murjiah
TRANSCRIPT
B. PEMBAHASAN
1. Yang dimaksud Kaum Murji’ah
Kata“Murji’ah” berasal dari kata “arja’a” atau “arja” yang mempunyai beberap pengertian
diantaranya:
“Penundaan”,“Mengembalikan”umpamanya bagi orang yang sudah mukmin. Tapi
berbuat dosa besar sehinggga matinya belum bertaubat, orang itu hukumanya di
Tunda, dikembalikan Urusanya kepada Allah kelak.
“Memberi pengharapan”. Yakni bagi orang Islam yang melakukan dosa besar tidak
dihukum kafir melainkan tetap mukmin dan masih ada harapan untuk memperoleh
pengampunan dari Allah.
“Menyerahkan”maksudnya menyerahkan segala persoalah tentang siapa yang benar
dan siapa yang salah hanya kepada keputusan Allah kelak.
Dari beberapa pengertian diatas bisa kita menyimpulkan tentang pengertian dari Murji’ah.
Adapun yang di maksud kaum Murji’ah di sini ialah suatu golongan atau kaum orang-orang
yang tidak mau ikut terlibat dalam mengkafirkan tehadap sesama umat Islam seperti
dilakukan kaum Khawarij yang mengatakan bahwa semua yang terlibat dalam tahkim adalah
kafir, dan mengatakan bahwa orang Islam yang berdosa besar juga kafir. Bagi mereka, soal
kafir atau tidaknya orang-orang yang terlibat dalam tahkim dan orang Islam yang berdosa
besar, kita tidak tahu dan tidak dapat menentukan sekarang. Mereka mempunyai pandangan
lebih baik menangguhkan penyelesain persoalan tersebut dan menyerahkanya kepada
keputusan Allah di hari kemudian yakni pada hari perhitungan sesudah hari Kiamat nanti.
Karena mereka berpendirian menangguhkan atau menunda persoalan tersebut, mereka
kemudian disebut kaum Murji’ah.[2]
2. Latar belakang Sejarah berdirinya Kaum Murji’ah.
Golongan Murji’ah ini mula-mula timbul di Damaskus, pada akhir abad pertama hijrah.
Dinamakan “Murji’ah” karena golongan ini menunda atau mengembalikan tentang hukum
orang mukmin yang berdosa besar dan belum bertobat sampai matinya, orang itu belum dapat
dihukumi sekarang. Ketentuan persoalannya ditunda atau dikembalikan terserah kepada Allah
di hari akhir nanti.
Lahirnya aliran Murji’ah disebabkan oleh kemelut politik setelah meninggalnya Khalifah
Utsman bin Affan, yang di ikuti oleh kerusuhan dan pertumpahan darah. Kemelut polotik itu
berlanjut dengan terbunuhnya Khalifah Ali yang diikuti pula kerusuhan dan pertumpahan
darah. Di saat-saat demikian, lahirlah aliran Syi’ah dan aliran Khawarij. Syi’ah menentang
Bani Umayah karena membela Ali dan Bani Umayyah dianggap sebagai penghianat,
mengambil alih kekuasaan dengan cara penipuan.[3]
Di antara Syi’ah dan Khawarij di satu pihak dan Bani Umayyah di pihak lain yang saling
bermusuhan dan menumpahkan darah itu, tampillah segolongan yang di sebut Murji’ah.
Seperti halnya lahirnya aliran Khawarij, demikian juga halnya munculnya aliran Murji’ah
adalah dengan latar belakang politik. Sewaktu pusat pemerintahan Islam pindah ke
Damaskus. Maka mulai kurang taatnya beragama kalangan penguasa Bani Umauyyah,
berbeda dengan Khulafur-Rasyidin. Tingkah laku pengusa tampak semakin kejam. Sementara
ummat Islam bersikap diam saja. Timbul persoalan: “Bolehkah ummat Islam berdiam saja
dan wajibkah kepada khalifah yang dianggapnyazalim?”.
Orang-orang murjiah berpendapat bahwa seorang muslim boleh saja shalat di belakang
seorang yang sholeh ataupun di belakang orang fasiq. Sebab penilaian baik dan buruk itu
terserah kepada Allah. Soal ini mereka tangguhkan dan karena itu pulalah mereka dinamakan
golongan Murji’ah yang yang berarti melambatkan atau menagguhkan tentang balasan Allah
sampai nanti.
Dipandang dari sisi politik, pendapat golongan Murji’ah memang menguntungkan penguasa
Bani Umayyah. Sebab dengan demikian berarti membendung kemungkinan terjadinya
pemberontakan terhadap Bani Umayyah sekalipun khalifah dan pembantu-pembantunya itu
kejam, toh mereka itu muslim juga. Pendapat ini berbeda dengan pendirian golongan
khawarij yang mengatakan bahwa berbuat zalim, berdosa besar itu adalah kafir.
Pada masa pemerintahan Umar Bin Khattab beberapa daerah takluk ke dalam kekuasaannya.
Syria jatuh pada tahun 638 M, disusul Mesir pada 641M, lalu Persia 642 M jatuh ketangan
ummat Islam. Berarti ada tiga kerajaan besar dengan kekayaan yang cukup dan tinggi
peradabanya, masuk kedalam kekuasaan Islam. Masing-masing daerah ini menjadi wilayah
gubernur dengan pusat pemerintahan tetap di Madinah. Masing-masing daerah diperintah
seorang gubernur.
Ada beberapa hal yang perlu di perhatikan. Bahwa meluasnya wilayah Islam ke tiga daerah
tersebut:
Pertama, penduduk dari wilayah Persia, Syria dan Mesir itu masing-masing telah
mengenal peradaban dan agama-agama lama seperti peradaban agama-agama Mesir,
Babilon, Persia, Yahudi dan Nasrani juga peradaban keagamaan dan filsafat Yunani
(Hellenisme dan Platonisme). Pengaruh Yunani terutama menjadi makin tampak
disebabkan imperium Romawi Timur telah berabad-abad memerintah Syria dan
Mesir, takala Khalifah Umar membebaskanya.
Kedua, setelah daerah-daerah ini masuk imperium Islam banyaklah penduduk-
penduduk daerah itu yang menukar agamanya kepada Islam baik dengan jalan
perkawinan ataupun dengan jalan pelajaran semata-mata. Hal ini terjadi dengan
pesatnya terutama disebabkan pada zaman itu rakyat umum telah biasa untuk
menuruti sikap pemimpin-pemimpinnya. Apalagi raja-rajanya, panglima-panglimanya
atau pendeta dan orang-orang kayanya masuk Islam, maka mereka pun masuk
Islamlah pula.
Ke dua hal di atas tentu saja terpengaruh pada jalan pikiran umat Islam umumnya, sebab
umat islam yang baru ini (rakyat-rakyat Persia, Mesir dan Syria) telah membaea pula
peradabannya dan cara-cara pemikiranya ke dalam tubuh masyarakat Islam sendiri.
Dan ini menjadi persoalanya baru pula di kalangan umat Islam. Harus diperiksa (diseleksi)
manakala dari peradaban dan pemikiran itu sesuai dan dapat diterima Islam, dan mana pula
yang bebeda, bertentangan dan di tolak oleh agama Islam.
Untuk itu terjadilah pertukaran pikiran di antara mereka. Dan dari sini timbullah perselisihan-
perselisihan pendapat. Kalau dalam tubuh umat Islam Arab sendiri telah timbul benih-benih
pembahasan dan perselisihan pendapat tentang soal-soal pemikiran (filsafat) keagamaan (soal
qaddar Tuhan) maka dengan pembahasan-pembahasan baru ini menjadilah dunia pembahasan
itu bertambah besar dan meluas. Melihat baik dilihat pada lingkungannya ataupun dilihat
pada unsur-unsur yang terdapat di dalamnya.
Pembahasan itu makin menjadai-jadi dan telah berupa suatu pembicaraan soal ketuhanan
yang khusus bersifat ilmu pengetahuan.Lalu timbullah istilah ilmu kalam yang berarti ilmu
yang berbicara (berdebat) sebagai nama baru bagi Ilmu Tauhid atau Ilmu Ushuluddin yang
telah ada.
3. Aliran dalam Kaum Murji’ah dan tokoh-tokohnya
Al Bagdhadi membagi aliran Murjiah kepada tiga golongan besar, yaitu:
Murjiah dalam pengaruh faham Qadariah dengan pendukung-pendukungnya:
Ghailan
Abi Syamar
Muhammad bin Syahib al Basri
Mereka ini menganut paham kehendak bebas yang dikaitkan ketentuan-ketentuan efektif
Tuhan terhadap setiap kejadian.
Murjiah dalam pengaruh faham Jabariah dengan pendukung-pendukungnya:
Jaham bin Safwan
Yaitu yang menganut paham bahwa iman dan kufur adalah terletak di hati dan bukan terletak
pada perbuatan manusia. Oleh karena itu, orang yang menyembah berhala dan matahari
dianggap tetap beriman.[4]
Murji’ah yang tidak dalam pengaruh faham Jabariah atau Qadariah dan mereka ini
terbagi dalam lima golongan:
Yunusiah
Ghassaniah
Tsaubaniah
Thumaniah
Marisiah
Tokoh-tokoh Murji’ah, di samping yang telah di sebutkan dalam pimpinan golongan-
golongan di atas, dikenal pula:
Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib
Sa’id bin Zubair (seorang wara’ dan zuhud termasuk tabi’in)
Abu Hanifah (Imam Mazhab)
Abu Yusuf
Muhammad bin Hasan
Dan lain-lain dari ahli Hadis.[5]
4. Pemikiran Teologi Kaum Murji’ah
Kaum Murji’ah dilihat dari sisi pemikiran teologi mereka dapat di beradakan dalam dua
golongan[6], yang mana dua golongan ini sangat jauh berbeda dari satu dengan yang lainya,
yaitu:
© Golongan Moderat
Ialah golongan yang berpendapat bahwa orang Islam yang berdosa besar tidak Kafir dan ia
tidak akan kekal di dalam neraka, akan tetapi di sikasa di dalam neraka sesuai dengan
besarnya dosa yang pernah ia lakukan, dan kemudian setelah menjalani siksaan ia akan keluar
dari neraka. Dan bisa saja jika dosanya di ampuni Tuhan, maka ia sama sekali tidak masuk
neraka.
© Golongan Ekstrim.
Ialah golongan yang berpendapat iman ialah keyakinan di dalam Hati. Apabila seseorang di
hatinya telah meyakini tidak ada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad rasul Allah,
meskipun ia meyatakan kekafiran dengan lidah, menyembah berhala, mengikuti agama
Yahudi, dan Nasrani, memuja salib, mengakui trinitas, kemudian mati, orang seperti ini tetap
mukmin yang sempurna imannya di sisi Allah dan ia termasuk golongan Ahli Surga.
Selanjutnya golongan Murji’ah Ekstrim terpecah kepada beberapa golongan, antara lain:
a) Al Jahmiyah
Adalah para pengikut Jahm bin Shafwan. Dan golongan ini berpendapat bahwa orang Islam
yang percaya kepada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan ia tidak
menjadi kafir, karena iman dan kufr tempatnya di dalam hati, bukan pada bahagian lain dari
tubuh manusia. Bahkan orang seperti ini juga tidak menjadi kafir, walaupun ia menyembah
berhala, menjalankan ajaran-ajaran agama Yahudi atau agama Kristen dengan menyembah
salib, menyatakan percaya pada trinitas, kemudian mati. Orang demikian bagi Allah tetap
merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya.[7]
b) Al Shalihiyah
Adalah para pengikut Abu al Hasan Shalih Ibnu ‘Amar Al Shalih. Golongan ini berpendapat,
iman ialah mengenal Tuhan dan kufr ialah tidak mengenal Tuhan. Menurut golongan ini,
sembahyang tidaklah merupakan ibadah kepada Allah, karena yang di sebut ibadah ialah
iman kepada-Nya, dalam arti mengenal Tuhan. Lebih dari itu golongan ini berpendapat
bahwa sembahyang, zakat, puasa, dan haji hanya menggambarkan kepatuhan dan tidak
merupakan ibadah kepada Allah. Yang di sebut ibadah hanyalah iman. Iman tidak bertambah
dan tidak berkurang.
c) Al Yunusiyah
Adalah pengikut Yunus Ibnu ‘Aun Al Numairi. Menurut golongan ini iman ialah mengenal
Allah, hati tunduk pada-Nya, meninggalkan rasa takabbur, dan mencintai-Nya dalm hati.
Apalagi yang tersebut ini terhimpun pada diri seseorang maka ia adalah seorang mukmin.
Sedangkan yang sealin dari itu bukanlah termasuk iman. Oleh karena di dalam pandangan
kaum Murji’ah, yang di sebut Iman itu hanyalah mengenal Tuhan, golongan Al Yunusiyah
berkesimpulan bahwa melakukan maksiat atau pekerjaan-pekerjaan jahat tidak merusak iman
seseorang.
d) Al Ubaidiyah
Golongan ini adalah pengikut ‘Ubaid Ibnu Mahran Al Muktab. Dan dalm pandangan
golongan ini ,mereka berpandapat jika seseorang mati dalam keadaaan beriman, dosa-dosa
dsan perbutan jahat yang di kerjakan tidak akan merugikan bagi yang bersangkutan.
Perbuatan jahat banyak atau sedikit, tidak merusak iman. Sebaliknya, perbuatan baik, banyak
atau sedikit, tidak akan merubah atau memperbaiki kedudukan orang yang musrik atau orang
yang kafir.
e) Al Ghassaniyah
Adalah pengikut Ghassan Al Kufi. Golongan ini berpendapat, iman ialah mengenal Allah dan
Rasul-Nya serta mengakui apa yang di turunkan Allah kepada Rasul secara global, tidak
secara rinci. Iman itu bisa bertambah dan tidak bisa berkurang. Selain itu golonagn ini juga
berpendapat, jiak seseorang mengatakan: “saya tahu bahwa Tuhan Mengharamkan memakan
babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah itu adalah kambing ini
atau yang selainya”, maka orang tersebut tetap mukmin. Dan jika seseorang mengatakan: “
Saya tahu bahwa tuhan mewajibkan haji ke Ka’anh, tetapi saya tidak tahudimana letaknya
ka’bah itu, apakah di India atau di tempat lain”, orang demikina juga tetap mukmin.
5. Alam Pemikiran Kaum Murji’ah
Pemimpin Murji’ah ini adalah Hasan Bin Bilal Al Muzni, Abu Salat As Samman, Tsauban
Dlirir Bin Umar. Penyair yang terkenal pada pemerintahan Bani Umayyah ialah Tsabit Bin
Quthanah, mengarang syair iktikad kaum Murji’ah.
Apabila yang menjadi asas golongan Mu’tazilah ialah “Usulu I-Khomsah”, dan golongan
Syi’ah dengan berasas tentang “Imamah”, maka asas golongan Murji’ah tentang batasan
pengertian “Iman”.
Menurut Ahli Sunnah bahwa iman itu sendiri terdiri dari tiga unsur, yaitu: membenarkan
dengan hati, mengikrarkan dengan lisan, dan menyertai dengan amal perbuatan seperti shalat,
puasa, zakat, haji. Masing-masing adalah termasuk bagian Iman.
Ahmad Amin menerangkan:“Kebanyakan golongan Murjiah berpendapat bahwa Iman ialah
hanya membenarkan dengan hati saja. Atau dengan kata lain Iman ialah makrifat kepada
Allah dengan hati, bukan pengertian lahir. Apabila seseorang beriamn dengan hatinya, maka
dia adalah mukmin dan muslim, sekalipun lahirnya dia Yahudi atau Nasrani dan meskipun
lisanya tidak mengucapkan syahadat dua. Mengikrarkan dengan lisan dan amal perbuatan
seperti shalat, puasa dan sebagainya, itu bukan bagian daripada iman.”
Alasan merekan bahwa Al Quran itu diturunkan dalam bahasa Arab. Iman menurut bahasa
ialah membenarkan dengan hati saja. Sedangkan amal perbuatan dengan anggota badan
menurut bahasa bukan termasuk membenarkan dengan hati – tashdiq – tidak termasuk bagian
dari iman. Dalam Al Quran diterangkan tentang kisah saudara-saudara Nabi Yunus a.s.
وما انت بمؤمن لنا اى بمصدق ماحدثناك بھ
Artinya: “Tidaklah kamu itu orang yang beriman kepadaku. Artinya mempercayai apa yang
kami katakan kepadamu tentangnya.”
Menurut hadits, iman ialah :
أإلیمان ان تؤمن باهللا ومالئكتھ وكتبھ ورسلھ اى تصدق
Artinya: “Iman ialah percaya kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan
Rasul-rasul-Nya.” artinya: membenarkan.
Selanjutnya diterangkan:“Sebagian dari golongan Murji’ah berpendapat bahwa iman itu
terdiri dari dua unsur , yaitu membenarkan dengan hati, dan mengikrarkan dengan lisan.
Membenarkan dengan hati saja tidak cukup, dan mengiikrarkan dengan lisan sajapun tidak
cukup, tetapi harus dengan bersama kedua-duanya. Supaya seseorang menjadi mukmin.
Karena orang yang membenarkan dengan hati dan menyatakan kebohongannya dengan lisan,
tidak dinamakan mukmin.”
Golongan-golongan lain berpendapat bahwa iman itu terdiri dari tiga unsur, yaitu:
membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan beramal dengan anggota badan.
Sekalipun iman menurut bahasa itu berarti membenarkan dengan hati, tetapi dalam syara’ itu
ada hal-hal yang berubah dari arti menurut bahasa. Yang mempunyai pengertian tersendiri
dalam istilah. Seperti shalat menurut bahasa ialah doa. Tetapi dalam syara’ diartiakn sebagai
berikut:
تكبیر ومختتمة بالتسلیمالصالة ھى اقوال واحوال وافعال مخصوصة مفتتحة بال
Artinya: “Shalat ialah bacaan, tingkah laku dan perbuatan tertentu yang dimulai takbir dan
diakhiri dengan salam.”
Firman Allah:
Artinya:“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil
dan pilihan[8] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang
menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang
mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat
berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan
menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada
manusia.” (Al Baqarah: 143)
Lafaz “iman” dalam ayat tersebut, yang dimaksud ialah “shalat”nya kaum muslimin
menghadap ke arah Baitul Maqdis sebelum perintah menghadap ke arah Masjidil Haram,
seperti diterangkan dalam ayat:
Artinya: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit[9], Maka sungguh
Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan
Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil)
memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya;
dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.(Al-Baqarah : 144)
Seandainya “iman itu cukup hanya denagn hati, maka banyak orang-orang Yahudi dan
Nasrani tergolong Mukmin. Sebab mereka mengetahui Nabi Muhammad SAW, sebagaiman
pula nenek moyang mereka juga mengetahuinya, diperoleh keterangan dari kitab-kitab Taurat
dan Injil.
Golongan Murji’ah bertentangan dengan golongan Mu’tazilah dan Khawarij. Diterangkan
“Golongan-golongan Mu’tazilah dan Khawariz sangat menentang golongan Murji’ah tentang
pengertian iman. Karena kedua golongan tersebut mensyaratkan iman dengan melaksanakan
taat kepada Allah, menjahui hal-hal yang maksiat, dan mereka menjadikan amal perbuatan
sebagoan daripada iman. Golongan Khawarij menganggap Mu’tazilah menganggapnya
berada dalam suatu posisi di antara dua posisi, tidak mukmin dan tidak juga kafir, sedangkan
golongan Murji’ah berpendapat: bahwa orang yang berdosa besar itu mukmin. Sebab dia
membenarkan dengan hatinya, dikatakan fasiq karena melakukan dosa besar. Bahkan di
antara mereka sendiri adanya yang mengatakan bahwa tidak betul menamakan orang yang
berdosa besar itu fasiq secara mutlaq, tetapi dikatakan fasiq dalam hal demikian.”
Masalah iman ini menimbulkan beberapa masalah. Seperti apakah iman itu dapat bertambah
atau tidak. Karena golongan Murji’ah berpendirian bahwa iman itu mrmbenarkan dalam hati
saja atau membenarakan dengan hati fan mengikrarkan dengan lisan itu adakalanya benar dan
tidak. Maka iman itu tidak bisan bertambah atau berkurang.
Adapun pihak-pihak yang berpendirian bahwa amal perbuatan itu termasuk ke dalam
pengertian iman, sedangkan amal perbuatan itu bisa banyak bisa sedikit, maka iman itu dapat
bertambah dan berkurang. Berdasarkan ayat:
Artinya: “Dan apabila diturunkan suatu surat, Maka di antara mereka (orang-orang munafik)
ada yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya)
surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, Maka surat ini menambah imannya, dan
mereka merasa gembira.” (At Taubah: 124)
Sebagaimana Ahli Hadits mengatakan :
ت وینقص بالعصیانیزیدبالطاعا.وعمل باألركان.اإلیمان معرفة بالقلب واقرار باللسان .
Artinya: “Iman ialah mengetahui dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan beramal
dengan anggota badan, bertambah sebab taat dan berkurang sebab bermaksiat.”
Tentang orang yang berdosa besar, ada beberapa pendapat:
1. Golongan Mu’tazilah dan Khawariz berpendapat bahwa orang yang berdosa itu kekel
dalam neraka, tidak akan di keluarkan selama-lamanya, berdasarkan ayat:
Artinya: “Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia
kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.”(An-Nisa-14)
Artinya: “Dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka
balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan
mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.”(An-Nisa: 93)
Golongan Murji’ah mentakwilkan ke dua ayat tersebut :
a. Ayat pertama: orang yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya itu tetap mukmin,
tidak melampaui had-had-Nya, tetapi hanya sebahagianya saja. Orang yang melampaui atau
melanggar semua had-had-Nya, itu dinamakan orang kafir.
b. Ayat kedua: bahwasanya yang di maksud membunuh (manusia) dalam ayat tersebut
ialah orang kafir.
2. Golongan Murji’ah berpendirian bahwa orang yang berdosa besar itu tidak kekal dalam
neraka selamanya. Sesungguhnya Allah tidak akan mengingkari janji pahala, sedangkan janji
ancamanya boleh jadi di penuhi. Sebab pahala adalah anugrah-Nya, bukanlah suatu
kekurangan. Dalam hal ini golongan Mu’tazillah berpendirian sebaiknya yaitu Allah wajib
melaksanakan balasan pahala dan siksaan.
Beberapa paham Murji’ah mempengaruhi Ahli Sunnah seperti diterangkan: “Dan
kepercayaan-kepercayaan Murji’ah telah banyak masuk ke dalam Ahli Sunnah. Seperti
pendapat tentang tidak kekalnya orang mukmin yang maksiat di dalam neraka, dan pendapat
tentang wewenang mengingkari ancaman siksa bukan janji pahala dan sebagainya.”
Sebenarnya pendirian-pendirian golongan Murji’ah yang lunak tentang iman, sangat
membahayakan. karena tidak ekstrim seperti golongan-golongan Mu’tazilah dan Khawariz.
bersifat irja’ menagguhkan ketentuan hukum orang yang berdosa besar, maka diketahui
bahwa pada waktu itu banyak penguasa yang berbuat maksiat dan dosa, karenanya pendapat-
pendapat golongan Murji’ah tersebut bertendensi politis. [10]