modernisasi perikanan

5
Modernisasi Perikanan (Perkembangan Pembangunan Perikanan) Oleh : Dr. Andi Adri Arief, S.Pi,M.Si 1) Modernisasi perikanan atau revolusi biru ( blue revolution ) awalnya lahir dari adanya kesadaran akan pentingnya memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan dan lautan yang amat sangat besar ini dengan kondisi termanfaatkan yang masih dibawah 50 persen. Istilah revolusi biru adalah ”jargon” politik sektor perikanan mengikuti succes story revolusi hijau sektor pertanian, dengan target revolusi biru adalah peningkatan efisiensi dan produktivitas perikanan khususnya sumber daya laut. Kebijakan revolusi biru telah mengalami berbagai varian kebijakan mulai dari modernisasi, Protekan 2003, Gerbang Mina Bahari, PEMP dan sebagainya. Modernisasi perikanan yang dimulai sejak tahun 1970-an dipahami sebagai momentum perubahan sosial masyarakat nelayan, ketika itu pemerintah mengeluarkan paket kebijakan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya perikanan laut yaitu: modernisasi melalui penggunaan motorisasi dan teknologi alat tangkap yang modern; kebijakan pemberian fasilitas kredit berupa kredit usaha, mesin-mesin, perahu dan peralatan penting kepada para nelayan; pembangunan fasilitas infrastruktur yang mendukung kegiatan perikanan laut agar menjamin efektivitas dan peningkatan produksi berupa pelabuhan perikanan, ruang pendingin, tempat pengeringan ikan dan pelelangan ikan (TPI). Kemudian pada tahun 1980-1996 kebijakan ini diperbaharui lagi dengan diluncurkannya deregulasi perikanan yang mencakup pengembangan alat tangkap, pembangunan pelabuhan dan penambahan armada penangkapan ikan melalui kemampuan produksi dalam negeri maupun impor kapal bekas serta pemberian izin kapal asing. Selanjutnya dalam perkembangan revolusi biru, pemerintah tidak hanya mengintervensi nelayan melalui modernisasi perikanan, tetapi juga mengeluarkan berbagai regulasi, misalnya Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1980 yang 1 .Staf Pengajar Jurusan Perikanan, Program Studi Sosial Ekonomi, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Upload: adri-arief

Post on 12-Jun-2015

495 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Modernisasi Perikanan

Modernisasi Perikanan (Perkembangan Pembangunan Perikanan)

Oleh :Dr. Andi Adri Arief, S.Pi,M.Si1)

Modernisasi perikanan atau revolusi biru (blue revolution) awalnya lahir

dari adanya kesadaran akan pentingnya memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan dan lautan yang amat sangat besar ini dengan kondisi termanfaatkan yang masih dibawah 50 persen. Istilah revolusi biru adalah ”jargon” politik sektor perikanan mengikuti succes story revolusi hijau sektor pertanian, dengan target revolusi biru adalah peningkatan efisiensi dan produktivitas perikanan khususnya sumber daya laut. Kebijakan revolusi biru telah mengalami berbagai varian kebijakan mulai dari modernisasi, Protekan 2003, Gerbang Mina Bahari, PEMP dan sebagainya.

Modernisasi perikanan yang dimulai sejak tahun 1970-an dipahami sebagai momentum perubahan sosial masyarakat nelayan, ketika itu pemerintah mengeluarkan paket kebijakan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya perikanan laut yaitu: modernisasi melalui penggunaan motorisasi dan teknologi alat tangkap yang modern; kebijakan pemberian fasilitas kredit berupa kredit usaha, mesin-mesin, perahu dan peralatan penting kepada para nelayan; pembangunan fasilitas infrastruktur yang mendukung kegiatan perikanan laut agar menjamin efektivitas dan peningkatan produksi berupa pelabuhan perikanan, ruang pendingin, tempat pengeringan ikan dan pelelangan ikan (TPI). Kemudian pada tahun 1980-1996 kebijakan ini diperbaharui lagi dengan diluncurkannya deregulasi perikanan yang mencakup pengembangan alat tangkap, pembangunan pelabuhan dan penambahan armada penangkapan ikan melalui kemampuan produksi dalam negeri maupun impor kapal bekas serta pemberian izin kapal asing. Selanjutnya dalam perkembangan revolusi biru, pemerintah tidak hanya mengintervensi nelayan melalui modernisasi perikanan, tetapi juga mengeluarkan berbagai regulasi, misalnya Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1980 yang melarang pengoperasian jaring trawl (pukat harimau), karena alat ini di samping dapat merusak lingkungan, penggunaannya juga menimbulkan konflik horizontal antara nelayan tradisional dan pengusaha kapal pukat harimau (Kusumastanto, 2004), pembuatan Undang-Undang Perikanan tahun 1995 dan sebagainya. Namun relevansi kebijakan revolusi biru serta berbagai regulasi yang dikeluarkan implikasinya belum sepenuhnya menunjukkan keberpihkan secara riil terhadap kehidupan masyarakat nelayan khususnya nelayan grassroot sebagai common people secara ril.

Mengenai masalah rendahnya tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan dan lautan yang masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan sektor pertanian (pangan, perkebunan, dan hortikultur), konteks ini tidak 1 .Staf Pengajar Jurusan Perikanan, Program Studi Sosial Ekonomi, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Page 2: Modernisasi Perikanan

terlepas juga dari faktor-faktor yang bersifat struktural, baik pada masa penjajahan maupun masa sekarang ini. Pada masa kolonialisme Belanda tidak menempatkan komoditi ini (perikanan) sebagai target pokok dalam eksploitasi sumberdaya alam untuk kepentingan ekspor. Komoditi yang dikembangkan oleh penjajah pada masa itu adalah komoditi yang benar-benar menguntungkan mereka, seperti komoditi perkebunan. Padahal masyarakat Nusantara pada masa-masa sebelum penjajahan Belanda, dikenal sebagai masyarakat bahari, yang artinya bahwa hampir sebagian besar penduduknya merupakan masyarakat yang bermukin di pesisir pantai atau di atas perahu sekitar pantai, yang berorientasi ke laut dalam kehidupan sosial budaya, khususnya dalam kegiatan mata pencaharian (ekonomi).

Dahulu kerajaan-kerajaan di Jawa seperti Majapahit dan Sriwijaya terkenal dengan orientasi kebahariannya, yang kemudian terus berlangsung sampai runtuhnya kerajaan Islam pesisir karena konflik dengan kerajaan Mataram pedalaman yang tidak terlepas dari peran VOC, turut pula meruntuhkan orientasi kebaharian masyarakatnya (Swasono dan Hatta, 1997). Begitu pulah halnya dengan Sulawesi Selatan, regulasi VOC yang mengharuskan raja-raja laut taklukannya agar mengosongkan kawasan pesisir 10 mil laut dari pantai telah menyebabkan kerajaan-kerajaan seperti Gowa, Bone, Luwu, Tallo dan kerajaan-kerajan kecil lainnya yang juga merupakan representasi dengan orientasi kebaharian mengalami kemunduran. Namun sampai dengan runtuhnya, karakteristik-karakteristik tersebut (kebudayaan bahari) masih tetap saja dipertahankan oleh masyarakatnya sampai kini. Dari keempat suku bangsa yang ada di Sulawesi Selatan, tiga diantaranya yaitu (Suku Bugis, Makassar dan Mandar) sampai kini masih cukup kental dengan jiwa kebahariannya (Sallatang, 1976).

Pada masa Kemerdekaan, tidak adanya perhatian pemerintah terhadap sektor ini (perikanan dan kelautan), terus berlanjut hingga pemerintahan Orde Baru yang politik pertaniannya lebih mengutamakan subsektor tanaman pangan dari pada sektor lain. Pengembangan sub sektor tanaman pangan yang terus dilakukan karena dianggap merupakan tuntutan riil dari tekanan jumlah penduduk. Sedang untuk sektor perkebunan dan kehutanan memang sudah berkembang sebelumnya sejak masa penjajahan Belanda, sehingga pemerintah hanya meneruskan warisan yang ditinggalkan Belanda melalui nasionalisasi beberapa perusahaan perkebunan pada tahun 1963. Adapun subsektor perikanan tak kunjung berkembang karena disamping bukan merupakan komoditi strategis seperti beras, juga karena pada masa penjajahan Belanda tidak tergarap dengan baik, sehingga tidak terlalu banyak yang diwariskan Belanda dari sektor perikanan ini (Satria, 2001).

Secara eksplisit kurang berkembangnya kinerja di sektor perikanan pada masa pemerintahan Orde Baru juga disebabkan oleh skenario industrialisasi yang tidak berpihak pada sektor pertanian (termasuk perikanan didalamnya). Industrialisasi selama PJP I didominasi pola industri subsitusi impor. Industri yang bersifat subsitusi impor tersebut memiliki keterkaitan yang rendah

Page 3: Modernisasi Perikanan

terhadap pertanian, karena industri ini bersifat padat modal dengan ketergantungan bahan baku impor, dan barang yang diproduksinya adalah barang-barang mewah untuk konsumsi kalangan berpendapatan tinggi. Industri dengan orientasi substitusi impor ini mendapat fasilitas fiskal dan proteksi atau subsidi dari pemerintah sehingga membuat pengusaha tidak begitu tertarik pada kegiatan ekspor (Arif, 1990). Profil industrialisasi pada PJP I yang demikian itu ternyata penuh dengan distorsi dengan sejumlah problem ekonomi politik (kolusi, korupsi dan konglomerasi) dan telah memberikan andil yang besar terhadap terpuruknya sektor pertanian, yang akar permasalahannya lebih banyak disebabkan oleh di luar sektor pertanian itu sendiri (Damanhuri, 1998).

Faktor lain yang juga tidak kalah pentingnya adalah, tidak kuatnya posisi sektor perikanan pada masa lalu akibat belum terbentuknya departemen yang secara khusus menangani sektor ini. Sehingga masalah perikanan masih hanya ditangani di tingkat direktorat jenderal yang memiliki kekuatan tawar relatif rendah dibandingkan dengan tingkat departemen atau kementerian. Persoalan-persoalan kepentingan di sektor perikanan (termasuk masyarakat nelayan) seringkali terkalahkan oleh kepentingan-kepentingan di sektor lain (Damanhuri, 1996).

Di sisi lain, ada kendala yang terkait dengan kebijakan moneter, fiskal, dan investasi yang tidak berpihak pada sektor riil, khususnya kelautan dan perikanan, serta masalah keamanan. Kebijakan yang tidak berpihak tersebut antara lain suku bunga untuk pendanaan sektor kelautan dan perikanan. Di Jepang misalnya, untuk pendanaan sektor kelautan dan perikanan, suku bunga kredit tidak lebih dari 3 persen per tahun, begitu pula di Australia dan Thailand yang hanya 3-9 persen. Selama rezim Orde Baru, hanya 0,02 persen kredit perbankan untuk kredit perikanan. Sementara nilai investasi domestik untuk sektor ini hanya 1,37 persen dan investasi asing hanya 0,31 persen dalam 32 tahun 1967-1999 (Karim, 2003). Sehingga tidak mengherankan jika dibandingkan dengan negara lain yang juga berkiprah di sektor ini (perikanan), prestasi Indonesia relatif sangat jauh tertinggal. Negara Norwegia misalnya, dengan porsi penduduk yang terlibat dalam usaha perikanan hanya kurang lebih 17.000 orang, pada tahun 1993 mereka bisa menghasilkan devisa sekitar 2,4 milliar US$ (Rp. 5,76 trilliun) per tahun. Di Indonesia, pada tahun yang sama, dengan jumlah penduduk yang terlibat dalam usaha perikanan sebanyak 1.889.524 orang (937.260 orang diantaranya nelayan penuh), nilai ekspornya hanya 1,58 miliar US$ (Rp. 3,79 triliun). Artinya, jika setiap nelayan Norwegia menghasilkan devisa senilai Rp. 339 juta/tahun, maka nelayan Indonesia hanya mampu menghasilkan Rp. 2 juta/tahun (Amir dan Sugiharsono, 1996).

Namun sekarang ini (Orde Reformasi), meskipun terlambat, telah muncul kesadaran baru bahwa menyia-nyiakan potensi kelautan dan perikanan adalah sebuah kebodohan dan kerugian besar. Hal ini dibuktikan ketika bangsa Indonesia mengalami puncak krisis ekonomi dan moneter sepanjang tahun 1997-1998, yang ditandai oleh jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar, serta terpuruknya sektor-sektor ekonomi yang berbasis bahan baku impor. Sektor pertanian termasuk

Page 4: Modernisasi Perikanan

perikanan di dalamnya, justru tampil sebagai “sektor penyelamat” dan menjadi satu-satunya sektor yang tumbuh positif. Sepanjang tahun tersebut, perikanan mencatat perkembangan nilai ekspor sekitar US$ 2,5 milyar atau sekitar Rp 22,5 trilyun (Ditjjen Perikanan, 1999). Kemampuan sektor perikanan untuk bertahan selama masa krisis menandakan bahwa komoditas ini memiliki dasar yang sangat kuat sebagai salah satu pilar perekonomian nasional. Kembalinya kesadaran bahwa negeri ini negeri bahari yang sarat dengan potensi yang menjanjikan mulai muncul saat kepemimpinan mantan Presiden Abdurrahman Wahid, dengan langkah awal membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sebagai lokomotif pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan di negeri ini.