model strategi kebudayaan dalam pemberantasan korupsi di
TRANSCRIPT
. ISSN: 2088-6241 [Halaman 22 – 45] .
Jurnal Review Politik Volume 05, Nomor 01, Juni 2015
MODEL STRATEGI KEBUDAYAAN DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA
Listiyono Santoso dan Dewi Meyrasyawati
Universitas Airlangga
[email protected], [email protected]
Abstract
This study attempts to create a cultural strategy to eradicate
corruption in Indonesia. Various obstacles to eradicate the culture of
corruption in Indonesia along with descriptions of cultural conditions
which encourage corruption were easily found. Using a descriptive
analytical technique this study tries to reveal corruptive behavior and
its scope as well as find a variety of cultural problems. Massive
corruption in Indonesia seems to draw us a conclusion that corruption
has been the culture of our nation. As a cultural problem, corruption
should be carefully addressed within the context of culture. Therefore,
a firm model of anti-corruption education, which put emphasis on
cultural mentality and formation of anti-corruption behavior for
society, is urgently required. Such education should integrate within
itself anti-corruption values, which put and see corruption as a
common enemy for all. Education as such is expected to form a positive
attitude and anti-corruption behavior.
Key Words: Corruption, mentality, cultural strategy, and education
Abstrak
Penelitian ini bertujuan membuat strategi kebudayaan untuk
memberantas korupsi di Indonesia. Berbagai kendala budaya korupsi
di Indonesia yang telah ditemukan. Penelitian ini menggunakan
teknik analisis deskriptif untuk mengungkapkan perilaku korupsi,
serta menemukan berbagai masalah budaya. Bagaimana korupsi
besar-besaran di Indonesia tampaknya memberikan kesimpulan
bahwa korupsi telah menjadi budaya bangsa kita. Sebagai masalah
budaya, maka korupsi juga perlu dipahami dalam konteks budaya.
Oleh sebab itu, dibutuhkan model pendidikan anti korupsi
menyangkut perspektif mentalitas budaya dan pembentukan perilaku
anti-korupsi di masyarakat kita.
Kata Kunci: Korupsi, mentalitas, strategi budaya, dan pendidikan
Listiyono Santoso, DewiMeyrasyawati
23 Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
Pendahuluan
Masifnya korupsi di Indonesia ditengarai telah menjadi
ancaman serius bagi kehidupan kebangsaan. Korupsi telah
meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan ber-
negara, karena kepentingan publik yang seharusnya dibiayai
oleh negara, ternyata harus terhambat karena dikorupsi oleh
pengelola negara. Korupsi tidak hanya mengakibatkan keru-
gian keuangan negara, melainkan kian menyulitkan negara
menjalankan pembangunan nasional di berbagai bidang. Kian
hari, korupsi seolah tidak berkurang. Hampir setiap hari di
berbagai media massa selalu saja muncul pemberitaan terkait
penyelewengan keuangan negara tersebut.
Masifnya korupsi, seolah mengindikasikan bahwa korupsi
telah menjadi bagian buruk dalam perilaku pengelolaan penye-
lenggaraan negara di Indonesia. Hampir tidak pernah ada
unsur birokrasi di negara ini yang steril dari penyelewengan.
Tiap kewenangan pengelolaan keuangan negara seperti harus
berakhir dengan penyelewengan. Tidak heran jika Kompas (5
Desember 2012) melansir temuan bahwa institusi maupun
perorangan yang mengkorupsi uang negara sepanjang 2004
sampai 2012 lebih banyak didominasi oleh kalangan birokrasi,
meskipun tidak dipungkiri kalangan swasta dan partai politik
juga punya kecenderungan melakukan korupsi.
Ibarat penyakit, korupsi di Indonesia telah berkembang
dalam tiga (3) tahap, yaitu elitis, endemik, dan sistemik. Pada
tahap elitis, korupsi menjadi patologi sosial yang khas di
lingkungan para elit atau pejabat. Pada tahap endemik, korup-
si mewabah menjangkau lapisan masyarakat luas. Diakhiri
dengan tahap kritis menjadi sistemik, ketika setiap individu di
dalam sistem terjangkiti penyakit serupa. Penyakit korupsi di
bangsa ini banyak pihak menyebut sebagai tahap paling kritis,
karena hampir setiap bidang organisasi pemerintahan tidak
bisa steril dari perilaku korupsi (Djaya, 2010: 28).
Korupsi sebagai perilaku penyimpangan kekuasaan berpo-
tensi dilakukan oleh siapa saja, termasuk birokrasi yang seha-
Strategi Kebudayaan dalam Pemberantasan Korupsi
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
24
rusnya menjadi penjaga gawang bagi diberlakukannya sema-
ngat anti korupsi pun hingga para penegak hukum. Hal ini
menunjukkan betapa korupsi tidak saja menjadi persoalan
hukum, melainkan juga merupakan persoalan mentalitas kebu-
dayaan. Artinya, orang yang sangat mengerti dan paham
tentang hukum pun dapat terjerat kasus korupsi, apalagi yang
lain. Jika demikian, korupsi bukanlah sekedar persoalan
hukum dan hanya bisa didekati dari aspek hukum semata,
melainkan juga aspek lain yang melingkupinya. Aspek hukum
hanyalah melihat korupsi sebagai problem yuridis semata
dengan melihat perilaku dari sudut pandang hukum. Bahwa
korupsi merupakan kasus hukum memang tidak bisa dipung-
kiri, tapi semata melihat korupsi hanya dalam perspektif
hukum semata jelas menyederhanakan persoalan.
Menjelaskan korupsi hanya sebagai fenomena hukum bela-
ka, cenderung menyederhanakan kompleksitas korupsi, apalagi
yang melanda pengelolaan kekuasaan di Indonesia. Sejarah
panjang korupsi di Indonesia, terutama sejak diberlakukannya
sistem pemerintahan modern yang di dalamnya mulai menge-
nal adanya pembagian kekuasaan dan kepemilikan. Proses
pembagian kekuasaan dan kepemilikan ini berimplikasi pada
batas-batas fasilitas yang sudah diatur sedemikian rupa terkait
dengan pengelolaan kewenangan. Transisi sistem kekuasaan
yang demikian ternyata tidak mampu mengubah sistem kebu-
dayaan yang selama ini melembaga. Birokrasi modern tidak
serta merta menggeser sistem kebudayaan yang berakar dalam
tradisi. Birokrasi modern yang seharusnya menjadi garda
terdepan dalam pelayanan publik yang anti pemberantasan
korupsi, justru memiliki kecenderungan kuat untuk melakukan
penyalahgunaan kekuasaan.
Korupsi selalu banyak terjadi dalam lingkungan birokrasi.
Tidak saja karena adanya kecenderungan hasrat pribadi,
melainkan juga adanya konstruksi mentalitas yang turut mem-
bangun keinginan seseorang melakukan korupsi dari fasilitas
atau akses kekuasaan yang dimilikinya. Menurut Haryatmoko
Listiyono Santoso, DewiMeyrasyawati
25 Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
(2004: 123) korupsi secara sederhana dipahami sebagai upaya
menggunakan kemampuan, campur tangan karena posisinya
untuk menyalahgunakan informasi, keputusan, pengaruh,
uang atau kekayaan untuk kepentingan keuntungan dirinya.
Karenanya, wajar jika disebut bahwa setiap korupsi tidak bisa
dipisahkan dari interaksi dengan kekuasaan. Orang yang
terjun di dunia politik masih dengan mentalitas animal
laborans (Hannah Arendt, 1958) yang orientasi kebutuhan
hidup dan obsesi akan siklus produksi-konsumsi masih sangat
dominan, yang akhirnya menjadi politik kekuasaan dan atau
birokrasi sebagai tempat mata pencarian utama. Dalam posisi
demikian, sindrom yang akhirnya menyertai adalah korupsi.
Artikel ini lebih diorientasikan pada konstruksi korupsi
dalam perspektif kebudayaan, terutama menyangkut problem
kultural yang melingkupi terjadinya perilaku korupsi sekaligus
pemberantasannya yang kemudian diharapkan dapat
menciptakan strategi kebudayaan dalam pemberantasan
korupsi. Namun demikian, penelitian ini sesungguhnya tidak
hanya terfokus pada individu an sich, melainkan melihat
berbagai perilaku korupsi dalam perspektif kebudayaan. Fokus
yang hendak diungkapkan adalah kondisi kebudayaan terwu-
jud dalam aktivitas berpola manusia yang mendorong
terjadinya perilaku korupsi. Sebagai penelitian lapangan yang
pendekatan lebih bersifat diskriptif naratif, karena didasarkan
pada kemampuan melakukan konklusi dari berbagai peristiwa
korupsi, sekaligus pengalaman pelaku korupsi yang memben-
tuk habituasi korupsi. Sumber informasi data didapatkan dari
wawancara dan observasi kepada para expert dalam bidang
perilaku korupsi, disertai dengan kroscek kepada pelaku
korupsi dan lingkup sosial mereka.
Menelusuri Akar Sejarah Korupsi di Indonesia
Onghokham dalam Mochtar Lubis dan James C. Scot
(1985:115-116) mengatakan bahwa korupsi adalah satu gejala
sosial dan politik dalam sejarah dan masa kini. Dalam tulisan
tersebut Onghokham mengungkapkan tentang sumber-sumber
Strategi Kebudayaan dalam Pemberantasan Korupsi
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
26
tradisional dari gejala korupsi di Indonesia yang bermula dari
ketika adanya pemisahan antara kepentingan pribadi dengan
kepentingan publik. Pada masa kerajaan, korupsi memang
tidak dikenal, karena saat itu belum ada pemisahan secara
jelas antara kepemilikan privat dengan kepemilikan publik.
Raja sebagai pemimpin tradisional kerajaan menganggap
bahwa keseluruhan sumberdaya dalam wilayahnya adalah
milik raja sebagai pribadi. Semua penghasilan kerajaan
menjadi bagian dari kepemilikan pribadi.
Korupsi baru diketahui ketika sistem pemerintahan modern
mulai dikenal, ketika kolonialisme Belanda mulai memisahkan
antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum. Dalam
sistem tersebut, sudah mulai dikenal istilah pejabat sebagai
orang yang diberi wewenang (otoritas/kekuasaan), karena
dipercaya umum, dan penyalahgunaan darinya adalah
pengkhianatan terhadap kepercayaan umum yang diberikan
kepadanya. Korupsi kemudian menjadi istilah yang
menyertainya. Korupsi muncul dari penyalahgunaan kewena-
ngan (abuse of power) yang berakibat pada kerugian kepen-
tingan umum atau negara. Korupsi dalam konteks ini dapat
berupa penyelewengan keuangan negara, pemerasan atau
pungutan liar, suap, hingga menarik keuntungan dari
kewenangan.
Pemisahan kepemilikan pribadi dengan kepemilikan umum
dalam masa-masa transisional tersebut menciptakan perilaku
korup pada pengelola kewenangan atau pejabat. Hal ini bisa
dimengerti karena meskipun sistem pemerintahan dikelola
dengan logika birokrasi modern, tetapi karena sistem kebuda-
yaan yang melingkupinya masih bersifat feodalis-patrimonial,
maka birokrasi tetap menjadi alat pengalihan kekuasaan
kewenangan dengan wajah modern saja.
Pengaruh kehidupan feodalistik-patrimonial yang melem-
baga cukup lama dalam kenyataannya tidak bisa hilang dalam
ruang batin masyarakat Indonesia. Tata kelola kewenangan
kekuasaan dengan prinsip kerja modern pun tak mampu meng-
Listiyono Santoso, DewiMeyrasyawati
27 Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
geser sifat patrimonial di dalamnya. Wajah modernitas biro-
krasi dengan langgam tradisional begitu kukuh dalam penge-
lolaan kewenangan. Tidak heran jika mengapa isu korupsi,
kolusi dan nepotisme adalah trending topic yang tidak pernah
selesai dan selalu muncul ke permukaan dalam berbagai
peristiwa penyelewengan kekuasaan. Sebagai bangsa dengan
kultur patrimonial (baca: paternalistik) yang kuat, unsur-unsur
kekerabatan hampir tidak pernah bisa dilepaskan dalam
hampir semua pengelolaan kekuasaan. Hal yang menarik ada-
lah bahwa sistem kekerabatan di Indonesia tidak bersifat
tunggal, melainkan ia bisa saja melibatkan keluarga „batih‟
atau keluarga besar yang tidak melulu berarti ayah-ibu dan
anak. Prinsip “keluarga batih” itu mengartikan bahwa hubu-
ngan kekerabatan itu bisa dirunut secara geneologis dalam
konsep „trah‟ (dalam tradisi Jawa), yakni sebuah hubungan
darah meskipun tidak harus sekandung.
Dengan perspektif di atas, jelas bahwa korupsi dalam ke-
nyataannya tidak bisa dilepaskan dalam konteks alam kultural
masyarakat dalam memahami kepemilikan pribadi maupun
kepemilikan publik. Transisi demokrasi terkait dengan refor-
masi birokrasi akhirnya belum mampu mengubah watak
mentalitas birokrasi dan juga masyarakat dalam memahami
kepemilikan publik. Tidak itu saja, perspektif publik tentang
kekuasaan lebih berorientasi kepada kepemilikan kewenangan
penuh atas kekuasaan tersebut. Orientasi inilah yang
kemudian memiliki kecenderungan bagi terjadinya
penyelewengan pengelolaan kekuasaan.
Tidak berlebihan jika setiap kekuasaan di negeri ini, selalu
berpotensi melahirkan koruptor. Korupsi –akhirnya- berkem-
bang sebagai masalah kebudayaan. Meskipun demikian pen-
tingnya korupsi dalam perspektif kebudayaan, tetapi pende-
katan ini belum memperoleh tempat tempat penting dalam
kajian keilmuan di Indonesia, meskipun sesungguhnya membe-
rikan pengaruh penting bagi perjalanan masa depan bangsa
ini.
Strategi Kebudayaan dalam Pemberantasan Korupsi
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
28
Menurut Said dan Nizar Suhendra sebagaimana dikutip
Siswanto (2011: 2) setidaknya ada dua hal yang membuat
korupsi tidak memperoleh tempat dalam kajian keilmuan,
terutama kajian kebudayaan, pertama, korupsi masih dipan-
dang sebagai masalah mikro yang dampaknya dianggap kurang
signifikan bagi tumbuhnya suatu bangsa. Korupsi seolah hanya
berkaitan dengan problema ekonomi yang kemudian masuk
dalam wilayah hukum, padahal perilaku korupsi adalah
mewujudkan cacat moral yang dialami oleh pelakunya. Jika
korupsi begitu masif di segala bidang, maka kecacatan moral
tersebut juga menunjukkan kecacatan moral bangsa ini, kedua,
sistem berpikir bangsa ini sudah menempatkan soal korupsi se-
bagai kondisi yang sudah dimaklumi, karena begitu dominan-
nya perbuatan korupsi melingkupi kehidupan ini sehari-hari.
Sebagian besar rakyat Indonesia agaknya tidak terganggu lagi
oleh masalah korupsi, karena kegiatan kesehariannya berada
di tengah lingkungan yang serba korup.
Mengacu pada perspektif demikian, seolah membenarkan
sinyalemen Magnis Suseno (2003) di atas tentang kultur
kepura-puraan warga masyarakat terhadap perilaku menyim-
pang warga lainnya terkait dengan kepemilikan harta benda.
Artinya, warga masyarakat dalam kultur pembiaran (ommision
culture) memiliki kecenderungan untuk membiarkan berbagai
praktek ketidakjujuran dalam memperoleh harta benda, karena
menghindari disharmonisasi sosial dan agar terlepas dari
anggapan perusak tatanan. Dalam sistem kutlural yang demi-
kian, maka keinginan seseorang membuka praktik penyim-
pangan perilaku ekonomi justru berakibat ‟fatal‟ bagi kehidu-
pan sosialnya. Itulah sebabnya, mengapa para peniup peluit
(whistle blower) berbagai perilaku korup justru menjadikan
mereka sebagai ‟pesakitan‟ dan ‟terpidana‟. Seolah dalam
struktur kebudayaan yang demikian, seorang yang seharusnya
menjadi ‟pahlawan‟ pemberantasan korupsi berakhir menjadi
‟pecundang‟.
Listiyono Santoso, DewiMeyrasyawati
29 Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
Korupsi dikatakan sebagai warisan budaya dan buah dari
budaya patrimonial akar-akarnya sudah ditemukan dalam
kerajaan dan masyarakat tradisional Indonesia. Onghokham
(1986: 6) mengatakan bahwa di dalam kerajaan tradisional,
tidak ada perbedaan antara kekayaan pribadi dan kekayaan
„umum‟. Antara kekayaan milik keluarga kerajaan atau
kekayaan milik negara. Kekayaan dalam kultur demikian
seringkali dijadikan alat untuk „membeli‟ loyalitas para pejabat
penting, panglima dan bupati maupun para elite lainnya. Dana
politik biasanya merupakan bagian dari kekayaan ini dan
kekayaan itu harus digunakan untuk menjaga stabilitas
kedudukan. Dengan kata lain, kekayaan raja dan elit politik
adalah bagian dari pembiayaan struktur politik dan ekonomi.
Dalam konteks ini maka dinamika struktur politik dan sosial
tradisional berada dalam dominasi feodalisme (Siswanto, 2011:
20).
Nalar feodalisme dan kultur patrimonial telah menjadi
bagian tidak terpisahkan dalam dinamika sosial masyarakat di
Indonesia sampai sekarang. Dominasi sistem kebudayaan yang
demikian telah membentuk solidaritas sosial yang cukup kuat,
meskipun juga termasuk kepada hal-hal yang dianggap me-
langgar hukum, termasuk di dalamnya korupsi. Solidaritas dan
soliditas sosial pelaku korupsi yang bersifat massal memberi-
kan implikasi begitu kompleks dan rumit pada upaya
pemberantasan korupsi. Tampaknya benar jika disebutkan
bahwa meskipun sistem dalam birokrasi sudah menjadi
modern, tetapi kalau cara berpikir dan sistem sosialnya masih
kental dengan nuansa patrimonial, niscaya pemberantasan
korupsi selalu terkendala pada mentalitas kebudayaan yang
ada. Begitu pula, meskipun, berbagai upaya pemberantasan
korupsi begitu gencar dilakukan hingga dengan pendekatan
moral berupa kampanye melalui leaflet dan pendidikan anti
korupsi, tetapi ketika kultur patrimonial masih dominan, maka
upaya tersebut seperti pesan untuk dilupakan. Ada ruang batin
yang masih perlu diungkapkan terkait dengan pemahaman
masyarakat terhadap filosofi uang dan kekuasaan. Kesalahan
Strategi Kebudayaan dalam Pemberantasan Korupsi
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
30
memahami konsep kekuasaan dan kepemilikan harta benda
memiliki kecenderungan kuat mendorong perilaku penguasa
melakukan korupsi terus menerus.
Selain itu, pemberantasan terhadap korupsi juga menda-
patkan hambatan ketika masyarakat masih mengedepankan
shame culture (budaya rasa malu), dan masih jauh dari guilt
culture (budaya rasa bersalah). Menurut Bertens (1994: 32) pa-
da sebagian besar warga masyarakat dunia berkembang,
kebudayaan rasa malu lebih cukup tinggi daripada budaya rasa
bersalah. Dalam kajian antropologi budaya shame culture
memiliki ciri-ciri: 1) dikedepankan perasaan malu berbuat yang
tidak baik, tapi tidak dikenal rasa bersalah; 2) sebuah
kebudayaan yang memperhitungkan „hormat‟, „reputasi‟, „nama
baik‟, „status‟, dan „gengsi‟; 3) kejahatan bukan sebagai suatu
yang buruk, melainkan sesuatu yang harus disembunyikan; 4)
sanksi muncul dari luar. Sedangkan guilt culture bercirikan: 1)
sebuah kebudayaan yang menekankan pengertian „dosa‟, dan
„kebersalahan‟; 2) kejahatan adalah dosa sekalipun tidak
diketahui orang; dan 3) sanksi muncul dari dalam diri yang
melakukan.
Korupsi dalam Persepsi Publik dan Moralitas
Kekuasaan
Berdasar pada pemetaan fakta korupsi pada bagian
sebelumnya, akan dicoba diuraikan tentang relasi antara
moralitas dengan kekuasaan. Perspektif yang salah terkait
dengan kekuasaan, sering mendorong subjek kuasa mudah
melakukan praktik korupsi, baik yang disadari maupun tidak.
Fenomenologi korupsi ini berupaya untuk menjelaskan betapa
hasrat atau naluri kuasa dari subjek kuasa begitu kuat
sehingga cenderung menempatkan kekuasaan sebagai segala-
nya. Kekuasaan sebagai amanah, berubah bentuknya menjadi
fasilitas bagi hidup dan kehidupannya. Menjadi wajar ketika
praktik korupsi dalam kenyataannya selalu melibatkan keku-
asaan.
Listiyono Santoso, DewiMeyrasyawati
31 Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
Menguatnya birokrasi dan parpol sebagai pelaku korupsi,
seolah mengasumsikan bahwa reformasi birokrasi ternyata
tidak berbanding dengan reformasi di bidang pemberantasan
korupsi. Seolah selalu saja ada modus baru dari setiap bentuk
pemberantasan korupsi dilakukan, Hal ini menguatkan suatu
indikasi bahwa watak korupsi di Indonesia mudah dilakukan
oleh birokrasi yang masih menunjukkan wajah patrimonialnya.
Watak korupsi dalam birokrasi patrimonial yang kemudian
didukung oleh perilaku elit politik mendukung kian masifnya
praktik korupsi yang melibatkan oknum birokrasi dan oknum
partai politik.
Korupsi kemudian menjadi sebuah fenomena yang sifatnya
massal, yang dalam perspektif Bourdieu disebut sebagai
banalitas korupsi. Dimana korupsi tidak lakukan oleh sendiri,
termasuk juga tidak dinikmati sendiri. Korupsi selalu meli-
batkan suatu lingkaran struktural di dalamnya. Banalitas
korupsi tersebut akhirnya memberikan suatu kesan bahwa
korupsi dapat diletakkan dalam konteks kebudayaan, yakni
terkait dengan persoalan mentalitas serta persepsi yang salah
terkait dengan pengelolaan kekuasaan. Kekuasaan dalam
konteks ini tidaklah berarti kekuasaan politik semata, melain-
kan berbagai hal terkait dengan kekuasaan kewenangan.
Fenomenologi korupsi menempatkan korupsi sebagai objek
empiris. Kembali kepada objek korupsi secara langsung
merupakan bagian tidak terpisahkan dari bagaimana kita
mempersepsikan korupsi dalam masyarakat maupun dalam
birokrasi. Karena penelitian ini salah satunya berupaya
mengungkapkan bagaimana persepsi masyarakat terhadap
perilaku korupsi, maka fenomenologi menjadi pendekatan
penting untuk dilakukan. Masyarakat menjadi objek yang
dianggap memiliki pengalaman yang secara langsung berhada-
pan dengan fakta korupsi yang melibatkan kekuasaan.
Strategi Kebudayaan dalam Pemberantasan Korupsi
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
32
Melalui wawancara dengan beberapa orang di Sidoarjo 1
menunjukkan, suatu fakta bahwa masyarakat cenderung tidak
memiliki perhatian penuh terhadap perilaku seorang pejabat
dari unsur birokrasi yang hidup di lingkungan sekitarnya.
Kalau ada perhatian, masyarakat lebih menempatkan gaya
hidup elit birokrasi tersebut sebagai hak privat yang tidak
boleh diganggu oleh orang lain. Masyarakat cenderung tidak
peduli, meskipun orang tersebut merupakan pejabat publik
yang perilaku hidupnya juga perlu diawasi oleh publik. Bagi
masyarakat tersebut, jikalau perilaku hidup yang berlebihan
itu dilakukan dianggap sebagai kewajaran, karena orang
tersebut merupakan pejabat yang mestinya mendapatkan
fasilitas dari jabatannya.
Persepsi ini tentu saja menarik. Bisa jadi ini bukan fakta
yang bersifat lokal, melainkan umum berlaku dalam sistem
sosial kita yang memang menganut prinsip sikap hormat dan
prinsip rukun (Suseno, 1999: 39-60). Menggunakan anggapan
Hildred Geertz, Magnis Suseno menyebut adanya dua kaidah
paling menentukan dalam pola pergaulan masyarakat kita,
terutama yang hidup di Jawa, yakni: 1) dalam setiap situasi
manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak
sampai menimbulkan konflik; 2) menuntut agar manusia
dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan
sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan
kedudukannya. Kaidah pertama disebut sebagai kerukunan,
dan kedua disebut sebagai sikap hormat. Setiap bentuk
interaksi pergaulan masyarakat Jawa setidaknya menggu-
nakan kedua prinsip tersebut sebagai kerangka normatif dalam
menentukan tindakan.
Masyarakat dengan sistem sosial yang demikian meng-
hendaki suatu keadaan yang harmonis dalam masyarakat.
Keadaan ini mengharuskannya meniadakan berbagai bentuk
1Wawancara dilakukan kepada sejumlah orang (6 orang) yang memiliki
kedekatan lingkungan dengan tersangka kasus korupsi di Kemenag
Sidoarjo (inisial LH) dan seorang mantan pejabat pemda (inisal NA).
Listiyono Santoso, DewiMeyrasyawati
33 Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
ketegangan dalam masyarakat atau antar pribadi sehingga
hubungan sosial tetap kelihatan selaras dan baik-baik.
Masyarakat biasanya menjadi tuntutan kerukunan sebagai
yang selayaknya dipatuhi melalui pencegahan segala hal yang
mengganggu kerukunan dan keselarasan.
Dalam konteks demikian, setidaknya terdapat dua segi
tuntutan kerukunan. Pertama, masalahnya bukan pada
penciptaan keadaan keselarasan sosial, melainkan lebih untuk
tidak mengganggu keselarasan yang diandaikan sudah ada.
Prinsip ini bersifat negatif, karena hanya menuntut pence-
gahan segala kelakuan yang mengganggu keselarasan dan
ketenangan. Kedua, prinsip kerukunan pertama-tama tidak
menyangkut sikap batin atau keadaan jiwa, melainkan
penjagaan keselarasan dalam pergaulan. Hal yang diatur
adalah permukaan hubungan-hubungan sosial yang kentara,
yang dicegah adalah konflik-konflik yang terbuka. Itulah
sebabnya, mengapa masyarakat kita selalu menuntut agar
setiap individu bersedia menomorduakan atau melepaskan
kepentingan-kepentingan pribadi, agar tidak terjadi benturan
kepentingan satu sama lain (Suseno, 1999: 39-40).
Prinsip meniadakan konflik ini membuat masyarakat kita
memiliki sikap untuk memperkatakan hal-hal yang tidak enak
secara tidak langsung. Masyarakat mampu menutupi kekece-
waannya melalui kebiasaan berpura-pura (ethok-ethok). Ke-
mampuan ini dianggap sebagai keutamaan hidup, sebagai seni
yang tinggi dan bernilai positif. Terhadap yang tidak
disukainya, masyarakat akan menyampaikan melalui sikap
tidak langsung atau menyembunyikan perasaan kekecewaan
tersebut, kecuali pada keluarga inti.
Konstruksi sistem nilai ini tentu saja berimplikasi kepada
sikap dan persepsi masyarakat terhadap gaya hidup pejabat
dalam lingkungan sekitarnya. Keinginan untuk hidup harmo-
nis cenderung membuat masyarakat tidak terbiasa kritis
terhadap gaya hidup pejabat publik, yang semestinya diawasi
oleh sistem dan oleh publik. Inilah yang kemudian membuat
Strategi Kebudayaan dalam Pemberantasan Korupsi
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
34
kultur pembiaran (ommision culture) terhadap penyimpangan
kekuasaan oleh masyarakat. Hal yang biasa dilakukan
biasanya adalah pejabat tersebut hanya menjadi „perbincangan‟
rutin dalam obrolan di pos ronda atau warung kopi, tanpa ada
penyelesaian yang pasti. Masyarakat sudah terlanjur mene-
rima prinsip rukun sebagai bagian dari tatanan sosial yang
harus dijaga. Agar kerukunan dalam masyarakat terjaga, maka
seseorang tidak boleh membuat suatu aktivitas yang
mengganggu tertib sosial yang sudah ada.
Sikap tidak kritis ini bisa dimengerti sebagai akibat dari
ketidakmampuan memisahkan satu individu dengan jabatan
yang melekatnya. Terlebih pada masyarakat yang masih
bersifat tradisional, meskipun sistem sosialnya sudah menjadi
modern. Pada kondisi masyarakat ini, seorang pejabat tetap
dianggap sebagai tokoh masyarakat yang harus dihormati dan
disegani. Mirip dengan sistem feodalistik yang menempatkan
pejabat sebagai priyayi dari lingkungan keraton (ndalem) yang
harus dijunjung tinggi martabat sosialnya dan harus tercukupi
fasilitas hidupnya. Oleh sebab itu, bagi mereka menjadi aneh
rasanya jika seorang pejabat dalam sebuah lingkungan biro-
krasi tidak memiliki fasilitas yang menunjang kehidupannya
dan keluarganya, seperti rumah mewah, mobil, dan harta
benda lainnya.
Pendidikan Anti Korupsi sebagai Strategi Kebudayaan
Sebagaimana diketahui, meski korupsi merupakan peris-
tiwa hukum, tapi korupsi tidaklah sekedar persoalan hukum
semata. Ada banyak faktor yang terlibat dan membentuk
perilaku mengapa muncul perilaku korup. Selain karena ada
faktor keserakahan penguasaan harta benda, juga terkait
dengan problema kebudayaan yang terwarisi dari sikap,
persepsi dan perilaku yang menjadi penyimpangan kebiasaan-
kebiasaan dalam pengelolaan kewenangan kekuasaan.
Misalnya, persepsi terhadap kekuasaan yang menempatkannya
sebagai jabatan, ketidakmampuan membedakan antara kepe-
milikan privat dan kepemilikan publik, sehingga berimplikasi
Listiyono Santoso, DewiMeyrasyawati
35 Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
kepada penyalahgunaan kewenangan publik untuk kepen-
tingan privat, diperparah dengan perilaku banalitas korupsi;
dimana korupsi tidak lagi dilakukan secara personal, melain-
kan dilakukan secara komunal. Realitas ini mengindikasikan
ada tren baru dalam perilaku korupsi, bahwa kejahatan akan
menjadi lebih aman jika dilakukan secara bersama dan
disembunyikan bersama-sama pula. Istilah korupsi berjamaah
menjadi tepat untuk menunjukkan terjadinya banalitas korupsi
tersebut. Sebagian besar kasus korupsi, baik melalui meka-
nisme mark up, pembelian dan kegiatan fiktif tidak mungkin
dilakukan perorangan, melainkan sistemik direncanakan oleh
sekelompok orang yang memiliki kekuasaan kewenangan.
Dalam perspektif di atas, menjadi penting dilakukan
mekanisme kontrol terhadap pengelolaan kekuasaan sekaligus
juga internalisasi pendidikan anti korupsi kepada khalayak
terkait dengan pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap
korupsi. Selama ini mekanisme kontrol sebenarnya sudah
dilakukan melalui sistem pengawasan melekat (waskat) ter-
hadap pelaksanaan pengelolaan kewenangan kekuasaan.
Namun demikian, meskipun sistem pengawasan sudah dise-
lenggarakan, korupsi dalam kenyataannya tidaklah surut,
justru kian masif dan mengalami proses modifikasi secara
ekstrem (FGD dengan dosen 24 April 2014 dan mahasiswa, 16
Mei 2014). Hal tersebut ditandai dengan kian banyaknya
kasus-kasus korupsi yang terungkap dan disidangkan di
pengadilan tindak pidana korupsi di Indonesia. Kian banyak
kasus korupsi diungkapkan, di satu sisi merupakan prestasi
bagi KPK dan penegak hukum, di sisi lain menunjukkan ironi
dalam pengelolaan birokrasi pemerintahan yang bersih.
Realitas ini seolah mengindikasikan bahwa kian ketatnya
pengawasan, tetap saja bisa dilakukan upaya menyiasatinya,
sehingga korupsi sulit dibuktikan.
Berdasar pada kondisi yang demikian, tampaknya
pengawasan terhadap perilaku korup yang dilakukan oleh
aparatur negara, tidak hanya dilakukan oleh pihak internal
Strategi Kebudayaan dalam Pemberantasan Korupsi
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
36
maupun eksternal, melainkan juga perlu dilakukan oleh
masyarakat luas. Masyarakat perlu mendapatkan pendidikan
anti korupsi yang baik agar mereka mendapatkan informasi
yang benar terkait dengan apa dan bagaimana korupsi bisa
terjadi, serta apa yang harus mereka lakukan ketika
mencurigai atau menemukan fakta terjadinya korupsi di
sekitar mereka.
Pertama, internalisasi pendidikan anti korupsi ke dalam
sistem pembelajaran. Setidaknya sebagai salah satu
pengkondisian agar masyarakat, memiliki kemampuan untuk
mencegah terjadinya korupsi. Kedua, peningkatan wawasan
masyarakat melalui pembentukan simpul-simpul anti korupsi.
Mengapa masyarakat perlu dilibatkan? Bukan sebagai penegak
hukum, melainkan sebagai kelompok non pemerintah yang
berpartisipasi dalam mengawal pengelolaan pemerintahan
yang transparan dan bersih.
Pendidikan anti korupsi dalam konteks ini meliputi
internalisasi ke dalam mata pelajaran atau kuliah untuk
siswa/mahasiswa dan internalisasi dalam dunia kehidupan
untuk masyarakat. Siswa/mahasiswa dan masyarakat (non
akademik) harus dilibatkan sebagai komponen sosial utama
dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Mereka adalah
kekuatan di luar negara yang dapat berfungsi efektif
mengontrol perilaku birokrasi pengelola pemerintahan.
Asumsinya sederhana, pengelola birokrasi pemerintahan
adalah anggota masyarakat yang hidup dalam lingkungan
warga. Masyarakatlah yang sesungguhnya paling dekat dengan
mereka, sehingga memiliki informasi yang baik terhadap profil
setiap orang yang menjadi birokrat pengelola pemerintahan.
Profil itulah yang dapat dijadikan informasi terkait dengan
sepak terjang birokrat dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan anti korupsi bukanlah sekedar penyebarluasan
pengetahuan tentang korupsi, melainkan upaya internalisasi
nilai-nilai moralitas publik kepada masyarakat agar mereka
memiliki kepedulian terhadap kepemilikan publik (kekayaan
Listiyono Santoso, DewiMeyrasyawati
37 Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
negara sebagai milik bersama). Ada tiga (3) hal upaya yang
dilakukan dalam rangka keberhasilan menciptakan masyara-
kat anti korupsi, yakni: 1) pembiasaan dan penciptaan peri-
laku; 2) internalisasi melalui pendidikan; 3) komitmen bersama
yang ditegakkan melalui public policy (kebijakan publik) yang
mengarusutamakan kepentingan bersama. Ketiga model
pendekatan ini dianggap representatif dalam rangka
menciptakan masyarakat anti korupsi. Hal ini karena perilaku
korupsi sesuungguhnya menyangkut juga persoalan (nilai)
karakter yang terbentuk dalam kebiasaan hidup sehari-hari.
Pendidikan anti korupsi dianggap menjadi salah satu
strategi kebudayaan dalam rangka membangun masyarakat
anti korupsi. Bagi peneliti, sektor pendidikan dianggap sebagai
sarana paling efektif dalam rangka menyebarluaskan ide-ide
gerakan anti korupsi dan mencetak generasi yang jujur dan
profesional. Di setiap negara, selalu menjadi pendidikan seba-
gai strategi kebudayaan dalam membangun peradaban bangsa.
Strategi kebudayaan harus dipahami sebagai suatu siasat yang
direncanakan dalam membangun sebuah peradaban atau
kondisi masyarakat yang diinginkan. Strategi kebudayaan ini
diletakkan dalam rangka membangun suatu mentalitas dan
perilaku sosial masyarakat yang diharapkan sesuai dengan
sistem nilai yang hendak diwujudkan.
Bercermin dari realitas tersebut, pendidikan jelas
merupakan strategi kebudayaan yang paling penting dalam
rangka membangun masa depan masyarakat yang anti korupsi.
Pembiasaan dan penciptaan perilaku peserta didik yang sejak
awal terinternalisasi nilai-nilai yang anti perilaku koruptif,
nepotif, dan kolutif, diarahkan pada pola pembiasaan yang
berlanjut ketika mereka menjadi bagian penting dalam masya-
rakat. Pendidikan merupakan strategi kebudayaan yang pen-
ting dalam rangka menciptakan generasi muda yang memiliki
kejujuran dan anti korupsi. Melalui pendidikan, diharapkan
tercipta generasi muda yang memiliki integritas kepribadian,
sehingga ketika saat menjadi pemimpin dan bekerja di
Strategi Kebudayaan dalam Pemberantasan Korupsi
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
38
birokrasi pemerintahan atau yang lainnya mampu mencipta-
kan good governance yang transparan dan jujur.
Mengubah mentalitas memang bukanlah hal mudah. Meski
hal itu bukanlah tidak mungkin dilakukan. Keinginan mela-
kukan revolusi mental patut diapresiasi sebagai bagian penting
dalam rangka mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk yang
mendorong terjadinya korupsi. Revolusi mental itu meng-
andaikan suatu penanganan ekstrem yang efektif mengubah
karakter. Dalam perspektif peneliti, hal tersebut hanya mung-
kin dilakukan melalui dua jalan, sebagaimana disebutkan di
atas, yakni strategi memaksa dan strategi mendorong. Pertama
berorientasi kepada bentuk-bentuk paksaan, terutama melalui
berbagai kebijakan (sistem/aturan) yang bersifat preventif
terhadap kemungkinan munculnya perilaku korupsi. Sedang-
kan yang kedua, menginisiasikan pembiasaan dan penciptaan
perilaku positif agar terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan yang
positif juga.
Mengubah perilaku yang sudah melembaga membutuhkan
kerja serius dari semua pihak. Salah satu yang paling efektif
adalah melalui pendidikan. Mengapa pendidikan? Pertama,
setiap anak bangsa pernah melalui proses persekolahan.
Penanaman nilai-nilai anti korupsi menjadi bagian integral
dari penanaman nilai karakter bangsa. Setiap anak bangsa
selayaknya mendapatkan pembelajaran yang mengarusutama-
kan pelembagaan nilai-nilai karakter bangsa. Pendidikan
menjadi sarana efektif dalam rangka membentuk perilaku atau
kebiasaan anak didik yang berorientasi kepada nilai-nilai
positif yang disepakati. Kedua, pendidikan dipercaya sebagai
transfer pengetahuan sekaligus transfer nilai. Artinya, melalui
pendidikan terjadi proses pewarisan nilai dari generasi satu ke
generasi lainnya. Nilai yang diwariskan adalah nilai-nilai luhur
yang berperan membangun karakter bangsa. Karenanya,
proses pendidikan sangat efektif dijadikan sebagai tempat
dimana nilai-nilai karakter yang anti korupsi dapat
ditanamkan.
Listiyono Santoso, DewiMeyrasyawati
39 Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
Model Strategi Kebudayaan Pemberantasan Korupsi
Strategi kebudayaan ini menginisiasikan dua kegiatan yang
bertumpu pada dua hal, yakni teknologisasi budaya dan
rekayasa budaya. Teknologisasi budaya merupakan suatu
upaya menjadikan masyarakat ‟dipaksa‟ peduli terhadap
berbagai gejala-gejala anomali, terkait dengan praktik hidup
seorang individu yang menjadi bagian dalam lingkungan
tersebut. Rekayasa budaya lebih merupakan upaya mendorong
masyarakat untuk hidup tertib sosial secara baik. Keduanya
hanya berbeda dalam tindakan praksis, karena yang pertama
lebih bersifat sebagai strategi memaksa, yang kedua sebagai
strategi mendorong.
Pada masyarakat yang masih serba permisif dan longgar
terhadap berbagai pelanggaran hukum atau norma, maka
strategi memaksa menjadi suatu pilihan logis, sedangkan pada
masyarakat yang sudah mulai rasional-tertib, maka strategi
mendorong untuk peduli pada upaya pemberantasan korupsi
adalah pilihannya. Dengan demikian, setelah terbentuknya
suatu model strategi kebudayaan pemberantasan korupsi,
diharapkan dapat dilakukan suatu eksperimentasi penerapan
model pada lingkungan sekolah atau lingkungan masyarakat
suatu RT/RW sebagai prototipe pengembangan model tersebut.
Secara garis besar, strategi kebudayaan dalam rangka
pemberantasan korupsi tersebut berdasar dari adanya temuan
penting dalam penelitian tahun pertama: 1) kian masifnya dan
sistematisnya korupsi yang terjadi di berbagai birokrasi
pemerintahan; 2) korupsi yang sistematis terjadi bukan karena
lemahnya sistem pengawasan, melainkan karena menguatnya
kecenderungan habituasi korupsi tersebut; 3) ditemukannya
kendala-kendala kultural yang berdampak pada lemahnya
upaya pemberantasan korupsi.
Strategi kebudayaan yang pertama adalah teknologisasi
kebudayaan. Teknologisasi kebudayaan adalah istilah yang
diciptakan dalam rangka menciptakan kepatuhan publik
kepada moralitas publik. Mengacu pada konsep strategi
Strategi Kebudayaan dalam Pemberantasan Korupsi
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
40
kebudayaan Van Peursen (1988: 9-15) dan Koentjaraningrat
(1994: 52) yang secara jelas menggambarkan bahwa berbagai
kebiasaan dalam masyarakat yang terbentuk akibat dari masih
belum selesainya proses perkembangan pemikiran umat
manusia. Kedua pemikir kebudayaan tersebut secara eksplisit
menyebutkan bahwa jika kita percaya bahwa proses berpikir
umat manusia itu berkembang dari yang sederhana (mistik) ke
yang lebih kompleks (fungsional logis), diperlukan berbagai
proses belajar yang terus menerus dari masyarakat tersebut
untuk setia dan tunduk pada proses berpikir yang berpijak
pada kebenaran ilmu pengetahuan. Artinya, kebiasaan yang
hidup dan berkembangan dalam masyarakat memang perlu
diatur berdasarkan pada kajian fungsional logis (keilmuan),
yang memang sudah dapat dipertanggungjawabkan secara
keilmuan.
Dalam konteks pemberantasan korupsi, maka konsep
teknologisasi kebudayaan sebagai strategi memaksa seseorang
atau sekelompok orang mengikuti aturan dalam suatu ikatan
moral kelompok, setidaknya dapat dilakukan melalui beberapa
cara, yakni: 1) regulasi kebijakan pengelolaan kekuasaan
politik dan ekonomi; 2) pembatasan jumlah kekayaan bagi
birokrasi/PNS, terutama pengelola kekuasaan; 3) pakta
integritas anti korupsi setiap pengelola kekuasaan yang
memiliki kewenangan mengelola keuangan negara; 4) regulasi
rekrutmen pegawai dan pejabat, terutama kriteria etika, moral,
dan integritas.
Teknologisasi kebudayaan itu sifatnya adalah „memaksa‟
setiap individu penyelenggara pemerintahan dan yang terlibat
kerjasama dengannya untuk hidup dibawah sistem yang
bersifat imperatif tersebut. Teknologisasi kebudayaan ini
seperti sistem panopticon-nya Foucault yang selalu mengawasi
dan memantau perilaku kehidupan penyelenggara
pemerintahan, tidak hanya dalam lingkup pekerjaannya,
melainkan juga bagaimana kehidupan keseharian mereka. Hal
yang paling sederhana dalam konsep teknologisasi kebudayaan
Listiyono Santoso, DewiMeyrasyawati
41 Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
adalah „pembatasan ruang gerak‟ bagi setiap penyelenggara
negara dalam akses kepemilikan harta benda. Bukan berarti
tidak boleh memiliki harta benda, melainkan membatasi
kepemilikan, terutama yang bersumber dari kekayaan negara.
Setiap PNS wajib melaporkan harta kekayaan dan sumber-
sumbernya, sekaligus membuktikan darimana asal usul harta
kekayaan itu diperoleh. Sistem pelaporan harus disertai
dengan verifikasi di lapangan secara terbuka oleh publik. Hal
ini agar publik juga mengetahui bahwa seorang birokrat
sebagai pelayan publik dapat mempertanggungjawabkan harta
kepemilikannya secara transparan. Selama ini memang ada
kewajiban pelaporan harta kekayaan, tetapi hampir tidak
pernah diverifikasi di lapangan. Kalaupun ada verifikasi,
dalam banyak hal lebih dilakukan ketika ada proses-proses
politik semata.
Sedangkan yang kedua adalah rekayasa budaya sebagai
strategi mendorong seseorang atau sekelompok orang agar
berkehidupan sesuai dengan ikatan moral kelompok, dapat
dilakukan melalui: 1) civic education terkait dengan korupsi
dan ruang lingkupnya; 2) memberikan ruang partisipasi publik
terhadap persoalan-persoalan korupsi; 3) pembiasaan dan
penciptaan perilaku anti korupsi sejak dini, terutama
diinternalisasikan melalui pendidikan. Sebagaimana dijelaskan
di atas, pendidikan, utamanya pendidikan dasar sesungguhnya
bukanlah sekedar pendidikan akademik, melainkan penana-
man integritas kepribadian. Pendidikan merupakan strategi
kebudayaan paling strategis dalam rangka membangun
kualitas sumberdaya manusia yang memiliki integritas sebagai
pribadi maupun integritas sebagai warga negara.
Hal ini karena meminjam terminologi Aristoteles,
sebagaimana dikutip oleh Yudi Latif (2013), kebaikan manusia
sebagai manusia tidak selamanya beriringan dengan kebaikan
manusia sebagai warga negara. Diharapkan melalui
pendidikan dapat menjadi salah satu pilar dalam membangun
masyarakat yang memiliki civic virtue atau keutamaan hidup
Strategi Kebudayaan dalam Pemberantasan Korupsi
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
42
sebagai warga sipil, yakni memiliki tanggungjawab moral dan
penghargaan terhadap etika publik berbangsa dan bernegara.
Pendidikan lebih diletakkan sebagai rekayasa kebudayaan,
karena hasilnya baru dapat dilihat pada masa depan. Rekayasa
kebudayaan tidak lain adalah suatu proses pembentukan
generasi masa depan yang memiliki nilai karakter yang baik
dan anti korupsi. Pembentukan nilai-nilai karakter, tidaklah
cukup dilakukan satu atau dua tahun, apalagi hanya satu atau
dua mata kuliah dalam sistem pembelajaran, melainkan suatu
mekanisme pembelajaran karakter sejak dini –sejak pendi-
dikan dasar hingga perguruan tinggi--, agar tujuan pendidikan
sebagai mekanisme transfer nilai karakter (transfer of value)
terlaksana secara baik.
Sebagaimana ditulis oleh Durkheim (1964) dan Neil
Postman (1999) bahwa pendidikan dasar, terutama untuk anak
usia pra-konvensional (usia 6-16 tahun) lebih tepat diarahkan
sebagai pendidikan bagi pembentukan dasar kepribadian
mereka. Dasar kepribadian menjadi penting dan utama dalam
rangka menciptakan generasi yang berkarakter utama. Tidak
berlebihan jika disebutkan bahwa pendidikan dasar merupa-
kan penjaga gawang bagi kepribadian bangsa. Ketika
pendidikan dasar gagal mengupayakan terinternalisasinya
pendidikan karakter, maka jangan salahkan jika ke depan
terbentuk generasi yang bisa jadi cerdas dalam penguasaan
ilmu-ilmu pengetahuan, tetapi tidak berintegritas.
Sistem pendidikan yang mengarusutamakan kepada
penciptaan perilaku berkarakter jelas memerlukan mekanisme
pembicaraan yang serius dan mendalam, terutama, dalam
pemberlakuan kurikulum yang hendak diterapkan kepada
peserta didik. Artinya, pendidikan harus dipercaya sebagai
strategi kebudayaan paling penting yang menentukan keberha-
silan pembentukan karakter siswa. Tampaknya hampir tidak
ada institusi formal yang dapat diandalkan dalam
pembentukan karakter, kecuali keluarga dan sekolah. Karena-
nya, desain kurikulum harus benar-benar diarahkan pada
Listiyono Santoso, DewiMeyrasyawati
43 Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
terjadinya pembentukan dan perubahan perilaku siswa didik
menjadi lebih baik (Durkheim, 1974).
Sebagai peristiwa kebudayaan, maka melawan korupsi
yang sudah melembaga dan membudaya harus dengan budaya
yang anti korupsi (Wirawan, 2013). Selain melalui rekayasa
kebudayaan tersebut diatas, memang harus ada teknologisasi
kebudayaan sebagai cara memaksa setiap individu berperilaku
anti korupsi. Caranya dengan mengintervensi ketiga komponen
korupsi, baik sebagai kognisi, sebagai perilaku maupun sebagai
artefak kebudayaan agar mengarah pada sistem kebudayaan
yang anti korupsi. Pertama, mengintervensi sistem kognisi
masyarakat agar terbangun masyarakat dengan keutamaan
nilai anti korupsi. Cara ini biasanya melalui program
pendidikan, karena pendidikan merupakan alih pengetahuan
sekaligus alih nilai (value). Kedua, mengintervensi perilaku
melalui keteladanan moral dari elit politik. Ketiga, melalui
penciptaan artefak kebudayaan yang meminimalisir peluang
terjadinya korupsi, seperti pembuatan e-KTP, layanan satu
pintu atau satu atap dalam urusan pelayanan publik serta
pelaporan kekayaan bagi setiap pejabat publik.
Penutup
Masifnya korupsi ditengarai telah menjadikan fakta
korupsi sebagai fakta kebudayaan. Tindakan korupsi sebagai
fakta hukum memang mencerminkan bahwa peristiwa korupsi
memang merupakan peristiwa hukum, tapi masifnya tindak
pidana korupsi memberikan alasan rasional yang kuat bahwa
fakta korupsi haruslah tetap diletakkan dalam konteks
kebudayaan. Artinya, ada sikap mental dalam tradisi berpe-
rilaku masyarakat yang berpotensi memberikan peluang
terjadinya korupsi, sekaligus juga membiarkan korupsi selalu
terjadi secara terus menerus.
Keterkaitan antara mentalitas kebudayaan dengan korupsi
menunjukkan bukti bahwa pemberantasan dan pencegahan
korupsi tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan hukum,
melainkan juga melalui pendekatan kebudayaan. Diperlukan
Strategi Kebudayaan dalam Pemberantasan Korupsi
Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
44
suatu strategi kebudayaan sebagai model pencegahan dan
pemberantasan korupsi, melalui:1) pembiasaan dan penciptaan
perilaku; 2) internalisasi pendidikan; 3) komitmen bersama
dalam ikatan kelompok. Strategi kebudayaan yang dimaksud
tersebut menginisiasikan dua hal kegiatan, yakni:1) teknologi-
sasi kebudayaan atau strategi memaksa; 2) rekayasa kebu-
dayaan atau strategi mendorong. Teknologisasi budaya
diperlukan ketika masyarakat masih dalam posisi permisif;
masih terbuka dan sulit diajak menuju kebaikan. Masyarakat
dalam kondisi yang serba permisif (serba longgar), memang
memerlukan suatu aturan main, agar mereka bertanggung-
jawab sebagai manusia dalam ikatan kelompok. Sedangkan
rekayasa kebudayaan, diperlukan sebagai mekanisme jangka
panjang melalui proses-proses pendidikan yang berorientasi
pada pembentukan masyarakat anti korupsi.
Teknologisasi kebudayaan bersifat memaksa publik untuk
taat kepada sistem norma yang berlaku, sementara rekayasa
kebudayaan lebih bersifat mendorong terjadinya perubahan
perilaku masyarakat. Kedua strategi kebudayaan tersebut
dijalankan untuk dua kepentingan, yakni jangka pendek dan
jangka panjang. Jangka pendek dibuat berbagai aturan yang
sangat ketat yang tidak memungkinkan peluang korupsi ter-
jadi, sedangkan jangka panjang lebih berorientasi kepada
pengembangan persepsi, sikap dan perilaku publik agar memi-
liki karakter kejujuran dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus
ketika berkesempatan menjadi pejabat negara dapat memiliki
self control yang mengantisipasi kemungkinan terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan.
Daftar Rujukan
Alatas, Syeh Hussein, 1981. Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan dengan data Kontemporer, alih bahasa Al Ghozie Usman, Jakarta: LP3ES
Ambardi, Kuskridho, 2009. Mengungkap Politik Kartel, Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi, Jakarta: KPG dan LSI
Djaja, Ermansjah, 2012. Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta: Sinar Grafika
Listiyono Santoso, DewiMeyrasyawati
45 Jurnal Review Politik
Volume 05, No 01, Juni 2015
Fromm, Erich, 1995. Masyarakat yang Sehat, terjemahan Thomas bambang Murtianto, Jakarta: Yayasan Obor
Girling, John. Corruption, Capitalism, and Democracy. London: Routledge.1997.
Harrison, Lawrence E. and Samuel P. Hutington, 2000, Membangun Budaya Bangsa, Jakarta: Yayasan Oboro
Hartiningsih, Maria (ed)., 2011. Korupsi yang Memiskinkan. Jakarta: Kompas
Haryatmoko, 2003, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Kompas
Klitgaard, Robert, 1998, Melawan Korupsi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Koentjaraningrat, 1993, Kebudayaan dan Mentalitas Pembangunan, Jakarta: Gramedia
Lubis, Mochtar, 2001. Manusia Indonesia, Jakarta: Buku Obor
Onghokham, 1986, ’Korupsi dan Pengawasan dalam Perspektif Sejarah’ dalam Prisma, Jakarta: LP3ES
Siahaan, Monang, 2013, Korupsi, Penyakit Sosial yang Mematikan, Jakarta: Elex Media Komputindo
Suseno, Franz Magnis. 1999. Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup. Cet. 9. Jakarta: Gramedia Utama
Wattimena, Reza A.A., 2013, Filsafat Anti Korupsi, Yogyakarta: Kanisius
Wibowo, Agus, 2013, Pendidikan Antikorupsi di Sekolah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Widoyoko, Danang, et.al. 2006, Saatnya Warga Melawan Korupsi, Panduan Citizen Report Card untuk Pendidikan, Jakarta: ICW.
‘Pelemahan Lembaga AntiKorupsi Pengaruhi IPK Indonesia;’ data didapat dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50c056-
2c84058/pelemahan-lembaga-antikorupsi-pengaruhi-ipk-indone-sia ; internet; diakses 1 Maret 2013.
Kompas, 9 Oktober 2013
Kompas, 22 September 2011
Kompas, 8 Februari 2013