modul 4 hutan sebagai modal investasi
TRANSCRIPT
Modul 4 ESDH 2019
Modul 4
HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI Kompetensi yang ditawarkan: Setelah membaca Modul ini diharapkan adanya penguasaan terhadap kompetensi dalam hal penghitungan nilai sekarang dan nilai akan datang sumber daya hutan yang akan dikelola dan menganalisa kelayakan finansial pengelolaan sehingga juga dapat berpengaruh terhadap karakter wirausaha sektor kehutanan. Rencana perkuliahan untuk pertemuan 7 dan 9:
Rencana Perkuliahan 2 x 120 menit
Aktivitas
Pertemuan 7 Langkah 1 10 menit
Aktivitas: menjelaskan kompetensi yang akan dicapai dan menyepakati perubahan yang diperlukan sesua hasil refleksi pembelajaran.
1. Menjelaskan hasil dan rekomendasi refleksi pembelajaran yang telah dilaksanakan; 2. Mereview materi modul 1dan hubungannya dengan modul 2.
Langkah 2 90 menit
Aktivitas: memahami hutan sebagai modal untuk berinvestasi. 1. Mahasiswa dibagi kedalam tiga kelompok diskusi, yaitu kelompok kelompok sumber
daya hutan, kelompok ongkos dan kelompok perolehan; 2. Masing-masing kelompok membaca dengan cepat halaman 70 s.d 85 3. Kelompok sumber daya akan mengemukakan berbagai kegiatan silvikultur yang perlu
dilakukan. 4. Kelompok ongkos mengemukakan ongkos-ongkos yang dikeluarkan pada setiap kegiatan
silvikultur tersebut. 5. Kelompok perolehan mengemukakan berbagai perolehan yang dihasilkan dalam
mengelola sumber daya hutan. Langkah 3 20 menit
Aktivitas: membuat rangkuman hasil diskusi dengan cara menghitung NPV.
Pertemuan 9 Langkah 1 100 menit
Aktivitas: menjelaskan kriteria menerima investasi pada pengelolaan sumber daya hutan. 1. Mahasiswa dibagi kedalam empat kelompok diskusi, yaitu: kelompok NPV, kelompok
IRR, kelompok BCR, kelompok Payback; 2. Setiap kelompok menginisiasi diskusi sesuai tema masing-masin.
Langkah 2 10 menit
Aktivitas: membuat rangkuman. Semua kelompok secara bersama-sama meranking proyek yang sudah didiskusikan.
Langkah 3 10 menit
Aktivitas: refleksi pembelajaran. Mahasiswa secara bersama sama mengisi kusioner refleksi yang tersedia kemudian merumuskan rekomendasi perbaikan proses pembelajaran berikutnya.
Hutan merupakan sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga dengan sebaik-baiknya kelestarian fungsi
lingkungan hidup yang diembannya. Dengan demikian sumber daya hutan memiliki peran
69 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019 ganda, yaitu sebagai modal pertumbuhan ekonomi (resource based economy) dan sekaligus
sebagai penopang sistem kehidupan (life support system). Hingga saat ini, sumber daya alam
sangat berperan sebagai tulang punggung perekonomian nasional, dan masih akan diandalkan
dalam jangka menengah. Hasil hutan, hasil laut, perikanan, pertambangan, dan pertanian
memberikan kontribusi 24,8 persen dari produk domestik bruto (PDB) nasional pada tahun
2002, dan menyerap 45 persen tenaga kerja dari total angkatan kerja yang ada. Namun di lain
pihak, kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada pertumbuhan jangka pendek telah
memicu pola produksi dan konsumsi yang agresif, eksploitatif, dan ekspansif sehingga daya
dukung dan fungsi lingkungan hidupnya semakin menurun, bahkan mengarah pada kondisi
yang mengkhawatirkan.
Kondisi hutan Indonesia dewasa ini cukup memprihatinkan. Baik perusahaan maupun
luasan hutan yang diusahakan serta produktivitas hutan dan industri kehutanan
memperlihatkan penurunan yang sangat tajam. Seperti telah diutarakan sebelumnya bahwa
jumlah perusahaan kehutanan dewasa ini hampir sama dengan jumlah perusahaan kehutanan
di awal industrialisasi kehutanan dengan perbedaan terdapat kepada kondisi potensi hutan dan
produktivitas. Kita dapat membandingkan kembali dua tahun pada periode yang berbeda,
yaitu tahun 1990 dan tahun 2003. Pada tahun 1990 terdapat unit usaha kehutanan sebanyak
564 yang menguasai kawasan hutan seluas 59,6 juta hektar dengan produksi sebesar 28 juta
m3 serta produktivitas sebesar 1,7 – 2,3 m3/ha/tahun. Sementara pada tahun 2003 terdapat unit
usaha kehutanan sebanyak 267 yang menguasai kawasan hutan sebesar 27,8 juta hektar
dengan produksi sebesar 11 juta m3 serta produktivitas sebesar 1,1 – 1,4 m3/ha/tahun. Dengan
demikian terjadi penurunan dengan level produktivitas hanya 1,1 m3 /ha/tahun. Hal ini
tentunya tidak menguntungkan bagi usaha pengelolaan hutan. Dan dampaknya adalah
penurunan penerimaan negara serta biaya yang dibutuhkan oleh negara untuk melakukan
rehabilitasi hutan.
Dalam pembahasan ini, hutan dianggap sebagai sekumpulan kekayaan atau modal
(kapital) yang dapat memberikan keuntungan tertentu bila diupayakan pengelolaannya secara
tepat. Dengan demikian hutan dalam konteks ini dapat dianggap sama seperti selembar
sertifikat deposito yang dapat dibeli dengan harapan bahwa suatu saat dalam kurun waktu
tertentu sertifikat tersebut akan memiliki harga yang melebihi harga pembeliannya. Namun
demikian, hutan merupakan kapital yang lebih kompleks karena memiliki banyak fungsi yang
sebagian di antaranya tidak memiliki nilai moneter. Sedangkan banyak pengelola hutan yang
hanya mengutamakan produk hutan, seperti kayu, yang memiliki harga pasar sehingga dengan
mudah diperjual-belikan. Memperjual-belikan kawasan hutan di Indonesia merupakan hal
70 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019 yang tidak dapat dilakukan karena kawasan hutan merupakan hutan negara. Tetapi hutan
rakyat yaitu hutan miliki yang diusahakan di luar hutan negara bisa diperjual-belikan,
tergantung kepada pemilik dan calon pembeli. Hutan negara hanya bisa diberikan hak konsesi
kepada pihak swasta yang ingin menginvestasikan modalnya, dengan harapan akan
memperoleh keuntungan lebih pada waktu tertentu ketika hutan siap dieksploitasi atau
dipanen.
Kendatipun produktivitas hutan seperti yang sudah diutarakan di atas tidak
menguntungkan bila diusahakan, tetapi meningkatkan produktivitas hutan sebenarnya bukan
perkara sulit. Dari studi banding dan pustaka diperoleh hasil bahwa untuk meningkatkan
produktivitas dari (1,1 – 1,4) m3/ha/th menjadi 10 m3/ha/th dapat dilakukan. Hutan di
Serawak Malaysia dan di Carita, Banten, Indonesi membuktikan bahwa diameter rerata pohon
50 cm dapat dicapai pada umur 20 tahun hingga 30 tahun. Waktu 30 tahun sudah lebih cepat
dari rotasi yang digunakan saat ini. Dengan diameter rerata 50 cm, jumlah pohon sebanyak
160 batang, standing stock diperkirakan 400 m3/ha, yang apabila ditebang akan menghasilkan
300 m3/ha. Sehingga produktivitasnya sebesar 10 m3/ha/th. Produktivitas yang lebih kecil
diperoleh pada pengukuran volume plot permanen yang berada bekas tebangan HPH dua
puluh tahun yang lalu di wilayah pegunugan Palolo Sulawesi Tengah, yaitu 270m3/ha.
Gambar IV-1 memperlihatkan hubungan antara diameter setinggi dada dengan jumlah pohon
pada plot permanen tersebut.
Gambar IV-1. Hubugan antara diameter pohon setinggi dada dengan jumlah pohon pada plot
permanen Palolo.
Pada plot yang dimaksud ditemukan jumlah pohon dengan diameter setinggi dada 50 cm
adalah 70 pohon. Sedangkan tingkat tiang dan pancang masing-masing sebanyak 479 batang
dan 3.184 batang. Dengan rata-rata 3 hingga 5 m3 volume kayu per pohon maka dapat
71 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019 diperoleh potensi maksimum adalah 350 m3. Sebenarnya potensi tersebut masih dapat
ditingkatkan dengan sistem pengelolaan agroforest dengan cara mengatur jumlah pancang dan
tiang sehingga volume pohon per individu pada diameter 50 cm up dapat diperbesar.
Dalam sudut pandang finansial dimana pohon dan lahan dianggap sebagai kapital, maka
terdapat dua jenis input yang paling penting yaitu: kapital dan waktu. Persoalannya adalah
bagaimana mengalokasikan kedua kapital tersebut sehingga kepuasan masyarakat dapat
dimaksimalkan. Sehingga dengan demikian yang penting untuk diketahui dalam hal ini adalah
bagaimana seorang investor dapat menggunakan perangkat standar analisis finansial dalam
melakukan evaluasi terhadap keputusan-keputusan dalam kehutanan, misalnya keputusan
tentang berapa banyak uang yang harus dibayarkan untuk sifat-sifat hutan dan praktek
pengelolaan dan mengukur keuntungan yang mungkin dari investasi yang diberikan
Perlu dijelaskan di sini bahwa dalam pembahasan hutan sebagai kapital dalam modul ini,
beberapa asumsi yang digunakan yaitu:
1. Pajak belum dipertimbangkan dalam berbagai perhitungan ekonomi dengan asumsi
bahwa semua pendapatan yang diperhitungkan telah dikurangi pajak.
2. Inflasi bernilai nol untuk semua barang yang dibeli sehingga ongkos rata-rata akan
konstan selama jangka waktu proyek. Namun harga setiap barang dapat berubah relatif
terhadap barang lainnya.
.
A. Kapital dan Bunga
Teori ekonomi klasik mendefinisikan kapital sebagai barang berjangka yang diproduksi oleh
masyarakat dan digunakan dalam proses produksi. Dalam pengertian yang lebih luas dapat
dikatakan bahwa kapital merupakan kumpulan kekayaan yang menghasilkan kepuasan bagi
pemiliknya. Berdasarkan pengertian yang luas ini, maka terdapat tiga tipe kapital, yaitu:
1. Barang berjangka (durable goods) seperti mesin-mesin, peralatan, pekerjaan seni,
bangunan, dan lain sebagainya.
2. Aset finansial seperti tabungan, bond, stok, sertifikat deposito, dan lain sebagainya.
3. Lahan dan sumber daya alam seperti minyak dan hutan.
Ketiga jenis kapital tersebut di atas merupakan kekayaan atau asset yang dapat diperjual-
belikan di pasar. Dan tentunya pembeli suatu asset akan selalu menghararapkan agar
mendapatkan hasil penjualan yang lebih besar ketika suatu saat beberapa tahun kemudian
asset yang telah dibelinya dijual kembali. Sama halnya bila seseorang ingin menyimpan
uangnya pada suatu bank sebesar satu juta rupiah misalnya. Dengan tingkat suku bunga
72 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019 sebesar 7 persen maka pada akhir tahun pertama uang sang penabung tersebut sebesar 1,07
juta. Seseorang tidak akan menginvestasikan sesuatu tanpa akan mendapatkan sesuatu yang
lebih (interest atau rate of return). Alasan lain seseorang bersedia menginvestasikan uangnya
adalah dengan anggapan bila proses ekonomi berfungsi dengan baik maka uang yang
diinvestasikan tersebut akan mengalami penambahan yang dapat mendatangkan keuntungan
bagi pemiliknya. Pertanyaannya sekarang adalah seberapa besar keuntungan atau interest
yang diharapkan oleh seseorang sehingga bersedia dan berkeinginan menginvestasikan
modalnya. Atau, seberapa besar kelebihan dari modal yang minimal dapat diterima oleh
pemilik modal? Tentunya paling tidak sebanyak yang pemodal dapat peroleh bila uang atau
modalnya tersebut diinvestasikan pada alternatif terbaik lainnya. Uang atau modal yang akan
diinvestasikan memiliki ongkos kesempatan atau opportunity cost, yaitu ongkos dari
kesempatan yang hilang karena memanfaatkan satu kesempatan atau sektor. Agar seseorang
bersedia menginvestasikan uang atau modalnya pada suatu kesempatan atau sektor, maka
yang dibutuhkan adalah bahwa minimum acceptable rate of return (MAR) lebih tinggi bila
dibandingkan dengan berbagai alternatif yang ada.
Pertumbuhan suatu modal yang diinvestasikan dapat dijelaskan dengan menggunakan
rumus berikut:
Vn = V0 (1 + r)n (IV-1)
dimana Vn adalah nilai modal pada tahun ke n (future value), V0 adalah investasi inisial atau
awal, r adalah tingkat suku bunga, dan n adalah tahun. Sebagai contoh, bila anda
menginvestasikan atau menyimpan uang ke suatu bank sebesar 100 juta rupiah pada tahun ke
0 dengan tingkat suku bunga sebesar 6% (r = 0,06), maka uang anda tersebut akan tumbuh
atau bertambah sebesar Vn = 100 juta (1,06)12 = Rp 201.219.647,29. Nampak bahwa uang
anda akan menjadi dua kali lipat setelah tahun ke 12. Hal ini dikarenakan oleh (1,06)12 = 2.
Pada kasus ini tingkat bunga 6% adalah rate of return anda.
Nilai setiap tahun adalah nilai tahun lalu dikalikan dengan (1 + r). Dengan demikian nilai
tahun ke 2 (future value) adalah nilai inisial (V0) dikalikan dengan (1 + r)n. Pertumbuhan ini
disebut compound interest atau bunga berbunga sebab anda akan memperoleh bunga bukan
hanya dari 100 juta rupiah saja tetapi juga dari akumulasi bunga. Bila 6% merupakan bunga
sederhana (simple interest), maka bunga akan selalu 6 juta rupiah setiap tahun, dan hal ini
memperlihatkan suatu kurva pertumbuhan berupa garis lurus dan bukannya kurva
eksponensial. Tetapi perlu diketahui bahwa investasi tidak tumbuh normal seperti pada bunga
73 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019 sederhana. Pada contoh di atas misalnya, bunga tahunan setelah tahun pertama melampaui 6
juta rupiah oleh karena adanya penambahan jumlah setiap tahun. Sebagai contoh berapa besar
bunga pada tahun ke tiga? Jawabnya adalah selisi antara nilai pada akhir tahun ke tiga dengan
nilai pada tahun ke dua. Atau dapat juga dijawab dengan mengalikan nilai tahun ke dua
dengan interest rate.
Persamaan IV-1 di atas dapat digunakan untuk mengetahui nilai sekarang (present value)
dari suatu nilai ke n (future value).
n
n0 r)(1
VV+
= (IV-2)
Seperti contoh sebelumnya, pada tingka suku bunga 6%, nilai modal pada tahun ke-12 yaitu
Rp 201.219.647,29, dapat dihasilkan nilai sekarang, yaitu sebesar Rp 201.219.647,29/(1,06)12
= 100 juta rupiah, sama dengan nilai yang diivestasikan untuk memperoleh future value.
Perhitungan nilai sekarang ini menjelaskan bahwa bila anda ingin memperoleh bunga 6 %,
maka nilai yang menjanjikan dari Rp 201.219.647,29 pada tahun ke 12 adalah
menginvestasikan uang sebesar 100 juta rupiah sekarang. Bila uang yang diinvestasikan lebih
besar dari seratus juta rupiah maka pertumbuhan uang yang diinvestasikan tidak
memperlihatkan suatu rate yang dapat diterima karena kurang dari 6%. Itulah sebabnya maka
interest rate yang digunakan untuk menghitung present value dan future value disebut
“minimum acceptable rate of return (MAR)”. Persamaan IV-2 merupakan dasar untuk
menemukan keinginan maksimum anda untuk membayar untuk suatu asset yang akan
menghasilkan pendapatan masa depan (future income). Oleh karena begitu banyak income
yang dapat diperoleh dari pengelolaan hutan dalam rangkaian waktu ke depan, maka
persamaan IV-2 merupakan alat yang sangat dibutuhkan untuk mengevaluasi investasi di
bidang kehutanan.
Dengan memperhatikan persamaan IV-2 anda dapat menjelaskan bahwa bila interest rate
lebih besar dari 0, present value akan lebih kecil dari future value. Pertanyaannya sekarang
adalah apakah anda lebih menginginkan untuk memperoleh uang sebesar 100 juta rupiah
sekarang ketimbang menerimanya setelah sepuluh tahun kemudian, kendatipun tidak ada
inflasi (asumsi)? Oleh karena pertanyaan seperti inilah maka kita melakukan discount atau
perhitungan terhadap future value untuk memperoleh nilai sekarang atau present values.
Interest rate yang digunakan dalam melakukan discounting kadang kadang disebut discount
rate.
74 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019
Persamaan IV-2 juga menjelaskan bahwa semakin jauh future value, atau nilai n semakin
besar, maka present value akan semakin kecil. Selanjutnya persamaan ini juga menjelaskan
bahwa semakin tinggi interest rate, maka semakin rendah present value.
Selanjutnya, persamaan IV-1 dan IV-2 dapat menghasilkan rumus untuk menghitung nilai
rate of return sebagai berikut:
n
0
n 1VVr −= (IV-3)
Istilah r sering juga disebut internal rate of return. Rumus di atas sangat berguna untuk
mengukur performansi suatu investasi yang sederhana dimana terdapat satu input dan satu
output, misalnya real state dan kayu yang anda dapat membelinya pada waktu tertentu
kemudian menjualnya beberapa tahun kemudian. Beberapa istilah yang menjelaskan tentang
future value seperti: accumulated value with interest, compounded value, and principle with
accumulated interest. Prosedur untuk menemukan future value disebut compounding atau
accumulating. Demikian juga dengan present value, terdapat beberapa istilah dalam literature
yang digunakan nilai ini seperti: present worth, nilai tahun ke 0, discounted value, capitalized
value, discounted cash flow (DCF), dan net present value. Dan proses untuk menemukan nilai
sekarang disebut discounting atau capitalizing.
Oleh karena keputusan tentang investasi dilakukan pada saat n=0 atau “sekarang” maka
selanjutnya yang akan banyak dibahas adalah Net Present value (NPV). NPV adalah nilai
sekarang perolehan (revenue) dikurangi dengan nilai sekarang ongkos (costs). Secara simbolis
NPV adalah:
nr) (1
nC..........3r)(1
3C2r)(1
2C1r)(1
1C0C
nr)(1nR
..........3r)(13R
2r)(12R
1r)(11R
0R NVP
+−−
+−
+−
+−
−+
+++
++
++
+=
(IV-4)
dimana R dan C masing-masing adalah revenue atau perolehan dan costs atau ongkos.
Sedangkan angka kecil di bagian depan bawah menunjukkan tahun. Perlu dicatat bahwa R0
dan C0 tidak perlu didiscounted karena keduanya sudah berada pada tahun ke 0. Secara umum
rumus NPV dapat ditulis sebagai berikut:
75 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019
∑=
+
−+
=n
0yy
y
y
y
r)(1C
r)(1R
NPV (IV-5)
dimana dapat dijelaskan bahwa NPV merupakan penjumlahan dari perolehan setiap tahun, y,
kemudian didiscounted ke tahun ke 0 dikurangi dengan penjumlahan ongkos yang
dikeluarkan setiap tahun yang kemudian didiscounted ke tahun ke 0. Rumus IV-4 di atas
merupakan penjabaran dari rumus IV-2 yang telah diberikan sebelumnya, dengan
memasukkan semua nilai negatif dan positif dari cash flows dari rentang waktu lebih dari satu
tahun. Keinginan anda untuk melakukan korbanan atas suatu asset dikurangi oleh nilai
sekarang dari semua ongkos dan dinaikkan oleh nilai sekarang perolehan. Dengan demikian
NPV dapat didefinisikan sebagai keinginan investor untuk melakukan korbanan atau
pembayaran atas suatu asset berdasarkan kepada estimasi benefit, ongkos dan rate of return
yang diinginkan. Kesimpulannya bahwa NPV merupakan perangkat yang sangat berguna
dalam melakukan valuasi sumber daya hutan. Valuasi ekonomi telah dibahas pada modul 3,
namun valuasi ekonomi merupakan suatu ilmu tersendiri sehingga bagi yang berminat dapat
mempelajarinya secara tersendiri. Berbagai literatur valuasi ekonomi telah tersedia, namun
masih sangat terbatas dalam versi bahasa Indonesia.
Sebagai penjelasan tambahan, berikut kita dapat melakukan suatu perhitungan NPV
dengan menggunakan garis waktu (time line) yang memperlihatkan ongkos dan perolehan
yang diharapkan dalam mengelola satu hektar hutan marginal. Perolehan akan dituliskan pada
bagian atas garis waktu, sedangkan semua ongkos berada di bawah. Data yang digunakan
merupakan perkiraan-perkiraan dari beberapa sumber yang ada, dan tentunya pembaca dapat
menggunakan data lainnya berdasarkan hasil studi yang pembaca lakukan atau miliki.
Beberapa sumber informasi tentang harga barang dan jasa yang digunakan dalam
pembangunan kehutanan diantaranya adalah dokumen yang dikeluarkan oleh Direktorat
Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan tentang Harga
Satua Pokok Gerhan 2007. Lokasi dimana proyek serta kondisi umum wilayah akan sangat
berpengaruh terhadap biaya yang dibutuhkan. Membuat lubang penanaman pada tanah hutan
yang gembur dan mengandung banyak bahan organik kan membutuhkan waktu yang lebih
sedikit bila dibandingkan dengan membuat lubang pada tanah berbatu yang padat.
76 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019
Menggunakan x% bunga, pada tahun ke 0, NPV dari proyeksi cash flow di atas
merupakan maksimum seorang investor dapat membayar untuk memperoleh satu hektar hutan
marginal bila x% rate of return diinginkan, dengan asumsi tidak ada ongkos tambahan lainnya.
Bila rate of return yang diinginkan adalah 6%, maka NPV dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan III-4 sebagai berikut:
100000010(1,06)
60000040)06,1(
30000003000000020(1,06)
2000000 NPV −−+
+=
1000000791,1
600000286,10
33000000207,3
2000000−−+=
= Rp 3.396.871,637 per hektar.
Bila semua ongkos dan perolehan diproyeksikan, pembeli yang sedia membayar sebesar
Rp 3.396.871,637 per hektar lahan hutan marginal akan memperoleh rate of return sebesar 6%
dalam investasi. Bila NPV dihitung sesaat setelah land clearing, maka nilai negatife sebesar
satu juta akan hilang dari perhitungan, dan NPV merupakan WTP (willingness to pay)
terhadap lahan hutan marginal ditambah dengan biaya land clearing atau sebesar satu juta
rupiah. NPV ini adalah alat untuk membandingkan alternatif-alternatif investasi dan
menghitung maksimum perbedaan harga dan asset-asset yang ada. Membuat skenario-
skenario terhadap input-input yang diperlukan dalam perhitungan NPV biasanya sangat sering
dilakukan oleh analis, sehingga dengan demikian pengambil keputusan akan dapat memilih
skenario yang paling baik menurut proses jangka panjangnya. Nilai suatu asset adalah NPV
kepuasan yang dapat dihasilkan.
Rp 1 juta untuk land clearing
Rp 600 ribu untuk pemupukan
Rp 2 juta hasil penjarangan
Rp 30 juta hasil pemanenan; dan Rp 3 juta hasil penjualan lahan
0 10 20 30 40
77 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019 B. Seri Pembayaran Discounting dan Compounding
Penjelasan di atas merupakan proses discounting dan compounding terhadap cash flows
tunggal. Selanjutnya dengan berbekal pengetahuan tersebut, maka dapat difahami dengan
mudah suatu seri discounting dari pembayaran yang setara yang terjadi dalam interval yang
teratur sebagaimana yang umum terjadi dalam kehutanan. Rumus yang digunakan disajikan
dalam Tabel IV-1, namun sebelumnya terdapat beberapa hal yang harus difahami sebagai
kondisi dimana rumus-rumus tersebut dapat digunakan secara valid:
1. Pembayaran harus sama
2. Pembayaran harus terjadi dalam interval yang teratur dan disebut “periode”
3. Tidak ada pembayaran pada tahun ke 0
4. Pembayaran pertama dilakukan pada akhir periode pertama
5. Pembayaran harus dalam tanda yang sama, positif atau negatif.
Tabel III-1. Prosedur menentukan rumus yang tepat dalam perhitungan nilai sekarang dan nilai akan datang Jumlah Pembayaran Waktu antar
Pembayaran Periode Evaluasi
Waktu Nilai Rumus
Tunggal Berjangka
Future
Present
Vn = V0 (1 + r)n
V0 = Vn/(1 + r)n
Future
−+=
r1r)(1pV
n
n
Present
+=
rr)(1-1pV
-n
0
Future
Present
Vn = tak terbatas
rpV0 =
Future
Present
−+−+
=1)1(1r)(1V
n
n trp
−+
+=
1r)(1r)(1-1V
t
-n
0 p
Future
Present
Vn = tak terbatas
1)1(V0 −+
=tr
p
Berjangka
Terus menerus
Terus menerus
Berjangka
Periodik
Tahunan
Seri
MULAI
78 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019 Keterangan:
r = annual interest rate/100 (Bila pembayaran dilakukan dalam bentuk ril, maka r adalah ril; tapi bila pembayaran dilakukan dalam bentuk nominal, maka r adalah nominal)
V0 = present value atau nilai inisial Vn = future value setelah tahun ke n (termasuk bunga) n = jumlah tahun untuk compounding atau discounting p = jumlah pembayaran yang ditentukan setiap waktu dalam suatu seri t = jumlah tahun antara kejadian periodik p
Bila persyaratan tersebut di atas tidak terpenuhi maka rumus-rumus yang terdapat pada
Tabel IV-1 harus mengalami perubahan-perubahan sebagai langkah penyesuaian. Dan yang
terpenting adalah kita harus dapat mengenali jenis seri pembayaran investasi sebagaimana
yang dijelaskan setelah Tabel IV-1. Hal ini akan memudahkan kita untuk menentukan rumus
yang mana yang sesuai digunakan dalam melakukan analisis. Menggunakan Tabel IV-1
cukup mudah. Mulai pada sebelah kiri dari pohon (diagram) kemudian bergerak ke kanan
mengikuti cabang-cabang untuk menentukan rumus yang paling sesuai. Cabang akan dimulai
oleh percabangan tentang jumlah pembayaran yang terdiri atas pembayaran tunggal dan
pembayaran seris (ganda) dan selanjutnya.
Bila seri pembayaran tidak memenuhi kelima kondisi tersebut di atas, maka rumus pada
Tabel IV-1 membutuhkan perubahan-perubahan dan penyesuaian. Bila anda dapat mengenal
dan memberi nama setiap seri yang dijelaskan di bawah, maka cukup mudah untuk
menemukan rumus yang tepat seperti yang digambarkan pada Tabel IV-1.
Tabel IV-1 memperlihatkan dua jenis periode evaluasi. Pertama adalah berjangka
(terminating) dan yang kedua adalah terus menerus atau tidak berjangka (perpetual). Seri
tahunan tak berjangka dan seri tahunan berjangka dapat diilutrasikan seperti berikut:
Garis tahun di sebelah atas memperlihatkan model perpetual atau tidak berjangka,
sedangkan garis tahun yang terletak di sebelah bawah memperlihatkan model terminating atau
berjangka. Kedua model tersebut dapat memperlihatkan selang waktu tahunan atau periodik.
Selang periodik terjadi bila waktu antara pembayaran yang satu dengan pembayaran
berikutnya lebih dari satu tahun.
0 1 2 3 4
..…∞ Tahun
0 1 2 3 4 Tahun
79 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019
Perpetual periodic seris berarti terdapat beberapa periode dimana satu periode (t) lebih
besar dari satu tahun dan akhir seris periode tidak diketahui. Untuk menghitung nilai Present
Value pada konteks ini digunakan rumus:
1r)(1pV
t0 −+= (IV-6)
Tetapi bila periodik seris ini berada pada rentang waktu yang terbatas (terminating), maka
menghitung net present value dilakukan dengan menggunakan rumus:
−+
+=
1r)(1r)(1-1pV
t
-n
0 (IV-7)
Sedangkan untuk menghitung future value dari terminating annual series digunakan rumus
sebagai berikut:
−+=
r1r)(1pV
n
n (IV-8)
Seri pembayaran berjangka secara periodik memperlihatkan seri pembayaran secara
periodik dimana setiap periode teridir atas jumlah tahun yang sama, misalnya satu periode
adalah lima tahunan. Untuk menghitung present value dalam seri pembayaran berjangka
secara periodik digunakan rumus sebagai berikut:
−+
+−=
−
1)1()1(1
0 t
n
rrpV (IV-9)
Katakanlah seseorang berencana menanam pohon untuk mensuplai kayu bakar dengan
rotasi 5 tahun. Bila setiap pemanenan menghasilkan $1000, dan pemanenan pertama pada
tahun ke lima maka present value yang dihasilkan oleh orang tersebut dengan MAR sebesar
8% adalah sebagai berikut:
80 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019
57,1673$1)08.1(
)08.1(11000 5
20
=
−
− −
Demikian juga halnya dengan future value untuk seri pembayaran periodik berjangka
dapat dilakukan dengan menggunakan rumus berikut:
−+−+
=1)1(1)1(
t
n
n rrpV (IV-10)
Dengan contoh kasus seseorang yang ingin menanam pohon penghasil kayu bakar di atas
maka future value dapat dihitung dengan menggunakan rumus IV-10 sebagai berikut:
[ ] [ ] 42,7800$1)08.1(/1)08.1(1000 520 =−−
Rumus lengkap dapat dilihat pada Tabel dan untuk melakukan perhitungan maka berikut
adalah prosedur umum yang dapat digunakan:
1. Nama seris
2. Tentukan rumus yang relevan untuk digunakan pada Tabel IV-1
3. Yakinkan bahwa rumus yang akan digunakan sesua dengan lima kondisi yang
dibutuhkan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
4. Temukan pengambil keputusan tentang MAR. Menentukan r akan dipelajari kemudian.
5. Masukkan nilai-nilai dari setiap komponen rumus, kemudian lakukan penghitungan.
Terkadang dengan mempertimbangkan bagaimana panjangnya waktu pengusahaan hutan
dimana ketidak-pastian merupakan persoalan dan resiko utama yang kemungkinan besar
dihadapi, maka pertanyaan yang sering diutarakan dalam melakukan investasi dalam sektor
kehutanan adalah “berapa banyak pendapatan yang seharusnya diterima sampai dengan pada
akhir rotasi sehingga biaya-biaya produksi yang telah dikeluarkan beserta bunganya dapat
tertutupi?“ Oleh karena itu penting untuk menganalisa peluang dalam menerima pendapatan
tersebut. Katakanlah anda harus membayar sebesar $400 untuk membeli satu hektar lahan,
$200 untuk menanami lahan tersebut dengan pohon-pohon, dan 10 tahun kemudian anda
mengeluarkan $75 untuk melakukan pengendalian gulma dan penjarangan. Bila pemanenan
81 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019 diharapkan pada tahun ke-30, berapa pendapatan minimal yang dibutuhkan? Pendapatan yang
dibutuhkan atau future value adalah apa yang anda dapat peroleh bila kapital dalam hal ini
sejumlah uang tadi yang anda investasikan pada MAR minimum. Pada 7% MAR, maka future
value dari ongkos-ongkos tadi dapat dilihat sebagai berikut:
Ongkos awal pada tahun ke nol sebesar $600 diakumulasikan selama 30 tahun, dan $75
ongkos pada tahun ke 10 diakumulasikan selama 20 tahun, menghasilkan total ongkos pada
tahun ke 30 senilai $4857,58. Hal ini berarti bahwa bila jumlah ongkos-ongkos tadi
diinvestasikan ke proyek lain dengan menggunakan MAR yang sama maka uang tersebut juga
akan terakumulasi senilai $4857,58 selama 30 tahun.
Dalam kehutanan sering kita berbicara tentang ”interest cost” dari waktu yang digunakan
untuk menunggu dalam periode panjang sebelum menerima pendapatan dari hasil panen
penebangan tegakan hutan. Hal ini berupa ongkos kesempatan (opportunity cost) yaitu ongkos
yang dikorbankan untuk memperoleh kesempatan. Tetapi penting untuk diketahui
bahwa ”ongkos” ini juga adalah pendapatan bagi kapital. Konsep ini dijelaskan oleh Gambar
IV-2 berikut:
Gambar IV-2. Pendapatan untuk kapital.
0 10 20 30
-$200 -$400 -$ 75
-600(1.07)30= -$4567.35
-75(1.07)30= -$290.23 -$ 4857.58 Future value total investasi
10000
20000
30000
7711
$20000
Pendapatan= $20000 - $7711 = $12289
5 0 10 Beli Jual
Tahun
82 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019
Katakanlah proyeksi harga penjualan dari asset berupa hutan adalah $20000 pada tahun
ke sepuluh. Bila MAR adalah 10%, dan pembeli membayar sebesar 20000(1.10)10 = $7711.
Sekarang asumsikan bila asset tadi dijual pada tahun ke sepuluh sebesar $20000 dengan rate
of return adalah 10%. Maka perbedaan antara pembelian dan penjualan adalah merupakan
interest yang pembeli seharusnya dapat peroleh dengan melakukan investasi ditempat atau
pada proyek lain, yaitu $12289.
C. Alokasi Kapital yang Optimal
Gambar I-2 telah menjelaskan bagaimana seorang mahasiswa menggunakan waktunya secara
optimal. Sama halnya dengan sebuah alokasi optimal kapital yang ideal dalam berbagai
investasi yang berbeda maka total kepuasan dari semua investasi tersebut seharusnya
dimaksimumkan sepanjang periode proyek. Artinya bahwa alokasi kapital telah mencapai
kondisi optimal, yaitu dimana tidak ada lagi realokasi yang menyebabkan perolehan tambahan.
Hal ini berarti bahwa proyek telah mengaplikasikan prinsip equi-marginal yang mengatakan
bahwa optimumnya alokasi kapital terjadi ketika uang terakhir yang diinvestasikan pada seiap
aktivitas mendatangkan perolehan yang sama. Gambar IV-3 mengilustrasikan konsep
optimalisasi ini dimana sumbu x adalah uang (Rp) yang diinvestasikan per unit waktu
sementara sumbu y adalah marginal rate of return (%).
Gambar IV-3. Alokasi kapital secara optimal pada dua industri.
Seorang pengusaha yang ingin menginvestasikan kekayaannya senilai 15 milyar rupiah
pada dua jenis industri atu proyek, katakanlah industri A dan industri B. Pada hasil analisa
kemudian seperti yang digambarkan di atas, investasi optimum untuk industri A terdapat pada
0 2 4 6 8 10 12
2
4
6
8
10
12
0 2 4 6 8 10 12
2
4
6
8
10
12
Milliar rupiah yang diinvestasikan pada inustari A per unit waktu
Milliar rupiah yang diinvestasikan pada inustari B per unit waktu
Mar
gina
l RO
R (%
)
Mar
gina
l RO
R (%
)
83 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019 nilai investasi sebesar enam milyar rupiah. Sedangkan pada idustri B pada nilai investasi
sebesar sembilan milyar rupiah. Pada kedua nilai investasi tersebutlah diperoleh nilai margin
rate of return sebesar 6% dan bila investor melakuan realokasi investasi, misalnya melakukan
investasi lebih besar ke industri A atau sebaliknya lebih besar ke industri B dari kondisi di
atas maka margin rate of return akan berkurang dari enam persen. Pada titik optimal harus
diyakini bahwa tidak ada lagi pergeseran investasi yang lebih menguntungkan karena
memberikan margin rate of return yang lebih besar. Industri A dapat berupa pengelolaan
hutan dimana kegiatannya adalah menumbuhkan hutan dan memanennya. Sementara industri
B dapat berupa industri kayu gergajian yang dibangun berdekatan dengan lokasi pengelolaan
hutan.
Kemungkinan mengembangkan jumlah grafik menjadi lebih banyak sejalan dengan lebih
besar investasi yang akan ditanamkan dan lebih diversifikasi usaha atau industri yang akan
dikelola. Namun yang penting adalah menggambarkan grafik-grafik tersebut sehingga dapat
diihat bahwa margin rate of return berada pada kuantitas yang sama. Pada kondisi pasar bebas
terdapat kecenderungan hal ini terjadi sepanjang waktu proyek, tetapi tidak berada pada
kondisi presis pada saat tertentu. Namun hal ini bukanlah persoalan yang serius oleh karena
yang terpenting adalah bagaimana memperoleh rata-rata rate of return yang lebih besar. Apa
yang benar-benar harus disamakan adalah margin kepuasan (utility) dari setiap rupiah terakhir
yang dibelanjakan. Adanya berbagai resiko yang berbeda pada setiap industri yang akan
diusahakan, margin rate of return akan bervariasi agar supaya margin kepuasan dapat saling
mendekat dan memberikan kepuasan maksimum.
Kalu kita bisa menjaga dan mengelola hutan nasional kita maka bukan tidak mungkin
hutan akan dapat memainkan peranan yag penting kembali dimasa yang akan datang.
Indoneia memiliki hutan produksi seluas kurang lebih 60 juta hektar dan luasan ini
merupakan kapital yang akan memberikan devisa yang sangat besar pada 20 hingga 30 thun
kemudian. Dari luasan hutan produksi tersebut diperkirakan sebesar kurang lebih 40 juta
hektar masih berhutan dan sisanya tidak berhutan. Kawasan hutan produksi yang berhutan
dapat berupa hutan primer dan dapat berupa hutan sekunder dengan perbandingan lebih
kurang empat berbanding enam sehingga hutan produksi yang masih dalam kondisi hutan
primer adalah seluas kurang lebih 15 juta hektar. Bila saja luasan ini dapat dikelola dengan
optimal untuk memenuhi kebutuhan kayu sekarang hingga 20 atau 30 tahun kemudian,
sementara 25 juta hektar dioptimalkan pertumbuhannya sehingga mencapai tingkat
produktivtas yang lebih menguntungkan setelah 20 hingga 30 tahun kemudian.
84 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019
Selama kurun waktu 20 hingga 30 tahun kemudian dengan ketersediaan hutan primer
sebanyak 15 juta hektar, berarti setiap tahun ada hutan produksi seluas 500 ribu hektar yang
siap dieksploitasi. Luasan kapital tersebut dapat dieksploitasi selama jangka pengusahaan
tahap I. Kemudian pada Tahap II 20 hingga 30 tahunan akan tersedia kapital seluas 25 juta
hektar yang lebih bernilai ekonomi.
Perhitungan finansial dapat dilakukan dengan mudah dan profesional. Namun dibutuhkan
kemauan politik pengelolaan hutan nasional dalam kerangka otonomi daerah. Akan banyak
kendala yang akan timbul baik kendala teknis, finansial, dan pemanfaatan sumber daya
manusia. Tetapi sumber daya hutan sebagai kapital benar-benar akan menjadi peluang
bertumbuhnya perekonomian nasional bila isu tersebut ditindak-lanjuti dengan sebaik-baiknya.
Karena tidak adanya inventarisasi hutan yang tepat atau informasi yang terpercaya tentang
potensi dan tingkat eksploitasi yang sesungguhnya maka akan sulit dikatakan bahwa hutan
akan menjadi sebuah kapital yang handal atau justru akan menjadi lahan kritis yang gundul di
masa yang akan datang.
Beberapa hasil kalkulasi sederhana memperlihatkan bahwa permintaan sekarang ini
kiranya akan menggerogoti hutan-hutan dalam waktu beberapa tahun kemudian. Bahkan
dibeberapa tempat justru lebih cepat dibandingkan dengan tempat lainnya. Hasil kalkulasi
sederhana bagi eksploitasi berkelanjutan di Indonesia ialah bahwa satu meter kubik per hektar
yang diperdagangkan dapat diambil dari hutan setiap tahunnya. Apabila kaidah ini serta
praktek-praktek peebangan yang baik dipergunakan, maka cadangan kurang lebih akan
seimbang dengan tingkat permintaan industri yang ada sekarang dan masa yang akan datang.
Tetapi karena alasan apa pun maka skenario ini tidak realistis.
Perlu disadari bahwa dimasa lalu terjadi over eksploitasi hutan Indonesia. Sebenarnya
berdasarkan hasil perhitungan diperoleh bahwa kira-kira 22 juta meter kubik kayu yang dapat
dieksploitasi setiap tahun di Indonesia pada masa lalu, namun pada kenyataannya yang terjdi
adalah laju eksploitasi 50 persen lebih tinggi. Permintaan kayu ketika itu tidak bisa direm
sehingga yang terjadi adalah industri kayu justru mempercepat penggundulan hutan.
Indonesia masih mempunyai cukup waktu untuk mengkaji dan menentukan kembali
sasaran-sasaran pengusahaan guna menggambarkan daya dukung ekologis dan untuk
memperhitungkan kenyataan-kenyataan operasional pengambilan kayu. Tetapi perlu diyakini
bahwa suatu perubahan besar, entah sistimatis atau menyakitkan, akan datang pada waktunya.
Pergeseran menuju perekonomian kehutanan yang berkelanjutan akan menuntut
penyesuaian arus-arus biaya dan manfaat yang ada sekarang di sektor kehutanan. Pendapatan
dari hasil pengelolaan hutan harus berkeadilan antara pendapatan yang diperoleh oleh
85 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019 pengusaha, oleh pemerintah, serta oleh masyarakat sekitar hutan. Keuntungan total dari hasil
pejualan hasil hutan harus mengalir ke perusahaan sehingga perusahaan merasa mendapatkan
insentif dari investasi yang ditanamkannya. Demikian juga pemerintah harus memperoleh
pendapatan dari hasil penjualan hasil hutan tersebut agar dapat membiayai rehabilitasi hutan
dan pembangunan nasional dan daerah. Sementara masyarakat sekitar hutan pun harus
mendapatkan manfaat dari kegiatan proyek pengelolaan hutan.
D. Kriteria Menerima Investasi Sejak akhir tahun 1960 investasi idustri hulu pengelolaan hutan alam telah dimulai. Namun
sejalan dengan berbagai issu dan kebijakan maka sejak tahun 1980-an pengelolaan hutan alam
mulai digeser peranannya oleh hutan tanaman industri. Bahkan pada akhir tahun 1980-an
tersebut, uang dalam jumlah besar diinvestasikan untuk pembangunan hutan tanaman sebagai
sumber bahan baku industri pulp dan kertas. Tidak mengherankan kalau total produksi dalam
negeri meningkat dari 3 juta ton per tahun pada tahun 1997 menjadi 5,6 juta ton per tahun
hingga tahun 2002. Ketika itu cukup luas hutan yang dikelola oleh negara telah
dialokakasikan melalui izin hutan tanaman industri (HTI), dan hampir seratus juta dollar AS
dana modal dalam negeri dialokasaikan guna mempromosikan berbagai pengembangan hutan
tanaman indiustri di Indonesia.
Sebagian besar lahan hutan yang dialokasikan untuk investasi hutan tanaman ketika itu
berupa kawasan hutan marginal, baik berupa bekas tebangan dan padang alang-alang. Hutan
yang demikian kadang disebut sebagai hutan rawang, yaitu kawasan hutan yang potensi
kayunya kurang dari 20 meter kubik per hektar. Tidak sedikit juga kawasan hutan bekas
perladangan dan penyerobotan hutan telah dijadikan hutan tanaman industri.
Investasi pada industri hulu kehutanan pada tahun 2011 mencapai 2,33 trilyun rupiah
yang sebagian besar ditanamkan pada pembangunan hutan tanaman industri. Pemerintah
memberikan kemudahan berinvestasi pada pembangunan hutan tanaman oleh karena
diharapkan pasokan kayu ke pasar dapat didominasi oleh hutan tanaman dan menggantikan
peranan hutan alam. Hutan tanaman industri memberikan kontribusi sebesar 80% terhadap
pasokan kayu sementara sisanya yaitu 20% dari hutan alam. Berdasarkan data Ditjen Bina
Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan, nilai investasi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) sampai kuartal III/2011 sebesar Rp206,19 miliar
dari 19 unit perizinan dengan luas lahan mencapai 9.103,92 hektare. Sementara, nilai investasi
dari Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-
86 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019 HTI) sebesar Rp2,13 triliun yang berasal dari 70 unit perizinan. Luas lahan yang telah
terealisasi 56.786 hektare dengan total produksi kayu 7,48 juta meter kubik.
Pertumbuhan industri kehutanan nasional mengikuti skenario pertumbuhan ekonomi
Indonesia seperti yang disusun Bank Dunia. Ada tiga skenario yang kemungkinan dapat
terjadi. Skenario pertama, pertumbuhan ekonomi pada 2012 berkisar 6,3%-
6,5% asalkan kondisi ekonomi berjalan normal. “Skenario ini akan berdampak positif
kepada industri kehutanan karena akan tumbuh 2%. Untuk mengatasi debottlenecking di
kehutanan maka sebaiknya ada kemudahan dalam melakukan investasi. Skenario kedua,
pertumbuhan ekonomi nasional hanya 5,3%-5,5% apabila perekonomian Eropa memburuk
tetapi tidak ditandai adanya penutupan bank berskala besar. Jika skenario ini terjadi maka
pelaku usaha lebih memilih sektor komoditas daripada sektor kehutanan. Dan yang terakhir
adalah skenario terburuk yaitu pertumbuhan perekonomian nasional sebesar 4% akibat
perekonomian Eropa terpuruk yang terlihat dari adanya penutupan bank. Akibat dari skenario
ini, industri kehutanan tidak akan tumbuh lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Seharusnya nilai investasi di sektor kehutanan dapat meningkat sebagaimana peningkatan
dari tahun 2010 ke 2011. Nilai investasi pada tahun 2011 sebagaimana yang diutarakan
sebelumnya mengalami peningkatan dari nilai investasi 2010 yaitu sebesar Rp 170 milyar
untuk invetasi dalam negeri dan 40 juta dolar Amerika untuk investasi asing. Meningkatnya
ekspor kayu Indonesia merupakan daya tarik bagi investor untuk menanamkan modalnya di
sektor kehutanan. Pada tahun 2009, volume ekspor kayu nasional sebesar 2,72 juta m3 dengan
nilai ekspor US$ 1,5 miliar, sementara pada tahun 2010 volume ekspor kayu nasional sebesar
2,76 juta m3 dengan nilai ekspor sebesar US$ 1,3 miliar. Industri pulp dan kertas telah
menarik investasi sebesar US$ 16 miliar dan mendatangkan devisa sebesar kurang lebih US$
4 miliar.
Selain hasil hutan berupa kayu yang sudah lama diusahakan dalam pengelolaan hutan
Indonesia, perdagangan karbon hutan pun memiliki tren ke depan yang menjanjikan. Program
ekonomisasi jasa lingkungan hutan tersebut berskala internasional dan disebut sebagai
Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+). Dewasa ini
program REDD+ merupakan sebuah peluang investasi di Indonesia. Rancangan untuk
Rencana Investasi Kehutanan di Indonesia dilakukan sejalan dengan pesatnya perkembangan
kebijakan dan lembaga-lembaga REDD+ di Indonesia. Selain itu, REDD+ kini dipandang
sebagai pendekatan untuk menghasilkan pembiayaan baru bagi konservasi hutan dan
pembangunan pedesaan yang berkelanjutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
(Balitbang Kehutanan) mengambil prakarsa dengan membentuk Aliansi Iklim Hutan
87 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019 Indonesia (Indonesia Forest and Climate Alliance / FCA) pada tahun 2007 yang dimaksudkan
untuk menjabarkan pendekatan nasional sebagai tanggapan terhadap perubahan kesempatan
yang muncul dari perundingan internasional mengenai aksi dan pembiayaan iklim. Sejumlah
kebijakan politis yang dibuat dan terkait dengan pengembangan dan pengelolaan REDD+ di
Indonesia, antara lain: (i) Peraturan Menteri Kehutanan tentang kegiatan demonstrasi
REDD+; (ii) Keputusan Presiden yang membentuk Satuan Tugas REDD+ Nasional (aktif
sampai Desember 2012) di bawah kepemimpinan Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan
dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yang beranggotakan perwakilan dari Kementerian
Kehutanan, BAPPENAS, Kementerian Lingkungan Hidup, Sekretariat Negara, Badan
Pertanahan Nasional, Dewan Nasional Perubahan Iklim, dan Kementerian Keuangan; (iii)
publikasi tentang Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia:
Strategi Kesiapan, 2009-2012 (REDDI); (iv) pembentukan Kelompok Kerja Perubahan Iklim
Kementerian Kehutanan; dan (v) Instruksi Presiden No. 10/2011 tentang Penundaan
Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan
Gambut. Reformasi kebijakan dan kelembagaan REDD+ juga merupakan elemen penting dari
perjanjian Pinjaman Program Perubahan Iklim yang melaluinya Pemerintah mendapatkan
dukungan anggaran dari ADB, AFD, Jepang, dan Bank Dunia.
Melihat sejarah investasi dan peluang investasi di sektor kehutanan maka optimisme
bahwa sektor kehutanan dapat memainkan peranan penting dalam perekonomian nasional
dalam iklim otonomi daerah yang sudah dicanangkan oleh pemerintah Indonesia sejak
beberapa tahun terakhir ini. Namun demikian, kedewasaan perkembangan ekonomi kehutanan
tersebut perlu mendapatkan sebuah pra kondisi antara kebijakan desentralisasi dan otonomi
secara merata di semua sektor dan profesionalisme sehingga kinerja ekonomi kehutanan dapat
lebih meyakinkan ke depan.
1) Persoalan Penjadwalan Investasi
Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah dengan tujuan untuk meningkatkan
investasi di sektor pembangunan kehutanan. Bahkan kalaupun diperkirakan modal dalam
negeri kurang mampu meningkatkan investasi, pemerintah tidak segan-segan mengundang
pihak asing untuk melakukan investasi di Indonesia. Atau pemerintah akan berusaha
memperoleh pinjaman luar negeri sebagai modal dalam investasi berbagai proyek di bidang
kehutanan. Mengapa pemerintah melakukan hal ini? Jawabannya adalah bahwa kegiatan
investasi akan mendorong pula kegiatan ekonomi negara.
88 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019
Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan investasi. Di antaranya adalah
penyerapan tenaga kerja, peningkatan output yang dihasilkan, penghematan devisa ataupun
penambahan devisa, dan lain sebagainya. Yang jelas, kalau kegiatan investasi meningkat,
maka kegiatan ekonomi pun ikut terpacu pula. Tentu saja apabila kegiatan investasi ini
merupakan investasi yang sehat, arti sebenarnya secara ekonomis menguntungkan. Bukannya
kegiatan investasi yang nampaknya “menguntungkan“, tetapi sebenarnya mendapatkan
berbagai fasilitas, sehingga tidak sehat bagi perekonomian negara tersebut.
Di sini kita menggunakan pengertian proyek investasi sebagai suatu rencana untuk
menginvestasikan sumber-sumber daya yang bisa dinilai secara cukup independen. Proyek
tersebut bisa merupakan proyek raksasa, bisa juga merupakan proyek kecil. Karakteristik
dasar dari suatu pengeluaran modal (atau proyek) adalah bahwa proyek tersebut umumnya
memerlukan pengeluaran saat ini untuk memperoleh manfaat di masa yang akan datang.
Manfaat ini bisa berwujud manfaat dalam bentuk uang, bisa juga tidak. Pengeluaran modal
tersebut misalnya berbentuk pengeluaran untuk tanah, mesin, bangunan, penelitian dan
pengembangan, serta program-program pelatihan.
Dalam akuntansi, pengeluaran modal ini biasanya dimasukkan ke dalam aktiva-aktiva
yang ada dalam negara. Sejauh bisa dilakukan konsistensi dalam perlakuan, maka umumnya
pengeluaran-pengeluaran ini merupakan biaya-biaya yang ditunda pembebanannya, dan
dibebankan per tahun lewat proses penyusutan (kecuali untuk tanah).
Dipandang dari sudut perusahaan, maka proyek atau kegiatan yang menyangkut
pengeluaran modal (capital expenditure) mempunyai arti yang penting karena:
1. Pengeluaran modal mempunyai konsekuensi jangka panjang. Pengeluaran modal akan
membentuk kegiatan perusahaan di masa yang akan datang dan sifat-sifat perusahaan
dalam jangka panjang.
2. Pengeluaran modal umumnya menyangkut jumlah yang sangat besar.
3. Komitmen pengeluaran modal tidak mudah untuk diubah. Pasar untuk barang-barang
modal bekas, mungkin tidak ada terutama untuk barang-barang modal yang sangat
khusus sifatnya. Karena itu, sulit untuk mengubah keputusan pengeluaran modal.
Telah diutarakan bahwa proyek investasi umumnya memerlukan dana yang cukup besar
dan mempengaruhi perusahaan dalam jangka panjang. Karenanya, perlu dilakukan studi yang
hati-hati agar jangan sampai proyek tersebut tidak menguntungkan. Kalau proyek tersebut
berasal dari pihak swasta, maka seringkali terpaksa proyek ini dihentikan atau dijual. Tapi
kalau sponsornya pihak pemerintah, maka sering terjadi pemerintah mengusahakan agar
89 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019 proyek tersebut tetap bisa berjalan, meskipun dengan berbagai bantuan, proteksi, subsidi, dan
sebagainya, yang sebenarnya tidak sehat dipandang dari segi ekonomi makro.
Banyak sebab yang mengakibatkan suatu proyek ternyata kemudian menjadi tidak
menguntungkan (gagal). Sebab itu bisa berwujud karena kesalahan perencanaan, kesalahan
dalam menaksir pasar yang tersedia, kesalahan dalam memperkirakan teknologi yang tepat
dipakai, kesalahan dalam memperkirakan kontinyuitas bahan baku, kesalahan dalam
memperkirakan kebutuhan tenaga kerja dengan tersedianya tenaga kerja yang ada. Sebab lain
bisa berasal dari pelaksanaan proyek yang tidak terkendalikan, akibatnya biaya pembangunan
proyek menjadi membengkak, penyelesaian proyek menjadi tertunda-tunda dan sebagainya.
Di samping itu bisa juga disebabkan karena faktor lingkungan yang berubah, baik lingkungan
ekonomi, sosial, bahkan politik. Bisa juga karena sebab-sebab yang benar-benar di luar
dugaan, seperti bencana alam pada lokasi proyek.
Untuk itulah studi kelayakan, minimal kelayakan ekonomi suatu proyek menjadi sangat
penting. Semakin besar skala investasi semakin penting studi ini. Bahkan untuk proyek-
proyek yang besar, seringkali studi ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pendahuluan
dan tahap keseluruhan. Apabila dari studi pendahuluan tersebut sudah menampakkan gejala-
gejala yang tidak menguntungkan, maka studi keseluruhan mungkin tidak perlu lagi dilakukan.
Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa tujuan dilakukannya studi kelayakan adalah untuk
menghindari keterlanjuran penanaman modal yang terlalu besar untuk kegiatan yang ternyata
tidak menguntungkan. Tentu saja studi kelayakan ini akan memakan biaya, tetapi biaya
tersebut relatif kecil apabila dibandingkan dengan resiko kegagalan suatu proyek yang
menyangkut investasi dalam jumlah besar.
Telah diutarakan pada bab sebelumnya bahwa input yang paling penting dalam investasi
di bidang kehutanan adalah waktu dan capital atau modal. Tenaga kerja merupakan faktor
yang juga penting setelah waktu dan modal. Dan persoalan yang paling sering terjadi di sektor
kehutanan adalah persoalan keterbatasan modal. Sehingga menimbulkan suatu pertanyaan
bagaimana menginvestasikan modal yang terbatas tersebut untuk memperoleh suatu kepuasan
yang maksimal bagi pemilik modal khususnya, dan terhadap masyarakat secara luas.
Persolan penjadwalan investasi adalah terletak pada keputusan bagaimana
menginvestasikan uang yang dimiliki sehingga nilainya menjadi maksimal. Asumsi umum
diberlakukan di sini bahwa setiap investor akan mencoba membelanjakan uangnya dengan
cara tertentu dengan tujuan untuk memperoleh kepuasan maksimum.
Secara teoritis, tujuan yang paling tepat dari pengambilan keputusan untuk melakukan
investasi adalah untuk memaksimumkan nilai pasar dari uang yang diinvestasikan tersebut.
90 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019 Alasan yang mendukung tujuan ini adalah: pertama, bahwa pemilik modal sendiri adalah
perusahaan dan perusahaan seharusnya berusaha meningkatkan kemakmuran mereka. Kedua,
nilai pasar dari modal merupakan ukuran yang tepat untuk menilai kemakmuran para
pemegang saham. Oleh karena itu perusahaan seharusnya meningkatkan kemakmuran dan ini
berarti bahwa terdapat upaya meningkatkan nilai pasar dari modal atau kapital.
Seorang investor yang akan menanamkan modalnya harus yakin bahwa lahan yang dibeli
dengan harga tertentu, kemudian disusul dengan berbagai jenis-jenis ongkos lainnya seperti
upah tenaga kerja, pembelian peralatan, pembuatan perkantoran, serta biaya penanaman dan
pemeliharaan akan lebih kecil bila dibandingkan dengan perolehan yang dihasilkan oleh
penjualan kayu hasil penjarangan dan hasil pemanenan pada akhir tahun usaha. Hanya
penjualan kayu yang diutarakan di sini bukan berarti tidak dipertimbangkannya sama sekali
nilai bukan uang yang dapat dihasilkan oleh tegakan hutan. Hal itu belum dibahas di sini oleh
karena ia telah berkembang menjadi suatu ilmu yang luas sehingga harus disajikan secara
tersendiri.
Penilaian terhadap keadaan dan prospek suatu investasi dilakukan atas dasar kriteria-
kriteria tertentu. Kriteria-kriteria ini bisa hanya mempertimbangkan manfaat proyek bagi
perusahaan, bisa pula dengan memperhatikan aspek yang lebih luas, yaitu manfaat proyek
bagi negara dan masyarakat luas. Tentu saja tidak setiap proyek akan diteliti dengan tingkat
intensitas yang sama. Beberapa proyek mungkin diteliti dengan sangat mendalam, mencakup
berbagai aspek yang terpengaruh, beberapa proyek mungkin hanya diteliti terhadap beberapa
aspek saja. Bahkan sering juga dijumpai bahwa ada rencana-rencana investasi yang
penilaiannya tidak dilakukan secara formal.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi intensitas studi kelayakan. Diantaranya yang
utama adalah:
1. Besarnya dana yang ditanamkan. Umumnya semakin besar jumlah dana yang
ditanamkan, semakin mendalam studi yang dilakukan.
2. Tingkat ketidak-pastian proyek. Semakin sulit kita memperkirakan penghasilan
penjualan, biaya, aliran kas dan lain-lain, semakin berhati-hati kita dalam melakukan
studi kelayakan.
3. Kompleksitas elemen-elemen yang mempengaruhi proyek. Setiap proyek dipengaruhi
dan juga mempengaruhi faktor-faktor lainnya.
Secara ringkas kita bisa mengatakan bahwa intensitas studi kelayakan tersebut mungkin
tidak sama. Ada berbagai faktor yang mempengaruhinya, seperti: jumlah dana, ketidak-
91 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019 pastian, dan kompleksitas proyek tersebut. Semakin besar dana yang tertanam, semakin tidak
pasti taksiran yang dibuat, semakin kompleks faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan
semakin mendalam studi yang dilakukan.
Terdapat empat kriteria yang harus diperhatikan untuk menerima atau menolak investasi
suatu proyek, yaitu net present value (NPV), internal rate of return (IRR), benefit cost ratio
(BCR), dan payback period.
1. Net Present Value
Metode ini bertujuan menghitung selisih antara nilai sekarang investasi serta ongkos dengan
nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih (operasional maupun terminal cash flow) di
masa yang akan datang. Untuk menghitung nilai sekarang tersebut perlu ditentukan terlebih
dahulu tingkat bunga yang dianggap relevan. Ada beberapa konsep yang dapat digunakan
untuk menghitung tingkat bunga yang dianggap relevan ini. Pada dasarnya tingkat bunga
tersebut adalah tingkat bunga pada saat kita menganggap keputusan investasi masih terpisah
dari keputusan pembelanjaan ataupun waktu kita mulai mengaitkan keputusan investasi
dengan keputusan pembelanjaan. Perhatikan di sini keterkaitan ini hanya mempengaruhi
tingkat bunga, bukan aliran kas. Apabila nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih di
masa yang akan datang lebih besar dari pada nilai sekarang investasi, maka proyek ini
dikatakan menguntungkan sehingga beralasan untuk diterima. Sedangkan apabila NPV lebih
kecil atau bernilai negatif maka proyek tidak dapat menguntungkan.
Seperti yang dapat dilihat pada persamaan IV-11, NPV suatu proyek merupakan nilai
sekarang perolehan proyek tersebut dikurangi dengan nilai sekarang total ongkos yang
dikeluarkan oleh proyek tersebut:
∑=
∑= +
−+
=n
0y 0 )1()1(NPV
n
y yr
yCyr
yR (IV-11)
dimana Ry dan Cy merupakan perolehan dan ongkos pada tahun ke y. Persamaan tersebut
dapat ditulis secara detail sebagai berikut:
+−−
+−
+−−
+++
++
++=
nr)(1nC
......2r)(1
2C1r)(1
1C0C
nr)(1nR
......2r)(1
2R1r)(1
1R0RNPV
(IV-12)
Semua unit R dan C harus didiskonto kecuali R0 dan C0 karena keduanya sudah berada
pada kondisi present values sedangkan r adalah nilai suku bunga yang berlaku. Untuk
92 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019 mengaplikasikan formula tersebut, maka akan diberikan perumpamaan investasi proyek D dan
N yang keduanya berbeda berdasarkan waktu perolehan income. Proyek D mendapatkan
income pada tahun ke 15 sehingga disebut distance income dan proyek N mendapatkan
income pada tahun ke 8 sehingga disebut nearest income. Dalam fenomena proyek ini dapat
dijumpai, misalnya Proyek D adalah proyek hutan tanaman dimana jenis-jenis pohon yang
ditanam adalah jenis pohon yang kayunya mulai dapat digunakan pada umur 15 tahun. Pada
umur ini kayu yang dihasilkan dari tebangan selah telah dapat memberikan pendapatan bagi
perusahaan. Sedangkan proyek N adalah proyek pembangunan hutan tanaman dimana jenis-
jenis pohon yang ditanam adalah jenis-jenis yang memiliki masak tebang lebih pendek, yaitu
berkisar 8 tahun. Jenis-jenis seperti ini biasanya akan menghasilkan bahan baku untuk
pembuatan pulp dan kertas.
Tabel IV-1. Cash flow proyek D (distance income) dan proyek N (nearer income)
Tahun Cash flow
Proyek D (x Rp 10 juta) Proyek N (x Rp 10 juta)
0 -400 -400
5 -100 -100
8 +1200
15 +200
30 +6600 +2500
Bila kita mengaplikasikan rumus di atas terhadap proyek D pada Tabel IV-1 dimana
pengambil kebijakan berasumsi untuk ingin menggunakan 6% tingkat suku bunga yang juga
merupakan MAR; minimum acceptable rate of return, maka net present value adalah:
758$400)06.1(
100)06.1(
200)06.1(
660051530 =−−+
Sebuah proyek dapat diterima untuk dilaksanakan bila NPV bernilai sama besar dengan
nol atau lebih besar dari nol. Proyek dengan NPV bernilai negatif tidak dapat diterima atau
diimplementasikan. Dengan kata lain bahwa present value penerimaan harus lebih besar dari
present value dari ongkos.
93 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019 2. Internal Rate of Return
Kriteria lain yang sering digunakan dalam mengevaluasi suatu rencana investasi adalah
internal rate of return (IRR). Kriteria ini bertujuan mencari nilai tingkat diskonto dimana
hasil pengurangan antara present value perolehan dengan present value ongkos sama dengan
nol atau NPV = 0. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:
∑ ∑= =
=+
−+
n
y
n
y0 0y
yy
y 0IRR)(1
C
IRR)(1
R (IV-13)
IRR adalah tingkat pengembalian (rate of return) yang diperoleh dari anggaran yang
diinvestasikan dalam suatu proyek. Persamaan di atas juga menjelaskan bahwa IRR
merupakan suku bunga (interest rate) dimana present value perolehan sama dengan present
value ongkos. Pada proyek D yang telah dijelaskan di atas menunjukkan bahwa IRR berada
pada titik 9,7% dimana secara grafis present value revenue dan present value ongkos saling
memotong, artinya NPV sama dengan nol (Gambar IV-4). Mencari nilai IRR selalu dilakukan
dengan cara trial and error. Banyak kalkulator bisnis yang sudah canggih atau program
spreadsheet yang dapat melakukan perhitungan IRR secara cepat yaitu dengan memasukkan
data cashflow yang bernilai positif dan negatif serta tahun dari suatu proyek. Tanpa
menggunakan mesin penghitung canggih seperti itu maka menghitung IRR suatu proyek,
terutama proyek besar akan merupakan pekerjaan yang teramat sulit.
Gambar IV-4. Present value revenue dan present value ongkos.
IRR menjelaskan bahwa sebuah proyek dapat dilaksanakan bila perhitungan IRRnya sama
atau lebih besar dari MAR. Banyak perusahaan menggunakan IRR dibandingkan dengan NPV
0.00
1000.00
2000.00
3000.00
4000.00
5000.00
6000.00
7000.00
8000.00
0.00% 2.00% 4.00% 6.00% 8.00% 10.00% 12.00%
PV revenues
PV costs NPV IRR: 9,7%
94 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019 untuk memutuskan apakah akan menerima atau menolak suatu proyek. Kalau kita
membandingkan antara metode NPV dan IRR untuk menilai suatu usulan investasi yang sama,
maka hasilnya umumnya akan sama, meskipun mungkin bisa tidak selalu sama. Hal ini
terutama untuk pola aliran kas yang tidak normal. Sebagai contoh suatu rencana investasi
yang berdasarkan hasil perhitungan cash flownya pada tahun ke nol memiliki cash flow
sebesar –Rp 1,6 milyar, pada tahun ke satu memiliki cash flow sebesar +Rp 10 milyar, dan
pada tahun ke dua memiliki cash flow sebesar –Rp 10 milyar. Pola aliran kas semacam ini
kita katakan tidak normal, karena operasional cash flow ternyata tidak selalu positif setiap
tahunnya.
Keadaan tersebut bisa kita tuliskan persamaannya menjadi
Kalau kedua sisi persamaan dikalikan dengan (1 + r)2 maka hasilnya adalah:
1,6(1 + r)2 = 10(1 + r) - 10
1,6 r2 – 6,8r + 1,6 = 0
Dengan menggunakan rumus abc, maka kita bisa mencari nilai-nilai r, yaitu:
r1 = 4 yang berarti 400% dan
r2 = 0,25 yang berarti 25%.
Oleh karena diperoleh dua nilai r yang berbeda, maka dengan demikian timbul masalah,
yaitu tingkat bunga mana yang seharusnya dipakai. Kalau misalkan tingkat keuntungan yang
disyaratkan adalah 30%, maka dengan menggunakan r1 = 400%, kita dapat mengatakan
bahwa proyek akan menguntungkan, tetapi kalau kita memakai r2 = 25%, kita mengatakan
proyek ini perlu ditolak. Hal ini dapat digambarkan melalui grafis yang memperlihatkan
hubungan antara NPV dengan tingkat bunga (%).
2)1(10
r)(1101,6
r+−
+=
95 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019
Gambar IV-5. IRR ganda. Keadaan seperti di atas tidak akan kita jumpai kalau kita menggunakan metode NPV.
Kalau kita menggunakan tingkat bunga 30%, maka NPV proyek itu adalah Rp 0,75 juta,
karena positif berarti proyek diterima.
Kalau kita dihadapkan pada pemilihan usulan investasi, maka antara kedua metode
tersebut juga bisa memberikan keputusan yang tidak konsisten. Contoh berikut menjelaskan
tentang dua proyek, yaitu A dan B yang mempunyai karakteristik sebagai berikut: Proyek A
pada tahun ke 0, 1, 2, dan 3 memilki cash flow (dalam jutaan rupiah) masing-masing -1000,
+1300, +100, +100. Sedangkan proyek B pada tahun yang sama masing-masing memiliki
cash flow -1000, +300, +300, +1300. Misalkan tingkat keuntungan yang disyaratkan adalah
18%, maka kalau kita hitung NPV masing-masing proyek tersebut adalah:
NPVA = Rp 234,37
NPVB = Rp 260,91
Dengan demikian, proyek B lebih menguntungkan karena memberikan NPV yang lebih
besar. Sebaliknya kalau kita hitung IRR masing-masing proyek, maka diperoleh:
IRRA = 42%
IRRB = 30%
Net Present Value (Rupiah)
Tingkat Bunga (%)
-1,6
1
100 25 200 300 400
96 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019
Dengan demikian, A yang dipilih karena memberikan IRR yang lebih besar.
Fenomena ini akan lebih jelas kalau kita gambarkan dalam suatu grafik, dimana sumbu
tegaknya adalah NPV (dalam Rp) dan sumbu datarnya adalah tingkat bunga (dalam %) seperti
yang ditunjukkan pada Gambar IV-6.
Gambar IV-6. Hubungan antara tingkat bunga dan NPV. Gambar tersebut diperoleh dari perhitungan yang antara lain dicantumkan pada Tabel IV-
2 berikut:
Tabel IV-2. NPV pada berbagai tingkat bunga (dalam Jutaan Rupiah)
Proyek Tingkat Bunga 0% 10% 20% 30%
A 500 339 210 104 B 900 497 210 0
Pertanyaan yang timbul adalah kalau seperti ini mana yang akan kita pakai? Kalau kita
memakai NPV, maka proyek B yang dipilih, kalau memakai IRR, maka proyek A yang
dipilih. Untuk itu marilah kita menggunakan analisa “incremental“ atau analisis selisih untuk
memilih proyek mana yang sebaiknya yang akan diambil. Kita susun kembali persoalan
tersebut, hanya sekarang kita menggunakan analisis selisih.
Tabel IV-3. Analisis selisih proyek A dan proyek B
Proyek Cash Flow (dalam jutaan Rp) 0 1 2 3 IRR
A - 1000 + 1300 +100 +100 42% B - 1000 +300 +300 +1300 30%
B minus A 0 -1000 +200 +1200 20%
42 0 40 30 20 10
210
500
900
NPV(Rp)
Tingkat Bunga(%)
97 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019
Dengan menggunakan analisis incremental, maka hasilnya adalah bahwa seharusnya kita
memilih proyek B dan bukannya A dengan alasan bahwa kalau kita memilih proyek A, berarti
kita mendapatkan kas masuk yang lebih besar Rp 1000 pada tahun ke 1, tetapi menerima kas
masuk yang lebih kecil sebesar Rp 200 pada tahun ke 2, dan Rp 1200 pada tahun ke 3.
Tingkat bunga yang menyamakan pola aliran kas incremental ini adalah 20% yang berarti
IRR incrementalnya adalah 20%. Dengan demikian, kalau kita mensyaratkan tingkat
keuntungan 18%, bukankah tidak seharusnya kita menolak suatu usulan yang memberikan
tingkat keuntungan 20%. Karena itulah dengan menggunakan metode IRR incremental, kita
seharusnya menerima proyek B. Dan ini konsisten dengan metode NPV. Dengan kata lain,
metode NPV selalu memberikan keputusan yang tepat, sejauh kita bisa menentukan
keuntungan yang diisyaratkan dengan tepat pula.
3. Benefit/Cost Ratio
Pendekatan biaya manfaat memberikan implikasi bahwa kita harus mempertimbangkan semua
manfaat dan semua biaya yang ditimbulkan oleh suatu proyek atau kebijakan yang
berhubungan dengan pengelolaan hutan. Pendekatan ini membawa proyek-proyek kehutanan
menjadi suatu issu lingkungan yang dipertentangkan oleh berbagai kalangan. Pertentangan
antara kelompok masyarakat dapat terjadi karena ada kelompok yang lebih fokus kepada
masalah biaya yang ditimbulkan oleh lingkungan dan ada kelompok lainnya yang lebih
mengedepankan manfaat yang dapat diperoleh dari lingkungan. Suatu proyek atau kebijakan
merupakan pilihan ekonomi yang seharusnya difahami manfaat dan ongkos yang
ditimbulkannya sehingga tidak menimbulkan pertentangan hebat yang kemungkinan akan
dapat menimbulkan ongkos tambahan yang lebih besar lagi.
Benefit/cost ratio suatu proyek (B/C) adalah present value dari manfaat atau perolehan
proyek dibagi dengan present value ongkos, dan menggunakan MAR investor. B/C ratio
disebut juga profitability index, yang secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:
Dari rumus di atas kita dapat mengerti bahwa ketika PV perolehan sama dengan PV
ongkos, B/C ratio bernilai sama dengan 1, dan NPV sama dengan 0. Demikian juga bila PV
∑
∑
=
=
+
+=
n
yy
y
n
yy
y
rC
rR
ratioCB
0
0
)1(
)1(/ (IV-14)
98 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019 perolehan melebihi PV ongkos, B/C pasti bernilai lebih besar dari 1. Dan bila PV ongkos
melebihi PV perolehan, B/C lebih kecil dari 1. Jadi kriteria B/C ratio mengatakan bahwa
proyek dapat diterima dan diimplementasikan bila B/C ratio sama dengan atau lebih besar dari
1, dan tidak dapat diterima bila B/C ratio lebih kecil dari 1. Hal ini sama dengan metode NPV
dalam menentukan apakah suatu proyek layak atau tidak untuk dilaksanakan, sebab NPV
yang negatif berarti B/C ratio lebih kecil dari 1.
4. Metode Payback
Metode ini mencoba mengukur seberapa cepat investasi bisa kembali. Karena itu satuan
hasilnya bukan prosentase, tetapi satuan waktu (bulan, tahun, dan sebagainya). Kalau periode
payback ini lebih pendek dari pada yang disyaratkan, maka proyek dikatakan menguntungkan.
Sedangkan kalau lebih lama maka proyek ditolak. Untuk memberikan contoh tentang
mekanisme penghitungan payback ini digunakan contoh di atas.
Karena metode ini mengukur seberapa cepat suatu investasi bisa kembali, maka dasar
yang dipergunakan adalah cash flow, bukan laba. Untuk itu kita hitung dulu cash flow dari
proyek tersebut.
Cash flow atau aliran kas operasional per tahunnya adalah Rp 260 juta + Rp 100 juta = Rp
360 juta, kalau kita anggap bahwa pengakuan terhadap biaya dan penghasilan tidak banyak
berbeda dengan terjadinya aliran kas keluar dan masuk dari operasi ini.
Terminal cash flow proyek ini adalah Rp 200 juta yang berasal dari kembalinya modal
kerja pada akhir tahun ke 8. Initial cash flow proyek ini adalah Rp 1000 juta. Dengan
demikian, karena setiap tahun memperoleh Rp 360 juta dari operasinya, maka dalam waktu
(Rp 1000/Rp 360) x 1 tahun = 2,78 tahun investasi tersebut sudah bisa kembali.
Problem utama dari metode ini adalah sulitnya menentukan periode payback maksimum
yang disyaratkan, untuk dipergunakan sebagai angka pembanding. Secara normatif, memang
tidak ada pedoman yang bisa dipakai untuk menentukan payback maksimum ini. Dalam
prakteknya yang dipergunakan adalah payback umumnya dari perusahaan yang sejenis.
Kelemahan-kelemahan dari metode ini adalah: diabaikannya nilai waktu uang; dan
diabaikannya aliran kas setelah periode payback.
Untuk mengatasi kelemahan yang pertama, ada yang menggunakan discounted payback,
dimana aliran kas operasional tersebut dan juga terminal cash flow didiscountedkan dengan
tingkat bunga yang dianggap relevan. Misalkan ada dua proyek, A dan B yang masing-masing
memerlukan investasi sebesar Rp 20 juta, dengan usia ekonomis 6 tahun untuk A dan 10
tahun untuk B. Aliran kas masuk untuk A adalah Rp 6,5 juta per tahun, sedangkan untuk B
99 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019 adalah Rp 6 juta per tahun. Tingkat bunga yang dianggap relevan misalkan 10%. Dengan
demikian, kalau aliran kas tersebut kita present value-kan, maka untuk investasi A akan sudah
bisa kembali kurang dari 4 tahun, tetapi untuk B sedikit lebih banyak dari 4 tahun. Dengan
demikian, kalau kita hitung secara total, ternyata proyek B memberikan tambahan kas masuk
yang lebih banyak daripada A. Karena itu, cara discounted payback hanya mengatasi
kelemahan yang pertama.
Meskipun diakui adanya kelemahan-kelemahan ini, dalam prakteknya masih banyak
organisasi yang menggunakan metode payback sebagai pelengkap penilaian investasi. Cara
ini terutama dipergunakan untuk perusahaan-perusahaan yang menghadapi problem likuiditas
atau kelancaran keuangan jangka pendek.
2). Meranking Proyek
Keputusan untuk menolak atau menerima suatu investasi atau proyek merupakan hal yang
lebih mudah bila dibandingkan dengan pekerjaan yang bertujuan melakukan ranking beberapa
proyek mulai dari proyek yang sangat baik ke proyek yang sangat buruk. Kriteria-kriteria
yang telah dibahas sebelumnya tidak cukup untuk menentukan semua proyek berada pada
ranking yang sama. Sebagaimana juga telah diulas bahwa diasumsikan setiap investor
berkeinginan untuk memaksimalkan nilai asset yang mereka investasikan. Katakanlah bila
kita ingin meranking dua proyek D dan N pada Tabel IV-1 dimana proyek D dengan distant
income dan proyek N dengan nearer income. Untuk perbandingan, kedua proyek memiliki
kebutuhan capital yang sama, demikian pula umur proyek yang sama yaitu masing-masing 30
tahun.
1. Feature Proyek
Beberapa feature proyek yang penting untuk diketahui dan dipertimbangkan dalam
melakukan perankingan proyek-proyek tersebut. Bila beberapa proyek bersifat saling terpisah
antara satu dengan yang lainnya (mutually exclusive), maka hanya satu dari beberapa proyek
tersebut yang dapat dipilih. Sebuah contoh adalah memilih antara proyek investasi untuk
menanam hutan homogen/sejenis pinus, akasia, jati pada luasan kawasan hutan tertentu. Bila
proyek tidak bersifat mutually exclusive berarti proyek-proyek tersebut bersifat independent
atau saling bebas sehingga kesemua proyek dapat diadopsi. Sebagai contoh investasi untuk
pemupukan, penjarangan komersial, dan lain sebagainya. Bila kedua proyek pada Tabel IV-1
merupakan proyek reforestasi pada lahan hutan yang sama, maka kedua proyek tersebut
bersifat mutually exclusive; tetapi bila kedua proyek tersebut akan dilaksanakan pada lahan
hutan yang berbeda maka keduanya bersifat independent.
100 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019
Bila kita dapat menginvestasikan satu bagian dari total investasi proyek, maka proyek
tersebut bersifat divisible (dapat dibagi), seperti misalnya penambahan uang ke account
simpanan di bank atau jumlah luas lahan dalam proyek pemupukan. Tetapi bila suatu proyek
hanya bisa dilakukan semua atau tidak sama sekali, misalnya proyek pembelian truk atau
industri pulp, maka proyek tersebut bersifat indivisible (tidak dapat dibagi).
Feature proyek tersebut di atas sangat penting untuk difahami bagi seorang pengambil
keputusan atau menejer sehingga ia dapat menggunakan sumber daya atau input dengan
efisien. Kemungkinan juga, cara ini dapat membantu pengelola proyek dalam menangani
ketidak-pastian yang bisa saja muncul sewaktu-waktu.
2. Ketidak-konsistenan antara Ranking NPV dan IRR
Kita dapat meranking proyek berdasarkan NPV dan atau IRR. Tetapi persoalannya adalah
bisa jadi terdapat ketidak-konsistenan antara NPV dengan IRR. Artinya, ranking proyek-
proyek berdasarkan IRR bisa berbeda dengan ranking proyek-proyek berdasarkan NPV.
Sebagai contoh, kita bisa menggambarkan NPV proyek D dan N dari Tabel IV-1 melalui
suku bunga (Gambar IV-7). Perlu diketahui bahwa kurva-kurva untuk setiap proyek adalah
berbeda antara PV revenue dan PV cost. Jadi pada Gambar IV-7, IRR adalah pertemuan kurva
NPV dengan axis x (dimana NPV= 0). Pada Gambar tersebut IRR untuk proyek D sebesar
9,7% dan 14,5% untuk proyek N.
Gambar IV-7. Net present value proyek D dan proyek N.
Proyek mana dari dua proyek tersebut yang terbaik? Untuk memutuskannya, kita
membutuhkan informasi tambahan. Bila rate investor adalah 9,7% atau kurang, bila kedua
proyek tersebut bersifat independen, serta bila kapital cukup tersedia, maka kedua proyek D
0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
NPV Proyek D
NPV Proyek N
NPV sama pada 6,3%
IRR= 9,7% IRR= 14,5% Interest rate
Net
Pre
sent
Val
ue ($
)
101 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019 dan N dapat diterima, artinya akan menguntungkan bila keduanya dilakukan. Tetapi bila
kedua proyek tersebut bersifat mutually exclusive atau kapital inisial tersedia kurang dari $800,
maka kita harus menganalisa proyek yang mana dari keduanya akan dipilih. Berdasarkan
kepada IRR, proyek N menang pada 14,5%. Untuk rate minimum yang dapat diterima di atas
6,3%, proyek N juga memiliki NPV tertinggi seperti yang diperlihatkan pada Gambar VI-7.
Tetapi pada interest rate < 6,3%, proyek D memiliki NPV lebih tinggi dan akan lebih disukai
dengan berdasarkan kepada kriteria NPV. Dengan interst rate 6,3% kita akan memiliki
pendapat yang berbeda akan kedua proyek tersebut. Bila MAR kita kurang dari 6,3%,
katakanlah 5%, dan tujuan kita untuk melakukan investasi adalah memaksimalkan NPV,
maka proyek D merupakan pilihan yang tepat kendatipun dengan IRR yang lebih rendah bila
dibandingkan dengan IRR proyek N. Pada interest rate 5%, diperoleh NPV proyek D sebesar
$ 1.144,94 dan proyek N dengan NPV sebesar $ 912,30.
Hal ini membingungkan karena proyek N dengan 14,4% rate of return kedengarannya
sangat lebih baik bila dibandingkan dengan proyek D dengan rate of return lebih kecil, yaitu
hanya sebesar 9,7%. Namun demikian kita memilih proyek D seperti yang telah dijelaskan di
atas didasarkan kepada asumsi bahwa reinvestment rate bagi intermediate income dari salah
satu proyek adalah MAR 5%. Untuk membuktikan bahwa D merupakan proyek yang terbaik
dalam kondisi kendala seperti itu, kita dapat membandingkan kekayaan akan datang (future
wealth) dalam jangka waktu 30 tahun dari sekarang dari investasi yang kita lakukan melalui
proyek D atau N sebagaimana yang ditunjukkan melalui skala waktu berikut:
Karena kedua proyek memiliki investasi kapital yang sama, maka kita hanya perlu
membandingkan nilai akan datang pendapatan yang terakumulasi pada 5% bunga reinvestasi.
Pada setiap kasus, kalikan (compound) pendapatan pertama pada 5% bunga untuk sejumlah
tahun yang tersisah dalam periode, yaitu 15 tahun untuk proyek D dan 22 tahun untuk proyek
0 5 10 15 20 25 30 Proyek D IRR= 9,7%
Tahun
+$ 200
@5%
+$6.600,00
+$415,79 atau 200(1,05)15
Nilai akan datang $7.015,79
0 5 10 15 20 25 30 Proyek N IRR= 14,5%
@5%
+$2.500,00
+$3.510,31 atau 1.200(1,05)22
Nilai akan datang $6.010,31
+$1.200
102 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019 N, dan kemudian tambahkan dengan pendapatan terakhir. Dengan melakukan investasi pada
proyek D, maka kita memperoleh nilai akan datang (future value) yang lebih tinggi
($7.015,79) dari pada yang kita peroleh dari proyek N ($6.010,31), dengan mengabaikan
bahwa IRR proyek N lebih tinggi. Pada jangka investasi yang sama, bila nilai akan datang
perolehan oleh proyek D adalah lebih besar, maka nilai sekarangnya juga akan lebih besar.
Dengan alasan ini, NPV lebih sesuai dengan dukungan teori dari pada IRR sebagaimana
kriteria budgeting. Perlu dicatat bahwa proyek dengan kebutuhan kapital dan waktu yang
sama seperti pada Gambar III-6 akan diranking sama oleh B/C ratio atau NPV. Bila NPV> 0,
B/C > 1. Tetapi bila kebutuhan kapital berbeda, meranking melalui B/C ratio dan NPV tidak
akan selalu konsisten.
Soal Latihan:
1. Bila anda melakukan investasi sebesar Rp 5 milyar rupiah dan akan tumbuh dengan
bunga 11 persen per tahun, berapa besar nilai investasi tersebut setelah 20 tahun
kemuian?
2. Bila anda mengharapkan akan dapat memperoleh uang sebesar Rp. 40 milyar selama
20 tahun dari penebangan hutan, dan anda menetapkan MAR sebesar 7%, Berapa nilai
sekarang usaha tersebut?
3. Katakanlah anda akan melakukan investasi sebesar Rp 10 milyar untuk dua tahun
dengan 5% suku bunga. Berapa bunga yang diperoleh pada tahun kedua?
4. Sebuah perusahaan sementara merencanakan untuk melakukan program pengelolaan
hutan berupa hutan tanaman pinus dengan siklus tebang 35 tahun. Perusahaan tersebut
merencanakan penganggaran sebesar Rp 1 juta per hektar untuk kegiatan pemeliharaan
pada tahun ke 10. Berapa besar peningkatan pendapatan dari pemanenan pada tahun
ke 35 yang seharusnya sehingga perusahaan tersebut memperoleh 6% bungan atas
pengeluaran pemeliharaan.
Rangkuman: 1. Petunjuk:
Berikut tersedia kata-kata kunci yang diambila dari modul/bahan kuliah.
Kata kunci: 1. Investasi 4. IRR 2. Nilai sekarang 5. BCR 3. NPV 6. Payback
103 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019
2. Merujuk kepada kata kunci tersebut, tuliskan rangkuman anda ke dalam kotak rangkuman berikut:
Refleksi Pembelajaran
No Deskripsi/Pertanyaan Jawaban SS CS RR B SB
1. Capaian pembelajaran yang ditawarkan 2. Antusiasme mahasiswa mengikuti kuliah di
dalam kelas
3. Core content yang diberikan 4. Proses perkuliahan 5. Metode evaluasi perkuliahan 6. Tingkat kehadiran mahasiswa dalam perkuliahan
Keterangan: SS: sangat sempurna
................................................................................... .......................... ....................
............................................................................. .................... .................................
................................ ................................................ .. ...............................................
.................................... .......................... ...................................................................
.............................. .................... ................................................................. ..............
.................................. ... ................................................................................... ........
.................. ................................................................................................. ...............
..... ................................................................. ................................................ ... .......
............................................................................ .......................... ...........................
...................................................................... .................... ........................................
......................... ................................................ ... .....................................................
.............................. .......................... .........................................................................
........................ .................... ................................................................. ....................
............................ ... ................................................................................... ..............
............ ................................................................................................. ....................
................................................................. ................................................ ... .............
...................................................................... .......................... .................................
................................................................ .................... ..............................................
................... ................................................ ... ...........................................................
........................ .......................... ...............................................................................
.................. .................... ................................................................. ..........................
...................... ... ................................................................................... ....................
...... ................................................................................................. .................... ......
........................................................... ................................................ ... ...................
................................................................ .......................... .......................................
.......................................................... .................... ....................................................
............. ................................................ ... .................................................................
.................. .......................... .....................................................................................
............ .................... ................................................................. ................................
................ ... ................................................................................... .......................... ................................................................................................. .................... ............
104 | P a g e
Modul 4 ESDH 2019 CS: cukup sempurna RR: ragu-ragu B : buruk SB: sangat buruk Rekomendasi perbaikan: .............................................................................................................................................. .... ................................................................................................................................................ ..........................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................
Vidio: http://www.rogerdickie.co.nz/Forestry.aspx
105 | P a g e