modul pelatihan - … · web viewsebuah potret diklat kurikulum 2013 tentang pendekatan sainstifik...

63
MODUL PELATIHA N P2KGS DINAS PENDIDIKAN KOTA MATAPELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) INTERDISIPLIN KERJASAMA ANTARA DINAS PENDIDIKAN KOTA SURABAYA DAN PROGRAM STUDI S- 1 PIPS FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUKUM UNESA Dr. AGUS SUPRIJONO, M.Si 8/2/2017

Upload: hoangthuy

Post on 19-Apr-2018

221 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

MODUL PELATIHANP2KGS DINAS PENDIDIKAN KOTA MATAPELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) INTERDISIPLINKERJASAMA ANTARA DINAS PENDIDIKAN KOTA SURABAYA DAN PROGRAM STUDI S-1 PIPS FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUKUM UNESA

Dr. AGUS SUPRIJONO, M.Si8/2/2017

Profesionalisme Guru IPS : Sebuah KritikTulisan ini merupakan potret kenyataan kompetensi guru di Republik tercinta ini. Lulus sertifikasi pendidik tetapi tak signifikan dengan hasil yang diharapkan. Hasil uji kompetensi guru teramat memprihatinkan rerata nasional kurang lebih 42. Pengalaman guru bertahun-tahun mengajar dan ikut pelatihan, workshop, seminar dan forum-forum ilmiah lainnya tak berdampak pada pembentukan jatidiri guru professional. Guru adalah seorang akademisi proses panjang pendidikan yang dialaminya dalam program kesarjanaan bahkan magister tak memberikan makna untuk sebuah citra guru profesional. Apa arti kenyataan ini ? Semoga deretan huruf yang dirangkai menjadi kata, dan kata dirajut dengan kata lainnya menjadi kalimat yang tersimpul pada tulisan berjudul PROFESONAL GURU: Sebuah Kritik dapat memberi jawaban atas permasalahan essensial mewujudkan guru profesional.

Guru sering dituduh sebagai penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Untuk meningkatkan kualitas guru upaya massif dilakukan yakni pemerintah mengesahkan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Sejak digulirkannya undang-undang itu pemerintah membuat berbagai kebijakan pengembangan profesi guru. Salah satu di antaranya adalah Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Program yang sudah berlangsung sejak tahun 2007 ini dikhususkan bagi Guru dalam jabatan. PLPG menjadi salah satu wahana pengembangan kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial.

Sudah banyak guru lulus PLPG dan mengantongi sertifikat pendidik bahkan sudah menerima tunjangan profesi pendidik (TPP). Namun kenyataan ini tidak signifikan dengan statusnya yang disandangnya yakni guru professional. Cukup memprihatinkan hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang diselenggarakan di ujung tahun 2015 capaian kompetensi pedagogik terkait kemampuan guru merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran rerata nasional capaiannya 48,94 di bawah standar kompetensi minimal (SKM) yaitu 55. Faktual ini membuktikan kemampuan pedagogik guru sebagai salah satu faktor penting penentu kualitas pendidikan di Indonesia menyisakan permasalahan teramat krusial.

KKNI dan Intelektual Organis

Standar kualifikasi akademik guru berdasarkan Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 adalah sarjana strata 1 (S-1). Dalam kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dikenal dengan KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) lulusan S-1 harus menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum dan konsep teoritis bagian khusus dalam bidang pengetahuan itu secara mendalam serta mampu mengimplementasikan bidang keahliannnya tersebut. UKG 2015 mengukur aspek kognitif guru bidang kompetensi pedagogik melalui tes tulis. Capaian UKG 2015 di

1

MODUL

bawah SKM pada bidang kompetensi pedagogik menjadi bukti bahwa guru Indonesia belum memenuhi standar kompetensi KKNI. Lantas apa bekal pedagogik guru selama ini mengajar bertahun-tahun.

Guru mengajar bukan tanpa modal pengetahuan pedagogik. Guru sudah memiliki mozaik pengetahuan pedagogik. Pengetahuan itu sudah diterimanya di bangku kuliah, belajar mandiri, maupun diperolehnya lewat berbagai forum ilmiah seperti seminar, workshop, dan diklat. Namun, pengetahuan pedagogik yang diperolehnya masih sebagai kesadaran pra-reflektif. Skemata pengetahuan pedagogik guru belum sampai ke pembentukan kesadaran reflektif sehingga guru menjalani tugas mengajar dan membelajarkan sebagai pekerjaan rutinitas dan mekanis.

Pemicuya adalah pendidikan dan latihan profesi guru bersifat belajar figuratif, bukan belajar operatif. Sebuah potret diklat Kurikulum 2013 tentang pendekatan sainstifik misalnya. Hasil pelatihan ini guru hanya mampu mengetahui dan bisa mengimplementasikan tahapan sistematis pendekatan sainstifik 5 M (mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, menalar, dan mengkomunikasikan) dalam pembelajaran. Guru sebatas memahami pendekatan sainstifik sebagai pengetahuan prosedural. Guru tidak memiliki pemahaman terhadap essensi pendekatan sainstifik sebagai epistimologi pembelajaran yang mengembangkan proses kognitif berpikir dialektik untuk mengkonstruksi dan menemukan pengetahuan. Yang diketahui guru tentang pendekatan sainstifik adalah langkah-langkah sistematiknya, bukan proses kognitif yang terjadi ketika peserta didik belajar dengan pendekatan sainstifik sebagai pengetahuan prosedural.

Proses belajar figuratif pada diklat guru lebih menekankan perolehan akumulasi pengetahuan dan teknis. Belajar seperti ini membuat guru tidak menjadi pembelajar emansipatoris. Guru hanya peng-copy pengetahuan, bukan pendekonstruksi, perekonstruksi, dan pemroduksi pengetahuan. Belajar figuratif berdampak ke pembentukan jiwa nekrofili guru, bukan jiwa biofili (kritis, kreatif) meminjam istilah Eric Fromm. Pelaksanaan PLPG yang berlangsung selama 10 hari tidak menjamin terjadinya proses transformasi dari guru intelektual tradisional ke guru intelektual organis.

Guru intelektual organis adalah guru yang dengan sadar mampu menghubungkan teori dan kenyataan. Rumusan kompetensi KKNI yakni menguasai konsep teroritis secara mendalam dalam bidang keahliannya dan mampu mengimplementasikan pada dunia pekerjaannya menyiratkan sebuah keharusan guru menjadi intelektual organis.

Guru intelektual organis berbeda dengan guru intelektual tradisional. Jika guru intelektual tradisional hanya mampu melakukan transmisi pengetahuan, maka guru intelektual organis mampu mentransformasikan pengetahuan dan melakukan counter hegemony atas pengetahuan yang diperolehnya. Peran dan fungsi guru intelektual organis adalah membumikan konsep teoritis scara kritis dan penuh kesadaran pada proses belajar mengajar. Peran dan fungsi guru intelektual organis mengembangkan pembelajaran emansipatoris.

Guru intelektual organis menyadari bahwa pendidikan adalah proses dari kehidupan dan bukan persiapan masa yang akan datang. Pendidikan adalah proses rekonstruksi dan reorganisasi pengalaman-pengalaman. Dalam konteks pembelajaran teori yang dikaji dan

2

keterampilan yang dikembangkan isomofik dengan kehidupan. Disparitas tidak terjadi antara hal yang dipelajari dengan kenyataan yang dialami. Lewat pengalaman, peserta didik mendapatkan makna dan peluang pengalaman berikutnya.

Bagi guru intelektual organis pengalaman menjadi essensi pendidikan. Pendidikan tak lain adalah pengalaman-pengalaman kita sendiri. Pendidikan adalah belajar memahami diri dan dunia. Pendidikan mengembangkan seseorang sanggup bertindak, tidak terjerumus dalam pertengkaran idiologi yang mandul tanpa isi melainkan berupaya memecahkan masalah dengan tindakan konkrit. Guru intelektual organis mampu mengubah what is dalam pendidikan menjadi what for sehingga pendidikan memperlihatkan fungsi dan kegunaannya. Kesadaran reflektif dan kritis menjadi kekuatan guru intelektual organis mengembangkan pembelajaran bermakna, pembelajaran emansipatoris, dan pembelajaran transformatif.

Guru Pembelajar

Pasca UKG tahun 2015 Kemdikbud mengembangkan program Guru Pembelajar. Tujuannya adalah meningkatkan kompetensi guru. Standar kompetensi minimal yang harus dicapai adalah 80. Muatan idiologi program guru pembelajar adalah guru menjadi pembelajar sepanjang hayat. Namun, tidak semua guru memiliki kesadaran tersebut. Guru kecenderungan bersikap pragmatis. Target guru pada program itu adalah penting lulus meraih nilai 80 atau lebih. Hal yang harus dipikirkan adalah setelah guru sudah mencapai standar kompetensi minimal program kegiatan apa yang harus dikembangkan.

Keberlangsungan program guru pembelajar sudah menghasilkan berbagai konstruksi subjektif di kalangan guru. Salah satunya program ini dimaknai semangat belajar mendapatkan nilai kelulusan. Perlu diperhatikan bahwa setiap ujung proses pendidikan dan pembelajaran adalah lahirnya kesadaran reflektif kritis. Guru harus dibebaskan dari jerat-jerat pragmatisme di setiap program kegiatan guru yang diikutinya. Kekritisan guru harus ditunjukkan oleh kemampuanya bernalar terhadap pilihan filosofis pedagogik dan teori belajar yang menjadi pijakan pengembangan pembelajaran. Dalam melaksanakan tugas mengajar, guru tegas berdiri di atas pijkan filsafat pendidikan dan teori belajar. Guru pembelajar sejati adalah guru intelektual organis yang senantiasa melakukan self reflective teaching.

3

Karakteristik Pendidikan IPS: Kajian Filosofis Pedagogik

Tulisan ini mempresentasikan sebuah pemikiran tentang apa itu IPS. Praktik pembelajaran IPS pernah terjadi kesalahan. Hal itu terjadi pada pengimplementasian pembelajaran IPS berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum ini menegaskan bahwa pembelajaran IPS adalah IPS “terpadu”. Alhasil, praksis pembelajaran IPS di sekolah maupun madrasah tersaji secara fragmentaris. Pendidikan IPS diseajikan dalam fragmentaris keilmuan dan konsep dasar sejarah, geografi, ekonomi, dan sosiologi secara terpisah-pisah. IPS dipraktikkan bukan sebagai sintesis disiplin. Banyak kendala pelaksanaan pembelajaran IPS di negeri ini khususnya di tingkat SMP/Madarasah Tsanawiyah. Berbagai alasan dikemukakan mulai dari latar kualifikasi pendidikan guru hingga ketersediaan komponen-komponen pembelajaran IPS yang terkoordinasi secara terpadu untuk capaian pembelajaran IPS. Kehadiran tulisan berjudul KARAKTERISTIK PENDIDIKAN IPS: Kajian Filosofis Pedagogik diharapkan bisa menjadi pencerahan bagi guru IPS untuk mendapatkan pijakan rasional tentang hal yang seharusnya diajarkan.

Pendahuluan

Bermula dari kebutuhan Guru “IPS terpadu” mengajar di Sekolah Menengah Pertama (SMP) lahirlah program studi S-1 IPS di berbagai perguruan tinggi negeri ex-IKIP dan tak terkecuali di perguruan tinggi swasta. Bahkan kini bermunculan pula program studi S-2 dan S-3 IPS. Fenomena ini merupakan kenyataan bahwa IPS telah terlembagakan dalam penyelenggaraan pendidikan akademik di perguruan tinggi.

Terlepas dari perdebatan panjang tentang IPS di satu sisi adanya gerakan mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu sosial untuk tujuan citizenhhip education dan di pihak lain bergulir gerakan pemisahan ilmu-ilmu sosial yang cenderung memperlemah konsep IPS, namun kenyataannya yang dimengerti hingga saat ini IPS adalah IPS “terpadu”. Buktinya berbagai definisi IPS ke arah “terpadu” sudah banyak dirumuskan berbagai pakar.

1. The Social Studies are the social sciences simplified for paedagogical purposes in school.... The social studies consist of geography, history, economic, sociology, civics and various combination of these subjects1

2. Social studies is an integration of social sciences and humanities for the porposes of instruction in citizenship education. We emphasize ‘integration’, for social studies is the only field which deliberately attempts to draw upon, in an integrated fashion, the data of the social sciences and the insights of humanities.

1 Wesley, E. B. (1952). Teaching Social Studies. Boston: D.C. Heath & Co, p. 9

4

MODUL

We emphasize ‘citizenship’, for social studies, despite the different in orientation, outlook, porpose, and methods of teachers, is almost universally percieved as preparation for citizenship in a democracy 2

3. Social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, archeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world3

4. IPS merupakan pelajaran ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan untuk pendidikan tingkat SD, SLTP, dan SLTA. Penyederhanaan yang dimaksud adalah: (1) mengurangi tingkat kesulitan dari ilmu-ilmu sosial yang biasanya dipelajari di tingkat universitas sehingga menjadi mata pelajaran yang sesuai dengan tingkat kematangan dan proses berpikir dari siswa di tingkat sekolah dasar dan lanjutan; (2) mengaitkan dan mengintegrasikan beberapa materi yang berasal dari berbagai cabang ilmu sosial dan kehidupan masyarakat sehingga menjadi bahan pelajaran yang mudah dicerna4

5. IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjang SMP/MTs mata pelajaran IPS memuat materi Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai. Mata pelajaran IPS disusun secara sistematis, komprehensif, dan terpadu dalam proses pembelajaran menuju kedewasaan dan keberhasilan dalam kehidupan di masyarakat. Substansi mata pelajaran IPS pada SMP/MTs merupakan “IPS Terpadu”5

Berbagai definsi tentang IPS menunjukkan adanya keterkaitan antara IPS dan Ilmu-ilmu Sosial. Keterkaitan itu digambarkan sebagai berikut oleh beberapa pakar di antaranya sebagai berikut:

2Barr, Robert, James L. B., S. Samuel S. (1977). The Nature of the Social Studies. Palm Springs.California: ETC Publications. p.115

3 NCSS, (1994).Curriculum Standard for Social Studies. Washington: Expctation of Excellence. p.34 Somantri, M. N. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Rosdakarya. h.1035 Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah

5

Sumber: Maxim, George W, (2010). Dynamic Social Studie for Constructivist Classrooms. Boston: Allyn & Bacon p.13

Hubungan antara social studies dan social sciences adalah “Social sciences as foundation of social studies. Social science is generally considered to be the resource from which the contents of the social studies is drawn. The scholarly endeavors of university and college social scientist provide the raw material in history, geography, sociology, and like, for use in social studies classrooms in elementary and secondary schools.6

Ketegasan dan kejelasan bahwa IPS merupakan integrated subject matter tampaknya belum sepenuhnya terimplementasikan dalam pembelajaran. Potret itu terlihat ketika KTSP (Kurikulum 2006) mengamanatkan pembelajaran IPS terpadu, namun di banyak sekolah di negeri ini IPS masih dibelajarkan tidak terpadu. Nilai matapelajaran IPS merupakan agregat dari matapelajaran sejarah, geografi, ekonomi, dan sosiologi. Terkendalanya pembelajaran “IPS terpadu” saat itu disebabkan oleh ketidaktersediaan guru berkualifikasi pendidikan IPS. Guru yang mengajar IPS adalah guru berkualifikasi pendidikan sejarah, pendidikan geografi, dan pendidikan ekonomi. Sedikitnya waktu yang disediakan dalam PLPG juga menjadi kendala implementasi pembelajaran “IPS terpadu”.

Sesungguhnya persoalan terkendalanya pelaksanaan pembelajaran “IPS terpadu” bukan sekedar disebabkan oleh hal-hal bersifat pragmatis seperti yang disebutkan di atas. Menurut Soemantri (2001) persoalan mendasar adalah terletak pada persoalan filosofis yang menjadi dasar body of knowledge atau batang tubuh IPS. Atas dasar inilah maka “Karakteristik IPS” membutuhkan kajian dari sudut pandang filsafat.

Pembahasan

6 Gross, Richard E. (1978). Social Studies for Our Times. Canada: John Willey & Sons. Inc. p 76

6

HistoryStudies the

past

EconomicsStudies the production,

distribution, and consumption of goods

and services

GeographyStudies the ways Earth’s physical

characteristics affect people and how people

affect Earth

CivicsStudies

citizenship and government

AnthropologyStudies all facets of

society and

SociologyStudies society and patterns of social

relationship

SOCIAL STUDIES

Filosofi pendidikan menempati posisi penting dalam pengembangan kurikulum. Posisi filosofi pendidikan dalam kurikulum adalah “both a source and an influence for educational objectives and curriculum development”7

1. IPS Dari Sudut Pandang Essensialisme Filosofi yang digunakan para pengembang kurikulum di Indonesia terbatas pada essensialisme. Disadari atau tidak filosofi ini terus digunakan dalam setiap perubahan kurikulum sehinggga dapat dikatakan bahwa proses pengembangan kurikulum selalu menghasilkan kurikulum yang sama. Perbedaan hanya terjadi dalam cara pengemasan konten kurikulum dan proses pembelajaran.

Filsafat Esensial merupakan filsafat pendidikan konservatif yang dirumuskan sebagai kritik terhadap praktek pendidikan progresif di sekolah-sekolah. Pada umumnya pemikiran aliran pendidikan esensialisme dilandasi oleh filsafat tradisional idealisme klasik. Filsafat idealisme adalah pendukung esensialisme.

Idealisme adalah salah satu aliran filsafat pendidikan yang berpaham bahwa pengetahuan dan kebenaran tertinggi adalah ide. Idealisme menganggap bahwa yang konkret hanyalah bayang-bayang, yang terdapat dalam akal pikiran manusia. Dalam konteks pendidikan, paham ini mencita-citakan pemikiran atau ide tertinggi. Secara kelembagaan institusional, maka pendidikan akan didominasi oleh fakultas atau jurusan filsafat dan pemikiran pendidikan. Di ranah pendidikan dasar, akan didominasi oleh konsep-konsep dan pengertian-pengertian secara definisi tentang segala sesuatu. Idealisme mengembangkan pemikiran peserta didik sehingga menjadikan peserta didik mampu menggunakan akal pikiran atau idenya dengan baik dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.

Jadi, filsafat essensialisme menekankan kurikulum sebagai media pendidikan untuk cultivation of the intellect, academic excellence. Pandangan filosofi ini menempatkan IPS sebagai pendidikan untuk pengembangan intelektual dalam pengertian lama yang diistilahkan sebagai logical – matemathical intelligence. Kurikulum esensialisme berpusat pada mata pelajaran (subjek matter centered). Pengusaan materi kurikulum tersebut merupakan dasar yang esensialisme yaitu belajar dengan tepat berkaitan dengan disiplin tersebut akan mampu mengembangkan pikiran (kemampuan nalar) siswa dan sekaligus membuatnya sadar akan dunia fisik sekitarnya.

Berkenaan dengan filosofi essensialisme adalah sifat nomotetis, ilmu bersifat universal dan menganggap lingkungan sekitar sebagai bagian dari universal. Akibatnya peserta didi IPS belajar tentang sesuatu yang sudah dinyatakan sebagai suatu kebenaran menurut disiplin lmu-ilmu sosial tetapi mereka tercabut dari lingkungan bahkan tidak mengenal lingkungannya sama sekali. Anak belajar tentang berbagai fenomena dan karakteristik geografis tetapi mereka tidak mengenal lingkungan geografi sekitarnya. Peserta belajar teori produksi, distribusi, dan konsumsi tetapi tidak mengenal kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi di sekitarnya. Peserta didik belajar tentang peristiwa sejarah dengan berbagai tokoh yang terlibat di dalamnya tetapi tidak mengenal peristiwa dan tokoh yang ada di wilayahnya. IPS telah menjauhkan peserta didik dari lingkungannya dan ini sangat

7Tanner, Daniel. dan Tanner,Laurel, (1980). Curriculum Development: Theory into Practice, New York: Macmillan Publishing Co.,Inc., p.103

7

bertentangan dengan filosofi pendidikan bahwa pendidikan harus dimulai dari lingkungan sekitarnya dari apa yang sudah dikenal oleh peserta didik. Filsafat esensialisme menyebabkan disiplin ilmu-ilmu sosial terpisah dari sumber atau objek studi yang paling dekat yaitu masyarakat sekitar

2. IPS dari sudut pandang Progresivisme dan RekonstruksionismePendidikan IPS sebagai integrated subject matter harus keluar dari kekakuan filosofis essensialisme semacam itu. IPS harus mampu menggunakan berbagai filosofi sehingga berbagai dimensi intelektual peserta didik dapat dikembangkan dengan baik, mendekatkan dirinya dengan masyarakat sekitar dan masyarakat sekitar sebagai sebagai objek studi yang langsung dapat diamati. Hal ini meng-isyaratkan bahwa “IPS terpadu” sebagai pengetahuan sintetik apriori.

Pengetahuan sintesis apriori merupakan kritik Kant terhadap dikotomi pengetahuan a priori dan aposteriori. Berdasarkan kebaikan sekaligus kelemahan yang terdapat pada pengetahuan apriori dan aposteriori, Kant memadukan keduanya dalam bentuk pengetahuan sintesis apriori. Pengetahuan sintesis apriori adalah pengetahuan hasil pensintesaan antara rasionalisme dan empirisme. Pengetahuan sintesis apriori adalah pengetahuan hasil kerjasama pengalaman inderawi dan aktivitas akal budi. Sintesis apriori menunjukkan pengakuan Kant terhadap pentingnya akal budi sebagai sumber pengetahuan dan empirisme dalam kaitan pentingnya pengalaman inderawi pada potensi manusia.

Pengetahuan sintesis apriori dijelaskan melalui penyelidikan transcendental yaitu ‘semua pengetahuan yang tidak meninjau benda-benda melainkan mempelajari hal mengenai a priori dari benda-benda itu.8 Penyelidikan transendental dapat dipahami dari pemikiran Kant tentang transcendental analythic. Dalam penyelidikan ini ada Kategori transcendental.

Kategori transendentasl memproses pengalaman mengenai objek-objek empiris yang ditangkap melalui indera. Kategori transendental adalah unsur-unsur apriori yang dengan sendirinya telah terdapat dalam struktur pikiran setiap orang. Kategori itu adalah fungsi pikiran itu sendiri. Berpikir merupakan proses bekerjanya kategori apriori. Apabila subjek dan objek yang hendak diketahui adalah dua hal terpisah maka kategori apriori yang menghubungkan di antara keduanya yaitu pikiran dan objek tersebut. Kategori itu apriori dan berdasarkan spontanitas pikiran langsung bekerja setiap berhadapan dengan objek apa saja, oleh karena itu objek yang ditangkap melalui kategori tersebut bukan lagi objek sebagaimana pada dirinya sendiri, melainkan objek yang telah “dibentuk” oleh kategori apriori. Ketika manusia melihat suatu benda maka yang tampak pertama kali adalah beraneka ragam kesan indera. Realitas sebenarnya adalah benda tersebut sebagai suatu objek, tetapi hal itu hanya mungkin dilakukan dengan jalan melakukan sintesis terhadap kesan-kesan indera yang diintuisikan dari benda-benda tersebut ke dalam satu kesatuan. Sintesis tersebut lebih merupakan suatu tindakan pemahaman yang mengindikasikan suatu ekspresi dari kesatuan kesadaran. Dengan demikian objek dan kesatuan kesadaran menentukan satu sama lain. Konsep objek adalah apa yang memungkinkan untuk memahami apa yang dilihat. Konsep objek merupakan suatu kondisi mampu menggunakan bahasa tentang apa yang diberikan pada indera. Tanpa konsep objek, tidak akan ada pengalaman, oleh

8 Brouwer, MAW, (1980), Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sejaman, Bandung: Alumni. h.15

8

karena itu konsep ini bukanlah jenis yang dibentuk melalui pengalaman melainkan konsep objek adalah kondisi dari pengalaman. Konsep objek merefleksikan kesatuan kesadaran. Kesatuan kesadaran dari konsep objek melahirkan sintesis apriori terhadap objek.

Pengetahuan sintetik apriori beraksentuasi pada situated cognition yang menjadi asumsi penting dari pendekatan konstruktivis sosial. Istilah itu mengacu pada ide bahwa pemikiran selalu ditempatkan (disituasikan) dalam konteks sosial dan fisik, bukan dalam pikiran seseorang. Konsep situated cognition menyatakan bahwa pengetahuan dilekatkan dan dihubungkan pada konteks di mana pengetahuan tersebut dikembangkan.9

Sintetik apriori dan situated cognition menjadi dorongan penggunaan filosofis progresivisme dan rekonstruksionisme sebagai pijakan “IPS terpadu”. Filsafat progresivisme menekankan pendidikan sebagai proses yang tumbuh dan berkembang dengan merekonstruksi pengalaman secara terus menerus sebagai suatu proses belajar ; pendidika adalah proses kehidupan yang berdinamika ; pendidikan menyiapkan anak untuk aktif dalam pembelajaran yang mencerminkan struktur social demokratis ; Kurikulum: bersumber dari kebutuhan siswa dan masyarakat serta memanfaatkan aplikasi intelegensi pada permasalahan manusia dalam masyarakat ; dan proses belajar partisipatif, kerja kooperatif, learning by doing, dan proses inkuiri.

Filsafat rekonstruksionisme beraksentuasi pada pendidikan sebagai wahana untuk mengembangkan kesejahteraan sosial ; Upaya penyelesaian masalah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat ; Ilmu-ilmu sosial diajarkan agar bermanfaat untuk dilaksanakan dalam upaya mensejahterakan masyarakat; Disiplin ilmu-ilmu sosial hanya dijadikan sumber materi ; Seleksi materi ilmu-ilmu sosial dapat dilakukan lebih bebas dari pengaruh struktur keilmuan .

Filosofi progresivisme dan rekonstruksionisme memberikan penguatan terhadap bahwa IPS adalah subject matter yang sealau berkaitan dengan kehidupan dunia nyata dalam masyaraka yang multidimensi, multisektor kehidupan. Kehidupan yang nyata yang dimaksud adalah kegiatan yang dilakukan manusia dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup, kemampuan mengatasi berbagai masalah yang dihadapi dan kemampuan untuk memajukan penghidupannya. Dengan demikian maka PIPS merupakan pengetahuan praktis yang dapat diajarkan mulai dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Sebagiamana pendapat Banks “The social studies …for helping students to develop the knowledge, skills, attitudes, and values needed to participate in the civic life of their local communities, the nation, and the world.10

PenutupDalam perspektif filosofis essensialisme IPS pada dasarkanya adalah pendidikan keilmuan. Sekolah mengajarkan disiplin ilmu kepada siswa. Intelektualisme adalah tujuan paling mendasar dari setiap upaya pendidikan IPS. Intelektualisme merupakan kemampuan seseorang memecahkan berbagai persoalan secara keilmuan. Pendidikan IPS mengajarkan disiplin ilmu-ilmu sosial secara terpisah sesuai dengan ciri keilmuan masing-masing.

9 Santrock, John W, (2007). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. h.38710 Banks, James A. (1985). Teaching Strategies for The Social Studies. New York: Longman Inc, p.3

9

Filsafat progresivisme dan rekonstruktionisme menjadi pijakan akademik bahwa IPS merupakan integrasi dari ilmu-ilmu sosial dan dibelajarkan secara terpadu. Filsafat ini juga memberikan penguatan jati diri IPS sebagai pengetahuan sintetik apriori yang menekankan pada proses pembelajaran pada situated cognition.

Jati diri IPS dan pembelajarannya adalah pembelajaran IPS bukan sekedar learning for schooling, tetapi learning for llving pula. IPS menekankan pada konsep tidak sekedar digali dari disiplin ilmu pendukungnya tetapi dikenali dan ditemukan di masyarakatnya sehingga IPS dapat menghadirkan pengetahuan yang mewujdukan kesadaran kritis, kesadaran reflektif peserta didik dan tidak mengalinasi peserta didik dari masyarakat di sekitarnya.

10

MODUL KETIGA

Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial: Kurikulum Terpadu

Problem mendasar bagi guru IPS ketika dihadapkan pada praksis pembelajaran IPS terpadu adalah bagaimana memadukannya. Bagaimana sejarah, geografi, sosiologi, dan ekonomi dikaitkan satu sama lain. Dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan memadukan matapelajaran-matapelajaran yang menjadi sumber dan materi belajar IPS. Kesempitan berpikir tentang epistimologi ini akan menyulitkan guru mengembangkan perencanaan pembelajaran, melaksanakannya, bahkan melakukan penilaian proses dan hasil belajar IPS. Fakta membuktikan hingga kini masih banyak guru yang belum terampil mengembangkan disain pembelajaran IPS terpadu dan mengimplementasikannya. Tulisan berjudul: PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAH SOSIAL: Kurikulum Terpadu merupakan paparan tentang berbagai model kurikulum terpadu yang dapat dirujuk guru untuk mengembangkan IPS terpadu.

Ragam Model Pembelajaran Terpadu

Menurut Fogarty dalam bukunya How to Integrate the Curricula, ada 10 macam model pembelajaran terpadu, seperti : fragmented (penggalan), connected (keterhubungan), nested (sarang), sequenced (pengurutan), shared (irisan), webbed (jaring laba-laba), threaded (bergalur), integrated (terpadu), immersed (terbenam), dan networked (jaringan kerja). Model-model tersebut dapat diuraikan secara ringkas sebagai berikut:

1.      Fragmented (Penggalan)

Model Fragmented adalah model pembelajaran konvensional yang terpisah secara mata pelajaran. Hal ini dipelajari siswa tanpa menghubungkan kebermaknaan dan keterkaitan antara satu pelajaran dengan pelajaran lainnya. Setiap mata pelajaran diajarkan oleh guru yang berbeda dan mungkin pula ruang yang berbeda. Setiap mata pelajaran memiliki ranahnya tersendiri dan tidak ada usaha untuk mempersatukannya. Setiap mata pelajaran berlangsung terpisah dengan pengorganisasian dan cara mengajar yang berbeda dari setiap guru.

Kelemahan model ini adalah siswa tidak dapat mengintegrasikan konsep-konsep yang sama, keterampilan serta sikap yang ada kaitannya satu dengan yang lainnya. Keunggulan model ini adalah guru dapat menyiapkan bahan ajar sesuai dengan bidang keahliannya dan dengan mudah menentukan ruang lingkup bahasan yang diprioritaskan dalam setiap pengajaran.

2.   Connected  (Keterhubungan)

11

Model Connected adalah model pembelajaran terpadu yang secara sengaja diusahakan untuk menghubungkan satu konsep dengan konsep yang lain, satu topik dengan topik yang lain, satu keterampilan dengan keteramilan yag lain, tugas yang dilakukan dalam satu hari dengan tugas yang dilakukan pada hari berikutnya, bahkna ide-ide yang dipelajari pada satu semester berikutnya dalam satu bidang studi.

Keunggulan model ini adalah siswa dapat memperoleh gambaran yang lebih jelas dan luas dari konsep yang dijelaskan dan juga siswa diberi kesempatan untuk melakukan pedalaman, tinjauan, memperbaiki dan mengasimilasi gagasan secara bertahap. Kelemahan model ini adalah guru bidang studi mungkin kurang terdorong untuk menghubungkan konsep yang terkait karena sukarnya mengatur waktu untuk merundingkannya atau karena terfokus pada keterkaitan konsep, maka pembelajaran secara global jadi terabaikan.

3.      Nested (Sarang)

Model Nested adalah model pembelajaran terpadu yang target utamanya adalah materi pelajaran yang dikaitkan dengan keterampilan berfikir dan keterampilan mengorganisasi. Artinya memadukan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik serta memadukan keterampilan proses, sikap dan komunikasi. Model ini masih memfokuskan keterpaduan beberapa aspek pada satu mata pelajaran saja. Tetapi materi pelajaran masih ditempatkan pada prioritas utama yang kemudian dilengkapi dengan aspek keterampilan lain. Model ini dapat digunakan bila guru mempunyai tujuan selain menanamkan konsep suatu materi tetapi juga aspek keterampilan lainnya menjadi suatu kesatuan. Dengan menggabungkan atau merangkaikan kemampuan-kemampuan tertentu pada ketiga cakupan tersebut akan lebih mudah mengintegrasikan konsep-konsep dan sikap melalui aktivitas yang telah terstruktur.

Keunggulan model ini adalah kemampuan siswa lebih diperkaya lagi karena selain memperdalam materi juga aspek keterampilan seperti berfikir dan mengorganisasi. Setiap mata pelajaran mempunyai dimensi ganda yang berguna kelak untuk kehidupan siswa mendatang. Kelemahan model ini adalah dalam hal perencanaan, jika dilakukan secara tergesa-gesa dan kurang cermat maka penggabungan beberapa materi dan aspek keterampilan dapat mengacaukan pola pikir siswa. Pada mulanya tujuan utama pengajaran adalah penekanan pada materi, tetapi akhirnya bergeser prioritasnya pada keterampilan.4.      Sequenced (Pengurutan)

12

Model Sequenced adalah model pembelajaran yang topik atau unit yang disusun kembali dan diurutkan sehingga bertepatan pembahasannya satu dengan yang lainnya. Misalnya dua mata pelajaran yang berhubungan diurutkan sehingga materi pelajaran dari keduanya dapat diajarkan secara paralel. Dengan mengurutkan urutan topik-topik yang diajarkan, tiap kegiatan akan dapat saling mengutamakan karena tiap subjek saling mendukung.

Keunggulan model ini adalah dalam penyusunan urutan topik, guru memiliki keleluasaan untuk menentukan sendiri berdasarkan prioritas dan tidak dibatasi oleh apa yang sudah tercantum dalam kurikulum. Sedangkan dari sudut pandang siswa, pengurutan topic yang berhubungan dari disiplin yang berbeda akan membantu mereka untuk memahami isi dari mata pelajaran tersebut. Kelemahan model ini adalah perlu adanya kerjasama antara guru-guru bidang studi agar dapat mengurutkan materi, sehingga ada kesesuaian antara konsep yang ssatu dengan konsep yang lainnya.

5. Shared (Irisan)

Model shared adalah model pembelajaran terpadu yang merupakan gabungan atau keterpaduan antara dua mata pelajaran yang saling melengkapi dan di dalam perencanaan atau pengajarannya menciptakan satu fokus pada konsep, keterampilan serta sikap. Penggabungan antara konsep pelajaran, keterampilan dan sikap yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya dipayungi dalam satu tema. Model ini berbeda dengan model sarang, dimana tema memayungi dua mata pelajaran, aspek konsep, keterampilan dan sikap menjadi kesatuan yang utuh. Sedangkan pada model sarang, sebuah tema hanya memayungi satu pelajaran saja.

Keunggulan model ini adalah dalam hal mentransfer konsep secara lebih dalam, siswa menjadi lebih mudah melakukannya. Misalnya dengan alat bantu media film untuk menanamkan konsep dari dua mata pelajaran dalam waktu yang bersamaan. Kelemahan model ini adalah untuk menyususn rencana model pembelajaran ini diperlukan kerjasama guru dari mata pelajaran yang berbeda, sehingga perlu waktu ekstra untuk mendiskusikannya.

6.      Webbed (Jaring Laba-laba)

13

Model webbed adalah model pembelajaran terpadu yang menggunakan pendekatan tematik. Pendekatan ini pengembangannya dimulai dengan menentukan tema tertentu. Setelah tema disepakati, maka dikembangkan menjadi subtema dengan memperlihatkan keterkaitan dengan bidang studi lain. setelah itu dikembangkan berbagai aktivitas pembelajatran yang mendukung.

Keunggulan model ini adalah faktor motivasi berkembang karena adanya pemilihan tema yang didasarkan pada minat siswa. Mereka dapat dengan mudah melihat bagaimana kegiatan yang berbeda dan ide yang berbeda dapat saling berhubungan, kemudahan untuk lintas semester dalam KTSP sangat mendukung untuk dapat dilaksanakannya model pembelajaran ini. Kelemahan model ini adalah kecenderungan untuk mengambil tema sangat dangkal sehingga kurang bermanfaat bagi siswa. Selain itu seringkali guru terfokus pada kegiatan sehingga materi atau konsep menjadi terabaikan. Perlu ada keseimbangan antara kegiatan dan pengembangan materi pelajaran.

7.      Threaded (Bergalur)

Model Threaded adalah model pembelajaran yang memfokuskan pada metakurikulum yang menggantikan atau yang berpotongan dengan inti subyek materi. Misalnya untuk melatih keterampilan berfikir (problem solving) dari beberapa mata pelajaran dicari bagian materi yang merupakan bagian dari problem solving. Seperti komponen memprediksi, meramalkan kejadian yang sedang berlangsung, mengantisipasi sebuah bacaan, hipotesis laboratorium dan sebagainya. Keterampilan-keterampilan ini merupakan dasar yang saling berkaitan. Keterampilan yang digunakan dalam model ini disesuaikan pula dengan perkembangan usia siswa sehingga tidak tumpan tindih.

Keunggulan model ini adalah konsep berputar sekitar metakurikulum yang menekankan pada perilaku metakognitif. Model ini membuat siswa dapat belajar bagaimana seharusnya belajar di masa yang akan datang sesuai dengan laju perkembangan era globalisasi. Nilai lebih dari model ini adalah materi untuk tiap mata pelajaran tetap murni sehingga siswa yang mempunyai tingkat pemikiran superor dapat memiliki kekuatan transfer pada keterampilan hidup. Kelemahan model ini adalah hubungan isi antar materi pelajaran tidak terlalu ditunjukkan secara eksplisit sehingga siswa kurang dapat memahami keterkaitan konten antara mata pelajaran satu dengan yang lainnya. Guru perlu memahami keterampilan dan strategi yang digunakan siswa agar dapat mengembangkan dirinya.

8.      Integrated (Keterpaduan)

Model integrated adalah model pembelajaran terpadu yang menggunakan pendekatan antar bidang studi. Model ini diusahakan dengan cara menggabungkan bidang studi

14

dengan cara menetapkan prioritas kurikuler dan menemukan keterampilan, konsep dan sikap yang saling tumpang tindih di dalam beberapa mata pelajaran. Untuk membuat tema, guru harus menyeleksi terlebih ahulu konsep dari beberapa mata pelajaran, selanjutnya dikaitkan dalam satu tema untuk memayungi beberapa mata pelajaran, dalam satu paket pembelajaran bertema.

Keunggulan model ini adalah siswa merasa senang dengan adanya keterkaitan dan hubungan timbal balik antar berbagai disiplin ilmu, memperluas wawasan dan apresiasi guru, jika dapat diterapkan dengan baik maka dapat dijadikan model pembelajaran yang ideal di lingkungan sekolah “integrated day”. Kelemahan model ini adalah sulit mencari keterkaitan antara mata pelajaran yang satu dengan yang lainnya, juga mencari keterkaitan aspek keterampilan yang terkait. Dibutuhkan banyak waktu pada beberapa mata pelajaran untuk didiskusikan guna mencari keterkaitan dan mencari tema.

9.      Immersed (Terbenam)

Model immersed adalah model pembelajaran yang melibatkan beberapa mata pelajaran dalam satu proyek. Misalnya seorang mahasiswa yang memperdalam ilmu kedokteran maka selain Biologi, Kimia, Komputer, juga harus mempelajari fisika dan setiap mata pelajaran tersebut ada kesatuannya. Model ini dapat pula diterapkan pada siswa SD, SMP, maupun SMA dalam bentuk proyek di akhir semester.

Keunggulan model ini adalah setiap siswa mempunyai ketertarikan mata pelajaran yang berbeda maka secara tidak langsung siswa yang lain akan belajar dari siswa lainnya. Mereka terpacu untuk dapat menghubungkan mata pelajaran yang satu dengan yang lainnya. Mata pelajaran menjadi lebih terfokus dan siswa akan selalu mencari tahu apa yang menjadi pertanyaan baginya, sehingga pengalamannya menjadi lebih luas. Model ini melatih kreatifitas berfikir siswa secara bertahap dari jenjang SD hingga SMA. Bagi siswa kelas 4 SD model ini dapat dilaksanakan pada hari HUT RI. Misalnya merancang sebuah pesawat terbang yang seimbang lalu dipamerkan. Kelemahan model ini adalah siswa yang tidak senang membaca akan mendapat kesulitan utnuk mengerjakan proyek ini, sehingga siswa menjadi kehilangan minat belajar. Guru perlu waktu untuk mengorganisir semua kegiatan proyek yang dilaksanakan oleh siswa yang tersususn secara baik dan terencana sebelumnya.

10. Networked (Jaringan Kerja)

Model networked adalah model pembelajaran berupa kerjasama antara siswa dengan seorang ahli dalam mencari data, keterangan, atau lainnya sehubungan dengan mata pelajaran yang disukainya atau yang diminatinya sehingga siswa secara tidak langsung mencari tahu dari berbagai sumber. Sumber dapat berupa buku bacaan, internet, saluran

15

radio, TV, atau teman, kakak, orangtua atau guru yang dianggap ahli olehnya. Siswa memperluas wawasan belajarnya sendiri artinya siswa termotivasi belajar karena rasa ingin tahunya yang besar dalam dirinya.

Keunggulan model ini adalah siswa memperluas wawasan pengetahuan pada satu atau dua mata pelajaran secara mendalam dan sempit sararannya. Hal ini umumnya muncul secara tidak sengaja selama proses pembelajaran di kelas sedang berlangsung. Kelemahan model ini adalah kemungkinan motivasi siswa akan berubah sehingga kedalaman materi pelajaran menjadi dangkal secara tidak sengaja karena mendapat hambatan dalam mencari sumber.

16

Pendidikan IPS Dan KURIKULUM NASIONAL

Tidak banyak guru IPS mengajarkan IPS dengan cukup membaca pijakan curriculum on the text. Pembelajaran IPS hanya tindakan kebiasaan bukan implementasi pembisaan. Guru membelajaran IPS bukan karena kesadaran kritis reflektifnya, melainkan kesadaran pra-reflektif. Tidak banyak guru mengetahui, lebih-lebih memahami dokumen kurikulum 2013 tertulis. Skenario pembelajaran IPS yang dibuatnya hanya didasarkan pada secuil pengetahuan tentang kurikulum IPS yang diperolehnya dari workshop. Jikalau membaca langsung document kurikulum 2013 ternyata tak cukup kuat untuk memahaminya. Workshop yang diterimanya tak pernah menyentuh “roh” kurikulum sebagai pijakan operasional melaksanakan pembelajaran. Hal yang terlihat dalam pembelajaran IPS di sekolah atau madarasah tanpa dukungan pemahaman curriculum on the text adalah pembelajaran IPS pada tataran curriculum in action. Tak ayal kondisi ini sering memicu terjadinya disparitas antara curriculum on the text dan curriculum in action. Tulisan berjudul PENDIDIKAN IPS DAN KURIKULUM NASIONAL dimaksudkan agar guru memahami dokumen-dokumen kurikulum nasional yang menjadi pijakan rasional dan praksis pembelajaran IPS. Dengan demikian guru dapat memahami dan bersikap kritis terhadap pembelajaran IPS.

A. RasionalSaat ini bangsa Indonesia sedang menghadapi banyak tantangan dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam menghadapi tantangan tersebut dibutuhkan kekuatan diri dari masing-masing warga negara dan kekuatan kohesi sosial dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya. Kekuatan diri yang diharapkan adalah menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab. Kohesi sosial yang dibutuhkan adalah kekuatan kebersamaan, komitmen, dan kearifan untuk bahu-membahu dalam membangun bangsa.

Untuk menghadapi tantangan tersebut, bangsa Indonesia perlu memupuk nasionalisme budaya (cultural nationalism) yang berarti pengakuan terhadap budaya etnis yang beragam, yang lahir dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia. Setelah itu, perlu mengelola sumberdaya alam untuk menjamin kesejahteraan bangsanya berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan prinsip keadilan sosial, dan meningkatkan daya saing produk barang dan jasa, melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia sebagai subyek dalam persaingan tersebut.

Dari semua tantangan tersebut, pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) mengambil peran untuk memberi pemahaman yang luas dan mendalam pada bidang ilmu yang berkaitan, yaitu:

1. Memperkenalkan konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya;

2. Membekali kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial;

17

MODUL

3. Memupuk komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan; 4. Membina kemampuan berkomunikasi, bekerjasama, dan berkompetisi dalam

masyarakat yang majemuk, baik di tingkat local, nasional maupun global.

IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) adalah telaah tentang manusia dalam hubungan sosialnya atau kemasyarakatannya. Manusia sebagai makhluk sosial akan mengadakan hubungan sosial dengan sesamanya, mulai dari keluarga sampai masyarakat global. Setiap orang sejak lahir, tidak terpisahkan dari manusia lain. Selain berinteraksi dengan sesama, manusia juga berinteraksi dan memanfaatkan lingkungan alam, serta harus mempertanggungjawabkan semua tindakan sosialnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Terkait dengan pengertian tersebut, mata pelajaran IPS dapat dikatakan sebagai mata pelajaran di sekolah yang dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial yang diorganisasikan dengan satu pendekatan interdisipliner, multidipliner atau transdisipliner dari Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora. Dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dijelaskan bahwa IPS di SMP merupakan bahan kajian yang wajib dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah, antara lain mencakup geografi, sejarah, ekonomi, dan sosiologi yang dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis peserta didik terhadap kondisi sosial masyarakat.

B. Tujuan Pembelajaran IPS

Tujuan utama pembelajaran IPS adalah agar peserta didik memiliki kemampuan dalam berpikir logis dan kritis untuk memahami konsep dan prinsip yang berkaitan dengan pola dan persebaran keruangan, interaksi sosial, pemenuhan kebutuhan, dan perkembangan kehidupan masyarakat untuk menciptakan kondisi kehidupan yang lebih baik dan atau mengatasi masalah-masalah sosial. Secara rinci tujuan mata pelajaran IPS adalah agar peserta didik memiliki kemampuan

1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya;

2. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial;

3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan 4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama, dan berkompetisi dalam

masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.

C. Ruang Lingkup

Sebagai mata pelajaran, IPS menekankan pada pengambangan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor yang diperlukan untuk menjadikan peserta didik aktif, kritis, beradab, dan berkesadaran sebagai warga negara yang dapat berperan dalam kehidupan masyarakat multikultur pada tingkat lokal, nasional, dan global. Hal ini perlu ditekankan dalam rangka membangun masyarakat yang harmonis dan sejahtera. Ruang lingkup IPS tidak lain adalah perilaku sosial, ekonomi, dan budaya manusia di masyarakat dalam konteks ruang dan waktu yang mengalami perubahan. Oleh karena itu, masyarakat menjadi sumber utama IPS. Ruang lingkup mata pelajaran IPS di SMP, meliputi aspek-aspek sebagai berikut

1. Manusia, tempat, dan lingkungan

18

Keruangan dan konektivitas antar ruang dan waktu dalam lingkup regional keruangan dan konektivitas antar ruang dan waktu dalam lingkup nasional

Keruangan dan konektivitas antar ruang dan waktu dalam mewujudkan kesatuan wilayah Nusantara.

2. Keberlanjutan, perubahan dan waktu Aspek geografis, ekonomi, budaya, pendidikan dan politik jaman pra-

aksara, jaman Hindu-Budha, jaman Islam, dan jaman penjajahan dan jaman pergerakan kebangsaan

Aspek geografis, ekonomi, budaya, pendidikan dan politik jaman pergerakan kemerdekaan hingga masa kini.

3. Sistem sosial dan budaya Jenis, fungsi dan peran kelembagaan sosial, budaya ekonomi, dan

politik. Dinamika interaksi manusia dengan lingkungan alam, sosial, budaya,

dan ekonomi. Manfaat kelembagaan sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Landasan dinamika interaksi manusia dengan lingkungan alam, sosial,

budaya, dan ekonomi

D. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar IPS

Tujuan kurikulum mencakup empat kompetensi, yaitu (1) kompetensi sikap spiritual, (2) sikap sosial, (3) pengetahuan, dan (4) keterampilan. Kompetensi tersebut dicapai melalui proses pembelajaran intrakurikuler, kokurikuler, dan/atau ekstrakurikuler.

KELAS VIIKOMPETENSI INTI 3 (PENGETAHUAN)

KOMPETENSI INTI 4(KETERAMPILAN)

3. Memahami pengetahuan (faktual, konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata

4. Mencoba, mengolah, dan menyaji dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori.

KOMPETENSI DASAR KOMPETENSI DASAR3.1Memahami konsep ruang (lokasi,

distribusi, potensi, iklim, bentuk muka bumi, geologis, flora, dan fauna) dan interaksi antarruang di Indonesia serta

4.1Menjelaskan konsep ruang (lokasi, distribusi, potensi, iklim, bentuk muka bumi, geologis, flora dan fauna) dan interaksi antarruang di

19

pengaruhnya terhadap kehidupan manusia dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan.

Indonesia serta pengaruhnya terhadap kehidupan manusia Indonesia dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan.

3.2Mengidentifikasi interaksi sosial dalam ruang dan pengaruhnya terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya dalam nilai dan norma serta kelembagaan sosial budaya.

4.2Menyajikan hasil identifikasi tentang interaksi sosial dalam ruang dan pengaruhnya terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya dalam nilai dan norma serta kelembagaan sosial budaya

3.3Memahami konsep interaksi antara manusia dengan ruang sehingga menghasilkan berbagai kegiatan ekonomi (produksi, distribusi, konsumsi, permintaan, dan penawaran) dan interaksi antarruang untuk keberlangsungan kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya Indonesia.

4.3Menjelaskan hasil analisis tentang konsep interaksi antara manusia dengan ruang sehingga menghasilkan berbagai kegiatan ekonomi (produksi, distribusi, konsumsi, permintaan, dan penawaran) dan interaksi antarruang untuk keberlangsungan kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya Indonesia.

3.4Memahami kronologi perubahan, dan kesinambungan dalam kehidupan bangsa Indonesia pada aspek politik, sosial, budaya, geografis, dan pendidikan sejak masa praaksara sampai masa Hindu-Buddha dan Islam

4.4Menguraikan kronologi perubahan, dan kesinambungan dalam kehidupan bangsa Indonesia pada aspek politik, sosial, budaya, geografis, dan pendidikan sejak masa praaksara sampai masa Hindu-Buddha dan Islam

KELAS VIIIKOMPETENSI INTI 3 (PENGETAHUAN)

KOMPETENSI INTI 4(KETERAMPILAN)

3. Memahami pengetahuan (faktual, konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata

4. Mencoba, mengolah, dan menyaji dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori.

KOMPETENSI DASAR KOMPETENSI DASAR3.1Menelaah perubahan keruangan dan

interaksi antarruang di Indonesia dan negara-negara ASEAN yang diakibatkan oleh faktor alam dan manusia (teknologi,

4.1Menyajikan hasil telaah tentang perubahan keruangan dan interaksi antarruang di Indonesia dan negara-negara ASEAN yang diakibatkan

20

ekonomi, pemanfaatan lahan, politik) dan pengaruhnya terhadap keberlangsungan kehidupan ekonomi, sosial, budaya, dan politik

oleh faktor alam dan manusia (teknologi, ekonomi, pemanfaatan lahan, politik) dan pengaruhnya terhadap keberlangsungan kehidupan ekonomi, sosial, budaya, dan politik

3.2Menganalisis pengaruh interaksi sosial dalam ruang yang berbeda terhadap kehidupan sosial dan budaya serta pengembangan kehidupan kebangsaan

4.2Menyajikan hasil analisis tentang pengaruh interaksi sosial dalam ruang yang berbeda terhadap kehidupan sosial dan budaya serta pengembangan kehidupan kebangsaan

3.3Menganalisis keunggulan dan keterbatasan ruang dalam permintaan dan penawaran serta teknologi, dan pengaruhnya terhadap interaksi antarruang bagi kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya di Indonesia dan negara-negara ASEAN

4.3Menyajikan hasil analisis tentang keunggulan dan keterbatasan ruang dalam permintaan dan penawaran serta teknologi, dan pengaruhnya terhadap interaksi antarruang bagi kegiatan ekonomi, sosial, budaya, di Indonesia dan negara-negara ASEAN

3.4 Menganalisis kronologi, perubahan dan kesinambungan ruang (geografis, politik, ekonomi, pendidikan, sosial, budaya) dari masa penjajahan sampai tumbuhnya semangat kebangsaan

4.4 Menyajikan hasil analisis kronologi, perubahan dan kesinambungan ruang (geografis, politik, ekonomi, pendidikan, sosial, budaya) dari masa penjajahan sampai tumbuhnya semangat kebangsaan

KELAS IXKOMPETENSI INTI 3 (PENGETAHUAN)

KOMPETENSI INTI 4(KETERAMPILAN)

3. Memahami pengetahuan (faktual, konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata

4. Mencoba, mengolah, dan menyaji dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori.

KOMPETENSI DASAR KOMPETENSI DASAR3.1Menelaah perubahan keruangan dan

interaksi antarruang negara-negara Asia dan benua lainnya yang diakibatkan faktor alam, manusia dan pengaruhnya terhadap keberlangsungan kehidupan manusia dalam ekonomi, sosial,

4.1Menyajikan hasil telaah tentang perubahan keruangan dan interaksi antarruang negara-negara Asia dan benua lainnya yang diakibatkan faktor alam, manusia dan pengaruhnya terhadap

21

pendidikan dan politik keberlangsungan kehidupan manusia dalam ekonomi, sosial, pendidikan dan politik

3.2 Menganalisis perubahan kehidupan sosial budaya Bangsa Indonesia dalam menghadapi arus globalisasi untuk memperkokoh kehidupan kebangsaan

4.2Menyajikan hasil analisis tentang perubahan kehidupan sosial budaya Bangsa Indonesia dalam menghadapi arus globalisasi untuk memperkokoh kehidupan kebangsaan

3.3Menganalisis ketergantungan antarruang dilihat dari konsep ekonomi (produksi, distribusi, konsumsi, harga, pasar) dan pengaruhnya terhadap migrasi penduduk, transportasi, lembaga sosial dan ekonomi, pekerjaan, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat

4.3Menyajikan hasil analisis tentang ketergantungan antarruang dilihat dari konsep ekonomi (produksi, distribusi, konsumsi, harga, pasar) dan pengaruhnya terhadap migrasi penduduk, transportasi, lembaga sosial dan ekonomi, pekerjaan, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat

3.4Menganalisis kronologi, perubahan dan kesinambungan ruang (geografis, politik, ekonomi, pendidikan, sosial, budaya) dari awal kemerdekaan sampai awal reformasi

4.4 Menyajikan hasil analisis kronologi, perubahan dan kesinambungan ruang (geografis, politik, ekonomi, pendidikan, sosial, budaya) dari awal kemerdekaan sampai awal reformasi

E. Pembelajaran IPS dalam Paradigma Pendidikan Emansipatoris

Pernyataan yang terdapat pada Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Permendikbud Nomor 58 Tahun 2014 yakni “Landasan Psikopedagogik Kurikulum adalah Pedagogik Transformatif” menggugah kesadaran untuk memaparkan makna di balik pernyataan itu dengan satu tujuan semua guru IPS memahami makna pernyataan itu. Apa yang harus terselami oleh guru IPS tentang pedagogik transformative. Ini adalah sebuah pertanyaan mendasar yang jawabannya dipaparkan dalam tulisan ini. Apakah paradigma tersebut ada kaitannya dengan pembelajaran emansiopatoris dan berpikir kritis ? Apakah ada kaitannya dengan pergeseran pembelaran dari 3R ke 4C ? Mohon disimak tulisan di bab ini.

Paradigma Pendidikan EmansipatorisParadigma pendidikan yang dibutuhkan adalah pendidikan yang membebaskan manusia untuk selalu sadar akan dirinya dan tidak teralienasi (keterasingan) dari masyarakat dan dunianya. Sebuah proses pendidikan yang tidak mengasingkan peserta didik dari realitas sosialnya, bukan sebaliknya pendidikan yang malah menjauhkan manusia atau peserta didik dari kenyataan hidup yang ada. Paradigma pendidikan transformatif kiranya signifikan dengan harapan tersebut. Pendidikan transformatif mengarahkan manusia senantiasa menyadari bahwa dirinya sedang mengalami transformasi terus-menerus (learning to be) dan untuk selalu “menjadi sesuatu” (becoming to) .

Problem Possing Education atau pendidikan hadap-masalah, juga signifikan dengan asa pendidikan yang memanusiakan manusia. Pendidikan ini dikembangkan agar peserta didik mampu memahami realitas sosial senyatanya. Lewat problem possing education peserta didik senantiasa dibenturkan dengan problem-problem konkrit dan aktual yang

22

ada, untuk selanjutnya peserta didik berupaya menganalisis menggunakan berdasarkan pisau analisis atau sudut pandang yang sesuai guna ditemukannya pemecahan yang komprehensif.

Model pembelajaran emansipatoris diaksentuasikan pada pembelajaran berpusat pada peserta didik. Model pembelajaran ini memfokuskan eksplorasi kehidupan makhluk sadar, memusatkan perhatian pada siswa sebagai subjek dan menandaskan pentingya keterlibatan siswa sebagai subjek dalam pengalaman kemanusiaannya. Model pembelajaran emansipatoris adalah model pembelajaran yang menekankan bahwa eksistensiku sebagai subjek berkesadaran.

Mengadopsi pemikiran Sartre (1963) tentang dunia kesadaran manusia, model pembelajaran berpusat pada siswa merupakan kerangka konseptual pembelajaran untuk mengembangkan kesadaran reflektif siswa. Model pembelajaran yang mengembangkan kemampuan reflection in action, konseptualisasi, memecahkan masalah, membuat keputusan, berpikir kritis, dan berpikir kreatif. Model pembelajaran ini tak sekedar siswa terbiasa, tetapi siswa yang bisa (mampu). Model pembelajaran yang tak sekedar membentuk kebiasaan, tetapi model pembelajaran yang “membisakan”. Pembisaan bukan kebiasaan mekanis. Pembisaan adalah kebiasaan berkesadaran reflektif suatu kesadaran yang membuat kesadaran yang tidak-disadari (pra-reflektif) menjadi kesadaran yang disadari. Dalam kesadaran reflektif, siswa merefleksikan apa yang disadarinya.

Model pembelajaran emansipatoris adalah model pembelajaran yang mengarahkan siswa pada objek yang dipelajari, kemudian siswa memahami diri dan tindakan belajarnya dengan kesadaran reflektif. Siswa merefleksikan apa yang diperbuatnya dalam belajar, siswa memahami makna dari tindakan-tindakan belajarnya dan membawanya ke pemahaman tentang dirinya. Dengan kesadaran reflektifnya, siswa mampu menjadikan dirinya tidak hanya sebagai makhluk yang larut dalam objek yang dipelajari, tetapi menyadari mengapa dirinya menanggapai suatu objek yang dipelajarinya itu dan mengabaikan yang lain. Model pembelajaran emansipatoris mengembangkan kesadaran pra-reflektif menjadi kesadaran reflektif.

Berpikir KritisMenurut Zamroni dan Mahfudz (2009)11 ada empat  cara meningkatkan keterampilan berpikir kritis yaitu dengan: (1) model pembelajaran tertentu, (2) pemberian tugas  mengkritisi buku, (3) penggunaan cerita, (4) penggunaan   model pertanyaan Socrates.

Keterampilan berpikir kritis dapat ditingkatkan dengan model pembelajaran. Namun demikian, tidak semua model pembelajaran secara otomatis dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis. Hanya model pembelajaran tertentu yang akan meningkatkan keterampilan berpikir kritis. Model pembelajaran yang dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis mengandung tiga proses, yakni (a) penguasaan materi, (b) internalisasi, dan (c) transfer materi pada kasus berbeda. Penguasaan siswa atas materi, dapat cepat atau lambat dan dapat dalam atau dangkal.

11Zamroni  & Mahfudz .(2009)..Panduan Teknis Pembelajaran Yang Mengembang-kan Critical Thinking. Jakarta. Depdiknas.hlm 30

23

Kecepatan atau kelambatan dan kedalaman atau kedangkalan penguasaan materi oleh siswa sangat tergantung pada cara guru melaksanakan proses pembelajaran, termasuk penggunaan model pembelajaran yang sesuai dengan karakter materi pembelajaran.

Model pembelajaran emansipatoris adalah sebuah keharusan untuk menguatkan posisi manusia sebagai khalifah di muka bumi yang diperintahkan oleh Allah SWT senantiasa berpikir dan menggunakan akal. Berpikir kritis adalah sebuah kodrat bagi manusia, tugas pendidikan adalah mengembangkan kemampuan ini.

Pengertian berpikir kritis dikemukakan oleh banyak pakar. Gunawan (2003)12

menyatakan keterampilan berpikir kritis adalah kemampuan berpikir pada level yang kompleks dan menggunakan proses analisis dan evaluasi. Berpikir kritis melibatkan keahlian berpikir induktif seperti mengenali hubungan, menganalisis masalah yang bersifat terbuka, menentukan sebab dan akibat, membuat kesimpulan dan memperhitungkan data yang relevan. Berpikir kritis juga melibatkan keahlian berpikir deduktif melibatkan kemampuan memecahkan masalah bersifat spasial, logis silogisme dan membedakan fakta dan opini. Keahlian berpikir kritis lainnya adalah kemampuan mendeteksi bias, melakukan evaluasi , membandingkan dan mempertentangkan.

Rahmat (2010)13 mengemukakan berpikir kritis (critical thinking) sinonim dengan pengambilan keputusan (decision making), perencanaan strategis (strategic planning), proses ilmiah (scientific process), dan pemecahan masalah (problem solving).   Ruland, Judith (2003)) menyatakan “Critical thinking is the art of thinking about thinking while thinking to make thinking better. Critical thinking is reasonable, reflective thinking, focused on deciding what to believe or do.14  

Menurut Tuanakota (2011) berpikir kritis adalah proses intelektual berdisiplin yang secara aktif dan cerdas mengkonseptualisasikan, menerapkan, menganalisis, mensintesekan, dan/atau mengevaluasi informasi yang dikumpulkan, atau dihasilkan melalui observasi, pengalaman, refleksi (perenungan kembali), nalar, atau komunikasi sebagai panduan mengenai apa yang dipercaya dan tindakan yang diambil.

Dimensi berpikir kritis menurut Rubenfeld dan Scheffer (2006) ada tujuhbelas yaitu: 1) menganalisis, 2) menerapkan standar, 3) mendiskriminasi, 4) mencari informasi, 5) membuat alasan logis, 6) memprediksikan, 7) mentransformasikan pengetahuan, 8) percaya diri, 9) perspektif kontekstual, 10) fleksibilitas, 11) kreativitas, 12) rasa ingin tahu, 13) integritas intelektual, 14) intuisi, 15) berpikiran terbuka, 16) tekun, dan 17) refleksi.15

Komponen berpikir kritis adalah interpretation, analysis, evaluation, inference, explanation, dan self-regulation. Halpern (1989) membuat taksonomi ketrampilan

12 Gunawan, Adi W. (2003). Genius Learning Strategy Petunjuk Praktis untuk Menerapkan Accelarated Learning. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. Hlm 177-178

13Rahmat. (2010). Pengukuran Ketrampilan Berpikir Kritis. (Online),hlm 114 Ruland, Judith P. 2003. Critical Thinking Standards University of Central Florida.

Faculty Centre. hlm 10-1115Rubenfeld, M. Gaie dan Scheffer, Barbara K. (2006). Critical Thinking Tactics for

Nurses. Jones and barlett Publishers, Inc.hlm 22-23

24

berpikir kritis, yaitu: verbal-reasoning skills, argument-analysis skills, thinking skills, decision-making and problem-solving skills.16

Berpikir kritis dicirikan oleh kemampuan analisis yaitu kemampuan menguraikan suatu materi menjadi komponen-komponennya sehingga struktur organisasinya mudah dipahami. Ketrampilan ini antara lain mengidentifikasi bagian-bagian suatu informasi, menganalisis hubungan antar bagian, dan mengenali prinsip organisasi yang ada di dalamnya. Kemampaun sintesis adalah kemampuan mengintegrasikan beberapa informasi sehingga membentuk hal baru. Kemampuan evaluasi adalah kemampuan memberikan penilaian terhadap materi sesuai tujuan yang telah ditentukan. Penilaian dilakukan dengan memberi batasan kriteria yang digunakan, kriteria internal atau ekternal yang sesuai dengan tujuan.

Berfikir kritis adalah cara berfikir reflektif, beralasan, berfokus pada keputusan apa yang dilakukan atau diyakini. Berpikir kritis adalah proses mengaplikasikan, menghubungkan, menciptakan, atau mengevaluasi informasi yang dikumpulkan secara aktif dan trampil. Berpikir kritis merupakan proses yang penuh makna untuk mengarahkan dirinya sendiri dalam membuat suatu keputusan. Proses tersebut memberikan berbagai alasan sebagai pertimbangan menentukan bukti, konteks, konseptualisasi, metode dan kriteria yang sesuai.

Karakter individu yang mendukung seseorang dapat berpikir kritis seperti yang dikutip oleh Duldt-Battey (1997) antara lain truth seeking, open-mindness, analyticity, systematicity, self-confidence, inquisitiveness, dan maturity.17

Karakter orang berpikir kritis adalah truth seeking yaitu selalu ingin menemukan kebenaran dari masalah yang sedang dihadapi, berani mengajukan pertanyaan, jujur dan memberikan pandangan secara objektif meskipun penemuan tersebut tidak mendukung kepentingan atau pendapatnya. Open mindness adalah bertenggang rasa terhadap perbedaan pandangan dan bisa menerima jika dirinya mengetahui ada penyimpangan dari pandangannya. Analicity yaitu selalu memberikan alasan lewat bukti-bukti dalam memecahkan masalah, serta memberikan perkiraan kemungkinan adanya kesulitan-kesulitan untuk menerapkan konsep dan secara konsisten siap berpartisipasi jika dibutuhkan. Systematicity adalah teratur, terorganisir, memusatkan perhatian, dan rajin meninjau ulang. Self-confidence adalah percaya diri terhadap keputusannya secara positif dan mempengaruhi orang lain untuk memecahkan masalah secara rasional. Inquisitiveness/Sceptical yaitu tidak mudah percaya secara intelektual dan memiliki kemauan belajar. Maturity yakni melihat masalah, mengkaji, dan mengambil keputusan dengan pemahaman mendalam bahwa suatu masalah memungkinkan dapat ditangani dengan lebih dari 1 solusi yang rasional, dan berkali-kali melakukan pertimbangan sesuai standar, konteks, serta melihat bukti-bukti sebelum memastikan.

16 Halpern, Diane F. (1989). Thought and knowledge: An introduction to critical thinking (2nd ed.). Hillsdale, NJ, England: Lawrence Erlbaum Associates, Inc. xvii 517 pp

17 Duldt-Battey, BW, (1997), Coaching Winners: How to Teach Critical Thinking in Critical Thinking across the Curriculum Project, Miouri: Longview Community. Lee’s Summit

25

Kecakapan berpikir kritis meliputi a) Interpretasi, adalah memahami dan mengekspresikan makna atau signifikan dari berbagai macam pengalaman, situasi, data, kejadian-kejadian, penilaian, kebiasaan atau adat, kepercayaan-kepercayaan, aturan-aturan,prosedur atau kriteria-kriteria ; b) Analisis, adalah mengidentifikasi hubungan-hubungan inferensional yang dimaksud dan aktual diantara pernyataan-pernyataan, pertanyaanpertanyaan, konsep-konsep, deskripsi-deskripsi ; c) Evaluasi, adalah menaksir kredibilitas pernyataan-pernyataan atau representasi-representasi yang merupakan laporan-laporan atau deskripsi-deskripsi dari persepsi, pengalaman, penilaian, opini dan menaksir kekuatan logis dari hubungan-hubungan inferensional atau dimaksud diantara pernyataan-pernyataan, deskripsi-deskripsi, pertanyaan-pertanyaan atau bentuk-bentuk representasi lainnya ; d) Inferensi, mengidentifikasi dan memperoleh unsur-unsur yang masuk akal, membuat dugaan-dugaan dan hipotesis, dan menyimpulkan konsekuensikonsekuensi dari data ; e) Penjelasan, mampu menyatakan hasil-hasil dari penjelasan seseorang, mempresentasikan penalaran seseorang dalam bentuk argumen-argumen yang kuat ; f) Regulasi diri, berarti secara sadar diri memantau kegiatan-kegiatan kognitif seseorang, unsur-unsur yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan tersebut dan hasil-hasil yang diperoleh, terutama dengan menerapkan kecakapan-kecakapan di dalam analisis dan evaluasi untuk penelitian penilaian inferensial sendiri dengan memandang pada pertanyaan, konfirmasi, validitas atau mengoreksi baik penalarannya atau hasil-hasilnya.

Berpikir kritis dilandasi oleh nilai intelektual universal yaitu standardisasi yang diaplikasikan dalam berpikir yang digunakan untuk mengecek kualitas pemikiran merumuskan masalah, isu-isu, atau situasi-situasi tertentu. Berpikir kritis selalu mengacu pada nilai intelektual universal. Merujuk Ennis RH (Eider dan Paul, 2001)18 nilai-nilai yang dimaksud adalah

a. Clarity (kejelasan)Kejelasan dapat ditelusuri dengan mengembangkan pertanyaan: "Dapatkah permasalahan yang sulit dijelaskan sampai tuntas?"; "Dapatkah dijelaskan permasalahan itu dengan cara yang lain?"; "Berikanlah ilustrasi dan contoh-contoh!". Pernyataan yang jelas adalah pernyataan yang dipahami.

b. Accuracy (keakuratan, ketelitian, kesaksamaan).Ketelitian atau kesaksamaan sebuah pernyataan dapat ditelusuri melalui pertanyaan: "Apakah pernyataan itu kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan?";

c. Precision (ketepatan)Ketepatan mengacu kepada perincian data pendukung yang sangat detail. Pertanyaan yang bisa dijadikan panduan mengecek ketepatan sebuah pernyataan adalah. "Apakah pernyataan yang diungkapkan sudah sangat terurai?"; "Apakah pernyataan itu telah cukup spesifik?".

d. Relevance (relevansi, keterkaitan)Relevansi bermakna bahwa pernyataan yang dikemukakan berhubungan dengan pertanyaan yang diajukan. Penelusuran keterkaitan dapat diungkap dengan

18Ennis, R.H. (1995). Critical Thinking. University of Illinois

26

pertanyaan: "Bagaimana menghubungkan pernyataan atau respon dengan pertanyaan?"; "Bagaimana hal yang diungkapkan itu menunjang permasalahan?".

e. Depth (kedalaman)Makna kedalaman diartikan sebagai jawaban yang dirumuskan tertuju kepada pertanyaan yang kompleks, Apakah permasalahan dalam pertanyaan diuraikan sedemikian rupa? Apakah telah dihubungkan dengan faktor-faktor yang signifikan terhadap pemecahan masalah?

f. Breadth (keluasan)

Keluasan sebuah pernyataan dapat ditelusuri dengan pertanyaan : Apakah pernyataan itu telah ditinjau dari berbagai sudut pandang?; Apakah memerlukan tinjauan atau teori lain dalam merespon pernyataan yang dirumuskan?

g. Logics (logika) Logika bertemali dengan hal-hal berikut: Apakah pengertian telah disusun dengan konsep yang benar?; Apakah pernyataan yang diungkapkan mempunyai tindak lanjutnya? Bagaimana tindak lanjutnya? Sebelum apa yang dikatakan dan sesudahnya, bagaimana kedua hal tersebut benar adanya? Berpikir logis terjadi ketika berpikir terbawa ke bermacam-macam pemikiran satu sama lain. Ketika berpikir dengan berbagai kombinasi, satu sama lain saling menunjang dan mendukung perumusan pernyataan yang benar. Sebaliknya, ketika berpikir dengan berbagai kombinasi dan satu sama lain tidak saling mendukung maka hal tesebut berpikir tidak logis.

Seseorang yang memiliki keterampilan berpikir kritis akan mendapat banyak manfaat baik dalam lingkup kelas (pembelajaran di sekolah), dalam dunia kerja, maupun dalam hidup bermasyarakat. Bassham et al. (2008) menjelaskan bahwa

Critical thinking is beneficial for many reasons. It can help students do better in school by improving their ability to understand, construct, and criticize arguments. It can help people succed in their careers by improving their ability to solve problems, think creatively, and communicate their ideas clearly and effectively. It can also reduce the likehood of making serious mistakes in important personal decisions, promote democratic processes by improving the quality of public decision making, and liberate and empower individuals by freeing them from the unexamined assumptions, dogmas, and prejudices of their upbringing, their society, and their age.19

Berpikir kritis amat berguna untuk meningkatkan kemampuan memahami, mengkonstruksi dan mengambil keputusan serta membebaskan seseorang dari dogma dan prasangka. Pendapat ini menegaskan pentingnya keterampilan berpikir kritis pada diri seseorang dengan kehidupan di masa yang akan datang.

Menurut Potter, (2010)20 ada tiga alasan keterampilan berpikir kritis diperlukan. Pertama, ledakan informasi. Saat ini terjadi ledakan informasi yang datangnya dari

19 Bassham et al. (2008). Critical Thinking. A Student’s Introduction. Third edition. New York: Mc Graw-Hill International.hlm 2

27

puluhan ribu web mesin pencari di intrnet. Informasi dari berbagai sumber tersebut bisa jadi banyak yang ketinggalan zaman, tidak lengkap, atau tidak kredibel. Untuk dapat menggunakan informasi ini dengan baik, perlu dilakukan evaluasi terhadap data dan sumber informasi tersebut. Kemampuan untuk mengevalusi dan kemudian memutuskan untuk menggunakan informasi yang benar memerlukan keterampilan berpikir kritis. Oleh karena itu keterampilan berpikir kritis sangat perlu dikembangkan pada siswa. Kedua, tantangan global. Saat ini terjadi krisis global yang serius, terjadi kemiskinan dan kelaparan di mana-mana. Untuk mengatasi kondisi yang krisis ini diperlukan penelitian dan pengembangan keterampilan-keterampilan berpikir kritis.  Ketiga, perbedaan pengetahuan warga negara. Sejauh ini mayoritas orang di bawah  25 tahun sudah bisa meng-online-kan berita mereka. Beberapa informasi yang tidak dapat diandalkan dan bahkan mungkin sengaja menyesatkan, termuat di internet. Supaya siswa tidak tersesat mengambil informasi yang tersedia begitu banyak, maka perlu dilakukan antisipasi. Siswa perlu dilatih mengevaluasi keandalan sumber web sehingga tidak akan menjadi korban informasi yang salah atau bias.

Kemampuan berpikir kritis siswa perlu dikembangkan demi keberhasilannya dalam pendidikan dan kehidupan bermasyarakat. Keterampilan berpikir kritis dapat dikembangkan atau diperkuat, melalui proses pembelajaran. Artinya, di samping pembelajaran mengembangkan kemampuan kognitif untuk suatu mata pelajaran tertentu, pembelajaran juga dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa. Tidak semua proses pembelajaran secara otomatis akan mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Hanya proses pembelajaran yang mendorong diskusi  dan banyak memberikan kesempatan berpendapat,  menggunakan gagasan-gagasan, memberikan banyak kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan gagasan-gagasan dalam tulisan, mendorong kerjasama dalam mengkaji dan menemukan pengetahuan, mengembangkan tanggung jawab, refleksi diri dan kesadaran sosial politik, yang akan mengembangkan berpikir kritis siswa. Di samping itu antusiasme guru dan kultur sekolah juga berpengaruh terhadap tumbuhnya keterampilan berpikir kritis siswa.

Dalam bidang pendidikan, berpikir kritis dapat membantu siswa meningkatkan kemampuannya memahami materi yang dipelajari dengan mengevaluasi secara kritis argumen pada buku teks, jurnal, teman diskusi, termasuk argumentasi guru dalam kegiatan pembelajaran. Jadi berpikir kritis dalam pendidikan merupakan kompetensi yang akan dicapai serta alat yang diperlukan untuk mengkonstruksi pengetahuan. Berpikir yang ditampilkan dalam berpikir kritis sangat tertib dan sistematis. Berpikir kritis merupakan salah satu proses berpikir tingkat tinggi yang dapat digunakan untuk pembentukan sistem konseptual siswa. Selain itu berpikir kritis siswa dapat dikembangkan melalui pemberian pengalaman bermakna. Pengalaman bermakna yang dimaksud dapat berupa kesempatan berpendapat secara lisan maupun tulisan seperti seorang ilmuwan Kesempatan bermakna tersebut dapat berupa diskusi yang muncul dari pertanyaan-pertanyaan divergen atau masalah tidak terstruktur, serta kegiatan praktikum yang menuntut pengamatan terhadap gejala atau fenomena yang akan menantang kemampuan berpikir siswa.

20 Potter, Mary Lane .(2010)  From Search to Research:Developing Critical Thinking Through Web Research Skills© 2010 Microsoft Corporation. hlm 6

28

Pelangi Pengetahuan dan KeterampilanDavid H. Pink dalam buku A Whole New Mind : Moving from the Information Age to the Conceptual Age, 2005, berpendapat bahwa abad ke-21 sudah bukan lagi jaman informasi (information age), tetapi sudah memasuki jaman konsep atau (conceptual age). Trilling dan Fadel (2009) menyebut Abad ke-21 sebagai Century Knowledge-Skills Rainbow.

Abad ke-21 memiliki banyak perbedaan dengan abad ke-20 dalam berbagai hal, di antaranya adalah pekerjaan, hidup bermasyarakat dan aktualisasi diri. Abad ke-21 ditandai oleh perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat serta otomasi dimana banyak pekerjaan yang sifatnya pekerjaan rutin dan berulang-ulang mulai digantikan oleh mesin, baik mesin produksi maupun komputer. Namun, beberapa pekerjaan tetap tidak tergantikan oleh mesin yaitu pekerjaan yang menuntut adanya pemikiran pakar (expert thinking) dan komunikasi yang kompleks. Grafik di bawah ini menunjukkan bahwa kebutuhan sumber daya manusia untuk hal-hal rutin semakin menurun dari tahun ke tahun. Sebaliknya, kebutuhan kecakapan berfikir dan komunikasi yang kompleks semakin naik [Trilling, 2009]. Hal ini mengakibatkan perubahan paradigma tentang kacakapan yang diperlukan di masa depan.

Sumber: Trading (2009)

Di abad ke-21 pendidikan menjadi semakin penting untuk menjamin peserta didik memiliki keterampilan belajar dan berinovasi, keterampilan menggunakan teknologi dan media informasi, serta bisa bekerja, dan bertahan dengan menggunakan keterampilan untuk hidup (life skills).

Pada skema yang dikembangkan oleh PARTNERSHIP FOR 21st CENTURY LEARNING yang dikenal dengan Framework for 21st Centruy Learning menyebutkan capaian pembelajaran abad ke-21 meliputi keterampilan (1) life and career skills, (2) learning and innovation skills, (3) information media and technology skills.

1. Life and Career skills (keterampilan hidup dan berkarir). Keterampilan ini meliputi

29

a. Fleksibilitas dan adaptabilitas. Siswa mampu mengadaptasi perubahan dan fleksibel dalam belajar dan berkegiatan dalam kelompok

b. Inisiatif dan regulasi diri. Siswa mampu mengelola tujuan dan waktu, bekerja secara indipenden dan menjadi siswa yang dapat mengatur diri sendiri.

c. Interaksi sosial dan antar budaya. Siswa mampu berinteraksi dan bekerja secara efektif dengan kelompok yang beragam.

d. Produktivitas dan akuntabilitas. Siswa mampu mengelola projek dan menghasilkan produk.

e. Kepemimpinan dan tanggung jawab. Siswa mampu memimpin dan bertanggungjawab kepada masyarakat luas.

2. Learning and Innovation Skills (Keterampilan Belajar dan berinovasi). Keterampilan ini meliputia. Berpikir kritis dan memecahkan masalah. Siswa mampu menggunakan

berbagai alasan seperti induktif atau deduktif untuk berbagai situasi, menggunakan cara berpikir sistem, membuat keputusan, dan memecahkan masalah.

b. Komunikasi dan berkolaborasi. Siswa mampu berkomunikasi dengan jelas dan melakukan kolaborasi dengan anggota kelompok lainnya.

c. Kreativitas dan inovasi. Siswa mampu berpikir kreatif, bekerja secara kreatif dan menciptakan inovasi baru

3. Information media and Technology skills (Keteramplan teknologi dan Media Informasi). Keterampilan ini meliputia. Literasi informasi. Siswa mampu mengakses informasi secara efektif (sumber

informasi) dan efisien (waktunya), mengevaluasi informasi yang akan digunakan secara kritis dan kompeten, menggunakan dan mengelola informasi secara akurat dan efektif untuk mengatasi masalah.

b. Literasi media. Siswa mampu memilih dan mengembangkan media yang digunakan untuk berkomunikasi.

c. Literasi ICT. Siswa mampu menganalisis media informasi dan menciptakan media yang sesuai untuk melakukan komunikasi.

Framework ini menyajikan pandangan holistik mengenai pengajaran dan pembelajaran abad ke-21 yang menggabungkan outcome yang diharapkan dari siswa (perpaduan keterampilan khusus, pengetahuan, keahlian dan literasi) dengan sistem pendukung yang inovatif untuk membantu siswa menguasai kemampuan multi-dimensi yang diperlukan dari mereka di abad ke-21.

Mewujudkan capaian pembelajaran abad ke-21 membawa konsekwensi pada pembelajaran. Guru dituntut merubah mindset mengajar dari 3R menjadi 4 C (Critical thinking and problem solving, Communication skills, Colaboration Skill, dan Creative Thinking and Innovation). Pendekatan sainstifik merupakan salah satu alternatif untuk mengembangkan 4 C.

30

Pendekatan saintifik diadaptasi dari konsep Inovator’s DNA (Dyer, et al., 2009) yang menyatakan bahwa seseorang memiliki karakteristik sebagai inovator jika memiliki kemampuan untuk mengasosiasikan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya (associating), bertanya tentang hal-hal yang belum pernah ada atau belum pernah dilakukan (questioning), melakukan pengamatan lingkungan sekelilingnya (observing), membuat jejaring untuk memperoleh hasil yang lebih baik (networking) dan melakukan eksperimen untuk mencapai inovasi (experimenting)..

a. Associating, atau kemampuan untuk menghubungkan sesuatu yang kelihatannya tidak memiliki keterhubungan masalah, pertanyaan, atau gagasan dari berbagai aspek yang berbeda.

b. Questioning yaitu kemampuan untuk bertanya tentang sesuatu hal yang berkaitan dengan banyak masalah relevan dengan desain.

c. Observing. Pengamatan akan membantu menemukan kedalaman gagasan dan menemukan hal baru untuk melakukan sesuatu.

d. Networking. Inovator meluangkan banyak waktu untuk menemukan sesuatu yang baru, mengujinya melalui jejaring yang berbeda, baik individual atau kelompok yang memiliki latar belakang yang berbeda. Dalam pembelajaran, siswa diajak untuk mengembangkan jejaring melalui jejaring sosial di internet, kelompok kerja, kelompok diskusi, atau kelompok lain yang dapat memotivasi mereka untuk meningkatkan pengetahuannya tentang desain.

e. Experimenting. Dalam pembelajaran, siswa diajak untuk melakukan eksperimen desain.

Pendekatan saintifik yang digunakan dalam pembelajaran dikemas secara berurutan, menjadi (1) mengamati (observing), (2) menanya (questioning), (3) menalar (associating), (4) mencoba (experimenting) dan (5) membuat jejaring (networking). Langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan sainstifik seperti pada tabel di bawah ini

LANGKAH PEMBELAJARAN

KEGIATAN BELAJAR

KOMPETENSI YANG DIKEMBANGKAN

Mengamati Membaca, mendengar, menyimak, melihat (tanpa atau dengan alat)

Melatih kesungguhan, ketelitian, mencari informasi

Menanya Mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati (dimulai dari pertanyaan faktual sampai ke

Mengembangkan kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuan merumuskan pertanyaan untuk membentuk pikiran kritis yang perlu untuk hidup cerdas dan belajar sepanjang hayat

31

pertanyaan yang bersifat hipotetik)

Mengumpulkan informasi/ eksperimen

melakukan eksperimen membaca sumber lain selain buku teks mengamati objek/ kejadian/aktivitas wawancara dengan nara sumber

Mengembangkan sikap teliti, jujur,sopan, menghargai pendapat orang lain, kemampuan berkomunikasi, menerapkan kemampuan mengumpulkan informasi melalui berbagai cara yang dipelajari, mengembangkan kebiasaan belajar dan belajar sepanjang hayat.

Mengasosiasikan/ mengolah informasi

mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari hasil kegiatan mengumpulkan/eksperimen mau pun hasil dari kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi. Pengolahan informasi yang dikumpulkan dari yang bersifat menambah keluasan dan kedalaman sampai kepada pengolahan informasi yang bersifat mencari solusi dari berbagai sumber yang memiliki pendapat yang berbeda sampai kepada yang bertentangan

Mengembangkan sikap jujur, teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras, kemampuan menerapkan prosedur dan kemampuan berpikir induktif serta deduktif dalam menyimpulkan .

Mengkomunikasikan Menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya

Mengembangkan sikap jujur, teliti, toleransi, kemampuan berpikir sistematis, mengungkapkan pendapat dengan singkat dan jelas, dan mengembangkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar.

Pergeseran mindset pembelajaran juga harus berlaku pada beberapa praktik pembelajaran di mana praktik pembelajaran lama harus diseimbangkan dengan pembelajaran baru.

32

Beberapa hal yang perlu diseimbangkan diperlihatkan pada gambar di bawah ini (Triling, 2009).

Teacher-directed Learner-centeredDirect instruction Interactive exchange

Knowledge SkillsContent Process

Basic skills Applied skillsFacts and principles Questions and problems

Theory PracticeCurriculum ProjectsTime-sloted On-demand

One-Size-Fits-all PersonalizedCompetitive CollaborativeClassroom Global communityText based Web based

Summative test Formative evaluationsLearning for school Learning for life

A New Balance

Dalam pembelajaran lama, praktik pembelajaran lebih banyak condong kepada bagian kiri yang dalam pembelajaran sekarang sudah kurang sesuai. Pada pembelajaran baru harus diseimbangkan antara bagian kiri dan bagian kanan. Misalnya, selama ini guru yang mendominasi pembelajaran harus mulai menyeimbangkan dengan memberdayakan siswa untuk lebih aktif.

Tuntutan kompetensi yang dbutuhkan d abad ke-21 berimplikasi terhadap proses pembelajaran, diantaranya yaitu:

1. Mendukung keseimbangan penilaian: tes standar serta penilaian formatif dan sumatif.

2. Menekankan pada pemanfaatan umpan balik berdasarkan kinerja peserta didik3. Membolehkan pengembangan portofolio siswa4. Menciptakan latihan pembe-lajaran, dukungan SDM dan infrastruktur5. Memungkinkan pendidik untuk berkolaborasi, berbagi pengalaman dan

integrasinya di kelas6. Memungkinkan peserta didik untuk belajar yang relevan dengan konteks dunia 7. Mendukung perluasan keterlibatan komunitas dalam pembelajaran, baik

langsung maupun online

Guru dapat membuat siswa berani berperilaku kreatif melalui:

33

a. Tugas yang tidak hanya memiliki satu jawaban tertentu yang benar [banyak/semua jawaban benar]

b. Mentoleransi jawaban yang unik/kreatifc. Menekankan pada proses bukan hanya hasil sajad. Memberanikan siswa mencoba, untuk menentukan sendiri yang kurang

jelas/lengkap informasinya, untuk memiliki interpretasi sendiri terkait dengan pengetahuan atau kejadian yang diamatinya

e. Memberikan keseimbangan antara yang terstruktur dan yang spontan/ekspresif

Fenomenologi dan Konstruksi Sosial: Ke arah Pembelajaran IPS BermaknaFenomenologi dan konstruksi sosial memberikan akses pemikiran tentang hubungan antara subjek dan objek. Kedua konsep tersebut memberikan posisi penting subjek dalam pembentukan pengetahuan yaitu otonomi subjek dalam membentuk pengetahuan. Pengetahuan manusia tidak ditentukan oleh objek, tetapi subjek yang menghasilkan pengetahuan itu.

Fenomenologi menempatkan peran individu sebagai pemberi makna. Fenomenologi beraksentuasi pada gagasan tentang manusia secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Interpretasi adalah proses aktif dan tindakan kreatif menuju pemaknaan. Dalam perspektif fenomenologi manusia adalah insan yang memiliki kapabilitas menciptakan makna bagi dunianya karena manusia merupakan kesatuan fisik dan mental. Dengan kemampuan yang dimilikinya itu manusia mendefinisikan dan memberikan makna pada dunia. Hal penting dari fenomenologi adalah objek dan peristiwa dilihat dalam perspektif manusia itu sendiri. Tidak ada ”dunia riil” yang ada sebelumnya yang bebas dari kegiatan mental manusia. Apa yang disebut “dunia” adalah hasil dari pikiran-pikiran di mana prosedur simbolisnya menyusun dunia dengan menafsirkan, mengatur, dan mengubah pandangan-pandangan dunia sebelumnya sehingga membentuk simbol-simbol baru.

Konstruksi sosial memberikan gagasan kreatif terhadap dunia pendidikan IPS. Selama ini ada anggapan yang menyatakan bahwa banyak orang telah terjebak menjadi korban dari masyarakatnya. Orang hanya dilahirkan di sebuah masyarakat dan kemudian terpenjara dan dikendalikan oleh masyarakat itu. Individu terpenjara oleh masyarakatnya. Masyarakat termasuk salah satu pilarnya adalah institusi pendidikan telah menjelma menjadi dinding penjara bagi anggota masyarakatnya. Masyarakat mengawasi individu dengan ketat. Gagasan kritis dari konstruksi sosial adalah masyarakat termasuk dunia pendidikan harus bisa dihadapi agar tidak menjadi penekan kebebasan, oleh karena itu jangan hanya jadikan masyarakat termasuk di dalamnya institusi pendidikan sebagai unsur dan bagian internal dalam subjektivitas individu, tetapi institusi pendidikan juga ditempatkan sebagai bagian atau unsur eksternal kepribadian atau subjektivitas individu. Bukan hanya masyarakat ada dan menekan serta menjadi konstrain dalam diri individu, namun diri individu juga harus ada dan membentuk masyarakat.

Implikasi dari konstruksi sosial pada dunia pendidikan IPS adalah pendidikan ini hendaknya memfokuskan hubungan intersubjektif masing-masing individu dengan dunia sekolah di mana individu-individu mengikuti pembelajaran. Individu memang harus

34

menjadikan apa yang diberikan sekolah untuk diinternalisasi oleh siapa saja yang terlibat di dalamnya, namun individu tersebut selalu saja membawa persepsi, konsep diri dan konstruk subjektifnya tentang apa saja yang ditemukan di sekolah.

Dialektika eksternalisasi, objektivasi, internalisasi dalam konstruksi sosial merupakan aktivitas belajar sebagai peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral meskipun hal-hal yang bersifat behavioral lebih tampak hampir dalam setiap belajar. Berdasarkan mainstraim pemikiran konstruksi sosial maka perilaku individu bukan semata-mata respon terhadap yang ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya. Belajar adalah proses mental yang aktif untuk mencapai, mengingat, dan menggunakan pengetahuan. Belajar merupakan gejala perseptual. Tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak. Konstruksi sosial menekankan belajar sebagai proses internal. Belajar merupakan aktivitas yang melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks.

Menurut Maliki (2008 : 240) ”fenomenologi dan konstruksi sosial memberikan keutamaan terhadap konsep diri, konstruk dan makna yang dibangun oleh individu”. Pemikiran tersebut menunjukkan bahwa fenomenologi dan konstruksi sosial memberikan keterarahan pembelajaran IPS seharusnya diarahkan kepada pengalaman dan aktivitas siswa. Strategi pembelajaran ditekankan pada inquiry learning. Dalam inquiry learning siswa belajar dengan bahan dan ide-ide, menemukan hubungan antar materi dan ide-ide tersebut. Siswa juga dapat menerapkan pendekatan pemecahan masalah. Dalam konteks ini, guru sebagai fasilitator tugasnya adalah menyedikan fasilitas siswa untuk melakukan penemuan dengan cara mengembangkan sumber-sumber penugasan yang sesuai dengan kegiatan dan pengorganisasian kelas yang tepat.

Matapelajaran IPS mempunyai keutamaan atau uregensi dengan fungsi sekolah sebagai konservatori dan transmisi kultural dan pembentuk manusia sosial. Relevansi antara matapelajaran IPS dan fungsi sekolah tersebut dapat dilihat dari tujuan pendidikan IPS. Tujuan pendidikan IPS diarahkan pada orientasi pemikiran bahwa pendidikan IPS merupakan ”pedagogik kritis”, bukan ”pedagogik dogmatis”. Istilah pedagogik kritis digunakan untuk mengungkapkan suatu makna bahwa pedagogik lahir dan berkembang oleh pikiran kritis. Pendidikan ini beraksentuasi pada upaya pedagogis mengembangkan kesadaran akan identitas diri sendiri yang memiliki nilai-nilai budaya serta simbol kehidupan. Seseorang yang mempunyai identitas atau jatidiri mampu memilah-milah apa yang datang dari luar apakah sesuai dan dapat diterima oleh jatidiri atau pengaruh dari luar tersebut harus ditolak. Dalam konteks pedagogik kritis, pendidikan IPS seharusnya mengembangkan kemampuan siswa untuk menyatakan dirinya sebagai subjek dalam dunia sosio-kulturalnya. Pendidikan IPS mengembangkan kemampuan eksistensial siswa dalam kehidupan sosialnya. Pendidikan IPS mengembangkan kemampuan siswa sebagai diri (self) yang mampu menyatakan dunia eksistensinya dalam dialektika diri dan dunia sosial. Tilaar (2011 : 5) menyebutnya sebagai ’conscientizacao’ sebagaimana istilah Freire. Jadi, pendidikan IPS adalah proses penyadaran diri.

Pemikiran Berger tentang konstruksi sosial yang menyatakan bahwa masyarakat sebagai kenyataan objektif, sekaligus sebagai kenyataan subjektif memberikan arti penting bagi pendidikan IPS. Masyarakat adalah produk individu sehingga menjadi kenyataan objektif melalui proses eksternalisasi-objektivasi dan individu juga produk masyarakat melalui

35

proses internalisasi menujukkan bahwa manusia mempunyai kapabilitas berpikir untuk menjadikan realitas objektif dalam kesadaran-kesadaran subjektif. Bagi pendidikan IPS hal tesebut penting. Pendidikan IPS sebagai studi sosial atau sebagai kajian yang berhubungan dengan kehidupan sosial mendorong kemampuan siswa berpikir kritis. Menurut Filsaime (2008 : 56) ”berpikir kritis berarti membuat penilaian-penilaian atau evaluasi yang masuk akal”. Pemikiran Berger mengenai konstruksi sosial memberikan pijakan akademik urgensi pembelajaran IPS berbasis konstruktivistik baik konstruktivistik psikologis personal (Piaget) maupun konstruktivistik sosio-kultural (Vygotsky). Menurut Suparno (1997 : 43) ”Konstruktivisme psikologis personal menekankan aktivitas individual dalam pembentukan pengetahuan. Konstruktivisme sosio-kultural berfokus pada hubungan dialektika individu dengan masyarakat dalam membentuk pengetahuan”. Menurut Yamin (2008 : 11) “paradigma konstruktivistik melandasi timbulnya strategi kognitif yaitu keterampilan yang dimiliki oleh siswa dalam mengatur dan mengontrol proses berpikirnya. Strategi kognitif meliputi empat keterampilan yaitu pemecahan masalah, pengambilan keputusan, berpikir kritis, dan berpikir kreatif”

Konstruksi sosial dari Berger, konstruktivisme psikologis personal dari Piaget, dan konstruktivisme sosio-kultural dari Vygotsky ketiganya mempunyai kesamaan. Ketiganya mempunyai aksentuasi terhadap sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya. Individu kemudian membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihat itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya.

Dialektika eksternalisasi, objektivasi, internalisasi dalam konstruksi sosial dari pemikiran Berger memiliki pararelisme dengan pemikiran Piaget tentang adaptasi intelektual. Menurut Suparno (1997 : 30 -31) adaptasi intelektual adalah

Proses yang melibatkan skemata, asimilasi, akomodasi, dan equilibration. Skemata adalah struktur kognitif berupa ide, konsep, gagasan. Asimilasi ialah proses perubahan apa yang dipahami sesuai dengan struktur kognitif (skemata) yang ada sekarang. Asimilasi adalah proses pengintegrasian informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimiliki oleh individu. Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi baru. Equilibration adalah pengaturan diri secara mekanis untuk mengatur keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi.

Skemata merupakan prior knowledge sebagai struktur kognitif atau kategori. Dalam konteks pemikiran kontruksi sosial Berger, skemata itu terbentuk melalui proses sosialisasi yang dialami individu.

Dalam sosialisasi individu melakukan penyesuaian diri dengan dunia sosialnya yaitu masyarakat sebagai realitas objektif. Dengan kata lain skemata terbentuk dalam ekternalisasi dan objektivasi. Asimilasi adalah proses kognitif pengintegrasian persepsi, konsep, maupun pengalaman baru ke dalam skemata atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya. Akomadasi adalah pemodifikasian skemata yang ada sehingga cocok dengan stimulus yang baru. Asimilasi dan akomodasi pada konstruksi sosial Berger terjadi pada sosialisasi sekunder yang pada akhirnya proses ini menghasilkan equilibirasi pengetahuan. Pengetahuan yang dihasilkan tersebut merupakan skemata yang terkonstruksi, jadi bukan tiruan dari kenyataan dunia yang ada. Menurut Dahar (1989 :

36

160) “equilibirasi pengetahuan ini bukan homeostasis atau kembali ke keadaan equilibirium sebelumnya. Equilibiriumnya merupakan proses kontruktif”. Skemata atau dalam pemikiran Berger sebagai realitas sosial objektif yang terkonstruksi dalam kesadaran subjektif individu dibentuk oleh pengalaman sepanjang waktu. Skemata tersebut menunjukkan taraf pengertian dan pengetahuan seseorang sekarang tentang dunia sekitarnya.

Konstrukitvisme memberi penekanan kepada proses membina pengetahuan, sikap dan keterampilan melalui proses psikis yang aktif. Ilmu pengetahuan dibina ke dalam struktur kognitif tersebut berdasarkan hasil pengalaman siswa dengan lingkungan. Struktur pengetahuan ini kadang-kadang menjadi penghalang yang kuat kepada pembelajaran dan perubahan konseptual siswa. Menurut perspektif konstruktivis, pembelajaran bermakna adalah dibina di dalam diri siswa daripada pengalaman pancainderanya setelah berinteraksi dengan lingkungan. Siswa akan bertindak sesuai dengan pengalaman-pengalaman pancaindera dengan cara membinanya, maka skema atau struktur kognitif akan membentuk makna dan mendorong pemahaman secara permanen. Konstruktivisme menekankan kontribusi siswa dalam memberikan makna. Makna itu adalah makna partisipan yakni siswa melakukan konstruk melalui proses partisipasi dalam kehidupannya.

Berbeda dengan behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistis antara stimulus dan respon. Baharuddin (2007 : 115) mengemukakan bagi konstruktivistik belajar adalah “kegiatan manusia membangun atau mencipta pengetahuan dengan cara mencoba memberi makna pengetahuan sesuai pengalamannya”. Belajar adalah upaya individu membangun pengetahuan sedikit demi sedikit, yang kemudian hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep-konsep atau kaidah yang siap untuk diambil atau diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

Dalam perspektif konstruktivistik guru tidak serta merta memindahkan pengetahuan kepada siswa dalam bentuk yang serba sempurna. Dengan kata lain, siswa harus membangun suatu pengetahuan itu berdasarkan pengalamannya masing-masing. Guna membantu siswa membina konsep atau pengetahuan dan keterampilan baru, guru harus memperkirakan struktur kognitif yang ada pada siswa. Apabila pengetahuan baru telah disesuaikan dan diserap untuk dijadikan sebagian daripada pegangan kuat siswa, barulah kerangka baru tentang sesuatu bentuk ilmu pengetahuan dapat dibina. Melalui model konstruktivisme ini, diharapkan pembelajaran dapat memberi peluang kepada siswa untuk meramalkan secara bebas dan terbuka segala pengetahuan setelah proses pembelajaran berlangsung.

Pembelajaran yang mengacu kepada konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalamannya. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuannya.

Pemikiran kaum konstruktivis merupakan kritik terhadap proses pembelajaran IPS yang selama ini banyak diaksentuasikan pada belajar sebagai perolehan pengetahuan. Model pembelajaran tersebut didasari pemikiran behavioristik. Pembelajaran IPS dalam perspektif behavioristik merupakan belajar sebagai proses transplantasi pengetahuan

37

yang pengembangannya berdasarkan pendekatan ekspositori. Somantri (2001 : 39) menyatakan ”pendekatan ekspositori sangat menguasai keseluruhan belajar-mengajar. Kalaupun ada diskusi dalam proses belajar mengajar, hal itu tidak ada hubungannya dengan prosedur berpikir ilmuwan sosial”.

Dalam paradigma behavioristik, fokus pembelajaran terletak pada guru dan materi sehingga siswa cenderung pasif. Meminjam istilah Freire pembelajaran IPS seperti itu sebagai pemodelan banking concept of education. Pembelajaran itu digambarkan oleh Freire (1999 : 11) sebagai proses antagonisme sebagai berikut

(1) Guru mengajar, peserta didik belajar ; (2) Guru tahu segalanya, peserta didik tidak tahu apa-apa ; (3) guru berpikir, peserta didik dipikirkan ; (4) guru bicara, peserta didik mendengarkan ; (5) guru mengatur, peserta didik diatur ; (6) guru memilih dan memaksakan pilihannya, peserta didik menuruti ; (7) guru bertindak, peserta didik membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya ; (8) guru memilih apa yang akan diajarkan, peserta didik menyesuaikan diri ; (9) guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya dan mempertentangkannya dengan kebebasan peserta didiknya ; (10) guru adalah subjek proses belajar, peserta didik objeknya.

Pembelajaran IPS model banking concept of education, masih didasari oleh pandangan klasik dan kepercayaan bahwa jika seseorang mempunyai IQ tinggi maka orang tersebut akan sukses dalam hidup sehingga pengukuran IQ sejak lama sekali menajadi salah satu ukuran terpenting dalam menentukan kemungkinan sukses seseorang. Dalam kenyataannya seperti sekarang ini dapat dilihat bahwa orang ber IQ tinggi belum tentu sukses dan hidup bahagia. Pendekatan dominan dalam pembelajaran IPS untuk pengembangan hal tersebut adalah ekspositori dengan maksud agar siswa memperloleh pengetahuan sebanyak-banyaknya dan dapat mengerjakan tes tertulis. Teori inteligensi ganda yang dikembangkan Gardner menjadi pijakan atas pilihan kreatif mengembangkan pembelajaran IPS berbasis konstruktivistik. Menurut Suparno (2002 : 17) intelegensi diartikan ”sebagai kemampuan untuk memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam suatu latar yang bermacam-macam dan dalam situasi yang nyata”.

Dalam pembelajaran IPS berbasis konstruktivistik, siswa belajar dengan mengembangkan struktur kognitifnya yang kompleks, mengembangkan skemata berpikir terutama menggunakan informasi dan pengatahuan baru untuk meraih kemajuan. Siswa belajar berinteraksi dengan lingkungannya. Siswa menghubungkan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan informasi dan pengetahuan yang sedang dipelajarinya untuk mengkonstruk pemahaman dan pengetahuan baru.

Menurut Santrock (2007 : 391) “asumsi pembelajaran konstruktivistik sosial adalah situated cognition sebagai konsep yang menjelaskan bahwa pemikiran selalu ditempatkan (disituasikan) dalam konteks sosial dan fisik, bukan dalam pikiran seseorang”. Pembelajaran IPS berbasis konstruktivistik melibatkan siswa dalam proses sosial yang dijalani dan dialami siswa-siswa untuk memahami dan merefleksikan diri dan pikirannya pada kehidupan masyarakat di mana siswa menjadi bagian terintegrasi

38

dari masyarakat melalui upayanya mempelajari secara langsung kehidupan di masyarakatnya.

Konsep situated cognition yang dikembangkan dalam pembelajaran konstruktivistik menekankan pengetahuan dilekatkan dan dihubungkan pada konteks di mana pengetahuan tersebut dikembangkan. Jika demikian maka masuk akal untuk menciptakan situasi pembelajaran IPS yang semirip mungkin dengan situasi dunia riil. Hal ini berarti konstruktivistik memberikan arah pemikiran pentingnya pembelajaran berbasis kontekstual. Suparno (1997 : 46) menyatakan bahwa “konstruktivisme bersifat kontekstual”. Siswa selalu membentuk pengetahuannya dalam situasi dan konteks yang khusus.

Johnson (2002 : vii) menyatakan yang dimaksud dengan pengajaran dan pembelajaran kontekstual (CTL) adalah “…a system of instruction based on the philosophy that students learn when they see meaning in academic material, and they see meaning in schoolwork when they can connect new information with prior knowledge and their own experience”. CTL adalah suatu sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila siswa menangkap makna dalam materi akademis yang diterimanya, dan siswa menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jika siswa mampu menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah dimiliki sebelumnya.

Pembelajaran kontekstual merupakan konsep yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Pembelajaran kontekstual merupakan prosedur pembelajaran yang bertujuan membantu siswa memahami makna bahan pelajaran yang dipelajarinya dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan siswa sendiri dalam lingkungan sosial dan budaya masyarakat. Essensi pembelajaran kontekstual adalah siswa tidak hanya belajar untuk mendapatkan pengetahuan tetapi siswa juga belajar mendapatkan pengalaman sebagai pengetahuan bermakna bagi kehidupannya. Pembelajaran kontekstual merupakan proses belajar yang menekankan pada penggalian makna maupun aktivitas pemaknaan pengetahuan. Johnson (2002 : 24) menyatakan

Contextual teaching and learning enables students to connect the content of academic subjects with the immediate context of their daily lives to discover meaning. It enlarges their personal context, furthermore, by providing students with fresh experiences that stimulate the brain to make new connection and, consequently, to discover new meaning.

CTL memungkinkan siswa mampu menghubungkan isi dari pokok-pokok bahasan yang dipelajarinya dengan konteks kehidupan kesehariannya untuk menemukan makna. Hal itu memperluas makna konteks pribadinya, kemudian dengan memberikan pengalaman-pengalaman baru yang menstimuli otak membuat hubungan-hubungan baru, guru membantu siswa menemukan makna baru.

Pembelajaran kontekstual melibatkan siswa secara pribadi dalam pengalaman belajarnya. Dalam pembelajaran kontekstual pengetahuan harus ditemukan siswa sendiri agar siswa memiliki makna atau dapat membuat distingsi berbagi perilaku yang dipelajarinya.

39

Dengan pembelajaran kontektual siswa harus memiliki komitmen terhadap belajar dan berusaha secara aktif untuk mencapainya.

Pembelajaran kontekstual memungkinkan siswa dalam belajarnya membuat hubungan bermakna. Siswa mengidentifikasi hubungan yang menghasilkan pemahaman-pemahaman baru. Siswa dapat mentargetkan pencapaian standar akademik yang tinggi. Berdasarkan prinsip itu pula siswa harus bekerjasama menemukan persoalan, merancang rencana, dan mencari pemecahan masalah. Bekerjasama akan membantu siswa mencapai keberhasilan, mengingat setiap siswa mempunyai kemampuan berbeda dan unik. Jika hal tersebut dikolaborasikan dan kooperatif maka akan tersusun menjadi sesuatu yang lebih besar daripada sekedar penjumlahan dari bagian-bagian itu sendiri.

Pembelajaran kontekstual yang menekankan pada pencarian makna melalui koneksitas antara materi yang dipelajari dengan kehidupan di sekitarnya memberikan pengalaman kepada siswa tentang adanya diferensiasi. Diferensiasi ini merujuk pada entitas-entitas yang beranekaragam dari realitas kehidupan di sekitar siswa. Keanekaragaman mendorong siswa berpikir kritis menemukan hubungan di antara entitas-entitas yang beranekaragam itu. Siswa dapat memahami makna bahwa perbedaan itu rahmat.

Pembelajaran kontekstual juga mencakup aspek pengaturan diri. Hal ini mendorong pentingnya siswa mengeluarkan seluruh potensi yang dimilikinya. Ketika siswa menghubungkan materi akademik dengan konteks keadaan pribadinya, siswa terlibat dalam kegiatan yang mengandung prinsip pengaturan diri. Siswa menerima tanggung jawab atas keputusan dan perilakunya sendiri, memilih alternatif, membuat pilihan, mengembangkan rencana, menganalisis informasi dan secara kritis menilai bukti.

Pembelajaran kontekstual memusatkan pada bagaimana siswa mengerti makna dari apa dipelajarinya, apa manfaatnya, bagaimana mencapainya dan bagaimana siswa mendemonstrasikan hal yang telah telah dipelajarinya. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran kontekstual tidak hanya berorientasi pada pencapaian standar akademik tetapi pembelajaran tersebut juga beraksentuasi pada pencapaian standar performa. Mulyasa (2003 : 24) menyatakan

Standar akademik merefleksikan pengetahuan dan keterampilan essensial setiap disiplin ilmu yang harus dipelajari oleh seluruh peserta didik. Standar performa ditunjukkan dalam bentuk proses atau hasil kegiatan yang didemonstrasikan oleh peserta didik sebagai penerapan dari pengetahuan dan keterampilan yang telah dipelajarinya.

Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran autentik (real world learning, bukan artifisal. Pembelajaran autentik dimaksudkan sebagai pembelajaran yang mengutamakan pengalaman nyata, pengetahuan bermakna dalam kehidupan, dekat dengan kehidupan nyata. Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran aktif. Pembelajaran ini berpusat pada keaktifan siswa mengkonstruksi pengetahuan. Belajar merupakan aktivitas penerapan pengetahuan, bukan menghafal. Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang mengembangkan level kognitif tingkat tinggi. Pembelajaran ini melatih siswa berfikir kritis dan kreatif dalam mengumpulkan data, memahami suatu issue, dan memecahkan masalah. Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang memusatkan pada proses dan hasil, sehingga assesmen dan evaluasi memegang peran penting untuk mengetahui pencapaian standar akademik dan standar performa atau

40

kinerja. Berbagai strategi penilaian dipergunakan untuk merefleksi proses dan hasil pembelajaran.

Strategi pembelajaran merupakan kegiatan yang dipilih yang dapat memberikan fasilitas atau bantuan kepada siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Strategi berupa urut-urutan kegiatan yang dipilih untuk menyampaikan metode pembelajaran dalam lingkungan tertentu. Strategi pembelajaran mencakup juga pengaturan materi pembelajaran yang akan disampaikan kepada siswa. Menurut Center for Occupational Research and Development (CORD) (Depdiknas, 2002 : 20) penerapan strategi pembelajaran kontekstual digambarkan ebagai berikut:

Relating, belajar dikaitkan dengan konteks pengalaman kehidupan nyata. Experiencing, belajar adalah kegiatan ”mengalami”, peserta didik berproses secara aktif dengan hal yang dipelajari dan melakukan eksplorasi, menemukan dan menciptakan hal baru dari apa yang dipelajarinya. Applying, belajar mendemonstrasikan pengetahuan dan pemanfaatannya. Cooperating, belajar berkelompok. Transferring, belajar menekankan kemampuan memanfaatkan pengetahuan dalam situasi atau konteks baru.

Pembelajaran kontruktivistik dan pembelajaran kontekstual memiliki kaitan erat. Kedunya menekankan pembelajaran bersifat generatif yaitu tindakan menciptakan suatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon. Kontruktivisme dan kontekstual lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan baru, apa yang dilalui dalam kehidupan manusia selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme dan kontekstual mempunyai beberapa konsep umum di antaranya adalah siswa aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada. Dalam konteks pembelajaran, siswa membina sendiri pengetahuannya. Pembinaan pengetahuan dilakukan secara aktif oleh siswa melalui proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru. Siswa membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.

Berkaitan dengan pembelajaran konstruktivistik dan kontekstual sebagai model pembelajaran yang menekankan hubungan siswa dengan lingkungan belajarnya, maka model pembelajaran tersebut mempunyai karakteristik sebagai berikut (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skema sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis. Dari pemikiran konstruktivistik dan kontekstual dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada

41

diri siswa dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.

42