monitoring kesehatan terumbu karang dan ...oseanografi.lipi.go.id/laporan/rikoh_laporan rhm...
TRANSCRIPT
1
MONITORING KESEHATAN TERUMBU KARANG DAN
EKOSISTEM TERKAIT DI KABUPATEN NIAS UTARA
2017
Disusun oleh :
Rikoh Manogar SiringoringoSuharsono
Ni Wayan Purnama SariYasser Arafat
Ucu Yanu ArbiHusni Azkab
I Wayan Eka DharmawanOksto Ridho Sianturi
Kasih Anggraeni
Tim monitoring :
Rikoh Manogar Siringoringo, Suharsono, Ni Wayan Purnama Sari, Nurhasyim, YasserArafat, Ucu Yanu Arbi, Husni Azkab, I Wayan Eka Dharmawan, Oksto Ridho Sianturi,
Kasih Anggraeni, Raden Sutiadi, Asep Rasyidin, Sabar Jaya Telaumbanua, Ahmad SabrinTelaumbanua, Setiawan Harefa, Dema Fiktor, Resman Zalukhu, Butiar Ridwan
2
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan karunia
Nya sehingga laporan Monitoring Kesehatan Ekosistem Terumbu Karang dan Ekosistem
Terkait di Kabupaten Nias utara tahun 2017 dapat diselesaikan dengan baik.
Program COREMAP kini telah memasuki fase III atau yang dikenal dengan COREMAP -
CTI (Coral Reef Rehabilitation and Management Program – Coral Triangle Initiative). Fase
ini akan dilaksanakan hingga tahun 2019 yang nantinya diharapkan terbentuk kemandirian
dan kelembagaan daerah untuk melakukan pengelolaan di lokasi masing-masing. Untuk
mengukur pencapaian program maka ditentukanlah beberapa indikator keberhasilan, salah
satunya adalah indikator biofisik yang berkaitan dengan kesehatan terumbu karang, lamun
dan mangrove. Kegiatan monitoring kesehatan terumbu karang dikenal dengan RHM (Reef
Health Monitoring). Pelaksanaan kegiatan ini diawali dengan studi awal (baseline) untuk
mendapatkan data awal yang selanjutnya akan dimonitor setiap tahunnya. Pengambilan data
monitoring tahun 2017 merupakan data tahun keempat (T3).
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat
dalam kegiatan penelitian lapangan dan analisa data, sehingga laporan ini dapat diselesaikan
dengan baik. Kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
laporan ini, semoga buku laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Jakarta, Desember 2017
Ketua PIU CRITIC COREMAP – CTI LIPI
Prof. Dr. Suharsono
3
ABSTRAK
Pulau Nias terletak di bagian barat Pulau Sumatera, yang secara administratif masuk ke
wilayah Provinsi Sumatera Utara. Berbatasan dengan Samudera Hindia menyebabkan pulau
ini sering mendapatkan hempasan ombak dan gelombang yang cukup kuat. Pulau ini
memiliki sumber daya terumbu karang, mangrove dan lamun yang memiliki nilai ekologis
dan ekonomis yang tinggi. Ketiga ekosistem tersebut juga berfungsi sebagai pelindung pantai
dari tekanan abrasi.
Sebagai salah satu lokasi program COREMAP-CTI atau COREMAP Fase III maka kegiatan
monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait dilaksanakan setiap tahun yang
telah dimulai sejak tahun 2014. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi terkini
kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait. Dari hasil monitoring tahun 2017 diketahui
bahwa tutupan karang hidup dari seluruh stasiun rata-rata sebesar 11,33%. Tutupan karang
hidup mengalami penurunan sebanyak 2,49% dibandingkan tahun 2016. Ikan indikator
kepadatannya relatif stabil atau tidak mengalami perubahan, sedangkan kepadatan ikan target
per hektar relatif stabil atau hanya mengalami sedikit penurunan. Biomassa ikan target per
hektar mengalami penurunan, untuk ikan karnivor biomassa per hektar menurun sedangkan
ikan herbivor naik. Megabenthos di perairan Nias Utara dalam kondisi cukup beragam.
Megabenthos yang bernilai ekonomis masih dapat ditemukan, walaupun dengan kepadatan
rendah. Megabenthos yang bernilai ekologis sebagai indikator lingkungan ditemukan dalam
jumlah yang cukup besar sehingga patut dipantau. Tingginya populasi bintang laut
bermahkota duri Acanthaster planci sebagai pemangsa polip karang di luar transek pada
beberapa stasiun perlu mendapatkan perhatian karena berpotensi menimbulkan kerusakan
terumbu karang. Berdasarkan nilai persentase tutupan kanopi komunitas, mangrove di
Kabupaten Nias Utara memiliki kondisi kesehatan yang termasuk dalam kategori yang cukup
baik. Rata-rata persentase tutupan kanopinya sebesar 64,5±4,0% dengan rentang tutupan dari
36,1±9,0% sampai 91,5±0,5%. Berdasarkan tutupan, maka kondisi padang lamun di perairan
Kabupaten Nias Utara dapat dikatakan adalah kurang kaya/kurang sehat dengan tutupan rata-
rata 49,04+14,78%.
4
RINGKASAN EKSEKUTIF
PENDAHULUAN
Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) adalah program nasional
untuk pemulihan dan perbaikan serta pengelolaan berkelanjutan ekosistem terumbu karang di
Indonesia. Salah satu ukuran keberhasilan Program COREMAP adalah meningkatnya tutupan
karang hidup, kelimpahan dan biomassa ikan karang di lokasi COREMAP serta ekosistem
terkait yang terjaga kondisinya. Oleh karena itu dibutuhkan ketersediaan data dan informasi
untuk ukuran keberhasilan tersebut, baik secara spasial dan temporal melalui kegiatan
baseline dan monitoring kondisi terumbu karang dan ekosistem terkait. Di samping itu
kegiatan monitoring juga melengkapi data terkini (update) kondisi terumbu karang baik di
wilayah barat maupun di wilayah timur Indonesia.
Kegiatan monitoring kesehatan terumbu karang COREMAP Fase III atau disebut juga
COREMAP-CTI (2014-2018) merupakan kelanjutan dari monitoring fase sebelumnya yaitu
COREMAP II (1998-2013). Studi awal (baseline) kesehatan terumbu karang dan ekosistem
terkait wilayah barat telah dimulai tahun 2014, termasuk di Kabupaten Nias Utara, Sumatera
Utara. Kondisi terumbu karang dan ekosistem terkait tahun 2014, 2015 dan 2016 tersebut
menjadi data ke-1 (T0), ke-2 (T1) dan ke-3 (T2) yang akan dibandingkan dengan nilai
tutupan kondisi terumbu karang dan ekosistem terkait yang dilaksanakan pada tahun 2017
sebagai data keempat (T3).
Dari hasil monitoring 2017 diketahui nilai rata-rata tutupan karang hidup dari seluruh stasiun
sebesar 11,33%. Hal ini menunjukkan terjadi penurunan dibandingkan tahun 2016 2015 dan
2014. Pada tahun 2014 adalah sebesar 22,76%, tahun 2015 adalah 26,76% dan tahun 2016
sebesar 13,82% . Penurunan ini diduga disebabkan oleh meningkatnya suhu air laut yang
mengakibatkan kematian karang secara luas dan cepat. Melalui kegiatan monitoring dan
pengumpulan data terkait diharapkan akan didapatkan pola pemulihan dan pengelolaan
selanjutnya.
5
METODOLOGI
Karang
Pengamatan visual secara bebas dilakukan dimulai dari pesisir daratan/ pantai hingga
ke bagian perairan tempat dilaksanakannya kegiatan monitoring pada masing-masing stasiun
yang dilengkapi dengan dokumentasi berupa foto. Pengambilan data utama berupa tutupan
karang hidup dilaksanakan menggunakan metode UPT (Underwater Photo Transect)
(Giyanto et al., 2010; Giyanto, 2012a; Giyanto, 2012b). Pada prinsipnya UPT adalah metode
pengambilan data tutupan karang hidup menggunakan alat bantu frame berukuran 1x1 meter
yang dipasang pada garis transek sepanjang 50 meter dengan cara pemotretan yang
selanjutnya akan dianalisis melalui aplikasi CPCE. Pengambilan data menggunakan metode
UPT dilakukan dengan teknik penyelaman SCUBA, menggunakan kamera Canon Powershot
G16 dilengkapi dengan housing yang kompatibel untuk kegiatan penyelaman serta frame besi
berbentuk persegi yang diberi warna mencolok.
Pemasangan garis transek mengikuti titik 0 transek permanen yang telah dipasang pada tahun
sebelumnya atau tahun terakhir dilaksanakannya monitoring. Titik 0 transek permanen dapat
diketahui berdasarkan titik koordinat dan ditandai dengan dua pelampung putih dan dua patok
besi yang terikat. Jika titik 0 telah ditemukan maka pita meteran (roll meter) sepanjang 50
meter siap diletakkan mengikuti garis transek lama yang biasanya menggunakan tali nangsi.
Kedudukan garis transek sejajar garis pantai pada kedalaman di mana karang umum
dijumpai, yaitu pada kedalaman sekitar 5-7 meter. Saat melakukan peletakan pita meteran,
posisi daratan pulau berada di sebelah kiri. Setelah pita meteran diletakkan, pemotretan
dilaksanakan sepanjang garis transek mulai dari meter ke-1 hingga meter ke-50 dengan jarak
antar foto sepanjang 1 meter. Pemotretan pada meter ke-1 (frame 1), meter ke-3 (frame 3)
dan frame-frame berikutnya dengan nomer ganjil dilakukan di sebelah kanan garis transek,
sedangkan untuk frame-frame dengan nomer genap (frame 2, frame 4, dan seterusnya)
dilakukan di sebelah kiri garis transek. Untuk setiap pemotretan dilakukan pada jarak sekitar
60 cm dari dasar substrat sehingga luas bidang setiap frame pemotretan sekitar 2500 m2.
Ikan Karang
6
Metode sensus visual bawah air (UVC) digunakan untuk pengumpulan data jenis ikan
dan jumlah individu ikan (English, 1994). Unit analisis mencakup kelompok ikan indikator
(Chetodontidae) dan kelompok ikan target, baik yang ekonomis tinggi maupun yang bukan
ekonomis tinggi. Kelompok ikan target yang terpilih sebagai indikator monitoring meliputi 7
suku seperti Scaridae, Acanthuridae, Siganidae, Haemulidae, Lethrinidae, Lutjanidae dan
Serranidae.
Pendekatan yang digunakan dalam menaksir panjang ikan dalam air adalah metode
“sticks”, yaitu mencoba untuk menaksir panjang totak ikan dari mulai ujung mulut ikan
sampai ujung sirip ekor dan jumlah ikan yang tersensus dikelompokan ke dalam panjang 5,
10, 15, 20 cm dst dengan kelipatan 5 (Wilson & Green, 2009).
Alat dan Bahan
1. Kapal motor ukuran sedang
2. Peralatan SCUBA
3. Alat tulis: pensil, papan alas dan lembar pencatatan data
4. Roll meter sepanjang 70 m terbuat dari viber
5. Peta lokasi monitoring
6. GPS receiver
7. Kemera bawah air dan perekam video
8. Buku identifikasi ikan karang: Masuda et al. (1984), Allen et al., (2009) dan Allen &
Erdman (2012).
Cara kerja
1. Sebelum melakukan penyelaman, lengkapi informasi pada data sheet pengamatan
ikan karang: no transek, lokasi, tanggal, waktu, kolektor, koordinat, kedalaman, pasut
(pasang, surut), cuaca (cerah, mendung, hujan) dan deskripsi lokasi.
2. Lakukan penyelaman untuk membentang pita rol meter di area terumbu karang
dengan pola bentangan yang sejajar dengan garis pantai, dimana posisi pulau berada
di sebelah kiri pita meteran terhitung dari titik nol meter. Pita rol meter yang
dibentang adalah sepanjang 70 m. Kedalaman penempatan pita meter adalah antara 7
sampai 10 m atau menyesuaikan dengan disain lokasi transek yang ditetapkan dalam
tujuan penelitian dan harus pada kedalaman yang konstan. Setelah garis transek
terpasang, penyelaman sensus perlu menunggu sekitar 5-15 menit agar ikan yang lari
kembali ke tempatnya semula.
7
3. Catat jumlah jenis dan kelimpahan ikan karang (ikan indikator dan ikan target) yang
dijumpai sepanjang garis transek 70 m dengan batas kanan dan kiri masing-masing
berjarak 2,5 m sehingga mencakup luasan 350 m2
4. Catat estimasi panjang total ikan target berikut jumlah individu ikan dalam rentang
panjang dimaksud. Untuk ikan indikator ukuran tidak diperlukan tetapi hanya jumlah
individunya saja yang dicatat menurut jenisnya masing-masing.
5. Ambil foto dan video ikan bawah air untuk ikan yang sulit diidentifikasi secara
langsung.
6. Reidentifikasi ikan jenis tertentu melaui foto/video menggunakan buku literatur.
Pengolahan dan Analisis Data
Data didokumentasikan dalam program excel sebagai data base. Selanjutnya dari data
ini dilakukan pengolahan dan analisa data yang meliputi:
1. Keanekaragaman jenis
Keanekaragaman jenis adalah total dari spesies ikan karang yang diamati selama
monitoring di suatu lokasi ekosistem terumbu karang.
2. Densitas
Densitas (D) adalah jumlah individu seluruh spesies ikan karang per luas area
pengamatan.
22
/350
:arg,mindividuX
m
familisetiapettikanindikatorikanindividuD
3. Hubungan panjang-berat
Hubungan panjang berat adalah berat individu ikan target (W) sama dengan indeks
spesifik spesies (a) dikalikan dengan estimasi panjang total dipangkat indeks spesifik
spesies (b). Indeks spesifik spesies (a,b) dan panjang ikan disubsitusikan ke rumus
panjang berat bLxaW untuk mendapatkan data berat ikan (gram/kg). Nilai “a”
dan “b” dapat dicari di situs web “fishbase” untuk setiap jenis ikan target Froese &
Pauly (2014).
8
4. Sediaan ikan per luasan sensus
Sediaan ikan dalam satuan biomassa (B) adalah berat individu ikan target (W) per luas
area pengamatan.
2350
)(
m
familisetiaptotalWB
Data jumlah jenis dan kelimpahan individu ikan karang yang diambil secara periodik
dibandingkan dengan data awal (baseline data) dan juga tahun-tahun sebelumnya
Metode yang digunakan dalam melakukan pemantauan ikan karang adalah metode
Underwater Visual Census (UVC) yang sudah dimodifikasi (Manuputty et al, 2006).
Pemantauan dilakukan di garis transek yang sama dengan kegiatan penelitian karang, agar
sekaligus mendapatkan data bentik yang menggambarkan habitatnya. Pengamatan dilakukan
disepanjang garis transek dimana ikan-ikan yang ada pada jarak 2,5 m di sebelah kiri dan
kanan garis transek sepanjang 70 m dicatat jenisnya beserta jumlah individunya. Luas bidang
yang teramati per transeknya yaitu (5 m x 70 m) = 350 m2. Penamaan ikan karang mengacu
pada banyak buku panduan ikan karang (Allen & Swainston, 1993; Allen & Steene, 1996;
Allen, 1999; Allen et al, 2003; Kuiter & Debelius, 1994).
Megabentos
Pengamatan megabenthos target dilakukan dengan metode belt transek (Loya, 1978) yang
dikombinasikan dengan metode Reef Check Benthos pada delapan stasiun dengan bantuan
peralatan selam SCUBA (Brower & Zar, 1997). Metode pengambilan data menggunakan
metode “Reef Check – Invertebrate Belt Transect”, namun tidak semua biota diamati untuk
diambil data seperti pada metode Reef Check dikarenakan adanya modifikasi metode. Metode
pengambilan data megabenthos pada monitoring kali ini menargetkan delapan biota yang,
yaitu : Kima (Tridacna spp.), Bintang Bulu Seribu (Acanthaster planci), Bulu babi
(Echinoids), Teripang (Holothurians), Keong, Drupela (Drupella spp.), Lola (Trochus spp.),
Lobster (Panulirus spp.). Biota-biota yang dimasukkan kedalam target pendataan merupakan
biota yng memiliki nilai ekonomis tinggi dan memiiliki peran penting dalam ekosistem
terumbu karang. Metode Belt transek menggunakan transek yang digunakan juga dalam
pendataan karang (LIT) dan pendataan ikan (Visual Sensus). Transek ini memiliki panjang 70
meter dengan area pengamatan 1 meter di kanan dan kiri transek yang di gelar. Pengamatan
megabentos hampir mirip dengan metode Fish Visual Sensus, bedanya area pengamatan
hanya 1 meter di kanan dan kiri transek dan pengamatan dilakukan lebih teliti karena
9
sebagian besar target berada di celah-celah terumbu karang sehingga diperlukan daya apung
(buoyancy) yang tenang agar tidak merusak habitat terumbu karang disekitar area
pengamatan.
Semua jenis megabenthos target dalam transek dicatat jumlah jenis dan jumlah
individunya. Megabenthos target merupakan biota yang memiliki nilai ekonimis tinggi dan
memiliki peran penting terhadap kesehatan karang yang terdiri dari tujuh kelompok biota
megabentos indikator. Identifikasi merujuk pada Abbott & Dance (1990), Matsura et al.
(2000), Clark & Rowe (1971), Neira & Cantera (2005) dan Colin & Arneson (1995).
Mangrove
Pemantauan dilaksanakan berdasarkan metode yang telah disepakati dan diseragamkan
dengan pengambilan data pada tahun 2014 dan 2015 dengan metode transek kuadrat dan
hemispherical photography (Dharmawan & Pramudji, 2014). Data utama berupa foto yang
diambil tersebar secara representatif di setiap plot kuadrat pengamatan permanen yang
berukuran 10 m x 10 m. Dalam setiap plot permanen juga kembali dilakukan identifikasi
jenis berdasarkan Giesen et al. (2002) dan Noor et al. (2002) serta pengukuran lingkar batang
tegakan setiap jenis yang berukuran minimal 16 cm. Data lingkar batang digunakan untuk
menentukan kerapatan tegakan dan indeks nilai penting jenis.
Analisis Data
Data vegetasi dianalisis dengan menggunakan template50_10x10 yang dikembangkan
Dharmawan (2014) sedangkan foto dianalisis dengan menggunakan software imageJ. Data
foto tahun 2015 dianalisis ulang untuk penyeragaman metode analisis yang dilakukan.
Sedangkan pada tahun 2014, hanya stasiun NISM02 (Sisarahili-Sawo) yang dapat
dibandingkan secara utuh dari tahun 2014-2016. Sedangkan NISM03 (Lahewa), foto
hemisphere tidak dilakukan sehingga data pembandingan tahun 2014 pada stasiun tersebut
tidak ada. Status kesehatan komunitas mangrove diintepretasikan berdasarkan Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup No. 201 tahun 2004. Analisis sidik ragam terhadap rata-rata
persentase tutupan mangrove dilakukan untuk mengetahui variansi data antara tahun 2014
dan 2016 menggunakan ANOVA yang ditampilkan dalam diagram box plot.
Lamun
Pengamatan lamun dilakukan dengan metode transek kuadrat. Transek permanen sepanjang
50 m diletakkan pada padang lamun dengan persentase penutupan yang relatif homogen. Tiga
titik permanen dipasang masing-masing di setiap transek. Selanjutnya, dua belas bingkai
10
kuadrat berukuran 0,25 m2 ditempatkan secara acak di sepanjang transek mengarah ke sisi
pantai. Parameter yang diukur adalah komposisi jenis, persentase penutupan lamun (total dan
masing-masing jenis) serta kehadiran biota lainnya seperti algae, moluska, dll. Sementara itu,
faktor abiotik yang diamati adalah karakteristik substrat.
HASIL
Dari hasil monitoring 2017 diketahui nilai rata-rata tutupan karang hidup dari seluruh stasiun
sebesar 11,33. Hal ini menunjukkan terjadi penurunan nilai rata-rata tutupan karang hidup di
seluruh stasiun sebanyak 2,49 % dibandingkan hasil kegiatan monitoring pada tahun
sebelumnya 2016 yaitu sebesar 13,82%. Memasuki tahun ke dua pasca kejadian bleaching,
kondisi terumbu karang masih mengalami penurunan. DCA (Dead Coral Algae) yang
mendominasi. Dari kategori DCA tersebut terlihat sudah mulai ditumbuhi oleh CA (Coraline
Algae). Dengan munculya CA tersebut diharapkan akan menjadi substrat yang baik bagi
larva karang yang akan menjadi karang dewasa di tahun mendatang.
Pada bulan Maret 2016, NOAA mengeluarkan peringatan mengenai potensi kenaikan suhu
ekstrim di beberapa kawasan perairan di dunia terutama di wilayah Samudera Hindia.
Indonesia menjadi salah satu negara yang terdampak fenomena tersebut. Laporan yang
berupa dokumentasi gambar dari berbagai sumber memperlihatkan kondisi terumbu karang
yang memutih pada periode April hingga Juli tahun 2016 di sepanjang barat pantai Sumatera
hingga selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Hal ini terbukti dari monitoring di lapangan
yang menggambarkan kematian karang secara massal terutama di stasiun NIAC05, NIAC07
dan NIAC08 yang terutama terjadi pada karang-karang bercabang. Karang-karang ini berada
dalam fase dead coral with algae (DCA) tapi masih berada dalam kondisi utuh. Ini
merupakan ciri-ciri kematian yang disebabkan oleh faktor lingkungan seperti kenaikan suhu
yang menyebabkan pemutihan karang dan bukan disebabkan faktor luar atau faktor
antropogenik
Dari hasil Underwater Visual Census (UVC) diketahui bahwa nilai keanekaragaman
ikan karang pada tahun 2017 yaitu meliputi 17 jenis ikan coralivor, 39 jenis ikan herbivor dan
32 jenis ikan ekonomis penting. Kepadatan ikan herbivor sebanyak 4477 individu per hektar
dengan biomassa 299,5 kg per hektar. Sementara kepadatan ikan ekonomis penting 989
individu per hektar dengan biomassa 64,44 kg per hektar. Dari hasil analisis dapat diketahui
bahwa Perkembangan dari waktu ke waktu selama periode monitoring sejak 2014 sampai
11
2017 menunjukkan bahwa adanya penurunan jumlah jenis dan biomassa dari ikan ekonomis
penting, tetapi keanekaragaman jenis mengalami kenaikan antara 2014 sampai 2017. Hasil
analisa data dari monitoring 2017 terhitung rata-rata Biomassa ikan herbivora 10,4 Kg/350
m2 atau setara dengan 299,5 kg/ha. Jika dibandingkan hasil monitoring tahun sebelumnya,
biomassa ikan herbivora menurun. Perkembangan jumlah jenis maupun individu ikan
koralivor jika dilihat dari tahun basis (to), rata-ratanya hampir tidak menunjukkan perubahan
dari hasil monitoring tahun ke tiga (t3). Ada kenaikan pada tahun 2015, tetapi pada 2016
kembali ke pola semula dan naik kembali pada tahun 2017.
Jika dilihat dari jumlah individu tiap spesies atau kelompok spesies megabenthos yang
didapatkan di seluruh stasiun pengamatan, terlihat bahwa terdapat satu kelompok spesies
megabenthos target yang ditemukan dalam jumlah yang mendominasi, yaitu bulu babi. Dari
seluruh megabenthos target yang ditemukan, bulu babi ditemukan sebanyak 95,6% (326
individu). Spesies atau kelompok spesies megabenthos target yang ditemukan dalam jumlah
sedang antara lain keong trokha, siput Drupella spp. dan kerang kima. Dari total
megabenthos target yang ditemukan, keong trokha ditemukan sebesar 15,25% (52 individu),
sedangkan siput Drupella spp. ditemukan sebesar 8,8% (30 individu), dan kerang kima
ditemukan sebanyak 7,33% (25 individu). Spesies atau kelompok spesies megabenthos target
yang ditemukan dalam jumlah sedikit yaitu bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci,
teripang, bintang laut biru Linckia laevigata dan lobster. Dari total megabenthos yang
ditemukan, bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci ditemukan sebesar 4,4% (15
individu), teripang ditemukan sebesar 4,11% (14 individu), bintang laut biru Linckia
laevigata ditemukan sebesar 2,64% (9 individu), dan lobster ditemukan sebesar 0,88% (3
individu).
Berdasarkan nilai persentase tutupan kanopi komunitas, mangrove di Kabupaten Nias Utara
memiliki kondisi kesehatan yang termasuk dalam kategori yang cukup baik. Rata-rata
persentase tutupan kanopinya sebesar 64,5±4,0% dengan rentang tutupan dari 36,1±9,0%
sampai 91,5±0,5%. Sementara itu, nilai kerapatan pohonnya termasuk dalam kategori sangat
tinggi, dengan rata-rata 2.533±260 pohon/ha. Stasiun NISM02.01 yang terletak di Desa Sawo
memiliki kondisi kerapatan yang paling rendah, yaitu: 633±318 pohon/ha. Sementara itu,
kerapatan pohon mangrove yang paling tinggi, 3.720±659 pohon/ha diperoleh pada stasiun
pemantauan NISM03 di Desa Lahewa. Secara keseluruhan, diameter batang pohon mangrove
di Kabupaten Nias Utara memiliki rata-rata 9,8±1,6 cm dimana tegakan pohon di stasiun
NISM02.01 memiliki rata-rata diameter batang yang paling tinggi, yaitu: 24,2±12,4 cm. Rata-
12
rata ukuran pohon yang paling kecil ditemukan di stasiun NISM04 dengan diameter batang
6,0±0.2 cm (Gambar 3). Komunitas mangrove di Kabupaten Nias Utara memiliki struktur
komunitas yang didominasi oleh R. apiculata dengan kodominansi oleh S. alba dan R.
mucronata.
Tutupan lamun berkisar antara 21,20% - 69,32% dengan rata-rata 49,04+14,78%. Tutupan
terkecil di stasiun Goso Baohi (NIAS02) dan tutupan terbesar di stasiun Teluk Bengkoang (1)
(NIAS05). Hasil monitoring 2017 menunjukan bahwa terjadi penurunan pada Stasiun
NIAS02, hal ini dikarenakan pada sebagian padang lamun tidak ditemukan lamun yang
mungkin diakibatkan adanya sedimentasi yang cukup tinggi. Tetapi pada Stasiun NIAS03
terjadi peningkatan tutupan, hal ini dimungkinkan pertumbuhan lamun yang cukup baik
dikarenakan lingkungan yang mendukung. Secara keseluruhan hasil pengamatan monitoring
di perairan Kabupaten Nias Utara adalah ditemukan delapan jenis lamun yaitu Halodule
pinifolia, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Syringodium isoetifolim,
Enhalus acoroides, Thahassia hemprichii dan Halophila ovalis (Tabel 2). Sedangkan
tutupan lamun adalah rata-rata 49,04+14,78%. Secara keseluruhan di perairan Nias Utara,
dominasi jenis lamun adalah jenis Cymoodcea rotundata yang ditemukan merata di semua
stasiun pengamatan.
KESIMPULAN
Berdasar kegiatan monitoring yang dilaksanakan di perairan Kabupaten Nias Utara pada
tahun 2017, diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu :
1. Terjadi penurunan nilai rata-rata tutupan karang hidup sebesar 2,49% dari tahun 2016
ke 2017. Pada tahun 2016 tutupan karang sebesar 13,82% dan pada tahun 2017
tutupan karang sebesar 11,33%. Dengan demikian kondisi karang dikategorikan
rusak.
2. Penurunan persentase tutupan karang juga diikuti dengan penurunan jumlah jenis
karang yang mana karang karang tertentu yang memiliki daya tahan yang kuat yang
masih mampu bertahan.
3. Komunitas ikan terumbu karang di Nias Utara meningkat keanekaragaman jenisnya,
untuk ikan indikator kepadatannya relatif stabil atau tidak mengalami perubahan,
sedangkan kepadatan ikan target per hektar relatif stabil atau hanya mengalami
sedikit penurunan, dan untuk biomassa ikan target per hektar mengalami penurunan,
untuk ikan karnivor biomassa per hektar menurun sedangkan ikan herbivor naik
13
4. Megabenthos yang bernilai ekonomis masih dapat ditemukan, walaupun dengan
kepadatan rendah. Megabenthos yang bernilai ekologis sebagai indikator lingkungan
ditemukan dalam jumlah yang cukup besar sehingga patut dipantau. Tingginya
populasi bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci sebagai pemangsa polip
karang di luar transek pada beberapa stasiun perlu mendapatkan perhatian karena
berpotensi menimbulkan kerusakan terumbu karang
5. Kondisi kesehatan komunitas mangrove di Kabupaten Nias Utara termasuk dalam
kategori yang cukup baik dengan persentase tutupan komunitas rata-rata, sebesar
64,5±4,0%, dengan rentang 32,4±7,1% (Desa Sawo) sampai 95,5±0,5% (Desa
Sisarahili). Kerapatan komunitas mangrove cukup tinggi, yaitu 2.533±260 pohon/ha
dengan rata-rata ukuran diameter batang sebesar 9,8±1,6 cm. Jenis R. apiculata
mendominasi dalam kawasan dengan kodominansi oleh S. alba dan R. mucronata.
Tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada nilai persentase tutupan kanopi
mangrove Kabupaten Nias Utara tahun 2014-2017.
6. Keragaman (diversitas) jenis lamun di perairan Kabupaten Nias Utara ada delapan
jenis yaitu; Halodule pinifolia, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, C.
serrulata, Syringodium isoetifolim, Enhalus acoroides, Thahassia hemprichii dan
Halophila ovalis. Sedangkan komposisi dan distribusi jenis lamun dari masing-
masing stasiun pengamatan bervariasi yang didominasi oleh jenis Halodule
Cymodocea rotundata, C. serrulata, Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii.
Berdasarkan tutupan, maka kondisi padang lamun di perairan Kabupaten Nias Utara
dapat dikatakan kurang kaya/kurang sehat dengan tutupan rata-rata 49,04+14,78%.
14
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
15
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) adalah program nasional
untuk pemulihan dan perbaikan serta pengelolaan berkelanjutan ekosistem terumbu karang di
Indonesia. Salah satu ukuran keberhasilan Program COREMAP adalah meningkatnya tutupan
karang hidup, kelimpahan dan biomassa ikan karang di lokasi COREMAP serta ekosistem
terkait yang terjaga kondisinya. Oleh karena itu dibutuhkan ketersediaan data dan informasi
untuk ukuran keberhasilan tersebut, baik secara spasial dan temporal melalui kegiatan
baseline dan monitoring kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait. Di samping itu
kegiatan monitoring juga melengkapi data terkini (update) kondisi terumbu karang baik di
wilayah barat maupun di wilayah timur Indonesia.
Kegiatan monitoring kesehatan terumbu karang COREMAP Fase III atau disebut juga
COREMAP-CTI (2014-2018) merupakan kelanjutan dari monitoring fase sebelumnya,
COREMAP II (1998-2013). Studi awal (baseline) kesehatan terumbu karang dan ekosistem
terkait wilayah barat telah dimulai tahun 2014, termasuk di Kabupaten Nias Utara, Sumatera
Utara. Kondisi kesehatan terumbu karang dan ekosistem terkait tahun 2014 tersebut menjadi
data ke-0 (T0) yang merupakan data awal pada COREMAP Fase III yang selanjutnya akan
menjadi nilai pembanding dasar atas perubahan yang terjadi pada tutupan karang hidup dan
ekosistem terkait dengan tahun-tahun berikutnya. Dari hasil baseline studi (T0) tahun 2014 di
Kabupaten Nias Utara diperoleh tutupan rata-rata karang hidup 22,76%, sehingga terumbu
karang di perairan Kabupaten Nias Utara secara umum berada dalam kondisi kurang baik
(Siringoringo et al., 2014). Pada tahun 2015 kondisi terumbu karang mengalami peningkatan
yaitu 26,76%, kemudian pada tahun 2016 mengalami penurunan menjadi 13,82%. Penurunan
ini diakibatkan oleh terjadinya kejadian bleaching massal pada tahun 2016.
Pelaksanaan monitoring tahun 2017 digunakan sebagai data tahun ke-4 (T3) yang merupakan
data pembanding untuk mengetahui kondisi terumbu karang tahun demi tahun di wilayah
Coremap. Data ini diharapkan dapat digunakan oleh pemerintah pengambil kebijakan
sehingga pemerintah memiliki acuan data yang akurat sebagai dasar penerapan zona
konservasi yang akan diterapkan di Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD)
Kabupaten Nias Utara, Sumatera Utara.
RUMUSAN PERMASALAHAN
16
Selama ini masyarakat pesisir bermata pencaharian utama sebagai nelayan. Dengan semakin
ketatnya persaingan yang muncul antara nelayan lokal dan pengusaha perikanan yang bekerja
menangkap ikan menggunakan kapal bermuatan besar menyebabkan nelayan lokal terkadang
menggunakan cara-cara menangkap ikan secara tidak ramah lingkungan.
COREMAP-CTI adalah program yang bertujuan untuk melindungi, merehabilitasi dan
mengelola pemanfaatan pesisir secara berkelanjutan terutama yang berhubungan dengan
ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait yang pada akhirnya akan menunjang
kesejahteraan masyarakat pesisir.
Untuk melihat kondisi terkini terumbu karang serta melihat perubahan yang terjadi dari tahun
ke tahun, dilakukan pemantauan kondisi terumbu karang secara berkala. Reef Health
Monitoring (RHM) yang dilaksanakan oleh COREMAP-CTI dilakukan pada area KKPD
dengan cara membuat beberapa stasiun permanen yang dianggap mewakili untuk
menggambarkan kondisi kesehatan terumbu karang pada suatu wilayah. Stasiun tersebut
terdokumentasi dalam koordinat geografis pada GPS dan akan terus dipantau setiap tahun
selama program COREMAP-CTI berlangsung. Metode monitoring yang digunakan baku dan
sederhana agar masyarakat lokal dapat menerapkannya tanpa menghilangkan unsur
keilmiahannya.
TUJUAN DAN SASARAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi terkini ekosistem terumbu karang dan
ekosistem terkait seperti padang lamun dan hutan mangrove di area KKPD Kabupaten Nias
Utara. Hasil tersebut akan dibandingkan dengan data yang didapatkan pada tahun 2014, 2015,
2016 dan 2017 sehingga diketahui persentase perubahan yang terjadi. Sasaran dari kegiatan
ini adalah sebagai berikut.
a. Mengetahui persentase tutupan terumbu karang hidup di Kabupaten Nias Utara
b. Mengetahui kepadatan ikan karang di Kabupaten Nias Utara
c. Mengetahui kepadatan megabentos yang bernilai ekonomis penting maupun yang dapat
dijadikan sebagai biota indikator kesehatan terumbu karang di Kabupaten Nias Utara
d. Mengetahui persentase kerapatan mangrove di Kabupaten Nias Utara
e. Mengetahui persentase tutupan lamun di Kabupaten Nias Utara
METODOLOGI
17
PELAKSANAAN DAN LOKASI PENELITIAN
Kegiatan monitoring tahun 2017 (tahun ke empat) dilaksanakan pada tanggal 9 hingga
18 November 2017. Lokasi penelitian berada di perairan utara Kabupaten Nias Utara yang
merupakan KKPD (Kawasan Konservasi Perairan Daerah) yang terdiri dari sepuluh stasiun
penelitian. Jumlah stasiun sebelumnya adalah 8 stasiun, dari 8 stasiun tersebut, ada 2 stasiun
yang dihilangkan yaitu NIAC01 dan NIAC02 (yang lama), kemudian ada penambahan 4
stasiun yang baru. (NIAC01D, NIAC02D, NIAC09 DAN NIAC10). Stasiun ini sudah
dilakukan base line dan monitoring oleh daerah sehingga dapat diteruskan untuk monitoring
selanjutnya. Alasan menghilangkan stasiun NIAC01 dan NIAC02 yang lama adalah karena
setelah 3 kali monitoring, kondisinya terumbu karang didominasi pasir dan patahan karang,
selain itu lokasi ini sering mengalami gempuran ombak yang cukup kuat sehingga sulit untuk
melakukan monitoring dilokasi tersebut (faktor keselamatan kerja). Sebaran stasiun penelitian
berada di sepanjang pesisir barat-utara dan pulau-pulau kecil di Kecamatan Lahewa dan
Sawo, Kabupaten Nias Utara. Lokasi pengamatan disajikan pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Peta lokasi stasiun monitoring karang ikan dan megabentos
Pemantauan kondisi komunitas mangrove di Kabupaten Nias Utara pada tahun 2017,
tidak hanya dilakukan pada seluruh stasiun pemantauan yang dibuat oleh COREMAP CTI-
LIPI Jakarta, namun juga pada stasiun yang ditetapkan oleh Dinas Perikanan, Kabupaten Nias
18
Utara yang tahun ini tidak dilakukan pemantauan oleh Dinas Perikanan, Kabupaten Nias
Utara. Selain itu, dilakukan penambahan 3 stasiun pemantauan untuk meningkatkan akurasi
analisis kondisi kesehatan komunitas mangrove di Kabupaten Nias Utara. Lokasi pengamatan
mangrove disajikan pada Gambar 2.
Pada penentuan stasiun pengamatan tahun 2015 (t0) dan tahun 2016 (t1) telah
ditentukan empat stasiun yaitu, 1. Muara Tali Wa’a, Lahewa (NIAS01), 2. Goso Baohi,
Lahewa (NIAS02), 3. Teluk Bengkoang, Sawo (NIAS03), 4. Tanjung Furedowi, Sawo
(NIAS04). Sedangkan pada pengamatan tahun 2017 (t2) ada penambahan empat stasiun
yaitu; 1. Teluk Bengkoang (1), Sawo (NIAS05), 2. Tajung Furedowi (1),Sawo (NIAS06), 3.
Sihene’ Asi (NIAS07) dan 4. Pantai Ionene, Sisarahili, Sawo (NIAS08), sehingga pada tahun
2017 terdapat delapan stasiun pengamatan. Lokasi pengamatan lamun disajikan pada
Gambar 3. Koordinat lokasi penelitian karang, ikan, megabentos, mangrove dan lamun
disajikan pada Lampiran 1, Lampiran 2 dan Lampiran 3.
Gambar 2. Peta lokasi stasiun monitoring mangrove
19
Gambar 3. Peta lokasi stasiun monitoring lamun
METODE PENELITIAN
20
Karang
Pengamatan visual secara bebas dilakukan dimulai dari pesisir daratan/ pantai hingga
ke bagian perairan tempat dilaksanakannya kegiatan monitoring pada masing-masing stasiun
yang dilengkapi dengan dokumentasi berupa foto. Pengambilan data utama berupa tutupan
karang hidup dilaksanakan menggunakan metode UPT (Underwater Photo Transect)
(Giyanto et al., 2010; Giyanto, 2012a; Giyanto, 2012b). Pada prinsipnya UPT adalah metode
pengambilan data tutupan karang hidup menggunakan alat bantu frame berukuran 58 cm x 44
cm yang dipasang pada garis transek sepanjang 50 meter dengan cara pemotretan yang
selanjutnya akan dianalisis melalui aplikasi CPCE. Pengambilan data menggunakan metode
UPT dilakukan dengan teknik penyelaman SCUBA, menggunakan kamera Canon Powershot
G16 dilengkapi dengan housing yang kompatibel untuk kegiatan penyelaman serta frame besi
berbentuk persegi yang diberi warna mencolok.
Pemasangan garis transek mengikuti titik 0 transek permanen yang telah dipasang pada tahun
sebelumnya atau tahun terakhir dilaksanakannya monitoring. Titik 0 transek permanen dapat
diketahui berdasarkan titik koordinat dan ditandai dengan dua pelampung putih dan dua patok
besi yang terikat. Jika titik 0 telah ditemukan maka pita meteran (roll meter) sepanjang 50
meter siap diletakkan mengikuti garis transek lama yang biasanya menggunakan tali nangsi.
Kedudukan garis transek sejajar garis pantai pada kedalaman di mana karang umum
dijumpai, yaitu pada kedalaman sekitar 5-7 meter. Saat melakukan peletakan pita meteran,
posisi daratan pulau berada di sebelah kiri. Setelah pita meteran diletakkan, pemotretan
dilaksanakan sepanjang garis transek mulai dari meter ke-1 hingga meter ke-50 dengan jarak
antar foto sepanjang 1 meter. Pemotretan pada meter ke-1 (frame 1), meter ke-3 (frame 3)
dan frame berikutnya dengan nomer ganjil dilakukan di sebelah kanan garis transek,
sedangkan untuk frame dengan nomer genap (frame 2, frame 4, dan seterusnya) dilakukan di
sebelah kiri garis transek. Untuk setiap pemotretan dilakukan pada jarak sekitar 60 cm dari
dasar substrat sehingga luas bidang setiap frame pemotretan sekitar 2500 m2. Ilustrasi
pengambilan foto ditampilkan pada Gambar 4 berikut.
21
Gambar 4. Ilustrasi pengambilan foto dengan metode UPT
Analisis foto hasil pemotretan dilakukan menggunakan komputer dan piranti lunak (software)
CPCe (Kohler & Gill, 2006). Sebanyak 30 sampel titik acak dipilih untuk setiap frame foto,
dan untuk setiap titiknya diberi kode sesuai dengan kode masing-masing kategori dan biota
dan substrat yang berada pada titik acak tersebut (Tabel 1).
Tabel 1. Kode biota dan substrat
Kode KeteranganLC Live Coral = Karang batu hidup = karang hidup = AC+NA
- AC Acropora = karang batu marga Acropora- NA Non Acropora = karang batu selain marga Acropora
DC Dead Coral = karang matiDCA Dead Coral with Algae = karang mati yang telah ditumbuhi algaSC Soft Coral = karang lunakSP Sponge = sponsFS Fleshy Seaweed = algaOT Other Fauna = fauna lainR Rubble = pecahan karangS Sand = pasirSI Silt = lumpurRK Rock = batuan
Selanjutnya dihitung persentase tutupan masing-masing kategori biota dan substrat untuk
setiap frame foto menggunakan rumus:
Persentase tutupan kategori = jumlah titik kategori tersebutbanyaknya titik acak
x 100%
Berdasarkan nilai persentase tutupan karang hidup dapat ditentukan kondisi terumbu karang
seperti pengelompokan yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Oseanografi – Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (Puslit Oseanografi-LIPI) yang disajikan pada Tabel 2 berikut.
Tabel 1. Pengelompokkan kondisi terumbu karang berdasarkan nilai persentase tutupankarang hidup
22
Tutupan Karang Hidup (%) Kriteria Penilaian
75 – 10050 – 74,925 – 49,90 – 24,9
Sangat baikBaik
CukupBaikKurang Baik
Ikan Karang
Metode yang digunakan dalam pengamatan ikan karang adalah belt transect mengikuti cara
English et al., (1997). Peralatan yang digunakan meliputi scuba set, alat tulis bawah air dan
meteran tali. Pengambilan data dilakukan dengan underwater visual census (UVC) dengan
mencatat jenis, kelimpahan dan estimasi panjang ikan karang yang menjadi target
pengamatan di sepanjang garis transek 70 m dengan batas kanan dan kiri masing-masing
berjarak 2,5 m sehingga diperoleh luas total bidang penelitian sebesar 350 m2. Optimalisasi
hasil pengamatan juga dilakukan dengan pengambilan data foto dan video bawah air.
Identifikasi ikan jenis-jenis tertentu melalui foto atau video dilakukan antara lain berdasarkan
Allen (2009) dan Allen & Adrim (2003).
Pengolahan dan analisa data yang di dapat dari pengamatan meliputi:
1. Keanekaragaman jenis
Adalah total dari spesies ikan karang yang diamati selama kegiatan monitoring di suatu lokasi
ekosistem terumbu karang.
2. Densitas (D)
Adalah jumlah individu seluruh spesies ikan karang per luas area pengamatan.
3. Hubungan panjang-berat (W)
Adalah berat individu ikan target (W-gram) sama dengan indeks spesifik spesies (a) dikalikan
dengan estimasi panjang total dipangkat indeks spesifik spesies (b).
W = a x Lb
4. Biomassa (B)
Adalah berat individu ikan target (W) per luas area pengamatan
23
Megabentos
Pengamatan megabentos target dilakukan dengan metode belt transek (Loya, 1978) yang
dikombinasikan dengan metode Benthos Belt Transect (BBT) (Loya 1978; Munro 2013;
Giyanto et al., 2014) dengan menggunakan peralatan selam SCUBA. Transek
disinkronisasikan dengan transek untuk pengamatan karang dan ikan pada sebuah transek
permanen. Metode ini dilakukan dengan cara menarik garis sejajar garis pantai pada
kedalaman 7 – 12 meter dengan panjang transek 70 meter dan lebar pengamatan satu meter
ke arah kiri dan satu meter ke arah kanan garis transek menjadi 140 m2 (2 m x 70 m). Khusus
untuk biota kima (giant clams) dilakukan pengamatan tambahan, yaitu jenis penempelannya,
apakah kima hidup meliang di karang atau hidup menempel di pasir dan pengukuran panjang
tiap kima yang ditemukan ke dalam cm terdekat. Jenis-jenis biota megabentos yang akan
diamati dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.
Tabel 2. Jenis-jenis megabentos target yang diamati
No. Megabentos Nama spesies
1 Teripang / Sea Cucumbers / Holothurians
2 Kima / Giant clams Tridacna sp. dan Hippopus sp.3 Lobster Panulirus sp.4 Lola Trochus sp. dan Tectus sp.5 Bintang Laut Berduri / Crown-of-thorns starfish Acanthaster planci6 Siput Drupella / Coral eating snails Drupella cornus dan D. rugosa7 Bulu babi / Sea urchin Diadema sp.8 Bintang laut biru / blue starfish Linckia laevigata
Kelimpahan megabentos menurut Harvey (2008) dapat dihitung menggunakan rumus sebagai
berikut.
Kepadatan X = (jumlah individu X) / (luas belt transect (140 m2))
Mangrove
Monitoring dilaksanakan dengan metode line transek kuadrat dan hemispherical photography
(Jenning et al., 1999). Di kawasan mangrove yang telah dipilih, kemudian dibuat plot
berukuran 10 x 10 m2 dengan ulangan tiga kali di sepanjang transek. Selanjutnya, dilakukan
pengukuran diameter pohon pada ketinggian dada (DBH) yang memiliki lingkar batang
minimal 16 cm. Kemudian, setiap plot dibagi menjadi empat kuadran dengan ukuran 5 x 5
m2, dan di setiap kuadran dilakukan pengambilan foto hemisphere/ tegak lurus langit. Data
lingkar batang pohon tersebut digunakan untuk menentukan indeks ekologi yang meliputi
24
kerapatan pohon, basal area, dan nilai penting jenis. Hasil pemotretan dianalisis untuk
menentukan persentase tutupan (% cover) mangrove di dalam suatu kawasan.
Untuk identifikasi jenis tumbuhan mangrove maupun tumbuhan asosiasi mangrove yang
belum diketahui di lapangan, diambil bagian bunga, buah, daun, dan difoto bagian batang dan
akarnya. Identifikasi jenis dilakukan dengan menggunakan buku dari Tomlinson (1986),
Giesen et al., (2002) dan Noor et al., (2002). Persentase tutupan dihitung dengan
manggunakan perangkat lunak ImageJ.
Lamun (Seagrass)
Pengamatan dilakukan berdasarkan Buku Panduan Monitoring Padang Lamun (Rahmawati
dkk., 2015) pada 8 – 10 September 2016 di perairan Kawasan Konservasi Perairan Daerah
(KKPD) Kabupaten Nias Utara pada empat stasiun pengamatan, yaitu Muara Taliwa’a,
Gosobaohi, Teluk Bengkoang dan Tanjung Furedowi. Untuk mengetahui keberadaan,
tutupan, dominansi, distribusi, keragaman dan komposisi jenis lamun, dilakukan pengamatan
langsung dan transek (Rahmawati dkk., 2015).Sedangkan untuk mengetahui keragaman dan
komposisi jenis dilakukan pengamatan langsung dengan ”snorkling” pada setiap stasiun
penelitian.
Untuk mengetahui tutupan dan dominansi jenis lamun, dilakukan dengan menarik garis
transek vertikal dari garis pantai dengan pendekatan kuadrat (frame) 50 x 50 cm. Transek
dilakukan sebagai berikut :
1. Titik pertama transek di sisi pantai yang ditarik ke arah tubir (100 m). Untuk kawasan
yang sempit (tidak mencapai 100 m) dilakukan sesuai kondisi di area pengamatan.
Penentuan titik pertama, 5-10 m dari awal ditemukan lamun.
2. Titik awal transek diberi tanda permanen dengan patok besi dengan pelampung kecil
3. Dicatat posisi transek dengan penerima GPS. Titik awal transek No.1 pada meter ke-
0.
4. Kuadrat 50 x 50 cm (dibagi 4 kotak) ditempatkan pada titik 0 m (kanan atau kiri
meteran transek, tetap)
5. Tentukan nilai % pada setiap kotak.
6. Catat komposisi jenis dan persentase masing-masing jenis dan catat substratnya..
7. Pengamatan dilakukan setiap 10 meter dan pasang patok/tanda pada titik terakhir.
8. Ulangi tahapan di atas pada transek 2 dan 3 dengan jarak antar transek 50 m.
9. Setiap lokasi stasiun pengamatan dan kondisi padang lamun didokumentasikan (foto)
25
Untuk analisis data lapangan dengan perangkat Microsoft Excel, untuk tutupan dan
dominansi jenis lamun dilakukan sebagai berikut;
Rata-rata jumlah tutupan lamun seluruh transekTutupan lamun = ---------------------------------------------- x 100%(%) jumlah kuadrat seluruh transek
Rata-rata jumlah nilai dominasi lamun seluruh kuadratNilai Dominansi = ------------------------------------------------------ x 100%Lamun (%) jumlah kuadrat seluruh transek
Untuk penilaian kategori tutupan menurut Rahmawati dkk. (2015) ada empat kategori yaitu:
1. jarang (0-25%), 2. cukup padat (26-50%), 3. padat (51-75%), dan 4. sangat padat (> 75%).
Sedangkan untuk kondisi padang lamun berdasarkan tutupan dibagi, yaitu: 1. kaya/sehat (>
60%), 2. kurang kaya/kurang sehat (30-59,9%), dan 3. miskin (< 29,9%) (KMLH, 2004).
HASIL DAN PEMBAHASAN
KARANG
26
Gambaran Umum Kesehatan Terumbu Karang
Terumbu karang di Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kabupaten Nias
Utara terdistribusi di sepanjang pesisir barat, utara dan timur serta pulau-pulau kecil perairan
Kecamatan Lahewa dan Kecamatan Sawo. Perairan terumbu karang di pesisir barat relatif
terbuka dan berhadapan langsung dengan perairan terbuka Samudera Hindia sedangkan
pesisir utara dan pulau-pulau kecil berada dalam teluk dan lebih terlindung. Di sisi lain,
perairan di pesisir timur agak terbuka dengan beberapa bagian lebih terlindung berada dalam
teluk kecil dengan muara sungai cukup besar.
Laporan kenaikan suhu ekstrim pada tahun 2016 ternyata berdampak pada kondisi
karang di perairan Kabupaten Nias Utara. Kondisi karang yang berada di sepanjang pesisir
utara mengalami kematian massal diduga akibat kenaikan suhu air laut yang berdampak pada
proses pemutihan karang (coral bleaching). Dari fase dead coral algae sebagian berubah
menjadi coralline algae yang mana nanti coralline alga tersebut menjadi substrat yang baik
untuk pertumbuhan atau penempelan larva karang.
Kondisi Terumbu Karang Pada Stasiun Penelitian
Stasiun NIAC01
Lokasi pengamatan terumbu karang terletak di pesisir Pulau Baohi yang dulunya merupakan
sebuah gosong. Lokasi ini merupakan lokasi monitoring milik DKP Nias Utara yang suda
dilakukan pengambilan data tahun 2015 dan 2016. Lokasi ini masuk dalam kawasan
administrasi Kecamatan Lahewa. Pantai ditumbuhi vegetasi khas pantai yang relatif muda. Di
darat terlihat bekas pengangkatan karang akibat gempa bumi Nias tahun 2005. Saat
pengamatan, cuaca relatif cerah, tidak berangin dan tidak berombak. Jarak titik monitoring ke
darat berkisar 200 meter pada kedalaman 3,8 meter.
Titik monitoring berada di reef flat. Dasar perairan terdiri dari substrat yang berupa pasir,
karang hidup dan dead coral algae. Terumbu karang didominasi oleh jenis Porites cylindrica
dengan koloni yang cukup besar. Sebagian dari koloni tersebut masih hidup dan sebagian
sudah ditumbuhi oleh alga. Dibandingkan dengan tahun 2015 kondisi karang masih hidup
semua, namun pasca kejadian pemutihan mengalami kematian. Selain Sponge ,makro alga
jenis Tydemania expeditionis cukup melimpah. Saat pengamatan, jarak pandang di bawah air
sekitar 10 meter.
Hasil analisis menunjukan tutupan di stasiun NIAC01 sebesar 12,73% yang berarti
kondisi terumbu karang berada dalam kondisi kurang baik (Gambar 5).
27
Gambar 5. Kondisi titik monitoring NIAC01 (kiri) dan dominasi oleh karang bercabangPorites cylindrica yang sudah ditumbuhi alga (kanan)
Stasiun NIAC02
Lokasi penelitian merupakan lokasi baru yang sebelumnya merupakan titik monitoring milik
DKP Nias Utara. Lokasi penelitian berupa gosong yang berada di dalam teluk yang bernama
Gosong Uge. Gosong ini terletak di wilayah administratif Kecamatan Sawo. Letak titik
monitoring berada sekitar 2 km dari daratan. Transek permanen berada di sebelah timur laut
Gosong Uge. Gosong belum muncul ke permukaan pada saat pasang tertinggi namun terlihat
beberapa batu karang dan pasir pada saat air surut rendah. Titik 0 berada di kedalaman 6,3 m.
Kondisi dasar perairan berupa lereng landai dengan kedalaman 5-7 m dan agak curam pada
kedalaman 9-12 m. Substrat dasar berupa karang hidup, DCA, pasir, dan pecahan karang.
Rugositas pada kedalaman 7-10 m cukup tinggi. Karang mati dengan bentuk boulder besar
dapat ditemukan juga pada kedalaman 7-10 m tersebut. Kondisi perairan memiliki visibilitas
yang rendah karena terdapat beberapa sungai yang bermuara di dalam teluk. Pada reef slope
yang landai karang hidup tumbuh berupa patches kecil yang tumbuh jarang dan tersebar tidak
merata. Pada kedalaman antara 6-9 m, banyak karang yang tumbuh di atas boulder karang
mati. Pada kedalaman lebih dari 10 m tidak ditemukan adanya pertumbuhan karang. Jenis
karang yang ditemukan tidak banyak, umumnya didominasi oleh jenis Porites lutea, Porites
lobata, Goniastrea retiformis, Cyphastrea seraillia, Porites nigrecens, Psammocora
contigua, Galaxea longisepta dan Pleuractis paumotensis. Ukuran karang hidup yang
ditemukan cukup kecil umumnya berukuran kurang dari 1 meter dan beberapa anakan karang
dapat ditemukan di lokasi ini terutama dari famili Fungidae. Dijumpai beberapa individu
bintang laut pemakan polip karang Acanthaster planci di lokasi ini. Ikan dari kelompok
herbivora ditemukan cukup banyak juga di lokasi ini. Di beberapa titik ditemukan makroalga
dari jenis Tydemania expeditionis berwarna hijau yang cukup banyak
28
Hasil analisis menunjukkan nilai persentase tutupan karang hidup di lokasi NIAC02 sebesar
14,93% yang masuk dalam kategori kurang baik. Gambaran umum mengenai kondisi karang
di lokasi ini disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Kondisi titik monitoring NIAC02 (kiri), kondisi terumbu karang yangdidominasi karang massif jenis Porites lobata (kanan)
Stasiun NIAC03
Stasiun pengamatan NIAC03 berada di pesisir Desa Teluk Bengkuang, Kecamatan
Sawo. Daratan berupa pantai berpasir putih yang merupakan lokasi obyek wisata yang
disebut Pantai Asi Walo. Perairan ini berada di dalam teluk yang terlindung, daratannya
didominasi oleh pohon kelapa dan beberapa tanaman semak alami. Terdapat rawa pantai
dengan limpahan air tawar yang mengalir ke laut. Di pantai terdapat beberapa warung
makanan dan sebuah dermaga tradisional sebagai tempat kapal berlabuh yang dikelola oleh
masyarakat. Saat pengamatan dilakukan cuaca sangat cerah, kondisi perairan cukup tenang
karena berada di dalam teluk dengan gelombang dan arus yang sangat tenang. Jarak pandang
di bawah air kurang baik karena air cukup baik sekitar 15 meter. Pengambilan data dilakukan
pada kedalaman 6-8 m pada daerah lereng terumbu (slope) yang agak landai dengan
kemiringan sekitar 10 derajat. Karakteristik dasar perairan landai dan berpasir bercampur
sedimen yang tertutup oleh makro alga. Jenis karang yang dijumpai cukup mendominasi
adalah karang biru Heliopora coerulea dan Porites cylindrica. Di lokasi ini tidak nampak
adanya pemutihan karang (bleaching coral) sebagai efek kenaikan suhu air laut. Dari hasil
analisis diketahui terjadi penurunan nilai tutupan karang hidup dari 10,47% (tahun 2015)
menjadi 7,13% yang berarti kondisi karang masih berada dalam kondisi kurang baik
(Gambar 7).
29
Gambar 7. Stasiun NIAC03, berada di Desa Teluk Bengkuang Kecamatan Sawo (kiri),kondisi terumbu karang yang didominasi oleh Heliopora coerulea dan alga
Stasiun NIAC04
Lokasi terletak di sebelah selatan Pulau Panjang yang masuk dalam kawasan administrasi
Kecamatan Lahewa. Pantai ditumbuhi vegetasi khas pantai yang relatif muda. Di darat
terlihat bekas pengangkatan karang akibat gempa bumi Nias tahun 2005. Jarak titik
monitoring ke darat berkisar 30 meter. Saat pengamatan dilaksanakan kondisi cuaca sangat
tenang karena lokasi ini merupakan teluk yang terlindung. Titik monitoring terletak di reef
flat. Kondisi air cukup keruh dengan jarak pandang berkisar 7 meter. Di dekat lokasi
monitoring terdapat outlet yang berasal dari danau yang terdapat di Pulau Panjang sehingga
memberi masukan sedimen yang cukup tinggi.
Dasar perairan terdiri dari substrat yang berupa karang hidup, dead coral algae,
pecahan karang dan pasir. Menuju ke kedalaman berupa pasir dengan banyak dead coral
algae. Lokasi ini terkena dampak bleaching karang yang terjadi pada tahun 2016 lalu dan
masih terlihat hingga monitoring tahun ini. Sebagian besar karang terutama marga karang
dari Acropora mengalami kematian massal yang berupa dead coral algae. Lokasi ini
menerima masukan sedimen cukup tinggi terlihat dari kondisi air yang keruh dan juga jenis
karang yang ada di lokasi ini yaitu dari jenis Turbinaria sp. dan Galaxea sp. Kedua jenis
karang ini merupakan karang yang umum ditemukan pada lokasi air keruh. Karang jenis
Porites lobata juga ditemukan dalam kondisi sehat di lokasi ini.
Hasil analisis menunjukkan terjadinya penurunan tutupan karang hidup dari 21,93%
(tahun 2016) menjadi 17,20%, sehingga terumbu karang berada dalam kondisi kurang baik
(Gambar 8).
30
Gambar 8. Kondisi titik monitoring NIAC04 (kiri), koloni karang lembaran Turbinaria sp.dan Porites lutea yang umum ditemukan di lokasi dengan sedimentasi tinggi(kanan)
Stasiun NIAC05
Stasiun monitoring NIAC05 berada di sisi barat-utara Pulau Lafau, Desa Siheneasi,
Kecamatan Lahewa. Pulau ini tidak berpenduduk, daratan berbatu karang yang terjadi akibat
pengangkatan saat gempa 2005. Pantai ditumbuhi vegetasi khas pantai yang masih relatif
muda. Di darat terlihat bekas pengangkatan karang akibat gempa bumi Nias tahun 2005.
Jarak titik monitoring ke darat berkisar 20 meter pada kedalaman 7 meter.
Titik monitoring berada pada tubir dengan kemiringan 40 derajat. Dasar perairan
terdiri dari substrat berupa karang hidup, dead coral algae dan pecahan karang. Menuju ke
kedalaman berupa pasir dengan banyak dead coral algae. Kondisi karang di lokasi ini rata-
rata kurang baik disebabkan oleh kejadian bleaching karang yang terjadi pada tahun 2016
lalu. Pulau Lafau merupakan salah satu lokasi zona inti pada wilayah KKPD Nias Utara
karena pada tahun 2015 lokasi ini memiliki kondisi karang relatif paling baik dibandingkan
dengan lokasi lainnya. Namun kenaikan suhu air laut pada tahun 2016 menyebabkan
kematian massal pada karang di lokasi ini. Kondisi ini tampaknya belum berubah dalam
jangka waktu setahun hingga tahun 2017. Sebagian besar karang terutama marga karang
Acropora mengalami kematian masal. Sampai saat ini bekas-bekas koloni Acropora dan jenis
lainnya masih utuh berdiri tegak dan ditumbuhi oleh coraline algae dan crustose algae.
Tekanan pada kondisi karang bertambah dengan keberadaan bintang laut berduri pemakan
polip karang, Acanthaster planci. Hewan ini memakan polip karang terutama karang masif
Porites yang sebagian koloninya terlihat memutih. Hasil analisis menunjukan terjadinya
penurunan nilai tutupan karang hidup dari 23,13% (tahun 2015) menjadi 13,20% sehingga
terumbu karang berada dalam kondisi kurang baik (Gambar 9).
31
Gambar 9. Kondisi titik monitoring NIAC05 (dari kiri ke kanan), tampak darat stasiunNIAC05 memperlihatkan daratan dengan bekas pengangkatan karang akibatgempa Nias tahun 2005; transek permanen terbentang pada kedalaman 7,0 m;pada beberapa titik ditemukan koloni karang massif Porites sp. yang memutihsebagian diduga disebabkan oleh proses pemangsaan polip karang olehAcanthaster planci
Stasiun NIAC06
Lokasi stasiun NIAC06 berada di Tanjung Pelabuhan Lahewa, Kelurahan Pasar Lahewa,
Kecamatan Lahewa. Pantai ditumbuhi vegetasi khas pantai yang relatif muda. Di darat
terlihat bekas pengangkatan karang akibat gempa bumi Nias tahun 2005. Pada saat
pengamatan cuaca cukup cerah tidak berangin dan berombak. Jarak titik monitoring ke darat
berkisar 30 meter pada kedalaman 5,2 meter.
Titik monitoring berupa lereng yang landai dengan kemiringan 30 derajat. Jarak
pandang bawah air saat pengamatan cukup baik berkisar 15 meter. Dasar perairan terdiri dari
substrat yang berupa pasir, karang hidup dan dead coral algae. Kondisi karang di lokasi ini
rata-rata kurang baik Karena belum pulih sejak kejadian bleaching karang yang terjadi pada
tahun 2016 lalu. Beberapa jenis karang massif Porites terlihat menjadi karang yang bertahan
hidup dalam proses bleaching karang tahun 2016 karena memiliki ukuran koloni cukup besar.
Beberapa biota yang dijumpai lainnya antara lain adalah bintang laut Linckia sp., Holothuria,
kima dan bintang laut berduri pemakan polip karang Acanthaster planci. Dari hasil analisis,
nilai tutupan karang hidup di stasiun NIAC06 mengalami sedikit penurunan dari 16,47%
menjadi 16% dan masih berada dalam kondisi kurang baik (Gambar 10).
32
Gambar 10. Kondisi titik monitoring NIAC06 (kiri), transek permanen terbentang padakedalaman 5,0 m, dasar perairan stasiun NIAC06 terdiri dari pasir, karang hidupyang didominasi oleh Porites lobata
Stasiun NIAC07
Stasiun NIAC07 berada perairan Pantai Tuhemberua, Desa Balefadorotuho,
Kecamatan Lahewa. Lokasi ini merupakan tempat wisata yang cukup terkenal di Kabupaten
Nias Utara. Di tepi pantai tampak hamparan terumbu karang yang terangkat ke darat akibat
gempa yang menghantam Nias pada tahun 2005. Daratan tersebut ditumbuhi mangrove yang
tidak tebal dengan umur pertumbuhan relatif muda. Jarak titik pengamatan ke darat berkisar
1,5 km dengan titik 0 berada di kedalaman 7,2 m. Rataan terumbu dari tepi pantai sangat luas
menuju ke tengah makin dalam tanpa adanya reef crest. Pada kedalaman 9 -10 meter lereng
terumbu dengan kemiringan sekitar 40 – 60 derajat. Pada tahun 2016, karang di lokasi ini
terkena dampak kenaikan suhu air laut yang menyebabkan terjadinya bleaching dan sampai
saat ini belum tampak terjadinya gejala pemulihan. Anakan karang masih relatif sedikit dan
beberapa jenis karang tampaknya selamat dan dapat bertahan hidup namun sebagian besar
terutama karang dari genus Acropora mengalami kematian massal. Sampai saat ini bekas-
bekas koloni Acropora dan jenis lainnya masih utuh berdiri tegak ditumbuhi oleh coraline
algae dan crustose algae. Beberapa karang baru tumbuh berupa anakan. Pada pengamatan
kali ini, karang dengan ukuran kurang dari 10 cm dianggap merupakan karang hasil
rekruitmen baru sedangkan karang yang sudah lebih dari 10 cm merupakan karang yang
selamat dari kejadian bleaching massal. Pada rataan terumbu ditemukan beberapa individu
bintang laut pemakan polip karang Acanthaster planci.
Dari hasil analisis, terjadi penurunan tutupan karang hidup dari 11,20% (tahun 2016) menjadi
4,13% (tahun 2017) dan tetap berada dalam kondisi kurang baik (Gambar 11).
33
Gambar 11. Kondisi titik monitoring NIAC07 (dari kiri ke kanan), tampak darat stasiunNIAC07 berjarak sekitar 1,5 km dari titik monitoring; transek permanen yangberada di kedalaman 7,2 m; kondisi terumbu karang yang mati dan ditumbuhialga
Stasiun NIAC08
Lokasi pengamatan berada di kawasan Desa Balefaderotuho, Kecamatan Lahewa. Saat
pengamatan dilaksanakan cuaca cukup cerah. Di tepi pantai tampak hamparan terumbu
karang yang terangkat ke darat akibat gempa yang menghantam Nias pada tahun 2005.
Daratan tersebut ditumbuhi magrove yang tidak tebal dengan umur pertumbuhan relatif
muda. Jarak dari titik pengamatan ke darat sekitar 1,5 km. Saat pengamatan cuaca cukup
cerah dengan kondisi perairan relatif tenang.
Kondisi stasiun ini memiliki kondisi lingkungan yang hampir sama dengan kondisi di stasiun
NIAC07. Titik 0 transek permanen berada di kedalaman 9,3 m. Jarak pandang bawah air
cukup baik berkisar 20 m. Perbedaan dengan stasiun NIAC07 adalah kondisi reef slope
dengan kemiringan yang bervariasi, ada yang landai hingga kedalaman 10 meter dan ada pula
yang curam dan pada kedalaman 10 meter sudah tidak ditemukan pertumbuhan karang.
Ukuran koloni karang dari jenis Pories lutea, Porites lobata dan Porites solida kebanyakan
antara 10 – 15 cm dan 20 - 40 cm serta hampir tidak ditemukan ukuran koloni yang lebih
besar dari 50 cm. Beberapa karang jamur jenis Ctenactis crassa ukurannya lebih dari 35 cm.
Lobophyllia hemprichii tampaknya ada yang bertahan hidup dengan ukuran lebih dari 35 cm
dan Echinophora lamellosa dengan ukuran 45 cm. Dijumpai cukup banyak molusca
ekonomis penting Lambis lambis di lokasi ini. Dari hasil analisis, terjadi penurunan tutupan
karang hidup dari 4,20% (tahun 2016) menjadi 1,93%, dan tetap berada dalam kondisi
kurang baik (Gambar 12).
34
Gambar 12. Kondisi titik monitoring NIAC08 (dari kiri ke kanan), tampak darat stasiunNIAC08 berjarak 1,5 km dari titik monitoring; kondisi terumbu karang yangdilewati garis transek pada kedalaman 9,2 m; dead coral alga terlihat sebagianmenjadi coraline alga
Stasiun NIAC09
Stasiun NIAC09 merupakan lokasi monitoring baru yang terletak di sebelah barat Pulau
Panjang yang masuk dalam kawasan administrasi Kecamatan Lahewa. Pantai ditumbuhi
vegetasi khas pantai yang relatif muda. Di darat terlihat bekas pengangkatan karang akibat
gempa bumi Nias tahun 2005. Jarak titik monitoring ke darat berkisar 100 m pada kedalaman
5,4 m. Kondisi perairan sangat tenang saat pengamatan karena berupa teluk yang terlindung.
Dasar perairan berupa lereng landai dengan kemiringan berkisar 20 derajat yang terdiri dari
substrat karang hidup, dead coral algae, pecahan karang dan pasir. Kondisi karang di lokasi
ini rata-rata kurang baik diduga disebabkan oleh kejadian kenaikan suhu air laut yang
menyebabkan bleaching karang yang terjadi pada tahun 2016 lalu. Karang mati terlihat
ditutupi oleh coraline alga dan crustose alga berwarna merah muda. Di beberapa titik terlihat
pula koloni karang masif berukuran besar yang seluruhnya memutih yang diduga disebabkan
oleh bintang laut pemakan polip karang Acanthaster planci.
Anakan karang masih relatif sedikit dan beberapa jenis karang tampaknya selamat dan dapat
bertahan hidup dari bleaching karang. Namun sebagian besar terutama marga karang dari
Acropora mengalami kematian massal. Sampai saat bekas-bekas koloni acropora dan jenis
lainnya masih utuh berdiri tegak tegak dan ditumbuhi oleh coraline algae dan crustose algae
yang berwarna merah muda
Dari hasil analisis, tutupan karang hidup di stasiun NIAC09 sebesar 12,40% mengalami
penurunan dari pengamatan terakhir pada tahun 2014 sebesar 25,27%. Dengan demikian,
kondisi terumbu karang di stasiun NIAC09 berada dalam kategori kondisi kurang baik
(Gambar 13).
35
Gambar 13. Kondisi titik monitoring NIAC09 (dari kiri ke kanan), tampak darat stasiunNIAC09 yang berjarak 100 m dari titik monitoring; kondisi terumbu karangdisekitar lokasi transek; Karang didominasi oleh bentuk pertumbuhan massifpada kedalaman 5,4 – 6,0 m
Stasiun NIAC10
Stasiun NIAC10 merupakan lokasi monitoring baru yang terletak di sebelah tenggara Gosong
Umang yang masuk dalam kawasan administrasi Kecamatan Lahewa. Lokasi ini merupakan
lokasi gosong yang terangkat saat gempa bumi terjadi pada tahun 2005. Daratan ditandai
dengan adanya mercusuar berwarna putih. Pantai ditumbuhi vegetasi khas pantai yang relatif
muda. Lokasi titik monitoring dengan daratan pulau kurang lebih 100 meter pada kedalaman
3,4 meter. Pada saat penelitian cuaca cerah, tidak berarus dan berangin dan air menuju
pasang.
Titik monitoring berupa reef flat yang tidak begitu luas. Dasar perairan terdiri dari substrat
yang berupa pasir, karang hidup, dead coral algae. Menuju ke kedalaman berupa pasir
dengan banyak dead coral algae. Kondisi karang di lokasi ini didominasi oleh dead coral
algae yang diduga disebabkan oleh kejadian bleaching karang yang terjadi pada tahun 2016
lalu. Makro alga dari jenis Tydemania expeditionis terlihat cukup banyak di lokasi ini.
Anakan karang terlihat cukup banyak dan beberapa jenis karang tampaknya selamat dan
dapat bertahan hidup, namun sebagai besar terutama marga karang dari Acropora mengalami
kematian massal.
Dari hasil analisis, tutupan karang hidup di stasiun NIAC10 sebesar 13,60% yang mengalami
penurunan dari pengamatan terakhir tahun 2014 sebesar 17,33%. Oleh karena itu, kondisi
karang masih berada dalam kategori kondisi kurang baik (Gambar 14).
36
Gambar 14. Kondisi titik monitoring NIAC10 (dari kiri ke kanan), tampak darat stasiunNIAC10 yang berjarak 100 m dari titik monitoring (titik monitoring ditandaioleh buoy); transek permanen yang terbentang di kedalaman 3,4 m; stasiunNIAC10 berada dalam kondisi yang baik ditandai dengan keberadaan jeniskarang yang cukup beragam dibandingkan dengan lokasi lainnya salah satunyaadalah karang bercabang Porites sp.
Kondisi Kesehatan Terumbu Karang
Penilaian kondisi kesehatan terumbu karang didasarkan pada pengukuran perubahan tutupan
substrat dasar perairan terumbu (bentik) baik komponen biotis maupun abiotis. Salah satu
kategori yang dijadikan indikator kesehatan terumbu karang adalah tutupan karang hidup,
yang nilainya akan berfluktuasi secara temporal dan spasial terhadap kategori bentik terumbu
lainnya. Fluktuasi tutupan bentik terumbu sangat tergantung dengan kondisi lingkungan
perairan, kejadian alam dan tekanan aktivitas manusia.
Dari hasil pengamatan kondisi karang di Kabupaten Nias Utara pada tahun 2016, terjadi
kematian karang secara massal terutama di stasiun NIAC05, NIAC07 dan NIAC08 yang
terutama terjadi pada karang-karang bercabang. Karang-karang ini berada dalam fase dead
coral with algae (DCA) tapi masih berada dalam kondisi utuh. Ini merupakan ciri kematian
yang disebabkan oleh faktor lingkungan seperti kenaikan suhu air laut yang menyebabkan
pemutihan karang. Pada pengamatan pada tahun 2017, kondisi karang tidak mengalami
recovery, justru semakin mengalami penurunan hampir di seluruh stasiun. Banyak faktor
yang menyebabkan recovery pada karang tidak terjadi antara lain ketersediaan larva karang,
kondisi aliran air dan kondisi substrat yang tidak mendukung terjadinya perlekatan larva
polip karang.
Monitoring kondisi terumbu karang Kabupaten Nias Utara tahun 2017 merupakan tahun ke-3
(T3) pengukuran tutupan karang hidup setelah dilakukan penilaian awal (T0) pada tahun
2014, (T1) pada tahun 2015 dan (T2) pada tahun 2016. Hasil analisis tutupan karang hidup
dan kategori bentik lainnya tahun 2017 pada setiap stasiun disajikan pada Gambar 15 berikut
ini.
37
Gambar 15. Tutupan karang dan kategori bentik lainnya pada masing-masing stasiun
Hasil monitoring tahun 2017 menunjukkan bahwa kondisi karang di perairan Nias Utara
relatif sama dengan tahun 2016 yaitu berada dalam kondisi kurang baik dengan nilai tutupan
karang hidup yang semakin menurun yaitu dari 13,82% (tahun 2016) menjadi 11,33% (tahun
2017). Tutupan karang hidup sebagai indikator langsung kesehatan terumbu karang terlihat
bervariasi pada setiap stasiun yaitu berkisar 1,93% - 17,20%. Tutupan karang hidup paling
tinggi dengan nilai 17,20% berada di Stasiun NIAC04 yaitu di Pulau Panjang, Kecamatan
Lahewa. Untuk tutupan karang hidup paling rendah dengan nilai 1,93% tetap berada di
Stasiun NIAC08 yang terletak di perairan Desa Balefadorotuho, Kecamatan Lahewa.
Tutupan komponen biotik lainnya seperti Soft Coral (SC), Sponge (SP), Alga (FS), dan biota
asosiasi terumbu karang mengalami peningkatan dari tahun lalu yaitu menjadi 10,81%.
Stasiun NIAC03 memiliki karakteristik yang berbeda dengan lokasi lainnya. Sejak
monitoring tahun pertama, stasiun NIAC03 sangat didominasi oleh tutupan alga hijau jenis
Tydemania expeditionis namun pengamatan tahun 2017 stasiun NIAC03 lebih didominasi
oleh DCA yang mencapai nilai sebesar 52,60%. Hal ini menandakan bahwa telah terjadi
perubahan struktur bentik komunitas di stasiun tersebut. Hal ini dapat menjadi efek dari
kenaikan suhu air laut yang terjadi tahun 2016 ditambah dengan aktivitas antropogenik yang
semakin masif di pesisir stasiun NIAC03. Perairan di stasiun NIAC03 sangat dekat dengan
pantai dan merupakan lokasi wisata dan labuh kapal nelayan lokal.
12,73 14,93 7,13 17,20 13,20 16,00 4,13 1,93 12,40 12,400%
20%
40%
60%
80%
100%
NIAC01NIAC02NIAC03NIAC04NIAC05NIAC06NIAC07NIAC08NIAC09NIAC10
CORAL (HC)
RECENT DEAD CORAL (DC)
DEAD CORAL WITH ALGAE (DCA)
SOFT CORAL (SC)
SPONGE (SP)
FLESHY SEAWEED (FS)
OTHER FAUNA (OT)
RUBBLE (R)
SAND (S)
SILT (SI)
ROCK (RK)
38
Secara umum, tutupan substrat di perairan Nias Utara pada tahun 2017 lebih didominasi oleh
karang mati yang ditutupi alga (DCA) dengan kisaran nilai sebesar 29,27% - 65,80% dengan
nilai rata-rata sebesar 48,59%. Nilai ini meningkat dari pengamatan tahun sebelumnya (2016)
yang sebesar 46,02%. Nilai dead coral (DC) tetap yaitu sebesar 0,07%. Bagian abiotik
lainnya seperti tutupan patahan karang mati (R) dan dasar pasir (S) menutupi hampir sekitar
26,08% dasar perairan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa habitat terumbu sebagian
besar didominasi oleh tutupan abiotik dan hanya sekitar 22,14% yang ditutupi oleh
komponen biotik seperti karang hidup (LC), sponge (SP), karang lunak (SC), alga (FS) dan
biota asosiasi lainnya (OT).
Pada kondisi lain, tutupan patahan karang (R) paling tinggi berada di stasiun NIAC09 dan
NIAC10 dengan nilai lebih dari 30%. Namun secara umum rata-rata patahan karang
mengalami penurunan dari 18,37% (tahun 2016) menjadi 16,47% (tahun 2017). Tingginya
rubble di kedua lokasi NIAC09 dan NIAC10 yang masing-masing berada di Pulau Panjang
dan Gosong Umang diduga disebabkan oleh aktivitas penangkapan ikan yang tidak ramah
lingkungan. Lokasi ini sangat mendukung praktik penangkapan ikan dengan metode
pengeboman dan racun potas karena terletak cukup jauh dari daratan utama. Hal ini diperkuat
oleh hasil wawancara dengan penduduk setempat yang membenarkan bahwa praktik
pengeboman dengan botol kaca dan racun potas masih berlangsung hingga kini terutama di
lokasi-lokasi yang cukup jauh dari daratan utama.
Tutupan Karang Hidup Secara Temporal (2014-2015-2016-2017)
Kondisi karang secara temporal didefinisikan sebagai perubahan tutupan karang hidup
pada lokasi yang sama menurut waktu. Hasil monitoring tahun 2017 atau tahun ke-3 (T3)
akan dibandingkan dengan T0, T1 dan T2. Kondisi rata-rata karang hidup per stasiun di
Perairan Nias Utara hasil penilaian tahun 2014, 2015, 2016 dan 2017 disajikan pada Gambar
16 berikut dan perbandingan nilai tutupan karang hidup tiap tahun disajikan pada Gambar
17. Nilai persentase tutupan dan kategori bentik tiap tahun disajikan pada Lampiran 4.
39
Gambar 16. Perbandingan nilai tutupan karang hidup di tiap stasiun dan tahun 2014, 2015,2016 dan 2017 di perairan Kabupaten Nias Utara
Gambar 17. Perbandingan nilai tutupan karang hidup tahun 2014, 2015, 2016 dan 2017 diperairan Kabupaten Nias Utara
Penilaian kesehatan terumbu karang di perairan Nias Utara pertama kali dilakukan pada bulanMei-Juni tahun 2004 sebelum gempa Nias terjadi pada April 2005. Hasil penilaian kondisikesehatan terumbu karang pada saat itu (tahun 2004) berkisar pada 34,9% - 62,03% denganrerata 48,3%. Nilai tersebut mengindikasikan kondisi terumbu karang saat itu mendekatibaik (Giyanto et al., 2006). Jika dibandingkan dengan rata-rata tutupan karang hidup tahun2005 yaitu 19% (Keppel dan Abrar, 2013) dan dari laporan COREMAP II sebesar 21,39%(Siringoringo dan Agus, 2008), terjadi penurunan tutupan karang hidup yang cukupsignifikan yaitu sebesar 26,1%. Pengukuran kondisi kesehatan terumbu karang berikutnyadilakukan pada tahun 2007 dengan rerata tutupan karang hidup 17,2% terakhir sampai tahun2014 dengan rerata tutupan 22,76%. Dari perubahan temporal satu dekade lebih (2004 –2015), kondisi kesehatan terumbu karang dapat dikatakan mengalami penurunan pasca
0
10
20
30
40
50
60
70
NIAC01 NIAC02 NIAC03 NIAC04 NIAC05 NIAC06 NIAC07 NIAC08 NIAC09 NIAC10
Pers
enta
se tu
tupa
n ka
rang
hid
up
Stasiun
2014 2015 2016 2017
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
35,00
2014 2015 2016 2017
Pers
enta
se tu
tupa
n ka
rang
hid
up
Tahun
40
kejadian gempa Nias tahun 2005, kemudian dari tahun 2007 terus mengalami pemulihanhingga 2014 dan 2015 namun berjalan sangat lambat hingga akhirnya pada tahun 2016perairan Nias Utara terkena dampak kenaikan suhu air laut yang berakibat pada pemutihankarang hingga tutupan karang menurun menjadi 13,82%. Hasil monitoring tahun 2017 jugamenampilkan hasil tutupan karang hidup yang tidak lebih baik. Tutupan karang hidupmengalami penurunan menjadi 11,33% pada tahun 2017, menurun sebanyak 2,49%dibanding tahun sebelumnya. Sangat tampak bahwa proses recovery pada karang tidakterjadi. Kondisi ini memberikan indikasi bahwa kondisi habitat belum stabil dan masihmemberi peluang terhadap kecenderungan ke arah kerusakan yang lebih tinggi. Kemunculanpredator polip karang Acanthaster planci yang semakin intens di setiap stasiun juga turutmenambah beban bagi upaya recovery ekosistem terumbu karang di perairan Nias Utara.
Kekayaan Jenis
Secara global sebaran jenis karang di perairan Nias Utara termasuk dalam sebaran
jenis-jenis karang perairan barat Sumatera dengan jumlah spesies berkisar 351-400 spesies
(Veron et al, 2009). Inventarisasi jenis karang yang dilakukan pada tahun 2004 menghasilkan
jumlah jenis karang 136 spesies dari 51 genus yang mewakili 18 famili (Giyanto et al., 2006).
Hasil inventarisasi kekayaan jenis karang di wilayah perairan Kabupaten Nias Utara pada
tahun 2014 ditemukan 79 spesies karang dari 25 genus dan 12 famili (Siringoringo et al.,
2014). Pada tahun 2015 inventarisasi kekayaan jenis dilakukan pada area yang lebih luas
sehingga diperoleh 184 spesies karang dari 47 genus mewakili 15 famili. Inventarisasi jenis
karang pada tahun 2017 menurun yaitu hanya ditemukan 137 spesies dari 46 genus dan 14
famili (Lampiran 5). Penurunan jumlah jenis karang yang ditemukan diduga karena
kematian karang dalam jumlah besar. Kematian massal karang berdampak besar terhadap
berkurangnya populasi karang yang berbanding lurus dengan penurunan jumlah jenis karang
di suatu kawasan.
IKAN KARANG
Ikan karang yang menjadi objek pengamatan dalam monitoring kondisi terumbu karang
meliputi ikan coralivor dari famili Chaetodontidae, ikan herbivor dari famili Siganidae,
Acaridae dan Acanthuridae, ikan target dari famili Serranidae, Lutjanidae, Lethrinidae dan
Hemulidae, serta spesies ikan yang langka, terancam dan dilindungi.
Ikan Corallivor (Chaetodontidae)
41
Sensus visual 2017 pada ikan coralivora yang termasuk suku Chaetodontidae
menemukan sebanyak 17 spesies (Tabel 4). Jumlah ikan Chaetodontidae ini lebih besar
dibanding jumlah yang tersensus pada monitoring 2016, yaitu terdapat 13 species, dan
memiliki jumlah yang sama dengan monitoring 2014 dan 2015. Jenis coralivora dalam 10
besar yang terbanyak ditemukan pada 2017 berturut-turut adalah Forcipger flavissimus,
Chaetodon trifasciatus, Hemitaurichthys zoster, Heniochus pleurotaenia, Chaetodon
triangulum, Chaetodon vagabundus, Chaetodon falcula, Chaetodon guttatissimus,
Chaetodon falcula dan Heniochus singularis (Gambar 18). Jenis-jenis ke sepuluh besar
dominan tersebut di atas sampai dengan Heniochus singularis tetap eksis dari mulai tahun
monitoring 2014, 2015 dan 2016 (Lampiran 6). Adapun Forcipiger flavissimus jumlahnya
meningkat cukup signifikan dari monitoring 2016. Chaetodon auriga dan Chaetodon
ocellicaudus yang tersensus di 2014 tidak ditemukan kembali pada 2016, kembali ditemukan
pada saat monitoring 2017, sama seperti Chaetodon bennetti, Chaetodon klenii dan
Chaetodon lineolatus yang tersensus di 2015 tidak ditemukan kembali pada 2016 dan 2017.
Chaetodon oxycephalus dan Hemitaurichthys zoster merupakan jenis yang tidak pernah
ditemukan pada monitoring tahun sebelumnya.
Tabel 4 menunjukkan bahwa densitas kelompok coralivora yang terbesar ditemukan
pada stasiun NIAC 08, NIAC 07 dan NIAC 05. Pada monitoring 2017 posisi stasiun
terbanyak ikan coralivoranya tetap sama yaitu NIAC 08.. Sedangkan densitas coralivora yang
paling sedikit terdapat pada stasiun NIAC 03 yang memang sejak 2014 di area tersebut sudah
sangat rendah kepadatan ikan coralivoranya, karena area karang rusak. Seperti diketahui
bahwa kehadiran jenis-jenis dari suku Chaetodontidae ini menjadi petunjuk baik dan
buruknya lingkungan terumbu karang, meskipun tidak semua tergolong obligat pemakan
polyp karang (Nash, 1981; Reese, 1981). Dari monitoring COREMAP-CTI 2016 diketahui
bahwa tutupan karang batu tertinggi ada pada stasiun NIAC 05 dan NIAC 07, dimana baik
jumlah individu maupun jumlah jenis dari suku Chaetodontidae telah memprediksikan lokasi
tersebut sehat dari segi kehadiran kelompok obligat karang, dimana Sano et al., 1994 dan
Adrim & Hutomo 1989 menyatakan adanya korelasi positif antara kelompok fungsional ikan
indikator obligat karang dengan persen tutupan karang batu.
Tabel 4. Densitas dan keragaman kelompok ikan coralivora suku Chaetodontidae
42
No. CHAETODONTIDAE
STASIUN - NIAC
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10
1 Chaetodon auriga 3
2 Chaetodon falcula 2 2 2 3 2 2 4
3 Chaetodon guttatissimus 2 1 1 1 8 4
4 Chaetodon lunula 1 1 4 2
5 Chaetodon meyeri 3 2 2 8 1
6 Chaetodon ocellicaudus 2 2
7 Chaetodon ornatissimus 2 1
8 Chaetodon oxycephalus 2
9 Chaetodon rafflesi 2 2 2
10 Chaetodon trifasciatus 8 4 4 6 13 9 14 12 8 2
11 Chaetodon triangulum 1 2 3 8 2 2 2 2
12 Chaetodon vagabundus 2 2 2 2 2 4 2 4 2
13 Forcipger flavissimus 4 6 4 3 17 8 8 18 13
14 Hemitaurichthys polyepis 1
15 Hemitaurichthys zoster 18 20 2 23
16 Heniochus singularis 2 2 2 6
17 Heniochus pleurotaenia 3 3 6 11 7 6 2
Jumlah Individu (ekor) 21 39 17 23 58 34 43 76 41 43
Jumlah Jenis (Species) 6 8 7 9 9 6 9 11 8 10
43
Gambar 18. Searah jarum jam, Jenis-jenis ikan dari suku Chaetodontidae yang ditemui ;Chaetodon falcula, Heniochus singularius, Chaetodon Auriga, Chaetodon ocellicaudus,
Chaetodon trifasciatus, Forcipiger flavissimus.
Perkembangan jumlah jenis maupun individu jika dilihat dari tahun basis (to), rata-
ratanya hampir tidak menunjukkan perubahan dari hasil monitoring tahun ke tiga (t3).
Gambar 19 menunjukkan hanya ada kenaikan pada tahun 2015, tetapi pada 2016 kembali ke
pola semula dan naik kembali pada tahun 2017.
44
Gambar 19. Perbandingan rata-rata diversitas (A) dan kelimpahan (B) Chaetodontidae dalamkurun waktu monitoring 2014 s/d 2017 di Perairan Nias Utara
Keragaman dan Komposisi Herbivora
Kelompok herbivora (Gambar 20) yang berhasil diidentifikasi selama kegiatan
monitoring 2017 meliputi 39 spesies dari suku Scaridae (14 jenis), Acanthuridae (18 jenis)
dan Siganidae (7 jenis) sedangkan pada monitoring sebelumnya tahun 2016 meliputi 29
species dari suku Scaridae (13 jenis), Acanthuridae (14 jenis) dan Siganidae (3 jenis)
(Lampiran 7). Jumlah jenis yang tersensus mengalami peningkatan dibanding hasil
monitoring 2014, 2015 dan 2016. Jenis Acanthuridae yang mendominasi komunitas ikan
karang (Lampiran 8) diwakili oleh Ctenochaetus striatus, Acanthurus tristis, Ctenochaetus
binotatus, Zebrasoma scopas, Naso lituratus, Acanthurus leucosternon, dan Naso
hexacanthus, terutama dalam komposisinya antara 1 % hingga 15 %. Jenis Scaridae yang
juga mendominasi dalam komunitas ikan karang termasuk Scarus ghobban, Scarus niger,
Chlorurus sordidus, Chlorurus blekeeri, dan Scarus hypselopterus, terutama dalam
komposisinya terdapat di atas 3 % sampai 10 %. Jenis Ctenochaetus striatus, Acanthurus
tristis, dan Scarus ghobban merupakan populasi ikan karang yang selalu mendominasi
komunitasnya sampai dengan monitoring 2017, sama seperti yang teridentifikasi pada saat
45
monitoring 2014, 2015 maupun 2016. Adapun jenis dari kelompok suku Siganidae tidak
begitu banyak ditemukan, meskipun jenis Siganus magnificus dijumpai hampir merata di
semua stasiun, sementara jenis Siganus guttatus terdapat di dua lokasi stasiun.
Gambar 20. Searah jarum jam, Jenis-jenis dari kelompok fungsional herbivora yang ditemui; Siganus guttatus, Siganus magnificus, Acanthurus leucosternon, Scarus niger,Scarus schlegeli
Kepadatan dan Biomassa Herbivora
Kepadatan atau densitas ikan herbivora bervariasi cukup tinggi antara stasiun (Tabel
5). Rata-rata jumlah individu per area transek 158 individu atau setara dengan 4477
individu/hektar. Kepadatan tertinggi dijumpai pada stasiun NIAC 07, NIAC 05 dan NIAC 08,
karena pada ketiga lokasi ini kondisi terumbu karang masih baik. Dominasi kepadatan seperti
46
ini tidak berubah sejak 2014, 2015 dan 2016, meskipun rata-rata densitasnya ditemukan
menurun dibanding 2015, tahun dimana untuk jenis Ctenochaetus striatus mengalami
peningkatan populasi pada saat spawning aggregation.
Hasil analisa data dari monitoring 2017 terhitung rata-rata Biomassa ikan herbivora
10,4 Kg/350 m2 atau setara dengan 299,5 kg/ha (Tabel 6; Lampiran 9). Jika dibandingkan
hasil monitoring tahun sebelumnya, biomassa ikan herbivora menurun. (Gambar 21).
Tabel 5. Densitas kelompok fungsional Herbivora di Perairan Nias Utara 2017
JUMLAH INDIVIDU
SUKU
NIA
C 0
1
NIA
C 0
2
NIA
C 0
3
NIA
C 0
4
NIA
C 0
5
NIA
C 0
6
NIA
C 0
7
NIA
C 0
8
NIA
C 0
9
NIA
C 1
0
1 SCARIDAE 78 36 54 59 55 74 74 67 89 57
2 ACANTHURIDAE 52 79 103 49 113 71 103 141 69 91
3 SIGANIDAE 4 2 10 2 8 10 5 10 2 0
Jumlah (Ind/350 m2) 134 117 167 110 176 155 182 218 160 148
Rata-rata/350 m2 156,7
Densitas (ind/350m2) 4477,14
Tabel 6. Biomassa kelompok fungsional Herbivora di Perairan Nias Utara 2017
Jumlah Individu
Suku NIA
C 0
1
NIA
C 0
2
NIA
C 0
3
NIA
C 0
4
NIA
C 0
5
NIA
C 0
6
NIA
C 0
7
NIA
C 0
8
NIA
C 0
9
NIA
C 1
0
1 ACANTHURIDAE 4.596 5.929 5.407 3.626 5.533 3.460 6.916 6.799 4.536 4.212
2 SIGANIDAE 330 85 1.057 85 432 497 425 1.732 223 0
3 SCARIDAE 5.058 5.476 3.341 4.470 4.314 6.134 5.917 4.876 5.969 3.394
Jumlah (ind/350m2) 9.984 11.490 9.805 8.181 10.279 10.091 13.257 13.407 10.728 7.606
Rata-rata Densitas (ind/350m2) 10,48
Rata-rata Densitas (ind/ha) 299,51
47
Gambar 21. Perbandingan rata-rata keanekaragaman jenis (A), kelimpahan (B) dan biomassa
(C) ikan herbivore dalam kurun waktu monitoring 2014-2017. *Pada tahun 2014 data tidak
mengikutkan suku Acanthuridae.
Keragaman dan Komposisi Ikan ekonomis penting
Hasil sensus visual pada monitoring 2017 mendapatkan 32 jenis ikan ekonomis
penting dari suku Lutjanidae 10 jenis, Lethrinidae 6 jenis, Serranidae 14 jenis dan
Haemulidae 2 jenis, sedangkan 2016 mendapatkan 31 jenis ikan ekonomis penting dari suku
Lutjanidae 10 jenis, Lethrinidae 4 jenis, Serranidae 14 jenis dan Haemulidae 2 jenis
(Lampiran 10). Komposisi jenis dari ke suku ini tidak berbeda jauh dari apa yang telah
ditemukan pada monitoring sebelumnya. Dominasi dari 10 besar berturut-turut adalah
Monotaxix grandoculus, Cephalopholis boenack, Cephalopolis argus, Gnathodentex
aureolineatus, Lutjanus decussatus, Lutjanus gibbus, Aethaloperca rogaa, Cephalopholis
cyanostigma, Lutjanus biguttatus, dan Cephalopholis microprion (Lampiran 11). Beberapa
jenis yang teridentifikasi pada 2016 tetapi tidak terlihat pada base line data meliputi jenis-
jenis Cephalopholis argus, Lutjanus gibbus, Diploprion bifasciatum, Epinephelus fasciatus,
Plectorhyncus chaetodontonoides, dan Lethrinus harak. Oleh karena itu ditemukan adanya
penambahan jenis sekitar 10 species dari baseline data. Gambar 22 menunjukkan beberapa
jenis dari kelompok ikan target ekonomis penting.
48
Gambar 22. Searah jarum jam, Jenis-jenis ikan kelompok target ekonomis penting yangditemui ; Cephalopolis argus, Gnatdentex aureolineatus, , Cephalopoliscyanostigma, Plectorynchus vittatus, Lutjanus decussatus, Cephalopolisleopardus
Kepadatan dan Biomassa Ikan Ekonomis penting
Kepadatan ikan ekonomis penting menurut letak stasiun bervariasi cukup tinggi, dari
mulai 2 individu sampai 37 individu per 350 m2. Rata-rata kepadatannya 2,4 individu/350
m2 atau setara dengan 989 individu per hektar (Tabel 7; Lampiran 12). Kepadatan tertinggi
dijumpai pada stasiun NIAC 08 dan NIAC 07. Kepadatan terendah ditemukan pada stasiun
NIAC 02 yang merupakan area karang rusak.
49
Biomassa ikan ekonomis penting tertinggi juga ditemukan pada stasiun NIAC 08 dan
NIAC 07. Rendahnya nilai biomassa ini berhubungan dengan dijumpainya banyak stadium
anakan ikan. Beberapa jenis kerapu (Serranidae) dijumpai berukuran kecil dan beberapa jenis
ikan ekonomis penting populasinya justru bersifat soliter, kecuali Lutjanus gibbus yang
dijumpai bergerombol. Rata-rata biomassa ikan ekonomis penting 2,26 kg/350 m2 atau setara
dengan 64,44 kg/hektar (Tabel 8).
Perkembangan dari waktu ke waktu selama periode monitoring sejak 2014 sampai
2017 menunjukkan bahwa adanya penurunan jumlah jenis dan biomassa dari ikan ekonomis
penting, tetapi keanekaragaman jenis mengalami kenaikan antara 2014 sampai 2017.
(Gambar 23).
Tabel 7. Densitas kelompok ikan ekonomis penting di Perairan Nias Utara 2017
JUMLAH INDIVIDU
SUKU
NIA
C 0
1
NIA
C 0
2
NIA
C 0
3
NIA
C 0
4
NIA
C 0
5
NIA
C 0
6
NIA
C 0
7
NIA
C 0
8
NIA
C 0
9
NIA
C 1
0
1 HAEMULIDAE 0 1 1 0 1 0 1 0 0 0
2 LETHRINIDAE 4 4 8 5 8 4 16 27 2 4
3 LUTJANIDAE 4 4 15 8 9 5 16 51 3 1
4 SERRANIDAE 12 15 27 20 15 9 8 20 9 9
Jumlah (Ind/350 m2) 20 24 51 33 33 18 41 98 14 14
Rata-rata/350 m2 34,6
Densitas (ind/ha) 988,57
Tabel 8. Biomassa kelompok ikan ekonomis penting di Perairan Nias Utara 2017
Jumlah Individu
Suku
NIA
C 0
1
NIA
C 0
2
NIA
C 0
3
NIA
C 0
4
NIA
C 0
5
NIA
C 0
6
NIA
C 0
7
NIA
C 0
8
NIA
C 0
9
NIA
C 1
0
1 HAEMULIDAE 0 358 234 0 358 0 358 0 0 0
2 LETHRINIDAE 935 145 87 166 392 25 1.924 1.057 285 131
3 LUTJANIDAE 154 164 1.928 789 475 241 906 3.087 93 108
4 SERRANIDAE 301 1.233 1.096 624 821 437 717 1.508 727 687
50
Biomassa (Gr/350m2) 1.390 1.901 3.344 1.579 2.046 702 3.906 5.652 1.106 927
Rata-rata Biomassa (Kg/350m2) 2,26
Rata-rata Biomassa (Kg/ha) 64,44
Gambar 23. Perbandingan rata-rata keanekaragaman jenis (A), kelimpahan (B) dan biomassa(C) ikan ekonomis penting dalam kurun waktu monitoring 2014-2017.
IMPLIKASI HASIL PENELITIAN
Dari petunjuk keberadaan kelompok ikan indikator obligat karang, kelompok ikan
herbivora, dan kelompok ikan target ekonomis penting dapat dinyatakan bahwa lokasi
Stasiun NIAC 8 dan NIAC 07 dan NIAC 05 adalah yang terbaik diantara lokasi lainnya di
sekitar KKPD Kabupaten Nias Utara, sedangkan lokasi yang terburuk dari tinjauan
keberadaan ikan karang adalah lokasi NIAC 02. Pada tahun basis 2014, lokasi terbaik baru
ditemukan pada stasiun NIAC 05, tetapi hasil monitoring 2017 menemukan adanya
perkembangan yang positif pada stasiun NIAC 08 dan NIAC 07, sementara stasiun NIAC 02
tetap dalam kondisi yang buruk.
Jumlah individu, jenis dan ukuran tubuh kelompok fungsional herbivora sangat
penting dalam perannya pada proses resiliensi di terumbu karang, yakni berfungsi sebagai
pengontrol pertumbuhan alga. Seperti diketahui pertumbuhan alga yang pesat dapat menutup
substrat bagi pertumbuhan benih karang. Oleh karena itu diperlukan kehadiran ikan herbivora
dalam jumlah yang besar. Cara makan herbivora yang dikenal sebagai grazer sangat
bergantung pada ukuran dan jenisnya, apakah ia dari kelompok marga Chlorurus, Scarus,
51
Acanthurus, Naso, atau Siganus. Marga Chlorurus dan Naso umumnya bersifat menggerus
substrat karang lebih dalam (escavator), sementara Scarus hanya menggerus tipis
(scrapers/small excavators) dan Siganus hanya memilah-milah (browser) bagian makanan
tertentu yang ada dipermukaan karang (Anonimous, 2010; Green & Bellwood, 2009; Obura
& Grimsdith, 2009).
Keberadaan kelompok ikan Kerapu (Serranidae) dan kakap (Lutjanidae), seperti juga
brajanata (Holocentridae) di lokasi penelitian adalah petunjuk bahwa lokasi masih baik
sebagai pelindung ikan yang terbangun dari terumbu karang batu, terutama pada stasiun
NIAL 5, 7 dan 8. Seperti diketahui bahwa kelompok kerapu dan brajanata memiliki asosiasi
yang kuat dengan bangunan karang atau shelter karena ikan ini bersifat kriptik. Sementara
kakap, kuwe, barakuda dan ekor kuning hadir pada perairan terbuka, jernih dan subur yang
menjadi tanda adanya aktivitas keluar masuk ikan ke area terumbu yang berulang-ulang
dalam sehari, baik sebagai plankton feeder maupun sebagai predator ikan-ikan kecil di
terumbu (Lieske & Myers. 1997).
Dari sisi kepadatan atau kelimpahan ikan, maka komunitas ikan karang pada umumnya
kurang berkembang sebagai akibat rendahnya daya dukung lingkungan dan adanya degradasi
habitat. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya kehadiran kelompok ikan indikator. Lokasi
stasiun NIAC 1, 2 dan 3 merupakan area karang yang paling buruk jika diperhatikan dari
kehadiran ikan coralivora. Secara visual area terumbu karang di lokasi ini memang umumnya
rusak. Sebaliknya lokasi yang dapat dinilai cukup baik berdasarkan jumlah individu ikan
obligat karang adalah stasiun NIAC 08, NIAC 07 dan NIAC 05. Substrat terumbu pada
stasiun ini masih cukup baik untuk kehadiran jenis maupun individu dari coralivora, dimana
beberapa obligat karang umumnya berkorelasi positif pada jenis dan bentukan hidup karang
(coral lifeform), seperti karang bercabang atau karang meja (Reese, 1981; Edrus & Syam,
1998).
Jika diperhatikan hasil monitoring COREMAP-CTI 2014, 2015 dan 2016, kelompok
ikan herbivora yang paling menonjol adalah diwakili oleh kelompok butana (Acanthuridae)
dan kakatua (Scaridae). Namun dalam hal sediaan ikan karang per hektar. Data ikan karang
tahun pengamatan 2014 – 2017 disajikan pada Lampiran 13, data tahun 2017 (Lampiran 14),
data tahun 2016 (Lampiran 15), data tahun 2015 (Lampiran 16) dan data tahun 2014 (
Lampiran 17).
52
MEGABENTOS
Komposisi Jenis dan Kepadatan Megabentos
Dari sepuluh stasiun yang diamati, delapan spesies atau kelompok spesies
megabenthos yang menjadi target monitoring berhasil ditemukan di wilayah perairan Nias
Utara ini. Pada pengamatan di seluruh stasiun didapatkan sebanyak 474 individu
megabenthos target dengan pola kehadiran spesies atau kelompok spesies megabenthos
seperti yang disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Pola kehadiran spesies megabentos pada setiap stasiun di perairan Nias Utara
No. MegabenthosStasiun NIAC
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10
1 Acanthaster planci - + - - + - - + + -
2 Bulu Babi + + + + + + + + + +
3 Linckia laevigata - + + + - + - + - +
4 Siput Drupella spp. + + - - + + + - + +
5 Kerang kima + + - + + + + - + +
6 Teripang - + - - + - + + + -
7 Lobsters - + - - - - + + - -
8 Keong trokha + + + + + + + + + +
Jika dilihat dari jumlah individu tiap spesies atau kelompok spesies megabenthos
yang didapatkan di seluruh stasiun pengamatan, terlihat bahwa terdapat satu kelompok
spesies megabenthos target yang ditemukan dalam jumlah yang mendominasi, yaitu bulu
babi. Dari seluruh megabenthos target yang ditemukan, bulu babi ditemukan sebanyak 95,6%
(326 individu). Spesies atau kelompok spesies megabenthos target yang ditemukan dalam
jumlah sedang antara lain keong trokha, siput Drupella spp. dan kerang kima. Dari total
megabenthos target yang ditemukan, keong trokha ditemukan sebesar 15,25% (52 individu),
sedangkan siput Drupella spp. ditemukan sebesar 8,8% (30 individu), dan kerang kima
ditemukan sebanyak 7,33% (25 individu). Spesies atau kelompok spesies megabenthos target
yang ditemukan dalam jumlah sedikit yaitu bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci,
teripang, bintang laut biru Linckia laevigata dan lobster. Dari total megabenthos yang
ditemukan, bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci ditemukan sebesar 4,4% (15
53
individu), teripang ditemukan sebesar 4,11% (14 individu), bintang laut biru Linckia
laevigata ditemukan sebesar 2,64% (9 individu), dan lobster ditemukan sebesar 0,88% (3
individu).
Gambaran mengenai prosentase megabenthos target yang ditemukan selama
pengamatan di perairan Nias Utara disajikan pada Gambar 24.
Gambar 24. Diagram perbandingan jumlah individu dari masing-masing spesies
megabenthos target di perairan Nias Utara
Jika dilihat dari jumlah individu pada masing-masing stasiun, terlihat pada stasiun
NIAC09 dan NIAC08 merupakan stasiun yang memiliki jumlah individu megabenthos yang
melimpah, yaitu masing-masing terdiri dari lebih dari 100 individu, dimana bulu babi
mendominasi dengan jumlah pada kedua stasiun tersebut. Stasiun NIAC10, Stasiun NIAC03
dan Stasiun NIAC02 merupakan stasiun yang memiliki jumlah individu sedang, yaitu antara
30 – 100 individu dengan komposisi bervariasi. Stasiun NIAC01, Stasiun NIAC05, Stasiun
NIAC07, Stasiun NIAC06 dan Stasiun NIAC04 merupakan stasiun yang memiliki jumlah
individu rendah, yaitu kurang dari 30 individu dengan komposisi bervariasi.
Keberadaan setiap spesies atau kelompok spesies megabenthos tidak lepas dari
kondisi kesehatan terumbu karang maupun keanekaragaman spesies karang sebagai habitat
dari berbagai jenis fauna megabenthos pada masing-masing stasiun tersebut. Pada beberapa
stasiun memang memiliki prosentase tutupan karang di atas 60%, pada stasiun lain memiliki
54
tutupan karang kurang dari 30%. Kondisi ini kemungkinan juga berpengaruh terhadap
keanekaragaman biota yang berasosiasi, termasuk megabenthos. Prosentasi kategori benthik
sangat berpengaruh terhadap keberadaan dan komposisi spesies atau kelompok spesies
megabenthos pada suatu perairan. Beberapa spesies seringkali terlihat melimpah di perairan
yang didominasi oleh substrat yang berupa karang mati yang ditumbuhi oleh algae. Beberapa
spesies lainnya lebih memilih habitat yang banyak ditumbuhi oleh karang hidup. Begitupun
juga dengan kekasaran atau rugositas dari dasar suatu perairan juga memiliki peran terhadap
keberadaan dan komposisi spesies atau kelompok spesies megabenthos. Beberapa spesies
lebih menyukai habitat dengan rugositas dasar perairan yang kasar dimana terdapat banyak
karang boulder. Beberapa spesies yang lain justru lebih memilih rugositas dasar perairan
yang rata.
Jika dilihat dari prosentase kehadiran masing-masing spesies fauna megabenthos pada
tiap stasiun, terlihat Stasiun NIAC03 memiliki fauna megabenthos yang miskin, yaitu hanya
terdapat tiga kelompok spesies megabenthos saja, yaitu bulu babi, bintang laut biru Linckia
laevigata dan keong trokha. Sedangkan Stasiun NIAC02 merupakan stasiun yang memiliki
megabenthos yang paling beranekaragam, yaitu terdiri dari delapan spesies atau kelompok
spesies megabenthos dari delapan spesies atau kelompok spesies megabenthos target
monitoring dijumpai pada stasiun tersebut. Sementara itu, pada Stasiun NIAC05 dan Stasiun
NIAC07 terdiri dari enam spesies atau kelompok spesies, walau dengan jumlah yang relatif
sedikit.
Dilihat dari kepadatan spesies atau kelompok spesies megabenthos target pada
masing-masing stasiun (Tabel 10), terlihat bahwa bulu babi memiliki kelimpahan yang
tinggi. Kepadatan rata-rata bulu babi berada pada kisaran di atas di atas 500 individu/ha,
kecuali pada Stasiun NIAC06 dan Stasiun NIAC02 yang memiliki kepadatan kurang dari 500
individu/ha. Empat stasiun memiliki kepadatan di atas 1000 individu/ha, bahkan pada Stasiun
NIAC08 dan Stasiun NIAC09 kepadatan bulu babi lebih dari 5000 individu/ha. Sedangkan
megabenthos yang lain yang juga ditemukan selama pengamatan umumnya memiliki
kepadatan rendah yaitu kurang dari 500 individu/ha, kecuali bintang laut bermahkota duri
Acanthaster planci pada Stasiun NIAC09, siput pemakan polip karang Drupella spp. pada
Stasiun NIAC02, kerang kima pada Stasiun NIAC06, dan keong trokha pada Stasiun
NIAC02, Stasiun NIAC05 dan Stasiun NIAC08.
55
Tabel 10. Kepadatan spesies atau kelompok spesies megabenthos target pada masing-masing
stasiun (individu/ha)
MegabenthosStasiun NIAC
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10
Acanthaster planci 0 71 0 0 286 0 0 71 643 0
Bulu Babi 1000 357 2786 500 286 71 857 6857 8000 2571
Linckia laevigata 0 71 71 143 0 214 0 71 0 71
Siput Drupella spp. 357 786 0 0 71 357 71 0 286 214
Kerang kima 143 71 0 143 357 571 214 0 143 143
Teripang 0 143 0 0 214 0 143 357 143 0
Lobsters 0 71 0 0 0 0 71 71 0 0
Keong trokha 286 571 143 214 571 214 429 714 286 286
Dilihat dari sebarang spesies atau kelompok spesies pada masing-masing stasiun,
dapat dilihat bahwa bulu babi dan keong trokha merupakan kelompok spesies megabenthos
yang memiliki sebaran yang paling luas, yaitu dapat ditemukan di semua stasiun. Kerang
kima, walaupun ditemukan dalam jumlah yang tidak banyak, juga memiliki sebaran yang
cukup luas, yaitu hanya pada dua stasiun saja (Stasiun NIAC03 dan Stasiun NIAC07) yang
tidak ditemukan kelompok spesies megabenthos ini. Sedangkan lobster merupakan kelompok
spesies megabenthos yang memiliki sebaran yang paling sempit, yaitu hanya ditemukan pada
tiga stasiun, yaitu Stasiun NIAC02, Stasiun NIAC06 dan Stasiun NIAC08 dengan jumlah
individu yang ditemukan pada masing-masing stasiun sangat sedikit. Sementara itu, bintang
laut bermahkota duri Acanthaster planci juga memiliki sebaran yang tidak terlalu luas,
dimana hanya ditemukan di empat stasiun, yaitu Stasiun NIAC02, Stasiun NIAC05, Stasiun
NIAC08 dan Stasiun NIAC09. Namun pada Stasiun NIAC05 dan Stasiun NIAC09, jumlah
bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci cukup banyak ditemukan di luar transek,
yaitu di sekitar rataan terumbu.
Megabenthos Target
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa megabenthos yang memiliki nilai ekologis
penting bagi terumbu karang sebagai bioindikator kesehatan (bulu babi dan bintang laut biru
Linckia laevigata) ditemukan di beberapa stasiun. Bulu babi ditemukan di semua stasiun
56
dengan jumlah individu yang ditemukan bervariasi, akan tetapi keragaman spesiesnya sangat
rendah. Diadema setosum merupakan jenis bulu babi yang cukup banyak ditemukan, namun
bulu babi jenis lain lah yang paling dominan. Jenis lain yang juga ditemukan antara lain
Diadema savignyi, Echinothix calamaris, Echinothrix diadema, Echinometra mathaei dan
Tripneustes gratilla. Seperti diketahui bahwa bulu babi jenis ini merupakan pemakan algae
sehingga seringkali dijadikan sebagai indikator kesehatan terumku karang. Dari sepuluh
stasiun monitoring, jumlah individu yang ditemukan dalam transek umumnya sebagian besar
di atas 10 individu, kecuali pada Stasiun NIAC06 (1 individu), Stasiun NIAC05 (4 individu),
Stasiun NIAC02 dan Stasiun NIAC04 yang jumlah individunya kurang dari sepuluh. Bahkan,
pada Stasiun NIAC09 jumlahnya di atas 100 individu, dan pada Stasiun NIAC08 mendekati
angka 100 individu. Jumlah individu yang didapatkan kemungkinan berkaitan erat dengan
kondisi substrat dan ketersediaan algae sebagai makanan dari bulu babi.
Kehadiran bulu babi dalam jumlah besar mengindikasikan karang yang tidak sehat,
dan sebaliknya (Vimono, 2007). Bulu babi, terutama jenis Diadema setosum, memakan algae
yang tumbuh pada karang yang telah mati. Bulu babi secara umum merupakan grazer (algae
feeder). Kehadiran bulu babi pada dasarnya berperan dalam membersihkan algae di
ekosistem terumbu karang, sehingga memungkinkan karang untuk tumbuh setelah substrat
dibersihkan. Pada lokasi yang terumbu karang yang telah mengalami kerusakan tetapi tidak
terdapat bulu babi umumnya banyak ditumbuhi oleh algae. Berbeda kondisinya jika di lokasi
tersebut banyat terdapat bulu babi, pertumbuhan algae akan dikontrol sehingga kesempatan
karang untuk melakukan pemulihan (recruitment) lebih tinggi. Kondisi di lapangan
menunjukkan bahwa karakter habitat bentik didominasi oleh karang mati yang telah
ditumbuhi algae. Kondisi ini terjadi sebagai dampak dari pemutihan karang secara masal
yang terjadi dua tahun terakhir. Algae yang melimpah inilah yang merupakan persediaan
makanan bagi kelompok bulu babi, sehingga populasi bulu babi menjadi sangat tinggi.
Beberapa spesies bulu babi disajikan pada Gambar 25.
57
Gambar 25. Beberapa jenis bulu babi yang ditemukan di perairan Nias Utara
Bintang laut biru Linckia laevigata ditemukan di dalam transek pada enam stasiun,
antara lain Stasiun NIAC02, Stasiun NIAC03, Stasiun NIAC04, Stasiun NIAC06, Stasiun
NIAC08 dan Stasiun NIAC10. Jumlah individu yang didapatkan dalam transek pada
umumnya antara 1 – 3 individu saja. Beberapa stasiun lainnya yang di dalam transek tidak
terdapat bintang laut biru sebenarnya juga dapat ditemukan bintang laut biru ini, akan tetapi
karena posisinya berada di luar transek (terutama di sekitar rataan terumbu) sehingga datanya
tidak ditampilkan. Namun demikian, informasi tentang keberadaan bintang laut biru di luar
transek tetap dicatat sebagai informasi tambahan. Ukuran individu hampir seragam, dan
berdasarkan pengamatan di tempat lain pun sangat sulit menemukan individu dengan ukuran
kecil. Variasi warna bintang Linckia laevigata di perairan Nias Utara tidak begitu banyak,
hanya warna biru dan oranye. Bintang laut ini ditemukan berasosiasi dengan berbagai tipe
pertumbuhan karang maupun di atas substrat pasir maupun batu.
Kekehadiran dan peran maupun ketidakhadiran bintang laut biru Linckia laevigata ini
bagi terumbu karang memang belum diketahui secara pasti, namun biota ini berpotensi
58
sebagai bioindikator untuk mengukur kesehatan ekosistem. Selain tidak dimanfaatkan oleh
nelayan sehingga keberadaannya relatif tidak terganggu, biota ini sebarannya merata di
seluruh perairan tropis. Jumlah individu yang ditemukan kemungkinan pada suatu wilayah
diduga karena pengaruh batasan geografis yang mempengaruhi sebarannya. Faktanya,
terkadang pada suatu kawasan bintang laut ini ditemukan cukup melimpah, baik pada habitat
karang yang baik maupun yang rusak. Dan sebaliknya, terkadang pada suatu kawasan bintang
laut ini tidak ditemukan sama sekali, baik pada habitat karang yang baik maupun yang rusak.
Beberapa asosiasi bintang laut biru dengan lingkungan disajikan pada Gambar 26.
Gambar 26. Bintang laut biru linckia laevigata yang ditemukan di perairan Nias Utara
Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa kelompok spesies megabenthos yang
memiliki nilai ekologis penting bagi terumbu karang sebagai pemakan polip karang, yaitu
siput pemakan polip karang Drupella spp. dan bintang laut bermahkota duri Acanthaster
planci dapat ditemukan di beberapa stasiun. Siput pemakan polip karang Drupella spp.
ditemukan pada tujuh stasiun dengan jumlah individu pada tiap transek bervariasi, namun
kesemuanya menunjukkan hasil yang relatif rendah. Siput ini biasanya ditemukan hidup baik
59
pada karang hidup maupun pada karang mati yang telah ditumbuhi algae. Pada pengamatan
di semua stasiun, siput jenis Drupella cornus dan Drupella rugosa maupun Drupella
margariticola ditemukan hidup secara soliter atau sendirian. Sedangkan siput jenis Drupella
rugosa biasanya ditemukan hidup dalam kelompok atau berkoloni dalam kelompok kecil
yang terdiri dari 5 – 10 individu pada karang bercabang. Namun karena kondisi di lapangan
yang minim karang bercabang yang masih hidup sehingga koloni siput jenis tidak ditemukan
dalam jumlah besar. Jumlah individu yang ditemukan di dalam transek pada masing-masing
stasiun bervariasi, namun secara umum di bawah 10 individu, kecuali pada Stasiun NIAC02
dimana ditemukan lebih dari 10 individu di dalam transek.
Drupella spp. merupakan kelompok siput yang memiliki kebiasaan memakan polip
karang, terutama pada karang bercabang (terutama dari kelompok Acropora dan Pocillopora)
maupun karang masif (kelompok Porites) (Arbi, 2009). Namun demikian, terlihat siput ini
juga memakan polip karang pada jenis karang dengan tipe pertumbuhan karang submasif
maupun karang daun. Selain menjadikan polip karang sebagai makanan utama, dalam kondisi
tertentu Drupella spp. (terutama jenis Drupella cornus dan Drupella margariticola) juga
memiliki preferensi makanan berupa mikroalgae yang tumbuh di atas substrat keras. Dalam
jumlah sedikit kelompok siput ini memang tidak membawa dampak yang signifikan terhadap
kondisi karang, namun jika pada kondisi terjadi ledakan populasi (outbreaks) siput ini besa
berakibat fatal bagi kerusakan karang. Tingginya populasi siput Drupella di suatu lokasi
kemungkinan juga terkait dengan over fishing di lokasi tersebut. Beberapa kelompok ikan
(triggerfish, porcupinefish, wrasses, snappers dan emperor breams) merupakan predator
alami bagi siput parasit Drupella spp, namun jumlahnya di alam semakin menurun karena
penangkapan berlebih. Pada dasarnya, secara ekologis keong pemakang polip karang ini
memiliki peran sebagai pengendali alami bagi keseimbangan ekosistem terumbu karang.
Akan tetapi pengaruh yang ditimbulkan akan cukup signifikan dalam mematikan karang
apabila hadir dalam agregasi yang relatif besar. Ledakan populasi Drupella spp. pernah
menyebabkan kematian massal karang di Great Barier Reef, Australia (Turner,1994).
Beberapa teori mengatakan bahwa ledakan populasinya berkaitan dengan fenomena global,
misalnya ENSO (El Nino Southern Oscillation), perubahan salinitas dan perubahan suhu.
Perubahan suhu yang terjadi pada dua tahun terakhir yang berakibat kematian masal pada
karang di perairan barat Sumatra, termasuk Nias, diduga menimbulkan pengaruh yang cukup
besar bagi populasi siput Drupella spp. Siput pemakan polip karang Drupella sp. yang
ditemukan di beberapa tipe pertumbuhan karang disajikan pada Gambar 27.
60
Gambar 27. Drupella sp. ditemukan di beberapa tipe pertumbuhan karang di perairan Nias
Utara
Bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci merupakan biota pemakan polip
karang yang populer karena dampak kematian karang yang ditimbulkan cukup serius. Spesies
ini ditemukan pada empat stasiun, yaitu di Stasiun NIAC02, Stasiun NIAC05, Stasiun
NIAC08 dan Stasiun NIAC09 dimana jumlah individu bervariasi, tetapi secara umum kurang
dari 10 individu, dan hanya pada Stasiun NIAC09 yang mendekati 10 individu. Walaupun
hanya ditemukan dalam jumlah yang relatif kecil, namun hal ini patut diwaspadai mengingat
begitu cepatnya pertumbuhan populasi dari spesies ini. Berbagai hasil penelitian
menunjukkan bahwa walaupun hanya ditemukan dalam jumlah sedikit, dalam kurun waktu
yang tidak begitu lama setelah itu bintang laut ini sudah memberikan ancaman serius bagi
kondisi karang. Bintang laut bermahkota duri Achantaster planci ditemukan cukup melimpah
di luar transek pada Stasiun NIAC05 dan Stasiun NIAC09, yaitu di daerah rataan terumbu.
61
Namun demikian, informasi tentang keberadaan bintang laut bermahkota duri Acanthaster
planci di luar transek tetap dicatat sebagai informasi tambahan.
Pada kondisi yang tertekan, Acanthaster planci akan mempercepat proses pematangan
gonad dan segera melakukan pemijahan dengan mengeluarkan telur dalam jumlah besar
(Setyastuti, 2010). Di samping itu, bintang laut bermahkota duri dapat meregenerasi diri
menjadi individu baru yang utuh dari potongan tubuh karena tercabik. Spesies ini juga
diketahui memiliki umur larva planktonik yang relatif lama yang memungkinkan untuk
menyebar luas ke seluruh dunia mengikuti pola arus. Dengan kata lain, walaupun pada suatu
lokasi tidak ditemukan bintang laut bermahkota duri ini, bukan berarti bebas dari ancaman
pemangsaan. Bisa jadi, pada lain waktu arus membawa larva Acanthaster planci ke tempat
tersebut karena perairan laut di seluruh dunia terkoneksi satu sama lain. Dan akhirnya
pemakan polip karang ini akan tumbuh dan berkembang biak setelah menemukan habitat
yang cocok. Disisi lain, tidak adanya predator alaminya juga menjadi faktor yang layak
dikhawatirkan. Siput Charonia tritonis atau triton dan Casis cornuta atau siput kepala
kambing merupakan predator alami dari Acanthaster planci. Bahkan pada suatu kesempatan,
terlihat seorang nelayan sedang membawa Casis cornuta sebagai tangkapan sampingan selain
ikan sebagai tangkapan utamanya. Hasil pengamatan sekilas di pasar ikan menunjukkan
bahwa Casis cornuta dan beberapa jenis moluska lainnya menjadi komoditas perdagangan.
Bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci yang ditemukan disajikan pada Gambar 28.
62
Gambar 28. Bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci yang ditemukan di perairan
Nias Utara
Kelompok spesies megabenthos yang bernilai ekonomis tinggi yang berasosiasi
dengan terumbu karang juga masih dapat ditemukan, antara lain kerang kima, keong trokha,
lobster dan teripang. Kehadiran kelompok biota tersebut seringkali menjadi indikator bahwa
karang di lokasi tersebut masih sehat, atau kalaupun karang telah mengalami kerusakan,
kondisi lingkungan cukup mendukung kehidupannya. Statusnya sebagai biota ekonomis
penting yang menjadi target buruan bagi nelayan menjadikannya terancam. Harganya yang
terbilang mahal dan permintaan pasar yang tinggi menjadikannya over eksploitasi di
beberapa daerah. Ekonomis penting dalam hal ini tidak hanya berkaitan dengan bahan pangan
tetapi juga untuk kepentingan lain. Selain dagingnya dikonsumsi, baik untuk kebutuhan
sehari-hari maupun untuk diperjualbelikan, beberapa kelompok megabenthos dimanfaatkan
sebagai barang dagangan dalam bisnis biota hias maupun bahan baku kerajinan tangan.
63
Kerang kima, walaupun populasinya relatif rendah namun dapat ditemukan pada
delapan stasiun, yaitu hanya pada Stasiun NIAC03 dan Stasiun NIAC08 tidak ditemukan
kerang kima. Jumlah individu yang ditemukan umumnya hanya dalam jumlah sedikit, yaitu
kurang dari lima individu dalam transek, kecuali pada stasiun NIAC06 yang ditemukan
hampir 10 individu. Jenis kerang kima yang umum ditemukan merupakan spesies yang
berukuran sedang, yaitu Tridacna squamosa. Beberapa jenis lainnya yang juga ditemukan
adalah spesies yang berukuran kecil, seperti Tridacna crocea dan Tridacna maxima.
Ditemukan atau tidak ditemukannya kerang kima kemungkinan sangat tergantung oleh
kesesuaian atau ketidaksesuaian habitat, baik dalam hal substrat maupun kondisi perairan
maupun faktor lainnya. Fakta juga menunjukkan bahwa kerang kima seperti halnya di daerah
lainnya juga menjadi salah satu biota buruan nelayan, dan terlihat menjadi salah satu
komoditas yang diperdagangkan di pasar ikan.
Ukuran kerang kima yang ditemukan di dalam transek bervariasi, dengan kisaran
ukuran panjang cangkang antara 1 – 40 cm. Ukuran panjang cangkang terkecil yang
ditemukan di dalam transek adalah 1,3 cm, sedangkan ukuran terbesar adalah 39,1 cm.
Kerang kima yang ditemukan umumnya ditemukan melekat pada harang hidup dan beberapa
individu ditemukan melekat pada karang mati yang telah ditumbuhi alga. Jenis-jenis kerang
kima dengan ukuran cangkang kecil umumnya adalah jenis yang memiliki tipikal meliang,
sedangkan jenis-jenis kerang kima dengan ukuran cangkang besar adalah yang tidak meliang
tetapi melekat pada substrat.
Kerang kima berdasarkan keberadaannya pada substrat terbagi menjadi tiga
kelompok, yaitu kelompok meliang, kelompok melekat dan kelompok bebas yang tidak
meliang maupun melekat pada substrat. Kelompok kerang kima yang meliang maupun
kelompok melekat umumnya ditemukan pada substrat bertipe keras. Substrat tersebut antara
lain karang hidup, batu, karang mati, karang mati yang ditumbuhi algae. Sedangkan
kelompok bebas yang tidak meliang maupun melekat umumnya ditemukan pada substrat
pasir. kerang kima yang ditemukan selama pengamatan umumnya meliang atau melekat pada
substrat berupa karang mati yang telah ditumbuhi algae (dead coral with algae / DCA).
Walaupun beberapa individu juga ditemukan melekat atau meliang pada substrat berupa
karang hidup (live coral / LC). Hanya ada satu individu yang ditemukan tidak melekat
maupun meliang, tetapi bebas berada di substrat pasir. Ukuran panjang cangkang masing-
masing individu kerang kima yang ditemukan di dalam transek pada masing-masing stasiun
disajikan pada Tabel 11.
64
Tabel 11. Jenis dan ukuran kerang kima yang ditemukan pada masing-masing stasiun serta
jenis substrat tempat menempelnya
No Stasiun Jenis Ukuran (cm) Substrat
1 NIAC01 Tridacna squamosa 26.3 Karang mati
2 Tridacna squamosa 29.1 Karang mati
3 NIAC02 Tridacna crocea 6.8 Karang mati
4 NIAC04 Tridacna squamosa 22.3 Karang hidup
5 Tridacna maxima 4.4 Karang mati
6 NIAC05 Tridacna squamosa 28.6 Karang mati
7 Tridacna squamosa 30.7 Karang hidup
8 Tridacna maxima 3.9 Karang mati
9 Tridacna squamosa 28.2 Karang mati
10 Tridacna crocea 11.9 Karang mati
11 NIAC06 Tridacna crocea 14.8 Karang mati
12 Tridacna squamosa 28.5 Karang mati
13 Tridacna squamosa 22.7 Karang hidup
14 Tridacna squamosa 14.1 Karang mati
15 Tridacna maxima 7.2 Karang mati
16 Tridacna maxima 3.8 Karang mati
17 Tridacna maxima 1.3 Karang mati
18 Tridacna maxima 1.5 Karang mati
19 NIAC07 Tridacna maxima 6.4 Karang mati
20 Tridacna squamosa 28.3 Karang mati
21 Tridacna squamosa 30.2 Karang mati
22 NIAC09 Tridacna squamosa 30.4 Karang mati
23 Tridacna squamosa 39.1 Karang mati
24 NIAC10 Tridacna squamosa 26.4 Karang mati
25 Tridacna squamosa 22.6 Karang mati
26 Tridacna maxima 2.2 Karang mati
Kerang kima terdiri dari delapan spesies dalam dua genus, yaitu Tridacna dan
Hippopus dimana tujuh diantaranya dapat ditemukan di Indonesia (Arbi, 2009). Kerang kima
biasanya jarang ditemukan berada di habitat dengan perairan yang keruh, dan sebaliknya
65
relatif mudah ditemukan di perairan yang jernih. Tridacna crocea umumnya hidup di substrat
yang berupa batu, sedangkan Tridacna squamosa biasanya ditemukan di sela-sela karang
bercabang. Kelompok Hippopus, baik Hippopus hippopus dan Hippopus porcellanus
umumnya memilih habitat dengan substrat berpasir putih. Keberadaan kima memiliki tingkat
keterancaman yang cukup tinggi karena selain keberadaanya terutama di perairan dangkal
yang mudah dijangkau, juga karena tingginya pengambilan oleh nelayan. Kima memiliki
nilai ekonomis tinggi, karena daging dan cangkangnya dimanfaatkan untuk berbagai
kepentingan. Dagingnya sangat laku dalam perdagangan perikanan non ikan karena
kelezatannya, sedangkan cangkangnya seringkali dijadikan sebagai bahan baku kerajinan
untuk souvenir. Masyarakat Amerika dan Eropa menggemari berbagai jenis kima sebagai
salah satu biota hias karena mantelnya yang berwama-wami. Beberapa variasi kerang kima
yang ditemukan disajikan pada Gambar 29.
Gambar 29. Beberapa variasi kerang kima yang ditemukan di perairan Nias Utara
Keong trokha dapat ditemukan di semua stasiun dengan jumlah individu yang
ditemukan pada masing-masing stasiun umumnya antara 1 – 10 individu dalam transek.
66
Keong trokha ini ditemukan pada beberapa tipe habitat mulai dari karang mati sampai karang
hidup, dan pada berbagai pertumbuhan karang mulai dari buolder, encrusting, folious, bahkan
karang bercabang. Pada beberapa stasiun menunjukkan bahwa makanan keong trokha yang
berupa algae sebenarnya cukup tersedia, yang ditandai dengan tingginya prosentasi substrat
yang berupa karang mati yang ditumbuhi algae (dead coral algae). Trochus niloticus, spesies
yang merujuk ke keong lola, juga cukup banyak ditemukan baik di dalam maupun di luar
transek, terutama pada Stasiun NIAC02, Stasiun NIAC05 dan Stasiun NIAC08. Sedangkan
jenis lain yang juga ditemukan adalah jenis-jenis termasuk dalam genus Trochus yang
termasuk dalam famili Trochidae maupun Tectus yang termasuk dalam famili Tegulidae.
Keong trokha terkadang sulit ditemukan karena biasanya hidup menyembunyikan diri
di balik karang pada siang hari. Hal ini sesuai dengan sifat hidupnya yang lebih aktif pada
malam hari atau nokturnal. Jenis keong ini biasanya hidup di antara patahan karang, karang
mati dan celah karang pada terumbu karang daerah intertidal sampai subtidal dangkal (Arbi,
2009). Kondisi perairan yang keruh dan karang yang tumbuh umumnya bukan merupakan
jenis karang yang ideal sebagai tempat persembunyian keong tersebut diduga berperan
terhadap minimnya jumlah keong trokha yang dapat ditemukan di dalam transek. Faktor lain
yang menyebabkan sulitnya menemukan biota ini adalah aktivitas penangkapan oleh nelayan.
Berdasarkan informasi, nelayan setempat menjadikan biota ini sebagai salah satu target
tangkapan sampingan nelayan karena memiliki harga daging maupun cangkang yang cukup
mahal. Keong trokha, terutama lola dikenal sejak dahulu oleh masyarakat nelayan karena
memiliki nilai ekonomis tinggi. Di samping dagingnya dapat dimakan, cangkangnya selain
sebagai bahan baku pembuatan kancing baju dan perhiasan, juga sebagai media perangsang
pembentukan mutiara pada budidaya kerang mutiara. Keong trokha yang ditemukan disajikan
pada Gambar 30.
67
Gambar 30. Keong trokha yang ditemukan di perairan Nias Utara
Lobster ditemukan hanya pada tiga stasiun, yaitu di Stasiun NIAC02, Stasiun
NIAC07 dan Stasiun NIAC08 dengan jumlah individu yang minim, yaitu hanya satu individu
pada masing-masing stasiun. Semua jenis lobster yang ditemukan merupakan jenis yang
dikonsumsi, yaitu Panulirus versicolor yang terlihat mencolok karena memiliki ukuran tubuh
yang relatif besar dengan antena yang panjang. Sedangkan lobster untuk biota hias yang
biasanya berukuran kecil dan lebih sulit ditemukan memang tidak ditemukan di semua
stasiun.
Lobster merupakan kelompok megabenthos yang memiliki nilai ekonomis penting
tetapi sulit ditemukan di wilayah perairan Nias Utara. Sulitnya menemukan lobster diduga
terkait oleh beberapa hal yang berkaitan dengan sifat ekologinya. Pertama, lobster bersifat
nokturnal atau aktif di malam hari, sedangkan pengamatan dilakukan di siang hari. Kedua,
lobster umumnya hidup di perairan yang relatif jernih dengan masa air yang dinamis. Ketiga,
lobster lebih menyukai hidup di tebing atau karang berbentuk boulder sebagai tempat
persembunyiannya. Berdasarkan ketiga faktor ekologis tersebut, lokasi monitoring di perairan
68
Nias Utara kurang sesuai bagi lobster untuk berkembang dengan baik. Permintaan lobster,
baik untuk pasar domestik maupun ekspor, terus meningkat sehingga nelayan terus berupaya
menangkap lobster dari alam (Setyono, 2006). Lobster yang ditemukan pada pengamatan ini
disajikan pada Gambar 31.
Gambar 31. Lobster yang ditemukan di perairan Nias Utara
Teripang ditemukan pada lima stasiun, yaitu di Stasiun NIAC02, Stasiun NIAC05,
Stasiun NIAC07, Stasiun NIAC08 dan Stasiun NIAC09 dimana masing hanya terdapat 1 – 5
individu saja. Teripang yang ditemukan umumnya merupakan jenis yang memiliki nilai jual
di dunia perdagangan teripang yang tidak terlalu tinggi, yaitu Pearsonothuria graeffei,
kecuali satu individu yang ditemukan di Stasiun NIAC05 yaitu jenis Holothuria edulis. Pada
Stasiun NIAC01, sebenarnya juga ditemukan teripang jenis Telenotha anax, namun karena
posisinya berada di luar transek, maka hanya dicatat sebagai informasi tambahan saja. Jika
melihat kondisi perairan, kondisi terumbu karang, serta keberadaan megabenthos lain, sangat
minimnya jumlah teripang yang ditemukan sebenarnya merupakan sebuah pertanyaan.
Informasi dari dinas terkait, teripang merupakan salah satu komoditas ekspor dari perairan
69
sekitar Nias Utara dan sekitarnya sehingga penangkapan oleh nelayan terjadi cukup intensif
terutama untuk jenis-jenis yang memiliki nilai jual tinggi.
Teripang (holothurians) hidup pada substrat pasir, lumpur maupun dalam lingkungan
terumbu. Teripang merupakan komponen penting dalam rantai makanan (food chain) di
daerah terumbu karang dengan asosiasi ekosistemnya pada berbagai tingkat trofik (trophic
levels), berperan penting sebagai pemakan deposit (deposit feeder) dan pemakan suspensi
(suspensifeeder) (Darsono, 2002). Teripang mencerna sejumlah besar sedimen, terjadilah
pengadukan lapisan atas sedimen di goba, terumbu maupun habitat lain yang memungkinkan
terjadi oksigenisasi lapisan sedimen. Proses ini mencegah terjadinya penumpukan busukan
benda organik dan sangat mungkin membantu mengontrol populasi hama dan organisma
patogen. Teripang adalah komoditi perikanan yang diperdagangkan secara internasional, dan
eksploitasinya telah berlangsung sejak ratusan tahun. Teripang diketahui sebagai bahan
makanan tradisional yang diminati di beberapa negara di Asia karena kandungan zat-zat obat
(medicinal properties), berkhasiat dalam proses penyembuhan (curative), dan diyakini
mengandung zat untuk meningkatkan vitalitas (aphrodisiac). Ancaman utama keberadaan
teripang di alam justru berasal dari tangkapan yang berlebih (over exploitation). Teripang
yang ditemukan selama pengamatan disajikan pada Gambar 32.
70
Gambar 32. Teripang yang ditemukan di perairan Nias Utara
Tingginya nilai ekonomi beberapa spesies atau kelompok spesies megabenthos
menyebabkan tekanan terhadap keberadaannya terus meningkat. Beberapa spesies bahkan
hampir mengalami kepunahan karena pengambilan di alam secara besar-besaran (over
exploitation), maupun akibat kerusakan habitat. Berdasarkan kenyataan ini, pemerintah
Indonesia segera tanggap dengan mengeluarkan beberapa perundang-undangan sebagai upaya
pelestarian sumber daya hayati, diantaranya menetapkan beberapa jenis biota sebagai hewan
yang dilindungi. Ketentuan internasional juga telah menetapkan beberapa jenis biota laut
tersebut dalam kategori endangered dan tercantum dalam Red Data Book. Pengawasan bagi
perdagangannya dicantumkan dalam Apendiks II CITES yang artinya dapat dimanfaatkan
dengan kuota atau dibatasi, misalnya kerang kima.
Kelompok spesies megabenthos yang memiliki nilai ekonomis tinggi walaupun masih
dapat ditemukan di kawasan perairan Nias Utara, namun kemungkinan akan sulit mengalami
pemulihan jumlah di masa yang akan datang. Hal ini mengingat posisi perairan yang berada
71
pada wilayah yang ekosistemnya mengalami tekanan yang cukup tinggi, terutama kondisi
pasca pemanasan yang mengakibatkan kematian masal karang dalam dua tahun terakhir.
Status kawasan konservasi pun apabila diberlakukan di beberapa titik yang memiliki harapan
untuk dipulihkan tidak mudah untuk mencapai hasil yang diinginkan. Di sisi lain, keberadaan
megabenthos yang memiliki nilai ekologis tinggi terutama biota pemakan polip karang
(bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci) juga patut diperhatikan karena menjadi
ancaman tersendiri bagi keberadaan karang.
Fluktuasi Tahunan Kondisi Megabenthos
Dibandingkan dengan hasil pengamatan pada tahun sebelumnya, terjadi fluktuasi
sebaran dan kepadatan spesies atau kelompok spesies megabenthos. Perubahan komposisi
spesies atau kelompok spesies megabenthos terkait erat dengan perubahan yang alami dari
kondisi habitat karang maupun perubahan akibat pengambilan dari alam yang dilakukan oleh
nelayan. Fluktasi sebaran dan kepadatan masing-masing spesies atau kelompok spesies
megabenthos target monitoring pada masing-masing stasiun di perairan Nias Utara disajikan
dalam diagram pada Gambar 33.
72
Gambar 33. Fluktuasi tahunan jumlah individu masing-masing megabenthos target selama
empat tahun terakhir di perairan Nias Utara
Sebaran dan jumlah individu masing-masing spesies atau kelompok spesies megabenthos
target yang ditemukan pada masing-masing stasiun (dengan pengecualian pada Stasiun
NIAC09 dan NIAC10 tidak diamati di tahun 2015 dan tahun 2016) menunjukkan adanya
fluktuasi selama empat tahun terakhir. Dari gambar tersebut, terlihat adanya fluktuasi yang
sangat mencolok pada hasil pengamatan keong trokha dan siput pemakan polip karang
Drupella spp. Hasil pengamatan keong trokha menunjukkan bahwa pada tahun-tahun
73
sebelumnya sangat minim ditemukan. Selama tiga tahun sebelumnya, hanya pada Stasiun
NIAC01 pada tahun 2015 dan NIAC08 tahun 2016 saja ditemukan keong trokha, dan hanya
dalam jumlah yang sangat sedikit. Kondisinya sangat berbeda pada tahun 2017 dimana keong
trokha dapat ditemukan di semua stasiun. Perbedaan hasil ini diduga terjadi karena faktor
teknis, yaitu ketelitian dari masing-masing pengamat. Kondisi yang relatif sama juga terjadi
pada hasil pengamatan siput pemakan polip karang Drupella spp., dimana pada tahun-tahun
sebelumnya hanya ditemukan pada Stasiun NIAC01 dan Stasiun NIAC05 di tahun 2015 serta
Stasiun NIAC08 di tahun 2016. Pada tahun 2017, siput pemakan polip karang Drupella spp.
ditemukan di tujuh stasiun pengamatan. Menariknya, pada Stasiun NIAC01 tahun 2015, siput
ini ditemukan dalam jumlah yang cukup tinggi.
Kondisi yang relatif stabil terlihat pada pengamatan teripang dan kerang kima, dimana
fluktuasinya tidak terlalu mencolok dari tahun ke tahun pada masing-masing stasiun.
Perbedaan mencolok untuk kedua kelompok spesies megabenthos tersebut hanya terjadi pada
beberapa stasiun, itu pun masih dalam rentang yang tidak terlalu lebar karena jumlah individu
yang ditemukan pada masing-masing stasiun kurang dari 10 individu. Kondisi yang hampir
sama sebenarnya juga terlihat terjadi pada pengamatan bulu babi. Perbedaannya, pada tahun
2017 terjadi fluktuasi yang sangat signifikan kenaikannya pada Stasiun NIAC03, Stasiun
NIAC08, Stasiun NIAC09 dan Stasiun NIAC10. Bahkan pada Stasiun NIAC08 dan NIAC09
kenaikannya lebih dari 10 kali lipat dibandingkan dengan hasil pengamatan pada tahun-tahun
sebelumnya. Sebaliknya pada Stasiun NIAC01 justru terjadi penurunan yang sangat drastis,
dimana pada tahun 2014 jumlahnya lumayan tinggi, akan tetapi pada tahun-tahun berikutnya
jumlahnya relatif rendah, bahkan tidak dijumpai pada tahun 2015.
Hasil pengamatan lobster dan bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci pada
dasarnya juga tidak terjadi fluktuasi yang signifikan karena jumlah individu yang ditemukan
pada masing-masing stasiun dari tahun ke tahun sangat sedikit. Pengecualian terjadi pada
hasil pengamatan bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci pada Stasiun NIAC05 dan
Stasiun NIAC09 dimana pada tahun 2017 ditemukan dalam jumlah yang relatif banyak.
Khusus untuk pengamatan pada bintang laut biru Linckia lavigata, hasilnya hanya
terlihat pada tahun 2016 dan 2017 saja. Hal ini karena tidak dilakukannya pengamatan pada
spesies megabenthos ini pada tahun 2014 dan 2015. Namun dari hasil pengamatan pada dua
tahun terakhir tersebut dapat dilihat adanya perbedaan yang cukup mencolok. Pada tahun
2016, bintang laut ini hanya ditemukan pada satu stasiun, yaitu Stasiun NIAC06, namun
74
dengan jumlah individu yang cukup tinggi. Sebaliknya pada tahun 2017 bintang laut ini dapat
ditemukan pada enam stasiun, walaupun dalam jumlah yang minim, yaitu antara 1 sampai 3
individu saja.
Secara lengkap, jumlah individu pada masing-masing stasiun dari hasil pengamatan
spesies atau kelompok spesies megabenthos pada masing-masing spesies dalam empat tahun
terakhir dapat dilihat pada Tabel 12 berikut.
75
Tabel 12. Fluktuasi sebaran masing-masing spesies atau kelompok spesies megabenthos di
perairan Nias Utara
MEGA
BENTHOS
STASIUN
NIAC01 NIAC02 NIAC03 NIAC04 NIAC05 NIAC06 NIAC07 NIAC08 NIAC09 NIAC10
14 15 16 17 14 15 16 17 14 15 16 17 14 15 16 17 14 15 16 17 14 15 16 17 14 15 16 17 14 15 16 17 14 15 16 17 14 15 16 17
Lobster 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0
Keong Trokha 0 2 0 4 0 0 0 8 1 0 0 2 0 0 0 3 0 0 0 8 0 0 0 3 0 0 0 6 0 0 3 10 0 0 0 4 0 0 0 4
Teripang 2 1 1 0 0 0 2 2 1 1 0 0 1 1 0 0 2 0 0 3 1 1 0 0 0 3 0 2 1 1 5 5 1 0 0 2 1 0 0 0
Kerang Kima 0 1 0 2 0 5 0 1 0 0 0 0 3 1 2 2 3 1 2 5 3 3 1 8 0 2 3 3 2 0 0 0 4 0 0 2 0 0 0 2
Bulu Babi 36 9 15 14 15 7 1 5 4 1 17 39 0 1 0 7 0 0 0 4 5 6 0 1 0 7 4 12 16 24 8 96 6 0 0 112 14 0 0 36
Linckia laevigata 0 0 0 0 0 4 0 1 0 0 0 1 0 1 0 2 0 0 0 0 0 2 8 3 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1
Acanthaster planci 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 1 0 0 0 9 0 0 0 0
Drupella spp. 0 43 0 5 0 0 0 11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9 0 1 0 0 0 5 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 3
76
MANGROVE
Kondisi Terkini
Berdasarkan nilai persentase tutupan kanopi komunitas, mangrove di Kabupaten Nias Utara
memiliki kondisi kesehatan yang termasuk dalam kategori yang cukup baik. Rata-rata
persentase tutupan kanopinya sebesar 64,5±4,0% dengan rentang tutupan dari 36,1±9,0%
sampai 91,5±0,5% (Gambar 34). Sementara itu, nilai kerapatan pohonnya termasuk dalam
kategori sangat tinggi, dengan rata-rata 2.533±260 pohon/ha. Stasiun NISM02.01 yang
terletak di Desa Sawo memiliki kondisi kerapatan yang paling rendah, yaitu: 633±318
pohon/ha. Sementara itu, kerapatan pohon mangrove yang paling tinggi, 3.720±659 pohon/ha
diperoleh pada stasiun pemantauan NISM03 di Desa Lahewa (Gambar 35). Secara
keseluruhan, diameter batang pohon mangrove di Kabupaten Nias Utara memiliki rata-rata
9,8±1,6 cm dimana tegakan pohon di stasiun NISM02.01 memiliki rata-rata diameter batang
yang paling tinggi, yaitu: 24,2±12,4 cm. Rata-rata ukuran pohon yang paling kecil ditemukan
di stasiun NISM04 dengan diameter batang 6,0±0.2 cm (Gambar 36). Komunitas mangrove
di Kabupaten Nias Utara memiliki struktur komunitas yang didominasi oleh R. apiculata
dengan kodominansi oleh S. alba dan R. mucronata.
Gambar 34. Persentase tutupan kanopi komunitas mangrove di Kabupaten Nias Utara tahun2017. Keterangan: LS= Desa Lasara Sawo; LW= Desa Lahewa; SR=Desa Sisarahili;
91,1
±1.
0
91,5
±0.
5
36,7
±5.
9
61,0
±3.
9
36,1
±9.
0 85,8
±3.
8
66,6
±3.
2
74,0
±5.
0
70,2
±6.
7
82,1
±5.
7
32,4
±7.
1
64,5
±4.
0
0102030405060708090
100
NIS
M01
NU
DM
02
NIS
M03
NU
DM
03
NIS
M04
NU
DM
01
NIS
M02
.02
NIS
M02
.03
NIS
M02
.04
NIS
M05
NIS
M02
.01
NIA
S U
TAR
A
LS LW SR SW TOT
Per
sent
ase
Tutu
pan
Kan
opi (
%)
77
SW=Sawo. Warna: [Hitam]=Titik Baru; [Orange]=Titik Pemantauan Dinas PerikananKabupaten Nias Utara; [Biru]=Titik Pemantauan COREMAP-LIPI; [Putih]=Total Rata-RataKeseluruhan stasiun pemantauan di Kabupaten Nias Utara.
Kondisi kerapatan mangrove berhubungan erat dengan faktor ukuran diameter batang serta
jenis pohon yang mendominasi dalam komunitas. Jenis Sonneratia alba, berperan sebagai
jenis pioner dalam kawasan, maka cenderung menghasilkan senyawa alelopati yang mampu
menghambat pertumbuhan jenis mangrove lainnya dalam suatu area. Oleh karena itu, pada
habitat yang sudah terdominasi tinggi jenis S. alba, maka akan sulit menemukan jenis lain
berkembang dengan pesat. Umumnya, dominasi tinggi ini ditemukan pada habitat mangrove
yang miskin senyawa organik, substrat pasir/berbatu dan umumnya berada di zona depan/laut
yang sering terkena flushing gelombang. Seperti halnya pada, NUDM03 (Desa Lahewa) dan
NISM02.01 (Desa Sawo) yang didominasi tinggi oleh jenis S. alba. Ukuran diameter batang
pohon S. alba yang sangat lebar, dengan rata-rata 24,2±13,4 cm, berpengaruh pada kerapatan
pohon yang paling rendah pada stasiun NISM02.01. Sementara itu, stasiun NUDM03
memiliki ukuran diameter batang pohon 7,9±0,5 cm.
Gambar 35. Nilai kerapatan pohon pada komunitas mangrove (pohon/ha) di Kabupaten NiasUtara tahun 2017 pada setiap stasiun pemantauan. Keterangan: LS= Desa Lasara Sawo; LW=Desa Lahewa; SR=Desa Sisarahili; SW=Sawo.
2900
3067 37
20
3433
1433
3100
1367
1333
1333
2467
633
2253
0500
10001500200025003000350040004500
NIS
M01
NU
DM
02
NIS
M03
NU
DM
03
NIS
M04
NU
DM
01
NIS
M02
.02
NIS
M02
.03
NIS
M02
.04
NIS
M05
NIS
M02
.01
NIA
S U
TAR
A
LS LW SR SW TOT
78
Stasiun pemantauan yang didominasi oleh jenis Aegiceras corniculatum, NISM03, memiliki
tegakan yang cukup rendah (tinggi tegakan 1.5-3 meter). Kerapatan yang tinggi dalam
kawasan disebabkan oleh dominasi A. corniculatum yang memiliki ukuran tegakan yang
kecil dengan rata-rata ukuran diameter sebesar ~7,4 cm (Gambar 37). Pantai pasir berbatu
merupakan habitat yang sangat cocok bagi pertumbuhan jenis ini. Oleh karena ukuran
diameter pohon yang kecil serta tegakan yang rendah, menyebabkan tutupan kanopi
komunitasnya juga menjadi rendah, hanya 36,7±5,9%. Hal ini mengindikasikan bahwa
persentase tutupan komunitas mangrove sangat bervariasi tergantung dari jenis mangrove,
kerapatan, tinggi dan diameter pohon.
Tegakan jenis Rhizophora yang sangat dominan dalam suatu komunitas memberikan nilai
persentase tutupan yang cukup tinggi pada sebagian besar stasiun pemantauan. Pada kondisi
mangrove yang cukup alami, dua stasiun pemantauan di Desa Lasara Sawo memiliki nilai
persentase tutupan kanopi yang paling tinggi. Hal ini didukung oleh kerapatan pohon yang
cukup tinggi, yaitu 2900 – 3067 pohon/ha dengan rata-rata diameter pohon ~9,0 cm dan 7,2
cm. Kondisi alami yang diindikasikan dengan rendahnya penebangan pohon, juga dijumpai
pada stasiun NUDM01 dan NISM05. Sementara itu, pada stasiun NISM02.02-04 (Desa
Sisarahili) ditemukan indikasi penebangan walaupun tidak masif. Hal ini juga dibuktikan dari
nilai persentase tutupan kanopi komunitas yang <75% serta nilai kerapatannya yang lebih
rendah dibandingkan dengan stasiun lainnya yang didominasi oleh Rhizophora.
79
Gambar 36. Ukuran rata-rata diameter batang pohon komunitas mangrove di Kabupaten
Nias Utara tahun 2017 pada setiap stasiun pemantauan. Keterangan: LS= Desa Lasara Sawo;
LW= Desa Lahewa; SR=Desa Sisarahili; SW=Sawo.
Gambar 37. Variasi indeks nilai penting (INP) pada setiap jenis yang ditemukan dalam plotpemantauan di Kabupaten Nias Utara tahun 2017. Keterangan: LS= Desa Lasara Sawo; LW=Desa Lahewa; SR=Desa Sisarahili; SW=Sawo.
9,0
7,2
7,4
7,9
6,0 9,3
9,1
8,7 9,9
8,8
24,2
9,8
05
10152025303540
NIS
M01
NU
DM
02
NIS
M03
NU
DM
03
NIS
M04
NU
DM
01
NIS
M02
.02
NIS
M02
.03
NIS
M02
.04
NIS
M05
NIS
M02
.01
NIA
S U
TAR
A
LS LW SR SW TOT
162,
049
,137
,7
050
100150200250300
NIS
M01
NU
DM
02
NIS
M03
NU
DM
03
NIS
M04
NU
DM
01
NIS
M02
.02
NIS
M02
.03
NIS
M02
.04
NIS
M05
NIS
M02
.01
NIA
S U
TAR
A
LS LW SR SW TOT
RA RL BG CT AC BC ST TP LL SA RM BS HT XG
80
Analisis MDS non metrik menunjukkan bahwa terjadi kesenjangan yang cukup nyata
pengelompokan mangrove berdasarkan struktur komunitasnya (Gambar 5). Hal ini diperoleh
dari ordinasi stasiun-stasiun pemantauan yang mengelompok terpisah satu sama lain. Stasiun
L3 (NISM03) Desa Lahewa memiliki komunitas mangrove yang didominasi oleh A.
corniculatum. Sedangkan D3 (NUDM03) dan L21 (NISM02.01) juga mengelompok akibat
dominasi S. alba. Ordinasi stasiun lainnya tampak menumpuk satu sama lain, akibat dominasi
yang cukup tinggi dari Rhizophora (Gambar 38a). Analisis MDS lanjutan dilakukan untuk
mengukur jarak ordinasi antar stasiun-stasiun yang didominasi oleh Rhizophora (Gambar
38b).
Gambar 38a. Analisis non-metric MDS pada seluruh stasiun pemantauan berdasarkanstruktur komunitas mangrove. Stasiun-stasiun pemantauan di Desa Sisarahili (kanan atas)tampak terordinasi dengan rapat.
81
Gambar 38b. Analisis non-metric MDS (lanjutan) pada stasiun pemantauan mangrove yangdidominasi oleh kelompok Rhizophora. Keterangan: L=NISM; D=NUDM; LS=Lasara Sawo;LW=Lahewa; SR=Sisarahili; SW=Sawo.
Deskripsi Kondisi Mangrove setiap Stasiun
Stasiun NISM01, Desa Lasara Sawo
Kawasan mangrove di stasiun NISM01 memiliki tegakan mangrove yang masih alami
dengan dominasi Rhizophora apiculata dan persentase tutupan kanopi 91,1±1,0% yang
termasuk dalam kategori kesehatan yang sangat baik. Kerapatan pohon mangrove juga
tergolong tinggi, yaitu: 2.900 ± 153 pohon/ha. Ukuran diameter batangnya adalah sekitar 9,0
± 0,2 cm. Jenis lain yang ditemukan dalam kawasan, antara lain: Ceriops tagal; R.
mucronata, R. lamarckii dan Bruguiera gymnorrhiza. Mangrove tumbuh di sepanjang muara
sungai yang memiliki tipe substrat berlumpur.
Gambar 39. Stasiun NISM01, Desa Lasara Sawo yang didominasi oleh Rhizophora
82
Stasiun NUDM02, Desa Lasara Sawo
Seperti halnya stasiun NISM01, stasiun pemantauan mangrove NUDM02 yang sebelumnya
merupakan titik pemantauan Dinas Perikanan Kabupaten Nias Utara, memiliki kondisi
mangrove yang juga didominasi dengan sangat tinggi oleh jenis R. apiculata. Jenis mangrove
lain juga ditemukan pada kawasan ini, antara lain: C. tagal dan R. mucronata. Kondisi
kesehatan komunitas mangrove juga tergolong sangat baik. Hal ini ditunjukkan dari
persentase tutupan kanopi mangrove, yaitu 91,5±0,5%, dengan kerapatan pohon sebesar
3.067±33 pohon/ha. Rata-rata diameter batang pohon yang dijumpai dalam kawasan adalah
7,2 ± 0,6 cm.
Gambar 40. Tegakan Rhizophora pada Stasiun NUDM02, Desa Lasara Sawo
Stasiun NISM03, Desa Lahewa
Mangrove yang tumbuh pada stasiun NISM03 memiliki kondisi yang termasuk dalam
kategori kurang baik. Persentase tutupan kanopi komunitas mangrove hanya memiliki rata-
rata sebesar 36,7 ± 5,9%. Kondisi kerapatan komunitas mangrove termasuk tinggi, yaitu:
3.720 ± 659 pohon/ha, namun diameter pohonnya hanya memiliki rata-rata sebesar 7,4±0,2
cm dengan tinggi pohon 1,5 - 4 meter. Walaupun demikian, stasiun pemantauan ini termasuk
memiliki kekayaan jenis mangrove sejati yang cukup tinggi, antara lain: A. corniculatum, R.
stylosa, R. apiculata, R. mucronata, Sonneratia alba, Lumnitzera racemosa, L. littorea, B.
gymnorrhiza dan B. cylindrica.
83
Gambar 41. Dominasi tegakan Aegiceras corniculatum pada stasiun NISM03
Stasiun NUDM03, Desa Lahewa
Sonneratia alba, merupakan jenis yang sangat dominan pada stasiun NUDM03, namun
beberapa jenis mangrove juga ditemukan dalam kawasan, antara lain: B. gymnorrhiza, R.
apiculata, R. mucronata, R. stylosa, C. tagal, B. cylindrica, Avicennia marina, L. racemosa
dan L. littorea. Tegakan mangrove dalam kawasan memiliki rata-rata diameter batang
sebesar 7,9 ± 0,5 cm. Kerapatan pohon mangrove juga cukup tinggi, rata-rata 3.433 ± 333
pohon/ha. Kondisi kesehatan mangrove termasuk dalam kategori cukup baik, dengan rata-rata
61,0 ± 3,9%.
Gambar 4. Tegakan S. alba yang sangat dominan pada stasiun NUDM03
Stasiun NISM04, Desa Lahewa
Stasiun pemantauan yang baru dibuat, terletak di teluk kecil sebelah timur Pelabuhan Lahewa
memiliki persentase tutupan kanopi sebesar 36,1 ± 9,0%. Hal ini menunjukkan bahwa
kawasan berada dalam kondisi yang kurang baik. Rata-rata kerapatan pohonnya adalah 1.433
± 448 pohon/ha, dengan didominasi penuh oleh jenis R. apiculata. Tinggi tegakan pohon
perkisar antara 2-4 meter, dengan diameter rata-rata 6,0 ± 0.2 cm. Substrat didominasi oleh
pasir-berlumpur dan berbatu karang.
84
Gambar 42. Dominasi R. apiculata ada stasiun NISM04
Stasiun NUDM01, Desa Sisarahili
Kondisi komunitas mangrove di Desa Sisarahili termasuk dalam kategori baik-sangat baik
dengan dominasi tegakan oleh jenis R. apiculata. Hasil analisis persentase tutupan kanopi
menunjukkan bahwa stasiun NUDM01 memiliki tutupan kanopi komunitas sebesar 85,8 ±
3.8%. Nilai standar eror (~3,8 cm) yang kecil mengindikasikan kondisi kawasan yang cukup
stabil dan rendah frekueni penebangan. Kerapatan pohon mangrove juga cukup tinggi, yaitu
3.100 ± 306 pohon/ha dengan ukuran batang pohon yang memiliki diameter rata-rata sebesar
9,3 ± 0.5 cm. Jenis lain yang ditemukan dalam kawasan antara lain: B. gymnorrhiza, R.
mucronata, R. stylosa dan C. tagal.
Gambar 43. Kondisi stasiun NUDM01, Desa Sisarahili
Stasiun NISM02.02-NISM02.04, Desa Sisarahili
Kawasan mangrove pada stasiun NISM02.02;03 dan 04, berada disekitar jembatan pelabuhan
Desa Sisarahili. Akses masuk yang cukup baik menyebabkan adanya indikasi penebangan
pohon dalam komunitas. Walaupun demikian, kondisi komunitas mangrove dalam kawasan
tergolong dalam kategori yang cukup baik. Analisis persentase tutupan kanopi menunjukkan
85
nilai tutupan kanopi komunitas mangrove berkisar antara 66,6 ± 3,2% (NISM02.02) - 74,0 ±
5.0 (NISM02.03), Sedangkan stasiun NISM02.04 memiliki tutupan kanopi komunitas sebesar
70,2 ± 6,7%. Diameter pohon yang ditemukan di dalam stasiun pemantauan memiliki
diameter yang tidak berbeda signifikan dengan stasiun lainnya di Sisarahili, yaitu: 8,7 – 9,9
cm. Namun, penebangan yang cukup banyak ditemukan pada stasiun ini menyebabkan
kerapatan pohonnya berbeda signifikan dan lebih kecil, yaitu: 1333 pohon/ha – 1367
pohon/ha. Seperti halnya stasiun lainnya di Desa Sisarahili, mangrove dalam stasiun ini
didominasi dengan sangat tinggi oleh jenis R. apiculata, dengan kodominansi R. mucronata
dan C. tagal.
Gambar 44. Kondisi komunitas mangrove stasiun NISM02.02-04 di Desa Sisarahili
Stasiun NISM05, Desa Sisarahili
Kawasan pemantauan yang baru dibuat tahun 2017 ini, NISM05, memiliki kondisi komunitas
mangrove yang sangat baik. Hal ini dibuktikan dari nilai rata-rata persentase tutupan kanopi
komunitas mangrove dalam kawasan, yaitu 82,1 ± 5,7%. Hal ini juga didukung oleh
kerapatan pohon yang cukup tinggi, yaitu sebesar 2.467 ± 167 pohon/ha dengan ukuran
diameter batang sekitar 8,8 ± 0.1 cm. Kawasan mangrove di stasiun NISM05 didominasi oleh
jenis R. apiculata, dengan kodominansi R. mucronata.
86
Gambar 45. Kondisi komunitas mangrove pada stasiun NISM05, Desa Sisarahili.
Stasiun NISM02.01, Desa Sawo
Desa Sawo memiliki hamparan komunitas mangrove yang cukup sempit dan terhubung
dengan komunitas mangrove Desa Lasara Sawo. Satu stasiun pemantauan yang dibuat di
Desa Sawo, NISM02.01, memiliki kondisi komunitas mangrove yang kurang baik. Rata-rata
persentase tutupan kanopi komunitas mangrove hanya sebesar 32,4 ± 7,1% dengan kerapatan
pohon sebesar 633 ± 318 pohon/ha, paling rendah dibandingkan dengan stasiun pemantauan
lainnya di Kabupaten Nias Utara. Komunitas mangrove pada stasiun ini di dominasi dengan
sangat baik oleh jenis S. alba yang memiliki diameter rata-rata 24,2 ± 13,4 cm. Jenis lainnya
yang ditemukan dalam kawasan adalah A. corniculatum dan R. apiculata
Gambar 46. Dominasi S. alba pada stasiun NISM02.01, Desa Sawo
DINAMIKA KONDISI KOMUNITAS MANGROVE
Kondisi kesehatan mangrove di Kabupaten Nias Utara dari tahun 2014 tergolong cukup baik
dengan persentase tutupan kanopi komunitas berada dalam rentang 50-75%. Walaupun
jumlah stasiun pemantauan yang dibuat dari tahun 2014-2017 semakin meningkat, namun
kondisi komunitas mangrove tergolong stabil (Gambar 9). Tahun 2014, pada stasiun
pemantauan yang dibuat di dua desa (Lahewa dan Sisawahili), persentase tutupan kanopi
komunitas mangrove terhitung sebesar 65.0±3.0%. Nilai tersebut mengalami sedikit
penurunan di tahun 2015 (7 stasiun pemantauan, termasuk kegiatan pemantauan Dinas
Perikanan Kabupaten Nias Utara) menjadi 64,3±5,3%. Tahun 2016, pemantauan yang
dilakukan pada 8 stasiun pemantauan (+1 stasiun dibandingkan dengan tahun sebelumnya),
memberikan peningkatan persentase tutupan kanopi menjadi 67,2±8,5%. Data tahun 2017,
dapat dianggap lebih representatif dan akuratif, mengingat jumlah stasiun yang dipantau
menjadi 11 stasiun.
87
Stasiun NUDM01 dan NUDM02 mengalami peningkatan persentase tutupan kanopi yang
signifikan pada 2015 ke 2017. Sementara itu, stasiun pemantauan di Desa Sawo, NISM02.01,
mengalami penurunan yang cukup tajam dari tahun 2016-2017. Hal ini disebabkan oleh
adanya penebangan dalam stasiun pemantauan. Hasil analisis stasiun pemantauan di Desa
Lahewa, NISM03 dan NUDM03, ditemukan penurunan yang cukup tajam pada periode
2015-2016, namun cenderung stabil pda tahun 2017. Stasiun pemantauan yang dibuat oleh
LIPI di Desa Sisarahili, NISM02.02 dan NISM02.04, memiliki nilai persentase tutupan yang
dinamis/fluktuatif (tidak berbeda signifikan) pada seluruh tahun pemantauan.
Gambar 47. Persentase tutupan kanopi komunitas mangrove tahun 2014-2017 di KabupatenNias Utara. Keterangan: LS=Lasara Sawo; LW=Lahewa; SR=Sisarahili; SW=Sawo.
PADANG LAMUN (Seagrass)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
NIS
M01
NU
DM
02
NIS
M03
NU
DM
03
NIS
M04
NU
DM
01
NIS
M02
.02
NIS
M02
.03
NIS
M02
.04
NIS
M05
NIS
M02
.01
NIA
S U
TAR
A
LS LW SR SW TOT
Pers
enta
se T
utup
an K
anop
i (%
)
Stasiun Pemantauan
2014 2015 2016 2017
88
Dari Tabel 2 menunjukkan bahwa selama pengamatan tercatat delapan jenis lamun yang
teridentifikasi pada lokasi pengamatan yaitu : Halodule pinifolia, Halodule uninervis,
Cymodocea rotundata, C. serrulata, Syringodium isoetifolium, Enhalus acoroides,
Thahassia hemprichii dan Halophila ovalis. Pada Tabel 13 tersebut terlihat keragaman,
kompoisi dan ditsirbusi lamun dari masing-masing stasiun bervariasi dengan tipe campuran
(mixed vegetation), yaitu ditemukan lebih dari satu jenis lamun. Berdasarkan Tabel 13, ada
empat jenis lamun yang selalu ditemukan pada setiap stasiun yaitu jenis lamun Halodule
pinifolia, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata dan Thalassia hemprichii. Secara
umum substrat dari setiap stasiun adalah pasir lumpuran, pasir halus-kasar dan pasir
bercampur karang mati (rubble) (Tabel 13).
Tabel 13. Keragaman jenis lamun di perairan KKPD Kabupaten Nias Utara, November 2017(Klasifikasi Phillips & Menez 1988;Kuo & Comb 1989;Den Hartog Kuo 2006).
J E N I SL O K A S I
1 2 3 4 5 6 7 8
I. SUKU CYMODOCEAE
1. Halodule pinifolia + + + + + + - -
2. Halodule uninervis - - - + - + - -
3. Cymodocea rotundata + + + + + + + +
4. Cymodocea serrulata + + + + + + - +
5. Syringodium isoetifolium - + + - + - - -
II.SUKU: HYDROCHARITACEAE
6. Enhalus acoroides - - + - + + - -
7. Thalassia hemprichii + + + + + + - -
8. Halophila ovalis + - + + - + - +
Jumlah Jenis. 5 5 7 6 6 7 1 3
Keterangan : + = ada - = tidak ada
1. Muara Tali Wa’a, Lahewa (NIAS01)
2. Goso Baohi, Lahewa (NIAS02)
3. Teluk Bengkoang, Sawo (NIAS03)
4. Tanjung Furedowi, Sawo (NIAS04)
5. Teluk Bengkoang (1), Sawo (NIAS05)
6. Tanjung Furedowi (1), Sawo (NIAS06)
7. Sihene’ Asi, Lahewa (NIAS07)
8. Pantai Ionene, Sisarahili, Sawo (NIAS08)
Stasiun 1. Muara Tali Wa’a, Lahewa (NIAS01)
89
Pada lokasi Muara Tali Wa’a, Lahewa (NIAS01) (Gambar 48) tercatat lima jenis
lamun yaitu Halodule pinifolia, Cymodocea rotundata, C. Serrulata, Thalassia hemprichii
dan Halophila ovalis. Tabel 14 menunjukkan bahwa tutupan lamun di Stasiun NIAS01
adalah rata-rata 53,32% yang didominasi oleh Cymodocea rotundata dengan substrat lumpur
berpasir dan pecahan karang. Hal ini berarti kategori tutupannya adalah padat (51-75%),
sedangkan kondisi padang lamunnya adalah kurang sehat/kurang kaya (30-59,9%).
Gambar 48. Lokasi Muara Tali Wa’a, Lahewa (kiri), Cymodocea rotundata (kanan)
Stasiun 2. Goso Baohi, Lahewa (NIAS02)
Pada lokasi Goso Baohi, Lahewa (NIAS02) (Gambar 49) tercatat lima jenis lamun
yaitu, Halodule pinifolia, Cymodocea rotundata, C. Serrulata, Syringodium isoetifolium dan
Thalassia hemprichii. Tabel 14 menunjukkan bahwa rata-rata tutupan lamunnya adalah
21,20% yang didominasi oleh Cymodocea serrulata dengan substrat pasir bercampur pecahan
karang. Hal ini berarti kategori tutupannya adalah jarang, sedangkan kondisi padang
lamunnya adalah miskin (Rahmawati dkk., 2015; KMLH, 2004).
Gambar 49. Lokasi Pulau Gosobaohi, Lahewa (kiri). Cymodocea serrulata danSyringodium isoetifolium (kanan).
90
Stasiun 3. Teluk Bengkoang, Sawo (NIAS03)
Pada lokasi Teluk Bengkuang (NIAS03) (Gambar 50) tercatat tujuh jenis lamun
(mixed vegetation) yaitu, Halodule pinifolia, Cymodocea rotundata, C. serrulata,
Syringodium isoetifolium, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis
(Tabel 13). Tabel 14 menunjukkan bahwa rata-rata tutupan lamunnya adalah 67,03% yang
didominasi oleh Enhalus acorooides dengan substrat lumpur berpasir dan pasir.. Hal ini
berarti kategori tutupannya adalah padat, sedangkan kondisi padang lamunnya adalah
sehat/kaya.
Gambar 50. Lokasi Teluk Bengkoang, Sawo (kiri) dan Thalasia hemprichii (kanan).
Stasiun 4. Tanjung Furedowi (NIAS04)
Pada lokasi Tanjung Foredowi, Sawo (Gambar 51) tercatat tercatat enam jenis lamun
(mixed vegetation) yaitu, Halodule pinifolia, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, C.
serrulata, Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis. Hasil pengamatan menunjukkan rata-
rata tutupan lamunnya adalah 64,22% yang didominasi oleh Thalassia hemprichii dengan
substrat pasir-pecahan karang mati. Hal ini berarti kategori tutupannya adalah padat,
sedangkan kondisi padang lamunnya adalah sehat/kaya (Rahmawati dkk., 2015; KMLH,
2004).
91
Gambar 51. Lokasi Tanjung Furedowi, Sawo (kiri), Thalassia hemprichii (kanan).
Stasiun 5. Teluk Bengkoang (1), Sawo (NIAS05)
Pada lokasi Teluk Bengkuang (1) (NIAS05) (Gambar 52) tercatat enam jenis lamun
(mixed vegetation) yaitu, Halodule pinifolia, Cymodocea rotundata, C. serrulata,
Syringodium isoetifolium, Enhalus acoroides, dan Thalassia hemprichii (Tabel 13). Tabel
14 menunjukkan bahwa rata-rata tutupan lamunnya adalah 69,32% yang didominasi oleh
Cymodocea rotundata dengan substrat lumpur berpasir dan pasir.. Hal ini berarti kategori
tutupannya adalah padat, sedangkan kondisi padang lamunnya adalah sehat/kaya.
Gambar 52. Lokasi Teluk Bengkoang (1), Sawo (kiri) dan Cymodocea rotundata
sebagai jenis dominan (kanan).
Stasiun 6. Tanjung Furedowi (NIAS06)
Pada lokasi Tanjung Foredowi (1), Sawo (Gambar 53) tercatat tercatat tujuh jenis
lamun (mixed vegetation) yaitu, Halodule pinifolia, Halodule uninervis, Cymodocea
rotundata, C. serrulata, Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprichii dan Halophila
ovalis. Hasil pengamatan menunjukkan rata-rata tutupan lamunnya adalah 38,27% yang
92
didominasi oleh Thalassia hemprichii dengan substrat pasir-pecahan karang mati. Hal ini
berarti kategori tutupannya adalah cukup padat, sedangkan kondisi padang lamunnya adalah
kurang sehat/kaya (Rahmawati dkk., 2015; KMLH, 2004).
Gambar 53. Lokasi Tanjung Furedowi (1), Sawo (kiri), Thalassia hemprichii (kanan).
Stasiun 7. Sihene’ Asi, Lahewa (NIAS07)
Pada lokasi Sihene’ Asi, Lahewa (NIAS07) (Gambar 54) tercatat hanya satu jenis
lamun yaitu Cymodocea rotundata (Tabel 13). Tabel 14 menunjukkan bahwa tutupan lamun
di Stasiun NIAS07 adalah rata-rata 31,25% yang didominasi oleh Cymodocea rotundata
dengan substrat lumpur berpasir. Hal ini berarti kategori tutupannya adalah kurang padat,
sedangkan kondisi padang lamunnya adalah kurang sehat/kurang kaya.
Gambar 54. Sihene’ Asi, Lahewa (atas), Cymodocea rotundata (kanan).
Stasiun 8. Pantai Ionene, Sisarahili, Sawo (NIAS09)
Pada lokasi Pantai Ionene, Sisarahili, Sawo (NIAS08) (Gambar 55) tercatat tiga
jenis lamun yaitu, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata dan Halophila ovalis (Tabel
13). Tabel 14 menunjukkan bahwa rata-rata tutupan lamunnya adalah 37,69 % yang
didominasi oleh Cymodocea rotundata dan Cymodocea serrulata dengan substrat lumpur
93
berpasir. Hal ini berarti kategori tutupannya adalah kurang padat, sedangkan kondisi padang
lamunnya adalah kurang sehat/kaya (Rahmawati dkk., 2015; KMLH, 2004).
Gambar 55. Lokasi Pantai Ionene, Sisarahili, Sawo (kiri). Cymodocea serrulata dan
Cymodocea rotundata (kanan).
Tabel 14. Tutupan dan dominansi jenis lamun di perairan KKPD Kabupaten Nias Utara
pada setiap stasiun pengamatan, tahun 2017 (t2)
Stasiun Tutupan (%) Dominansi
1. Muara Tali Wa’a, Lahewa (NIAS01) 53,32 Cymodocea rotundata
2. Goso Baohi, Lahewa (NIAS02 21,20 Cymodocea serrualata
2. Teluk Bengkoang, Sawo (NIAS03) 67,03 Enhalus acoroides
4. Tanjung Furedowi (NIAS04) 64,22 Thalassia hemprichii
5. Teluk Bengkoang (1), Sawo (NIAS05) 69,32 Cymodocea rotundata
6. Tanjung Furedowi (1), Sawo (NIAS06) 38,27 Thalassia hemprichii
7. Shiene’ Asi, Lahewa (NIAS07) 31,25 Cymodopcea rotundata
8. Pantai Ionene, Sisarahili, Sawo (NIAS08) 37,69 C. rotundata dan C. serrulata
Rata-rata 49,04
Stdev 14,78
94
Gambar 56. Histogram tutupan lamun di perairan Nias Utara, tahun 2015, 2016 dan 2017
Stasiun Penelitian:
Pada pemilihan/penentuan Stasiun Pengamatan di tahun 2015 (t0) dan tahun 2016 (t1)
telah ditentukan empat stasiun yaitu, 1. Muara Tali Wa’a, Lahewa (NIAS01), 2. Goso Baohi,
Lahewa (NIAS02), 3. Teluk Bengkoang, Sawo (NIAS03), 4. Tanjung Furedowi, Sawo
(NIAS04). Sedangkan pada pengamatan tahun 2017 (t2) ada penambahan empat stasiun
yaitu; 1. Teluk Bengkoang (1), Sawo (NIAS05), 2. Tajung Furedowi (1),Sawo (NIAS06), 3.
Sihene’ Asi (NIAS07) dan 4. Pantai Ionene, Sisarahili, Sawo (NIAS08), sehingga pada tahun2017 terdapat delapan stasiun pengamatan (Tabel 14).
Keanekaragaman jenis lamun
Dari Tabel 13 menunjukkan bahwa keragaman jenis lamun pada stasiun/lokasi
pemantauan di perairan Nias Utara ditemukan delapan jenis lamun yaitu Halodule pinifolia,
Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Syringodium isoetifolim,
Enhalus acoroides, Thahassia hemprichii dan Halophila ovalis. Distribusi dan komposisi
jenis lamun relatif sama.
Pada Stasiun NIAS01 (Muara Tali Wa’a, Lahewa) tercatat lima jenis yaitu Halodule
pinifolia,, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Thahassia hemprichii dan Halophila
ovalis. Pada Stasiun NIAS02 (Goso Baohi, Lahewa) tercatat lima jenis yaitu Halodule
60,1
9 75,4
2
81,2
5
67,5
5
53,3
3
58,3
3
47,9
2 66,4
8
53,3
2
21,2
67,0
3
64,2
2
69,3
2
38,2
7
31,2
5 37,6
9
0102030405060708090
2015 2016 2017
95
pinifolia,, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Syringodium isoetifolium dan
Thahassia hemprichii. Pada NIAS03 (Teluk Bengkoang, Sawo) tercatat tujuh jenis yaitu
Halodule pinifolia, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Syringodium isoetifolim,
Enhalus acoroides, Thahassia hemprichii dan Halophila ovalis. Pada Stasiun NIAS04
(Tanjung Furedewi, Sawo) tercatat enam jenis yaitu Halodule pinifolia, Halodule uninervis,
Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Thahassia hemprichii dan Halophila ovalis.
Hal ini berarti pada Stasiun NIAS02 (Goso Baohi, Lahewa) ada penambahan satu jenis yaitu
Syringodium isoetifolium dan Stasiun NIAS04 (Tanjung Furedewi, Sawo) ada penambahan
satu jenis yaitu Halodule uninervis. Dalam pengamatan kali ini (tahun 2017) terdapat
penambahan empat stasiun yaitu Stasiun NIAS05 (Teluk Bengkoang (01), Sawo), NIAS06
(Tanjung Furedowi (1), Sawo), NIAS07 (Shihene’ Asi) dan NIAS08 (Pantai Ionene,
Sisarahili, sawo). Pada Stasiun NIAS05 ditemukan enam jenis lamun (mixed vegetation)
yaitu, Halodule pinifolia, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Syringodium isoetifolium,
Enhalus acoroides, dan Thalassia hemprichii (Tabel 13). Pada Stasiun NIAS06 tercatat
tujuh jenis lamun (mixed vegetation) yaitu, Halodule pinifolia, Halodule uninervis,
Cymodocea rotundata, C. serrulata, Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprichii dan
Halophila ovalis. Pada Stasiun NIAS07 ditemukan hanya satu jenis lamun yaitu Cymodocea
rotundata (Tabel 13). Sedangkan pada Stasiun NIAS08 tercatat tiga jenis lamun yaitu,
Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata dan Halophila ovalis (Tabel 13)
Dari hasil pemantauan di lapangan pada tahun 2017, keragaman jenis lamun
kemungkinan akan bertambah pada pengamatan tahun 2018 (t3). Hal ini dikarenakan
pengamatan pada Stasiun-stasiun pemantauan hanya sebagian atau tidak semua lokasi pesisir
dan pulau yang diamati.
Tutupan Lamun
Dari Tabel 3 menunjukkan bahwa tutupan lamun berkisar antara 21,20% - 69,32%
dengan rata-rata 49,04+14,78%. Tutupan terkecil di stasiun Goso Baohi (NIAS02) dan
tutupan terbesar di stasiun Teluk Bengkoang (1) (NIAS05). Hasil monitoring ini menunjukan
bahwa terjadi penurunan pada Stasiun NIAS02, hal ini dikarenakan pada sebagian padang
lamun tidak ditemukan lamun yang mungkin diakibatkan adanya sedimentasi yang cukup
tinggi. Tetapi pada Stasiun NIAS03 terjadi peningkatan tutupan, hal ini dimungkinkan
pertumbuhan lamun yang cukup baik dikarenakan lingkungan yang mendukung. Hasil
monotoring pada Stasiun-stasiun NIAS01, NIAS02, NIAS03 dan NIAS04 pada tahun 2015,
2016 dan 2017 dapat dilihat pada Gambar 10, Tabel 15 dan Tabel 16
Tabel 15. Tutupan dan dominansi jenis lamun di perairan Kabupaten Nias Utara
96
pada setiap stasiun pengamatan, tahun 2015 (t0)
Stasiun Tutupan (%) Dominansi
1. Muara Tali Wa’a, Lahewa (NIALM01) 60,19 Halodule uninervis
2. Goso Baohi, Lahewa (NIALM02) 75,42 Cymodocea serrulata
3.Teluk Bengkoang, Sawo (NIALM03) 81,25 C. rotundata,
4. Tanjung Furedowi (NIALM04) 67.55 Cymodocea rotundata
Rata-rata 71,10
Stdev 24,95
Tabel 16. Tutupan dan dominansi jenis lamun di perairan Kabupaten Nias Utara
pada setiap stasiun pengamatan, tahun 2016 (t1)
Stasiun Tutupan (%) Dominansi
1. Muara Tali Wa’a, Lahewa (NIALM01) 53,33 Halodule pinifolia
2. Goso Baohi, Lahewa (NIALM02) 58,33 Cymodocea serrualata
3.Teluk Bengkoang, Sawo (NIALM03) 47,92 C. rotundata
4. Tanjung Furedowi (NIALM04) 66,48 T. hemprichii
Rata-rata 56,50
Stdev 14,74
Hasil pengamatan kondisi padang lamun tahun 2017 (t2) dibandingkan dengan hasil
pengamatan tahun 2016 (t1) (Siringoringo dkk., 2016), terjadi kenaikan pada Stasiun
(NIAS03), Teluk Bengkoang, tetapi juga terjadi penurunan tutupan pada Stasiun (NIAS02) ,
Goso Baohi. Pengamatan monitoring tahun 2017 (t2) secara keseluruhan, baik maupun
kategori tutupan maupun status kondisi padang lamun, relatif sama kecuali pada Stasiun
NIAS02 dan NIAS03 (Tabel 14, Tabel 15, Tabel 16 dan Gambar 52).
97
Secara keseluruhan hasil pengamatan monitoring di perairan Kabupaten Nias Utara
adalah ditemukan delapan jenis lamun yaitu Halodule pinifolia, Halodule uninervis,
Cymodocea rotundata, C. serrulata, Syringodium isoetifolim, Enhalus acoroides, Thahassia
hemprichii dan Halophila ovalis (Tabel 2). Sedangkan tutupan lamun adalah rata-rata
49,04+14,78%. Secara keseluruhan di perairan Nias Utara, dominasi jenis lamun adalah jenis
Cymoodcea rotundata yang ditemukan merata di semua stasiun pengamatan.
Teripang
Teripang termasuk dalam Filum Echinodermata, Kelas Holothuria, OrdoHolothuroidea. Teripang adalah salah satu anggota hewan berkulit duri (Echinodermata).Duri pada teripang sebenarnya merupakan rangka atau skelet yang tersusun dari zat kapurdan terdapat didalam kulitnya. Habitat teripang tersebar luas di lingkungan perairan diseluruh dunia, mulai dari zona pasang surut sampai laut dalam terutama di Samudra Hindiadan Samudra Pasifik Barat. Beberapa diantaranya lebih menyukai perairan dengan dasarberbatu karang, yang lainnya menyukai rumput laut atau dalam liang pasir dan lumpur. Jenisteripang yang termasuk dalam Holothuria, Scitopus dan Muelleria memiliki habitat berada didasar berpasir halus, terletak di antara terumbu karang, dan dipengaruhi oleh pasang surut airlaut (Pawson, 1982., Elfidasari, 2012., dan Darsono, 2005)
Teripang berperan penting dalam ekosistem perairan karena berfungsi sebagaikomponen utama dalam rantai makanan, terutama ekosistem terumbu karang danasosisasinya pada berbagai tingkat struktur pakan. Peran utama Teripang adalah sebagaipemakan deposit (deposit feeder) dan pemakan suspensi (suspensi feeder) (Bakus, 1973).Selain berperan sebagai komponen utama dalam rantai makanan di ekosistem, Teripang jugadigunakan manusia sebagai bahan makanan dan obat tradisional serta bahan riset komposisibioaktif pada farmakologi modern hingga akhirnya mendorong perdagangan teripang baikskala lokal maupun internasional.
Tingginya permintaan dan tidak adanya regulasi masalah teripang mengakibatkanadanya indikasi ekploitasi teripang berlebihan. Indikasi ini diperkuat dengan adanyaperbedaan harga yang signifikan antara jenis yang satu dengan jenis yang lain yangdijelaskan oleh pengepul karena adanya permintaan yang tinggi terhadap suatu jenis teripangtertentu. Untuk itu diperlukan kajian stok teripang dilapangan untuk melihat distribusiteripang saat ini, jumlah populasi serta tipe habitat di alam.
Dari pengamatan di lapangan, dapat disimpulkan pada saat pengamatan teripang yang
ditemukan dominan berukuran kecil dan jumlah sangat sedikit baik populasi maupun jenis
(Tabel 17). Total didapat 37 ekor teripang dari 6 jenis dan 3 genus dari 4 stasiun pengamatan
di sekitar Pulau Nias Utara (Tabel 18). Terdapat 6 jenis teripang yang berasal dari 3 genus,
yaitu Bohadschia, Holothuria dan Stichopus.
98
No StasiunKoordinat
Nama Lokasi Tipe Substrat JumlahTeripangBujur Lintang
1 Teripang 1 97.4250829 1.51024 Pantai Walu Pasir danBatuan 11
2 Teripang 2 97.1669188 1.424453 Pulau Gosong Bohi Pasir 03 Teripang 3 97.2287705 1.412396 Muara sungai Lululele Pasir 0
4 Teripang 4 97.4165699 1.521359 Pantai Walu, Seribau,Turedobi
Pasir danBatuan 26
Tabel 17. Stasiun pengamatan dan jumlah teripang yang ditemukan
Tabel 18. Jenis teripang dan jumlah yang ditemukan.
No Jenis Teripang Jumlah1 Bohadschia marmorata 12 Holothuria atra 323 Holothuria fuscocinerea 14 Holothuria fuscogilva 15 Holothuria Leucospilota 16 Stichopus hermanni 1
99
BAB 4KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan kegiatan monitoring yang dilaksanakan di perairan Kabupaten Nias Utara pada
tahun 2017, diperoleh beberapa kesimpulan yaitu:
1. Persentase tutupan karang hidup mengalami penurunan sebesar 2,49% dari tahun
2016 ke 2017. Pada tahun 2016 tutupan karang sebesar 13,82% dan pada tahun 2017
tutupan karang sebesar 11,33%. Dengan demikian kondisi karang dikategorikan
rusak.
2. Penurunan persentase tutupan karang juga diikuti dengan penurunan jumlah jenis
karang yang mana karang karang tertentu yang memiliki daya tahan yang kuat yang
masih mampu bertahan.
3. Komunitas ikan terumbu karang di Nias Utara meningkat keanekaragaman jenisnya,
untuk ikan indikator kepadatannya relatif stabil atau tidak mengalami perubahan,
sedangkan kepadatan ikan target per hektar relatif stabil atau hanya mengalami sedikit
penurunan, dan untuk biomassa ikan target per hektar mengalami penurunan, untuk
ikan karnivor biomassa per hektar menurun sedangkan ikan herbivor naik
4. Megabenthos yang bernilai ekonomis masih dapat ditemukan, walaupun dengan
kepadatan rendah. Megabenthos yang bernilai ekologis sebagai indikator lingkungan
ditemukan dalam jumlah yang cukup besar sehingga patut dipantau. Tingginya
populasi bintang laut bermahkota duri Acanthaster planci sebagai pemangsa polip
karang di luar transek pada beberapa stasiun perlu mendapatkan perhatian karena
berpotensi menimbulkan kerusakan terumbu karang
5. Kondisi kesehatan komunitas mangrove di Kabupaten Nias Utara termasuk dalam
kategori yang cukup baik dengan persentase tutupan komunitas rata-rata, sebesar
64,5±4,0%, dengan rentang 32,4±7,1% (Desa Sawo) sampai 95,5±0,5% (Desa
Sisarahili). Kerapatan komunitas mangrove cukup tinggi, yaitu 2.533±260 pohon/ha
dengan rata-rata ukuran diameter batang sebesar 9,8±1,6 cm. Jenis R. apiculata
mendominasi dalam kawasan dengan kodominansi oleh S. alba dan R. mucronata.
Tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada nilai persentase tutupan kanopi
mangrove Kabupaten Nias Utara tahun 2014-2017.
100
6. Keragaman (diversitas) jenis lamun di perairan Kabupaten Nias Utara ada delapan
jenis yaitu; Halodule pinifolia, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, C.
serrulata, Syringodium isoetifolim, Enhalus acoroides, Thahassia hemprichii dan
Halophila ovalis. Sedangkan komposisi dan distribusi jenis lamun dari masing-
masing stasiun pengamatan bervariasi yang didominasi oleh jenis Halodule
Cymodocea rotundata, C. serrulata, Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii.
Berdasarkan tutupan, maka kondisi padang lamun di perairan Kabupaten Nias Utara
dapat dikatakan kurang kaya/kurang sehat dengan tutupan rata-rata 49,04+14,78%
101
DAFTAR PUSTAKA
Abrar, M. (Ed). 2015. Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait DiAman Wisata Perairan (TWP) Selat Bunga Laut, Kabupaten Kepulauan Mentawai,Sumatera Barat 2015. COREMAP CTI – LIPI, Jakarta, 73 Hal.
Adrim, M. dan Hutomo, M. 1989. Species Composition, Distribution And Abundance OfChaetodontidae Along Reef Transect In The Flores Sea. Nederland Journal Of SeaResearch, 23 (2), 85-93.
Allen, G. R. dan Erdmann, M. V. 2012. Reef Fishes Of The East Indies. Univ Of HawaiiPress. 1292 Pp.
Allen, G.R., Steene, R., Humann, P. dan Deloach, N. 2009. Reef Fish Identification, TropicalPacific. New World Publications, Inc. El Cajon CA. 480 Pp.
Anonimous. 2007. Terumbu Karang Nias Akan Musnah. Http://Niasbarat.Wordpress.Com/2007/08/27/ Terumbu-Karang- Nias-Akan-Musnah/
Anonimous. 2010. Monitoring Herbivora. Http://Www.Reefresilience.Org/ Toolkit_Coral/C6cc2_Monitor Herbivory.Html
Badrudin, Aisyah dan Wiadnyana. N.N. 2010. Indeks Kelimpahan Stok Dan TingkatPemanfaatan Sumberdaya Ikan Demersal Di WPP Laut Jawa. Laporan Akhir. ProgramInsentif PKPP Ristek. 71 Hal.
Barnes, R.D dan E.C. Rupert. 1994. Invertebrate Zoology. Sixth Edition, Sounders CollegePublishing, USA, Pp. 344-377
COREMAP-LIPI. 2014. Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Kabupaten Nias (LahewaDan Sawo). COREMAP-CRITC-LIPI, Jakarta. 66 Hal.
COREMAP-LIPI. 2015. Nias Utara : Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan EkosistemTerkait 2015. COREMAP-CRITC-LIPI. Jakarta, 59 Hal.
Den Hartog, C. dan J. Kuo 2006. Taxonomy And Biogeography Of Seagrasses. In:Seagrasses: Biology, Ecology And Conservation (W.D. Larkum, R.J.Orth And C.M.Duarte, Eds.) Springer, Nedherlands, Pp.1-23
Dharmawan, I.W.E. 2014. Template50_10x10. Pusat Penelitian Oseanografi. Jakarta.
Dharmawan, I.W.E. dan Pramudji. 2014. Panduan Monitoring Kesehatan KomunitasMangrove. COREMAP-CTI, P2O LIPI. Jakarta.
D. L. Pawson, Holothuroidea, In: Parker, S. P., ed. Synopsis and Classification of LivingOrganisms. McGraw-Hill, New York, p.813-818, 1982
Elfidasari, Di., Noriko, N., Wulandari, W., dan Perdana, A. T. 2012. Identifikasi JenisTeripang Genus Holothuria Asal Perairan Sekitar Kepulauan Seribu BerdasarkanPerbedaan Morfologi. Al-Azhar Indonesia Seri Sains dan Teknologi. Jakarta. 7 pp.
102
Edrus, I.N. dan Syam, A.R. 1998. Sebaran Ikan Hias Suku Chaetodontidae Di PerairanKarang Pulau Ambon Dan Peranannya Dalam Penentuan Kondisi Terumbu Karang.Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. IV, No.3.
English, S., Wilkinson, C. dan Baker, V.1994. Survey Manual For Tropical MarineResources. Australian Institute Of Marine Science, Townsville. Australia.
Feary, D.A., Mccormick, M.I. dan Jones, G.P. 2009. Growth Of Reef Fishes In Response ToLive Coral Cover. Jour. Of Experimental Mar. Bio. And Ecol. DOI:10.1016/J.Jember.2009.03.002. 5 Pp.
Fonseca, M.S. 1987. The Management Of Seagrass System. Trop,Coast,Area.Manag.ICLARM. Newsletter 2 (2): 5-7.
Froese, R. dan Pauly, D.. Editors. 2014. Fishbase. World Wide Web Electronic Publication.Www.Fishbase.Org, Version (04/2014).
G.J. Bakus, In: Q.A. Jones, R. Endean (Eds.) Biology and Geology of Coral Reefs, vol. II,Academic Press, New York, p.247, 1973.
Giesen, W., S. Wulfraat, M. Zieren dan L. Scholten. 2009. Mangrove Guidebook ForSoutheast Asia. FAO Regional Office For Asia And The Pacific, Maliwan Mansion,Phra Atit Road, Bangkok 10200, Thailand. 769 Hal.
Giyanto, Winardi, Edi. K., Edward, K., Soeroyo, Anna, E.W.M., Sasanti, R.S., dan Raden, S.2006. Studi Baseline Ekologi Nias. Coral Reef Information And Training Center(CRITC) Coral Rehabilitation And Management Programe (COREMAP) LIPI. Jakarta.92 Hal.
Giyanto. 2012a. Kajian Tentang Panjang Transek Dan Jarak Antar Pemotretan PadaPenggunaan Metode Transek Foto Bawah Air. Oseanologi Dan Limnologi Di Indonesia38 (1): pp. 1-18.
Giyanto. 2012b. Penilaian Kondisi Terumbu Karang Dengan Metode Transek Foto BawahAir. Oseanologi Dan Limnologi Di Indonesia 38 (3):377-389.
Giyanto; B.H. Iskandar; D. Soedharma dan Suharsono. 2010. Effisiensi Dan Akurasi PadaProses Analisis Foto Bawah Air Untuk Menilai Kondisi Terumbu Karang. OseanologiDan Limnologi Di Indonesia 36 (1): pp. 111-130.
Gomez, E.D. dan Yap, H.T.. 1988. Monitoring Reef Condition. In: Coral Reef ManagementHandbook. R.A. Kenchingt6on And B.E.T. Hudson (Eds). Unesco Publisher, Jakarta,171 Hal.
Green, A.L. dan Bellwood, D.R. 2009. Monitoring Functional Groups Of Herbivorous ReefFishes As Indicators Of Coral Reef Resilience – A Practical Guide For Coral ReefManagers In The Asia Pacific Region. IUCN Working Group On Climate Change AndCoral Reefs. IUCN, Gland, Switzerland. 70 Hal.
103
Gutiérrez, J.L., C.G. Jones,. D.L. Strayer., dan O.O. Iribarne, 2003. Mollusks As EcosystemEngineers: The Role Of Shell Production In Aquatic Habitats. Oikos 101, pp. 79-90.
Hodgson, Gregor., J. Hill., W. Kiene., L. Maun., J. Mihaly., J. Lieber., C. Shuman dan R.Torres. 2006. Intruction Manual: A Guide To Reef Check Coral Reef Monitoring.Reefcheck Foundation: pp. 16-20
Kementerian Lingkungan Hidup (KMLH) 2004. Kepmen. No. 200 Tahun 2004 TentangKriteria Baku Kerusakan Dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun, 16 Hal
Keppel, T.L. dan M. Abrar. 2013. Kondisi Terumbu Karang Di Kabupaten Nias DanKabupaten Simeulue Pasca Satu Tahun Mega Tsunami 2004. Jurnal Segara 9 (1): pp.13-21.
KKJI. 2007. Basis Data Kawasan Konservasi Nias. Http:// Kkji.Kp3k.Kkp.Go.Id/Index.Php/Basisdata-Kawasan-Konservasi/Details/1/29.
Kohler, K.E; M. Gill. 2006. Coral Point Count With Excel Extensions (Cpce): A Visual BasicProgram For The Determination Of Coral And Substrate Coverage Using RandomPoint Count Methodology. Comput Geosci 32(9): pp. 1259-1269.
Kuo, J. dan A.J. Mccomb 1989. Seagrass Taxonomy, Structure And Development. In:A.W.D. Larkum, A.J. Comb And S.A. Shephered (Eds). Biology Of Seagrasses : ATreatise On The Biology Of Seagrasses With Special Reference To Australian Region.Elsier, Amsterdam, pp. 6-73.
Lieske, E. dan Myers, R. 1997. Reef Fishes Of The World. Periplus Edition. Jakarta,Indonesia.
Loya, Y. 1978. Plotless And Transect Methods, In: Stoddard, D.R., And R.E. Johannes,Coral Reef Research Methods, Paris (UNESCO): pp. 22–32.
Masuda, H., Amaoka, K., Araga, C., Uyano, T. dan Yoshino, T.. 1984. The Fishes Of TheJapan Archipelago. Tokai, Japan, Tokai University Press, 2 Vol. 435 Hal.
Nash, S.V. 1981. Reef Diversity Index Survey Method For Non Sspecialist. Tropical CoastalArea Management Vol. 4 (3): pp. 14 – 17.
Nienhuis, P.H.. J. Coosen dan W. Kiswara 1989. Community Structure And BiomassDistribution Of Seagrass And Macrofauna In The Flores Sea, Indonesia. Net.J.Sci.Res.23 (2): pp. 192-214.
Noor, Y.R., M. Khazali dan I.N.N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove DiIndonesia. Bogor: PHKA/Wi-IP.
Obura, D dan Grimsditch. G. 2009. Resilience Assessment Of Coral Reefs Rapid AssessmentProtocol For Coral Reefs, Focusing On Coral Bleaching And Thermal Stress. IUCNResilience Science Group Working Paper Series – No 5, Gland, Switzerland. 71 Hal.
104
Omori, Makoto dan Shuichi Fujiwara. 2004. Manual For Restoration And Remediation OfCoral Reef. Nature Conservation Bureau. Ministry Of The Environment. Japan
Phillips, R. C. dan E.G. Menez 1988. Seagrasses. Smitthsonian Inst. Press., Washington, 104Hal.
P. Darsono. Teripang (Holothurians) Perlu Dilindungi. Bidang Sumberdaya Laut, PuslitOseanografi – LIPI. Jakarta, 2005.
PRWLSDNH. 2006. Pengkajian Kondisi Ekologi Dengan RRA Nias-Simeulue. LaporanKerjasama Antara Satker Rehabilitasi Dan Pengelolaan Terumbu Karang. DirektoratJendral Kelautan Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan Dan Perikanan
Rahmawati, S., H. Hindarto, M.H. Azkab dan W. Kiswara. 2015. Panduan MonitoringPadang Lamun. COREMAP CTI – LIPI, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta, 34Hal.
Reese, E. 1981. “Predation On Corals By Fishes Of The Family Chaetodontidae: ImplicationFor Conservation And Management Of Coral Reef Ecosystem”. Bulletin Of MarineScience 31 (3): pp 594-604.
Salm, R.V. 1984. Marine And Coastal Protected Areas: A Guide For Planners AndManagers: IUCN & Natural Resources Gland. Switzerland: 370 Hal.
Sano, M., Shimizu, M. dan Nose, Y. 1984. Changes In The Structure Of Coral Reef FishCommunities By Destruction Of Hermatypic Corals: Observation And ExperimentalViewns. Pasific Science 38, pp. 51-79.
Setiawan, F., Santoso, G., Handoyo, E.W., Setiyawati, T. dan Uyun, Y.S. 2013. KajianKeefektifan Zonasi Berdasarkan Komunitas Ikan Karang Di Taman Nasional Bunaken,Sulawesi Utara. Jurnal Ikan Karang Bunaken. Balai Taman Nasional Bunaken, 12 Hal.
Siringoringo, R.M. 2015. Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Dan Ekosistem Terkait DiKabupaten Nias Utara. Jakarta, Coremap CTI, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. 78Hal.
Soede, Pet, L., Leuna M. dan Batuna, A. 2006. Socio Economic Valuation Of DemersalFisheries In Bunaken National Park – A Site Study Report – April 2006. WWF-Indonesia. 21 Hal.
Soekendarsi E., Palinggi A., dan Santosa S. 1998. Stomach Content In Relation To ShellLength, Width And Weight Of The Gastropod Trochus Niloticus L. Proceedings OfThe Eighth Workshop Of The Tropical Marine Mollusc Programme (TMMP),Thailand, 18–28 August 1997. Part 1 18: pp. 73–76.
Suharsono. 2004. Jenis-Jenis Karang Yang Umum Dijumpai Di Perairan Indonesia. P3O-LIPI, Jakarta.
Sukarno. 1995. Metode Penelitian Terumbu Karang Dan Masalah Pengelolaannya DalamMateri Pendidikan Dan Pelatihan Metodologi Penelitian Penentuan Kondisi TerumbuKarang. P3O LIPI, Jakarta. pp. 75-79
105
Suwondo, E. Febrita. dan F. Sumanti. 2006. Struktur Komunitas Gastropoda Pada HutanMangrove Di Kepulauan Sipora Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat.Jurnal Biogenesis, Vol. 2(1): pp. 25-29.
Thayer, G.W., S.M. Adams dan M.W. La Croix 1975. Structural And Fluctuation Aspects OfA Recently Established Zostera Marina Community. Estuarine Res. 1 : pp. 518-540.
Thorhaug, A dan C.B. Austin 1986. Restoration Of Seagrass With Economic Analysis.Environ. Conserv. 3(4): pp. 259-267.
Wilson, J.R. dan Green, A.L. 2009. Metode Pemantauan Biologi Untuk Menilai KesehatanTerumbu Karang Dan Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Di Indonesia(Terjemahan). Versi 1.0. Laporan TNC Indonesia Marineprogram No 1/09. 46 Hal.
Vimono, I.B. 2007. Sekilas Mengenai Landak Laut. Oseana XXXII(3): pp. 15-21.
Woodhams, J. 2008. Torres Strait Hand Collection Fisheries, Fishery Status Reports: pp. 244-253.
106
LAMPIRAN
Lampiran 1. Posisi koordinat stasiun pengamatan terumbu karang, ikan karang danmegabentos di Kabupaten Nias Utara tahun 2017
No StasiunTitik 0 M Titik 50 M
AdministratifLintang Bujur Lintang Bujur
1 NIAC01 1,42241 97,17097 1,42281 97,17105 P. Baohi, Kel. Pasar Lahewa, Kec. Lahewa
2 NIAC02 1,50896 97,40574 1,50854 97,40540 Gosong Uge, Desa Sawo, Kec Sawo
3 NIAC03 1,51135 97,42550 1,51135 97,42550 Desa Teluk Bengkuang, Kec. Sawo
4 NIAC04 1,45743 97,24300 1,46179 97,20649 P. Panjang, Desa Muzoi, Kec. Lahewa
5 NIAC05 1,42448 97,21199 1,42406 97,21187 Pulau Lafau, Desa Siheneasi, Kec. Lahewa
6 NIAC06 1,41066 97,17752 1,41034 97,17727 Kel. Pasar Lahewa, Kec. Lahewa
7 NIAC07 1,43239 97,15135 1,43224 97,15089 Desa Balefadorotuho, Kec. Lahewa
8 NIAC08 1,43850 97,13581 1,43843 97,13524 Desa Balefadorotuho, Kec. Lahewa
9 NIAC09 1,45076 97,22963 1,45041 97,22991 P. Panjang, Desa Muzoi, Kec. Lahewa
10 NIAC10 1,46149 97,20650 1,46186 97,20646 Gosong Umang, Kel Pasar Lahewa, Kec. Lahewa
Lampiran 2. Posisi koordinat dan deskripsi tipe substrat pada stasiun pemantauan komunitasmangrove di Kabupaten Nias Utara
NO DESA STASIUN.PLOTKOORDINAT
TIPE SUBSTRATTAHUNDIBUAT
/PEMBUATLU BT
1 Lasara Sawo NISM01 1.50739 97.38348 Lumpur 2017/LIPI*
NUDM02 1.50345 97.38628 Lumpur berpasir 2015/DKP
2 Lahewa NISM03 1.40320 97.17755 Pasir berbatu 2014/LIPI
/Ombolata NUDM03 1.42410 97.16190 Pasir berlumpur 2015/DKP
NISM04 1.40526 97.18494 Lumpur berpasir 2017/LIPI*
3 Sisarahili NUDM01 1.51497 97.37437 Pasir 2015/DKP
NISM02.02 1.51290 97.37534 Pasir Lumpur 2014/LIPI
NISM02.03 1.51267 97.37511 Pasir Lumpur 2014/LIPI
NISM02.04 1.51249 97.37502 Pasir Lumpur 2014/LIPI
NISM05 1.51192 97.37885 Lumpur berpasir 2017/LIPI*
4 Sawo NISM02.01 1.50174 97.39175 Pasir Lumpur 2014/LIPI
107
Lampiran 3. Posisi koordinat stasiun pemantauan lamun di Kabupaten Nias Utara
No Stasiun Lokasi Bujur Lintang SubstratNIAS01 Muara tali Wa’a, Lahewa 97.22893 1.41237 Pasir, berlumpurNIAS02 Goso Baohi, Lahewa 97.16679 1.42469 Pasir kasarNIAS03 Teluk Bengkoang, Sawo 97.42547 1.51023 Pasir halus-kasarNIAS04 Tanjung Furodewi, Sawo 97.41666 1.52138 Pasir, pecahan karangNIAS05 Teluk Bengkoang (1), Sawo 97.42411 1.51192 Lumpur, pasirNIAS06 Tanjung Furedowi (1), Sawo 97.41493 1.52231 Pasir, pecahan karangNIAS07 Sihene’ Asi, Lahewa 97.22591 1.41007 Pasir, lumpurNIAS08 Pantai Ionene, Sisarahili, Sawo 97.37616 1.51578 Lumpur, pasir
Lampiran 4. Persentase tutupan karang dan kategori bentik di Kabupaten Nias Utara tahun 2017
BIOTA dan SUBSTRAT NIAC01 NIAC02 NIAC03 NIAC04 NIAC05 NIAC06 NIAC07 NIAC08 NIAC09 NIAC10CORAL (HC) 12.73 14.93 7.13 17.20 13.20 16.00 4.13 1.93 12.40 13.60
- ACROPORA 0.00 0.00 0.00 0.53 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00- NON ACROPORA 12.73 14.93 7.13 16.67 13.20 16.00 4.13 1.93 12.40 13.60
RECENT DEAD CORAL (DC) 0.00 0.33 0.27 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.13 0.00DEAD CORAL WITH ALGAE(DCA) 50.87 52.87 52.60 38.47 65.80 29.27 59.27 63.20 37.87 35.73SOFT CORAL (SC) 0.00 0.00 0.53 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00SPONGE (SP) 12.20 1.60 0.27 3.53 3.80 4.93 0.13 1.67 3.40 5.73FLESHY SEAWEED (FS) 2.80 0.73 25.20 0.07 0.07 0.00 0.00 0.53 0.13 3.20OTHER FAUNA (OT) 10.80 1.20 2.93 0.27 15.33 0.47 2.60 2.20 1.60 0.20RUBBLE (R) 9.20 20.20 10.13 12.60 1.13 2.33 17.80 26.93 32.67 31.73SAND (S) 0.53 6.47 0.13 2.07 0.67 47.00 15.93 3.53 11.73 8.00SILT (SI) 0.87 1.67 0.80 25.80 0.00 0.00 0.13 0.00 0.07 1.80ROCK (RK) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00TOTAL) 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Lampiran 5. Sebaran jenis karang di Kabupaten Nias Utara 2017
STASIUN
NO TAXA NIAC01
NIAC02
NIAC03
NIAC04
NIAC05
NIAC06
NIAC07
NIAC08
NIAC09
NIAC10
I ACROPORIDAE
1 Acropora acuminta +
2 Acropora donei +
3 Acropora divaricata + +
4 Acropora formosa + + + + +
5 Acropora granulosa + + + +
6 Acropora humilis + + + + + +
108
7 Acropora loripes + + + + + + + + +
8 Acropora millepora + + +
9 Acropora monticulosa + + + +
10 Acropora nasuta + + + + + + +
11 Acropora valida +
12 Acropora selago + +
13 Acropora tenuis + + + + +
14 Acropora sp 1 + + + + + + +
15 Anacropora sp +
16 Montipora ampilata + + +
17 Montipora danae + + + + + +
18 Montipora digitata + + + +
19 Montipora informis + + + + + +
20 Montipora undata + + + +
21 Montipora sp 1 + + + + + + + +
22 Astreopora gracilis + + +
II AGARICIIDAE
23 Pachyseris rugosa + + + + + +
24 Pachyseris speciosa + + + +
25 Pavona varians + + + + + +
26 Pavona sp 1 + + + + + +
27 Coeloceris mayeri + + + + + +
28 Leptoseris tubulifera + + + +
29 Leptoseris scabra + +
30 Leptoseris sp 1 + + +
III FAVIIDAE
31 Barabattoia amicorum + + + + +
32 Caulastrea furcata +
33 Cyphastrea micropthalma + + + +
34 Cyphastrea chalcidicum + + + + + +
35 Cyphastrea serailia + + + + + +
36 Cyphastrea sp 1 + + +
37 Echinopora gemmacea + + + +
38 Echinopora lamellosa + + + +
39 Goniastrea edwardsi + + + + +
40 Goniastrea minuta + +
41 Goniastrea pectinata + + + + + + +
42 Goniastrea retiformis + + + + +
43 Platygyra concorta +
44 Platygira pini + + + +
45 Favites halicora + + +
46 Favites complanata +
47 Favites micropentagona + +
109
48 Favites pentagona + +
49 Favites stylifera + + +
50 Favites sp 1 + + + + + + + +
51 Favia speciosa + + + + +
52 Favia favus + + + +
53 Favia matthaii + + + +
54 Favia pallida + +
55 Favia stelligera +
56 Favia sp 1 + + +
57 Montastrea valenciennesi + + +
58 Montastrea curta + + +
59 Montastrea magnistellata + +
60 Leptastrea purpurea + + + +
61 Leptastrea pruinosa +
62 Leptasrea transversa + + + + +
63 Leptastrea sp 1 + +
64 Oulophyllia crispa + +
65 Diploastrea heliopora + +
66 Leptoria phrygia + +
IV FUNGIIDAE
67 Ctenactis crassa + + + + + + + + +
68 Ctenactis echinata + + + + +
69 Fungia consina + +
70 Fungia fungites + + + + + + +
71 Fungia granulosa + +
72 Fungia horrida +
73 Fungia paumotensis + + + + + + + +
74 Fungia scabra + +
75 Fungia scutaria + +
76 Fungia sruposa + + +
77 Fungia sp 1 + + +
78 Herpolitha limax + + + + +
79 Lithophyllon undulatum +
80 Lithophyllon sp 1 +
81 Podabacea crustacea + +
V MERULINIDAE
82 Hydnopora rigida + + + +
83 Hydnopora microconos + + + +
84 Merulina ampliata + + + + + + + +
85 Merulina scabricula +
VI POCILLOPORIDAE
86 Seriotopora hystrix + + +
110
87 Seriotopora sp 1 + +
88 Pocillopora verucosa + + + +
89 Pocillopora danae + + + +
90 Pocillopora meandrina + + + +
91 Pocillopora sp 1 +
VII PORITIDAE
92 Porites annae + + + +
93 Porites australiensis + + + +
94 Porites deformis +
95 Porithes lichen +
96 Porites lobata + + + + + + + + +
97 Porites lutea + + + + + + +
98 Porites cylindrica + + + +
99 Porites nigrescen + + + + + + +
100 Porites rus + + + + + + +
101 Porites lichen + + + +
102 Porites stephensoni + +
103 Porites solida + + + +
104 Porites vaughani +
105 Porites sp 1 + +
106 Goniopora colummna +
107 Goniopora minor + + +
108 Goniopora lobata + + + + +
VIII EUPHYLLIDAE
109 Physogyra lichtensteini + + +
IX MUSSIDAE
110 Achantastrea sp + + + +
111 Austrolomussa rowleyensis + + + +
112 Lobophyllia hemprichii + + +
113 Lobophyllia hattai +
114 Lobophyllia flabelliformis + +
115 Lobophyllia sp 1 + +
116 Symphyllia recta + + + + +
X OCULINIDAE
117 Galaxea fascicularis + + + + + + + + +
118 Galaxea astreata + + + +
119 Galaxea longisepta +
120 Galaxea criptoramosa +
XI PECTINIDAE
121 Pectinia paeonia + + + + +
111
122 Pectinia alcycornis + +
123 Pectinia teres + +
124 Pectinia sp 1 +
125 Echynophyllia aspera + +
126 Echynophyllia echinata +
127 Echynophylliaechinoporoides +
128 Oxypora lacera + + + +
129 Oxypora sp 1 +
XII SIDERASTERIIDAE
130 Psammocora digitata +
131 Psamocora contigua + + + +
132 Psamocora obtusangula +
133 Coscinarea columna +
XIII DENDROPHYLLIDAE
134 Turbinaria mesenterina + + + +
135 Turbinaria frodens + +
136 Turbinaria reniformis +
XIV HELIOPORIDAE
137 Heliopora courelea + +
Jumlah Spesies 48 61 19 56 66 51 50 63 44 23
Total Famili 14
Total Genus 46
Total spesies 137
112
Lampiran 6. Jenis dan jumlah individu ikan coralivora menurut tahun monitoring di prairankarang Kabupaten Nias Utara
No JENIS JUMLAH JENIS JUMLAH JENIS JUMLAH JENIS JUMLAH1 Chaetodon triangulum 57 Forcipger flavissimus 78 Chaetodon trifasciatus 72 Forcipger flavissimus 812 Forcipger flavissimus 40 Chaetodon trifasciatus 59 Forcipger flavissimus 49 Chaetodon trifasciatus 803 Chaetodon trifasciatus 36 Hemitaurichthys zoster 49 Heniochus pleurotaenia 34 Hemitaurichthys zoster 634 Hemitaurichthys zoster 24 Chaetodon triangulum 25 Chaetodon guttatissimus 21 Heniochus pleurotaenia 385 Chaetodon meyeri 20 Heniochus pleurotaenia 24 Chaetodon triangulum 21 Chaetodon triangulum 226 Chaetodon guttatissimus 19 Chaetodon guttatissimus 22 Hemitaurichthys zoster 19 Chaetodon vagabundus 227 Heniochus pleurotaenia 13 Chaetodon meyeri 22 Chaetodon meyeri 15 Chaetodon falcula 178 Chaetodon trifascialis 11 Chaetodon trifascialis 17 Chaetodon falcula 13 Chaetodon guttatissimus 179 Chaetodon vagabundus 9 Chaetodon lunula 17 Chaetodon vagabundus 12 Chaetodon meyeri 16
10 Chaetodon lunula 8 Chaetodon vagabundus 11 Heniochus singularis 9 Heniochus singularis 1211 Chaetodon ornatissimus 8 Heniochus singularis 10 Chaetodon rafflesi 7 Chaetodon lunula 812 Heniochus singularis 8 Chaetodon falcula 8 Chaetodon ornatissimus 4 Chaetodon rafflesi 613 Chaetodon falcula 6 Chaetodon rafflesi 6 Chaetodon lunula 3 Chaetodon ocellicaudus 414 Chaetodon bennetti 4 Chaetodon ornatissimus 3 Chaetodon auriga 315 Chaetodon rafflesi 3 Chaetodon bennetti 1 Chaetodon ornatissimus 316 Chaetodon auriga 2 Chaetodon klenii 1 Chaetodon oxycephalus 217 Chaetodon ocellicaudus 1 Chaetodon lineolatus 1 Hemitaurichthys polyepis 1
2014 2015 2016 2017
113
Lampiran 7. Hasil sensus visual ikan karang Herbivora di Perairan Karang Kabupaten NiasUtara 2017
No SUKU DAN JENIS Herbivor NIAC 01 NIAC 02 NIAC 03 NIAC 04 NIAC 05 NIAC 06 NIAC 07 NIAC 08 NIAC 09 NIAC 101 ACANTHURIDAE
1 Acanthurus auranticavus 4 2 0 0 4 3 1 3 1 02 Acanthurus lineatus 0 0 0 0 0 3 2 0 0 03 Acanthurus leucosternon 6 2 1 2 8 4 3 16 6 174 Acanthurus leucocheilius 0 0 0 0 0 1 4 0 0 05 Acanthurus mata 0 5 0 0 2 0 5 0 0 06 Acanthurus nigricans 0 0 0 0 0 0 6 2 0 07 Acanthurus thompsoni 0 0 0 0 5 0 7 4 2 08 Acanthurus tristis 7 20 17 7 20 12 8 14 18 109 Ctenochaetus binotatus 0 4 30 8 6 9 9 24 0 16
10 Ctenochaetus striatus 16 22 41 18 15 27 10 38 24 2411 Ctenochaetus cyanocheilus 0 0 0 0 2 0 11 0 0 012 Naso hexacanthus 0 4 0 2 4 1 12 7 2 213 Naso fageni 0 4 0 2 4 1 13 0 3 214 Naso lituratus/elegans 4 5 5 4 10 4 14 16 1 415 Naso thynnoides 0 0 0 0 0 0 15 0 0 216 Naso unicornmis 0 0 0 0 0 0 16 0 0 017 Zebrasoma scopas 15 11 8 4 15 6 17 14 13 1418 Zebrasoma desjardinii 0 0 1 2 0 0 18 3 2 0
2 SIGANIDAE19 Siganus guttatus 0 0 0 0 0 3 1 6 2 020 Siganus javus 0 0 0 0 0 6 1 0 0 021 Siganus magnificus 4 0 6 2 6 0 1 2 0 022 Siganus punctatus 0 0 2 0 0 1 1 2 0 023 Siganus puellus 0 0 0 0 0 0 1 0 0 024 Siganus virgatus 0 2 0 0 2 0 1 0 0 025 Siganus margaritiferus 0 0 2 0 0 0 1 0 0 0
3 SCARIDAE26 Cetoscarus bicolor 0 1 1 1 2 0 1 4 0 027 Chlorurus blekeeri 22 6 18 12 4 10 1 4 11 1028 Chlorurus microrhinos 0 0 1 0 0 1 1 0 0 029 Chlorurus sordidus 5 3 8 14 0 4 1 13 4 1030 Chlorurus troschelii 1 6 14 12 0 8 1 0 2 031 Scarus scaber 0 0 0 0 0 3 1 2 1 232 Scarus dimidiatus 2 2 0 0 2 1 1 4 2 233 Scarus gobban 25 0 0 4 10 28 1 14 37 1234 Scarus hypselopterus 1 5 0 0 21 5 1 4 17 835 Scarus niger 27 8 11 11 9 9 1 16 6 1136 Scarus oviceps 1 2 0 0 0 2 1 2 1 237 Scarus rubroviolaceous 0 0 1 2 0 0 1 2 4 038 Scarus schlegeli 0 3 0 3 1 3 1 0 2 039 Scarus tricolor 1 0 0 0 0 0 1 2 2 0
114
Lampiran 8. Komposisi menurut jumlah individu jenis herbivora yang tersensus selamamonitoring 2017
No Nama Jenis Ikan Herbivor Suku %
1 Chlorurus sordidus Scaridae 69,53
2 Naso lituratus/elegans Acanthuridae 39,35
3 Scarus tricolor Scaridae 38,76
4 Acanthurus auranticavus Acanthuridae 34,62
5 Acanthurus leucocheilius Acanthuridae 32,25
6 Acanthurus leucosternon Acanthuridae 31,36
7 Cetoscarus bicolor Scaridae 28,99
8 Naso fageni Acanthuridae 19,82
9 Scarus gobban Scaridae 19,23
10 Acanthurus lineatus Acanthuridae 18,34
11 Scarus scaber Scaridae 18,34
12 Acanthurus nigricans Acanthuridae 13,02
13 Chlorurus troschelii Scaridae 10,06
14 Naso hexacanthus Acanthuridae 8,58
15 Acanthurus thompsoni Acanthuridae 7,69
16 Scarus dimidiatus Scaridae 6,21
17 Chlorurus blekeeri Scaridae 5,33
18 Ctenochaetus striatus Acanthuridae 5,33
19 Zebrasoma desjardinii Acanthuridae 5,03
20 Siganus punctatus Siganidae 4,73
21 Siganus magnificus Siganidae 4,73
22 Chlorurus microrhinos Scaridae 3,85
115
23 Scarus hypselopterus Scaridae 3,85
24 Naso thynnoides Acanthuridae 3,55
25 Scarus niger Scaridae 3,55
26 Siganus virgatus Siganidae 3,25
27 Siganus margaritiferus Siganidae 2,96
28 Scarus oviceps Scaridae 2,96
29 Siganus javus Siganidae 2,66
30 Ctenochaetus binotatus Acanthuridae 2,37
31 Naso unicornmis Acanthuridae 2,07
32 Siganus puellus Siganidae 1,78
33 Ctenochaetus cyanocheilus Acanthuridae 1,78
34 Acanthurus mata Acanthuridae 1,48
35 Zebrasoma scopas Acanthuridae 1,48
36 Acanthurus tristis Acanthuridae 1,48
37 Scarus rubroviolaceous Scaridae 0,89
38 Siganus guttatus Siganidae 0,89
39 Scarus schlegeli Scaridae 0,30
116
Lampiran 9. Biomassa ikan herbivora menurut letak stasiun monitoring 2017
NIA
C 0
1
NIA
C 0
2
NIA
C 0
3
NIA
C 0
4
NIA
C 0
5
NIA
C 0
6
NIA
C 0
7
NIA
C 0
8
NIA
C 0
9
NIA
C 1
0
1 ACANTHURIDAE1 Acanthurus auranticavus 852,03 328,81 98,13 285,80 213,01 59,32 213,012 Acanthurus lineatus 153,663 Acanthurus leucosternon 152,32 63,73 51,31 63,73 420,64 368,11 762,30 594,97 152,32 805,494 Acanthurus leucocheilius 50,245 Acanthurus mata 165,60 519,186 Acanthurus nigricans 37,93 7,177 Acanthurus thompsoni 116,74 246,17 67,368 Acanthurus tristis 823,79 2288,51 1238,79 884,90 921,11 785,91 1063,68 1329,17 1293,77 961,069 Ctenochaetus binotatus 277,60 796,40 310,94 173,76 145,87 310,94 675,55 493,25
10 Ctenochaetus striatus 608,86 1576,22 1405,51 1112,17 513,82 1108,87 927,20 863,08 1464,25 791,1711 Ctenochaetus cyanocheilus 16,67 91,1512 Naso hexacanthus 158,34 79,17 634,73 39,58 325,92 533,09 207,17 79,1713 Naso fageni 178,04 89,02 718,64 44,51 89,02 206,03 89,0214 Naso lituratus/elegans 1550,04 580,75 1329,54 289,00 833,92 290,67 1275,51 1528,67 365,01 508,5015 Naso thynnoides 286,34 79,1716 Naso unicornmis 947,1717 Zebrasoma scopas 608,56 311,69 312,04 249,92 565,34 187,09 343,11 499,13 295,81 405,2318 Zebrasoma desjardinii 273,76 547,52 242,33 462,73 271,21
2 SIGANIDAE19 Siganus guttatus 124,71 1403,53 222,7220 Siganus javus 330,5021 Siganus magnificus 330,43 727,67 84,64 347,68 330,43 245,7922 Siganus punctatus 83,14 41,57 83,1423 Siganus puellus 0,00 94,2524 Siganus virgatus 84,64 84,6425 Siganus margaritiferus 245,79
3 SCARIDAE26 Cetoscarus bicolor 190,66 34,43 34,43 125,81 91,39 251,6327 Chlorurus blekeeri 867,06 761,30 1461,94 892,96 740,45 372,26 539,16 179,88 575,16 242,4528 Chlorurus microrhinos 130,05 50,1229 Chlorurus sordidus 425,50 510,33 110,61 881,07 241,03 640,04 439,41 80,53 286,1530 Chlorurus troschelii 338,46 936,07 943,50 778,93 536,55 536,5531 Scarus scaber 744,05 496,04 120,17 496,0432 Scarus dimidiatus 64,18 64,18 64,18 11,63 87,44 64,18 23,2533 Scarus gobban 1556,38 108,81 1372,31 1506,95 1079,64 1180,17 1807,43 326,4234 Scarus hypselopterus 119,76 449,22 1318,30 579,92 1046,23 479,04 1046,23 958,0835 Scarus niger 1467,02 439,94 563,35 976,72 576,22 976,55 307,48 819,22 727,06 624,0136 Scarus oviceps 219,01 438,01 614,14 219,01 438,01 219,01 438,0137 Scarus rubroviolaceous 104,98 79,09 79,09 438,01 289,0438 Scarus schlegeli 2284,18 553,45 116,27 258,09 1311,56 437,1939 Scarus tricolor 339,07 66,84 66,84 66,84
4 HAEMULIDAE40 Plectorhyncus chaetodontonoides 233,6041 Plectorhyncus vittatus 358,46 358,46 358,46
5 LETHRINIDAE42 Gnathodentex aureolineatus 695,17 30,52 80,73 948,1843 Lethrinus harak 100,27 34,8644 Lethrinus erythracanthus 26,2845 Lethrinus olivaceus 392,2946 Lethrinus ornatus 62,29 45,2047 Monotaxis grandoculus 442,00 119,05 24,61 131,35 392,13 24,61 1923,96 1012,13 285,39 131,35
6 LUTJANIDAE48 Aphareus furca 5,37 5,37 23,02 23,0249 Lutjanus biguttatus 1614,5350 Lutjanus bohar 9,05 39,95 9,05 177,89 166,15 39,95 108,1051 Lutjanus decussatus 139,58 38,98 306,03 354,49 201,19 217,54 139,58 197,5152 Lutjanus fulvus 86,57 346,2753 Lutjanus fulviflamma 19,30 683,2654 Lutjanus gibbus 0,00 514,21 426,4355 Lutjanus monostigma 338,96 179,42 1016,8756 Macolor macularis 80,06 30,26 220,63 30,2657 Macolor niger 7,09 74,69 44,43 30,26
7 SERRANIDAE58 Aethaloperca rogaa 81,00 240,07 65,69 189,69 81,81 15,31 30,62 240,07 131,3859 Anyperodon leucogrammicus 4,07 4,07 4,07 50,30 18,3460 Cephalopholis argus 73,04 228,06 214,87 99,94 99,94 26,90 228,06 619,20 53,7961 Cephalopholis boenack 34,23 284,53 134,56 76,43 90,92 31,88 15,94 379,5562 Cephalopholis cyanostigma 331,38 347,30 150,73 82,4263 Cephalopholis leopardus 15,26 30,52 40,36 15,2664 Cephalopholis microprion 20,16 83,17 51,67 30,24 149,11 10,0865 Cephalopholis spiloparaea 59,98 59,98 59,98 59,9866 Diploprion bifasciatum 143,18 66,51 53,94 66,5167 Epinephelus fasciatus 9,08 18,1668 Epinephelus merra 31,24 31,24 37,20 31,24 31,24 62,4869 Grcilla albomarginata 30,6570 Plectropomus maculatus 440,31 34,27 7,99 189,81 376,72 342,4571 Variola louti 7,36 32,80 32,80 627,51
Stasiun penelitian
Suku dan JenisNo
117
Tabel Lampiran 10. Hasil sensus visual ikan karang carnivora ekonomis penting di PerairanKarang Kabupaten Nias Utara 2017
No SUKU DAN JENIS Karnivor NIAC 01 NIAC 02 NIAC 03 NIAC 04 NIAC 05 NIAC 06 NIAC 07 NIAC 08 NIAC 09 NIAC 101 HAEMULIDAE
1 Plectorhyncus chaetodontonoides 0 0 1 0 0 0 1 0 0 02 Plectorhyncus vittatus 0 1 0 0 1 0 1 0 0 0
2 LETHRINIDAE3 Gnathodentex aureolineatus 0 0 0 0 4 2 1 14 0 04 Lethrinus harak 1 0 0 1 0 0 1 0 0 05 Lethrinus erythracanthus 0 1 0 0 0 0 1 0 0 06 Lethrinus olivaceus 1 0 0 0 0 0 1 0 0 07 Lethrinus ornatus 0 0 6 0 0 0 1 1 0 08 Monotaxis grandoculus 3 3 2 4 4 2 1 12 2 4
3 LUTJANIDAE9 Aphareus furca 2 1 0 0 0 1 1 0 1 0
10 Lutjanus biguttatus 0 0 12 0 0 0 1 0 0 011 Lutjanus bohar 1 1 0 1 0 0 1 4 1 112 Lutjanus decussatus 2 1 2 4 2 4 1 5 0 013 Lutjanus fulvus 0 0 0 2 0 0 1 8 0 014 Lutjanus fulviflamma 0 0 0 0 2 0 1 8 0 015 Lutjanus gibbus 0 0 0 0 0 0 1 18 0 016 Lutjanus monostigma 0 0 0 1 1 0 1 3 0 017 Macolor macularis 0 1 0 0 0 0 1 4 1 018 Macolor niger 0 0 1 0 4 0 1 1 0 0
7 SERRANIDAE19 Aethaloperca rogaa 2 2 1 2 2 1 1 0 2 220 Anyperodon leucogrammicus 1 0 0 1 1 0 1 1 0 021 Cephalopholis argus 1 2 4 2 2 1 1 7 0 222 Cephalopholis boenack 0 1 5 7 3 1 1 4 2 223 Cephalopholis cyanostigma 0 0 6 0 2 0 1 4 1 024 Cephalopholis leopardus 2 0 4 2 0 0 1 0 2 025 Cephalopholis microprion 2 2 2 3 2 1 1 0 0 026 Cephalopholis spiloparaea 1 0 0 1 0 0 1 1 0 127 Diploprion bifasciatum 0 1 2 0 1 2 1 0 0 028 Epinephelus fasciatus 1 0 2 0 0 0 1 0 0 029 Epinephelus merra 1 1 0 0 0 2 1 0 1 230 Grcilla albomarginata 0 0 0 1 0 0 1 0 0 031 Plectropomus maculatus 0 5 0 1 1 1 1 0 1 032 Variola louti 1 1 1 0 0 0 1 3 0 0
118
Tabel Lampiran 11. Komposisi menurut jumlah individu jenis carnivora ekonomis pentingyang tersensus selama monitoring 2017
No SUKU DAN JENIS Karnivor Suku %
1 Monotaxis grandoculus Lethrinidae 10,95
2 Cephalopholis boenack Serranidae 7,69
3 Cephalopholis argus Serranidae 6,51
4 Gnathodentex aureolineatus Lethrinidae 6,21
5 Lutjanus decussatus Lutjanidae 6,21
6 Lutjanus gibbus Lutjanidae 5,62
7 Aethaloperca rogaa Serranidae 4,44
8 Cephalopholis cyanostigma Serranidae 4,14
9 Lutjanus biguttatus Lutjanidae 3,85
10 Cephalopholis microprion Serranidae 3,85
11 Lutjanus fulvus Lutjanidae 3,25
12 Lutjanus fulviflamma Lutjanidae 3,25
13 Cephalopholis leopardus Serranidae 3,25
14 Lutjanus bohar Lutjanidae 2,96
15 Plectropomus maculatus Serranidae 2,96
16 Lethrinus ornatus Lethrinidae 2,37
17 Epinephelus merra Serranidae 2,37
18 Macolor macularis Lutjanidae 2,07
19 Macolor niger Lutjanidae 2,07
20 Diploprion bifasciatum Serranidae 2,07
21 Variola louti Serranidae 2,07
22 Aphareus furca Lutjanidae 1,78
23 Lutjanus monostigma Lutjanidae 1,78
119
24 Anyperodon leucogrammicus Serranidae 1,48
25 Cephalopholis spiloparaea Serranidae 1,48
26 Epinephelus fasciatus Serranidae 1,18
27 Plectorhyncus vittatus Haemulidae 0,89
28 Lethrinus harak Lethrinidae 0,89
29 Plectorhyncus chaetodontonoides Haemulidae 0,59
30 Lethrinus erythracanthus Lethrinidae 0,59
31 Lethrinus olivaceus Lethrinidae 0,59
32 Grcilla albomarginata Serranidae 0,59
120
Tabel Lampiran 12. Biomassa ikan target ekonomis penting menurut letak stasiun monitoring2017
NIA
C 0
1
NIA
C 0
2
NIA
C 0
3
NIA
C 0
4
NIA
C 0
5
NIA
C 0
6
NIA
C 0
7
NIA
C 0
8
NIA
C 0
9
NIA
C 1
0
1 ACANTHURIDAE1 Acanthurus auranticavus 852,03 328,81 98,13 285,80 213,01 59,32 213,012 Acanthurus lineatus 153,663 Acanthurus leucosternon 152,32 63,73 51,31 63,73 420,64 368,11 762,30 594,97 152,32 805,494 Acanthurus leucocheilius 50,245 Acanthurus mata 165,60 519,186 Acanthurus nigricans 37,93 7,177 Acanthurus thompsoni 116,74 246,17 67,368 Acanthurus tristis 823,79 2288,51 1238,79 884,90 921,11 785,91 1063,68 1329,17 1293,77 961,069 Ctenochaetus binotatus 277,60 796,40 310,94 173,76 145,87 310,94 675,55 493,25
10 Ctenochaetus striatus 608,86 1576,22 1405,51 1112,17 513,82 1108,87 927,20 863,08 1464,25 791,1711 Ctenochaetus cyanocheilus 16,67 91,1512 Naso hexacanthus 158,34 79,17 634,73 39,58 325,92 533,09 207,17 79,1713 Naso fageni 178,04 89,02 718,64 44,51 89,02 206,03 89,0214 Naso lituratus/elegans 1550,04 580,75 1329,54 289,00 833,92 290,67 1275,51 1528,67 365,01 508,5015 Naso thynnoides 286,34 79,1716 Naso unicornmis 947,1717 Zebrasoma scopas 608,56 311,69 312,04 249,92 565,34 187,09 343,11 499,13 295,81 405,2318 Zebrasoma desjardinii 273,76 547,52 242,33 462,73 271,21
2 SIGANIDAE19 Siganus guttatus 124,71 1403,53 222,7220 Siganus javus 330,5021 Siganus magnificus 330,43 727,67 84,64 347,68 330,43 245,7922 Siganus punctatus 83,14 41,57 83,1423 Siganus puellus 0,00 94,2524 Siganus virgatus 84,64 84,6425 Siganus margaritiferus 245,79
3 SCARIDAE26 Cetoscarus bicolor 190,66 34,43 34,43 125,81 91,39 251,6327 Chlorurus blekeeri 867,06 761,30 1461,94 892,96 740,45 372,26 539,16 179,88 575,16 242,4528 Chlorurus microrhinos 130,05 50,1229 Chlorurus sordidus 425,50 510,33 110,61 881,07 241,03 640,04 439,41 80,53 286,1530 Chlorurus troschelii 338,46 936,07 943,50 778,93 536,55 536,5531 Scarus scaber 744,05 496,04 120,17 496,0432 Scarus dimidiatus 64,18 64,18 64,18 11,63 87,44 64,18 23,2533 Scarus gobban 1556,38 108,81 1372,31 1506,95 1079,64 1180,17 1807,43 326,4234 Scarus hypselopterus 119,76 449,22 1318,30 579,92 1046,23 479,04 1046,23 958,0835 Scarus niger 1467,02 439,94 563,35 976,72 576,22 976,55 307,48 819,22 727,06 624,0136 Scarus oviceps 219,01 438,01 614,14 219,01 438,01 219,01 438,0137 Scarus rubroviolaceous 104,98 79,09 79,09 438,01 289,0438 Scarus schlegeli 2284,18 553,45 116,27 258,09 1311,56 437,1939 Scarus tricolor 339,07 66,84 66,84 66,84
4 HAEMULIDAE40 Plectorhyncus chaetodontonoides 233,6041 Plectorhyncus vittatus 358,46 358,46 358,46
5 LETHRINIDAE42 Gnathodentex aureolineatus 695,17 30,52 80,73 948,1843 Lethrinus harak 100,27 34,8644 Lethrinus erythracanthus 26,2845 Lethrinus olivaceus 392,2946 Lethrinus ornatus 62,29 45,2047 Monotaxis grandoculus 442,00 119,05 24,61 131,35 392,13 24,61 1923,96 1012,13 285,39 131,35
6 LUTJANIDAE48 Aphareus furca 5,37 5,37 23,02 23,0249 Lutjanus biguttatus 1614,5350 Lutjanus bohar 9,05 39,95 9,05 177,89 166,15 39,95 108,1051 Lutjanus decussatus 139,58 38,98 306,03 354,49 201,19 217,54 139,58 197,5152 Lutjanus fulvus 86,57 346,2753 Lutjanus fulviflamma 19,30 683,2654 Lutjanus gibbus 0,00 514,21 426,4355 Lutjanus monostigma 338,96 179,42 1016,8756 Macolor macularis 80,06 30,26 220,63 30,2657 Macolor niger 7,09 74,69 44,43 30,26
7 SERRANIDAE58 Aethaloperca rogaa 81,00 240,07 65,69 189,69 81,81 15,31 30,62 240,07 131,3859 Anyperodon leucogrammicus 4,07 4,07 4,07 50,30 18,3460 Cephalopholis argus 73,04 228,06 214,87 99,94 99,94 26,90 228,06 619,20 53,7961 Cephalopholis boenack 34,23 284,53 134,56 76,43 90,92 31,88 15,94 379,5562 Cephalopholis cyanostigma 331,38 347,30 150,73 82,4263 Cephalopholis leopardus 15,26 30,52 40,36 15,2664 Cephalopholis microprion 20,16 83,17 51,67 30,24 149,11 10,0865 Cephalopholis spiloparaea 59,98 59,98 59,98 59,9866 Diploprion bifasciatum 143,18 66,51 53,94 66,5167 Epinephelus fasciatus 9,08 18,1668 Epinephelus merra 31,24 31,24 37,20 31,24 31,24 62,4869 Grcilla albomarginata 30,6570 Plectropomus maculatus 440,31 34,27 7,99 189,81 376,72 342,4571 Variola louti 7,36 32,80 32,80 627,51
Stasiun penelitian
Suku dan JenisNo
NIA
C 0
1
NIA
C 0
2
NIA
C 0
3
NIA
C 0
4
NIA
C 0
5
NIA
C 0
6
NIA
C 0
7
NIA
C 0
8
NIA
C 0
9
NIA
C 1
0
1 ACANTHURIDAE1 Acanthurus auranticavus 852,03 328,81 98,13 285,80 213,01 59,32 213,012 Acanthurus lineatus 153,663 Acanthurus leucosternon 152,32 63,73 51,31 63,73 420,64 368,11 762,30 594,97 152,32 805,494 Acanthurus leucocheilius 50,245 Acanthurus mata 165,60 519,186 Acanthurus nigricans 37,93 7,177 Acanthurus thompsoni 116,74 246,17 67,368 Acanthurus tristis 823,79 2288,51 1238,79 884,90 921,11 785,91 1063,68 1329,17 1293,77 961,069 Ctenochaetus binotatus 277,60 796,40 310,94 173,76 145,87 310,94 675,55 493,25
10 Ctenochaetus striatus 608,86 1576,22 1405,51 1112,17 513,82 1108,87 927,20 863,08 1464,25 791,1711 Ctenochaetus cyanocheilus 16,67 91,1512 Naso hexacanthus 158,34 79,17 634,73 39,58 325,92 533,09 207,17 79,1713 Naso fageni 178,04 89,02 718,64 44,51 89,02 206,03 89,0214 Naso lituratus/elegans 1550,04 580,75 1329,54 289,00 833,92 290,67 1275,51 1528,67 365,01 508,5015 Naso thynnoides 286,34 79,1716 Naso unicornmis 947,1717 Zebrasoma scopas 608,56 311,69 312,04 249,92 565,34 187,09 343,11 499,13 295,81 405,2318 Zebrasoma desjardinii 273,76 547,52 242,33 462,73 271,21
2 SIGANIDAE19 Siganus guttatus 124,71 1403,53 222,7220 Siganus javus 330,5021 Siganus magnificus 330,43 727,67 84,64 347,68 330,43 245,7922 Siganus punctatus 83,14 41,57 83,1423 Siganus puellus 0,00 94,2524 Siganus virgatus 84,64 84,6425 Siganus margaritiferus 245,79
3 SCARIDAE26 Cetoscarus bicolor 190,66 34,43 34,43 125,81 91,39 251,6327 Chlorurus blekeeri 867,06 761,30 1461,94 892,96 740,45 372,26 539,16 179,88 575,16 242,4528 Chlorurus microrhinos 130,05 50,1229 Chlorurus sordidus 425,50 510,33 110,61 881,07 241,03 640,04 439,41 80,53 286,1530 Chlorurus troschelii 338,46 936,07 943,50 778,93 536,55 536,5531 Scarus scaber 744,05 496,04 120,17 496,0432 Scarus dimidiatus 64,18 64,18 64,18 11,63 87,44 64,18 23,2533 Scarus gobban 1556,38 108,81 1372,31 1506,95 1079,64 1180,17 1807,43 326,4234 Scarus hypselopterus 119,76 449,22 1318,30 579,92 1046,23 479,04 1046,23 958,0835 Scarus niger 1467,02 439,94 563,35 976,72 576,22 976,55 307,48 819,22 727,06 624,0136 Scarus oviceps 219,01 438,01 614,14 219,01 438,01 219,01 438,0137 Scarus rubroviolaceous 104,98 79,09 79,09 438,01 289,0438 Scarus schlegeli 2284,18 553,45 116,27 258,09 1311,56 437,1939 Scarus tricolor 339,07 66,84 66,84 66,84
4 HAEMULIDAE40 Plectorhyncus chaetodontonoides 233,6041 Plectorhyncus vittatus 358,46 358,46 358,46
5 LETHRINIDAE42 Gnathodentex aureolineatus 695,17 30,52 80,73 948,1843 Lethrinus harak 100,27 34,8644 Lethrinus erythracanthus 26,2845 Lethrinus olivaceus 392,2946 Lethrinus ornatus 62,29 45,2047 Monotaxis grandoculus 442,00 119,05 24,61 131,35 392,13 24,61 1923,96 1012,13 285,39 131,35
6 LUTJANIDAE48 Aphareus furca 5,37 5,37 23,02 23,0249 Lutjanus biguttatus 1614,5350 Lutjanus bohar 9,05 39,95 9,05 177,89 166,15 39,95 108,1051 Lutjanus decussatus 139,58 38,98 306,03 354,49 201,19 217,54 139,58 197,5152 Lutjanus fulvus 86,57 346,2753 Lutjanus fulviflamma 19,30 683,2654 Lutjanus gibbus 0,00 514,21 426,4355 Lutjanus monostigma 338,96 179,42 1016,8756 Macolor macularis 80,06 30,26 220,63 30,2657 Macolor niger 7,09 74,69 44,43 30,26
7 SERRANIDAE58 Aethaloperca rogaa 81,00 240,07 65,69 189,69 81,81 15,31 30,62 240,07 131,3859 Anyperodon leucogrammicus 4,07 4,07 4,07 50,30 18,3460 Cephalopholis argus 73,04 228,06 214,87 99,94 99,94 26,90 228,06 619,20 53,7961 Cephalopholis boenack 34,23 284,53 134,56 76,43 90,92 31,88 15,94 379,5562 Cephalopholis cyanostigma 331,38 347,30 150,73 82,4263 Cephalopholis leopardus 15,26 30,52 40,36 15,2664 Cephalopholis microprion 20,16 83,17 51,67 30,24 149,11 10,0865 Cephalopholis spiloparaea 59,98 59,98 59,98 59,9866 Diploprion bifasciatum 143,18 66,51 53,94 66,5167 Epinephelus fasciatus 9,08 18,1668 Epinephelus merra 31,24 31,24 37,20 31,24 31,24 62,4869 Grcilla albomarginata 30,6570 Plectropomus maculatus 440,31 34,27 7,99 189,81 376,72 342,4571 Variola louti 7,36 32,80 32,80 627,51
Stasiun penelitian
Suku dan JenisNo
121
Lampiran 13. Ringkasan Data 2014-2017
NIAS UTARA
2014 2015 2016 2017
n=jumlah stasiun n=8 n=8 n=8 n=10
Ikan Target hanya dari 7 suku terpilih (sesuaibuku panduan ) yaitu Serranidae,Lutjanidae, Scaridae, Siganidae,
Haemulidae, Lethrinidae,Acanthuridae
- Jumlah (jenis) 50 50 60 71
- Kepadatan (ind./hektar) 2518 6796 5529 5466
- Biomass (kg/hektar) 495 776 575 369
Ikan Herbivor Acanthuridae, Scaridae, SIganidae
- Jumlah (jenis) 25 27 30 39
- Kepadatan (ind./hektar) 2118 6086 3769 4477
- Biomass (kg/hektar) 409 662 426 300
Ikan Karnivor Lethrinidae, Lutjanidae,Haemulidae, Serranidae
- Jumlah (jenis) 25 23 30 32
- Kepadatan (ind./hektar) 400 711 1760 989
- Biomass (kg/hektar) 86 113 149 69
Ikan Indikator Chaetodontidae
- Jumlah jenis (jenis) 17 17 13 17
- Kepadatan (ind./hektar) 961 1264 996 1129
122
123
Lampiran 14. Ringkasan Data Tahun 2017
TAHUN 2017 10 STASIUNNIAS UTARA NIAS UTARA
NIAC 01 NIAC 02 NIAC 03 NIAC 04 NIAC 05 NIAC 06 NIAC 07 NIAC 08 NIAC 09 NIAC 10Ikan Target - Jumlah (jenis) 30 35 32 33 36 36 40 42 32 24 - Kepadatan (ind./hektar) 4400 4029 6229 4086 5971 4943 6371 9029 4971 4629 - Biomass (kg/hektar) 325 383 376 279 372 309 493 572 338 244Ikan Herbivor - Jumlah (jenis) 15 15 15 15 15 11 13 17 10 7 - Kepadatan (ind./hektar) 3829 3343 4771 3143 5029 4429 5200 6229 4571 4229 - Biomass (kg/hektar) 285 328 280 234 294 288 379 383 307 217Ikan Karnivor - Jumlah (jenis) 15 20 17 18 21 25 27 25 22 17 - Kepadatan (ind./hektar) 571 686 1457 943 943 514 1171 2800 400 400 - Biomass (kg/hektar) 40 54 96 45 78 21 114 189 32 26
Ikan Indikator Chaetodontidae - Jumlah jenis (jenis) 6 8 7 9 9 6 9 11 8 10 - Kepadatan (ind./hektar) 600 1114 486 657 1657 971 1229 2171 1171 1229
Lethrinidae, Lutjanidae, Haemulidae,Serranidae
hanya dari 7 suku terpilih (sesuaibuku panduan ) yaitu Serranidae,Lutjanidae, Scaridae, Siganidae,
Haemulidae, Lethrinidae,Acanthuridae, Scaridae, SIganidae
124
Lampiran 15. Ringkasan Data Tahun 2016
TAHUN 2016 8 STASIUNNIAS UTARA NIAS UTARA
NIAC 01 NIAC 02 NIAC 03 NIAC 04 NIAC 05 NIAC 06 NIAC 07 NIAC 08Ikan Target - Jumlah (jenis) 32 30 29 27 27 21 16 24 - Kepadatan (ind./hektar) 7457 8029 7143 3800 4886 3571 3429 5914 - Biomass (kg/hektar) 401 395 478 368 639 504 882 932Ikan Herbivor - Jumlah (jenis) 18 18 15 13 17 14 12 15 - Kepadatan (ind./hektar) 5543 7114 6343 2971 4343 3314 2943 5114 - Biomass (kg/hektar) 348 315 375 281 526 439 633 489Ikan Karnivor - Jumlah (jenis) 1914 914 800 829 543 257 486 800 - Kepadatan (ind./hektar) 14 12 14 14 10 7 4 9 - Biomass (kg/hektar) 53 81 103 86 113 65 249 442
Ikan Indikator Chaetodontidae - Jumlah jenis (jenis) 7 5 4 10 10 6 10 11 - Kepadatan (ind./hektar) 657 343 229 600 1714 829 1457 2143
hanya dari 7 suku terpilih (sesuaibuku panduan ) yaitu Serranidae,Lutjanidae, Scaridae, Siganidae,
Haemulidae, Lethrinidae,Acanthuridae, Scaridae, SIganidae
Lethrinidae, Lutjanidae, Haemulidae,Serranidae
125
Lampiran 16. Ringkasan Data Tahun 2015
TAHUN 2015 8 STASIUNNIAS UTARA NIAS UTARA
NIAC 01 NIAC 02 NIAC 03 NIAC 04 NIAC 05 NIAC 06 NIAC 07 NIAC 08Ikan Target - Jumlah (jenis) 18 14 8 20 28 23 23 27 - Kepadatan (ind./hektar) 3429 2800 1943 1943 30971 2971 3943 6857 - Biomass (kg/hektar) 774 750 349 712 7755 813 1259 2020Ikan Herbivor - Jumlah (jenis) 10 12 5 15 20 13 17 17 - Kepadatan (ind./hektar) 2629 2743 1771 1771 30457 2257 3600 3914 - Biomass (kg/hektar) 505 613 177 582 7404 473 921 920Ikan Karnivor - Jumlah (jenis) 8 2 3 5 8 10 6 10 - Kepadatan (ind./hektar) 800 57 171 171 514 714 343 2943 - Biomass (kg/hektar) 269 138 173 130 351 340 339 1100
Ikan Indikator Chaetodontidae - Jumlah jenis (jenis) 4 8 10 7 11 9 11 12 - Kepadatan (ind./hektar) 429 600 971 714 1857 514 2200 2829
hanya dari 7 suku terpilih (sesuaibuku panduan ) yaitu Serranidae,Lutjanidae, Scaridae, Siganidae,
Haemulidae, Lethrinidae,Acanthuridae, Scaridae, SIganidae
Lethrinidae, Lutjanidae, Haemulidae,Serranidae
126
Lampiran 17. Ringkasan Data Tahun 2014
TAHUN 2014 8 STASIUNNIAS UTARA NIAS UTARA
NIAC 01 NIAC 02 NIAC 03 NIAC 04 NIAC 05 NIAC 06 NIAC 07 NIAC 08Ikan Target - Jumlah (jenis) 14 13 15 24 24 18 22 20 - Kepadatan (ind./hektar) 1943 1257 1314 3000 3257 2314 3400 3657 - Biomass (kg/hektar) 489 319 159 652 670 496 652 525Ikan Herbivor - Jumlah (jenis) 10 8 10 11 14 12 14 13 - Kepadatan (ind./hektar) 1800 1114 1114 2257 2829 2114 2829 2886 - Biomass (kg/hektar) 447 288 127 487 558 473 517 377Ikan Karnivor - Jumlah (jenis) 4 5 5 13 10 6 8 7 - Kepadatan (ind./hektar) 143 143 200 743 429 200 571 771 - Biomass (kg/hektar) 42 31 32 165 112 22 135 148
Ikan Indikator Chaetodontidae - Jumlah jenis (jenis) 4 2 4 10 12 8 11 12 - Kepadatan (ind./hektar) 200 57 143 800 2657 543 1971 1314
hanya dari 7 suku terpilih (sesuaibuku panduan ) yaitu Serranidae,Lutjanidae, Scaridae, Siganidae,
Haemulidae, Lethrinidae,Acanthuridae, Scaridae, SIganidae
Lethrinidae, Lutjanidae, Haemulidae,Serranidae