module-9-2011

36
SOSIOLOGI PERTANIAN: Konflik Tanah di Jenggawah Moch. Nurhasim Lab. Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Email : [email protected] Tujuan Pembelajaran 1. Pendahuluan 2. Kerangka Teoritik Konflik 3. Struktur Sosial dan Asal Usul Konflik Tanah Jenggawah 4. Pergolakan Petani Jenggawah 1969-1995 5. Tipologi Kelompok-Kelompok yang Berkonflik 6. Pola Penyelesaian Konflik 7. Kesimpulan Pertanyaan Diskusi Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa akan mampu : 1 Mampu menjelaskan latar belakang terjadinya konflik tanah di Jenggawah, Jember. 2 Mampu menjelaskan tipologi konflik yang terjadi di Jenggawah. 3 Mengidentifikasi dan menjelaskan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik di Jenggawah. 4 Menjelaskan pola (mekanisme) penyelesaikan konflik tanah di Jenggawah( pendekatan yang ditempuh dan proses yang berlangsung dalam penyelesaian konflik) 5 Menjelaskan potensi konflik muncul kembali di kemudian hari dari hasil penyelesaian konflik tersebut. 1. Pendahuluan Fenomena yang menonjol pada masyarakat petani di pedesaan adalah masalah yang selalu berkaitan dengan tanah. Konflik yang terjadi di pedesaan pada umumnya melibatkan “sumber utama” ini, sebagai satu-satunya tempat berpijak dan penentu hidup-matinya masyarakat pedesaan. Studi ini ingin melihat sisi konflik tanah di Jenggawah, Jember, Jawa Timur yang memfokuskan pada konflik antara petani-PTP-negara, serta kelompok-kelompok lain. Tulisan ini juga menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang latar belakang, siapa yang 9 MODUL

Upload: akbar-saitama-umar

Post on 25-Nov-2015

4 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

modul 99

TRANSCRIPT

Mata Kuliah / Materi Kuliah

SOSIOLOGI PERTANIAN:

Konflik Tanah di JenggawahMoch. NurhasimLab. Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas BrawijayaEmail : [email protected]

Tujuan Pembelajaran 1. Pendahuluan2. Kerangka Teoritik Konflik

3. Struktur Sosial dan Asal Usul Konflik Tanah Jenggawah4. Pergolakan Petani Jenggawah 1969-19955. Tipologi Kelompok-Kelompok yang Berkonflik6. Pola Penyelesaian Konflik7. KesimpulanPertanyaan Diskusi

Tujuan PembelajaranSetelah mempelajari materi ini, mahasiswa akan mampu :

1Mampu menjelaskan latar belakang terjadinya konflik tanah di Jenggawah, Jember.

2Mampu menjelaskan tipologi konflik yang terjadi di Jenggawah.

3Mengidentifikasi dan menjelaskan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik di Jenggawah.

4Menjelaskan pola (mekanisme) penyelesaikan konflik tanah di Jenggawah( pendekatan yang ditempuh dan proses yang berlangsung dalam penyelesaian konflik)

5 Menjelaskan potensi konflik muncul kembali di kemudian hari dari hasil penyelesaian konflik tersebut.

1. Pendahuluan

Fenomena yang menonjol pada masyarakat petani di pedesaan adalah masalah yang selalu berkaitan dengan tanah. Konflik yang terjadi di pedesaan pada umumnya melibatkan sumber utama ini, sebagai satu-satunya tempat berpijak dan penentu hidup-matinya masyarakat pedesaan. Studi ini ingin melihat sisi konflik tanah di Jenggawah, Jember, Jawa Timur yang memfokuskan pada konflik antara petani-PTP-negara, serta kelompok-kelompok lain. Tulisan ini juga menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang latar belakang, siapa yang terlibat, tipologi konflik, strategi yang diterapkan oleh kelompok-kelompok yang berkonflik, dan bagaimana peran negara dalam upaya menyelesaikan konflik.

Tulisan ini disarikan dari draft hasil penelitian yang dibiayai oleh The Toyota Fondation (Yayasan Ilmu-ilmu Sosial) berjudul Konflik Tanah Jenggawah, Studi tentang Proses dan Hambatan Penyelesaian Konflik Tanah di Jenggawah, Kabupaten Jember, Jawa Timur

1. Asumsi ini berdasarkan suatu kondisi struktur sosial di pedesaan yang masih belum terstratifikasi secara rumit, masih didominasi oleh struktur sosial yang sebagian penduduknya hidup berani.

Dinamika masyarakat desa selalu menarik untuk diamati, paling tidak dengan sandaran asumsi bahwa dinamika kehidupan mereka tidak terlepas sama sekali dari dimensi konfliktual. Kecenderungan ini juga dialami oleh struktur masyarakat pedesaan yang mata pencahariannya adalah bertani. Betapun semula sistem sosialnya masih dianggap homogen1, tetapi akibat perubahan sosial2, stuktur petani di Indonesia mengalami pergeseran situasi dan ekologis.3Perubahan itu juga ditandai oleh munculnya pergeseran pemilikan tanah yang terpolarisasi dalam strata yang timpang, perubahan status sosial dan pekerjaan. Dalam konteks yang lebih nyata, perubahan itu pun mendorong munculnya dilemma hubungan antara petani dan tanah yang berafinitas dengan munculnya protes atau konflik pertanahan.

Mengapa tanah menjadi sumber nyata konflik petani? Secara teoritis hal ini tidak lepas dari pertanyaan lain, siapa sebenarnya petani dan bagaimana hubungannya dengan tanah, sehingga tanah dibela mati-matian?

Para ahli, yang pernah melakukan penelitian tentang petani, sepakat menjawab makna khusus tanah bagi petani. Menurut Barrington Moore, hal ini disebabkan pemilikan de facto atas tanah merupakan cirri pokok yang membedakan seorang petani atau tidak. Artinya tanah telah menjadi bagian kehidupan petani yang tidak dapat dipisahkan.4Dari gambaran ini, tanah menjadi soal hidup mati petani, sehingga untuk itu mereka bersedia melakukan apa saja, seperti ungkapan Jawa, sedumuk bathuk senyari bumi, ditohing pecahing dodo lan wutahing ludiro.5 Dari pepatah ini, makna tanah ternyata berafinitas dengan protes petani.Kondisi ini dijelaskan oleh Wolf, karena petani merupakan produsen pertanian dengan penugasan efektif pada tanah,6 mengganggu tanah berarti mengusik statusnya sebagai produsen pertanian, sebagai tulang punggung hidupnya. Apalagi petani dengan tanah dianggap oleh Shanin,7 memiliki kaitan khusus dengan cirri-ciri: bahwa masyarakat petani (1) mempunyai hubungan khusus pdengan tanah dengan cirri spesifik produksi pertanian berakar pada keadaan khusus petani; (2) usaha petani keluarga merupakan satuan dasar pemilikan produksi dan konsumsi serta kehidupan sosial petani; (3) kepentingan pokok pekerjaan dalam menentikan kedudukan sosial; peranan dan kepribadian petani dikenal secara baik oleh masyarakat yang bersangkutan; (4)

2. Berdasarkan studi yang pernah dilakukan sebelumnya, perubahan sosial di pedesaan digerakkan oleh 4 faktor yaitu (1) tekanan penduduk, (2) revolosi hijau, (3) komersialisasi pedesaan, (4) strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi; lihat Ester Boserup, The Condition of Agriculture Growth (Chicago: Aedine, 1965); bandingkan dengan beberapa tulisan lain, misalnya, J.H Booke, dari Empat Juta menjadi Empat Puluh Empat Juta (Jakarta: Bathara,1974) dan I Tubagus Feridhanustyawan, Perubahan Struktur Pertanian Indonesia, dalam Artikel CSIS XIX. No.2 Maret-April 19903. Pergeseran situasi ini oleh Booke ditandai dengan masih kuatnya dualism ekonomi. James C. Scott melihatnya sebagai subsitensi ekonomi dan Geertz menggambarkannya sebagai berbagi kemiskinan dan involosi pertanian; lihat D H Burger, Perubahan-perubahan Struktur dalam Masyarakat Jawa (Jakarta; Bathara Jaya, 1993), hal 1-22; James C. Scott, Moral Ekonomi Petani; Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, terj. Hasan Bahari (Jakarta: LP3ES, 1981); Cliford Geertz, Agricultural Involotion (Berkeley: University Of Calivornia Press,1971).

4. Henry A. Landsberger. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial (Jakarta: Rajawali Pers, 1984) Hal. 9-15.

5. Arti kalimat itu bersinggungan antara kepala dan tanah yang akan dibela hingga keluarnya tetesan darah

struktur sosial desa merupakan keadaan khusus bagi daerah tertentu; dan (5) masyarakat petani merupakan sebuah kesatuan sosial pra-industri yang memindahkan unsur-unsur spesifik struktur sosial ekonomi dan kebudayaan lama ke dalam masyarakat kontemporer.

Dampak salah satu fenomena konflik yang tetap menonjol pada masyarakat petani di pedesaan adalah masalah yang berkaitan dengan tanah. Salah satu fenomena konflik yang terjadi di pedesaan adalah konflik tanah di Jenggawah, yang menjadi masalah nasional dan menghiasi media massa yang menyertainya.

Dari gambaran itu, studi ini ingin melihat sisi-sisi konflik tanah di Jenggawah yang memfokuskan pada konflik tanah di Jenggawah yang memfokuskan pada konflik antara petani-PTP-negara, serta kelompok-kelompok lain. Tulisan ini akan menjawab pertanyaanpertanyaan tentang latar belakang konflik, siapa yang terlibat dalam konflik tanah Jenggawah, bagaimana tipologi konflik, strategi yang diterapkan oleh kelompok-kelompok yang berkonflik, dan bagaimana peran negara dalam upaya menyelesaikan konflik, merugikan atau menguntungkan siapa?

Kerangka Teoritik

Secara teoritis, Paige melihat berbagai kelompok yang memiliki peran cukup besar dalam pertumbuahn konflik di pedesaan. Kelompok-kelompok ini secara konsepsi adalah cultivator dan non-cultivator yang secara konvensional sebenarnya merupakan suatu kelas sosial seperti, buruh tanah, pemegang usaha kecil, pemilik modal, dan kelas menengah desa.

Mereka memiliki banyak prinsip yang kemungkinan berbeda dari kelompok sosialnya, tetapi mereka juga mempunyai peran utama yang unik terhadap tanah pertanian. Keunikan ini tercermin dalam interaksi antarkelas yang memiliki kepentingan relatif pada tanah dengan modal atau upah terbatas, dan memiliki insentif dalam konflik kelas di pedesaan.Berpijak dari kategori ini, bagaimana sesungguhnya tipologi kelas sosial8 di Jenggawah dalam kaitannya dengan konflik yang muncul; apakah bangunan Paige cocok. Jika kelas diartikan secara sosiologis sebagai tingkatan-tingkatan dalam masyarakat yaitu kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah, maka kajian ini tampak akan lebih cocok.9Dari prespektif ini, akhirnya peneliti memberi batasan bahwa kelompok-kelompok sosial di Jenggawah terlihat sebagai berikut, yaitu Petani Cukupan (cultivator), Petani Kekurangan (non-cultivator) dan perkebunan. Dari ketiga kelompok secara teoritis ini konflik sosial bisa diterjemahkan secara agak relevan.

6. Scott, op. cit

7. Lihat Nasikun, dkk, Struktur Kelas dan Perubahan Sosial di Jawa, dalam seri monografi FISIPOL UGM No. 3/1992

8. Penggunaan istilah kelas masih menjadi perdebatan teoritik. Perdebatan ini selalu mempertengahkan bahwa konsep kelas yang secara teoritik berkembang di barat tidak cocok untuk memahami kelas dalam masyarakat yang sedang berkembang di Indonesia semata-mata karena struktur sosialnya yang tidak sama. Perdebatan ini member catatan khusus bahwa penggunaan konsep kelas harus diberi catatan-catatan tertentu.

9. Dalam kerangka ini penulis lebih setuju menggunakan kelas dalam pandangan sosiologis yang membagi menjadi tiga kelas, meskipun dapat pula dipilah-pilah lagi.

Konflik, menuurt versi Paige, akan muncul dari kelompok cultivataor dan non-cultivator. Munculnya konflik berasal dari dua kategori variable yang menentukan timbulnya suatu konflik sosial yaitu tanah dan upah. Interaksi ini menghasilkan 3 tipologi konflik yaitu: (a) apabila class non-cultivator/CNC (petani kekurangan) pendapatanya tergantung dari tanah, dan ekonominya cenderung lemah, akan menghasilkan focus konflik pada distribusi dan pemilikan lahan; (b) apabila CNC pendapatannya dari tanah dan tidak bebas atas pekerja, konflik yang muncul cenderung dipolitisasi; (c) jika lelas yang ada produktivitas ats tanah dengan produksi yang tetap, akan menghasilkan zero-sum-conflict (konflik menang-kalah) antara cultivator dan non-cultivator dan hasil kompromi di bidang ekonomi akan sangat sukar.10 Teori ini tidak akan menelusuri mengapa konflik itu muncul, tetapi lebih menekankan interaksi antara kelompok-kelompok. Paige tidak menyadari bahwa ada eksploitasi dalam interaksi itu.

Timbulnya konflik petani di pedesaan menurut kalangan strukturalis Scottian di gambarkan bahwa kondisi sosial penduduk pedesaan, yang juga beerarti merupakan realitas sosial sebagian besar petani di Asia Tenggara, dengan mengutip metafora Tawney,11 ada daerah-daerah di mana posisi penduduk pedesaan ibarat orang yang selamanya berdiri terendam dalam air sampai ke leher, sehingga ombak yang kecil sekalipun sudah cukup untuk menenggelamkannya.Para petani subsisten ini, di sati pihak, hanya menguasai lahan yang sangat kecil dan cara bertani yang amat tradisional; tetapi di pihak lain merka harus menghadapi tantangan berupa tingkah polah cuaca dan pajak berupa uang tunai, tenaga kerja dan hasil tanaman yang dipungut oleh negara, belum lagi soal ijon, (yang) telah mendatangkan hantu lapar dan kekurangan sehingga menjadi sangat rawan terhadap risiko subsistensi.

Namun, sebenarnya di bawah permukaan itu terdapat bara api yang sewaktu-waktu dapat membara ketika permukaan air bergerak meninggi melampaui batas leher, dan disimpulkan oleh mereka akan mengancam keselamatan dirinya. Bara api itu menurut Scott berelasi dengan menguatnya 3 bentuk kerawanan (lihat Skema 1)

SKEMA 112. Kerawanan Scottian dan Protes Petani

10. Penggunaan istilah kelas masih menjadi perdebatan teoritik. Perdebatan ini selalu mempertengahkan bahwa konsep kelas yang secara teoritik berkembang di barat tidak cocok untuk memahami kelas dalam masyarakat yang sedang berkembang di Indonesia semata-mata karena struktur sosialnya yang tidak sama. Perdebatan ini member catatan khusus bahwa penggunaan konsep kelas harus diberi catatan-catatan tertentu.

11. Dalam kerangka ini penulis lebih setuju menggunakan kelas dalam pandangan sosiologis yang membagi menjadi tiga kelas, meskipun dapat pula dipilah-pilah lagi.

12. Lihat, Jeffrey M. Paige Agrarian revolution: Social Movement and Export Agriculture in the Underdeveloped World (New York: The Free Press, 1975) hal 4-6.

Menurut Scott, ada 3 kerawanan yang menimbulkan munculnya protes petani. Tetapi jika dilihat lebih jauh, ketiga kerawanan tersebut juga ditopang oleh etika agama dan protes sosial (Weber) serta pngaruh budaya, etika dan spirit protes. Agama, terutama untuk wilayah Jawa Timur dan subbudaya Madura, memiliki nilai sendiri yang member kontribusi bagi munculnya protes petani. Apalagi perpaduan antara nilai agama dan budaya, menjadi etika baru yang berarti memiliki kesesuaian logis dengan kelas sosial petani subsisten dan memiliki kesesuaian psikologis dengan subbudaya Madura dan Jawa Timur yang ekspresif dan ekstrovert, termasuk kejadian di wilayah Jenggawah, Jember. Karena itu di Skema 2 menjabarkan pula soal ini.

SKEMA 213 Budaya, Etika dan Spirit Protes

Subbudaya sebagai konteks makna atau jaringan makna menciptakan etika sosial yang dominan dan memadai bagi munculnya bara atau spirit protes. Pertama, ada etika sosial yang merupakan produk dialektika budaya besar dan kecill. Kedua, ada kondisi memadai yang merupakan produk dialektis antara kerawanan sosial, ekologis, dan monokultur yang terus menerus berakumulasi, bara api (proses petani) dalam konteks ini tinggal menunggu waktu persinggungan antara elit kekuasaan yang memegang pasang-surut air para petani terendam.

Posisi konflik tanah Jenggawah, sebenarnya terjadi di tiga kecamatan dan lima desa yang terlibat secara intens. Wilayah yang terlibat dalam konflik ini adalah Desa Kaliwining (Kecamatan Rambipuji), Desa Cangkring Baru, Desa Jenggawah, Desa Sukomakmur (Kecamatan Jenggawah) dan Desa Lengkong (Kecamatan Mumbulsari).

Dalam peta Kabupaten Daerah Tingkat II Jember, kasus ini terletak di daerah Jember Selatan (lihat peta) yang secara ekologis merupakan dataran rendah yang ditaburi bukit-bukit kecil sehingga tanahnya sangat subur, sebagai tempat bercocok tanam dengan sistem tadah hujan. Secara kuantitas, jumlah mitra masyarakat petani yang terlibat dalam konflik kurang lebih 1.800 Kepala Keluarga.

Kabupaten Jember, dengan ibukota Jember, terletak di Provinsi Jawa Timur berdiri pada 8 Agustus 1950 dengan landasan hokum UU No. 12/1950. Luas wilayah kabupaten ini sekitar 2.518,82 km2 (5,25 persen luas Provinsi Jawa Timur). Kabupaten ini sejak zaman Hindia Belanda dikenal sebagai daerah pusat perkebunan tembakau.

13. Lihat, Otto Syamsudin Ishak, Gerakan Protes Petani: sebuah Sketsa Teoritis Strukturalis Scottian dan Kulturalis Weberian, dalam Prisma, No. 7. 1996. Hal 87-96.

Disebut sebagai konflik tanah Jenggawah, karena tempat ini merupakan pusat penyebaran konflik, dengan beberapa tokohnya yang terlibat dan sebagai pengkonsolidasi massa, terutama pada konflik 1979. Pusat penyebaran ini dapat dipetakan sebagai berikut, konflik pertama-tama muncul pada 1979, di sekitar Desa Jenggawah, meskipun para petani yang melakukan tindak kekerasan bukan hanya berasal dari Desa Jenggawah, tetapi juga berasal dari Desa Rambipuji, Desa Lengkong, Desa Ajung, Desa Membulsari, Desa Cangkring Baru, dan Desa Kaliwining.

Struktur Sosial dan Asal Usul Konflik Tanah Jenggawah

Jenggawah, sebagaimana desa-desa lain, memiliki struktur sosial yang masih agraris. Dalam perkembangan masyarakat seperti ini maka ciri menonjol adalah tradisionalisme.14 Dalam masyarakat desa yang tradisional dan bersifat pertanian, maka pranata-pranata yang menghubungkan antar personal di dalam masyarakat adalah (1) bersifat pribadi, (2) tak lengkap, (3) bersaluran sedikit, (4) ditandai oleh lebih banyak komunikasi ke bawah ketimbang komunikasi ke atas, dan (5) jarang dimanfaatkan. Sementara pilihan-pilihan kekuasaan yang digunakan dalam masyarakat pedesaan lebih menekankan aspek kewibawaan tradisional dan kekerasan fisik.

Sebagai suatu wilayah yang masih tergolong tradisional, dalam pola-pola struktur sosial masyarakat Jenggawah lebih menekankan pola hubungan pribadi atau patron client. Jika struktur dipahami sebagai tingkatan status sosial yang berbeda dalam masyarakat secara sosiologis, maka struktur sosial Jenggawah ditempati oleh: (1) golonan stuktur atas, adalah kelompok orang-orang kaya, kiai, aparat desa, dan kaum terdidik yang memiliki jabatan terpandang; (2) golongan menengah adalah para petani yang mampu mengelola tanahnya dengan baik, agak mandiri, atau kelompok petani agak cukupan; dan(3) golongan bawah, yaitupetani gurem, dan petani kekurangan, yang cenderung menjadi client, abdi dari patron atas.Hubungan yang lebih ke arah kewibawaan tradisional menyebabkan kiai memiliki peran cukup dominan dalam struktur masyarakat Jenggawah memiliki dua perpaduan struktur ssial yaitu Madura dengan budaya santrinya dan struktur soaial dari budaya Jawa dengan struktur kepriyayian dan abangan. Struktur ini dibangun oleh dua asalanggotamasyarakat Jenggawah. Ketika masa-masa perubahan sosial pada abad XIX, Jenggawah merupakan daerah jarang penduduk, tetapi keberadaan perkebunan kemudian mendatangkan banyak urbanisasi dari daerah lain. Maduramendominasi urbanisasi karena kebutuhan tenaga kerja di perkebunan besar Hindia Belanda. Sementara pendatang lain berasal dari Lumajang, Kendal (JawaTengah), dan Ponorogo.Karena itu struktur sosial Jenggawah didominasi oleh dua kultur budaya ini, yaitu budaya santri dan budaya kejawen, atau abangan. Meskipun demikian, kedua kultur ini sesungguhnya telah menampakkan proses

14. Ibid., hal 89-90

Karena itu struktur sosial Jenggawah didominasi oleh dua kultur budaya ini, yaitu budaya santri dan budaya kejawen, atau abangan. Meskipun demikian, kedua kultur ini sesungguhnya telah menampakkan proses akulturasi sosial. Tidak teralu mudah untuk menafsirkan secara hitam putih. Tetapi sejarah perkembangan Jember termasuk di dalamnya Jenggawah, memberikan lustrasi perpaduan budaya ini. Dalam kenyataan, struktur sosialnya didoaminasi oleh kultur santri (dari Madura). Dominannya kultur santri memiliki peran cukup mendasar dalam berkembang dan dominannya kultur kewibawaan tradisisonal. Kiai diberi tempat cukup penting dalam kultur sosial ini.

Tetapi, model-model pola kewibawaan ini pun tidak serta merta muncul dan terjadi. Model ini berkembang cukup lama, menurut Kar D. Jackson, karena struktur pola hubungan patron client, dibangun berdasarkan jangkan waktu cukup lama. Apalagi, secara sosial, perkebunan telah membawa dampak ekonomi cukup dramatis. Perkebunan Hindia Belanda, memperkenalkan sistem ekonomi komersial. Sistem ekonomi ini dianggap sebagai ancaman dari sistem ekonomisubsisten yang selama ini berkembang dalam pola hubungnan patron-client. Patron menjadi pelindung dari client, sementara client melindungi pila kepentingan patron. Dengan masuknya sistem perkebunan komersial, pola saling menguntungkan ini dianggap berada dalam ancaman.

Menyadari munculnya pola struktur sosial demikian, maka kebijakan perkebunan yang diterapkan adalah pola kemitraan. Onderneeming memberi bibit dan uang untuk menggarap lahan agar petani tetap eksis, dengan sistem geblangan, dan sebaliknya petani harus pula melindungi kepentingan Onderneeming untuk produksi tembakau Na Oogst dan harus menjual ke Onderneeming. Perkembangan perkebunan masa Hindia Belanda yang terjadi kemudian tetap mampu mempraktikkan dua pola sistem sekaligus, yaitu sistem ekonomi komersial yang juga menghidupi pla sistem ekonomi subsisten.

Ketika perkebunan dinasionalisasi dan diambil alih oleh negara, muncul masalah mendasar, terutama urusan dengan tanah. Pada masa Onderneeming, rakyat menggarap tanahnya sendiri, kemudiandiberlakukan pula sewa menyewa tanah. Tetapi ketika perkebunan mulai diambil alih oleh PNP, timbul masalah, karena tanah diklaim sebagai milik PTP XXVII, sedangkan rakyat hanya memiliki hak sebagai penggarap.

Jika dilihat dari asal usulnya, tanah sumber konflik antara petani dan PTP XXVII yang kemudian melibatkan Negara Orde Baru (NOB) adalah bekas hak erpacht Hindia belanda. Berdasarkan bahan sekunder dan cerita para penduduk, hasil penelitian George Bernie di distrik Bondowoso (termasuk di dalamnya Jenggawah, sebagai bagian wilayah distrik Bondowoso) pada 1859 menunjukkan bahwa wilayah tersebut sangat subur dan cocok untuk jenis tembakau Na Oogst. Selanjutnya Bernie mengajukan permohonan izin membuka perkebunan (Onderneeming)tembakau di Jember pada Pemerintah Hindia Belanda berdasarkan Agrarisch Besluit (AB). Menurut versi petani, George Bernie pada 1870 mendapatkan hak erpacht untuk membuka perkebunan tembakau meliputi Kecamatan Rambipuji, Mangli, Jenggawah dan Mumbulsari di Jember. Hak erpacht diberikan untuk jangka waktu 75 tahun.15 Tetapi karena Jember waktu itu jarang penduduknya, Pemerintah Hindia Belanda

15. Ibid., hal 89-90

mendatangkan tenaga kerja dari Madura dan Kendal untuk membuka lahan hutan. Pada perkembangan berikutnya, rakyat diberi hak menanam palawija dan padi serta tidak ditarik pajak dengan konsekuensi harus menanam tembakau jenis Na Oogst,16 dengan sistem geblangan (untuk memelihara kesuburan tanah) dan bagi hasil. Tanah yang sudah dibabat, diperuntukkan perkebunan pemukiman penggarap, sarana sosial, gedung oven, gudang penyimpanan, rumah karyawan perkebunan dan kantor pengelolaan perkebunan NV. LMOD (Namloose Vennoetschaap Maatschappy Ould Djember). Sebenarnya masa berlaku Onderneeming tersebut akan habis pada 1945, tetapi keadaan ini berubah setelah Pemerintah Hindia Belanda kalah oleh pemerintah pendudukan Jepang. Pada 1943 terjadi kondisi vakum yang segera diambil alih oleh rakyat sampai kemudian diambil denganpaksa oleh Jepang sebagai penguasa baru, dan rakyat diwajibkan menanam kapas yang seluruh hasilnya diserahkan kepada Jepang. Ketika Jepang menyerah kepada Sekutu, dan terjadi kevakuman lagi, tanah kembali dikelola oleh petani. Perkembangan selanjutnya 1953, petani yang memngambil alih lahan bekas hak erpacht, dibebani pajak dan diberikan nomor pipil/petok D. Ketentuan membayar pajak berlangsung hingga 1970. Pada saat mereka dibebani pajak ini, sebenarnya tanah bekas hak erpacht sudah dikuasai oleh PPN Baru Jatim IX. Hal ini berkaitan dengan diberlakukannya UU No. 86/1959 (UU tentang Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di RI), Jo. PP. No. 4/1959 tentang penentuan perusahaan pertanian/ perkebunan tembakau milik Belanda yang dinasionalisasi, maka NV LMOD secara otomatis terkena nasionalisasi dan tanah hak erpacht menjadi milik negara.17Diawali dengan PP No. 173/1961 dibentuklah Perusahaan Perkebunan Negara Kesatuan jatim (PPN Baru Jatim IX); yang kemudian bentuknya diubah menjadi Perusahaan Perkebunan (Negara) Tembakau V dan VI melaui PP No.30/1966. Selanjutnya, melaui PP No. 14/1968 digabungkanlah Perusahan Negara Perkebunan (PNP) XXVII. Hingga akhirnya lewatPP No. 7/1972 tentang pengalihan bentuk PNP XXVII menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perkebunan XXVII, maka PNP XXVII dialihkan menjadi PTP XXVII.

Dalam proses peralihan bentuk tersebut, diterbitkan SK Mendagri No. 32/HGU/DA/1969 tertanggal 5 Desember 1969. Menurut wakil negara, SK ini dan SK No. 15/HGU/DA/1970 tertanggal 18 Juni 1970 yang meberikan dua Hak Guna Usaha (HGU) kepada PNP XXVII atas tanah bekas hak erpacht NV. LMOD dianggap cacat hukum. Karena sebenarnya peraturan yang ada adalah mengatur tentang HGB (hak guna bangunan) dan merujuk pada konsideran point 5 SK tersebut, yakni, HGB berlaku bila tidak terdapat adanya tanah rakyat yang digarap/atau diduduki rakyat. Sedangkan pada saat diberlakkukannya kedua SK tersebut, tanah bekas hak erpacht masih digarap dan atau diduduki oleh rakyat. Dariperbedaan pemahaman tentang pemberian HGU/HGB inilah, akhirnya konflik mulai terlihat intens dan trasparan.

15..Dokumen sekunder yang diperoleh dari petani Desa Kaliwining pada 1995

16..Na Oogst adalah jenis tembakau yang ditanam pada musim penghujan, yang memerlukan waktu persiapan tanam sampai dengan selesai petik daun antara Juli-Desember17..Laporan kunjungan kerja tim tanah Fraksi Persatuan Pembangunan DPR-RI, tahun 1993

Pergolakan Petani Jenggawah 1969-1995

Perjalanan konflik tanah di Jenggawahdimulai sebelum 1969. Peristiwa yang mendahului adah gagalnya pelaksanaan landreform atau orang desa (petani) menyebutnya dengan pengkaplingan tanah, karena tanah yang luas dikapling-kapling menjadi 0,300 ha untuk masing masing bagian.

Tetapi konflik yang bersumber dari gagalnya landreform mereda. Kemudian konflik muncul kembali pada 1969, ketika akan diberlakukan SK Mendagri No. 32/HGU/DA/1969 kepada PPN XXVIIyang dianggap gagal. Karena ketika itu (1968) tersebar berita akan dilakukan penggantian girik/petok D menjadi sertifikat. Sejak itu semua girik/petok D harus diserahkan kepada aparat desa, kecamatan dan beberapa aparat keamana yang mengunjungi setiap desa dan mensosialisasikan adanya pemberian sertifikat tanah. Tetapi sepuluh tahunkemudian diketahui bahwa pemberian petok D ternyata dipergunakan sebagai lampiran permohonan HGU kepada Menteri Dalam Negeri. Melihat manipulasi ini, maka pada Januari 1979 kerusuhan-kersuhan besar tidak dapat dihindari lagi.

Kerusuhan itu memunck pada Juli 1979, sehingga terjadi pengrusakan terhadap tanaman, rumah dan pembakaran gudang. Kerusuhan disertai oleh tindak kekerasan petani Jenggawah, memaksa pengerahan 6 peleton pasukan tempur. Massa yang rusuh ditenangkan dengan menggunakan helikopter.18 Buntutnya, sebelas orang pemimpin petani dinyatakan bersalah di Pengadilan Negeri Jember dan Pengadilan Tinggi Surabaya. Mereka dijatuhi hukuman sekitar 13 bulan, hanya satu orang yang lolos, dan segera mengajukan permohonan kasasi ke MA yang ternyata dikabulkan. Akhirnya kesepuluh tokoh petani yang ditahan tersebut dibebaskan dari segala tuntutan hukum dan dinyatakan tidak bersalah.

Setelah peristiwa 1979, petani tampaknya mengambil strategi cooling down menuju pada status wilayah yang diperlihatkan aman. Strategi perjuangan dilakukan dengan melakukan konsolidasi interen, yaitu memantapkan langkah dalam berkonflik. Pertama, adanya kesepakatan menunggu masa berakhirnya HGU pada 1995. Kedua, dalam menanti masa berakhirnya HGU itu, masing-masing desa yang terlibat dalam konflik memilih dan menugaskan tuntutannya kepada 2 pemimpin masing-masing desa. Tercata nama-nama pemimpin mereka di antaranya Moch. Imam Chudori, Drs. Ahmad Yusuf, Masduki P. Anang, H. Much. Imam Mashuri, H. Lutfillah, Khotib, Sarman, M. Cholil, dan (Alm) Imam Rusdiono. Masing-masing pemimpin bertugas melakukan konsolidasi di daerahnya yaitu Desa Cangkring Baru, Desa Lengkong, Desa Kaliwining, Desa Jenggawah dan Desa Sukomakmur. Ketiga, membentuk jaringan dan bertemu dengan aktivis seperti LBH atau aktivis hukum lain guna menyusun surat permohoan yang disesuaikan dengan jumlah petani, yang dianggap masih memiliki bukti hukum untuk dipergunakan mengajukan tuntutan.

Dasar penentuan pemimpin sebagai wakil para petani dalam mengorganisasikan kepentingannya yaitu (a) alasan penguasaan masalah, apakah seseorang mempunyai kemampuan dan dasar-dasar keahlian tentang tanah yang mereka perjuangkan; (b) konsistensi perjuangan, keberanian, dan sikap ngemong sebagai suatu wibawa untuk mengorganisasikan kepentingna mereka, baik ketika berhadapan dengan petani maupun dengan aparat pemerintah.

18. Eman Rajdagukguk, Pemahaman Rakyat tentak Hak atas Tanah, dalam Prisma, No. 9 September 1979, hal. 14-16Konsolidasi ini berlangsung sejak 1980-1994. Upaya memperjuangkan tanah bekas hak erpacht adalah (1) melalui jalur permohonan legal; (2) konsultasi hukum; dan (3) dengan tindakan sosialisasi konsistensi perjuangan tentang tanah yang mereka minta, terutama, kesiapan menanti masa berakhirnya HGU 1995. Kurun waktu masa penantian kurang lebih 25 tahun itu, dengan berbagai endapan masalah yang terjadi, tiba-tiba menbakar emosi mereka ketika pada Mei 1995, sebagai momentum yang dinantikan, ternyata HGU diperpanjang lagi.

Ledakan konflik dengan berbagai konsekuensinya ini bermula dari munculnya keputusan Menteri Negara Agraria/badan Pertanahan Nasional No. 74/HGU/BPN/1994tentang pemberian perpanjangan hak guna usaha PT Perkebunan XXVII atas tanah perkebunan Ajong Gayasan di Kabupaten Jember. Petani tidak bisa menerima kenyataan ini, dan menganggap PTP XXVII adalah penyebabnya karena dinilai telah memanipulasi keadaan sebenarnya. Dalam permohonan tanah tersebut dijelaskan bahwa tanah yang bersangkutan adalah tanah kosong dan hanya ada kebun karet. Padahal kenyataanya dari tanah HGU yang diperpanjang tersebut sebagian besar telah menjadi pekarangan yang terdiri dari berbagai bangunan

Akibatnya, kasus 1979 terulang kembali. Pada kamis, 4 Mei 1995 ratusan warga, yang menunggu penyelesaian sengketa tanah HGU antara PTP XXVII dan petani, melakukan aksi kekerasan dengan modus hampir sama dengan peristiwa Januari dan Juli 1979. Warga petani Jenggawah dan Kaliwining kembali memporak-porandakan rumah dan gudang di wilayah Dusun Curahwelut , Desa Pancakarya, Kecamatan Jenggawah, serta Dusun Curah Suko dan Dusun Curah Banteng, Desa kaliwining. Jalan menuju rumah mandor di gali dan ditanami pohon pisang. Di halaman rumah itu pula, puluhan pohon pisang ditebang. Perusakan di rumah mandor Mulyadi terjadi sekitar pukul 09.00. sebanyak 250 warga merobohkan atap teras rumah mandor dan menggali tanah di halaman rumah.

Perusakan serupa terjadi dirumah mandor Tonali, Dusun Curahrejo, Desa Sukomakmur, Kecamatan Jenggawah. Selain rumah mandor Tonali, rumah mandor Sodiq di Desa Manggara, kecamatan Jenggawah, dan rumah mandor Sidik di Dusun Curahkendal desa setempat juga diserbu warga. Aksi ini berlanjut dengan pembakaran gudang milik PTP XXVII, perusakan kantor BPN Jember, serta aksi pemukulan terhadap Ketua BPN Jember. Massa benar-benar menumpahkan kekecewaannya dengan cara tindak kekerasan dan perusakan.19

Rasa ketidakpuasan ini, jika dilihat dari struktural Scottian dengan 3 bentuk kerawanan yang dialami petani, ternyata konflik tanah Jenggawah memiliki tingkat kerawanan struktural yang mengakibatkan munculnya protes petanidengan tindakan kekerasan (lihat Skema 1). Memperhatikan model kerawanan Scottian maka pemberian perpanjangan HGU oleh Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional dapat dianggap sebagai ancaman nyata, baik secara legal maupun struktural.

19. Berita-berita kliping Jawa Pos, Mei-Agustus 1995

Memperhatikan model kerawanan Scottian maka pemberian perpanjangan HGU oleh Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional dapat dianggap sebagai ancaman nyata, baik secara legal maupun struktural. Sebab dengan perpanjangan HGU berarti para petani yang berharap HGU tidak dapat diperpanjang sebagai konsekuensi konsideran pada point 5 SK tahun 1969 yang berbunyi bahwa HGU hanya berlaku apabila tidak terdapat tanah rakyat yang digarap atau diduduki rakyat, namun tanah itu di duduki dan digarap oleh petani, ternyata masih diberikan kepada PTP, maka keputusan ini dianggap sebagai ancaman.

Mengapa hal ini dianggap ancaman oleh petani Jenggawah? Pertama, karena dengan diberlakukannya kembali HGU, maka praktis hidup petani dibawah bayang-bayang PTP, sebab tanah yang mereka garap bukan hak milik secara hukum, hingga sewaktu-waktu dapat mengancamnya. Kedua, aset tanah yang dicakup oleh perpanjangan HGU tersebut meliputi seluruh luas tanah di 5 desa, sekitar 2 ribu hektar, yang berarti hidup para petani di bawah wilayah kekuasaan PTP. Ketiga, potensi tanah yang menjadi sumber konflik merupakan penghasil terbesar tembakau jenis Na Oogst di 1980 menunjukkan bahwa tembakau rakyat di Karesidenan Besuki, termasuk Jenggawah, sebagai salah satu bagiannya, memiliki kontribusi cukup besar.Dari penjelasan ini sebenarnya spirit protes petani Jenggawah muncul akibat kerawanan struktural yang dianggap merugikan mereka. Sementara aspek kerawanan ekologis tidak mempengaruhi, karena wilayah Jenggawah merupakan areal tanah yang sanagt subur. Demikian pula kerawanan monokultur masih belum mampu mempengaruhi munculnya spirit protes petani, karena kultur pertanian masih bervariasi, artinya tidak khusus untuk satu tanaman saja yang diharuskan kepada petani; mereka masih boleh menanam padi dan palawija.

Tipologi Kelompok-Kelompok yang Berkonflik

Berkaitan dengan konflik tanah yang muncul, ada beberapa pertanyaan yang dapat diajukan untuk lebih mendalami kompleksitas permasalahan petani Jenggawah. Bagaimana tipolaogi kelompok-kelompok yang berkonflik? Jika tipologi dipahami sebgai upaya penyederhanaan atas ruwetnya kelompok yang terlibat dalam interaksi yang mengakibatkan konflik, bagaimana perilaku-perilakunya? Kelompok mana yang kuat dan kelompok mana yang lemah? Apakah tipologi terhadap mereka yang terlibat dalam konflik bersifat homogen, jika mengacu pada tindakan mereka yang cenderung radikal?

Menurut Paige, tipologi konflik pertanian terjadi antara organisasi pertanian yang disokong oleh kebijkan dan mereka yang berkedudukan sebagai pekerja; terjadi antara kelas atas baru dalam pertanian (pemilik modal) dan petani lama ang menguasai tanah; juga antara masuknya tanah ke dalam commercial enterpreneur dan petani penyewa yang dibatasi tenaga kerjanya baik yang sewaan maupun yang tetap.21

Sedangkan Stincombe menjelaskan tipologi konflik pertanian terjadi antara the family-sized-tenancy atau keluarga penyewa dengan plantation atau perkebunan. Keluarga penyewa merupakan penghasil intensitas konflik organisasi pertanian, bahkan merupakan sumber lahirnya revolutionary action.22 Pakar lain, yakni Wolf 20. Lihat Jamie , Perkebunan dan Tanaman Perdagangan di Jawa Timur: Pola yang sedang berubah, dalam Howard Diel (ed). Pembangunan yang berimbang Jawa Timur dalam era orde baru (Jakarta: Gramedia, 1997), hal. 282-286

21. Paige, op.cit., hal. 4-6

22. Ibid

berargumen bahwa middle peasant adalah penghasil basis massa revolusi.23 Dari kategorisasi tersebut, tipologi Stincombe tampaknya agak relevan dengan kasus Jenggawah, yang sebenarnya merupakan konflik antara penggarap dan pihak perkebunan.

Pihak penggarap (petani) dalam status tanah HGU merupakan basis sumber konflik atau bahkan juga merupakan sumber lahirnya konflik 1969-1995, dengan kecenderungan tindakan radikal. Kelompok-kelompok yang berkonflik di Jenggawah dijelaskan dalam Skema 3.

Dari Skema 3 tampak bahwa tipologi kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik tanah di Jenggawah adalah (1) petani dan kelompok-kelompok penekan yang mendukung petani; (2) Negara dan aparatnya; (3) Tim mediasi; (4) PTP XXVII dan buruh tani, mandor dan centeng; serta (5) petani fiktif.

Petani Inti Basis Konflik

Menurut istilah penduduk Jenggawah, petani inti disebut sebagai petani keturunan, yaitu petani dengan bentuk penguasaan tanah yasan, berupa tanah yang diperoleh berkat usaha nenek moyang mereka dalam membuka hutan liar untuk dijadikan sebagai tanah garapan. Dengan kata lain, dengan kata lain hakseseorang atas tanah ini berasal dari fakta bawa dialah, atau nenek moyangnya yang semula membuka tanah tersebut. Istilah tanah yang dibuka, menurut bahasa Jawa yoso, berarti membuat sendiri atau membangun sendiri (bukan membeli).24 Jumlah petani ini sangat besar, tersebar di 5 desa dan 3 kecamatan, yaitu Desa Kaliwining (450 KK), Desa Cangkring (385 KK), Desa Lengkong (250 KK), Desa Jenggawah (375 KK) dan terakhir Desa Sukomakmur (340 KK) yang tersebar di tiga kecamatan Mumbulsari dan Kecamatan Jenggawah.Petani ini dianggap sebagai cikal bakal penduduk yang menguasai tanah HGU hingga sekarang, sebagaimana penuturan para pemimpin mereka.25Petani keturunan adalah nenek moyangnya orang-orang yang membabat tanah di perkebunan NV LMOD di Jember, saat pertama kali pembukaan lahan perkebunan tembakau oleh Belanda. Mereka didatangkan dari Madura, Pasuruan, Ponorogo (Jawa Timur0 dan CurahKendal (Jawa Tengah). Paling besar jumlahnya adalah mereka yang berasal dari Madura. Mereka dianggap sebagai generasi pertama, hingga kini masih banyak yang hidup, meskipun sebagian telah bergeser (pindah) ke anak-anaknya sebagi generasi kedua.

23. Ibid 24. Gunawan Wiradhi dan Mikali, Penguasaan Tanah dan Kelembagaan, dalam Faisal Kasryno (ed), Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor, 1984) hal. 48

25. Hasil wawancara dengan para informan di Jenggawah, Lengkong, dan Kaliwining, Kabupaten Jember, Oktober 1995.SKEMA 3. Tipologi Kelompok-kelompok yang Terlibat Konflik Tanah Jenggawah dan Interaksinya

Keterangan garis skema:

Garis interaksi konflik

Garis Interaksi resiprositas

Garis control politik

Kalau membandingkan asal-usul mereka dalam kaitannya dengan budaya yang mempengaruhi perilaku mereka, ternyata ada dua akar yang kuat, meminjam terminologi Geertz (santri-abangan). Paling tidak, jika dikaitkan dengan presepsi elit (para pemimpin petani)masing-masing desa, ada 2 orang dalam menggagas strategi konflik apakah konservatif atau radikal. Secara sepintas, mereka yang berasal dari Madura (yang jumlahnya cukup besar hampir menjadi warga yang dominan di Jenggawah) mewakili varian santri dengan perilaku konservatif dalam konflik, sementara yang berasal dari Curah Kendal dan Ponorogo, masih mewarisi varian abangan dalam perilaku konflik.

Dari perbedaan ini, maka petani keturunan (petani inti basis konflik) terbagi menjadi dua secara realitas konflik, yaitu (1) petani radikal dan (2) petani konservatif. Kedua tipologi petani inti basis ini terpusat pada dua kekuatan pengaruh kepemimpinan yanitu petani konservatif yang cenderung dekat dengan tipe kepemimpinan santri dari kelompok-kelompok petani yang moderat, sedangkan kelompok petani radikal diperkenankan oleh kelompok yang lebih dekat dengan tipe kepemimpinan abangan yang dimainkan oleh kelompok-kelompok petani yang radikal.

Dikotomi petani ini didasarkan pada persepsi pemimpin (elit) dalam memandang konflik yang terjadi serta strategi konflik yang akan diterapkan. Persepsi ini tampak di antara kedua kelompok itu.

... bahwa strategi kelompok-kelompok abangan terkesan sangat keras, baik di tingkat ide maupun tindakan yang tidak terorganisir.ide yang keras ini muncul setelah mengadakan aksi (terjadinya aksi). Strategi ini muncul, karena ada kecenderungan bahwa suara mereka baru didengar oleh pemerintah kalau terjadi keributan dan kekerasan.26

Di sisi lain, salah sseorang informan yang berhasil diwawancarai mengatakan:26. Hasil wawancara dengan informan di Kaliwining. Oktober 1995.

... bahwa kekerasan yang terjadi juga diakibatkan oleh ketidakpastian posisi kasus tanah yang sedang terjadi, sehingga rakyat mempunyai perasaan susah untuk diajak kompromi. Saya tidak bisa mencegahnya, apabila ada kekerasan-kekerasan yang muncul.

Posisi yang berbeda terjadi pada kelompok yang cenderung dekat dengan tradisisantri yang lebih moderat dan mengambil sikap, sebagaimana hasil wawancara yang pernah dilakukan.27

... mereka telah mengadakan perjanjian dengan para petani, bahwa pihak I (petani) tidak bisa berbuat dan bertindak yang berhubungan dengn masalah tanah tersebut, tanpa sepengetahuan dan persetujuan pihak II (pemimpin petani). Peristiwa penantanngan carok oleh H. Mushlis, menunjukkan bahwa pemimpin kelompok mempunyai tanggung jawab untuk mengendalikan massanya. Alasannya, saya ingin memberi contoh pelaksanaan hukum dan ketaatan di hadapan hukum.

Sementara itu salah seorang informan di Cangkring Baru memandang,

... kekerasan adalah dosa menurut ajaran Islam dan itu dilarang oleh agam. Iniselalu saya jelaskan kepada para petani baik melaui informasi pengajian maupun saat tahlilan.Implikasi dari presepsi yang berbeda ini, ternyata melahirkan model strategi yang berbeda pula dalam tindakan-tindakan petani untuk memenangkan konflik. Perbedaan itu terlihat bahwa petani radikal memandang (1) cara kekarsan efektif untuk memancing perhatian umum dan pemerintah pusat, agar konflik segera diselesaikan. (2) Untuk itu, strategi konflik dianggap efektif, bila dilakukan dengan cara ekstra legal. Sementara kelompok petani konservatif memandang bahwa strategi (1) harus dilakukan dengan cara prosedurral, sebab bagaimana pun status tanah HGU perlu mendapat jaminan secara hukum; (2) untuk memudahkan ini, mereka menolak cara-cara kekerasan, tetapi menggunakan cara damai dan konsolidasi memenagkan massa dengan pendekatan keagamaan melaui tahlilan, agar massa dapat dikendalikan; (3) persepsi ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa cara kekerasan justru dianggap merugikan.

Betapapun, dalam tingkat persepsi mudah untuk dibedakan dua kelompok elit petani radikal dan konservatif; persoalannya adalah bahwa komitmen elit ini tidak tertransformasi pada massa yang bergejolak dengan aneka pemupukan kekecewaan dan keputusasaan yang telah menghinggapi. Kerena itu sangat sukar untuk memisahkan dikotomi tersebut, dalam tingkat presepsi mungkin dapat dipisahkan, tetapi dalam tindakan kolektif menjadi sesuatu yang sangat sukar untuk dipilah, massa mana yang radikal dan massa mana yang cenderung konservatif. Meski bergitu, formulasi presepsi ini, memberikan gambaran bahwa ada gejala dikotomi itu, dan tentu saja akan berimplikasi pada gerakan politik dalam konflik tanah yang mereka lakukan.

27. Hasil wawancara dengan informan di Cangkring Baru, Oktober 1995.

Pada sisi lain, basis inti petani yang terlibat dalam konflik menurut umur, terlihat didominasi oleh interval usia antara 54-57 tahun. Secara kasar, tingkat umur ini, memiliki signifikasi dengan mudahnya intensitas konflik untuk meluas dan berkembang, apa lagi luas tanah yang dijadikan ajang konflik cukup luas. Intensitas ini juga dipengaruhi oleh konsistensi perjuangan para pemimpinnya ketika mereka mengkonsolidasikan massa untuk mendukung mempertahankan tanah HGU dan mengajukan melalui jalur hukum yang ada. Termasuk hal ini adalah pengorbanan harta benda mereka yang tidak terhitung besarnya dalam mengajukan permohonan milik baik melaui surat yang ditunjukan kepada instansi yang dianggap berwenang dengan konflik tanah yang terjadi.

Identitas para petani inti basis konflik ini, sekaligus menunjukkan para petani yang memohon agar tanah HGU bekas hak erpacht itu dialihfungsikan menjadi hak milik kepada para petani. Basis sosial petani inti basis, jika dilihat dari sisi umur, jumlah, latar belakang dan tanah yang dimohon dapat dilihat Tabel 1 dan Tabel 2.

PTP XXVII dan Kelompok-Kelompok Pendukung

Para pendukung PTP XXVII adalah buruh tani, mandor dan para centeng. Buruh tani adalh mereka yang bekerja sebagai buruh di perkebunan. Petani ini sangat tergantung pada PTP, karena sebagian dari mereka adalah tenaga kerja harian. PTP, dalam konflik yang terjadi, menggunakan alasan ini untuk menandingi aksi-aksi kekerasan petani inti basis yang terlibat dalam konflik tanah, seperti munculnya bentrokan fisik antara petani inti basis konflik dan para buruh perkebunan.

Tabel 1. Basis Massa Petani dilihat dari Tingkat Umur

Interval Umur/TahunJumlah Petani

22-25 tahun

26-29 tahun

30-33 tahun

34-37 tahun

38-41 tahun

42-45 tahun

46-49 tahun

50-53 tahun

54-57 tahun

58-61 tahun

62-65 tahun

66-69 tahun

>70 tahun15

18

31

29

30

21

30

55

9

23

17

4

7

Jumlah289

Sumber. Diolah dari data sekunder permohonan petani di Desa Lengkong dan Desa Kaliwining

Tabel 2. Luas Tanah Sengketa dan Jumlah Petani

Luas Tanah (ha)Jumlah Petani Pemohon

0,100-0,250

0,251-0,401

0,402-0,552

0,553-0,703

0,704-0,850

0,851-1,003

>1,003125

91

52

14

-

-

7

Jumlah289

Sumber. Diolah dari data sekunder permohonan petani di Desa Lengkong dan Desa Kaliwining

Kelompok pendukung PTP lainnya adalah para mandor dan para centeng. Mandor sebenarnya memiliki peran cukup mendasar untuk menjembatani kepentingan petani dengan PTP. Tetapi tindakan-tindakan mereka seringkali dianggap merugikan petani. Karena itu, saat konflik Mei 1995 meletus, sasaran pertama yang diserbu adalah rumah mandor PTP. Ini terjadi,karena petani merasa penerapan kebijakan PTPyang dilaksanakan oleh mandor, justeru diselewengkan; baik mulai saat merekrut tenaga kerja, penggarapan lahan di sawah atau saat bagi hasil panen dengan PTP. Perselisihan sering terjadi berkaitan dengan kriteria kualitas tembakau yang acapkali dimanipulasikan mandor apakah masuk kriteria A (baik), B (sedang) dan C (cukup).

Di samping itu, muncul perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh mandor dan centeng, disertai tindakan teror. Tindakan ini tercermin dalam beberapa kasus yang pernah terjadi misalnya, peristiwa pembabatan sekitar 300 pohon jeruk milik H. Muchlis oleh orang-orang yang tidak dikenal. Peristiwa di Ajong dengan pembabatan yang dilakukan oleh orang-orang suruhan PTP pada waktu padii kurang 3 harilagi akan dipanen, tetapi esoknya sudah rata dengan tanah.peristiwa lain adalah penantangan carok oleh tiga orang yang mengaku suruhan PTP yang terjadi di Kaliwining, sehingga ketiga orang tersebut dikepung dan akan diadili oleh massa sekitar 500 orang.

Di sisi lain PTP acapkali menerapkan kebijakan kerjasama dengan petani yang diserai oleh aparat keamanan, tanpa pendekatan persuasif. Kebijakan yang diterapkan justru sebaliknya, meskipun telah ada perjanjian dengan para petani, kadang-kadang mengalami penyimpangan dalam pola kemitraan yang diterapkan. Apalagi PTP merupakan bagian dari aset negara, maka aparat pemerintah atau negara tampak melindungi kepentingannya, baik di tingkat desa, kecamatan, kabupaten maupun pusat.

Perkembangan konflik menunjukkan penyimpangan, misalnya munculnya petani fiktif yang dianggap mempuunyai hubungan khusus dengan aparat dan PTP, sebab dari temuan terakhir, ternyata mulai 1979-1987 petani fiktif ini dapat menyertifikatkan tanah HGU (seharusnya menurut hukum jika diterapkan secara konsisten, tidak dapat dilakukan karena menyalahi aturan yang ada).28 Petani fiktif muncul sebagai akibat penyalahgunaan wewenang atas tanah HGU, dengan terjadinya jual beli di bawah tangan antara petani fiktif dan orang-orang tertentu yang punya akses dengan PTP.

28. Hasil wawancara dengan Tim Mediasi, Oktober 1995.

.Implikasinya di kalangan petani muncul dugaan kuat adanya kolusi antara beberapa aktor PTP dan aparat negara untuk meloloskan permohonan sertifikat, kepada beberpa orang, baik mantan pejabat PTP maupun non-pribumi yang berstatus sebagai pengusaha. Data terakhir menunjukkan ada sekitar 27 sertifikat.

Kelompok-Kelompok Penekan Pendukung Petani Inti Basis Konflik

Kelompok ini merupakan kelompok penekan yang cenderung terlibat secara intens dalam konflik yang terjadi di Jenggawah. Mereka terbagi dalam dua kelompok, yaitu (a) kelompok advokasi; dan (b) kelompok jalanan. Kelompok advokasi diwakili oleh Lembaga Bantuan Hukum, atas permintaan petani, untuk menjadi konsultan hukum dalam menuntut hak-hak mereka. Sedangkan kelompok jalanan, diwakili oleh komite-komite solidaritas yang dibentuk oleh aktivis mahasiswa baik dari intra kampus maupun ekstra kampus. Di antara aktivis jalanan yang terlibat adalah aktivis dari GMNI, HMI, dan mahasiswa Jember.Upaya ini dilakukan lebih untuk mendukung moral para petani yang tertindas dan tidak berdaya. Upaya dukungan kelompok jalanan ini dilakukan dengan cara unjuk rasa, demonstrasi dan aksi-aksi keprihatinan.

Pembentukan Tim Mediator

Dalam pandangan teoritis, mestinya mediator dibentuk oleh pihak yang berkonflik, yaitu petani dan PTP. Tetapi, melihat perkembangan konflik yang semakin meluas, Pangdam V Brawijaya mencoba mengusulkan pembentukan tim mediasi setelah sebelumnya posisi konflik dinyatakan dalam kodisi staus quo, atau berada dalam pengawasan keamanan. Maka, sebagai terapi cooling down, salah satu strategi yang dipilih oleh Pangdam V Brawijaya adalah pembentukan tim mediasi yang terdiri dari Kiai Yusuf Muhammad, Kiai Lutfi, dan Kiai H. Khotib Umar.

Implikasinya, mau tidak mau, petani yang terlibat dalam konflik tanah harus bersedia menerima kehadiran mereka. Ini yang disebut oleh Kerr sebagai suatu arbritasi/penindasan, sebab pihak-pihak yang berkonflik tidak memiliki alternatif untuk menyelesaikan konflik. Kelompok petani radikal meolak kehadiran tim mediasi karena dianggap justru akan merugikannya, dan akan lebih menguntungkan PTP. Sementara kelompok petani konservatif melihat hal ini positif, untuk mengartikulasikan kepentingan yang akan diperjuangkan. Perbedaan ini menyulut konflik interen antar kelompok petani, karena dianggap beberapa elit pemimpin akan memanfaatkan momentum ini untuk kepentingan pribadi. Prasangka ini dinilai wajar, sebab kehadiran tim mediasi masih dianggap teka-teki, menguntungkan atau merugikan.

Upaya-upaya tim mediasi diawali dengan cara mengakomodasi pihak-pihak yang berkepentingan dalam konflik, juga pihak-pihak di luar konflik. Menurut tim mediasi ada dua pihak yang jelas-jelas berkepentingan dengn konflik tanah yaitu petani dan PTP. Di samping kedua belah pihak itu, pihak lainyang berkepentinagn adalah pemerintah atau aparat negara seperti ABRI dan BPN. Kepentingan ABRI adalah agar di daerah sekitar perkebunan konflik tidak membawa akibat yang lebih besar. Sedangkan BPN berperan menentukan status tanah HGU tersebut, karena lembaga ini berhak mengeluarkan izin sertifikat sebagai tanda hak milik. Dari konteks ini, disadari atau tidak, tim mediasi telah melakukan tekanan-tekanan, atau versi Kerr disebut penindasan dengan sosialisasi bahwa kepentingan harmonis harus segera diwujudkan dalam wilayah Jember, terutama Jenggawah yang bergolak.

Upaya selanjutnya adalah melakukan pendekatan untuk mengetahui kemauan kelompok-kelompok lain yang berkepentingan yaitu instansi-instansi yang berwenang. Upaya lain adalah melakukan musyawarah, dengan kelompok yang berkonflik dan menghubungkannya dengn mengatakan bahwa untuk saat ini hak milik tidak mungkin diberikan maka perlu diarahkan pada pola kemitraan dalam rangka mendekatkan berbagai kepentingan berbeda yang muncul dalam konflik.29

Mengapa justru Kiai yang dipakai sebagai tim mediasi kalau memang negara memiliki kepentingan menyelesaikan konflik, mengapa bukan anggota-anggota DPR yang adalah wakil rakyat. Dari pertanyaan ini, terlihat bahwa negara dan aparatnya sendiri tidak yakin bahwa kasus konflik yang telah munculnya memanas dan meluas dengan intensitasnya yang tinggi, akan mampu diselesaikan. Peran pemimpin informal akhirnya jadi alternatif karena dianggap menguntungkan dan memiliki fungsi pengayom untuk menyandarkan peran-peran basis massa yang terlibat dalam konflik. Pola ini mirip dengan munculnya Kiai Alawi Muhammad ketika konflik Nipah mencuat ke permukaan, yang tiba-tiba menjadikannya sebagai tokoh nasional. Mengapa aparat negara takut mendekati rakyatnya sendiri?

Potret ini mengindikasikan munculnya disintegrasi elit massa dalam perjalanan politik lokal, termasuk timbulnya gejala konflik tanah di Jenggawah. Karena birokrasi lokal sebgai aparat negara mengalami kesullitan wenang untuk menyelesaikan konflik yang muncul, sebab rakyat sudah tidak percaya lagi, sehingga peran itu kemudian diambil oleh pemimpin informal seperti ketiga Kiai tersebut, yang mampu merumuskan kepentingan-kepentingan petani, kemudian meyakinkannya dengan berbagai tindakan di tengah-tengah mereka. Dari konteks ini, maka ada kecenderungan tersumbatnya saluran penyelesaian konflik politik yang dialami oleh masyarakat.Pola Penyelesaian Konflik

Istilah penyelesaian konflik mengacu pada pendekatan manajemen konflik politik dan teori strukturalis semi otonom. Kedua paradigma ini melihat keterlibatan negara secara konkret sebagai penengah munculnya konflik yang terjadi dalam masyarakat. Menurut pendekatan manajemen konflik, penyelesaian konflik, dianggap sebagai upaya pengelolaan konflik oleh negara. Negara memainkan peran dalam mengelola konflik yang terjadi di masyarakat sehingga dapat ditransformasikan menjadi konsesus.3029. Hasil wawancara dengan Tim Mediasi di Jember, Oktober 1995

30. R. Eep Saifullah Fatah, Manajemen Konflik Politik dan Demokrasi, dalam Prisma, No. 8, Agustus 1994

Sementara teori strukturalis semi otonom mempersepsikan negara sebagai lembaga politik yang lebih otonom. Negara dianggap lebih berperan sebagai penengah konflik antara berbagai kelompok kepentingan, sehingga pembangunan oleh negara dipandang sebagai upaya menggalang sumber daya untuk menengahi konflik yang terjadi.31Negara dalam kedua terminologi tersebut, dopersonifikasikan baik secara individual maupun lembaga. Nordlinger melihat negara secara subjektif atau dalam perangkat analias individual yaitu individu yang menduduki posisi yang memiliki kewenangan membuat dan melaksanakan keputusan yang mengikat semua pihak yang ada dalam wilayah tertentu. Termasuk dalam kategori ini adalah presiden, para menteri, dan para kepala daerah. Sementara Kresner dan Scotpol melihat negara dalam arti lembaga dan individu, seperti Mahkamah Agung, militer, kehakiman, BPN, ABRI, maupun Pengadilan, DPR, dan lain-lain.32 Sementara individu adalah seperti Bupati, Menteri, Presiden dan Wakil Presiden, dan Pangdam V Brawijaya.

Studi ini menemukan bahwa arah kontrol politik hanya diberikan dan diterapkan oleh negara dan aparatnya terhadap petani dan kelompok-kelompok penekan yang mendukungnya, serta tim mediator. Sementara kecenderungan kolusi yang menguntungkan PTP tampak sekali dalam berbagai tindakan aparat negara.

Kontrol politik oleh negara Orde baru (NOB) dan aparatnya, dilihat dari dua kriteria yaitu (a) siapa yang melakukan intervensi/ kontrol politi; dan (b) dalam bentuk apa intervensi/ kontrol politik dilakukan, baik kepada petani dan kelompok penekan, maupun tim mediasi. Sedang arah efektivitasnya dilihat melalui tiga kriteria yaitu, (1) apakah efektivitasnya tinggi, ditandai dengan stabilitas konsensus; (2) apakah efektivitasnya semu, ditandai dengan melatenkan konflik yang terjadi; dan (3) apakah efektivitasnya rendah, ditandai dengan mematikan konflik politik yang terjadi.Dari Skema 4 terlihat kontrol polotik yang dilakukan oleh negara justru melahirkan efektivitas semu dan rendah. Ini berbeda dengan harapan masyarakat agar efektivitas penyelesaian yang tinggi yang ditandai adanya konsensus di antara pihak-pihak yang berkonflik. Tetapi realitasnya muncul efektivitas semu dan rendah yang cenderung mematikan dan melatenkan konflik. Sebab pola yang diterapkan cenderung represif dengan mengedepankan security approach. Dampaknya, konflik tanah Jenggawah yang semestinya selesai pada 1969, tiba-tiba mencuat kembali dengan modus yang hampir sama yakni tindakan kekerasan dan radikalisme.

31. Piere James, State Theories and New Order Indonesia, dalam Arief Budiman (ed), State and Civil Society in Indonesia (Monas Papers on Shoutheast Asia, No. 22, 1990

32. Ramlan Surbakti, dalam Jurnal Ilmu Politik 14

Dari kriteria tersebut, arah kontrol politik dan efektivitasnya dijabarkan dalam Skema 4.Apa dampak bagi proses penyelesaian konflik yang diharapkan oleh masyarakat? Ternyata pola penyelesaian otokratis, di mana kontrol politik diarahkan untuk menindas partisipan konflik, secara paradigmatik hal ini merupakan negasi dari peran NOB dan aparatnya dalam upaya mengelola konflik yang muncul, selalu dikalkulasik merugikan penguasa untuk mempertahankan status quo kekuasaan, atau tidak. Jadi, gejala penggunaan kekerasan, represif-non institusional, acapkali menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pola penyelesaian konflik yang didominasi kekuasaan kalkulatif.

Gejala ini lebih parah lagi, tatkala upaya transformasi konflik tanah di Jenggawah ke arah konsesus,hanya dipandang dari sisi legalitas hukum yang berlaku dalamproses pengambilan keputusan. NOB dan aparatnya dalam mengadaptasi konflik yang muncul mestinya juga memandang dari sisi sosiologis dan psikologis, untuk menelusuri (1) bagaimana formulasi sikap dan konflik; (2) sumber-sumber yang menyebabkan konflik; (3) mengidentifikasi pola yang cocok untuk penyelesaian kasus. Negara tidak perlu mengeneralisasikan semua konflik yang terjadi dengan pola-pola penyelesaian yang sama yaitu represif-non-institisional dengan ciri intimidasi, teror, ancaman dan penangkapan.

Fungsi penelususran secara sosiologis dan psikologis dimaksudkan adalah untuk menghindari munculnya polarisasi baru, baik dalam persepsi maupun tindakan kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik. Sebab apabila kekuasaan kalkulatif masih mendominasi, peran NOB dan aparatnya tetap dianggap merugikan rakyat dan melemahkan kekuatannya. Dampaknya, sikap resistensi petani tetap akan muncul baik pada aras persepsi maupun tindalkannya, sebagai dampak ketidakpercayaan terhadap mekanisme kontrol politik Negara Orde Baru.

Resistensi ini juga dipengaruhi oleh semakin lemahnya kondisi ekonomi mereka, karena saluran-saluran ekonomi di luar pertanian tertutup. Tidak hanya itu, dari segi akses politik, mereka juga menjadi kelompok marginal di tengah kekuatan dahsyat yang setiap saat menghimpitnya. Lemahnya akses politik kelompok petani ini menimbulkan kristalisasi kekecewaan yang lebih mendalam. Potret ini dialami oleh petani Jenggawah. Di samping lemah secara ekonomi, mereka juga lemah dalam akses politik, ketika akan menyampaikan ketidakmampuannya. Sementara di sisi lain PTP secara ekonomi kuat, juga akses politiknya, sehingga makin menjadi tanda Tanya besa. Karena dalam perkembangan konflik yang muncul, peran NOB dan aparatnya dianggap mengamankan kepentingan PTP dengan cara kolusi, terutama dalam memperpanjang tanah HGU, yang menjadi sumber konflik, dan penyelesaian konflik yang terjadi.

Padahal, upaya petani untuk mempengaruhi proses politik sudah dilakukan sejak 1990 dengan mengajukan permohonan hak milik yang disampaikan lewat Bupati KDH TK II Jember. Pada 1993 tercatat 15 kali pengajuan permohonan kepada Pemda TK II Jember, DPRD TK II Jember, DPRD TK I Jatim, Bakostanda Jatim, DPR RI, Dirjen Perkebunan dan menteri Agraria. Sementara sepanjang 1997 diajukan 7 kali permohonan hak mlik, sedangkan pada 1995 tercatat 2 kali dengan hasil yang tidak menentu.

Pola penyelesaian konflik tanah di jenggawah dilakukan dengan cara represif dan hasil konsesnsus yang dibangun sangat rapuh, mematikan konflik dan melatenkan konflik politik. Hal demikian tidak lain karena kuatnya pengaruh aparat dan NOB hingga tingkat desa. Negara masuk desa, demikian meminjam istilah weber. Artinya, ideology Negara dengan birokrasi sentralistis dan komando dari pusat, benar-benar menguasai seluk beluk kehidupan masyarakat, termasuk kehidupan pertanian. Jaringan birokrasi yang demikian, kenyataannya menjadi benang kusut yang sangat sulit untuk dicari ujungnya, praksis di tingkat desa pun, dengan pola keamanan (security approach), diterapkan dengan adanya Babinsa, Koramil, Camat dan Kepolisian sebagai pilar-pilar pelaksana birokrasi di tingkat lokal.

Setidaknya ada tiga kecenderungan menarik tentang implikasi kuatnya jaringan tersebut bagi masyarakat Jenggawah. Pertama munculnya interaksi antara kuatnya jaringan birokrasi di tingkat lokal dan petani Jenggawah. Kecenderungan ini menyadarkan mereka atas munculnya kekuatan besar yang akan dihadapi. Kedua, terbentuknya jaringan kepentingan lokal (antar desa) untuk mengimbangi kekuatan birokrasi dalam perkembangan konflik tanah I jenggawah. Kepentingan petani yang berbeda, yang sebelumnya tidak terorganisasi secara utuh. Ini merupakan bukti atas pemahaman mereka terhadap dinamika konflik, akibat akumulasi perlakuan yang dialami selama konflik berlangsung, sehingga menyatukan konsistensi perjuangan melalui jaringan organisasi antar desa dan elit pemimpin. Ketiga, konflik cenderung meluas, berintensitas tinggi, dan dibarengi oleh sikap radikalisme massa, wujudnya yang khas dalam setiap demonstrasi dan unjuk rasa. Kekentalan ini memberikan arti penting atas timbulnya gagasan menggugat hegemoni Negara melalui tindakan resistensi menolak peran NOB dan aparatnya dalam penyelesaian konflik yang tidak berimbang. Jika dikaji secara state of nature, ada beberapa faktor yang mempengaruhi, terutama faktor internal. Pergulatan massa dengan konflik yang hampir 25 tahun dialami, mempengaruhi cara pandang mereka tentang politik, keadilan, konsistensi hukum, dan moral aparat Negara. Kondisi subjektif ini menjadi kuat pengaruhnya ketika hadir faktor eksternal. Faktor ini dipengaruhi oleh persinggungan para petani dengan aktivis advokasi dan parlemen jalanan dalam mendiskusikan problematika yang mereka alami. Pertanyaannya sampai kapan kondisi subjektif dan objektif ini akan bertahan dan menjadi kekuatan baru dalam sosio kultur masyarakat petani?

Paling tidak pertanyaan ini menyangkut persoalan, apakah konflik yang belum terselesaikan mungkin akan meledak kembali. Menurut Smleser, 33 kecenderungan ini akan terjadi, jika sumber-sumber konflik tidak diakomodasi secara seimbang dan tidak sejauhmana nilai-nilai konflik tetap diinternalisasikan oleh kelompok-kelompok petani yang tidak puas. Jika ini terpenuhi, mungkin sekali menurrut Smelser konflik akan muncul pada generasi berikutnya dan akar serta persoalannya tetap akan sama seperti konflik sebelumnya.

Kesimpulan : Rakyat dan Kekuasaan Hubungan keserasian antara rakyat dan negara dalam terminologi paradigm kultural jawa dicerminkan oleh konsep manunggaling kawulo gusti. Raja sebagai gusti dan rakyat sebagai kawula wong cilik lan abdi, merupakan elemen sistem sosial yang mereka kendalikan secara harmonis. Apa kunci keharmonisan itu? Dalam sejarah, dongeng rakyat melindungi raja atau sebaliknya seringkali menjadi cerita anak-anak negeri. Secara filosofis Jawa, keharmonisan itu terjadi, karena terjaganya lingkungan mikro dan makro, lingkungan mikro sebagai indikasi kawula, sedangkan lingkungan makro sebagai gambaran raja. Tatanan yang dibangun kerapkali disebut dengan istilah hubungan kawulo gusti atau dalam terminology teori modern disebut hubungan patron client suatu pola hubungan manunggal dan saling melindungi.

Kawulo memang manunggal dengan gusti, karena dalam tatanan filososfis Jawa raja memegang peranan legitimasi ilahiyah, yang menjadi panutan. Legitimasi itu akan musnah ketika moralitas sang raja tidak terjaga dan tertata dengan apik, atau raja merusak tatanan kosmos yang menjadi pilar kekuasaannya. Buntutnya, tanah pun juga dianggap milik raja, rakyat hanya de facto sebagai penggarap yang kemudian menyetor upeti yang telah ditata dalam hubungan itu.

33. Lihat Smelser dalam Mark N. Hagopian, Regime Movements, and ideologies; A. Comparative Introduction to political science (New York and London, Logman, 1978), hal. 262-265Masalahnya mengapa hanya konsep kekuasan saja yang diadopsi oleh orde baru dari filosofi Jawa? Mengapa pola keserasian itu kemudian hancur lebur oleh kepentingan pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi. Kenapa ketika timbul goro-goro atas munculnya pergeseran hubungan rakyat dan negara, polanya menjadi represif dan cenderung menindas? Kaidah pergeseran ini, justru mengimplementasikan negara berperilaku Machiavellian kuat, rakus, dan menindas.

Pergeseran ini secara tidak langsung menjadi pemicu atas munculnya berbagai resistensi tindakan petani menyangkut persoalan tanah mereka. Hal ini terjadi karena 1) Negara yang harus menjadi pelindung dan pengelola konflik justru mereduksi dan mengalienisasi kekuatan-kekuatan rakyat dalam pembangunan, 2) tindakan dalam pengelolaan konflik yang lebih cenderung represif non institusional, mengindikasikan perubahan dan pergeseran hubungan itu. Perspektif ini menarik, untuk mencari akar filosofis kekuasaan yang dipahami oleh petani Jenggawah, yang seharusnya dimanifestasikan dalam wujud melindungi dan mengatur konflik. Harapan ini selalu muncul, bahwa keadilan, konsistensi hukum, peran membina masyarakat, menjadi harapan konkret untuk diterapkan sebagai formulasi upaya negara menyelesaikan konflik.

Pertanyaan DiskusiAKonflik Tanah di Jenggawah (Bacaan No.9)

1Coba dijelaskan latar belakang terjadinya konflik di Jenggawah?

2Termasuk tipologi yang mana konflik yang terjadi di Jenggawah?

3Sebutkan dan jelaskan pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam konflik tersebut?

4Bagaimana mekanisme penyelesaian konflik tanah di jenggawah, dan apa peran pemerintah dalam menyelesaikan konflik tersebut?

5 Menurut anda, bagaimana peluang (potensi) terjadinya konflik kembali dari hasil penyelesaian sekarang?

B Masyarakat Pedesaan di Indonesia (Bacaan No.1)

Coba indentifikasi proses-proses social asosiatif apa saja yang dijumpai dalam masyarakat pedesaan di Indonesia? Mengapa (apa Latar belakang munculnya) proses-proses social tersebut serta fungsinya dalam kehidupan masyarakat.

MODUL

9

TIM MEDIATOR

SELF-PROPAGATING ENTREPRENEURIAL EDUCATION DEVELOPMENT (SPEED)

Etika

Spirit Protes

PTP XXVII PETANI BURUH, MANDOR DAN CENTENG

PETANI FIKTIF

PETANI INTI BASIS KELOMPOK-KELOMPOK PENEKAN YANG MENDUKUNG PETANI

NEGARA DAN APARATNYA

Tim Mediator

Petani inti basis kelompok-kelompok penekan yang mendukung petani

Kriteria 1. Siapa yang menintervensi

Aparat Keamanan: Polisi & militerKepentingan ABRI sebagai alat pengaman

Aparat desa dan supra desanegara

(kecamatan, kabupaten,

Provinsi dan pusat)

Kriteria 2. Dalam bentuk apa intervensi dilakukan

Ancaman dan paksaanTekanan pola kemitraan, melalui musyawarah

Pengrebekan dataPerubahan hasil akhir konflik, bukan hak milik,

Diskriminasi hukumpola kemitraan

Pembentukan tim mediasi

Putupan lokasi konflik

Kriteria 3. Arah efektifitasnya

EFEKTIFITAS SEMU DAN RENDAH

Melatinkan konflik dan mematikan konflik

Protes Petani

Kerawanan:

Struktural

Ekologis

Monokultuur

Budaya

Islam

Jawa Timuran

Subbudaya Madura

Page 22 of 23