n putusan nomor 10/puu-xii/2014 demi keadilan …¹´12月3日... · asosiasi pengusaha mineral...
TRANSCRIPT
N
PUTUSAN Nomor 10/PUU-XII/2014
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
[1.2] 1. Nama : Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) Alamat : Gedung Manggala Wanabakti Blok IV Lt.6 Nomor 602
Wing A, Jalan Gatot Subroto, Senayan, Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat - 10270
sebagai -------------------------------------------------------------------- Pemohon I;
2. Nama : PT. Harapan Utama Andalan dan PT. Pelayaran Eka Ivanajasa
Alamat : Kompleks Palem Hijau, Blok C7, Kelurahan Sui Raya Kabupaten Pontianak
sebagai ------------------------------------------------------------------- Pemohon II;
3. Nama : Koperasi TKBM Kendawangan Mandiri Alamat : Kendawangan sebagai ------------------------------------------------------------------ Pemohon III;
4. Nama : PT. Lanang Bersatu Alamat : Jalan Letjend R. Soeprapto, Komp. Yayasan Beringin
Utama Kav. 06/07, Delta Pawan, Ketapang, Kalbar sebagai ----------------------------------------------------------------- Pemohon IV;
5. Nama : PT. Tanjung Air Berani Alamat : Jalan Hutan Lindung Tanjung Pinang sebagai ------------------------------------------------------------------ Pemohon V;
6. Nama : PT. Labai Tehknik Metal Alamat : Jalan Swadaya Raya Nomor 58, Kav. Polri - Jelambar,
Jakbar sebagai ------------------------------------------------------------------ Pemohon VI;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
2
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
7. Nama : PT. Pundi Bhakti Khatulistiwa Alamat : Jalan Budi Karya Komp. Villa Gama Blok D 17-18,
Pontianak sebagai ----------------------------------------------------------------- Pemohon VII;
8. Nama : PT. Lobunta Kencana Raya Alamat : Jalan Tanah Mas Utara Nomor II, RT 001/RW 001,
Kayu Putih - Pulo Gadung, Jakarta Timur sebagai ---------------------------------------------------------------- Pemohon VIII;
9. Nama : PT. Patriot Cinta Nusantara Alamat : Wijaya Graha Puri Blok G Nomor l, Jalan Wijaya
II, Kebayoran Baru, Jakarta, 12160, Indonesia sebagai ----------------------------------------------------------------- Pemohon IX;
Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus, tertanggal 9 Januari 2014 memberi kuasa kepada Refly Harun, S.H., M.H., LL.M., Maheswara Prambandono, S.H., dan Ahmad Irawan, S.H., Advokat/Konsultan Hukum Tata
Negara dari Harpa Law Firm yang berdomisili di Jalan Musyawarah I Nomor 10,
Kebon Jeruk, Jakarta Barat – 11530, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama
bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa;
Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------- para Pemohon;
[1.3] Membaca permohonan para Pemohon;
Mendengar keterangan para Pemohon;
Mendengar dan membaca keterangan Presiden;
Mendengar dan membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat;
Membaca keterangan para Pihak Terkait I [Indonesian Human Rights
Committee for Social Justice (IHCS), Forum Indonesia untuk Transparansi
Anggaran (FITRA), Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat
(P3M), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan Publish What You
Pay Indonesia (PWYP)]
Membaca keterangan para Pihak Terkait II [Lembaga Musyawarah Adat
Suku Kamoro (Lemasko) dan Lembaga Musyawarah Adat Suku Amugme
(Lemasa)];
Mendengar dan membaca keterangan ahli para Pemohon;
Mendengar keterangan saksi para Pemohon;
Mendengar dan membaca keterangan ahli Presiden;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
3
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Mendengar keterangan saksi para Pihak Terkait I; Memeriksa bukti-bukti para Pemohon, para Pihak Terkait I, dan para
Pihak Terkait II;
Membaca kesimpulan tertulis para Pemohon, Presiden, para Pihak
Terkait I dan para Pihak Terkait II.
2. DUDUK PERKARA
[2.1] Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan
dengan surat permohonan bertanggal 16 Januari 2014, yang diterima di
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah)
pada tanggal 16 Januari 2014, berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan
Nomor 31/PAN.MK/2014 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi dengan Nomor 10/PUU-XII/2014 pada tanggal 28 Januari 2014, yang
kemudian diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal
21 Februari 2014, pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut:
A. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1. Merujuk pada ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya “UUD 1945”) juncto
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8
Tahun 2011 (selanjutnya “UU MK”), salah satu kewenangan Mahkamah
Konstitusi adalah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945.
2. Bahwa ketentuan yang dimintakan untuk diuji adalah UU Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);
3. Bahwa dengan demikian Mahkamah berwenang untuk memeriksa dan memutus permohonan pengujian Undang-Undang a quo;
B. LEGAL STANDING PEMOHON
4. Bahwa dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dinyatakan, “pemohon adalah
pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu: (a) perorangan WNI,
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
4
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
(b) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang
diatur dalam Undang-Undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau
(d) Lembaga Negara”;
5. Bahwa mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-
III/2005, Nomor 11/PUU-V/2007, dan putusan Mahkamah selanjutnya
yang telah menjadi semacam yurisprudensi tetap, Pemohon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. adanya hak konstitusional para pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945;
b. hak konstitusional para pemohon tersebut dianggap oleh para pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
c. kerugian konstitusional para pemohon yang dimaksud bersifat spesifik
atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya Undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkanya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi;
6. Bahwa lima syarat sebagaimana yang dimaksud di atas dijelaskan lagi
oleh Mahkamah melalui Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 sebagai berikut:
“dari praktik Mahkamah (2003-2009), perorangan WNI, terutama
pembayar pajak (tax payer), berbagai asosiasi dan NGO/LSM yang
concern terhadap suatu Undang-Undang demi kepentingan Mahkamah
dianggap memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan
pengujian hak formil maupun materiil, Undang-Undang terhadap UUD
1945” (halaman 59);
7. Bahwa Pemohon I merupakan badan hukum Indonesia yang disahkan di
Jakarta pada tanggal 1 Agustus 2012 berdasarkan Keputusan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU – 143.AH.01.07.Tahun 2012
tentang Pengesahan Badan Hukum Perkumpulan dengan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
5
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
NPWP.31.532.186.9-077.000, menganggap hak konstitusionalnya
dirugikan atau setidaknya berpotensi dilanggar hak konstitusionalnya (bukti P-12);
8. Pemohon I dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
(AD/ART) melakukan kegiatan: Pertama, menjadi mitra pemerintah dalam
menentukan kebijakan nasional terkait usaha pertambangan. Kedua,
menempatkan biji mineral dan produk olahan mineral Indonesia pada
kedudukan yang terbaik di pasaran dalam dan luar negeri. Ketiga,
mengembangkan iklim usaha mineral yang sehat dan hubungan kerja
antara produsen, pedagang, industri yang serasi. Keempat, membantu
meningkatkan kemampuan usaha masyarakat pelaku industri mineral.
Kelima, berupaya meningkatkan perekonomian negara melalui
pemasukan devisa, peningkatan nilai tambah, penciptaan lapangan kerja,
peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan mendorong keberlanjutan
pertambangan mineral nasional. Selain itu, Pemohon juga memiliki visi dan misi yang telah diterjemahkan dalam berbagai bentuk kegiatan.
9. Bahwa Pemohon I dalam rangka mengusahakan agar pemerintah tidak
melarang ekspor bijih mineral karena bertentangan dengan Undang-
Undang, Pemohon I telah melakukan kegiatan mengadvokasi seluruh
anggota asosiasi dengan berbagai usaha dan kegiatan yang
dimaksudkan untuk memperjuangkan hak-hak perusahaan yang
tergabung dalam asosiasi dan melakukan kegiatan pertambangan mineral dan batubara (Lampiran).
10. Tafsir Pemerintah terhadap Pasal 103 UU Minerba telah menghalangi
pencapaian visi dan misi serta kegiatan Pemohon I. Karena pengendalian
ekspor yang dibungkus dengan dalih kepentingan nasional telah
ditafsirkan oleh Pemerintah sebagai bentuk pelarangan kegiatan ekspor
mineral dan batubara, yang sebelumnya telah diputuskan mulai berlaku pada tanggal 12 Januari 2014;
11. Akibat dari tafsir keliru Pemerintah, anggota Pemohon I PT. Manunggal
Sarana Surya Pratama telah mengalami kerugian investasi akibat
larangan ekspor mineral sebesar Rp. 20 Milyar. Sehingga hingga saat ini
perusahaan telah melakukan pemberhentian kerja kepada sekitar 300
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
6
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
orang yang dampaknya juga dirasakan keluarga pekerja serta masyarakat di areal tambang (bukti P-12a).
12. Bahwa Pemohon II merupakan badan hukum privat yang menjalankan
kegiatan usaha jasa pertambangan. PT. Pelayaran Eka Ivanajasa
merupakan agen kapal yang mendapatkan Surat Izin Usaha Perusahaan
Angkutan Laut Nomor BXXP-1062/AL58 dengan NPWP 01.453.690.8-
701.00. PT. Harapan Utama Andalan merupakan perusahaan bongkar
muat yang telah mendapatkan Surat Izin Usaha Perusahaan Bongkar
Muat (SIUPBM) Nomor 552.6/472/LLSDP.B dengan NPWP
02.765.070.4-701.00. Pelarangan ekspor mineral dan batubara oleh
Pemerintah juga telah memberikan dampak secara langsung terhadap
kelangsungan usaha. Sehinggga kebijakan tersebut menurut Pemohon
berpotensi melanggar hak konstitusional, bahkan telah terdapat kerugian
aktual dari kebijakan pemerintah melakukan pelarangan kegiatan ekspor mineral dan batubara. (bukti P-13).
13. Kegiatan usaha kedua perusahaan Pemohon II bergantung pada
kegiatan ekspor yang dilakukan perusahaan-perusahaan pertambangan.
Kerugian yang dialami oleh Pemohon II, dalam hal ini PT. Pelayaran Eka
Ivanajasa yang merupakan agen kapal (shipping agent), potensi kerugian
yang diderita karena tidak adanya pendapatan sebesar Rp.
4.000.000.000 (empat milyar rupiah), sehingga karyawan perusahaan
yang jumlahnya 60 (enam puluh) orang terancam kehilangan pekerjaan.
Sedangkan PT. Harapan Utama Andalan yang merupakan perusahaan
bongkar muat (stevedoring company) yang memiliki total handling kapal
untuk memuat barang tambang per tahun ± 400 kapal dengan muatan ±
20.000.000 ton, berpotensi mengalami kerugian pendapatan sebesar Rp.
40.000.000.000 (empat puluh milyar rupiah), sehingga karyawan
perusahaan yang jumlahnya sekitar 250 (dua ratus lima puluh) orang
akan kehilangan pekerjaan, karena terhentinya aktivitas perusahaan dan ketiadaan pendapatan untuk membayar gaji karyawan (bukti P-14).
14. Bahwa Pemohon III merupakan badan hukum Indonesia dalam bentuk
koperasi yang menjalankan jenis usaha jasa bongkar muat. Koperasi
yang dijalankan terdaftar sesuai dengan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) Nomor 140526300072 (bukti P-15), yang juga terkena dampak langsung
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
7
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
dari kebijakan larangan ekspor. Sehingga Pemohon menganggap hak
konstitusionalnya dirugikan atau setidaknya berpotensi dilanggar hak konstitusionalnya.
15. Bahwa kegiatan jasa bongkar muat yang dilakukan oleh Pemohon III,
kelangsungan usahanya juga sangat berhubungan erat dengan aktivitas
perusahaan-perusahaan pertambangan mineral dan batubara yang
melakukan aktivitas ekspor. Sehingga apabilah kebijakan seperti ini
diterapkan, maka akan sangat mempengaruh kegiatan usaha pemberian
jasa bongkar muat yang dilakukan oleh Pemohon III. Akibatnya,
Pemohon III dan puluhan karyawan lainnya secara otomatis akan
kehilangan pekerjaan dengan diterapkan kebijakan pelarangan kegiatan ekspor (bukti P-16).
16. Bahwa Pemohon IV merupakan perusahaan yang menjalankan kegiatan
usaha pokok pertambangan galena dan bauksit yang terdaftar dengan
tanda daftar perusahaan Nomor 14051070012 dengan NPWP
02.260.666.9-703.000. Selain itu juga memegang Surat Izin Usaha
Perdagangan (SIUP) Nomor 503/015/SIUP/Kecil/2013 dan Surat
Keputusan Bupati Ketapang Nomor 137 Tahun 2010 tentang Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi (bukti P-17), menganggap hak
konstitusionalnya dirugikan atau setidaknya berpotensi dilanggar hak konstitusionalnya.
17. Bahwa Pemohon IV akan mengalami kerugian dan bangkrut apabila
kegiatan ekspor dilarang oleh pemerintah. Apalagi Pemohon IV
dibebankan kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian (smelter).
18. Bahwa Pemohon V merupakan badan hukum Indonesia yang telah
mendapatkan izin usaha pertambangan operasi produksi mineral logam
(bauksit), masing-masing berdasarkan Keputusan Bupati Karimun
Nomor 193 Tahun 2012 tentang Pemberian Usaha Pertambangan
Operasi Produksi Mineral Logam (Bauksit) Blok I kepada PT. Tanjung Air
Berani dan Keputusan Bupati Karimun Nomor 194 Tahun 2012 tentang
Pemberian Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Mineral Logam
(Bauksit) Blok II kepada PT. Tanjung Air Berani, yang menganggap hak
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
8
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
konstitusionalnya dirugikan atau setidaknya berpotensi dilanggar hak konstitusionalnya (bukti P-18).
19. Pemohon V menganggap keharusan bagi IUP dan IUPK Operasi
Produksi melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di
dalam negeri merupakan kebijakan yang tidak realistis dan tidak dapat
dilaksanakan bila dikaitkan dengan pelarangan ekspor. Terhentinya
proses kegiatan ekspor akan merugikan perusahaan. Jumlah potensi
kerugian yang dialami oleh Pemohon V (PT. Tanjung Air Berani) adalah
USD 5.000.000 (lima juta dolar) per bulan atau USD 60.000.000 (enam
puluh juta dolar) per tahun. Terdapat juga stock pile biji bauksit yang
belum sempat diekspor adalah 1.500.000 (satu juta lima ratus ribu) ton.
Hal mana pengaturan tersebut menurut Pemohon sangat menimbulkan
ketidakpastian hukum yang berkeadilan terhadap pemohon sebagai
badan hukum di Indonesia.
20. Ketidakpastian hukum yang berkeadilan dialami oleh bukan hanya
Pemohon. Akan tetapi juga berdampak pada karyawan PT. Tanjung Air
Berani sebanyak 300 (tiga ratus) orang dan karyawan sub kontrak 100
(seratus) orang. Bahkan hingga saat ini sebanyak 200 orang karyawan
telah diberhentikan (PHK) karena ketidakmampuan keuangan
perusahaan membayar gaji karyawan.
21. Bahwa Pemohon VI terdaftar sebagai badan hukum indonesia yang
menjalankan kegiatan usaha pokok perdagangan besar mesin dan
perlengkapan peralatan pertambangan lainnya dengan dengan TDP Nomor 09.02.1.463166 dan NPWP 02.691.381.4.036.000 (bukti P-19) .
Selain itu Pemohon VI juga memegang Surat Izin Usaha Perdagangan
(SIUP) Nomor 04255-03/PM/1.824.271 yang jasa dagangan utamanya
terdiri atas hasil perkebunan (kelapa sawit), alat teknik/mekanikal/
elektrikal/alat berat dan suku cadangnya, serta hasil pertambangan
bauksit (contractor mining, rental heavy equipment & general supplier) (bukti P-20), yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan atau
setidaknya berpotensi dilanggar hak konstitusionalnya.
22. Bahwa kebijakan pelarangan ekspor yang diterapkan oleh Pemerintah
berdampak langsung terhadap kegiatan Pemohon VI. Dampak tersebut
berupa kerugian yang totalnya Rp. 224.056.908.977.48 , yang rinciannya
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
9
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
berupa ketidakmampuan melakukan pembayaran hutang, potensi income yang hilang dan alokasi kompensasi PHK Karyawan (bukti P-21). Hal ini
disebabkan karena selama pelarangan kegiatan ekspor, maka kegiatan
usaha Pemohon VI tidak dapat dioperasikan, sehingga perusahaan tidak
mendapatkan pendapatan. Seharusnya Pemohon VI sebagai badan
hukum Indonesia mendapatkan kepastian hukum yang adil atas kelangsungan usahanya.
23. Bahwa Pemohon VII terdaftar sebagai badan hukum privat, yang didirikan
berdasarkan hukum Indonesia. Berdasarkan salinan akta perusahaan,
salah satu jenis usahanya adalah menjalankan usaha pertambangan.
Pemohon VII merupakan membayar pajak dari kegiatan usahanya dengan NPWP 02. 785.270.0-701.000 (bukti P-22), menganggap dengan
adanya kebijakan larangan ekspor mineral dan batubara, maka ada
potensi pelanggaran hak konstitusional bahkan untuk saat ini pelanggaran hak konstitusional tersebut telah nyata terjadi.
24. Bahwa kebijakan pelarangan ekspor yang diterapkan oleh Pemerintah
berdampak langsung terhadap kegiatan Pemohon VII. Hal ini disebabkan
selama pelarangan ekspor dilakukan oleh Pemerintah, maka Pemohon
VII akan kehilangan pendapatan yang selanjutnya membuat perusahaan
terancam bangkrut. Padahal, Pemohon VII telah melakukan investasi
yang cukup besar dan memiliki sejumlah kewajiban pembayaran hutang
(P-23). Kerugian materiil yang berpotensi dialami oleh Pemohon VII sebesar Rp. 328.000.000.000 (bukti P-23).
25. Tentunya Pemohon VII menganggap bahwa kebijakan pemerintah
melarang kegiatan ekspor mineral dan batubara telah menimbulkan
ketidakpastian hukum yang berkeadilan terhadap Pemohon VII sebagai
badan hukum di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
26. Bahwa Pemohon VIII adalah suatu perusahaan dalam bentuk perseroan
yang berbadan hukum Indonesia, serta taat pajak dengan kepemilikan NPWP 01.314.071.0-091.000 (bukti P-24) yang menjalankan usaha
dalam bidang pertambangan mineral dan batubara menganggap hak
konstitusionalnya dirugikan atau setidaknya berpotensi dilanggar hak
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
10
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
konstitusionalnya dengan penerapan larangan kebijakan ekspor mineral dan batubara,
27. Dengan kebijakan pelarangan ekspor yang diterapkan oleh Pemerintah,
Pemohon VIII akan menderita kerugian materiil sebesar $ 2.947.412 per tahun apabila kebijakan ini tetap berlaku dan diterapkan (bukti P-25). Hal
ini menurut Pemohon VIII, karena kebijakan a quo menimbulkan
ketidakpastian hukum yang berkeadilan terhadap Pemohon VIII sebagai
badan hukum di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
28. Bahwa Pemohon IX adalah suatu badan hukum privat yang didirikan
berdasarkan hukum Indonesia yang menjalankan kegiatannya dalam
bidang pertambangan, berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM
Nomor AHU-20251.AH.01.02.Tahun 2010 yang di putuskan Pada tanggal 21 April 2010 dengan NPWP 02.381.111.0-412.00 (bukti P-26), yang
menganggap hak konstitusionalnya dirugikan atau setidaknya berpotensi
dilanggar hak konstitusionalnya dengan adanya kebijakan pelarangan ekspor mineral dan batubara.
29. Bahwa dengan kebijakan pelarangan ekspor yang diterapkan oleh
Pemerintah, Pemohon akan menderita kerugian materiil sebesar Rp. 320.081.658.539.67 sejak kebijakan diterapkan (bukti P-27). Menurut
Pemohon IX , kebijakan a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum
yang berkeadilan terhadap Pemohon IX sebagai badan hukum di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
30. Bahwa menurut Para Pemohon, keharusan bagi IUP dan IUPK Operasi
Produksi melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di
dalam negeri merupakan kebijakan yang tidak realistis dan tidak dapat
dilaksanakan bila dikaitkan dengan pelarangan ekspor. Terhentinya
proses kegiatan ekspor akan merugikan para Pemohon, bahkan berujung
pada ancaman kebangkrutan perusahaan dan akan menimbulkan
multiplier effect. Hal mana pengaturan tersebut menurut para Pemohon
sangat menimbulkan ketidakpastian hukum yang berkeadilan terhadap
pemohon sebagai badan hukum di Indonesia sebagaimana diatur dalam
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
11
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
31. Bahwa dalam pertambangan mineral dan batubara, jaminan
keberlangsungan usaha dari Pemerintah terhadap pelaku usaha sangat
dibutuhkan. Sehingga dengan adanya pelarangan kegiatan ekspor
mineral dan batubara merupakan bentuk pengingkaran Pemerintah
terhadap hak-hak pelaku usaha, khususnya para pelaku usaha
pertambangan dan jasa pertambangan yang terkait langsung dengan
kegiatan pertambangan mineral dan batubara. Langkah hukum yang
diajukan Pemohon pada kesempatan kali ini merupakan bagian dari
perjuangan hak para pelaku usaha untuk memperjuangkan hak-haknya dalam melakukan kegiatan pertambangan dan usaha jasa pertambangan;
32. Bahwa perjuangan para Pemohon dan pelaku usaha di bidang
pertambangan untuk memperjuangkan hak-haknya telah ditempuh
dengan berbagai cara. Mulai dari menemui Presiden dan/atau Menteri
yang bertanggung jawab masalah pengelolaan mineral dan batubara,
DPR dan upaya hukum konstitusional lainnya berupa pengajuan
Permohonan Hak Uji Materiil terhadap Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai
Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengelolaan dan Pemurnian Mineral;
33. Bahwa setelah keluarnya Putusan Mahkamah Agung Nomor
13/P/HUM/2012 mengenai Permohonan Hak Uji Materiil terhadap
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun
2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan
Pengelolaan dan Pemurnian Mineral, Pemerintah tetap tidak mengubah
haluan kebijakannya. Sehingga harapan terakhir untuk melindungi hak konstitusional para Pemohon di tangan Mahkamah Konstitusi;
34. Bahwa kerugian konstitusional para Pemohon dapat dijelaskan secara
ringkas sebagai berikut: Menurut ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945, para Pemohon memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
hak konstitusional untuk mendapatkan perlakuan yang sama di depan
hukum;
35. Bahwa Pemohon I sebagai organisasi yang peduli terhadap hak-hak
pelaku usaha di bidang pertambangan mineral dan batubara dan
Pemohon II s/d IX yang merupakan perseroan yang melaksanakan usaha
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
12
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
pertambangan dan/atau usaha jasa pertambangan yang berkaitan
langsung dengan kegiatan pertambangan, dengan adanya pelarangan
kegiatan ekspor, menurut para Pemohon akan mengganggu
keberlanjutan usaha dan menunjukkan sikap ingkar janji Pemerintah
untuk mengeluarkan kebijakan yang adil, seimbang dan bermanfaat
untuk kepentingan bangsa dan kemajuan dunia usaha serta sesuai dengan UUD 1945;
36. Bahwa para Pemohon yang menjalankan kegiatan usaha di bidang
pertambangan dan/atau ada hubungannya dengan kegiatan
pengusahaan pertambangan menganggap bahwa larangan ekspor yang
diterapkan oleh pemerintah telah mengganggu keberlanjutan usaha dan
ingkar janji Pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang adil,
seimbang dan bermanfaat untuk kepentingan bangsa dan kemajuan
dunia usaha;
37. Dalam asas kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945 terkandung pula asas kemanfaatan sebagaimana
dikemukan Gustav Radbruch (Theo Huijbers: 1982, Filsafat Hukum
dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Penerbit Kanisius) mengenai nilai-
nilai hukum, penegakan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
harus mempertimbangkan asas kemanfaatan. Apabila Pasal 102 dan
Pasal 103 UU Minerba tidak memiliki makna yang sesuai dengan UUD
1945 tentang kepastian hukum yang adil tersebut, maka tidak
menciptakan kemanfaatan tidak saja bagi pelaku usaha, melainkan juga
negara dan beberapa pemerintahan daerah serta para pekerja yang
bekerja di perusahaan tambang dan perusahaan yang bergerak dengan usaha jasa pertambangan;
38. Bahwa berdasarkan uraian di atas, para Pemohon memiliki kedudukan
hukum (legal standing) sebagai Pemohon pengujian Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba;
C. POKOK PERKARA
39. Bahwa hal-hal yang telah dikemukakan dalam Kewenangan Mahkamah
Konstitusi dan Kedudukan Hukum Pemohon sebagaimana diuraikan di
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
13
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
atas adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pokok permohonan ini.
40. Bahwa pada tanggal 12 Januari 2009 telah diundangkan UU Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4959) (Selanjutnya “UU 4/2009”);
41. Bahwa UU 4/2009 memuat ketentuan Pasal 103 yang selengkapnya
berbunyi:
(1) Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan
pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.
(2) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari pemegang
IUP dan IUPK lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 serta pengolahan dan
pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
peraturan pemerintah.
Penjelasan Pasal 103:
Ayat (1): kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di
dalam negeri dimaksudkan, antara lain, untuk meningkatkan
dan mengoptimalkan nilai tambang dari produk, tersedianya
bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan
peningkatan penerimaan negara.
Ayat (2): cukup jelas
Ayat (3): cukup jelas
42. Bahwa Pasal 102 UU 4/2009 berbunyi, “Pemegang IUP dan IUPK wajib
meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara
dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta
pemanfaatan mineral dan batubara.”
Penjelasan Pasal 102:
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
14
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
”Nilai tambah dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan
produk akhir dari usaha pertambangan atau pemanfaatan terhadap
mineral ikutan.”
43. Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 102 dan Pasal 103 UU 4/2009
bertentangan dengan UUD 1945 bila ditafsirkan bahwa kedua pasal
tersebut mengandung ketentuan tentang larangan ekspor bijih (raw
material atau ore).
Pasal 102 dan Pasal 103 UU 4/2009 tidak Memuat Larangan Ekspor Bijih
44. Para Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 102 dan Pasal 103
UU 4/2009 sama sekali tidak mengandung ketentuan tentang larangan
ekspor bijih (raw material atau core). Pasal 103 menurut Pemohon
hanyalah berisi kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian
hasil penambangan di dalam negeri. Jadi, yang diatur adalah tempat
untuk melakukan pengolahan dan pemurnian tersebut, yaitu harus di
dalam negeri, dengan kata lain tidak boleh di luar negeri. Sama sekali
tidak ada kata-kata mengenai larangan ekspor. Pasal 102 yang dikaitkan
dengan Pasal 103, menurut Pemohon, hanyalah berisi kewajiban untuk
meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara. Sekali lagi tidak terdapat larangan untuk melakukan ekspor bijih;
45. Seandainya pembuat Undang-Undang ingin melarang ekspor bijih,
menurut para Pemohon, hal tersebut harus dinyatakan secara jelas dan
tegas dalam undang-undang, mengingat pelarangan tersebut membawa
dampak yang luas bagi usaha pertambangan, tidak hanya bagi pelaku
usaha pemegang IUP, melainkan juga bagi perusahaan yang terkait
dengan kegiatan usaha pertambangan dan bagi masyarakat yang
bergantung hidupnya dari usaha pertambangan, termasuk kerugian negara dari sektor pajak yang tidak sedikit;
Pemerintah sendiri membuat kebijakan operasional yang tidak konsisten.
Pasal 84 ayat (3) PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara berbunyi
”Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi dapat
melakukan ekspor mineral atau batubara yang diproduksi setelah
terpenuhinya kebutuhan batubara dan mineral dalam negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Peraturan ini sampai sekarang
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
15
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
belum pernah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Akan tetapi, di dalam
peraturan menteri justru melakukan pelarangan terhadap kegiatan
ekspor. Kebijakan yang sangat eksesif dan bertentangan dengan politik
hukum pertambangan yang hanya mengatur terkait dengan pengendalian
ekspor, bukan pelarangan ekspor.
46. Namun, faktanya melalui berbagai peraturan perundang-undangan di
bawah Undang-Undang, Pemerintah telah membuat kebijakan yang
melarang ekspor bijih melalui kebijakan yang sering berubah-ubah, yang
menunjukkan tidak adanya kesatuan tafsir mengenai ketentuan UU
4/2009, terutama Pasal 103, sebagaimana tampak dari uraian-uraian berikut ini;
Pemerintah tidak Memiliki Mandat untuk Menerapkan Larangan Ekspor Bijih sehingga Akan Bertentangan dengan Prinsip Negara Hukum sebagaimana Diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Bila Hal Tersebut Dilakukan
47. Bahwa mengenai peningkatan nilai tambah serta pengolahan dan
pemurnian, UU 4/2009 mengatribusikan kepada Pemerintah untuk
menyusun kebijakan operasional yang diatur dengan peraturan
pemerintah. Peraturan pemerintah yang dimaksud, yaitu PP Nomor 23
Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (bukti P-28), mendelegasikan bahwa pengaturan
mengenai tata cara pengendalian penjualan mineral dan batubara serta
tata cara peningkatan nilai tambah mineral dan batubara diatur dengan peraturan menteri;
48. Bahwa muncul persoalan hukum ketika peraturan di bawah Undang-
Undang melakukan pengaturan yang berlebihan dan memberikan tafsir
yang begitu luas sehingga muncul larangan kegiatan ekspor bijih kepada
pelaku usaha pertambangan;
49. Bahwa di dalam Undang-Undang baik secara implisit maupun eksplisit
sebenarnya tidak terdapat larangan untuk melakukan kegiatan ekspor
bijih. Larangan ini muncul atas kreasi yang dilakukan oleh pemerintah
melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; yang pada hakikatnya bertentangan dengan Undang-Undang;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
16
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
50. Bahwa pada dasarnya, delegasi secara logis selalu didahului oleh
atribusi. Jika di dalam Undang-Undang tidak memberikan wewenang
kepada Pemerintah untuk melakukan pelarangan kegiatan ekspor kepada
pelaku usaha pertambangan, mengapa di dalam peraturan pemerintah
dan/atau peraturan menteri terdapat pelarangan tersebut. Dari mana kewenangan tersebut diperoleh?
51. Bahwa Pasal 103 ayat (3) UU 4/2009 memang memberikan mandat
kepada Pemerintah untuk mengatur dalam peraturan pemerintah.
Namun, yang dimandatkan adalah membuat ketentuan lebih lanjut
mengenai peningkatan nilai tambah serta pengolahan dan pemurnian, bukan membuat norma baru seperti larangan ekspor bijih;
52. Tindakan Pemerintah tersebut nyata-nyata bertentangan dengan prinsip
negara hukum yang menghendaki segala tindakan penguasa berdasarkan hukum yang ada;
53. Dengan demikian, pemaknaan Pasal 102 dan Pasal 103 bahwa kedua aturan tersebut berisi larangan ekspor bijih nyata-nyata bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945 yang berbunyi,
”Negara Indonesia adalah Negara Hukum.”
Kebijakan Larangan Ekspor Bijih dari Pemerintah Berubah-ubah sehingga Menyebabkan Ketidakpastian Hukum, yang Bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945
54. Pada tanggal 6 Februari 2012 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) telah menetapkan dan mengundangkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2012 (bukti P-29). Pasal 21 Peraturan Menteri
ESDM Nomor 7/1202 menyatakan, “Pemegang IUP dan Operasi
Produksi dan IPR yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri
ini dilarang untuk menjual bijih (raw material atau ore) mineral ke luar
negeri dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Menteri ini.”
55. Karena menuai banyak protes dari berbagai pihak, bahkan hingga
pengajuan judicial review terhadap Permen ESDM Nomor 7/2012 ke MA,
Pemerintah melalui Menteri ESDM mengubah ketentuan Pasal 21
tersebut. Sebagai gantinya, pada tanggal 16 Mei 2012, ditetapkan dan
diundangkan Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Perubahan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
17
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07
Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral (bukti P-30). Pasal 21A dari Permen
ESDM Nomor 11/2012 mengatur hal berbeda dari Pasal 21 dari Permen
ESDM Nomor 7 Tahun 2012. Pasal 21A Permen Nomor 11/2012
menyatakan, “Pemegang IUP Operasi Produksi dan IPR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 dapat menjual bijih (raw material atau ore)
mineral ke luar negeri apabila telah mendapatkan rekomendasi dari
Menteri c.q. Direktur Jendral “. Peraturan ini diundangkan pada tanggal
21 Mei 2012 dan tertuang dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 534;
56. Pada tanggal 1 Agustus 2013, Menteri ESDM kembali mengubah
kebijakan terkait pelarangan ekspor sebagaimana tertuang dalam Pasal
21A Peraturan Menteri ESDM Nomor 20 Tahun 2013 tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor
07 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui
Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral yang berbunyi, “Pemegang
IUP Operasi Produksi dan IPR dapat menjual bijih (raw material atau ore)
mineral ke luar negeri sampai dengan tanggal 12 Januari 2014 sesuai
dengan ketentuan Pasal 112 angka 4 huruf c Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara” (Bukti P-31) .
57. Bahwa Pasal 112 angka 4 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara berbunyi, ”Kuasa pertambangan, surat izin
pertambangan daerah, dan surat izin pertambangan rakyat, yang
diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini tetap diberlakukan
sampai jangka waktu berakhir serta wajib: c. melakukan pengolahan dan
pemurnian di dalam negeri dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima)
tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.”
58. Pada tahun ini (2014) Pemerintah kembali menerbitkan dua produk
hukum yang kembali memperlihatkan perubahan tafsir Pemerintah
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
18
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
terhadap kebijakan ekspor bijih, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 1
Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara pada tanggal 11 Januari 2014 (bukti P-32) dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri pada tanggal 11 Januari 2014 (bukti P-33A);
59. Pasal 112C ayat (4) PP Nomor 1 Tahun 2014 menyatakan, ”Pemegang
IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada angka 2 yang
melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan
kegiatan pengolahan, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam
jumlah tertentu.” Ketentuan ini sekali lagi menunjukkan perubahan tafsir
Pemerintah atas UU 4/2009 yang makin mengakibatkan adanya
ketidakpastian hukum bagi Para Pemohon;
60. Bukan hanya mengandung ketidakpastian hukum, tafsir Pemerintah atas
UU 4/2009 sebagaimana tertuang dalam peraturan di bawah Undang-
Undang juga cenderung diskriminatif, khususnya bagi Pemohon V. Pasal
12 angka 4 Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014, misalnya, menyatakan,
”Penjualan hasil pengolahan mineral ke luar negeri sebagaimana
dimaksud pada angka 1 dan angka 3 tidak berlaku bagi komoditas
tambang Mineral Logam: a. Nikel; b. Bauksit; c. Timah; d. emas; e. perak; dan d. kromium.”;
Bahwa tafsir Pemerintah atas UU 4/2009 yang dituangkan dalam Pasal
12 Angka 4 Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014 tersebut jelas
merugikan Pemohon V sebagai pemegang IUP Operasi Produksi yang
melakukan penambangan bauksit.
61. Berubah-ubahnya kebijakan Pemerintah dalam hal ekspor bijih (raw
material atau ore) sebagaimana tampak pada Peraturan Menteri ESDM
yang telah dibahas telah mengakibatkan ketidakpastian hukum yang adil
pada para Pemohon . Walaupun sebenarnya, pada saat ini Pemohon V
telah dalam proses membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian
(bukti P-33B). Hal ini menurut Pemohon terkait dengan pemahaman
yang salah terhadap ketentuan Pasal 102 dan Pasal 103 UU 4/2009;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
19
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
62. Cara berfikir dan pilihan kebijakan yang diambil berdasarkan tafsir yang
keliru memiliki hubungan konsekuensional dengan regulasi turunan yang
disusun oleh Pemerintah. Pelarangan kegiatan ekspor yang muncul
dalam regulasi turunan bukan hanya persoalan implementasi, tetapi juga
merupakan pelanggaran nyata terhadap hak konstitusional. Sehingga MK
harus menyelesaikan pokok persoalan berupa adanya penafsiran yang keliru dari pemerintah.
63. Bahwa nyata dalam implementasi telah timbul ketidakpastian hukum dan
ketidakadilan karena kesewenang-wenangan Pemerintah dalam
mengambil kebijakan dan menyusun regulasi. Pasal 103 dan Pasal 102
terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan karena
membuka peluang terjadinya kesewenang-wenangan Pemerintah dalam
implementasinya, sehingga justru bertentangan dengan prinsip konstitusi
yang menjamin perlindungan atas hak untuk mendapatkan kepastian
hukum yang adil dalam proses penegakan hukum kegiatan pertambangan mineral dan batubara [vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945].
64. Mahkamah Konstitusi dalam praktiknya pernah menangani permasalahan
hukum seperti ini. Perkara menyangkut konstitusionalitas dan penafsiran
dalam pengimplementasian [vide Putusan MK Nomor 1/PUU-XI/2013].
Bahkan MK juga pernah menyatakan berwenang untuk menerapkan dan
menafsirkan Undang-Undang [vide Putusan MK Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 , hal 83, paragraf 3.6].
65. Dengan demikian, menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 102 dan
Pasal 103 sama sekali tidak mengandung larangan untuk mengekspor
bijih (raw material atau ore), tetapi Pemerintah memiliki pandangan yang
berbeda dan cenderung berubah-ubah. Fakta ini menunjukkan bahwa
Pasal 102 dan Pasal 103 UU 4/2009 telah memunculkan ketidakpastian
hukum, padahal setiap orang (termasuk kelompok orang atau organisasi)
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Oleh karena itu,
nyata-nyata Pasal 102 dan Pasal 103 UU 4/2009 telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
20
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Pasal 102 dan Pasal 103 Bertentangan dengan Pasal 22A Perubahan Kedua dan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 Bila Dimaknai Adanya Larangan Ekspor Bijih
66. Bahwa larangan ekspor bijih hanya akan memberangus atau
menghilangkan usaha ratusan pengusaha tambang bila dilaksanakan
mulai 12 Januari 2014. Padahal, sangat jelas dan nyata bahwa kegiatan
ekspor dibutuhkan oleh perusahaan tambang untuk mempertahankan
dan menjamin kelangsungan usaha. Konsekuensi dari pelarangan ini
akan mematikan usaha perusahaan tambang, dan apabila tetap
memaksakan diri untuk melakukan kegiatan ekspor maka akan dikenai sanksi administratif, bahkan akan dikenai sanksi pidana;
67. Bahwa terkait dengan pelarangan ekspor bijih serta pengolahan dan
pemurnian di dalam negeri, Pemohon telah menyampaikan surat terbuka
kepada pihak yang berwenang yang pada pokoknya menolak kebijakan
pelarangan ekspor karena akan menimbulkan bangkrutnya 10.600
perusahaan pemegang IUP Produksi, terjadi pemutusan hubungan kerja
(PHK) besar-besaran, hilangnya mata pencarian pekerja dan
keluarganya, serta dampak ikutan lainnya yang dapat memicu keresahan dan kerusuhan sosial baik di dalam perusahaan maupun secara nasional;
68. Bahwa peningkatan nilai tambah usaha tambang beberapa produk,
misalnya bauksit, berupa pengolahan dan/atau pemurnian di dalam
negeri tidak mungkin dilaksanakan dalam waktu dekat karena hingga
saat ini belum tersedia pabrik pengolahan dan/atau pemurnian bauksit.
Hingga saat ini , pabrik yang berdiri secara komersial hanya PT. Inalum di
Sumatera Utara yang memproduksi aluminium dengan kapasitas
produksi aluminium 225.000 ton pertahun. Itupun bahan baku alumina
SGA (smelter grade alumina) masih impor. Alumina SGA ini selanjutnya
yang diolah menjadi aluminium. Untuk pabrik pembuatan SGA di
indonesia, belum ada 1 (satu) pabrik pun yang berdiri komersial dan
berproduksi. Hingga saat ini baru terdapat 5 (lima) perusahaan ini sedang
membangun pabrik alumina SGA beserta kapasitas pabrik nya (terlampir).
69. Dana yang dibutuhkan untuk membangun tempat pengolahan dan/atau
pemurnian (smelter) sangat besar, bahkan biaya perkiraan pembangunan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
21
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
bisa mencapai ratusan triliyunan (bukti P-33C). Itulah sebabnya tidak
banyak investor yang tertarik untuk membangun smelter. Selain itu,
dibutuhkan suplai energi yang tidak kecil yang belum tentu tersedia di
dalam negeri.
70. Bahwa dengan demikian adanya larangan eskpor bijih juga melanggar
salah satu asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,
yaitu asas dapat dilaksanakan (vide Pasal 5 huruf d UU Nomor 11 Tahun
2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), sehingga
ketentuan ini secara tidak langsung bertentangan dengan Pasal 22A
Perubahan Kedua UUD 1945 yang berbunyi, ”Ketentuan lebih lanjut
tentang tata cara pembentukan Undang-Undang diatur dengan Undang-
Undang.” Sebab, UU Nomor 11 Tahun 2012 tidak lain adalah aturan pelaksana dari Pasal 22A Perubahan Kedua UUD 1945;
71. Apabila dilaksanakan, larangan eskpor bijih justru akan menyebabkan
ratusan pengusaha tambang, berikut puluhan ribu karyawan yang bekerja
di perusahaan tambang, termasuk perusahaan yang terkait dengan
ekspor bijih, akan kehilangan pekerjaan. Secara potensial kondisi ini justru bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Pasal 102 dan Pasal 103 Bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 Bila Dimaknai Adanya Larangan Ekspor Bijih
72. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
73. Bahwa Pasal 33 ayat (3) tidak hanya menyinggung soal penguasaan
negara atas bumi, air, dan kekayaan alam, melainkan juga menyinggung
soal penggunaan bumi, air, dan kekayaan alam tersebut untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;
74. Bahwa negara tidak memiliki kemampuan untuk memanfaatkan bumi, air,
dan kekayaan alam untuk sebesar-sebesar kemakmuran rakyat secara
sendirian. Itulah sebabnya, negara menggandeng pelaku usaha,
termasuk swasta dan koperasi, agar bumi, air, dan kekayaan alam
tersebut dapat digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
22
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Dalam kaitan ini, makna penguasaan negara atas bumi, air, dan
kekayaan alam memberikan kewenangan negara untuk mengadakan
kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestursdaad), pengaturan
(regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad);
75. Para Pemohon adalah pihak-pihak, baik swasta maupun koperasi, yang
ambil bagian dalam upaya untuk memanfaatkan kekayaan alam berupa
bahan tambang yang ada di perut bumi Indonesia untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Selain untuk kebutuhan para Pemohon
sendiri. Untuk hal tersebut, para Pemohon telah memperoleh izin dari
negara yang menguasai kekayaan alam berupa bahan tambang tersebut melalui prosedur yang juga ditetapkan oleh negara;
76. Di antara para Pemohon, ada yang berorientasi pada penggalian bijih
yang untuk selanjutnya dieskpor ke luar negeri serta tidak berorientasi
pada pengolahan dan pemurnian karena skala usaha yang kecil.
Pengolahan dan pemurnian dalam skala kecil tersebut justru tidak memberikan nilai tambah bagi sebagian Pemohon;
77. Adalah tidak adil bila sebagian Pemohon tersebut dituntut untuk
mengolah dan memurnikan bijih, padahal izin usaha sejak awal adalah usaha pertambangan yang berorientasi ekspor.
78. Oleh karena itu, Pasal 102 dan Pasal 103 yang dimaknai sebagai adanya
larangan ekspor bijih oleh Pemerintah tidak hanya bertentangan dengan
Pasal 1 ayat (3) tentang prinsip negara hukum dan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945 soal kepastian hukum yang adil, melainkan juga dengan
prinsip demokrasi ekonomi yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945, terutama Pasal 33 ayat (3) UUD 1945;
UU 4/2009 Mengatur Pengendalian Ekspor, Bukan Larangan Ekspor
79. Permohonan ini tidak dimaksudkan agar tidak ada pembatasan terhadap
ekspor bijih yang merupakan produk yang tidak dapat diperbarui.
Pengendalian ekspor bijih merupakan sebuah keniscayaan karena
negara menguasai bumi, air, dan kekayaan alam sesuai prinsip Pasal 33
ayat (3) UUD 1945. Hal tersebut sesungguhnya telah diatur dalam Pasal
5 ayat (1) UU 4/2009 yang lengkapnya berbunyi,
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
23
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
(1) Untuk kepentingan nasional, Pemerintah setelah berkonsultasi
dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat
menetapkan kebijakan pengutamaan mineral dan/atau batubara
untuk kepentingan dalam negeri.
(2) Kepentingan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan dengan pengendalian produksi dan ekspor.
(3) Dalam melaksanakan pengendalian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Pemerintah mempunyai kewenangan untuk menetapkan
jumlah produksi tiap-tiap komoditas per tahun setiap provinsi.
(4) Pemerintah daerah wajib mematuhi ketentuan jumlah yang
ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengutamaan mineral dan/atau
batubara untuk kepentingan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengendalian produksi dan ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan
peraturan pemerintah.
80. Dengan demikian, jelaslah bahwa UU 4/2009 mengatur tentang
pengendalian ekspor, bukan larangan ekspor. Mandat yang diberikan
kepada Pemerintah adalah mengendalikan ekspor, bukan melarang
ekspor;
Permohonan Inkonstitusional Bersyarat (Conditionally Unconstitutional)
81. Bahwa Permohonan ini tidak dimaksudkan untuk membatalkan ketentuan
Pasal 102 dan Pasal 103 UU 4/2009 karena pada dasarnya Pemohon
sepakat dengan ketentuan tersebut bahwa perlu peningkatan nilai
tambah terhadap sumber daya mineral dan/atau batubara melalui
kegiatan pengolahan dan pemurnian. Namun, yang perlu dicegah adalah
pemaknaan yang sewenang-wenang oleh Pemerintah terhadap
ketentuan tersebut berupa larangan ekspor bijih yang akan mematikan usaha para Pemohon;
82. Bahwa oleh karena itu Permohonan ini meminta agar Mahkamah
menyatakan ketentuan Pasal 102 dan Pasal 103 UU 4/2009
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat bila dimaknai bahwa pasal-pasal tersebut melarang ekspor
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
24
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
bijih. Jadi, permohonan ini meminta suatu inkonstitutionalitas bersyarat
(conditionally unconstitutional) terhadap ketentuan Pasal 102 dan Pasal 103 UU 4/2009;
D. KESIMPULAN
83. Berdasarkan uraian-uraian di atas, para Pemohon berkesimpulan sebagai berikut.
a. Mahkamah berwenang memeriksa dan memutus Permohonan a quo;
b. Pemohon memiliki legal standing untuk mengajukan Permohonan;
c. Ketentuan Pasal 102 dan Pasal 103 UU 4/2009 bertentangan dengan
konstitusi bila dimaknai mengandung larangan ekspor bijih (conditional
unconstitutional).
E. PERMOHONAN PUTUSAN SELA
84. Sebelum menjatuhkan putusan akhir, terlebih dahulu Pemohon memohon
Majelis Hakim untuk menjatuhkan putusan sela agar semua pihak
menghentikan terlebih dahulu pelaksanaan Pasal 102 dan Pasal 103 UU
4/2009, terutama terkait dengan interpretasi soal adanya larangan ekspor
bijih (raw materials atau ore) hingga dijatuhkannya putusan akhir dalam
perkara ini mengingat pemaknaan tentang adanya larang ekspor ini telah merugikan para Pemohon;
85. Dalam praktik persidangan di Mahkamah, putusan sela pernah dijatuhkan
dalam perkara pengujian UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Putusan Nomor 133/PUU-VII/2009;
86. Putusan sela dibutuhkan agar pelaku usaha yang menjadi para anggota
Pemohon tidak dirugikan dan tidak terhenti usahanya sejak larangan
ekspor bijih diberlakukan mulai 12 Januari 2014;
F. PETITUM
87. Petitum dalam permohonan ini adalah sebagai berikut:
a. Menerima permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
b. Menyatakan Pasal 102 dan Pasal 103 UU Nomor 4 Tahun 2009
tentang Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 4; Tambahan Lembaran Negara Republik
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
25
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Indonesia Nomor 4959) bertentangan dengan UUD 1945 bila dimaknai dengan pelarangan terhadap ekspor bijih (raw material atau core);
c. Menyatakan Pasal 102 dan Pasal 103 UU Nomor 4 Tahun 2009
tentang Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 4; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4959) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bila
dimaknai dengan pelarangan terhadap ekspor bijih (raw material atau core).
d. Atau, bila Majelis Hakim Konstitusi berpandangan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aquo et bono).
[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon
mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan
bukti P-34 sebagai berikut:
1. Bukti P-1 : Surat Kuasa Khusus Pemohon; 2. Bukti P-2 s/d P-10 : Fotokopi KTP Pemohon, kecuali P-4, P-6, dan P-9
tidak diserahkan; 3. Bukti P-11 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; 4. Bukti P-12 : Fotokopi Keputusan tentang Pengesahan Badan
Hukum Perkumpulan, AD/ART dan NPWP. Apemindo;
5. Bukti P-13 : Fotokopi Surat Izin Usaha Perusahaan Angkutan Laut, Fotokopi Surat Keterangan Perubahan Domisili Perusahaan, dan Fotokopi Surat Perubahan Penanggung Jawab Perusahaan PT. Pelayaran Eka Ivanajasa. Serta Surat Izin Usaha Perusahaan Bongkar Muat (SIUPBM) PT. Harapan Utama Andalan;
6. Bukti P-14 : Fotokopi catatan mengenai potensi kerugiaan PT Pelayaran Eka Ivanajasa dan PT. Harapan Utama Andalan;
7. Bukti P-15 : Fotokopi Tanda Daftar Perusahaan Koperasi, Surat Izin Tempat Usaha (SITU) dan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP);
8. Bukti P-16 : Nama dan Jumlah Pekerja Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat Kendawangan Mandiri;
9. Bukti P-17 : Fotokopi NPWP, Surat Keterangan Terdaftar, Surat Izin Tempat Usaha (SITU), Surat Tanda
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
26
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Daftar Perusahaan, Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Salinan Fotokopi SK Bupati Ketapang Tentang Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Kepada PT. Lanang Bersatu beserta lampirannya;
10. Bukti P-18 : Fotokopi Akta Notaris Berita Acara Luar Biasa PT. Tanjung Air Berani, fotokopi SK Bupati Karimun Nomor 194 Tahun 2012 tentang Pemberian Izin Usaha Pertambangan Operasi produksi Mineral Logam (Bauksit) Blok II Kepada Tanjung Air Berani beserta lampirannya dan Fotokopi SK Bupati Karimun Nomor 193 Tahun 2012 tentang Pemberian Izin Usaha Pertambangan Operasi produksi Mineral Logam (Bauksit) Blok I Kepada Tanjung Air Berani beserta lampirannya;
11. Bukti P-19 s/d P-20 : Fotokopi KTP, NPWP dan Akta Perusahaan PT. Labai Tekhnik Metal;
12. Bukti P-21 : Fotokopi Data Kerugian PT. Labai Tekhnik Metal Terkait Pelarangan Ekspor Mineral;
13. Bukti P-22 : Fotokopi KTP, Fotokopi NPWP dan Fotokopi Akte Perusahaan PT. Pundi Bhakti Khatulistiwa;
14. Bukti P-23 : Fotokopi Perincian Investasi dan Kewajiban PT. Pundi Bhakti Khatulistiwa;
15. Bukti P-24 : Fotokopi KTP, NPWP dan Fotokopi Akte Perusahaan PT. Lobunta Kencana Raya;
16. Bukti P-25 : Fotokopi Biaya Fixed & Variabel Perbulan Proyek – HPAM Periode Januari s.d. Desember 2014 PT. Lobunta Kencana Raya;
17. Bukti P-26 : Fotokopi KTP, Akta Pendirian Perseroan Terbatas, SK Dirjen AHU Nomor AHU-20251.AH.01.02 Tahun 2010 tentang Persetujuan Anggaran Akta Perubahan Anggaran Dasar Perseroan, NPWP, Surat Tanda Daftar Perusahaan Perseroan Terbatas, Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Kecil dan Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi Kegiatan Usaha Jasa Pelaksana Konstruksi PT. Patriot Cinta Nusantara;
18. Bukti P-27 : Fotokopi Data Kerugian PT. Patriot Cinta Nusantara Akibat Pelarangan Ekspor Mineral;
19. Bukti P-28 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
27
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
20. Bukti P-29 & P-31 : Fotokopi Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral;
21. Bukti P-30 : Fotokopi Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral;
22. Bukti P-32 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara;
23. Bukti P-33 : Fotokopi Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Di dalam Negeri.
24. Bukti P-34 : Fotokopi Peraturan Menteri ESDM Nomor 20 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral;
Selain itu, para Pemohon juga mengajukan delapan orang saksi dan
empat orang ahli yang didengar keterangannya di bawah sumpah, sebagai berikut:
Saksi Para Pemohon 1. Iskandar Itan
• Saksi adalah pemegang IUP Bauksit PT. Laman Mining di Kabupaten
Ketapang, Kalimantan Barat;
• Dengan adanya larangan ekspor maka kegiatan di perusahaan saksi secara
total berhenti;
• Saksi memperoleh IUP pada tahun 2009 terhadap area seluas 20.000
hektar;
• Saksi memperoleh perpanjangan izin IUP eksplorasi pada tahun 2011, dan
mendapatkan IUP produksi pada tahun 2012;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
28
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
• Setelah memperoleh IUP produksi, saksi membangun infrastuktur yaitu
jalan yang menuju ke arah pelabuhan sekitar 21 km, jembatan-jembatan
penghubung, pelabuhan dan melakukan dredging atau pengerukan untuk
area di sekitar muara sungai agar pengiriman bauksit dapat dilakukan;
• Saksi kemudian diminta untuk mengurus perizinan untuk dapat melakukan
ekspor yang disebut clear and clean, kemudian saksi juga diminta untuk
terdaftar sebagai ekspor yang terdaftar;
• Setelah saksi mendapat rekomendasi dari Dirjen Minerba, saksi mengurus
ke Kementerian Perdagangan, dan setelah saksi memperoleh perizinan
tersebut sekitar bulan April 2013, saksi mencoba memulai ekspor, namun
tidak boleh lagi melakukan ekspor sejak awal 2014;
• Saat ini semua infrastuktur yang telah dibangun saksi menjadi terbengkalai,
rusak dan sebagainya, dimana jika saksi akan memperbaikinya belum ada
kepastian kapan dapat dilakukan ekspor kembali;
• Saksi telah melakukan investasi sekitar 70 miliar, juga di dalamnya
masyarakat lokal yang juga ikut membangun infrastruktur ikut terkena
dampaknya.
2. Ferdinand N. Iskandar
• Saksi adalah Direktur PT. Pulau Rusa Tamita dan sebagai pemegang IUP
bijih nikel;
• Pada tahun 2008, perusahaan saksi memutuskan untuk terjun ke
pertambangan bijih nikel di Kabupaten Kolaka Utara, tujuan perusahaan
saat itu adalah menjual mineral mentah ke luar negeri;
• Tahun 2008 perusahaan saksi telah memperoleh dua surat kuasa
pertambangan eksplorasi (KP eksplorasi) yang masing-masing diperoleh di
lokasi eksplorasi Olooloho dan juga di daerah Patikala, Kabupaten Kolaka
Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara;
• Sesuai manat Undang-Undang maka pada tahun 2010, saksi mengganti
kuasa pertambangan menjadi IUP terhadap kedua daerah penambangan
tersebut, dan IUP eksplorasi Patikala ditingkatkan menjadi IUP OP pada
tahun 2011 dengan luas 1.026 hektar;
• Saksi melakukan ekspor bijih nikel sejak tahun 2010, dan sempat terhenti
pada tahun 2012 dengan adanya Permen ESDM Nomor 7/2012, namun
kembali melakukan usaha setelah memperoleh rekomendasi Kementerian
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
29
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Perdagangan cq Kementerian Luar Negari melalui surat pengakuan ETPP
eksportir terbatas tanggal 30 Mei 2012 dan masih berlaku sampai saat ini;
• Sebagai pengusaha, saksi selalu mematuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang ada. Saksi juga menjelaskan bahwa untuk
pengurusan izin bukanlah sesuatu yang mudah, membutuhkan keuletan
dan kesabaran;
• Usaha pertambangan merupakan bisnis orientasi yang bersifat jangka
panjang, saksi juga sempat mengalami fluktuasi perubahan harga sehingga
sampai kini perusahaan saksi belum dapat mengembalikan investasi
mereka;
• Perusahaan saksi juga telah membangun infrastruktur berupa jalan,
pelabuhan, pembebasan lahan dan persediaan stok bijih nikel yang
dikarenakan adanya larangan ekspor ini telah mengakibatkan perusahaan
saksi menderita kerugian sekitar 35 miliar termasuk melakukan PHK
terhadap 29 karyawan dan memberhentikan kontraktor yang
mempekerjakan lebih dari 50 orang;
• Kerugian pada tahun 2013, perusahaan saksi memiliki stok sebanyak
100.000 ton bijih nikel dengan kadar sedang, saksi berharap awalnya harga
akan naik sehingga dapat mencapai BEP namun karena adanya larangan
ekspor maka saksi harus menanggung biaya penggalian dan juga biaya
transportasi dari tambang ke stok PAL.
3. Hengky R.N
• Saksi mulai usaha ekspor bauksit sejak tahun 2007 dan tahun 2008;
• Menurut saksi jika mengetahui kelak Pemerintah akan mengeluarkan
regulasi tentang pelarangan ekspor maka saksi mungkin tidak akan
berusaha di bidang pertambangan bauksit;
• Menurut saksi ketika memperoleh izin kuasa pertambangan yang kemudian
menjadi IUP menurut UU Minerba Pasal 1 ayat (6), Pasal 1 ayat (7) dan
Pasal 1 ayat (20) tidak ada kewajiban bagi pengusaha untuk membangun
smelter. Pengusaha hanya diwajibkan untuk menyediakan bahan baku
untuk industri yang berikutnya sesuai dengan Pasal 3 butir c;
• Larangan ekspor menyebabkan perusahaan saksi menghentikan usahanya,
hal ini menyebabkan sekitar 200 lebih karyawan yang di-PHK, dan dari 15
kontraktor yang memiliki sekitar 500 karyawan setengahnya sudah di-PHK;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
30
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
• Sedangkan kerugian yang diperkirakan untuk tahun 2014 adalah sekitar 150
miliar, sedangkan kerugian dari 15 kontraktor sekitar 270 miliar. Kerugian
semakin terasa besar karena investasi bukan saja terhadap pengadaan
alat-alat berat yang dapat dimaanfaatkan untuk kegiatan usaha lain tetapi
juga investasi dalam bentuk survei, hasil lab, jalan, pelabuhan dan stockpile.
4. Suwandi Wiratno
• Saksi sebagai perwakilan dari Asosiasi Pembiayaan Indonesia;
• UU Minerba dan PP 1/2014 sebagai tindak lanjut UU Minerba telah
disosialisasikan kepada seluruh pihak yang berkepentingan, namun hingga
saat ini polemik terhadap penerapan UU Minerba terus bergulir, hal ini
disebabkan karena penerapan UU Minerba telah membawa konsekuensi
yang luar biasa bagi kelangsungan usaha perusahaan tambang di sektor
ekonomi, terutama bagi kami di industri jasa keuangan dan perbankan;
• Dampak negatif dari UU Minerba sudah mulai mengganggu kelangsungan
usaha perusahaan pembiayaan yang mendukung bisnis pertambangan dan
mineral baik secara langsung maupun tidak langsung;
• Saksi melihat bahwa oenerapan UU Minerba masih membutuhkan dialog
yang komprehensif antara pengusaha, Pemerintah dan DPR untuk
merumuskan rencana strategis dan road map terkait pengolahan,
pemurnian mineral mentah di dalam negeri demi kepentingan nasional yang
lebih besar dalam mengatasi masa transisi penerpan UU Menierba;
• Saksi memandang masih banyak isu yang belum menemukan jalan keluar
diantaranya kesiapan sarana infrastruktur listrik pendukung untuk
mempercepat pembangunan pabrik, pengolahan dan pemurnian di dalam
negeri IE Smelter, regulasi tentang tata ruang terkait dengan pembangunan
smelter guna menimbang dampak limbah B3 (bahan beracun dan
berbahaya) yang sangat berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan
manusia;
• Dukungan modal dari perbankan dalam negeri maupun luar negeri yang
masih kurang seiring dengan ketidakpastian kondisi saat ini, terutama
dengan adanya larangan ekspor, ahli dari perusahaan pembiayaan yang
sebelumnya telah melakukan pembicaraan dengan para investor dan
berniat akan membangun smelter, akhirnya keputusan kredit kami hentikan
karena tidak boleh lagi melakukan ekspor mineral tersebut;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
31
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
• Beberapa dampak nyata yang saat ini telah terjadi di perusahaan
pembiayaan akibat implementasi UU Minerba antara lain adalah
meningkatnya angka non performing load. Sebagai contoh saat ini total
porfolio pembiayaan atau AR pembiayaan dari industri pembiayaan total
ada 380 triliun di tahun 2013;
• Dari 380 triliun, kurang lebih 32% adalah sektor usaha sewa guna usaha
yang terkait dengan pinjaman alat berat untuk menambang. Dari 32%
tersebut, kurang lebih 122 triliun yaitu sekitar 60-70% ada disektor
pertambangan yaitu sekitar 75 triliun. Belum lagi meningkatnya jumlah objek
pembiayaan diserahkan oleh debitur lesi ataupun saat ini debitur lesi atau
kita sampaikan kalau di dalam perusahaan pembiayaan itu adalah lesi,
mulai menyerahkan alat-alat tersebut kepada perusahaan pembiayaan;
• Sebagai perusahaan pembiayaan juga kami tidak hanya membiayai
pengadaan alat-alat berat tapi juga pembiayaan motor, mobil dan lain
sebagainya dan hal ini pun terkena dampaknya secara tidak langsung;
• Banyaknya alat-alat yang ditarik, harga jual kembali objek pembiayaan
mengalami penurunan cukup tajam, nilai jual alat tersebut tidak mencukupi
untuk menutupi hutang adripada kontraktor maupun para pemegang saham.
Perbankan baik BUMN maupun swasta sebagai pendukung dana di
perusahaan pembiayaan saat ini telah memperketat penyaluran kredit di
sektor tersebut, sehingga ruang lingkup pembiayaan menjadi sempit;
5. Indra Liesmanto
• Saksi adalah pendiri PT. Meta Estetika Graha, perusahaan penyewaan alat
berat dan alat transportasi dengan wilayah kerja 30% di area perkebunan
sawit dan 70% di area pertambangan; • Seiring dengan perkembangan, perusahaan saksi telah melakukan
penambahan investasi sebesar 150 miliar untuk pengadaan alat-alat berat
kendaraan dan alat transportasi lainnya seperti dump truck, drump trailer,
excavator, buldozer dan lain sebaginya;
• Invesatasi tersebut dilakukan melalui kerjasama dengan pihak perbankan,
lembaga leasing, sebagai kreditur untuk memberikan modal dan fasilitas
kredit dengan perhitungan pengembalian dana tersebut dilakukan melalui
masuknya pendapatan atau penghasilan jangka panjang yang diperoleh
saksi sari kontrak-kontrak rental alat berat pada proyek pertambangan;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
32
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
• Pelarangan ekspor menyebabkan kerugian pada perusahaan saksi yaitu
pertama, putusnya hubungan kerja sama secara sepihak dari para
pelanggan saksi akibat hilangnya seluruh pendapatan perusahaan saksi
yang semula diproyeksikan pemasukannya melalui kerja sama jangak
panjang;
• Kedua, seluruh alat kerja baru yang terdiri dari 160 unit alat berat dan 273
unit drump truck seluruhnya stand by, tidak beroperasi dan terancam
menjadi besi tua;
• Ketiga, kewajiban pembayaran leasing yang macet ini telah mengakibatkan
hilangnya kepercayaan bank serta meninggalkan beban berat keuangan
yang harus ditanggung perusahaan saksi;
• Keempat, seluruh tenaga kerja yang ditempatkan di lokasi tambang, baik
tenaga ahli tambang, pengawas, staf operasional, staf administrasi,
mekanik, operator, supir dan lain sebagainya dengan jumlah kurang lebih
1000 orang, dengan terpaksa di PHK oleh perusahaan saksi;
• Kelima, roda kegiatan perusahaan saksi macet total, menanggung kerugian
besar dan yang paling menyedihkan akibat pelarangan ekspor tersebut,
saksi kehilangan kesempatan mendapatkan penghasilan dari bidang kerja
yang telah dibina bertahun-tahun. 6. Johnson Sebayang
• Saksi adalah Manajer Kepatuhan dan QHSE di PT. Intertek Utama Services
yaitu perusahaan penyedia jasa bagi kegiatan perusahaan pertambangan
minerba; • Jasa yang diberikan adalah jasa penangkapan kualitas dan kuantitas
produk batu bara dan tambang, dan analisa kadar bijih emas, nikel, besi,
tembaga, mangan, bauksit dan semua mineral umumnya yang ada di
Indonesia; • Selain itu juga PT. Intertek menyediakan jasa penetapan kualitas dan
kuantitas ketika produk tambang tersebut akan diekspor. Hal ini dilakukan
dengan mengeluarkan laporan untuk kuantitas dan kadar produk tersebut
sebagai dasar jual beli, yang terjadi antara penjual dan pembeli atau
pengimpor;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
33
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
• Pada tahun 2012 dan 2013, PT Intertek melayani sekitar 90% untuk jasa
penetapan kualitas dan kuantitas dari kegiatan ekspor bijih nikel dari
Indonesia keluar negeri, terutama ke Cina;
• Untuk mendukung operasional tersebut dan mendukung para partner PT.
Intertek membangun beberpa kantor cabang termasuk laboratorium
diseluruh wilayah Indonesia, seperti di Sulawesi, Kalimantan, Padang,
Sorong. Selain itu juga membuat kebijakan tenaga ahli, baik tenaga
chemist, asisten chemist surveyor, exfactor yang ada di lapangan, tenaga
sampler yang jumlahnya cukup besar;
• Perusahaan juga bekerja sama dengan berbagai perusahaan lain untuk
menyediakan sarana dukungan. Perusahaan juga mempekerjakan tenaga-
tenaga lokal yang direkrut dari sekitar lokasi tambang yang cukup banyak;
• Terjadi penurunan penelitian sampel yang dilakukan Intertek, yaitu pada
tahun 2012 jumlah sampel yang diteliti oleh Intertek sebesar 455.986
sampel, sedangkan pada tahun 2013 mencapai 366.284 sampel dan pada
periode Januari-Februari tahun 2014 hanya menganalisa 54.327 sampel;
• Penurunan ini disebabkan karena pemegang IUP dan IUPK diberhentikan,
sehinggal sampel yang dikirimkan kepada Intertek juga berkurang;
• Pelarangan ekspor menyebabkan berkurangnya jumlah sampel dan kapal
yang diperiksa sehingga berhubungan langsung dengan pendapatan
perusahaan saksi, terjadi penurunan penghasilan perusahaan sebesar 60%
sampai 70% dan untuk tahun 2014 ini penurunan dapat dipastikan sebesar
100%;
• Saat ini perusahaan terpaksa melakukan PHK terhadap 800 karyawan dan
penutupan beberapa lokasi kegiatan usaha.
7. Haidar Mubarak Falkun
• Saksi adalah pemilik PT. Putra Ketapang Mandiri yang bergerak dibidang
jasa tambang dan angkutan;
• Sejak tahun 2009 perusahaan saksi bergerak dibidang jasa pertambangan
bijih mineral dan pengangkutan hasil bijih mineral;
• Perusahaan saksi mulai bergabung sebagai kontraktor PT. Harita Prima
Abadi Mineral dengan kontrak penggalian, pemuatan, pengangkutan hingga
saat ini. Untuk melaksanakan kontrak tersebut perusahaan saksi harus
menyiapkan tenaga kerja yang memadai sesuai standar yang dibutuhkan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
34
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
perusahaan serta menyiapkan sarana pendukung berupa alat-alat berat
excavator, buldozer dan kendaraan pendukung lainnya;
• Pada Desember 2013, PT. Harita Prima Abadi Mineral meminta kepada
perusahann saksi untuk menghentikan kegiatan penambangan atau
pengangkutan bijih mineral dimana hal ini dilakukan berdasarkan kebijakan
pemerintah mengenai pelarangan bijih mineral;
• Dampak negatif dari kebijakan tersebut di atas adalah perusahaan saksi
melakukan PHK terhadap 150 orang karyawan dan mengalami sumber
pendapatan perusahaan sekitar 4,9 miliar selama periode Januari samapai
dengan April 2014, tertunggaknya pembayaran leasing kepada pihak ketiga
dan lain sebagainya.
8. Wefri Latief
• Saksi adalah karyawan di Perusahaan PT. SBS yang bergerak di bidang
kontraktor pertambangan;
• Sebagai kontraktor pertambangan, PT. SBS juga harus melengkapi
perizinan berupa surat izin usaha pertambangan atau SIUP yang diterbitkan
oleh Departemen Pertambangan, dan untuk mendapatkan izin tersebut
bukan hal yang mudah, dibutuhkan waktu, pengalaman dan tenaga yang
mumpuni;
• Sejak tahun 2009, PT. SBS bekerja sebagai kontraktor pada PT. Harita,
hingga pada tahun 2013, perusahaan saksi melakukan reinvestasi dengan
tujuan peremajaan unit yang telah memakan investasi kurang lebih 50
miliar. Peremajaan ini dilakukan juga karena PT. Harita memberikan
tambahan pekerjaan untuk membangun jalan hauling 17 km, proses
pencucian bauksit atau pengoperasian washing plant dan pengolahan
kolam tailing atau limbah;
• Revenue yang diterima setelah penambahan unit adalah rata-rata 9 miliar
per bulan dengan total karyawan sebanyak 250 orang;
• Namun pada awal tahun 2014, perusahaan saksi mendapat surat resmi dari
PT. Harita bahwa perusahaan diberhentikan karena Harita dilarang untuk
melakukan ekspor dan hal ini menyebabkan kerugian besar bagi
perusahaan saksi;
• Kerugian yang dialami perusahaan saksi adalah hilangnya kemampuan
perusahaan dalam memenuhi kewajiban kepada pihak ketiga, terutama
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
35
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
leasing, supplier dan para karyawan. PT. SBS terpaksa melakukan PHK
terhadap 190 orang karyawan, dan pegawai yang masih ada pun mengalami penurunan pendapatan sebesar 50%.
Ahli Para Pemohon
1. Prof. Dr. Saldi Isra
Mengawali keterangan ini, terlebih dahulu Ahli hendak mengingatkan
kita semua bahwa penyelesaian masalah konstitusionalitas norma yang
diajukan Pemohon adalah ibarat pepatah Minang: maelo rambuik dalam
tapuang, rambuik indak putuih dan tapuang indak tumpah (menarik rambut di
dalam tepung, rambutnya tidak putus dan tepungnya pun tidak tumpah). Dalam
hal ini, kepentingan nasional pengelolaan mineral dan batubara (minerba) demi
memberikan nilai tambah bagi perekonomian dalam mencapai kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat harus dijaga. Di mana, di saat bersamaan, berbagai
langkah pengusahaan mineral dan batubara oleh pemegang Izin Usaha
Pertambangan (IUP) nasional juga harus dirawat dan dibina agar dapat bisa
mendukung langkah penguasaan negara terhadap sumber daya alam untuk
kemakmuran rakyat.
Dalam konteks itu, posisi negara –dalam hal ini diwakili Pemerintah –
sebagai regulator harus mampu menghadirkan produk hukum yang berke-
adilan sekaligus memberikan kepastian hukum. Di satu sisi, ketentuan yang
diterbitkan mesti mampu menjaga kepentingan nasional atas penguasaan
mineral dan batubara untuk kemakmuran rakyat secara umum. Sementara, di
lain sisi, regulasi harus dapat memberikan keadilan dan kepastian bagi
kelangsungan pengusahaan pertambangan oleh badan hukum yang diberi izin
oleh pemerintah untuk itu.
Hanya saja, beberapa ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) masih membuka
ruang untuk hadirnya ketidakseimbangan antara dua kepentingan besar di
atas. Sejumlah norma dalam UU Minerba ketika dilaksanakan masih dapat
ditafsirkan secara menyimpang dari maksud sesungguhnya dari norma yang
ada. Salah satunya adalah ketentuan Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba. Di
mana, norma itulah yang dipersoalkan konstitusionalitas penafsirannya ke
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
36
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Mahkamah Konstitusi dalam perkara ini. Selengkapnya ketentuan tersebut
menyatakan:
Pasal 102
Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya
mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan
pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara.
Pasal 103
(1) Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.
(2) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari pemegang IUP dan IUPK lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 102 serta pengolahan dan pemurnian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
Frasa “wajib meningkatkan nilai tambah” dalam Pasal 102 dan frasa
“wajib melakukan pengolahan… di dalam negeri” dalam Pasal 103 UU Minerba
dipahami pemerintah sebagai dasar hukum larangan menjual bijih (raw material
dan ore) mineral ke luar negeri. Pemahaman demikian diimplemen-tasikan
dalam bentuk menerbitkan Peraturan Menteri sebagai peraturan pelaksana
yang secara eksplisit melarang ekspor biji mineral. Hal demikian, sebagaimana
didalilkan pemohon, telah menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan
dan kesewenang-wenangan Pemerintah dalam melaksnakan UU Minerba,
hingga menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon.
Terkait dengan pokok permohonan tersebut, Ahli akan menjelaskan
konstitusionalitas Pasal 102 dan 103 UU Minerba dalam dua aspek, yaitu
pertama, aspek rumusan UU Minerba; kedua, implementasi Undang-Undang
Minerba dalam perspektif hak menguasai negara terhadap bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Dalam perspektif perumusan norma, persoalan UU Minerba dapat
dibaca dalam beberapa aspek. Pertama, pengaturan dan penyelenggaraan
pertam-bangan Minerba dilakukan dengan bersandar pada beberapa asas,
yang diantaranya: asas manfaat, keadilan, keseimbangan dan keberpihakan
kepada kepentingan bangsa. Penerapan asas manfaat menghendaki agar
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
37
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
norma yang dirumuskan dapat mendorong kemanfaatan yang lebih dari
pengusahaan mineral dan batubara bagi peningkatan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat.
Asas keadilan menuntut agar substansi UU Minerba mencerminkan
keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. Dalam hal ini, norma
UU Minerba juga harus memperhatikan kepentingan berbagai pihak yang
terlibat dalam pengusahaan pertambangan. Sebab, pihak-pihak dimaksud tidak
berada dalam posisi yang sama, baik dari aspek permodalan maupun jaringan
usaha. Sehingga norma UU Minerba dan peraturan pelaksananya dituntut
dirumuskan secara proporsional dan juga diimplementasikan secara berimbang
pula.
Adapun asas keseimbangan dimaksudkan agar norma UU Minerba
mencerminkan dan sekaligus dapat menjaga kesimbangan di antara berbagai
kepentingan, yaitu kepentingan individu, pelaku usaha, masyarakat, lingkung-
an dan kepentingan bangsa dan negara secara umum. Dalam konteks itu,
keseimbangan pengusahaan oleh berbagai pelaku usaha yang juga tidak sama
juga harus dijaga, agar jangan sampai norma yang ada mematikan sebagian
pemegang IUP dan memperkuat yang lain.
Sedangkan asas keberpihakan pada kepentingan bangsa dimaksud-kan
agar UU Minerba mecerminkan keberpihakannya pada kepentingan anak
bangsa dalam pengusahaan minerba. Pengaturan pengusahaan mineral harus
mencerminkan sifat dan watak kebangsaan Indonesia. Dalam hal ini, memilih
keberpihakan pada pembinaan dan pemajuan perusahaan tambang nasional
dan serta menjaga ketersediaan mineral bagi pemajuan kemakmuran rakyat
merupakan konkretisasi dari asas dimaksud.
Kedua, kejelasan rumusan dan kepastian hukum Pasal 102 dan 103 UU
Minerba. Jika dibaca secara cermat dan seksama, rumusan Pasal 102 dan 103
UU Minerba sudah cukup jelas. Pasal 102 berisi norma yang mewajibkan
Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan
Khusus (IUPK) untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral yang
dihasilkan dari pengusahaan pertambangan. Dalam konteks ini, secara
sederhana dapat digambarkan, jika hasil pengusahaan pertambangan yang
dilakukan selama ini hanya bernilai 10, maka berdasarkan UU ini pemegang
usaha tambang wajib meningkatkannya hingga menjadi 12, 14 atau lebih. Jadi,
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
38
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
meningkatkan nilai tambah itulah yang diwajibkan atau dibebankan bagi
pemegang IUP dan IUPK. Ketentuan Pasal 102 tidak dapat dimaknai selain itu,
karena norma tersebut jelas, tegas dan tidak dapat ditafsirkan lain. Dalam
konteks ini, rumusan Pasal 102 UU Minerba telah memenuhi asas kejelasan
rumusan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Begitu juga dengan Pasal 103 UU Minerba yang berisi pembebanan
kewajiban bagi pemegang IUP dan IUPK untuk melakukan pengolahan dan
pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Pada prinsipnya, rumusan
Pasal tersebut juga cukup jelas. Di mana, maksud yang ditekankan adalah
pengelolaan dan pemurnian hasil penambangan tidak boleh dilakukan di luar
negeri, melainkan wajib dilakukan dalam negeri. Sebab, pemurnian di dalam
negeri merupakan salah satu bagian dari upaya meningkatkan nilai tambah
kegiatan usaha pertambangan. Karenanya, dapat dipahami bahwa perumusan
norma Pasal 103 juga cukup jelas.
Hanya saja, ketika diimplementasikan, norma tersebut justru ditaf-sirkan
sebagai larangan menjual bijih mineral ke luar negeri. Pemerintah secara resmi
menerbitkan larangan itu melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 7/2012. Tak
berselang lama, kebijakan pelarangan tersebut diubah menjadi diperbolehkan
menjual bijih mineral ke luar negeri setelah mendapat reko-mendasi dari
Menteri c.q Direktur Jenderal (Permen ESDM Nomor 11/2012). Kemudian
kebijakan tersebut diubah lagi dengan diperbolehkannya menjual biji mineral ke
luar negeri sampai batas waktu 12 Januari 2014 (Permen ESDM Nomor
20/2013). Fakta ini seakan membantah penilaian bahwa Pasal 102 dan Pasal
103 UU Minerba memiliki rumusan yang jelas. Apakah memang demikian?
Terkait hal itu, perlu ditekankan sekali lagi bahwa rumusan Pasal 103
UU Minerba secara tekstual sudah jelas, tetapi norma tersebut menjadi tidak
jelas atau kabur ketika Pemerintah keliru memahami dan menafsirkan
ketentuan tersebut. Sebab, sangat tidak tepat bahkan keliru jika Pasal 102 dan
Pasal 103 UU Minerba ditafsirkan sebagai larangan penjualan biji mineral ke
luar negeri.
Selain itu, logika pelarangan ekspor biji mineral yang mendasarkan pada
Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba sama sekali tidak nyambung. Sebab,
sebuah kewajiban seharusnya linear dengan sanksi. Di mana, jika pihak-pihak
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
39
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
yang dibebani kewajiban tak melaksanakan kewajibannya, maka yang harus
dijatuhkan bagi yang bersangkutan adalah sanksi, bukan larangan penjualan ke
luar negeri.
Konsekuensi dari kewajiban adalah sanksi, bukan larangan. Sebab,
kewajiban dan larangan berada dalam satu level, dalam arti sama-sama
sebagai norma pokok. Dalam perumusan norma, bisa saja sebuah ketentuan
berisi perintah, kewajiban atau larangan. Di mana, jika perintah, kewajiban atau
larangan tersebut dilanggar, maka si pelanggar akan diancam terkena sanksi.
Sehingga akan menjadi aneh, bahkan bertentangan dengan logika perumusan
norma jika ketentuan yang berisi kewajiban justru diiringi dan ditafsirkan
dengan pelarangan.
Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba sangat jelas berisi norma terkait
kewajiban. Pelanggaran terhadap kewajiban tersebut linear dengan ancaman
dikenai sanksi. Sehubungan dengan itu, UU Minerba juga telah merumuskan
secara eksplisit ancaman sanksi bagi pihak-pihak yang tidak melaksanakan
kewajiban tersebut dalam Pasal 151 UU Minerba, yaitu menyatakan:
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangan-nya
berhak memberikan sanksi administratif kepada pemegang IUP, IPR atau
IUPK atas pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
102, Pasal 103,
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau
operasi produksi; dan/atau
c. pencabutan IUP, IPR, atau IUPK.
Keberadaan Pasal 151 UU Minerba semakin menegaskan bahwa
penafsiran Pemerintah atas implementasi Pasal 102 dan Pasal 103 UU
Minerba sangat keliru. Mestinya, ketentuan lebih lanjut dari UU Minerba, baik
berupa Peraturan Pemerintah maupun peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah sinkron dengan maksud UU Minerba. Di mana, kewajiban dalam
Pasal 102 dan Pasal 103 tidak ditafsirkan sebagai larangan ekspor, melainkan
harusnya ditafsir sebagaimana adanya. Di mana, bila pemegang IUP tidak
melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri,
maka dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 UU Minerba.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
40
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Jadi, bukan tindakan penjualan ke luar negeri-nya yang dilarang dan diberi
sanksi, melainkan kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian
yang tidak dilakukan di dalam negeri yang mesti dijatuhi sanksi administratif.
Sehubungan dengan itu, penafsiran pemerintah baik dalam bentuk
pelarangan ekspor bijih mineral maupun kebijakan memperbolehkan ekspor biji
mineral berbatas waktu sampai 12 Januari 2014 sama sekali tidak sesuai
dengan maksud Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba. Di samping
menimbulkan kerancuan dari maksud rumusan yang ada, juga berpotensi
menimbulkan terjadinya ketidakpastian hukum. Padahal, kepastian hukum dari
rumusan Undang-Undang merupakan asas yang harus dipatuhi dalam
pembuatan dan pelaksanaannya.
Selain itu, kebijakan pelarangan ekspor sampai batas waktu tanggal 12
Januari 2014 juga tidak sesuai dengan politik hukum penyelenggaraan
pertambangan. Sebab, arah penyelenggaraan pertambangan sebagaimana
dimuat dalam Pasal 5 UU Minerba adalah pengendalian produksi dan ekspor
dalam rangka menjaga kepentingan nasional, bukan pelarangan ekspor. Dalam
hal ini, ketika Pemerintah mengambil kebijakan pelarangan ekspor biji mineral,
maka dapat dipastikan kebijakan tersebut bertentangan dengan arah politik
hukum pertambangan yang dibangun.
Berdasarkan uraian di atas, menjadi sangat berasalan dan sudah pada
tempatnya jika permohonan Pemohon yang meminta agar Pasal 102 dan Pasal
103 UU Minerba dinyatakan inkonstitusional bersyarat (conditionally
unconstitutional) dikabulkan oleh Mahkamah.
Selanjutnya, yang ketiga, terkait pemahaman dan penafsiran
Pemerintah bahwa tenggat akhir pelaksanaan kewajiban melakukan pemurnian
hasil penambangan sebagaimana diatur dalam Pasal 103 UU Minerba,
selambat-lambatnya 5 (lima) tahun. Tenggat waktu dimaksud diberlakukan bagi
semua pemegang IUP, termasuk Pemohon. Di mana, tenggat lima tahun sejak
UU Minerba disahkan jatuh pada tanggal 12 Januari 2014.
Dalam UU Minerba, tidak diatur batas akhir pelaksanaan pemurnian oleh
pemegang IUP sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 103. Ketentuan
tenggat akhir hanya ditemukan bagi pemegang Kontrak Karya sebagaimana
diatur dalam Ketentuan Peralihan UU Minerba, yaitu dalam Pasal 170. Pasal
170 UU Minerba menyatakan:
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
41
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang
sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Dalam ketentuan di atas, subjek hukum yang dikenai pembatasan waktu
adalah Pemegang Kontrak Karya. Di mana setiap pemegang kontrak karya
pertambangan yang sudah beroperasi harus memenuhi kewajiban melakukan
pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Ketentuan Peralihan tersebut
hanya berlaku bagi pemegang kontrak karya, tidak bagi pemegang IUP.
Sekiranya dilihat dari aspek ilmu perundang-undangan, Ketentuan
Peralihan merupakan ketentuan yang memuat penyesuaian pengaturan
tindakan atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Undang-Undang
yang lama dengan keadaan baru berdasarkan Undang-Undang yang baru.
Aturan peralihan ditujukan untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum,
menjamin kepastian hukum, memberikan perlindungan hukum dan mengatur
hal-hal yang bersifat transisional.
Dalam hal ini, yang terkena dampak transisi Undang-Undang adalah
pemegang Kontrak Karya. Sebab, Ketentuan Peralihan UU Minerba (yaitu:
Pasal 170) secara spesifik menentukan subjek pada masa peralihan dengan
menggunakan frasa “pemegang kontrak karya”. Berdasarkan norma tersebut,
hanya pemegang kontrak karya-lah yang dibebani kewajiban pemurnian dalam
waktu selambat-lambatnya lima tahun sejak UU Minerba disahkan.
Sedangkan dari aspek substansi, pemberian tenggat bagi pemegang
kontrak karya adalah dalam rangka mewujudkan asas kepentingan bangsa. Di
mana, bangsa Indonesia tidak hanya sekadar mendapatkan royalti penjualan
biji mineral, melainkan harus mendapat lebih. Oleh sebab itu, pemegang
kontrak karya wajib melakukan pemurnian di dalam negeri. Dengan harapan,
terdapat investasi baru di dalam negeri yang dapat memberikan multiplier effect
bagi bangsa Indonesia, baik dalam bentuk penambahan penerimaan negara,
pajak maupun tambahan lapangan pekerjaan.
Dengan batas waktu yang termuat dalam Ketentuan Peralihan UU
Minerba, Pemerintah harus bersikap tegas bagi setiap pemegang kontrak
karya. Pemegang Kontrak Karya yang kedapatan melanggar harus ditindak
atas pelanggaran yang terjadi. Segala negosiasi-negosiasi untuk menunda
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
42
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
pelaksanaan kewajiban tersebut harus ditolak. Sebab, waktu lima tahun sudah
cukup bagi mereka untuk menyediakan/membangun fasilitas smelter untuk
pengolahan dan pemurnian hasil penambangan. Selain itu, dengan telah
puluhan tahun mengeksploitasi sumber daya mineral Indonesia, secara
finansial hampir mustahil pemegang kontrak karya tak mampu menyediakan
fasilitas pengolahan dan pemurnian.
Konstruksi yuridis di atas semakin memperkuat petunjuk terkait
kekeliruan kebijakan Pemerintah yang memberlakukan pembatasan waktu bagi
pemegang Kontrak Karya kepada pemegang IUP. Seharusnya, Ketentuan
Peralihan diberlakukan secara tepat sesuai dengan substansi yang diinginkan
oleh norma itu sendiri.
Selanjutnya akan dijelaskan persoalan ini dalam perspektif hak
menguasai negara terhadap bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya. Mineral dan batubara merupakan bagian dari kekayaan alam yang
terkandung di dalam perut bumi Indonesia. Sehingga sumber daya alam
dimaksud berada di bawah penguasaan negara dan harus dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana termaktub dalam Pasal 33
UUD 1945. Pertanyaannya: bagaimana seharusnya pemerintah memosisikan
diri dalam penyelenggaraan pertambangan mineral sesuai dengan konsep hak
menguasai negara?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu akan
disinggung tentang makna hak menguasai negara dalam Pasal 33 UUD 1945.
Terkait hal itu, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 21-22/PUU-
V/2007 telah memberikan tafsir resmi atas makna frasa “dikuasai negara”
dalam Pasal 33 UUD 1945. Dalam putusan tersebut Mahkamah menyatakan:
“dikuasai oleh negara” mengandung pengertian bahwa rakyat secara
kolektif dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara
untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan
(bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan
pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk sebesar-besar kemakmur-an rakyat.
Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah
dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan
(vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie). Fungsi pengaturan
(regelendaad) oleh negara dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
43
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
bersama dengan Pemerintah dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). Fungsi
pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui pendayagunaan penguasaan
negara atas sumber-sumber kekayaan untuk digunakan bagi sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan (toezichthoudensdaad)
dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan
mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang
produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak
dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besar kemakmuran seluruh
rakyat. Dengan demikian, pengertian “dikuasai oleh negara” adalah lebih luas
daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata.
Keberadaan Pasal 102 UU Minerba yang mewajibkan pemegang IUP
melakukan peningkatan nilai tambah sumber daya mineral tentunya sejalan
dengan berbagai fungsi hak menguasai negara sesuai tafsir MK. Demikian pula
dengan pengendalian produksi dan ekpor, juga menjadi bagian dari kebijakan
yang harus diambil pemerintah dalam melaksanakan fungsi pengelolaan
sumber daya mineral. Dua kebijakan tersebut mesti diambil untuk menjaga
keterpenuhan kebutuhan mineral nasional.
Hanya saja, semua fungsi yang melekat pada hak menguasai negara
atas sumber daya mineral harus dijalankan secara adil agar maksud
pengelolaannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dapat diwujud-
kan. Pemerintah harus menghindar dari melahirkan kebijakan yang dapat
merugikan sebagian pihak yang telah diberi izin (licentie) berupa IUP, serta
berpeluang menguntungkan sebagian yang lain.
Terkait hal itu, kewajiban pengolahan dan pemurnian hasil penam-
bangan di dalam negeri sebagaimana diamanatkan Pasal 103 UU Minerba
harus dibaca, ditafsirkan dan diimplementasikan secara proporsional. Jika
tidak, norma tersebut sangat mungkin menyebabkan mati atau bangkrutnya
pemegang IUP berskala kecil dan menengah nasional. Hal itu sangat mungkin
terjadi jika mereka harus dibebani kewajiban menyediakan fasilitas pengolahan
dan pemurnian (smelter) sendiri atau wajib memurnikan hasil penambangannya
dengan menggunakan fasilitas IUP dan IUPK lainnya.
Pilihan menyediakan fasilitas smelter sendiri berimplikasi terhadap
keharusan menyediakan dana dalam jumlah besar. Tentunya pilihan ini sulit
diambil pelaku usaha tambang nasional berskala kecil dan menengah.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
44
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Sedangkan pilihan memurnikan hasil penambangan menggunakan fasilitas
pemegang IUP dan IUPK yang lain membuka ruang terjadinya monopoli oleh
pemegang IUP maupun Kontrak Karya bermodal besar, yang bagi mereka,
penyediaan smelter tidaklah terlalu sulit.
Sehubungan dengan itu, juga harus diingat, mayoritas perusahan-
perusahan pertambangan bermodal besar adalah milik asing. Pada saat
fasilitas pengelolaan dan pemurnian hasil penambangan hanya baru mampu
dibangun oleh mereka, lalu Pemerintah dalam waktu singkat juga membebani
setiap pemegang IUP (termasuk skala kecil dan menengah) memurnikan hasil
penambangan di dalam negeri, maka yang amat mungkin terjadi, semua hasil
penambangan hanya dapat dilakukan perusahaan-perusahan asing. Pada saat
bersamaan, hal tersebut termasuk membuka ruang terjadinya monopoli dalam
penjualan hasil tambang yang telah dimurnikan ke luar negeri (ekspor). Dengan
begitu, paling tidak pemegang kontrak karya (perusahaan asing) akan berperan
besar dalam mengendalikan ketersediaan sumber daya mineral Indonesia.
Untuk menghindari itu, kewajiban pengelolaan dan pemurnian hasil
tambang harus diimplementasikan secara proporsional. Di mana, pemegang
Kontrak Karya wajib memenuhi kewajiban menyediakan fasilitas smelter dalam
jangka waktu lima tahun sejak UU Minerba disahkan. Sedangkan bagi
pemegang IUP lainnya (terutama perusahaan pertambangan nasional yang
masih sedang berkembang), pemerintah harus memberikan waktu yang cukup
bagi mereka untuk memiliki kemampuan guna membangun fasilitas pemurnian,
baik sendiri-sendiri maupun konsorsium. Sebab, sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, waktu lima tahun hanya diperuntukkan bagi pemegang Kontrak
Karya. Sedangkan bagi pemegang IPU, Pemerintah –untuk tujuan memberikan
pembinaan dan pengembangan perusahan-perusahaan pertambangan
nasional– mesti memberikan waktu yang lebih panjang. Lagi pula, kelonggaran
waktu yang diberikan kepada pemegang IUP tidak akan menyebabkan
pemerintah dituntut atas tuduhan melanggar UU Minerba. Sebab, Pasal 170
UU Minerba yang menjadi dasar pembatasan waktu hanya mengikat bagi
pemegang Kontrak Karya, tidak bagi pemegang IUP.
Selain itu, sikap dan kebijakan proporsional terkait penafsiran Pasal 102
dan 103 UU Minerba sangat dituntut dalam hal mengatur lebih lanjut pemegang
IUP berskala kecil dan menengah yang berorientasi ekspor. Dalam hal ini,
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
45
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
dengan keterbatasan yang dimiliki, beberapa pemegang IUP hanya
berorientasi menjual biji mineral. Atas dasar UU Minerba tidak melarang ekpor
biji mineral, pemerintah seyogianya memberi ruang bagi pemegang IUP skala
kecil dan menengah secara proporsional pula. Untuk itu, yang harus diterapkan
adalah kebijakan pengendalian ekspor, bukan pelarangan ekspor. Di mana,
langkah itu juga diiring dengan stimulus dan intervensi pemerintah untuk
membangun fasilitas smelter. Setidaknya, langkah intervensi dimaksud dapat
melindungi sekaligus membantu perusahaan tambang nasional untuk
meningkatkan nilai tambah hasil pertambangannya.
Dengan begitu, perlakuan berbeda mesti diambil pemerintah atas
pemegang IUP dan Kontrak Karya yang memiliki level dan kemampuan yang
juga berbeda. Pemerintah tidak dapat menafsirkan dan menerapkan Pasal 102
dan 103 secara sewenang-wenang dengan memukul rata semua pegang IUP
tanpa melihat skala pengusahaan pertambangan yang mereka miliki. Di sinilah
sebetulnya keadilan pemerintah dituntut dan diperlukan.
Lagi pula, sudah seharusnya pemerintah memberikan sedikit ruang dan
kelonggaran bagi perusahaan-perusahaan nasional pemegang IUP bila
dibanding pemegang Kontrak Karya. Kebijakan begitu setidaknya ditujukan
untuk memperkuat penguasaan dan pengelolaan aset-aset nasional oleh anak
bangsa sendiri. Langkah itu merupakan salah satu esensi dari pelaksanaan hak
menguasai negara sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945.
Apapun penilaian Mahkamah terkait permohonan yang diajukan
Pemohon, hal paling penting untuk dipertimbangkan adalah bagaimana
pengelolaan sumber daya alam nasional tetap dapat dikelola oleh anak bangsa
sendiri dan dipergunakan juga untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Jangan sampai kebijakan pengelolaan sumber daya mineral seolah-olah
berlatar belakang kepentingan nasional, tetapi dibaliknya membonceng agenda
memperkuat cengkraman kuku asing dalam pengelolaan dan pemurnian hasil
penambangan mineral Indonesia.
Oleh karena itu, perlakuan berbeda antara pemegang Kontrak Karya
dengan pemegang IUP (terutama perusahan nasional) harus diambil. Jangan
sampai pemerintah memperlakukan orang/pelaku usaha tambang yang beda
level secara sama. Sebab, hal itu akan menjadi ladang berseminya
ketidakadilan dalam dunia pertambangan. Selain itu pula, memperlakukan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
46
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
pemegang IUP dan kontrak karya secara sama justru semakin memperkuat
peran asing dalam pengelolaan dan pemurnian hasil penambangan mineral.
Dengan semangat itulah kiranya, keseimbangan kepentingan pengelolaan
aset-aset nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan
kepentingan membina berbagai usaha nasional yang dikndalikan anak-anak
bangsa dapat dijaga.
Sesuai semua paparan di atas, guna meluruskan tafsir Pasal 102 dan
Pasal 103 UU Minerba yang digunakan Pemerintah saat ini, sudah selayaknya
Mahkamah memberikan tafsir yang sesuai dengan politik hukum lahirnya UU
Minerba. Di mana, ketentuan tersebut tidak dapat diartikan sebagai larangan
menjual bijih mineral ke luar negeri melainkan hanya kewajiban untuk mela-
kukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, yang dalam pelaksana-
annya juga harus dilakukan secara adil dan berkepastian hukum oleh
pemerintah.
2. Dr. Faisal Basri
• Ahli menjelaskan terkait dengan peran negara untuk memajukan
perekonomian lewat penguatan industri dan peningkatan nilai tambah
nasional;
• Menurut ahli pengaturan bisa berbentuk pengaturan produksi atau
pengendalian produksi dan pengaturan ekspor dan bukan larangan
terhadap kegiatan produksi. Pengaturan ekspor bisa dengan menerpakan
pajak ekspor atau bea keluar;
• Jika keadaan memaksa bisa melakukan pembatasan kuota ekspor, jadi
ekspor dibatasi untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dalam negeri;
• Larangan ekspor menyebabkan produksi terhenti karena belum ada industri
pengolah bauksit, jadi membuat jeda produksi karena tidak ada yang
menampung hasil produksinya;
• Pengusaha bagaimanapun juga harus dipandang sebagai mahluk ekonomi
yang memilih berinvestasi di bidang usaha tertentu berdasarkan
pertimbangan memperoleh keuntungan berdasarkan kompetensi yang
dimilikinya. Pengusaha juga melakukan kegiatan produksinya dan menjual
hasilnya jika ada pasar;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
47
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
• Di Indonesia menjadi aneh karena tiba-tiba tidak ada pasar untuk bauksit
dan nikel akibat larangan ekspor seraya belum ada yang bisa menampung
produksi di dalam negeri, hal ini merupakan bentuk kebijakan yang tidak
bisa dipertanggungjawabkan secara ekonomi dan bertentangan dengan
semangat UU 4/2009;
• Sebagai contoh ketidakpastian itu bahwa Undang-Undang tidak
menyatakan satu kata pun tentang larangan ekspor, namun PP 23/2010
yang keluar setahun kemudian memegang IUP operasi produksi dan IUPK
operasi produksi dapat melakukan ekspor mineral dan batu bara yang
diproduksi setelah terpenuhinya kebutuhan batu bara dan mineral dalam
negeri sesuai dengan yang dimaksud dalam Pasal 1;
• Menurut ahli bahwa PP belum sesat, tetapi Permen 7/2012 mulai sesat
karena melarang ekspor bijih paling lambat 3 bulan sejak berlakunya
peraturan menteri ini;
• Namun setelah dilakukan judicial review ke Mahkamah Agung maka
kebijakan berubah lagi melalui Permen 11/2012 yang mengizinkan ekspor
asal dapat rekomendasi. Jika keadaan regulasi seperti ini maka tidak akan
ada pengusahan yang mau berinvestasi di Indonesia, karena regulasi dapat
berubah-ubah dengan sangat cepat;
• Ahli mengajukan data bahwa dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2013
terjadi penurunan ekspor dalam volume bauksit, karena tidak ada
penggunaan dalam negeri maka produksi bauksit sama dengan produksi
ekspor dan telah terjadi penurunan dari awal sekitar 40 koma sekian
menjadi 29 koma sekian, hal ini diakibatkan oleh Permen tentang
pelarangan ekspor tersebut, efek dari diberlakukan Permen tersebut sangat
luar biasa;
• Sekarang tiba-tiba sebesar 50.000.000 ton pada tahun 2013 tidak ada sama
sekali. Padahal 55,1 juta ton itu dihasilkan oleh beberapa ribu pengusaha,
beberapa puluh ribu buruh yang tiba-tiba usaha mereka hilang dan merugi
akibat investasi yang telah ditanamkan;
• Jika dibandingkan antara kegiatan tambang dan kegiatan sawit, mengapa
kegiatan sawit mau membangun pengolahan, sedangkan perusahaan
tambang tidak mau membuat pengolahan?;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
48
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
• Skala pengolahan sawit relatif lebih kecil, tidak padat modal dan tidak padat
teknologi juga, sedangkan perusahaan tambang skala pengolahannya relatif
besar, padat modal dan teknologi;
• Oleh karena itu kegiatan tambang sangat sulit dilakukan tanpa bantuan
Pemerintah. Pemerintah di Cina membantu pengusaha tambang dengan
cara menyediakan listrik murah, menyediakan jalan, membangun jalan,
membangun pelabuhan yang menunjang untuk fasilitas
pengolahan/smelter;
• Larangan ekspor merupakan kebijakan yang inferior. Kebijakan
perdagangan luar negeri yang lebih superior bagi peningkatan
kesejahteraan nasional atau first based solution adalah kebijakan yang
berdasarkan mekanisme harga ketimbang non price mechanism, seperti
kuota atau larangan ekspor;
• Larangan ekspor berpotensi besar menimbulkan praktik perburuan rente
dan memperburuk struktur pasar seperti yang terjadi pada kasus daging
sapi, kasus gula dan bawang putih;
• Untuk kasus larangan ekspor bauksit yang secara otomatis menghentikan
produksi karena belum ada pabrik pengolahan atau pabrik alumina, maka
pihak yang serta merta diuntungkan adalah pedagang bauksit dunia, hal ini
disebabkan karena tiba-tiba 55,1 juta ton pasokan bauksit dari Indonesia
menghilang dari pasar dunia dan harga melonjak dan menguntungkan
pedagang dunia;
• Lebih lanjut pedagang internasional ini bekerja sama dengan pengusaha
Indonesia untuk membangun pabrik alumina di Indonesia, seperti yang
direncanakan oleh investor Rusia, Rusia yang akan bekerja sama dengan
Ketua Umum Kadin. Oleh karena itu modal untuk membangun pabrik
pengolahan datang dari luar yang dikucurkan oleh kebijakan Pemerintah
Indonesia;
• Adanya pabrik baru pun tidak serta merta dapat mengolah seluruh produksi
bauksit di Indonesia, satu pabrik akan mampu mengolah sekitar 3,6% dari
tingkat produksi bauksit Indonesia tahun 2013;
• Sebagai perbandingan Australia yang termasuk negara maju pun tetap
melakukan ekspor bauksit meskipun telah memiliki alumina dan alumunium.
Pemerintah memberikan pilihan kepada rakyatnya, jika alumina lebih
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
49
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
menguntungkan maka silahkan bangun alumina dan pemerintah Australia
menyediakan fasilitas yang seharusnya memang disediakan oleh negara.
3. Simon F. Sembiring, Ph.D
A. Pendahuluan Implementasi dari UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara, sebagai pengganti UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Pokok-Pokok Pertambangan baik berupa “aturan pelaksanannya” melalui
Peraturan Pemerintah (PP) maupun Peraturan Menteri (Permen), ternyata
memberikan “produk hukum yang tidak selaras dengan UU nya sendiri”,
sehingga menimbulkan implementasi “pengelolaan pertambangan nasional Indonesia “ tidak lagi konsisten dengan asas UU Nomor 4, yaitu: manfaat, keadilan dan kesinambungan; keberpihakan kepada kepentingan bangsa; partisipatif, transparansi dan akuntabilitas serta berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Pasal 2). Hal ini telah “menodai” salah satu tujuan utama pengelolaan mineral dan batubara, yaitu “Menjamin kepastian hukum dalam pemyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara”, yang dinyatakan dalam Pasal 3 f.
B. Penguasaan Mineral dan Batubara. Sesuai dengan jiwa Pasal 33 UUD 1945, maka implementasi “penguasaan
mineral dan batubara” dalam UU Nomor 4/2009 ini diatur pada Bab III
melalui Pasal 4 dan Pasal 5. Pasal 4 jelas menyatakan bahwa mineral dan batubara merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara, dan penguasannya diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Kemudian Pasal 5 menyatakan bahwa: Demi kepentingan nasional, Pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR RI dapat menetapkan kebijakan pengutamaan mineral/batubara untuk kepentingan dalam negeri. Hal ini dapat dilakukan melalui mekanisme pengendalian produksi dan ekspor, dan Pemerintah berwewenang
menetapkan jumlah produksi setiap provinsi dan Pemerintah daerah wajib
mematuhi ketentuan jumlah produksi dimaksud.
Pengaturan lebih lanjut dari Pasal 5 ini ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah (PP) sehingga jelas mekanisme penetapan kebijakan tersebut
serta, jenis mineral, dan kualitas batubara yang bagaimana yang
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
50
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
digolongkan ataupun dikategorikan sebagai “pengutamaan untuk
kepentingan dalam negeri”.
Oleh karena pengusaan mineral dan batubara diselenggarakan oleh
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah, maka perizinan, bimbingan,
pengawasan dan pembinaan pengembangan usaha pertambangan
dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah dengan
kewenangan yang jelas serta adanya koordinasi yang jelas pula.
Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan ketentuan penetapan
“kewenangan” antara Pemerintah dan pemerintah daerah dalam
pengelolaan mineral dan batubara nasional sebagaimana pada Pasal 6,
Pasal 7, dan Pasal 8, jelas terlihat adanya jalinan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang jelas dan sekaligus merupakan kaitan yang
sangat erat dengan pelaksanaan “otonomi daerah” di sub sektor
pertambangan.
C. Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Izin Usaha Pertambangan (IUP) dapat diberikan baik oleh Pemerintah,
Provinsi, Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
Bagi setiap pemegang IUP eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP
Produksi sepanjang semua persyaratan/kewajiabnnya dipenuhi
sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku (Pasal 46).
IUP operasi produksi pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam
jangka waktu paling lama 20 tahun dan dapat pula diperpanjang 2 kali,
masing-masing 10 tahun. Oleh karena itu apabila suatu badan hukum telah
memperoleh IUP operasi produksi dari Pemerintah/pemerintah daerah,
maka semua persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan perundangan
dianggap telah terpenuhi. Pertanyaannya, apakah pada saat IUP operasi
produksi diterbitkan, sudah dicantumkan bahwa pada Januari 2014, tidak
diperkenankan lagi untuk mengekspor hasil produksinya berupa mineral?
Demikian juga terhadap Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), yang
pada kenyataannya sampai sekarang sebenarnya belum ada, karena areal
operasinya terletak pada “wilayah pencadangan Negara (WPN)” yang
sampai saat ini belum ditetapkan sebagaimana diamanhkan dalam UU
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
51
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Nomor 4/2009, tentu perlakuannya sama dengan IUP. Perbedaannya
adalah bahwa IUPK diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
D. Hak dan Kewajiban IUP dan IUPK
Pada Pasal 92 UU Nomor 4/2009 disebut bahwa “Pemegang IUP dan IUPK
berhak memiliki mineral, termasuk mineral ikutannya, atau batubara yang telah diproduksi apabila telah memenuhi iuran esplorasi atau iuran produksi kecuali mineral ikutan radioaktif.
Ketentuan ini menjamin adanya kebebasan bagi pemegang IUP/IUPK
produksi, setelah membayar iuran produksinya (royalty) untuk memiliki dan
memperdagangkan hasil mineral yang telah diproduksinya. Hak ini terjadi
secara hukum, karena dengan membayar royalty, maka telah terjadi
pemindahan kepemilikan dari negara kepada pemegang IUP/IUPK,
sehingga demi hukum pula pemegang IUP/IUP otomatis mempunyai hak
untuk memperdagangkan mineral tersebut, termasuk untuk
mengekspornya. Pasal 102 UU Nomor 4/2009 mewajibkan pemegang IUP dan IUPK
meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam
pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian serta pemanfaatan
mineral dan batubara. Pada Pasal 103 dinyatakan bahwa “Pemegang IUP dan IUPK operasi produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri; Pemegang IUP dan IUPK ini dapat mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari IUP dan IUPK lainnya”
Hal ini berarti bahwa IUP dan IUPK operasi produksi dapat menjual
produksi mineralnya kepada pemegang IUP/IUPK yang mempunyai unit
pengolahan maupun pemurnian yang kapasitasnya masih memadai. Dalam
industri pertambangan hubungan seperti ini bisa ditempuh melalui 2 jalur
yaitu: Pertama yang punya fasilitas pengolahan dan pemurnian memberi
jasa kepada yang tidak mempunyai pengolahan dan pemurnian atau Kedua,
bisa juga IUP/IUPK menjual mineralnya langsung kepada pihak yang
mempunyai fasilitas pengolahan dan pemurnian.
Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah serta pengolahan
dan pemurnian diatur dengan PP.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
52
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
E. Ulasan Melihat Pasal 5 dan Pasal 102 serta Pasal 103 UU Nomor 4/2009 di atas,
yang pelaksanaannya diatur kemudian dalam PP, maka diharapkan bahwa
PP nya seharusnya sinkron satu sama lain, sehingga memberikan
adanya suatu kepastian hukum atas pengendalian produksi dan ekspor
disatu pihak serta kewajiban mengolah dan memurnikan produk mineral
didalam negeri dipihak lain, guna mencapai nilai tambah bagi peningkatan
perekonomian nasioanl. Tujuan ini sangat baik dan perlu didukung oleh
setiap pihak dalam pengelolaan pertambangan nasional.
Dalam PP Nomor 23/2010 tentang pelaksanaan kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara ternyata pengaturan pasal-2 dimaksud
di atas tidak sinkron. Pasal 84 menyatakan bahwa Pemegang IUP dan IUPK Produksi harus mengutamakan kebutuhan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri; Menteri menetapkan
kebutuhan dimaksud yang meliputi kebutuhan untuk industri pengolahan
dan pemakaian langsung didalam negeri; Pemegang IUP da IUPK Produksi dapat melakukan ekspor mineral atau batubara yang diproduksi setelah terpenuhinya kebutuhan dalam negeri; Ketentuan
mengenai tata cara pengutamaan kebutuhan mineral dan batubara untuk
kepentingan dalam negeri diatur dalam Peraturan Menteri. Pada Pasal 85, PP Nomor 23/2010 dinyatakan bahwa Pemegang IUP produksi yang mengekspor mineral dan/atau batubara yang diproduksi wajib berpedoman pada harga patokan yang ditetapkan oleh Menteri dalam hal logam dan batubara, oleh Gubernur atau Bupati/walikota sesuai kewenagannya untuk mineral bukan logam dan batuan. Harga
patokan ditentukan berdasarkan mekanisme pasar serta ketentuan lebih
lanjut tata cara penetapan harga patokan diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 112 PP Nomor 23/2010 juncto Pasal 112C ayat (4) PP Nomor 1
Tahun 2014 menyatakan bahwa Pemegang IUP Produksi yang melakukan penambangan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pengolahan dapat melakukan penjualan keluar negeri dalam jumlah tertentu. Hal ini mengandung pengertian bahwa bagi pemegang IUP
Produksi yang menambang mineral logam yang belum melakukan
pengolahan “tidak dapat melakukan penjualan keluar negeri (ekspor)?
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
53
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
PP Nomor 1 Tahun 2014 (Perubahan kedua atas PP Nomor 23 Tahun 2010) sangat bertentangan dengan Pasal 84 dan Pasal 85 PP Nomor 23/2014, bahkan UU Minerba itu sendiri, dimana tidak ada satu
Pasal/ayat yang menyatakan “larangan ekspor terhadap mineral”.
Demikian juga turunan dari PP Nomor 1. Tahun 2014 berupa Permen
ESDM Nomor 1 Tahun 2014 Pasal 12 ayat (3) yang menyatakan bahwa bagi IUP Produksi yang sudah mengolah dalam batas tertentu dapat melakukan penjualan keluar negeri dalam batas tertentu. Dari Pasal 84, Pasal 85 PP Nomor 23/2010 dan Pasal 112C PP Nomor
1/2014 yang sama-sama berlaku telah menunjukkan ketidak pastian hukum,
sehingga terlihat bahwa implementasi UU Nomor 4/2009 ini baik berupa PP
dan Permen sebagai aturan pelaksanaannya telah “kehilangan arah”. Oleh karena itu, sebaiknya produk hukum PP dan Permen ini harus dikembalikan kepada induknya UU Nomor 4/2014, yaitu: • Tidak ada satu Pasal maupun ayat yang menyatakan adanya larangan
ekpor bagi produksi mineral maupun batubara oleh pemegang IUP
maupun IUPK;
• Melakukan pengolahan dan pemurnian bagi IUP dan IUPK produksi adalah merupakan Pasal “kewajiban”, sehingga jelas ditetapkan dalam
Pasal 151 bahwa bagi IUP IUPR dan IUPK yang tidak melakukan kewajibannya (termasuk Pasal 102 dan Pasal 103) diberikan “Sanksi Admisnistratif” berupa: peringatan tertulis; penghentian sementara
sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasasi produksi
dan/atau; pencabutan IUP, IPR atau IUPK.
F. Kesimpulan UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tidak ada satu pasal maupun ayat yang “melarang” ekspor mineral dan batubara. 1. Pasal 102 dan Pasal 103 seharusnya tidak dikaitkan dengan “larangan
ekspor”, tetapi harus dijabarkan secara rinci dalam PP mengenai
tahapan, kondisi-kondisi yang diberikan oleh Pemerintah,
jumlah/kapasitas unit pengolahan dan pemurnian yang cukup bagi
komoditi mineral logam dengan mempertimbangkan “konservasi”,
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
54
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
besaran cadangan dan potensinya serta lokasi pembangunan unit
pengolahan dan pemurnian. 2. Guna kepentingan nasional, maka apabila bermaksud
mengendalikan Produksi dan ekspor, seharusnya menggunakan Pasal 5 UU Nomor 4/2009, dan PP 23/2010 Pasal 84 dan Pasal 85, tidak ada relevansinya dengan Pasal 102 dan 103 UU Nomor 4/2009 yang mewajibkan pengolahan dan pemurnian.
3. Bagi IUP dan IUPK yang tidak melakukan kewajibannya sebagaimana
pada Pasal 102 dan 103, seharusnya dikenakan “Sanksi Administratif” sesuai dengan Pasal 151 UU Nomor 4/2009. Dengan demikian
pelaksanaan Undang-Undang ini konsisten, dan tidak menyimpang dari
asas seperti partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas dan tujuannya, antara lain menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.
4. Dr. Ir. Arif S. Siregar
• Waktu yang diberikan oleh UU 4/2009 mengenai keharusan untuk
mengolah dan memurnikan hasil tambang demi peningkatan nilai tambah
adalah tidak cukup;
• Beberapa kondisi riil yang perlu dipahami sebelum melangkah pada
pengolahan dan pemurnian di dalam negeri adalah pertama, tidak semua
mineral harus diolah dan dimurnikan, sehingga kewajiban untuk mengolah
dan memurnikan tidak dapat diterapkan pada setiap galian tambang karena
setiap mineral memiliki sifat kondisi fisik dan karakteristik yang berbeda satu
sama lain, selain itu penggunaan akhir dari masing-masing bahan tambang
serta permintaan pasar harus dipertimbangkan;
• Kebijakan terkait pengolahan dan pemurnian sebaiknya diatur tersendiri
dalam kebijakan mineral nasional (mineral policy), karena sampai saat ini
Indonesia belum memiliki kebijakan mineral yang jelas;
• Di dalam mineral policy tersebut nantinya akan diperjelas beberapa aspek
yang terkait langsung dengan program nilai tambah, seperti jumlah
cadangan mineral, sumber daya manusia, modal teknologi dan sebaginya;
• Ahli menyarankan pengklasifikasian mineral yang dapat dimasukkan ke
dalam Indonesian Mineral Policy sebagai berikut: Pertama, beberapa
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
55
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
mineral unggulan yaitu mineral yang sifatnya strategis dan vital bagi negara,
apabila kondisinya memungkinkan mineral jenis ini dapat diolah dan/atau
dimurnikan di dalam negeri. Mineral jenis ini yang umum di Indonesia
adalah emas, perak, timah, bauksit, besi, nikel dan sebagainya;
• Beberapa mineral tersebut saat ini telah mencapai tahap hingga pemurnian
seperti emas, sedangkan yang lainnya disarankan untuk dilakukan
pengolahan/pemurnian secara bertahap sesuai dengan perekonomian
kondisi pasar saat ini;
• Kedua, mineral non unggulan atau sekunder yaitu mineral yang kewajiban
pengolahannya bersifat tentatif atau kondisional sesuai dengan kondisi
teknologi dan perekonomian yang ada saat ini. Sebagai contoh mineral
sekunder di Indonesia adalah kromium, molibdenum, zinc, timbal, dan
mangan;
• Ketiga, mineral tersier yaitu jenis mineral yang secara ekonomi dan
teknologi ada peningkatan nilai tambahnya tidak harus dalam bentuk logam
atau murni karena kondisi pasarnya saat ini memang tidak membutuhkan
produk dalam bentuk murni, misalnya granit, kaolin, limestone, zirkonia,
dolomit, silika dan sebaginya;
• Beberapa aspek penting yang harus dipertimbangkan dalam pengolahan
dan pemurnian yang utama adalah ketersediaan jumlah cadangan dan/atau
jumlah pasokan bahan baku;
• Ada beberapa mineral di Indonesia saat ini yang diperkirakan kalau
membangun yang memadai ukurannya tidak akan mencukupi sampai
pengembalian modal kembali sehingga harus diperhitungkan karena syarat
utama dalam membangun pengolahan dan pemurnian mineral menjadi
produk akhir adalah kepastian pasokan bahan baku atau umpan yang
cukup;
• Pabrik pengolahan membutuhkan dana besar dan umumnya memiliki umur
pabrik dalam jangka panjang, pengembalian investasi yang sangat panjang,
biasanya lebih dari 20 tahun yang mana pabrik pun harus berproduksi
secara berkesinambungan selama periode tersebut, jaminan bahan baku
(feed stock security) kira-kira dua kali masa pengembalian merupakan salah
satu syarat utama untuk mendapatkan bankable feasibility study;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
56
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
• Dari segi investasi, ahli berpendapat bahwa investasi pengolahan umumnya
merupakan investasi yang padat modal. Sebagai contoh investasi untuk
pabrik peleburan dan pemurnian tembaga dengan kapasitas kira-kira
200.000 ton katoda per tahun investasinya diperlukan kira-kira US $800 juta
sampai dengan US $1 miliar. Pabrik alumina dengan kapasitas 1.000.000
ton alumina membutuhkan investasi kira-kira US $600 juta sampai US $800
juta. Pabrik ferronickel membutuhkan investasi US $600 juta sampai US
$700 juta untuk kapasitas 20.000 ton;
• Tingginya biaya investasi ini dalam jangka waktu pengembalian investasi
yang sangat lama tentu menuntut kepastian hukum yang jelas sampai
pengembalian modalnya tercapai. Hal ini yang menyebabkan hanya pemilik
modal besar yang mampu melaksanakan pengolahan dan pemurnian
tersebut karena sumber pendanaan menjadi faktor utama yang perlu
dipersiapkan dengan baik di depan;
• Sumber pendanaan dalam negeri rasanya sangat sulit diharapkan untuk
investasi besar dan dengan resiko besar di industri pertambangan,
akibatnya pendanaannya akan datang dari luar negeri yang tentu akan
diberikan ke orang luar negeri juga;
• Kondisi dan kebutuhan pasar baik domestik maupun internasional perlu
dipertimbangkan. Analisis permintaan pasar baik jangka pendek maupun
jangka panjang merupakan hal yang penting dipelajari sebelum melakukan
investasi di industri pertambangan;
• Produk akhir dari suatu kegiatan pengolahan dan atau pemurnian mineral
harus disesuaikan dengan kondisi dan permintaan pasar, termasuk regulasi
yang ada di negara tujuan ekspor;
• Pasar mineral internasional juga tidak terlepas dari adanya sistem kartel
yang menguasai perdagangan global, hal ini berhubungan erat dengan
perjanjian kontrak beli jangka tertentu antara pembeli dan pemasok
terutama menyangkut sustainability dan reliability supply;
• Di Indonesia belum diterapkan pengolahan yang penggunaan energinya
relatif kecil, misalnya peleburan bijih nikel menjadi nikel pig iron, yang mana
nikel pig iron ini adalah produk nikel yang paling rendah kualitasnya namun
masih dapat dijual untuk ekspor;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
57
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
• Masing-masing mineral memiliki sifat fisik dan sifat kimia yang berbeda
beda, termasuk kadar, berat jenis, titik lebur, titik leleh dan sebagainya
sehingga perlakuan terhadap mineral-mineral tersebut dalam kegiatan
proses pengolahannya tentu akan tidak sama. Sehingga misalnya bijih yang
berasal dari Halmahera tidak selalu dapat diolah oleh pabrik yang biasa
mengolah bijih yang berasal dari Sulawesi karena proses pengolahan akan
didesain spesifik untuk mengolah bahan baku tertentu sesuai dengan
kriteria yang telah ditentukan;
• Untuk pasokan bahan baku yang karakteristiknya berubah-ubah di dalam
proses pengolahannya akan membutuhkan penyesuaian atau adjustment
yang tentunya akan memerlukan waktu dan menyebabkan biaya tinggi,
selain itu perlu diperhitungkan juga terkait pengolahan limbah hasil
pengolahan mineral;
• Kesimpulan yang dapat diambil dari industri hilir pengolahan tambang
bahwa sangat sulitnya memaksakan pembangunan pengolahan dan
pemurnian hasil tambang terhadap penambangan yang ada saat ini di
Indonesia.
• Memaksakan pembangunan proses peleburan dalam negeri saat ini praktis
akan membunuh industri tambang yang sekarang ini baru berkembang
karena pertama, untuk membangun peleburan diperlukan modal yang
sangat besar dan umumnya penambang yang saat ini beroperasi di
Indonesia tidak memiliki dana sebesar itu;
• Kedua, peleburan hasil tambang adalah operasi temperatur tinggi
karenanya memerlukan energi listrik yang besar, sejauh ini tidak ada
penyedia listrik yang sanggup memasok listrik sebesar yang diperlukan,
kecuali dibangun oleh pelebur itu sendiri. Artinya pemerintah melalui PLN
sampai saat ini belum sanggup menyediakan listrik untuk industri hilir
pertambangan ini, pembangunan infrastruktur listrik ini akan memerlukan
tambahan biaya yang sangat besar dan waktu yang lama apalagi untuk
daerah yang jauh dari sumber bahan bakar pembangkit seperti batu bara,
gas dan lain-lain;
• Ketiga, peleburan bahan tambang sangat sensitif terhadap perubahan
karakteristik umpan karenanya diperlukan teknologi tinggi untuk mengontrol
proses peleburan tersebut, hal ini memerlukan study secara menyeluruh,
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
58
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
komprehensif terhadap karakteristik bijih umpan yang akan diolah dan tentu
akan membutuhkan biaya yang tinggi dan memakan waktu;
• Keempat, investor yang akan membangun proses peleburan akan terlebih
dahulu melihat peluang pasar dan akan mencari pembeli tetap untuk
menghindari kemungkinan rugi besar dalam operasinya terutama sebelum
pengembalian modal. Sementara itu harga komoditas logam itu bersifat
cycling, jadi ada kalanya naik dan adakalanya turun, oleh karenanya
investor akan mencari kontrak jangka panjang dengan formula harga
sedemikian rupa sehingga pada saat harga sedang turun, kerugian tidak
terlalu besar;
• Kelima, dalam membangun peleburan, investor mutlak harus
mempertimbangkan faktor lain seperti jumlah cadangan untuk periode
tertentu sampai pengembalian modal dicapai serta dampak lingkungan terkait dengan hasil sampingan dari peleburan tersebut.
[2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Presiden
memberi keterangan yang menguraikan sebagai berikut:
I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON
1. Menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba
sama sekali tidak mengandung ketentuan tentang larangan ekspor bijih (raw
material) namun faktanya melalui berbagai peraturan perundang-undangan
di bawah Undang-Undang. Pemerintah telah membuat kebijakan yang
melarang ekspor bijih. Sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945.
2. Menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba
sama sekali tidak mengandung ketentuan tentang larangan ekspor bijih,
namun Pemerintah memiliki pandangan yang berbeda dan cenderung
berubah-ubah padahal setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan oleh karenanya
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
3. Larangan ekspor bijih justru akan menyebabkan ratusan pengusaha
tambang berikut puluhan ribu karyawan akan kehilangan pekerjaan. Secara
Potensial hal ini akan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
59
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
4. Para Pemohon juga mengajukan permohonan sela agar pelaksanaan Pasal
102 dan Pasal 103 UU Minerba dihentikan.
II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON
Terhadap kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon, Pemerintah
dapat memberikan keterangan sebagai berikut:
Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa Pemohon adalah pihak yang
menganggap hak dan/atau kewajiban konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud
dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-
Undang Dasar 1945.
Dengan demikian, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai
Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam
permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
1945, maka terlebih dahulu harus membuktikan dan menjelaskan:
a. Kualifikasinya dalam permohanan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal
51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusinalnya dalam kualifikasi dimaksud
yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang diuji;
c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian danbatasan
secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
60
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
(1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (vide
Putusan Nomor 006/PUU-III/2005dan Putusan Nomor ll/PUU-V/2007), yang
harus memenuhi lima syarat yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan
oleh Undang-Undang Dasar 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat
khusus (spesifik) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan
tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Dengan demikian, Pemerintah perlu mempertanyakan kepentingan para
Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan diberlakukannya Pasal 102
dan Pasal 103 UU Minerba. Selain itu apakah terdapat kerugiankontitusional
Para Pemohon yang bersifat khusus (specific) dan aktual atau setidaknya
bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan
terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara
kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji.
Berdasarkan hal tersebut di atas, Pemerintah melalui Yang Mulia
Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, kiranya para Pemohon dapat
membuktikan terlebih dahulu apakah benar sebagai pihak yang dirugikan hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya atas berlakunya Undang-Undang
yang dimohonkan untuk diuji tersebut.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan
bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
61
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum.”
Kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 10
ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011.
Berdasarkan hal tersebut maka salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi
adalah mengadili dalam tingkat pertama dan tingkat terakhir uji materiil
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Menurut Pemerintah, para Pemohon kabur (obscuur) dalam menentukan objek
permohonannya. Dalam permohonannya para Pemohon seolah-olah
mendalilkan bahwa norma dari ketentuan Pasal 102 dan Pasal 103 UU
Minerba bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 namun dalam
positanya para Pemohon justru mendalilkan penerapan (implementasi) dari
Norma tersebut dengan menghubungkannya dengan Peraturan Pelaksana dari
UU Minerba yaitu Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen).
Sehingga anggapan para Pemohon bahwa ketentuan yang terkandung dalam
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2012
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, hal tersebut bukan
menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Namun demikian, apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
berpendapat lain terhadap penilaian apakah para Pemohon memenuhi
kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau
tidak, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi untuk memutuskannya.
III. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG DIMOHONKAN UNTUK DI UJI
A. Sebelum Pemerintah menjelaskan materi permohonan yang diuji oleh para Pemohon, disampaikan hal-hal sebagai berikut: Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa tujuan
pembentukan pemerintah Negara Indonesia adalah untuk melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selanjutnya Pasal 33 ayat (3)
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
62
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Oleh karena itu
seluruh kekayaan alam baik yang terdapat di dalam maupun di atas
permukaan wajib dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat, termasuk air.
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 01-021-022/PUU-I/2003
tentang Pengujian UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
tanggal 15 Desember 2004 memberikan penafsiran terhadap frase
“dikuasai negara” yang mencakup makna penguasaan oleh negara dalam
arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat
Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya”, termasuk pula didalamnya pengertian
kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan
yang dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh Undang-
Undang Dasar 1945 memberikan mandat kepada negara untuk melakukan
fungsinya dalam mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan
(bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad),
dan pengawasan (toezichthoudensdaad). Mengacu pada penafsiran
tersebut, maka segala kekayaan alam yang berada di bumi Indonesia itu
dikuasi oleh negara dan harus dikelola untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan rakyat.
Kondisi pengelolaan sumber daya alam, khususnya sumber daya mineral
di Indonesia saat ini sebagian besar diekspor masih dalam bentuk bahan
mentah, tanpa dilakukan pengolahan dan/atau pemurnian terlebih dahulu.
Di sisi lain, beberapa industri pengolahan yang menggunakan sumber
daya mineral sebagai bahan baku utama ataupun penunjang masih
merupakan produk impor. Kondisi tersebut mengakibatkan sumber daya
mineral tidak menghasilkan nilai tambah (value-added) secara langsung
sebagaimana yang diharapkan.
Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya mineral mesti dikaitkan
dengan sifatnya sebagai sumber daya alam yang tidak terbarukan (non-
renewable natural resources). Sebagai sumber daya alam yang tidak
tebarukan, berbagai jenis komoditas tambang mineral (logam) seperti
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
63
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
tembaga, emas, perak, nikel, timah, dan bauksit, cepat atau lambat akan
mengalami kelangkaan atau bahkan habis, sementara manfaat atas
sumberdaya mineral tersebut belum secara optimal dirasakan oleh
masyarakat Indonesia. Dalam kondisi yang demikian, upaya strategis yang
dapat dilakukan pemerintah diantaranya adalah mengatur dan
menjalankan secara konsisten kebijakan peningkatan nilai tambah mineral
di dalam negeri dengan mewajibkan perusahaan-perusahaan
pertambangan di Indonesia untuk melakukan kegiatan pengolahan dan
pemurnian mineral.
Pengaturan tentang kebijakan peningkatan nilai tambah melalui kegiatan
pengolahan dan pemurnian mineral dan batubara dalam Pasal 102 dan
Pasal 103 UU Minerba dan peraturan pelaksanaannya sangat diperlukan
mengingat kondisi pengelolaan sumber daya alam, khususnya sumber
daya mineral di Indonesia saat ini sebagian besar diekspor masih dalam
bentuk bahan mentah, tanpa dilakukan pengolahan dan/atau pemurnian
terlebih dahulu. Di sisi lain, beberapa industri pengolahan yang
menggunakan sumber daya mineral sebagai bahan baku utama ataupun
penunjang masih merupakan produk impor. Kondisi tersebut
mengakibatkan sumber daya mineral tidak menghasilkan nilai tambah
(value-added) secara langsung sebagaimana yang diharapkan. Dengan
adanya ketentuan yang mengatur kewajiban peningkatan nilai tambah bagi
pemegang IUP Operasi Produksi diharapkan dapat mengoptimalkan
pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia khususnya mineral dan
batubara sehingga dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 33 ayat
(3) Undang-Undang Dasar 1945.
Selain hal-hal tersebut di atas, Pemerintah dapat menyampaikan tujuan
dan pokok-pokok pikiran pengelolaan mineral dan batubara sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 3 UU Minerba, dimana tujuan pengelolaan mineral
dan batubara tidak lain adalah untuk:
1. Menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha
pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna dan berdaya saing;
2. Menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
64
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
3. Menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri;
4. Mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar
lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional dan internasional;
5. Meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara serta
menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besarnya kesejahteraan
rakyat; dan
6. Menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha
pertambangan mineral dan batubara.
B. Tanggapan Atas Pokok Perkara
Terhadap materi muatan yang dimohonkan untuk diuji oleh para Pemohon,
Pemerintah memberikan penjelasan sebagai berikut: Pasal 102 UU Minerba menyatakan sebagai berikut:
“Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya
mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan
dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara”.
ePasal 103 UU Minerba sebagai berikut:
(1) Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan
pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.
(2) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari pemegang
IUP dan IUPK lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 serta pengolahan dan
pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
peraturan pemerintah.
Oleh para Pemohon dianggap bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3),
Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945,
yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal 1 ayat (3):
“Negara Indonesia adalah negara hukum”
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
65
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Pasal 27 ayat (2):
“Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan”.
Pasal 28D ayat (1):
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum”.
Atas dalil-dalil/argumentasi/anggapan para Pemohon di atas, Pemerintah
menyampaikan penjelasan sebagai berikut:
1. Terhadap dalil-dalil/argumentasi/anggapan para Pemohon dalam
Permohonannya yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 102 dan
Pasal 103 UU Minerba sama sekali tidak mengandung ketentuan
tentang larangan ekspor, namun Pemerintah telah membuat kebijakan
turunan di bawah UU Minerba yang melarang ekspor bijih sehingga
bertentangan dengan prinsip negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 dan prinsip perlindungan pengakuan,
jaminan, dan perlindungan dan kepastian hukum dalam Pasal 28D ayat
(1) Undang-Undang Dasar 1945, Pemerintah memberikan penjelasan
sebagai berikut:
a. Dalil para Pemohon sebagaimana dimaksud pada angka 1 di atas
sangat keliru dan tidak berdasar mengingat tidak ada satupun
peraturan Pelaksanaan UU Minerba dalam bentuk Peraturan
Pemerintah maupun Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral yang menyebutkan tentang “larangan ekspor”. Sebagai
turunan atas Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba, Pemerintah
telah menerbitkan PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP Nomor 23
Tahun 2010) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 (PP Nomor 1 Tahun 2014). Dalam
PP Nomor 23 Tahun 2010, pengaturan lebih lanjut tentang
peningkatan nilai tambah diatur dalam Bab VIII Pasal 93 sampai
dengan Pasal 96.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
66
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
b. Dalam ketentuan Pasal 93 sampai dengan Pasal 96 PP Nomor 23
Tahun 2010 tidak ada satu kata pun yang menyatakan tentang
“larangan ekspor” sebagaimana dinyatakan oleh Para Pemohon.
Dalam Pasal 93 ayat (1) dan ayat (2) PP Nomor 23 Tahun 2010
tersebut justru mengatur bahwa kewajiban untuk melakukan
pengolahan dan pemurnian untuk meningkatkan nilai tambah
mineral yang diproduksi dapat dilksanakan secara langsung oleh
pemegang IUP Operasi Produksi ataupun melalui kerjasama antara
lain dengan pemegang IUP Operasi Produksi lainnya atau dengan
pemegang IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan
pemurnian. Dengan demikian jika pemegang IUP Operasi Produksi
tidak dapat atau tidak mampu membangun sarana/fasilitas
pengolahan dan pemurnian sendiri maka pemegang IUP Operasi
Produksi tersebut dapat bekerja sama dengan perusahaan lain yang
memiliki fasilitas pengolahan dan pemurnian dimaksud.
c. Selanjutnya untuk melaksanakan ketentuan UU Minerba dan PP
Nomor 23 Tahun 2010, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2012,
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11
Tahun 2012, dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral Nomor 20 Tahun 2013. Dalam perkembangannya,
Mahkamah Agung dalam Putusan Perkara Nomor 13 P/HUM/2012
tanggal 3 April 2013 telah membatalkan Peraturan Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral Nomor 07 Tahun 2012 sehingga
perubahannyapun menjadi tidak berlaku lagi. Dalam
perkembangannya, Pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 (PP Nomor 1 Tahun
2014) serta menerbitkan turunannya yakni Peraturan Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral Nomor 01 Tahun 2014 tentang
Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan
Pemurnian Mineral di Dalam Negeri (Permen ESDM Nomor 01
Tahun 2014). Dalam PP Nomor 1 Tahun 2014 maupun dalam
Permen ESDM Nomor 01 Tahun 2014 tidak juga dapat ditemukan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
67
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
ketentuan yang menyebut tentang “larangan ekspor” sebagaimana
didalilkan oleh para Pemohon.
d. Adapun materi yang diatur dalam PP Nomor 23 Tahun 2010, PP
Nomor 01 Tahun 2014, maupun dalam Permen ESDM Nomor 01
Tahun 2014 adalah pengaturan lebih lanjut tentang pelaksanaan
kewajiban kepada pemegang IUP Operasi Produksi untuk
melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri
dimana kegiatan penjualan mineral ke luar negeri (ekspor) dapat
dilakukan oleh pemegang IUP Operasi Produksi setelah pemegang
IUP Operasi Produksi tersebut melakukan kegiatan pengolahan dan
pemurnian di dalam negeri.
e. Pengaturan tentang kebijakan peningkatan nilai tambah melalui
kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral dan batubara dalam
Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba dan peraturan
pelaksanaannya sangat diperlukan mengingat kondisi pengelolaan
sumber daya alam, khususnya sumber daya mineral di Indonesia
saat ini sebagian besar diekspor masih dalam bentuk bahan mentah,
tanpa dilakukan pengolahan dan/atau pemurnian terlebih dahulu. Di
sisi lain, beberapa industri pengolahan yang menggunakan sumber
daya mineral sebagai bahan baku utama ataupun penunjang masih
merupakan produk impor. Kondisi tersebut mengakibatkan sumber
daya mineral tidak menghasilkan nilai tambah (value-added) secara
langsung sebagaimana yang diharapkan. Dengan adanya ketentuan
yang mengatur kewajiban peningkatan nilai tambah bagi pemegang
IUP Operasi Produksi diharapkan dapat mengoptimalkan
pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia khususnya mineral
dan batubara sehingga dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
f. Kegiatan penjualan bijih mineral mentah (raw material) untuk
beberapa komoditas tambang yang dipersoalkan oleh para
Pemohon, yakni bijih bauksit dan bijih nikel dapat digambarkan
melalui grafik sebagai berikut:
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
68
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
g. Melalui grafik di atas dapat dilihat bahwa kegiatan penjualan bijih
nikel, bijih bauksit, serta bijih besi ke luar negeri (ekspor) mengalami
lonjakan bahkan setelah tahun 2009 (setelah berlakunya UU
Minerba. Dengan adanya pengaturan kewajiban untuk meningkatkan
nilai tambah mineral di dalam negeri seharusnya laju ekspor mineral
mentah (raw material) menurun tapi yang terjadi justru sebaliknya
terjadi lonjakan ekspor yang luar biasa setelah berlakunya UU
Minerba.
h. Pengaturan kebijakaan tentang peningkatan nilai tambah mineral
dan batubara dalam Pasal 102 dan Pasal 103 UUMinerba sangat
penting dan telah sejalan dengan asas dan tujuan UU Minerba, yang antara lain “keberpihakan pada kepentingan bangsa”, dan
karenanya sejalan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
yang menyatakan bahwa:“Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
i. Seandainya pun benar dalil yang dikemukakan para Pemohon pada
halaman 12 angka 45 dan halaman 13 angka 47 permohonannya,
bahwa terdapat ketidaksesuaian norma peraturan pelaksanaan di
bawah Undang-Undang (Peraturan Pemerintah dan Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral) terhadap Pasal 102 dan
Pasal 103 UU Minerba, hal tersebut pun tidak dapat diuji di
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
69
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Mahkamah Konstitusi mengigat hal tersebut tidak terkait dengan
konstitusionalitas norma Undang-Undang terhadap norma Undang-
Undang Dasar 1945.
2. Terhadap dalil-dalil/argumentasi/anggapan para Pemohon dalam
Permohonannya yang menyatakan bahwa kebijakan peningkatan nilai
tambah dalam Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba yang menurut para
Pemohon ditafsirkan oleh Pemerintah sebagai “larangan ekspor” akan
menyebabkan ratusan pengusaha tambang dan puluhan ribu karyawan
perusahaan tambang akan kehilangan pekerjaan dan secara potensial
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Pemerintah
memberikan penjelasan sebagai berikut:
a. Pemerintah berpandangan bahwa kebijakan Peningkatan Nilai
Tambah dalam Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba dan peraturan
pelaksananya justu akan sangat bermanfaat dan akan menimbulkan
efek ganda (multiflyer effect) dari sisi ekonomi, antara lain
meningkatnya penerimaan negara serta meningkatnya lapangan
pekerjaan pada industri smelter di dalam negeri. Selain itu dengan
mempertimbangkan potensi logam di Indonesia, maka dengan
adanya kebijakan peningkatan nilai tambah melalui kewajiban untuk
melakukan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri
maka bijih/pasir besi, bijih tembaga, bauksit (aluminium), bijih nikel
dapat dijadikan bahan baku dasar yang strategis untuk menopang
industri stategis nasional yang berbasis mineral.
b. Pemutusan hubungan kerja (lay off) sebagaimana didalilkan oleh
Para Pemohon juga tidak akan terjadi apabila perusahaan tambang
sejak awal memiliki komitmen yang kuat untuk melaksanakan
kebijakan peningkatan nilai tambah melalui kegiatan pengolahan
dan pemurnian sebagaimana tertuang dalam Pasal 102 dan Pasal
103 UU Minerba dengan cara mendirikan fasilitas pengolahan dan
pemurnian (smelter) sendiri ataupun melalui skema kerjasama
dengan perusahaan lain yang memiliki fasilitas pengolahan dan
pemurnian.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
70
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah
memohon kepada yang Mulia Ketua/Mejelis Hakim Mahkamah Konstitusi
yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian (judicial
constitutional review) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai
berikut:
1. Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing);
2. Menolak permohonan pengujian para pemohon (void) seluruhnya atau
setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
4. Menyatakan Norma Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tidak
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 28D
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Presiden juga menambahkan keterangan tertulis sebagai berikut:
1) Sampai dengan saat ini, jumlah pemegang IUP Operasi Produksi mineral
logam sebanyak 700 perusahaan (Lampiran I) Dari jumlah tersebut,
perusahaan yang telah menandatangani Pakta Integritas untuk mendirikan
fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian (smelter) di dalam negeri adalah
sebanyak 252 perusahaan (Lampiran II).
Perusahaan yang menandatangani Pakta Integritas termasuk di dalamnya
adalah per ahaan pemegang IUP yang telah memiliki Eksportir Terdaftar dan
Surat Persetujuan Ekspor, artinya pada saat mereka berkomitmen untuk
membangun sendiri/bekerjasama dengan perusahaan lain untuk membangun
fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri, mereka telah
diberikan izin/kesempatan untuk mengekspor bahan mentah/ore sampai
dengan tanggal 12 Januari 2014.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
71
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
2) Pemerintah dapat memberikan informasi mengenai daerah-daerah penghasil
bijih sebagai berikut (Lampiran Ill):
a. Penghasil nikel paling besar adalah Sulawesi Tenggara, kemudian
Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan. Oleh sebab itu pengekspor
utama adalah tiga provinsi itu di Pulau Sulawesi kemudian terdapat pula di
Maluku Utara dan Papua Barat.
b. Daerah penghasil tembaga terdapat di Papua, Sulawesi Utara dan Nusa
Tenggara Barat,
c. Daerah penghasil pasir besi berada dl sepanjang Pantal Selatan Pulau
Jawa (Tasikmalaya, Sukabumi, Cianjur, Cilacap, Lumajang, Jember), Nusa
Tenggara Barat, Sulawesi Utara, dan Pesisir Barat Sumatera.
Terkait penerimaan negara, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa dalam hal
dilakukan pengolahan dan/atau pemurnian baik negara maupun perusahaan
tidak ada yang dirugikan. Namun untuk sementara (dalam jangka pendek)
balk negara maupun perusahaan akan mengalami penundaan penerimaan.
Selanjutnya, dalam jangka menengah dan jangka panjang akan terjadi
Ionjakan penerimaan negara dan peningkatan penerimaan perusahaan,
dimana penerimaan negara produk pertambangan mineral pada tahun 2013
sebesar 22,04 Triliun dan pada tahun 2014 akan mengalami penurunan
menjadi sebesar 16,48 Triliun (74,8%) tetapi pada tahun 2017 akan terjadi
lonjakan penerimaan negara menjadi sebesar 43,70 Triiiun (198,2%).
Sebagai data dukung, Pemerintah menyampaikan dalam lampiran (Lampiran
IV).
Apabila ketentuan kewajiban pelaksanaan pengolahan dan pemurnian
mineral di dalam negeri tidak dilakukan maka akan terdapat potensi kerugian
negara dalam hal-hal antara lain sebagai berikut:
a. Peningkatan eksploitasi dan penjualan keluar negeri bijih mineral (raw
material) yang besar-besaran sehingga akan mempercepat laju
pengurangan cadangaan mineral nasional yang dapat megakibatkan
terjadinya kekurangan atau kelangkaan pasokan mineral untuk
memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Di samping itu peningkatan
eksploitasi bijih mineral yang tidak terkendali juga akan mengakibatkan
terjadinya dampak negatif terhadap lingkungan di sekitar lokasi kegiatan
penambangan.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
72
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
b. Hilangnya kesempatan dan peluang untuk menumbuhkan kegiatan usaha
pendukung bagi pengolahan dan pemurnian mineral seperti pemasok
mesin dan peralatan, teknologi, tenaga ahli dan terampil, jasa
transportasi, pelabuhan, dan lembaga keuangan. Kehilangan peluang
dan kesempatan tersebut akan memperlemah kemandirian teknologi dan
kemandirian nasional untuk menjadi negara yang rnenguasai teknologi
pengolahan dan pemurnian mineral yang dapat menjadi jembatan untuk
menjadi negara yang rnenguasi teknologi maju. Contoh dari fenomena inl
antara lain adalah negara Swedia yang berhasil melakukan transformasi
dari negara penghasil bahan mentah produk penambangan menjadi
negara penghasil teknologi komunikasi dan otomotif dan negara Australia
yang mampu mengembangkan teknologi, mesin dan peralatan di bidang
pengolahan dan pemurnian mineral yang dapat dijual ke negera lain.
c. Ketidakmampuan Indonesia untuk menjadi pemasok produk hasil
pengolahan dan pemurnian mineral yang mempunyai nilai ekonomi tinggi
ke pasaran dalam negeri dan global. Sebagai contoh, selama ini mineral
mentah bauksit yang mengandung aluminium dengan kadar 12%
diekspor ke Iuar negeri dengan harga rata-rata US$ 19/ton. Sedangkan
untuk memenuhi kebutuhan pasokan bahan baku alumina untuk pabrik
aluminium batangan PT Inalum di Asahan, Sumatera Utara, Indonesia
mengimpor alumina yang merupakan hasil pemurnian bauksit dengan
harga sekitar US$ 350/ton.
3) Dalam grafik yang disampaikan oleh Pemerintah, dapat digambarkan bahwa
setelah lahimya UU Minerba terjadi peningkatan produksi dan penjualan bijih
mineral mentah mineral ke luar negeri karena perusahaan cenderung untuk
meningkatkan produksinya sebelum adanya batas dimulainya kewajiban
pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri pada tanggal 12 Januari
2014. Dengan perkataan lain, sebetulnya perusahaan pemegang IUP telah
mengetahui bahwa setelah 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya UU Minerba
akan ada kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam
negeri. Oleh karena itu para pemegang IUP Operasi Produksi Mineral
memanfaatkan tenggang waktu tersebut untuk memproduksi bijih mineral
mentah secara besar-besaran, karena berapapun produksi bijih mineral
mentah yang ditambang di Indonesia akan terserap oleh pasar dunia karena
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
73
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
tidak semua negara memiliki potensi mineral, sementara negara-negara yang
tidak memiliki potensi mineral tersebut telah memiliki teknologi pengolahan
dan pemurnian mineral, sehingga mereka menikmati nilai tambah serta
multiplier effect dari kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral tersebut.
Namun bagi Indonesia dengan peningkatan produksi yang signifikan tersebut
tidak mendapatkan manfaat ekonomi yang signifikan, bahkan nyatanya
perusahaan cenderung mengabaikan dampak lingkungan dan tidak
melaksanakan kewajiban rekiamasi di wilayah operasi pertambangannya.
4) Berkaitan dengan kewajiban pengolahan dan pemurnian bagi pertambangan
skala kecil, Pemerintah dapat menjelaskan ketentuan dalam Pasal 103 ayat
(2) UU Minerba yang menyebutkan bahwa Pemegang IUP Operasi Produksi
dapat mengolah/memumikan sendiri (membangun sendiri fasilitas
pengolahan dan pemurnian) atau dapat pula bekerjasama dengan
perusahaan lain yang memiliki fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter).
Dengan demikian, pemegang IUP skala kecil yang tidak mampu membangun
smelter dapat bekerjasama dengan perusahaan pemegang IUP Operasi
Produksi atau pemegang IUP Operasi Produksi khusus untuk pengolahan
dan pemurnian yang telah membangun smelter. Dalam konteks ini
Pemerintah telah memfasilitasi pemegang IUP Operasi Produksi yang tidak
dapat membangun smelter sendiri untuk bekerja sama dengan pemegang
IUP lain yang mempunyal fasilitas pengolahan dan pemurnian. Fasilitasi
tersebut telah diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014
tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan
Pemurnian Mineral di Dalam Negerl.
Sebagai pendukung penjelasan tersebut, Pemerintah menyampaikan
gambaran perusahaan yang telah dan sedang mendirikan smelter di dalam
negeri beserta besaran investasi-nya (Lampiran V).
5) Dalam rangka menumbuhkembangkan smelter di dalam negeri, Pemerintah
telah menerbitkan Inpres Nomor 3 Tahun 2013 tentang Percepatan
Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Pengolahan dan Pemurnian di
Dalam Negeri. Dalam Inpres tersebut telah diperintahkan agar semua sektor
pemerintahan melakukan percepatan pembangunan smelter di dalam negeri.
Pemerintah juga telah memberikan beberapa fasilitas terkait pembangunan
smelter di dalam negeri, antara lain berupa tax holiday, tax allowance (diatur
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
74
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
dalam PP Nomor 52 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor
1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal
di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu).
(Lampiran VI). Selain daripada itu Pemerintah juga telah mencanangkan
Masterpan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI) dimana pembangunan smelter dicanangkan di beberapa koridor
sesuai dengan keberadaan sumber daya mineral, antara lain smelter bauksit
di Kalimantan Barat, serta smelter nikel di Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara dan Maluku Utara.
6) Pada dasamya Kontrak Karya (KK) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP)
mempunyai kewajiban yang sama untuk melakukan pengolahan dan
pemurnian di dalam negeri. Kewajiban untuk meningkatkan nilai tambah
mineral (pengolahan) sudah terkandung dalam ketentuan Kontrak Karya, dan
diperkuat dengan adanya Pasal 170 UU Minerba yang menyatakan bahwa
Pemegang KK yang telah berproduksi wajib melakukan pemurnian di dalam
negeri selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak berlakunya UU Minerba
(sampai dengan 12 Januari 2014).
Pemerintah juga dapat menginformasikan bahwa sebenamya pengaturan
tentang pengolahan dan pemurnian telah ada di dalam UU Nomor 11 Tahun
1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan dalam bentuk
Kuasa Pertambangan Pengolahan dan Pemurnian (KP Pengolahan dan
Pemurnian), contohnya KP Pengolahan dan Pemurnian Timah, KP
Pengolahan dan Pemurnian Emas, KP Pengolahan dan Pemurnian Nike'.
7) Kebijakan peningkatan nilai tambah telah diatur secara jelas dalam UU
Minerba yang sebelumnya telah menerima masukan dari setiap pemangku
kebijakan (stakeholder) serta pakar hukum intemasional sehingga posisi
pemerintah kuat dan slap apabila pelaksanaan kebijakan peningkatan nilai
tambah mineral di dalam negeri dibawa ke forum arbitrase intemasional.
8) Bahwa sebelum adanya kebijakan yang mewajibkan peningkatan nilai
tambah nikel di dalam negeri sesuai ketentuan UU Minerba, di Pomala
Sulawesi Tenggara hampir seluruh perusahaan melakukan penjualan bijih
nikel mentah (raw material) dengan berbagai kadar ke luar negeri (Jepang,
Tiongkok, Korea, India dan lain-lain).
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
75
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Bijih nikel dari Pomala dan dari daerah-daerah penghasil nikel lain di
Indonesia, selain mengandung logam nikel, juga mengandung logam ikutan
seperti kobalt, kromium, best dan logam tanah jarang seperti scandium,
lantanum, dan yttrium. Bijih nikel setelah diolah dan dimumikan menjadi
logam seperti nickel matte, mempunyai harga yang Iebih tinggi (sebagai
perbandingan, harga bijih nikel pada tahun 2012 hanya US$ 33,75/ton dan
harga nickel matte mencapai US$ 16.500/ton). Di samping itu logam-logam
ikutan yang terdapat dalam bijih nikel dapat juga diekstrak (diambil) sebagai
produk sampingan yang bemilai ekonomi tinggi. Sehingga sebelum
dibertakukannya kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri,
negara atau pihak yang selama ini membeli dan mengolah serta memumikan
bahan mentah mineral (raw material) tersebut mendapatkan keuntungan
ekonomi yang sangat tinggi, sementara Indonesia sebagai negara yang
mengekspor hanya mendapatkan manfaat ekonomi dari harga jual bahan
mentah mineral (raw material) yang sangat rendah.
Dengan adanya kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di
dalam negeri sesuai ketentuan Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba (dan
peraturan pelaksanaannya) tidak ada lagi penjualan bijih nikel mentah ke luar
negeri sampai bijih tersebut dimumikan di dalam negeri. Dengan adanya
pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri, maka Indonesia akan
mendapatkan manfaat dari harga jual produk utama dan produk samping dari
hasil pengolahan dan pemurnian mineral yang sangat tinggi.
9) Pada dasamya dalam penyusunan rancangan UU Minerba telah
mendapatkan masukan dari stakeholder, Pemerintah juga telah melakukan
sosialisasi bahkan meminta pemegang IUP untuk menandatangani Pakta
Integritas, artinya seluruh perusahaan pertambangan telah mengetahui
mengenai kebijakan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral, selain itu
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, balk dalam Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah, maupun Peraturan Menteri ESDM telah
mengatur secara jelas tahapan-tahapan pelaksanaan kewajiban peningkatan
nilai tambah mineral. Sehingga Pemerintah tidak secara serta merta
mewajibkan kepada pemegang IUP untuk melakukan pengolahan dan
pemurnian mineral di dalam negeri, akan tetapi kebijakan tersebut telah
direncanakan secara matang.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
76
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Di samping itu perlu pula kami informasikan bahwa sebelum berlakunya UU
Minerba, pengaturan mengenai pengolahan dan pemurnian telah ada di
dalam UU Nomor 11 Tahun 1967, yakni dalam bentuk Kuasa Pertambangan
(KP) Pengolahan dan Pemurnian. Contohnya KP Pengolahan dan Pemurnian
Timah, KP Pengolahan dan Pemurnian emas, serta KP Pengolahan dan
Pemurnian Nikel.
10) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 103 ayat (3) UU Minerba memberikan
kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur mengenai kewajiban untuk
melakukan pengolahan dan pemurnian, berdasarkan hal tersebut pemerntah
menetapkan PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Kewajiban bagi pemegang IUP
untuk melakukan peningkatan nilai tambah mineral di dalam negeri telah
diatur dalam Ketentuan Peralihan PP Nomor 23 Tahun 2010 dimana
kewajiban tersebut dilaksanakan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak
berlakunya UU Minerba (sampai dengan 12 Januari 2014).
Dalam hal ini menunat Pembentuk Undang-Undang (DPR dan Presiden)
waktu 5 (lima) tahun dirasa telah cukup untuk memberikan kesempatan bagi
pemegang IUP agar dapat membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian
atau bekerja sama dengan pihak lain yang telah memiliki smelter. Bagi para
pemegang IUP yang serius, waktu tersebut telah digunakan untuk
menyelesaikan pembangunan smelter sehingga saat ini telah ada
perusahaan yang telah selesai atau sedang dalam proses penyelesaian
pembangunan smelter, sehingga diharapkan nantinya seluruh produksi bijih
mineral mentah dapat diserap oleh smelter di dalam negeri (data yang ada
saat ini terdapat 66 (enam puluh enam) perusahaan yang telah selesai dan
sedang membangun smelter di dalam negeri). Dengan ketegasan Pemerintah
untuk melaksanakan kewajiban peningkatan nilai tambah sesuai UU Minerba,
diharapkan dalam waktu dekat akan semakin banyak perusahaan yang
mengajukan diri untuk membangun smelter di dalam negeri. Sebagai data
dukung Pemerintah akan menyampaikan gambaran perkembangan
(progress) pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) di
dalam negeri beserta sebaran lokasinya (Lampiran VII).
11) Pada dasamya dalam ketentuan UU Minerba dan peraturan pelaksanaanya
tidak ada ketentuan yang menyebutkan tentang larangan ekspor". Yang ada
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
77
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
adalah ketentuan yang mewajibkan pemegang IUP untuk melakukan
peningkatan nilai tambah mineral mentah di dalam negeri.
12) Pemohon telah keliru membaca dan menafsirkan ketentuan UU Minerba,
dimana dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Minerba telah diatur definisi
pertambangan, yakni: sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka
pengusahaan mineral yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi
kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian,
pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang. Selanjutnya
dalam Pasal 36 dan Pasal 76 UU Minerba, diatur bahwa IUP dan IUPK
Operasi Produksi meliputi tahapan kegiatan konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. Sehingga
pengolahan dan pemurnian bukan merupakan kegiatan proses industri di luar
IUP.
13) Bahwa pada dasamya kebijakan Peningkatan Nilai Tambah tidak dijalankan
secara serta merta (mendadak), melainkan telah dilaksanakan melalui
tahapan-tahapan yang jelas. Jika Pemohon serius dan berkomitmen
menjalankan kewajibannya dalam UU Minerba, seharusnya tidak ada
permasalahan dalam penerapan kebijakan ini.
14) Pemerintah perlu mempertanyakan keberpihakan Pemohon pada
kepentingan nasional, mengingat justru kebijakan Peningkatan Nilai Tambah
telah dipikirkan secara matang akan mendatangkan keuntungan bagi negara
dimana selain akan memberikan penerimaan negara yang jauh lebih besar,
juga akan menciptakan multiplier effect dari sisi tenaga kerja, pembangunan
daerah, transfer teknologi pengolahan pemurnian, peningkatan kapasitas
sumber daya manusia, dan lain-lain. Dalam hal ini bukan berarti pemerintah
mengabaikan pergaulan di dunia intemasional. Pemerintah tetap menjalin
kerjasama dengan negara-negara lain sepanjang saling menguntungkan,
dimana dengan tetap megutamakan kepentingan nasional.
15) Di dalam ketentuan peralihan PP Nomor 23 Tahun 2010 diatur bahwa
kewajiban Peningkatan Nilai Tambah dilakukan selambat-lambatnya sampal
dengan 12 Januari 2014. Sebagai petaksanaan PP Nomor 23 Tahun 2010
Pemerintah telah menerbitkan Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2012 yang
telah diubah dengan Permen ESDM Nomor 11/2012 dirnana dalam
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
78
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
ketentuan tersebut tidak ada pelarangan ekspor pada tahun 2012. Penjualan
bijih mentah ke luar negeri tetap dapat dilakukan oleh pemegang IUP setelah
memenuhi kriteria persyaratan tertentu, antara lain rnenyiapkan rencana
pembangunan smelter dan menandatangani pakta integritas untuk
membangun smelter di dalam negeri sampai 12 Januari 2014. Dengan
demikian tidak ada inkonsistensi antara Undang-Undang, PP, dan Permen
ESDM.
[2.4] Menimbang bahwa untuk menguatkan keterangannya, Presiden
mengajukan tujuh orang ahli, yang didengar keterangannya di bawah sumpah
dalam persidangan tanggal 1 September 2014 dan 22 September 2014 sebagai
berikut: Ahli Pemerintah
1. Prof Dr. Yusril Ihza Mahendra
1. Maksud para Pemohon dalam Perkara Pengujian Undang-Undang dengan
registrasi perkara Nomor 10/PUU-XII/2014 adalah ingin menguji norma
yang terkandung dalam Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara terhadap norma Pasal 1 ayat (3),
Pasal 28D ayat (1), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-
Undang Dasar 1945. Adapun bunyi norma Pasal 102 Undang-Undang
Minerba itu selengkapnya adalah “Pemegang IUP dan IUPK wajib
meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam
pelaksanaan penambangan, pengolahan, dan pemurnian, serta
pemanfaatan mineral dan batubara”. Sedangkan penjelasannya
mengatakan “Nilai tambah dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk
meningkatkan produk akhir dari usaha penambangan atau pemanfaatan
terhadap mineral ikutan”. Adapun bunyi norma Pasal 103 Undang-Undang
Minerba adalah: (1) “Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib
melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam
negeri”; (2) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal
102 serta pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dimaksudkan, antara
lain, untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambah dari produk,
tersedianya bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan
penerimaan negara”. Adapun norma konstitusi yang dijadikan sebagai batu
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
79
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
uji adalah Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berisi
pernyataan bahwa negara Republik Indonesia adalah “negara hukum”,
Pasal 28D ayat (1) yang menegaskan jaminan kepastian hukum yang adil,
serta Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berisi norma
bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”;
2. Para Pemohon mendalilkan bahwa norma Pasal 102 dan Pasal 103
Undang-Undang Minerba bertentangan dengan norma konstitusi di dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dan memohon kepada Mahkamah Konstitusi
untuk menyatakan norma Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2009 tentang Minerba bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945 dan “tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat bila
dimaknai dengan pelarangan terhadap ekspor bijih (raw material atau ore).
Oleh karena permohonan para Pemohon adalah spesifik hanya pada
adanya penafsiran larangan ekspor terhadap norma Pasal 102 dan Pasal
103, meskipun pada hemat saya, norma kedua pasal tersebut mengandung
pengaturan yang lebih luas daripada itu, maka saya akan memfokuskan
perhatian terhadap masalah ini, yakni apakah penafsiran larangan ekspor
tersebut menyebabkan norma Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang
Minerba bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27A ayat (2), Pasal
28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 atau tidak,
sehingga Mahkamah perlu memaknai Pasal 102 dan Pasal 103 tersebut
sebagaimana dimohonkan dalam petitum Pemohon;
3. Norma Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Minerba berada dalam
Bab XIII dengan judul “Hak dan Kewajiban” yang berisi pengaturan tentang
hak dan keawajiban para pemegang IUP dan IUPK, yang antara lain berisi
kewajiban untuk meningkatkan nilai tambah sumberdaya alam dan mineral
dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan, dan
pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara”. Maksud dari norma
Pasal 102 adalah agar jelas agar usaha penambangan mineral dan
batubara tidak semata-mata mengekspor bahan baku, tetapi meningkatkan
nilai tambahan misalnya meningkatkan bahan mentah hasil pertambangan
menjadi bahan baku industri, baik bahan jadi maupun setengah jadi.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
80
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Peningkatan nilai tambah ini tidaklah mengandung pertentangan apapun
dengan prinsip negara hukum sebagimana diatur dalam norma Pasal 1 ayat
(3) UUD 1945, tidak bertentangan dengan norma Pasal 27A ayat (2) yang
mengatur hak setiap warganegara untuk mendapatkan pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” karena dengan melakukan
peningkatan nilai tambah, maka akan tercipta lapangan kerja yang lebih
luas dan lebih banyak. Begitu juga pasal ini tidak mengandung suatu hal
yang multi tafsir sehingga bertentangan dengan norma Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945. Demikian pula, saya tidak melihat pertentangan norma Pasal
102 UU Minerba ini dengan norma konstitusi dalam Pasal 33 ayat (3) UUD
1945, karena peningkatan nilai tambahnya ditingkatkan;
4. Bahwa norma Pasal 103 ayat (1) UU Minerba mengatur lebih lanjut bahwa
pemegang IUP dan IUPK wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil
penambahannya di dalam negeri adalah konsekuensi logis dari norma yang
diatur dalam Pasal 102. Kalau peningkatan nilai tambah dilakukan di luar
negeri, maka hasil dari peningkatan nilai tambah itu tidak akan banyak
artinya dalam menciptakan lapangan kerja di dalam negeri serta
meningkatkan pendapatan negara dan meningkatkan kemakmuran rakyat.
Jadi pengolahan di dalam dan di luar negeri bukan sekedar masalah tempat
dimana dilakukan pemurnian dan pengolahan, tetapi berkaitan langsung
dengan besar kecilnya manfaat yang akan diperoleh dari kewajiban
melakukan pengolahan dan pemurnian. Terhadap norma Pasal 102 dan
Pasal 103 ayat (2), oleh ayat (3) dikatakan “ketentuan lebih lanjut mengenai
peningkatan nilai tambah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 serta
pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan peraturan pemerintah”. Dengan demikian jelaslah bahwa norma
Pasal 102 dan Pasal 103 ayat (1) mengandung pengaturan bahwa
pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah dan wajib
melakukan pengolahan dan pemurnian hasil tambangnya di dalam negeri.
Pengaturan lebih lanjut terhadap masalah ini diserhakan kepada Peraturan
Pemerintah;
5. Dengan corak pengaturan sebagiamana norma yang tertuang dalam Pasal
103 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), saya tidak melihat adanya pertentangan
apapun dengan norma konstitusi sebagimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3),
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
81
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Pasal 27A ayat (2), Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Norma pengaturan di dalam Pasal 103 ini dapat dikatakan belum selesai
karena masih memerlukan pengaturan lebih lanjut di dalam peraturan
pemerintah. Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 mengatakan “Presiden menetapkan
peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana
mestinya”. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah yang diterbitkan untuk
melaksanakan norma Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba ini haruslah
berisi norma untuk menjalankan norma Undang-Undang ini sebagaimana
mestinya. Kalau sekiranya Peraturan Pemerintah atau peraturan lain yang
lebih rendah, ternyata telah menerjemahkan atau menafsirkan norma Pasal
102 dan Pasal 103 ini dengan “larangan ekspor” bahan mentah (raw
material ore) sebagaimana dikatakan para Pemohon dan para Pemohon
menganggap penafsiran tersebut tidaklah sebagaimana mestinya, sehingga
bertentangan dengan norma Pasal 1 ayat (3), Pasal 27A ayat (2), Pasal
28D ayat (1) dan Pasal 33 UUD 1945, maka Mahkamah Konstitusi tidak
berwenang untuk menilainya. Mahkamah Agung pun, hemat saya juga tidak
berwenang menilainya, karena kewenangan Mahkamah Agung adalah
menguji peraturan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang,
bukan terhadap Undang-Undang Dasar;
6. Pada hemat saya, Mahkamah Konstitusi barulah berwenang untuk menguji
suatu norma Undang-Undang yang didalilkan Pemohon bertentangan
dengan norma UUD apabila norma Undang-Undang itu telah selesai dan
tidak memerlukan pengaturan lebih lanjut dalam peraturan perundangan-
undangan yang lebih rendah. Kalau ada norma seperti itu, jelas membuka
peluang kepada pejabat birokrasi pemerintah bertindak sewenang-wenang
sehingga melanggar prinsip negara hukum dan melanggar asas kepastian
hukum yang adil. Norma Undang-Undang yang seperti inilah yang dapat
diuji dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Namun apabila ada norma
Undang-Undang yang potensial multi tafsir yang dapat melanggar norma
konstitusi, tetapi dikatakan ketentuan lebih lanjutnya akan diatur dengan
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan seterusnya, maka penilaian
sifat multi tafsir yang merugikan hak konstitusional Pemohon baru dapat
dinilai dengan adanya peraturan yang lebih rendah itu, dengan cara
mengujinya ke Mahkamah Agung;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
82
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
7. Pada hemat saya, norma Pasal 102 dan Pasal 103 ayat (1) UU Minerba
memang sengaja dirumuskan seperti itu oleh para pembentuk Undang-
Undang, agar Pemerintah dapat mengatur masalah tersebut secara lebih
fleksibel, tanpa harus melakukan perubahan terhadap norma Undang-
Undang. Bahwa jika Undang-Undang mewajibkan para pemegang IUP dan
IPUK untuk melakukan peningkatan nilai tambah terhadap produksi
tambangnya, dan peningkatan nilai tambah yang dilakukan dengan
pengolahan dan pemurnian yang wajib dilakukan di dalam negeri, maka
konsekuensinya adalah ekspor terhadap raw material atau ore memang
harus dialrang. Sebab kalau tidak dilarang, maka adanya norma yang
mengatur bahwa pengolahan dan pemurnian wajib dilakukan di dalam
negeri menjadi tidak ada artinya. Namun dengan mengingat begitu banyak
produksi tambahan, khususnya mineral, dan memerlukan kebijakan yang
berbeda-beda dalam melakukan pengolahan dan pemurnian, maka
pengaturan lebih lanjut memang tidak layak dituangkan dalam Undang-
Undang. Dalam kenyataanya, peraturan Pemerintah pun memberikan ruang
pengaturan lebih rinci tentang pengolahan dan pemurnian mineral-mineral
tertentu kepada Peraturan Menteri ESDM. Sebagai aturan kebijakan, maka
wajar saja jika PP dan Permen ESDM dinilai tidak konsisten dan selalu
berubah-ubah. Ketidak-konsistenan itu justru adalah untuk menyesuaikan
kebijakan dengan kenyataan yang muncul pada suatu waktu tertentu, baik
disebabkan oleh faktor-faktor di dalam maupun di luar negeri;
8. Kesimpulan, bahwa norma Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba tidaklah
bertentangan dengan norma Pasal 1 ayat (3), Pasal 27A ayat (2), Pasal
28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sehingga Mahkamah tidak
perlu memaknai bahwa kedua pasal tersebut bertentangan dengan UUD
1945 jika dimaknai dengan pelarangan terhadap ekspor bijih (raw material
atau ore), karena pemaknaan demikian terdapat dalam norma peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah yang mempunyai kekuatan hukum
berlaku, baik formil maupun materiil, berdiri sendiri dan berbeda dengan
pengaturan di tingkat Undang-Undang. Dengan demikian, jika seandainya
norma Undang-Undangnya dinyatakan bertentangan dengan UUD dan
dinyatakan pula tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, maka
norma yang ada di dalam peraturan perundang-undangan yang lebih
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
83
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
rendah tidaklah otomatis tidak berlaku sebelum dicabut atau dinyatakan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi oleh
Mahkamah Agung.
2. Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi,
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Dalam penelitian yang saya lakukan dalam berbagai Undang-Undang yang
menggunakan kata-kata "dikuasai oleh negara" sebagaimana ditemukan dalam
ayat (2) dan ayat (3); dan kata-kata "sebesar-besar kamakmuran rakyat"
sebagaimana ditemukan dalam ayat (3) maka tidak ada interpretasi tunggal.
Saya melakukan penelitian ini untuk melihat apakah ada konsistensi
pembentuk Undang-Undang dari waktu ke waktu terkait interpretasi kata-kata
dikuasai oleh negara dan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Adapun Undang-Undang yang saya teliti diantaranya Undang-Undang Agraria,
Undang-Undang Penanaman Modal 1967 dan 2007 Undang-Undang
Pertambangan Umum dan Undang-Undang Mineral Batubara, Undang-
Undang Minyak dan Gas tahun 1960 dan 2001, Undang-Undang
Telekomunikasi Tahun 1989 dan 1999, Undang-Undang Penerbangan tahun
1992 dan 2009, Undang-Undang Perkeretaapian.
Interpretasi pembentuk Undang-Undang akan disesuaikan dengan situasi dan
kondisi yang berlaku saat Undang-Undang dibentuk.
Dalam konteks Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan Tahun 1967 (UU Pertambangan Tahun 1967) dan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
84
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
penggantinya Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Tahun 2009 (UU Minerba) maka tafsiran atas dikuasai negara yang
sebelumnya mengenal rejim kontrak yang memunculkan Kontrak Karya dan
Perjanjian Karya Pengusahaan Batubara (PKP2B) dihapuskan dan diganti
dengan rejim izin.
Bila menilik Undang-Undang Pertambangan Tahun 1967, bahkan dalam
Kontrak Karya ketentuan tentang hilirisasi telah ada. Hanya saja kegiatan
hilirisasi tidak pernah terwujud. Tidak terwujudnya besar kemungkinan karena
posisi tawar pemerintah Indonesia dalam posisi yang rendah. Pemerintah
membutuhkan Kontraktor dengan teknologi, ahli dan dananya; bukan
Kontraktor yang membutuhkan Indonesia. Namun kondisi tahun 1967 tentu
berbeda dengan kondisi 10 tahun belakangan ini.
Saat Undang-undang Minerba 2009 dibahas maka muncul keinginan agar
kegiatan hilirisasi benar-benar terwujud karena ini merupakan tafsiran dari
"sebesar-besar kemakmuran rakyat." Tidak heran bila Pasal 102 UU Minerba
mengamanatkan, "Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah
sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan,
pengolahan, dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara."
Ketentuan ini bertalian dengan Pasal 103 UU Minerba dimana ayat (3)
menyebutkan bahwa, Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai
tambah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 serta pengolahan dan
pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan
pemerintah."
Pemerintah pun telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun
2014 (PP 23). PP ini yang kemudian oleh para pelaku usaha dibidang
pertambangan diterjemahkan sebagai larangan ekspor bahan mentah (ore).
Pemerintah tidak pernah dan tidak akan melakukan larangan ekspor.
Pemerintah menginginkan agar pengolahan dan pemurnian mineral dan
batubara dilakukan di Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh rakyat melalui UU Minerba.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
85
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Meski pengolahan dan pemurnian mineral dan batubara bila dibandingkan dengan larangan ekspor ore keduanya berujung sama namun dua hal ini berbeda.
Pengolahan dan pemurnian bertujuan untuk memberi nilai tambah atas bahan
galian sehingga Indonesia tidak sekedar menjual kandungan yang ada dalam
'tanah' dan air.
Sementara larangan ekspor tujuannya bermacam-macam. Bisa saja larangan
ekspor dilakukan agar konsumsi dalam negeri tercukupi.
Pengenaan bea keluar atas bahan mentah atau sebagian jadi yang ditafsirkan
oleh sebagian pihak sebagai larangan ekspor telah dipermasalahkan. Di dalam
negeri ketentuan tersebut diuji-materikan ke Mahkamah Agung mengingat
ketentuan yang mengatur secara rinci sebagaimana diamanatkan dalam Pasal
103 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 102 dan Pasal 103 saat ini sedang diuji materikan di lembaga peradilan ini.
3. Prof. Siti Rochani, M.Sc
TEKNOLOGI ITU SUDAH TERUJI Kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral untuk meningkatkan nilai
tambah sumber daya mineral dan/atau batubara telah tertuang dalam Pasal
102, Pasal 103, dan Pasal 104 Undang-Undang Nomor 4/2009, yang
kemudian dijabarkan dalam Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, dan Pasal 96
Peraturan Pemerintah Nomor 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 1/2014 tentang Perubahan Kedua Peraturan
Pemerintah Nomor 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara.
Seluruh pasal di atas menyiratkan bahwa salah satu kunci utama untuk melakukan pengolahan dan/atau pemurnian mineral adalah keberadaan teknologi. Dan keberhasilan untuk melakukan pengolahan dan/atau pemurnian
suatu atau beberapa mineral adalah dengan memanfaatkan teknologi yang sudah berada pada tahap teruji atau sudah terbukti (proven). Untuk itulah,
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menggarisbawahi teknologi
yang sudah teruji sebagai salah satu dasar pertimbangan dalam melakukan
pengolahan dan/atau pemurnian untuk kepentingan peningkatan nilai tambah
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
86
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
mineral, sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c Peraturan Menteri ESDM Nomor 1/2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri. Hal
ini jelas menegaskan pula bahwa Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah mempertimbangkan secara matang – tidak asal-asalan – agar
kebijakan peningkatan nilai tambah mineral betul-betul dapat berhasil
diaplikasikan oleh para pemegang IUP dan IUPK mineral.
TEKNOLOGI ITU TIDAK SELALU MAHAL Pernyataan Prof. Dr. Saldi Isra, S.H. dalam perkara Nomor 10/PUU-XII/2014
terkait pengujian Undang-Undang Nomor 4/2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara, yang di antaranya menyatakan: "Pilihan menyediakan
fasilitas smelter sendiri berimplikasi terhadap keharusan menyediakan dana
dalam jumlah besar. Tentunya pilihan ini sulit diambil pelaku usaha tambang
nasional berskala kecil dan menengah", jelas ingin mengatakan bahwa
teknologi untuk membangun smelter memerlukan biaya besar. Boleh jadi
pernyataan itu benar, tetapi tidak dapat dipukul rata untuk semua teknologi;
banyak faktor yang mempengaruhi untuk sampai kepada kesimpulan teknologi
itu mahal atau murah, antara lain:
1) "harga" teknologi dari setiap negara dapat berbeda-beda untuk
menghasilkan produk dengan kualitas yang hampir sama. Contoh: CAPEX
pembuatan alumunium di China mencapai USD 1.484/ton, di Afrika USD
6.154/ton, di Rusia USD 2.930/ton, di India USD 3.031/ton, di Middle East
USD 5.534/ton;
2) penggunaan teknologi tergantung kepada kapasitas pabrik yang akan dibangun. Makin besar kapasitas produksi pabrik yang akan dibangun,
maka akan makin mahal "harga" teknologinya; demikian pula sebaliknya;
3) penggunaan teknologi juga tergantung kepada jenis produk yang dihasilkan
oleh perusahaan. Contoh: CAPEX untuk menghasilkan logam nikel dengan
proses pelindian asam bertekanan (PAL, pressure acid leaching process)
USD 80.000/ton Ni, CAPEX untuk menghasilkan ferronickel (FeNI) dengan
menggunakan teknologi tungku putar peleburan (RK-EF) adalah USD
65.000/ton Ni, sedangkan untuk menghasilkan Nickel Pig Iron (NPI) nilai
CAPEX adalah <USD 5.000/ton Ni. Ketiga jenis produk ini boleh dijual ke
luar negeri sesuai dengan Lampiran I Peraturan Menteri Energi dan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
87
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Sumber Daya Mineral Nomor1/2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah
Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri.
Dari uraian di atas, dapat ditarik benang merah bahwa "harga" teknologi
sangat bervariasi; ada yang mahal, tetapi tidak sedikit pula yang murah.
"Harga" mana yang akan diambil sangat tergantung kepada kemampuan
finansial perusahaan, dengan tanpa mengorbankan produk yang ingin
dihasilkan. Artinya, ada pilihan teknologi dari yang sederhana sampai yang
canggih, ada pilihan kapasitas produksi, dan ada pilihan jenis produk sesuai
dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 1/2014, yang kesemuanya mengalir
dan bermuara kepada "harga" teknologi yang harus dibeli oleh perusahaan.
Memang ada keharusan menyediakan dana, tetapi keuntungan yang akan
diraih oleh pengusaha juga pasti akan bertambah. Di sini ada korelasi antara
teknologi, kapasitas produksi, jenis produk, dan biaya produksi di satu sisi,
dengan keuntungan perusahaan di sisi lain. Lalu, bagaimana cara pengusaha
kecil dan menengah memperoleh dana? Sudah barang tentu hal ini dapat
dinegosiasikan dengan pihak perbankan yang dipastikan akan memberikan
kredit sepanjang menguntungkan kedua belah pihak.
Satu hal lagi terkait hubungan antara teknologi dengan pengusaha kecil dan
menengah. Umumnya pengusaha kecil/menengah memiliki sumber daya atau
cadangan mineral yang relatif kecil, sehingga penggunaan teknologi untuk
membangun pabrik pengolahan dan/atau pemurnian mineral, bahkan dengan
skala ekonomis paling minimal sekalipun, tetap tidak ekonomis untuk
dilaksanakan. Menyadari hal itu, Peraturan Menteri ESDM Nomor 1/2014
memberi ruang yang seluas-luasnya bagi perusahaan untuk bekerja sama
melalui berbagai cara sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 ayat (3) dan Pasal
6 Peraturan Menteri ESDM tersebut. Dengan demikian para pengusaha dapat
mendirikan dan mengoperasikan pabrik pengolahan dan pemurnian secara
ekonomis.
TEKNOLOGI ITU UNTUK KETAHANAN INDUSTRI NASIONAL Industri nasional akan kuat apabila industri tersebut dilakukan secara
terintegrasi, baik secara vertikal dari hulu ke hilir, maupun secara horizontal. Industri nasional juga akan kuat apabila bahan baku untuk keperluan industri
tersebut tersedia di dalam negeri. Dalam konteks inilah Indonesia belum
memiliki industri nasional yang kuat karena selain tidak terintegrasi, juga
3
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
88
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
banyak bahan bakunya masih didatangkan dari Iuar negeri (diimpor).
Ironisnya, tidak sedikit dari bahan baku untuk industri tersebut, yang berupa
hasil pengolahan dan/atau pemurnian mineral, sebenarnya berasal dari
Indonesia. Hal ini mengisyaratkan adanya mata rantai yang terputus dalam
industri nasional; hasil tambang berupa bahan mentah (ore) diekspor ke suatu
negara, kemudian diolah oleh negara tersebut, balik lagi ke Indonesia dalam
bentuk hasil olahan, dan kemudian menjadi umpan (bahan baku) bagi industri
di dalam negeri. Melalui Undang-Undang Nomor 4/2009 beserta produk hukum
turunannya, mata rantai yang terputus itu akan dihilangkan, yakni dengan
membangun pabrik pengolahan dan pemurnian di dalam negeri yang
berteknologi sudah teruji, sehingga industri hilir tidak lagi tergantung pada
bahan baku impor. Dengan ketidaktergantungan industri hilir terhadap bahan
baku impor, maka ketahanan industri nasional pun akan semakin kuat Sebagai
contoh: saat ini di Indonesia sudah berdiri pabrik pengolahan dan pemurnian
bauksit, yaitu PT ICA, yang merupakan perusahaan kerja sama PT Antam
dengan Showa Denko Jepang, berlokasi di Tayan, Kalimantan Barat, yang
memproduksi sekitar 300 ribu ton chemical grade alumina per tahun. Di lain
pihak, Indonesia memiliki pabrik pengolahan smelter grade alumina menjadi
alumunium, yaitu PT Inalum, yang sudah resmi menjadi milik Pemerintah
Indonesia terhitung Oktober 2013. Sebelumnya, pabrik ini merupakan kerja
sama antara Pemerintah Indonesia dengan Nippon Asahan Aluminium Co. Ltd
Jepang yang telah beroperasi sejak tahun 1978, dengan memproduksi
alumunium yang bahan bakunya smelter grade alumina berasal dari Australia,
maka pabrik pengolahan bauksit menjadi smelter grade alumina seharusnya
sudah berdiri di Indonesia untuk memasok bahan baku PT Inalum.
Hal yang hampir sama terjadi pada mineral lain, seperti bijih nikel, bijih dan
pasir besi, dan tembaga yang hasil olahannya diperlukan oleh berbagai
industri di dalam negeri. Hampir seluruh komoditas tambang ini dijual oleh
Indonesia dalam bentuk bahan mentah, tetapi hampir seluruh industri hilir di
dalam negeri membelinya dari luar negeri manakala komoditas tambang
tersebut sudah menjadi barang hasil olahan dan akan dijadikan sebagai bahan
baku oleh industri hilir di dalam negeri. Inilah ironi dari sebuah negara yang
katanya memiliki sebutan zamrud khatulistiwa.
4
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
89
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
TEKNOLOGI ITU HARUS MEMBERIKAN MULTIFIER EFFECT Berdirinya pabrik pengolahan dan pemurnian mineral, di samping akan
memberikan manfaat secara langsung kepada pelaku ekonomi juga akan
memberikan manfaat tidak langsung melalui mekanisme keterkaitan ekonomi.
Melalui keterkaitan hulu hilir, pengolahan dan permurnian mineral di dalam
negeri akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja, memperluas kesempatan
berusaha, mendorong terciptanya industri hilir penunjang, serta dapat
meningkatkan produktivitas sumber daya lokal melalui perluasan peran di
dalam negeri.
Meningkatnya hasil produk di dalam negeri akan meningkatkan penerimaan negara melalui mekanisme keterkaitan pembayaran pajak dan PNBP.
Pemanfaatan teknologi dalam proses pengolahan dan permurnian mineral
akan mendapat dan meningkatkan kemampuan SDM IPTEK di daerah yang
dapat ditularkan kepada pabrik-pabrik lain, yang selanjutnya akan
meningkatkan kemampuan SDM IPTEK secara nasional. Di samping itu akan
terjadi pula transfer teknologi serta transfer sikap budaya positif, sehingga
SDM di daerah menjadi lebih kreatif dan inovatif. Hal ini sudah dicontohkan
seperti kemampuan SDM yang bekerja di PT Inalum, sudah tidak ragu lagi
dalam meningkatkan kapasitas pabrik alumunium bahkan sampai membuat
pabrik baru. Dalam konteks yang lebih luas, bukan tidak mungkin SDM di
Indonesia akan mampu mengembangkan diri dalam pergaulan internasional
yang lebih bermartabat; tidak hanya sekedar mengekspor pembantu rumah
tangga, tetapi mengekspor tenaga kerja yang berpendidikan dan memiliki
keahlian tinggi.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa rancang bangun dan rekayasa peralatan pabrik
pengolahan dan pemurnian akan meningkat dengan banyaknya kebutuhan
dan contoh yang ada di dalam negeri, serta local content akan diserap sesuai
dengan meningkatnya kebutuhan pabrik termasuk bahan bahan penunjang
lainnya yang tersedia di dalam negeri. Pembangunan pabrik juga akan
berperan sebagai pusat pertumbuhan yang dapat mendukung dan mendorong
pengembangan wilayah yang memungkinkan daerah yang terisolasi menjadi
terbuka, daerah tertinggal menjadi maju, tingkat kehidupan meningkat, sumber
daya manusia menjadi lebih kreatif dan inovatif untuk memenuhi adanya
peluang atau kebutuhan di bidang ini, pendidikan masyarakat menjadi lebih
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
90
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
tinggi dan penyerapan tenaga kerja pun terjadi dari bidang penunjang untuk
menopang keberadaan industri mineral tersebut.
MINERAL SEBAGAI SUMBER DAYA ALAM YANG TIDAK TERBARUKAN Semua pihak menyadari bahwa mineral adalah sumber daya alam yang tidak
terbarukan (non-renewable resources) — sekali diambil dari dalam bumi tidak
akan tumbuh lagi. Dan sebagai bangsa Indonesia, siapapun kita, memiliki
kewajiban untuk memanfaatkan mineral tersebut semaksimal mungkin dengan
menarik nilai tambah yang sebelumnya ada di Iuar negeri ke dalam negeri,
serta memanfaatkan mineral ikutan yang terkandung di dalam mineral utama
untuk menambah nilai dari mineral tersebut. Sebagai contoh: bijih bauksit dari
Kalimantan Barat, selain mengandung unsur utama bauksit, ternyata juga
mengandung unsur lain seperti titanium, galium, vanadium, kromium, arsenium,
dan merkuri. Sementara pada bijih nikel, selain mengandung unsur utama
nikel, juga mengandung kromium, kobalt, skandium dan unsur lainnya.
Saat ini unsur-unsur ikutan itu mungkin belum ekonomis bila diolah, tetapi di
masa depan, dengan berkembangnya teknologi hidrometalurgi yang mengarah
kepada ekstraksi semua unsur yang terkandung, seluruh unsur ikutan tersebut
akan dapat diekstrak secara lebih menguntungkan. Hal ini disebabkan ada
beberapa unsur ikutan yang termasuk logam jarang dan logam tanah jarang,
yang harganya jauh lebih tinggi daripada harga emas. Ekstraksi logam jarang
dan logam tanah jarang terhadap bauksit dan bijih nikel, bukan tidak mungkin
telah dilakukan oleh negara yang mengimpor bauksit dan nikel dari Indonesia. Bayangkan berapa kerugian yang harus diterima Indonesia karena logam
jarang dan logam tanah jarang tersebut tidak pernah dikenai royalti.
Sebagai informasi, potensi nikel Indonesia merupakan terbesar ketiga di dunia
setelah New Caledonia dan Filipina, dengan jumlah cadangan sebanyak lebih dari 1,18 miliar ton laterit dan total sumber daya lebih dari 2,85 miliar ton. Bijih
nikel Indonesia memiliki kualitas lebih baik dibandingkan negara-negara lain
karena memiliki kadar nikel yang cukup tinggi dan rasio kadar silikat dan
magnesium memenuhi syarat untuk proses peleburan. Sementara potensi bijih
bauksit merupakan negara keenam terbesar di dunia, dengan jumlah cadangan
hamper 1,13 miliar ton dan total sumber daya 3.27 miliar ton. Bauksit dari
Indonesia juga mempunyai kelebihan karena kebanyakan dalam bentuk
mineral gibsit yang jauh lebih mudah diolah dibandingkan dengan mineral
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
91
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
alumunium lainnya seperti buhmit. Potensi kedua jenis komoditas tambang ini
patut disyukuri karena akan membuat pasokan bahan baku untuk pabrik
pengolahan dan pemurnian bijih nikel dan bauksit sudah terjamin, bahkan
dengan menggunakan teknologi apapun.
KISAH SUKSES PENERAPAN PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN BIJIH DENGAN DEPOSIT TERBATAS
Deposit yang terbatas bukan halangan bagi perusahaan untuk tidak dapat
menerapkan proses pengolahan dan pemurnian jika teknologi yang diterapkan
dapat mengekstraksi seluruh kandungan logam-logam yang mempunyai nilai
tambah tinggi. Pemilihan teknologi menjadi salah satu faktor utama untuk
keberhasilan membangun smelter. Sebagai contoh: proyek Sepon, Laos yang
memiliki deposit tembaga hanya 792.000 tembaga, namun dengan
menggunakan teknologi modern dan maju, yaitu teknologi hidrometalurgi,
dapat menghasilkan 64.072 katoda tembaga per tahun dengan produk
samping berupa emas 93.072 oz per tahun, serta menyerap tenaga kerja
sebanyak 5.080 orang dan meningkatkan gross domestic product Laos sekitar
USD50 per kapita.
Bayangkan potensi nilai tambah bijih tembaga yang ada di PT Freeport
Indonesia dan PT Newmont Batu Hijau yang jumlahnya jauh di atas proyek
Sepon, Laos, itu diolah dan dimurnikan di dalam negeri. Produk-produknya
berupa tembaga, perak, emas, platina, palladium, selenium, telurid, timbal,
asam sulfat, dan gipsum, akan memberi dampak positif sangat besar bagi
negara; tidak saja secara langsung, tetapi juga secara tidak Iangsung dalam
bentuk tumbuh berkembangnya industri yang lain. Oleh karena itu alangkah
lebih balk jika para ahli ekonomi menghitung secara detil dampak positif atas
penerapan UU Nomor 4 Tahun 2009, daripada memperdebatkan perbedaan
persepsi pasal-pasal yang terdapat pada Undang-Undang tersebut. Berkutat di
seputar sini, negeri ini hanya jalan di tempat.
Indonesia memang tidak dapat meniru kebijakan Australia yang membebaskan
perusahan untuk tidak mengolah dan memurnikan mineral, karena Australia
memiliki potensi sumber daya alam yang besar, seperti bauksit dan nikel,
dengan tenaga kerja yang terbatas. Bandingkan dengan Indonesia yang
memiliki potensi sumber daya alam tidak terlalu besar, tetapi jumlah tenaga
6
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
92
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
kerja yang besar. Penerapan kebijakan pengolahan dan pemurnian di dalam
negeri merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kapita serta
menyalurkan tenaga kerja dan dampak positif lain sebagai bagian tak
terpisahkan dari multiplier effect yang akan diperoleh.
Sebagai penutup, dari paparan di atas, peningkatan nilai tambah mineral jelas
akan dan dapat dipastikan membawa manfaat bagi bangsa Indonesia
mengingat teknologi apapun dan untuk mengolah mineral apapun sudah
tersedia, membuat ketahanan industri nasional semakin tangguh, mendapat
nilai tambah di dalam negeri serta nilai efek ganda yang harus diraih dan tidak
boleh dilewatkan begitu saja. Niat baik atau goodwill dari semua pihak sangat
diperlukan dalam melangsungkan kegiatan ini. Suatu saat nanti bukan tidak
mungkin para ahli mineral di negara kita tidak lagi berkutat mengolah dan
memurnikan mineral di dalam negeri, tetapi juga dikenal oleh dan bekerja pada
perusahaan tambang di luar negeri. Dengan demikian kita tidak lagi hanya
mengekspor TKI yang berpendicfikan rendah, tetapi juga TKI berkualitas tinggi.
Dan negeri kita pun mampu mensejajarkan diri dengan negaranegara maju.
4. Dr. Ahmad Redi, S.H.
Pendahuluan Mendiskursuskan mengenai kegiatan 'pengusahaan' pertambangan mineral dan
batubara (minerba), tidak akan terlepas dari konsepsi 'penguasaan'
pertambangan minerba. Keduanya merupakan kesatuan utuh dan mutlak yang
tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Apabila keduanya terpisah, maka
jiwa dari penyelengaraan pertambangan Minerba tersebut telah tercabut dari
akarnya. Kesatuan utuh dan bulat tersebut, terlihat secara jelas dari pengaturan
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dalam frasa "dikuasai oleh negara" dan
"untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Kedua frasa tersebut merupakan 2
(dua) frasa sakral yang harus menjadi jiwa dari penyelenggaraan pertambangan
Minerba di Indonesia. Frasa "dikuasai oleh negara" merupakan jiwa
'penguasaan' atas pertambangan Minerba, sedangkan frasa "sebesar-besar
kemakmuran rakyat" merupakan jiwa dari tujuan penyelenggaraan
pertambangan Minerba dalam suatu kegiatan usaha atau 'pengusahaan'. Jadi,
jiwa Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjadi jiwa yang mutlak dan bulat dalam
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
93
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
penyelenggaraan pertambangan Minerba yang secara organik dilaksanakan
dalam level peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945.
Keterkaitan penguasaan oleh negara untuk kemakmuran rakyat akan
mewujudkan kewajiban negara dalam hal: (1) segala bentuk pemanfaatan
(bumi dan air) serta hasil yang didapat (kekayaan alam), harus secara nyata
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat; (2) melindungi dan
menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air
dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung
atau dinikmati langsung oleh rakyat; (3) mencegah segala tindakan dari pihak
manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau
akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam". (Bagir Manan,
Masdar Maju, 1995).
Jiwa Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut telah pula dimaknai oleh Mahkamah
Konstitusi sebagaimana dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-1/2003:
"Bahwa rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan
mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan
pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan
(beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara
dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan
mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi
(concessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui
kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi
oleh Pemerintah (eksekutif) dalam rangka sebesar-besarnya kemakmuran
seluruh rakyat"
Landasan mengadakan kebijakan, pengurusan, dan pengaturan menjadi
landasan terpenting dalam penyelenggaraan penguasaan oleh negara atas
pertambangan minerba. Landasan terpenting pula bagi pengadaan kebijakan,
pengurusan, dan pengaturan negara terkait pelaksanaan peningkatan nilai
tambah serta pengelolaan dan pemurnian di dalam negari oleh Pemegang Izin
Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Penyelenggaraan kebijakan, pengurusan, dan pengaturan terkait pelaksanaan
pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri oleh Pemegang IUP dan IUPK
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
94
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Operasi Produksi tentunya memiliki tantangan bagi Pemerintah dan pemerintah
daerah. Hal ini antara lain disebabkan faktor realitas pertambangan Minerba
yang merupakan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi, sehingga sektor
pertambangan terus dilirik oleh perusahaan-perusahaan untuk dapat
melakukan eksplorasi dan eksploitasi tambang di negara-negara berkembang.
Pemburuan terhadap komoditas tambang didasari pula oleh adanya
kepentingan negaranegara maju dalam pemenuhan kebutuhan dalam negeri
negara tersebut yang yang sangat tinggi untuk melakukan aktivitas kehidupan,
terutama konsumsi energi (batubara) dan industri (Mineral) yang menjadi
tumpuan dalam perekonomian negara-negara maju. Tidak heran bila negara-
negara maju berusaha keras untuk mendapatkan potensi sumber daya alam
(pertambangan) tersebut dengan memburunya di berbagai negara di dunia,
termasuk Indonesia. Diburu karena, komoditas pertambangan Minerba tidak
dapat dipindahkan dari suatu wilayah ke wilayah lain. la melekat di perut bumi
Indonesia. Pengusahaan oleh perusahaan-perusahaan tersebut di Indonesia
bukan menjadi suatu persoalan apabila selain memberikan manfaat tekonomi
bagi perusahaan tersebut maka Indonesia sebagai penguasa sumber daya
alam tersebut pun harus mendapatkan manfaat ekonomi dan sosial yang Iebih
banyak dibandingkan perusahaan-perusahaan tersebut.
Namun di sisi lain, Minerba sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan
merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Sebagai kekayaan yang tak terbarukan, maka Minerba
harus benar-benar memberikan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan yang
balk bagi bangsa Indonesia sebagaimana asas penyelenggaraan
pertambangan Minerba yang manfaat, berkeadilan, dan keseimbangan, serta
kebeperpihakan pada kepentingan bangsa. Sehingga, penyelenggaraan
pertambangan minerba tersebut harus memberikan nilai tambah yang
maksimal bagi bangsa Indonesia.
Salah-satu peningkatan nilai tambah tersebut dilakukan melalui pelaksanaan
pengelolaan dan pemurnian pertambangan mineral di dalam negeri. Agar hasil
tambang mineral Indonesia tidak diangkut mentah-mentah ke luar negeri oleh
perusahaan tambang, namun sebelum dibawa ke luar negeri harus dilakukan
pengelolaan dan pemurnian terlebih dahulu di dalam negeri. Tanah air
Indonesia di bawah ke luar negeri tambah memberikan manfaat yang sebesar-
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
95
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
besarnya bagi kepentingan bangsa Indonesia, padahal bangsa Indonesia-lah
yang sesungguhnya merupakan penguasa, pemilik, dan penikmat utama dari
kekayaan alam Indonesia.
Pelaksanaan pemurnian di dalam negeri dimaksudkan antara lain untuk:
a. meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambah dari produk;
b. tersedianya bahan baku industri;
c. penyerapan tenaga kerja; dan
d. peningkatan penerimaan negara.
Pelaksananaan pengelolaan dan pemurnian dengan segala instrumen
kebijakan, pengurusan, pengaturan, dan pengelolaan menjadi bentuk
pelaksanaan norma penguasaan negara atas pertambangan minerba.
Sehingga, pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 (UU
Minerba), Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010, Peraturan Nomor 24
Tahun 2012, dan Peraturan Nomor 1 Tahun 2014 merupakan bentuk instrumen
kebijakan, pengurusan, pengaturan, dan pengelolaan sebagai pelaksanaan
norma penguasaan negara atas pertambangan minerba sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yaitu agar minerba dalam hal
ini mineral dapat memberikan sebesar-besar kemakmuran bagi rakyat
Indonesia. Terlebih bahwa peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945
tersebut merupakan bentuk penguasaan oleh negara sebagaimana dinyatakan
oleh MK dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-l/2003 dalam hal fungsi
pengaturan oleh negara (rege/endaad) yaitu dilakukan melalui kewenangan
legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah dengan membentuk UU Nomor
4 Tahun 2009, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif) dengan membentuk
peraturan pelaksanaan UU Nomor 4 Tahun 2009 dalam rangka sebesar-
besamya kemakmuran seluruh rakyat.
Perizinan Pengusahaan Mineral Bukanlah Bentuk Peralihan Penguasaan dan Pemilikan Dari Negara ke Pemegang IUP
Dalam keterangan ahli Pemohon, Ir. Simon Sembiring, Ph.D menyatakan
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 92 UU Minerba bahwa "Pemegang IUP
dan IUPK berhak memiliki mineral, termasuk mineral ikutannya, atau batubara
yang telah diproduksi apabila telah memenuhi iuran eksplorasi atau iuran
produksi kecuali mineral ikuran radioaktif'. Menurut Ir. Simon Sembiring, Ph.D,
ketentuan ini menjamin adanya kebebasan bagi pemegang IUP/IUPK produksi,
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
96
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
setelah membayar iuran produksinya (royalti) untuk memiliki dan
memperdagangkan hasil mineral yang telah diproduksinya. Secara hukum,
dengan membayar royalti maka telah terjadi pemindahan kepemilikan dari
negara kepada pemegang IUP/IUPK, sehinggga pemegang IUP/IUPK berhak
memperdagangkannya termasuk mengekspornya.
Menurut saya, keterangan dari Ir. Simon Sembiring, Ph.D justru bertentangan
dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Untuk menafsirkan kepemilikan mineral
dan batubara sebagaimana diatur dalam Pasal 92 UU Minerba harus diikatkan
dengan: a. Kepemilikan merupakan konsep keperdataan.
Dalam konteks pertambangan minerba, aspek hukum pelaksanaannya
harus dimaknai sebagai bentuk penguasaan oleh negara atas sumber daya
alam. Dalam konteks kepemilikan ini sebagaimana pelaksanaan jual bell
yang mengakibatkan peralihan kepemilikan atas objek yang dijual-belikan.
Antara Pemerintah dengan pemegang IUP tidak dalam rangka pelaksanaan
jual beli. Istilah royalti pun mengisyaratkan bahwa tidak terjadi peralihan
kepemilikan. Royalti bermakna sebagai kewajiban dari seseorang kepada
pemilik hak atas suatu objek, misalnya royalti dari penerbit buku kepada
pengarang buku yang atas royalti tersebut tidak terjadi peralihan
kepemilikan ciptaannya. Sehingga, pembayaran royalti tidaklah mengubah
status kepemilikan atas suatu objek tertentu, kecuali melalui skema jual bell
sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Padahal,
pengusahaan pertambangan minerba tidak dilakukan dalam konteks jual
beli antara Pemerintah atau pemerintah daerah dengan Pemegang
IUP/IUPK.Konsep kepemilikan dalam mineral termasuk mineral ikutan
dalam konsepsi hukum pertambangan Indonesia, bukanlah konsep
kepemilikan akibat jual bell sebagaimana diatur dalam Pasal 1457
KUHPerdata yang menyatakan bahwa "jual bell adalah persetujuan yang
mengikat pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang/benda dan
pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk
membayar harga". Namun, dalam konteks Pasal 9A, UU Minerba dan
dikaitkan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, terhadap mineral dan
ikutannya maka walaupun Pemegang IUP/IUPK telah memenuhi iuran
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
97
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
eksplorasi atau iuran produksi, namun pemegang IUP/IUPK tidak dapat
semau dan sekehendaknya memperlakukan mineral dan ikutannya, akan
tetapi Pemegang IUP/IUPK termasuk mineral dan mineral ikutannya tetap
dikenai kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan, termasuk kewajiban pengelolaan dan pemurnian di
dalam negeri.
Dengan demikian, jelas bahwa konsep pemilikan dalam Pasal 92 UU
Minerba bukanlah konsep keperdataan sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (hukum privat) namun merupakan konsep
kepemilikan dalam hukum tata negara (hukum publik). b. Pengusahaan pertambangan dilakukan melalui IUP
Dalam pengusahaan pertambangan sejak terbitnya UU Minerba, skema
pengusahaan pertambangan minerba melalui rezim perizinan sebagai
berikut:
Aspek Kontrak/Perjanjian
Izin Hak Hubungan Hukum Perdata Publik Publik Penerapan Hukum Para Pihak Pemerintah Pemerintah Subjek Para Pihak Perorangan dan
badan usaha
Perorangan, badan usaha, masyaraka hukum adat
Pilihan Hukum Berlaku pilihan hukum
Tidak berlaku Tidak berlaku
Penyelesaian Sengketa
Arbitrase/Alternative Dispute Resolution
PTUN PTUN
Akibat Hukum Kesepakatan Pihak Sepihak Sepihak Kepastian Hukum Kesepakatan Pihak Terjamin Terjamin Hak dan Kewajiban Dua Pihak Pemerintah lebih
b Pemerintah lebih b Sumber Hukum Peraruran perjanjian
itu sendiri
Peraturan perundang-
Peraturan perundang- undangan
Contoh Kontrak Karya(KK), PerjanjianKarya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), Kontrak Kerja Sama Migas.
Izin Usaha Pertambangan, Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu, Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu
Hak Hutan Adat, Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3), Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Milik, Hak Guna Bangunan.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
98
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Dalam skema perizinan, pemberi izin memiliki posisi tinggi/superior
dibandingkan penerima izin. Pemberi izin, dapat menyaratkan apapun
persyaratan bagi setiap pemohon izin agar dapat mendapatkan izin.
Hubungan hukum antara pemberi izin dan penerima izin bukanlah seperti
para pihak secara kontraktual yang seimbang dan setara. Namun, pemberi
izin (Pemerintah dan pemerintah daerah) berkedudukan lebih tinggi dari
calon pemegang IUP/IUPK dan pemegang IUP/IUPK. Sehingga, setiap
persyaratan dari pemberi izin (Pemerintah dan pemerintah daerah) harus
dipenuhi oleh pemegang IUP/IUPK, termasuk pensyaratan kewajiban
pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri (Pasal 103 UU Minerba), ini
terkait pula dengan fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara
dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan
dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi
(concessie).
C. Pemegang IUP/IUPK Seketika Harus Melakukan Pengelolaan dan Pemurnian di Dalam Negeri Pada Tahap Operasi Produksi
Dalam Pasal 103 UU Minerba diatur kewajiban Pemegang IUP dan IUPK
Operasi Produksi (OP) untuk melakukan pengelolaan dan pemurnian di
dalam negeri. Status pemegang IUP dan IUPK dalam rezim pengaturan
pertambangan minerba terdiri atas 2 (dua) pemegang IUP/IUPK OP, yaitu
(1) Pemeganq IUP/IUPK OP hasil perubahan dari KP, Surat Izin
Pertambanqan Daerah (SIPD), dan Surat Izin Pertambangan Rakvat
(SIPR); dan (2) Pemeganq IUP/IUPK OP baru yang bukan hasil perubahan
dari KP, SIPD, dan SIPR. Kedua jenis izin tersebut memiliki perbedaan
kewajiban pelaksanaan pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri.
Perbedaan tersebut, yaitu Pemegang IUP/IUPK OP hasil perubahan dari
KP, SIPD, dan SIPR diwajibkan melakukan pengelolaan dan pemurnian di
dalam negeri paling lambat 5 (lima) tahun sejak Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2010 diundangkan (Pasal 112 ayat (4) huruf c). Hal ini
sama dengan Pemegang KK/PKP2B yaitu paling lambat 5 (lima) tahun
sejak UU Minerba diundangkan (Pasal 170 UU Minerba). Namun,
sebaliknya bagi Pemegang IUP/IUPK OP pelaksanaan pengelolaan dan
permunian di dalam negeri, mengikuti tahapan pertambangan sebagaimana
tahapan pertambangan yang diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UU Minerba
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
99
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
yang mengatur bahwa tahapan kegiatan IUP Eksplorasi (kegiatan
penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan) dan IUP OP (kegiatan konstruksi, penambangan, pengelolaan dan pemurnian, serta
pengangkutan dan penjualan). Bahkan dalam Pasal 39 ayat (2) huruf d UU
Minerba diatur bahwa dalam IUP OP harus dimuat lokasi pengelolaan dan
pemurnian, sehingga bagi Pemegang IUP Eksplorasi tidak dapat diberikan
IUP OP apabila tidak memiliki lokasi pengelolaan dan pemurnian. Lokasi
pengelolaan dan pemurnian tersebut harus berada di dalam negeri
sebagaimana diatur dalam Pasal 103 UU Minerba baik dibangun sendiri,
maupun bekerja sama dengan badan usaha, koperasi, atau perseorangan
yang telah mendapatkan IUP/IUPK.
Dilihat dari konteks pengaturan dalam Pasal 36, Pasal 39, dan Pasal 103
UU Minerba tersebut, maka pelaksanaan pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri harusoleh Pemegang IUP harus dilakukan seketika pada saat tahapan pengelolaan dan permunian telah dilaksanakan. Sehingga, apabila pengelolaan dan pemurnian tidak dilakukan di dalam
negeri maka telah terjadi pelecehan UU Minerba dan telah terjadi pula
pelecehan atas act of will rakyat Indonesia karena UU Minerba merupakan
kehendak rakyat Indonesia yang diwakili oleh DPR dan Pemerintah yang
pula sebagai amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
D. Larangan Ekspor Tidak Dikenal Dalam Rezim Hukum Pertambangan Minerba
Dalam pasal-pasal di UU Minerba, PP Nomor 23 Tahun 2010, PP Nomor 24
Tahun 2012, dan PP Nomor 1 Tahun 2014 tidak dikenal frasa "larangan
ekspor" apabila Pemegang IUP/IUPK tidak melaksanakan kewajiban
pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri. Munculnya frasa "larangan
ekspor" pertama kali muncul dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2010 yaitu bahwa pemegang IUP OP dan IPR
diterbitkan sebelum berlakunya Penmen ESM Nomor 7 Tahun 2010
dilarang untuk menjual bijih (raw material atau ore) mineral keluar negeri
dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Penmen
ESDM Nomor 7 Tahun 2012. Namun, Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2012
tersebut telah diuji ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung pun telah
membatalkannya.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
100
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Selanjutnya, apabila dilihat, dalam PP Nomor 1 Tahun 2014 secara normatif
terkait pengaturan kepada Pemegang IUP dengan materi muatan yang
sangat jelas, terdiri atas unsur: (1) kewajiban melakukan pengelolaan dan
pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri; (2) pemegang IUP yang
telah melakukan pengelolaan dapat menjual ke luar negeri hasil
pertambangannya dalam jumlah tertentu yang ketentuan lebih lanjutnya
diatur dalam Pertaturan Menteri. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 112C
PP Nomor 1 Tahun 2014 tersebut, tidak ada keraguan bahwa tidak ada
pengaturan mengenai larangan ekspor. Pun bila dianggap ada maka PP
tersebutlah yang harusnya diuji ke Mahkamah Agung atau bila peraturan
pelaksanaan dari PP tersebut, yaitu Peraturan Menteri ESDM Nomor 1
Tahun 2014 yang dianggap melarang ekspor maka Peraturan Menteri
tersebutlah yang diuji ke Mahkamah Agung.
Berdasarkan hal tersebut, nomenklatur "larangan ekspor" dan substansi
"larangan ekspor" tersebut tidak ada satu pun dalam rezim pengaturan
pertambangan Minerba. Pun, seandainya ada dalam PP dan Permen ESDM
maka hal tersebut pun dibenarkan karena sebagaimana diatur dalam Pasal
103 ayat (3) UU Minerba bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai
pengelolaan dan pemurnian diatur dalam Peraturan Pemerintah. Norma
dalam Pasal 103 UU Minerba bukanlah norma yang selesai, sehingga
Presiden dapat menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan
undang-undang sebagaimana mestinya [Pasal 5 ayat (2) UUD 1945]. Dalam
PP Nomor 1 Tahun 2014 pun, norma (pengaturan) pengelolaan dan
pemurnian belum selesai yaitu pelaksanaan pengelolaan dan pemurnian
serta batasan minimun pengelolaan dan pemurnian diatur oleh Peraturan
Menteri ESDM (Pasal 112C angka 5 PP Nomor 1 Tahun 2014).
Berdasarkan hal tersebut, maka Pemohon telah salah melakukan pengujian
peraturan perundang-undangan, karena:
1. Pemerintah tidak pernah mengatur mengenai larangan ekspor mineral
dan batubara dalam UU Minerba dan PP Nomor 23 Tahun 2010, PP
Nomor 24 Tahun 2012, dan PP Nomor 1 Tahun 2014;
2. Pemerintah tidak pernah menfasirkan Pasal 102 dan Pasal 103 UU
Minerba sebagai bentuk pelarangan ekspor;
3. Larangan ekspor pernah ada di Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2010
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
101
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
Jadi, tafsiran larangan ekspor dan tuduhan Pemerintah telah melakukan larangan ekspor dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 merupakan hal yang mengada-ada.
E. Politik Hukum Kewajiban Pengelolaan dan Pemurnian di Dalam Negeri
Kewajiban pengelolaan dan pemurnian telah muncul sebelum lahirnya UU
Minerba. Misalnya, dalam Kontrak Karya antara Pemerintah RI dengan PT
Freeport dan Kontrak Karya antara Pemerintah RI dengan PT Newmont
Nusa Tenggara telah dimuat kewajiban pengelolaan dan pemurnian di
dalam negeri dengan mempertimbangkan aspek keekonomian. Dilihat dari
konteks dalam Kontrak Karya tersebut bahwa Pemerintah telah lama
menganggap pentingnya pelaksanaan pengelolaan dan pemurnian di dalam
negeri. Artinya kewajiban pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri
bukanlah hal yang baru dan ujugujug, tapi sudah diupayakan sejak lama
oleh Pemerintah.Akhirnya kewajiban tersebut tidak hanya tertuang secara
kontraktual namun juga dituangkan secara legislatif (UU) dan regulatif
dalam peraturan perundang-undangan (PP dan Permen).
Bahkan tidak hanya dalam rezim pengaturan dalam bidang Minerba, dalam
bidang perdagangan pun sebagaimana diatur dalam Pasal 50 UU Nomor 7
Tahun 2014 tentang Perdagangan diatur bahwa semua barang dapat
diekspor atau diimpor, kecuali yang dilarang, dibatasi, atau ditentukan lain
oleh Undang-Undang. Pemerintah melarang ekspor barang untuk
kepentingan nasional dengan alasan. untuk melindungi kepentingan umum.
Lebih lanjut dalam Pasal 54 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2014 tersebut,
diatur pula bahwa Pemerintah dapat membatasi Ekspor Barang dengan alasan: a. menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri; b. menjamin ketersediaan bahan baku yang dibutuhkan oleh industri pengolahan di dalam negeri; c. melindungi kelestarian sumber daya alam; d. meningkatkan nilai tambah ekonomi bahan mentah dan/atau sumber daya alam; e. mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditas Ekspor tertentu di pasaran internasional; dan/atau f. menjaga stabilitas harga komoditas tertentu di dalam negeri.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
102
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Berdasarkan hal tersebut di atas, jelas bahwa politik hukum Pemerintah
dalam hal kewajiban pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri
merupakan politik hukum yang responsif. Melalui pengelolaan dan
pemurnian di dalam negeri, terdapat peningkatan nilai tambah secara
ekonomis, sosial, dan lingkungan. Jelas bahwa dengan pengelolaan dan
pemurnian di dalam negeri akan berdampak pada penerimaan negara,
tersedianya bahan baku di dalam negeri, penyerapan tenaga kerja, dan
menjaga stabilitas harga komoditas tertentu di dalam negeri.
F. Kewajiban Pengelolaan dan Pemurnian Bukanlah Instrumen Pengendalian Produksi dan Ekspor Dalam keterangan ahli Pemohon, Bapak Simon Sembiring menyatakan
bahwa guna kepentingan nasional, maka apabila bermaksud
mengendendalikan produksi dan ekspor, seharusnya menggunakan Pasal 5
UU Minerba dan tidak ada relevansinya dengan Pasal 102 dan Pasal 103
UU Minerba.
Berdasarkan pendapat Bapak Simon Sembiring, menurut saya terdapat
perbedaan yang mendasar antara Pengendalian Produksi dan Ekspor
dengan Kewajiban Pengelolaan dan Pemurnian di Dalam Negeri
Berikut ini saya sampaikan, perbedaan pengendalian produksi dan ekspor
dengan kewajiban pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri:
Perbedaan Pengendalian Produksi dan Ekspor dengan Kewajiban Pengelolaan dan Pemurnian di Dalam Negeri
Aspek Pengelolaan dan Pemurnian di Dalam Negeri Pengendalian
Norma Pasal 5 Pasal 103 Tujuan Pengendalian produksi dan
ekspor Penerimaan negara, tersedianya bahan baku di dalam negeri, penyerapan tenaga kerja,
Proses Persetujuan DPR RI Tidak perlu persetujuan DPR RI
Hasil Penetapan jumlah produksi perprovinsi/tahun
Pembangunan smelter
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
103
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Kedua hal tersebut berbeda. Artinya dua hal kebijakan tersebut dapat
dilakukan oleh Pemerintah dalam aspek yang berbeda, yaitu dalam konteks
peningkatan nilai tambah atau dalam konteks pengendalian produksi dan
ekspor. Dalam kaitannya dengan Pasal 103 UU Minerba dan peraturan
pelaksanaannya, maka jelas bahwa Pemerintah dalam hal ini sedang
mengatur, mengurus, dan membuat kebijakan mengenai kewajiban
pengelolaan dan pemurnian. Hal ini didasari oleh misalnya, dalam
pengaturan, pengurusan, dan pembuatan kebijakan tersebut tidak dilakukan
dengan persetujuan DPR dan hasilnya bukan melalui penetapan jumlah
produksi perprovinsi/tahun, namun Pemerintah menekankan kewajiban
menegenai pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri bagi pemegang KK
dan pemegang UIP hasil perubahan KP, SIPD, dan SIPR sejak tanggal 12
Januari 2014. Sedangkan IUP baru yang dikeluarkan setelah UU Minerba
memiliki kewajiban pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri sejak IUP
tersebut diberikan, tepatnya pada saat tahapan operasi produksi.
G. Penutup
Perusahaan tambang jangan hanya mementingkan 'perut'nya sendiri, namun
meninggalkan kepentingan 'perut' ibu pertiwi. Harus ada keadilan dan
kemanfaatan pertambangan bagi bangsa Indonesia. Hasil tambang mentah-
mentah yang di bawah ke luar negeri tanpa diolah dan dimurnikan di dalam
negeri merupakan bentuk pelecehan pelaku usaha balk kepada UUD 1945,
UU Minerba, dan peraturan pelaksanaannya maupun kepada rakyat
Indonesia yang sesungguhnya penikmat utama hasil tambang untuk
sebesar-besar kemakmurannya. Pengaturan mengenai kewajiban bagi
Pemegang IUP/IUPK untuk melakukan pengelolaan dan pemurnian di dalam
negeri telah sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 33 ayat (3) UUD
1945.
Perintah ini tertuang dalam Pasal 112 UU Minerba yang secara tegas
memerintahkan pemegang IUP/IUPK untuk melakukan pemurnian di dalam negeri telah tepat sebagai bentuk perlawanan kepada Pemegang IUP/IUPK
lebih memilih memurnikan mineral mentah Indonesia ke negara lain, seperti
Spanyol dan Jepang. Mineral mentah tersebut dibawa keluar negeri tanpa
memberikan nilai tambah bagi bangsa dan negara, pun ketika UU Minerba
lima tahun lalu (2009) memerintahkan agar para pemegang IUP/IUPK untuk
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
104
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
memurnikan di dalam negeri, perusahaan pemegang IUP dan IUPK tidak
mematuhinya. Padahal pemurnian di dalam negeri diperuntukkan agar
terjadinya manfaat nilai tambah dari mineral, tersedianya bahan baku
industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan penerimaan negara bagi
Indonesia.
Politik hukum kewajiban pengelolaan dan pemurnian di dalam negeri
merupakan politik hukum yang responsif dari DPR dan Pemerintah. Politik
hukum yang berlandaskan pada konsep the greatest happiness of the
greatest number. Politik hukum yang merupakan pelaksanaan konsepsi
Indonesia sebagai negara hukum dan konsep bahwa kekayaan alam harus
dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Bahwa peraturan yang baik ialah peraturan yang mampu memberikan
kebahagiaan/manfaat terbesar bagi seluruh rakyat. Pilihan substansi
pengaturan harus berpihak pada mayoritas banyak orang (rakyat), walaupun
menimbulkan sedikit kerugian bagi pihak lain.
5. Dr. A. Sonny Keraf
Ahli adalah Ketua Panja UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara (UU Minerba), merupakan suatu kehormatan tak ternilai untuk
memperoleh kesempatan guna mempertahankan visi besar UU Minerba
sebagaimana yang menjadi jiwa dari seluruh proses penyusunan maupun isi
dari keseluruhan Undang-Undang tersebut.
UU Minerba ini menurut penilaian saya dan menurut pengalaman nyata
seluruh proses penyusunannya adalah sangat konstitusional baik dalam
seluruh semangat penyusunannya maupun kandungan isi dari Undang-
Undang ini, khususnya terkajt dengan pasal dan ayat yang diujikan pada
persidangan ini sebagaimana akan saya uraikan di bawah. Yaitu, visi dasar
dari UU Minerba ini adalah mengimplementasikan dan mengkongkritkan visi
dan pesan moral-konstitusional UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3),
"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasal
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besamya kemakmuran rakyat."
Dalam hal ini berarti mineral dan batubara yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 4/2009 harus dan adalah demi "sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat."
Terkait dengan visi besar konstitusional tersebut, UU Minerba ini lahir dari
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
105
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
latar belakang dan demi menjawab sebuah persoalan klasik yang nyata-nyata
dialami bangsa ini dari tahun ke tahun tetapi belum pernah berhasil di atasi
sebelumnya, yaitu hilangnya peluang keuntungan ekonomis finansial dari
Minerba yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, tetapi tetap dibiarkan terjadi dalam wujud keluarnya
keuntungan ekonomis finansial dari minerba yang mengalir ke negara lain
yang bukan menjadi pemilik kekayaan alam Indonesia berupa minerba tadi.
Salah satu peluang ekonomis finansial yang hilang tersebut adalah terus
terjadinya ekspor mineral dalam keadaan mentah atau belum diolah yang
sangat merugikan bangsa dan negara Indonesia, dan justru sangat
bertentangan dengan amanat moral konstitusional UUD 1945.
Kerugian-kerugian ekonomis-finansial tersebut antara lain, pertama,
hilangnya manfaat ekonomis berlipat-lipat dari rangkaian kegiatan produktif
yang tercipta apabila bahan mentah tambang tidak diproses dan diolah di
dalam negeri. Jika itu terjadi akan tercipta berlipat-lipat lapangan dan
kesempatan kerja bagi rakyat Indonesia tidak hanya terkait dengan proses
produktif dari kegiatan langsung mineral dan pemurniannya melakukan juga
dari rangkaian aktivitas ekonomi produktif yang menyertai atau timbul
karena kehadiran pengolahan dan pemurnian mineral tadi di dalam negeri.
Kedua, dengan diekspor dalam keadaan mentah sudah dengan sendirinya,
mineral kita dihargai rendah karena rendah pula nilai ekonomisnya.
Sebaliknya, ketika bahan rnentah mineral kita diolah dan dimurnikan terlebih
dahulu di dalam negeri, akan tercipta nilai tambah dan keuntungan
ekonornis berlipat-lipat demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
sebagaimana menjadi amanat Konstitusi UUD 1945.
Ketiga, hilangnya manfaat dan peluang keuntungan ekonomis juga terjadi
karena kita - yang memiliki bahan mentah pertambangan - malah harus
kembali mengimpor bahan baku untuk berbagai industri strategis kita hanya
karena proses pemurnian mineral tadi dilakukan diluar negeri. Dengan
kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, kita mendapatkan
bahan mentah langsung dari dalam negeri bagi kegiatan berbagai industri
strategis kita di dalam negeri yang tidak harus menguras devisa untuk
mengimpornya. Industri-industri strategis ini pada gilirannya akan menjadi
penggerak ekonomi dan kemajuan bangsa yang luar biasa demi sebesar-
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
106
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
Keempat, dalam kaitan dengan itu, peluang ekonomi untuk berkembangnya
kewirausahaan dan alih teknologi yang menyertai proses pengolahan dan
pemurnian mineral menjadi hilang karena bahan mentah mineral ternyata
diekspor begitu saja keluar negeri. Berkembangnya kewirausahaan dan alih
teknologi pada gilirannya akan ikut memungkinkan bangsa ini sungguh
berdaulat di bidang ekonomi sesuai dengan amanat Konstitusi UUD 1945
Pasal 33 ayat (4): "Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar asas
demokrasi ekonomi," yaltu ekonomi yang tumbuh dan berkembang dengan
terms mengandalkan kemampuan rakyat Indonesia sendiri karena antara lain
kemampuan wirausaha penguasaan teknologi.
Kelima, Iebih dari itu, kenyataan menunjukkan bahwa dengan diekspornya
bahan mental mineral, negara RI tidak bisa mengontrol secara tepat berapa
banyak dan jenis apa saja mineral yang digali dari bumi pertiwi ini. Ada
berbagai mekanisme dan prosedur pelaporan dan pengawasan untuk itu,
tetapi selalu saja berbagai cara bisa digunakan untuk mengelabui pihak
berwenang sehingga kita kehilangan sumber pendapatan dari mineral kita.
Dengan diolah dan dimumikan terlebih dahulu di dalam negeri, kontrol atas
kekayaan alam Indonesia yang dikuasai oleh negara menjadi Iebih terjamin.
Dengan mengontrol pergerakan mineral tadi, berarti mengontrol kekayaan
alam Indonesia demi sebesar-besamya kemakmuran rakyat Indonesia.
Atas dasar semangat konstitusional untuk merealisasikan amanat Konstitusi
UUD 1945 dan demi menghentikan hilangnya peluang ekonomis
sebagaimana digambarkan di atas, para pembuat UU Minerba – dalam hal ini
DPR RI dan Pemerintah RI – sepakat untuk mewajibkan dilakukannya proses
pengolahan dan pemurnian mineral sebagaimana tercantum dalam Pasal 102
dan Pasal 103 yang intinya pemegang izin wajib melakukan pengolahan dan
pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.
Ada paling kurang empat konsekuensi logis secara implisit maupun eksplisit
sebagai kelanjutan Berl ketentuan dan amanat ini. Pertama, ketentuan ini
berlaku sejak diundangkan. Yang berarti, siapa saja yang ingin melakukan
usaha pertambangan dalam bentuk IUP dan IUPK sebagaimana tercantum
dalam Pasal 102 dan Pasal 103, dan karena itu akan mengurus permohonan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
107
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
IUP dan IUPK sejak UU Minerba ditandatangani oleh Presiden, sudah tahu –
kalau betul dia seorang pengusaha pertambangan yang sejati – bahwa dia
tidak diperbolehkan untuk mengekspor bahan mentah tambang basil
penambangannya keluar negeri. Itu berarti dia harus sudah mempunyai
rencana yang jelas dimana di dalarn Negara RI ini dia akan mengolah dan
memurnikan basil tambangnya, entah oleh perusahaan bentukannya sendiri
atau oleh perusahaan bentukan pihak ketiga Iainnya.
Kedua, sebagai konsekuensi logis dari amanat yang sejalan dengan
perintahan UUD 1945 tadi, sudah seharusnya dan semestinya di satu pihak
pemerintah mewajibkan dilakukannya proses .pengolahan dan pemurnian di
dalam negeri, dan di pihak lain sudah seharusnya pemerintah
mengeksplisitkan perintah UU Minerba dengan melarang ekspor bahan
mentah tambang. Dalam pemahaman saya, larangan tersebut adalah
konsekuensi Iogis dari kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri
sebagaimana menjadi perintah Pasal 102 dan Pasal 103 sebagai
implementasi amanat Konstitusi UUD 1945. Adalah bertentangan dengan
amanat Konstitusi UUD 1945, kalau pemerintah justru malah terus
membiarkan ekspor bahan mentah tambang sebagaimana yang terjadii
sebelumnya dan menjadi latar belakang lahirnya Pasal 102 dan Pasal 103
sebagaimana kami uraikan di atas.
Ketiga, terkait dengan poin 1 dan 2 yang baru saja kami uraikan, maka terkait
dengan dalil kerugian yang dialami oleh para pengusaha tambang dan
karyawannya yang terkena dampak larangan ekspor bahan mentah tambang,
kiranya itu adalah kesalahan mereka akibat mengabaikan dan menutup mata
terhadap perintah Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba dan bukan karena
akibat dari peraturan pelatksana yang dikeluarkan pemerintah terkait amanat
Pasal 102 dan Pasal 103. Kalau sudah tahu bahwa ada keharusan untuk
pengolahan dan pemurnian di dalam negeri – yang berarti tidak boleh lagi
mengeksor lam mentah tambang – mengapa terus saja membuka usaha
penambangan. Kami mencurigai bahwa lot kWh merupakan sebuah upaya
untuk menjadikan karyawan sebagai taruhan untuk melemahkan pelaksanaan
UU Minerba demi keuntungan kelompok belaka yang sesungguhnya sudah
tahu dilarang tapi jalan terus.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
108
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Keempat, lain kasusnya bagi pihak yang sudah beroperasi sejak sebelum UU
Minerba diberlakukan. Adalah tidak adil, ketika amanat Undang-Undang yang
baru juga diberlakukan bagi mereka yang sudah berinvestasi dan sudah
sedang beroperasi. Tidak masuk akal seandainya aktivitas penambangan
mereka dihentikan untuk menunggu dibangunnya proses pengolahan dan
pemurnian terlebih dahulu.
Atas dasar itulah, para pembuat UU Minerba, mengecualikan kewajiban
sebagaimana yang diamanatkaaa Pasal 102 dan Pasal 103 dengan
memberikan pengecualian tenggak waktu pemberlakuan amamat tadi dengan
memberikan toleransi 5 tahun sejak UU Minerba diberlakukan sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 170 UU Minerba. Pembahasan tentang toleransi
tenggak waktu ini dilakukan dengan penuh pertimbangan mendalam untuk
memungkinkan tidak terganggunya proses penambangan yang sedang
berjalan.
Pertanyaannya, apakah adil ketika sebagian diberi toleransi tenggak waktu
sementara yang lain diwajibkan sejak diberlakukan. Bagi saya pembedaan ini
adil, karena saat mulai menambang, yang satu – yaitu pemegang KK - belum
tahu ada kewajiban termaksud, sementara yang Iainnya – yaitu pemohon IUP
dan IUPK yang baru - sudah tahu sebelum mengurus permohonan izin. Lain
halnya kalau kewajiban yang sama diberlakukan secara berbeda bagi mereka
yang sama-sama sudah tahu sejak awal atau sama-sama belum tahu ada
kewajiban seperti itu.
Sehubungan dengan itu, kiranya menjadi adil bahwa sejak 5 tahun setelah
UU Minerba diberlakukan, yaitu sejak 12 Januari 2014, tidak boleh ada lagi
toleransi bagi siapa pun untuk diwajibkan melakukan pengolahan dan
pemurnian di dalam negeri. Sejak tanggal tersebut, yaitu sejak 5 tahun
setelah UU Minerba diberlakukan, maka back pemegang IUP dan IUPK serta
pemegang KK, sudah dengan sendirinya tanpa terkecuali wajib mengolah dan
memurnikan bahan tambang hasil penambangannya di dalam negeri. Dan
untuk itu, tidak diperkenankan ada pemegang IUP, IUPK dan KK yang masih
diperbolehkan mengekspor bahan mentah tambangnya keluar negeri karena
hal itu bertentangan dengan amanat. Konstitusi UUD 1945.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
109
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Dengan uraian di atas, menjadi sangat jelas bahwa UU Mlnerba, termasuk
Pasal 102, Pasal 103 dan Pasal 170, sungguh sangat konstitusional sejalan
dengan amanat UUD 1945. Dengan mewajibkan proses pengolahan dan
pemurnian di dalam negeri – dan berarti segala macam ekspor bahan
mentah tambang diiacang dan dihentikan – kita telah bertindak konsitusional
mengelola Minerba kita demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan
rnenghentikan hilangnya peluang ekonomi finansial sebagaimana
dipaparkan di atas. Kita bahkan dengan lebih mudah bisa mengontrol berapa
banyak dan apa saja jenis mineral yang dikeruk dari perut bumi Indonesia
karena diekspor dalarn bentuk olahan yang sudah jadi.
Lebih dari itu, para Hakim Konstitusi yang mulia, dengan amanat Pasal 102
dan Pasal 103, kita secara tidak langsung telah melakukan moratorium untuk
sementara atas izin dan eksplotasi mineral kita karena selama tidak jelas
proses pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri, tidak
boieh ada ekploitasi tambang.
Dengan berdasarkan argumen-argumen saya tersebut di atas, saya meyakini
dan memohon kepada Hakim Konstitusi yang mulai, untuk mempertahankan
kebijakan pengolahan dan pemurnian mentah tambang di dalam negeri dan
untuk itu konsekuensinya menghentikan setiap tindakan yang menyebabkan
hilangnya peluang ekonomi berupa ekspor bahan/tambang karena
bertentangan dengan amanat dan semangat Konstitusi UUD 1945, dengan
melarang ekspor bahan mentah tambang. Hal ini juga untuk menjamin
konsistensi dan keadilan bagi para pemegang izin tambang yang sudah diisi
menjalankan perintah UU Minerba. Adalah tidak adil seandainya ketentuan
ini dihapus, yang akan sangat merugikan bagi mereka yang justru patuh
memenuhi perintah UU Minerba ini.
Kalau saya saja, yang adalah rakyat biasa, telah berjuang habis-habisan
selama proses pembahasan UU Minerba untuk bersama dengan para
penyusun UU Minerba lainnya mencantumkan dan mempertahankan amanat
Pasal 102, Pasal 103 dan Pasal 170, sudah seharusnya lebih lagi para
Hakim Konstitusi yang adalah penjaga termulia Konstitusi UUD 1945 untuk
tetap mempertahankan pasal-pasal yang diujikan ini.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
110
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Akhirnya adalah sebuah kebanggaan bahwa saya telah ikut ambil bagian
dalam mengejawantahkan amanat Pasal 33 UUD 1945 di dalam UU Nomor
4/2009 tentang Mineral dan Batubara. Ini sebuah legacy yang mengagumkan
bagi saya. Dan saya berharap para Hakim Konstitusi rakan juga menjaganya
dengan segala kewenangan konstitusional yang dimiliki, yang juga akan
menjadi sebuah legacy dari para Hakim Konstitusi bagi bangsa dan negara
ini.
6. A. Tony Prasetiantono, Ph.D
• Teori rent-seeking behavior, tahun 1980-1990-an produksi minyak kita
adalah 1,6 juta barel per hari, dimana konsumsi kita hanya 800.000 barel per
hari, sehingga kita bisa mengekspor minyak;
• Ketika harga minyak tahun 1980-an itu sekitar $30, tahun 1990-an itu $40-an
setelah perang Irak melawan Kuwait. Kemudian belakangan minyak $70-an
per barel itu sebelum krisis prime mortgage dan belakangan pernah
mencapai $147 per barel itu tahun 2008. Kemudian hari ini kira-kira $100-
$120 per barel;
• Begitu atraktifnya sehingga munculah yang disebut rent-seeker. Rent-seeker
adalah orang-orang atau pihak-pihak, bisa institusi, bisa orang, bisa
kelompok yang memanfaatkan situasi pasar untuk mendapatkan benefit,
mendapatkan manfaat finansial secara mudah;
• Contoh yang paling gampang kita lihat adalah ketika Indonesia adalah
produsen minyak, pernah jadi anggota OPEC. Tetapi ternayata kilang
minyaknya tidak cukup, sehingga kita harus mengirim minyak ke Singapura
sehingga menjadi mata rantai (supply chain) menjadi panjang. Inilah yang
disebut dengan Rent-seeking behavior. Jadi artinya orang yang
mendapatkan advantage, benefit dari situasi tersebut. Dan ini terjadi banyak
sektor, pertambangan adalah salah satu sektor yang sangat atraktif;
• Rent-seeking behavior teori ini relatif baru dalam ilmu ekonomi. Pertama kali
dikemukakan N. Kruger dari Duke. Seorang ekonom perempuan yang juga
adalah waktu itu Ketua Asosiasi Ekonom Amerika.
• Kalau kita mengekspor mineral mentah, artinya kita memberi kesempatan
bagi perusahaan-perusahaan yang mengolah mineral mentah di Indonesia
untuk mendapat keuntungan berlipat, ini yang disebut dengan rent-seeking
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
111
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
behavior;
• Ahli mengambil contoh kasus kayu glondongan, karena mirip dengan kasus
mineral saat ini. Pada tahun 1985 Pemerintah melarang untuk melakukan
ekspor kayu glondongan (plywood), dimana pada saat yang sama juga
dilakukan oleh Pemerintahan Cina. Akibatnya tidak ada pasokan kayu
glondongan ke Korea, hal ini membuat kurang lebih 100 perusahaan
plywood di Korea tutup;
• Pada tahun 1973, Indonesia hanya memiliki 2 pabrik industri kayu lapis dan
meningkat pada tahun 1980-an menjadi 29 pabrik dan puncaknya pada
tahun 1997 Indonesia memiliki 122 pabrik kayu lapis, sehingga catatan disini
bahwa Korea bangkrut namun Indonesia mendapatkan manfaat;
• Ketika terjadi kesulitan ekspor minyak oleh Indonesia, akibat dari
berlimpahnya pasokan minyak dunia, Indonesia diselamatkan oleh dua
komoditas yaitu plywood dan ekspor tekstil garmen ke Amerika. Oleh karena
itu ekonomi Indonesia pernah diselamatkan dengan strategi kebijakan yang
tepat, melarang ekspor kayu gelondongan menjadi kayu lapis;
• Hal ini mirip dengan kasus Minerba saat ini, bahkan untuk kasus Minerba ini
lebih mendesak untuk melarang, mendorong, mewajibkan pengusaha untuk
memprosesnya di dalam negeri, karena berbeda dengan kayu lapis yang
dapat diperbaharui, Minerba tidak dapat diperbaharui. Oleh karena itu jika
kayu glondongan saja kita larang untuk diekspor dan memberikan dampak
positif, apalagi tambang yang memiliki derajat lebih tinggi lagi;
• Sekarang harga minerba, tadi juga sudah disampaikan mineral mentah
perbandingan harga mineral mentah dengan barang intermedia goodnya
atau semi finish goodnya itu kira-kira bisa 5 sampai 10 kali lipat, jadi dengan
kata lain, kalau kita mengekspor mineral mentah nilainya 5 miliyar, kalau ini
diolah itu bisa menjadi 5 sampai 10 kali lipat. Jadi prediksi minimal saja kalau
kita menggunakan proyeksi yang minimalis maka kita akan mendapatkan
devisa 25 miliyar dolar;
• Namun jika kita optimis mampu membangun smelter maka kita akan
mendapatkan 50 milyar dolar dikemudian hari, memang masalahnya ditahun-
tahun awal ketika smelter tersebut masih dibangun kita akan kehilangan
pemasukan sekitar 5 milyar dolar per tahun, namun hal ini umum terjadi. Di
mana-mana kalau kita mau apa namanya mengubah trek dari romi terios
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
112
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
ekspor kemudian menjadi semi finish good atau final good itu memang ada
masa transisi, jadi masa transisi ini lah yang barang kali tidak mengenakan,
baik itu bagi perekonomian nasional maupun bagi pelaku bisnis, bagi
operator atau bagi perusahaan-perusahaan pertambangan;
• Tidak ada strategi jangka panjang yang tidak didahului dengan word skot sivil
fais, kita harus berkorban kita pada tahun-tahun awal kita mungkin akan rugi,
rugi pada 2, 3 tahun pertama tetapi kita akan mendapatkan keuntungan yang
lebih besar dalam jangka panjang, juga mengenai keluhan beberapa kawan,
beberapa operator atau beberapa perusahaan yang merasa smelter itu
mahal. Dalam setiap bisnis ada yang namanya economies of skill, apa itu
economies of skill, yaitu memang ada perusahaan industri-industri yang tidak
bisa dimasuki oleh pengusaha-pengusaha kecil, contohnya perbankkan
kalau mau bikin bank makanya pemerintah sekarang katanya banyak usul
bikin bank infrasruktrur itu tidak semudah itu mau bikin bank yang benar, itu
modalnya 70 triliun rupiah;
• Di industri pertambangan ini tergantung teknologi apa yang digunakan, ahli
mendapat informasi tentang pembuatan smelter yang lebih murah namun
affordable;
• Kesimpulan ahli, pertama, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 itu
mewajibkan para operator melakukan pengolahan dan pemurnian mineral
mentah di dalam negeri untuk mendapatkan nilai tambah value added.
Angka perkiraan ahli berdasarkan data Menteri Keuangan, kalau mineral
mentah itu US.5.Miliar kita ekspor, berarti kalau mineral sudah diproses
atleast US.25.Miliar itu sangat besar. Telah disebutkan sebagai
perbandingan, total ekspor kita itu rata-rata terakhir kira-kira US.190 Miliar.
Jadi kalau mineral yang sudah diproses itu menyumbang 25 Miliar itu sebuah
jumlah yang sangat signifikan. Sebagai perbandingan, cadangan devisa kita
sekarang US.111,22 Miliar. Jadi kalau mineral diproses itu menyumbang 25
Miliar, itu artinya kira-kira setara dengan seperempat dari cadangan devisa
Indonesia;
• Kedua, Sebagaimana pengalaman industri kayu lapis pada tahun 1985, kita
mestinya juga membangun industri pengolahan mineral untuk merebut nilai
tambah yang lebih besar;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
113
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
7. Ir. Ryad Areshman Chairil, LL.M
Ahli memandang bahwa keterangan ini menjadi sangat penting mengingat
tujuan pokok pemohon untuk menguji ketentuan Pasal 102 dan Pasal 103 UU
Minerba adalah untuk membuka kembali pintu ekspor atas bijih mineral
nasional. Ahli mensikapi permohonan uji materi ini dengan penuh
kekhawatiran. Karena, jika pintu ekspor bijih mineral terbuka kembali, kami
yakin hal ini akan mengganggu kedaulatan negara dan kemandirian bangsa
Indonesia atas sumber daya mineral nya.
Oleh karenanya, kami meminta kepada para Hakim Konstitusi untuk tidak
mempertimbangkan semua alasan para pemohon, dan menolak gugatan uji
materi yang diajukan para pemohon. Alasan pokoknya adalah, kita tidak ingin
lagi membuat peradaban bangsa Indonesia semakin tertinggal, semakin jauh
dari pencapaian cita-cita dan tujuan berbangsa dan bernegara Indonesia,
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu:
"untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah dash
Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa,.."
Bahwa sebagai mana Majelis Hakim maklumi, bahwa ketentuan Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945 menyatakan: "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyar. Ketentuan Pasal 33 UUD 1945 secara tegas
mengamanahkan kepada kita semua atas sebuah kewajiban untuk mengelola
dan memanfaatkan seluruh kekayaan alam, balk yang terdapat di dalam
maupun di atas permukaan bumi, bagi sebesar-besarnya kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat.
Pada sektor Mineral dan Batubara (selanjutnya disebut Minerba), pelaksanaan
amanah ketentuan Pasal 33 UUD 1945 di atas, dijabarkan dengan membuat
suatu ketentuan yang mewajibkan melakukan peningkatan nilai tambah sumber
daya mineral, melalui proses pengolahan dan pemurnian bijih mineral di dalam
negeri. Kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral ini, sejalan dengan
pendapat Ir Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia. Pada saat
memberikan pidato nya, pada Hari Ulang Tahun Republik Indonesia tahun
1964, Presiden Soekarno dengan ber api-api menyatakan:
"Aku tinggalkan kekayaan alam Indonesia, biar semua negara besar dunia iri
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
114
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
dengan Indonesia, dan aku tinggalkan hingga bangsa Indonesia sendiri yang
mengolahnya."
Sebagaimana telah kita ketahui, bersama pula, bahwa pada tahun 1967,
Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan Pokok Pertambangan Umum (selanjutnya disebut sebagai UU
Pertambangan). Ketentuan Pasal 14 pada UU Pertambangan tersebut
selanjutnya menetapkan bahwa:
"Usaha pertambangan bahan-bahan galian dapat meliputi:
a. penyelidikan umum;
b. eksplorasi;
c. eksploitasi;
d. pengolahan dan pemurnian;
e. pengangkutan;
f. penjualan.
Penafsiran ketentuan penjelasan UU Pertambangan tersebut, yang terkait
dengan usaha pertambangan pengolahan dan pemurnian, menerangkan bahwa
pada hakekatnya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan sebagai
suatu kesatuan yang terintegrasi serta tidak dapat di pisahkan dengan kegiatan
pengolahan dan pemurnian. Kegiatan menambang di sisi hulu yang akan
menghasilkan produk bijih tambang, seyogianya di lakukan pengolahan dan
pemurnian agar produk akhirnya dapat dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia.
Untuk itulah, ketentuan penjelasan UU Pertambangan tersebut menegaskan
bahawa "kegiatan pengolahan dan pemurnian tersebut, sejauh mungkin harus
diusahakan untuk dilakukan di dalam negeri".
Penjelasan di atas memberian makna bawah ketentuan UU Pertambangan yang
menjadi pendahulu UU Minerba telah secara tegas menetapkan kewajiban
untuk mengotah dan memurnikan bijih mineral di dalam negeri. Sehingga
kewajiban untuk meningkatkan nilai tambah mineral di dalam negeri bukan
merupakan sesuatu ha! yang baru, melainkan sudah menjadi isu pokok dalam
Undang-Undang yang mengatur sektor pertambangan sebelumnya. Tujuan
mulianya adalah untuk melindungi kepentinggan segenap bangsa Indonesia di
bidang sumber daya mineral melalui proses peningkatan nilai tambah di dalam
negeri. Tujuannya adalah agar manfaat pengelolaan dan pengusahaan sumber
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
115
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
daya mineral bisa di distribusikan bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat.
Bahwa berdasarkan hal-hal di atas, ketentuan Pasal 102 dan Pasal 103 UU
Minerba menegaskan kembali kewajiban untuk melakukan peningkatan nilai
tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral dan
batubara. Tentunya upaya ini dilakukan semata untuk melaksanakan keinginan
pendiri negara ini dan melaksanakan amanah Pasal 33 UUD 1945 serta
melanjutkan ketentuan UU Pertambangan sebelumnya.
Ketentuan Pasal 102 dan Pasal 103 sama sekali tidak mengatur pelarangan
ekspor bijih mineral, kecuali sebagai ketentuan umum yang meminta kepada
para pemegang Ijin Usaha Pertambangan (selanjutnya disebut sebagai IUP)
untuk untuk mengoptimalkan nilai tambah dari produk pertambangan nya, demi
menjamin ketersediaan bahan baku industri Iogam nasional. Dengan demikian,
Pemerintah dapat melipat gandakan aspek penerimaan negara, program
penyerapan tenaga kerja akan berjalan serta ekonomi nasional dan lokal pun
akan bertumbuh.
Sehingga menjadi salah besar jika kebijakan ini dikatakan sebagai kebijakan
yang inferior. Justru ketentuan Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba akan
memperkuat pembangunan industri logam dan manufaktur yang solid. Yang
akan membuat bangsa Indonesia menjadi lebih beradab, berdaulat dan mandiri
di sisi pengembangan sumber daya mineral tersebut.
Ketentuan Pasal 102 dan Pasal 103 ini juga tidak boleh di tafsirkan sebagai
bentuk larangan untuk melakukan ekspor, namun harus dilihat sebagai upaya
Negara untuk mengotimalkan pengusahaan dan pengolaan sumber daya
mineral dan batubaranya, melalui proses peningkatan nilai tambah bijih mineral
di dalam negeri. Agar semua sumber daya mineral yang di gali dan diperoleh
dari tanah air Indonesia terlebih dahulu dilakukan proses pengolahan dan atau
pemurnian. Akhirnya tujuan kegiatan pengusahaan pertambangan dapat di
optimalkan menjadi produk akhir yang dapat dimanfaatkan langsung oleh
masyarakat Indonesia.
Betapa pentingnya jika bangsa Indonesia dapat melakukan pengolahan dan
pemurnian di dalam negeri. Aluminium sebagai contoh. Dan mengapa
Aluminium? Karena aluminium memiliki karakteristik kombinasi kekuatan yang
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
116
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
cukup baik, berat jenis yang rendah (hanya sepertiga berat jenis baja), namun
memiliki ketahanan korosi (karat) yang cukup balk. Saat ini, aluminium
merupakan logam yang paling banyak digunakan setelah besi baja.
Aluminium merupakan konduktor (media penghantar panas/listrik) yang baik,
sehingga aluminium sering dipakai untuk peralatan kelistrikan. Aluminium
mempunyai kemampuan mentransmisikan panas yang baik, sehingga dapat
digunakan pada hampir semua aplikasi rumah tangga (seperti peralatan rumah
tangga, kipas angin dll), termasuk juga heat exchanger karena memiliki sifat
mampu mesin dan mampu cor yang baik: Selain itu, aluminium juga memiliki
sifat never ending recycling process yang artinya logam ini dapat didaur ulang
hingga berkali-kali dengan kebutuhan energi yang hanya 5%-10% dari energi
yang dibutuhkan saat pertama kali membuatnya.
Di dalam lapisan kerak bumi, aluminium merupakan unsur terbanyak ketiga
setelah Oksigen (46,6%), dan Silikon (27,7%). Presentase kelimpahan
aluminium di kerak bumi sekitar 8,1% yang ditemukan sebagai mineral bauksit..
Aluminium diolah dari bijih mineralnya, yang disebut bijih bauksit. Bijih bauksit
ini selanjutnya diolah menjadi alumina yang merupakan bahan baku untuk
membuat aluminium.
Cadangan bijih bauksit tidak tersebar merata di seluruh dunia melainkan hanya
terdapat di tujuh Negara yakni; Afrika tengah dan barat (kebanyakan, Guinea),
Amerika Selatan (Brazil, Venezuela, Suriname), Karibia (Jamaica), Oceania
dan Asia Selatan (Australia, India), China, Mediterania (Yunani, Turki) dan
Rusia.
Indonesia sendiri memiliki potensi bauksit yang cukup signifikan dan telah
dilakukan penambangan sejak bertahun-tahun. Bauksit banyak ditemukan di
Pulai Bintan dan sekitarnya, Sumatera Utara (Kota Pinang), Riau (Pulau Bulan,
Pulau Bintan, Pulau Kijang, Galang, Wacopek, Tanah Merah, Bebek, Searang),
Kalimantan (Tayan Menukung, Sandai, Pantus, Balai Berkuah, Kendawangan,
Munggu besar), Bangka-Belitung (Sigembir).
Bahwa berdasarkan data-data yang di dapat dari Kementerian Energi dan
Sumberdaya Mineral (selanjutnya disebut sebagai KESDM), hampir seluruh
bauksit Indonesia diekspor ke negara-negara seperti China, Jepang, dll. Terjadi
peningkatan ekspor dari tahun ke tahun. Misalnya pada tahun 2008 ekspor
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
117
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
bauksit Indonesia berada pada angka 8 juta ton, dan meningkat menjadi 27 juta
ton di tahun 2010, serta meningkat tajam pada tahun 2013 menjadi 52 juta ton.
Kenapa terjadi peningkatan yang cukup tajam dalam kurun 5 tahun terakhir, terutarna setelah di Undangkan nya UU Minerba pada tahun 2009? Jawabanya adalah, para pemegang IUP itu telah menggenjot produksi pertambangannya, dan melakukan penggalian bijih mineral secara masif. Pertanyaan berikutnya nya; mengapa para pemegang IUP itu menggenjot produksi nya secara masif? Karena pada dasarnya para pemegang IUP itu telah mengetahui, dan telah paham bahwa pada tahun 2014, Pemerintah Indonesia akan menutup pintu bagi ekspor bijih mineral. Untuk itulah, mereka mengeluarkan semua sumber daya yang mereka miliki, untuk mengeruk kekayaan sumber daya mineral Indonesia semaksimal mungkin, untuk bisa mendapatkan keuntungan yang sangat besar, sebelum pintu ekspor bijih mineral di tutup pada tahun 2014. Tanah air yang seharusnya di simpan untuk bekal kepada anak cucu kita di masa mendatang, di jual dalam bentuk bongkah bongkahan tanah kepada negara lain demi kepentingan bisnis sesaat. Akibat dari tingkat produksi pertambangan yang tinggi ini, maka kita dapati di
banyak wilayah pertambangan di Indonesia termasuk di beberapa wilayah
Sulawesi menjadi rusak. Daya dukung lingkungan menjadi berat, terdapat
lahan-lahan yang rusak parah akibat pertambangan, sungai sungai limbah
pertambangan terdapat di mana-mana. Masyarakat di sekitar pertambangan
berpotensi untuk mengkonsumsi Iimbah berbahaya beracun akibat poal
pertambangan yang massif dan tidak mengikuti kaedah pertambangan yang
balk dan benar. Maasyarakat Indonesia berada dalam kondisi bahaya tercemar
limbah pertambangan.
Pada salah satu referensi, The 17th Bauxite & Alumina Seminar, Miami, Maret
2011, disebutkan bahwa Negara-negara seperti China, Jepang dll,
menggunakan bauksit Indonesia untuk membangun industri konstruksi, industri
manufaktur dan industri bajanya. Sungguh ironis bangsa ini I!!. Kita
menyaksikan negara lain maju mengembangkan peradabannya dengan bauksit
yang kita miliki. Sementara kita membiarkan kelangkaan ketersediaan bahan
baku bagi industri aluminium nasional. Kita membiarkan industri aluminium
nasional mengimpor bahan baku aluminanya dari negara lain yang akan
menyebabkan harga produk aluminium menjadi mahal di masyarakat.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
118
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Sementara negara negara lain berkonsentrasi membangun peradabannya, disini kita berdebat meminta agar ekspor bijih bauksit tetap bisa dilakukan. Menonton dan menonton peradaban bangsa lain bergerak maju membangun dengan dengan bijih bauksit yang kita miliki. Sementara disini, kita membiarkan bangsa ini tetap bodoh, peradaban bangsa ini tetap tertinggal dan perekonomian kita tetap Iemah karena tidak ditopang dengan struktur industri Iogam dan manufaktur yang kuat dan kokoh. Kita membiarkan kehilangan kesempatan untuk menjadi negara besar yang bisa membuat iri negara lain, demi.meraih pendapatan negara dari ekspor bauksit, yang tidak lebih dari Rp 3 sd 4 T setiap tahunnya.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian Indonesia, total kebutuhan Aluminium Nasional sebesar 857.599 Ton/tahun. Sekitar 80-100% kebutuhan bahan baku aluminium-ingot untuk industri nasional didapat dari import aluminium-ingot. Hanya sebagian kecil yang mendapatkan bahan baku dari PT. Inalum Asahan (walaupun PT. Inalum Asahan mengimport 100% bahan bakunya Alumina nya dari Australia). Data tersebut menjeleskan bahwa import Alumina dan Aluminium Ingot dari tahun tce tahun terus meningkat. Pada tahun 2010 import alumina dan aluminium ingot berada pada angka 543 ribu ton dan 320 ribu ton. Angka ini meningkat terus dan mencapai angka 553 ribu ton import alumnia dan 361 ribu ton impor aluminium ingot pada tahun 2012.
Apa artinya angka-angka itu? Bahwa kebutuhan domestik akan produk,.alumina dan aluminium ingot semakin meningkat dari tahun ke tahun. Bahwa di dalam negeri, industri logam, industri manufaktur, industri automotif, industri konstruksi dll sedang bertumbuh dan bergerak naik serta membutuhkan bahan bakunya. Sayangnya terjadi kelangkaan bahan baku di dalam negeri sehingga hampir semua bahan baku alumina dan aluminium ingot nya di import dari negara lain.
Andaikan bauksit yang selama ini kita ekspor bisa di manfaatkan untuk di olah dan dimurnikan di dalam negeri menjadi alumina dan aluminium ingot, maka dapat dipastikan industri aluminium Nasional termasuk industri logam dan manufaktur akan berkembang pesat. Peradaban bangsa Indonesia pasti akan maju. Negara kita tidak perlu lagi mengimport alumina dan aluminium ingot dari negara lain. Masyarakat akan mendapat kesempatan untuk membeli produk-produk akhir dari Iogam Aluminium dengani harga yang-murah dan kualitas baik. Dari sisi devisa dan penerimaan negara, hal ini pun jelas lebih menguntungkan.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
119
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Sebagaimana yang kita baca di surat kabar, bahwa Bapak Menteri Perindustrian dalam kunjungan nya ke China di awal tahun 2014 ini, menyatakan kekagetan nya melihat tumpukan bauksit asal Indonesia sebesar 3 juta ton di negara China. Padahal jika 3 juta bauksit yang ada di China tersebut di olah oleh PT Inalum Asahan, maka PT Inalum Asahan akan mendapat suplai bahan baku bauksit selama hampir 4 tahun. Atau jika ekspor bijih bauksit kita di tahun 2013 yang sebesar 52 juta ton itu di berikan kepada PT Inalum Asahan, maka hal akan memberikan suplai kepada PT Inalum Asahan selama 40 tahun. Dapat di bayangkan betapa besarnya manfaat bijih bauksit tersebut bagi kemajuan perdaban bangsa ini, jika kita berkomitmen untuk mengolah dan memurnikan semua bijih bauksitnya di dalam negeri.
Andaikan bangsa ini mengolah bijih bauksit nya, maka Negara akan mendapatkan nilai tambah yang luar biasa. Misalnya peningkatan nilai tambah bijih bauksit menjadi aluminium alloy bisa mencapai 180 kali lipat. Artinya, jika selama ini kita hanya menjual bijih bauksit yang pada harga sekitar USD30/ton, dan andaikan kita bisa mengolah bauksit tersebut menjadi alumnia maka harganya akan naik menjadi USD350/ton. Andaikan kita olah lagi menjadi Aluminium Ingot maka harganya meningkat menjadi USD1700/ton. Atau kita buat menjadi Aluminium Alloy maka harganya menjadi USD5000. Artinya terjadi peningkatan sekitar 180 kali Iipat dari menjual bauksit menjadi Aluminium Alloy. Suatu peningkatan nilai tambah yang besar sekali yang akan menggerakan roda pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pendapatan Negara sekitar 180 kali Iipat pula.
Berdasarkan data-data di atas, semakin jelas bahwa kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral tidak akan menyebabkan terjadinya distorsi pada pertumbuhan ekonomi, atau mengakibatkan penurunan ekspor secara masif dalam jangka panjang atau kehilangan tenaga kerja (PHK) pada industri pertambangan. Justru kegiatan pengolahan dan pemurnian ini akan menciptakan lapangan kerja yang baru dengan jumlah yang lebih banyak, meningkatkan pendapatan negara serta pertumbuhan ekonomi jauh lebih kuat.
Sekali lagi kami tekankan, bahwa bangsa Indonesia wajib melengkapi mata rantai pasok (supply chain) industry aluminium Nasional dari mulai penambangan bauksit di sisi hulu sampai dengan pemanfaatan produk alumina dan ingot sampai pada produkproduk akhir yang dapat di nikmati langsung oleh masyarakat di sisi hilir. Bangsa Indonesia wajib memperkuat struktur industri
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
120
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
manufaktur dan Iogam yang kuat dengan produk-produk aluminium yang Iangsung digunakan oleh masyarakat. Untuk itu, kita harus menghapuskan kelangkaan atau ketiadaan bahan baku aluminium ini, dan menyediakan bahan baku bagi industri aluminium nasional bagi kebutuhan industry logam dalam negeri.
Kita ingin rantai pasok industri Aluminium ada di Indonesia, dalam berbagai
bentuk seperti wire, billet, slab, atau ingot. Kita ingin masyarakat Indonesia
mendapatkan kesempatan membeli produk alumimiun seperti peralatan rumah
tangga dll, dengan harga yang murah dan kualitas yang baik (sebagaimana
gambar di bawah ini). Semua rantai industri di atas harus dilakukan di dalam
negeri, untuk memberikan manfaat yang berlipat lipat bagi bangsa Indonesia
untuk memajukan peradaban bangsanya.
Pada bulan Januari 2014 ini, Asosiasi Metalurgi dan Mineral Indonesia telah
menjelaskan, bahwa bangsa Indonesia mempunyai banyak tenaga ahli dan
praktisi pengolahan dan pemurnian mineral yang tersebar di Jakarta, Bandung,
Tanggerang, Surabaya dan daerah lainnya. Para ahli dan praktisi tersebut
banyak melakukan penelitian dan menciptakan berbagai macam prototype
teknologi pengolahan dan pemurnian mineral. Sehingga, Pemerintah tidak perlu
khawatir akan kualitas sumber daya nasional. Pemerintah tidak perlu khawatir
dengan teknologi pengolahan dan pemurryjan mineral. Bahkan beberapa
teknologi itu..ada di dalam negeri, dan dikuasai oleh anak bangsa sendiri.
Jadi tidak benar jika ada pihak yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia tidak punya keahlian tehnologi pengolahan serta manajemen pengelolaan pabrik peleburan besar. Karena hampir semua pabrik peleburan besar yang ada di Indonesia seperti Krakatau Steel, Smelter Gresik, Antam, Timah, Inalum dll termasuk yg dimiliki asing seperti Inco serta pabrik peleburan baja dan logam lainya yang tersebar di seluruh Indonesia, itu semua dikuasai dan dikelola oleh anak bangsa sendiri. Bangsa Indonesia telah siap untuk mengerjakan proses hilirisasi mineral di dalam negeri.
Berdasarkan hal-hal di atas, oleh karenanya, bangsa Indonesia tidak boleh lagi mengulangi kesalahan nya. Kita tidak boleh lagi mengekspor bijih bauksit. Kita harus mengolah dan memurnikan bijih bauksit itu, Industri ini akan memberikan efek berganda bagi pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan negara dan masyarakat (seperti terlihat pada gambar di bawah ini). Kita harus
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
121
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
memajukan peradaban bangsa kita dengan mengembangkan sektor industri termasuk industri yang mensuplai bahan baku elektronika, permesinan, transportasi dll, atau sektor infrastruktur seperti pembangunan jalan, fasilitas umum atau sektor ekonomi lainya seperti penyerapan tenaga kerja, pemerataan pembangunan serta penghematan devisa.
Akhirnya, kami menyadari bahwa seringkali upaya untuk memajukan peradaban bangsa ini terhambat dengan kepentingan kepentingan bisnis sesaat. Seringkali niatan untuk mensejahterakan rakyat Indonesia di halangi oleh sekelompok masyarakat yang mengatas namakan konstitusi dan menyatakan bahwa hak nya terganggu. Mereka meminta agar pintu ekspor bijih mineral ke negara lain, di buka kembali. Kami teringat dengan nasehat Presiden Soekarno dalam pidato kemerdekaan
RI di tahun 1964, yang menyatakan:
"Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan
lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri."
Kami menyadari hal itu, dan untuk itu Iah kami akan terus berjuang dan berjuang untuk melindungi kekayaan alam Indonesia. Kami wajib menyampaikan pesan kepada mereka, bahwa upaya mereka itu tidak tepat dan tidak sesuai dengan keinginan konstitusi dan pesan para pendiri bangsa. Kebijakan peningkatan nilai tambah di dalam ini adalah untuk membangun struktur industri logam dan industri manufaktur yang kuat dan kokoh, yang menjadi syarat mutlak bagi bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa dengan peradaban yang beradab dan maju. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, ijinkanlah kami mengambil beberapa kesimpulan atas keterangan kami, sebagai berikut: 1. Kebijakan untuk melakukan kegiatan pengolahan dan pemurnian di dalam
negeri sebagai mana di nyatakan dalam Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba telah sejalan dengan keinginan para pendiri negara kita serta sesuai dengan amanah Pasal 33 UUD 1945.
2. Kebijakan ini bukanlah merupakan kegiatan yang baru, melainkan sudah ditetapkan pada UU Pertambangan sebelumnya. Kebijakan ini juga bukan kebijakan yang °instant", melainkan sebuah kebijakan yang dilakukan dengan perhitungan yang matang yang ditujukan untuk melindungi kepentingan bangsa dan tumpah darah Indonesia.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
122
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
3. Kebijakan ini tidak boleh semata ditafsirkan sebagai upaya untuk melarang ekspor mineral, melainkan sebagai upaya untuk menjaga dan melindungi kepentingan bangsa Indonesia di masa ini dan mendatang, dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya mineral nasional melalui kewajiban peningkatan nilai tambah mineral. Kebijakan ini ditujukan untuk memajukan peradaban bangsa Indonesia melalui industri Iogam dan industri manufaktur nasional yang dapat memberikan sebesar besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat;
4. Kebijakan ini tidak akan mematikan tenaga kerja, bahkan justru akan menyerap tenaga kerja yang lebih banyak di industri pengolahan dan pemurnian serta memberikan efek berganda pada pergerakan perekonomian dalam industri turunan nya. Pertumbuhan ekonomi dan pendapatan negara jelas akan semakin meningkat;
Untuk itu, demi tegaknya kedaulatan dan kemandirian bangsa di bidang sumber
daya mineral. ijinkanlah kami menyatakan pendapat berdasarkan keahlian kami,
bahwa ketentuan Pasal 102 dan Pasal 103 tidak bertentangan dengan ketentuan
UUD 1945. Kewajiban peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan
pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri justru sesuai dengan cita-cita
dan tujuan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Adapun hal-hal yang terkait dengan prosentase atau kadar bijih mineral yang wajib
di olah dan atau dimurnikan, sangat bergantung pada kemajuan riset dan teknologi
dari waktu ke waktu. Hal itu menjadi kewenangan Pemerintah cq Menteri yang
menangani bidang Energi dan Sumberdaya Mineral (selanjutnya disebut MESDM)
untuk mengaturnya nanti. Jika ada pihak-pihak yang merasa keberatan dengan
pengaturan MESDM nantinya, maka sesuai ketentuan peraturan perundangan,
keberatan tersebut dapat diajukan ke Mahkamah Agung, bukan di Mahkamah
Konstitusi.
[2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, DPR
menyampaikan keterangan dalam persidangan yang menguraikan sebagai berikut:
A. KETENTUAN UU PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
123
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Para Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian atas Pasal 102
dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 sepanjang dimaknai
pelarangan terhadap ekspor bijih (raw material atau core) bertentangan
dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22A, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Adapun bunyi pasal-pasal a quo adalah sebagai
berikut:
- Pasal 102:
“Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya
mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan
dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara”
- Pasal 103:
(1) Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan
pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.
(2) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari pemegang IUP dan
IUPK lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 102 serta pengolahan dan pemurnian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan
pemerintah.
Adapun argumen Para Pemohon sebagai berikut:
a. Bahwa di dalam Undang-Undang a quo pada dasarnya tidak terdapat
larangan untuk melakukan kegiatan ekspor bijih. Akan tetapi, pemerintah
melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral melakukan pengaturan
yang berlebihan dan memberikan tafsir yang begitu luas terhadap Pasal
102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo sehingga muncul larangan
kegiatan ekspor bijih kepada pelaku usaha pertambangan, melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (”PP Nomor 23/2010”) yang mendelegasikan bahwa pengaturan mengenai tata cara
pengendalian penjualan mineral dan batubara serta tata cara
peningkatan nilai tambah mineral dan batubara diatur dengan peraturan
menteri. Mandat yang diberikan oleh Pasal 103 ayat (3) Undang-Undang
a quo kepada Pemerintah adalah untuk membuat ketentuan lebih lanjut
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
124
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
mengenai peningkatan nilai tambah serta pengolahan dan pemurnian,
bukan membuat norma baru seperti larangan ekspor bijih. Tindakan
Pemerintah tersebut nyata-nyata bertentangan dengan prinsip negara
hukum yang menghendaki segala tindakan penguasa berdasarkan
hukum yang ada. Pemohon mendalilkan bahwa pemaknaan Pasal 102
dan Pasal 103 Undang-Undang a quo berisi larangan ekspor bijih nyata-
nyata bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
b. Bahwa adanya larangan ekspor bijih di dalam peraturan pelaksanaan
Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo melanggar salah satu
asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu asas
dapat dilaksanakan (vide Pasal 5 huruf d UU Nomor 11 Tahun 2012
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Dengan
demikian, Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo bertentangan
dengan Pasal 22A UUD 1945.
c. arangan ekspor bijih akan menghilangkan usaha ratusan pengusaha
tambang. Konsekuensi dari pelarangan ekspor bijih ini akan mematikan
usaha perusahaan tambang, terjadinya pemutusan hubungan kerja
besar-besaran, hilangnya mata pencarian pekerja dan keluarganya,
termasuk perusahaan yang terkait dengan ekspor bijih, akan kehilangan
pekerjaan. Secara potensial kondisi ini justru bertentangan dengan Pasal
27 ayat (2) UUD 1945.
d. Ketentuan Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo sama sekali
tidak mengandung larangan untuk mengekspor bijih (raw material atau
ore), akan tetapi Pemerintah memiliki pandangan yang berbeda dan
cenderung berubah-ubah, yakni pada awalnya pada bulan Februari 2012
mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2012 tentang
Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan
Pemurnian Mineral (”Permen ESDM Nomor 7/2012”) . Dimana Pasal 21
Permen ESDM Nomor 7/2012 menyatakan ”Pemegang IUP dan Operasi
Produksi dan IPR yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri
ini dilarang untuk menjual bijih (raw material atau ore) mineral ke luar
negeri dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya
Peraturan Menteri ini.” Permen ESDM Nomor 7/2012 tersebut kemudian
diajukan judicial review ke Mahkamah Agung pada April 2012, dimana
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
125
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
pada September 2012 diputuskan bahwa Pasal 21 Permen ESDM
Nomor 7/2012 bertentangan dengan Undang-Undang a quo dan
dinyatakan tidak sah atau tidak berlaku untuk umum dan memerintahkan
Menteri ESDM untuk mencabut Pasal 21 Permen ESDM Nomor 7/2012
tersebut. Sementara itu, pada 21 Mei 2012 Pemerintah mengundangkan
Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2012 (”Permen ESDM Nomor 11/2012”).
Dimana Pasal 21A Permen ESDM Nomor 11/2012 menyatakan bahwa
”Pemegang IUP Operasi Produksi dan IPR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 dapat menjual bijih (raw material atau ore) mineral ke luar
negeri apabila telah mendapatkan rekomendasi dari Menteri c.q. Direktur
Jenderal”. Pada tanggal 1 Agustus 2013, Menteri ESDM kembali
mengubah kebijakan terkait pelarangan ekspor bijih dengan menetapkan
Peraturan Menteri ESDM Nomor 20 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2012 (”Permen ESDM Nomor 20/2013”). Pasal 21A Permen ESDM Nomor 20/2013
menyatakan bahwa ”Pemegang IUP Operasi Produksi dan IPR dapat
menjual bijih (raw material atau ore) mineral ke luar negeri sampai
dengan tanggal 12 Januari 2014 sesuai dengan ketentuan Pasal 112
angka 4 huruf c PP Nomor 23/2010”. Pada Januari 2014, Pemerintah
kembali menerbitkan 2 (dua) produk hukum yang memperlihatkan
perubahan tafsir Pemerintah terhadap kebijakan ekspor bijih, yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua
atas PP Nomor 23 Tahun 2010 (”PP Nomor 1/2014”) dan Peraturan
Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah
Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam
Negeri yang mencabut Permen ESDM Nomor 7/2012, Permen ESDM
Nomor 11/2012, dan Permen ESDMN Nomor 20/2013.
Berubah-ubahnya kebijakan Pemerintah dalam hal ekspor bijih (raw
material atau ore) mineral ke luar negeri sebagaimana tampak pada
Permen ESDM yang telah dibahas mengakibatkan ketidakpastian hukum
yang adil pada para Pemohon dan menunjukan bahwa Pasal 102 dan
Pasal 103 Undang-Undang a quo telah memunculan ketidakpastian
hukum. Padahal setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
126
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum. Oleh karena itu, Pemohon mendalilkan Pasal 102 dan
Pasal 103 Undang-Undang a quo telah bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945.
e. Negara tidak memiliki kemampuan untuk memanfaatkan bumi, air, dan
kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara
sendirian. Dalam kaitan ini, makna penguasaan negara atas bumi, air dan
kekayaan alam memberikan kewenangan negara untuk mengadakan
kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestursdaad), pengaturan
(regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan
(toezichthoudensdaad). Para pemohon adalah pihak-pihak baik swasta
maupun koperasi, yang ambil bagian dalam upaya untuk memanfaatkan
kekayaan alam berupa bahan tambang yang ada di perut bumi Indonesia
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Merupakan sesuatu yang
tidak adil bila sebagian Pemohon dituntut untuk mengolah dan
memurnikan bijih, padahal izin usaha sejak awal adalah usaha
pertambangan yang berorientasi ekspor. Oleh karena itu, Pemohon
mendalilkan Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo yang
dimaknai sebagai adanya larangan ekspor bijih oleh Pemerintah
bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi yang tertuang dalam
Pasal 33 UUD 1945, terutama Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PARA PEMOHON TELAH DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
Para Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak
konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar atau setidak-tidaknya potensial
yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan terjadi kerugian oleh berlakunya
Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo, pada pokoknya sebagai
berikut:
a. Bahwa para Pemohon dalam hal ini sangat berkepentingan oleh karena
Pemohon sebagai organisasi yang peduli terhadap hak-hak pelaku usaha di
bidang pertambangan mineral dan batubara dan sebagai perusahaan yang
melaksanakan usaha pertambangan dan/atau usaha jasa pertambangan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
127
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
yang berkaitan langsung dengan kegiatan pertambangan. Dengan adanya
pelarangan kegiatan ekspor,
b. Bahwa para Pemohon mendalilkan hal tersebut akan mengganggu
keberlanjutan usaha pertambangan dari para Pemohon dan menunjukkan
sikap ingkar janji Pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang adil,
seimbang, dan bermanfaat untuk kepentingan bangsa dan kemajuan dunia
usaha serta sesuai dengan UUD 1945.
c. Bahwa para Pemohon berpendapat dalam asas kepastian hukum yang adil
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 terkandung
pula asas kemanfaatan. Jika Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang
a quo tidak memiliki makna yang sesuai dengan UUD 1945 tentang
kepastian hukum yang adil tersebut, maka Pasal 102 dan Pasal 103
Undang-Undang a quo tidak akan menciptakan kemanfaatan tidak saja bagi
pelaku usaha, melainkan juga bagi negara dan beberapa pemerintah
daerah serta para pekerja yang bekerja di perusahaan tambang dan
perusahaan yang bergerak dengan usaha jasa pertambangan.
C. KETERANGAN DPR RI Terhadap dalil para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonan
a quo, DPR mennyampaikan keterangan sebagai berikut:
1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon Terhadap kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon, DPR
menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi yang mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para
Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak
sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang
Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007.
2. Pengujian UU Pertambangan Mineral dan Batubara Terhadap dalil pemohon yang menyatakan Pasal 102 dan Pasal 103
Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat
(2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, DPR memberikan
keterangan sebagai berikut:
a. Bahwa menurut Pasal 3 UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara,,
pengelolaan mineral dan batubara bertujuan antara lain untuk menjamin
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
128
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan hidup, dan (ii) menjamin tersedianya mineral dan
batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk
kebutuhan dalam negeri.
b. Penegasan mengenai tujuan meningkatkan nilai tambah juga tercermin
dalam konsiderans dari Undang-Undang a quo yang merupakan dasar
dari dibentuknya Undang-Undang a quo, yakni pada butir a yang
menyatakan bahwa mineral dan batubara yang terkandung dalam
wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak
terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai
peranan penting dalam memnuhi hajat hidup orang banyak, karena itu
pengelolaannya harus dikuasai oleh negara untuk memberi nilai tambah
secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha menapai
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.
c. DPR tidak sependapat dengan dalil pemohon yang menyatakan bahwa
Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo bertentangan dengan
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Merujuk pada Putusan MK Nomor 001, 021,
022/PUU-I/2003 yang pada pokoknya mempertimbangkan bahwa
pengertian frasa “dikuasai oleh negara” pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti
luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat
Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya,” termasuk pula di dalamnya
kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan
dimaksud. Rakyat secara kolektif, dikonstruksikan oleh UUD 1945
memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan
(beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan
(bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan
pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besar
kemakumuran rakyat. Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD
1945,
d. DPR berpendapat bahwa hasil pertambangan, yang diantaranya berupa
sumber daya mineral dan batubara, adalah termasuk sumber kekayaan
alam yang dikuasai oleh negara. Oleh karenanya negara berhak
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
129
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
melakukan melakukan pengaturan terhadap sumber daya mineral dan
batubara yang ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Fungsi
pengaturan oleh negara dapat dilakukan melalui kewenangan legislasi
oleh DPR bersama Pemerintah atau melalui kewenangan regulasi oleh
Pemerintah (eksekutif), yang salah satunya adalah pengaturan melalui
pembentukan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri.
e. Bahwa penguasaan oleh negara atas sumber daya mineral dan batubara
berarti bahwa negara berwenang dan diberi kebebasan untuk mengatur
dan membuat kebijakan terkait pemanfaatan sumber daya mineral dan
batubara dengan batasan ukuran konstitusional, yaitu “untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat.”
f. DPR berpendapat bahwa pengaturan yang dilakukan oleh negara melalui
Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo telah memenuhi empat
tolok ukur makna dari frasa “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”,
yakni (i) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, (ii) tingkat
pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat, (iii) tingkat
partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, serta
(iv) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam
memanfaatkan sumber daya alam.
g. Bahwa ketentuan dalam Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo
yang mengatur mengenai kewajiban Pemegang IUP dan IUPK untuk
meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan batubara dan
melakukan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam
negeri, merupakan salah satu jalan untuk menuju kemandirian energi
Indonesia, karena selain menjamin ketersediaan bahan baku industri
pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri dan menjaga
kelestarian sumber daya alam, ketentuan dalam Pasal 102 dan Pasal 103
Undang-Undang a quo juga berguna untuk peningkatan kemampuan
sumber daya manusia Indonesia dalam industri pertambangan.
h. Bahwa DPR tidak sependapat dengan dalil Pemohon yang menyatakan
bahwa Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo menimbulkan
ketidakpastian hukum dan ketidakadilan karena membuka peluang
terjadinya kesewenang-wenangan Pemerintah dalam implementasinya,
sehingga justru bertentangan dengan prinsip konstitusi yang menjamin
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
130
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
perlindungan atas hak untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil
dalam proses penegakan hukum kegiatan pertambangan mineral dan
batubara.
i. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa terkait dengan
pemanfaatan sumber daya alam, negara berhak untuk melakukan
pengaturan mengenai pemanfaatan sumber daya mineral selama dalam
batas ukuran konstitusi “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” DPR
memandang bahwa pengaturan yang dilakukan oleh negara melalui
kewenangan regulasi (eksekutif) tidak bertentangan dengan ruh
pembentukan Undang-Undang a quo dan UUD 1945.
j. Bahwa berdasarkan penjelasan yang diuraikan tersebut, DPR
berpendapat bahwa Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo
tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22A, Pasal 27 ayat (2),
Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
[2.6] Menimbang bahwa para Pihak Terkait I yang terdiri dari Indonesian
Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Forum Indonesia untuk
Transparansi Anggaran (FITRA), Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan
Masyarakat (P3M), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan Publish
What You Pay Indonesia (PWYP), memberikan keterangan tertulis yang
menguraikan sebagai berikut: A. PENDAHULUAN
Bahwa bahan tambang sebagai bagian dari material yang terkandung dalam
bumi dan mempunyai nilai strategis, sudah selayaknya dikuasai oleh
negara.Hal ini diamanatkan oleh konstitusi (Pasal 33 UUD 1945) yang
menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang harus dikuasai oleh negara.
Adapun konsep “Hak Menguasai Negara (HMN)” menurut Mahkamah
Konstitusi bukan dalam makna negara memiliki, tetapi dalam pengertian
bahwa negara merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan
(regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan
(behersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichtthoundendaad).
Selanjutnya, konsep HMN juga harus disambungkan dengan tujuan
penguasaan negara, yaitu sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
131
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Bahwa Muhammad Hatta, sebagai ketua Panitia Keuangan dan Perekonomian
dalam BPUPKI, menuliskan bahwa perusahaan yang menguasai hidup orang
banyak harus di bawah kekuasaan Pemerintah. Pemerintah harus menjadi
pengawas. Perusahaan besar berbentuk korporasi diawasi dan penyertaan
modal oleh pemerintah.Perusahaan tambang yang besar dan yang serupa
untuk itu dijalankan sebagai suatu usaha negara, yang dijalankan oleh suatu
badan yang bertanggungjawab kepada pemerintah.
Bahwa hari ini fakta sebaliknya yang terjadi, Indonesia yang mempunyai
sumber-sumber kekayaan tambang yang melimpah justru tidak berkorelasi
positif dengan kesejahteraan rakyat. Sumber-sumber kekayaan alam
nusantara yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak ternyata mayoritas
dikuasai asing serta menimbulkan kemiskinan bagi masyarakat setempat,
Sebut saja PT. Freeport Indonesia. Setelah penguasaan sejak tahun 1967 –
sekarang, dengan luas konsesi sebesar 2,6 juta ha, termasuk 119.435 ha
hutan lindung dan 1,7 juta ha kawasan konservasi telah meraup untung luar
biasa besar. Hal ini berkebalikan dengan kondisi masyarakat setempat, di
mana 83,3% rumah tangga di Papua masih dalam selimut kemiskinan.
Bahwa meskipun perusahaan-perusahaan tambang banyak yang dikelola oleh
pengusaha nasional dan lokal tetapi juga tidak berdampak positif terhadap
lingkungan hidup, penerimaan negara dan menimbulkan konflik agraria
dengan penduduk setempat.
Bahwa mengekspor bahan tambang mineral mentah membawa kerugian bagi
Negara dan rakyat karena pihak importer membeli dengan harga murah
kemudian melakukan pengolahan dan pemurnian di luar negeri untuk
kemudian dijual dengan harga setinggi-tingginya termasuk dijual kembali ke
Indonesia, sebagai contoh dalam Buku Analisis Biaya/Manfaat Pelarangan
Ekspor Bahan Mentah Minerba-Kasus Nikel dan Tembaga halaman 4
menerangkan “Penambahan nilai dalam pengolahan nikel berikut dapat
menjadi ilustrasi. Harga nikel mentah tingkat II (mengandung hanya 2 persen
dari volume tanah tambang) mencapai 2 USD per kilogram atau 2000 USD per
ton. Setelah melalui proses peleburan menjadi ferronickel (FeNi) nilainya
melonjak menjadi lebih dari 8 kali lipat menjadi 17.000 USD per ton di LME
(London Mineral Exchange).”
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
132
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Bahwa jika nilai lebih dari bahan olahan nikel mentah tingkat II seperti tersebut
di atas benar-benar bersumber dari industri pengolahan dan pemurnian dalam
negeri maka kontribusi sektor pertambangan terhadap penerimaan negera
akan semakin optimal dan berdampak luas.
Bahwa hal ini sejalan dengan oleh ilmuwan sosial yang sering disebut sebagai
“kutukan sumberdaya alam” (Auty, 1993). Stiglitz, Sachs dan Humprey (2007)
menulis dalam buku “Escaping the Resources Curse” bahwa negara-negara
yang berkelimpahan dengan sumber daya alam seperti migas dan tambang,
memiliki performa pembangunan ekonomi dan tata kelola pemerintahan (good
governance) yang kerap lebih buruk dibanding negara-negara dengan
sumberdaya alam lebih sedikit. Problem tata kelola yang buruk di sektor
industri ekstraktif inilah yang menjadi penyebab utama munculnya kemiskinan
di sekitar daerah tambang.
Bahwa problem tata kelola tersebut diantaranya adalah meningkatnya jumlah
IUP/K yang ternyata tidak diimbangi dengan status yang clean and clear. Data
Kementerian ESDM, total IUP yang sudah dikeluarkan mencapai 10.640. Dari
total tersebut IUP yang telah memiliki status clean and clear mencapai 4.834
dan IUP yang belum clear and clean sebanyak 5.806 (Oktober/2012).
Fenomena meningkatnya ekspor minerba mentah yang tidak dii`mbangi
dengan adanya nilai tambah. Selain itu, belum tuntasnya renegosiasi kontrak
karya dan PKP2B semakin menunjukkan buruknya tata kelola kita.
Bahwa saat ini renegosiasi dilakukan terhadap 110 perusahaan pemegang
kontrak yang terdiri dari 36 perusahaan pemegang Kontrak Karya dan 74
perusahaan pemegang PKP2B terhadap 6 (enam) isu strategis, yaitu:
1. Luas Wilayah;
2. Perpanjangan Kontrak;
3. Penerimaan Negara;
4. Kewajiban Pengolahan dan Pemurnian;
5. Kewajiban Divestasi, dan;
6. Kewajiban Penggunaan Barang dan Jasa Pertambangan dalam negeri;
Bahwa untuk mengatur pertambangan di dalam negeri dalam hal ini
pemanfaatan maupun penghasilan dari pertambangan tersebut, pemerintah
telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
133
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Pertambangan Mineral dan Batubara, salah satu bentuk kepedulian
pemerintah untuk melindungi sumber daya alam dalam pertambangan yaitu
diaturnya renegosiasi kontrak karya sebagaimana diatur dalam Pasal 169
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara yang menyatakan:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara
yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan
sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian.
b. Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya
pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud pada huruf a
disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara.
c. Pengecualian terhadap penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada
huruf b adalah upaya peningkatan penerimaan negara.
Bahwa pasal tersebut telah secara tegas memandatkan kepada pemerintah
untuk melakukan renegosiasi kontrak karya paling lambat 1 (satu) tahun sejak
Undang-Undang a quo di undangkan, tetapi pada faktanya pemerintah tidak
melaksanakan ketentuan pasal tersebut karena sampai saat ini 2014
renegosisasi kontrak karya hanya berhasil untuk perusahaan yang skala kecil
sedang untuk perusahaan yang skala besar seperti PT. Freeport Indonesia,
PT. Newmont Nusa Tenggara, PT. Vale Indonesia sampai saat ini belum
menyepakati melakukan renegosiasi atau menolak untuk melakukan
renegosiasi dengan tawaran yang diajukan oleh Pemerintah.
Bahwa selain itu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara dibuat untuk meningkatkan nilai tambah
dalam pertambangan, pemerintah juga telah memberikan pengaturan
sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 102, Pasal 103, dan Pasal 170
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara yang secara tegas menyatakan:
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
134
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Pasal 102
Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya
mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan
pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara.
Pasal 103
(1) Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan
dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.
(2) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari pemegang IUP dan
IUPK lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 102 serta pengolahan dan pemurnian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 170
Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang
sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang
ini diundangkan.
Bahwa justru keberadaan Pasal 102, Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sekarang
dimohonkan uji materill oleh para Pemohon, sehingga hal tersebut akan
berpengaruh pada pengaturan pertambangan dan nilai tambah dalam negeri
ini.
B. DALAM EKSEPSI MENGENAI LEGAL STANDING PARA PEMOHON Bahwa mengenai kedudukan hukum para Pemohon dalam mengajukan
permohonan a quo, para Pihak Terkait menyerahkan sepenuhnya kepada
Majelis Hakim Mahkamah Konsitusi dengan mengacu pada Pasal 51 ayat
(1)Undang-Undang Mahkamah Konsitusi juncto Putusan Mahkamah Konsitusi
Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 juncto Putusan Mahkamah Konsitusi
PerkaraNomor 011/PUU-V/2007;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
135
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
MAHKAMAH KONSTITUSI TIDAK BERWENANG UNTUK MENGUJI PERMOHONAN YANG BERSIFAT IMPLEMENTASI (PERATURAN PELAKSANA DARI UNDANG-UNDANG) 1. Bahwa permohonan para Pemohon dalam pengujian Pasal 102 dan Pasal
103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang dimohonkan
oleh Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (APEMINDO) dankawan-
kawan., adalah memasuki wilayah implementasi, karena para Pemohon
mempermasalahkan implementasi dari pasal-pasal yang dimohonkan
tersebut, hal tersebut dapat dilihat dari permohonan para Pemohon hal. 13
angka 48 yang menyatakan “bahwa di dalam undang-undang baik secara implisit maupun eksplisit sebenarnya tidak terdapat larangan untuk melakukan kegiatan ekspor bijih. Larangan ini muncul atas kreasi yang dilakukan oleh pemerintah melalui menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; yang pada hakikatnya bertentangan dengan undang-undang;”
2. Bahwa memang dalam permohonannya, para Pemohon memohonkan uji
konstitusionalitas Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, namun dalam
dalil-dalil permohonannya justru mempermasalahkan Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010, Peraturan Menteri ESDM Nomor
7/2012, Peraturan Menteri ESDM Nomor 20 Tahun 2013, Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun
2014 selaku peraturan pelaksana dari Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara, yang secara nyata merupakan kewenangan dari Mahkamah
Agung;
3. Berdasarkan hal-hal yang kami uraikan di atas, maka dapat dinyatakan
secara hukum bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk
menguji permohonan para Pemohon, sebagaimana diatur dalam Pasal
24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 juncto Pasal 51 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
yang pada intinya melakukan pengujian terhadap konstitusionalitas suatu
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
136
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
C. DALAM POKOK PERKARA I. Bahwa Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah konstitusional dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 karena telah sesuai dengan Prinsip Negara hukum; a. Bahwa para Pemohon tidak cermat dalam memahami ketentuan
Pasal 103 ayat (3) Undang-Undang a quo sebagaimana dalil Para
Pemohon pada halaman 13 angka 51 yang menyatakan “bahwa
Pasal 103 ayat (3) UU 4/2009 memang memberikan mandat kepada
pemerintah untuk mengatur dalam peraturan pemerintah. Namun,
yang dimandatkan adalah membuat ketentuan lebih lanjut mengenai
peningkatan nilai tambah serta pengelolahan dan pemurnian, bukan
membuat norma baru seperti larangan ekspor bijih:”
b. Bahwa Pasal 103 ayat (3) Undang-Undang a quo, Ketentuan lebih
lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 102 serta pengolahan dan pemurnian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
c. Bahwa jika para Pemohon mencermati ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 103 Undang-Undang a quo secara mendalam, dalam
hal ini Pasal 103 ayat (1) Undang-Undang a quo telah secara tegas
menyatakan “Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.”
d. Bahwa kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 103 ayat (1) Undang-
Undang a quo, pemerintah melalui Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan
Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengelolaan Dan Pemurnian
Mineral Di Dalam Negeri, Pemerintah mengamanatkan kepada
Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan
pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.
Dengan kata lain, Pemerintah bukanlah membuat suatu norma baru.
e. Bahwa konsep negara hukum adalah “rule of law” yang pada
pokoknya menyatakan hukum sebagai suatu sistem yang
mensyaratkan keselarasan dan keharmonisan antara satu Undang-
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
137
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Undang dengan perundang-undang lainnya, termasuk di dalamnya
adalah peraturan pelaksanaan dari suatu pemberlakuan Undang-
Undang.
f. Bahwa berdasarkan konsep Negara hukum, maka dasar bagi
diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara adalah Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah melaksanakan amanat
yang terkandung dalam konstitusi melalui pemberlakuan undang-
undang, serta memastikan bahwa undang-undang yang berlaku,
dalam hal ini Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, untuk dapat dipahami,
dilaksanakan dan dipenuhi oleh segenap unsur (pemerintah, instansi,
warga Negara, badan hukum, dll) melalui peraturan pemerintah,
peraturan menteri terkait serta peraturan pelaksana lainnya.
g. Bahwa pada faktanya antara Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945 dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara serta Peraturan Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan
Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengelolaan Dan Pemurnian
Mineral Di Dalam Negeri telah selaras dan sejalan;
h. Bahwa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara sebagai kosekuensi Negara hukum seharusnya
pemerintah, pengusaha dan masyarakat menjalankan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara;
i. Bahwa berdasarkan dalil-dalil yang telah para Pihak Terkait uraikan
di atas, maka Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo telah
selaras dan sejalan dengan konsep Negara hukum sebagaimana
yang dimandatkan oleh Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar
1945, oleh karena ini sudah sepatutnya dalil-dalil para Pemohon
dinyatakan tidak dapat diterima atau tidak beralasan menurut hukum;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
138
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
II. Bahwa Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah konstitusional dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 karena telah memberikan kepastian hukum; 1. Bahwa para Pemohon dalam dalilnya halaman 16 angka 63
menyatakan “bahwa nyata dalam implementasi telah timbul
ketidakpastian hukum dan ketidakadilan karena kesewenangan-
wenangan Pemerintah dalam mengambil kebijakan dan menyusun
regulasi. Pasal 103 dan Pasal 102 terbukti menimbulkan
ketidakpastian hukum dan ketidakadilan karena membuka peluang
terjadinya kesewenangan-wenangan Pemerintah dalam
Implementasinya, sehingga justru bertentangan dengan prinsip
konstitusi yang menjamin perlindungan atas hak untuk mendapatkan
kepastian hukum yang adil dalam proses penegakan hukum kegiatan
pertambangan mineral dan batubara (vide Pasal 28D ayat (1) UUD
1945).”
2. Bahwa adanya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010,
Peraturan Menteri ESDM Nomor 7/2012, Peraturan Menteri ESDM
Nomor 20 Tahun 2013, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014
dan Peraturan Menteri Nomor 1 tahun 2014, jika ditelaah secara
seksama maka peraturan-peraturan tersebut merupakan
implementasi dari Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo
yang memandatkan kewajiban pembangunan smelter sebagaimana
diatur dalam Pasal 170 Undang-Undang a quo.
3. Bahwa perubahan-perubahan yang dilakukan terkait peraturan-
peraturan tersebut di atas adalah dalam rangka melakukan persiapan
dan pengendalian terhadap pembangunan smelter dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun.
4. Bahwa meski harus diakui pula terkait pelaksanakan Pasal 102 dan
Pasal 103 Undang-Undang a quo beserta turunannya, pemerintah
sangat tidak tegas, karena berdasarkan ketentuan Pasal 169
Undang-Undang a quo pembangunan smelter masuk dalam tahap
renegosiasi kontrak karya yang jangka waktunya adalah satu tahun
sejak Undang-Undang a quo di undangkan. Bahkan sampai dengan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
139
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
saat ini, renegosiasi kontrak karya banyak yang belum selesai,
dikarenakan perusahaan-perusahaan skala besar seperti PT.
Freeport Indonesia, PT. Newmont Nusa Tenggara, PT. Vale
Indonesia belum bersepakat atau menolak untuk melakukan
renegosiasi dengan tawaran yang diajukan oleh pemerintah.
5. Bahwa jikalaupun para Pemohon mempermasalahkan adanya
ketidakpastian hukum dengan mendalilkan pada Peraturan-Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010, Peraturan Menteri ESDM Nomor
7/2012, Peraturan Menteri ESDM Nomor 20 Tahun 2013, Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Nomor 1
Tahun 2014, maka hal itu jelas bukan merupakan kewenangan
Mahkamah Konstitusi. Seharusnya para Pemohon mengajukan
pertentangan peraturan-peraturan tersebut di atas dengan undang-
undang di Mahkamah Agung, dan bukan malah mengajukan ke MK
yang memiliki kewenangan menguji konstitusionalitas Pasal 102 dan
Pasal 103 Undang-Undang a quo.
6. Bahwa para Pemohon telah salah mengartikan kepastian hukum
dalam penegakan hukum, karena pada hakekatnya peraturan
pelaksana dari Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo
adalah bentuk kepastian hukum dalam pelaksanaan undang-undang,
dengan tujuan demi tercapainya keadilan dalam pertambangan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
7. Bahwa berdasarkan uraian-uraian yang telah para Pihak Terkait
sampaikan di atas, Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo
telah konstitusional dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945, sehingga dalil-dalil para Pemohon tidak
berasalan menurut hukum.
III. Bahwa Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah konstitusional dengan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
1. Bahwa dalil Para Pemohon dalam permohonannya halaman 17
angka 67 yang menyatakan “bahwa terkait dengan pelarangan
ekspor bijih serta pengolahan dan permunian di dalam negeri,
Pemohon telah menyampaikan surat terbuka kepada pihak yang
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
140
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
berwenangan yang pada pokoknya menolak kebijakan pelarangan
ekspor karena akan menimbulkan bangkrutnya 10.600 perusahaan
pemegang IUP Produksi, terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK)
besar-besaran, hilangnya mata pencarian pekerja dan keluarganya,
serta dampak ikutan lainnya yang dapat memicu keresahan dan
kerusuhan social baik di dalam perusahaan maupun secara
nasional.”
2. Bahwa sebagaimana telah kami uraikan di atas, Pasal 102 dan Pasal
103 Undang-Undang a quo adalah untuk meningkatkan nilai tambah
melalui proses pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, yang
untuk itu tentunya dibutuhkan industri hilir tambang (smelter), karena
pengolahan dan pemurnian akan membawa naiknya penerimaan
negara, memberi dukungan bagi terciptanya industri nasional yang
memproduksi bahan tambang olahan serta menyerap tenaga kerja.
3. Peningkatan nilai tambah memiliki semangat yang membangun bagi
perekonomian domestik, tujuan utama dari peningkatan nilai tambah
bukan menghambat perdagangan tetapi memanfaatkan kekayaan
mineral nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran bangsa.
Upaya ini tidak dapat ditunda karena kekayaan mineral akan habis
pada suatu saat dan tidak dapat diperbaharui.
4. Peningkatan kemakmuran dapat dicapai jika terjadi peningkatan
kegiatan ekonomi di sepanjang rantai produksi mineral. Peningkatan
rantai produksi domestik pada gilirannya akan memberikan dampak
positif bagi perekonomian dalam bentuk penciptaan output, nilai
tambah dan kesempatan kerja domestik, ketersediaan bahan
bakuindustri hilir berbasis logam domestik, serta penguasaan
teknologi dalam pengolahan mineral.
5. Bahwa pembangunan industri hilir tambang (smelter) akan
memperkuat industri nasional yang akan berdampak semakin meluas
dan terbukanya lapangan pekerjaan disegala bidang, yang tentunya
merupakan perwujudan dari amanat Pasal 27 ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945.
6. Bahwa selain itu pula, dengan adanya industri pengolahan dan
pemurnian (smelter) maka bangsa Indonesia tidak hanya menjual
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
141
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
bahan mentah, maka akan berdampak pada peningkatan penerimaan
Negara yang bisa untuk meningkatkan anggaran kesejahteraan
rakyat, pelayanan publik, infrastruktur pedesaan, industri pengolahan
akan menghasilkan bahan lanjutan yang akan memberikan dukungan
bagi indutri nasional lain yang mengandalkan hasil dari pengolahan,
dan lain-lain.
7. Bahwa idnsutri tambang adalah industri padat modal, padat karya
dan berisiko tinggi, oleh karena itu maka ketika ada kewajiban
membuat smelter perusahaan tidak dapat berdalih tidak memiliki
kecukupan modal dan kecukupan teknologi atas risiko yang
perusahaan hadapi.
8. Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka menurut para Pihak Terkait
Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo telah konstitusional
dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945,
oleh karena itu dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
IV. Bahwa Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah konstitusional dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 karena telah sesuai dengan konsep Hak Menguasai Negara (HMN);
1. Bahwa dalil Para Pemohon dalam permohonannya halaman 18-19
angka 74 menyatakan “bahwa negara tidak memiliki kemampuan
untuk memanfaatkan bumi, air, dan kekayaan alam untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat secara sendirian. Itulah sebabnya, Negara
menggandeng pelaku usaha, termasuk swasta dan koperasi, agar
bumi, air, dan kekayaan alam tersebut dapat digunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam kaitan ini, makna
penguasaan Negara atas bumi, air, dan kekayaan alam memberikan
kewenangan Negara untuk mengadakan kebijakan (beleid), tindakan
pengurusan (bestuurdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan
(behersdaad), dan pengawasan(toezichtthoundendaad).”
2. Bahwa Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.”
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
142
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
3. Bahwa negara memang tidak harus mengelola kekayaan alam
secara sendiri, akan tetapi menjalankan fungsi-fungsi Hak Menguasai
Negara untuk melindungi tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Akan tetapi negara juga tidak dilarang untuk mengelola kekayaan
alam secara sendiri atau bersama pihak lain, itulah fungsi
pengelolaan dari Hak Menguasai Negara yang bisa dikerjakan lewat
BUMN/BUMD dan penyertaan saham pemerintah.
4. Bahwa sistem hukum pertambangan di Indonesia yang mengacu
pada konstitusi yaitu pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
1945, yang mengamanatkan adanya Hak Menguasai Negara atas
kekayaan alam termasuk yang berupa tambang untuk melindungi
tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk melindungi tujuan
tersebut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara melalui Pasal 102 dan Pasal
103 Undang-Undang a quo mewajibkan kepada pemegang IUP dan
IUPK untuk:
1) Meningkatkan nilai tambah;
2) Meningkatkan nilai tambah tersebut melalui pengolahan dan
pemurnian;
3) Industri pengolahan dan pemurnian dilakukan di dalam negeri;
5. Bahwa fungsi pengaturan dari Hak Menguasai Negara untuk
melindungi tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat ditunjukan
melalui Undang-Undang a quo dan aturan turunannya. Sebelum
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara dikeluarkan Pemerintah telah melakukan
pengaturan sebagai implementasi dari hak menguasai negera
terhadap industri pertambangan melalui konsesi-konsesi dalam
bentuk kontrak karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara (PKP2B), kemudian paska lahirnya Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara Negara mengatur ulang pengelolaan pertambangan melalui
Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan
Khusus (IUPK), bahwa perubahan dari bentuk pengelolaan industri
pertambangan dari kontrak karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
143
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Pertambangan Batubara (PKP2B) ke dalam bentuk Izin Usaha
Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)
adalah sebagai perwujudan dari fungsi pengawasan yang mendapati
bahwa konsesi-konsesi yang diberikan melalui kontrak karya dan
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)
tidak mampu melindungi tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat,
sehingga dimandatkanlah untuk melakukan renegosiasi kontrak karya
dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara
(PKP2B) sebagai perwujudan fungsi pengurusan negara.
6. Bahwa kontrak karya itu, yang ditandatangani oleh perusahaan dan
pemerintah mensejajarkan negara sebagai pelaksanaan kedaulatan
rakyat dengan pihak perusahaan, oleh karena kontrak karya harus
dihapuskan sehingga negara hanya memberikan izin kepada
perusahaan untuk mengelola pertambangan.
7. Bahwa dengan memproduksi bahan olahan melalui pembangunan
smelter di dalam negeri, maka fungsi pengawasan dari Hak
Menguasai Negara dapat berlangsung secara optimal, hal tersebut
supaya tidak mengulangi kasus PT. Freeport Indonesia yang dalam
kontrak karya pertama tidak mengatur royalti emas dan tidak
melaporkan adanya kandungan emas di dalam mineral ikutan,
dengan alasan bahwa PT. Freeport Indonesia hanya melakukan
penambangan bijih tembaga.
8. Bahwa keseluruhan uraian-uraian terkait Hak Menguasai Negara di
atas dapat dicermati melalui putusan-putusan Mahkamah Konstitusi
semisal Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003,
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010, Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 21-22/PUU-V/2007.
9. Bahwa berdasarkan hal-hal yang telah kami uraikan di atas, maka
Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah konstitusional
dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 karena telah
sesuai dengan konsep Hak Menguasai Negara (HMN), sehingga
dalil-dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
144
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
V. Bahwa Pasal 102 Dan 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sudah sangat jelas dan tegas sehingga tidak perlu tidak ditafsirkan lagi 1. Bahwa dalam dalil para Pemohon pada halaman 20 angka 81 dan
angka 82 yang pada pokoknya menyatakan meminta agar
Mahkamah Konstitusi menyatakan ketentuan Pasal 102 dan Pasal
103 Undang-Undang a quo bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bila
dimaknai bahwa Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo
melarang ekspor bijih (conditionally unconstitutional)
2. Bahwa menurut hemat para Pihak Terkait, Pasal 102 dan Pasal 103
Undang-Undang a quo sudah secara jelas dan tegas mengatur
tentang nilai tambah dengan cara pengolahan dan pemurnian hasil
tambang dalam negeri.
3. Bahwa Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo dalam
penjelasan menyatakan:
Pasal 102
Nilai tambah dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan
produk akhir dari usaha pertambangan atau pemanfaatan terhadap
mineral ikutan.
Pasal 103
Ayat (1)
Kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam
negeri dimaksudkan, antara lain, untuk meningkatkan dan
mengoptimalkan nilai tambang dari produk, tersedianya bahan baku
industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan penerimaan
negara.
4. Bahwa berdasarkan logika yang terkandung dalam Pasal 102 dan
Pasal 103 Undang-Undang a quo seperti disebut di atas, maka
dengan sendirinya ekspor bijih dilarang sebelum dilakukan
pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.
5. Bahwa berdasarkan uraian-uraian yang telah para Pihak Terkait
sampaikan di atas, Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo
telah jelas dan tegas sehingga tidak perlu untuk ditafsirkan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
145
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
(conditionally unconstitutional) lagi, oleh karena itu dalil para
Pemohon sudah sepatutnya dinyatakan tidak beralasan menurut
hukum.
D. PERMOHONAN DALAM EKSEPSI
Menolak permohonan para Pemohon tentang Pengujian Pasal 102 dan Pasal
103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara terhadap Undang-Undang Dasar 1945 karena Mahkamah Konstitusi
tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus permohonan para Pemohon;
DALAM POKOK PERKARA 1. Menolak Permohonan Pengujian Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959), terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Menyatakan Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4959) tidak bertentangan denganUndang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan karenanya
mengikat secara hukum; Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
[2.7] Menimbang bahwa untuk membuktikan keterangannya, para Pihak
Terkait I mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda PT.I-1 sampai PT.I-
13, sebagai berikut:
1. Bukti PT.I-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Bukti PT.I-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
146
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
3. Bukti PT.I-3 : Fotokopi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah
Mineral Melalui Kegiatan Pengelolaan Dan Pemurnian
Mineral Di Dalam Negeri;
4. Bukti PT.I-4 : Fotokopi Akta Notaris Nurul Muslimah Kurniati, S.H., Nomor
08 tanggal 26 Februari 2013 tentang Pernyataan Keputusan
Sidang Pleno II Indonesian Human Rights Committee For
Social Justice (IHSC);
5. Bukti PT.I-5 : Fotokopi Keputusan Pertemuan Nasional Forum Indonesia
Untuk Transparansi Anggaran Nomor 009/Pernas/VI/2013
tentang Pengesahan Sekretaris Jenderal FITRA Periode
2013 – 2016;
6. Bukti PT.I-6 : Fotokopi Akta Notaris Nirmawati Marcia, S.H., Nomor 57
tanggal 16 November 2009 tentang Penyimpanan
Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat
(P3M);
7. Bukti PT.I-7 : Fotokopi Berita Acara Pertemuan Nasional KIARA, Pemilihan
Dewan Presidium KIARA dan Sekretaris Jenderal KIARA
Periode 2013 – 2015;
8. Bukti PT.I-8 : Fotokopi Keputusan Rapat Umum Anggota Publish What You
Pay Indonesia Nomor 08/RUA/2012 tentang Pemilihan dan
Penetapan Koordinator Nasional PWYP Indonesia;
9. Bukti PT.I-9 : Fotokopi Anggaran Dasar Pihak Terkait 1, Indonesia Human
Rights Committee For Social Justice (IHCS);
10. Bukti PT.I-10 : Fotokopi Anggaran Dasar Pihak Terkait 2, Forum Indonesia
untuk Transparansi Anggaran (FITRA);
11. Bukti PT.I-11 : Fotokopi Anggaran Dasar Pihak Terkait 3, Perhimpunan
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M);
12. Bukti PT.I-12 : Fotokopi Anggaran Dasar Pihak Terkait 4, Koalisi Rakyat
untuk Keadilan Perikanan (KIARA);
13. Bukti PT.I-13 : Fotokopi Anggaran Dasar Pihak Terkait 5, Publish What You
Pay Indonesia (PWYP);
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
147
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Selain itu, Pihak Terkait I juga mengajukan satu orang saksi yang
didengar keterangannya di bawah sumpah, sebagai berikut:
Salvius Seko • Saksi sebagai Ketua Lembaga Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Barat
dan sebagai Kepala Suku Dayak Tobak;
• Saksi mengemukakan akibat dari tidak adanya pendirian smelter atau tempat
pemurnian bagaimana dampak dari perusahaan-perusahaan tambang terhadap
hak-hak dan eksistensi masyarakat adat;
• Akibat tidak adanya pendirian smelter maka ada pemberian izin yang tidak
terkontrol yang mengakibatkan kerusakan ekologis, sosiologis dan kultural.
Sebagai contoh adalah danau yang memiliki nilai kultural dan sosial bagi
masyarakat adat Dayak, namun kemudian ditimbun oleh perusahaan padahal
tidak masuk dalam wilayah konsesi;
• Ada juga pedagi-pedagi yang merupakan tempat keramat masyarakat adat
Dayak, tapi kemudian masuk dalam wilayah konsesi kemudian dicaplok begitu
saja, hal ini karena tidak ada kontrol. Belum lagi limbah-limbah yang dibuang ke
sungai Kapuas. Padahal Sungai Kapuas itu bagi masyarakat Dayak bukan
sekadar tempat untuk melakukan aktivitas sehari-hari, tetapi juga mempunyai
nilai sosial, punya nilai kultural;
• Ahli menggambarkan kondisi jalanan penghubung antara negara Khucing,
Sabah, Serawak dan Brunei sekaligus jalan di depan rumah masyarakat adat
yang rusak karena dilalui oleh kendaraan angkutan bauksit;
• Ada 81 izin pertambangan bauksit yang mendominasi di Sanggau dari tahun
2009 sampai dengan tahun 2011 selain izin pertambangan silikon, dan ada bijih besi.
[2.8] Menimbang bahwa para Pihak Terkait II yang terdiri dari Lembaga
Musyawarah Adat Suku Kamoro (Lemasko) dan Lembaga Musyawarah Adat Suku
Amugme (Lemasa) memberikan keterangan tertulis yang menguraikan sebagai
berikut: A. PENDAHULUAN Bahwa sebuah kenyataan yang dihadapi rakyat Indonesia yang mempunyai
sumber-sumber kekayaan tambang yang meiimpah justru tidak berkorelasi positif
dengan kesejahteraan rakyat. Sumber-sumber kekayaan alam nusantara yang
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
148
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
mempengaruhi hajat hidup orang banyak ternyata mayoritas dikuasai asing serta
menimbulkan kemiskinan bagi masyarakat setempat. Di Papua misainya, PT.
Freeport Indonesia, setelah penguasaan sejak tahun 1967 – sekarang, dengan
has konsesi sebesar 2,6 juta ha, termasuk 119.435 ha hutan lindung dan 1,7 juta
ha kawasan konservasi telah meraup untung luar biasa besar. Hal ini
berkebalikan dengan kondisi masyarakat setempat, di mana 83,3% rumah tangga
di Papua masih dalam selimut kemiskinan.
Lebih banyak lagi perusahaan-perusahaan tambang balk pennaaan multinasional
maupun nasional, namun dampak negatif dari aktivitas pertambangan lebih
banyak dirasakan dibanding dampak positif. Hal ini dikarenakan tidak akuntabel-
nya kegiatan bisnis yang menegasikan hak asasi manusia, hak-hak masyarakat
adat, hak atas lingkungan yang sehat dan lestari, dan hak ekonomi, sosial dan
budaya Iainnya. Aktivitas pertambangan yang Iemah pengawasan dan tidak
akuntabel menimbulkan banyak persoalan seperti korupsi, eksploitasi buruh,
konflik agraria dan perampasan tanah ulayat masyarakat adat setempat, konflik
dan kekerasan, penyalahgunaan sektor keamahan, dan rusaknya habitat dan
lingkungan hidup.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tabun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara, salah satu battik kepedulian pemerintah untuk melindungi
kepentingan publik atas surnber daya alam dalam pertambangan dan dibuat untuk
meningkatkan ni ai tambah dalam pertambangan, pemerintah juga telah
metnberikan pengaturan sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 102,
Pasal 103, dan Pasal 170 Undang-Undang Nomor 4 Tabun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara yang secara tegas menyatakan:
Pasal 102
Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral
dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian,
serta pemanfaatan mineral dan batubara.
Pasal 103
(1) Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan
pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.
(2) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari pemegang IUP dan
IUPK lainnya.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
149
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 102 serta pengolahan dan pemurnian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 170
Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah
berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103
ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
Selain itu Pasal 169 Undang-Undang Nomor 4 Tabun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan batubara juga mengatur renegosiasi kontrak karya yang menyatakan:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang
telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai
jangka waktu berakhimya kontrak/perjanjian.
b. Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya
pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud pada huruf a
disesualkan selambat-Iambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang Inl
diundangkan kecuali mengenal penerimaan negara.
c. Pengecualian terhadap penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada huruf
b adalah upaya peningkotan penerimaan negara.
Bahwa pasal tersebut telah secara tegas memandatkan kepada pemerintah untuk
melakukan renegosiasi kontrak karya paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-
Undang a quo diundangkan, tetapi pada faktanya Pemerintah tidak melaksanakan
ketentuan pasal tersebut karena sampai saat ini 2014 renegosiasi kontrak karya
hanya berhasil untuk perusahaan yang skala kecil sedang untuk perusahaan yang
gala besar seperti PT. Freeport Indonesia, PT. Newmont Nusa Tenggara, PT.
Vale Indonesia sampai saat ini belurn menyepakati melakukan renegosiasi atau
menolak untuk melakukan renegosiasi dengan tawaran yang diajukan oleh
pemerintah.
Bahwa pengajuan judicial review yang diajukan para Pemohon telah bertentangan
dengan semua maksud dan cita-cita di atas. Oleh Karena itu, sebagai salah satu
pihak yang paling terdampak dari aktivitas pertambangan yang tidak akuntabel,
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
150
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
para Pihak Terkait dalam hal ini ikut nadir untuk 'mempertahankan norma-norma
yang diuji di Mahkamah Konstitusi ini.
B. DALAM EKSEPSI
MAHKAMAH KONSTITUSI TIDAK BERWENANG UNTUK MENGUJI PERMOHONAN YANG BERSIFAT IMPLEMENTASI (PERATURAN PELAKSANA DART UNDANG-UNDANG) 1. Bahwa pada intinya permohonan para Pemohon dalam pengauan Pasal 102
dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang dimohonkan oleh Asosiasi Pengusaha Mineral
Indonesia (APEMINDO) dkk., adalah mempermasalahkan penerapan atau
implementasi. Hal tersebut dapat dilihat dari permohonan para Pemohon hat.
13 angka 48 yang menyatakan "bahwa di dalam undang-undang balk secara
implisit maupun eksplist sebenarnya tidak terdapat larangan untuk melakukan
kegiatan ekspor bijih. tarangan ini muncul atas kreasi yang dilakukan oleh
pemerintah melalui menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; yang pada
hakikatnya bertentangan dengan undang-undang;''
2. 8ahwa pada intinya para Pemohon mempermasalahkan Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010, Peraturan Menteri ESDM Nomor 7/2012,
Peraturan Menteri ESDM Nomor 20 Tahun 2013, Peraturan Pemerintah
Nomor 1 tahun 2014 dan Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2014 selaku
peraturan pelaksana dari Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang secara nyata
bukan merunakan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi .
3. Berdasarkan hal-hal yang kami uraikan di atas, maka dapat dinyatakan secara
hukum bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk menguji
permohonan Para Pemohon, sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 juncto Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang pada intinya melakukan
pengujian terhadap konstitusionalitas suatu Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
151
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
C. DALAM POKOK PERKARA
I. Bahwa Pasal .102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral.dan Batubara adalah kaional dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 karena telah memberikan kepastian hukum; 1. Bahwa para Pemohon claim dalilnya halaman 16 angka 63 menyatakan
bahwa nyata dalam implementasi telah timbul ketidakpastian hukum dan
ketidakadilan karena kesewenangan-wenangan Pemerintah dalam
mengambil kebijakan dan men yusun regulasi. Pasal 103 dan Pasal 102
terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan karena
membuka peluang terjadinya kesewenangan-wenangan Pemerintah
dalam Implementasinya, sehingga justru bertentangan dengan prnsip
konstitusi yang menjamin perlindungan atas hak untuk mendapatkan
kepastian hukum yang ada dalam proses penegakan hukum kegiatan
pertambangan mineral dan batubara (vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945).
2. Bahwa selain itu, dalam dalil para Pemohon pada halaman 20 angka 81
dan angka 82 yang pada pokoknya menyatakan meminta agar Mahkamah
Konstitusi menyatakan ketentuan Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-
Undang a quo bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bila dimaknai bahwa Pasal
102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo melarang ekspor bijih
(conditionally unconstitutional).
3. Bahwa untuk menentukan suatu norma memenuhi asas kepastian hukum
maka norma tersebut harus memenuhi “a legal system in which rules are
clear, wellunderstgod and fairly enforced". Kepastian hukum ini juga harus
mengandung asas legalitas, prediktibilitas, dan transparansi.
4. Dalam konteks ini, Jika dibaca dengan cermat dan seksama, rumusan
Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Minerba sudah cukup jelas
(dear) dan mudah dipahami. Pasal 102 berisi norma yang mewajibkan
pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan
Khusus (IUPK) untuk meningkjatkan nilai tambah sumber daya mineral
yang dihasilkan dari pengusahaan pertambangan. Rumusan Pasal 102
Undang-Undang Minerba telah memenuhi asas kejelasan rumusan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
152
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011. Begitu juga dengan Pasal 103 Undang-Undang Minerba 'yang berisi
pembebanan kewajiban bagi pemegang IUP dan IUPK untuk melakukan
pengotahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri. Pada 'prinsipnya, rumusan pasal tersebut juga cukup jelas. Di mana maksud
yang ditekankan adalah pengelolaan dan pemurnian hasil penambangan
tidak boleh dilakukan di luar negeri, melainkan wajib dilakukan dalam
negeri. Sebab, pemurnian di dalam negeri merupakan salah satu bagian
dari upaya meningkatkan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan.
Karenanya, dapat dipahami bahwa perumusan norma Pasal 103 juga
cukup jelas.
5. Bahwa adanya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010, Peraturan
Menteri ESDM Nomor 7/2012, Peraturan Menteri ESDM Nomor 20 Tabun
2013, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri
Nomor 1 Tahun 2014, jika ditelaah secara seksama maka peraturan-
peraturan tersebut merupakan peraturan turunan untuk menerapkan
Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo yang memandatkan
kewajiban pembangunan smelter sebagaimana diatur dalam Pasal 170
Undang-Undang a quo. Namun demikian, adanya permasalahan norma
dalam peraturan turunan untuk mengimplementasikan norma Pasai 102
dan Pasal 103 yang telah cukup jelas tidak dapat diartikan atau ditafsirkan
bahwa norma Pasal 102 dan Pasal 103 juga mengalami ketidakjelasan
dan mengandung ketidakpastian hukum.
6. Dengan kata lain, untuk menentukan apakah suatu norma memenuhi
asas kepastian hukum, tidak dapat dilihat dari bagaimana pernerintah
menurunkan norma tersebut dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan pelaksananya.
7. Bahwa berdasarkan uraian-uraian yang telah para Pihak Terkait
sampaikan di atas, Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo telah
mengandung asas kepastian hukum, telah jelas dan tegas sehingga tidak
perlu untuk ditafsirkan (conditionally unconstitutional) lagi, dan telah
konstitusional dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945, sehingga dalil-dalil para Pemohon tidak berasalan menurut
hukum.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
153
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
II. Bahwa Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tabun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah konstitusional dengan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
1. Bahwa dalil para Pemohon dalam permohonannya halaman 17 angka 67
yang menyatakan "bahwa terkait dengan pelarangan ekspor bijih serta
pengolahan dan permunian di dalam negeri, Pemohon telah
menyompaikan surat terbuka kepada pihak yang berwenangan yang pada
pokoknya menolak kebijakan pelarangan ekspor karena akan
menimbulkan bangkrutnya' 10.600 perusahaan pemegang IUP Produksi,
terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran, hilangnya mata
pencarian pekerja dan keluarganya, serta dampak ikutan lainnya yang
dapat memicu keresahan dan kerusuhan sosial baik di da!am perusahaan
maupun secara nasional.'
2. Bahwa sebagaimana telah kami uraikan di atas, Pasal 102 dan Pasal 103
Undang-Undang a quo adalah untuk meningkatkan nilai tatnbah melalui
proses pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, yang untuk itu
tentunya dibutuhkan industri hilir tambang (smelter), karena pengolahan
dan pemurnian akan membawa naiknya penerimaan negara, memberi
dukungan bagi terciptanya industri nasional yang memproduksi bahan
tambang olahan serta menyerap tenaga kerja.
3. Peningkatan nilai tambah memiliki semangat yang membangun bagi
perekonomian domestik, tujuan utama dari peningkatan nilai tambah
bukan menghambat perdagangan tetapi memanfaatkan kekayaan mineral
nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran bangsa. Upaya ini tidak
dapat ditunda karena kekayaan mineral akan habis pada suatu. saat dan
tidak dapat diperbaharui.
4. Peningkatan kemakmuran dapat dicapai jika terjadi peningkatan kegiatan
ekonomi di sepanjang rantai produksi mineral. Peningkatan rantai
produksi domestik pada gilirannya akan memberikan dampak positif bagi
perekonomian dalam bentuk penciptaan output, nilai tambah dan
kesempatan kerja domestik, ketersediaan bahan baku industri hilir
berbasis logam domestik, serta penguasaan teknologi dalam pengolahan
mineral.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
154
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
5. Bahwa pembangunan industri hilir tambang (smelter) akan memperkuat
industri nasional yang akan berdampak semakin meluas dan terbukanya
lapangan pekerjaan disegala bidang, yang tentunya merupakan
perwujudan dari amanat Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
6. Bahwa seiain itu pula, dengan adanya industri pengolahan dan pemurnian
(smelter) maka bangsa Indonesia tidak hanya menjual bahan mentah,
maka akan berdampak pada peningkatan penerimaan negara yang bisa
untuk meningkatkan anggaran kesejahteraan rakyat, pelayanan publik,
infrastruktur pedesaan, industri pengolahan akan menghasiikan bahan
lanjutan yang akan memberikan dukungan bagi indutri nasional lain yang
mengandalkan hasil dari pengolahan, dan lain-lain.
7. Bahwa industri tambang adalah industri padat modal, padat karya dan
berisiko tinggi, oleh karena itu maka ketika ada kewajiban membuat
smelter perusahaan tidak bisa berdalih tidak memiliki kecukupan modal
dan kecukupan teknologi atas risiko yang perusahaan hadapi.
8. Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka menurut Para Pihak Terkait
Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo telah konstitusional
dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, oleh
karena itu dalii para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
III. Bahwa Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tabun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah konstitusional dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 karena telah sesuai dengan konsep Hak Menguasai Negara (HMN);
1. Bahwa dalil para Pemohon dalam permohonannya halaman 18-19 angka
74 menyatakan "bahwa negara tidak memiliki kemampuan untuk
memanfaatkan bumi, air, dan kekayaan alam untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat secara sendirian. ltu/ah sebabnya, Negara
menggandeng pelaku usaha, termasuk swasta dan koperasi, agar bumi,
air, dan kekayaan alam tersebut dapat digunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat Dalam kaftan ini, makna penguasaan Negara atas
bumf, air, dan kekayaan alam memberikan kewenangan Negara untuk
mengadakan kebjakan (beleid), tindakan penguasaan (bestuurdaad),
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
155
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
pengaturan (regelendaad), pengelolaan (behersdaad), dan pengawasan
(toezichtthoundendaad)."
2. Bahwa untuk menentukan tafsir mengenai hak menguasai negara, para
pihak harus mengacu Putusan Nomor 21-22/PUU-V/2007 yang telah
memberikan tafsir resmi atas makna frasa dikuasai oleh negara dalam
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam putusan tersebut
dinyatakan, dikuasai oleh negara mengandung pengertian bahwa rakyat
secara kolektif dikonstruksikan oieh Undang-Undang Dasar 1945
memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan
(beleid), dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan
(regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan
(toezichthoudensdaad) untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Fungsi pengurusan oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan
kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas, perizinan,
lisensi, dan konsesi. Fungsi pengaturan deli negara dilakukan melalui
kewenangan legislasi oleh DPR bersama-sama dengan Pemerintah dan
regulasi oleh Pemerintah atau eksekutif. Fungsi peggelolaan dilakukan
melalui pendayagunaan penguasaan negara atas surnber-sumber
kekayaan untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Demikian pula fungsi pengawasan dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah
dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan
penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang paling dan/atau yang
menguasai hajat hidup orang banyak dimaksudkan benar-benar dilakukan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat.
3. Bahwa dalam konteks tersebut di atas, maka Pasal 102 dan Pasal 103
yang mewajibkan lndustri pengolahan dan pemurnian dilakukan di dalam
negeri, telah sejalan dan memberikan jaminan pengawasan yang lebih
memadai bagi pemerintah khususnya untuk mengkontrol dan menjamin
transparansi revenue atau keuntungan produksi sesungguhnya yang
dimiliki perusahaan pertambangan. Sehingga dengan demikian dapat
dipastikan berapa royalti sesungguhnya yang, menjadi milik negara,
perusahaan dan termasuk bagian masyarakat adat yang terkena dampak
usaha pertambangan.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
156
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
4. Bahwa praktik yang tertutup sebagaimana dalam kasus PT. Freeport
Indonesia yang dalam kontrak karya pertama yang tidak mengatur royalty
emas dan tidak melaporkan adanya kandungan emas di dalam mineral
ikutan, dengan alasan bahwa PT. Freeport Indonesia hanya melakukan
penambangan bijih tembaga, dengan demikian dapat dihindari.
5. Bahwa sebagai Pihak Terkait, selama ini ketertutupan ini sangat
merugikan karena tidak dapat dipastikan berapa sesungguhnya bagian
keuntungan yang harus dibayarkan kepada masyarakat adat termasuk
Pihak Terkait.
6. Bahwa Pasal 102 dan Pasal 103 yang mengatur perubahan dari bentuk
pengelolaan industri pertambangan dari kontrak karya dan Perjanjian
Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP28) ke dalam bentuk
Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus
(IUPK) adalah sebagai perwujudan dari penguatan fungsi pengawasan.
Bahwa konsesi-konsesi yang diberikan melalui kontrak karya dan
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) selama
ini tidak mampu melindungi tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
7. Bahwa berdasarkan hal-hal yang telah kami uraikan di atas, maka Pasal
102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara adalah konstitusional dengan Pasal
33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 karena telah sesuai dengan
konsep Hak Menguasai Negara (HMN), sehingga dalii-dalil Para Pemohon
tidak beralasan menurut hukum;
E. PERMOHONAN
DALAM EKSEPSI Menolak permohonan Para Pemohon tentang Pengujian Pasal 102 dan Pasal 103
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
karena Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus
permohonan para Pemohon;
DALAM POKOK PERKARA 1. Menolak Permohonan Pengujian Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
157
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4959), terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Menyatakan Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 4; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4959) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan karenanya mengikat secara
hukum;
Atau
apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya (ex aequo et bono).
[2.9] Menimbang bahwa untuk membuktikan keterangannya, para Pihak
Terkait II mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda PT.II-1 sampai
PT.II-2, sebagai berikut:
1. Bukti PT.II-1 : Fotokopi Akta Pernyataan Keputusan Rapat Perubahan
Anggaran Dasar Lembaga Masyarakat Adat Suku Kamoro
(Lemasko);
2. Bukti PT.II-2 : Fotokopi Surat Keputusan Badan Pendiri Nomor 05/SK/BP-
LEMASA/X/2010, tanggal 14 Oktober 2010 tentang Penunjukan
dan Pengangkatan Direktur Executive Lembaga Musyawarah
Adat Suku Amungme (Lemasa) beserta lampirannya.
[2.10] Menimbang bahwa para Pemohon, para Pihak Terkait I, dan para Pihak
Terkait II menyampaikan kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan
Mahkamah pada tanggal 29 September 2014, sedangkan Presiden menyampaikan
kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal
6 Oktober 2014 yang masing-masing pada pokoknya tetap dengan pendiriannya;
[2.11] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,
segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara
persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
putusan ini;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
158
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
3. PERTIMBANGAN HUKUM
[3.1] Menimbang bahwa pokok permohonan Pemohon adalah pengujian
konstitusionalitas Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959,
selanjutnya disebut UU 4/2009) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945)
khususnya Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3), secara
bersyarat sebagaimana akan diuraikan dalam pertimbangan pada bagian pokok
permohonan;
[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD
1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226,
selanjutnya disingkat UU MK), Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap UUD 1945;
[3.4] Menimbang bahwa oleh karena yang dimohonkan oleh Pemohon adalah
pengujian Undang-Undang in casu UU 4/2009 terhadap UUD 1945, yang menjadi
salah satu kewenangan Mahkamah maka Mahkamah berwenang mengadili
permohonan a quo;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
159
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta
Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu
Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap
UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) UU MK;
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD
1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;
[3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-
III/2005, bertanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal
20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal
51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat
spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
160
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang
yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak
akan atau tidak lagi terjadi;
[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, selanjutnya
Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) para
Pemohon sebagai berikut:
Pemohon I Bahwa Pemohon I merupakan badan hukum Indonesia yang disahkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 2012 berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU – 143.AH.01.07.Tahun 2012
tentang Pengesahan Badan Hukum Perkumpulan dengan NPWP.31.532.186.9-
077.000, menganggap hak konstitusionalnya dirugikan atau setidaknya berpotensi dilanggar (Bukti P-12). Dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
(AD/ART) Pemohon I melakukan kegiatan: Pertama, menjadi mitra pemerintah
dalam menentukan kebijakan nasional terkait usaha pertambangan. Kedua,
menempatkan biji mineral dan produk olahan mineral Indonesia pada kedudukan
yang terbaik di pasaran dalam dan luar negeri. Ketiga, mengembangkan iklim
usaha mineral yang sehat dan hubungan kerja antara produsen, pedagang,
industri yang serasi. Keempat, membantu meningkatkan kemampuan usaha
masyarakat pelaku industri mineral. Kelima, berupaya meningkatkan
perekonomian negara melalui pemasukan devisa, peningkatan nilai tambah,
penciptaan lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan
mendorong keberlanjutan pertambangan mineral nasional. Selain itu, Pemohon
juga memiliki visi dan misi yang telah diterjemahkan dalam berbagai bentuk
kegiatan.
Pemohon II Bahwa Pemohon II merupakan badan hukum privat yang merupakan agen kapal
yang mendapatkan surat izin usaha perusahaan angkutan laut Nomor: BXXP-
1062/AL58 dengan NPWP: 01.453.690.8-701.00, sedangkan PT. Harapan Utama
Andalan merupakan perusahaan bongkar muat yang telah mendapatkan Surat
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
161
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Izin Usaha Perusahaan Bongkar Muat (SIUPBM) Nomor : 552.6/472/LLSDP.B dengan NPWP 02.765.070.4-701.00. (Bukti P-13) .
Pemohon III Bahwa Pemohon III merupakan badan hukum indonesia dalam bentuk koperasi
yang menjalankan jenis usaha jasa bongkar muat. Koperasi yang dijalankan
terdaftar sesuai dengan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) Nomor 140526300072
(Bukti P-15),
Pemohon IV
Bahwa Pemohon IV merupakan perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha
pokok pertambangan galena dan bauksit yang terdaftar dengan tanda daftar
perusahaan Nomor: 14051070012 dengan NPWP 02.260.666.9-703.000. Selain
itu juga memegang Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Nomor:
503/015/SIUP/Kecil/2013 dan Surat Keputusan Bupati Ketapang Nomor 137 Tahun 2010 tentang Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi (Bukti P-17);
Pemohon V
Bahwa Pemohon V merupakan badan hukum Indonesia yang telah mendapatkan izin usaha pertambangan operasi produksi mineral logam (bauksit), masing-
masing berdasarkan Keputusan Bupati Karimun Nomor 193 Tahun 2012 Tentang
Pemberian Usaha Pertambangan Operasi Produksi Mineral Logam (Bauksit) Blok I
kepada PT. Tanjung Air Berani dan Keputusan Bupati Karimun Nomor 194 Tahun
2012 Tentang Pemberian Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Mineral
Logam (Bauksit) Blok II kepada PT. Tanjung Air Berani, yang menganggap hak
konstitusionalnya dirugikan atau setidaknya berpotensi dilanggar hak konstitusionalnya (Bukti P-18).
Pemohon VI
Bahwa Pemohon VI terdaftar sebagai badan hukum indonesia yang menjalankan
kegiatan usaha pokok perdagangan besar mesin dan perlengkapan peralatan
pertambangan lainnya dengan dengan TDP Nomor : 09.02.1.463166 dan NPWP : 02.691.381.4.036.000 (Bukti P-19) . Selain itu Pemohon VI juga memegang Surat
Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Nomor: 04255-03/PM/1.824.271 yang jasa
dagangan utamanya terdiri atas hasil perkebunan (kelapa sawit), alat
teknik/mekanikal/elektrikal/alat berat dan suku cadangnya , serta hasil
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
162
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
pertambangan bauksit (contractor mining, rental heavy equipment & general
supplier) (Bukti P-20);
Pemohon VII
Bahwa Pemohon VII terdaftar sebagai badan hukum privat, yang didirikan
berdasarkan hukum indonesia. Berdasarkan salinan akta perusahaan, salah satu
jenis usahanya adalah menjalankan usaha pertambangan. Pemohon VII
merupakan pembayar pajak dari kegiatan usahanya dengan NPWP : 02. 785.270.0-701.000 (Bukti P-22);
Pemohon VIII
Bahwa Pemohon VIII adalah suatu perusahaan dalam bentuk perseroan yang
berbadan hukum Indonesia, serta taat pajak dengan kepemilikan NPWP:
01.314.071.0-091.000 (Bukti P-24) yang kegiatan usahanya antara lain
perdagangan berbagai macam barang, bidang pembangunan, bidang industri, bidang transportasi, dan bidang kehutanan/perkayuan;
Pemohon IX
Bahwa Pemohon IX adalah suatu badan hukum privat yang didirikan berdasarkan
ukum indonesia sesuai Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor: AHU-
20251.AH.01.02.Tahun 2010 yang di putuskan Pada Tanggal 21 April 2010 dengan NPWP 02.381.111.0-412.00 (Bukti P-26), yang kegiatan usahanya antara
lain jasa, perdagangan, pembangunan, industri, angkutan, pertanian, perikanan, peternakan, pertambangan, dan perbengkelan;
[3.8] Menimbang bahwa setelah membaca dengan saksama dalil dan bukti
para Pemohon baik selaku pemegang IUP dan IUPK maupun selaku pengusaha
jasa pengangkutan hasil tambang kemudian dihubungkan dengan kerugian hak
konstitusional para Pemohon, menurut Mahkamah, baik secara faktual dan
potensial ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak
konstitusional para Pemohon dengan berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian yang apabila dikabulkan maka kerugian hak konstitusional
seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Oleh karena itu menurut
Mahkamah para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
163
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
[3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili
permohonan a quo dan para Pemohon memiliki keduduukan hukum untuk
mengajukan permohonan a quo, Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan pokok permohonan;
Dalam Eksepsi
[3.10] Menimbang bahwa para Pihak Terkait I dan para Pihak Terkait II
mengajukan eksepsi yang pada pokoknya, sebagai berikut:
1. Eksepsi para Pihak Terkait I:
a. berkenaan dengan kedudukan hukum para Pemohon, para Pihak Terkait I
menyerahkan kepada Mahkamah untuk mempertimbangkannya.
b. Mahkamah tidak berwenang mengadili permohonan para Pemohon karena
permohonan para Pemohon adalah menguji penerapan atau implementasi
Undang-Undang;
2. Eksepsi para Pihak Terkait II, Mahkamah tidak berwenang mengadili
permohonan para Pemohon karena permohonan para Pemohon adalah menguji
penerapan atau implementasi Undang-Undang;
Dalam Pokok Permohonan
[3.11] Menimbang bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah pengujian
konstitusionalitas Pasal 102 dan 103 UU 4/2009 yang selengkapnya menyatakan:
Pasal 102
Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral
dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian,
serta pemanfaatan mineral dan batubara.
Pasal 103
(1) Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan
pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.
(2) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari pemegang IUP dan IUPK
lainnya.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
164
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 102 serta pengolahan dan pemurnian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 1 ayat (3), Pasal 22A, Pasal 27
ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) yang masing-masing menyatakan:
Pasal 1 (3) Negara Indonesia adalah negara hukum.
Pasal 22A Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur
dengan undang-undang.
Pasal 27 (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan.
Pasal 28D (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Pasal 33 (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,
apabila dimaknai dengan pelarangan terhadap ekspor bijih (raw material atau ore)
dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum; dengan
alasan yang pada pokoknya bahwa pasal a quo sudah cukup jelas mewajibkan
pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus
(IUPK) untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral yang dihasilkan dari
pengusahaan pertambangan dan pemegang IUP dan IUPK wajib melakukan
pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri, sehingga tidak
perlu ditafsirkan lagi sebagaimana diuraikan di atas. Selain itu, pemaknaan atau
penafsiran oleh Pemerintah yang demikian menimbulkan ketidakpastian hukum
dalam usaha para Pemohon, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
165
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
[3.12] Menimbang bahwa untuk membuktikan permohonannya Pemohon
mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda P-1 sampai dengan P-34,
delapan orang saksi serta empat orang ahli, keterangan selengkapnya termuat pada bagian duduk perkara;
[3.13] Menimbang bahwa Presiden telah menyampaikan keterangan tertulis
yang pada pokoknya sebagai berikut:
a. Pengaturan tentang kebijakan peningkatan nilai tambah melalui kegiatan
pengolahan dan pemurnian mineral dan batubara dalam Pasal 102 dan Pasal
103 UU Minerba dan peraturan pelaksanaannya sangat diperlukan mengingat
kondisi pengelolaan sumber daya alam, khususnya sumber daya mineral di
Indonesia saat ini sebagian besar diekspor masih dalam bentuk bahan
mentah, tanpa dilakukan pengolahan dan/atau pemurnian terlebih dahulu. Di
sisi lain, beberapa industri pengolahan yang menggunakan sumber daya
mineral sebagai bahan baku utama ataupun penunjang masih merupakan
produk impor. Kondisi tersebut mengakibatkan sumberdaya mineral tidak
menghasilkan nilai tambah (value-added) secara langsung sebagaimana yang
diharapkan. Dengan adanya ketentuan yang mengatur kewajiban peningkatan
nilai tambah bagi pemegang IUP Operasi Produksi diharapkan dapat
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia khususnya
mineral dan batubara sehingga dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
b. Pengaturan kebijakaan tentang peningkatan nilai tambah mineral dan
batubara dalam Pasal 102 dan Pasal 103 UUMinerba sangat penting dan telah
sejalan dengan asas dan tujuan UU Minerba, yang antara lain “keberpihakan pada kepentingan bangsa”, dan karenanya sejalan dengan ketentuan Pasal
33 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa:“Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
c. Seandainya pun benar dalil yang dikemukakan Para Pemohon pada halaman
12 angka 45 dan halaman 13 angka 47 permohonannya, bahwa terdapat
ketidakkesesuaian norma peraturan pelaksanaan di bawah Undang-Undang
(Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral) terhadap Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba, hal tersebut pun
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
166
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
tidak dapat diuji di Mahkamah Konstitusi mengingat hal tersebut tidak terkait
dengan konstitusionalitas norma UU terhadap norma Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
d. Adapun berkenaan dengan dalil para Pemohon “larangan ekspor” akan
menyebabkan ratusan pengusaha tambang dan puluhan ribu karyawan
perusahaan tambang akan kehilangan pekerjaan dan secara potensial
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Pemerintah berpandangan
bahwa kebijakan Peningkatan Nilai Tambah dalam Pasal 102 dan Pasal 103
UU Minerba dan peraturan pelaksananya justu akan sangat bermanfaat dan
akan menimbulkan efek ganda (multiflyer effect) dari sisi ekonomi, antara lain
meningkatnya penerimaan negara serta meningkatnya lapangan pekerjaan
pada industri smelter di dalam negeri. Selain itu dengan mempertimbangkan
potensi logam di Indonesia, maka dengan adanya kebijakan peningkatan nilai
tambah melalui kewajiban untuk melakukan pengolahan dan pemurnian
mineral di dalam negeri maka bijih/pasir besi, bijih tembaga, bauksit
(aluminium), bijih nikel dapat dijadikan bahan baku dasar yang strategis untuk
menopang industri stategis nasional yang berbasis mineral. Pemutusan
hubungan kerja (lay off) sebagaimana didalilkan oleh Para Pemohon juga tidak
akan terjadi apabila perusahaan tambang sejak awal memiliki komitmen yang
kuat untuk melaksanakan kebijakan peningkatan nilai tambah melalui kegiatan
pengolahan dan pemurnian sebagaimana tertuang dalam Pasal 102 dan Pasal
103 UU Minerba dengan cara mendirikan fasilitas pengolahan dan pemurnian
(smelter) sendiri ataupun melalui skema kerjasama dengan perusahaan lain
yang memiliki fasilitas pengolahan dan pemurnian.
[3.14] Menimbang bahwa untuk membuktikan keterangannya, Presiden
mengajukan tujuh orang ahli, keterangan selengkapnya termuat pada bagian duduk perkara;
[3.15] Menimbang bahwa DPR telah menyampaikan keterangan tertulis yang
pada pokoknya sebagai berikut:
a. Bahwa menurut Pasal 3 UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara,
pengelolaan mineral dan batubara bertujuan antara lain untuk menjamin
manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan hidup, dan (ii) menjamin tersedianya mineral dan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
167
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk
kebutuhan dalam negeri. Penegasan mengenai tujuan meningkatkan nilai
tambah juga tercermin dalam konsiderans dari Undang-Undang a quo yang
merupakan dasar dari dibentuknya Undang-Undang a quo, yakni pada butir a
yang menyatakan bahwa mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah
hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting
dalam memnuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus
dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi
perekonomian nasional dalam usaha menapai kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat secara berkeadilan.
b. bahwa hasil pertambangan, yang diantaranya berupa sumber daya mineral
dan batubara, adalah termasuk sumber kekayaan alam yang dikuasai oleh
negara. Oleh karenanya negara berhak melakukan melakukan pengaturan
terhadap sumber daya mineral dan batubara yang ditujukan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat. Fungsi pengaturan oleh negara dapat dilakukan
melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah atau melalui
kewenangan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif), yang salah satunya adalah
pengaturan melalui pembentukan Peraturan Pemerintah dan Peraturan
Menteri. Penguasaan oleh negara atas sumber daya mineral dan batubara
berarti bahwa negara berwenang dan diberi kebebasan untuk mengatur dan
membuat kebijakan terkait pemanfaatan sumber daya mineral dan batubara
dengan batasan ukuran konstitusional, yaitu “untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.” Oleh karena itu, pengaturan yang dilakukan oleh negara
melalui Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo telah memenuhi
empat tolok ukur makna dari frasa “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”,
yakni (i) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, (ii) tingkat pemerataan
manfaat sumber daya alam bagi rakyat, (iii) tingkat partisipasi rakyat dalam
menentukan manfaat sumber daya alam, serta (iv) penghormatan terhadap
hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.
c. Bahwa ketentuan dalam Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo yang
mengatur mengenai kewajiban Pemegang IUP dan IUPK untuk meningkatkan
nilai tambah sumber daya mineral dan batubara dan melakukan pengolahan
dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri, merupakan salah satu
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
168
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
jalan untuk menuju kemandirian energi Indonesia, karena selain menjamin
ketersediaan bahan baku industri pengolahan dan pemurnian mineral di dalam
negeri dan menjaga kelestarian sumber daya alam, ketentuan dalam Pasal
102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo juga berguna untuk peningkatan
kemampuan sumber daya manusia Indonesia dalam industri pertambangan.
d. Dengan demikian menurut DPR, terkait dengan pemanfaatan sumber daya
alam, negara berhak untuk melakukan pengaturan mengenai pemanfaatan
sumber daya mineral selama dalam batas ukuran konstitusi “untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat.” DPR memandang bahwa pengaturan yang
dilakukan oleh negara melalui kewenangan regulasi (eksekutif) tidak
bertentangan dengan ruh pembentukan Undang-Undang a quo dan UUD
1945.
[3.16] Menimbang bahwa para Pihak Terkait I yang terdiri dari Indonesian
Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Forum Indonesia untuk
Transparansi Anggaran (FITRA), Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan
Masyarakat (P3M), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan Publish
What You Pay Indonesia (PWYP), menyampaikan keterangan tertulis yang pada pokoknya sebagai berikut:
a. Bahwa konsep negara hukum adalah “rule of law” yang pada pokoknya
menyatakan hukum sebagai suatu sistem yang mensyaratkan keselarasan dan
keharmonisan antara satu undang-undang dengan perundang-undang lainnya,
termasuk didalamnya adalah peraturan pelaksanaan dari suatu pemberlakuan
undang-undang.
b. Bahwa berdasarkan konsep Negara hukum, maka dasar bagi diundangkannya
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara adalah Pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar 1945. Pemerintah
melaksanakan amanat yang terkandung dalam konstitusi melalui
pemberlakuan undang-undang, serta memastikan bahwa undang-undang yang
berlaku, dalam hal iniUndang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, untuk dapat dipahami, dilaksanakan dan
dipenuhi oleh segenap unsur (pemerintah, instansi, warga negara, badan
hukum, dll) melalui peraturan pemerintah, peraturan menteri terkait serta
peraturan pelaksana lainnya.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
169
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
c. Bahwa pada faktanya antara Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta Peraturan Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai
Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengelolaan Dan Pemurnian Mineral Di
Dalam Negeri telah selaras dan sejalan;
d. Bahwa Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara sebagai kosekuensi negara hukum seharusnya pemerintah,
pengusaha dan masyarakat menjalankan undang-undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;
e. Bahwa berdasarkan dalil-dalil yang telah Para Pihak Terkait uraikan di atas,
maka Pasal 102 dan 103 Undang-undang a quo telah selaras dan sejalan
dengan konsep Negara hukum sebagaimana yang dimandatkan oleh Pasal 1
ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, oleh
karena ini sudah sepatutnya dalil-dalil para Pemohon dinyatakan tidak dapat
diterima atau tidak beralasan menurut hukum;
[3.17] Menimbang bahwa para Pihak Terkait II yang terdiri dari Lembaga
Musyawarah Adat Suku Kamoro (Lemasko) dan Lembaga Musyawarah Adat Suku
Amugme (Lemasa) memberikan keterangan tertulis yang pada pokoknya sebagai
berikut:
a. Bahwa Pasal 102 dan Pasal 103 Undang-Undang a quo telah mengandung
asas kepastian hukum karena telah jelas dan tegas sehingga tidak perlu untuk
ditafsirkan (conditionally unconstitutional) lagi, dengan demikian pasal-pasal
tersebut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
b. Bahwa Pasal 102 dan Pasal 103 UU 4/2009 adalah untuk meningkatkan nilai
tatnbah melalui proses pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, yang
untuk itu tentunya dibutuhkan industri hilir tambang (smelter), karena
pengolahan dan pemurnian akan membawa naiknya penerimaan negara,
sehingga memberi dukungan bagi terciptanya industri nasional yang
memproduksi bahan tambang olahan serta menyerap tenaga kerja.
Peningkatan nilai tambah memiliki semangat yang membangun bagi
perekonomian domestik, tujuan utama dari peningkatan nilai tambah bukan
menghambat perdagangan tetapi memanfaatkan kekayaan mineral nasional
untuk sebesar-besarnya kemakmuran bangsa. Upaya ini tidak dapat ditunda
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
170
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
karena kekayaan mineral akan habis pada suatu saat dan tidak dapat
diperbaharui. Oleh karena itu, pembangunan industri hilir tambang (smelter)
akan memperkuat industri nasional yang akan berdampak semakin meluas
dan terbukanya lapangan pekerjaan disegala bidang, yang tentunya
merupakan perwujudan dari amanat Pasal 27 ayat (2) UUD 1945;
c. Bahwa Pasal 102 dan Pasal 103 yang mengatur perubahan dari bentuk
pengelolaan industri pertambangan dari kontrak karya dan Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP28) ke dalam bentuk Izin Usaha
Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) adalah
sebagai perwujudan dari penguatan fungsi pengawasan. Bahwa konsesi-
konsesi yang diberikan melalui kontrak karya dan Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) selama ini tidak mampu
melindungi tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan demikian,
pasal-pasal tersebut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 karena telah sesuai dengan konsep hak menguasai negara;
[3.18] Menimbang bahwa selain memberikan keterangan, Pihak Terkait I juga
mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda PT.I-1 sampai dengan PT.I-
13 serta seorang saksi, dan para Pihak Terkait II selain memberikan keterangan
juga mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda PT.II-1 sampai dengan
PT.II-2;
Pendapat Mahkamah
Dalam Provisi
[3.19] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan permohonan provisi
yang pada pokoknya memohon Mahkamah untuk menjatuhkan putusan sela agar
semua pihak menghentikan terlebih dahulu pelaksanaan Pasal 102 dan Pasal 103
UU 4/2009, terutama terkait dengan interpretasi soal adanya larangan ekspor bijih
(raw material atau ore) hingga dijatuhkannya putusan akhir dalam perkara ini,
mengingat pemaknaan tentang adanya larangan ekspor ini telah merugikan para
Pemohon. Permohonan putusan provisi a quo tidak tepat menurut hukum karena
menurut penilaian Mahkamah, tidak ada kepentingan mendesak yang terkait
langsung dengan pokok permohonan. Selain itu, berdasarkan pada pertimbangan
berikut ini:
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
171
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
(i) dalam pengujian Undang-Undang, putusan Mahkamah hanya menguji norma
abstrak, tidak mengadili kasus konkret seperti menghentikan terlebih dahulu
pelaksanaan Pasal 102 dan Pasal 103 UU 4/2009;
(ii) putusan Mahkamah bersifat prospektif sesuai dengan ketentuan Pasal 58 UU
MK serta Pasal 38 dan Pasal 39 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-
Undang;
(iii) putusan Mahkamah tentang norma dalam kasus pengujian Undang-Undang
bersifat erga omnes;
Permohonan a quo berbeda dengan permohonan yang diputus oleh Mahkamah
Nomor 133/PUU-VII/2009, bertanggal 29 Oktober 2009. Dalam Putusan Nomor
133/PUU-VII/2009 tersebut, Mahkamah menjatuhkan putusan provisi dengan
pertimbangan untuk mencegah kemungkinan kerugian konstitusional para
Pemohon apabila menjadi terdakwa karena diberhentikan secara tetap oleh
Presiden, padahal dasar hukum atau pasal Undang-Undang yang akan menjadi
dasar dalam pemberhentian tersebut sedang dalam proses pengujian
konstitusionalitasnya di Mahkamah. Adapun dalam permohonan a quo tidak
berkaitan dengan kerugian konstitusional tetapi terkait dengan kerugian materiil.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, permohonan provisi
para Pemohon tidak beralasan menurut hukum;
Dalam Eksepsi
[3.20] Menimbang bahwa para Pihak Terkait I dan para Pihak Terkait II
mengajukan eksepsi yang pada pokoknya, sebagai berikut:
1. Eksepsi para Pihak Terkait I berkenaan dengan kedudukan hukum para
Pemohon, para Pihak Terkait I menyerahkan kepada Mahkamah untuk
mempertimbangkannya;
2. Eksepsi para Pihak Terkait I dan para Pihak Terkait II bahwa Mahkamah tidak
berwenang mengadili permohonan para Pemohon karena permohonan para
Pemohon adalah menguji penerapan atau implementasi Undang-Undang;
[3.21] Menimbang bahwa terhadap kedua eksepsi tersebut, Mahkamah
berpendapat:
1. Terhadap eksepsi para Pihak Terkait I, mengenai kedudukan hukum para Pemohon telah dipertimbangkan Mahkamah dalam paragraf [3.7] sehingga
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
172
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
mutatis mutandis menjadi pertimbangan hukum pula untuk eksepsi para Pihak
Terkait I, sehingga eksepsi tersebut tidak beralasan menurut hukum;
2. Terhadap eksepsi para Pihak Terkait I dan eksepsi para Pihak Terkait II
mengenai kewenangan Mahkamah, telah dipertimbangkan Mahkamah dalam paragraf [3.3] dan [3.4] di atas, sehingga mutatis mutandis menjadi
pertimbangan hukum pula untuk eksepsi a quo, sehingga eksepsi tersebut tidak
beralasan menurut hukum;
[3.22] Menimbang bahwa oleh karena eksepsi para Pihak Terkait I dan para
Pihak Terkait II tidak beralasan menurut hukum, selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan pokok permohonan;
Dalam Pokok Permohonan
[3.23] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan secara khusus
terhadap pokok permohonan para Pemohon, Mahkamah perlu terlebih dahulu
mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa perjuangan kemerdekaan yang berujung pada pembentukan
negara oleh Bangsa Indonesia adalah dengan maksud dan tujuan, antara lain,
untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
serta memajukan kesejahteraan umum. [vide Pembukaan UUD 1945 Alinea
keempat]. Untuk melindungi tanah air Indonesia, yang dalam Pembukaan UUD
1945 disebut dengan frasa “tumpah darah” dan untuk memajukan kesejahteraan
umum bagi Bangsa Indonesia. UUD 1945 dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)
mengamanatkan supaya negara menguasai cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Demikian pula terhadap
bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk
dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Bahwa oleh karena mineral dan batubara merupakan salah satu cabang
produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak maka
berdasarkan amanat UUD 1945 pembentuk Undang-Undang membentuk UU
4/2009 yang di dalam konsiderans (menimbang) huruf a dan huruf b UU 4/2009
menyatakan:
a. bahwa mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
173
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan;
b. bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan;
Selain itu, dalam Penjelasan Umum Undang-Undang a quo alinea pertama
menyatakan, “Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa
bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral
dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan
sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal
mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta
berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat
secara berkelanjutan.”
Bahwa oleh karena hasil pertambangan, yang di antaranya berupa sumber
daya mineral dan batubara, adalah termasuk sumber kekayaan alam yang
dikuasai oleh negara maka negara berhak melakukan pengaturan terhadap
sumber daya mineral dan batubara yang ditujukan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Fungsi pengaturan oleh negara dapat dilakukan melalui
kewenangan legislasi oleh DPR bersama Presiden atau melalui kewenangan
regulasi oleh Pemerintah, yang salah satunya adalah pengaturan melalui
pembentukan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Penguasaan oleh
negara atas sumber daya mineral dan batubara berarti bahwa negara berwenang
dan diberi kebebasan untuk mengatur dan membuat kebijakan terkait pemanfaatan
sumber daya mineral dan batubara dengan batasan ukuran konstitusional, yaitu
“untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Bahwa Pasal 102 dan Pasal 103 UU 4/2009 mengatur mengenai kewajiban
Pemegang IUP dan IUPK untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral
dan batubara dan melakukan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di
dalam negeri adalah salah satu cara untuk menjamin ketersediaan bahan baku
industri pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri dan menjaga
kelestarian sumber daya alam. Selain itu, Pasal 102 dan Pasal 103 UU 4/2009
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
174
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
juga berguna untuk peningkatan kemampuan sumber daya manusia Indonesia
dalam industri pertambangan.
Bahwa dalam kerangka tersebut, Presiden selaku pemegang kekuasaan
pemerintahan negara yang dalam penyelenggaraannya harus dilakukan menurut
UUD 1945, yang antara lain sebagaimana diuraikan di atas [vide Pasal 4 ayat (1)
UUD 1945]. Salah satu bagian dari fungsi dimaksud adalah di bidang regulasi
untuk menjalankan Undang-Undang, yaitu dengan menetapkan Peraturan
Pemerintah [vide Pasal 5 ayat (2) UUD 1945]. Presiden di dalam melaksanakan
fungsinya, selain dibantu oleh Wakil Presiden, dibantu pula para menteri yang
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Berbeda dengan Wakil Presiden yang
membantu Presiden dalam urusan pemerintahan pada umumnya, para menteri
tersebut membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan, sehingga oleh karena
fungsi menteri negara yang demikian itu maka sesungguhnya penyelenggara
fungsi pemerintahan, termasuk di dalamnya mengenai regulasi, dalam bidang
urusan tertentu dimaksud adalah menteri negara [vide Pasal 4 ayat (2) dan Pasal
17 UUD 1945].
[3.24] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut di
atas Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan secara khusus mengenai
permohonan para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa terhadap Pasal 102 dan Pasal 103 yang didalilkan para Pemohon,
oleh karena sudah cukup jelas, sehingga pasal tersebut tidak perlu ditafsirkan,
secara hukum Mahkamah dapat membenarkan dalil dimaksud. Namun demikian,
regulasi Pemerintah – dalam hal ini Menteri ESDM - yang melarang ekspor bijih
(raw material atau ore) berdasarkan nalar hukum dapat dibenarkan dengan
pertimbangan, Pertama, bahwa regulasi mengenai hal tersebut secara
konstitusional merupakan kewenangan Presiden sebagai pemimpin
penyelenggaraan fungsi pemerintahan negara, yang dalam bidang urusan tertentu
dibantu oleh menteri negara. Kedua, bahwa substansi ketentuan dalam pasal
tersebut mewajibkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK) untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya
mineral yang dihasilkan dari pengusahaan pertambangan dan pemegang IUP dan
IUPK wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam
negeri. Ketiga, larangan merupakan salah satu bentuk regulasi yang menjadi
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
175
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
kewenangan Pemerintah. Keempat, peningkatan nilai tambah sumber daya
mineral yang dihasilkan, yang menurut Undang-Undang, harus dilakukan dengan
melakukan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dan
dengan demikian Pemerintah dalam regulasinya melarang ekspor bijih (raw
material atau ore) adalah wajar oleh karena pengolahan dan pemurnian hasil
pertambangan di dalam negeri dapat dilakukan manakala bijih (raw material atau
ore) tersedia di dalam negeri dan untuk itu maka ekspor bijih (raw material atau
ore) dilarang. Hal tersebut adalah wajar dan benar dengan mendasarkan pada
fakta bahwa tersedianya bijih (raw material atau ore) yang harus diolah di dalam
negeri tersebut dapat dijamin manakala ekspor bijih (raw material atau ore)
dilarang.
Bahwa Pasal 102 dan Pasal 103 UU 4/2009 adalah ketentuan yang harus
dilaksanakan oleh pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK) ketika seseorang memutuskan untuk berusaha di
bidang pertambangan mineral dan batubara. Hal itu juga diterangkan oleh ahli
yang diajukan Presiden, Dr. A. Sonny Keraf, yang menerangkan bahwa siapa saja
yang ingin melakukan usaha pertambangan dalam bentuk IUP dan IUPK
sebagaimana tercantum dalam Pasal 102 dan Pasal 103 sudah mengetahui
bahwa pemegang IUP dan IUPK tidak diperbolehkan untuk mengekspor bahan
mentah tambang hasil penambangannya ke luar negeri sejak Undang-Undang ini
diundangkan. Bahkan menurut ahli, kerugian yang dialami para Pemohon adalah
kesalahan mereka akibat mengabaikan dan menutup mata terhadap perintah
Pasal 102 serta Pasal 103 UU 4/2009 dan bukan karena akibat dari peraturan
pelaksana yang dikeluarkan pemerintah terkait dengan amanat Pasal 102 dan
Pasal 103. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, norma Pasal 102 dan Pasal 103
UU 4/2009 tersebut adalah dalam rangka melindungi sumber daya mineral dan
batu bara guna dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945;
[3.25] Menimbang para Pemohon mendalilkan bahwa dalam implementasi
telah timbul ketidakpastian hukum dan ketidakadilan karena kesewenangan-
wenangan Pemerintah dalam mengambil kebijakan dan menyusun regulasi. Pasal
102 dan Pasal 103 UU 4/2009 terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum dan
ketidakadilan karena membuka peluang terjadinya kesewenangan-wenangan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
176
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Pemerintah dalam implementasinya, sehingga justru bertentangan dengan prinsip
konstitusi yang menjamin perlindungan atas hak untuk mendapatkan kepastian
hukum yang adil dalam proses penegakan hukum kegiatan pertambangan mineral
dan batubara [vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945]. Terhadap dalil tersebut
Mahkamah mempertimbangkan:
1. Bahwa menurut Mahkamah Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010,
Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2012, Peraturan Menteri ESDM
Nomor 20 Tahun 2013, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 dan
Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014, jika ditelaah secara saksama
peraturan-peraturan tersebut merupakan implementasi dari Pasal 102 dan
Pasal 103 UU 4/2009 yang mewajibkan para pemegang IUP dan/atau IUPK
melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri melalui pembangunan
smelter atau bergabung dengan perusahaan lain di dalam negeri yang memiliki
smelter. Dengan demikian, tidak ada permasalahan konstitusional dengan
norma tersebut. Hal itu diakui oleh para Pemohon dalam permohonan halaman
13 angka 48 yang menyatakan, “bahwa di dalam undang-undang baik
secara implisit maupun eksplisit sebenarnya tidak terdapat larangan untuk melakukan kegiatan ekspor bijih. Larangan ini muncul atas kreasi
yang dilakukan oleh pemerintah melalui menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; yang pada hakikatnya bertentangan dengan undang-undang;”
2. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil para
Pemohon a quo selain terdapat pertentangan antara dalil yang satu dengan
dalil yang lain, permasalahan tersebut juga bukan merupakan kewenangan
Mahkamah untuk memutusnya karena berkenaan dengan peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-Undang;
[3.26] Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon berkenaan “larangan
ekspor” akan menyebabkan ratusan pengusaha tambang dan puluhan ribu
karyawan perusahaan tambang akan kehilangan pekerjaan dan secara potensial
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, menurut Mahkamah,
pemutusan hubungan kerja sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon tidak akan
terjadi apabila perusahaan tambang (pemegang IUP dan IUPK) sejak awal
memiliki komitmen yang kuat untuk melaksanakan kebijakan peningkatan nilai
tambah melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian sebagaimana termuat dalam
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
177
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Pasal 102 dan Pasal 103 UU 4/2009 dengan cara mendirikan fasilitas pengolahan
dan pemurnian (smelter) sendiri ataupun melalui skema kerja sama dengan
perusahaan lain yang memiliki fasilitas pengolahan dan pemurnian di dalam
negeri, namun sesuai fakta hal itu tidak dilakukan dengan dalih biaya yang terlalu
mahal untuk membangun smelter. Padahal ketika akan mengajukan izin mereka
sudah mengetahui adanya ketentuan untuk melakukan pemurnian di dalam negeri
[vide Pasal 102 dan Pasal 103 UU 4/2009]. Seandainya pun para Pemohon
disamakan dengan pemegang kontrak karya, para Pemohon sudah diberikan
waktu yang cukup dalam masa transisi untuk melakukan pengolahan dan
pemurnian di dalam negeri [vide Pasal 170 UU 4/2009], namun hal itu tidak
dilakukan oleh para Pemohon. Menurut Mahkamah, kebijakan negara dalam Pasal
102 dan Pasal 103 UU 4/2009 justru dalam rangka memenuhi amanat Pasal 33
UUD 1945 karena dengan melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri
secara langsung maupun tidak langsung akan memberikan manfaat yang sebesar-
besarnya bagi rakyat Indonesia;
[3.27] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut
Mahkamah pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum;
4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas hukum dan fakta tersebut di atas, Mahkamah
berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
[4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan a quo;
[4.3] Permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan menurut hukum
[4.4] Eksepsi para Pihak Terkait I dan eksepsi para Pihak Terkait II tidak
beralasan menurut hukum;
[4.5] Pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
178
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5076);
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
Dalam Provisi
Menolak permohonan provisi para Pemohon;
Dalam Eksepsi
Menolak eksepsi para Pihak Terkait I dan eksepsi para Pihak Terkait II;
Dalam Pokok Permohonan
Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh
sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Hamdan Zoelva, selaku Ketua merangkap
Anggota, Arief Hidayat, Ahmad Fadlil Sumadi, Muhammad Alim, Maria Farida
Indrati, Anwar Usman, Patrialis Akbar, Wahiduddin Adams, dan Aswanto, masing-
masing sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal dua puluh tiga, bulan
Oktober, tahun dua ribu empat belas, yang diucapkan dalam sidang pleno
Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal tiga, bulan
Desember, tahun dua ribu empat belas, selesai diucapkan pukul 17.29 WIB,
oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Hamdan Zoelva, selaku Ketua merangkap
Anggota, Arief Hidayat, Ahmad Fadlil Sumadi, Muhammad Alim, Maria Farida
Indrati, Anwar Usman, Patrialis Akbar, Wahiduddin Adams, dan Aswanto, masing-
masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Cholidin Nasir sebagai Panitera
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
179
SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang
mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, para Pihak Terkait I, dan
para Pihak Terkait II.
KETUA,
ttd.
Hamdan Zoelva
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd.
Arief Hidayat
ttd.
Ahmad Fadlil Sumadi
ttd.
Muhammad Alim
ttd.
Maria Farida Indrati
ttd.
Anwar Usman
ttd.
Patrialis Akbar
ttd.
Wahiduddin Adams
ttd.
Aswanto
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Cholidin Nasir
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]