monograf - hang tuah

85
i MONOGRAF LOGAM TIMBAL (Pb) DAN TEMBAGA (Cu) (LC 50 pada berbagai sub stadia udang vannamei) Oleh: N U H M A N Penerbit Hang Tuah University Press

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MONOGRAF - Hang Tuah

i

MONOGRAF

LOGAM TIMBAL (Pb) DAN TEMBAGA (Cu)

(LC50 pada berbagai sub stadia udang vannamei)

Oleh:

N U H M A N

Penerbit

Hang Tuah University Press

Page 2: MONOGRAF - Hang Tuah

ii

Monograf : Logam Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu) : LC50 nya pada udang vannamei

Penulis : N u h m a n ISBN : 978-602-5595-17-2 Editor : Is Yuniar Disain sampul dan tata letak : Sulung Aries Penerbit : Hang Tuah University Press Universitas Hang Tuah Jl.Arif Rahman Hakim 150 Surabaya,60222 Telp. 031-5945864, 5945894 Fax. 031-5946261 Email : [email protected] Cetakan : I. Mei 2019, Surabaya Katalog Dalam Terbitan (KDT) : Nuhman Logam Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu) : LC50 pada berbagai sub stadia udang vannamei Surabaya, Cet 1 – HTU Press 2019 ix + 76 hal. 14x21 cm. Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit.

Page 3: MONOGRAF - Hang Tuah

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah

SWT Tuhan yang Maha Esa karena hanya rahmat dan

anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan

dan penulisan buku Monograf dengan judul “Logam Timbal (Pb)

dan Tembaga (Cu) : LC50 pada berbagai sub stadia udang

vannamei”

Buku monograf ini merupakan hasil penelitian yang telah

dilakukan oleh penulis dan diharapkan bisa menjadi rujukan dan

tambahan referensi bagi mahasiswa, sejawat dosen dan kalangan

akademisi serta masyarakat pada umumnya dalam menambah

khasanah pengetahuan dan mengembangkan ilmu pengetahuan

khususnya tentang pencemaran logam berat.

Penulis menyadari bahwa penyusunan dan penulisan buku

monograf ini masih banyak kekurangan dan kesalahan sehingga

jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat

membangun dari mahasiswa, sejawat dosen dan akademisi serta

masyarakat sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis hanya bisa

berdoa semoga buku monograf ini bermanfaat bagi kita semua.

Aamiin.

Surabaya, Mei 2019

Penulis

Page 4: MONOGRAF - Hang Tuah

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................... iii DAFTAR ISI .................... iv

DAFTAR GAMBAR .................... v DAFTAR TABEL .................... vi ABSTRAK .................... viii BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang .................... 1

1.2 Rumusan masalah .................... 5

1.3 Tujuan penelitian .................... 5

1.4 Manfaat penelitian .................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Logam berat ............. 7

2.1.1 Timbal (Pb) ............. 7 2.1.2 Tembaga (Cu) ............. 11 2.2 Udang vannamei .................... 18

2.3.1 Taksonomi &Morfologi . 18

2.3.2 Siklus hidup / Stadia . 23 BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Materi penelitian .................... 30 3.1.1 Bahan uji .................... 30 3.1.2 Hewan uji .................... 31 3.1.3 Media uji .................... 32 3.2 Metode Penelitian .................... 33 3.2.1 Jenis dan rancangan . 33

3.2.2 Pelaksanaan penelitian

. 34

3.2.3 Analisis data ............... 38

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil penelitian .................... 40 4.2 Pembahasan .................... 55

BAB V KESIMPULAN .................... 62 DAFTAR PUSTAKA .................... 63

CURRICULUM VITAE .................... 68

Page 5: MONOGRAF - Hang Tuah

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Udang L. Vannamei ................... 23 Gambar 2.2 Siklus hidup L. Vannamei ............ 24 Gambar 2.3 Stadia Nauplius L. Vannamei ..... 26 Gambar 2.4 Stadia Zoea L. Vannamei ........... 27 Gambar 2.5 Stadia Mysis L. Vannamei .......... 28 Gambar 2.6 Stadia Post Larva L. Vannamei .. 28 Gambar 4.1 Nilai LC50 Pb pada berbagai sub

stadia udang L. Vannamei ......... 52 Gambar 4.2 Nilai LC50 Cu pada berbagai sub

stadia udang L. Vannamei ......... 55

Page 6: MONOGRAF - Hang Tuah

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Ukuran panjang-berat hewan uji ... 32 Tabel 3.2 Salinitas media uji ......................... 33 Tabel 4.1 Nilai ambang bawah dan atas

logam Pb dan Cu .......................... 40 Tabel 4.2 Konsentrasi Pb pada uji toksisitas 43 Tabel 4.3 Konsentrasi Cu pada uji toksisitas 43 Tabel 4.4 Persentase mortalitas Naupli dan

Zoea setelah pemaparan Pb selama 24 jam .............................. 44

Tabel 4.5 Persentase mortalitas Mysis1 dan Mysis2 setelah pemaparan Pb selama 48 jam .............................. 45

Tabel 4.6 Persentase mortalitas Mysis3 setelah pemaparan Pb selama 48 jam ................................................ 45

Tabel 4.7 Persentase mortalitas PL5 setelah pemaparan Pb selama 96 jam ...... 46

Tabel 4.8 Persentase mortalitas PL10 dan PL15 setelah pemaparan Pb selama 96 jam .............................. 46

Tabel 4.9 Persentase mortalitas Naupli dan Zoea setelah pemaparan Cu selama 24 jam .............................. 47

Tabel 4.10 Persentase mortalitas Mysis setelah pemaparan Cu selama 48 jam ................................................ 48

Tabel 4.11 Persentase mortalitas Post Larva setelah pemaparan Cu selama 96 jam ................................................ 48

Tabel 4.12 Nilai LC50-24 jam Pb pada ber-bagai sub stadia L. Vannamei ...... 49

Tabel 4.13 Nilai LC50-48 jam Pb pada ber-bagai sub stadia L. Vannamei........ 50

Tabel 4.14 Nilai LC50-96 jam Pb pada ber-bagai sub stadia L. Vannamei ...... 51

Page 7: MONOGRAF - Hang Tuah

vii

Tabel 4.15 Nilai LC50-24 jam Cu pada ber-bagai sub stadia L. Vannamei ...... 52

Tabel 4.16 Nilai LC50-48 jam Cu pada ber-bagai sub stadia L. Vannamei ...... 53

Tabel 4.17 Nilai LC50-96 jam Cu pada ber-bagai sub stadia L. Vannamei ...... 54

Page 8: MONOGRAF - Hang Tuah

viii

ABSTRAK

Logam Timbal (Pb) merupakan logam non esensial sedangkan logam Tembaga (Cu) merupakan logam esensial yaitu logam yang sangat dibutuhkan oleh mahluk hidup walaupun dalam jumlah sedikit. Meskipun demikian kedua logam tersebut merupakan mikro polutan dalam perairan dan bersifat toksik. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis nilai median lethal concentration (LC50) logam Pb dan Cu pada berbagai

substadia udang vannamei (Litopenaeus vannamei). Uji toksisitas diawali dengan uji penentuan selang

konsentrasi (range finding test) yang menghasilkan nilai

konsentrasi ambang bawah (LC0-24 jam) dan

konsentrasi ambang atas (LC100–24 jam). Selanjutnya

dilakukan uji definitif dengan melakukan pemaparan beberapa ekor udang L. vannamei dari stadia larva (Nauplius, Zoea, Mysis), pasca larva (PL­5, PL­10, PL­15) dan juvenil dengan logam Pb dan Cu dengan konsentrasi tertentu yang ditentukan berdasarkan nilai ambang atas dan ambang bawah dengan menggunakan rumus Komisi Pestisida (1983). Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung dan mencatat udang L. vannamei yang mati. Data mortalitas ini dianalisis dengan Trimmed Spearman Karber (TSK) versi 1.5 dari EPA untuk mengetahui nilai median lethal concentration (LC50) logam Pb dan

Cu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemaparan logam Pb dan Cu pada berbagai sub stadia udang L. Vannamei memberikan nilai LC50-24 jam, LC50-48 jam, LC50-96 jam yang semakin besar seiring dengan meningkatnya substadia udang L. vannamei. Pada substadia udang L. Vannamei yang sama nilai LC50-24 jam, LC50-48 jam, LC50-96 jam logam Pb lebih tinggi

Page 9: MONOGRAF - Hang Tuah

ix

dibanding dengan logam Cu. Hal ini menunjukkan bahawa logam Cu lebih toksik dibanding logam Pb.

Page 10: MONOGRAF - Hang Tuah

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Timbal (Pb) termasuk dalam kategori B3 (Bahan

Berbahaya dan Beracun) dan merupakan mikro

polutan dalam perairan yang mempunyai efek

fisiologis pada organisme akuatik. Berbeda dengan

timbal, meskipun tembaga (Cu) merupakan logam

berat beracun tetapi unsur logam ini sangat dibutuhkan

organisme walaupun dalam jumlah yang sedikit

terutama untuk proses­proses biologis khususnya

proses respirasi (Darmono, 2001).

Tingkat konsentrasi logam berat dalam air

dibedakan menurut tingkat pencemarannya, yaitu

tercemar berat, tercemar sedang, dan tidak

tercemar. Konsentrasi timbal (Pb) dan tembaga (Cu)

dalam air bervariasi tergantung waktu dan lokasi

perairan tersebut, bila konsentrasinya melebihi ambang

batas dapat mengakibatkan kematian biota perairan.

Pencemaran perairan adalah penambahan

bahan dan/atau energi atau segala sesuatu ke dalam

perairan yang menyebabkan perubahan kualitas air

sedemikian rupa sehingga nilai guna air dan

sumberdaya perairan tersebut menurun atau rusak

Page 11: MONOGRAF - Hang Tuah

2

bahkan mungkin hilang sama sekali (UU No. 32/2009).

Bahan tersebut antara lain adalah logam berat. Nilai

guna perairan dan sumberdaya perairan ditentukan

oleh kualitasnya, di sisi lain air adalah komponen

lingkungan yang mutlak diperlukan bagi hidup dan

kehidupan organisme perairan seperti ikan dan

krustase.

Penyebab pencemaran adalah karena kegiatan

manusia dan/atau karena alami (natural pollution).

Pencemaran yang disebabkan oleh kegiatan manusia

umumnya dinyatakan sebagai pencemaran sejati

(corollary pollution), yaitu penurunan atau rusaknya

lingkungan sumberdaya alam (perairan) baik secara

langsung maupun tidak langsung. Pencemaran secara

alami adalah pencemaran yang disebabkan oleh

kejadian­kejadian alami, seperti gunung meletus,

gempa bumi, banjir, dan lain sebagainya (Mulyanto,

1990).

Untuk mengetahui tingkat pencemaran di suatu

daerah dapat digunakan bioindikator berupa

organisme tertentu yang khas, yang dapat

mengakumulasi bahan­bahan pencemar yang ada,

sehingga dapat mewakili keadaan di dalam

lingkungan hidupnya. Dalam lingkungan air,

bioindikator yang dapat digunakan adalah ikan,

krustase (kepiting, udang dan hewan beruas lainnya)

Page 12: MONOGRAF - Hang Tuah

3

dan beberapa jenis biota lainnya (Soegianto dkk.,

2004).

Bioindikator adalah suatu organisme yang secara

sederhana mampu untuk menunjukkan ada atau tidak

adanya beberapa faktor tertentu dalam lingkungan,

dalam hal ini lingkungan tercemar (Pikir, 1993).

Jenis­jenis organisme yang dapat dijadikan sebagai

bioindikator logam berat harus memenuhi beberapa

persyaratan antara lain : (1) mampu mengakumulasi

logam dalam jumlah terukur, (2) organisme atau

bagian­bagiannya yang relevan harus selalu tersedia

sehingga sampel mudah diperoleh (Baker, 1981).

Beberapa faktor yang mempengaruhi kekuatan

racun logam berat terhadap udang antara lain adalah :

bentuk ikatan kimia dari logam yang terlarut dalam air,

interaksi antara logam dan racun lainnya, pengaruh

lingkungan seperti temperatur, kadar garam, dan pH

ataupun kadar oksigen dalam air, kondisi hewan, fase

siklus hidup (telur, larva, dewasa), ukuran organisme,

jenis kelamin, dan kecukupan kebutuhan bahan,

kemampuan hewan untuk menghindar dari kondisi

buruk atau polusi (misalnya lari untuk pindah tempat),

kemampuan hewan untuk beradaptasi terhadap racun

(misalnya proses detoksifikasi) (Darmono,1993).

Krustase yang hidup di dasar perairan terdiri

atas banyak spesies, seperti udang, kepiting, dan

Page 13: MONOGRAF - Hang Tuah

4

lobster. Jenis organisme tersebut pergerakannya tidak

secepat jenis ikan. Karena habitatnya di dasar perairan

yang merupakan tempat endapan dari berbagai jenis

limbah, maka jenis krustase ini merupakan

bioindikator yang baik untuk mengetahui terjadinya

polusi di lingkungan. Seperti halnya pada jenis ikan,

logam masuk ke dalam tubuh krustase melalui penetrasi

membran (membrane phenomenon) (Darmono, 2001)

Seperti sumber­sumber pencemar lingkungan

lainnya, logam berat dapat ditransfer dalam jangkauan

yang sangat jauh di lingkungan. Laut merupakan

tempat pembuangan benda­benda asing dan

pengendapan barang sisa yang diproduksi oleh

manusia. Laut juga menerima bahan­ bahan yang

terbawa oleh air dari daerah pertanian, limbah industri

dan limbah rumah tangga, sehingga laut merupakan

penampungan akhir dari berbagai bahan pencemar

seperti logam berat baik yang berasal dari sumber alami

maupun anthropogenik (Soegianto et al., 1999).

Penelitian tentang toksisitas atau LC50 logam

pada jenis krustase telah banyak dilakukan, baik pada

jenis kepiting, udang maupun lobster. Uji toksisitas

atau LC50-96 jam paparan Pb telah dilakukan pada

Chasmagnathus granulata sebesar 1093,4 µg/L

(Ferrer et al., 2006); Macrobrachium rosenbergii

10,00 ± 0,58 mg/L, P. monodon 7,28 ± 1,23 mg/L

Page 14: MONOGRAF - Hang Tuah

5

(Fafioye dan Ogunsanwo, 2007); Uji toksisitas

tembaga (Cu) atau LC50-96 jam paparan Cu telah

dilakukan pada M. rosenbergii 3,02 ± 0,67 mg/L, P.

monodon 2,16 ± 0,72 mg/L (Fafioye dan Ogunsanwo,

2007)

Data-data diatas menunjukkan bahwa hasil

penelitian tentang berbagai logam dan efeknya pada

berbagai biota perairan telah banyak dilakukan,

walaupun demikian penelitian tentang toksisitas (LC50)

logam timbal (Pb) dan tembaga (Cu) pada berbagai

substadia udang vannamei (L. vannamei) belum

pernah dilakukan.

1.2. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan

tersebut di atas maka permasalahan dalam penelitian ini

adalah :

Berapa nilai LC50 logam timbal (Pb) dan tembaga (Cu)

pada berbagai sub stadia udang L. vannamei ?

1.3. Tujuan penelitian

Menganalisis pengaruh pemaparan logam timbal

dan tembaga terhadap nilai LC50 logam timbal (Pb) dan

tembaga (Cu) pada berbagai sub stadia udang L.

vannamei.

Page 15: MONOGRAF - Hang Tuah

6

1.4. Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat

untuk pengembangan ilmu ekotoksikologi: Menunjukkan

adanya efek toksik dari logam timbal dan tembaga pada

L. vannamei yaitu nilai LC50 logam Pb dan Cu pada

berbagai sub stadia udang L. vannamei.

Page 16: MONOGRAF - Hang Tuah

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Logam berat

2.1.1. Timbal (Pb)

Timbal atau dalam keseharian lebih dikenal

dengan nama timah hitam, dalam bahasa ilmiahnya

dinamakan Plumbum (Pb). Logam ini termasuk dalam

kelompok logam­logam Golongan IV­A pada tabel

periodik unsur kimia. Timbal mempunyai nomer atom

(NA) 82 dengan berat atom (BA) 207,2; titik lebur

rendah hanya 327,5oC; memiliki kerapatan yang lebih

besar dibandingkan dengan logam­ logam biasa

kecuali emas dan merkuri; merupakan penghantar

listrik yang tidak baik; dan tahan terhadap peristiwa

korosi atau karat sehingga logam timbal sering

digunakan sebagai bahan coating.

Senyawa timbal yang ada dalam badan

perairan dapat ditemukan dalam bentuk ion­ion

divalen atau ion­ion tetravalen (Pb2+ atau Pb4+). Ion

Pb tetravalen mempunyai daya racun yang lebih tinggi

bila dibandingkan dengan ion Pb divalen. Akan tetapi

dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa ion Pb

divalen lebih berbahaya dibandingkan dengan ion Pb

tetravalen (Palar, 1994). Timbal merupakan logam yang

Page 17: MONOGRAF - Hang Tuah

8

terdapat di mana­mana seperti batu­batuan, tanah, air,

udara, tanaman, hewan, proses industri dan

sumber­sumber lain (Fardiaz, 1992).

Di alam terdapat 4 macam isotop timbal yaitu

timbal­204 atau Pb204, timbal­206 atau Pb206,

timbal­207 atau Pb207 dan timbal­208 atau Pb208.

Isotop­isotop timbal tersebut merupakan hasil akhir dari

peluruhan unsur­unsur radio aktif alam. Timbal­206

merupakan hasil akhir peluruhan dari unsur radio aktif

Uranium (U); timbal­207 merupakan hasil akhir

peluruhan dari unsur radio aktif Actium (Ac); dan

timbal­208 adalah hasil akhir dari peluruhan unsur

radio aktif Thorium (Th) (Palar,1994).

Penyebaran logam timbal di bumi sangat

sedikit. Jumlah timbal yang terdapat di seluruh

lapisan bumi hanya 0,0002% dari jumlah seluruh kerak

bumi. Jumlah ini sangat sedikit jika dibandingkan

dengan jumlah kandungan logam berat lainnya yang

ada. Melalui proses­proses geologi, timbal

terkonsentrasi dalam deposit seperti bijih logam.

Persenyawaan bijih logam timbal ditemukan dalam

bentuk galena (PbS), anglesit (PbSO4) dan dalam

bentuk minim (Pb3O4). Boleh dikatakan bahwa timbal

tidak pernah ditemukan dalam bentuk logam

murninya. Bijih­bijih logam timbal ini bergabung dengan

Page 18: MONOGRAF - Hang Tuah

9

logam­logam lain seperti perak (argentum­Ag), seng

(zincum­Zn), arsen (arsenicum­Ar), logam stibi

(stibium­Sb) dan dengan logam bismut (bismuth­Bi).

Timbal dapat berasal dari sumber alami maupun

anthropogenik. Secara alamiah Pb dapat masuk ke

dalam perairan melalui pengkristalan Pb di udara

dengan bantuan air hujan. Di samping itu proses

korosifikasi dari batuan mineral akibat hempasan

gelombang dan angin juga merupakan salah satu jalur

sumber Pb yang akan masuk ke dalam badan perairan.

Timbal yang masuk ke dalam badan perairan sebagai

dampak dari aktivitas kehidupan manusia ada

bermacam bentuk. Di antaranya adalah air buangan

(limbah) dari industri yang berkaitan dengan Pb, air

buangan dari pertambangan bijih timah hitam dan

limbah sisa industri baterai. Buangan­buangan tersebut

akan jatuh pada jalur perairan seperti anak­anak sungai

untuk kemudian akan dibawa terus menuju lautan.

Umumnya jalur buangan dari bahan sisa perindustrian

yang menggunakan Pb akan merusak tata

lingkungan perairan yang dimasukinya (Palar, 1994).

Selain dalam perairan, Pb juga ditemukan di udara dan

bahan­bahan alam lainnya.

Dilihat dari toksisitasnya timbal merupakan

logam yang berbahaya seperti halnya logam merkuri

dan logam lainnya. Keracunan karena logam berat

Page 19: MONOGRAF - Hang Tuah

10

dapat terjadi secara akut maupun kronis. Keracunan

akut akibat timbal sering terjadi pada pekerja di

industri­industri yang berkaitan dengan timbal.

Peristiwa keracunan akut ini dapat terjadi karena para

pekerja tersebut terkena paparan logam timbal (Pb)

dengan konsentrasi yang tinggi dalam waktu yang

singkat.

Penelitian pada biota perairan telah dilakukan

oleh Bat et al. (1999) mengatakan bahwa 50% P.

elegans akan mengalami kematian dalam waktu 96

jam bila dalam badan perairan terlarut logam atau

persenyawaan timbal pada konsentrasi 5,88 mg/L. M.

rosenbergii akan mati bila terpapar Pb dengan LC50-

96 jam 10,00 ± 0,58 mg/L dan P. monodon akan mati

bila terpapar Pb dengan LC50 -96 jam 7,28 ± 1,23 mg/L

(Fafioye dan Ogunsanwo, 2007).

Keracunan yang bersifat kronis disebabkan

oleh daya racun yang dibawa oleh timbal terjadi dalam

selang waktu yang sangat panjang. Peristiwa ini

terjadi karena timbal masuk ke dalam tubuh dalam

jumlah kecil sehingga dapat ditolerir oleh tubuh. Akan

tetapi karena proses pemasukan tersebut berjalan

terus menerus

maka akhirnya tubuh tidak mampu lagi memberikan

toleransi terhadap daya racun yang dibawa oleh timbal.

Page 20: MONOGRAF - Hang Tuah

11

Keracunan kronis mengakibatkan penderitaan

yang lebih buruk dan menakutkan bila dibandingkan

dengan keracunan akut. Pada keracunan kronis yang

disebabkan oleh timbal umumnya berupa

kerusakan­kerusakan pada banyak sistem fisiologis

tubuh. Sistem­sistem fisiologis tubuh yang dirusak

antara lain : sistem saraf, sistem urinaria (ginjal),

sistem endokrin, sistem sirkulasi (darah dan jantung),

dan sistem reproduksi (WHO, 1992b). Pada hewan

krustecea, keracunan timbal dapat mengakibatkan

kerusakan­kerusakan atau kelainan­kelainan pada

karapak, insang dan kelenjar usus (Meyer et al., 1991).

2.1.2. Tembaga (Cu)

Tembaga dengan nama kimia cuprum

dilambangkan dengan Cu. Unsur logam ini berbentuk

kristal dengan warna kemerahan. Dalam tabel periodik

unsur­ unsur kimia tembaga menempati posisi

dengan nomer atom 29 dan mempunyai bobot atau

berat atom 63,546. Secara kimia, senyawa­senyawa

yang dibentuk oleh logam Cu mempunyai bilangan

valensi +1 dan +2. Berdasarkan bilangan valensi

yang dibawanya logam Cu dinamakan juga cuppro

untuk yang bervalensi +1, dan cuppri untuk yang

bervalensi +2.

Page 21: MONOGRAF - Hang Tuah

12

Kedua jenis ion Cu tersebut dapat membentuk

ion kompleks yang sangat stabil. Sebagai contoh

adalah senyawa Cu(NH3)6.Cl2. Logam Cu dan

beberapa bentuk persenyawaannya, seperti CuO,

CuCO3, Cu(OH)2 dan Cu(CN)2 tidak dapat larut dalam

air dingin atau panas, tetapi larut dalam asam. Logam

Cu larut dalam asam sulfat (H2SO4) panas dan dalam

larutan basa NH4OH. Senyawa CuO dapat larut

dalam NH4Cl dan KCN.

Secara fisika, logam Cu digolongkan ke

dalam kelompok logam­logam

penghantar listrik yang baik. Logam Cu merupakan

penghantar listrik terbaik setelah logam perak

(argentum–Ag). Oleh karena itu logam Cu banyak

digunakan dalam bidang elektronika atau perlistrikan.

Sesuai dengan sifat kelogamannya, Cu dapat

membentuk paduan logam dengan bermacam­macam

logam (Palar, 1994).

Unsur tembaga di alam, dapat ditemukan dalam

bentuk logam bebas, akan tetapi lebih banyak

ditemukan dalam bentuk persenyawaan atau sebagai

senyawa padat dalam bentuk mineral. Dalam badan

perairan laut, tembaga dapat ditemukan dalam bentuk

persenyawaan ion seperti CuCO3-, CuOH­ dan lain

sebagainya. Pada batuan mineral atau lapisan tanah,

Page 22: MONOGRAF - Hang Tuah

13

tembaga dapat ditemukan dalam bentuk­bentuk :

chalcocote (Cu2S), covillite (CuS), chalcopyrite

(CuFeS2), bornite (Cu5FeS4), enargite [Cu3(AsSb)S4].

Selain dari bentuk­bentuk mineral tersebut, logam

tembaga juga banyak ditemukan dalam bentuk

teroksidasi seperti bijih cuprite (Cu2O), tenorite

(CuO), malachite [CuCO3.Cu(OH)2], azurite

[2CuCO3.Cu(OH)2], chrysocolla (CuSiO3.2H2O),

bronchantite [Cu4(OH)6SO4] (Palar, 1994).

Tembaga yang masuk ke dalam tatanan

lingkungan perairan dapat berasal dari

peristiwa­peristiwa alamiah dan sebagai efek

samping dari aktivitas yang dilakukan oleh manusia.

Secara alamiah Cu masuk ke dalam badan perairan

sebagai akibat dari peristiwa erosi atau pengikisan

batuan mineral dan melalui persenyawaan Cu di

atmosfir yang dibawa turun oleh air hujan. Melalui jalur

alamiah ini, Cu yang masuk ke badan perairan

diperkirakan mencapai 325.000 ton per tahun.

Aktivitas manusia seperti buangan industri,

pertambangan Cu, industri galangan kapal dan

bermacam­macam aktivitas pelabuhan lainnya

merupakan salah satu jalan yang mempercepat

terjadinya peningkatan kelarutan Cu dalam badan­

badan perairan. Masukan sebagai efek samping dari

Page 23: MONOGRAF - Hang Tuah

14

aktivitas manusia ini, lebih ditentukan oleh bentuk dan

tingkat aktivitas yang dilakukan. Proses daur ulang

yang terjadi dalam sistem tatanan lingkungan perairan

yang merupakan efek dari aktivitas biota perairan juga

sangat berpengaruh terhadap peningkatan Cu dalam

badan perairan (Darmono, 2001).

Dalam kondisi normal, keberadaan Cu dalam

perairan ditemukan dalam bentuk senyawa ion

CuCO3­, CuOH­, dan lain­lain. Biasanya jumlah Cu

yang terlarut dalam badan perairan laut adalah 0,002

ppm sampai 0,005 ppm. Bila dalam badan perairan

(laut) terjadi peningkatan kelarutan Cu sehingga

melebihi nilai ambang yang seharusnya, maka akan

terjadi peristiwa “biomagnifikasi” pada biota­ biota

perairan. Peristiwa biomagnifikasi ini dapat

ditunjukkan melalui akumulasi Cu dalam tubuh biota

perairan tersebut. Akumulasi dapat terjadi sebagai

akibat dari telah terjadinya konsumsi Cu dalam jumlah

berlebihan, sehingga tidak mampu dimetabolisme oleh

tubuh (WHO, 1992ª).

Penelitian tentang daya racun Cu2+ telah

dilakukan oleh banyak lembaga ataupun perorangan.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa racun Cu

dapat membunuh biota perairan. Untuk jenis algae

seperti Chlorella vulgaris daya racun yang dimiliki oleh

Page 24: MONOGRAF - Hang Tuah

15

logam Cu menduduki peringkat kedua setelah logam

Hg. Pada jenis jamur (fungi) Cu menduduki peringkat

ke tiga dalam daya racun setelah Ag dan Hg. Untuk

jenis protozoa seperti Paramaecium Cu menempati

peringkat ke empat dalam daya racun yang dimiliki

setelah logam­logam Hg, Pb, dan Ag (Darmono,

1995).

Keracunan akut yang disebabkan oleh logam Cu

telah diteliti untuk pertama kalinya pada tahun 1913 dan

hasilnya banyak dipublikasikan. Penelitian tersebut

banyak dilakukan di laboratorium dengan memakai

hewan­hewan percobaan. Biota perairan sangat peka

terhadap kelebihan Cu dalam badan perairan tempat

hidupnya. Konsentrasi Cu terlarut yang mencapai

0,01 ppm akan mengakibatkan kematian bagi

fitoplankton. Kematian tersebut disebabkan daya

racun Cu telah menghambat aktivitas enzim dalam

pembelahan sel fitoplankton. Jenis­jenis yang

termasuk dalam keluarga krustase akan mengalami

kematian dalam tenggang waktu 96 jam bila

konsentrasi Cu terlarut berada dalam kisaran 0,17

sampai 100 ppm. Dalam waktu yang sama biota

yang tergolong dalam moluska akan mengalami

kematian bila konsentrasi Cu yang terlarut dalam badan

perairan berada dalam kisaran 0,16 sampai 0,5 ppm.

Konsentrasi Cu yang berada dalam kisaran 2,5

Page 25: MONOGRAF - Hang Tuah

16

sampai 3,0 ppm dalam badan perairan akan dapat

membunuh ikan­ikan (Palar, 1994).

Melalui publikasi tersebut dapat dikatakan

bahwa data keracunan akut itu kurang representatif.

Hal ini disebabkan karena pada penelitian tersebut tidak

semua senyawa Cu yang banyak digunakan dalam

industri yang melibatkan Cu diuji dan sangat sedikit

dilakukan pengujian tentang keracunan akut

melalui sistem pernafasan. Gejala­gejala yang

dapat dideteksi sebagai akibat keracunan akut

tersebut adalah adanya rasa logam pada pernafasan

penderita, adanya rasa terbakar pada epigastrum dan

muntah yang terjadi secara berulang­ulang.

Gejala­gejala tersebut akan berlanjut dengan

terjadinya pendarahan pada jalur gastro intestinal,

bahkan pada hati bisa menunjukkan terjadinya

centrobular necrosis dan biliarystatis (Palar, 1994).

Lebih lanjut Bat et al. (1999) mengatakan bahwa

50% P. elegans akan mengalami kematian dalam

waktu 96 jam bila dalam badan perairan terlarut

persenyawaan Cu pada konsentrasi 2,52 mg/L. M.

rosenbergii akan mati bila terpapar Cu dengan LC50-

96 jam 3,02 ± 0,67 mg/L dan P. monodon akan mati

bila terpapar Cu dengan LC50-96 jam 2,16 ± 0,72 mg/L

(Fafioye dan Ogunsanwo, 2007).

Page 26: MONOGRAF - Hang Tuah

17

Studi tentang keracunan kronis yang

disebabkan oleh Cu telah dilakukan melalui

percobaan di laboratorium. Pada percobaan

tersebut tikus diperlakukan dengan memberi CuSO4

dengan dosis 500 ppm dan 4000 ppm dalam

makanannya. Hasil percobaan menunjukkan : (1) Dosis

CuSO4 sebesar 500 ppm mengakibatkan terjadinya

kemunduruan dalam pertumbuhan. (2) Dosis CuSO4

sebesar 4000 ppm mengakibatkan kematian terhadap

hewan percobaan. Akibat lain yang ditimbulkan

sebagai akibat dari keracunan kronis oleh logam Cu

adalah hemochromatosis. Berdasarkan pada

percobaan yang dilakukan terhadap hewan­hewan

yang diberi Cu­ asetat, diperoleh data bahwa

Cu­asetat dapat menyebabkan terjadinya perubahan

hemofucsin menjadi hemosiderin. Proses perubahan

tersebut berlangsung dalam rentang waktu yang

sangat lambat yaitu sekitar 15­25 tahun (Darmono,

1995).

Pada manusia keracunan Cu secara kronis

dapat dilihat dengan timbulnya penyakit Wilson dan

Kinsky. Gejala penyakit Wilson ini adalah terjadinya

hepatic cirrhosis, kerusakan pada otak dan

demyelinasi serta terjadinya penurunan kerja ginjal

dan pengendapan Cu dalam kornea mata. Sedangkan

Page 27: MONOGRAF - Hang Tuah

18

gejala penyakit Kinsky dapat diketahui dengan

terbentuknya rambut yang kaku dengan warna

kemerahan. Sementara pada hewan seperti kerang bila

dalam tubuhnya telah terakumulasi dalam jumlah tinggi

maka bagian otot tubuhnya akan memperlihatkan

warna kehijauan. Hal itu dapat menjadi petunjuk

apakah kerang tersebut masih bisa dikonsumsi oleh

manusia (WHO, 1992a).

Pada ikan Oreochromis mossambicus

keracunan Cu dapat mengakibatkan nekrosis dan

apoptosis insang (Bury et al., 1998). Pada Porcellio

laevis Cu dapat mengakibatkan kerusakan pada

haemolimp dan hepatopankreas (Alikhan, 1972).

Pada C. maenas dan Cancer irroratus Cu diketahui

dapat mengganggu osmoregulasi dan konsumsi

oksigen (Thurberg et al., 1973). Sementara itu

pada udang P. japonicus Cu disamping dapat

mengganggu osmoregulasi (Bambang et al., 1995)

juga dapat mengakibatkan kerusakan pada insang

dan epipodit (Soegianto et al., 1999).

2.2. Udang vannamei

2.2.1. Taxonomi dan Morfologi

Sebelum dikembangkan di Indonesia, udang

L. vannamei sudah dikembangkan di Amerika selatan

Page 28: MONOGRAF - Hang Tuah

19

seperti Ekuador, Mexico, Panama, Kolombia dan

Honduras. Udang L. vannamei memiliki beberapa

nama seperti white­leg shrimp (Inggris), crevette

pattes blances (Perancis), dan camarón patiblanco

(Spanyol), menurut The Integrated Taxonomic

Information System (ITIS) (2009) udang L. vannamei

digolongkan ke dalam famili penaeidae pada filum

arthropoda. L. vannamei termasuk genus

Litopenaeus karena udang betina memiliki telikum

terbuka tetapi tanpa tempat penyimpanan sperma

(Fegan, 2003a)

Menurut ITIS (2009), taksonomi dari udang

vannamei adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Subfilum : Crustaceae Brünnich, (1772)

Kelas : Malacostraca Latreille, (1802)

Subkelas : Eumalacostraca Grobben, (1892)

Superordo : Eucarida Calman, (1904)

Ordo : Decapoda Latreille, (1802)

Subordo : Dendrobranchiata Bate, (1888)

Super famili : Penaeoidea Rafinesque, (1815)

Famili : Penaeidae Rafinesque, (1815)

Genus : Litopenaeus Pérez Farfante, (1969)

Species : Litopenaeus vannamei Boone, (1931)

Page 29: MONOGRAF - Hang Tuah

20

Ada ribuan spesies di filum arthropoda. Namun,

yang mendominasi perairan adalah dari subfilum

crustaceae. Krustase termasuk hewan bersegmen

yang primitif diantara anggota filum arthropoda lain

karena tubuh krustase tersusun dari banyak segmen;

setiap segmen terdapat sepasang tungkai atau anggota

tubuh (appendages). Dalam kelompok krustase sendiri

terdapat berbagai tingkat perkembangan evolusi,

sehingga jumlah segmen dan keadaan anggota tubuh

tiap segmen sangat bervariasi.

Segmen­segmen tubuh krustase cenderung

menunjukkan tagmosis atau tagmatisasi, yaitu

sederetan segmen tubuh yang memiliki kesamaan

fungsi. Perbedaan fungsi dari masing­masing tagma

diikuti oleh spesialisasi appendages, sehingga muncul

variasi bentuk dan ukuran appendages dalam satu

tubuh krustase. Para ahli sepakat bahwa krustase

terdiri dari tiga tagma yaitu : tagma kepala (cephal),

tagma dada (thorax) dan tagma perut (abdomen).

Segmen anterior tagma dada beberapa krustase

berfusi dengan tagma kepala membentuk bagian

yang disebut cephalothorax yang ditutupi oleh lembaran

penutup disebut carapace. Appendages pada segmen

yang berfusi tersebut berubah fungsi menjadi alat

mulut atau tambahan mulut, secara bersama­sama

appendages ini disebut maxilliped.

Page 30: MONOGRAF - Hang Tuah

21

Bagian tagma thorax atau dada yang tidak

berfusi disebut pereon dan appendagesnya disebut

pereopod / pereopoda. Tagma perut juga disebut

pleon sehingga appendagesnya disebut pleopod /

pleopoda. Telson atau ekor merupakan organ yang

masih menjadi perdebatan apakah merupakan bagian

dari tagma perut atau merupakan tagma tersendiri.

Ciri­ciri krustase yang merupakan pembeda

dengan subfilum lainnya adalah jumlah antenna dan

sifat tungkai. Pada krustase terdapat dua pasang

antena dimana subfilum lain hanya sepasang.

Antena bersifat biramus, tetapi bentuk

masing­masing ramusnya dapat berbeda­beda. Pada

stomatopoda salah satu ramusnya bercabang

sehingga seolah­olah bersifat triramus. Tungkai

krustase bersifat biramus, tetapi ada yang salah satu

ramusnya mereduksi sehingga tampak seperti

uniramus (FAO, 2008).

Salah satu famili dari krustase adalah penaeid

yaitu binatang air besegmen dan pada tiap

segmennya terdapat sepasang anggota badan.

Anggota ini pada umumnya bercabang dua atau

biramus. Tubuh penaeid secara morfologis dapat

dibedakan dalam dua bagian yaitu chepalothorax

atau bagian kepala­dada serta bagian abdomen atau

Page 31: MONOGRAF - Hang Tuah

22

perut. Bagian cephalothorax terlindung oleh kulit chitin

yang tebal yang dinamakan carapace.

Secara anatomis baik cephalothorax maupun

abdomen terdiri dari segmen­ segmen. Hanya karena

cephalothorax tertutup oleh carapace maka

segmennya tidak terlihat dari luar, berbeda dengan

bagian abdomen yang segmennya terlihat jelas.

Jumlah keseluruhan segmen udang penaeid pada

umumnya ada 20 buah termasuk bagian kepala

dimana terletak mata bertangkai. Masing­masing

segmen badan tersebut memiliki anggota badan yang

fungsinya bermacam­macam.

Beberapa ahli berpendapat bahwa sepasang

mata bertangkai bukan anggota badan seperti pada

segmen yang lain, sehingga pada tagma kepala

terdiri dari 5 segmen dengan anggota badan sebagai

berikut : antena I (antenula), antena II (antenna),

mandibula, maxilla I, maxilla II. Antenula mempunyai

dua buah flagella pendek yang gunanya sebagai alat

peraba dan pencium. Antenna mempunyai dua buah

cabang pula yaitu cabang pertama (exopodite) yang

berbentuk pipih dan tidak besegmen dinamakan

prosartema, sedang yang lain (endopodite) berupa

cambuk yang panjang yang berfungsi sebagai alat

perasa dan peraba.

Page 32: MONOGRAF - Hang Tuah

23

Tagma dada terdiri dari 8 segmen dengan

anggota badan sebagai berikut : sepasang maxilliped

I, maxilliped II, maxilliped III, kaki jalan (pereopoda) I,

kaki jalan II, III, IV, dan V. Tagma Perut terdiri dari 6

segmen dengan anggota badan sebagai berikut

:sepasang kaki renang (pleopoda) I, kaki renang II,

III, IV, V dan uropoda (Martosudarmo dan

Ranoemihardjo, 1983).

Gambar 2.1. Udang vanamei dewasa

2.2.2. Siklus hidup / stadia

L. vannamei termasuk jenis katadromous, yaitu

udang dewasa hidup di laut terbuka dan udang muda

migrasi ke arah pantai. Secara ekologis L. vannamei

mempunyai siklus hidup identik dengan udang

windu (P. monodon) yaitu melepaskan telur ke

Page 33: MONOGRAF - Hang Tuah

24

tengah laut, pada perairan dengan kedalaman sekitar

70 meter, suhu sekitar 26 – 28 ºC dan salinitas sekitar

35 ppt. Telur menetas dan berkembang menjadi larva

di laut dalam. Post larva L. vannamei bergerak

mendekati pantai dan menetap di dasar

estuarin/muara. Di estuarin, tersedia nutrient, air laut

dengan salinitas dan suhu yang bervariasi daripada laut

terbuka. Setelah beberapa bulan di estuarin, udang

muda kembali ke lingkungan laut menjauhi pantai,

dimana aktivitas matur, mating, dan spawning terjadi

(BBAP Situbondo, 2005).

Gambar 2.2. Siklus hidup L. vannamei (FAO, 2008)

L. vannamei bersifat nokturnal, yaitu melakukan

aktivitas pada malam hari. Proses perkawinan ditandai

dengan loncatan betina secara tiba­tiba sambil

mengeluarkan telur. Pada saat yang bersamaan,

udang jantan mengeluarkan sperma sehingga telur dan

sperma bertemu. Proses perkawinan berlangsung

Page 34: MONOGRAF - Hang Tuah

25

sekitar 1 menit. Sepasang L. vannamei berukuran 30 –

45 gram dapat menghasilkan 100.000 sampai 250.000

butir telur yang berukuran 0,22 mm (Haliman dan

Adijaya, 2005).

Menurut Haliman dan Adijaya (2005), siklus

hidup L. vannamei sebelum ditebar di tambak yaitu

stadia nauplius, stadia zoea, stadia mysis dan stadia

post larva (PL). Dalam perkembangannya, larva L.

vannamei mengalami beberapa kali perubahan bentuk

dan ganti kulit (molting). Secara umum, pergantian

bentuk larva mulai dari menetas sampai menjadi post

larva (PL) yang siap ditebar ke dalam tambak, ada

4 macam stadia yaitu stadia nauplius, zoea (protozoea),

mysis, dan yang terakhir adalah stadia post larva.

Setiap stadia memiliki beberapa sub stadia yang

mempunyai ciri­ciri berlainan. Menurut (FAO, 2008)

ciri­ciri setiap stadia L. vannamei sebagai berikut :

1. Stadia Nauplius

Stadia ini dimulai sejak telur menetas dan

berlangsung selama 46 sampai 50 jam atau 2 sampai

3 hari. Stadia nauplius mengalami 6 kali pergantian

bentuk, yang tiap bentuk (sub stadia) memiliki ciri

sebagai berikut :

Nauplius I : Badan berbentuk bulat telur, sudah

mempunyai anggota badan 3 pasang.

Page 35: MONOGRAF - Hang Tuah

26

Nauplius II : Badan masih bulat, tapi pada ujung

antena pertama terdapat seta (rambut), yang

satu panjang dan dua lainnya pendek.

Nauplius III : Furcalnya tampak jelas terlihat dua

buah, masing­masing dengan 3 duri.

Nauplius IV: Pada antena ke­2 mulai tampak

beruas­ruas, pada setiap furcal terdapat 4 buah

duri.

Nauplius V : Organ bagian depan sudah mulai

tampak jelas disertai dengan tumbuhnya

tonjolan pada pangkal maxilla.

Nauplius VI : Perkembangan bulu­bulu makin sem-

purna duri pada furcal semakin panjang.

Gambar 2.3. Stadia nauplius L.vannamei (FAO, 2008)

2. Stadia Zoea

Stadia zoea berlangsung sekitar 3­4 hari. Zoea

sudah mulai aktif mengambil makanan sendiri dari luar,

terutama plankton. Di samping itu, zoea ini juga

sangat peka terhadap perubahan lingkungan. Tingkat

Page 36: MONOGRAF - Hang Tuah

27

perkembangan zoea dapat dilihat dengan adanya

tanda­tanda sebagai berikut :

Zoea I : Badan pipih, mata dan carapace mulai tampak,

maxilla pertama dan kedua mulai berfungsi.

Zoea II : Sudah terlihat adanya rostrum.

Zoea III : Sepasang uropoda yang bercabang dua

mulai berkembang.

Gambar 2.4. Stadia zoea L. vannamei (FAO, 2008)

3. Stadia Mysis

Setelah zoea berakhir maka stadia

berikutnya adalah stadia mysis, berlangsung selama

2­3 hari, mengalami 3 kali sub stadia, dan memiliki

perubahan bentuk mirip dengan udang muda. Mysis

bersifat planktonis dan memiliki ciri yang paling

menonjol, yaitu gerakan mundurnya dengan cara

membengkokkan badannya. Perubahan bentuk dapat

dilihat dari tanda­tanda sebagai berikut :

Mysis I : Bentuk badan ramping dan memanjang

seperti udang muda, tapi kaki renang belum

nampak.

Page 37: MONOGRAF - Hang Tuah

28

Mysis II : Tunas kaki renang mulai nampak nyata tapi

belum beruas­ruas.

Mysis III : Tunas kaki renang bertambah panjang

dan beruas­ruas.

Gambar 2.5. Stadia mysis L. vannamei (FAO, 2008)

4. Stadia Post Larva (PL)

Stadia Post Larva merupakan perubahan bentuk

yang paling akhir dan paling sempurna dari seluruh

metamorfosa larva udang. Post larva tidak mengalami

perubahan bentuk, karena seluruh bagian tubuh sudah

lengkap dan sempurna seperti udang dewasa.

Dengan bertambahnya umur, Post larva hanya

mengalami perubahan panjang dan berat.

Gambar 2.6. Stadia post larva L.vannamei (FAO,2008)

Page 38: MONOGRAF - Hang Tuah

29

L. vannamei pada stadia post larva sudah

tampak seperti udang dewasa. Pada stadia ini udang

sudah mulai aktif bergerak lurus ke depan. L.

Vannamei mempunyai toleransi salinitas yang sangat

lebar yaitu 2 – 40 ppt, tetapi akan tumbuh lebih baik

pada salinitas rendah, ketika terjadi isoosmotik antara

lingkungan dan darah. Pada salinitas 33 ppt larva

L. vannamei tumbuh sangat baik (BBAP Situbondo,

2005).

Page 39: MONOGRAF - Hang Tuah

30

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Materi penelitian

3.1.1. Bahan uji

Bahan uji yang digunakan dalam penelitian terdiri

dari dua senyawa logam berat yaitu : (1) Senyawa

timbal (II) asetat Pb(CH3COO)2.3H2O (Merck)

berupa bubuk dengan berat molekul 379,3 dengan

berat atom Pb yaitu 207,2. (2) Tembaga (II) asetat

Cu(CH3COO)2.H2O (Merck) berupa bubuk dengan

berat molekul sebesar 199,65 dan berat atom Cu

sebesar 63,54 (CR Scientific, 2009). Selanjutnya

bahan uji dibuat menjadi larutan induk.

Larutan induk timbal 1000 ppm dibuat dengan

cara menimbang Pb(CH3COO)2.3H2O 1,831 g yang

dilarutkan dalam 100 mL akuademineral lalu

dimasukkan ke dalam labu ukur 1000 mL, setelah itu

diencerkan dengan akuades hingga tanda batas.

Larutan baru dibuat dengan mengambil larutan induk

Pb(CH3COO)2.3H2O 1000 ppm dengan volume

tertentu kemudian diencerkan dengan akuades

hingga didapat larutan timbal dengan konsentrasi yang

diinginkan. Pengenceran dilakukan dengan

menggunakan rumus :

Page 40: MONOGRAF - Hang Tuah

31

N1 . V1 = N2 . V2

Keterangan :

N1

N2

= =

Konsentrasi larutan yang akan diencerkan Konsentrasi larutan setelah pengenceran

V1

V2

= =

Volume larutan yang akan diencerkan Volume larutan setelah pengenceran

Larutan induk tembaga 1000 ppm dibuat dengan

cara menimbang Cu(CH3COO)2.H2O 3,142 g yang

dilarutkan dalam 100 mL akuademineral lalu

dimasukkan ke dalam labu ukur 1000 mL, setelah itu

diencerkan dengan akuades hingga tanda batas.

Larutan baru dibuat dengan mengambil larutan induk

Cu(CH3COO)2.H2O 1000 ppm dengan volume

tertentu dan diencerkan dengan akuades hingga

didapat larutan tembaga dengan konsentrasi yang

diinginkan.

3.1.2. Hewan uji

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian

pertama adalah udang L. vannamei stadia larva

(Nauplius, Zoea, Mysis), postlarva (Post Larva­5, Post

Larva­10, Post Larva­15) dan juvenil, sedang dalam

penelitian kedua hanya digunakan juvenil udang L.

vannamei. Hewan uji berasal dari populasi yang

sama dan diperoleh dari tempat pembenihan di

Situbondo yang selanjutnya dipelihara di laboratorium

Page 41: MONOGRAF - Hang Tuah

32

pembenihan Akademi Perikanan Sidoarjo (APS)

dengan ukuran panjang dan berat sebagai berikut :

Tabel 3.1. Ukuran Panjang­Berat Hewan Uji

No Sub Stadia Panjang (cm) Berat (g) 1 Naupli ­ ­ 2 Zoea ­ ­ 3 Mysis ­ ­ 4 PL – 5 0,61 ± 0,05 0,17 ± 0,09 5 PL ­ 10 0,83 ± 0,04 0,22 ± 0,02 6 PL­ 15 1,46 ± 0,15 0,48 ± 0,07 7 Juvenil 7,69 ± 0,11 8,93 ± 0,21

Hewan uji yang digunakan harus memenuhi

persyaratan untuk uji toksisitas akut, diantaranya

sehat, berukuran seragam (panjang biota terbesar

tidak melebihi dua kali panjang biota terkecil), berumur

sama dan dalam satu tingkat kehidupan, serta berasal

dari sumber yang sama (EPA, 1996; Hindarti,1997).

3.1.3. Media uji

Media uji dalam penelitian ini berupa air laut

dengan salinitas yang berbeda disesuaikan dengan

stadia udang yang diuji. Kondisi salinitas dibuat

dengan metode pengenceran air laut dengan rumus

sebagai berikut:

Sn = S1V1 + S2V2

V1 +V 2

Page 42: MONOGRAF - Hang Tuah

33

Keterangan :

Sn : Salinitas yang dikehendaki (‰)

S1 : Salinitas air laut yang diencerkan (‰)

S2 : Salinitas air tawar untuk mengencerkan (‰)

V1 : Volume air laut yang diencerkan (L)

V2 : Volume air tawar untuk mengencerkan (L)

Salinitas air laut sebagai media uji dalam penelitian

ini disesuaikan dengan habitat masing­masing stadia

adalah sebagai berikut :

Tabel 3.2. Salinitas Media Uji

3.2. Metode penelitian

3.2.1. Jenis dan rancangan penelitian

Rancangan dalam penelitian ini adalah

Rancangan Acak Lengkap (RAL) karena selain unit

perlakuan maka semua faktor dibuat homogen atau

dihomogenkan. Penelitian ini dilaksanakan di

laboratorium, dengan menggunakan sistem

pemaparan sebagai berikut : (1) sistem statis untuk

udang L. vannamei substadia larva (Nauplius, Zoea,

Mysis), dan (2) sistem statis diperbarui (static

No Sub Stadia Salinitas (%o) 1 Naupli 33

2 Zoea 33 3 Mysis 33 4 PL – 5 30 5 PL ­ 10 30 6 PL­ 15 30 7 Juvenil 15

Page 43: MONOGRAF - Hang Tuah

34

renewable) untuk substadia postlarva dan juvenil.

Larutan uji diganti pada interval waktu 24 jam untuk

substadia post larva dan 48 jam untuk stadia

juvenil. Penggantian larutan uji dilakukan dengan cara

mengganti larutan dengan konsentrasi yang sama

(Boudou and Ribeyre, 2000).

3.2.2. Pelaksanaan penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap

meliputi tahap persiapan, dan tahap uji toksisitas

logam yang bertujuan untuk mengetahui LC50 .

a. Tahap Persiapan

Pada tahap persiapan ini dilakukan beberapa kegiatan

sebagai berikut :

1. Mempersiapkan semua alat dan bahan yang di-

pergunakan dalam penelitian

2. Membersihkan wadah uji dengan prosedur APHA

(1992) dengan langkah­ langkah sebagai berikut :

a. Mencuci wadah uji dengan deterjen

b. Membilas sebanyak lima kali dengan air tawar

c. Membilas dengan HCl 10 %

d. Membilas sebanyak lima kali dengan air tawar

e. Membilas dengan air destilasi

f. Mengeringkan wadah uji

3. Membuat larutan induk (stok) logam Pb dan

Cu, masing­masing dengan konsentrasi 1000 ppm.

Page 44: MONOGRAF - Hang Tuah

35

4. Mempersiapkan hewan uji yang akan digunakan

dalam penelitian

5. Melakukan aklimatisasi hewan uji dengan

prosedur yang dikemukakan oleh Mujiman dan

Suyanto (1989) sebagai berikut :

a. Kantung berisi air dan udang direndam dalam

ember selama 30 menit agar suhu didalam

kantung menjadi sama dengan suhu di luar

kantung.

b. Setelah suhu sama, air beserta udang dituang

ke dalam ember bersih. Ditambahkan air

sebanyak ¼ bagian dari volume air kantung

sehingga bercampur selama 2 jam.

Pencampuran ini dimaksudkan untuk

penyesuaian udang terhadap pH dan salinitas.

Ditambahkan air bak sebanyak ¼ bagian dari

volume air kantung selama 2 jam. Kemudian

ditambahkan air bak ½ bagian dari keseluruhan

volume air selama 2 jam.

c. Melakukan adaptasi hewan uji terhadap

salinitas media pemeliharaan. Apabila

selama aklimatisasi terjadi kematian 10 %

hewan uji, maka hewan uji dinyatakan tidak

layak untuk digunakan dan harus diganti.

Page 45: MONOGRAF - Hang Tuah

36

d. Memberi pakan hewan uji dengan Artemia sp.

sejumlah 25 – 30 tiap ekor udang setiap 4

jam sekali.

e. Melakukan aklimatisasi terhadap hewan uji

dengan kondisi media teraerasi, dengan suhu

27 ºC – 28 ºC dengan periode gelap dan terang

masing­masing 12 jam sesuai pencahayaan

alami selama penelitian dilakukan.

b. Tahap Uji Toksisitas

Uji toksisitas yang dilakukan meliputi dua tahap yaitu

uji pendahuluan atau uji penentuan selang konsentrasi

(range finding test) dan uji utama atau uji definitif.

Logam yang menjadi perlakuan dan akan diuji

toksisitasnya dalam penelitian ini adalah logam Pb

dan Cu. Uji toksisitas ini dilakukan pada larva

(Nauplius, Zoea, Mysis), pasca larva (PL­5, PL­10,

PL­15) dan juvenil udang L. vannamei yang

dipelihara dalam media air laut dengan salinitas sesuai

habitat hidup masing­masing sub stadia udang

tersebut.

1) Uji penentuan selang konsentrasi (range

finding test)

Uji penentuan selang konsentrasi dilakukan untuk

menentukan konsentrasi ambang bawah (LC0 – 24

Page 46: MONOGRAF - Hang Tuah

37

jam) yaitu konsentrasi tertinggi di mana semua hewan

uji masih hidup dalam waktu 24 jam dan konsentrasi

ambang atas (LC100– 24 jam) yaitu konsentrasi

terendah dimana semua hewan uji mati dalam selang

waktu 24 jam. Uji penentuan selang konsentrasi ini

dilakukan pada larva (Nauplius, Zoea, Mysis), pasca

larva (PL­5, PL­10, PL­15) dan juvenil udang L.

vannamei menggunakan konsentrasi logam Pb dan

Cu dalam angka logaritmik berbasis 10 yaitu 10­3,

10­2, 10­1, 100, 101, 102, 103 dan satu kontrol (Komisi

Pestisida, 1983). Jumlah hewan uji yang digunakan

adalah 10 ekor setiap perlakuan dengan ulangan

sebanyak 3 kali pada masing­masing sub stadia.

2) Uji definitif

Uji ini digunakan untuk menentukan LC50 (konsentrasi

lethal median) logam Pb dan Cu pada larva (Nauplius,

Zoea, Mysis), pasca larva (PL­5, PL­10, PL­15) dan

juvenil udang L. vannamei. Jumlah hewan uji yang

digunakan adalah 10 ekor setiap perlakuan dengan

ulangan sebanyak 3 kali pada masing­masing sub

stadia. Penentuan konsentrasi uji berdasarkan nilai

ambang atas dan ambang bawah dengan

menggunakan rumus Komisi Pestisida (1983) :

Page 47: MONOGRAF - Hang Tuah

38

dimana: N = Konsentrasi ambang atas

n = Konsentrasi ambang bawah

K = Jumlah konsentrasi uji

a = Konsentrasi uji terkecil

a, b, c, d, e = Konsentrasi uji yang dikehendaki

3.2.3. Analisis data

Data yang diambil untuk analisis perhitungan

nilai LC50 berupa data mortalitas. Kriteria mortalitas

ditandai dengan tidak adanya gerakan dan reaksi

hewan terhadap rangsangan. Rangsangan dilakukan

dengan sentuhan kayu atau batang lidi (APHA, 1992;

Bambang, et al., 1995).

Pengamatan terhadap mortalitas hewan uji

dan pencatatan kualitas air dilakukan selama

penelitian berlangsung. Pengamatan mortalitas

hewan uji dilakukan pada jam ke­1, 2, 4, 8, 16, 24,

48, 72, dan 96 untuk sub stadia PL­5, PL­10, PL­15

dan juvenil. Pengamatan mortalitas hanya dilakukan

sampai jam ke 24 untuk sub stadia Naupli, Zoea dan

sampai jam ke 48 untuk sub stadia Mysis. Batas akhir

Page 48: MONOGRAF - Hang Tuah

39

waktu pengamatan mortalitas (jam ke­24, 48 dan

96) disesuaikan dengan siklus hidup masing­masing

sub stadia udang L. vannamei. Hewan uji yang mati

dicatat dan segera diangkat dari media untuk

mencegah terjadinya pencemaran media uji serta

tidak dilakukan penggantian hewan uji yang mati

(Reish and Oshida, 1987).

Data mortalitas yang diperoleh dianalisis dengan

menggunakan perangkat lunak (software) Trimmed

Spearman Karber (TSK) versi 1.5 dari US EPA.

Software TSK digunakan untuk menentukan nilai

LC50 dengan teknik non­parametrik, teknik ini tidak

memerlukan respon parsial, tetapi respon dari

mortalitas 0 sampai 100% harus terpenuhi (Hindarti,

1997).

Page 49: MONOGRAF - Hang Tuah

40

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil penelitian

4.1.1 Uji Toksisitas

A. Penentuan Selang Konsentrasi

Uji penentuan selang konsentrasi atau uji

pendahuluan dilakukan untuk menentukan selang

konsentrasi pada uji utama (uji definitif). Dalam uji

penentuan selang konsentrasi digunakan larutan uji

dengan konsentrasi berdasarkan urutan logaritmik

berbasis 10 yaitu 10­3, 10­2, 10­1, 100, 101, 102, 103

(dengan satuan mg/L) dan satu kontrol (NIWA, 1998).

Hasil pengamatan uji penentuan selang

konsentrasi untuk logam Pb dan Cu pada sub stadia

Naupli, Zoea1 sampai Zoea3, Mysis1 sampai Mysis3,

PL5, PL10, dan PL15 serta juvenil L. vannamei

disajikan dalam Tabel 4.1 sebagai berikut :

Tabel 4.1. Nilai ambang bawah dan ambang atas

logam berat Pb pada masing­masing sub stadia L. Vannamei

No

Sub Batas Ambang Batas Ambang

Stadia (mg Pb/L) (mg Cu/L)

Bawah Atas Bawah Atas

1 Naupli 0,01 1 0,001 0,1

2 Zoea-1 0,01 1 0,001 0,1

Page 50: MONOGRAF - Hang Tuah

41

3 Zoea-2 0,01 1 0,001 0,1

4 Zoea-3 0,01 1 0,001 0,1

5 Mysis-1 0,01 10 0,01 10

6 Mysis-2 0,01 10 0,01 10

7 Mysis-3 0,1 10 0,01 10

8 PL-5 0,1 100 0,1 100

9 PL-10 1 100 0,1 100

10 PL-15 1 100 0,1 100

11 Juvenil 1 100 0,1 100

Dari Tabel 4.1 tersebut terlihat bahwa nilai

ambang bawah (LC0­24jam) logam Pb berkisar antara

0,01 sampai 1 mg Pb/L, semakin tinggi seiring dengan

meningkatnya sub stadia L. vannamei. Nilai ambang

atas (LC100­24jam) l oga m Pb berkisar antara 1

sampai 100 mg Pb/L, juga semakin tinggi seiring

dengan meningkatnya sub stadia L. vannamei. Nilai

ambang bawah dan ambang atas yang sama terdapat

pada Sub stadia Naupli sampai Zoea3, Mysis1 sampai

Mysis2, PL10 sampai juvenil.

Sedangkan nilai ambang bawah (LC0­24jam)

logam Cu berkisar antara 0,001 sampai 0,1 mg Cu/L

semakin tinggi seiring dengan meningkatnya sub stadia

L. vannamei. Nilai ambang atas (LC100­24jam)

berkisar antara 0,1 sampai 100 mg Cu/L juga

semakin tinggi seiring dengan meningkatnya sub

stadia L. vannamei. Nilai ambang bawah dan

ambang atas yang sama terdapat pada Sub stadia

Page 51: MONOGRAF - Hang Tuah

42

Naupli sampai Zoea3, Mysis1 sampai Mysis3, PL5

sampai PL15 dan juvenil.

B. Konsentrasi Uji Toksisitas Akut

Berdasarkan hasil nilai ambang bawah

(LC0­24jam) dan ambang atas (LC100­24jam) pada uji

penentuan selang konsentrasi untuk logam Pb dan

logam Cu maka dapat ditentukan besarnya konsentrasi

uji dengan menggunakan rumus Komisi Pestisida

(1983).

Dari rumus di atas diperoleh lima nilai

konsentrasi uji untuk logam Pb dan Cu. Dalam uji

ini digunakan sebuah kontrol negatif yaitu hewan uji

dipelihara dalam suatu media dengan kondisi media

yang sama, perlakuan dan biota dari populasi yang

sama, akan tetapi tidak ditambahkan toksikan sesuai

dengan protokol EPA (1996). Lima deret konsentrasi

uji Pb dan Cu untuk uji toksisitas akut pada berbagai

sub stadia L. vannamei disajikan pada Tabel 4.2 dan

4.3.

Page 52: MONOGRAF - Hang Tuah

43

Tabel 4.2. Konsentrasi Pb yang Digunakan dalam Uji

Toksisitas Akut pada Berbagai Sub Stadia L. Vannamei

Dari Tabel 4.2 di atas terlihat bahwa kon-

sentrasi Pb yang digunakan dalam uji toksisitas akut

akan semakin tinggi seiring dengan meningkatnya

sub stadia L. vannamei. Konsentrasi uji yang memiliki

nilai sama terdapat pada kelompok substadia Naupli

sampai Zoea3, Mysis1 sampai Mysis2, serta PL10,

Tabel 4.3. Konsentrasi Cu yang Digunakan Uji

Toksisitas Akut pada berbagai Sub Stadia L. vannamei

Dari Tabel 4.3 di atas terlihat bahwa konsentrasi

Cu yang digunakan dalam uji toksisitas akut akan

semakin tinggi seiring dengan meningkatnya sub

stadia L. vannamei. Konsentrasi uji yang memiliki

nilai sama terdapat pada kelompok sub stadia Naupli

sampai Zoea3, Mysis1 sampai Mysis3, serta PL5

sampai PL15 dan Juvenil.

Page 53: MONOGRAF - Hang Tuah

44

C. Uji Utama (Uji Definitif)

Uji utama atau uji definitif dilakukan terhadap

berbagai sub stadia L. vannamei dengan

menggunakan konsentrasi logam Pb dan Cu hasil

perhitungan dengan menggunakan rumus komisi

pestisida di atas. Perbedaan konsentrasi logam berat

Pb dalam media uji menyebabkan perbedaan jumlah

mortalitas hewan uji. Data persentase mortalitas pada

berbagai sub stadia L. vannamei karena pengaruh

berbagai konsentrasi logam Pb disajikan pada Tabel

4.4 sampai Tabel 4.5

Tabel 4.4. Mortalitas Naupli, Zoea1 sampai Zoea3 L.vannamei Setelah Pemaparan 24 jam pd Berbagai Konsentrasi Logam Pb (mg Pb/L)

Dari Tabel 4.4 tersebut terlihat bahwa semakin

tinggi konsentrasi logam berat Pb maka persentase

mortalitas Naupli, Zoea1 sampai Zoea3 L.vannamei

cenderung semakin meningkat. Konsentrasi 0,3975

mg Pb/L sudah dapat mengakibatkan Naupli mati

semua sedang pada konsentrasi 0,0631 mg Pb/L belum

dapat mematikan udang pada sub stadia Zoea3.

Page 54: MONOGRAF - Hang Tuah

45

Tabel 4.5. Persentase Mortalitas Mysis1 dan Mysis2

L.vannamei setelah pemaparan 48 jam pada Berbagai Konsentrasi Logam Pb (mg Pb/L)

Dari Tabel 4.5 di atas terlihat bahwa semakin

tinggi konsentrasi logam berat Pb maka persentase

mortalitas Mysis1 dan Mysis2 L. vannamei cenderung

semakin meningkat. Konsentrasi 0,0398 mg Pb/L

belum dapat mematikan udang. Kematian udang, baik

Mysis1 maupun Mysis2 baru terjadi pada konsentrasi

0,1585 mg Pb/L.

Tabel 4.6. Persentase Mortalitas Mysis3 L. vannamei

Setelah Pemapa-ran 48 jam pada Berbagai Konsentrasi Logam Pb (mg Pb/L)

Dari Tabel 4.6 di atas terlihat bahwa semakin

tinggi konsentrasi logam berat Pb maka persentase

mortalitas Mysis3 udang L. vannamei cenderung

semakin meningkat. Konsentrasi 0,2512 mg Pb/L

Page 55: MONOGRAF - Hang Tuah

46

belum dapat mematikan udang dan kematian Mysis3

baru terjadi pada konsentrasi 0,6310 mg Pb/L.

Tabel 4.7. Persentase Mortalitas Post Larva5 L.

vannamei Setelah Pe-maparan 96 jam pada Berbagai Konsentrasi Logam Pb (mg Pb/L)

Dari Tabel 4.7 di atas terlihat bahwa semakin

tinggi konsentrasi logam berat Pb maka persentase

mortalitas Post Larva5 udang L. vannamei semakin

meningkat. Konsentrasi logam Pb 100,0036 mg Pb/L

mengakibatkan seluruh Post Larva5 udang L.

vannamei mengalami kematian.

Tabel 4.8. Persentase Mortalitas Post Larva10, Post Larva15, Juvenil L. Vannamei Setelah Pemaparan 96 jam pada Berbagai Konsentrasi Logam Pb (mg Pb/L)

Dari Tabel 4.8 di atas terlihat bahwa semakin

tinggi konsentrasi logam berat Pb maka persentase

mortalitas Post Larva10, Post Larva15 dan Juvenil

udang L. vannamei semakin meningkat. Konsentrasi

Page 56: MONOGRAF - Hang Tuah

47

logam Pb 100 mg Pb/L mengakibatkan seluruh Post

Larva10, Post Larva15 dan Juvenil udang L.

vannamei mengalami kematian. Seperti halnya pada

logam berat Pb, perbedaan konsentrasi logam berat

Cu dalam media uji menyebabkan perbedaan jumlah

mortalitas hewan uji. Data persentase mortalitas

pada berbagai sub stadia L. vannamei karena

pengaruh berbagai konsentrasi logam Cu disajikan

pada Tabel 4.9 sampai Tabel 4.11.

Tabel 4.9. Persentase Mortalitas Naupli, Zoea1 sampai

Zoea3 L. vannamei Setelah Pemaparan 24 jam pada Berbagai Konsentrasi Logam Cu (mg Cu/L)

Dari Tabel 4.9 di atas terlihat bahwa semakin

tinggi konsentrasi logam berat Cu maka persentase

mortalitas udang semakin meningkat. Konsentrasi

logam Cu 0,0025 mg Cu/L belum dapat mematikan sub

stadia Zoea1 sampai Zoea3 tetapi sudah dapat

mengakibatkan sub stadia Naupli mengalami

kematian. Konsentrasi 0,0977 mg Cu/L sudah dapat

mematikan seluruh udang baik pada sub stadia Naupli

maupun sub stadia Zoea1 sampai Zoea3.

Page 57: MONOGRAF - Hang Tuah

48

Tabel 4.10. Presentase Mortalitas Mysis1 sampai

Mysis3 L. Vannamei Setelah Pemaparan Selama 48 jam pada Berbagai Konsentrasi Logam Cu (mg Cu/L)

Dari Tabel 4.10 di atas terlihat bahwa semakin

tinggi konsentrasi logam berat Cu maka persentase

mortalitas udang semakin meningkat. Konsentrasi

logam Cu 0,6309 mg Cu/L sudah dapat mematikan

seluruh sub stadia Mysis1 dan Mysis2 tetapi belum

dapat mematikan sub stadia Mysis3. Kematian

seluruh Mysis3 baru terjadi pada konsentrasi 9,9991

mg Cu/L.

Tabel 4.11. Persentase Mortalitas Post larva5, Post

larva10, Post larva15, dan Juvenil L.vannamei Setelah Pemaparan 96 jam pada Berbagai Konsentrasi Logam Cu (mg Cu/L)

Dari Tabel 4.11 di atas terlihat bahwa semakin

tinggi konsentrasi logam berat Cu maka persentase

mortalitas udang semakin meningkat. Konsentrasi

Page 58: MONOGRAF - Hang Tuah

49

logam Cu 25,1196 mg Cu/L sudah dapat mematikan

seluruh sub stadia PL5, PL10 dan PL15 tetapi belum

dapat mematikan sub stadia Juvenil. Kematian

seluruh Juvenil baru terjadi pada konsentrasi 100,0036

mg Cu/L.

4.1.2. Nilai LC50 pada Berbagai Sub Stadia L.

vannamei

Penentuan nilai LC50 logam berat Pb dan Cu

dilakukan dengan cara menganalisis jumlah mortalitas

dengan menggunakan program Trimmed Spearman

Karber (TSK) versi 1.5 dari EPA. Metode TSK

digunakan karena terdapat respon parsial pada

mortalitas dan nilai mortalitas 0% dan 100% terpenuhi

(Hindarti, 1997). Hasil analisis LC50 untuk logam berat

Pb disajikan pada Tabel 4.12 sampai Tabel 4.14 dan

Gambar 4.1 sedang untuk logam berat Cu disajikan

pada Tabel 4.15 sampai Tabel 4.17 dan Gambar 4.2.

Tabel 4.12. Nilai LC50­24 jam Logam Pb Pada Sub

stadia L. vannamei

Page 59: MONOGRAF - Hang Tuah

50

Dari Tabel 4.12 di atas terlihat bahwa semakin

tinggi tingkatan sub stadia L. vannamei ternyata diikuti

oleh nilai LC50­24 jam yang cenderung semakin

tinggi pula. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi

tingkatan sub stadia udang dibutuhkan konsentrasi

logam Pb yang lebih tinggi untuk mematikan 50%

populasi pada sub stadia tersebut. Atau semakin tinggi

tingkatan sub stadia udang, maka tingkat toleransinya

terhadap toksikan logam Pb juga semakin meningkat.

Pada sub stadia Post Larva 15 terjadi penurunan nilai

LC50­24 jam yaitu 21,54 mg Pb/L. Penurunan nilai

LC50­24 jam ini karena banyak terjadi kematian

udang akibat molting atau pergantian kulit pada hari

pertama setelah pemaparan.

Tabel 4.13. Nilai LC50­48 jam Logam Pb pada Sub

stadia L. vannamei

Dari Tabel 4.13 terlihat bahwa semakin tinggi

tingkatan sub stadia L. vannamei ternyata diikuti oleh

nilai LC50­48 jam yang semakin tinggi pula. Hal ini

berarti bahwa semakin tinggi tingkatan sub stadia

udang dibutuhkan konsentrasi logam Pb yang lebih

tinggi untuk mematikan 50% populasi pada sub stadia

Page 60: MONOGRAF - Hang Tuah

51

tersebut. Atau semakin tinggi tingkatan sub stadia

udang, maka tingkat toleransinya terhadap toksikan

logam Pb juga semakin meningkat.

Pada sub stadia Post Larva 15 terjadi penurunan nilai

LC50­48 jam yaitu 17,92 mg Pb/L. Penurunan nilai

LC50­48 jam ini terjadi karena kematian udang akibat

molting atau pergantian kulit masih banyak terjadi

sampai hari kedua setelah pemaparan. Bila

dibandingkan dengan LC50­24 jam maka nilai LC50­48

jam pada masing­masing sub stadia mengalami

penurunan, hal ini dikarenakan terjadinya akumulasi

kematian udang dari hari pertama sampai hari kedua

setelah pemaparan.

Tabel 4.14. Nilai LC50­96 jam Logam Pb pada Sub

stadia L. vannamei

Dari Tabel 4.14 di atas terlihat bahwa semakin

tinggi tingkatan sub stadia L. vannamei ternyata diikuti

oleh nilai LC50­96 jam yang semakin tinggi pula. Hal

ini berarti semakin tinggi tingkatan sub stadia udang,

maka tingkat toleransinya ter­ hadap toksikan logam

Pb juga semakin meningkat. Dibandingkan dengan

LC50­24 jam dan LC50­48 jam maka nilai LC50­96 jam

pada masing­masing sub stadia mengalami

Page 61: MONOGRAF - Hang Tuah

52

penurunan, hal ini dikarenakan terjadinya akumulasi

kematian udang dari hari pertama sampai hari keempat

setelah pemaparan.

Keterangan : Ɪ = Interval kepercayaan 95%; L = Larva; PL = Post Larva

Gambar 4.1 LC50 Logam Pb pada berbagai sub stadia L.vannamei

Sama dengan logam berat Pb, maka hasil

analisis LC50 untuk logam berat Cu disajikan pada

Tabel 4.15 sampai Tabel 4.17 dan Gambar 4.2 sebagai

berikut :

Tabel 4.15. Nilai LC50­24 jam Logam Cu pada Sub

stadia L. vannamei

S.Stadia LC50 Interv kepc 95 % Keterangan Naupli 0,01 0,01 < x < 0,02 LC 50 – 24 jam Zoea1 0,02 0,02 < x < 0,03 LC 50 – 24 jam Zoea2 0,02 0,02 < x < 0,03 LC 50 – 24 jam Zoea3 0,03 0,02 < x < 0,03 LC 50 – 24 jam Mysis1 0,18 0,13 < x < 0,26 LC 50 – 24 jam Mysis2 0,22 0,17 < x < 0,29 LC 50 – 24 jam Mysis3 0,98 0,67 < x < 1,43 LC 50 – 24 jam

Page 62: MONOGRAF - Hang Tuah

53

PL

5

7,84 5,60 < x < 10,98 LC 50 – 24 jam PL10 7,51 5,52 < x < 10,22 LC 50 – 24 jam PL15 7,94 6,12 < x < 10,32 LC 50 – 24 jam Juvenil 8,91 6,73 < x < 11,81 LC 50 - 24

Dari Tabel 4.15 di atas terlihat bahwa semakin

tinggi tingkatan sub stadia L. vannamei ternyata diikuti

oleh nilai LC50­24 jam yang cenderung semakin

tinggi pula. Hal ini berarti semakin tinggi tingkatan sub

stadia udang L. vannamei, maka tingkat toleransinya

terhadap toksikan logam Cu juga semakin meningkat.

Pada sub stadia Post Larva 10 terjadi

penurunan nilai LC50­24 jam yaitu 7,51 mg Cu/L.

Penurunan nilai LC50­24 jam ini terjadi karena terjadi

kematian udang akibat molting atau pergantian kulit

pada hari pertama setelah pemaparan.

Tabel 4.16. Nilai LC50­48 jam Logam Cu pada Sub

stadia L. vannamei

S.stadia LC50 Interv keperc 95 % Keterangan Mysis1 0,09 0,06 < x < 0,12 LC 50 – 48 jam Mysis2 0,21 0,16 < x < 0,27 LC 50 – 48 jam Mysis3 0,38 0,21 < x < 0,68 LC 50 – 48 jam PL5 6,21 4,12 < x < 9,36 LC 50 – 48 jam PL10 4,58 3,16 < x < 6,65 LC 50 – 48 jam PL15 6,02 4,14 < x < 8,75 LC 50 – 48 jam Juvenil 6,63 4,76 < x < 9,24 LC 50 – 48

Dari Tabel 4.16 terlihat bahwa semakin tinggi

tingkatan sub stadia L. vannamei ternyata diikuti oleh

nilai LC50­48 jam yang semakin tinggi pula. Hal ini

berarti bahwa semakin tinggi tingkatan sub stadia

Page 63: MONOGRAF - Hang Tuah

54

udang dibutuhkan konsentrasi logam Cu yang lebih

tinggi untuk mematikan 50% populasi pada sub stadia

tersebut. Atau semakin tinggi tingkatan sub stadia

udang L. vannamei, maka tingkat toleransinya

terhadap toksikan logam Cu juga semakin tinggi.

Pada sub stadia Post Larva 10 terjadi

penurunan nilai LC50­48 jam yaitu 4,58 mg Cu/L.

Penurunan nilai LC50­48 jam ini karena kematian

udang akibat molting atau pergantian kulit masih terjadi

pada hari kedua setelah pemaparan. Dibandingkan

dengan LC50­24 jam maka nilai LC50­48 jam pada

masing­masing sub stadia mengalami penurunan, hal

ini dikarenakan terjadinya akumulasi kematian udang

dari hari pertama sampai hari kedua setelah

pemaparan.

Tabel 4.17. Nilai LC50­96 jam Logam Cu pada Sub

stadia L. vannamei

Substa

dia

LC50 Inter keperc 95 % Keterangan PL

5

1,02 0,66 < x < 1,57 LC 50 – 96 jam PL10 1,63 1,15 < x < 2,3 LC 50 – 96 jam PL15 1,64 1,13 < x < 2,38 LC 50 – 96 jam Juvenil 2,16 1,45 < x < 3,22 LC 50 – 96

Dari Tabel 4.17 di atas terlihat bahwa semakin

tinggi tingkatan sub stadia L. vannamei ternyata diikuti

oleh nilai LC50­96 jam yang semakin tinggi pula. Hal

ini berarti bahwa semakin tinggi tingkatan sub stadia

udang, maka tingkat toleransinya terhadap toksikan

Page 64: MONOGRAF - Hang Tuah

55

logam Cu juga semakin tinggi. Dibandingkan dengan

LC50­24 jam dan LC50­48 jam maka nilai LC50­96 jam

pada masing­masing sub stadia mengalami

penurunan, hal ini dikarenakan terjadinya akumulasi

kematian udang dari hari pertama sampai hari keempat

setelah pemaparan.

Keterangan : Ɪ = Interval kepercayaan 95%; L = Larva; PL = Post Larva

Gambar 4.2 LC50 Logam Cu pada berbagai sub stadia L.vannamei

4.2 Pembahasan

4.2.1 Nilai ambang bawah dan ambang atas

Dari hasil pengamatan mortalitas didapatkan

nilai ambang bawah dan ambang atas yang berbeda

Page 65: MONOGRAF - Hang Tuah

56

untuk paparan logam Pb dan Cu pada berbagai sub

stadia udang L. vannamei (Tabel 4.1). Perbedaan nilai

ambang bawah dan ambang atas paparan logam Pb

dan Cu ini menunjukkan daya toksik kedua logam

yang berbeda. Bila dilihat dari nilai terendah ambang

bawah logam Pb dan Cu (0,01 mg Pb/L dan 0,001

mg Cu/L) menunjukkan bahwa logam Cu lebih toksik

dibanding logam Pb. Dari data ini juga terlihat bahwa

semakin tinggi tingkatan sub stadia udang maka

tingkat toleransinya terhadap daya toksik logam Pb

dan Cu juga semakin besar.

Perbedaan nilai ambang bawah dan ambang

atas ini disebabkan oleh daya racun kedua logam

yang berbeda juga karena menurunnya fungsi organ

seperti insang, hati, ginjal, otot, dan saraf hingga tidak

berfungsi sebagaimana mestinya. Selain karena

kedua hal tersebut, maka perbedaan nilai ambang

bawah dan ambang atas untuk logam Pb dan Cu

pada masing­masing sub stadia juga karena tingkat

kesempurnaan organ­organ udang L. vannamei pada

masing­masing sub stadia yang berbeda.

Ambang bawah untuk logam Pb dan logam

Cu pada masing­masing sub stadia udang L.

vannamei menimbulkan efek subletal atau kronik,

sedangkan ambang atas menimbulkan efek

mematikan. Kematian udang L. Vannamei

Page 66: MONOGRAF - Hang Tuah

57

disebabkan oleh efek toksik logam berat Pb dan Cu

yang semakin meningkat akibat penyerapan logam

tersebut yang tinggi dari lingkungan. Menurut

Connell dan Miller (1995) pengaruh lethal suatu

bahan pencemar terhadap makhluk hidup adalah

tanggapan yang terjadi pada saat proses fisika dan

zat kimia mengganggu proses sel atau sub sel dalam

makhluk hidup sampai suatu batas yang menyebabkan

kematian secara langsung.

Darmono (1995) menyebutkan bahwa Logam

Pb dan Cu terlibat dalam proses­proses fungsi enzim

secara normal. Beberapa enzim yang penting

disekresi oleh sel­sel insang ialah enzim carbonyc

anhydrase dan ATP-ase. Carbonyc anhydrase

merupakan enzim yang mengandung seng (Zn)

yang berperan dalam katalis CO2 menjadi asam

karbonat (HCO3). Logam seng yang terikat enzim

ini digantikan oleh molekul logam Pb dan Cu,

sehingga aktivitas enzimnya menjadi berkurang.

Perubahan menjadi metaloenzim ini menyebabkan

fungsi enzim tersebut rusak.

Selain karena beberapa sebab tersebut di

atas, masuknya logam ke dalam tubuh udang juga

dipicu oleh peristiwa molting. Adanya proses

molting pada udang mempengaruhi penyerapan logam

Page 67: MONOGRAF - Hang Tuah

58

berat ke dalam tubuhnya. Menurut Passaro (1996)

dalam Sulistiyarini (1999), setelah molting udang

mengalami penyerapan air dalam jumlah besar dari

lingkungannya, sehingga logam berat terlarut yang

masuk ke dalam tubuh udang juga mengalami

peningkatan. Krustasea yang sedang molting

mengalami peningkatan penyerapan logam berat ke

dalam tubuhnya, kemungkinan dalam hubungannya

dengan peningkatan sementara pada permeabilitas

permukaan tubuh sebelum kalsifikasi (pengerasan)

kulit baru (Rainbow, 1995).

De Lisle and Robert (1994) dalam Rachmansyah,

(1998) menyatakan bahwa proses molting pada

krustasea euryhaline dipengaruhi oleh keberadaan

logam berat Cd, Cr, Cu, dan Zn dalam perairan. Stadia

post­molt lebih sensitif bila dibandingkan dengan stadia

pre­molt atau inter­molt. Pada pengamatan tingkah

laku udang L.vannamei, semakin tinggi logam berat

dalam media uji, maka jumlah individu yang

mengalami molting akan semakin meningkat, hal ini

sesuai dengan penelitian Fafioye and Ogunsanwo

(2007) serta Rachmansyah, (1998). Sebagian individu

mengalami kegagalan molting dan mengakibatkan

kematian. Kematian tersebut diduga diakibatkan oleh

adanya pengaruh logam berat pada dosis subletal

yang mengakibatkan mobilitas terganggu.

Page 68: MONOGRAF - Hang Tuah

59

Terganggunya mobilitas dan kegagalan proses molting

menyebabkan individu mudah tertangkap, sehingga

mendorong proses kanibalisme.

4.2.2 Nilai LC50 pada Berbagai Sub Stadia L.

vannamei

Dari hasil pemaparan logam Pb dan Cu (Gambar

4.1 dan 4.2) secara umum terlihat bahwa semakin

tinggi tingkatan sub stadia udang L. vannamei maka

nilai konsentrasi yang dapat mematikan 50 % populasi

pada berbagai sub stadia udang L. vannamei (LC50)

juga semakin besar. Hal ini juga berarti semakin tinggi

tingkatan sub stadia udang L. vannamei maka tingkat

adaptasinya terhadap daya toksik logam Pb dan Cu

juga semakin besar. Semakin besarnya nilai LC50

dengan semakin tingginya tingkatan sub stadia

udang L. vannamei ini disebabkan oleh semakin

baiknya kemampuan udang untuk melakukan

adaptasi terhadap lingkungan termasuk terhadap

bahan pencemar karena tingkat kesempurnaan

organ­organ udang L. vannamei yang semakin

sempurna.

Nilai LC50 logam Pb lebih besar dari Cu

pada berbagai sub stadia L. vannamei yaitu berkisar

antara 1,01 sampai 22,77 kali untuk pemaparan 24

Page 69: MONOGRAF - Hang Tuah

60

jam (Tabel 4.12 dan Tabel 4.15), antara 0,97 sampai

8,33 kali untuk pemaparan 48 jam (Tabel 4.13 dan

Tabel 4.16) dan antara 3,33 sampai 5,68 kali (Tabel

4.14 dan Tabel 4.17). Hal ini menunjukkan bahwa

Logam Cu lebih toksik daripada logam Pb. Beberapa

penelitian yang telah dilakukan pada berbagai spesies

udang lainnya menunjukkan bahwa logam Cu lebih

toksik daripada Pb. Fafioye and Ogunsanwo (2007),

mendapatkan nilai LC50­96 jam logam berat Cu dan

Pb terhadap Post Larva P. monodon masing­masing

sebesar 2,16 ± 0,72 mg Cu/L dan 7,28 ± 1,28 mg Pb/L

. Rachmansyah et al., (1998) mendapatkan nilai

LC50­96 jam logam berat Cu dan Pb terhadap Post

Larva P. monodon masing­masing sebesar 1,81 mg

Cu/L dan 14,53 mg Pb/L.

Beberapa faktor yang mempengaruhi kekuatan

racun logam berat terhadap udang adalah bentuk

ikatan kimia dari logam yang terlarut dalam air,

pengaruh interaksi antara logam dan racun lainnya,

pengaruh lingkungan seperti temperatur, kadar garam,

dan pengaruh pH ataupun kadar oksigen dalam air,

kondisi hewan, fase siklus hidup (telur, larva, dewasa),

ukuran organisme, jenis kelamin dan kecukupan

kebutuhan bahan, kemampuan hewan untuk

menghindar dari kondisi buruk polusi (misalnya lari

Page 70: MONOGRAF - Hang Tuah

61

untuk pindah tempat), kemampuan hewan untuk

beradaptasi terhadap racun misalnya proses

detoksifikasi (Darmono, 1993).

Berdasarkan kriteria toksisitas Komisi

Pestisida Departemen Pertanian (1983), Nilai LC50–

96 jam logam berat Pb pada pasca larva L.

vannamei dalam penelitian ini masuk dalam kategori

sedang. Nilai LC50­ 96 jam pada logam berat Cu masuk

dalam kategori tinggi.

Page 71: MONOGRAF - Hang Tuah

62

BAB V

KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan

Nilai LC50 akibat pemaparan logam Pb dan Cu

semakin besar seiring dengan meningkatnya

substadia udang L. vannamei. Nilai LC50 logam Pb

lebih besar dibanding dengan nilai LC50 logam Cu.

Hal ini menunjukkan bahwa logam Cu lebih toksik

dibanding dengan logam Pb.

5.2. Saran

Dalam mendeteksi adanya pencemaran di

suatu perairan termasuk tambak udang dapat

digunakan nilai LC50.

Page 72: MONOGRAF - Hang Tuah

63

DAFTAR PUSTAKA

Alikhan MA., 1972, Haemolymph And Hepatopancreas

Copper In Parcellio laevis Latreille (Porcellionidae,Peracarida), Comp. Biochem. Physiol., 42: 823­832.

[APHA] American Public Health Association, American

Water Works Association and Water Pollution Control Federation. 1992. Standard Methods for The Examination of Water and Waste Water. APHA­AWWA WPCF. USA, 1134 p.

Baker A.J.M., 1981, Accumulator and Excludens

Strategies in the Response of Plants to Heavy

Metals, J. Plant Nutrien, 39 : 451­462

Bambang Y., Thuet P., Daures MC., Trilles JP., Charmantier G., 1995, Effect Of Copper On Survival And Osmoregulation Of Various Developmental Stages Of The Shrimp Penaeus japonicus Bate (Crustacea, Decapoda), Aquatic Toxicology, 33 : 125­139.

Bat L., Gundogdu A., Sezgin M., Culha M., Gonlugur

G., and Akbulut M., 1999, Acute Toxicity Of Zinc, Copper And Lead To Three Species Of Marine Organisms From The Sinop Peninsula, Black Sea, Turkey Journal Of Biology, 23 : 537­544.

[BBAP] Balai Budidaya Air Payau Situbondo. 2005.

Petunjuk Teknis Pembenihan Udang Vannamei. Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo

Boudou, A. and Ribeyre, F. 2000. Aquatic

Ecotoxicology: Fudamental Concepts and

Page 73: MONOGRAF - Hang Tuah

64

Methodologies, Volume II : 95­117, CRC

Press, Florida.

Bury NR., Li Jie, Gert Flik, Lock R.A.C., and Bonga S.E.W., 1998, Cortisol Protects Against Copper Induced Necrosis And Promotes Apoptosis In Fish Gill Chloride Cells In Vitro, Aquatic Toxicology, 40 : 193­202.

CR Scientific. 2009. Lead Acetate­ Lab Notes. CR

Scientific Laboratory Supplies and Equipments. http://www.crscientific.com/articles .html, di unduh pada 7 April 2009

Darmono,1993, Budidaya Udang Penaeus, Edisi

ke­2, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hal.18.

Darmono, 1995, Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup, UI­Press, Jakarta, 140 hal.

Darmono, 2001, Lingkungan Hidup dan

Pencemaran Hubungannya dengan Toksikologi Senyawa Logam, Universitas Indonesia – Press, Jakarta

[EPA] Environmental Protection Agency. 1996.

Ecological Effects Test Guidelines.OPPTS 850.1045: Penaeid Acute Toxicity Test. USEPA, US, 7 p.

Fafioye, O.O. and Ogunsanwo, BM., 2007, The

Comparative Toxicities Of Cadmium, Copper and Lead To Macrobrachium rosenbergii and Penaeus monodon Postlarvae, African Journal of Agricultural Research Vol. 2 (1) :

31­35.

Page 74: MONOGRAF - Hang Tuah

65

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2008. Cultured Aquatic Species Information Programme Penaeus vannamei (Boone, 1931). FAO. Fardiaz S., 1992, Polusi Udara dan Air, Kanisius, Yogyakarta

Fardiaz S., 1992, Polusi Udara dan Air, Kanisius,

Yogyakarta Fegan D.F, 2003, Budidaya Udang Vannamei di

Asia, Gold Coin Indonesia Specialities.

Ferrer L., S. Andrade, R. Asteasuain, J. Marcovecchio, 2006, Acute Toxicities of Four Metals on The Early Life Stages of The Carb Chasmagnathus granulate from Bahia Blanca Estuary Argentina, Ecotoxicology and Environmental Safety, 65 : 209­217.

Haliman, R. W dan D. Adijaya. 2005. Udang

Vannamei. Penebar Swadaya, Depok, 16­29 hlm.

Hindarti, D. 1997. Metode Analisis Air Laut, Sedimen,

dan Biota. Buku 2. Bab XIX: Metode Uji Toksisitas. Puslitbang Oseanologi – LIPI, Jakarta, hlm160­181.

[ITIS] Integrated Taxonomy Informational System.

2009. ITIS Standard Report Page Litopenaeus vannamei.

Komisi Pestisida. 1983. Pedoman Umum Pengujian

Laboratorium Toksisitas Lethal Pestisida Pada Ikan Untuk Keperluan Pendaftaran. Departemen Pertanian. Jakarta, 19 hlm.

Page 75: MONOGRAF - Hang Tuah

66

Martosudarmo, B. dan B. S. Ranoemiharjo. 1983. Biologi Udang Penaeid. (dalam Pedoman Pembenihan Udang Penaeid). Departemen Pertanian, 21 hlm.

Meyer W., Kretschmer M., Hoffmann A., and Harisch G.,

1991, Biochemical And Histochemical Observations On Effects Of Low­Level Heavy Metal Load (Lead, Cadmium) In Different Organ Systems Of The Freshwater Crayfish, Astacus astacus L. (Crustacea: Decapoda), Ecotoxicology and Environmental Safety, 21 : 137­156.

Mujiman, A. dan S. R. Suyanto. 1989. Budidaya Udang

Windu. Penebar Swadaya, Jakarta, 96 hlm.

Mulyanto, 1990, Lingkungan Hidup Untuk Ikan, Pusat Perbukuan– Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Palar H., 1994, Pencemaran & Toksikologi Logam

Berat, Rineka Cipta – Jakarta. Papathanassiou E., 1985, Effect of Cadmium ions on the

Ultrastructure of the Gill Cells of the Brown

Shrimp Crangon crangon (L) (Decapoda,Caridea), Crustaceana, 48 (1): 6­17

Reish, D. L. and P. S. Oshida. 1987. Manual of

Methods in Aquatic Environment Research : Part 10 – Short term Static Bioassay. FAO­UN, 59 p.

Soegianto A., Daures MC., Trilles JP., Charmantier G.,

1999, Impact Of Copper On The Structure Of Gills And Epipodites Of The Shrimp Penaeus japonicus (Decapoda), Journal Of Crustacean Biology, 19(2) : 209­ 223.

Page 76: MONOGRAF - Hang Tuah

67

Soegianto A., Nia Adiani Primarastri, dan Dwi Winarni,

2004, Pengaruh Pemberian Kadmium Terhadap Tingkat Kelangsungan Hidup Dan Kerusakan Struktur Insang Dan Hepatopankreas Pada Udang Regang [Macrobrachium sintangense (de Man)], Berkala Penelitian Hayati, 10 : 59­66.

Undang­Undang Nomor 23 tahun 1997 (UU RI No.

23/1997), tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

WHO, 1992a, Cadmium, Environmental Health Criteria

No. 134 : 280 p.

WHO, 1992b, Cadmium­Environmental Aspects, Environmental Health Criteria No. 135 : 156 p.

Page 77: MONOGRAF - Hang Tuah

68

CURRICULUM VITAE

A. Identitas Diri

1. Nama Lengkap : Dr. Ir. Nuhman, M.Kes.

2. Jenis Kelamin : Laki-Laki

3. Jabatan Fungsional

: Lektor Kepala

4. NIP/NIK/Identitas lainnya

: 196608121993031006 / 01097

5. NIDN : 0012086602

6. Tempat dan Tanggal Lahir

: Gresik, 12 Agustus 1966

7. E-mail : [email protected] [email protected]

8. No Telp/Fax/Hp : 082132657699

9. Alamat Kantor : Jl. A.R. Hakim No. 150 Surabaya

10. No. Telp/Fax : 031-5945864 / 031-5946261

12. Lulusan yang telah dihasilkan

: S1 = 104 orang mhs : S2 = 8 orang mhs

13. Mata Kulaih yang Diampu

Manajemen Aquaculture

Bioteknologi Perikanan

Budidaya Pakan Alami

Oceanografi Biologi

AMDAL

B. Riwayat Pendidikan

S1 S2 S3

Nama Perguruan Tinggi

Universitas Brawijaya Malang

Universitas Airlangga Surabaya

Univ. Airlangga Surabaya

Bidang Ilmu Perikanan Kesehatan Lingkungan

Biologi Lingkungan

Page 78: MONOGRAF - Hang Tuah

69

Thn Masuk –Lulus

1986–1991 1996–1998 2006 – 2012

Judul skripsi /thesis /disertasi

Pengaruh Pemberian Chlorin Dgn Konsentrasi dan Salinita yg Berbeda terhadap Prosentase Penetasan Telur Artemia salina

Pengaruh Kandungan Kadmium Pada Udang Terhadap Kesehatan Petani Tambak Di Desa Manyarejo Kecamatan Manyar Gresik

Pengaruh Timbal dan Tembaga Terhadap Mortalitas, Osmoregu-lasi, dan Kerusakan Struktur Insang Udang L. vannamei

Nama Pembimbing /promotor

Prof. Dr. Ir. Marsoedi

Prof. Fuad Amsyari, dr., MPH., Ph.D.

Prof. Dr. Ir. Agoes Soegianto, DEA.

C. Pengalaman Penelitian Dalam 4 tahun terakhir

No

Thn

Judul Penelitian

Pendanaan

Sum-ber

Juta (Rp)

1. 2019 Pemanfaatan tepung limbah rumput laut sebagai bahan pakan ikan

UHT 35

2. 2017 Kualitas pakan ikan dengan bahan dasar protein dari limbah pengolahan rumput laut

DIKTI 74

3. 2014 Pengaruh Timbal (Pb) terhadap LC­50, Osmoregulasi, kerusakan struktur insang dan ekspresi

DIKTI

59

Page 79: MONOGRAF - Hang Tuah

70

protein pada jaringan ikan Nila Merah Oreochromis sp. (Tahun II)

4. 2014 Model Dinamik Pemanfaatan Sumber-daya Pesisir Pamurbaya (Tahun II)

DIKTI

67

5. 2013 Pengaruh Timbal (Pb) terhadap LC­50, Osmoregulasi, kerusakan struktur insang dan ekspresi protein pada jaringan ikan Nila Merah Oreochromis sp. (Tahun I)

DIKTI 63

6. 2013 Model Dinamik Pemanfaatan Sumber-daya Pesisir Pamurbaya (Tahun I)

DIKTI 65

7. 2012 Dampak kegiatan “Dredging” terhadap kualitas air di perairan sekitar PLTU Tuban Jawa Timur

UHT 7,5

D. Pengalaman Pengabdian pada Masyarakat Pada 4 tahun terakhir

No

Thn Judul Pengabdian Kepada

masyarakat

Pendanaan

Sum-ber

Juta (Rp)

1. 2019 Pembinaan industri “Gerinting” skala rumah tangga di kabupaten Gresik

UHT 20

2. 2017-2018

Peningkatan Kesejahteraan Petani Rumput Laut Melalui Pendamping-an Produksi ATC (Alkali Treated Cottonii) Skala Rumah Tangga di Kabupaten Sumenep Madura

HI-LINK DIKTI

250

3. 2016 IbW Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo (Anggota – tahun III)

IbW DIKTI

100

4. 2015 IbW Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo (Anggota – tahun II)

IbW DIKTI

100

Page 80: MONOGRAF - Hang Tuah

71

5. 2014 IbW Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo (Anggota – tahun I)

IbW DIKTI

100

E. Penulisan Artikel Ilmiah Pada 4 Tahun Terakhir

No

Judul Artikel Ilmiah

Volume/nomor/thn Nama Jurnal

1. Median Lethal Concentration (LC-50) of Lead and the Effect on Osmo-regulation of the “Red Tilapia” Fish (Oreochromis sp) (1st Author)

Vol 862. Pages 127-131. Tahun 2017. ISSN : 1662-7482 DOI : 10.4028/www.scientific. net/AMM.862.127

Applied Me-chanics Mate-rials, Main Theme:Ocean Science and Coastal Engineering

2. Dynamic Model of Land Area Changes in the East Coast of Surabaya (2nd Author)

Vol 862. Pages 138-143. (2017) ISSN : 1662-7482 DOI : 10.4028/ www.scien tific.net/ AMM.862.138

Applied Me-chanics Mate-rials, Main Theme:Ocean Science and Coastal Engineering

3. Nilai Median Lethal Konsen-trasi (LC-50) Logam Timbal (Pb) Pada Ikan Nila Merah Oreochromis sp. (Penulis utama)

Volume 13, No. 1, Juni 2016, ISSN 1693-8917

Jurnal SAINTEK

4. The GIS Appli-cation for Monito-ring Spatially Changes of Mangrove Con-servation Areas

Volume 3, Issue 9, Pages 59-65, Tahun 2014 ISSN (e): 2319 – 1813 ISSN (p): 2319 – 1805

The Interna-tional Journal Of Enginee-ring And Sci-

ence (IJES)

Page 81: MONOGRAF - Hang Tuah

72

in the East Coast of Surabaya (2nd Author)

5. Effects of Sublethal Copper Concentrations on Gills of White Shrimp (Litopenaeus vannamei, Boone 1931) (3rd Author)

Volume 91, Issue 6, pp 630-634, Des 2013, ISSN P: 0007-4861 E:1432-0800 DOI :10. 1007/s00128-013-1113-5

Bulletin of Environmental Contamination and Toxicology

6. Effect of Lead on Survival, Osmoregulation, and Histo-logical Changes of the Gills of the White Shrimp, Litopena-eus vannamei, Boone, 1931 (1st Author)

Volume 44, Issue 4, Pages 547–556 August 2013 DOI: 10.1111/jwas.12054

Journal of the World Aquaculture

Society

7. Effect of copper on survival and osmoregulation in differe-nt life stages of white shrimp Litopenaeus vannamei Boone, 1931 (1st Author)

Volume 54 (2), Pages 191-197, January 2013

Cahiers de

Biologie Marine

Page 82: MONOGRAF - Hang Tuah

73

F. Pengalaman penyampaian makalah secara oral pada pertemuan/seminar ilmiah 4 tahun terakhir

No. Nama pertemuan

Ilmiah

Judul Artikel

Waktu dan Tempat

1. The Society for Coastal Ecosystems Studies Asia Pacific (SCESAP) 1st International Colloquium “Connecting Marine Biodiversity to People”

Commercial feed appli-cation that subtituted “mengkudu” leaf silage flour with Marine Yeast innoculan as feed of anguilla bicolor

Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor Indonesia, 20-21 Juli 2016

2. ISOCEEN 2015 “The 3rd Inter-national Seminar on Ocean and Coastal Engineering, Environ-mental and Natural Disaster Management”

Median Lethal Con-centration (Lc-50) of Lead and the Effect on Osmoregulation of The “Nila Merah” Fish Oreo-chromis sp.

ITS Surabaya Indonesia 10 Desember 2015

Page 83: MONOGRAF - Hang Tuah

74

3. Pembinaan Prodi Pertanian, Peter-nakan dan Per-ikanan bagi PTS Kopertis Wil. VII tahun 2016

Ancaman & Tantangan Prodi Tan-terika di era globalisasi

Hotel Tretes Raya, Pasu-ruan, 15-17 September 2016

4. Program Pembinaan Pegawai Baru (Dosen) UHT Surabaya

Tugas, Wewenang, Tanggung jawab Dosen di Perguruan Tinggi

UHT Surabaya, 23 Oktober 2014

5. Sarasehan Dosen dan Karyawan “Peningkatan Budaya dan Etos Kerja, Dosen dan Tenaga Kependidikan”

Menjadi Dosen dan Tenaga Kependidikan yang Kompeten

UHT Surabaya, 20 Agustus 2014

G. Penghargaan yang pernah diraih dalam 10 tahun terakhir

No Jenis Penghargaan Institusi Pemberi

Penghargaan

Tahun

1. Penghargaan “Satya Lencana” Pengabdian 20 tahun

LLDIKTI 7 Surabaya

2018

2. Penghargaan dalam Publikasi Ilmiah Internasional “Bulletin of Environmental Caontamination and Toxicology”

Universitas Hang Tuah, Surabaya

2016

Page 84: MONOGRAF - Hang Tuah

75

3. Penghargaan sebagai ketua dalam penelitian eksternal RISTEDIKTI skim Fundamental.

Universitas Hang Tuah, Surabaya

2016

4. Penghargaan atas pengabdian selama “Dasa Warsa Kedua”

Universitas Hang Tuah, Surabaya

2015

H. Kegiatan terkait dengan Lingkungan

(AMDAL/UKL/UPL)

No Nama Kegiatan Tempat Kegiatan

Tahun

1 Kursus AMDAL-A Unair, Surabaya

1997

2 Kursus AMDAL-B Unair, Surabaya

2005

3 Kursus ISO 9001:2015 tentang Manajemen Resiko

Surabaya 2016

4 Kursus Lead Auditor ISO 9001:2015

Surabaya 2016

5 Anggota Tim: Studi Kelayakan Lingkungan dan lahan untuk usaha budidaya perikanan di Bangkalan, Madura.

Bangkalan, Madura

2000

6 Anggota Tim : Analisis Daya Dukung Lingkungan Per-tambakan dalam Rangka Penataan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Gresik

Gresik 2004

7 Anggota Tim: Studi Environ-mental pada Proyek Pengebor-an Migas PT Primer Oil Ujung Pangkah Ltd.

Ujungpangkah Gresik

2005

Page 85: MONOGRAF - Hang Tuah

76

8 Anggota Tim: Amandemen Studi UKL dan UPL pada Proyek Pengembangan Pabrik Petrokimia di Tuban

Tuban 2007

9 Anggota Tim: Studi AMDAL Proyek Pembangunan PLTU Tuban

Tuban 2008

10 Anggota Tim beberapa studi UKL-UPL di beberapa perusahaan

Jawa Timur 2009-2012

11 Anggota Tim: Studi AMDAL Pembangunan Dermaga Per-ikanan di Muara Badak

Kalimantan 2012

12 Anggota Tim : Monitoring Lingkungan di PT. Pertamina Hulu Mahakam

Kalimantan 2017

Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya.

Surabaya, 23 Mei 2019

Ttd

Dr. Ir. Nuhman, M.Kes.