kelompok jenis, yaitu kelompok jenis Dipterocarpaceae, Non
dipterocarpaceae dan Non komersil.
Dari sisi komposisi jenis, non dipterocarpaceae merupakan jenis yang
banyak ditemui di lokasi penelitian dengan jumlah jenis 39, diikuti oleh jenis non
komersil sebanyak 21 jenis dan dipterocarpaceae sebanyak 8 jenis. Beberapa
diantaranya seperti merbau (Intsia bijuga), matoa (Pometia spp.), kenari
(Canarium sp), nyatoh (Palaquium amboinense), dan resak (Vatica papuana),
kenanga (Cananga odorata), Dahu (Dracontomelum edule), medang (Litsea sp.),
dan pala hutan (Myristica spp.) (HPH PT.BBU 2001). Berdasarkan data pada
Lampiran 2 dan 3, kehadiran jenis-jenis pohon yang diamati baik pada areal
bekas tebangan maupun hutan primer didominasi oleh jenis-jenis pohon komersil
dari kelompok Non Dipterocarpaceae, yaitu 57.35% pada areal hutan primer, dan
68.08% untuk areal bekas tebangan. Sedangkan jenis non komersil sebesar
48
30.88% untuk hutan primer dan 21.28% untuk hutan bekas tebangan. Jenis
Dipterocarpaceae masing-masing 11.76% untuk hutan primer dan 10.63% untuk
hutan bekas tebangan.
Selain perubahan struktur tegakan dinamika tegakan juga menggambarkan
perilaku tegakan, kemampuan regenerasi dan pertumbuhan individu pohon
penyusun tegakan terutama setelah adanya gangguan. Dinamika yang terjadi
dalam tegakan setiap periode waktu dapat diamati melalui tiga variabel utama
yaitu: ingrowth, upgrowth dan mortality. Ingrowth memberikan masukan materi
berupa jumlah pohon ke dalam kelas diameter terkecil, sehingga menambah
jumlah pohon dalam kelas diameter tersebut. Upgrowth menyebabkan keluarnya
jumlah pohon dalam kelas diameter yang bersangkutan, tetapi memberikan
masukan jumlah pohon bagi kelas diameter di atasnya. Sedangkan mortality
menyebabkan keluarnya materi (jumlah pohon) dari suatu kelas diameter,
sehingga akan mengurangi jumlah pohon dalam kelas diameter tersebut. Proses
keluar masuknya materi (jumlah pohon) antar kelas diameter menyebabkan
terjadinya dinamika tegakan.
Hasil analisis terhadap ketiga petak pengamatan di areal bekas tebangan
ditemukan 47 jenis pohon yang terdiri dari kelompok Dipterocarpaceae sebanyak
5 jenis pohon, Non-Dipterocarpaceae sebanyak 32 jenis pohon dan Non-Komersil
sebanyak 10 jenis pohon, seperti tertera pada Lampiran 2 dan 3.
Perhitungan Dinamika Tegakan
Riap rata-rata tahunan
Hasil perhitungan riap rata-rata tegakan berdasarkan kelompok jenis
disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Riap rata-rata tegakan masing-masing kelompok jenis
Kelas Diameter (cm/tahun)KelompokJenis KD15 KD25 KD35 KD45 KD55 KD65 Rata-rataDipt 0.701 1.038 0.882 0.931 0.396 1.128 0.846NonDip 0.723 0.906 0.767 1.033 0.704 0.685 0.803Non-Kom 0.592 0.944 0.732 0.938 0.500 0.816 0.754Rata-rata 0.672 0.963 0.794 0.967 0.448 0.876 0.801
Sumber : IUPHHK PT. BBU (diolah)
49
Rata-rata riap diameter tahunan tegakan dipterocarpaceae relatif sama
dengan jenis non dipterocarpaceae yakni sebesar 0.846 cm/tahun dan 0.803
cm/tahun, namun berbeda dengan riap tahunan non komersil yakni sebesar 0.754
cm/tahun. Rata-rata diameter ini lebih besar pada pohon-pohon yang memiliki
diameter 40-50 cm (riap rata-rata 0.967 cm/tahun) bahkan jenis dipterocarp pada
kelas diameter 65 cm riap dapat mencapai 1.128 cm/tahun (Tabel 4). Hal ini
menunjukan kompetisi dalam tegakan setelah penebangan lebih didominasi oleh
pohon-pohon berdiameter besar yang terutama jenis komersil.
Laju ingrowth¸ upgrowth dan mortality
State variable awal dalam model struktur tegakan ini berupa jumlah pohon
kelas diameter (Phn_D15), sehingga ingrowth didefenisikan sebagai jumlah tiang
yang masuk ke dalam Phn_D15. Ingrowth dinyatakan dalam proporsi yang
disimbolkan dengan inrate. Data yang tersedia berupa data sampai lima tahun
pengukuran sehingga inrate yang digunakan merupakan rata-rata dari kelima
tahun pengukuran tersebut. Berikut disajikan hasil perhitungan dari masing-
masing kelompok jenis.
Tabel 5 Nilai inrate dari masing-masing kelompok jenis
Inrate dari 5 Tahun Pengukuran (%)KelompokJenis 2001/2002 2002/2003 2003/2004 2004/2005 Inrate
rata-rataDipterocarp 0.2667 0.0278 0.1143 0.1667 0.1439Non-Dipterocarp 0.0117 0.04938 0.05194 0.0694 0.1456
Non Komersil 0.0508 0.0167 0.0476 0.0045 0.0299Sumber : IUPHHK PT. BBU (diolah)
Upgrowth didefenisikan sebagai besarnya tambahan jumlah pohon per
hektar per tahun pada kelas diameter atau fase pertumbuhan tertentu yang berasal
dari kelas diameter yang lebih kecil. Perpindahan ke tingkat pertumbuhan di
atasnya berarti juga pengurangan kerapatan pada tingkat pertumbuhan
sebelumnya yang ditinggalkan. Upgrowth untuk kelompok dipterocarpaceae naik
dari kelas diameter 25 cm (0.1038) dan mulai menurun sampai kelas diameter 55
cm sebesar 0.0396. Untuk kelompok non dipterocarpaceae terjadi kenaikan
upgrowth dari kelas diameter 15 cm (0.0723) sampai kelas diameter 45 cm
50
(0.1033) dan mengalami penurunan kembali pada kelas diameter 55 cm (0.0704).
Kelompok jenis non komersil mengalami kenaikan upgrowth dari kelas diameter
15 cm (0.0592) sampai 0.0938 pada kelas diameter 45 cm, dan menurun di kelas
diemeter 55 cm (0.0500). Secara keseluruhan kelompok dipterocarpaceae
menunjukan pertumbuhan lebih besar dibandingkan kelompok non dipterocarp
dan non komersil, karena upgrowth menunjukan kapasitas pertumbuhan dari
kelompok jenis tertentu yang sesuai dengan perilaku riapnya.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian pada PUP HPH PT.Somalindo
Lestari Jaya II Kabupaten Sarmi terdapat pola perilaku pertumbuhan yang sama
dimana pada kelas diameter 20-29 cm pertumbuhan dipterocar 0.1528 dan
menurun sampai 0.0643 pada kelas diameter 50-59 cm kemudian naik dan
menjadi stabil pada kelas diameter 60 cm (0.0844). (Anonimous 2001). Hasil
perhitungan besarnya laju upgrowth pada masing-masing kelas diameter menurut
jenis terlihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Laju upgrowth pada IUPHHK PT. Bina Balantak Utama.
Kelompok Jenis (%)Laju upgrowth
(Kelas diameter) Dipterocarp Non-Dipterocarp Non-Komersil
Phn_D15 0.0701 0.0723 0.0592Phn_D25 0.1038 0.0906 0.0944
Phn_D35 0.0882 0.0767 0.0732
Phn_D45 0.0932 0.1033 0.0938
Phn_D55 0.0396 0.0704 0.0500
Sumber : IUPHHK PT. BBU (diolah)
Besarnya upgrowth berbanding terbalik dengan luas bidang dasar tegakan,
sehingga laju upgrowth akan semakin rendah jika luas bidang dasar tegakan
semakin tinggi. Hal ini dapat dihubungkan dengan besarnya riap, dimana salah
satu faktor yang turut mempengaruhi besarnya riap adalah kompetisi antar
individu dalam tegakan (Ong dan Kleine 1996).
Mortality adalah laju kematian dari pohon-pohon dalam tegakan yang
umumnya dinyatakan dengan persen per tahun. Laju mortality alami mempunyai
hubungan positif dengan luas bidang dasar tegakan, dimana kerapatan yang tinggi
51
menyebabkan kompetisi yang tinggi sehingga akan terjadi kematian alami yang
semakin tinggi pula. Besarnya mortality alami disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Laju Mortality pada IUPHHK PT. Bina Balantak Utama
Proporsi kematian alami tiap Kelas Diameter (%)Kelas Diameter
(Phn_D)Dipterocarp Non Dipterocarp Non-Komersil
Phn_D15 0.0058 0.0320 0.0893Phn_D25 0.1535 0.1768 0.0873Phn_D35 0.6025 0.0864 0.1148Phn_D45 0.1786 0.5542 0.2447Phn_D55 0.1695 0.2737 0.1750Phn_D65 0.0290 0.0893 0.0624
Sumber : IUPHHK PT. BBU (diolah)
Proporsi kematian untuk semua kelompok jenis dipterocarp paling besar
terjadi pada kelas diameter 35 cm, namun untuk kelompok non dipterocapr dan
non komersil pada kelas diameter 45 cm, selanjutnya pada kelas diameter 65 cm
mengalami penurunan dan menjadi stabil. Dengan demikian besar kecilnya
diameter tidak mempengaruhi laju mortalitas. Hal ini sejalan dengan pendapat
Carey et al (1987) yang diacu dalam Favrichon (1998) bahwa antara diameter
dengan kematian pohon di hutan campuran tidak diperoleh hubungan yang
signifikan.
Pembangunan Model Pengaturan Hasil Hutan
Identifikasi Isu, Tujuan dan batasan
Pengelolaan hutan di Papua (Provinsi Papua) sudah berjalan kurang lebih
tiga dekade dan kini mengarah pada pengelolaan hutan bekas tebangan. Dengan
tujuan mengejar laju pertumbuhan ekonomi pemerintah telah memberikan ijin hak
pengusahaan hutan kepada kurang lebih 54 perusahaan untuk mengelola hutan
Papua yang luasnya kira-kira mencapai 31 juta hektar. Namun pemerintah
maupun masyarakat yang memiliki sumberdaya hutan tidak mendapatkan manfaat
yang optimal. Kebijakan-kebijakan baru pengelolaan hutan diharapkan mampu
meningkatkan penerimaan daerah dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, yang tentunya tanpa mengabaikan aspek-aspek pengelolaan yang
52
lestari. Salah satu bentuk pengelolaan hutan yang lestari adalah pengaturan hasil
hutan melalui penentuan jatah tebang tahunan.
Metode pengaturan hasil yang selama ini digunakan untuk menetapkan jatah
tebang tahunan (AAC) lebih bersifat umum untuk semua kondisi hutan, sehingga
hampir dipraktekan di sebagian besar HPH. Sementara kondisi spesifik setiap
HPH tidak selalu sama baik aspek klimatis maupun edafis, sehingga diperlukan
pengaturan hasil (kayu) yang sesuai dengan site setempat. Untuk memahami
kondisi spesifik penelitian ini dibatasi skala pengamatannya hanya pada IUPHHK
PT. Bina Balantak Utama(BBU) Kabupaten Sarmi.
PT. BBU telah melakukan kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu di wilayah
administrasi Kabupaten Sarmi selama 17 tahun (3 RKL), dimana RKL I dan II
dikontribusikan bagi pembangunan di Kabupaten Jayapura yang dulunya
merupakan kabupaten induk bagi Sarmi. Dan sejak tahun 2001 (RKL III) hasil
kayu mulai menjadi sumber pendapatan daerah bagi Kabupaten Sarmi.
Penetapan jatah produksi tahunan yang ditetapkan pemerintah saat ini
berfluktuatif sesuai site spesifik yang dijabarkan dalam Usulan Rencana Karya
Tahunan (URKT) perusahaan yang telah ditetapkan menjadi RKT sebagaimana
terlihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Luas Blok RKT, Volume Produksi dan Jumlah Batang selama II RKLpada IUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Papua
RKT Luas Blok RKT(Ha) Volume Produksi (m3) Jumlah Batang
2001 6.879 11.936,78 2.6152002 6.789 13.169,24 2.3522003 6.745 24.652,22 4.7052004 4.100 22.705,57 1.5792005 3.967 5.085,00 13.5692006 6.998 122.857 30.2602007 6.990 122.716 30.2662008 6.840 120.083 29.5772009 6.858 120.399 29.6552010 6.922 121.523 29.932
Jumlah 63.088 685.127 174.510Rata-rata 6.309 68.513 17.451
Sumber : IUPHHK PT. BBU, 2008
Rata-rata areal berhutan yang dieksploitasi pada setiap RKT seluas 6.309 ha,
dengan rata-rata volume produksi per tahun sebesar 68.513 m3 atau 10,86
53
m3/ha(Tabel 8). Potensi ini sangat sangat rendah bila dibandingkan dengan rata-
rata volume pohon produksi dari sejumlah HPH di Papua yang mencapai 33,11
m3/ha (Rachman 2003). Berdasarkan data citra satelit liputan tahun 1999 luas
areal berhutan IUPHHK PT. BBU sebesar 215.249 hektar. Apabila penetapan
AAC berdasarkan etat luas dengan siklus 35 tahun (Siklus konvensional), maka
luas maksimum yang harus dieksploitasi agar hutan tetap lestari adalah 6.150
hektar per tahun. Artinya terdapat selisih sekitar 159 hektar per tahun antara rata-
rata luasan aktual (Tabel 8) yang sudah dieksploitasi selama 2 RKL dengan
keadaan hutan berdasarkan analisis citra. Implikasinya pada akhir siklus,
perusahaan harus melakukan moratorium untuk memulihkan kondisi tegakan
mendekati kondisi awal. Dengan siklus tebang 35 tahun seperti yang diatur dalam
sistem TPTI, hutan yang dikelola IUPHHK PT. BBU masih menyisahkan kurang
lebih 3 RKL lagi untuk memasuki siklus tebang kedua yang mengarah pada
pengelolaan hutan bekas tebangan.
Intensitas penebangan yang digunakan selama kegiatan pengusahaan hutan
berkisar antara 60 –100 % tergantung kondisi topografi pada masing-masing
petak tebang, namun dalam penelitian ini digunakan intensitas 80%.
Model analisis sistem yang dibangun bertujuan mencari alternatif
pengaturan hasil hutan tidak seumur pada unit manajemen hutan (IUPHHK) yang
lestari secara ekologi dan ekonomi serta memberikan kontribusi terhadap ekonomi
daerah.
Formulasi Model Konseptual
Model konseptual yang dikembangkan dideskripsi melalui diagram causal
loop. Jumlah pohon dalam tegakan dipengaruhi oleh jumlah pohon ingrowth,
upgrowth, mortality, efek tebangan dan illegal logging. Ingrowth memberikan
masukan materi (jumlah pohon) dalam kelas diameter terkecil (Phn_D15),
sehingga menambah jumlah pohon pada kelas diameter terkecil. Jumlah
mortality, efek tebangan dan illegal logging akan mengakibatkan pengurangan
jumlah pohon dalam tegakan di setiap kelas diameter. Namun dalam penelitian
illegal logging tidak diperhitungkan sebagai bentuk ganguan hutan dalam
perhitungan model, sehingga diasumsikan tidak terjadi illegal logging. Sedangkan
54
jumlah pohon upgrowth akan mengakibatkan penambahan jumlah pohon kelas
diameter 25 cm sampai kelas diameter 65 cm. Hubungan antara ingrowth dan
jumlah pohon dalam tegakan merupakan hubungan positif artinya semakin besar
jumlah ingrowth, maka jumlah pohon dalam tegakan akan semakin bertambah.
Sedangkan hubungan antara jumlah pohon dalam tegakan dengan mortality, dan
efek tebangan adalah hubungan yang negatif. Semakin tinggi jumlah mortality
dan efek tebangan akan mengakibatkan penurunan jumlah pohon dalam tegakan
yang cukup besar. Penebangan dilakukan hampir pada semua kelas diameter,
dengan intensitas yang berbeda berdasarkan pada skenario yang dikembangkan.
Penebangan yang dilakukan terhadap pohon masak tebang (Phn_D55 dan
Phn_D65) bertujuan untuk mendapatkan kayu-kayu produksi yang akan dijual
perusahaan sehingga memberikan manfaat ekonomi. Hubungan antara jumlah
pohon dengan volume berbanding lurus, dimana semakin tinggi jumlah pohon
maka volume juga semakin bertambah. Guna mendapatkan kayu-kayu komersil
perusahaan melakukan kegiatan pemanenan dengan jumlah biaya tertentu.
Hubungan biaya dan volume juga berbanding lurus yaitu dengan semakin
tingginya biaya maka volume kayu yang diproduksi akan semakin tinggi pula.
Jumlah pohon dalam tegakan juga berperan dalam menghitung biomassa
tegakan. Biomassa tegakan berperan terhadap siklus karbon dalam hutan,
sehingga dapat dipergunakan untuk menentukan kandungan karbon. Variabel ini
dipergunakan untuk menentukan mekanisme perdagangan karbon melalui skema
Reduce Emission from Degradation and Deforestation (REDD).
Besarnya volume kayu yang diproduksi memberikan manfaat ganda baik
untuk pertumbuhan ekonomi daerah, maupun untuk kepentingan perusahaan dan
rakyat pemilik hak ulayat. Setiap volume kayu yang dipanen perusahaan
berpengaruh terhadap penerimaan perusahaan dan tambahan pendapatan
masyarakat pemilik hak ulayat. Apabila perusahaan melakukan moratorium maka
masyarakat akan kehilangan tambahan pendapatan (Trade off). Masyarakat
pemilik hak ulayat juga dapat menggunakan hak miliknya untuk menebang kayu
dalam wilayah konsesi sehigga dapat menjadi sumber pendapatan tersendiri.
Hubungan di antara komponen tersebut merupakan hubungan positif yang saling
mengikat antara satu dengan yang lainya. Tingginya penerimaan perusahaan yang
55
tercermin dari tingginya penjualan akan memperbesar penerimaan pemerintah dan
penerimaan masyarakat. Hubungan antara semua komponen penyusun model
disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Diagram causal loop antara komponen dalam model
Merepresentasikan Model Konseptual
Sub Model Dinamika Struktur Tegakan
Dinamika Tegakan
Model dinamika tegakan dalam penelitian ini menggunakan jumlah pohon
masing-masing kelompok jenis dalam setiap kelas diameter sebagai state variable.
Aliran materi dalam setiap model diasumsikan bersifat seri. Artinya setiap model
akan melalui kelas-kelas diameter secara berurutan, tidak ada pohon yang
melewati lebih dari satu kelas diameter sekaligus. Hal ini mengikuti asumsi TPTI
yang menyatakan riap rata-rata tahunan sebesar 1 cm, sedangkan lebar kelas
untuk model dinamika tegakan ini sebesar 10 cm, sehingga sangat tidak mungkin
terdapat pohon yang melewati dua atau tiga kelas diameter sekaligus dalam satu
tahun.
Aliran materi dalam model dinamika ini dimulai dari pohon kelas diameter
terkecil (Phn_D15). Penelitian ini hanya berfokus pada dinamika pohon sehingga
semai, pancang dan tiang tidak dimasukan dalam ruang lingkup sistem. Struktur
kuantitatif umum dari model ini dalam format struktur model berdasarkan waktu.
Unit satuan dasar simulasi yang digunakan adalah tahun.
56
Kematian pohon dalam suatu kelas diameter direpresentasikan oleh flow
mortality dengan dua buah variabel auxilary yakni kematian secara alami
(Morate) dan kematian akibat penebangan (Efek tebang). Kematian akibat
penebangan akan meningkat sesaat setelah penebangan dan menurun pada tahun-
tahun berikutnya. Sedangkan kematian alami dipengaruhi oleh luas bidang dasar
tegakan dimana kematian pohon meningkat dengan semakin rapatnya luas bidang
dasar tegakan. Pada kelas diameter 50-59 cm dan 60 cm keatas terdapat kegiatan
penebangan dan merupakan faktor yang mengurangi jumlah pohon dari statenya.
Karena kegiatan penebangan dilakukan hanya pada saat memasuki siklus tebang,
maka diperlukan state tahun dan besarnya penebangan yang dilakukan akan
ditentukan oleh persen tebang. Persen tebang inilah yang nantinya akan diubah-
ubah dalam kegiatan simulasi untuk menentukan besarnya penebangan yang
sustainable.
Besarnya ingrowth dinyatakan dalam bentuk laju (inrate) dari jumlah pohon
yang masuk ke kelas diameter terkecil dan besarnya inrate tersebut dipengaruhi
oleh luas bidang dasar (BA). Laju ingrowth suatu jenis akan semakin tinggi
dengan semakin banyaknya jumlah pohon, tetapi lajunya (rate) akan semakin
menurun dengan meningkatnya luas bidang dasar.
Seperti halnya ingrowth dan upgrowth, laju kematian alami juga merupakan
fungsi luas bidang dasar tegakan. Laju kematian alami tegakan merupakan laju
kematian alami individu pohon dalam suatu kelas diameter. Kematian alami
berbanding lurus dengan luas bidang dasar tegakan sehingga peluang kematian
individu pohon akan semakin tinggi dengan semakin besarnya luas bidang dasar
tegakan atau semakin rapatnya tegakan.
Besarnya ingrowth dan upgrowth ditentukan oleh kelajuannya, secara
matematis dapat dinyatakan dalam persamaan (Aswandi 2005) :
Inrate = f (BA)
Ingrowth = inrate * jumlah pohon kelas diameter terkecil
uprate = f (BA)
Upgrowth = Uprate * Phn_Di
Morate = f (BA)
57
Mort = (Phn*Efek_Tebang)+ (Phn*morate)
Dimana : inrate = laju ingrowth, laju upg = laju upgrowth, phn_Di = jumlahpohon pada kelas diameter ke-i, BA = Luas bidang dasar tegakan
Berdasarkan data Elias (1998) sebagai ilustrasi digambarkan hubungan
antara laju parameter pertumbuhan terhadap luas bidang dasar tegakan (BA)
kelompok jenis dipterocarpaceae seperti pada Gambar 6.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 6 Hubungan luas bidang dasar tegakan (BA) terhadap parameterpertumbuhan. Hubungan terhadap (a) laju ingrowth(inrate)kelompok jenis dipterocarpaceae, (b) upgrowth, (c) mortalitas alamitegakan, (d) mortalitas akibat penebangan
Laju mortality akibat penebangan (efek tebang) dipengaruhi oleh besarnya
intensitas penebangan (N/Ha) dan teknologi yang digunakan dalam melakukan
kegiatan logging, dimana peluang individu pohon yang mati akan semakin tinggi
pada intensitas penebangan yang tinggi. Dengan asumsi bahwa sistem pemanenan
yang sama akan meningkatkan kerusakan yang tidak jauh berbeda, data efek
tebang yang dipakai dalam penelitian ini adalah data penelitian Elias (1998)
disebabkan terbatasnya penelitian mengenai hal ini di lokasi penelitian.
58
Hubungan antara mortalitas tegakan akibat penebangan dengan intensitas
penebangan secara matematis dinyatakan dalam persamaan :
Efek tebang = f(Tot tebang)
Mort = efek tebang *Phn
dimana : Ef tebang = laju kematian akibat penebangan, Tot tebang = jumlahpohon ditebang, Mort = kematian pohon akibat penebangan, dan Phn =jumlah pohon pada kelas diameter ke -i
Besarnya kerusakan tegakan tinggal berdasarkan intensitas penebangan
adalah sebagai berikut :
Tabel 9 Kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan
PlotPermanen
IntensitasPenebangan(pohon/ha)
Kerusakan pohon(Pohon/ha)
Efek Tebang(%)
1 2 58 9,392 6 146 21,133 17 259 35,43
Sumber : Elias(1998)
Kematian tegakan masih tetap tinggi pada beberapa tahun setelah kegiatan
penebangan akibat perubahan penutupan lahan dan iklim mikro. Pada saat
penebangan kematian tegakan lebih banyak terjadi pada pohon-pohon dengan
diameter kecil dan akan menurun untuk pohon dengan diameter lebih besar.
Anonimous (1997) melaporkan hasil penelitian bahwa di Papua tingkat kerusakan
akibat pembalakan menyebabkan kerusakan tegakan tinggal (pohon inti) antara 5-
40%, tiang dan pancang antara 10-33% dan semai antara 3-17 %.
Sub model dinamika tegakan hutan dapat memberikan gambaran mengenai
tebangan yang dilaksanakan tiap tahun atau setiap siklus tebangan berdasarkan
intensitas penebangan dan jeda tebang yang ditetapkan. Penebangan dilakukan
terhadap pohon dipterocarp dan non dipterocarp setelah memasuki kelas diameter
55 cm dan 65 cm. Untuk melihat pengaruh penebangan yang dilakukan
masyarakat lokal terhadap struktur tegakan dilakukan penebangan pada kelas
diameter 45 cm dengan intesitas yang lebih rendah dan frekuensi tebangan yang
relatif tinggi. Hubungan antar masing-masing komponen tegakan dipterocarp,
tegakan non dipterocarp dan tegakan non komersil serta berbagai unsur
59
dinamikanya disajikan pada Gambar 7, Gambar 8 dan Gambar 9.
Gambar 7 Representasi model dinamika tegakan dipterocarpaceae
Gambar 8 Representasi model tegakan non dipterocarpaceae
60
Gambar 9 Representasi model dinamika tegakan non komersil
Sub Model Pengembalian Ekonomi
Model pengembalian ekonomi dibuat untuk memberikan gambaran
ekonomis dari hutan. Setelah diketahui berbagai alternatif intensitas penebangan
dan siklus tebangan yang lestari dari model dinamika struktur tegakan, maka
model tersebut digunakan untuk menghitung potensi ekonomis dari masing-
masing preskripsi. Model ini terdiri dari dua sub model yaitu : sub model biaya
produksi dan sub model pengembalian ekonomi seperti disajikan pada Gambar
12, sedangkan sub model biaya produksi dapat dilihat pada Lampiran 6.
Model pengembalian ekonomi merupakan bentuk lain dari metode analisis
ekonomi yang biasa dilakukan secara matematis untuk menghitung nilai harapan
lahan (LEV), Net Present Value (NPV), rasio manfaat biaya (BCR), dan Internal
Rate of Return (IRR). Unsur-unsur dari setiap kriteria ekonomi ini dipengaruhi
oleh dua variabel auxilary yaitu penerimaan perusahaan dan biaya total dan
driving variable berupa tingkat suku bunga (interest), discount factor dan
compounding factor.
61
Manfaat yang berasal dari total penerimaan perusahaan merupakan hasil
penerimaan dipterocarpaceae (fluktuatif harga D x volume dipterocarpaceae) dan
non dipterocarpaceae (fluktuatif harga ND x volume non dipterocarpaceae). Biaya
(Cost) terdiri dari biaya perencanaan hutan (PAK, ITSP, PWH), biaya pemanenan
hutan (penebangan kayu, TPK, penyaradan), biaya pembinaan hutan (perapihan,
ITT, pengayaan,pemeliharaan tanaman pengayaan, pengadaan bibit), biaya
tahunan (administrasi dan umum, biaya pemasaran, pembuatan pemeliharaan
jalan, inventaris mess, PMDH, perlindungan hutan dan sungai, penyusutan) dan
kewajiban terhadap negara (PSDH, DR, IIUPHHK), PBB dan PPh. Secara jelas
komponen dan persamaan model dapat dilihat pada Lampiran 3.
Gambar 10 Representasi model pengembalian ekonomi
Biaya produksi kayu dipengaruhi oleh jumlah produksi kayu yang dipanen
(Vol pohon produksi), biaya produksi per hektar dan luas areal yang dipanen
(Luas RKT).
Harga merupakan variabel yang sangat mempengaruhi besarnya penerimaan,
dalam model ini komponen harga menjadi salah satu pertimbangan penting dalam
pengaturan hasil. Model ini juga berusaha menggambarkan fenomena kenaikan
dan fluktuasi harga kayu yang sulit diramalkan (uncertainty).
62
Apabila diprediksikan setiap tahun terjadi kenaikan harga kayu secara linear
dengan gradien kenaikan rata-rata 10%. Kenaikan harga kayu berfluktuasi antara
5-15%. Berdasarkan asumsi di atas, maka harga dinyatakan sebagai berikut :
Xt = X0 ± X
dimana :Xt = harga kayu tahun ke-t, X0 = harga kayu saat ini, X = kisaran
perubahan harga
Perubahan harga dari tahun ke tahun tidaklah sama, karena nilainya
dipengaruhi oleh fluktuasi harga dan tahun berjalan. Kisaran perubahan harga
tersebut dinyatakan dalam rumus :
X = Fluktuasi harga* X0*t
= (5%-15%)/2* X0*t
dimana : X0 = harga kayu saat ini, X = kisaran perubahan harga, t = selang
waktu perhitungan
Untuk memprediksi harga pada tahun-tahun berikutnya, diasumsikan harga
tersebut naik secara linear dengan proporsi kenaikan sebesar 10%. Berdasarkan
hal diatas, maka harga rata-rata dari perubahan harga setiap tahunnya,
digambarkan sebagai fungsi linear dengan gradien kenaikan kurva 10%. Harga
rata-rata dirumuskan sebagai berikut :
Y = f (X0,t)
Y = X0 + 0.1 * t
dimana : y = harga rata-rata, X0 = harga kayu saat ini, t = selisih tahun
perhitungan
Model ini tidak dilakukan validasi seperti halnya model dinamika hutan,
karena hubungan-hubungan fungsional antar komponen terjadi secara matematis
sederhana. Besarnya biaya-biaya merupakan laporan dari data keuangan IUPHHK
PT. Bina Balantak Utama pada tahun 2006 dari areal seluas 6.840 ha.
63
Sub Model Pengaturan Hasil
Sub model ini menggambarkan berbagai pilihan pengaturan hasil hutan kayu
dengan mengatur berbagai auxilary seperti intensitas penebangan, lamanya siklus
tebang, limit diameter penebangan dan lain-lain sesuai dengan tujuan analisis.
Tipe pengaturan hasil yang digunakan adalah pengaturan hasil berdasarkan siklus
tebang. Teknik ini dilakukan dengan menyusun beberapa skenario siklus tebang
dan intensitas tertentu, dan berdasarkan siklus tebang tersebut dipilih berbagai
intensitas penebangan yang memberikan kelestarian hasil dalam jangka panjang.
Siklus tebang yang diujikan adalah siklus tebang 30 tahun, 35 tahun dan 40
tahun. Pengujian ini bertujuan untuk memperoleh rentang yang ekonomis dengan
tetap mempertahankan kelestarian produksi.
Intensitas penebangan pada tipe pengaturan hasil berdasarkan siklus tebang
dipengaruhi oleh driving variable siklus tebang (siklus teb), state variable
hitungan tahun tebang (tahun), dengan berbagai driving variable proporsi
penebangan pada setiap kelompok jenis dan kelas diameter. Siklus tebang
merupakan konstanta yang nilainya tertentu. Jika waktu sama dengan siklus
tebang maka penebangan dilakukan dengan proporsi 80%.
Sub Model Penerimaan Masyarakat Adat
Sub model ini menjelaskan keuntungan masyarakat adat yang diperoleh
sebagai kompensasi terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan yang berada di
wilayah kepemilikannya, baik yang dilakukan oleh perusahaan maupun non
perusahaan (pribadi dan kelompok). Sub model ini memiliki keterkaitan dengan
model dinamika tegakan dan pengaturan hasil. Auxilary variable penerimaan dari
kompensasi (Penerimaan kompensasi) dan pendapatan dari penebangan kayu
milik masyarakat adat (pendapatan pemilik kayu) merupakan akumulasi dari
selisih antara penerimaan dari penjualan kayu dan biaya-biaya pengolahan
(investasi, biaya angkutan, biaya pengolahan, dan rata-rata biaya pikul).
Penerimaan kompensasi merupakan jumlah total penerimaan masyarakat
setiap kali terjadi pembayaran dari pihak perusahaan yang dipengaruhi oleh
beberapa auxilary variabel yaitu volume produksi, rata-rata volume produksi per
64
jenis kayu (merbau, non merbau dan kayu indah), serta standar kompensasi
masing-masing jenis. Sedangkan auxilary variable pendapatan tebang milik
dipengaruhi oleh volume produksi, harga kayu lokal, dan biaya total. Pendapatan
tebang milik adalah pendapatan yang diperoleh dari hasil penjualan kayu yang
ditebang dari lokasi yang diklaim sebagai milik masyarakat adat, dengan distribusi
kepada pemilik kayu dan penebang kayu masing-masing sebesar 20% dan 80%.
Gambar 11 Representasi model penerimaan masyarakat adat
Sub Model Reduce Emission from Deforestation and Degradation (REDD)
Sub model REDD dibuat untuk menganalisis keadaan finansial pengelolaan
hutan oleh IUPHHK PT. BBU apabila dialihkan untuk tujuan penyerapan karbon.
Pendapatan REDD adalah selisih pemasukan karbon dengan pengeluaran REDD.
Pemasukan REDD didapat dari penjualan jasa penyerapan karbon dalam satuan
ton (ton C) per hektar.
Harga karbon dalam perdagangan karbon sangat bervariasi. Pada awal
sistem perdagangan dan pertukaran karbon, nilai kredit pengurangan emisi karbon
berkisar antara US$2,5 sampai US$5 (Niles, John O et al. 2002). Nilai yang
65
dipakai dalam penelitian ini adalah US$5, dengan nilai tukar rupiah diasumsikan
Rp 9.500.
Pengeluaran REDD adalah biaya yang dikeluarkan dalam skema REDD
yaitu : biaya transaksi. Biaya transaksi merupakan biaya yang dikeluarkan dalam
proses untuk mendapatkan sertifikasi pengurangan emisi (Certified Emission
Reductions-CERs), hingga proses pencarian lembaga atau negara yang akan
bekerja sama dalam jual beli sertifikasi tersebut. Besarnya biaya transaksi per ton
karbon (ton C) dalam beberapa proyek diuraikan dalam transaction costs of forest
carbon projects berkisar antara US$0,57 sampai US$2,96 (Milne 2002). Dalam
penelitian ini biaya transaksi yang digunakan sebesar US$3/ton C atau Rp
27.500/ton C.
Gambar 12 Representase Model REDD
Berdasarkan metode stock – difference kemudian dilakukan estimasi
terhadap perubahan stok karbon (Carbon Stock) pada periode awal dan periode
akhir. Data stock karbon periode awal diestimasi berdasarkan data dari hutan
primer, sedangkan stok karbon pada periode akhir diestimasi dari data Petak ukur
Permanen (PUP). Selisih Jumlah karbon yang dihasilkan pada kondisi base line
dan jumlah karbon setelah ada perlakuan pengurangan persen tebangan dari 80%
menjadi 20% merupakan jumlah karbon yang dapat diikutkan dalam skema
REDD.
66
Gambar 13 BAU dan Baseline kredit (Adaptasi dari Angelsen 2008)
Evaluasi Model
Mengevaluasi Kewajaran dan Kelogisan Model
Evaluasi model dalam penelitian ini hanya dilakukan terhadap sub model
dinamika tegakan hutan yaitu dengan membandingkan struktur tegakan nyata
dengan struktur tegakan hasil simulasi pada awal pengukuran. Struktur tegakan
hutan hasil simulasi diperoleh melalui pembuatan model persamaan hubungan
antara jumlah pohon di setiap kelas diameter (Phn_D) dengan ingrowth,
upgrowth, mortality, efek tebang, dengan bidang dasar tegakan. Jumlah pohon
masing-masing kelas diameter pada awal simulasi didasarkan atas data potensi
tegakan dari petak ukur permanen yang diukur selama lima tahun (2001-2005).
Kewajaran dan kelogisan sub model tegakan dilihat dari taksiran jumlah pohon
pada masing-masing kelas diameter, jumlah pohon pada kondisi tidak ada
gangguan dan penebangan.
Luas bidang dasar mempengaruhi pertumbuhan diameter pohon sehingga
terjadi peningkatan diameter sampai kondisi tertentu pada tahun-tahun awal
setelah penebangan, kemudian akan mengalami stagnasi mendekati kondisi
klimaks (tegakan primer). Hal ini dikarenakan pada tahun-tahun awal setelah
penebangan terdapat ruang yang terbuka sehingga tegakan tinggal tumbuh lebih
cepat dan jumlah ingrowth meningkat. Selanjuntya ruang mulai terisi dan dibatasi
oleh daya dukung lingkungan sehingga ingrowth dan mortality cenderung
67
seimbang. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Volin dan
Buongiorno (1996) yang menyatakan bahwa apabila diproyeksikan untuk jangka
waktu yang cukup lama, maka akan terjadi osilasi dan amplitudo yang cenderung
berkurang mendekati kestabilan. Kewajaran model secara grafis ditunjukan oleh
pola pertumbuhan biologis yang sigmoid (logistik) yang diharapkan dapat
dipenuhi di dalam model ini dengan adanya kapasitas maksimum pertumbuhan.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 14 Proyeksi dinamika tegakan jangka panjang Diameter 20 cm(a) struktur tegakan dipterocarpaceae, (b) struktur tegakan nondipterocarpaceae,(c) struktur tegakan non komersil, (d) luas bidangdasar tegakan seluruh kelompok jenis
Keterangan : PhnD25 (jumlah pohon diterocarp kelas diameter 25), PhnD35 (jumlah pohondipterocarp kelas diameter 33), PhnD45 (jumlah pohon dipterocarp kelas diameter45),PhnD55(jumlah pohon dipterocarp kelas diameter 55), PhnD65(jumlah pohondipterocarp kelas diameter 65 up), BAtot (luas bidang dasar total), BAD (luas bidangdasar dipterocarp). BA ND(luas bidang dasar non dipterocarp), BA NK (luas bidangdasar non komersil)
Jenis dipterocarpacea dan non dipterocapaceae pada simulasi 70 tahun mulai
mengalami perlambatan laju pertumbuhan sekitar tahun ke 47- 48 dan mulai
68
mencapai kondisi relatif stabil (steady state) dengan kerapatan tegakan diameter
20 cm sebanyak 145 - 257 btg/ha. Pada jenis non komersil laju pertumbuhan
melambat sekitar tahun ke 2 dan relatif stabil mulai tahun 17 dengan kerapatan
tegakan diameter 20 cm sebanyak 17–32 btg/ha. Kondisi ini menggambarkan
bahwa keadaan pertumbuhan tegakan bekas tebangan yang dibiarkan tumbuh
tanpa gangguan akan memulihkan diri mencapai kondisi klimak walaupun tidak
sepenuhnya sesuai dengan kondisi primernya. Keadaan pertumbuhan luas bidang
dasar yang konstan memberikan indikasi bahwa komposisi struktur tegakan tidak
berubah seiring dengan dinamika waktu.
Evaluasi keterandalan model divalidasi secara empiris dengan
membandingkan hasil pendugaan model dengan data aktual di PT. BBU, seperti
pada Gambar 15.
(a) (b)
(c)
Gambar 15 Perbandingan struktur tegakan hasil pengamatan dengan simulasisetelah 5 tahun menurut kelompok jenis : (a) Dipterocarpaceae,(b) Non dipterocarpaceae, (c) Non komersil
Secara umum hasil pendugaan (simulasi) tidak berbeda nyata dari hasil
pengamatan lapangan (aktual). Hal ini dibuktikan dengan uji statistik chi square
yang menunjukan bahwa hasil simulasi model dinamika struktur tegakan pada
0
10
20
30
40
KD15 KD25 KD35 KD45 KD55 KD65+
Diametr (cm)
Jum
lah
poho
npe
rha
Aktual Simulasi
0
2
4
6
8
10
12
14
16
KD15 KD25 KD35 KD45 KD55 KD65 +
Diameter (cm)
Jum
lah
poho
npe
rha
Aktual Simulasi
0
5
10
15
20
25
KD15 KD25 KD35 KD45 KD55 KD65 +
Diameter (cm)
Jum
lah
poho
npe
rha
Aktual Simulasi
69
tahun ke-5 tidak berbeda secara nyata dengan kondisi aktual pada selang
kepercayaan 95%.
Berdasarkan statistik uji chi square diperoleh nilai 2 hitung sebesar 12,98,
jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai 2 tabel yaitu sebesar 27,59 pada
derajat bebas 17 dan taraf nyata 5%. Hal ini membuktikan bahwa penggunaan
model simulasi dinamika struktur tegakan cukup handal, lebih mendekati kondisi
aktual.
Data seluruh jenis hutan primer digunakan untuk menduga struktur hutan
primer rata-rata seluruh areal, diperoleh model eksponensial yaitu : Y = 396,31
exp(-6,25), dimana R2 = 0.8316 dan p =0.003. Hasil pendugaan tegakan dengan
model ini dianggap menggambarkan kondisi klimaks yang dapat dicapai di areal
ini, atau menggambarkan hutan primer rata-rata pada awal masa pengelolaan
hutan alam produksi di areal ini. Sedangkan untuk areal bekas tebangan diperoleh
model Y = 70,5 exp(-1,4) dan p = 0,004 R2 = 0. 82. Pendugaan struktur tegakan
hutan alam primer dan bekas tebangan seperti ditunjukan pada Gambar 16.
0.00
100.00
200.00
300.00
400.00
500.00
KD15 KD25 KD35 KD45 KD55 KD65 up
Kelas diameter (cm)
kera
pata
nte
gaka
n(b
tg/h
a)
Hutan Bekas tebangan Hutan primer
Gambar 16 Struktur tegakan hutan di areal penelitian
Mengevaluasi Hubungan Perilaku Model dengan Pola yang Diharapkan
Evaluasi terhadap hubungan perilaku model agar diperoleh suatu pola
tertentu yang diharapkan sering disebut evaluasi sensivitas model. Sensivitas
model merupakan tahapan kegiatan untuk melihat kewajaran suatu model yang
akan digunakan apabila dilakukan perubahan pada salah satu variabel secara
70
ekstrim (Grant et al. 1997). Sensivitas juga dilakukan karena adanya
ketidakpastian dalam memperkirakan arus kas di masa datang.
Sensivitas model dilakukan terhadap nilai-nilai pengembalian ekonomi yaitu
Net Present Value (NPV), Land Expectation Value (LEV), Benefit Cost Ratio
(BCR) dan Internal Rate of Return (IRR) serta penerimaan kompensasi apabila
parameter suku bunga, harga kayu, dan standar kompensasi dirubah. Evaluasi ini
dilakukan dengan mengubah suku bunga sebesar 9%, 14%, 19%, dan 24%. IRR
ditentukan dengan cara try and error untuk menentukan besarnya NPV sebesar
nol. Sedangkan pada auxilary variable penerimaan kompensasi dilakukan
perubahan pada besarnya standar kompensasi.
Perubahan harga
Hasil simulasi pengembalian ekonomi pada berbagai perubahan harga
disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Hasil simulasi pengembalian ekonomi pada berbagai perubahan harga
Perubahan Harga (Rp x 1000)Siklustebang Kriteria -10% 0% 10% 20%
NPV(Rp/ha/th) 2.959,50 32.097,48 61.235,46 90.373,45
LEV(Rp/ha/th) 27.867,26 56.322,45 84.777,64 113.232,83
BCR 1,33 1,47 1,62 1,76
30
IRR (%) 16 19 23 28NPV
(Rp/ha/th) 24.768 58.311,38 91.854,75 125.398,13
LEV(Rp/ha/th) 57.064,86 90.171,93 123.279.00 156.386.00
BCR 1,23 1,36 1,50 1,6335
IRR (%) 16 19 23 28
NPV(Rp/ha/th) 6.199 33.714 61.232 88.748
LEV(Rp/ha/th) 88.861,69 126.622,34 164.382,99 202.143,64
BCR 1,28 1,48 1,56 1,7040
IRR (%) 16 19 23 28
Berdasarkan hasil simulasi NPV dan LEV pada siklus tebang 20 tahun
memberikan hasil negatif pada saat harga turun 10% dan pada saat harga 0%
(kondisi saat ini). Apabila harga dinaikan pada level 10% maka NPV akan
merespons dengan nilai yang positif. Sedangan LEV memberikan tanggapan yang
71
negatif setiap terjadi perubahan harga sampai pada level 20%. Hal ini
menunjukan ketidaklayakan siklus tebang 20 tahun sebagai alternatif yang baik.
NPV dan LEV memberikan hasil yang positif dan rasio manfaat biaya yang
lebih besar dari 1 pada siklus tebang, 30, 35 dan 40 tahun. Artinya masing-masing
preskripsi penebangan memenuhi kriteria kelayakan ekonomis. Kriteria NPV dan
LEV memberikan korelasi positif dengan siklus tebang, yang terlihat dari makin
meningkatnya nilai NPV dan LEV setiap kenaikan siklus tebang. Berkurangnya
harga kayu menurunkan nilai lahan dan NPV, sehingga dapat mengurangi insentif
untuk melakukan pengelolaan hutan secara berkelanjutan demikian sebaliknya
(Darusman 2002).
Rata-rata naik atau turunya harga kayu pada setiap siklus tebang
mempengaruhi NPV sebesar RP 3.765.000 per hektar per tahun dan nilai lahan
(LEV) sebesar Rp 17.507.000 per hektar per tahun. Sebagai ilustrasi hubungan
siklus tebang, perubahan harga dan nilai harapan lahan disajikan pada pada
Gambar 17.
0
200,000,000
400,000,000
600,000,000
800,000,000
1,000,000,000
1,200,000,000
1,400,000,000
10 15 20 25 30 35 40 45
Siklus Tebang (tahun)
LE
V(R
p/H
a)
10
15
20
25
Perubahan Harga (% )
Gambar 17 Nilai harapan lahan pada berbagai siklus tebang dan harga
Perubahan harga kayu mempengaruhi perubahan preskripsi pilihan
penebangan yang lestari. Berdasarkan teori permintaan kondisi ini menunjukan
bahwa permintaan pasar kayu bulat semakin meningkat. Hal ini didukung oleh
fakta sejak tahun 2001 produksi kayu bulat mengalami peningkatan dan secara
perlahan mengalami penurunan pada tahun 2004 sampai 2005 (Gambar 18).
72
11936.78
21856.08
26521.08
22850.01
16366.86 16117.57
36309.54
05000
10000150002000025000300003500040000
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Tahun Produksi
Jum
lah
Pro
duks
i(m
3)
Produksi Kayu
Gambar 18 Produksi kayu bulat IUPHHK PT. BBU tahun 2001-2007
Penurunan produksi pada tahun 2004-2005 diduga akibat adanya aktivitas
Kopermas yang mendapat Ijin Pemanfaatan Kayu Masyarakat Adat (IPKMA).
Aktivitas Kopermas memasuki areal konsesi sehingga perusahaan terpaksa
bermitra dengan masyarakat untuk menebang kayu di wilayah konsesi.
Keterlibatan IUPHHK dengan bermitra bersama masyarakat selain target profit
juga untuk mengamankan kayu yang berada di wilayah konsesi dari para
penunggang bebas (free rider) yang memanfaatkan kelemahan masyarakat adat.
Kebijakan pemerintah daerah melarang penjualan kayu dalam bentuk log
ke luar Papua merupakan salah satu faktor yang akan mempengaruhi harga
penjualan kayu bulat ke depan. Berdasarkan peraturan bersama Gubernur Provinsi
Papua dan Papua Barat No. 163 dan 16 tahun 2007, tentang peredaran hasil hutan
bahwa kayu log hanya dijual untuk kebutuhan lokal Papua atau di jual ke luar
dalam bentuk kayu setengah jadi. Kebijakan tersebut mempengaruhi keadaan
finansial perusahaan, yang terlihat dari adanya keterlambatan pembayaran upah
karyawan. Pemerintah juga memberikan kuota 5% untuk penjualan kayu lokal,
namun sampai saat ini IUPHHK belum merealisasikan target tersebut karena
harga jual yang jauh lebih rendah. Disisi lain masyarakat lebih senang
memanfaatkan kayu hasil perburuan yang dibeli oleh para rent seeking dari
masyarakat pemilik ulayat karena harga jual yang jauh lebih rendah dari harga
kayu perusahaan.
Perubahan Suku Bunga
Pemanfaatan sumberdaya hutan merupakan proses pengambilan keputusan
73
yang bersifat intertemporal. Salah satu yang dilakukan untuk hal tersebut adalah
melalui proses discounting dengan penentuan discount rate yang tepat.
Berdasarkan discount rate tersebut dilakukan analisis sensivitas terhadap
perubahan suku bunga untuk menentukan preskripsi penebangan optimal. Hasil
simulasi menunjukan bahwa NPV, LEV, dan BCR memberikan hasil yang positif.
Perubahan suku bunga menyebabkan menurunnya rata-rata NPV sebesar Rp
63.174.467 per hektar per tahun dan rata-rata LEV sebesar Rp 19.912.487 per
hektar tahun (Lampiran 5).
Tabel 11 Perubahan suku bunga terhadap NPV, LEV, dan BCR
Perubahan Suku Bunga (%)Siklustebang Kriteria 9 14 19 24
NPV(Rp/ha/th
)32.097 (3.834) (18.825) (25.195)
LEV(Rp/ha/th
)16.638 78.869 113.225 135.991
30
BCR 1,47 1,20 1,02 0,91NPV
(Rp/ha/th)
58.311 5.490 (15.165) (23.654)
LEV(Rp/ha/th
)44.732 111.531 150.798 176.60635
BCR 1,60 1,24 1,04 0.92
NPV(Rp/ha/th
)84,400.45 13,835.14 (12,113.20) (22,423.52)
LEV(Rp/ha/th
)75.639 149.355 191.510 218.749
40
BCR 1,71 1,28 1,05 0.92
BCR lebih besar dari 1 menunjukan efektivitas biaya dimana setiap
investasi sebesar Rp 1.000 menghasilkan rata-rata manfaat sebesar Rp 1.660.
Sedangkan IRR sebesar 17% menunjukan return yang akan diterima lebih besar
dari Social Opportunity Cost Capital (suku bunga tetap 9%), jadi walaupun suku
bunga bank mencapai 17%, pemanfaatan hutan oleh pemegang konsesi masih
layak dilakukan. Sebagai ilustrasi diperlihatkan besarnya perbedaan nilai suku
bunga yang menghasilkan NPV sebesar nol pada siklus 35 tahun (Gambar 18).
74
Dari gambar terlihat NPV makin berkurang terus menerus sejalan dengan makin
bertambahnya tingkat suku bunga (Buongiorno dan Gilless 2003).
-500,000.00
0.00
500,000.00
1,000,000.00
1,500,000.00
2,000,000.00
2,500,000.00
9 10 11 12 13 14 15 17
Suku bunga (%/tahun)
NPV
(Rp/
Ha/
thn)
Gambar 19 NPV pada berbagai suku bunga pada siklus tebang 35 tahun
Perubahan Standar Kompensasi Masyarakat Adat
Biaya kompensasi merupakan biaya pengganti menurunya kualitas hutan
dan hilangnya akses masyarakat terhadap hutan akibat eksploitasi pengusahaan
hutan atas kayu yang dipungut termasuk tanah untuk jalan angkutan, base camp,
bahan material penimbunan jalan, TPK dan logpond/loading point. Besarnya
pembayaran kompensasi tergantung pada standar kompensasi yang ditetapkan
pemerintah dan volume kayu yang tercatat dalam laporan hasil produksi (LHP)
perusahaan. Hasil analisis sensivitas terhadap perubahan variabel standar
kompensasi (Gambar 19) menunjukan bahwa setiap terjadi perubahan standar
kompensasi rata-rata penerimaan masyarakat naik sebesar Rp 298.442 per meter
kubik. Kenaikan penerimaan kompensasi sangat dipengaruhi oleh perubahan
struktur tegakan pada setiap siklus tebang. Hal ini menunjukan bahwa
ketersediaan sumberdaya hutan sangat menentukan tingkat penerimaan
kompensasi masyarakat. Keadaan ini akan sangat berbeda dengan kompensasi
yang diterima masyarakat pemilik kayu dalam hal besarnya jumlah uang yang
diterima. Dimana masyarakat pemilik kayu yang menerima kompensasi dari para
penebang kayu (pemburu kayu) mendapat cash money yang relatif lebih besar.
Sementara penerima kompensasi dari IUPHHK sifatnya insidentil karena
75
tergantung pada aktivitas produksi perusahaan. Walau demikian, dilihat dari
kontinuitas, penerimaan kompensasi perusahaan akan memberikan tambahan
pendapatan yang terus meningkat dari waktu ke waktu sesuai siklus tebang dan
tindakan manajemen yang dilakukan. Sedangkan pendapatan pemilik kayu akan
semakin berkurang karena tidak adanya kegiatan manajemen dan perilaku para
penungang bebas (free rider). Sebagai ilutrasi hubungan antara pengaruh
perubahan standar kompensasi terhadap penerimaan kompensasi dapat dilihat
pada Gambar 20.
Gambar 20 Penerimaan kompensasi pada kondisi terjadi perubahan standarkompensasi yaitu 0% (1), 20%(2), 40(%) dan 60%
Penggunaan Model
Model yang telah dibuat digunakan dalam membuat skenario-skenario
pengaturan hasil hutan. Skenario 1 merupakan base line atau simulasi dasar.
Skenario 1 : Tanpa intervensi. Simulasi tegakan tanpa intervensi dimaksudkan
untuk mendapatkan informasi mengenai tingkat produktifitas tegakan, dengan
mengasumsikan bahwa tidak ada perlakuan dan gangguan terhadap tegakan. Hasil
simulasi untuk 70 tahun dari simulasi model terlihat pada gambar dan tabel
berikut :
76
Gambar 21 Hasil simulasi 70 tahun kondisi masak tebang jenisDipterocarpaceae non dipterocarpaceae, dan non komersil
Tabel 12 Jumlah pohon masak tebang berdasarkan hasil simulasi tanpapenebangan
Masak tebang (N/Ha)Tahun
Dipterocarpaceae Nondipterocarpaceae
NonKomersil Total
0 3 6 6 155 3 7 6 16
10 4 8 7 1920 6 11 10 2725 7 13 12 3230 8 14 14 3735 10 16 15 4140 11 18 17 4670 19 25 18 62
Tabel 12 memperlihatkan jumlah pohon masak tebang sebanyak 62
pohon/ha yang berasal dari kelompok dipterocarp 19 pohon/ha dan non
dipterocarp 25 pohon/ha serta non komersil 18 pohon/ha. Distribusi jenis pohon
masak tebang komersil sebanyak 70,79%, sisanya (29,03%) terdiri dari pohon non
komersil. Kondisi ini diharapkan akan dicapai pada saat siklus tebang berikut
setelah mendapat perlakuan-perlakuan tertentu. Pohon masak tebang
didefenisikan sebagai pohon dengan diameter lebih dari 50 cm dan dibagi atas
kelas diameter 55 cm dan 65 cm. Pembagian kelas diameter dilakukan dalam
rangka diversifikasi produk. Berdasarkan tabel terlihat juga bahwa jumlah pohon
masak tebang sebelum penebangan (tahun 0) sebanyak 15 pohon/ha, jumlah ini
sama dengan potensi rata-rata tegakan per hektar pada HPH PT. Somalindo
77
Lestari Jaya yaitu 14,9 pohon/hektar dengan rata-rata volume 54,7 m3/ha
(Rachman 2003).
Skenario 2: Skenario Siklus Tebang
Skenario ini dibangun dalam rangka melihat pengaruh siklus tebang yang
berbeda terhadap jumlah yang ditebang dan perannya dalam memberikan
kontribusi terhadap penerimaan masyarakat adat dan pemerintah daerah. Panjang
siklus tebang yang diujikan adalah siklus 30 tahun, 35 tahun dan 40 tahun dengan
intensitas penebangan sebesar 80% untuk kelompok jenis dipterocarp dan non
dipterocarp. Penebangan dilakukan terhadap seluruh jenis komersil yaitu jenis
dipterocarpaceae dan non dipterocarpaceae yang berdiameter 50 cm ke atas.
Berikut disajikan gambar hasil simulasi skenario.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 22 Proyeksi jumlah pohon masak tebang (a), siklus 30 tahun (b),siklus 35 tahun (c), Siklus 40 tahun, (d) Semua siklus
Proyeksi rata-rata jumlah pohon masak tebang terlihat cukup stabil pada
kedua kelompok jenis. Keadaan ini memberikan indikasi bahwa rentang jeda antar
penebangan mampu memulihkan kondisi tegakan dan memberikan hasil yang
lestari (Gambar 22).
78
Walaupun demikian kelompok dipterocarpaceae pada Phn_D65 pada semua
siklus tebang memberikan respon yang berbeda dengan terjadinya penurunan
jumlah penebangan. Tegakan pada keadaan ini mengalami pemulihan yang
lambat karena intensifnya kegiatan penebangan yang dilakukan terutama jenis
Intsia bijuga (merbau). Karena merbau merupakan jenis kayu yang menjadi
target utama dalam kegiatan logging di Papua dan mendominasi struktur tegakan
hutan primer dengan persentase kehadiran sebesar 40,72% (Lampiran 2).
Berdasarkan laporan hasil produksi juga diketahui bahwa jumlah pohon merbau
yang ditebang setiap RKT oleh IUPHHK PT. BBU mencapai 60%. Selain itu
dipengaruhi juga oleh intensitas penebangan yang lebih tinggi yakni 80% pada
masing-masing jenis. Artinya sebelum penebangan telah dilakukan seleksi
terhadap jenis dan ukuran diameter tebang berdasarkan ketentuan TPTI yaitu 50
cm up, sehingga terlihat bahwa pohon-pohon pada kelas diameter diatas 50 cm
mengalami pemulihan yang lambat.
Apabila ukuran kelestarian ditinjau dari ukuran fisik berupa volume dan
jumlah penebangan pohon masak tebang, maka penebangan dengan sistem tebang
pilih pada seluruh preskripsi memenuhi prinsip kelestarian hasil. Hal ini sejalan
dengan besarnya nilai koefisien kelestarian hasil (kkh) yang merupakan
perbandingan jumlah volume per penebangan dengan penebangan siklus
sebelumnya sebagaimana terlihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Preskripsi intensitas penebangan, jumlah pohon yang ditebang, volumedan koefisien kelestarian hasil pada simulasi pengaturan hasil
No Preskripsi Siklustebang
Jumlahpenebangan
(N/Ha)
Volumepenebangan
(m3/ha)
Koefisienkelestarian
hasil
1Intensitas 80% dari diameter 50cm up dan 60 cm Up. Tebang30 tahun
III
23,1538,35
43,39111,48 2,57
2Intensitas 80% dari diameter 50cm up dan 60 cm Up. Tebang35 tahun
III
26,4841,44 49,49
124,85 2,53
3Intensitas 80% dari diameter 50cm up dan 60 cm Up. Tebang40 tahun
III 29,90
44,3355,51135,69 2,44
79
Skenario siklus tebang secara ekonomi menunjukan bahwa nilai NPV, LEV
dan BCR pada setiap siklus mengalami peningkatan yang signifikan dan
berkorelasi positif. Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing preskripsi
memenuhi kriteria kelayakan secara ekonomi (Tabel 14). Volume yang
dihasilkan berdasarkan simulasi sangat sensitif terhadap faktor-faktor
ingrowth¸upgrowth dan mortalitas karena simulasi sangat bergantung pada
kualitas data diinput yang digunakan. Input data harus merupakan
menggambarkan representatif untuk kondisi areal tertentu (Susanty dan Sardjono
sehingga menyebabkan adanya perbedaan antara volume per hektar hasil simulasi
dan data laporan produksi (Tabel 8). Berdasarkan hasil simulasi, rata-rata volume
penebangan jenis komersil pada siklus tebang pertama berkisar antara 43-55
m3/ha. Hasil ini jauh lebih besar bila dibandingkan dengan potensi rata-rata 19
HPH di Papua yang mencapai 33,11 m3/ha (Rachman 2003).
Pada siklus 30, 35 dan 40 tahun setiap kenaikan jeda tebang akan
memperbesar nilai pengembalian ekonomi rata-rata sebesar Rp 1.871.969 per
hektar per tahun untuk NPV dan LEV sebesar Rp 1.679.922 per hektar per tahun.
Besarnya nilai harapan lahan menunjukan kualitas lahan dan nilai tegakan yang
berdiri pada lahan tersebut.
Tabel 14 Hasil simulasi nilai NPV, LEV, BCR, dan IRR pada berbagaipreskripsi penebangan dengan suku bunga 9%
Siklus Tebang (tahun)Keterangan
30 35 40
NPV (Rp/ha/thn) 3.533.084 1.661.116 736.371LEV (Rp/ha/thn) 3.021.820 1.350.898 554.595BCR 1,47 1,60 1,71IRR (%) 14% 15% 17%
Simulasi juga memperlihatkan bahwa IRR makin meningkat dengan
bertambahnya siklus tebang (Hanon dan Ruth 1997). Artinya bahwa pada siklus
tebang 30, 35 dan 40 tahun kenaikan suku bunga dari 9% sampai 17% tetap
memberikan keuntungan yang layak bagi IUPHHK dalam menjalankan usaha
pemanfaatan kayu dari hutan alam produksi di Kabupaten Sarmi.
80
Nilai manfaat hutan yang dimiliki oleh perusahaan yang tercermin dari
kriteria ekonomi (NPV, LEV, BCR, IRR) jauh lebih tinggi bila dibandingkan
dengan penerimaan masyarakat adat. Selain perusahaan, penerimaan dari
manfaat hutan diterima oleh pemerintah dalam bentuk royalti, fee dan restribusi.
Masyarakat hanya menerima kompensasi sebagai tambahan pendapatan yang di
luar kegiatan usaha tani. Perbedaan penerimaan kompensasi mayarakat ini
dipengaruhi oleh besarnya standar kompensasi yang ditetapkan pemerintah terlalu
kecil. Standar kompensasi untuk jenis merbau (Intsia ) sebesar Rp 50.000 per
meter kubik, kayu non merbau Rp 10.000 per meter kubik dan kayu indah Rp
100.000 per meter kubik dengan proporsi yang berbeda untuk setiap jenis
kepemilikan (SK Gubernur Papua No 184 Tahun 2004). Proyeksi penerimaan
kompensasi masyarakat adat dan pemerintah daerah pada berbagai siklus tebang
disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15 Proyeksi Penerimaan Pemerintah dan masyarakat pada berbagai siklustebang
Siklus tebang(tahun)
Tebangke
Penerimaan masyarakatadat (Rp/tahun)
Penerimaan Daerah*(Rp/tahun)
1 603.576.024 1.976.001.83730 2 1.550.796.125 4.830.326.3981 504.747.118 2.296.209.47635 2 1.276.080.751 5.805.181.655
40 1 434.359.863 2.745.804.3922 1.061.790.466 7.054.924.392
Keterangan * tanpa diskon faktor
Penerimaan masyarakat dan pemerintah daerah berbanding lurus dengan
siklus tebang, dimana setiap kenaikan siklus tebang akan berdampak pada
kenaikan penerimaan kompensasi dan penerimaan daerah. Setiap terjadi
pertambahan siklus tebang penerimaan masyarakat dan pemerintah daerah
mengalami kenaikan sekitar 16,37%. Hal ini menunjukan bahwa secara ekonomi
siklus tebang 40 tahun memberikan nilai manfaat yang besar terhadap masyarakat
dan pemerintah daerah.
Kompensasi yang diterima masyarakat bersifat insidentil tergantung pada
kegiatan produksi perusahaan. Distribusi penerimaan masyarakat adat lebih
81
banyak dimiliki oleh pemilik kayu (65%) sedangkan sisanya terdistribusi bagi
pemilik hak ulayat atas loading point, jalan, logyard, base camp, material dan
pembinaan. Rata-rata dalam satu tahun dilakukan pembayaran dua kali dengan
nilai yang bervariasi tergantung pada volume kayu yang dimiliki masing-masing
marga.
Apabila penerimaan tersebut didistribusikan kepada setiap masyarakat maka
nilai tersebut sangat kecil. Rendahnya penerimaan kompensasi masyarakat ini
diduga menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya kegiatan perburuan kayu
oleh para rent seeking yang memanfaatkan kelemahan masyarakat lokal pemilik
kayu untuk membeli kayu dengan harga yang murah. Akibatnya wilayah konsesi
IUPHHK PT.BBU secara bebas dapat dimasuki oleh para penunggang bebas (free
rider) yang berasal dari berbagai kelompok dan starata masyarakat.
Skenario 3: Perburuan Kayu
Skenario ini menggambarkan kondisi perburuan kayu pasca kegiatan
IUPHHK yaitu pada areal bekas tebangan dan besarnya penerimaan yang
diperoleh masyarakat pemilik hak ulayat dari kegiatan penebangan yang
dilakukan pada hutan yang diklaim sebagai milik adat. Pada skenario ini
penebangan dilakukan tidak mengikuti siklus tebang, tetapi dilakukan sesuai
kebutuhan dengan frekuensi yang tinggi dan intensitas penebangan 40% serta
tidak terdapat satupun pertimbangan manajemen seperti jangka waktu antar
penebangan (siklus tebang) dan limit diameter.
Perburuan kayu memanfaatkan areal-areal yang merupakan hak milik
komunal dan kebanyakan tumpang tindih dengan wilayah konsesi, sehingga
terjadi pemanfaatan bersama terhadap sumberdaya kayu. Fakta ini mencirikan
hutan sebagai common pool resources yang memiliki sifat substracability atau
rivalness (Ostrom 1990). Sudah menjadi fenomena yang umum di Papua dimana
sebagian besar hutan diklaim sebagai hutan adat (communal property). Jika
property rigth tidak diberlakukan, dalam arti tidak adanya aturan tentang siapa
yang dapat memanfaatkan sumberdaya dan bagaimana sumberdaya dimanfaatkan
maka, hutan berada dalam situasi rejim open access.
Praktek perburuan kayu masyarakat dilakukan dalam dua bentuk yaitu
82
menunggu tegakan tinggal dari aktivitas perusahaan dan menebang bersamaan
dengan kegiatan IUPHHK. Beberapa penyebab dari aktivitas tersebut adalah
desakan kebutuhan cash money (uang tunai), hak masyarakat hukum adat,
pengangguran di pedesaan, serta perilaku hidup konsumtif.
Proyeksi penebangan per hektar pohon kelompok diterocarpaceae tanpa
pengaturan hasil ini selama 70 tahun dapat dilihat pada Gambar 23.
Gambar 23 Proyeksi penebangan setiap pohon masak tebang skenarioperburuan kayu
Penebangan pohon diameter 40 cm ke atas dilakukan dengan frekuensi yang
lebih tinggi dan dengan intensitas yang lebih rendah (1-3 pohon per ha)
dibandingkan dengan sistem TPTI. Tingginya frekuensi penebangan ini
mengakibatkan tegakan tinggal mengalami kolaps, kemudian bertumbuh lagi dan
menjadi stabil. Dengan demikian jangka waktu yang diperlukan untuk melakukan
penebangan ulang di lokasi yang sama semakin panjang.
Secara ekonomi penerimaan mayarakat dari kegiatan perburuan kayu pada
tahun-tahun awal menunjukan nilai penerimaan yang besar. Penerimaan tersebut
didistribusikan kepada pemilik kayu sebesar 20% dan 80% untuk pemilik faktor
produksi (penebang).
Walaupun kondisi tegakan masih menghasilkan pohon-pohon berukuran 40
cm ke atas (pohon inti) namun dalam jangka panjang akan terus menurun
sehingga menyisahkan tegakan yang sangat sedikit (1%) dari kondisi tegakan
83
yang ada pada awal pengukuran. Hal ini memberi gambaran bahwa telah terjadi
over eksploitasi karena ”double AAC”. Tingginya jumlah pohon dan volume pada
tahun-tahun awal disebabkan oleh sisa tegakan yang tidak dipanen (pohon inti)
pada kegiatan penebangan sebelumnya. Namun setelah penebangan dilakukan
terhadap pohon-pohon inti, maka jumlah pohon dalam tegakan semakin
berkurang, sehingga tidak layak untuk dilakukan penebangan pada siklus
berikutnya.
Kegiatan perburuan kayu oleh masyarakat dilakukan dengan cara :
masyarakat menunjukan beberapa jenis kayu pada wilayah yang diklaim sebagai
milik ulayat untuk ditebang oleh pemilik faktor produksi (modal, dan alat) dan
setelah kayu-kayu tersebut dijual hasilnya dibagi, dimana pemilik kayu mendapat
20% dan pemilik faktor produksi (penebang kayu) mendapat 80%. Dengan harga
kayu olahan di Kabupaten Sarmi yang berkisar antara Rp 1.300.000 –Rp 1.500
000 per meter kubik dengan total biaya pengolahan dan penjualan sebesar Rp
337.500 para penebang kayu (pemburu kayu) memiliki profit yang sangat besar.
Demikian halnya dengan pemilik kayu, untuk jangka waktu yang relatif singkat
pemilik kayu mendapat keuntungan yang cukup besar, namun kondisi tersebut
tidak bertahan lama karena sumberdaya kayu telah mengalami pengurangan dalam
jumlah yang besar dan bahkan melebihi batas resiliensi (Gambar 24).
Penerimaan penebang kayu dan pemilik kayu mengalami penurunan secara
drastis karena kegiatan penebangan yang dilakukan secara intensif dalam rentang
waktu yang terlalu dekat. Akibatnya penerimaan masyarakat pemilik kayu
menjadi berkurang dan tidak menutup kemungkinan suatu saat akan habis.
Sementara penebang kayu, walaupun penerimaannya makin berkurang, tetapi
dapat memanfaatkan sumberdaya kayu di tempat lain (rent seeking) karena
menguasai faktor-faktor produksi.
84
Gambar 24 Keadaan Penerimaan masyarakat pemilik hak ulayat dan penebangkayu pada siklus tebang 35 tahun
Skenario 4 : Reduce Emission from Deforestation and Degradation (REDD)
Sub model REDD merupakan sub model yang dikembangkan dalam rangka
komparasi terhadap skenario siklus tebang dan pelaksanaannya dikerjakan oleh
masyarakat adat, sehingga skema pembayarannya diterima oleh masyarakat dan
pemerintah. Simulasi dilakukan dengan penebangan sebesar 20%, sedangkan
sisanya 80% dicadangkan sebagai penyerap karbon.
Dengan kebijakan pemerintah Papua yang menyediakan 15% kawasan hutan
untuk penyerapan karbon, diharapkan bahwa upaya tersebut dapat memberikan
kontribusi yang berarti terhadap perbaikan tingkat pendapatan karena mekanisme
perdagangan karbon yang sedang dicanangkan. Proyeksi penerimaan REDD
apabila hutan dibiarkan tanpa penebangan untuk masing-masing siklus dengan
intensitas 20% dilihat pada Gambar 25.
85
Gambar 25 Proyeksi penerimaan REDD
Proyeksi penerimaan REDD didistribusikan 30% kepada pemerintah pusat
untuk kegiatan pemberdayaan dan 70% sebagai tambahan pendapatan masyarakat
sebagai pemilik hak ulayat (Tabel 16).
Tabel 16 Proyeksi distribusi manfaat REDD bagi masyarakat dan pemerintah
DistribusiSiklustebang
NPV REDD (Rp/tonC) Masyarakat*
(Rp/ton C)Pemerintah*(Rp/ton C)
30 1.963.300 1.374.310 588.99035 1.684.622 1.179.235 505.38640 1.475.042 1.032.529 442.513
Keterangan : * Masyarakat 70% dan Pemerintah 30%
Komparasi Skenario
Setiap skenario memberikan hasil yang berbeda terhadap besarnya
penerimaan masyarakat adat dan pemerintah daerah pada areal IUPHHK PT.
BBU baik dari sisi NPV perusahaan, penerimaan masyarakat adat maupun
penerimaan pemerintah. Skenario siklus tebang 30 tahun memberikan NPV
tertinggi (Tabel 17). Hal ini menunjukan bahwa skenario siklus tebang masih
merupakan pilihan yang terbaik dalam pemanfaatan sumberdaya hutan untuk saat
ini. Skenario yang menghasilkan NPV terkecil adalah usaha penjualan karbon
melalui mekanisme pengurangan degradasi hutan. Rendahnya penerimaan yang
diperoleh malalui skenario REDD ini disebabkan biaya yang dikeluarkan untuk
usaha lebih tinggi bila dibandingkan dengan penerimaan dari penjualan jasa
pengurangan emisi karbon. Harga karbon yang layak untuk diusahakan dalam
penelitian adalah US$2,5 bila harga kurang, maka NPV yang dihasilkan akan
bernilai negatif dan B/C ratio akan kurang dari 1, sehingga tidak feasible.
86
Tabel 17 Komparasi Skenario
SkenarioJangkatebang(thn)
NPVPerusahaan
(Rp/thn)
Penerimaanmasyarakat adat
(Rp/tahun)
PenerimaanPemerintah
Daerah(Rp/thn)**
30 24.134.496.804 603.576.024 2.745.811.110
35 11.347.083.396 504.747.118 2.296.209.476Siklustebang
40 5.030.150.301 434.359.863 1.976.001.837
30 - 142.372.886 -
35 - 83.378.424 -Perburuankayu
40 - 51.588.040 -
30 120.742.950 84.520.065 36.222.88535 103.604.130 72.522.891 31.081.239
REDD(Rp/ton C)
40 90.715165 63.500.615 27.214.549Keterangan : *Asumsi Masyarakat adat 70% pemerintah 30% dari NPV; **tanpadiskon faktor
Kontribusi terhadap ekonomi daerah
Kontribusi terhadap pendapatan daerah mengacu pada besarnya setoran
kepada pemerintah dengan imbangan 20% untuk pemerintah pusat dan 80%
untuk pemerintah daerah serta tambahan pendapatan bagi masyarakat adat.
Kontribusi dikomparasi berdasarkan data aktual dan hasil simulasi terhadap dana
bagi hasil sumberdaya alam. Hasil simulasi merupakan nilai penerimaan yang
berasal dari dana bagi hasil 32% yang menjadi hak bagi daerah penghasil.
Kontribusi yang diberikan berdasarkan skenario siklus tebang sangatlah
kecil hanya 0,56% terhadap penerimaan pemerintah daerah (Tabel 18).
Penerimaan tersebut berasal dari Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH), dana
reboisasi (DR), serta pajak-pajak. Kontribusi tersebut berpeluang untuk terus
meningkat karena belum termasuk sub-sektor industri pengolahan hasil hutan
primer yang nantinya harus dibuka oleh setiap pemegang IUPHHK di Papua, hal
ini terkait dengan kebijakan pemerintah Papua yang melarang penjualan log ke
luar Papua dan mewajibkan setiap HPH/IUPHHK untuk membangun industri
primer.
87
Tabel 18 Kontribusi penerimaan sektor kehutanan dari PT.BBU terhadap Rata-rata Penerimaan Daerah Kabupaten Sarmi berdasarkan skenario siklustebang
Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten Sarmi
TahunPenerimaan
daerah (Aktual)(Rp/tahun)
Penerimaan SektorKehutanan dari PT.BBU
(Simulasi) (Rp/tahun)
Kontribusi terhadapRata-rata PAD (%)
2005 354.876.971.000 2.745.811.110 (1) 0,662006 363.489.990.000 2.296.209.476 (2) 0,552007 528.804.000.000 1.976.001.837(3) 0,48Rata-rata 415.723.653.667 2.339.343.560 0,56
Keterangan : (1)= penerimaan pada siklus tebang 30 tahun, (2) siklus 35, (3)siklus 40
Tabel 19 Kontribusi penerimaan sektor kehutanan dari PT.BBU terhadap Rata-rata Penerimaan Daerah Kabupaten Sarmi berdasarkan skenario REDD
Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten Sarmi
TahunPenerimaan
daerah (Aktual)(Rp/tahun)
Penerimaan REDD(Simulasi) (Rp/ton C)
Kontribusi terhadapRata-rata PAD (%)
2005 354.876.971.000 36.222.885 (1) 0.0092006 363.489.990.000 31.081.239 (2) 0.0072007 528.804.000.000 27.214.549 (3) 0.007Rata-rata 415.723.653.667 31.506.224 0.008
Keterangan : (1)= penerimaan pada siklus tebang 30 tahun, (2) siklus 35, (3) siklus 40
Disisi lain apabila pemerintah dan masyarakat terlibat dalam skema
perdagangan karbon melalui REDD, maka kontribusi yang dapat diberikan
terhadap rata-rata penerimaan daerah hanya sebesar 0.008% terhadap penerimaan
daerah Kabupaten Sarmi (Tabel 19). Walaupun kontribusi yang diberikan relatif
kecil namun skema yang ditawarkan perlu menjadi pertimbangan.
Kontribusi pengaturan hasil tidak hanya mengakomodir kepentingan
penerimaan pemerintah, tetapi penerimaan masyarakat adat juga disimulasikan
dalam penelitian ini. Hasil simulasi menunjukan adanya peningkatan jumlah
penerimaan kompensasi pada setiap siklus tebang dengan kontribusi rata-rata
sebesar 47,91% (Tabel 20).
88
Tabel 20 Kontribusi penerimaan kompensasi masyarakat adat berdasarkan hasilsimulasi dan aktual
Penerimaan Kompensasi Masyarakat
TahunPenerimaan dari
PT. BBU (Aktual)(Rp/thn)
Penerimaankompensasi
Masyarakat *(Simulasi) (Rp/thn)
Rata-rataKontribusi (%)
8.129.890.723 (1)76,63
4.227.616.792 (2)55,062008 1.900.000.000**
2.159.944.992 (3)12,03
Rata-rata 1.900.000.000 47,91
Keterangan : *Diskon faktor 9%, (1)= penerimaan pada siklus tebang 30 tahun,(2) siklus 35, (3) siklus 40, ** Pembayaran kompensasi pada MasyarakatDistrik Pantai Barat tahun 2008
Walaupun jumlah kompensasi yang diterima terlihat cukup besar, namun
nilai tersebut relatif kecil apabila didistribusikan kepada penduduk/ kepala
keluarga yang berada pada wilayah tersebut yakni Rp 617.848/ KK/tahun atau Rp
51.457/kk/bulan.
Implikasi Kebijakan dari Simulasi
Pilihan siklus tebang berkaitan erat dengan kontribusi terhadap tambahan
penerimaan masyarakat adat dari kompensasi hak ulayat dan penerimaan
pemerintah. Walaupun masyarakat dan pemerintah memperoleh nilai tambah
akibat aktivitas pemanfaatan kayu, namun bagi perusahan hal tersebut merupakan
biaya sehingga mempengaruhi kinerja finansial perusahaan. Hal ini dapat
dijadikan instrumen ekonomi sehingga HPH akan lebih termotivasi untuk
mengelola hutan yang berada dalam wilayah konsesi secara profesional dan
efisien dengan tetap berpegang pada aspek kelestarian produksi, ekonomi dan
lingkungan.
Kontribusi yang diberikan metode pengaturan hasil terhadap ekonomi
daerah bila dilihat dari penerimaan sektor kehutanan yang disumbangkan PT.
BBU relatif masih kecil, namun peluang peningkatannya masih tinggi karena
masih terdapat sumber-sumber penerimaan lain di sektor kehutanan yang belum
teridentifikasi dalam penelitian ini.
89
Simulasi juga menghasilkan alternatif skenario perburuan kayu yang
dilakukan masyarakat pemilik hak ulayat dan penebang kayu yang berimplikasi
terhadap kelestarian ekosistem hutan. Keuntungan yang diterima pemilik kayu
tinggi tetapi sumberdaya hutan menjadi tidak lestari. Pada siklus tebang
berikutnya, HPH tidak akan melakukan penebangan di areal yang sama karena
telah terjadi “double AAC”, hal ini berdampak pada keberlanjutan usaha
HPH/IUPHHK. Keadaan ini dapat dijadikan pertimbangan pemerintah untuk
melakukan pengelolaan dengan melibatkan masyarakat adat misalnya dengan
community logging atau REDD.
Paradigma baru pengelolaan hutan Papua telah menetapkan REDD sebagai
bentuk pengelolaan hutan yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi daerah melalui peningkatan penerimaan masyarakat adat dan pemerintah
daerah. Simulasi menunjukan bahwa mekanisme REDD mampu memberikan
tambahan pendapatan bagi masyarakat,nilai tambah akan diperoleh apabila REDD
ini dikombinasikan dengan kegiatan tebang konvensional yang ramah lingkungan.
Secara keseluruhan dari simulasi yang dibangun hak-hak masyarakat adat
terhadap kompensasi dari sumberdaya hutan dapat diakomodir, walaupun masih
relatif kecil dari nilai yang seharusnya diterima.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Struktur tegakan hutan bekas tebangan pada wilayah konsesi masih
memungkinkan untuk pengelolaan pada siklus tebang berikutnya
2. Siklus tebang berkorelasi negatif dengan jumlah penerimaan pemerintah dan
masyarakat
3. Secara ekonomi skenario siklus tebang 30, 35 dan 40 tahun memberikan hasil
yang layak secara ekonomi bagi pengelola hutan
4. Skenario pengaturan hasil yang terbaik adalah siklus tebang 30 tahun dengan
kontribusi terhadap rata-rata penerimaan pemerintah daerah sebesar 0,56%
dan untuk kompensasi masyarakat adat sebesar 47,91%. Hasil ini sangat
sensitif terhadap ingrowth, upgrowth, dan mortalitas tegakan hutan sehingga
tidak dapat digeneralisir untuk lokasi hutan yang lain
5. Skenario perburuan kayu secara ekonomi memberikan tambahan penghasilan
yang tinggi, namun berimplikasi pada kerusakan hutan.
6. Skenario usaha karbon memberikan hasil penerimaan yang relatif lebih kecil
bagi masyarakat dibandingkan dengan kegiatan pengelolaan secara
konvensional.
Saran
Untuk menghindari kegiatan perburuan kayu pemerintah perlu
mempertimbangkan pengelolaan hutan oleh masyarakat adat. Penelitian ini
memunculkan hal-hal yang disarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan seperti
analisis kelembagaan pengusahaan hutan masyarakat adat, pengaruh siklus tebang
terhadap aspek ekologi, distribusi manfaat dari kompensasi yang diterima serta
pengaruh beban pungutan terhadap pengaturan hasil yang dilakukan perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous 1997. Penelitian Struktur Tegakan hutan Alam Produksi Irian JayaPsauat Litbang hutan dan Konservasi Alam, Bogor (Tidak diterbitkan).
……………...2001. Dinamika struktur tegakan hutan alam produksi : studi kasus HPH PT. Somalindo Lestari Jaya II Kabupaten Jayapura, Papua.
Alder D. 1995. Growth Modelling for Mixed Tropical Forest. Oxford ForestryInstitute, Departement of Plant Science, University of Oxford. TropicalForestry Paper No 30, 231 p.
Angelsen A. 2008. Moving a head with REDD: issues, options, and implications.Cifor, Bogor.
Appanah, SG, Bosel WH, Krieger H. 1990. Are Tropical rain forest nonrenewable? An enquire through modelling. Journal of Tropical ForestScience 2 (4) : 331-348
Aswandi. 2000. Skenario Pengaturan Hasil pada Unit Manajemen Hutan SkalaKecil. [tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Astana S, Djaenudin D, Muttaqin MZ. 2003. Peranan Sektor Kehutanan dalamPerekonomian Daerah. Jurnal Sosial Ekonomi Vol 4. No.1 pp 1-26. BadanPenelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian danpengembangan Sosial Budaya dan ekonomi kehutanan. Bogor.
Bakrie B. 2000. Penyusunan Model Simulasi Dalam Penetapan Nilai TegakanHutan Alam Produksi (Studi Kasus PT. Inhutani II. Sub Unit Malinau,Kalimantan Timur). [tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana, InstitutPertanian Bogor.
Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forests : aPrimerr. Rome, Italy : FAO Forestry Paper 17 : 8-18
Bruenig EF. 1996. Conservation and Management of Tropical Rainforest : AnIntegrated Approach to Sustainability. Cab International, Wallingford. 339p.
Buongiorno J, Miche BR. 1980. A Matrix Model for uneven-age forestmanagament For.Sci.26 :609-625
Buongiorno J, Gilles JK. 1987. Forest Managament and Economics. Mc MillanPublishing Company. New York.
Buongiorno J, Houller PF, Bruciamacchie M. 1995. Growth and managementmixed species, uneve-aged forest in the French Jura : implication foreconomic return and tree diversity. Forest Science 40 (1) ; 83-103.
Buongiorno J, Gilles JK. 2003. Decision Methods for Forest ResourceManagement. Academic Press An imprint of Elsevier Scince. Amseterdam.
92
Badan Planologi Kehutanan, 2004. Statistik Kehutanan. Departemen KehutananRepublik Indonesia.
Carey EV, Brown S dan Gillepsie AJR 1987. Tree mortality in mature lowlandtropical moist and tropical lower montane moist forest of Venezuela.Biotropica 26 (3) : 255 - 265
Costanza R, Low BS, Ostrom E, Wilson J. 2001. Institusions, Ecosystems, andSustaibility. Lewis Publishers. New York.
Clark DB, Clark DA. 1996. Abundance, growth and mortality of very large treesin neotropical lowland rain forest. Forest ecology and Management. 80 :235-244.
Davis LS, Johnson KN. 1987. Forest Management. Third edition. McGraw-HillBook Company, Inc.,New York.
Davis LS, Johnson KN, Bettinger PS, Howard TE. 2001. Forest Managament: ToSustainable Ecological, Economic, and Social Values. Fourth Edition.McGraw-Hill Book Company, Inc, New York.
Darusman D. 2002. Pembenahan Kehutanan Indonesia. Lab Politik dan SosialKehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
de Kock RB. 1995. The Minimal growth model. Paper presented in the workshopfor the growth and yield data clearing house, held by Balai PenelitianKehutanan Samarinda and the tropical forest management project of theoverseas development administration of the United Kingdom. Kalimantan16 November 1995
Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen.IPBPress.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 1998. Guidelines for the managementof Tropical Forests, 1. The Production of Wood. FAO Forestry Paper 135-239 p.
Favrichon V, Kim YC. 1998. Modeling the dynamics of lowland mixeddipterocarp forest stand : application of a density-dependent matrixmodel. In : Bertault, J.G. and Kadir (Editors). Silvicultural research in anlowland mixed dipterocarpacea forest of East Kalimantan, TheContributions of STREK project CIRAD-foret, FORDA, andPT.INHUTANI I, CIRAD –foret publication : 229-245.
Gray C, Simanjuntak P, Sabur LL, Maspaitela PEL, Varley RCG. 1997.Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi II. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Grant EK, Pedersen EK, Marin SL. 1997. Ecology And Natural ResourceManagament : System Analisis and Simulation. John Wiley & Sons.INC.New York/Chichester/Weinheim/Brisbane/Singapore/Toronto.
93
Gittinger JP. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi kedua,telaah direvisi dan diperluas lengkap. UI-Press- Johns Hopkins. Jakarta.
GOLFC-OLD 2008. Reducing greenhouse gas emissions from deforestation anddegradation in developing countries : a sourcebook of methods andprocedures for monitoring, measuring and reporting, GOFC-GOLD Reportversion COP13-2. OFC-GOLD Project office Natural Resources Canada,Alberta, Canada.
Hannon B, Ruth M. 1997. Modeling Dynamic Economic Systems. Springer-Verlag, New York.
Harrison SR, Herbohn JL, Herbohn KF. 2000. Sustastainable Small ScaleForestry : Socio-Economic Analisys And Policy. Massachusets, USA :Edward Elgar Publishing, Inc.
Hartley MJ. 2002. Rationale and methods for conservation biodiversity inplantation forests. Forest Ecology and Management 115: 81-95
High Performance System Inc,1996. An Introduction to System Thinking Stella.High Performance System Inc. Hanover.
Helms JA (Editor). 1998. The Dictionary of Forestry. The Society of AmericanForester and CABI Publishing, Walingford.210 p.
Hof JK, Kent BM.1990. Nonlinear Programming approaches to multistand timberharvest scheduling. Forest Science 36 (4) : 894 -907.
HPH PT. Bina Balantak Utama 2001. Laporan Karya Tahunan (RKT) 2000/2001.PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua.
Ingram, CD, Buongiorno J. 1996. Income and diversity tradeoffs frommanagement of mixed lowland Dipterocarps ini Malaysia. Journal ofTropical Forest Science 9 (2) : 242-270.
[ITTO] International Tropical Timber Organization 1998. Criteria and indicatorfor Sustainable Management of Natural Tropical Forest. ITTO PolicyDevelopment Series No.7. Yokohama.
IPCC 2003. Defenitions and methodological options to inventory emission fromdirect human-induced degradation of forests and devegetation of othervegetation types. In : Penman et al IPCC-IGES Kanagawa.
……….2006. 2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories Agriculture, Forestry and Others Land Use. Vol 4. PICC–IGES
Jakeman AJ, Letcher RA, Northon JP. 2006. Tens Iterative Steps in Developmentand Evaluation of Environmental Models. Environmental Modelling &Software Journal.
Kadariah L. 1986. Pengantar Evaluasi Proyek : Analisis Ekonomi. LPE-UI.Jakarta
94
Kartodihardjo H. 2006. Ekonomi dan institusi pengelolaan hutan : telaah lanjutananalisis kebijakan usaha kehutanan. Institute for Development Economics ofAgriculture and Rural Areas (IDEALS). Bogor
Kariuki M, et al. 2006. Modelling Growth, Recruitments and Mortality ToDescribe and Simulate Dinamics of Subtropical Rainforest FollowingDifferent Levels of Disturbance. FBMIS Vol 1 : 22-47.http://www.fbmis.info/A/6_1_kariukiM_1 [ 5 November 2007]
Kleine M, Hinrichs. 1999. DIPSIM-KALTIM. Dipterocarp Forest GrowthSimulation Model : Concept and Guide to AAC Determination. SFMPDocument No.3.37p.
Klemperer WD. 1996. Forest Resourc Economic and Finance. McGraw Hill,Inc.New York.
.Krisnawati H. 2001. Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur dengan PendekatanDinamika Struktur Tegakan (Kasus Hutan Alam Bekas Tebangan) [tesis].Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Lin CR, Buongiorno J, Vasievich M. 1996. A multy–species, density–dependentmatrix growth model to predict tree diversity and income in northernhardwood stand. Ecological modelling 91 : 193–211.
Labetubun MS. 2004. Metode Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur MelaluiPendekatan Model Dinamika Sistem : Kasus Hutan Alam BekasTebangan. [Tesis] Bogor : Sekolah Pasca Sarjana, Institut PertanianBogor.
Labetubun, MS, Suhendang E, Darusman D. 2005. Pengembalian Ekonomi dalamPengelolaan Hutan Alam Produksi : suatu pendekatan dinamika sistem.Jurnal Manajemen Hutan Tropika 9 (2) : 42-54
Leuschner WA. 1990. Forest Regulation Harvest Scheduling and PlanningTechniques. John Wiley and Sons Inc. New York.
Low B, Costanza R, Ostroom E, Wilson J, Simon CP. 1999. Analysis : Human-ecosystem interactions : a dynamic integrated model. Ecologicaleconomics 31 : 227-242
Lu, HS, Buongiorno J. 1993. Long and short term effects of alternative cuttingregimes on economics returns and ecological Diversity in selection forest.Forest Ecology and Managament. 58: 173 -172
McLeish MJ, Susanty FH. 2000. Yield Regulation Options for Labanan . AFinancial and economic analysis of yield regulation optiosn for logged overforest at PT Inhutani I, Labanan Concession.http://www.symfor.org/technical/yield6.pdf Berau Forest ManagementProject, Tanjung Redeb, 45 p.
McLeish MJ, Moran D, van Gardingen PR. 2002. Linking Growth and YieldModels with a Financial Model for Forest Concessions.www.symfor.org/technical/financial .pdf Berau Forest ManagementProject, Tanjung Redeb, 10 p.
Mardiasmo. 2006. Perpajakan : Edisi revisi 2006. Andi Jogjakarta.
95
Marklund LG, dan Schoene D. 2006. Global assessment of growing stock,biomass and carbon stock. Forest Resources Assessment Programme Workingpaper 106/E, Rome
Mendoza, GA.,Onal H, Soejipto. 2000. Optimizing tree diversity and economicreturns from managed mixed forest in Kalimantan, Indonesia. Journal ofTropical Forest Science. 12 (2) : 298-319.
Mengel, DL, Roise JP. 1990. A. Diameter-class matriz model for souteasternU.S. coastal palin bottomland hardwood stand. South.J. Appli For. 14 : 189-195
Meyer HA, Recknagel AB, Stevenson DD, Bartoo RA. 1961. ForestManagament. The Ronald Press Company, New York.
Montagnini F dan Porras C. 1998. Evaluating the role of plantations as carbonsinks: An example of an integrative approach from the humid tropics.Environmental Management 22(3): 459-470.
Muetzelfeldt R, Taylor J, Haggith M. 1997. Development of pFLORES, aPrototype FLORES Model. Proggress Report. www.pFlores.[ 10 November2007]
Muetzelfedt R, Massheder J. 2003. The Simile Visual Modelling Environment.Europan Journal of Agronomy 18 : 345-358.
Mudiyarso et al. 2008. Measuring and Monitoring Forest Degradation forREDD. Implications of Country circumstances. Infobrief, No.16. CIFOR
Ness B, Piirsalu EU, Anderberg S, Olsson L, 2007. Categorising Tools forSustainability Assessment. The transdiciplinary journal of the internationalsociety for ecologycal economic 60 : 498-508.
Oliver CD dan Larson BC 1990. Forest Stand Dynamics. McGraw Hill, Inc.New York 467 p
Pudjo PW. 1999. Penetapan besarnya nilai satuan iuran hasil hutan. Di dalam :Nasution M. 1999. Impian dan Tantangan : Manusia Indonesia dalammewujudkan hutan dan kebun yang lestari sebagai anugerah dan amanahTuhan Yang Maha Esa. Departemen Kehutanan dan Perkebunan RI. Jakarta.
Purnomo H. 2004. Teori Sistem Kompleks, Pemodelan dan ManajemenSumberdaya Adaptif. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tidakditerbitkan.
Purnomo H, Yasmin Y, Prabhu R, Hakim R, Jafar S, Suprihatin. 2003.Collaborative Modeling to support forest management : Qualitative Systemsanalysis at Lumut Mountain, Indonesia, Small- scale forest economics.Management and policy, 2 (2) : 277 -292.
Pawitno 2003. Kontribusi Subsektor Kehutanan terhadap Pendapatan Daerah diPapua. [skripsi]. Manokwari : Fakultas Kehutanan, Universitas Negeri PapuaManokwari.
96
Rosmantika M. 1997. Studi Model Dinamika Struktur Tegakan Hutan AlamBekas Tebangan di Stagen Pulau Laut Kalimantan Selantan.[Skripsi]. Bogor :Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Rachman E. 2003. Pengelolaan Kayu Merbau di Hutan Alam: Kajian Potensidan eksploitasi kayu merbau di hutan alam produksi. Dalam ProsidingLokakarya Ekspose Hasil-Hal Penelitian Balai Penelitian KehutananManokwari Tahun 2003. BPK Manokwari. pp : 110 -122.
Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2007. Perencanaan dan PengembanganWilayah. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.
Rusmantoro W. 2006. Hutan Sebagai Penyerap Karbon.http://www.pelangi.or.id/spektrum/?artid =19&vol=3 [ 20 November 2008]
Suhendang E. 1985. Studi Model Struktur Tegakan Hutan Alam Tropika DataranRendah di Bangkunat, Propinsi DATI I Lampung. [Tesis] Bogor : FakultasPasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
………………..,1993. Alternatif metode pengaturan hasil pada areal bekastebangan hutan tidak seumur. Makalah pada Seri Diskusi Ilmiah Kehutanandalam rangka Dies Natalis IPB ke 30. Fakultas Kehutanan IPB.
………………..1995. Penerapan model dinamika struktur tegakan alam yangmengalami penebangan dalam pengaturan hasil dengan metode jumlah pohonsebagai alternatif penyempurnaan sistem silvikultur TPTI. Laporan PenelitianHibah Bersaing. Fakultas Kehutanan IPB.
………………….,1999. Pembentukan Hutan Normal Tidak Seumur sebagaistrategi Pembenahan Hutan Alam Produksi menuju Pengelolaan Hutan Lestaridi Indonesia : sebuah Analisis Konsepsional dalam Ilmu Manajemen HutanOrasi ilmiah Guru Besar Tetap dalam Ilmu Manajemen Hutan FakultasKehutanan IPB. Bogor.29 Mei 1999.
…………………., 2002. Growth and yield studies : Their implication fo the management of Indonesian tropical forest. In : Saharudin, M.I., T.S. Kiam,Y.Y. Hwai, D. workshop on Groth and Yield of Managed Tropical Forest.Forestry Departement Penninsular Malaysia. Kuala Lumpur, 25th –29th Junne2002.
Sianturi A. 1993. Sistem Penentuan Besarnya Pungutan Dari Hutan Alam. JurnalPenelitian Hasil Hutan Vol. 11 No. 7. Hal 249-255. Badan Litbang Kehutanan,Bogor.
Soeryanegara I. 1995. Ecosystem approach in the management of forest, land andwater resources. Di dalam : Suhendang, E, C. Kusmana, Istomo, L.Syaufina.EKologi, Ekologisme, dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan : GagasanPemikiran dan Karya Prof. Dr. Ishemet Soeryanegara, M.Sc.
Susanty FH, Sarjono E. 2001. Simulasi Pertumbuhan dan Hasil Produksi denganModel SYMFOR. http://www.symfor.org/technical/simgandy4.pdf. [ 29 Nov2007]
97
Suparmoko M, Widyantra G, Setyarko Y, Ratnaningsih M, Nurrochmat D,Siswanto B, Editor. 2007. PDRB Berwawasan Lingkungan (Green PDRB).Jakarta : Pusat Perencana dan Statistik Kehutanan Badan PlanologiKehutanan Depaertemen Kehutanan.
Turland. 2007. An overview of North American Forest Modeling Approachesand Their Technology and Their Potential Application to Australia NativeForest Management. http //: wfi. Worldforestry.org. [ 4 Oktober 2007]
Tim Fahutan IPB. 2003. Peninjauan Menyeluruh terhadap Pungutan Sektor UsahaKehutanan. Di dalam : Rasionalisasi Sistem Pungutan pada PengusahaanHutan Alam di Indonesia. Prosiding Workshop Nasional; Hotel SalakBogor, 26 Juni 2003. Bogor : Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.hlm 3 -39.
Vanclay JK. 1988. A. Stand Growth Model for Yield Regulation in NorthQuenensland Rainforest. IUFRO Forest Growth Modelling and PredictionConference, Mineapolis, Agustus 23-27, 1987.
…………….., 2002. Growth modeling and yield prediction for sustainable forest management. In : Saharudin, M.I., T.S. Kiam, Y.Y. Hwai, Othman, D. andKorsgaard. Proceedings of the Malaysia –ITTO International Workshopon Growth and Yield of Managed Tropical Forest. Forestry DepartementPeninsular Malaysia. Kualalumpur, 25th–29th June 2002.
……………….., 2003. The One minute Modeller : An introduction to Simile.Annals of Tropical Research 25 (1) : 31- 44
……………….., 2003. Growth Modelling and Yield prediction for sustainable forest management. The Malaysiana Forester 66 (1) 58–69.
van Gardingen P, Philips PD. 2000. Growth and Yield Modelling : Application ofSYMFOR to Evaluate Silviclutural Systems. DfID FRP Training Document,November 2000. 68.p.
Walpole RE. 1995. Pengantar Statistik edisi ke-3. PT. Gramedia Pustaka Utama.Jakarta
Wibowo S. 2006. Rehabilitasi Hutan Pasca Operasi illegal Logging. WanaAksara Tanggerang. Banten.
Zobrist KW, Comnick JM, McCarter, JB. 2006. Economatic : A New Tool thatIntegrates Financial Analysis with Forest Management Simulations. WestJ. Appl.For.21 (3) : 132 -141.
98
Lampiran 1. Komposisi jenis pohon dalam tegakan di areal hutan primer
Persentase jenis terhadapNo. Nama Jenis N/Ha( D >10 cm)
Kelompok Jenis Semua Jenis
Kelompok Jenis Dipterocarpaceae
1 Alstonia scholaris R.Br 6.00 5.86 1.24
2 Canarium 8.67 8.47 1.79
3 Homalium foetidum Bth 9.00 8.80 1.86
4 Intsia bijuga OK 41.67 40.72 8.63
5 Palaquium amboinense Burch 9.00 8.80 1.86
6 Pometia sp 16.33 15.96 3.38
7 Shorea spp 4.00 3.91 0.83
8 Vatica papuana Dyer 7.67 7.49 1.59Total Dipterocarpaceae 102.34 100.00 21.19
Kelompok Jenis Non Dipterocarpaceae
1 Adenanthera sp 4.33 1.77 0.90
2 Aglaia 5.33 2.18 1.10
3 Anthocephalus cadamba Miq 5.00 2.05 1.04
4 Antyaris e 0.67 0.27 0.14
5 Arthocarpus spp 5.00 2.05 1.04
6 Baringthonia 2.33 0.95 0.48
7 Buchanania 3.33 1.36 0.69
8 Calophyllum spp 5.00 2.05 1.04
9 Campnosperma brevipetiolata Volk 2.33 0.95 0.48
10 Cananga odorata Hook f.et Th. 13.67 5.59 2.83
11 Celtis latifolia Planch. 8.00 3.27 1.66
12 Disoxillum sp 17.00 6.96 3.52
13 Drancontomelum edule Merr 11.33 4.64 2.35
14 Dyospiros 7.33 3.00 1.52
15 Evodia sp 11.33 4.64 2.35
16 Gmelina 9.67 3.96 2.00
17 Heritiera sp 3.00 1.23 0.62
18 Hymantondra sp 2.67 1.09 0.55
19 Inocarpus sp 4.67 1.91 0.97
20 Koordersiodendron pinnatum Merr. 5.00 2.05 1.04
21 Litsea spp 10.67 4.37 2.21
22 Maniltoa grandiflora Scheff. 3.33 1.36 0.69
23 Octomeles sumatrana Miq 5.67 2.32 1.17
24 Paraserianthes spp 7.00 2.86 1.45
99
Lanjutan Lampiran 1
25 Parinarium sp 3.33 1.36 0.69
26 Penthapallangium 10.00 4.09 2.07
27 Pharantropes m 10.00 4.09 2.07
28 Pimeleodendron amboinicum Hassk. 3.67 1.50 0.76
29 Podocarpus 5.33 2.18 1.10
30 Prainea sp 2.00 0.82 0.41
31 Pterocarpus indicus 6.00 2.46 1.24
32 Pterygota horsfieldii Kosterm. 12.67 5.18 2.62
33 Quercus sp 4.67 1.91 0.97
34 Spondias dulcis Kurz. 1.33 0.55 0.28
35 Sterculia spp 4.00 1.64 0.83
36 Toona sureni 4.67 1.91 0.97
37 Vitex 1.67 0.68 0.35
38 Xylocarpus 2.33 0.95 0.48
39 Zanthallum album 5.00 2.05 1.04Total Non Dipterocarpaceae 244.33 100.00 50.59
Kelompok Jenis Non Komersil
1 Ailanthus 1.00 0.73 0.21
2 Bemuas 14.67 10.76 3.04
3 Cerbera f 1.67 1.22 0.35
4 Cryptocaria sp 2.33 1.71 0.48
5 Drypetes spp 2.33 1.71 0.48
6 Endospermum molucanum Becc. 0.33 0.24 0.07
7 Eugenia spp 20.33 14.91 4.21
8 Ficus spp. 9.67 7.09 2.00
9 Gnentum gnemon 9.00 6.60 1.86
10 Haplolobuss 11.67 8.56 2.42
11 Homonia javanensis 8.00 5.87 1.66
12 Labu 3.67 2.69 0.76
13 Makaranga sp 5.33 3.91 1.10
14 Manggis Hutan 1.00 0.73 0.21
15 Mangifera spp 2.00 1.47 0.41
16 Myristica spp 18.00 13.20 3.73
17 Pangium 0.67 0.49 0.14
18 Paraitemon 1.33 0.98 0.28
19 Pericopsis mooniana Thw 8.33 6.11 1.73
20 Semecarpus anacardium 6.00 4.40 1.24
21 Sloanea pullei A.C.Sm 9.00 6.60 1.86
Total Non Komersil 136.33 100.00 28.23
Total Semua Kelompok Jenis 483.00 100.00
100
Lampiran 2 : Komposisi jenis pohon dalam tegakan di areal bekas tebangan
Persen jenis terhadapNo Nama Jenis N/Ha (D > 10 cm)
Kelompok Jenis Semua JenisKelompok Dipterocarpaceae
1 Alstonia scholaris R.Br 3,67 10,49 2,122 Homalium foetidum Benth. 7 20,00 4,053 Intsia bijuga OK. 7,67 21,91 4,434 Pometia spp 12,33 35,23 7,135 Palaquium amboinensis 4,33 12,37 2,50
Total Dipterocarpaceae 35,00 100.0 20,23Kelompok Jenis Non Dipterocarpaceae
1 Anthocepallus cadamba 1,00 1,2 0,582 Antyaris 0,33 0,39 0,193 Astronia 0,33 0,39 0,194 Baringtonia asiatica Kurzt. 8,00 9,64 4,625 Biscofia 3,33 4,01 1,926 Bokey 1,67 2,01 0,967 Callophyllum sp. 1,00 1,20 0,588 Cananga odorata 3,00 3.61 1,739 Celtis latifolia 6,67 8.04 3,8610 Charatea 4,33 5.22 2,5011 Diosphyros sp. 1,67 2.01 0,9612 Disoxillum aliacvum BL. 0,33 0.40 0,1913 Dracontomelum edule Merr. 2,00 2.41 1,1614 Evodia sp. 1,33 1.60 0,7715 Ganophilum falcatum 1,33 1.60 0,7716 Horsfieldia silvestris 0,33 0.40 0,1917 Hymantondra sp. 1,00 1.20 0,5818 Inanui 0,33 0.40 0,1919 Inocarpus sp. 1,67 2.01 0,9620 Litsea spp. 1,33 1.60 0,7721 Maniltoa grandiflora Scheff. 2,67 3.22 1,5422 Nauclea orientalis 2,00 2.41 1,1623 Octomeles sumtrana Mig. 1,00 1.20 0,5824 Paraserainthes falcataria L.Neilsen 4,33 5.22 2,5025 Pimeliodendron amboinicum Hassk. 16,00 19.28 9,25
101
Lanjutan Lampiran 2.
26 Pterocarpus indicus 1.67 2.01 0,9627 Pterygota horsfieldi 5,00 6.02 2,8928 Rustaitensis 1,00 1.20 0,5829 Stercullia sp 0,33 0.40 0,1930 Stroanea sp. 0,68 0.82 0,3931 Terminalia catapa L. 4,00 4.82 2,3132 Toona sureni 2,00 2.41 1,1633 Wofde 1,33 1.60 0,77
Total Non Dipterocarpaceae 82.99 100 48,8Kelompok Jenis Non Komersil
1 Drypetes spp 19,00 34,54 10,982 Endospermum mollucanum Becc. 0,33 0,6 0,193 Eugenia sp 7,00 12,73 4,054 Ficus sp 4,67 8,49 2,705 Heritiera sp. 3,00 5,45 1,736 Homonia javanensis 8,33 15,14 4,817 Macaranga sp 3,67 6,67 2,128 Manggis hutan 2,33 4,24 1,359 Myristica spp. 6,67 12,12 3,8510 Teisjmaniodendron sogoriense 6,00 10,91 3,47
Total Non Komersil 55,00 100.0 30.99
Total Semua Kelompok Jenis 172,99 100.00
102
Lampiran 3. Model kuantitatif pengaturan hasil hutan tidak seumur
A. Model Tegakan Dipterocarpaceae
Phn_D15(t) = Phn_D15(t - dt) + (Ing_D15 - Upg_D15 - MortD15) * dtINIT Phn_D15 = 12.33
INFLOWS:Ing_D15 = Inrate_D15*Phn_D15OUTFLOWS:Upg_D15 = Phn_D15*Uprate_D15MortD15 = Phn_D15*Morate_D15+Phn_D15*Efek_tebang_1Phn_D25(t) = Phn_D25(t - dt) + (Upg_D15 - Upg_D25 - Mort_D25) * dtINIT Phn_D25 = 8
INFLOWS:Upg_D15 = Phn_D15*Uprate_D15OUTFLOWS:Upg_D25 = Phn_D25*uprate_D25Mort_D25 = Phn_D25*morate_D25+Phn_D25*Efek_tebang_2Phn_D35(t) = Phn_D35(t - dt) + (Upg_D25 - Upg_D35 - Mort_D35) * dtINIT Phn_D35 = 5
INFLOWS:Upg_D25 = Phn_D25*uprate_D25OUTFLOWS:Upg_D35 = Phn_D35*Uprate_D35Mort_D35 = Phn_D35*Morate_D35+Phn_D35*Efek_tebang_3Phn_D45(t) = Phn_D45(t - dt) + (Upg_D35 - Upg_D45 - Mort_D45 - Teb_D45) *dtINIT Phn_D45 = 1.67
INFLOWS:Upg_D35 = Phn_D35*Uprate_D35OUTFLOWS:Upg_D45 = Phn_D45*Uprate_D45Mort_D45 = Phn_D45*Morate_D45+Phn_D45*Efek_tebang_4Teb_D45 = IF(Tahun=Siklus_teb)THEN(Phn_D45*Pers_teb_D45*0.8)ELSE(0)Phn_D55(t) = Phn_D55(t - dt) + (Upg_D45 - Upg_D55 - Mort_D55 - Teb_D55) *dtINIT Phn_D55 = 1
INFLOWS:Upg_D45 = Phn_D45*Uprate_D45OUTFLOWS:Upg_D55 = Phn_D55*Up_rate_D55Mort_D55 = Phn_D55*morate_D55+Phn_D55*Efek_tebang_5Teb_D55 = IF(Tahun=Siklus_teb)THEN(Phn_D55*Per_teb_D55*0.8)ELSE(0)Phn_D65(t) = Phn_D65(t - dt) + (Upg_D55 - Teb_D65 - Mort_D65) * dt
103
INIT Phn_D65 = 2
INFLOWS:Upg_D55 = Phn_D55*Up_rate_D55OUTFLOWS:Teb_D65 = IF(Tahun=Siklus_teb)THEN(Phn_D65*pers_teb_D65*0.8)ELSE(0)Mort_D65 = Phn_D65*Morate_D65+Phn_D65*Efek_tebang_6Tahun(t) = Tahun(t - dt) + (In - Out) * dtINIT Tahun = 0
INFLOWS:In = IF(TIME<Start)THEN(0)ELSE(1)OUTFLOWS:Out = IF(Tahun=Siklus_teb)THEN(Tahun)ELSE(0)BA_D15 = Phn_D15*(3.14*15^2)/40000BA_D25 = Phn_D25*(3.14*25^2)/40000BA_D35 = Phn_D35*(3.14*35^2)/40000BA_D45 = Phn_D45*(3.14*45^2)/40000BA_D55 = Phn_D55*(3.14*55^2)/40000BA_D65 = Phn_D65*(3.14*65^2)/40000BA__D = BA_D15+BA_D25+BA_D35+BA_D45+BA_D55+BA_D65Masak_tebDip = Phn_D55+Phn_D65N_D = Phn_D15+Phn_D25+Phn_D35++Phn_D45+Phn_D55+Phn_D65Pers_teb_D45 = 0.8pers_teb_D65 = .80Per_teb_D55 = .80PhnInti_D = Phn_D25+Phn_D35+Phn_D45Siklus_teb = 1Start = 0Tot_Vol_Dip = VD15+V__Masak_teb_Dip+V_Phn_Inti_DipVD15 = (0.8*0.75*0.25*3.14*25*((0.145)^2)*Phn_D15)VD25 = (0.8*0.75*0.25*3.14*25*((0.245)^2)*Phn_D25)VD35 = (0.8*0.75*3.14*0.25*25*((0.345)^2)*Phn_D35)VD45 = (0.8*0.75*0.25*3.14*25*((0.445)^2)*Phn_D45)VD55 = (0.8*0.75*0.25*3.14*25*((0.545^2)*Phn_D55))VD65 = (0.8*0.75*0.25*3.14*25*((0.645)^2)*(Phn_D65))V_Phn_Inti_Dip = VD25+VD35+VD45V__Masak_teb_Dip = VD55+VD65Inrate_D15 = GRAPH(BA_D15)(0.00, 0.143), (1.24, 0.122), (2.48, 0.0986), (3.72, 0.0763), (4.96, 0.0583), (6.21,0.0425), (7.45, 0.0259), (8.69, 0.0144), (9.93, 0.00864), (11.2, 0.00432), (12.4,0.00)Morate_D15 = GRAPH(BA_D15)(0.00, 0.00), (1.24, 0.000609), (2.48, 0.00119), (3.72, 0.00177), (4.96, 0.00235),(6.21, 0.00293), (7.45, 0.00351), (8.69, 0.00409), (9.93, 0.00467), (11.2, 0.00525),(12.4, 0.0058)morate_D25 = GRAPH(BA_D25)(0.00, 0.00), (1.24, 0.00676), (2.48, 0.0121), (3.72, 0.0165), (4.96, 0.0254), (6.21,
104
0.0289), (7.45, 0.0357), (8.69, 0.0404), (9.93, 0.0487), (11.2, 0.0522), (12.4,0.0587)Morate_D35 = GRAPH(BA_D35)(0.00, 0.00), (1.24, 0.0633), (2.48, 0.114), (3.72, 0.175), (4.96, 0.223), (6.21,0.304), (7.45, 0.343), (8.69, 0.425), (9.93, 0.488), (11.2, 0.545), (12.4, 0.603)Morate_D45 = GRAPH(BA_D45)(0.00, 0.00), (1.24, 0.0179), (2.48, 0.0375), (3.72, 0.0536), (4.96, 0.0723), (6.21,0.0911), (7.45, 0.107), (8.69, 0.125), (9.93, 0.143), (11.2, 0.163), (12.4, 0.179)morate_D55 = GRAPH(BA_D55)(0.00, 0.00), (1.24, 0.017), (2.48, 0.0339), (3.72, 0.0525), (4.96, 0.0686), (6.21,0.0873), (7.45, 0.103), (8.69, 0.12), (9.93, 0.136), (11.2, 0.153), (12.4, 0.169)Morate_D65 = GRAPH(BA_D65)(0.00, 0.00), (1.24, 0.00893), (2.48, 0.0179), (3.72, 0.0277), (4.96, 0.0348), (6.21,0.046), (7.45, 0.0554), (8.69, 0.0621), (9.93, 0.0719), (11.2, 0.0804), (12.4,0.0884)Uprate_D15 = GRAPH(BA_D15)(0.00, 0.0694), (1.24, 0.0582), (2.48, 0.0477), (3.72, 0.0382), (4.96, 0.0298),(6.21, 0.0214), (7.45, 0.0151), (8.69, 0.0105), (9.93, 0.00666), (11.2, 0.0035),(12.4, 0.00)uprate_D25 = GRAPH(BA_D25)(0.00, 0.0655), (1.24, 0.048), (2.48, 0.0396), (3.72, 0.0329), (4.96, 0.0256), (6.21,0.0182), (7.45, 0.0119), (8.69, 0.00596), (9.93, 0.00245), (11.2, 0.00), (12.4, 0.00)Uprate_D35 = GRAPH(BA_D35)(0.00, 0.0825), (1.24, 0.0639), (2.48, 0.0551), (3.72, 0.0406), (4.96, 0.0309),(6.21, 0.0207), (7.45, 0.0128), (8.69, 0.00838), (9.93, 0.00265), (11.2, 0.00176),(12.4, 0.00)Uprate_D45 = GRAPH(BA_D45)(0.00, 0.0843), (1.24, 0.0722), (2.48, 0.0592), (3.72, 0.0489), (4.96, 0.0382),(6.21, 0.0303), (7.45, 0.02), (8.69, 0.013), (9.93, 0.00792), (11.2, 0.0014), (12.4,0.00)Up_rate_D55 = GRAPH(BA_D55)(0.00, 0.069), (1.24, 0.0542), (2.48, 0.0433), (3.72, 0.0334), (4.96, 0.0232), (6.21,0.0162), (7.45, 0.0102), (8.69, 0.00634), (9.93, 0.00352), (11.2, 0.00), (12.4, 0.00)Biomassa1 = (42.69-(12.8*(DiameterD15)+1.24*(DiameterD15)^2))Biomassa2 = (42.69-(12.8*(DiameterD25)+1.24*(DiameterD25)^2))Biomassa3 = (42.69-(12.8*(DiameterD35)+1.24*(DiameterD35)^2))Biomassa4 = (42.69-(12.8*(DiameterD45)+1.24*(DiameterD45)^2))Biomassa5 = (42.69-(12.8*(DiameterD55)+1.24*(DiameterD55)^2))Biomassa6 = (42.69-(12.8*(DiameterD65)+1.24*(DiameterD65)^2))CD_1 = (Biomassa1*Phn_D15/1000)*0.5CD_2 = (Biomassa2*Phn_D25/1000)*0.5CD_3 = (Biomassa3*Phn_D35/1000)*0.5CD_4 = (Biomassa4*Phn_D45/1000)*0.5CD_5 = (Biomassa5*Phn_C55/1000)*0.5CD_6 = (Biomassa6*Phn_C65/1000)*0.5C_total_Dip = (CD_1+CD_2+CD_3+CD_4+CD_5+CD_6)DiameterD15 = 0.145DiameterD25 = 0.245
105
DiameterD35 = 0.345DiameterD45 = 0.445DiameterD55 = 0.545DiameterD65 = 0.645
B. Model Tegakan NonDipterocarpaceae
Phn_ND15(t) = Phn_ND15(t - dt) + (Ing_ND15 - Upg_ND15 - MortND15) * dtINIT Phn_ND15 = 28
INFLOWS:Ing_ND15 = Inrate_ND15*Phn_ND15OUTFLOWS:Upg_ND15 = Phn_ND15*Uprate_ND15MortND15 = Phn_ND15*Efek_tebang_1+Phn_ND15*Morate_ND15Phn_ND25(t) = Phn_ND25(t - dt) + (Upg_ND15 - Upg_ND25 - Mort_ND25) * dtINIT Phn_ND25 = 19.67
INFLOWS:Upg_ND15 = Phn_ND15*Uprate_ND15OUTFLOWS:Upg_ND25 = Phn_ND25*uprate_ND25Mort_ND25 = Phn_ND25*Efek_tebang_2+Phn_ND25*morate_ND25Phn_ND35(t) = Phn_ND35(t - dt) + (Upg_ND25 - Upg_ND35 - Mort_ND35) * dtINIT Phn_ND35 = 7.67
INFLOWS:Upg_ND25 = Phn_ND25*uprate_ND25OUTFLOWS:Upg_ND35 = Phn_ND35*UprateND35Mort_ND35 = Phn_ND35*Efek_tebang_3+Phn_ND35*Morate_ND35Phn_ND45(t) = Phn_ND45(t - dt) + (Upg_ND35 - Upg_ND45 - Mort_ND45 -Teb_ND45) * dtINIT Phn_ND45 = 4
INFLOWS:Upg_ND35 = Phn_ND35*UprateND35OUTFLOWS:Upg_ND45 = Phn_ND45*Uprate_ND45Mort_ND45 = Phn_ND45*(Efek_tebang_4+Morate_ND45)Teb_ND45 =IF(Tahun_2=Siklus_teb_2)THEN(Phn_ND45*Pers_teb_ND45)ELSE(0)Phn_ND55(t) = Phn_ND55(t - dt) + (Upg_ND45 - Upg_ND55 - Mort_ND55 -Teb_ND55) * dtINIT Phn_ND55 = 2
INFLOWS:Upg_ND45 = Phn_ND45*Uprate_ND45OUTFLOWS:
106
Upg_ND55 = Phn_ND55*Up_rate_ND55Mort_ND55 = Phn_ND55*Efek_tebang_5+Phn_ND55*morate_ND55Teb_ND55 =IF(Tahun_2=Siklus_teb_2)THEN(Phn_ND55*Per_teb_ND55*0.8)ELSE(0)Phn_ND65(t) = Phn_ND65(t - dt) + (Upg_ND55 - Teb_ND65 - Mort_ND65) * dtINIT Phn_ND65 = 4
INFLOWS:Upg_ND55 = Phn_ND55*Up_rate_ND55OUTFLOWS:Teb_ND65 =IF(Tahun_2=Siklus_teb_2)THEN(Phn_ND65*pers_teb_ND65*0.8)ELSE(0)Mort_ND65 = Phn_ND65*Efek_tebang_6+Phn_ND65*Morate_ND65Tahun_2(t) = Tahun_2(t - dt) + (In_2 - Out_2) * dtINIT Tahun_2 = 0
INFLOWS:In_2 = IF(TIME<Start)THEN(0)ELSE(1)OUTFLOWS:Out_2 = IF(Tahun_2=Siklus_teb_2)THEN(Tahun_2)ELSE(0)BA_ND15 = Phn_ND15*(3.14*15^2)/40000BA_ND25 = Phn_ND25*(3.14*25^2)/40000BA_ND35 = Phn_ND35*(3.14*35^2)/40000BA_ND45 = Phn_ND45*(3.14*45^2)/40000BA_ND55 = Phn_ND55*(3.14*55^2)/40000BA_ND65 = Phn_ND65*(3.14*65^2)/40000BA__ND =BA_ND15+BA_ND25+BA_ND35+BA_ND45+BA_ND55+BA_ND65Masak_teb_ND = Phn_ND55+Phn_ND65N_ND =Phn_ND15+Phn_ND25+Phn_ND35+Phn_ND45+Phn_ND55+Phn_ND65Pers_teb_ND45 = 0.80pers_teb_ND65 = .80Per_teb_ND55 = .80Phn_IntiND = Phn_ND25+Phn_ND35+Phn_ND45Siklus_teb_2 = 1Tot_Vol_ND = V_masak_tebang_ND+V_ND15+V_Phn_Inti_NDV_masak_tebang_ND = V_ND55+V_ND65V_ND15 = (0.8*0.75*0.25*25*3.14*((0.145)^2)*Phn_ND15)V_ND25 = (0.8*0.75*0.25*25*3.14*((0.245)^2)*Phn_ND25)V_ND35 = (0.8*0.75*0.25*25*3.14*((0.345)^2)*Phn_ND35)V_ND45 = (0.8*0.75*0.25*3.14*25*((0.445)^2)*Phn_ND45)V_ND55 = (0.8*0.75*0.25*25*3.14*((0.545)^2)*Phn_ND55)V_ND65 = (0.8*0.75*0.25*25*3.14*((0.645)^2)*Phn_ND65)V_Phn_Inti_ND = V_ND25+V_ND35+V_ND45Inrate_ND15 = GRAPH(BA_ND15)(0.00, 0.143), (2.48, 0.122), (4.97, 0.0986), (7.45, 0.0763), (9.94, 0.0583),(12.4,0.0425), (14.9, 0.0259), (17.4, 0.0144), (19.9, 0.00864), (22.4, 0.00432),
107
(24.8,0.00)Morate_ND15 = GRAPH(BA_ND15)(0.00, 0.00), (2.48, 0.00336), (4.97, 0.00672), (7.45, 0.00944), (9.94, 0.0131),(12.4, 0.0163), (14.9, 0.0197), (17.4, 0.0226), (19.9, 0.0259), (22.4, 0.0291),(24.8, 0.0317)morate_ND25 = GRAPH(BA_ND25)(0.00, 0.00), (2.48, 0.0161), (4.97, 0.0299), (7.45, 0.046), (9.94, 0.0622), (12.4,0.0744), (14.9, 0.0929), (17.4, 0.107), (19.9, 0.122), (22.4, 0.137), (24.8, 0.15)Morate_ND35 = GRAPH(BA_ND35)(0.00, 0.00), (2.48, 0.00652), (4.97, 0.015), (7.45, 0.0234), (9.94, 0.0318), (12.4,0.0423), (14.9, 0.0518), (17.4, 0.0605), (19.9, 0.07), (22.4, 0.0782), (24.8, 0.086)Morate_ND45 = GRAPH(BA_ND45)(0.00, 0.00), (2.48, 0.0499), (4.97, 0.105), (7.45, 0.163), (9.94, 0.227), (12.4,0.283), (14.9, 0.344), (17.4, 0.393), (19.9, 0.443), (22.4, 0.499), (24.8, 0.549)morate_ND55 = GRAPH(BA_ND55)(0.00, 0.00), (2.48, 0.0274), (4.97, 0.0547), (7.45, 0.0835), (9.94, 0.109), (12.4,0.138), (14.9, 0.166), (17.4, 0.189), (19.9, 0.219), (22.4, 0.245), (24.8, 0.271)Morate_ND65 = GRAPH(BA_ND65)(0.00, 0.00), (2.48, 0.0804), (4.97, 0.174), (7.45, 0.268), (9.94, 0.357), (12.4,0.451), (14.9, 0.545), (17.4, 0.625), (19.9, 0.728), (22.4, 0.804), (24.8, 0.893)UprateND35 = GRAPH(BA_ND35)(0.00, 0.0767), (2.48, 0.0626), (4.97, 0.0476), (7.45, 0.0364), (9.94, 0.0245),(12.4, 0.0176), (14.9, 0.0119), (17.4, 0.00838), (19.9, 0.00537), (22.4, 0.00176),(24.8, 0.00)Uprate_ND15 = GRAPH(BA_ND15)(0.00, 0.0694), (2.48, 0.0582), (4.97, 0.0477), (7.45, 0.0382), (9.94, 0.0298),(12.4, 0.0214), (14.9, 0.0151), (17.4, 0.0105), (19.9, 0.00666), (22.4, 0.0035),(24.8, 0.00)uprate_ND25 = GRAPH(BA_ND25)(0.00, 0.0883), (2.48, 0.0639), (4.97, 0.0471), (7.45, 0.0335), (9.94, 0.0227),(12.4, 0.0154), (14.9, 0.0104), (17.4, 0.00596), (19.9, 0.00245), (22.4, 0.00),(24.8, 0.00)Uprate_ND45 = GRAPH(BA_ND45)(0.00, 0.103), (2.48, 0.0909), (4.97, 0.0671), (7.45, 0.0522), (9.94, 0.0382), (12.4,0.0303), (14.9, 0.02), (17.4, 0.013), (19.9, 0.00792), (22.4, 0.0014), (24.8, 0.00)Up_rate_ND55 = GRAPH(BA_ND55)(0.00, 0.069), (2.48, 0.0542), (4.97, 0.0433), (7.45, 0.0334), (9.94, 0.0232), (12.4,0.0162), (14.9, 0.0102), (17.4, 0.00634), (19.9, 0.00352), (22.4, 0.00), (24.8, 0.00)
BiomND1 = (42.69-(12.8*(Diameter_ND15)+1.24*(Diameter_ND15)^2))/1000*Phn_ND15Biom_ND2 = (42.69-(12.8*(Diameter_ND25)+1.24*(Diameter_ND25)^2))/1000*Phn_ND25Biom_ND3 = (42.69-(12.8*(Diameter_ND35)+1.24*(Diameter_ND35)^2))/1000*Phn_ND35Biom_ND4 = (42.69-(12.8*(Diameter_ND45)+1.24*(Diameter_ND45)^2))/1000*Phn_ND45Biom_ND5 = (42.69-
108
(12.8*(Diameter_ND55)+1.24*(Diameter_ND55)^2))/1000*Phn_CNDBiom_ND6 = (42.69-(12.8*(Diameter_ND65)+1.24*(Diameter_ND65)^2))/1000*Phn_CNDCND_1 = BiomND1*0.5CND_2 = Biom_ND2*0.5CND_3 = Biom_ND3*0.5CND_4 = Biom_ND4*0.5CND_5 = Biom_ND5*0.5CND_6 = Biom_ND6*0.5C_tot_ND = (CND_1+CND_2+CND_3+CND_4+CND_5+CND_6)Diameter_ND15 = 0.145Diameter_ND25 = 0.245Diameter_ND35 = 0.345Diameter_ND45 = 0.445Diameter_ND55 = 0.545Diameter_ND65 = 0.645
C. Model Tegakan Non Komersil
Phn_NK15(t) = Phn_NK15(t - dt) + (Ing_NDK15 - Upg_NK15 - MortNK15) * dtINIT Phn_NK15 = 19
INFLOWS:Ing_NDK15 = Inrate_NK15*Phn_NK15OUTFLOWS:Upg_NK15 = Phn_NK15*Uprate_NK15MortNK15 = Phn_NK15*Efek_tebang_1+Phn_NK15*Morate_NK15Phn_NK25(t) = Phn_NK25(t - dt) + (Upg_NK15 - Upg_NK25 - Mort_NK25) * dtINIT Phn_NK25 = 23
INFLOWS:Upg_NK15 = Phn_NK15*Uprate_NK15OUTFLOWS:Upg_NK25 = Phn_NK25*uprate_NK25Mort_NK25 = Phn_NK25*Efek_tebang_2+Phn_NK25*morate_NK25Phn_NK35(t) = Phn_NK35(t - dt) + (Upg_NK25 - Upg_NK35 - Mort_NK35) * dtINIT Phn_NK35 = 7
INFLOWS:Upg_NK25 = Phn_NK25*uprate_NK25OUTFLOWS:Upg_NK35 = Phn_NK35*UprateNK35Mort_NK35 = Phn_NK35*Efek_tebang_3+Phn_NK35*Morate_NK35Phn_NK45(t) = Phn_NK45(t - dt) + (Upg_NK35 - Upg_NK45 - Mort_NK45 -Teb_NK45) * dtINIT Phn_NK45 = 1
INFLOWS:
109
Upg_NK35 = Phn_NK35*UprateNK35OUTFLOWS:Upg_NK45 = Phn_NK45*Uprate_NK45Mort_NK45 = Phn_NK45*Efek_tebang_6+Phn_NK45*Morate_NK45Teb_NK45 =IF(Tahun_3=Siklus_teb_3)THEN(Phn_NK45*Pers_teb_NK45)ELSE(0)Phn_NK55(t) = Phn_NK55(t - dt) + (Upg_NK45 - Upg_NK55 - Mort_NK55 -Teb_NK55) * dtINIT Phn_NK55 = 2
INFLOWS:Upg_NK45 = Phn_NK45*Uprate_NK45OUTFLOWS:Upg_NK55 = Phn_NK55*Up_rate_NK55Mort_NK55 = Phn_NK55*Efek_tebang_5+Phn_NK55*morate_NK55Teb_NK55 =IF(Tahun_3=Siklus_teb_3)THEN(Phn_NK55*Per_teb_NK55*0.8)ELSE(0)Phn_NK65(t) = Phn_NK65(t - dt) + (Upg_NK55 - Teb_NK65 - Mort_NK65) * dtINIT Phn_NK65 = 4
INFLOWS:Upg_NK55 = Phn_NK55*Up_rate_NK55OUTFLOWS:Teb_NK65 =IF(Tahun_3=Siklus_teb_3)THEN(Phn_NK65*Pers_teb_NK65*0.8)ELSE(0)Mort_NK65 = Phn_NK65*Efek_tebang_4+Phn_NK65*Morate_NK65Tahun_3(t) = Tahun_3(t - dt) + (In_3 - Out_3) * dtINIT Tahun_3 = 0
INFLOWS:In_3 = IF(TIME<Start_3)THEN(0)ELSE(1)OUTFLOWS:Out_3 = IF(Tahun_3=Siklus_teb_3)THEN(Tahun_3)ELSE(0)BA_NK15 = Phn_NK15*(3.14*15^2)/40000BA_NK25 = Phn_NK25*(3.14*25^2)/40000BA_NK35 = Phn_NK35*(3.14*35^2)/40000BA_NK45 = Phn_NK45*(3.14*45^2)/40000BA_NK55 = Phn_NK55*(3.14*55^2)/40000BA_NK65 = Phn_NK65*(3.14*65^2)/40000BA__NK =BA_NK15+BA_NK25+BA_NK35+BA_NK45+BA_NK55+BA_NK65Masak_tebang_NK = Phn_NK55+Phn_NK65N_NK =Phn_NK15+Phn_NK25+Phn_NK35+Phn_NK45+Phn_NK55+Phn_NK65Pers_teb_NK45 = 0Pers_teb_NK65 = 0Per_teb_NK55 = 0Phn_inti_NK = Phn_NK25+Phn_NK35+Phn_NK45
110
Siklus_teb_3 = 0Start_3 = 0Tot_Vol_NK = V_masak_tebang_NK*V_NK15+V_phn_Inti_NKV_masak_tebang_NK = V_NK55+V_NK65V_NK15 = (0.8*0.75*0.25*3.14*25*((0.145)^2))*Phn_NK15V_NK25 = (0.8*0.75*0.25*3.14*25*((0.245)^2))*Phn_NK25V_NK35 = (0.8*0.758*0.25*03.14*25*((0.345)^2))*Phn_NK35V_NK45 = (0.8*0.75*0.25*3.14*25*((0.445)^2))*Phn_NK45V_NK55 = (0.8*0.75*0.25*3.14*25*((0.545)^2))*Phn_NK55V_NK65 = (0.8*0.75*0.25*3.14*25*((0.645)^2))*Phn_NK65V_phn_Inti_NK = V_NK25+V_NK35+V_NK45Inrate_NK15 = GRAPH(BA_NK15)(0.00, 0.0296), (2.14, 0.0238), (4.28, 0.0188), (6.42, 0.0148), (8.56, 0.0117),(10.7, 0.00897), (12.8, 0.00598), (15.0, 0.00404), (17.1, 0.00179), (19.3,0.000897), (21.4, 0.00)Morate_NK15 = GRAPH(BA_NK15)(0.00, 0.00), (2.14, 0.00982), (4.28, 0.0192), (6.42, 0.0263), (8.56, 0.0353), (10.7,0.0447), (12.8, 0.054), (15.0, 0.0634), (17.1, 0.0728), (19.3, 0.0808), (21.4,0.0884)morate_NK25 = GRAPH(BA_NK25)(0.00, 0.00), (2.14, 0.00873), (4.28, 0.0175), (6.42, 0.0262), (8.56, 0.0354), (10.7,0.0441), (12.8, 0.0528), (15.0, 0.0615), (17.1, 0.0698), (19.3, 0.079), (21.4,0.0873)Morate_NK35 = GRAPH(BA_NK35)(0.00, 0.00), (2.14, 0.0115), (4.28, 0.0235), (6.42, 0.0344), (8.56, 0.0459), (10.7,0.058), (12.8, 0.0689), (15.0, 0.0804), (17.1, 0.0918), (19.3, 0.103), (21.4, 0.113)Morate_NK45 = GRAPH(BA_NK45)(0.00, 0.00), (2.14, 0.022), (4.28, 0.0489), (6.42, 0.0759), (8.56, 0.1), (10.7,0.125), (12.8, 0.146), (15.0, 0.173), (17.1, 0.196), (19.3, 0.218), (21.4, 0.243)morate_NK55 = GRAPH(BA_NK55)(0.00, 0.00), (2.14, 0.014), (4.28, 0.0315), (6.42, 0.0516), (8.56, 0.0682), (10.7,0.0875), (12.8, 0.104), (15.0, 0.123), (17.1, 0.139), (19.3, 0.159), (21.4, 0.175)Morate_NK65 = GRAPH(BA_NK65)(0.00, 0.00), (2.14, 0.00686), (4.28, 0.0131), (6.42, 0.019), (8.56, 0.025), (10.7,0.0315), (12.8, 0.0378), (15.0, 0.0443), (17.1, 0.0509), (19.3, 0.0568), (21.4,0.0621)UprateNK35 = GRAPH(BA_NK35)(0.00, 0.0721), (2.14, 0.0534), (4.28, 0.041), (6.42, 0.0315), (8.56, 0.0227), (10.7,0.015), (12.8, 0.00988), (15.0, 0.00512), (17.1, 0.00256), (19.3, 0.000366), (21.4,0.00)Uprate_NK15 = GRAPH(BA_NK15)(0.00, 0.0583), (2.14, 0.0468), (4.28, 0.0355), (6.42, 0.0272), (8.56, 0.0213),(10.7, 0.0154), (12.8, 0.0112), (15.0, 0.0077), (17.1, 0.00444), (19.3, 0.00178),(21.4, 0.00)uprate_NK25 = GRAPH(BA_NK25)(0.00, 0.0883), (2.14, 0.0639), (4.28, 0.0471), (6.42, 0.0335), (8.56, 0.0227),(10.7, 0.0154), (12.8, 0.0104), (15.0, 0.00596), (17.1, 0.00245), (19.3, 0.00),(21.4, 0.00)
111
Uprate_NK45 = GRAPH(BA_NK45)(0.00, 0.0933), (2.14, 0.0708), (4.28, 0.0497), (6.42, 0.0333), (8.56, 0.0234),(10.7, 0.0169), (12.8, 0.0117), (15.0, 0.0075), (17.1, 0.00141), (19.3, 0.00), (21.4,0.00)Up_rate_NK55 = GRAPH(BA_NK55)(0.00, 0.0493), (2.14, 0.039), (4.28, 0.0315), (6.42, 0.0233), (8.56, 0.0163), (10.7,0.0105), (12.8, 0.00625), (15.0, 0.0035), (17.1, 0.00175), (19.3, 0.00), (21.4, 0.00)
BiomassaNK1 = (42.69-(12.8*(Diameter_NK15)+1.24*(Diameter_NK15)^2))BiomassaNK2 = (42.69-(12.8*(Diameter_NK25)+1.24*(Diameter_NK25)^2))BiomassaNK3 = (42.69-(12.8*(Diameter_NK35)+1.24*(Diameter_NK35)^2))BiomassaNK4 = (42.69-(12.8*(Diameter_NK45)+1.24*(Diameter_NK45)^2))BiomassaNK5 = (42.69-(12.8*(Diameter_NK55)+1.24*(Diameter_NK55)^2))BiomassaNK6 = (42.69-(12.8*(Diameter_NK65)+1.24*(Diameter_NK65)^2))C_NK = (C_NK1+C_NK2+C_NK3+C_NK4+C_NK5+C_NK6)C_NK1 = (Phn_NK15*BiomassaNK1*0.5)/1000C_NK2 = (Phn_NK25*BiomassaNK2*0.5)/1000C_NK3 = (Phn_NK35*BiomassaNK3*0.5)/1000C_NK4 = (Phn_NK45*BiomassaNK4*0.5)/1000C_NK5 = (Phn_CNK*BiomassaNK5*0.5)/1000C_NK6 = (Phn_CNK*BiomassaNK6*0.5)/1000Diameter_NK15 = 0.145Diameter_NK25 = 0.245Diameter_NK35 = 0.345Diameter_NK45 = 0.445Diameter_NK55 = 0.545Diameter_NK65 = 0.645
D. Model Tegakan Total
BA_Tot = BA__D+BA__ND+BA__NKBD25 = Ph_D25*(1/4*3.14*(0.245)^2)BD35 = Ph_D35*(1/4*3.14*(0.345)^2)BD45 = Ph_D45*(1/4*3.14*(0.445)^2)BD55 = Ph_D55*(1/4*3.14*(0.545)^2)BD65 = Ph_D65*(1/4*3.14*(0.645)^2)BD_15 = Ph_D15*(1/4*3.14*(0.145)^2)BNK_15 = Ph_NK15*(3.14*15^2)/40000BNK_25 = Ph_NK25*(3.14*25^2)/40000BNK_35 = Ph_NK35*(3.14*35^2)/40000BNK_45 = Ph_NK45*(3.14*45^2)/40000BNK_55 = Ph_NK55*(3.14*55^2)/40000BNK_65 = Ph_NK65*(3.14*655^2)/40000BtotD = BD_15+BD25+BD35+BD45+BD55+BD65Btot_ND = B_ND15+B_ND25+B_ND35+B_ND45+B_ND55+B_ND65Btot_NK = BNK_15+BNK_25+BNK_35+BNK_45+BNK_55+BNK_65B_ND15 = PhND15*(1/4*3.14*0.145^2)
112
B_ND25 = Ph_ND25*(1/4*3.14*0.245^2)B_ND35 = PhND35*(1/4*3.14*0.345^2)B_ND45 = Ph_ND45*(1/4*3.14*0.445^2)B_ND55 = Ph_ND55*(1/4*3.14*0.545^2)B_ND65 = Ph_ND65*(1/4*3.14*0.645^2)Masak_tebang_Kom = Masak_tebDip+Masak_teb_NDMask_teb_kom_masy = Masak_tebDip+Masak_teb_NDN_Total = N_D+N_ND+N_NKPhn_Inti_Kom = PhnInti_D+Phn_IntiNDTebang_D = Tebang_D45+Tebang_D55+Tebang_D65Tebang_D45 = 1Tebang_D55 = 1Tebang_D65 = 1Tebang_ND = Tebang_ND45+Tebang_ND55+Tebang_ND65Tebang_ND45 = 1Tebang_ND55 = 1Tebang_ND65 = 1Tot_BA = BtotD+Btot_ND+Btot_NKTot_Tebang =IF(TIME=0)THEN(Tebang_D45+Tebang_ND45+Tebang_D55+Tebang_D65+Tebang_ND65+Tebang_ND55)ELSE(0)Vol_Kom = Tot_Vol_ND+Tot_Vol_DipV_masak_tebang_Kom = (V_masak_tebang_ND+V__Masak_teb_Dip)V_Phn_Inti_Kom = V_Phn_Inti_Dip+V_Phn_Inti_NDEfek_tebang_1 = GRAPH(Tot_Tebang)(0.00, 0.00), (1.70, 0.00), (3.40, 0.129), (5.10, 0.182), (6.80, 0.232), (8.50, 0.273),(10.2, 0.299), (11.9, 0.317), (13.6, 0.338), (15.3, 0.347), (17.0, 0.354)Efek_tebang_2 = GRAPH(Tot_Tebang)(0.00, 0.0159), (1.70, 0.11), (3.40, 0.174), (5.10, 0.218), (6.80, 0.252), (8.50,0.276), (10.2, 0.294), (11.9, 0.314), (13.6, 0.329), (15.3, 0.349), (17.0, 0.354)Efek_tebang_3 = GRAPH(Tot_Tebang)(0.00, 0.0254), (0.6, 0.0602), (1.20, 0.0814), (1.80, 0.11), (2.40, 0.124), (3.00,0.138), (3.60, 0.154), (4.20, 0.17), (4.80, 0.186), (5.40, 0.201), (6.00, 0.211)
Efek_tebang_4 = GRAPH(Tot_Tebang)(0.00, 0.00211), (0.6, 0.0518), (1.20, 0.0983), (1.80, 0.126), (2.40, 0.149), (3.00,0.165), (3.60, 0.182), (4.20, 0.19), (4.80, 0.199), (5.40, 0.206), (6.00, 0.21)Efek_tebang_5 = GRAPH(Tot_Tebang)(0.00, 0.00), (0.2, 0.0174), (0.4, 0.038), (0.6, 0.054), (0.8, 0.0634), (1.00, 0.0685),(1.20, 0.0737), (1.40, 0.079), (1.60, 0.0855), (1.80, 0.0893), (2.00, 0.094)Efek_tebang_6 = GRAPH(Tot_Tebang)(0.00, 0.00), (0.2, 0.0117), (0.4, 0.0272), (0.6, 0.0418), (0.8, 0.0535), (1.00,0.0624), (1.20, 0.07), (1.40, 0.0775), (1.60, 0.084), (1.80, 0.0892), (2.00, 0.0916)
E. Model Pengembalian ekonomi
Areal_produktif(t) = Areal_produktif(t - dt)INIT Areal_produktif = 6840
113
LEV_B(t) = LEV_B(t - dt) + (Lev_Benefit) * dtINIT LEV_B = 0
INFLOWS:Lev_Benefit = FV_Benefit*Discount1LEV_C(t) = LEV_C(t - dt) + (Lev_cost) * dtINIT LEV_C = 0
INFLOWS:Lev_cost = (Discount1*FV_Cost)+EPV_Benefit1(t) = PV_Benefit1(t - dt) + (PV_Benefit) * dtINIT PV_Benefit1 = 0
INFLOWS:PV_Benefit = Penerimaan_perusahaan*DiscountPV_Cost1(t) = PV_Cost1(t - dt) + (PV_Cost) * dtINIT PV_Cost1 = 0
INFLOWS:PV_Cost =(Biaya_BinHut+Biaya_perencanaan+Biaya_tahunan+Kewajiban_tdh_Ngr+Tot_Biaya_PHH+Kewajiban_trhp_lingkungan)*DiscountAEV = NPV1*((Interest*(1+Interest)^Siklus)/(((1+Interest)^(Siklus))-1))BCR = IF(TIME=Siklus)THEN(PV_Benefit1/PV_Cost1)ELSE(0)Compounding = ((1+Interest)^(Siklus-TIME))Discount = 1/(1+Interest)^TIMEDiscount1 = 1/((1+Interest)^(Siklus)-1)E = IF(TIME=Siklus)THEN(Biaya_tahunan)/Interest ELSE(0)Fluktuasi_harga = RANDOM(0.05,0.15,15)FV_Benefit = DELAY(Compounding*Penerimaan_perusahaan,STOPTIME-4)FV_Cost =(Biaya_BinHut+Biaya_perencanaan+Biaya_tahunan+Kewajiban_tdh_Ngr+Tot_Biaya_PHH+Kewajiban_trhp_lingkungan)*CompoundingHarga_D = Harga_D_kini+(Fluktuasi_harga*Harga_D_kini*Tahun_berjalan)Harga_D_kini = 600000Harga_ND =Harga_ND_kini+(Fluktuasi_harga*Harga_ND_kini*Tahun_berjalan)Harga_ND_kini = 500000Harga_rataND = Harga_ND_kini+(0.1*Harga_ND_kini*Tahun_berjalan)Harga_rata_D = Harga_D_kini+(0.1*Harga_D_kini*Tahun_berjalan)IHPH = StnIHPHInterest = .40Kewajiban_tdh_Ngr =IHPH+PBB+Pengeluaran_DR+Pengeluaran_PSDH+Pengeluaran_PPhKisaran_perubahan_harga_D = 0.05*Harga_D_kini*Tahun_berjalanKisaran_perubahan_harga_ND = 0.05*Harga_ND_kini*Tahun_berjalanLEV = (LEV_B-LEV_C)NPV1 = PV_Benefit1-PV_Cost1
114
PBB = StnPBBPenerimaan_perusahaan = Rev_ND+Rev_DPengeluaran_DR = 368113Pengeluaran_PPh = IF(TIME=3)AND((Penerimaan_perusahaan-Tot_Biaya_PHH-Biaya_tahunan)>=1)THEN(PPh*(Penerimaan_perusahaan-Tot_Biaya_PHH-Biaya_tahunan))ELSE(0)Pengeluaran_PSDH = 123651PPh = IF(Penerimaan_perusahaan-Tot_Biaya_PHH<=1000000)THEN(0.15)ELSEIF(10000000<Penerimaan_perusahaan-Tot_Biaya_PHH<50000000)THEN(0.25)ELSE IF(Penerimaan_perusahaan-Tot_Biaya_PHH>=50000000)THEN(0.35)ELSE(0.35)Rev_D = Harga_D*Vol_DRev_ND = Harga_ND*Vol_NDSiklus = STOPTIME-30StnIHPH = 1500*Areal_produktifStnPBB = 1600*Areal_produktifTahun_berjalan = TIMEVol_D = (0.8*0.75*0.25*3.14*25*(((.545+0.645)/2)^2))*Masak_tebDipVol_ND = (0.8*0.75*0.25*3.14*25*(((0.545+0.645)/2^2)))*Masak_teb_ND
F. Sub Model Biaya Produksi
administrasi_dan_umum = 424976Alat_berat = 8391Alat_kantor = 3633Bangunan = 2656Biaya_BinHut =ITT+Pemeliharaan_tan_pengayaan+Pengadaan_bibit+Pengayaan+PerapihanBiaya_Pemanenan_Htn = Penebangan_kayu+Penyaradan+TPKBiaya_Pemasaran = Muat_bongkar+Pengangkutan+PengapalanBiaya_perencanaan = ITSP+PAK+PWHBiaya_tahunan =administrasi_dan_umum+Inven_mess+Pembtn_pemeli_jln_+PMDH+Perlindungan_htan_sungai+PenyusutanInven_mess = 358ITSP = IF(TIME=1)THEN(15695)ELSE(0)ITT = IF(TIME=5)THEN(4556)ELSE(0)jalan_dan_jembatan = 110398Kegiatan_Konservasi = 1553Kewajiban_trhp_lingkungan = Kegiatan_Konservasi+KompensasiKompensasi = 95284Muat_bongkar = 50145PAK = IF(TIME=0)THEN(15857)ELSE(0)Pembtn_pemeli_jln_ = 21900Pemeliharaan_tan_pengayaan = IF(TIME=6)THEN(15831)ELSEIF(TIME=7)THEN(15831)ELSE IF(TIME=8)THEN(15831)ELSE(0)Penebangan_kayu = 38344Pengadaan_bibit = IF(TIME=5)THEN(7100)ELSE(0)
115
Pengangkutan = 76400Pengapalan = 8892Pengayaan = IF(TIME=6)THEN(2402)ELSE(0)Penyaradan = 222988Penyusutan = Alat_berat+Alat_kantor+Bangunan+jalan_dan_jembatanPerapihan = IF(TIME=4)THEN(35865)ELSE(0)Perlindungan_htan_sungai = 889PMDH = 2210PWH = IF(TIME=2)THEN(3828)ELSE(0)Total_Biaya =Biaya_perencanaan+Biaya_BinHut+Biaya_tahunan+Tot_Biaya_PHH+Kewajiban_tdh_Ngr+Kewajiban_trhp_lingkungan+Biaya_PemasaranTot_Biaya_PHH =IF(TIME=3)THEN(Biaya_Pemanenan_Htn*V_masak_tebang_Kom)ELSE(0)TPK = 42757
G. Sub Model Penerimaan Masyarakat Adat
Basecamp = 0.05*TotKompensasiBiaya_angkutan = 100000Biaya_pengolahan = 200000Investasi = IF(TIME=0)THEN(10000000)ELSE(0)Jalan = 0.05*TotKompensasiJumlah_penerima = RANDOM(35,150)KompKayu_indah = Pers_std_kayu_indah*rataVolkyindahKomp_merbau = Perubahan_Std_merbau*rataVolmerbauKomp_nonmerbau = Perubahan_std_Nonmerbau*rataVolNonmerbauLoading_point = 0.05*TotKompensasiLogyard = 0.08*TotKompensasiMaterial = 0.05*TotKompensasiPembinaan = 0.07*TotKompensasiPemilik_hak_ulayat = 0.65*TotKompensasiPemilik_kayu =PULSE(Pendapatant_tebang_milik*Pers_pendapatan_pemilik,1,1)Pendapatant_tebang_milik = Penerimaan-Tot_biayaPenebang_kayu = PULSE(Persen_pendapatan*Pendapatant_tebang_milik,1,1)Penerimaan = Vol_produksi*Perubahan_harga_kayuPenerimaan_kompensasi =Basecamp+Jalan+Loading_point+Material+Logyard+Pembinaan+Pemilik_hak_ulayat/Jumlah_penerimaPersen_pendapatan = 0.80Persen_perbhn_standar_kompensasi = 0Persn_prbhn_hrga = 0Pers_pendapatan_pemilik = 0.20Pers_std_kayu_indah =(Standkayu_indah+((Standkayu_indah*Persen_perbhn_standar_kompensasi)/100))Perubahan_harga_kayu = rata_hrga_kayu+((rata_hrga_kayu*Persn_prbhn_hrga))Perubahan_Std_merbau =
116
Stadnkomp_merbau+((Stadnkomp_merbau*Persen_perbhn_standar_kompensasi/100))Perubahan_std_Nonmerbau =Stadnkomp_nonmerbau+((Stadnkomp_nonmerbau*Persen_perbhn_standar_kompensasi/100))rataVolkyindah = 0.01*Vol_produksirataVolmerbau = 0.60*Vol_produksirataVolNonmerbau = 0.39*Vol_produksirata_biaya_pikul = 50000rata_biaya_tahunan = Biaya_angkutan+Biaya_pengolahan+rata_biaya_pikulrata_hrga_kayu = 1500000Stadnkomp_merbau = 50000Stadnkomp_nonmerbau = 10000Standkayu_indah = 100000TotKompensasi = KompKayu_indah+Komp_merbau+Komp_nonmerbauTot_biaya = Investasi+rata_biaya_tahunanVol_produksi = (V_masak_tebang_ND+V__Masak_teb_Dip)
H. Sub Model REDD
PV_Benefit_C(t) = PV_Benefit_C(t - dt) + (PV_BENFIT_C) * dtINITPV_Benefit_C = 0INFLOWS:PV_BENFIT_C = DISCOUNT__C*Pemasukan_CPV_COST__C(t) = PV_COST__C(t - dt) + (PV_COST_C) * dtINITPV_COST__C = 0INFLOWS:PV_COST_C = (Biaya_transaksi)*DISCOUNT__CBiaya_transaksi = 27000*(C_NK+C_tot_ND+C_total_Dip)DISCOUNT__C = 1/(1+Interest)^TIME-STARTTIMEHarga_C = 47500NPV_C = PV_Benefit_C-PV_COST__CPemasukan_C = (C_total_Dip+C_tot_ND+C_NK)*Harga_C
117
Lampiran 4 Representasi model dinamika tegakan total
118
Lampiran 5. Hasil simulasi nilai NPV. LEV, BCR dan IRR pada berbagaiperubahan suku bunga
Perubahan Suku Bunga (%)SiklusTebang
Kriteria
10 18 26 34 41
NPV(Rp/ha)LEV(Rp/ha) 136 047 398 128 568 121 119 067 870 110 268 992
BCR 1.59 1.32 1.15 1.05
20
IRR (%) 0.41NPV(Rp/ha) 151 377 129 74 305 938 43 779 942 29 356 741
LEV(Rp/ha) 142 311 793 138 490 652 133 750 812 131 167 646
BCR 1.83 1.40 1.18 1.06
30
IRR (%) 0.41NPV(Rp/ha) 175 802 946 81 159 375 46 426 655 30 632 126
LEV(Rp/ha) 267 230 952 258 603 324 248 076 821 241 882 757
BCR 1.95 1.42 1.18 1.06
35
IRR (%) 0.41NPV(Rp/ha) 198 472 379 86 679 401 48 451 341 31 593 495
LEV(Rp/ha) 311 672 393 302 998 448 292 839 381 289 319 144
BCR 2.07 1.43 1.18 1.06
40
IRR (%) 0.41
119
Lampiran 6 Representasi sub model biaya produksi