mu'tazilah dan kesesatannya

6
7/23/2019 Mu'Tazilah Dan Kesesatannya http://slidepdf.com/reader/full/mutazilah-dan-kesesatannya 1/6 Mu’tazilah dan Kesesatannya Firman Sholihin  Arti Kata Mu’tazilah Menurut Bahasa dan Istilah  Dalam tinjauan bahasa, kata al-mu’tazilah merupakan isim fa’il  (subyek) dari kata al-i’tizal  yang secara bahasa diartikan ‘pengasingan/ penyendirian’. 1  Ar-Raghib al-Ashfahani, seorang pakar kebahasaan Alquran, mendefinisikan bahwa al-i’tizal  adalah; “Menjauhi sesuatu baik itu dalam  bentuk pekerjaan, sikap atau yang lainnya, dengan badan ataupun dengan hati”. 2  Ada juga yang mengartika kata al-i’tizal ini dengan al-mufashil dan at- tanahhi   yang berarti ‘penyingkiran/pemisahan diri’, sehingga al-mu’tazilah adalah al-mufashilun atau al-mutanahhi,  yaitu orang yang menyinggkir dan memisahkan diri dari sesuatu. 3  Sedangkan dalam istilah ilmu kalam, ada yang mengartikan bahwa al- mu’tazilah adalah; “Nama yang digunakan untuk golongan Islam yang menampakan diri pada awal-awal abad ke-2 H. Golongan ini menempuh metode rasional yang ekstrim dan radikal dalam membahas aqidah islamiyyah. Mereka merupakan pengikut Washil bin ‘Atha al -Ghazali (80-131 H) yang memisahkan diri dari majlis pengajian al-Hasan al-Bashri (w. 110 H). 4   Asal-Usul Penamaan Mu’tazilah Menurut versi al-Syahrastani (479-548 H) diceritakan bahwa ada seorang lelaki yang menemui al-Hasan al-Bashri seraya bertanya, “Wahai imam agama ini! Sungguh telah nampak pada zaman kita segolongan umat  yang mengkafirkan para pelaku dosa besar. Menurut mereka, dosa besar adalah penyebab kekafiran dan keluarnya seseorang dari ajaran ini. Mereka adalah golongan Khawarij. Ada juga segolongan umat yang memberikan harapan kepada pelaku dosa besar. Menurut mereka, dosa besar tersebut sama sekali tidak memadlaratkan keimanan. Bahkan, madzhab mereka  beranggapan bahwa ‘amal/pekerjaan itu tidak termasuk rukun dari iman. Dengan demikian, prilaku ma’shiyyat itu sama sekali tidak memadlaratkan keimannan, sebagaimana keta’atan yang tidak membuahkan manfa’at bagi kekafiran. Mereka adalah golongan Murji’ah. Bagaimanakah putusan yang 1  Munawwir, Ahmad Warson,  Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, Cet. Ke-14, 1997 M), Hal. 927. 2  Al-Ashfahani, Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammadal-Mu’arraf bi—ar-Raghib, al-  Mufradat fi Gharib Alquran,  (Bairut: Dar al-Qalam ad-Dar al-Syamiyyah, Cet. Ke-1, 1412 H), Hal. 565. 3  Ibn Mushtafa, Mushtafa bin Muhammad, Ushul wa Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah, (ttp.: tpn., 1423 H/2003 M), Hal. 371. 4   Ibid.

Upload: firman-sholihin

Post on 19-Feb-2018

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Mu'Tazilah Dan Kesesatannya

7/23/2019 Mu'Tazilah Dan Kesesatannya

http://slidepdf.com/reader/full/mutazilah-dan-kesesatannya 1/6

Mu’tazilah dan Kesesatannya 

Firman Sholihin

 Arti Kata Mu’tazilah Menurut Bahasa dan Istilah 

Dalam tinjauan bahasa, kata al-mu’tazilah merupakan isim fa’il  

(subyek) dari kata al-i’tizal   yang secara bahasa diartikan ‘pengasingan/

penyendirian’.1  Ar-Raghib al-Ashfahani, seorang pakar kebahasaan Alquran,

mendefinisikan bahwa al-i’tizal   adalah; “Menjauhi sesuatu baik itu dalam

 bentuk pekerjaan, sikap atau yang lainnya, dengan badan ataupun dengan

hati”.2 Ada juga yang mengartika kata al-i’tizal ini dengan al-mufashil dan at-

tanahhi   yang berarti ‘penyingkiran/pemisahan diri’, sehingga al-mu’tazilah

adalah al-mufashilun atau al-mutanahhi,  yaitu orang yang menyinggkir dan

memisahkan diri dari sesuatu.3 

Sedangkan dalam istilah ilmu kalam, ada yang mengartikan bahwa al-

mu’tazilah adalah; “Nama yang digunakan untuk golongan Islam yang

menampakan diri pada awal-awal abad ke-2 H. Golongan ini menempuh

metode rasional yang ekstrim dan radikal dalam membahas aqidah

islamiyyah. Mereka merupakan pengikut Washil bin ‘Atha al-Ghazali (80-131

H) yang memisahkan diri dari majlis pengajian al-Hasan al-Bashri (w. 110

H).4 

 Asal-Usul Penamaan Mu’tazilah 

Menurut versi al-Syahrastani (479-548 H) diceritakan bahwa ada

seorang lelaki yang menemui al-Hasan al-Bashri seraya bertanya, “Wahai

imam agama ini! Sungguh telah nampak pada zaman kita segolongan umat

 yang mengkafirkan para pelaku dosa besar. Menurut mereka, dosa besar

adalah penyebab kekafiran dan keluarnya seseorang dari ajaran ini. Mereka

adalah golongan Khawarij. Ada juga segolongan umat yang memberikan

harapan kepada pelaku dosa besar. Menurut mereka, dosa besar tersebut

sama sekali tidak memadlaratkan keimanan. Bahkan, madzhab mereka

 beranggapan bahwa ‘amal/pekerjaan  itu tidak termasuk rukun dari iman.Dengan demikian, prilaku ma’shiyyat itu sama sekali tidak memadlaratkan

keimannan, sebagaimana keta’atan yang tidak membuahkan manfa’at bagi

kekafiran. Mereka adalah golongan Murji’ah. Bagaimanakah putusan yang

1  Munawwir, Ahmad Warson,  Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: PustakaProgresif, Cet. Ke-14, 1997 M), Hal. 927.

2  Al-Ashfahani, Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad—al-Mu’arraf bi—ar-Raghib, al- Mufradat fi Gharib Alquran, (Bairut: Dar al-Qalam ad-Dar al-Syamiyyah, Cet. Ke-1,1412 H), Hal. 565.

3

  Ibn Mushtafa, Mushtafa bin Muhammad, Ushul wa Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah, (ttp.:tpn., 1423 H/2003 M), Hal. 371.

4  Ibid.

Page 2: Mu'Tazilah Dan Kesesatannya

7/23/2019 Mu'Tazilah Dan Kesesatannya

http://slidepdf.com/reader/full/mutazilah-dan-kesesatannya 2/6

hendak engkau berikan untuk kami dalam masalah keyakinan ini?”. Al-Hasan

pun berpikir sejenak.

Sebelum al-Hasan selsai berpikir dan menjawab pertanyaan tersebut,

 Washil bin ‘Atha berkata, “Saya berpendapat bahwa pelaku dosa besar

 bukanlah mu’min secara muthlaq juga bukan seorang kafir secara muthlaq,akan tetapi dia berada di manzilah bain al-manzilatain  ‘suatu tempat di

antara dua tempat’, tidak mu’min tidak pula kafir”. Washil pun bangkit dari

tempat duduknya kemudian memisahkan diri ke satu tihang di antara tihang-

tihang yang berada di masjid tersebut. Washil menetapkan jawabanya

tersebut kepada segolongan dari jama’ah al-Hasan. Kemudian al-Hasan pun

 berkata, “Washil telah memisahkan diri dari kita (i’tazala ‘anna washil )”.

Sejak saat itulah kelompok yang memisahkan diri dengan Washil bin ‘Atha

dinamakan dengan kelompok Mu’tazilah.5 

Sedangkan dalam versi al-Baghdadi, dalam al-Farq bain al-Firaq-nya,

diceritakan bahwasanya Washil bin ‘Atha menyangka bahwa orang fasik dari

umat Islam ini bukanlah orang mu’min, bukan pula orang kafir. Kefasikan itu

menjadikan suatu tempat di antara dua tempat, yaitu kekafiran dan

keimanan. Tatkala al-Hasan al-Bashri mendengar pendapat bid’ah Washil

tersebut yang menyalahi pendapat-pendapat golongan sebelumnya (para

sahabat–pen.), al-Hasan menjauhkan Washil dari majlis pengajiannya. Washil

pun memisahkan diri ke satu sisi di antara sisi-sisi yang ada di masjid

Bashrah, yang diikuti oleh—temannya dalam kesesatan—‘Amr bin ‘Ubaid.

Orang-orang pada hari tersebut pun berkata bahwa keduanya telahmenyalahi/memisahkan diri (al-i’tizal ) dari pendapat umat. Sejak saat itulah

orang-orang yang mengikuti Washil dan ‘Amr disebut kelompok Mu’tazilah.6 

Dalam Versi lain diceritakan bahwa Qatadah bin Di’amah (61-117 H)

pada suatu hari masuk masjid Bashrah dan bergabung bersama majlis ‘Amr

 bin ‘Ubaid yang disangkanya adalah majlis al-Hasan al-Bashri. Setelah

mengetahui bahwa majlis tersebut bukan majlis al-Hasan, beliau bangkit dan

meninggalkan tempat sambil berkata, “Ini kaum Mu’tazilah”. Sejak saat itulah

kaum tersebut dinamakan kaum Mu’tazilah.7 

Jika pendapat-pendapat di atas mengaitkan asal-usul penamaan

Mu’tazilah dengan peristiwa keluarnya Washil bin ‘Atha dari majlis al-Hasan

al-Bashri, tidakah demikian dengan Ibn ‘Ali al-Mas’udi (w. 957 M).

Menurutnya, asal-usul penyebutan Mu’tazilah itu sama sekali tidak berkaitan

5  Al-Syahrastani, Abu al-Fath Muhammad bin ‘Abdil-Karim, al-Milal wa al-Nihal , (Bairut:Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet. Ke-2, 1413 H/1992 M), Hal. 42.

6 Al-Baghdadi, Abu Manshur al-Qahir bin Thahir bin Muhammad, al-Farq bain al-Firaq wa Bayan al-Firqah an- Najiyyah minhum; ‘Aqa’id al -Firaq al- Islamiyyah wa Ara’ Kibar A’lamiha, (Kairo: Maktabah Asasiyyana, tth.), Hal. 108.

7

 Subhi, Ahmad Mahmud,  fi ‘Ilm al -Kalam; Dirasah Falsafah li- Ara’ al -Firaq al-Islamiyyah fi Ushul ad-Din, (Bairut: Dar al-Nahdlah al-‘Arabiyyah, Cet. Ke-5, 1405 H/1985 M),Jld. 1, 107.

Page 3: Mu'Tazilah Dan Kesesatannya

7/23/2019 Mu'Tazilah Dan Kesesatannya

http://slidepdf.com/reader/full/mutazilah-dan-kesesatannya 3/6

dengan peristiwa keluarnya Wasil dari majlis al-Hasan. Mereka diberi nama

Mu’tazilah karena pendapat mereka yang keluar dan menyalahi Ahlus-Sunnah

dengan mengatakan bahwa pelaku dosa besar bukanlah seorang mu’min juga

 bukan seorang kafir, dia berada di manzilah bain al-manzilatain  ‘suatu

tempat di antara dua tempat’, yaitu mu’min dan kafir.8 

Dari hal itu, kita dapat mengambil titik persamaan dari beberapa versi

pendapat ini dengan menetapkan bahwa asal-usul penamaan kelompok ini

dengan sebutan Mu’tazilah karena pendapat mereka tentang status mu’min

 yang melakukan dosa besar, yang mereka menetapkan suatu tempat untuknya

 yang disebut al-manzilah bain al-manzilatain. 

Fase Perkembangan dan Sejarah Mu’tazilah 

Dr. Ahmad Mahmud Shubhi mengemukakan bahwa Mu’tazilah dari

awal sampai akhir perkembanannya mengalami empat fase sejarah. Setiapfase dipegang oleh tokoh kunci yang berperan menyebarkan faham Mu’tazilah

pada masa tersebut. Keempat fase tersebut, antara lain:

1)  Fase Pembentukan ( Daur al- Nasy’ah) yang Dimotori Oleh Washil bin

‘Atha dan ‘Amr bin ‘Ubaid. 

2)  Fase Penyempurnaan ( Daur al-Iktimal ) yang Dimotori Oleh Abu al-

Hudzail al-‘Allaf (w. 235 H), Ibrahim bin Siyar al-Nazham (w. 231 H), dan

Ma’mar bin ‘Ibad al-Sulami (w. 215 H).

3)  Fase Mu’tazilah Syi’ah (al- I’tizal al - Mutasayyi’ ) yang Dimotori oleh Bisyr

 bin al-Mu’tamir (w. 210 H) dan Abu al-Husain al-Khiyath (w. 290 H).4)  Fase Akhir ( Daur al-Nihayah) yang Dimotori oleh Abu ‘Ali al-Juba’i (w.

303 H) dan anaknya, Abu Hisyam al-Juba’i (w. 321 H) juga oleh al-Qadli

‘Abdul-Jabbar (w. 415 H).9 

Doktrin/Ajaran Mu’tazilah yang Lima (al-Ushulul-Khamsah)

Kaum Mu’tazilah mempunyai pokok -pokok ajaran yang hampir semua

sektenya berserikat terhadap pokok-pokok tersebut. Aajaran ini merupakan

ajaran umum bagi kaum Mu’tazilah. Hampir seluruh muarrikh (sejarawan)

sepakat bahwa ajaran umum bagi kaum Mu’tazilah itu berjumlah lima.

 Al-Khiyath—salah satu pemuka kaum Mu’tazilah pada abad ke-3—

 berkata bahwa tidak ada seorangpun yang berhak menyandang nama

Mu’tazilah sehingga dia sepakat dengan al-ushul al-khamsah, yaitu; (1) al-

Tauhid; (2) al-‘Adl; (3) al- Wa’d wa al- Wa’id; (4) al-Manzilah bain al-

Manzilatain; dan (5) al-Amr bil-Ma’ruf wa al-Nahy ‘anil-Munkar. Apabila dia

8  Ibid. Dikutip dari al-Mas’udi, Muruz adz-Dzahab, Jld. 3, Hal. 102.9 Subhi, Ahmad Mahmud, Op. Cit., Jld. 1, Hal. 101.

Page 4: Mu'Tazilah Dan Kesesatannya

7/23/2019 Mu'Tazilah Dan Kesesatannya

http://slidepdf.com/reader/full/mutazilah-dan-kesesatannya 4/6

 berpendapat sesuai dengan kelima ajaran ini, maka dia termasuk kaum

Mu’tazilah. Demikian al-Khiyath berkata. 10 

Berikut penulis jelaskan satu per satu ajaran tersebut secara singkat,

supaya—minimalnya--menjadi gambaran umum bagi pemahaman kita:

1)   At-Tauhid  (Ke-Esa-an Allah)

Ke-Esa-an (at-tauhid )  Allah Swt merupakan hal yang sudah disepakati

oleh seluruh kaum muslimin. Memegang asas tauhid berarti memegang

paham bahwa Allah Swt hanya satu, sedangkan— yang dianggap—Tuhan

selain-Nya adalah bathil. Pemahaman ini merupakan buah dari ungkapan, laa

ilaaha illallah ‘Tidak ada sesembahan melainkan Allah Swt’. Sebagai sesem-

 bahan yang Mahaesa, Allah Swt banyak mengabarkan bahwa tidak ada

satupun yang bisa menyamai dan mengalahkan-Nya dalam hal apapun. Hal

itu merupakan konsekuensi logis dari sifat kemahaesaan-Nya, karena jikalauada satupun yang mampu menyamai-Nya, maka gugurlah sifat Esa-Nya itu.

 Apabila seorang muslim meyakini ada makhluk atau dzat lain yang

mampu menandingi Allah Swt, maka dia telah keluar dari asas tauhid dan

dihukumi sebagai kafir-musyrik. Oleh karena itu, seorang muslim berkewa-

 jiban untuk meyakini bahwa tidak ada satupun makhluk yang setara dan

sebanding dengan Allah Swt, sebagai konsekuensi dari asas tauhidnya. Dalam

paham ketauhidan ini, kaum Mu’tazilah mempuh metode   At-Tanzih;

‘Pembersihan’. 

Maksud dari pembersihan ini adalah, membersihkan Allah Swt dari

segala hal yang bersifat kemakhlukan yang akan menurunkan keagungan dan

keesaan-Nya.  Akan tetapi, Mu’tazilah terlalu ekstrem dalam penetapan ini,

sehingga ‘pembersihan’ yang mereka lakukan menggubris segala sesuatu yang

sudah menjadi kesepakatan Ahlus-Sunnah akan keberadaannya. Hal tersebut

antara lain:

-  Penolakan terhadap seluruh Sifat-sifat Allah Swt;

-  Pengingkaran bahwa manusia dapat Melihat Allah pada hari kiamat;

Penetapan bahwa al-Qur’an adalah makhluk; dll. 

2)  Al-‘Adl  (Keadilan Allah)

 Ajaran pokok bagi kedua bagi kaum Mu’tazilah adalah al-‘Adl

‘Keadilan’. Bagi kaum Mu’tazilah, Paham tauhid dan keadilan merupakan

ajaran yang paling penting diantara ajaran-ajarn yang lainnya. Oleh karena

10  Amin, Ahmad,  Dlaha al-Islam, (Kairo: Muassasah Hindawiy li al-Ta’lim wa al-Tsaqafah,tth.), Hal. 704.

Page 5: Mu'Tazilah Dan Kesesatannya

7/23/2019 Mu'Tazilah Dan Kesesatannya

http://slidepdf.com/reader/full/mutazilah-dan-kesesatannya 5/6

itu, para penganut Mu’tazilah sering menyebut diri mereka sebagai Ahlul-‘Adl

wat-Tauhid .11 

Dari Ajaran kedua ini, lahirlah beberapa pemahaman yang terpenting

 bagi kaum Mu’tazilah, antara lain sebagai berikut:

-   Allah wajib Berbuat Baik dan Terbaik bagi hamba-Nya.

-   Allah Swt tidak layak berkehendak jelek dan tidak layak pula

memerintahkan kepada yang jelek.

-   Allah Swt tidak menciptakan perbuatan-perbuatan hamba, baik itu

 yang baik ataupun yang buruk. Perbuatan tersebut lahir dari kehendak

manusia semata, karna manusialah yang menciptakan perbuatannya

sendiri. Oleh karena itu, setiap orang akan mendapatkan pahala dari

kebaikannya dan mendapatkan siksa dari perbuatan jeleknya.12 

3) 

 Al-‘Wa’d wa al -‘Wa’id (Janji dan Ancaman Allah)

Doktrin ini sangat berkaitan erat dengan konsep keadilan di atas. Hal

itu dikarenakan, doktrin ketiga ini merupakan konsekuensi logis yang mutlak

harus ada pada Allah Swt yang Mahaadil untuk memberikan janji pahala (al-

wa’d)  bagi orang yang ta’at (al-muthi’ )  dan ancaman siksa (al-wa’id ) bagi

orang yang melakukan kedurhakaan (al-‘ashi ). Ajaran ketiga ini tidak

memberi peluang bagi Allah Swt untuk berbuat selain menunaikan janji-Nya

tersebut.

4) 

 Al-Manzilah bain al-Manzilatain (Satu Tempat di Antara Dua Tempat)

Maksudnya, jika ada seorang mumin yang berbuata jahat dan

maksiyat, maka dia bisa disebut fasiq. Dia bukan mu’min secara mutlak,

 bukan pula kafir secara mutlak. Akan tetapi, dia berada di satu tempat antara

mu’min dan kafir. Faham keempat inilah yang menyebabkan kaum tersebut

dinamakan kaum Mu’tazilah karena menentang pendapat yang jumhur dari

ulama Ahlus-Sunnah.

5)   Al-Amr bil- Ma’ruf wa al - Nahy ‘anil -Munkar (Memerintah kepada yang

Baik dan Melarang kepada yang Jahat)

 Ajaran terakhir ini merupakan ajaran yang berbentuk pengamalan.

Jika dari ajana yang pertama dan yang keempat berkaitan dengan keyakinan,

ajaran al-amr bil-ma’ruf wa al -nahy ‘anil -munkar ini erat kaitannya dengan

pengamalan.13  Kaum mu’minin seluruhnya bersepakat akan keharusan al-

amr bil-ma’ruf wa al -nahy ‘anil -munkar berdasarkan firman Allah Swt:

11 

 Amin, Op. Cit., Hal. 721. 

12 

 Amin, Op. Cit., Hal. 721-722. 

13 

Subhi, Op. Cit., Jld. 1, 170. 

Page 6: Mu'Tazilah Dan Kesesatannya

7/23/2019 Mu'Tazilah Dan Kesesatannya

http://slidepdf.com/reader/full/mutazilah-dan-kesesatannya 6/6

 

ئلو و

 

اكر

 

ع

 

ن

و

 

ف

و

بر

 

ن

و

و مر

 

خا

 

إى

 

ن

عدي

 

مك مة

 

كتلو

 

ن

حا

 

ه

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru

kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari

yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”   (Q.S Ali

‘Imran [3]: 104) 

Secara garis besar, konsep amr bil-ma’ruf wa al -nahy ‘anil -munkar 

adalah sama seperti halnya faham Ahlus-Sunnah dalam hal ini. Akan tetapi,

kaum Mu’tazilah menonjolkan satu perbedaannya dalam masalah ini, yaitu

kebolehan melakukan kekerasan secara mutlak dalam merealisasikan amr bil-

ma’ruf wa al -nahy ‘anil -munkar ini.

Wallah a’lam 

Garut, Masjid STAIPI Garut

Rabu, 13 Mei 2015

 Al-Faqir lillah

Firman Sholihin