monitoring kebijakan ict melawan dominasi wacana rejim blokir di internet edisi khusus
TRANSCRIPT
P a g e | 1
Monitoring Kebijakan ICT Periode Maret-Mei 2015 (Edisi Khusus)
Melawan Dominasi Wacana Rejim Blokir
di Internet
Oleh:
Firdaus Cahyadi
Yayasan SatuDunia
P a g e | 2
I. Tentang Dokumen ini
Dokumen monitoring kebijakan ICT (Information and Communication
Technology) ini disusun oleh Yayasan SatuDunia untuk memudahkan publik terlibat
dalam memonitoring arah kebijakan ICT di Indonesia. Keterlibatan publik secara aktif
dalam memonitoring kebijakan ICT menjadi penting agar hak-hak publik tidak
disingkirkan dalam produk kebijakan ICT.
Dokumen monitoring kebijakan ICT periode Maret-April 2015 SatuDunia adalah
edisi khusus, karena biasanya dokumen monitoring kebijakan dikeluarkan dalam
periode 3 bulan sekali. Edisi khusus ini sengaja dibuat untuk memonitor kebijakan ICT
terkait dengan pemblokiran situs di internet.
Bangkitnya rejim blokir di dunia maya (internet) harus dicegah sedini mungkin,
karena berpotensi menghilangkan hak warga negara atas informasi, pengetahuan dan
berekspresi. Atas dasar itulah edisi spesial ini dibuat.
Dokumen ini mencoba memonitor wacana yang berkembang di media massa
terkait isu pemblokiran situs internet. Diharapkan dokumen ini dapat menjadi semacam
amunisi dalam memperkuat Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam melakukan
advokasi dan kampanye terkait kebijakan internet di Indonesia.
Dokumen ini tentu masih jauh dari sempurna. Diharapkan masukan dari semua
pihak untuk memberikan masukan dan kritik guna penyempurnaan dokumen ini.
Hormat kami
Firdaus Cahyadi Direktur Eksekutif Yayasan SatuDunia
P a g e | 3
II. Pengaturan Pemblokiran Situs di Internet
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) membawa arah baru
dalam relasi produsen dan konsumen informasi. Berkembang TIK menghapus
sekat kaku antara produsen dan konsumen informasi.
Dengan perkembangan TIK, seseorang bisa sekaligus menjadi produsen dan
konsumen informasi dalam waktu yang bersamaan. Banjir informasi pun terjadi,
dari informasi sampah hingga yang bermanfaat. Bukan hanya itu penyebaran
berbagai ideologi pun terjadi dengan begitu masif. Dari ideologi paling kiri hingga
ideologi paling kanan.
Dari situlah kemudian masalah muncul. Kebebasan di internet telah kebablasan,
kata sebagian orang. Indikasinya menurut mereka, adalah menyebarnya konten
yang berisi ideologi terlarang (dari kiri hingga kanan), pornografi, pelanggaran
hak cipta dsb. Dari sinilah muncul ide untuk melakukan ‘penertiban’ terhadap
konten internet. Penertiban itu bisa berisi filtering hingga pemblokiran konten.
Di UU ITE memang diatur mengenai konten-konten yang dianggap terlarang.
Pasal 28 Ayat 2 UU ITE misalnya menyebutkan bahwa, perbuatan yang dilarang
dalam dunia siber salah satunya adalah setiap orang dengan sengaja dan tanpa
hak menyebarkan informasi yang ditunjukan untuk menimbulkan rasa kebencian
atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan
atas suku, agama, ras, dan antargolongan.
Namun di UU ITE tersebut tidak secara jelas mengatur prosedur pemblokiran.
Apakah misalnya, harus melalui proses pengadilan terlebih dulu atau sekadar
rekomendasi atau laporan dari masyarakat.
Menurut aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dari Elsam Wahyudi Djafar, terdapat
dua undang-undang yang secara eksplisit memberikan wewenang pemblokiran
terhadap konten internet. Pertama, UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang
P a g e | 4
Pornografi, khusus untuk konten-konten yang mengandung muatan pornografi.
Kedua, UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, khusus untuk konten yang
dinilai melanggar hak cipta (HKI). Bedanya, UU Pornografi sama sekali tidak
mengatur mengenai prosedur, sementara UU Hak Cipta menyaratkan prosesnya
harus seizin pengadilan.
Sementara di luar itu, muncul Peraturan Menteri (Permen) Kominfo Nomor 19
Tahun 2014 tentang Penanganan Situs-Situs Internet Bermuatan Negatif, yang
saat ini tengah dalam proses pengujian di Mahkamah Agung.
Ketiadaan aturan yang detail dan jelas mengenai prosedur pemblokiran di tingkat
Undang-Undang (kecuali tentang hak cipta) memunculkan kekuatiran lahirnya
rejim blokir (sensor) di dunia maya (internet). Ketiadaan aturan yang jelas
membuat pemerintah cenderung sewenang-wenang dalam melakukan
pemblokiran situs internet.
III. Pertarungan Wacana Pemblokiran Situs Internet
Pada Maret-April 2015, publik dikejutkan dengan adanya pemblokiran situs-situs
yang dinilai menyebarkan paham radikal di internet. Dalam monitoring kebijakan
ICT edisi khusus ini, SatuDunia mencoba melihat pertarungan wacana tersebut.
Sumber media yang dianalisis: KOMPAS Catak, Beritasatu.com, CNN Indonesia,
Hukum Online, Metronews.com, Republika.co.id, Tempo.co, tribunnews,
vivanews, gressnews, antaranews, detik.com. Analisis media dilakukan pada
media tersebut di atas yang dipublikasikan pada periode 30 Maret s/d 19 April
2015
P a g e | 5
Berikut gambaran skematik dari analisis media tersebut.
Keterangan Gambar: ⃝ Menggambarkan pihak yang memproduksi wacana Menggambarkan wacana yang diproduksi Garis Merah menunjukkan ketidaksetujuan salah satu pihak dengan wacana dari pihak lain Garis Hijau menunjukkan kesetujuan salah satu pihak dengan wacana dari pihak lain.
Dari gambar di atas terlihat jelas bahwa aktor yang memproduksi wacana terkait
pemblokiran situs di internet sangat beragam. Dari pakar IT (Onno Purbo), aktivis
NGOs, organisasi wartawan, ormas keagamaan (Forum Ulama Bangkalan, NU,
Muhammadiyah), pemerintah (Kementerian Komunikasi dan
Informatika/Kominfo, Kementrian Politik dan Keamanan, Wakil Presiden), Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Anggota DPR. Pertanyaannya adalah
apakah ini menunjukkan bahwa kepedulian terhadap kebijakan internet di
Indonesia telah begitu kuat di kalangan masyarakat, NGOs, Ormas, DPR dan
pemerintah?
P a g e | 6
Jawabannya ternyata tidak. Kepedulian para pihak untuk memproduksi wacana
terkait pemblokiran situs di internet lebih dikarenakan, ‘korban’ dari
pemblokiran itu adalah situs-situs yang diklaim memiliki konten dakwah Islam.
Sementara pada waktu yang hampir bersamaan Kementrian Kominfo juga akan
memblokir situs-situs terkait Mavrodi Mondial Moneybox atau yang di Indonesia
dikenal dengan istilah Manusia Membantu Manusia (MMM), tidak muncul
wacana yang begitu ramai seperti saat beberapa situs yang diklaim memiliki
konten dakwah Islam diblokir.
Hal yang sama juga terjadi ketika Kementerian Kominfo memblokir situs-situs lain
sebelumnya. Beberapa situs yang pernah mengalami pemblokiran sebelumnya
itu misalnya, situs International Gay Lesbian Human Rights Commission
(IGLHRC.org), Our Voice (ourvoice.or.id), Vimeo, Youtube, MySpace, Multiply,
Rapidshare, dan Metacafe. Pada saat itu, tidak ada reaksi yang keras seperti saat
situs-situs yang diklaim memiliki konten dakwah Islam diblokir. Padahal dasar
hukum pemblokiran situs internet yang dilakukan oleh Kementerian Kominfo
sama, yaitu Peraturan Menteri (Permen) Kominfo Nomor 19 Tahun 2014.
Dasar hukum dari pemblokiran situs internet itulah yang dipertanyakan oleh
kalangan aktivis NGOs dan organisasi wartawan (AJI). Para aktivis tersebut
memproduksi wacana bahwa dasar hukum dari pemblokiran lemah, karena
Permen Kominfo 19/2014 sedang diuji materi. Selain itu, prosedur pemblokiran
juga tidak diatur secara spesifik di Undang Undang (UU), kecuali di UU Hak Cipta
yang baru.
Aktivis NGOs, Organisasi wartawan, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)
memproduksi wacana bahwa pemblokiran harus terlebih dahulu melalui proses
pengadilan. Lebih jauh lagi, aktivis NGOs dan organisasi wartawan mendesak
dimasukkannya persoalan pemblokiran situs internet ini dalam pembahasan
revisi UU ITE. Mereka mendesak agar muncul lembaga independen yang diatur
UU untuk mengawasi konten-konten di situs internet yang dianggap terlarang.
P a g e | 7
Namun, nampaknya wacana pemblokiran harus melalui proses pengadilan dan
juga pengaturannya secara detail di tingkat UU, seperti di UU ITE, tidak
mendapatkan sambutan dari para elite politik kita, baik itu pemerintah maupun
DPR.
Para elite politik di pemerintahan dan DPR lebih memproduksi wacana pro-
kontra pemblokiran tersebut. Pihak yang kontra pemblokiran situs-situs yang
diklaim memiliki konten dakwah Islam datang dari anggota DPR dari partai politik
oposisi (PAN dan PKS). Sementara pihak yang pro datang dari anggota DPR yang
partai politiknya mendukung pemerintah (PKB dan Hanura).
Anggota DPR yang kontra terhadap pemblokiran memperhalus penolakannya
dengan wacana bahwa pemerintah harus melakukan kajian terlelih dahulu
sebelum melakukan pemblokiran. Wacana itu juga diamini oleh Wakil Presiden
Jusuf Kalla. Berbeda dengan para aktivis NGOs dan Organisasi Wartawan yang
menolak pemblokiran, para elite politik yang menolak pemblokiran sama sekali
tidak mempermasalahkan persoalan dasar hukum dari pemblokiran itu sendiri.
Para anggota DPR yang pro pemblokiran, memproduksi wacana bahwa
pemblokiran situs internet yang mengkalaim memiliki konten dakwah Islam itu
dilakukan terkait pencegahan terhadap meluasnya ajaran radikal. Dan jika
dibiarkan itu akan membahayakan bangsa dan negara. Sama seperti elite politik
yang kontra pemblokiran, mereka tidak mempersoalkan bagaimana dasar hukum
dari pemblokiran situs internet itu sendiri.
Ormas-ormas keagaman, selain PBNU, pun memproduksi wacana yang sama.
Mereka hanya fokus pada pro-kontra pemblokiran situs-situs internet yang
mengklaim memiliki konten dakwah Islam. Sama seperti wacana yang diproduksi
elite politik, mereka tidak mempersoalkan dasar hukum dari pemblokiran itu
sendiri. Dalam konteks ini, PBNU lebih progresif karena mereka melalui wakil
ketua umumnya memproduksi wacana bahwa pengaturan pemblokiran harus
melalui UU.
P a g e | 8
Sementara, dalam kasus pemblokiran kali ini, Kementerian Kominfo nampak
menghadapi tekanan, baik dari masyarakat, wakil presiden dan sebagian anggota
DPR. Untuk menghindari tekanan itu Kementerian Kominfo pun membentuk
forum yang berisi para pakar lintas sektor yang akan dimintai rekomendasi
terkait situs yang akan diblokir. Wacana ini juga diamini oleh pihak Kementerian
Koordinator Politik dan Keamanan. Namun, Kementerian Kominfo juga tidak
mempersoalkan dasar hukum dari pemblokiran itu sendiri. Bahkan mereka juga
tidak memproduksi wacana bahwa pengaturan pemblokiran akan diatur secara
detail dalam revisi UU ITE.
IV. Pekerjaan Rumah: Melawan Dominasi Wacana Rejim Blokir di Internet
Dari wacana yang muncul di media massa terkait dengan pemblokiran situs di
internet itu, nampaknya rejim blokir di dunia maya benar-benar sudah lahir di
Indonesia. Dan rejim itu akan semakin menguat kedepannya.
Penguatan Rajim Blokir itu nampak dari wacana para elite politik yang tidak
menyambut wacana dari aktivis NGOs, Organsiasi Wartawan dan PBNU yang
mendorong pengaturan pemblokiran diatur dalam UU atau dimasukkan dalam
revisi UU ITE. Bahkan para elite politik tidak menyambut wacana bahwa
pemblokiran situs internet harus melalui proses pengadilan terlebih dahulu.
Melawan dominasi wacana Rejim Blokir ini adalah salah satu pekerjaan berat
bagi para pihak yang ingin merawat kebebasan di internet. Perlu cara-cara baru
untuk mengarusutamakan wacana pengaturan pemblokiran situs internet yang
sejalan dengan hak asasi manusia. Sebuah pekerjaan rumah yang berat, namun
bukan tidak mungkin untuk dilakukan.