modifikasi struktur senyawa etil p-...

Download MODIFIKASI STRUKTUR SENYAWA ETIL P- …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29211/1/INDAH... · untuk mensubstitusi gugus karboksilat dengan 4 rantai karbon sehingga

If you can't read please download the document

Upload: dodat

Post on 09-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

MODIFIKASI STRUKTUR SENYAWA ETIL P-

METOKSISINAMAT MELALUI PROSES NITRASI-

ESTERIFIKASI DENGAN 1-BUTANOL SERTA UJI

AKTIVITAS SEBAGAI ANTIINFLAMASI

SKRIPSI

INDAH NUNIK NUGRAINI

1111102000101

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JUNI 2015

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

MODIFIKASI STRUKTUR SENYAWA ETIL P-

METOKSISINAMAT MELALUI PROSES NITRASI-

ESTERIFIKASI DENGAN 1-BUTANOL SERTA UJI

AKTIVITAS SEBAGAI ANTIINFLAMASI

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi

INDAH NUNIK NUGRAINI

1111102000101

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JUNI 2015

ABSTRAK

Nama : Indah Nunik Nugraini

Program Studi : Strata-1-Farmasi

Judul : Modifikasi Struktur Senyawa Etil P-

metoksisinamat Melalui Proses Nitrasi-

Esterifikasi dengan 1-Butanol Serta Uji Aktivitas

Sebagai Antiinflamasi

Etil p-metoksisinamat (EPMS) merupakan salah satu metabolit sekunder yang

terdapat pada tanaman kencur (Kaempferia galanga Linn) dalam jumlah yang

relatif besar dan memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi. Penelitian ini bertujuan

untuk melakukan modifikasi struktur senyawa etil p-metoksisinamat dan melihat

pengaruh hasil modifikasi terhadap aktivitas antiinflamasinya. Modifikasi

senyawa etil p-metoksisinamat (EPMS) melalui proses nitrasi-esterifikasi dengan

1-butanol telah dilakukan untuk mengeksplorasi lebih jauh hubungan struktur

aktivitas senyawa turunan EPMS terhadap antiinflamasi. Sebelum dimodifikasi,

EPMS terlebih dahulu diubah menjadi asam p-metoksisinamat (APMS) melalui

reaksi hidrolisis. Modifikasi senyawa APMS dilakukan secara dua tahap, pertama

melalui reaksi nitrasi dengan asam nitrat 65 % untuk memasukkan gugus NO2

pada cincin benzen dan yang kedua melalui reaksi esterifikasi dengan 1-butanol

untuk mensubstitusi gugus karboksilat dengan 4 rantai karbon sehingga

menghasilkan senyawa butil 4-metoksi 6-nitrosinamat dengan rendemen

10,7241 %. Berdasarkan uji aktivitas antiinflamasi yang dilakukan dengan

menggunakan metode inhibisi denaturasi protein BSA didapatkan bahwa senyawa

butil 4-metoksi 6-nitrosinamat aktif sebagai agen antiinflamasi pada konsentrasi

0,1-10 ppm, namun aktivitas antiinflamasinya tidak lebih tinggi dari pada etil p-

metoksisinamat. Sementara, senyawa APMS tidak memiliki aktivitas

antiinflamasi. Dengan demikian, hubungan struktur aktivitas antiinflamasi

terhadap senyawa hasil modifikasi menunjukkan bahwa gugus ester pada turunan

senyawa EPMS memiliki peran penting terhadap aktivitas antiinflamasi.

Kata kunci : Etil p-metoksisinamat, asam p-metoksisinamat, nitrasi,

esterifikasi, Bovine Serum Albumin.

ABSTRACT

Name : Indah Nunik Nugraini

Programme Study : Strata-1-Pharmacy

Title : Modification of Ethyl P-methoxycinnamate

Compound Through Nitration-Esterification

Process with 1-Butanol and Antiinflammatory

Activity Test

Ethyl p-metoxycinnamate (EPMC) is one of secondary metabolite which is found

in kencur (Kaempferia galanga Linn) in relatively large quantity and has

antiinflammatory activity. The aims of this study were to modify ethyl p-

metoxycinnamate acid structure and determine the modification effect toward its

antiinflammatory activity. Modification of ethyl p-methoxycinnamate compound

through nitration-esterification process with 1-Butanol had been done to explore

structure activity relationship against the antiinflammatory. Before being modified,

EPMC was converted to be p-metoxycinnamate acid (PMCA) by hidrolysis

reaction. In this research, there are two processes of reaction to modify PMCA.

First, nitration of PMCA with nitric acid 65 % to subtitute NO2 group in benzene

ring, and the second is esterification with 1-butanol to subtitute carboxylate group

with esther 4 carbon chain produces butyl 4-methoxy 6-nitrocinnamate compound

in 10,7241 % yield. Based on antiinflammatory activity assays using inhibition of

bovine serum albumine (BSA) denaturation method found that butyl 4-methoxy 6-

nitrocinnamate was active as an anti-inflammatory agent, however its anti-

inflammatory activity was not higher than ethyl p-metoxycinnamate. While, the p-

metoxycinnamate acid compound did not have anti-inflammatory activity. Thus,

the relationship of anti-inflammatory activity toward modified compound

indicates that the ester group in EPMC derivatives have an important role in anti-

inflammatory activity.

Key word : Ethyl p-methoxycinnamate, p-methoxycinnamate acid,

nitration, estherification, Bovine Serum Albumin.

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa

mencurahkan segala rahmat-Nya kepada kita semua, khususnya penulis dalam

menyelesaikan skripsi yang berjudul Modifikasi Struktur Senyawa Etil p-

Metoksisinamat Melalui Proses Nitrasi-Esterifikasi Dengan 1-Butanol Serta

Uji Aktivitas Sebagai Antiinflamasi. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam

rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi pada

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Dalam penulisan skripsi ini tentu banyak berbagai kesulitan dan halangan

yang menyertai, sehingga penulis tidak terlepas dari doa, bantuan, dan bimbingan

berbagai pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt. sebagai Pembimbing I sekaligus

Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan ilmu, nasehat,

waktu, tenaga, dan dukungan moral maupun material selama masa

perkuliahan, penelitian, hingga penulisan skripsi.

2. Ibu Ofa Suzanti Betha, M.Si., Apt. sebagai Pembimbing II yang telah

membimbing dan memberikan masukan terhadap proses penulisan skripsi.

3. Bapak Dr. H Arif Sumantri, SKM., M.Kes. selaku Dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Yardi, Ph.D., Apt. atas dedikasi dan profesionalitas beliau sebagai

ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak dan Ibu staf pengajar, serta karyawan yang telah memberikan

bimbingan dan bantuan selama menempuh pendidikan di Program Studi

Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Sartiman Winarto Hidayat dan

Ibuunda Siti Nurhasanah yang selalu ikhlas memberikan dukungan moral,

material, nasehat, serta lantunan doa yang tiada pernah putus di setiap

waktu.

7. Kakak Sigit Sulistyawan yang selalu memberikan semangat dan Adik Adji

Setia Negara yang selalu tersenyum memberikan keceriaan dan semangat

untuk meraih cita.

8. Kakak-kakak dan teman-teman seperjuangan di Laboratorium PHA,

Kingdom EPMS: Kak Ivo, Kak Fikri, Nova, Indri, Ali, Aziz, Reza, Sutar,

Mida, Aditya, dan Bahtiar atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan.

9. Teman-teman di Program Studi Farmasi 2011: Nindya, Elsa, Puji, Subhan,

Andis, Annisa, Aditya, Fitri, Beryl serta teman-teman Farmasi 2011 beng-

beng atas semangat dan kebersamaan kita selama perkuliahan berlangsung.

10. Teman-teman BEM FKIK 2012-2014 dan FUN (FKIK Untuk Negeri)

sebagai keluarga kecil yang selalu memberikan doa dan semangat

kebersamaan selama masa kuliah.

11. Arif Setiyawan yang selalu hadir memberi semangat dan dukungan tanpa

henti, yang selalu menemani suka duka, yang selalu memotivasi dan

menginspirasi.

12. Semua pihak yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian

dan penulisan.

Semoga semua bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari

Allah SWT. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun

akan penulis nantikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan.

Ciputat, 30 Juni 2015

Penulis

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Indah Nunik Nugraini

NIM : 1111102000101

Program Studi : Strata-1 Farmasi

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Jenis Karya : Skripsi

demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya,

dengan judul :

MODIFIKASI STRUKTUR SENYAWA ETIL P-METOKSISINAMAT

MELALUI PROSES NITRASI-ESTERIFIKASI DENGAN 1-BUTANOL

SERTA UJI AKTIVITAS SEBAGAI ANTIINFLAMASI

untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital

Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Demikian pernyataan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta

Pada tanggal : 30 Juni 2015

Yang menyatakan,

(Indah Nunik Nugraini)

Yang menyatakan,

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................. iii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... iv

HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. v

ABSTRAK ........................................................................................................... vi

KATA PENGANTAR ....................................................................................... viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS

AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ............................................. x

DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... vi

DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiv

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvi

DAFTAR ISTILAH ......................................................................................... xvii

BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 4

1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 4

1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................. 4

1.5 Hipotesis ................................................................................................. 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 6

2.1 Tumbuhan Kencur .................................................................................. 6

2.1.1 Klasifikasi ................................................................................... 7

2.1.2 Tempat Tumbuh ......................................................................... 7

2.1.3 Kandungan Kimia Kaempferia galanga L. ................................ 7

2.1.4 Manfaat Kaempferia galanga L. ................................................ 9

2.2 Senyawa Etil p-metoksisinamat ............................................................. 9

2.2.1 Isolasi Senyawa Etil p-Metoksisinamat .................................... 10

2.3 Hidrolisis ............................................................................................. 11

2.4 Nitrasi .................................................................................................. 14

2.5 Esterifikasi ........................................................................................... 16

2.6 Spesifikasi Asam Nitrat dan Etanolamin ..............................................18

2.6.1 Asam Nitrat ............................................................................... 18

2.6.2 1-Butanol .................................................................................. 18

2.7 Gelombang Mikro ................................................................................. 19

2.7.1 Prinsip Umum ............................................................................ 19

2.7.2 Mekanisme Pemanasan .............................................................. 19

2.7.3 Instrumentasi Oven Gelombang Mikro ..................................... 20

2.8 Identifikasi ........................................................................................... 21

2.8.1 Kromatografi ............................................................................ 21

a. Kromatografi Lapis Tipis ................................................. 21

b. Kromatografi Kolom ........................................................ 23

2.8.2 Spektrofotometri ....................................................................... 24

a. Spektrofotometri IR .......................................................... 25

b. Spektrofotometri UV-Vis ................................................. 25

c. Spektrofotometri Resonansi Magnetik ............................. 27

2.9 Inflamasi .............................................................................................. 28

2.9.1 Definisi Inflamasi ..................................................................... 28

2.9.2 Mekanisme Inflamasi ............................................................... 29

2.9.3 Obat-Obat Antiinflamasi .......................................................... 30

a. Antiinflamasi Steroid ........................................................ 30

b. Antiinflamasi Non Steroid ................................................ 30

2.9.4 Natrium Diklofenak .................................................................. 31

2.10 Uji Antiinflamasi ................................................................................ 31

2.10.1 Bovine Serum Albumin (BSA) ................................................ 32

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ........................................................... 34

3.1 Tempat dan Waktu ................................................................................ 34

3.1.1 Tempat ....................................................................................... 34

3.1.2 Waktu .......................................................................................... 34

3.2 Alat dan Bahan ..................................................................................... 34

3.2.1 Alat ............................................................................................. 34

3.2.2 Bahan .......................................................................................... 34

3.3 Prosedur Penelitian ............................................................................... 35

3.3.1 Modifikasi Etil p-metoksisinamat ............................................. 35

a. Hidrolisis Etil p-metoksisinamat ......................................... 35

b. Nitrasi Asam p-metoksisinamat .......................................... 35

c. Esterifikasi Senyawa Hasil Reaksi Nitrasi .......................... 36

3.3.2 Pemurnian dengan Kromatografi Kolom .................................. 36

3.3.3 Identifikasi Senyawa .................................................................. 36

a. Identifikasi Organoleptis ..................................................... 36

b. Pengukuran Titik Leleh ....................................................... 36

c. Identifikasi senyawa menggunakan FTIR ........................... 37

d. Identifikasi senyawa menggunakan GCMS ........................ 37

e. Identifikasi senyawa menggunakan H1-NMR dan C

13-

NMR .................................................................................... 37

3.3.4 Uji In Vitro Antiinflamasi .......................................................... 37

a. Pembuatan Reagen untuk Uji Antiinflamasi ....................... 37

b. Pengujian Aktivitas Senyawa Hasil Modifikasi Terhadap

Denaturasi BSA ................................................................... 39

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 41

4.1 Modifikasi Struktur Asam p-metoksisinamat ....................................... 41

4.1.1 Reaksi Hidrolisis Etil p-metoksisinamat .................................... 42

4.1.2 Reaksi Nitrasi Asam p-metoksisinamat ..................................... 45

4.1.3 Reaksi Esterifikasi Senyawa Hasil Nitrasi ................................. 46

4.2 Identifikasi Senyawa Hasil Modifikasi.................................................. 49

4.2.1 Senyawa Hasil Hidrolisis Etil p-metoksisinamat ....................... 50

4.2.2 Hasil Nitrasi APMS .................................................................... 52

4.2.3 Senyawa Hasil Esterifikasi (Senyawa B) ................................... 53

4.3 Pengujian Aktivitas Antiinflamasi dan Hubungan Struktur Aktivitas

Senyawa Hasil Modifikasi ................................................................... 58

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 63

5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 63

5.2 Saran ..................................................................................................... 63

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 64

LAMPIRAN ........................................................................................................ 69

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1

Gambar 2.2

Gambar 2.3

Gambar 2.4

Gambar 2.5

Gambar 2.6

Gambar 2.7

Gambar 2.8

Gambar 2.9

Gambar 2.10

Gambar 2.11

Gambar 2.12

Gambar 2.13

Gambar 4.1

Gambar 4.2

Gambar 4.3

Gambar 4.4

Gambar 4.5

Gambar 4.6

Gambar 4.7

Gambar 4.8

Gambar 4.9

Gambar 4.10

Gambar 4.11

Gambar 4.12

Gambar 4.13

Gambar 4.14

Gambar 4.15

Gambar 4.16

Gambar 4.17

Gambar 4.18

Gambar 4.19

Gambar 4.20

Rimpang kencur (Kaempferia galanga L) .....................................

Struktur Senyawa dari (a) beta-sitosterol (b) etil p-metoksisinamat

(c) pentadekan (d) asam tridekanoat .................................................

Jalur sikimat untuk menghasilkan etil p-metoksisinamat ................

Prisnsip Reaksi Hidrolisis ................................................................

Mekanisme Reaksi Hidrolisis pada Ester .........................................

Mekanisme Reaksi Hidrolisis Ester dengan Katalis Basa ................

Mekanisme Hidrolisis Etil p-metoksisinamat ..................................

Struktur Asam p-metoksisinamat .....................................................

Mekanisme Reaksi Nitrasi dengan HNO3 dan H2SO4 pada Senyawa

Aromatik .........................................................................................

Struktur Senyawa 1-Butanol ..........................................................

Instrumentasi Oven Microwave .....................................................

Skema Kromatografi Lapis Tipis....................................................

Mekanisme Inflamasi .....................................................................

Mekanisme Reaksi Hidrolisis EPMS ...............................................

Pola Spot KLT Hasil Hidrolis ..........................................................

Reaksi Nitrasi APMS .......................................................................

Residu Hasil Penyaringan pada Reaksi Nitrasi APMS ....................

Reaksi Esterifikasi Senyawa Hasil Nitrasi .......................................

Pola Spot KLT Setelah Reaksi Esterifikasi ......................................

KLT Senyawa Hasil Esterifikasi Setelah Pemurnian .......................

Identifikasi Senyawa Modifikasi dengan KLT ................................

Senyawa Hasil Hidrolisis EPMS ....................................................

Pola Fragmentasi GCMS Asam p-metoksisinamat ...........................

Struktur Asam p-metoksisinamat ...................................................

Hasil Reaksi Nitrasi yang Mengandung Senyawa A ..................... Pola KLT Hasil Reaksi Nitrasi APMS ..............................................

Senyawa B .........................................................................................

Spektrum IR Senyawa B ....................................................................

Fragmentasi GCMS Senyawa B ........................................................

Pola Kromatogram GCMS Senyawa B .............................................

Spektrum H-NMR Senyawa B ..........................................................

Struktur Senyawa Hasil Esterifikasi dan Etil 4-metoksi 6-nitro

sinamat ...............................................................................................

Grafik Persen Inhibisi Denaturasi Protein BSA ................................

6

8

11

11

12

13

13

14

15

19

21

23

29

43

44

45

46

47

48

49

49

50

51

52

52

53

53

54

55

56

56

57

60

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1

Tabel 4.2

Tabel 4.3

Spektrum IR Senyawa Esterifikasi Hasil Nitrasi ..........................

Data Pergeseran Kimia () Spektrum 1H-NMR Senyawa

Hasil Esterifikasi...........................................................................

Hasil Uji Aktivitas Antiinflamasi ...................................................

55

57

59

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kerangka Penelitian .........................................................................69

Lampiran 2. Skema Identifikasi Senyawa Hasil Modifikasi ................................ 70

Lampiran 3. Alat dan Bahan Penelitian ............................................................... 71

Lampiran 4. Alur Kerja Reaksi Esterifikasi ......................................................... 73

Lampiran 5. Perhitungan Reaksi .......................................................................... 75

Lampiran 6. Optimasi Reaksi Hidrolisis ............................................................ 76

Lampiran 7. Optimasi Reaksi Nitrasi ................................................................. 77

Lampiran 8. Optimasi Reaksi Esterifikasi ........................................................ 78

Lampiran 9. Gambar Senyawa ............................................................................. 79

Lampiran 10. Spektrum GCMS Asam p-metoksisinamat .................................... 80

Lampiran 11. Spektrum IR Hasil Esterifikasi ...................................................... 82

Lampiran 12. Spektrum GCMS Hasil Esterifikasi ............................................... 83

Lampiran 13. Spektrum H1-NMR Hasil Esterifikasi ........................................... 85

Lampiran 14. Spektrum C13

-NMR Hasil Esterifikasi .......................................... 89

Lampiran 15. Hasil Perhitungan Uji Antiinflamasi ............................................. 93

Lampiran 16. Diagram Hasil Uji Antiinflamasi ................................................... 95

DAFTAR ISTILAH

APMS Asam p-metoksisinamat

COX Cyclooxigenase (Siklooksigenase)

DSC Differential Scanning Calorimeter

EPMS Etil p-metoksisinamat

g Gram

GCMS Gas Chromatography Mass Spectrofotometry

IC Inhibitor Concentration

IR Infra Red

KLT Kromatografi Lapis Tipis

MIC Minimum Inhibitor Concentration

NMR Nuclear Magnetic Resonance

UV Ultra Violet

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara megabiodiversity yang kaya akan tanaman

obat, dan sangat potensial untuk dikembangkan, namun pengelolaannya

belum dilakukan secara maksimal. Kekayaan alam flora di Indonesia

meliputi 30.000 jenis tumbuhan dari total 40.000 jenis tumbuhan di dunia.

940 jenis diantaranya merupakan tumbuhan berkhasiat obat (jumlah ini

merupakan 90% dari jumlah tumbuhan obat di Asia). Namun berdasarkan

hasil penelitian, dari sekian banyak jenis tanaman obat, baru 20-22% yang

dibudidayakan. Sedangkan sekitar 78% diperoleh melalui pengambilan

langsung (eksplorasi) dari hutan (Masyhud, 2010).

Butuh adanya strategi untuk mengurangi ketergantungan terhadap

bahan baku obat dari tanaman. Termasuk diantaranya adalah upaya untuk

meningkatkan penelitian dan pengembangan terhadap potensi alam

Indonesia terkait isolasi, sintesis, maupun modifikasi lebih lanjut untuk

mendapatkan hasil dan aktivitas obat yang lebih baik dengan biaya yang

layak secara ekonomi, kemudian berkembang untuk mendapatkan obat

dengan efek samping yang minimal (aman digunakan), bekerja selektif,

masa kerja lebih lama, dan meningkatkan kenyaman pemakaian obat

(Kemristek RI, 2009)

Kencur (Kaempferia galanga L) sebagai salah satu tanaman obat

memiliki prospek baik untuk dikembangkan. Salah satu alasan

pengembangan tanaman kencur adalah kandungan bahan aktif yang

beragam dan cukup tinggi yang mampu mencegah maupun mengobati

berbagai penyakit (Siswanto et al., 2010).

Adapun berbagai pengujian aktivitas terhadap ekstrak kencur telah

dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu. Ekstrak minyak atsiri kencur

telah diteliti memiliki aktivitas antibakteri dan antijamur (Tewtrakul et al.,

1

2

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2005). Ekstrak etanol rimpang kencur memiliki daya hambat yang baik

terhadap jamur Trichophyton mentagrophytes dan Cryptococcus

neoformans yang merupakan jamur penyabab penyakit kurap pada kulit dan

penyakit paru (Gholib, 2009). Selain itu, ekstrak etanol kencur dapat

berperan sebagai antiinflamasi dan analgesik (Vittalrao, 2011) dan sebagai

penyembuh luka (Tara, 2006).

Umar et al. (2012) telah meneliti kandungan yang terdapat dalam

ekstrak kencur. Adapun senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam

ekstrak kencur adalah etil p-metoksisinamat (80,05%), beta-sitosterol

(9,88%), asam propionate (4,7%), pentadekan (2,08%), asam tridekanoat

(1,81%), dan 1,21-docosadiene (1,47%). Menurut data tersebut, jelas bahwa

etil p-metoksisinamat adalah komponen utama (major coumpound) dalam

ekstrak kencur.

Etil p-metoksisinamat berperan penting terhadap berbagai aktivitas

yang dimiliki oleh tanaman kencur. Dalam studi in vitro, etil p-

metoksisinamat secara non-selektif mampu menghambat aktivitas COX-1

dan COX-2, dengan masing-masng nilai IC50 1,12 M dan 0,83 M. Hasil

ini memvalidasi aktivitas antiinflamasi kencur yang dihasilkan oleh

penghambatan COX-1 dan COX-2 (Umar et al., 2012). Penelitian terbaru

oleh Ju Ko et al. (2014) menunjukkan bahwa etil p-metoksisinamat mampu

menghambat pembentukan melanin sehingga memungkinkan untuk menjadi

salah satu alternatif pengobatan pada kasus hiperpigmentasi.

Senyawa etil p-metoksisinamat, yang merupakan salah satu senyawa

utama dalam rimpang kencur, telah mendorong para ahli kimia medisinal

untuk melakukan pengembangan terhadap senyawa tersebut. Diantaranya,

sintesis oktil p-metoksisinamat sebagai sunblock melalui reaksi

transesterifikasi (Suzana, 2011), modifikasi etil p-metoksisinamat sebagai

agen kemopreventif pada fibrosarkoma tikus (Ekowati et al., 2012), dan

modifikasi etil p-metoksisinamat melalui reaksi hidrolisis dapat

menghilangkan aktivitas antiinflamasi (Mufidah, 2014).

3

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Salah satu hal yang mendasari penulis untuk melakukan modifikasi

terhadap senyawa etil p-metoksisinamat adalah karena senyawa turunan

sinamat tersebut mempunyai gugus fungsi reaktif seperti olefin dan ester

yang mudah ditransformasikan menjadi gugus fungsi lain, sehingga

senyawa etil p-metoksisinamat merupakan senyawa yang potensial sebagai

bahan dasar sintesis (Surbakti, 2008). Selain itu, senyawa etil p-

metoksisinamat juga relatif mudah diisolasi dari ekstrak tanaman kencur.

Bentuk modifikasi yang akan dilakukan adalah dengan menambahkan

gugus nitro (NO2) pada cincin benzen etil p-metoksisinamat melalui reaksi

nitrasi dan mensubstitusi gugus karboksilat dengan gugus butil ester melalui

reaksi esterifikasi menggunakan 1-butanol. Pemilihan reaksi didasarkan

pada teori bahwa penambahan gugus NO2 dan rantai karbon pada bagian

ester menunjukkan efek induksi negatif yang dapat mempengaruhi

keelektronegatifan suatu senyawa dengan demikian akan memberikan

perubahan sifat kimia fisika senyawa dan mempengaruhi aktivitas

biologisnya (Siswandono, 2008), sehingga ini menjadi menarik untuk

dilakukan.

Menurut penelitian sebelumnya oleh Rakesh et al., (2015)

menunjukkan bahwa turunan senyawa modifikasi quinazolinone yang

memiliki gugus Cl dan NO2 mampu menghasilkan agen antiinflamasi yang

lebih baik dari aspirin (Rakesh et al., 2015). Sedangkan, penambahan gugus

butil melalui reaksi esterifikasi dapat meningkatkan lipofilisitas senyawa,

dengan demikian akan terjadi perbedaan polaritas yang mungkin dapat

mempengaruhi aktivitas antiinlamasi. Inilah dasar yang memperkuat

pemilihan reaksi nitrasi-esterifikasi dalam penelitian ini.

Penelitian modifikasi struktur EPMS melalui reaksi nitrasi telah

dilakukan oleh Mufidah (2014), namun hal tersebut menyebabkan terjadinya

degradasi sinamat. Selain itu, peneliti telah melakukan studi pendahuluan

reaksi nitrasi dari asam p-metoksisinamat. Oleh karena itu, penelitian ini

menggunakan turunan asam dari etil p-metoksisinamat sebagai starting

material.

4

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Uji antiinflamasi hasil modifikasi senyawa dilakukan secara in vitro

menggunakan metode inhibisi denaturasi Bovine Serum Albumine (BSA).

Pengujian ini dipilih karena mudah, hanya menggunakan sampel dalam

jumlah sedikit, memiliki waktu analisis yang cepat dan merupakan uji

pendahuluan yang dilakukan sebagai skrining awal aktivitas antiinflamasi

(Mufidah, 2014).

1.2. Rumusan Masalah

a. Apakah gugus fungsi pada senyawa etil p-metoksisinamat dapat

ditransformasi melalui reaksi nitrasi-esterifikasi dengan 1-butanol?

b. Bagaimana hubungan struktur senyawa hasil transformasi gugus fungsi

etil p-metoksisinamat terhadap aktivitas antiinflamasi?

1.3. Tujuan Penelitian

a. Melakukan modifikasi struktur senyawa etil p-metoksisinamat melalui

reaksi nitrasi-esterifikasi.

b. Menganalisis hubungan struktur aktivitas antiinflamasi senyawa hasil

modifikasi yang dihasilkan dari transformasi gugus fungsi etil p-

metoksisinamat.

1.4. Manfaat Penelitian

a. Mendapatkan senyawa turunan etil p-metoksisinamat yang diharapkan

mampu memberikan informasi baru mengenai hubungan struktur

aktivitas senyawa turunan etil p-metoksisinamat sebagai agen

antiinflamasi.

b. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi

untuk proses modifikasi struktur dan uji aktivitas dari senyawa etil p-

metoksisinamat lebih lanjut.

5

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1.5. Hipotesis

Penambahan gugus nitro dan butil ester pada senyawa etil p-

metoksisinamat akan memberikan pengaruh terhadap aktivitas antiinflamasi.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan Kencur

Gambar 2.1 Rimpang kencur (Kaempferia galanga L)

Tumbuhan kencur (Kaempferia galanga L) diperkirakan berasal dari

India. Meskipun demikian, kencur sudah menyebar luas di berbagai negara

terutama di benua Asia (Rukmana, 1994). Kencur merupakan tanaman tropis

yang banyak tumbuh di berbagai daerah di Indonesia sebagai tanaman yang

dipelihara. Bagian tanaman yang sering digunakan adalah rimpang yang

mempunyai aroma yang khas dan lembut sehingga mudah membedakannya

dengan jenis Zingiberaceae lain.

Daun kencur berbentuk bulat lebar, tumbuh mendatar diatas permukaan

tanah dengan jumlah daun tiga sampai empat helai. Permukaan daun sebelah

atas berwarna hijau sedangkan sebelah bawah berwarna hijau pucat. Panjang

daun berukuran 10-12 cm dengan lebar 8-10 cm mempunyai sirip daun yang

tipis dari pangkal tanpa tulang induk daun yang nyata (Backer, 1986).

Rimpang kencur terdapat di dalam tanah bergerombol dan bercabang-

cabang dengan induk rimpang di tengah. Kulit ari berwarna coklat dan bagian

dalam putih berair dengan aroma yang tajam. Rimpang yang masih muda

berwarna putih kekuningan dengan kandungan air yang lebih banyak dan

rimpang yang lebih tua ditumbuhi akar pada ruas rimpang berwarna putih

kekuningan (Backer, 1986).

6

7

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Bunga kencur berwarna putih berbau harum terdiri dari empat helai

daun mahkota. Tangkai bunga berdaun kecil-kecil sepanjang 2-3 cm, tidak

bercabang, dapat tumbuh lebih dari satu tangkai, panjang tangkai 5-7 cm

berbentuk bulat dan beruas-ruas. Putik menonjol ke atas berukuran 1-1,5 cm,

tangkai sari berbentuk corong pendek. Bunga kencur termasuk ke dalam

bunga majemuk sempurna (lengkap), karena mempunyai bunga jantan, bunga

betina, mahkota, dan kelopak bunga yang terletak dalam satu anak bunga

(Haryudi, 2008).

2.1.1 Klasifikasi (USDA)

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Trecheobionta

Super divisi : Spematophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Sub Kelas : Commenlinidae

Ordo : Zingiberales

Famili : Zingiberaceae

Genus : Kaempferia

Spesies : Kaempferia galanga Linn.

2.1.2 Tempat Tumbuh

Kencur merupakan temu kecil yang tumbuh subur di daerah

dataran rendah atau pegunungan yang tanahnya gembur (Armando,

2009). Produksi, mutu, dan kandungan bahan aktif di dalam rimpang

kencur ditentukan oleh varietas cara budidaya dan lingkungan tempat

tumbuhnya (Muhlisah, 1999).

Kencur dapat tumbuh di berbagai tempat di dataran rendah

hingga pegunungan dengan ketinggian daerah antara 80 700 m dari

permukaan laut. Tanaman ini menghendaki tanah yang subur dan

gembur. Kencur tumbuh lebih baik pada tempat yang sedikit

terlindung (Syukur, Hernani, 2001). Tumbuhan kencur yang ditanam

8

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pada ketinggian lebih dari 600 m dpl. mempunyai resiko

pertumbuhan yang kurang baik. Selain itu, peta curah hujan di Jawa

menunjukkan bahwa kencur dapat beradaptasi di daerah yang basah (9

bulan basah) maupun yang sedang (5-6 bulan basah dan 5-6 bulan

kering) dan mencakup areal kira-kira 60% dari luas pulau Jawa

(Roemantyo, 1996).

2.1.3 Kandungan Kimia Kaempferia galanga L.

Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Umar et al. (2012),

kandungan senyawa kimia dalam ekstrak kencur adalah asam

propionat (4,71%), pantadekan (2,08%), asam tridekanoat (1,81%),

1,21-docosadiene (1,47%), beta-sitosterol (9,88 %), dan etil p-

metoksisinamat sebagai komponen terbesar (80,05%). Selain itu, pada

penelitian yang dilakukan oleh Tewtrakul et al. (2005) juga

dipaparkan bahwa terdapat kandungan -pinen, kamphen, karvon,

benzen, eukaliptol, borneol, dan metil sinamat dalam tanaman kencur.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 2.2 Struktur Senyawa dari (a) beta-sitosterol (b) etil p-metoksisinamat (c)

pentadekan (d) asam tridekanoat

9

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.1.4 Manfaat Kaempferia galanga L.

Kencur merupakan jenis tanaman obat potensial yang dapat

dimanfaatkan sebagai bahan baku minuman untuk kesehatan, obat-

obatan dan penyedap masakan, serta dapat juga dimanfaatkan sebagai

kosmetik (Haryudin et al., 2008). Dalam ramuan obat tradisional

(jamu) kencur dipakai sebagai obat luar (topikal) maupun obat dalam

(oral). Jamu yang mengandung kencur digunakan untuk pengobatan

antara lain antiinflamasi, antimikroba, analgesik dan antipiretik

(Suwito, 2005).

2.2 Senyawa Etil p-metoksisinamat

Etil pmetoksisinamat (C12H14O3) termasuk turunan asam sinamat,

dimana asam sinamat adalah turunan senyawa fenil propanoat. Senyawa

EPMS berbentuk kristal berwarna putih dengan berat molekul 206,24 g/mol

dan memiliki titik lebur 55-56oC (Bangun, 2011). EPMS sebelumnya

dimanfaatkan sebagai bahan tabir surya (Windono et al., 1997), namun

dewasa ini telah diteliti lebih lanjut bahwa EPMS merupakan senyawa isolat

kencur yang memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi non selektif

menghambat COX-1 dan COX-2 secara in vitro. Etil p-metoksisinamat

(EPMS) mampu menghambat induksi edema karagenan pada tikus dengan

MIC 100 mg/kg dan juga berdasarkan hasil uji in vitro EPMS secara non-

selektif menghambat aktivitas COX-1 dan COX-2 dengan nilai IC 50

masing-masing 1,12 M dan 0,83 M (Umar et al., 2012).

Etil p-metoksisinamat adalah salah satu produk alam yang terdapat

pada kencur (Kaempferia galanga) dalam jumlah yang relatif besar. Isolasi

dan pemurnian etil p-metoksisinamat dapat dilakukan dengan mudah, selain

itu etil p-metoksisinamat mempunyai gugus fungsi yang reaktif sehingga

sangat mudah ditransformasikan menjadi gugus fungsi lain (Barus, 2009).

EPMS merupakan salah satu senyawa turunan asam sinamat dengan

demikian jalur biosintesis senyawa EPMS adalah melalui jalur biosintesis

asam sikhimat.

10

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 2.3 Jalur sikimat untuk menghasilkan etil p-metoksisinamat

2.2.1 Isolasi Senyawa Etil p-metoksisinamat

EPMS termasuk ke dalam senyawa ester yang mengandung

cincin benzene dan gugus metoksi yang bersifat nonpolar dan juga

gugus karbonil yang mengikat etil yang bersifat sedikit polar sehingga

dalam ekstraksinya dapat menggunakan pelarut-pelarut yang

mempunyai variasi kepolaran yaitu etanol, etil asetat, metanol, air dan

heksan. Dalam ekstrasi suatu senyawa yang harus diperhatikan adalah

11

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kepolaran antara pelarut dengan senyawa yang diekstrak, keduanya

harus memiliki kepolaran yang sama atau mendekati sama. EPMS

adalah suatu ester yang mengandung cincin benzen dan gugus metoksi

yang bersifat non polar dan mengandung gugus karbonil yang

mengikat etil yang bersifat agak polar menyebabkan senyawa ini

mampu larut dalam beberapa pelarut dengan kepolaran bervariasi.

Hasil penelitian pada pemilihan pelarut pada suhu kamar didapat

bahwa heksan adalah pelarut yang paling sesuai ditandai dengan

persen hasil isolasi tertinggi yaitu 2,111 % yang diikuti dengan etanol

yatu 1,434 %, dan etil asetat 0,542% sedangkan dengan aquades tidak

terdapat kristal (Taufikkurohmah et al., 2008).

2.3 Hidrolisis

Hidrolisis adalah perubahan atau transformasi kimia dimana molekul

organik berupa RX akan bereaksi dengan air menghasilkan sebuah struktur

dengan ikatan kovalen OH seperti dijelaskan pada gambar 2.4. Hidrolisis

adalah contoh dari kelas reaksi terbesar dalam reaksi kimia disebut sebagai

reaksi perpindahan nukleofilik di mana nukleofil menyerang atom elektrofilik.

Proses hidrolitik mencakup beberapa jenis mekasnime reaksi yang dapat

didefinisikan oleh jenis pusat reaksi dimana terjadi hidrolisis. Mekanisme

reaksi yang paling sering ditemui adalah substitusi nukleofilik, baik secara

langsung maupun tidak langsung dan eliminasi-adisi nukleofilik (Larson and

Weber, 1994).

Gambar 2.4 Prisnsip Reaksi Hidrolisis (Larson and Weber, 1994)

Reaksi hidrolisis dapat terjadi dengan katalis basa atau asam,

mekanisme reaksi hidrolisis sendiri dikelompokkan berdasarkan tipe reaksi

dasar seperti substitusi nukleofilik, gugus fungsi yang ditransformasikan

dengan reaksi substitusi nukleofilik, substitusi asil nukleofilik, gugus fungsi

yang ditransformasikan dengan reaksi substitusi asil nukleofilik. Hidrolisis

12

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

untuk turunan asam karboksilat masuk ke dalam kategori yakni gugus fungsi

yang ditransformasikan dengan reaksi substitusi asil nukleofilik.

Mekanisme hidrolisis pada gambar 2.5 diinisiasi oleh protonasi pada

karbon oksigen. Protonasi menyebabkan keadaan terpolarisasi pada gugus

karbonil melepaskan elektron dari karbon sehingga bersifat lebih elektrofilik

dan akan menerima penambahan nukleofilik dari air (Larson and Weber,

1994).

Gambar 2.5 Mekanisme Reaksi Hidrolisis pada Ester

(Larson and Weber, 1994)

Hidrolisis ester dengan katalis basa melalui mekanisme penambahan

nukleofilik OH (Gambar 2.6) secara langsung kepada gugus karbonil.

Hidrolisis ester berkatalis basa terjadi karena ion OH merupakan nukleofil

yang lebih kuat dibandingkan air (Larson and Weber, 1994).

13

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 2.6 Mekanisme Reaksi Hidrolisis Ester dengan Katalis Basa

(Larson and Weber, 1994)

Hidrolisis terhadap EPMS telah dilakukan sebelumnya oleh Mufidah

(2014) dengan mereaksikan etil p-metoksisinamat dengan NaOH sebagai

katalis basa dan etanol p.a sebagai pelarut sehingga menghasilkan senyawa

asam karboksilat. Asam p-metoksisinamat, yang merupakan hasil hidrolisis

EPMS, sama sekali tidak memiliki aktivitas antiinflamasi, kebalikannya

senyawa tersebut diduga menginduksi terjadinya denaturasi protein

sebagaimana ditunjukkan pada konsentrasi 40 ppm nilai inhibisinya adalah

-254,84%.

Gambar 2.7 Mekanisme Hidrolisis Etil p-metoksisinamat (Mufidah, 2014)

14

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Senyawa hasil hidrolisis etil p-metoksisinamat memiliki karakteristik berikut

(Mufidah, 2014):

Warna : Putih

Bau : Tidak berbau

Bentuk : Serbuk

Titik leleh :172-176oC

Nilai entalpi (H) : 89,3 J/g

Gambar 2.8 Struktur Asam p-metoksisinamat (Mufidah, 2014)

2.4 Nitrasi

Nitrasi merupakan reaksi substitusi atom H pada benzen oleh gugus

nitro (NO2). Reaksi ini terjadi dengan mereaksikan benzen dengan asam nitrat

(HNO3) pekat dengan bantuan H2SO4 sebagai katalis atau larutan HNO3

dalam suasana asam asetat glasial. Mekanisme reaksi nitrasi terhadap benzene

ditunjukkan pada Gambar 2.7.

Nitrasi dari benzen awalnya dipengaruhi oleh pembentukan elektrofilik

kuat yaitu ion nitronium, yang mana ini terjadi karena interaksi antara 2 asam

kuat yaitu asam sulfat dan asam nitrat. Asam sulfat lebih kuat dan dapat

memprotonasi asam nitrat pada gugus OH sehingga molekul dari air dapat

berpisah. Selanjutnya benzene menyerang muatan positif atom nitrogen dari

elektrofil, yang mana ikatan N=O lepas pada waktu yang sama. Hal ini diikuti

dengan lepasnya proton untuk menstabilkan gugus aromatik (Lynnb, 2012).

15

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 2.9 Mekanisme Reaksi Nitrasi dengan HNO3 dan H2SO4 pada Senyawa

Aromatik (Khoirunnimah, 2012)

Reaksi ini berlangsung dengan penggantian satu atau lebih gugus nitro

(-NO2) menjadi molekul yang reaktif. Gugus nitro akan menyerang karbon

membentuk nitro aromatik atau nitro parafin. Jika menyerang nitrogen

membentuk nitramin dan bila menyerang oksigen membentuk nitrat ester.

Pasa proses nitrasi masuknya gugus (-NO2) ke dalam senyawa dapat terjadi

dengan menggantikan kedudukan beberapa atom atau gugus yang ada dalam

senyawa. Umumnya nitrasi yang banyak dijumpai adalah nitrasi NO2

menggantikan atom H (Yulianto, 2010).

Metode reaksi nitrasi dengan menggunakan iradiasi microwave baru-

baru ini mulai menjadi perhatian para ahli. Metode Cold Microwave biasa

digunakan untuk reaksi nitrasi karena memiliki beberapa keuntungan, yaitu

waktu reaksi yang cepat, reaksi nitrasi dapat berlangsung tanpa adanya asam

sulfat, dan dapat memberikan hasil yang lebih spesifik (single product) akibat

dari reagen yang didinginkan terlebih dahulu sebelum pencampuran

(Bose,2009).

Nitrating agent merupakan reaktan elektrofilik, dimana reaksi akan

terjadi pada atom karbon dari cincin aromatik yang mempunyai kepadatan

elektron terbesar. Gugus NO2 yang masuk dapat membentuk posisi ortho,

para, dan meta. Jumlah isomer pada produk tergantung pada substituen ini.

16

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Subtituen meta menyebabkan kepadatan elektron menjadi lebih besar

dibandingkan substituen ortho dan para, sehingga yield produk nitrasi akan

didominasi isomer meta (Yulianto, 2010).

2.5 Esterifikasi

Reaksi esterifikasi asam karboksilat adalah reaksi pembentukan ester

dengan bahan dasar asam karboksilat. Ester asam karboksilat ini merupakan

suatu senyawa yang mengandung gugus COOR dengan R yang berbentuk

alkil maupun aril (Fessenden & Fessenden, 2006).

Katalis memainkan peranan penting terhadap keberlangsungan reaksi

esterifikasi. Katalis yang digunakan dalam reaksi esterifikasi dapat berupa

katalis asam atau katalis basa dan berlangsung secara reversibel (Supardjan,

2004). Untuk memperoleh rendemen tinggi dari ester tersebut, kesetimbangan

harus digeser ke arah sisi ester dengan menambahkan salah satu pereaksi

secara berlebih. Kereaktifan asam karboksilat hanya memainkan peranan

kecil dalam laju pembentukan ester (Fessenden & Fessenden, 2006).

Kereaktifan asam karboksilat terhadap esterifikasi:

Variabel-Variabel yang Mempengaruhi Reaksi Esterifikasi

Reaksi esterifikasi dipengaruhi oleh beberapa variabel. Variabel-

variabel yang dimaksud antara lain (Hakim dan Irawan, 2010):

a. Waktu Reaksi

Semakin lama waktu reaksi maka kemungkinan kontak antar zat

semakin besar sehingga akan menghasilkan konversi yang besar. Jika

kesetimbangan reaksi sudah tercapai maka dengan bertambahnya waktu

reaksi tidak akan menguntungkan karena tidak memperbesar hasil.

17

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

b. Perbandingan Zat Pereaksi

Dikarenakan sifatnya yang reversibel, maka salah satu reaktan

harus dibuat berlebih agar optimal dalam pembentukan produk ester

yang diinginkan.

c. Pengadukan

Pengadukan akan menambah ferkuensi tumbukan antara molekul

zat pereaksi dengan zat yang bereaksi semakin baik sehingga

mempercepat reaksi dan reaksi terjadi sempurna. Hal ini sesuai dengan

persamaan Arrhenius :

Keterangan:

k = Konstanta laju reaksi

A = Faktor frekuensi atau faktor pre-eksponensial

Ea = Energi Aktivasi (kL/mol)

R = Tetapan gas universal (0,0821 atm/mol.K atau 8,314 J/mol.K)

T = Temperatur atau suhu (K)

Semakin besar tumbukan, maka semakin besar pula harga

konstanta laju reaksi, sehingga reaksi dapat berjalan lebih optimal.

d. Suhu

Dikarenakan sifat dari reaksi yang isotermis, maka suhu dapat

mempengaruhi harga konstanta laju reaksi. Semakin tinggi suhu yang

dioperasikan maka semakin banyak konversi yang dihasilkan. Hal ini

sesuai dengan persamaan Arrhenius, bila suhu naik maka harga k

semakin besar, sehingga reaksi berjalan cepat dan hasil konversi

semakin besar.

e. Katalisator

Sifat reaksi esterifikasi yang lambat membutuhkan katalisator

agar berjalan lebih cepat. Katalisator berfungsi untuk mengurangi

energi aktivasi pada suatu reaksi, sehingga pada suhu tertentu harga

konstanta laju reaksi semakin besar.

18

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.6 Spesifikasi Asam Nitrat dan 1-Butanol

2.6.1 Asam Nitrat

Sifat Fisika:

Rumus kimia : HNO3

Berat molekul : 63,012 g/mol

Bentuk (30oC, 1 atm) : cair

Titik didih : 83,4 oC

Titik leleh : -41,59oC

Densitas (20oC) : 1,502 g/mL

Kelarutan (dalam 100 bagian)

- Air dingin : tak terhingga

- Air panas : tak terhingga

Meledak dalam solvent etanol

Viskositas (25oC) : 0,761 Cp

Panas peleburan (Hfus) : 10,48 Kj/mol

Panas pembentukan (Hf) : -174,10 Kj/mol

Panas penguapan (25oC) : 39,04 Kj/mol

Energi bebas pembentukan (25oC) : -80,71 Kj/mol

Entropy (25oC) : 155,60 J/molK

(Kirk Orthmer, 1996., Yulianto, 2010)

Sifat Kimia

Asam Nitrat adalah suatu asam monobasa yang kuat, yang mudah

bereaksi dengan alkali, oksida dan senyawa basa dalam bentuk

garam. Asam nitrat merupakan senyawa yang berperan yang

berperan dalam proses nitrasi, yaitu sebagai nitrating agent.

Komponen yang dinitrasi adalah benzen, baik dengan adanya asam

sulfat ataupun tidak.

19

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.6.2 1-Butanol

Sifat Fisika

Rumus kimia : C4H10O

Organoleptis : tak berwarna, cairan kental, bau khas

Berat molekul : 74,12 g/mol

Bentuk (30oC, 1 atm) : cair

Titik didih : 117,73 oC

Massa jenis : 0,811 g/mL

Kelarutan dalam air pada 3OoC : 7,1 % berat

(Halimatuddahliana, 2004)

Sifat Kimia

1-Butanol merupakan senyawa organik yang memiliki ikatan

hidrogen sehingga senyawa ini mempunyai titik didih yang tinggi

(Halimatuddahliana, 2004).

Gambar 2.12 Struktur Senyawa 1-Butanol

2.7 Gelombang Mikro

2.7.1 Prinsip Umum

Gelombang mikro merupakan gelombang elektromagnet.

Gelombang elektromagnet itu sendiri merupakan suatu gelombang

yang tidak memerlukan medium perambatan, dengan kecepatan

rambat 3X108 m/detik. Gelombang elektromagnet terdiri dari

komponen medan listrik (E) dan medan magnet (B) yang saling

tegak lurus. Gelombang ini memiliki daerah frekuensi yang sangat

besar, yaitu 109-1022 Hz. Sebagian besar spektrum gelombang

mikro digunakan untuk keperluan telekomunikasi (Kappe, 2003).

20

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.7.2 Mekanisme Pemanasan

Pemanasan suatu materi dengan menggunakan gelombang

elektromagnetik berfrekuensi tinggi ditimbulkan dari interaksi

komponen medan listrik gelombang elektromagnetik dengan partikel

yang memiliki muatan dalam materi sehingga menghasilkan

polarisasi dipolar. Selain itu, terdapat faktor konduksi yang berperan

dalam pemanasan terutama pada suhu tinggi (Chem-team, 2004).

Fenomena yang berperan dalam pemanasan dengan gelombang

mikro adalah adanya konduksi ion. Dalam pengaruh suatu medan

listrik, ion-ion yang terdapat dalam sampel yang dipanaskan akan

bergerak dan saling bergesekan sehingga menimbulkan panas.

Migrasi ion ini dipengaruhi oleh ukuran muatan dan konduktivitas

ion terlarut. Faktor yang mempengaruhi konduksi ion adalah

konsentrasi, mobilitas ion, dan temperatur larutan (Neas, E.D & M.J.

Collins, 1988).

2.7.3 Instrumentasi Oven Gelombang Mikro (Belinda, 2011)

Instrumentasi gelombang mikro yang digunakan untuk

pemanasan terdiri dari enam komponen utama, yaitu:

Magnetron, merupakan tabung hampa elektronik penghasil

gelombang mikro. Fungsinya adalah memancarkan gelombang

mikro ke sebuah kincir yang terbuat dari logam yang disebut

stirrer.

Pengarah gelombang (wave guide)

Cavity, merupakan tempat dimana sampel akan diiradiasi

dengan gelombang mikro. Berdasarkan jenis cavity, instrumen

gelombang mikro terdiri dari dua macam reaktor utama, yaitu

reactor monomade/single mode dan multimode.

Stirrer, alat ini akan berputar selama magnetron memancarkan

gelombang mikro sehingga gelombang tersebut terpancarkan

dan terdistribusi secara merata ke dalam ruang pemanasan dari

oven gelombang mikro.

21

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Sirkulator

Turntable

Gambar 2.11 Instrumentasi Oven Microwave (Belinda, 2011)

2.8 Identifikasi

2.8.1 Kromatografi

Kromatografi didefinisikan sebagai prosedur pemisahan zat

terlarut oleh suatu proses nitrasi migrasi diferensial dinamis dalam

sistem yang terdiri dari dua fase atau lebih, salah satu diantaranya

bergerak secara berkesinambungan dalam arah tertentu dan

didalamnya zat-zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan

adanya perbedaan dalam adsorpsi, partisi, kelarutan, tekanan uap,

ukuran molekul atau kerapatan muatan ion. Dengan demikian masing-

masing zat dapat diidentifikasi atau ditetapkan dengan metode analitik

(Departemen Kesehatan, 1995).

a. Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan

fisikokimia. Lapisan yang memisahkan, yang terdiri atas bahan

berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa

pelat gelas, atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah

berupa larutan ditotolkan dalam bentuk bercak atau pita (awal).

Setelah pelat atau lapisan ditaruh di dalam bejana tertutup rapat

yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak),

pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan).

22

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan

(dideteksi) (Stahl Egon dalam Khoirunnimah, 2012).

Diantara berbagai jenis teknik kromatografi, kromatografi

lapis tipis adalah yang paling banyak digunakan untuk analisis

obat di laboratorium farmasi. Metode ini hanya memerlukan

investasi kecil untuk perlengkapan dan menggunakan waktu yang

singkat untuk menyelesaikan analisis (15-60 menit), memerlukan

jumlah cuplikan yang sangat sedikit (kira-kira 0,1 g). Selain itu,

hasil palsu yang disebabkan oleh komponen sekunder tidak

mungkin terjadi, kebutuhan ruangan minimum, dan

penanganannya sederhana (Stahl Egon dalam Khoirunnimah,

2012).

Prinsip KLT yaitu perpindahan analit pada fase diam karena

pengaruh fase gerak. Proses ini disebut elusi. Semakin kecil

ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran

ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal

efeisiensi dan resolusinya. Fase gerak yang dikenal sebagai

pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam karena

pengaruh kapiler pada pengembangan ke atas (ascending), atau

karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun

(descending) (Rohman, 2007).

Menurut Farmakope Indonesia IV, tatalaksana identifikasi

senyawa dengan KLT adalah sebagai berikut: Totolkan larutan uji

dan larutan baku menurut cara yang tertera pada masing-masing

monografi dengan jarak antara lebih kurang 1,5 cm dan lebih

kurang 2 cm dari tepi bawah lempeng, dan biarkan mengering

(tepi bawah lempeng adalah bagian lempeng yang pertama kali

dilalui oleh alat saat membuat lapisan pada waktu melapiskan zat

penjerap). Beri tanda pada jarak 10 cm hingga 15 cm di atas titik

penotolan. Tempatkan lempeng pada rak penyangga hingga

tempat penotolan terletak di sebelah bawah, dan masukkan rak ke

23

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dalam bejana kromatografi. Pelarut dalam bejana harus mencapai

tepi bawah lapisan penjerap tetapi titik penotolan jangan sampai

terendam. Letakkan tutup bejana pada tempatnya dan biarkan

sistem hingga pelarut merambat 10 cm hingga 15 cm di atas titik

penotolan, umumya diperlukan waktu lebih kurang 15 menit

hingga 1 jam. Keluarkan lempeng dari bejana, buat tanda batas

rambat pelarut, keringkan lempeng di udara dan amati bercak

mula-mula dengan cahaya ultraviolet gelombang pendek (254

nm) dan kemudian dengan cahaya ultraviolet gelombang panjang

(365 nm). Ukur dan catat jarak tiap bercak yang diamati.

Tentukan harga Rf untuk bercak utama. Jika diperlukan, semprot

bercak dengan pereaksi tertentu, amati dan bandingkan

kromatogram zat uji dengan kromatogram baku pembanding

(Departemen Kesehatan, 1995).

Gambar 2.12 Skema Kromatografi Lapis Tipis (Mufidah, 2014)

b. Kromatografi Kolom

Tujuan kromatografi kolom adalah memisahkan komponen

cuplikan menjadi pita atau fraksi yang lebih sederhana, ketika

cuplikan itu bergerak melalui kolom. Zat penyerap dalam keadaan

kering atau bubur, dimampatkan ke dalam tabung kaca atau

24

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tabung kuwarsa dengan ukuran tertentu dan mempunyai lubang

pengalir tertentu dengan ukuran tertentu (Departemen Kesehatan,

1979).

Zat penjerap atau fase diam yang digunakan bisa berupa

aluminium oksida yang telah diaktifkan, silika gel, tanah diatome

terkalsinasi, atau tanah silika yang dimurnikan dalam keadaan

kering atau dalam campuran air, dimampatkan ke dalam tabung

kromatografi kaca atau kuarsa. Zat uji yang dilarutkan dalam

jumlah kecil pelarut, dituangkan ke dalam kolom dan dibiarkan

mengalir ke dalam zat penjerap. Zat berkhasiat diadsorpsi dari

larutan secara kuantitatif oleh bahan penjerap berupa pita sempit

pada permukaan atas kolom. Dengan penambahan pelarut lebih

lanjut melalui kolom, oleh gaya gravitasi atau dengan memberi

tekanan, masing-masing zat bergerak turun dalam kolom dengan

kecepatan tertentu, sehingga terjadi pemisahan dan diperoleh

kromatogram (Departemen Kesehatan, 1995).

Fraksi yang diperoeh dari kolom kromatografi ditampung dan

dimonitor dengan kromatografi lapis tipis. Fraksi-fraksi yang

memiliki pola kromatogram yang sama digabung kemudian

pelarutnya diauapkan sehingga akan diperoleh beberapa fraksi.

Noda pada plat KLT dideteksi dengan lampu UV panjang

gelombang 254/365 nm untuk senyawa-senyawa yang

mempunyai gugus kromofor, dengan penampak noda seperti

larutan iod, FeCl3, dan H2SO4 dalam metanol 10% (Stahl, 1969).

2.8.2 Spektrofotometri

Spektrofotometri merupakan pengukuran suatu interaksi antara

radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia.

Teknik yang sering digunakan dalam analisis farmasi meliputi

spektrofotometri serapan ultraviolet, cahaya tampak, infamerah dan

serapan atom (Departemen Kesehatan, 1995).

25

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

a. Spektrofotometri IR

Spektrofotometri inframerah merupakan alat untuk merekam

spektrum di daerah inframerah terdiri dari suatu sistem optik dengan

kemampuan menghasilkan cahaya monokromatik di daerah 4000

cm-1

hingga 625 cm-1

(lebih kurang 2,5 m hingga 16m) dan suatu

metode untuk mengukur perbandingan intensitas perbandingan

cahaya yang ditransmisikan cahaya datang (Departemen Kesehatan,

1995).

Setiap molekul memiliki karakteristik spektrum inframereah

yang berbeda-beda baik dalam posisi maupun intensitas pita

absorbsinya. Spektrum yang diperoleh merupakan hubungan antara

bilangan gelombang (cm-1

) dan persen transmitan. Spektrum IR

digunakan untuk mengidentifikasi gugus fungsi (Departemen

Kesehatan, 1995).

Absorpsi molekul pada inframerah terjadi ketika molekul

tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi. Suatu molekul hanya

menyerap frekuensi (energi) tertentu dari radiasi inframerah.

Kegunaan spektroskopi IR adalah sebagai sidik jari suatu molekul

dan untuk menentukan informasi struktural dari suatu molekul.

Absorpsi dari tiap tipe ikatan (N-H, C-H, O-H, C-X, C=O, C-O, C-C,

C=C, dan sebagainya) umumnya ditemukan hanya dalam porsi yang

sedikit dari area vibrasi inframerah. Rentang kecil dari absorpsi

dapat didefinisikan untuk tiap ikatan (Pavia et al., 2001).

b. Spektrofotometri UV-Vis

Spektrofotometri serap merupakan pengukuran interaksi antara

radiasi elektromagnetik panjang geombang tertentu yang sempit dan

mendekati monokromatik, dengan molekul atau atom dari suatu zat

kimia. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa molekul selalu

mengabsorpsi cahaya elektromagnetik jika frekuensi cahaya tersebut

sama dengan frekuensi getaran dari molekul tersebut. Elektron yang

terikat dan elektron yang tidak terikat akan tereksitasi pada suatu

26

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

daerah frekuensi yang sesuai dengan cahaya ultraviolet dan cahaya

tampak (UV-Vis) (Roth et al., 1994).

Spektrum absorpsi daerah ini adalah sekitar 220 nm sampai

880 nm dan dinyatakan sebagai spektrum elektron. Suatu spektrum

ultraviolet meliputi daerah bagian ultraviolet (190-380 nm),

spektrum Vis (Visible) bagian sinat tampak (380-780 nm).

Prinsip spektroskopi absorpsi adalah semakin besar angka

meolekul yang mampu menyerap cahaya dari panjang gelombang

yang diberikan, semakin besar perluasan absorpsi cahaya. Selan itu,

semakin efektif suatu molekul menyerap cahaya dari panjang

gelombang yang diberikan, semakin besar perluasan absorpsi (Pavia

et al., 2001).

Pengukuran dengan alat spektrofotometer UV-Vis didasarkan

pada hubungan antara berkas radiasi elektromagnetik yang

ditransmisikan (diteruskan) atau yang diabsorpsi dengan tebalnya

cuplikan dengan konsentrasi dari komponen penyerap. Hubungan

tersebut diyatakan dalam Hukum Lambert-Beer (Sastroamidjojo,

1985):

A = a . b . c

Keterangan :

A= Serapan

a = Daya serap

b = Tebal kuvet

c = Konsentrasi larutan

Instrumentasi dari spektrofotometer UV-Vis ini dapat

diuraikan sebagai berikut:

1. Sumber energi cahaya yang berkesinambungan yang meliputi

daerah spektrum yang mana alat tersebut dirancang untuk

beroperasi.

27

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Monokromator, yakni sebuah piranti untuk memencilkan pita

sempit panjang gelombang dari spektrum lebar yang

dipancarkan oleh sumber cahaya.

3. Wadah untuk sampel (dalam hal ini digunakan kuvet).

4. Detektor, yang berupa transduser yang merubah energi cahaya

menjadi suatu sinyal listrik.

5. Amplifier (pengganda) dan rangkaian yang perubah energi

cahaya menjadi suatu sinyal listrik.

6. Suatu sistem baca dimana diperagakan besarnya sinyal listrik

yang ditangkap.

c. Spektrofotometri Resonansi Magnetik

Resonansi magnetik nuklir (Nuclear Magnetic Resonance)

adalah metode spektrofotometri yang bahkan lebih penting bagi ahli

kimia organik dari spektrofotometri inframerah. Banyak inti dapat

dipelajari dengan teknik NMR, tetapi hidrogen dan karbon yang

paling umum tersedia. Jika spektrofotometri inframerah (IR)

digunakan untuk mengidentifikasi gugus fungsi, NMR memberikan

informasi mengenai jumlah atom magnetis yang berbeda dari jenis

yang dipelajari (Mufidah, 2014).

NMR dapat menentukan jumlah masing-masing jenis yang

berbeda dari inti hidrogen serta memperoleh informasi mengenai

sifat dasar dari lingkungan terdekat dari masing-masing jenis.

Informasi yang sama dapat ditentukan untuk inti karbon. Kombinasi

IR dan data NMR seringkali cukup untuk menentukan secara benar

struktur molekul yang tidak diketahui (Pavia et al., 2008).

Prinsip dasar spektroskopi NMR yakni inti dari setiap isotop

tertentu memiliki gerakan berputar di sekililing sumbunya.

Perputaran patrikel berenergi atau sirkulasinya, menimbulkan

kejadian megnetis sepanjang sumbu magnetisnya dapat sejajar atau

melawan medan magnet (Willard at al., 1988).

28

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Instrumen NMR terdiri atas komponen-komponen sebagai

berikut (Willard et al., 1988):

a. Magnet

Merupakan suatu alat tambahan yang berguna untuk

menstabilkan medan magnet.

b. Probe sampel

Tempat meletakkan sampel dan tempat terjadinya resonansi.

c. Sumber dan detektor radiasi radioaktif

Merekam perubahan magnetisasi sampel dan peluruhannya yang

disebabkan oleh pengaruh waktu.

d. Rekorder data

Memberikan informasi berupa sinyal yang dikirim ke suatu

komputer untuk diproses, diakumulasi lalu ditransformasikan

secara otomatis (Atta-ur-Rahman, 1986., Willards et al., 1988).

2.9 Inflamasi

2.9.1 Definisi Inflamasi

Inflamasi adalah reaksi kompleks dalam jaringan ikat vaskular

yang terjadi karena rangasangan eksogen dan endogen. Inflamasi

merupakan respon normal, pelindung terhadap cedera jaringan yang

disebabkan oleh trauma fisik, bahan kimia berbahaya atau agen

mikrobiologis, yang berupaya menonaktifkan atau menghancurkan

organisme asing, menghilangkan iritasi yang merupakan tahap

pertama perbaikan jaringan (Sen et al., 2010).

Proses inflamasi biasanya mereda pada proses penyelesaian atau

penyembuhan, tetapi kadang-kadang berubah menjadi radang yang

parah, yang mungkin jauh lebih buruk dari penyakit ini dan dalam

kasus ekstrim juga dapat berakibat fatal. Kemerahan, suhu yang

meningkat, pembengkakan, nyeri, dan hilangnya fungsi adalah tanda

klasik dari inflamasi. Inflamasi dapat diprovokasi oleh berbagai agen

berbahaya, bahan asing, toksin, infeksi, bahan kimia, patogen, reaksi

kekebalan tubuh, dan luka fisik (Sen et al., 2010).

29

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.9.2 Mekanisme Inflamasi

Proses inflamasi dimulai dari stimulus yang akan

mengakibatkan kerusakan sel, sebagai reaksi terhadap kerusakan sel,

maka sel tersebut akan melepaskan beberapa fosfolipid yang

diantaranya adalah asam arakidonat. Setelah asam arakidonat tersebut

bebas, kemudian akan diaktifkan oleh beberapa enzim, diantaranya

siklooksigenase dan lipooksigenase. Enzim tersebut merubah asam

arakidonat ke dalam bentuk yang tidak stabil (hidroperoksid dan

endoperoksid) yang selanjutnya dimetabolisme menajdi leukotrien,

prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan. Bagian prostaglandin dan

leukotrien bertanggung jawab terhadap gejala-gejala peradangan

(Katzung, 2006).

Gambar 2.13 Mekanisme Inflamasi (Katzung, 2006)

LTB4 LTC4/D4/E4

Aktivasi/atraksi fagosit

Modulasi

leukosit

Inflamasi

Lipooksigenase Siklooksigenase

Prostaglandin Prostasiklin Tromboksan Leukotrien

Rangsangan

Gangguan membran sel

Fosfolipid

Asam arakhidonat

Fosfolipase

Kortikosteroid

AINS

30

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.9.3 Obat-Obat Antiinflamasi

Obat-obat antiinflamasi adalah golongan obat yang memiliki

aktivitas menekan atau mengurangi peradangan. Aktivitas ini dapat

dicapai melalui berbagai cara. Salah satunya ialah menghambat

pelepasan prostaglandin dari sel-sel tempat pembentukannya. Obat

antiinflamasi sangat efektif menghilangkan rasa nyeri dan dan

pembengkakan akibat adanya inflamasi dengan menekan produksi

prostaglandin dan metabolisme asam arakidonat dengan cara

penghambatan siklooksigenase dan lipooksigenase pada kaskade

inflamasi sehingga fungsi otot dan sendi membaik (Setyarini, 2009).

Berdasarkan mekanisme kerjanya obat-obatan antiinflamasi

dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

a. Antiinflamasi Steroid

Obat golongan ini bekerja dengan cara menghambat

fosfolipase, suatu enzim yang bertanggung jawab terhadap

pelepasan asam arakidonat dari membran lipid. Termasuk

golongan obat ini adalah: prednison, hidrokortison, deksametason,

dan betametason (Katzung, 2006).

b. Antiinflamasi Non Steroid (AINS)

Obat AINS bekerja dengan cara menghambat enzim

siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi

prostaglandin menjadi terganggu. Termasuk golongan obat ini

adalah: aspirin, ibuprofen, indometasin, diklofenak, fenil butazon,

dan piroksikam (Katzung, 2006).

Efek samping utama yang dimiliki oleh obat antiinflamasi

non steroid (AINS) adalah iritasi lambung yang mengarah pada

pembentukan ulkus lambung (Chatterjee et al., 2012).

31

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.9.4 Natrium Diklofenak

Natrium dikofenak merupakan obat antiinflamasi non steroid

yang termasuk ke dalam kelompok preverencially selective COX

inhibitor. Obat ini bekerja menghambat aktivitas enzim

siklooksigenase yang berperan dalam metabolisme asam arakidonat

menjadi prostaglandin yang merupakan salah satu mediator

inflamasi (Kertia, 2009). Natrium diklofenak merupakan turunan

fenilasetat yang daya antiradangnya paling kuat dengan efek

samping yang kurang dibandingkan dengan obat lainnya (seperti

indometasin, piroksikam) (Tjay, 2002). Absorpsi obat ini melalui

saluran cerna berlangsung cepat dan terikat 99% pada protein

plasma dengan jumlah obat yang mengalami efek lintas pertama

sebesar 40-50%. Walaupun waktu paruh singkat yakni 1-3 jam, Na

diklofenak diakumulasi di cairan sinovilia yang menjelaskan efek

terapi di sendi jauh lebih panjang dari waktu paruh obat tersebut.

Efek samping yang lazim terjadi ialah mual, gastritis, eritema kulit,

dan sakit kepala. Dosis orang dewasa 100-500 mg sehari terbagi

dua atau tiga dosis (Gunawan, 2008).

2.10 Uji Antiinflamasi

Beberapa metode in vitro dapat digunakan dalam mengetahui potensi

atau aktivitas antiinflamasi dari suatu obat, kandungan kimia dan preparat

herbal. Teknik-teknik yang bisa digunakan antara lain adalah pelepasan

fosforilasi oksidatif (ATP biogenesis terkait dengan respirasi),

penghambatan denaturasi protein, stabilisasi membran eritrosit, stabilisasi

membran lisosomal, tes fibrinolitik dan agregasi trombosit (Oyedapo et al.,

2010). Selain itu uji antiinflamasi secara in vitro juga bisa dilakukan

dengan melihat efek inhibisi pada siklooksigenase menggunakan kit

khusus uji skrining siklooksigenase (Umar et al., 2012).

32

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dalam pengembangan AINS, prinsip denaturasi dalam uji

antiinflamasi sering digunakan seperti pada uji antiinflamasi dengan

albumin telur (Chandra, 2012) dan uji dengan bovine serum albumin

(BSA) (Williams et al., 2008). Denaturasi protein pada jaringan adalah

salah satu penyebab penyakit inflamasi dan atritis. Produksi dari antigen-

auto pada penyakit atritis dapat mengakibatkan denaturasi protein secara in

vivo. Oleh karena itu, penggunaan suatu agen tertentu yang bisa mencegah

denaturasi protein akan bermanfaat pada pengembangan obat antiinflamasi

(Chatterjee et al., 2012).

Denaturasi protein adalah sebuah proses dimana protein kehilangan

struktur tersier dan struktur sekunder oleh senyawa eksternal, seperti asam

kuat atau basa kuat, garam anorganik terkonsentrasi, pelarut organik, dan

pemanasan. Pada umumnya protein kehilangan fungsi biologisnya ketika

didenaturasi. Misalnya, enzim kehilangan aktivitas mereka karena substrat

tidak dapat lagi mengikat pada gugus aktifnya (Verma et al., 2011).

Beberapa AINS seperti indometasin, ibufenak, asam flufenamik, dan

asam salisilat memiliki kemampuan dalam mencegah denaturasi BSA yang

dipanaskan pada pH patologis yakni 6,2-6,5. Selain itu beberapa ekstrak

dan komponen murni tumbuhan seperti ekstrak Boehmeria jamaicensis

(Urb), fenil propanoid, eugenol, polisulfid, dibenzil trisulfid dapat

menghambat denaturasi BSA, memiliki aktivitas sebagai antioksidan dan

merupakan kandidat obat antiinflamasi. Pada uji BSA, jika senyawa

sampel menghambat denaturasi dengan persen inhibisi > 20% maka

dianggap memiliki aktivitas antiinflamasi dan layak untuk dikembangkan

lebih lanjut (Williams et al., 2008).

2.10.1 Bovine Serum Albumine (BSA)

Albumin memiliki berat molekul relatif rendah, yang larut

dalam air, mudah mengkristal, dan mengandung asam amino.

BSA adalah rantai polipepetida tunggal yang terdiri dari sekitar

583 residu asam amino dan tidak ada karbohidrat di pH 5-7

33

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

mengandung 17 jembatan rantai disulfida dan 1 kelompok

sulfihidril. Serbuk BSA disimpan pada suhu 2-8oC. Stabilitas

larutan BSA sangat baik. Bahkan, albumin sering digunakan

sebagai stabilisator untuk protein terlarut lainnya (misalnya,

enzim labil). Namun, albumin mudah digumpalkan oleh

pemanasan. Ketika dipanaskan sampai 50oC atau di atasnya,

albumin cukup pesat membentuk agregat hidrofobik yang tidak

kembali ke monomer pada saat pendinginan. Pada suhu yang

lebih rendah agregasi juga terjadi, tetapi pada tingkat yang relatif

lebih lambat (www.sigma-aldrich.com).

http://www.sigma-aldrich.com/

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

3.1.1 Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Obat dan Pangan

Halal, Laboratorium Kimia Obat, dan Laboratorium Farmakognosi

dan Fitokimia, Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.1.2 Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2014 sampai

dengan Juni 2015.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Digital water bath (SB-100 Eyela), spektrometri IR (Shimadzu),

spektrofotometer UV-Vis (Hitachi), Spektrometri 1H-NMR (500 Hz,

JEOL), Differential Scanning Calorimeter (Shimadzu), refrigerator,

Gas Chromatography Mass Spectrometer (GCMS QP2010

Shimadzu), vacuum rotary evaporator (SB-1000 Eyela), timbangan

analitik, Plat aluminium TLC silica gel 60 F254 (Merck),

microwave, erlenmeyer, gelas piala, rak, labu reaksi, statif, penangas,

corong, pipet eppendorf, blender, termometer, chamber KLT,

mikropipet, batang pengaduk, pinset, spatula, pH meter, pengaduk

magnetik, kertas saring, kapas, aluminium foil, vial, dan botol.

3.2.2 Bahan

Senyawa etil p-metoksisinamat yang merupakan isolat dari

tanaman kencur (Kaempferia galanga L.), natrium hidroksida

(Merck), asam klorida 15%, asam nitrat p.a (JT Baker), asam sulfat

98% (Merck), Bovine Serum Albumin (Sigma), silika gel 60 (0,063-

0,200 mm) (Merck), metanol p.a (Merck), etanol p.a (Merck) dan

34

35

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

natrium klorida (Merck), 1-butanol (Merck). Pelarut dan bahan

pembantu lain seperti aquades, etil asetat, n-heksan, metanol, dan air

es.

3. 3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Modifikasi Senyawa Asam p-metoksisinamat

a. Hidrolisis Etil p-metoksisinamat

Metode hidrolisis etil p-metoksisinamat mengacu pada cara

kerja yang telah dilakukan oleh Mufidah (2014) dengan

modifikasi. Sebanyak 1,5 g (0,036 mol) NaOH dilarutkan dengan

100 mL etanol p.a dalam gelas kimia dengan pengadukan

menggunakan pengaduk magnetik sambil dipanaskan di atas hot

plate dengan suhu 60-70oC. Kemudian ditambahkan senyawa

EPMS sebanyak 5 g (0,024 mmol) ke dalamnya. Proses hidrolisis

dilakukan selama 3 jam. Pengecekan reaksi dilakukan dengan

menggunakan KLT dengan eluen heksan-etil asetat (4:1). Hasil

reaksi dilarutkan dengan 200 mL aquades hingga larut sempurna,

kemudian ditambahkan 15% HCl untuk membentuk endapan

hingga tidak ada lagi endapan putih yang terbentuk atau pH filtrat

mencapai 4. Setelah itu dilakukan penyaringan dengan kertas

saring untuk mendapatkan endapan/residu tersebut. Residu yang

didapatkan merupakan senyawa hasil hidrolisis yang kemudian

dikeringanginkan.

b. Nitrasi Asam p-metoksisinamat

Metode nitrasi mengacu pada cara kerja yang telah

dilakukan oleh Bose (2006) dengan modifikasi. Sebanyak 2,5

gram (0,014 mol) APMS dilarutkan dengan 10 mL (0,22 mol)

HNO3 65% yang telah didinginkan dalam erlenmeyer yang berada

dalam gelas kimia berisi es sehingga membentuk ice jacket.

Kemudian diiradiasi dengan menggunakan microwave oven 450

watt selama 2 menit. Setelah itu ditambahkan 100 mL aquades

untuk memisahkan sisa asam nitrat dan produk yang terbentuk,

36

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kemudian disaring dengan kertas saring lalu dikeringanginkan.

Pengecekan terhadap hasil reaksi dilakukan dengan menggunakan

KLT dengan perbandingan pelarut etil asetat heksan (2:3)

c. Esterifikasi Senyawa Hasil Reaksi Nitrasi

Sebanyak 500 mg senyawa hasil nitrasi dilarutkan dalam 50

mL (0,547 mol) 1-butanol pro analisys dalam erlenmeyer sambil

diaduk menggunakan magnetic stirrer dan dipanaskan pada suhu

90oC hingga larut sempurna. Setelah itu ditambahkan 0,2 mL (4

mmol) asam sulfat 98%. Kemudian diiradiasi dengan

menggunakan microwave oven 300 watt selama 30 menit dalam

erlenmeyer tertutup. Kemudian dilakukan pengecekan terhadap

hasil reaksi dengan menggunakan KLT dengan perbandingan

pelarut 1 etil asetat : 4 heksan (Indriyani, 2015).

3.3.2 Pemurnian dengan Kromatografi Kolom

Pemurnian senyawa hasil modifikasi dilakukan dengan

menggunakan metode pemisahan kromatografi kolom. Sistem

kromatografi yang digunakan adalah kromatografi kolom fase

normal, dimana silika gel 60 yang bersifat polar bertindak sebagai

fase diam. Pelarut yang digunakan adalah pelarut heksan 100%

hingga heksan-etil asetat dengan perbandingan 9:1.

3.3.3 Identifikasi Senyawa

a. Identifikasi Organoleptis

Senyawa yang didapat baik senyawa murni asam p-

metoksisinamat maupun senyawa hasil modifikasi kemudian

diidentifikasi warna, bentuk dan bau.

b. Pengukuran Titik Leleh

Senyawa murni asam p-metoksisinamat diidentifikasi titik

lelehnya menggunakan alat apparatus melting point dan DSC.

37

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

c. Identifikasi senyawa menggunakan FTIR

Sedikit sampel padat (kira-kira 1 2 mg), kemudian

ditambahkan bubuk KBr murni (kira-kira 200 mg) dan diaduk

hingga rata. Kemudian sampel yang terbentuk diambil dan

kemudian ditempatkan dalam tempat sampel pada alat

spektrofotometri inframerah untuk dianalisis (Hidayati, 2012).

d. Identifikasi senyawa menggunakan GCMS

Kolom yang digunakan adalah HP-5MS (30 m x 0,25 mm

ID x 0,25 m); suhu awal 70 C selama 2 menit, dinaikkan ke

suhu 285 C dengan kecepatan 20 C/menit selama 20 menit.

Suhu MSD 285 C. Kecepatan aliran 1,2 mL/menit dengan split

1:100. Parameter scanning dilakukan dari massa paling rendah

yakni 35 sampai paling tinggi 550 (Umar et al., 2012).

e. Identifikasi senyawa menggunakan H1-NMR dan C13-NMR

Sedikit sampel padat (kira-kira 10 mg), kemudian

dilarutkan dalam pelarut bebas proton (khusus NMR), setelah

dilarutkan kemudian dimasukkan ke dalam tabung khusus NMR

untuk kemudian dianalisis.

3.3.4 Uji In Vitro Antiinflamasi (Williams et al., 2008)

a. Pembuatan Reagen untuk Uji Antiinflamasi

1. Larutan TBS (Tris Buffer Saline) pH 6.3

Sebanyak 1,21 g Tris base dan 8,7 NaCl dilarutkan

dalam 1000 mL aquades. Kemudian pH diatur sampai 6,3

menggunakan asam asetat glasial (Mohan, 2003).

2. Penyiapan variat konsentrasi Natrium diklofenak sebagai

kontrol positif

Pembuatan larutan induk sebesar 10.000 ppm Natrium

Diklofenak dengan pelarut metanol. Pembuatan larutan induk

dilakukan dengan melarutkan 50 mg Natrium diklofenak

dalam 5 mL metanol. Kemudian dilakukan pengenceran dari

38

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

larutan induk sehingga didapatkan seri konsentrasi 1.000, 100,

dan 10 ppm. Selanjutnya dilakukan pengenceran dari larutan

induk, yaitu:

1.000 ppm: Sebanyak 500 L dari larutan induk

ditambahkan dengan 4.500 L metanol.

100 ppm: Sebanyak 50 L dari larutan induk

ditambahkan dengan 4.950 L metanol.

10 ppm: Sebanyak 5 L dari larutan induk ditambahkan

dengan 4.995 L metanol.

3. Penyiapan variat konsentrasi EPMS, APMS, dan senyawa

hasil modifikasi (sampel)

Pembuatan larutan induk sebesar 10.000 ppm EPMS,

APMS, dan senyawa hasil modifikasi dengan pelarut metanol.

Pembuatan larutan induk dilakukan dengan melarutkan 50

mg EPMS, APMS, dan senyawa hasil modifikasi dalam 5 mL

metanol. Kemudian dilakukan pengenceran dari larutan induk

sehingga didapatkan seri konsentrasi 1.000, 100, dan 10 ppm.

Selanjutnya dilakukan pengenceran dari larutan induk, yaitu:

1.000 ppm: Sebanyak 500 L dari larutan induk

ditambahkan dengan 4.500 L metanol.

100 ppm: Sebanyak 50 L dari larutan induk

ditambahkan dengan 4.950 L metanol.

10 ppm: Sebanyak 5 L dari larutan induk ditambahkan

dengan 4.995 L metanol.

4. Pembuatan BSA 0,2% (w/v)

Sebanyak 0,5 g BSA dilarutkan dalam Tris Buffer

Saline (TBS) 250 mL pH 6,3 (Williams et al., 2008).

39

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

b. Pengujian Aktivitas Senyawa Hasil Modifikasi Terhadap

Denaturasi BSA

1. Pembuatan Larutan Uji

Sebanyak 5 mL larutan uji terdiri dari 50 L larutan

sampel yang kemudian ditambah dengan 4.950 L BSA.

Larutan uji dibuat berbagai macam konsentrasi, yaitu:

100 ppm: Sebanyak 50 L dari larutan sampel 10.000

ppm ditambahkan dengan 4.950 L larutan BSA.

10 ppm: Sebanyak 50 L dari larutan sampel 1.000

ppm ditambahkan dengan 4.950 L larutan BSA.

1 ppm: Sebanyak 50 L dari larutan sampel 100 ppm

ditambahkan dengan 4.950 L larutan BSA.

0,1 ppm: Sebanyak 50 L dari larutan sampel 10 ppm

ditambahkan dengan 4.950 L larutan BSA.

2. Pembuatan Larutan Kontrol Negatif

Sebanyak 5 mL larutan kontrol negatif terdiri dari 50

L metanol pro analisis yang kemudian ditambah dengan

4.950 L BSA.

3. Pembuatan Larutan Kontrol Positif

Sebanyak 5 mL larutan kontrol positif terdiri dari 50 L

larutan Natrium diklofenak yang kemudian ditambah

dengan 4.950 L BSA. Larutan kontrol positif dibuat

berbagai macam konsentrasi, yaitu:

100 ppm: Sebanyak 50 L dari larutan kontrol positif

10.000 ppm ditambahkan dengan 4.950 L larutan

BSA.

10 ppm: Sebanyak 50 L dari larutan kontrol positif

1.000 ppm ditambahkan dengan 4.950 L larutan BSA.

1 ppm: Sebanyak 50 L dari larutan kontrol positif 100

ppm ditambahkan dengan 4.950 L larutan BSA.

40

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

0,1 ppm: Sebanyak 50 L dari larutan kontrol positif 10

ppm ditambahkan dengan 4.950 L larutan BSA.

Masing-masing larutan dihomogenkan dengan

menggunakan vortex kemudian diinkubasi selama 30 menit

di suhu ruang (27C). Setelah itu dipanaskan selama 5 menit

pada suhu 72 C, lalu didiamkan pada suhu ruang selama 25

menit dan diukur turbiditasnya dengan spektrofotometer

UV-Vis (HITACHI) pada gelombang 660 nm.

Presentase inhibisi dari denaturasi atau presipitasi

BSA dikalkulasikan dengan rumus berikut:

% inhibisi =

x 100 %

Pengujian aktivitas Natrium diklofenak, EPMS, APMS,

dan senyawa hasil modifikasi terhadap denaturasi BSA

dilakukan secara triplo dan dilakukan penghitungan standar

deviasi terhadap tiap konsentrasi yang digunakan.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini dilakukan modifikasi senyawa etil p-metoksisinamat

(EPMS) melalui reaksi nitrasi dan esterifikasi. Sebelum proses modifikasi,

senyawa etil p-metoksisinamat harus dihidrolisis terlebih dahulu menjadi asam p-

metoksisinamat. Tujuan modifikasi tersebut adalah untuk melihat adanya

pengaruh penambahan gugus nitro dan rantai karbon pada bagian ester dari EPMS

terhadap aktivitas antiinflamasinya. Metode pengujian aktivitas antiinflamasi

dengan menggunakan Bovine Serum Albumin telah dipilih untuk mengetahui

aktivitas antiinflamasi senyawa hasil modifikasi dengan prinsip inhibisi denaturasi

protein.

4.1 Modifikasi Struktur Etil p-metoksisinamat

Modifikasi struktur etil p-metoksisinamat belum banyak dilakukan

oleh peneliti terdahulu. Pada penelitian ini, EPMS pertama-tama diubah

terlebih dahulu menjadi asam p-metoksisinamat. Hal ini dilakukan karena

pada uji pendahuluan menunjukkan bahwa apabila reaksi nitrasi EPMS

dilakukan secara langsung, maka akan menghasilkan beberapa senyawa

yang memiliki kepolaran yang