module-10-2011

6
SOSIOLOGI PERTANIAN: Pasca Revolu si Hijau di Pedesaan Jawa Timur Lambang Triyono Lab. Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Email : l!"b#a$#i Tujuan Pembelajaran 1. Penda hul uan 2. Teknol ogi , Sur plu s Pro duksi dan Konsolidasi Kekuasaan 3.  Berbagai Pergeseran Pekerjaan Pertanyaan Diskusi Tujuan Pembelajara n Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa akan mampu : 1 Me nj el as ka n di mensi apa saja (cul tura l, struct ur al , inte ra ksio na l) yang  berubah karena pembangunan pertanian ( revolusi h ijau). Menjelaskan proses perubahan masyarakat desa karena !actor  pembangunan pertanian (revolusi hijau). " Menjelaskan kemana arah perubahan social yang terjadi akibat  pembangunan pertanian (revolusi hijau) tersebut. # Menj ela skan da mpak posit i! dan negat ive dari pembang unan pertanian (revolusi hijau) tersebut. 1. Pendahul uan Wal aupu n pand anga n kla sik Ric ardi an men yata kan bahwa adap tasi tekn ologi ber sifat netral skala, tapi ter bukt i dari penel iti an di Jawa Timur ini ,  persebaran teknologi makin mengukuhkan kesenjangan sosial. Konsolidasi  penguasaan sawah dan kekuasaan di desa merupakan penyebab utama. Meskipun perubah an sosi al yang terj adi buk anlah pel apisan melainkan  polarisasi sosial karena integrasinya dengan perekonomian nasional. Sejak pembangunan pertanian mulai digenarkan ke daerah pedesaan pada tahun 1!"#$an. Ter dapa t dua pandangan yang ber tol ak bel akang sat u sama lain dalam melihat bagaimana pembangunan pertanian mempengar uhi perubahan sosial di pedesaan ja%a. Pandangan pertama melihat persebaran teknol ogi pertanian modern ke daerah pedesaan selama ini telah mening katkan  jumlah buruh tani tak bertanah sehingga mendorong terjadinya polarisasi sosial. Sebaliknya, pandangan kedua melihat persebaran teknologi pertanian modern  justru telah menghasilkan pemerataan ekonomi sehingga tidak menimbulkan polari sasi. &elainkan justru memper banyak subkelas petani dan mendor ong pel ipatgandaan lapisa n peta ni dal am str uktu r ber spektr um kontinum atau strati'ikasi. %& MODUL

Upload: akbar-saitama-umar

Post on 17-Oct-2015

19 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Mata Kuliah / Materi Kuliah

SOSIOLOGI PERTANIAN:

Pasca Revolusi Hijau di Pedesaan Jawa TimurLambang TriyonoLab. Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas BrawijayaEmail : [email protected]

Tujuan Pembelajaran 1. Pendahuluan 2. Teknologi, Surplus Produksi dan Konsolidasi Kekuasaan3. Berbagai Pergeseran Pekerjaan

Pertanyaan Diskusi

Tujuan Pembelajaran

Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa akan mampu :

1Menjelaskan dimensi apa saja (cultural, structural, interaksional) yang berubah karena pembangunan pertanian ( revolusi hijau).

2Menjelaskan proses perubahan masyarakat desa karena factor pembangunan pertanian (revolusi hijau).

3Menjelaskan kemana arah perubahan social yang terjadi akibat pembangunan pertanian (revolusi hijau) tersebut.

4Menjelaskan dampak positif dan negative dari pembangunan pertanian (revolusi hijau) tersebut.

1. PendahuluanWalaupun pandangan klasik Ricardian menyatakan bahwa adaptasi teknologi bersifat netral skala, tapi terbukti dari penelitian di Jawa Timur ini, persebaran teknologi makin mengukuhkan kesenjangan sosial. Konsolidasi penguasaan sawah dan kekuasaan di desa merupakan penyebab utama. Meskipun perubahan sosial yang terjadi bukanlah pelapisan melainkan polarisasi sosial karena integrasinya dengan perekonomian nasional.

Sejak pembangunan pertanian mulai digencarkan ke daerah pedesaan pada tahun 1970-an. Terdapat dua pandangan yang bertolak belakang satu sama lain dalam melihat bagaimana pembangunan pertanian mempengaruhi perubahan sosial di pedesaan jawa. Pandangan pertama melihat persebaran teknologi pertanian modern ke daerah pedesaan selama ini telah meningkatkan jumlah buruh tani tak bertanah sehingga mendorong terjadinya polarisasi sosial. Sebaliknya, pandangan kedua melihat persebaran teknologi pertanian modern justru telah menghasilkan pemerataan ekonomi sehingga tidak menimbulkan polarisasi. Melainkan justru memperbanyak subkelas petani dan mendorong pelipatgandaan lapisan petani dalam struktur berspektrum kontinum atau stratifikasi.

Makalah ini merupakan ringkasan hasil penelitian yang secara khusus dimaksudkan untuk mempersoalkan kembali perbedaan pandangan tersebut. Penelitian ini pada dasarnya dilakukan untuk menjawab dua persoalan pokok berikut. Pertama, bagaimana sebenarnya pembangunan pertanian mempengaruhi dinamika perubahan masyarakat desa. Kedua, kearah mana proses perubahan masyarakat desa jawa sekarang?.

Teknologi, Surplus Produksi dan Konsolidasi Kekuasaan

Memasuki masa pasca revolusi hijau, desa-desa di Jawa umumnya telah mengalami perubahan yang semakin mendalam. Perubahan itu terutama disebabkan oleh semakin merasuknya proses birokratisasi dan kapitalisasi produksi pertanian ke dalam masyarakat desa. Seperti kita ketahui, program-program pembangunan pertanian selama ini secara penuh disalurkan lewat jalur kelembagaan birokrasi desa dan kapitalisasi produksi pertanian ke dalam masyarakat desa. Seperti kita ketahui, program-program pembangunan pertanian selama ini secara penuh disalurkan lewat jalur kelembagaan birokrasi desa di bawah pengawasan dan kendali langsung dari pemimpin formal desa. Sebagai akibatnya kita lihat nanti, meskipun jalur birokrasi itu secara efektif dapat bekerja cepat menyebarluaskan pemakaian teknologi tetapi tidak bisa dihindari kemajuan ekonomi yang ditimbulkannya telah menciptakan konsolidasi struktural sehingga lambat laun mempertajam kesenjangan masyarakat desa.

Di atas kenyataan inilah perubahan sosial di desa penelitian menemukan bentuknya. Penelitian ini dilakukan di desa Bajang, sebuah desa pedalaman Jawa terletak di wilayah Kabupaten Ponorogo, Propinsi Jawa Timur. Tepatnya, desa ini terletak di 14 kilometer sebelah Selatan kota Ponorogo. Apabila diletakkan dalam pembagian wilayah menurut Geertz, desa ini masuk dalam kawasan kejawen atau desa asli yang punya ciri sebagai desa agraris dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi.

Dilihat dari kemajuan pertaniannya, desa ini boleh dikatakan telah memasuki pasca revolusi hijau. Menurut keterangan kepala desa, sejak tahun 1960-an (lewat sudah diperkenalkan program padi sentra dan program Bimas) bibit unggul, pupuk kimia dan pestisida sudah diperkenalkan kepada penduduk. Ketiga jenis teknologi tersebut semakin tersebar luas setelah dilaksanakannya program Inmas, insus, dan supra insus yang berjalan hingga sekarang. Berkat teknologi modern tersebut sekarang di desa ini sudah banyak ditemui teknik-teknik produksi baru seperti, mesin perontok dan rice mills pada pasca panen. Secara akumulatif, semua itu telah memperbesar skala perubahan masyarakat desa menjadi semakin meluas dan dinamis.

Berbeda dengan kedua pandangan di muka, penelitian ini menemukan kenyataan bahwa di atas jalur birokrasi yang efektif ternyata persebaran teknologi pertanian modern lebih bersifat netral-skala. Berbagai jenis teknologi dapat diterima dan dipergunakan secara merata oleh petani dari berbagai kategori luas usaha tani. Bahkan dalam hal intesitasnya petani berlahan sempit lebih intensif dalam menggunakan teknologi dibanding petani berlahan luas. Lihat Tabel 11.1

Tabel 11.1 Rata-rata Penggunaan Pupuk modern dan pestisida menurut golongan luas penguasaan sawah. Rumah tangga sampel di desa Bajang. 1988

Golongan Luas (hektar)Penggunaan pupuk rata-rata per hektarPenggunaan pestisida rata-rata per hektar

Urea (kg)TSP (kg)(liter)

0,50328,8

367,3

348,5144,6

190,2

149,12,24

2,60

1,95

Meskipun demikian, bukan berarti terjadi pemerataan ekonomi. Penelitian ini menemukan, bahwa kendati persebaran teknologi bersifat netral skala tapi hasilnya menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi tetap saja terjadi. Ini terbukti dari kenyataan bahwa struktur pemilikan dan penguasaan sawah di desa penelitian mengalami polarisasi, di mana distribusi pemilikan dan penguasaan sawah memperlihatkan ketimpangan ekonomi tetap saja terjadi. Ini terbukti dari kenyataan bahwa struktur pemilikan dan penguasaan sawah di desa penelitian mengalami proses polarisasi, di mana distribusi pemilikan dan penguasaan sawah memperlihatkan ketimpangan yang cukup tajam, lihat tabel 11.2.

Tabel 11.2. Presentase distribusi pemilikan dan penguasaan sawah rumahtangga sampel desa bajang. 1988.Golongan LuasPemilikanPenguasaan

Rumah tanggaSawahRumah tanggaSawah

0,00

0,01 0,20

0,21 0,50

0,51 1,00

>1,0044,44

19,19

15,15

11,11

10,100

6,07

9,86

21,29

62,8620,20

30,30

26,26

17,17

6,060

7,05

20,54

34,67

37,73

Sumber : data primer

Catatan : Indeks gini pemilikan sawah 0,759

Indeks gini penguasaan sawah 0,672

Bagaimana kita harus menjelaskan kenyataan ini? Kembali ke persoalan di muka, hal ini bisa dijelaskan sebagai konsekuensi logis dari menigkatnya surplus produksi dan terjadinya penyesuaian-penyesuaian struktural sebagai akibat dari perluasan pemakaian teknologi pertanian modern. Sebagaimana kita ketahui, teknologi pertanian modern merupakan jenis teknologi yang sangat efisien dan produktif. Persebaran yang berarti dari teknologi semacam ini akan mendorong kemajuan ekonomi dan menciptakan surplus ekonomi yang selanjutnya menumbuhkan kekuasaan ekonomi baru yang mempengaruhi perubahan struktur masyarakat desa yang terjadi di desa penelitian ini bukanlah perkecualian. Terciptanya surplus dan muncuknya kekuasaan ekonomi itu telah menciptakan kelas-kelas ekonomi baru dalam masyarakat, yang pada gilirannya menjalar mempengaruhi kehidupan struktur sosial politik masyarakat desa. Ini terbukti dari kenyataan terjadinya proses konsolidasi kekuasaan ekonomi yang kurang lebih mengikuti urutan proses kejadian berikut.

Pertama-tama konsolidasi tanah pertanian itu semula bertumpu dari perbedaan penguasaan sawah yang tak bisa dielakkan di antara anggota masyarakat desa. Sebagai sumber ekonomi terpenting bagi masyarakat desa. Sebagai sumber ekonomi terpenting bagi masyarakat desa tentu saja hal itu berpengaruh pada perbedaan pendapatan ekonomi rumahtangga. Petani yang menguasai sawah yang luas cenderung memperoleh hasil produksi yang besar. Sementara petani yang menguasai sawah sempit memperoleh hasil ekonomi yang relative sedikit (r= 0,7132/P = 0,000).

Selanjutnya peningkatan pendapatan ekonomi ini mempengaruhi berbagai kawasan atau dimensi kehidupan sosial. Meningkatnya pendapatan sebagai akibat kemajuan teknologi yang dinamis kemudian menciptakan surplus ekonomi sehingga mengembangkan perilaku ekonomi masyarakat untuk mengkonsumsi benda-benda materi di luar kebutuhan konsumsi pokok. Sejalan dengan sifat-sifat masyarakat pra kapitalis umumnya yang seringkali memperlakukan kekayaan sebagai ekspresi kehormatan sosial.3 Maka perilaku demikian akan membawa perubahan gaya hidup dan menumbuhkan mobilitas status yang kemudian menjadi dasar bagi terbentuknya pelapisan sosial yang baru. Hal ini mendorong kelas ekonomi kaya dan berkecukupan cenderung menduduki status sosial yang tinggi dan sebaliknya kelas ekonomi miskin cenderung menduduki tempat yang kurang terhormat atau berstatus rendah (r= 0,5631/ P= 0,000).

Di samping mengembangkan gaya hidup gengsi dan kehormatan sosial, peningkatan pendapatan ekonomi dapat pula menjadi sarana efektif untuk memperoleh kekuasaan. Di samping karena efek kekayaan itu sendiri terhadap kehormatan, barang dan jasa yang melekat dalam kekayaan itu juga dapat dijadikan dasar kewenangan untuk mempengaruhi tindakan sosial. Kejadian ini kurang lebih sama dengan penolakan aspek kewenangan yang diperoleh karena ancaman hukuman atau legitimasi politik. Meskipun dengan cara yang halus kekuasaan yang dimiliki oleh capital ini ternyata cukup efektif untuk memperoleh kewenangan dalam kekuasaan.4

Penelitian ini menemukan bahwa sarana ekonomi seseorang dapat digunakan untuk memperoleh kesempatan duduk dalam lembaga birokrasi desa. Dalam hal pemilihan kepala desa menunjukkan nahwa sistem pembagian uang dan kesejahteraan sangat menentukan jadi tidaknya seseorang menjadi kepala desa. Ada semacam persyaratan tak tertulis bahwa sang kepala desa yang sekarang terpilih sangat dimungkinkan karena mampu bersikap royal dengan membagi uang dan kesejahteraan, sehingga mempunyai peluang yang besar untuk dipilih. Penerimaan anggota masyarakat terhadap aturan main demikian menunjukkan bahwa masyarakat desa ternyata berwatak kapitalis. Demikian pula yang terjadi di LKMD dan LMD, sebagian besar anggotanya merupakan golongan kelas ekonomi kaya dan berkecukupan. Sementara kelas ekonomi rendah cenderung memiliki jabatan yang rendah atau tidak menjabat sama sekali. Disini lembaga birokrasi desa telah dijadikan arena oleh kelompok-kelompok ekonomi kaya untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Pelaksanaan program pembangunan pertanian yang bertumpu pada jalur kepemimpinan formal sangat

3. Lihat Robert L Heilbroner, Hakekat dan Logika Kapitalisme (Jakarta: LP3ES, 1991. Hal 20-28)

4. Lihat Peter L. Berger, Revolosi Kapitalis, (Jakarta: LP3ES, 1990. Hal 77-86)memungkinkan tumbuh suburnya aliansi birokrasi dengan kelas ekonomi.

Sampai disini kita menyaksikan dimensi kekuasaan dalam masyarakat akhirnya memegang peranan penting dalam menentukan distribusi surplus ekonomi masyarakat.5 Di atas konsolidasi kekuasaan ekonomi bini kita saksikan berbagai tekanan untuk mendapatkan tanah tetap ada dan distribusi pemilikan serta penguasaan tanah tetap timpang walaupun pada dasarnya persebaran teknologi itu merata atau sama-sama menguntungkan baik petani bertanah luas maupun petani bertanah sempit.

Tidak jarang ditemukan, di atas kewenangan kekuasaan ini mereka yang di dalam birokrasi desa untuk melayani kepentingan mereka secara organisatoris melalui lembaga birokrasi desa untuk melayani kepentingan mereka. Misalnya setiap ada penjualan tanah dari penduduk akan selalu jatuh kepadanya, karena bagaimanapun proses penjualan tanah harus memenuhi persyaratan administrative sehingga selalu ada di bawah control birokrasi ini.

Berbagai Pergeseran Pekerjaan

Melihat kecenderungan di atas apakah berarti perubahan masyarakat desa Jawa sekarang menuju ke polarisasi? Untuk mengatakan demikian kita harus ekstra hati-hati sebab masih ada faktor lain yang belum kita perhitungkan, yaitu pengaruh ekonomi luar pertanian terhadap perekonomian rumah tangga petani. Ini penting karena perkembangan sumber keonomi luar pertanian dapat menjadi tumpuan atau katub penyelamat bagi kelompok petani miskin yang telah tergeser dari pertanian sehingga bisa mencegah terjadinya polarisasi sosial. Perkembangan dimungkinkan lebih-lebih bila mengingat bahwa kebijakan pemerintah membangun sector non pertanian di pedesaan seperti proyek inpres desa,bangdes, proyek padat karya, dan berkembangnya kegiatan perdagangan di pedesaan telah menumbuhkan sumber-sumber ekonomi baru bagi masyarakat desa.

Tetapi penting untuk diperhatikan, bagaimanapun pergeseran pekerjaan ke luar pertanian itu sangatlah ditentukan oleh kondisi-kondisi sosial ekonomi yang dibawa dari sector pertanian. Seperti telah disebutkan dimuka, pembanguna pertanian selama ini telah menempatkan kekuasaan ekonomi anggota masyarakat dalam ketimpangan yang cukup berarti. Berpijak dari kondisi demikian maka sangat dimungkinkan hal itu akan menimbulkan pola pergeseran pekerjaan yang berbeda di antara berbagai kelas. Perbedaan itu terutama bersumber dari arti pentingnya penguasaan seseorang atas kekuasaan ekonomi dalam masyarakat. Perbedaan penguasaan sumber ekonomi akan menentukan tinggi rendahnya kemampuan mengendalikan dan menguasai sumber ekonomi dalam pasar, yang selanjutnya menimbulkan perbedaan penguasaan sumber ekonomi luar pertanian,

Pertanyaan Diskusi

1Dimensi apa saja (cultural, structural, interaksional) yang mengalami perubahan karena pembangunan pertanian ( revolusi hijau)?.Jelaskan!

2Bagaimana proses perubahan masyarakat desa terjadi karena factor pembangunan pertanian (revolusi hijau)? Uraikan secara sistematis dan jelas.

3Bagaimana arah perubahan social yang terjadi akibat pembangunan pertanian (revolusi hijau) tersebut?. Uraikan secara sistematis dan jelas.

4Sebutkan dan jelaskan dampak positif dan negative dari pembangunan pertanian (revolusi hijau) tersebut.

MODUL

10

SELF-PROPAGATING ENTREPRENEURIAL EDUCATION DEVELOPMENT (SPEED)

Page 4 of 6