mulla shadra dan pemikiran tasauwfnya

14
Mulla Shadra dan Pemikiran Tasawufnya Fajruddin Muchtar 0

Upload: fxmuchtar-penggembira-reuni

Post on 23-Oct-2015

184 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

tentang pemikirian tashawuf mulla shadra

TRANSCRIPT

Page 1: Mulla Shadra Dan Pemikiran Tasauwfnya

Mulla Shadra dan Pemikiran Tasawufnya

Fajruddin Muchtar

1121040027

0

Page 2: Mulla Shadra Dan Pemikiran Tasauwfnya

Mulla Shadra dan Pemikiran Tasawufnya

Dalam tashawuf dikenal tashawuf akhlaqi dan falsafi. Tasawuf Akhlaki adalah tasawuf yang berorientasi pada perbaikan akhlak mencari hakikat kebenaran yang mewujudkan manusia yang dapat ma’rifah kepada Allah, dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan dalam bentuk riyadhah dan amalan. Tasawuf Akhlaki, biasa disebut juga dengan istilah tasawuf sunni. Sementara Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada keterpaduan teori-teori tasawuf dan falsafah. Tasawuf falsafi ini tentu dikembangkan oleh para sufi yang filosof. Jika didasarkan pada dua pembagian ini, maka corak tashawuf yang dikembangkan Mulla Shadra lebih cenderung kepada corak tashawuf falsafi.

Mendengar Mulla Shadra sepertinya lebih terbayang seorang filosof ketimbang sufi. Pasalnya paham-paham yang dikembangkannya lebih bercorak filosofis ketimbang doktrin-doktrin tashawuf. Dalam konsep hikmah muta’aliyah Shadra ketersampaian kepada dan pengenalan akan Tuhan, sebagai tujuan akhir dari tashawuf dapat dilakukan melewati tiga jalur wahyu, filosofis dan intuitif. Ketiga jalur epistomologis itulah yang sebelum Shadra terpisah dapat disatukan.

Shadra memang menjadi sintesis dari pemikiran filsafat sebelumnya. Dia secara orisinil berhasil menggabungkan tiga epistimologis besar di dunia Islam. Fazlur Rahman menyebutkan bahwa arti penting Mulla Shadra tidak hanya terletak pada kenyataan bahwa ia telah mengkaji seluruh warisan pemikiran Islam dan menyatukan semua aliran pemikiran utama; tetapi juga terletak pada kenyataan bahwa ia menghasilkan sebuah sintesa sejati dari semua aliran tersebut. Sintesa ini bukan merupakan sebuah “rekonsiliasi” atau “kompromi” di permukaan, tetapi berdasarkan sebuah prinsip filsafat penting yang ia kemukakan dan uraikan untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam.1

Henry Corbin berkomentar tentang Mulla Shadra, “Sadruddin Mohammad Shirazi yang dikenal dengan nama Mulla Shadra adalah orang yang berhasil menapak di puncak filsafat Iran dan Islam. Karya pemikirannya masih mempengaruhi pemikian filsafat Iran hingga hari ini. Dia meninggalkan lebih dari 45 karya besar penulisan. Karyanya yang paling besar adalah kitab al-Asfar al-Arba’ah yang setelah ditulis buku itu menjadi pijakan bagi pemikiran para cendekiawan Iran. Dalam karyanya yang memberikan penjelasan atas kitab Ushul Kafi, Mulla Shadra tampil layaknya juru bicara pemikiran iluminasi yang melahirkan sebuah filsafat nabawi. Beliau juga menulis tafsir beberapa surah al-Quran. Dengan karya-karya besarnya, Mulla Shadra menunjukkan bagaimana filsafat di dunia Islam Syiah berkembang dengan pesat di saat negeri-negeri Islam lainnya mengalami stagnansi.”

1 Afzalur Rahman, Filsafat Shadra. Penerbit Pustaka. 2000. Hlm 18.

1

Page 3: Mulla Shadra Dan Pemikiran Tasauwfnya

Nama lengkapnya Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazi, dipanggil Sadr al-Muta'allihin (pemuka para filosof ketuhanan) atau lebih dikenal dengan Mulla Shadra. Mulla sebenarnya nama panggilan yang diberikan kepada Shadr al Din Muhammad bin Ibrahim. Kata Mulla mempunyai arti alim kabir (ulama besar) dan dikombinasikan dengan nama panggilan waktu kecil, Shadra, sehingga jadilah Mulla Shadra.

Mulla Shadra lahir di Syiraz salah satu kota pusat ilmu di Iran. Syiraz adalah sebuah kota yang saat itu dikenal sebagai pusat studi filsafat dan disiplin ilmu-ilmu Islam tradisional lainnya. Karena merupakan pusat perkembagnan keilmuan maka banyak tokoh-tokoh besar saat itu. Shadra dilahirkan kira-kira 980 H/1571 M dan wafat pada1050 H/ 1640 M, di kota Basrah dalam perjalanan kembali dari ibadah haji. Ayahnya, Mirza Ibrahim adalah salah satu tokoh masyarakat Syiraz. Ayah Shadra adalah seorang mentri di pemerintahan Shafawiyah.

Kehidupan Shadra dijalani pada masa-masa kejayaan dinasti Safawi abad ke- 16-18 M/ 10-12 H, tepatnya ketika roda pemerintahan dipegang oleh Syah Abbas I (w.1038/1629) yang merupakan puncak penegakan Syiah Dua Belas sebagai agama negara (atau mazhab resmi hukum Islam). Pada awalnya ibukota Dinasti Safawi adalah Qazwin, kemudian pada masa kekuasaan Syah Abbas I, dari Qazwin berpindah ke Isfahan. Isfahan menjadi ibukota negara sekaligus saat itu menjadi satu-satunya kawasan kota yang indah dan megah juga arena percaturan intelektual yang masyhur.

Pendidikan dasarnya dijalani di kotanya, dalam bidang al Qur’an, Hadits, Bahasa Arab, dan Bahasa Persia. Dia berguru kepada bapaknya yang juga merupakan seorang ulama terkemuka saat itu. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke Isfahan yang merupakan pusat pemerintahan Kesultanan Shafawiyah dan pusat perkembangan keilmuan pada abad ke 10 H. Di sana, ia belajar dan mendalami pengetahuan pada tokoh-tokoh terkemuka saat itu, yaitu Baha' al Din al Amili yang meletakan landasan bagi fiqih syiah yang dabu dan didefinisikan dengan baik. Kepada Baha’ al Din al ‘Amili Shadruddin muda mempelajari al ulum al naqliyyah.

Dalam periode yang hampir beriringan, Mulla Shadra juga mempelajari dan mengkaji ulum al aqliyah di bawah asuhan Sayyid Muhammad Baqir Astarabadi yang dikenal dengan nama Mir Damad. Mir Damad adalah seorang filosof besar dengan pujian yang sangat tinggi. Dia disebut dengan khatmul hukama dan Guru Ketiga (setelah Ibn Sina dan Al Farabi). Kebesaran namanya tak menghalanginya untuk memuji muridnya yang cerdas. Dalam pengajaran filosof inilah Shadruddin muda mendapatkan banyak sentuhan-sentuhan bagi perkembangan madzhab filosofisnya sendiri.

Setelah proses pembelajaran kepada para gurunya, Shadruddin lebih memilih mengasingkan diri dari hiruk pikuk masyarakat. Ia memilih mengasingkan diri di sebuah desa kecil bernama Kahak, tidak jauh dari kota suci Qom. Periode ini menandakan fase ketiga dalam proses pematangan pemikirannya. Periode ini merupakan periode kontemplatif dan peletakan dasar-dasar dari

2

Page 4: Mulla Shadra Dan Pemikiran Tasauwfnya

kebanyakan karyanya. Periode ini dipenuhi dengan mujahadah dan riyadhoh untuk menggembleng dirinya. Dalam kondisi uzlahnya tak lupa Shadruddin mengajar beberapa murid.

Dari proses pengajaran yang tak banyak ini, namanya semakin dikenal banyak orang sehingga keterkenalannya menembus tembok tembok istana. Banyak tawaran jabatan berdatangan kepadanya yang kemudian ditolaknya. Nasr menyebutkan ketaksudian Shadruddin pada penghargaan material serta penolakannya mengabdi di istana dlam bentuk apapun terbukti dari fakta bahwa tidak ada karyanya yang dipersembahkan kepada putra mahkokta atau penguasa lainnya. Padahal pencantuman seperti itu merupakan praktik lazim pada masa itu (Nasr et al, 2003)

Seperti biasa, kemasyhuran yang tiba-tiba mengundang iri dari para ulama di zamannya. Tuduhan kafir dan berbagai macam fitnah menghampiri kehidupan Shadruddin. Inilah salah satu faktor penolakannya terhadap jabatan-jabatan yang ditawarkan kepadanya. Namun demikian khusus untuk mengajar, Shadruddin tidak menolak. Bahkan kemudian Shadruddin mengajar di madrasah yang dibangun dan didukung oleh Allahwardi Khan, salah seorang bangsawan Shafawiyah. Dengan dukungan seperti itu, maka kesibukan dan kemasyhuran Shadruddin makin meningkat.

Dalam karirnya sebagai guru, Mulla Shadra telah berhasil melahirkan sejumlah murid terkemuka yang memiliki peranan penting di dalam aktivitas filosofis di Persia pada periode berikutnya. Ada dua murid yang paling terkemuka yang perlu disebutkan karena karya-karya mereka masih tetap dikaji hingga kini yaitu Mulla Abdul Razzaq Lahiji (w. 1072 H / 1661 M) dan Mulla Muhsin Faidh Kasyani (w. 1091 H / 1680 M).

Karya tulis

Selama masa hidupnya, Mulla Shadra banyak sekali menghasilkan karya-karya ilmiah, baik yang berkaitan dengan ilmu-ilmu keagamaan (naqli) maupun ilmu-ilmu intelektual (aqli). Namun, karena Mulla Shadra memandang bahwa kedua ilmu itu berkaitan erat satu sama lain dan berasal dari sumber pengetahuan yang sama, yaitu intelek ketuhanan, maka beliau selalu mengkaitkan persoalan keagamaan ke dalam karya filosofisnya dan begitu pula sebaliknya.Meski begitu luas ilmu yang dikuasai Mulla Shadra, namun apabila ditelaah secara mendalam, sebenarnya hanya ada tiga pemikiran yang benar-benar berpengaruh dan menjadi fondasi bagi sistem pemikiran Mulla Shadra, yaitu pemikiran Ibn Sina, pemikiran iluminasi Suhrawardi, dan pemikiran Ibn Arabi. Jelasnya, sistem pemikiran Mulla Shadra dibangun diatas fondasi Ibn Sina, dibentuk dengan sistem Suhrawardi, dan dikaji berdasarkan isu-isu penting yang disampaikan Ibn Arabi.

Beberapa karya Mulla Shadra sebagai berikut

1.      Al-Hikmah al-Muta’âliyah fi al-Asfar al-Arba’ah (Hikmah Transenden dalam empat perjalanan rohani) : kitab ini adalah magnum opus dan induk dari semua karya-karyanya serta karya yang paling lengkap dalam pembahasan filsafat dari seorang Shadruddin. Kitab ini terbagi

3

Page 5: Mulla Shadra Dan Pemikiran Tasauwfnya

dalam empat perjalanan: perjalanan dari makhluk ke Tuhan, perjalanan dari Tuhan ke Tuhan bersama Tuhan, perjalanan dari Tuhan ke makhluk bersama Tuhan, perjalanan dari makhluk ke makhluk bersama Tuhan.

2.      Ittihâd al-Âqil wa al-Ma’qul: risalah ini merupakan kesimpulan dari pembahasan-pembahasan khusus yang ada di kitab Asfar. Sebuah tema penting dalam membangun kerangka filsafat tashawufnya

3.      Ittishâf al-Mahiyat bi al-Wujud: risalah ini menjelasakan tentang bagaimana hubungan kesatuan antara esensi (mahiyat) dengan eksistensi (wujud).

4.      Ajwibatu al-Masail: kandungan risalah ini tentang penjelasan kekuasaan Tuhan, substansi, pengertian aksiden dan masalah-masalah komposisi dan terbentuknya materi dan jawaban Mulla Shadra atas pertanyaan yang ditujukan kepada filosof Nashruddin Thusi dari seseorang tapi tidak terjawab, pertanyaan tersebut berkisar: gerak merupakan sebab dari waktu, penciptaan jiwa manusia, bagaimana terpancarnya kejamakan dari ketunggalan wujud.

5.      Ajwibatul al-Masâil an-Nashiriyat: berisi lima persoalan antara lain: pertanyaan tentang gerak, tentang jiwa nabati, bagaimana hadirnya gambaran sesuatu dalam pikiran, perbedaan pengindraan hewan dan manusia, penciptaan jiwa setelah kematian.

6.      Asrar al-Ayat wa Anwâr al-Bayyinat: Kitab ini membahas ayat-ayat yang berkaitan dengan ilmu-ilmu Ketuhanan, perbuatan ilahi dan ilmu tentang alam akhirat.

7.      Iksirul ‘Arifin: tentang makrifat-makrifat yang tinggi, membahas tentang pembagian ilmu-ilmu dan  makrifat nafs (ilmu jiwa).

8.      At-Tasyakhkhush: berisi tiga bab tentang pembahasan umum wujud.

9.      At-Tasawwur wa at-Tashdiq: berhubungan dengan pembahasan logika tapi khusus mengupas masalah-masalah tolok ukur kebenaran pemahaman manusia.

10. Ta’liqât ‘ala al-Hikmat al-Isyrâq: catatan-catatan kaki Mulla Shadra atas buku Syaikh Isyraq Suhrawardi.

11. Ta’liqât ‘ala al-Ilahiyyat as-Syifa: berisi penjelasan, tafsir dan kritik atas kitab Syifa Ibnu Sina.

12. At-tafsir al-Quran: berisi tafsiran dan penjelasan beberapa surah dari al-Quran, antara lain: al-Hadid, Ayatul Kursi, an-Nur, as-Sajdah, al-Fatihah, al-Baqarah, Yasin, Jum’ah, al-Waqi’ah, at-Thariq, al-‘Ala dan az-Zalzalah.

13. Huduts al-‘Âlam: penjelasan tentang hadis dan hadirnya  alam materi.

14.  Al-Hasyr: berisi penjelasan bahwa kebangkitan setelah hari kiamat berkaitan dengan semua makhluk bukan hanya manusia.

4

Page 6: Mulla Shadra Dan Pemikiran Tasauwfnya

15. Al-Hikmat al-Arsyiyyah: Kitab ini merupakan kesimpulan kitab Asfar yang hanya memuat pikiran-pikiran Mulla Shadra.

16. Khalq al-‘Amâl: membahas masalah jabr (keterpaksaan) dan ikhtiar (kebebasan) berdasarkan argumentasi rasional dan dukungan hadis-hadis Ahlulbait As.

17. Diwâne Sy’er: kumpulan syair-syair Mulla Shadra yang dikumpulkan oleh muridnya Mulla Muhsin Kasyani.

18. Zad al-Masafir wa Zad as-Sâlik: pembahasan khusus tentang ma’ad jasmani.

19. Sarayân Nur Wujud al-Haq fi al-Maujudat: risalah ini mengkaji rahasia kebersamaan Tuhan dengan makhluk.

20. Seh Asl: kitab ini menggambarkan kepada kita bagaimana sebagian ulama dan fuqaha menampakkan kebencian dan perlawanannya kepada filosof dan ‘arif, dan juga berisi nasihat-nasihat spiritual bagi para pesuluk ilmu dan amal.

21. Syar Ushul al-Kâfi: hanya menafsirkan bab-bab tauhid dan doktrin-doktrin aqidah lainnya dalam kumpulan hadis Syiah ini.

22.  Syar Hidayat al-Asiriyyah: kitab ini menafsirkan pemikiran-pemikiran aliran filsafat peripatetik.

23. Asy-Syawâhid ar-Rububiyyah fi al-Manâhij as-Sulukiyyah: Kitab ini mengulas seluruh pikiran-pikiran Mulla Shadra secara luas atau hanya memuat dotrin-dotrin aliran filsafat muta’aliyyah.

24. Al-Qadha wa al-Qadr: risalah ini memuat penjelasan tentang arti qadha dan qadar, bagaimana hadirnya keburukan dalam qadha ilahi, faktor penting dalam ikhtiar dan pengaruh doa serta manfaat ketaatan kepada Tuhan.

25. Kasr Ashnam al-Jahiliyyah: Kitab ini ditulis mengkritik prilaku orang-orang yang mengaku sufi.

26. Al-Lamâ’at al-Masyriqiyyah fi al-Mubahats al-Manthiqiyyah: Kitab ini khusus membahas masalah-masalah logika.

27. Lammiyat ikhtishash al-manthaqat bi mawdi’a mu’ayyan min al-falak.

28. Al-mabda’ wa al-ma’ad: Kitab ini membahas mulai dari tauhid sampai ilmu tentang alam akhirat.

29. Mutasyabih al-Quran: risalah ini mengkaji perkataan aliran-aliran yang bermacam dan juga kesimpulan pembahasan ayat kursi.

5

Page 7: Mulla Shadra Dan Pemikiran Tasauwfnya

30. Al-Mizâj

31. Al-Masail al-Qudsiyyah: risalah ini memuat hukum-hukum tentang wujud dan wajib al-wujud, juga berisi tentang penetapan wujud pikiran dan beberapa pembahasan tentang akal dan tingkatan-tingkatannya.

32. Al-Masyâ’ir: Kitab ini berisi tentang pengertian wujud, hakikat wujud dan hal-hal partikular tentang wujud. Paling lengkapnya pembahasan tentang wujud dalam kitab ini.

33. Al-Mazahir al-Ilahiyyah fi Asrâr al-‘Ulum al-Kamâliyah: Kitab ini mengulas tentang makrifat zat, sifat dan perbuatan Tuhan. Penetapan wujud Tuhan, ahadiyyat, wahidiyyat dan asma-asma Tuhan serta hari kemudian.

34. Mafatih al-Ghaib: paling baiknya kitab berkenaan dengan tafsir al-Quran.

35. Al-Waridat al-Qalbiyyah: kitab menjelaskan tentang penyingkapan irfani atas masalah ketuhanan, tingkatan alam besar dan alam kecil (manusia) serta pentingnya pensucian diri dan menjalani maqam-maqamnya.

36. Nomeh hoye Sadr al-mutaallihin: tentang surat-surat pujian Mulla Shadra kepada gurunya Mir Damad.

37. Ashalat j’al al-Wujud: risalah yang menguraikan tentang penciptaan wujud dan secara prinsipil bersandarnya ciptaan kepada wujud.

Empat Perjalanan RohaniMulla Shadar berkeyakinan bahwa proses kehidupan manusia adalah untuk mengenal dan berakhlak dengan akhlak ilahiah. Keyakinannya itu dituangkan dalam buku Asfar Arbaah (empat perjalanan). Dari bukunya inilah nampak kepiawaian Mulla Shadra dalam meramu pengalaman dan doktri tashawuf dalam penjelasan filosofis, yang merupakan suatu bentuk pelajaran penalaran dan pemikiran, disusun secara sistematis namun tak melupakan sisi mistis sehingga menyerupai kaum arif / sufi dalam menjelaskan masalah perjalanan rohani dan hati.

Mulla Shadar merumuskan perjalanan rohani seorang hamba (salik) yang harus menempuh perjalanan & pengembaraan rohani diantara 4 tahapannya, yakni sebagai berikut :

1). Perjalanan dari makhluk menuju Al-Haq / Tuhan (sayr min al-khalq ila Al-Haq) Pada tahap ini, seorang salik berusaha untuk melewati dan meninggalkan alam realitas dan sebagian alam metafisika, sehingga mampu berjumpa dengan Al-Haq dan tidak ada lagi tirai pembatas. Rangkaian dari perjalanan pertama ini adalah Perjalanan untuk meninggalkan alam materi ke alam mitsal, dari alam mitsal ke alam akal, dan dari alam akal menuju al-Haq. Maksud menanggalkan segala bentuk keterkaitan hati pada materi, hati steril dari yang selain-Nya. Pada

6

Page 8: Mulla Shadra Dan Pemikiran Tasauwfnya

tahap ini, seseorang tetap memerlukan kebutuhan biologisnya, makan dan minum, tapi hati tidak boleh tertambat padanya. Kecintaan pada materi tidak boleh menyentuh, apalagi menguasai kerajaan hatinya.

Dengan terlepas dari alam materi, maka seorang salik akan melangkah ke alam mitsal (alam imajinal) sebuah alam yang hanya mengambil bentuk tanpa beban dan materi. Dalam alam mitsal, seseorang akan mengetahui rahasia alam materi: yang lalu, sedang, dan akan terjadi. Pada tahapan ini semua hal “ajaib”, seperti karomah, mukasyafah, syuhud adalah cobaan dan hijab cahaya yang harus dilalui untuk masuk ke tahap berikutnya.

Untuk melangkah ke tahap selanjutnya, seseorang harus melepaskan diri dari ketakjuban dan rasa suka terhadap segala fenomena alam mitsal dan keajaiban-kejaibannya. Ketika sudah berhasilmelepaskan diri, maka sudah mulai memasuki gebang alam akal. Di alam akal, manusia tidak berbeban dan tidak berbentuk. Ia bertangan, berkaki, berkepala tapi tanpa bentuk. Hakikat tangannya adalah hakikat kaki, kepala, dan semua anggota tubuhnya. dan seterusnya. Alam disebut juga : jannah al-muqarrabin (surga orang-orang yang didekatkan) yang letaknya di atas “surga mukminin”. Meskipun kenikmatannya tak terkira, sang pejalan harus terus melanjutkan perjalanan menuju kelezatan yang hakiki, yakni washlah (sampai, menyatu, kawin) dengan al-Haq (wa ilaihi al-Mashir), yakni menjadi manifestasi nama-Nya.

2). Perjalanan kedua adalah perjalanan dengan Al-Haq dalam Al-Haq / Tuhan (sayr bi Al-Haq fi Al-Haq) Setelah pengembara spiritual dekat dengan zat Al-Haq, maka dengan bantuan-Nya ia mengadakan perjalanan dalam berbagai kesempurnaan dan sifat-sifat-Nya. Inilah perjalanan tanpa batas. Perjalanan tahap ini merupakan peleburan dalam sifat-sifat dan perbuatan ilahiah. Fana bermakna, tidak melihat diri-Nya. Fana dalam zat disebut maqam rahasia (sirr), fana dalam sifat disebut maqam “tersembunyi” (khafi), sedangkan maqam “tersembunyinya sembunyi” adalah fananya fana, yakni tidak merasakan kefanaan. Jika seseorang merasa fana, masih ada pengakuan akan eksistensinya. Pengakuan akan eksistensi adalah syirik yang merupakan dosa besar. Kesadaran kefanaan perlu diabaikan, dan perhatian hanya tertuju pada al-Haq.

3). Perjalanan dari, menuju dan dengan Al-Haq / Tuhan menuju makhluk (sayr min Al-Haq ila al khalq bi Al-Haq) Setelah mencapai fana dalam Al Haq, sang salik kembali ke tengah masyarakat, namun kembalinya ini bukan berarti berpisah dari Al-Haq, ia menyaksikan keberadaan Al-Haq pada segala sesuatu dan bersama segala sesuatu, “ke mana saja menghadap di situ terlihat wajah Allah.” jika perjalanan kedua bertujuan melepaskan diri dari jerat kemajemukan dan fana dalam Allah, maka tahap selanjutnya adalah kembali pada kemajemukan tapi masih tetap fana dalam Allah. Ketika seseorang fana, tubuh dan jiwanya bersifat ilahiah. Melihat semua alam dengan “mata” al-haq. Nafasnya adalah nafas ketuhanan. Bicaranya adalah pembicaraan ilahiah.

7

Page 9: Mulla Shadra Dan Pemikiran Tasauwfnya

4). Perjalanan keempat adalah perjalanan dalam makhluk ‘DENGAN’ Al-Haq / Tuhan (sayr fi al khalq bi Al-Haq) Sang Pengembara spiritual berusaha untuk memberi petunjuk kepada masyarakat serta membimbing mereka kepada Al-Haq. Dengan mata dan pendengaran ilahiah, seseorang memperhatikan makhluk dan rahasianya, mengerti seluruh rahasia makhluk, titik mula dan akhirnya, titik awal dan tujuannya, apa yang baik dan buruk baginya. Inilah maqam wilayah atau khalifah (khalifatullah) atau insan al-kamil. Dan bagi yang diangkat menjadi rasul, maqam ini disebut sebagai risalah (kerasulan).

8

Page 10: Mulla Shadra Dan Pemikiran Tasauwfnya

Sumber bacaan:

1. Mulla Shadra, Kearifan Puncak. Pustaka Pelajar, 2001.2. Fazlur Rahman, Filsafat Shadra. Penerbit Pustaka. 20003. Muhsin Labib, Para Filosof (sebelum dan sesudah Shadra). Al Huda 20054. Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam. Mizan, 2005.5. Sayid Husein Nasr et. al., Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. Mizan, 20036. http://ruhullah.wordpress.com 7. http://al-shia.org 8. http://buletinmitsal.wordpress.com

9