morbus hansen tinjauan pustaka

27
MORBUS HANSEN Definisi Morbus Hansen (MH) adalah penyakit menular kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang pertama-tama menyerang saraf tepi selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang, cuping telinga, dan testis. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi dapat asimpomatis, namun pada sebagian kecil memperlihatkan gejala dan mempunyai kecendrungan untuk menjadi cacat, khususnya tangan dan kaki. 1,2 Etiologi Disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae ditemukan pertama kali oleh sarjana Norwegia GH Armauer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora, tahan asam, berbentuk batang, dengan ukuran 1-8µ, lebar 0,2-0,5 µ, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, basil obligat intraseluler yang terutama dapat berkembangbiak 1

Upload: fitrus-oktoriza

Post on 22-Oct-2015

31 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

morbus hansen cha

TRANSCRIPT

Page 1: MORBUS HANSEN Tinjauan Pustaka

MORBUS HANSEN

Definisi

Morbus Hansen (MH) adalah penyakit menular kronis yang disebabkan

oleh Mycobacterium leprae yang pertama-tama menyerang saraf tepi selanjutnya

dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikulo

endotelial, mata, otot, tulang, cuping telinga, dan testis. Pada kebanyakan orang

yang terinfeksi dapat asimpomatis, namun pada sebagian kecil memperlihatkan

gejala dan mempunyai kecendrungan untuk menjadi cacat, khususnya tangan dan

kaki.1,2

Etiologi

Disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae ditemukan pertama kali

oleh sarjana Norwegia GH Armauer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat

gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora, tahan asam, berbentuk batang,

dengan ukuran 1-8µ, lebar 0,2-0,5 µ, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar

satu-satu, basil obligat intraseluler yang terutama dapat berkembangbiak dalam sel

Schwann saraf, makrofag kulit, dan tidak dapat dikultur dalam media buatan.

Adanya distribusi lesi yang secara klinik predomina pada kulit, mukosa hidung,

dan saraf perifer superfisial menunjukkan pertumbuhan basil ini cenderung

menyukai temperatur kurang dari 37ºC. Masa belah diri kuman ini memerlukan

waktu yang sangat lama dibandingkan dengan kuman lain yaitu 12-21 hari,. Oleh

karena itu masa tunas menjadi lama yaitu rata-rata 2-5 tahun.2

Cara penularan

1

Page 2: MORBUS HANSEN Tinjauan Pustaka

MH dapat ditularkan dari penderita MH tipe multibasilar (MB) kepada

orang lain dengan cara penularan langsung. Cara penularan yang pasti belum

diketahui, tetapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit MH dapat

ditularkan melalui saluran pernafasan dan kulit.3

Patogenesis

Meskipun cara masuk M.leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui

dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering

ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui

mukosa nasal. Bila kuman masuk kedalam tubuh maka tubuh akan bereaksi

dengan mengeluarkan makrofag untuk memfagositnya.

Pada MH tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan

demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat

bermultifkasi dengan bebas yang kemudian dapat merusak jaringan.

Pada MH tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas seluler tinggi,

sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua

kuman difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak

bergerak aktif dan kadang – kadang bersatu membentuk sel datia Langhans, bila

infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid

akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya.

Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M.leprae,

disamping itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit

fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel

2

Page 3: MORBUS HANSEN Tinjauan Pustaka

Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktifitas regenerasi

saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.4

Gambar 1. patogenesis MH

Kontak

Infeksi non infeksi

Subklinis

95%

sembuh

70%

Intermediate (I)

30 %

Determinate

I TT Ti BT BB BL Li LL

Klasifikasi 2

Klasifikasi umum :

Klasifikasi Madrid

- Intermediet

- Tuberkuloid

3

Page 4: MORBUS HANSEN Tinjauan Pustaka

- Borderline-dimorphous

- Lepromatosa

Klasifikasi Ridley-jopling

- Tuberkuloid

- Boderline tuberkuloid

- Mid-borderline

- Borderline lepromatous

- Lepromatosa

Klasifikasi WHO dan Modifikasi WHO

- Pausibasilar (PB)

Hanya MH tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif

menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut

klasifikasi madrid.

- Multibasilar (MB)

Termasuk MH tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria

Ridley dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe

MH dengan BTA positif.

4

Page 5: MORBUS HANSEN Tinjauan Pustaka

Tabel 1. perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi WHO1

PB MB

1.Lesi kulit (makula

yang datar, papul yang

meninggi, infiltrat, plak

eritem, nodus)

2.Kerusakan saraf

(menyebabkan hilangnya

sensasi/kelemahan otot

yang dipersarafi oleh

saraf yang terkena)

1-5 lesi

Hipopigmentasi/eritema

Distribusi tidak simetris

Hilangnya sensasi yang

jelas

Hanya satu cabang

saraf

> 5 lesi

Distribusi simetris

Hilangnya sensasi

kurang jelas

Banyak cabang saraf

Manifestasi klinis4,5

Manifestasi klinis penyakit MH pada pasien mencerminkan tingkat

kekebalan selular pasien tersebut. Gejala dan keluhannya tergantung pada :

multifikasi dan diseminasi kuman M.leprae

respon imun penderita terhadap kuman M.leprae

komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.

Ada 3 tanda kardinal, jika salah satunya ada, tanda tersebut telah cukup untuk

menetapkan diagnosis penyakit MH ini.

1. lesi kulit yang anestesi

2. penebalan saraf perifer

3. ditemukan M.leprae (bakteriologis positif)

5

Page 6: MORBUS HANSEN Tinjauan Pustaka

Adapun klasifikasi yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah

klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokan penyakit MH

menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis,

dan imunologis. 2,6

1. Tipe Tuberkuloid (TT)

Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau

beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian

tengah dapat ditemukan lesi yang regrasi atau central healing. Permukaan

lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat menyerupai

gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf

perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal.

Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak adanya kuman merupakan tanda

terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman MH

2. Tipe Boderline Tuberkuloid (BT)

Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak

yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau

beberapa, tetapi hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak

sejelas tipe tuberkuloid. Gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan

biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer

yang menebal.

3. Tipe Mid Borderline (BB)

Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum

penyakit MH. Merupakan bentuk dimorfik. Lesi dapat berupa makula

infiltratif, permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan

6

Page 7: MORBUS HANSEN Tinjauan Pustaka

jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi sangat

bervariasi baik dalam ukuran, bentuk, ataupun distribusinya. Bisa

didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.

4. Tipe Borderline Lepromatous (BL)

Lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan

dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih

bervariasi bentuknya. Papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi

yang hampir simetris dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian

tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan bagian pinggir

dalam infiltrat lebih jelas dibandingkan dengan pingir luarnya, dan

beberapa plak tampak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf

berupa kerusakan sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat, dan

hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.

Penebalan saraf dapat teraba pada tempat-tempat penebalan saraf.

5. Tipe Lepromatosa (LL)

Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa,

berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan

anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah, mengenai

dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, sedangkan di badan mengenai bagian

yang dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai

bawah. Pada stadium lanjut terdapat penebalan kulit yang progresif,

cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar, dan cekung

membentuk facies leonina yang dapat disertai dengan madarosis, iritis,

keratitis. Lebih lanjut dapat terjadi deformitas hidung. Dapat dijumpai

7

Page 8: MORBUS HANSEN Tinjauan Pustaka

pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat terjadi atrofi

testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove

anaesthesia. Bila menjadi progresif, muncul makula dan papula baru

sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut

serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis

yang menyebabkan anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.

Tanda-tanda Penyakit Kusta

Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau

tipe dari penyakit tersebut. yaitu:

Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia

Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin

melebar dan banyak.

Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus,

auricularis, magnus serta peroneus.

Kelenjar keringat kurang bekerja sehingga kulit menjadi tipis dan

mengkilat.

Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit

Alis rambut rontok

Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leonina (muka

singa).

8

Page 9: MORBUS HANSEN Tinjauan Pustaka

Diagnosa Penyakit Kusta

Menyatakan (mendiagnosa seseorang menderita penyakit kusta

menimbulkan berbagai masalah baik bagi penderita, keluarga atapun masyarakat

disekitarnya). Bila ada keraguan-raguan sedikit saja pada diagnosa, penderita

harus berada dibawah pengamatan hingga timbul gejala-gejala yang jelas, yang

mendukung bahwa penyakit itu benar-benar kusta. Diagnosa kusta dan

kelasifikasi harus dilihat secara menyeluruh dari segi :

a. Klinis

b. Bakteriologis

c. Immunologis

d. Histopatologis

Namun untuk diagnosa kusta di lapangan cukup dengan anamnesis dan

pemeriksaan klinis. Bila ada keraguan dan fasilitas memungkinkan sebaiknya

dilakukan pemeriksaan bakteriologis. Kerokan dengan pisau skalpel dari kulit,

selaput lendir hidung bawah atau dari biopsi kuping telinga, dibuat sediaan

mikrokopis pada gelas alas dan diwarnai dengan teknis Ziehl Neelsen. Biopsi kulit

atau saraf yang menebal memberikan gambaran histologis yang khas. Tes-tes

serologik bukan treponema untuk sifilis sering menghasilkan positif palsu pada

lepra.

9

Page 10: MORBUS HANSEN Tinjauan Pustaka

Pemeriksaan penunjang:

1. Pemeriksaan bakterioskopik

Pemeriksaan BTA dengan Ziehl-Nielsen

Bahan pemeriksaan diambil dari 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga

bagian bawah dan 2 atau 4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling

eritematosa dan paling infiltratif.

Indeks Morfologi

Untuk menentukan persentasi BTA hidup atau mati

Rumus:

Jumlah BTA solid x 100 % = X %

Jumlah BTA solid + non solid

Guna: Untuk melihat keberhasilan terapi

Untuk melihat resistensi kuman BTA

Untuk melihat infeksiositas penyakit

Indeks Bakteri

Untuk menentukan klasifikasi penyakit Lepra, dengan melihat kepadatan

BTA tanpa melihat kuman hidup (solid) atau mati (fragmented/ granular).

0 BTA -

1 – 10/ 100 L.P +1

1 – 10/ 10 L.P +2

1 – 10/ 1 L.P +3

10 – 100/ 1 L.P +4

100 – 1000/ 1 L.P +5

> 1000/ 1 L.P + 6

2. Pemeriksaan histopatologik

Untuk membedakan tipe TT & LL

10

Page 11: MORBUS HANSEN Tinjauan Pustaka

• Pada tipe TT à ditemukan Tuberkel (Giant cell, limfosit)

• Pada tipe LL à ditemukan sel busa (Virchow cell/ sel lepra) yi histiosit

dimana di dalamnya BTA tidak mati, tapi berkembang biak membentuk

gelembung. Ditemukan lini tenang (subepidermal clear zone).

3. Pemeriksaan serologik

• Tes ELISA

• Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Partikel Aglutination)

• ML dipstick

Pengobatan5

Paket terapi multiobat (MDT/Multi Drug Therapy)

Sampai pengembangan dapson, rifampin, dan klofazimin pada 1940an,

tidak ada pengobatan yang efektif untuk kusta. Namun, dapson hanyalah obat

bakterisidal (pembasmi bakteri) yang lemah terhadap M. leprae. Penggunaan

tunggal dapson menyebabkan populasi bakteri menjadi kebal. Pada 1960an,

dapson tidak digunakan lagi.

Pencarian terhadap obat anti kusta yang lebih baik dari dapson, akhirnya

menemukan klofazimin dan rifampisin pada 1960an dan 1970an.Kemudian,

Shantaram Yawalkar dan rekannya merumuskan terapi kombinasi dengan

rifampisin dan dapson, untuk mengakali kekebalan bakteri. Terapi multiobat dan

kombinasi tiga obat di atas pertama kali direkomendasi oleh Panitia Ahli WHO

pada 1981. Cara ini menjadi standar pengobatan multiobat. Tiga obat ini tidak

digunakan sebagai obat tunggal untuk mencegah kekebalan atau resistensi bakteri.

11

Page 12: MORBUS HANSEN Tinjauan Pustaka

Terapi di atas lumayan mahal, maka dari itu cukup sulit untuk masuk ke

negara yang endemik. Pada 1985, kusta masih menjadi masalah kesehatan

masyarakat di 122 negara. Pada Pertemuan Kesehatan Dunia ke-44 di Jenewa,

1991, menelurkan sebuah resolusi untuk menghapus kusta sebagai masalah

kesehatan masyarakat pada tahun 2000, dan berusaha untuk ditekan menjadi 1

kasus per 100.000. WHO diberikan mandat untuk mengembangkan strategi

penghapusan kusta.

Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan

merekomendasikan dua tipe terapi multiobat standar. Yang pertama adalah

pengobatan selama 24 bulan untuk kusta lepromatosa dengan rifampisin,

klofazimin, dan dapson. Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta

tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson.

REAKSI KUSTA

12

Page 13: MORBUS HANSEN Tinjauan Pustaka

Reaksi kusta : suatu keadaan gejala dan tanda radang akut lesi penderita kusta

yang terjadi dalam perjalanan penyakitnya, yang diduga disebabkan

hipersensitivitas akut terhadap Ag basil yang menimbulkan gangguan

keseimbangan imunitas yang telah ada. Ada dua tipe reaksi berdasarkan

hipersensitivitas yang menyebabkannya ;

1.   Tipe I       : disebabkan oleh hipersensitivitas seluler (Reversal Reaction)

2.  Tipe 2 : disebabkan oleh hipersensitivitas humoral(Eritema Leprosum

Nodosum)

3. Tipe 3 : Lucio Phenomenon8

REAKSI TIPE 1

Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi beratKulit Lesi kulit yang telah ada

dan menjadi eritematosa.Lesi yang telah ada menjadi eritematosa, timbul lesi baru yang kadang-kadang disertai panas dan malaise

Saraf Membesar, tidak nyeri fungsi tidak terganggu, berlangsung kurang dari 6 rainggu.

Membesar, nyeri, fungsi terganggu, berlangsung lebih dari 6 minggu.

Kulit dan saraf bersama-sama

Lesi yang telah ada menjadi lebih eritematosa, nyeri pada saraf berlangsung kurang dari 6 minggu.

Lesi kulit yang eritematosa disertai ulserasi atau edem pada tangan / kaki. Saraf membesar, nyeri, dan fungsinya terganggu, Berlangsung sampai 6 minggu atau lebih.

REAKSI TIPE 2

Organ             yang diserang

Reaksi ringan Reaksi berat

Kulit Timbul    sedikit   nodus   yang beberapa   diantaranya terjadi

Banyak nodus yang nyeri dan mengalamt    ulserasi    disertai demam tinggi dan

13

Page 14: MORBUS HANSEN Tinjauan Pustaka

ulserasi. Disertai demam ringan dan malaise.

malaise.

Saraf Saraf membesar  tetapi  nyeri dan fungsinya tidak terganggu.

Saraf membesar,   nyeri,   dan fungsinya terganggu.

Mata Tidak ada gangguan Nyeri, penumnan  visus,  dan merah di sekitar limbus.

Testis Lunak, tidak nyeri. Lunak, nyeri, dan membesar.

Kulit,   saraf   mata, dan testis bersama-sama

Gejalanya     seperti     tersebut diatas.

Gejalanya    seperti     tersebut diatas disertai keadaan  sakit yang  keras  dan   nyeri   yang sangat.

Pengobatan Reaksi

Empat prinsip dalam managemen reaksi :

1. Mengontrol neuritis akut untuk mencegah anestesi, paralisis dan

kontraktur

2. Menghentikan kerusakan mata dan pencegah kebutaan

3. Mengontrol nyeri

4. Membunuh basil dan mencegah perluasan penyakit

Pencegahan Kecacatan pada Kusta

Jenis kecacatan pada kusta:

1. Kelompok pada cacat primer

Kelompok cacat yang disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit

terutama kerusakan akibat respon jaringan terhadap kuman M. Leprae

2. Kelompok cacat sekunder

Cacat yang terjadi akibat cacat primer terutama akibat adanya kerusakan

saraf (sensorik, motorik dan otonom).

Klasifikasi cacat lepra :

Cacat tangan dan kaki

a. Tingkat 0

Tidak ada anestesi, tidak nampak deformitas dan kerusakan

14

Page 15: MORBUS HANSEN Tinjauan Pustaka

b. Tingkat 1

Terdapat anestesi, tetapi tidak nampak deformitas dan kerusakan

c. Tingkat 2

Terdapat deformitas atau kerusakan (adanya ulkus, absorbsi, disorganisasi,

kekakuan sendi dan mutilasi)

Cacat mata

a. Tingkat 0

Tidak ada problem mata akibat lepra dan tidak ada kelainan visus

b. Tingkat 1

Adanya problem mata akibat lepra tetapi visus tidak terlalu jelek > 6/60

c. Tingkat 2

Adanya masalah mata akibat lepra dan visus < 6/60, tidak dapat

menghitung jari tangan pemeriksa dari jarak 6 meter.

Menurut WHO (1980) batasan istilah dalam cacat kusta adalah :

1. Impairment : Segala kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi

yang bersifat psikologik, fisiologik atau anatomik misalnya leproma,

ginekomastia, madarosis, claw hand, ulkus dan absorbsi jari.

2. Disability : segala keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat

impairment) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas kehidupan yang

normal bagi manusia

3. Handy cap : kemunduran bagi seseorang individu ( akibat impairment atau

disability) yang membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas normal

yang bergantung pada umur , seks, dan faktor sosial budaya. Handycap ini

memiliki efek penyakit kusta yang berdampak sosial, ekonomi dan

budaya.

4. Deformity : kelainan struktur anatomi

5. Dehabilitation : keadaan atau proses pasien kusta (handycap) kehilangan

status sosial yang progresif, terisolasi dari masyarakat, keluarga dan

teman-temannya

6. Destution : dehabilitation yang berlanjut dengan isolasi yang menyeluruh

15

Page 16: MORBUS HANSEN Tinjauan Pustaka

dari seluruh masyarakat tanpa makanan atau perlindungan (shelter)8

DAFTAR PUSTAKA

16

Page 17: MORBUS HANSEN Tinjauan Pustaka

1. Kosasih A, dkk. 2007. Kusta dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.

Jakarta: FKUI. Hal 73-88

2. Morbus Hansen. Diakses dari http://id//emedicine.org/morbus-hansen.html

3. Mycobacteriumleprae.Diaksesdarihttp://bacteria//emedtv.com/

Mycobacterium-leprae.html

4. Leprosy. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/1104977-

overview

5. Sjamsoe-Daili E,Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H, 2008. Kusta.

FakultasKedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Edisi 2.

6. Amirudin MD, 2000. Penyakit Kusta. Dalam Ilmu Penyakit Kulit

dan Kelamin. Hipokrates. Jakarta. Cetakan I. Hal 260-271.

7. Siregar Prof Dr RS, SpKK. 2002. Kusta (Lepra) dalam Atlas Berwarna

Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC. Hal 154-16

8. Bagian /SMF I.K. Kulit Kelamin FK UNAND. 2011. Kumpulan Makalah

Simposium dan Workshop Diagnosis dan Pencegahan Kecacatan Kusta.

PERDOSKI Cabang Padang : FK UNAND. Hal 32-56

17

Page 18: MORBUS HANSEN Tinjauan Pustaka

Gambar

18