mogok kerja sebagai penyebab pemutusan hubungan kerja …
TRANSCRIPT
MOGOK KERJA SEBAGAI PENYEBAB PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (STUDI KASUS: PUTUSAN NO:
196/PHI.G/2009/PN.JKT.PST)
FERDIAN FAJAR PEMBIMBING: MELANIA KISWANDARI
PROGRAM STRUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
ABSTRAK Judul Skripsi: Mogok Kerja sebagai Penyebab Pemutusan Hubungan Kerja (Studi Kasus: Putusan No: 196/PHI.G/2009/PN.JKT.PST) Skripsi ini membahas mengenai pengaturan mogok kerja dalam peraturan perundang-undangan serta pelaksanaannya dalam praktek. Kasus yang dipergunakan sebagai materi studi kasus adalah mogok kerja yang dilakukan oleh pekerja/buruh Rumah Sakit Husada, yang dilanjutkan dengan analisis terhadap Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor: 196/PHI.G/2009/PN.JKT.PST. Mogok kerja umumnya disebabkan oleh perselisihan yang terjadi antara perusahaan dengan pekerja/buruh. Mogok kerja merupakan hak asasi pekerja/buruh terkait dengan kemerdekaan mereka untuk mengemukakan pendapat serta sarana untuk menghimpun kekuatan guna meningkatkan posisi tawar terhadap pengusaha. Kata Kunci: mogok kerja, perselisihan hubungan industrial, pemutusan hubungan kerja. Pendahuluan
Beberapa kasus mogok yang terjadi, antara lain kasus 150 awak bus kota Damri
Semarang yang melakukan aksi akibat gaji yang belum dibayar selama 2 (dua) bulan
sampai mogok kerja tersebut dilakukan. Terdapat pula kasus 3.000 pekerja PT. Sanyo
Jaya Components Indonesia yang juga melakukan aksi mogok kerja untuk kenaikan upah
di tahun 2006. Pada tahun yang sama terjadi kasus 700 pekerja/buruh karoseri mobil PT
Adi Putro Kota Malang, Jawa Timur melakukan mogok kerja dan menolak sistem
kontrak yang diberlakukan perusahaan serta menuntut kenaikan upah.1 Pada tahun 2011
terjadi mogok kerja 6.000 pekerja/buruh PT. Freeport dengan tujuan untuk meminta
1 Rahmat Abdul Budiono, Pengantar Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
1999), hlm. 31.
Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013
kenaikan upah kepada pihak manajemen.2 Mereka juga menuntut pembayaran rapelan
kenaikan gaji selama 7 (tujuh) bulan, kejelasan program jaminan sosial tenaga kerja, dan
tabungan asuransi pensiun.3 Selain kasus-kasus tersebut, masih banyak lagi kasus mogok
yang terjadi di Indonesia. Umumnya penyampaian pendapat melalui mogok kerja
dilakukan pekerja akibat tidak terpenuhinya rasa keadilan dan hak-hak pekerja.4
Dalam skripsi yang berjudul Mogok Kerja sebagai Penyebab Perselisihan
Pemutusan Hubungan Kerja (Studi Kasus Putusan Pengadilan Hubungan Industrial
Nomor: 196/PHI.G/2009/PN.JKT.PST) pokok permasalahan yang diangkat oleh penulis
adalah:
1. Bagaimana pengaturan mengenai mogok kerja dan syarat-syarat mogok kerja yang
sah?
2. Bagaimana pelaksanaan mogok kerja dalam praktek? (Studi Kasus Putusan PHI
Nomor: 196/PHI.G/2009/PN.JKT.PST. Tentang Penyelesaian PHK kepada Leila
Gentjana dan Encep Ishaq oleh Rumah Sakit Husada).
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengaturan mogok
kerja dan praktek yang dilakukan oleh pekerja sehingga dapat diketahui mogok kerja
yang sah dan tidak melanggar peraturan yang berlaku.
Dalam menyusun skripsi ini, penulis pada dasarnya menggunakan metode yuridis
normatif. Metode penelitian yuridis normatif merupakan penelitian yang khusus meneliti
hukum sebagai norma positif di dalam sistem perundang-undangan.5 Dalam penelitian
yuridis normatif ini, penelitian mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
2 AG. Kartasapoetra, Hukum Perburuhan di Indonesia Berdasarkan Pancasila, (Jakarta: Sinar
Grafika, 1993), hlm 294. 3 Philipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), (Surabaya: Yundika, 1994),
hlm. 71. 4 Sandra, Sejarah Pergerakan Perburuhan Indonesia, (Jakarta: Pustaka Rakyat, 2008), hlm. 23. 5 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2005), hlm. 6.
Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013
tentang Ketenagakerjaan dan mengacu pula pada peraturan perusahaan yang mengatur
mengenai ketenagakerjaan.
Berdasarkan jenis dan bentuk data yang dikumpulkan, data yang diperlukan pada
penelitian ini adalah data sekunder yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan.
Jenis data sekunder yang digunakan dalam penelitian adalah:
a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yakni Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2013, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1998, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
232 Tahun 2003, dan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor: 196/
PHI.G/2009/PN.JKT.PST.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang menjelaskan bahan hukum
primer, seperti Penjelasan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Perselisihan Hubungan Industrial, buku Makin Terang Bagi Kami Belajar Hukum
Perburuhan karangan Surya Tjandra, Masalah PHK dan Pemogokan karangan
Ninik Widiyanti, Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia karangan
Agusmidah, dan artikel yang dimuat di internet seperti Legal Akses tentang
Perundingan Bipartit yang diakses pada 2 Juni 2013.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberi keterangan bahan hukum
primer dan sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Online
Black’s Law Dictionary, dan ensiklopedia online seperti Wikipedia mengenai
Manajemen Hubungan Industrial.6
Alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah menggunakan studi dokumen
atau penelusuran kepustakaan. Penelusuran kepustakaan digunakan untuk mendapatkan
data berupa norma-norma hukum.
Dalam mengolah dan menganalisis data yang akan digunakan dalam penelitian
skripsi ini, metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Pendekatan kualitatif
memusatkan kepada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan
gejala yang ada dalam kehidupan manusia, atau pola-pola yang dianalisis gejala-gejala
6 M. Syamsudin, Operasional Penelitian Hukum, (Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2007), hlm. 25.
Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013
sosial budaya dengan menggunakan kaidah-kaidah hukum positif yang bersangkutan
untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku.7
Penulisan ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan tipologi
penelitian menurut sifatnya adalah penelitian deskriptif (dimaksudkan untuk memberikan
data yang seteliti mungkin demi mempertegas hipotesis), menurut bentuknya adalah
penulisan evaluatif (bertujuan untuk menilai keadaan sekitar yang terkait permasalahan),
menurut tujuannya ialah penulisan fact finding, menurut sudut penerapannya ialah
penulisan berfokus masalah (problem focused research), dan menurut ilmu yang
dipergunakan ialah penulisan monodisipliner.8
PEMBAHASAN
Tinjauan Teoritis
Mogok kerja mencakup pengertian-pengertian dari 2 (dua) unsur yaitu mogok dan
kerja. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang dimaksud dengan
mogok kerja adalah:
“menghentikan kegiatan atau pekerjaan, karena adanya tuntutan yang tidak dipenuhi oleh pihak perusahaan atau tempat bekerja.”9
Black’s Law Dictionary mendefinisikan mogok kerja sebagai berikut:
“The act of a body of workmen employed by the same master, in stopping work all together at a prearranged time, and refusing to continue until higher wages, or shorter time, or some other concession is granted to them by the employer.”10
Terjemahan bebasnya adalah aksi yang dilakukan oleh organisasi pekerja/buruh atau
perwakilan semacam itu di tempat kerja, dengan melakukan pemberhentian pekerjaan
7 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Rineka Cipta: Jakarta, 2004), hlm. 20. 8 Soekanto, Op. Cit., hlm. 7. 9 KBBI Online, “Mogok Kerja” http://kbbi.web.id/, diunduh 11 Mei 2013. 10 Black’s Law Dictionary. “Strike” http://www.blackslawdictionary.com/Home/Default.aspx,
diunduh 27 Mei 2013.
Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013
secara bersama-sama dalam waktu yang telah ditentukan, sampai tuntutan-tuntutan
mereka dipenuhi oleh pengusaha.
Terdapat pula pendapat Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof.
A. Uwiyono bahwa mogok kerja merupakan alat penyeimbang (equilibrium) karyawan
atau buruh yang berada pada posisi lemah.11
Berdasarkan Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan dan Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor 232 Tahun 2003 tentang Akibat Mogok Kerja Tidak Sah, pengertian mogok kerja
adalah:
“tindakan pekerja/ buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/ atau oleh serikat pekerja/ serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.”12
Dapat disimpulkan bahwa mogok kerja adalah tindakan yang dilakukan oleh para
pekerja/buruh secara bersama-sama untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan
dengan tujuan agar perusahaan memenuhi tuntutan mereka. Ruang lingkup mogok kerja
meliputi pekerja/buruh yang melakukan mogok, pengusaha sebagai pemilik perusahaan
dan aksi mogok itu sendiri.
Secara yuridis, mogok kerja diakui sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat
pekerja/buruh.13 Adapun pengaturan mengenai mogok kerja meliputi pengertian, syarat
dan prosedur, pembatasan, serta perlindungan terhadap pelaksanaan mogok. Mogok
secara umum diartikan sebagai tidak mau bekerja.14 Adapun syarat yang berkaitan
dengan prosedur mogok kerja meliputi syarat mogok kerja harus merupakan akibat
gagalnya perundingan, pemberitahuan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang
bertanggung jawab setempat sekurang-kurangnya dalam waktu 7 hari kerja sebelum
11 Surya Tjandra, Makin Terang Bagi Kami Belajar Hukum Perburuhan, (Jakarta: TURC, 2006),
hlm. 138. 12 Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Op. Cit., Ps. 1 ayat (23). 13 Soetedi, Op. Cit., hlm. 44. 14 Soedarjadi, Op. Cit., hlm. 57.
Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013
mogok, dan dilakukan dengan tertib dan damai. Syarat akibat gagalnya perundingan
berarti tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
karena pengusaha menolak berunding walaupun serikat pekerja/buruh atau pekerja/buruh
telah memintanya secara tertulis kepada pengusaha sebanyak 2 kali dalam tenggang
waktu 14 hari kerja atau perundingan-perundingan yang dilakukan mengalami kebuntuan,
hal mana dinyatakan para pihak dalam risalah perundingan. Syarat kedua terkait
pemberitahuan sekurang-kurangnya harus memuat waktu (hari, tanggal, dan jam),
dimulai dan diakhirinya mogok kerja, tempat mogok kerja, alasan dan sebab-sebab
mogok kerja, serta tandatangan ketua serta sekretaris dan/atau masing-masing
ketua/serikat pekerja/buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja. Dalam hal mogok
kerja dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi serikat pekerja/buruh, maka
pemberitahuan ditandatangani pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai kordinator mogok
kerja. Selanjutnya, diatur pula bahwa instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang
menerima surat pemberitahuan mogok kerja harus memberikan tanda terima. Diatur pula
bahwa instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan
masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan dengan mempertemukan para pihak
yang berselisih untuk berunding, sebelum dan selama mogok kerja berlangsung. Apabila
perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan, maka dibuatkan perjanjian bersama
yang ditandatangani para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan sebagai saksi. Dalam hal perundingan tersebut tidak
menghasilkan kesepakatan, maka pekerja yang berasal dari instansi dari ketenagakerjaam
tersebut segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok kerja kepada
lembaga perselisihan hubungan industrial yang berwenang. Pembatasan mogok kerja
ditujukan kepada pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani
kepentingan umum dan/atau jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa
manusia. Mogok kerja yang dilakukan oleh pekerja/buruh yang sedang bertugas di
perusahaan dengan kategori tersebut diatas dikualifikasikan sebagai mogok kerja yang
tidak sah. Diatur juga bahwa apabila mogok kerja dilakukan bersamaan dengan tindakan-
tindakan yang termasuk dalam kategori mengemukakan pendapat di muka umum maka
pembatasan tersebut bergeser menjadi larangan.15 Perlindungan terhadap pelaksanaan
Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013
mogok berupa larangan melakukan pengangkapan dan/atau penahanan pengurus serikat
pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Terdapat juga larangan bagi pengusaha untuk mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja
dengan pekerja/buruh lain di luar perusahaan atau memberikan sanksi atau tindakan
balasan kepada pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh selama dan sesudah mogok kerja
lainnya.16 Mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku merupakan
mogok kerja yang sah17, sedangkan mogok kerja yang dilakukan secara bertentangan
dengan ketentuan termaksud dikategorikan sebagai mogok kerja yang tidak sah.18
Berdasarkan peraturan yang berlaku, secara garis besar terdapat 2 (dua) jenis
mogok kerja, yaitu mogok kerja yang sah dan yang tidak sah19 Untuk menentukan apakah
suatu mogok kerja tersebut sah atau tidak, diperlukan acuan berdasarkan ketentuan-
ketentuan yang mengatur mengenai hal tersebut. Apabila mogok kerja dilakukan sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 232 Tahun 2003
tentang Akibat Hukum Mogok Kerja yang Tidak Sah, maka mogok kerja tersebut sah
secara hukum. Apabila mogok kerja dilakukan bertentangan dengan dua ketentuan
tersebut diatas, maka mogok kerja tersebut merupakan mogok kerja yang tidak sah secara
hukum. Pemogokan juga merupakan salah satu cara untuk mengeluarkan pendapat,
sehingga untuk menilainya dapat dilihat berdasarkan tujuan dan cara pelaksanaannya,
bertentangan dengan hukum atau tidak. Sedapat mungkin dihindari terjadinya
pemogokan, demonstrasi, dan penutupan perusahaan (lock out).
15 Indonesia, Undang-Undang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat, UU Nomor 9 Tahun 1998,
LN No. 181 Tahun 1998, TLN No. 3789, Ps. 18. 16 Tjandra, Op. Cit., hlm. 146. 17 Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Op. Cit., Ps. 145. 18 Mogok kerja yang tidak sah dapat dikualifikasikan sebagai mangkir, berdasarkan Pasal 6
Keputusan Meneteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 232 Tahun 2003 Tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Tidak Sah. Mangkir adalah tidak datang/ absen. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Tidak Sah. Kementerian No. 232 Tahun 2003.
19 Ninik Widiyanti, Masalah PHK dan Pemogokan, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 105.
Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013
Jenis-jenis mogok kerja menurut Francois Daumas adalah wildcat strike (mogok
kerja tidak teratur) yakni mogok yang tidak disetujui oleh serikat pekerja, piston strike
yaitu mogok dengan berhenti seluruh pekerja, secondary boycott berupa menyebar
selebaran kepada konsumen untuk tidak menggunakan produk perusahaan tersebut,
buzzing strike yakni mogok dengan membuat keributan, sit down strike yaitu mogok
dengan cara duduk di dalam perusahaan, sympathy strike (mogok kerja simpati) yakni
mogok berupa tindakan yang dilakukan untuk mendukung kelompok pekerja lain yang
melakukan mogok, slowdown strike (mogok kerja merlambat pekerjaan) yakni mogok
yang dilakukan ketika para pekerja masih bekerja, tapi sangat lambat sehingga target
kerja tidak tercapai, green ban (mogok kerja penghijauan) yakni mogok kerja yang
dilakukan untuk menekan agar perusahaan mengadopsi praktek-praktek produksi yang
lebih ramah lingkungan.20
Mengacu pada pendapat doktrin bahwa mogok merupakan salah satu mekanisme
penyeimbang kekuatan saat posisi pekerja/buruh sedang lemah, umumnya mogok
berfungsi sebagai mekanisme penekan agar pengusaha memenuhi hal-hal yang diminta
oleh pekerja/buruh untuk dipenuhi. Mogok kerja dari sisi pekerja/buruh merupakan hak
yang sangat diperjuangkan sehingga pada akhirnya pekerja/buruh mendapatkan hak-hak
normatif dan non-normatif, walaupun mungkin belum sesuai yang diharapkan karena
dalam prakteknya masih mempertimbangkan kemampuan ekonomi dari perusahaan yang
bersangkutan. Oleh sebab itu, fungsi mogok bagi pekerja/buruh terbagi dalam dua aspek,
yakni aspek ekonomi dan non ekonomi. Aspek ekonomi dari fugsi mogok adalah sebagai
berikut:21 Pada dasarnya seseorang yang bekerja pada suatu perusahaan mengharapkan
imbalan yang adil dan layak, sesuai dengan jenis, beban pekerjaan serta dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Dengan terpenuhinya upah sesuai kriteria tersebut
di atas dan/atau upah yang tidak ditangguh-tangguhkan oleh para pemimpin perusahaan,
maka rasa kecukupan untuk memenuhi standar kehidupan yang layak bagi pekerja/buruh
20 François Daumas, Ägyptische Kultur im Zeitalter der Pharaonen, (Munich: Knaur Verlag,
1969), hlm. 309. 21 Sulistyo, Op. Cit., hlm. 83.
Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013
maupun bagi keluarganya akan semakin terasa. Selain dari pada itu pekerja/buruh akan
merasa dibutuhkan oleh perusahaan, sehingga terjadi timbal balik rasa yang selaras.22
Seorang pekerja/buruh akan merasa bangga apabila perusahaan dimana tempat yang
bersangkutan bekerja mengalami kemajuan yang pesat dan dikenal masyarakat luas.23
Hal tersebut yang nantinya akan mengangkat derajat pekerja/buruh yang bekerja pada
perusahaan tersebut sehingga dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan. Secara
langsung maupun tidak pekerja/buruh tersebut akan mempromosikan perusahaannya
kepada khalayak ramai sehingga terjalin hubungan yang baik antara perusahaan dengan
masyarakat.24
Selain aspek ekonomi, fungsi mogok kerja bagi pekerja juga menyangkut aspek
non ekonomi, yaitu keadaan dan perlindungan dalam pekerjaan. Dalam hal ini faktor
yang dimaksud adalah faktor keamanan serta perlindungan dalam pelaksanaan pekerjaan.
Terpenuhinya jaminan atas syarat-syarat kondisi kerja yang baik serta perlindungan
pekerja/buruh dari segi ekonomi, sosial dan teknis menyebabkan pekerja/buruh dapat
melakukan pekerjaan dengan lebih baik.25 Oleh sebab itu pemimpin perusahaan wajib
mengetahui dan memahami dengan pasti mengenai lingkungan kerja yang baik dan dapat
menyediakan jaminan perlindungan bagi para pekerja/buruhnya guna mendapatkan hasil
kerja yang diharapkan.
Akibat hukum dari mogok kerja yang sah adalah bahwa dalam pelaksanaanya,
pekerja/buruh akan memperoleh perlindungan terkait status
kepegawaian/pemekerjaannya sebab pengusaha dilarang untuk mengganti pekerja/buruh
yang mogok kerja tersebut dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan26,
perlindungan terhadap halangan untuk menggunakan hak mogok dan terhadap
22 Daumas, Op. Cit., hlm. 114. 23 Widiyanti, Op. Cit., hlm. 107. 24 Sulistyo, Op. Cit., hlm. 47. 25 Widiyanti, Op. Cit., hlm. 83. 26 Pihak yang melanggar ketentuan tersebut dikategorikan melakukan tindak pidana pelanggaran
dengan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 bulan dan paling lama 1 tahun, dan denda paling sedikit 10 juta dan paling banyak 100 juta. Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Op. Cit. Ps. 187.
Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013
kemungkinan kriminalisasi mogok kerja berupa penangkapan dan/atau penahanan27,
pemberian sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun selama dan sesudah mogok
kerja, dan perlindungan atas upah pada hari dilangsungkannya mogok kerja.
Perlindungan lainnya adalah terhadap kemungkinan pemutusan hubungan kerja atas
alasan mangkir maupun alasan tertentu.28
Adapun akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah ialah bahwa mogok
tersebut dikualifikasikan sebagai mangkir, yang apabila pemanggilan untuk kembali
bekerja secara patut dilakukan oleh pengusaha namun karena sedang mogok kerja hal
tersebut diabaikan pekerja/buruh, maka yang bersangkutan dianggap mengundurkan diri.
Jika sampai terjadi hilangnya nyawa manusia pada saat mogok kerja tidak sah dilakukan
maka hal tersebut dikualifikasikan sebagai kesalahan berat, yang juga dapat berakibat
dengan pemutusan hubungan kerja. Mogok kerja yang dilakukan tidak secara sah, tertib,
damai, serta merupakan akibat gagalnya perundingan berakibat bahwa pekerja/buruh
dan/atau serikat pekerja/buruh pelaksananya dikategorikan melakukan tindak pidana
pelanggaran dengan sanksi pidana penjara paling singkat 1 bulan, paling lama 4 bulan,
dan denda paling sedikit 10 juta rupiah dan paling banyak 400 juta rupiah.29
Akibat dari mogok kerja salah satunya adalah perusahaan (pengusaha) mengalami
gangguan pada persoalan target produksinya, misalnya kuantitas dan kualitas menurun.
Hal tersebut dapat menyebabkan pengusaha mengalami kerugian, terutama dalam hal
produksi dan penjualannya. Guna menghindari persoalan tersebut serta sebagai tindakan
balasan dari mogok kerja yang dilakukan pekerja/buruh, maka pengusaha melakukan lock
out atau dikenal sebagai penutupan perusahaan sebagai tindakan balasan pengusaha atas
mogok kerja yang dilakukan pekerja.
Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha untuk menolak
pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan.30 Penutupan
27 Ibid, Ps. 185. 28 Konvensi ILO Tahun 1987 Tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak yang
diratifikasi oleh Kepres No. 83 Tahun 1998. 29 Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Op. Cit., Ps. 186. 30 Ibid, Ps. 1 ayat (24).
Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013
perusahaan merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh sebagian atau
seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan.31
Meskipun demikian, pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan
sebagai tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh
dan/atau serikat pekerja/serikat buruh. Meskipun merupakan hak pengusaha, penutupan
perusahaan dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang melayani kepentingan
umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan jiwa manusia, meliputi
rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali jaringan telekomunikasi,
pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas bumi, serta kereta api. Agar
penutupan perusahaan yang dilakukan oleh pengusaha sah, maka pelaksanaan harus
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003, bahwa pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh
dan/atau serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 hari kerja sebelum penutupan
perusahaan dilaksanakan.32 Pemberitahuan tersebut sekurang-kurangnya memuat waktu
(hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan dan alasan dan sebab-
sebab melakukan penutupan perusahaan. Pemberitahuan dimaksud ditandatangani oleh
pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan yang bersangkutan. Pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dan instansi bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang
menerima secara langsung surat pemberitahuan penutupan perusahaan harus memberikan
tanda bukti penerimaan dengan mencantumkan hari, tanggal, dan jam penerimaan.
Sebelum dan selama penutupan perusahaan berlangsung, instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan masalah yang
menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan dengan mempertemukan dan
merundingkannya dengan para pihak yang berselisih. Hal perundingan yang
menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani
oleh para pihak dan pekerja/buruh dari instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan sebagai saksi. Apabila hal perundingan tidak menghasilkan kesepakatan,
31 Sulistyo, Op. Cit., hlm. 134. 32 Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Op. Cit., Ps. 148, 149.
Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013
maka pekerja/buruh dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya penutupan perusahaan
kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Jelaslah bahwa penggunaan hak mogok kerja yang merupakan hak pekerja/buruh
dan penutupan perusahaan yang merupakan hak pengusaha harus dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan seperti diuraikan di atas, pengaturan ini tidak
berarti mengekang kebebasan para pihak (pekerja/buruh dan pengusaha) tapi semata-
mata agar dalam penggunaannya tidak mengganggu hak dan kebebasan orang lain serta
ketertiban umum. Penggunaan hak tersebut tanpa kendali dapat mengakibatkan tindakan
anarkis yang akan sangat merugikan para pihak maupun orang lain.
Hubungan antara mogok kerja dengan perselisihan hubungan industrial adalah
bahwa mogok kerja dapat disebabkan oleh tidak tercapainya kata sepakat tentang
penyelesaian suatu perselisihan hubungan industrial atau justru dapat mengakibatkan
timbulnya perselisihan hubungan industrial baru (jenis lain). Umumnya mogok kerja
disebabkan oleh karena tidak dipenuhinya tuntutan yang bersifat normatif atau adanya
perbedaan kepentingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Di sisi lain, mogok kerja
juga dapat mengakibatkan timbulnya perselisihan pemutusan hubungan kerja
sebagaimana terdapat dalam Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor:
196/PHI.G/2009/PN.JKT.PST. yang dibahas dalam skripsi ini.
Terdapat beberapa pengertian tentang perselisihan hubungan industrial.
Diantaranya adalah menurut Black’s Law Dictionary, Undang-Undang Nomor 22 Tahun
195733, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004. Dalam Black’s Law Dictionary, perselisihan hubungan industrial didefinisikan
sebagai “the disputes because of the relationships that exist between the management and
the workers”. Terjemahan bebasnya adalah perselisihan yang terjadi karena hubungan
antara manajemen dengan pekerja/buruh. Menurut Pasal 1 ayat (16) Undang-Undang
33 Undang-Undang tersebut sudah dinyatakan tidak berlaku lagi melalui Pasal 125 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial yang isinya sebagai berikut: “Dengan berlakunya undang-undang ini, maka: Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dinyatakan tidak berlaku lagi.”
Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Undang-Undang Ketenagakerjaan)
hubungan industrial:
“ suatu sistem hubungan yang berbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/ buruh dan pemerintah yang berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”.34
Dalam bidang perburuhan, perselisihan mulai dikenal sejak zaman pemerintahan
Hindia Belanda sebagai akibat dari pemogokan yang dilakukan oleh pekerja/buruh kereta
api35. Hal yang pertama kali diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda terkait perselisihan
adalah cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial, khususnya di sektor
pengangkutan kereta api melalui pembentukan verzoeningsraad (dewan pendamai).
Peraturan tentang dewan pendamai bagi perusahaan kereta api dan term untuk Jawa dan
Madura adalah Regerings Besluit tanggal 26 Februari 1923, Stb. 1923 No. 80, yang
kemudian diganti dengan Stb. 1926 No. 22436. Pada tahun 1937 peraturan di atas dicabut
dan diganti dengan Regerings Besluit tanggal 24 November 1937, Stb. 1937 No. 31
tentang Peraturan Dewan Pendamai bagi perusahaan kereta api dan term yang berlaku
untuk seluruh Indonesia37. Tugas dewan pendamai ialah memberi perantaraan jika di
perusahaan kereta api dan trem terjadi perselisihan perburuhan yang akan atau telah
mengakibatkan pemogokan. atau dengan kata lain merugikan kepentingan umum. Pada
tahun 1939 dikeluarkan tentang peraturan cara menyelesaikan perselisihan perburuhan
pada perusahaan lain di luar kereta api melalui Staatsblad 1939 Nomor 407 tentang
Regerings Besluit tanggal 20 Juli 1939. Peraturan tersebut kemudian diubah dengan
Staatsblad 1948 Nomor 23838. Demikian peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh
pemerintah Hindia Belanda sehubungan dengan pengaturan perselisihan perburuhan yang
pada waktu itu kerap terjadi.
34 Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. op. cit., Ps. 1 (16). 35 A. Ridwan Halim, Sari Hukum Perburuhan Aktual, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), hlm. 32. 36 Egi Sudjana, Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia, (Jakarta: Reinaisan, 2005), hlm. 62. 37 Djumadi, Perjanjian Kerja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 87. 38 Halim, Op. Cit., hlm. 72.
Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013
Selanjutnya, pada awal kemerdekaan perselisihan industrial tidak terjadi sampai
pada taraf yang membahayakan atau mengganggu perekonomian39. Hal tersebut dapat
dimaklumi karena segala perhatian bangsa dan seluruh rakyat Indonesia pada waktu itu
ditujukan pada bagaimana cara mempertahankan negara yang akan direbut kembali oleh
pemerintah Belanda. Perselisihan-perselisihan perburuhan yang besar dan penting serta
disertai pemogokan mulai timbul setelah pengakuan kedaulatan, karena kaum
pekerja/buruh dan rakyat pada umumnya dengan penuh kesadaran akan harga pribadi
mulai membelokkan perhatiannya ke arah perjuangan dalam lapangan sosial ekonomi.
Pemogokan yang demikian menyebabkan keamanan dan ketertiban sangat terganggu
sehingga dikeluarkanlah Peraturan Kekuasaan Militer tanggal 13 Februari 1951 Nomor 1
tentang Penyelesaian Pertikaian Perburuhan40. Peraturan tersebut melarang pelaksanaan
pemogokan di perusahaan yang vital dengan ancaman hukuman kurungan setinggi-
tingginya 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp10.000,00. Dalam kenyataannya
peraturan ini tidak membawa hasil seperti yang diinginkan, sehingga pada tahun 1951
pemerintah mengeluarkan undang-undang yakni Undang-Undang Darurat Nomor 16
Tahun 1951 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan41.
Ternyata dalam pelaksanaannya peraturan tersebut juga belum mampu
menuntaskan masalah-masalah perburuhan pada masa itu. Undang-undang darurat sering
mendapat kecaman dari para pihak, khususnya serikat pekerja/buruh karena dipandang
sebagai peraturan pengekangan terhadap hak mogok. Pihak yang hendak melakukan
tindakan terhadap pihak lainnya, harus memberitahukan maksudnya dengan surat kepada
panitia daerah. Tindakan mogok baru boleh dilakukan secepat-cepatnya tiga minggu
sesudah pemberitahuan tentang mogok diterima oleh panitia daerah. Pelanggaran
terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana. Adanya kecaman-kecaman inilah yang
mendorong dicabutnya Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 dan sebagai
39 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 104. 40 Sudjana, Op. Cit., hlm. 52. 41 Henry Simamora. Manajemen Sumber Daya Manusia. (Yogyakarta: Bagian Penerbitan Sekolah,
2004), hlm. 563.
Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013
penggantinya pada tanggal 8 April 1957 diundangkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (LN. 1957 Nomor 42).42
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan pada tahap awal mensyaratkan perselisihan diselesaikan secara musyawarah
untuk mencapai mufakat yang dilaksanakan oleh para pihak yang berselisih. Apabila
tidak dicapai perdamaian antara pihak yang berselisih setelah dicari upaya penyelesaian
oleh para pihak, maka baru diusahakan penyelesaiannya oleh Badan Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan. Badan tersebut juga dalam mencari penyelesaian harus tetap
berpedoman pada asas musyawarah untuk mencapai mufakat serta harus pula memberi
kesempatan kepada para pihak yang berselisih sebelum mengambil keputusan.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (e) Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan, secara tegas untuk yang pertama kali dikenal sebutan pegawai
yang diberi tugas untuk memberikan perantaraan (Pasal 3 ayat (2)). Pegawai tersebut
adalah pegawai Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja
untuk memberikan perantaraan dalam perselisihan perburuhan. Dalam pelaksanaan
tugasnya, pegawai perantara dapat bertindak sebagai juru penengah, juru pendamai, atau
sebagai juru pemisah.
Pada saat ini, pengaturan mengenai perselisihan hubungan industrial diatur dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial.
Undang-Undang tersebut memuat ketentuan-ketentuan tentang jenis perselisihan yang
diantaranya adalah perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan. Instansi/lembaga yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
adalah dinas ketenagakerjaan dan transmigrasi setempat yang memfasilitasi
terselenggaranya penyelesaian melalui mediasi. Selain itu pengadilan hubungan industrial
juga memiliki wewenang dalam memutuskan perselisihan hubungan industrial.
Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Perselisihan Hubungan Industrial, jenis-
jenis perselisihan hubungan industrial meliputi perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan antar serikat pekerja hanya dalam satu perusahaan dan
42 Indonesia, Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, UU No. 22 Tahun 1957,
LN No. 42 Tahun 1957, TLN No. 1227.
Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013
perselisihan pemutusan hubungan kerja. Adapun perselisihan hak adalah perselisihan
yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau
penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja sama.43 Contohnya dalam peraturan perusahaan,
perjanjian kerja bersama, dan perjanjian kerja terdapat kesepakatan yang tidak
dilaksanakan atau terdapat ketentuan normatif yang dilaksanakan tidak sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam
hubungan kerja akibat tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau
perubahan syarat-syarat kerja yang diterapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.44 Contohnya adalah kenaikan upah, transpor,
uang makan, premi dana lain-lain. Perselisihan antar serikat pekerja hanya dalam satu
perusahaan adalah perselisihan antara serikat pekerja dengan serikat pekerja lain hanya
dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan,
pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatan pekerjaan.45
Adapun perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang
dilakukan oleh salah satu pihak.46 Contohnya: ketidaksepakatan mengenai alasan
pemutusan hubungan kerja dan perbedaan hitungan pesangon.
Pemutusan hubungan kerja merupakan suatu tindakan pengakhiran hubungan
kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha, yang disebabkan oleh suatu hal tertentu,
dengan cara yang telah diatur dalam undang-undang. Pasal 151 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2000 menyebutkan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat
buruh, dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi
pemutusan hubungan kerja. Oleh sebab itu, pemutusan hubungan kerja seyogyanya
adalah upaya terakhir yang dilakukan oleh pengusaha karena suatu keadaan yang benar-
benar tidak bisa dihindarkan.
43 Halim, op. cit. hlm. 74. 44 Soedarjadi, op. cit. hlm. 83. 45 Simamora, Op.Cit. hlm. 166. 46 Sudjana, Op. Cit., hlm. 71.
Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013
Penyebab perselisihan pemutusan hubungan kerja ialah ada atau tanpa adanya
kesalahan para pihak, utamanya pihak pekerja/buruh. Pada umumnya, pekerja/buruh
dapat saja melakukan kesalahan, atau dengan kata lain melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan yang ada dan berlaku, berupa kaedah otonom47 atau kaedah heteronom48. Hal
tersebut dapat menjadi penyebab perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja.
Analisis Kasus Putusan No:196/PHI.G/2009/PN.JKT.PST tentang Pemutusan
Hubungan Kerja Leila Gentjana dan Encep Ishaq oleh Rumah Sakit Husada
Kasus Posisi
Para pihak yang terdapat dalam kasus ini adalah penggugat dan tergugat.
Penggugat adalah Dr. P. Setyabudi Tjokro Widodo yang kapasitasnya sebagai Direktur
Utama Rumah Sakit Husada. Tergugat terdiri dari tergugat I dan tergugat II. Tergugat I
adalah Leila Gentjana, S.H., MKn. yang kapasitasnya sebagai Ketua Serikat Pekerja
Rumah Sakit Husada. Leila juga menjabat sebagai Kepala Bagian Unit Pelayanan
Lapangan (UPL). Tergugat II adalah Encep Ishaq yang kapasitasnya sebagai Sekretaris
Serikat Pekerja Rumah Sakit Husada. Encep Ishaq merupakan satuan pengaman (satpam)
Rumah Sakit Husada.
Secara garis besar, perselisihan yang terjadi antara Direksi Rumah Sakit Husada
dengan Serikat Pekerja Rumah Sakit Husada adalah perselisihan hak dan perselisihan
kepentingan. Perselisihan hak yang dimaksud meliputi: lembur yang tidak dibayar,
penggantian biaya perawatan kesehatan yang tidak dilakukan, subsidi konsumsi
pekerja/buruh yang tidak dibayarkan. Di sisi lain, perselisihan kepentingan yang terjadi
dalam kasus ini adalah terkait peningkatan tunjangan golongan, untuk golongan 1 sampai
dengan 6, yang oleh pekerja/buruh dirasa sudah tidak lagi memadai dengan kebutuhan
hidup saat ini.
47 Kaedah otonom adalah peraturan-peraturan yang dibuat oleh para pihak dalam hubungan kerja,
yaitu pengusaha dengan pekerja/buruh seperti perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama. Zainal Asikin, Dasar-dasar Hukum Perburuhan Pengertian, Sifat dan Hakekat Hukum Perburuhan (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 1993), hlm 35.
48 Kaedah heteronom adalah peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah seperti peraturan
perundang-undangan. Sudjana, Op. Cit., hlm. 168.
Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013
Terkait dengan perselisihan antara Direksi Rumah Sakit Husada dengan Serikat
Pekerja Rumah Sakit Husada tersebut, para tergugat selaku pengurus Serikat Pekerja
Rumah Sakit Husada sebenarnya sudah berupaya untuk membicarakan permasalahan
yang terjadi dengan pihak penggugat, namun selalu diacuhkan. Beberapa pekerja/buruh
mengadakan pertemuan guna mencapai kesepakatan, selalu diakhiri dengan keputusan
sepakat untuk tidak sepakat, lebih karena penggugat dirasa tidak sungguh-sungguh
menanggapi tuntutan pekerja/buruh.
Pekerja/buruh di golongan bawah semakin resah, bahkan serikat pekerja mulai
dianggap tidak dapat bekerja dengan semestinya untuk memperjuangkan aspirasi
anggota.
Analisis Putusan
Pembahasan pertama dalam bagian analisis ini adalah mengenai skorsing
terhadap pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja. Dalam putusan, pihak penggugat
meminta agar majelis hakim menyatakan skorsing tersebut sah. Adapun mengenai hal
tersebut, majelis hakim berpendapat bahwa skorsing terhadap para tergugat serta
penangguhan pembayaran gaji sampai ada putusan berkekuatan hukum tetap tidak dapat
diterima. Alasannya adalah bahwa tuntutan tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu
untuk mengetahui kualitas hukum skorsing dan berkenaan dengan itu mereka akan
dipertimbangkan bersamaan di dalam pokok perkara. Berdasarkan perjanjian kerja
bersama, tindakan pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja dan menyampaikan mosi
tidak percaya terhadap direksi dikategorikan sebagai kesalahan berat yang dapat
mengakibatkan sanksi berupa pemutusan hubungan kerja sesuai pada Pasal 66 Perjanjian
Kerja Bersama Rumah Sakit Husada. Dengan demikian, putusan majelis hakim yang
tidak menerima tuntutan provisi penggugat agar menyatakan skorsing terhadap para
tergugat sah dan mengikat serta menangguhkan pembayaran gaji sampai ada putusan
berkekuatan hukum tetap telah tepat. Hal ini sesuai dengan Pasal 155 ayat (2) dan (3)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan .
Berdasarkan Perjanjian Kerja Bersama Rumah Sakit Husada, tindakan mogok
kerja memang termasuk kategori kesalahan berat sehingga selama proses pemutusan
Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013
hubungan kerja pengusaha dapat memberi tindakan skorsing. Permasalahannya adalah
penggugat membuat dalam 1 (satu) tuntutan sehingga majelis hakim tetap tidak
menerima tuntutan tersebut dikarenakan dalam perjanjian kerja bersama dan Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003, pengusaha tetap memberi gaji selama skorsing
berlangsung. Oleh karenanya, skorsing berlangsung, pengusaha wajib membayar upah
beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima oleh pekerja/buruh sehingga tuntutan
penggugat untuk menangguhkan gaji tergugat sampai adanya putusan berkekuatan
hukum tetap tidak dapat dibenarkan. Oleh sebab itu, tindakan penggugat yang melakukan
skorsing telah tepat namun yang tidak tepat dan tidak diterima oleh majelis hakim adalah
mengenai penangguhan gaji tergugat.
Pembahasan kedua dalam bagian analisis ini adalah mengenai mogok kerja yang
dilakukan oleh para tergugat. Dalam putusan, pihak penggugat meminta agar majelis
hakim menyatakan mogok kerja tersebut tidak sah. Adapun mengenai hak tersebut
majelis hakim berpendapat bahwa mogok kerja yang dilakukan oleh para tergugat adalah
mogok kerja tidak sah dengan alasan bahwa mogok kerja yang dilakukan tidak sesuai
dengan syarat mogok kerja yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Pertama, dari segi materi mogok, mogok kerja yang dilakukan dipandang tidak
menyangkut kesejahteraan pekerja/buruh melainkan menyangkut masalah mosi tidak
percaya terhadap direksi. Selain itu dari segi syarat dan prosedur mogok, mogok kerja
yang dilakukan para tergugat, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998.
Berdasarkan Pasal 66 Perjanjian Kerja Bersama Rumah Sakit Husada terdapat
kekuatan yang relatif bersifat limitatif terhadap substansi mogok kerja, yaitu mogok kerja
tidak boleh membuat kerusuhan di lingkungan kerja, melakukan tindak pidana,
merencanakan, memprovokasi, menggerakan sehingga dapat menimbulkan
kerusuhan/sabotase di lingkungan kerja, memberikan dan/atau menyebarkan keterangan
palsu atau berita yang tidak benar sehingga merugikan rumah sakit, menghina dan
merusak citra Rumah Sakit Husada, mencemarkan nama baik rumah sakit, menyerang,
menganiaya, menghina, mengancam atau mengintimidasi teman sekerja atau
pimpinan/atasan, dan membujuk teman sekerja atau pimpinan/atasan untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Adapun Pasal 140
Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, syarat yang berkaitan
dengan prosedur mogok kerja meliputi syarat mogok kerja harus merupakan akibat
gagalnya perundingan, pemberitahuan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang
bertanggung jawab setempat sekurang-kurangnya dalam waktu 7 hari kerja sebelum
mogok, dan dilakukan dengan tertib dan damai.49 Syarat akibat gagalnya perundingan
berarti tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
karena pengusaha menolak berunding walaupun serikat pekerja/buruh atau pekerja/buruh
telah memintanya secara tertulis kepada pengusaha sebanyak 2 kali dalam tenggang
waktu 14 hari kerja atau perundingan-perundingan yang dilakukan mengalami kebuntuan,
hal mana dinyatakan para pihak dalam risalah perundingan. Syarat kedua terkait
pemberitahuan sekurang-kurangnya harus memuat waktu (hari, tanggal, dan jam),
dimulai dan diakhirinya mogok kerja, tempat mogok kerja, alasan dan sebab-sebab
mogok kerja, serta tandatangan ketua serta sekretaris dan/atau masing-masing
ketua/serikat pekerja/buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
Dengan demikian, putusan majelis hakim yang menyatakan bahwa mogok kerja
yang dilakukan oleh tergugat adalah mogok kerja yang tidak sah karena tidak sesuai
dengan berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana diuraikan di
atas.
Pembahasan ketiga dalam bagian analisis ini adalah mengenai pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang telah melakukan mogok kerja secara tidak
sah. Dalam putusan, pihak penggugat meminta agar majelis hakim menyatakan
pemutusan hubungan kerja tersebut sah. Adapun mengenai hal tersebut majelis hakim
berpendapat bahwa pemutusan hubungan kerja tersebut sah dengan alasan mogok kerja
yang dilakukan oleh para tergugat tanpa sebab yang jelas sehingga telah mengakibatkan
gangguan hubungan kerja antara penggugat dan tergugat. Alasan selanjutnya bahwa
tergugat telah mengkoordinir pekerja lainnya untuk ikut serta dalam mogok kerja yang
dilakukan tanpa alasan dan tanpa pemberitahuan yang sah dan patut sehingga tindakan
pemutusan hubungan kerja tersebut dapat dibenarkan.
49 Ibid, Ps. 140.
Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013
Tindakan para tergugat yang melakukan mogok kerja dengan cara membuat
kerusuhan di lingkungan kerja serta merencanakan, memprovokasi, dan menggerakan
sehingga dapat menimbulkan kerusuhan/sabotase di lingkungan kerja dikategorikan
sebagai kesalahan berat yang mengakibatkan sanksi berupa pemutusan hubungan kerja.
Adapun berdasarkan Pasal 142 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 akibat hukum
dari mogok kerja yang tidak sah ditetapkan akan diatur dengan keputusan menteri.50
Berdasarkan Pasal 7 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, mogok kerja
yang tidak sah dikualifikasikan sebagai mangkir dan apabila dilakukan maka dianggap
mengundurkan diri.51
Dengan demikian pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh penggugat
didasarkan pada perjanjian kerja bersama dan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan di atas sehingga majelis hakim telah tepat dalam memutuskan pemutusan
hubungan kerja antara penggugat dan tergugat.
Pembahasan keempat dalam bagian analisis ini adalah mengenai paket pesangon
sesuai putusan hakim terhadap para tergugat. Dalam putusan, pihak penggugat meminta
agar majelis hakim menyatakan pemutusan hubungan kerja kepada para tergugat
dilakukan tanpa pemberian paket pesangon. Adapun mengenai hal tersebut majelis hakim
berpendapat bahwa gugatan penggugat tentang pemutusan hubungan kerja kepada para
tergugat tanpa paket pesangon tidak dapat diterima. Alasannya adalah mengingat
kesalahan para tergugat didasarkan pada faktor emosi serta masa pengabdian mereka
sebetulnya sudah cukup lama, maka majelis hakim menyatakan bahwa putusnya
hubungan kerja tergugat I, yakni Leila Gentjana harus disertai paket pesangon sejumlah
Rp192.873.672,00 dengan perhitungan uang pesangon 1 X 79 X Rp7.183.377 = Rp
64.650.393,00, uang penghargaan masa kerja 10 X Rp7.183.377,00 = Rp 71.833.770,00,
uang penggantian perumahan, pengobatan, dan perawatan 15% X Rp136.484.163,00 =
Rp20.472.624,00, dan upah proses 5 X Rp7.183.377 = Rp35.196.885,00. Paket pesangon
tergugat II yakni Encep Ishaq sejumlah Rp48.151.381,00 dengan perhitungan uang
pesangon 1 X 79 X Rp2.282.056,00 = Rp20.538.504,00, uang penghargaan masa kerja 5
50 Ibid, Ps. 142. 51 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Op. Cit., Ps. 7.
Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013
X Rp2.282.056 = Rp11.410.280,00, uang penggantian perumahan, pengobatan, dan
perawatan 15% X Rp31.948.784,00 = Rp4.792.317,00, upah proses 5 X Rp2.282.056,00
= Rp11.410.280,00.
Dapat disimpulkan bahwa pemutusan hubungan kerja tersebut dapat dilakukan
tanpa pesangon. Alasannya adalah karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat.
Namun demikian, apabila pekerja/buruh diputuskan hubungan kerjanya melalui
mekanisme kesalahan berat maka berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
012/PPU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 Tentang Hak Uji Materiil Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor: SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 maka kesalahan berat tersebut harus
diputuskan terlebih dahulu dalam peradilan pidana, memperoleh kekuatan hukum tetap,
baru kemudian proses pemutusan hubungan kerjanya diajukan ke pengadilan hubungan
industrial.
Selanjutnya apabila digunakan mekanisme mangkir yang dikualifikasikan sebagai
mengundurkan diri maka seyogyanya paket pesangon yang diterima adalah berdasarkan
Pasal 168 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan paket
pesangonnya sesuai dengan pasal 156 ayat (4) .
Dengan demikian, putusan majelis hakim bahwa penggugat berkewajiban
memberikan paket pesangon adalah putusan yang tepat karena berdasarkan mekanisme
pemutusan hubungan kerja yang dipilih serta peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai hal tersebut sebagaimana diuraikan di atas. Hanya saja dalam hal
besarnya nominal paket pesangon, majelis hakim mempertimbangkan hal-hal lain di luar
standar peraturan perundang-undangan sehingga perhitungan lebih besar dari pada yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013
Penutup
Simpulan
Pengaturan tentang mogok kerja sudah cukup komprehensif. Hal ini disebabkan
elaborasi peraturan-peraturan di tingkat internasional yang umumnya memfasilitasi
mogok kerja sebagai hak asasi pekerja/buruh dengan peraturan-peraturan di tingkat
nasional yang bersifat lebih lokal, sesuai kondisi ketenagakerjaan di Indonesia dan juga
lebih teknis guna keperluan kemudahan pelaksanaannya di lapangan serta perlindungan
pihak-pihak lain dalam rangka ketertiban umum.
Pelaksanaan mogok kerja perlu memenuhi peraturan perundang-undangan yang
berlaku, disamping juga memperhatikan peraturan perusahaan terkait kategorisasi
kesalahan pekerja/buruh dan serikat pekerja/buruh guna menghindari terjadinya akibat
berupa pemutusan hubungan kerja. Penyebab perselisihan pemutusan hubungan kerja
dalam kasus ini, kepentingan mogok kerja sebagai salah 1 (satu) tahap yang mungkin
terjadi dalam upaya mencapai kesepakatan ternyata justru mengakibatkan timbulnya
perselisihan jenis baru yaitu perselisihan pemutusan hubungan kerja karena tidak
memperhatikan ketentuan internal dalam perjanjian kerja bersama perusahaan serta syarat
dan prosedur mogok kerja.
Saran
Sosialisasi peraturan-peraturan ketenagakerjaan terkait mogok kerja serta
peraturan yang berhubungan dengan bentuk-bentuk penyaluran aspirasi dalam mogok
kerja seperti Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Mengemukakan
Pendapat kepada pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh agar dalam pelaksanaan
hak-hak pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Agar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh senantiasa memenuhi
seluruh kriteria dan tahap yang dipersyaratkan dalam peraturan mogok kerja agar
kegiatan tersebut tidak justru menimbulkan dampak negatif berupa pemutusan hubungan
kerja terhadap pekerja/buruh karena pemutusan hubungan kerja sebagai akibat mogok
kerja yang tidak sah kerap dapat dibuktikan sebagai mangkir yang dikualifikasikan
Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013
sebagai mengundurkan diri dimana paket pesangonnya cukup minim/tidak besar, yaitu
mencakup uang penggantian hak saja.
Daftar Pustaka Agusmidah, Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Medan: USU Press, 2010. Asyhadie, Zaeni. Hukum Kerja, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007. Ashofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Rineka Cipta: Jakarta, 2004. Asikin, Zainal. Dasar-Dasar Hukum Perburuhan Pengertian, Sifat dan Hakekat Hukum
Perburuhan . Jakarta: Raja Grafindo Persada: 1993. Budiono, Rachmad Abdul. Pengantar Hukum Perburuhan di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika, 1999. Daumas, François. Ägyptische Kultur im Zeitalter der Pharaonen. Munich: Knaur
Verlag, 1969. Djumadi, Perjanjian Kerja. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Djumialdi, Fx dan Wiwoho Soejono, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan
Pancasila. Jakarta: Raja Grafindo, 2005. Fathoni, Hamzah. Hukum Perburuhan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2010. Hadjon, Philipus. Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif). Surabaya: Fak. Hukum
UNAIR, 1994. Halim, A. Ridwan. Sari Hukum Perburuhan Aktual. Jakarta: Pradnya Paramita, 1987. Kartasapoetra, AG. Hukum Perburuhan di Indonesia Berdasarkan Pancasila. Jakarta:
Sinar Grafika, 1993. Lingga, Gita F. Perkembangan Ketenagakerjaan di Indonesia. Jakarta: ILO, 2011 Manulang, Sedjun. Pokok-Pokok Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta,
1987. Nasution, Bahder Johan. Hukum Ketenagakerjaan Kebebasan Berserikat Bagi Pekerja.
Bandung: Mandar Maju, 2004.
Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013
Prints, Darwin. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Buku Pegangan Pekerja Untuk Mempertahankan hak-haknya). Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994.
Rajagukguk, HP. Penggunaan Hak Mogok dan Lock Pout di Perusahaan Swasta. Jakarta:
Sinar Grafika, 1990. Sandra, Sejarah Pergerakan Perburuhan Indonesia. Jakarta: Pustaka Rakyat, 2008. Saru, Maha Rijd, Hukum Perburuhan. Jakarta: Balai Pustaka, 2002. Sastrohadiwiryo, Siswanto. Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, Pendekatan
Administratif dan Operasional. Jakarta: Bumi Aksara, 2003. Simamora, Henry. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Bagian Penerbitan
Sekolah, 2004. Soejono, Wiwoho. Perjanjian Perburuhan dan Hubungannya dengan Perburuhan
Pancasila. Jakarta: Melpon Putra, 1991. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 2005. Sudjana, Eggy. Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia. Jakarta: Reinaisan, 2005. Sulistyo, Bambang. Pemogokan Buruh Sebuah Kajian Sejarah. Jakarta: Tiara Wacana,
1995. Sunindia, Manajemen Tenaga Kerja. Jakarta: Bina Aksara, 2005. Sutedi, Adrian. Hukum Perburuhan. Jakarta; Sinar Grafika, 2009. Syamsudin, M. Operasional Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2007. Tjandra, Surya. Makin Terang Bagi Kami Belajar Hukum Perburuhan. Jakarta: TURC,
2006. Todaro, Michael P. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga, 1998. Toha, Halili. Hubungan Kerja antara Majikan dan Buruh. Jakarta: Bina Aksara, 1987. Tunggul, Hadi Setia. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta:
Harvavindo, 2009.
Mogok Kerja..., Ferdian Fajar, FH UI, 2013