na. pengelolaan keuangan
DESCRIPTION
naskah akademik fh unsurTRANSCRIPT
1
NASKAH AKADEMIK RAPERDA KABUPATEN CIANJUR
RAPERDA TENTANGPENGELOLAAN KEUANGAN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SURYAKANCANA CIANJURTAHUN 2011
JL. Pasir Gede Raya Telp. (0263) 262773 Fax. (0263) 262773 –Cianjur 43216
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian.
Kebijakan Desentralisasi yang efektif dilaksanakan sejak tahun
2001 pada gilirannya akan meningkatkan kesempatan bagi
Pemerintahan Daerah untuk memberikan alternatif pemecahan
secara inovatif dalam menghadapi tantangan yang dihadapi.
Pemerintah Daerah dituntut untuk memberikan perhatian yang lebih
besar terhadap kualitas penyelenggaraan pelayanan publik serta
meningkatkan kemandirian dalam melaksanakan pembangunan.1
Penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan ketentuan Pasal
18 UUD 1945 tidak bersifat sentralistik, melainkan dengan
pemerataan kewenangan secara vertikal yang melahirkan
pemerintahan daerah. Beranjak dari ketentuan Pasal 18 UUD 1945
nampak bahwa Negara Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut
asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan
memberi kesempatan dan kewenangan kepada daerah untuk
menyelenggarakan otonomi daerah. Dalam Negara Kesatuan
1 Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun &Merancang Peraturan Daerah; Suatu Kajian Teoritis & Praktis Disertai Manual;Konsepsi Teoritis Menuju Artikulasi Empiris, Kencana Prenada Media Group,Jakarta, 2010, hlm 82
3
pembagian kewenangan secara vertikal merupakan pembagian
kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang
dilakukan dengan cara atribusi atau delegasi.2
Desentralisasi dapat diartikan penyerahan atau pengakuan hak
atas kewenangan untuk mengurus rumah tangga daerah sendiri,
dalam hal ini daerah diberi kesempatan untuk melakukan suatu
kebijakan sendiri. Pengakuan tersebut merupakan suatu bentuk
partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan yang merupakan
ciri dari negara demokrasi. Desentralisasi adalah pendelegasian
wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan pada level
bawah pada suatu organisasi.3
Ten Berge mengartikan desentralisasi sebagai suatu
penyerahan atau pengakuan hak (mengenai keadaan yang telah
dinyatakan) atas kewenangan untuk pengaturan dan pemerintahan
dan badan–badan hukum publik yang rendahan atau organ–organ
dalam hal mana ini diberi kesempatan untuk melakukan suatu
kebijaksanaan sendiri. Istilah otonomi lebih cenderung pada Political
Aspect (aspek politik–kekuasaan negara), sedangkan desentralisasi
lebih cenderung pada administrative aspect (aspek administrasi
2 Maurice Duverger, dalam Kuntjoro Purbopranoto, Sistem PemerintahanDemokrasi, cet 3. PT.Eresco, Bandung, 1978, hlm 92
3 Hamzah Halim dan Kemal Redindo, Ibid, hlm 90
4
negara). Namun jika dilihat dari konteks pembagian kewenangan
dalam praktiknya, kedua istilah tersebut mempunyai keterkaitan
yang erat dan tidak dapat dipisahkan. Artinya jika berbicara
mengenai otonomi daerah tentu akan menyangkut pertanyaan
seberapa wewenang yang akan diberikan kepada pemerintah daerah
untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, demikian
sebaliknya.4
Pembagian kewenangan secara vertikal yang melahirkan
daerah otonom tersebut tentunya tidak lepas sebagai sarana untuk
mempermudah atau mempercepat terwujudnya kesejahteraan.
Menurut Sandy pembentukan daerah otonom bertujuan :
1. Mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan tentang
masalah– masalah kecil pada tingkat lokal serta memberikan
peluang untuk koordinasi pada tingkat lokal;
2. Meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam
kegiatan usaha pembangunan sosial ekonomi. Demikian pula
pada tingkat lokal, dapat merasakan keuntungan dari kontribusi
kegiatan mereka itu;
3. Penyusunan Program – program untuk perbaikan sosial ekonomi
pada tingkat lokal sehingga lebih realistis;
4 Ibid, hlm 93
5
4. Melatih rakyat untuk bisa mengatur urusannya sendiri (Self
Goverment);
5. Pembinaan Kesatuan Nasional.5
Sedangkan Dann Suganda berpendapat bahwa pembentukan
daerah otonom juga didasarkan adanya kemungkinan :
1. Pemanfaatan sebesar – besarnya potensi daerah sendiri;
2. Untuk memusatkan masyarakat didaerah–daerah karena aspirasi
dan kehendaknya terpenuhi;
3. Masyarakat setempat lebih banyak ikut serta didalam
memikirkan masalah – masalah pemerintahan, jadi lebih cocok
dengan susunan pemerintahan yang demokratis;
4. Pembangunan didaerah–daerah akan lebih pesat, karena tiap tiap
daerah akan berusaha untuk menciptakan kebanggaannya
sendiri.6
Berdasarkan pendapat tersebut nampak bahwa otonomi daerah
sangat berkaitan dengan demokrasi, kesejahteraan rakyat, efisiensi
dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan. Dalam usaha untuk
mewujudkan tujuan Negara, desentralisasi sebagaimana yang di atur
dalam Undang–undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
5 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II, SekretariatJenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006, hlm 16
6 Daan Suganda, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia dan PemerintahanDaerah, Sinar Baru, Bandung, lhm 61
6
Daerah, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan
peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam Sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia; bahwa efisiensi dan efektifitas
penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan
lebih memperhatikan aspek–aspek hubungan antar susunan
pemeritahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan
keanegkaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global
dengan memberikan kewenangan yang seluas–luasnya kepada
daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan otonomi darah dalam kesatuan sistem
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
1. Landasan filosofis.
Pada dasarnya pembangunan di Negara Indonesia ditopang
oleh pembangunan di tingkat propinsi, demikian juga maju
mundurnya pembangunan di propinsi tidak terlepas dari
pembangunan di Kabupaten-kabupaten yang berada di bawahnya.
Dan sudah barang tentu maju mundurnya Kabupaten tergantung
7
pada pembangunan di kelurahan dan desa-desa di bawah
pemerintahannya. Demikian pula dengan laju pertumbuhan
perekonomian disuatu daerah baik Kabupaten maupun propinsi
tidak terlepas dari kemajuan pembangunan ekonomi di desa-desa.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah mengatur secara khusus mengenai Keuangan Desa. Pasal
212 menyatakan bahwa,
“Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa
yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu
baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat
dijadikan milik desa berhubung dengan pelaksanaan hak
dan kewajiban”.7
Adapun yang menjadi sumber pendapatan desa antara lain :
a. pendapatan asli desa;
b. bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah
kabupaten/kota;
c. bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan
daerah yang diterima oleh kabupaten/kota;
7 Pasal 212 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang PemerintahanDaerah
8
d. bantuan dari Pemerintah, pemerintah prov7insi, dan
pemerintah kabupaten/kota;
e. hibah dan sumbangan dari pihak ketiga.8
Kenyataan menunjukkan bahwa sumber-sumber keuangan
desa sebagaimana dimaksud di atas belum sepenuhnya dikelola
secara optimal, terutama sumber pendapatan desa yang berasal dari
pendapatan asli desa. Hal ini tidak terlepas dari berbagai faktor
penghambat, yang salah satunya masih terbatas atau lemahnya
Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur pemerintahan desa itu
sendiri. Dengan demikian hampir dapat dipastikan, banyak desa
yang hanya bergantung pada bantuan dari pemerintah pusat,
propinsi maupun Kabupaten. Kenyataan ini masih ditambah dengan
kurangnya peraturan perundang-undangan maupun peraturan
lainnya yang secara spesifik mengatur tentang pengelolaan keuangan
desa. Padahal tidak sedikit dana yang disalurkan pemerintah pusat,
propinsi maupun Kabupaten untuk Desa. Alhasil tujuan
penyelenggaraan otonomi daerah yakni memajukan perekonomian di
daerah, menciptakan efisiensi dan evektifitas pengelolaan sumber
8 Ibid, Pasal 212 ayat (3)
9
kekayaan daerah9, sulit untuk dicapai. Tidak jarang Keuangan dari
pemerintah yang tidak dikelola dengan baik hanya menguntungkan
sekelompok orang desa saja.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa ketersediaan sumber
daya manusia yang kompeten dan professional. Disamping itu
sumber pembiayaan yang masih kurang memadai baik yang berasal
dari desa itu sendiri maupun dari luar.10
Pengelolaan keuangan desa harus sesuai dengan prinsip-
prinsip pengelolaan keuangan pada umumnya. Disamping itu
keberadaan regulasi yang tegas, masih belum bisa diwujudkan. Akan
tetapi hal ini sangat mendesak untuk segera dibuat berbagai
perangkat hukum yang akan mengatur tata kelola keuangan desa
agar
2. Landasan Yuridis.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah mengatur secara khusus mengenai Keuangan Desa sebagai,
“…semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang,
serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang
9 Mardiasmo. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit Andi,Yogyakarta, 2004, hlm. 59.
10 Maryunani, Keuangan dan Ekonomi Desa, Makalah, Fakultas Ekonomi UniversitasBrawijaya, Malang, 2006.
10
dapat dijadikan milik desa berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban (desa).
Ketentuan di atas dipertegas dengan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Desa. Dimana dalam peraturan tersebut, Pengelolaan
Keuangan Desa meliputi:
1) perencanaan,
2) penganggaran,
3) penatausahaan,
4) pelaporan,
5) pertanggung-jawaban; dan
6) pengawasan keuangan desa.
Perlunya pengaturan yang khusus mengatur mengenai
pengelolaan keuangan desa tidak terlepas dari ditetapkannya Kepala
Desa sebagai pemegang kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa yang
karena jabatannya mempunyai kewenangan untuk
menyelenggarakan keseluruhan pengelolaan keuangan desa.11
11 Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 tentangPedoman Pengelolaan Keuangan Desa.
11
Hal lain yang mendorong perlunya ditetapkan peraturan
daerah yang khusus mengatur masalah keuangan desa adalah asas-
asas pengelolaan keuangan sebagaimana tercantum pada Pasal 2
ayat (1) yang menyebutkan bahwa, “Keuangan Desa dikelola
berdasarkan asas-asas transparan, akuntabel, partisipatif serta
dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran”.
3. Landasan Sosiologis.
Desa merupakan wilayah adat yang di pimpin oleh seorang
Kepala Desa yang dipilih secara langsung oleh masyarakat di desa
itu. Sebagai pemegang amanat masyarakat di desa tersebut, seorang
Kepala Desa mempunyai mandat yang penuh dalam mengelola
berbagai hal yang berhubungan dengan Desa. Salah satunya adalah
masalah Keuangan Desa.
Dengan kewenangan yang luas yang dimiliki oleh seorang
Kepala Desa sudah barang tentu diperlukan aturan hukum yang
dapat memayungi kinerja Kepala Desa terutama berkaitan dengan
masalah pengelolaan keuangan agar asas-asas pengelolaan keuangan
dapat dilaksanakan dengan baik oleh Kepala Desa beserta aparatur
desa.
12
B. Identifikasi Masalah.
Berdasarkan uraian di atas, maka Naskah Akademik tentang
Pengelolaan Keuangan Desa akan difokuskan pada permasalahan-
permasalahan yang akan dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengelolaan keuangan desa seharusnya
dilaksanakan?
2. Hambatan-hambatan apa yang timbul sehubungan dengan
pengelolaan keuangan desa ?
3. Upaya-upaya apakah yang harus dilakuka Pemerintah Daerah
dalam melakukan Pengelolaan Keuangan Desa agar dapat
dikelola secara epektif dan efisien sesuai dengan asas-asas
umum pengelolaan keuangan desa ?
C. Maksud dan Tujuan.
Pembahasan tentang pengaturan keuangan desa sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan juga Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa
didasari oleh tujuan-tujuan sebagai berikut:
13
1. Memberikan pedoman yang jelas bagi Desa dalam mengelola
keuangan desa baik yang merupakan pendapatan asli desa
tersebut maupun keuangan desa dari sumber lainnya.
2. Meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan desa agar sesuai
berdasarkan asas-asas pengelolaan keuangan desa yakni,
transparan, akuntabel, partisipatif serta dilakukan dengan
tertib dan disiplin anggaran.
3. Dapat dijadikan bahan bagi penyusunan Rancangan Peraturan
Daerah tentang Pengelolaan Keuangan Desa di Wilayah
Kabupaten Cianjur.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah mengamanatkan bahwa, Pedoman pengelolaan keuangan
desa ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan berpedoman pada
peraturan perudang-undangan.12
Keuangan desa atau alokasi dana desa (ADD) adalah bagian
keuangan Desa yang diperoleh dari Bagi Hasil Pajak Daerah dan
Bagian dari Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang
diterima oleh kabupaten.
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun
2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa pada Pasal 18
12 Pasal 212 ayat (6) UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
14
bahwa Alokasi Dana Desa berasal dari APBD Kabupaten/Kota yang
bersumber dari bagian Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling
sedikit 10 % (sepuluh persen) yang nantinya akan dibagikan kepada
desa-desa yang tersebar luas di Kabupaten tersebut.
Dengan demikian jumlah dana pemerintah pusat yang diterima
oleh Desa adalah tidak sedikit. Untuk itu perlu pengaturan yang baik
dan benar-benar dapat dijalankan oleh stakeholder yang dalam hal
ini Kepala Desa berserta perangkatnya.
Adapun maksud dan tujuan dari pengkajian permasalahan
sebagaimana dirumuskan di atas adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana pengelolaan keuangan desa
seharusnya dilaksanakan.
2. Mengetahui secara lebih dalam mengenai hambatan-hambatan
yang timbul sehubungan dengan pengelolaan keuangan desa.
3. Upaya-upaya yang harus dilakukan Pemerintah Desa dalam
melakukan Pengelolaan Keuangan Desa agar dapat dikelola secara
epektif dan efisien sesuai dengan asas-asas umum pengelolaan
keuangan desa .
Sedangkan kegunaan dari naskah akademik ini diharapkan:
15
a. Bagi Pemerintah Kabupaten Cianjur
1) Dapat memberikan masukan dan pemahaman kepada
para pihak pengambil kebijakan untuk segera menyusun
peraturan daerah yang secara khusus mengatur masalah
Pengelolaan Keuangan Desa.
2) Dapat memberikan kerangka hukum (legal framework)
bagi perumusan berbagai ketentuan daa pasal-pasal dari
Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Keuangan Desa.
b. Bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa
1) Merupakan instrumen hukum bagi pemerintahan desa
untuk melaksanakan tata pengelolaan keuangan desa.
2) Menertibkan dan mewujdukan transparansi, dan
ketertiban dalam pengelolaan keuangan desa.
c. Masyarakat
1) Diharapkan dapat menjadi instrumen hukum dalam
memberikan pengawasan dan control terhadap
pengelolaan keuangan desa.
2) Dapat terciptanya kepercayaan terhadap Kepala Desa
dan aparatur pemerintahan desa dalam mengelola
keuangan desa dan kekayaan desa lainnya.
16
D. Metode Penelitian.
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Kajian Yuridis Normative.
Kajian yuridis normatif atau penelitian hukum normative adalah
penelitian secara konsepsional terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan atau peraturan teknis lainnya yang menjadi
paying hukum dalam berperilaku dan bertindak secara pantas
berdasarkan kaidah-kaidah normatif. Oleh karena itu, kajian yuridis
normatif dalam naskah akademis ini difokuskan pada:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang
mengikat yaitu peraturan perundang-undangan dan
peraturan pelaksana/teknis lainnya yang relevan dengan
permasalahan yang diteliti, antara lain:
1. Undang- Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari
Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme.
3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah;
17
4. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
perimbangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang
Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4587);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara RI nomor 4578);
7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa;
8. Peraturan menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2007
Tentang Pengelolaan Kekayaan Daerah
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti
rancangan peraturan perundang-undangan, hasil penelitian,
pendapat para pakar hukum, makalah, jurnal ilmiah,
disertasi, hasil penelitian dan bahan hukum sekunder
lainnya.
18
c. Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum,
ensiklopedia, artikel pada surat kabar, majalan dan
sebagainya.
2. Kajian Yuridis Sosiologis.
Pada kajian atau penelitian hukum yang sosiologis, hukum
dikonsepsikan sebagai pranata sosial yang secara riil dikaitkan
dengan variable-variabel sosial lainnya. apabila hukum sebagai gejala
sosial yang sifatnya empiris, maka hukum dikaji sebagai variable
bebas/sebab yang memberikan pengaruh dan akibat pada berbagai
aspek kehidupan sosial, kajian ini merupakan kajian hukum yang
bersifat sosiologis. Namun jika hukum dikaji sebagai variable
terikat/akibat, yang timbul sebagai hasil dari berbagai kekuatan
dalam proses sosial, kajian ini merupakan kajian sosiologi hukum.
Perbedaan antara penelitian hukum normative dengan
penelitian hukum sosiologis, dapat diuraikan karakteristik yang
dimiliki oleh penelitian hukum sosiologis diantaranya:
a. Seperti halnya pada penelitian hukum normatif yang hanya
menggunakan bahan kepustakaan sebagai data sekundernya,
maka penelitian hukum yang sosiologis juga menggunakan data
19
sekunder sebagai data awalnya yang kemudian dilanjutkan
dengan data primer atau data langan. Dengan demikian,
penelitian hukum yang sosiologis tetap bertumpu pada premis
normatif berbeda dengan penelitian ilmu sosial yang hendak
mengkaji hukum, dimana hukum ditempatkan sebagai
dependent variable oleh karena itu premis sosial yang menjadi
tumpuannya.
b. Definisi operasionalnya dapat diambil dari peraturan perundang-
undangan, khususnya terhadap penelitian yang hendak meneliti
efektifitas suatu undang-undang.
c. Hipotesis kadang-kadang diperlukan, misalnya penelitian yang
ingin mencari hubungan antara berbagai gejala atau variable.
d. Akibat dari jenis datanya (data primer dan data sekunder), maka
alat pengumpul datanya terdiri dari studi dokumen, pengamatan
(observasi) dan wawancara. Pada penelitian hukum sosiologis
selalu diawali dengan studi dokumen, sedangkan pengamatan
digunakan pada penelitian yang hendak mencatat atau
mendeskripsikan perilaku (hukum) masyarakat. wawancara
digunakan pada penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
misalnya: persepsi, kepercayaan, informasi pribadi dan
sebagainya.
20
e. Penetapan sampling harus dilakukan terutama jika hendak
meneliti perilaku hukum warga masyarakat. dalam penarikan
sampling hendaknya diperhatikan sifat unsure-unsur populasi.
Akhirnya kegunaan penelitian hukum sosiologis adalah untuk
mengetahui bagaimana hukum itu dilaksanakan termasuk proses
penegakkan hukum. Karena penelitian jenis ini dapat
mengungkapkan permasalahan-permasalahan yang ada dibalik
pelaksanaan dan penegakkan hukum. Disamping itu, hasil penelitian
ini dapat digunakan sebagai bahan penyusunan peraturan
perundang-undangan dikaitkan dengan kajian hukum penerapan
terhadap pengelolaan keuangan desa maka kajian hukum sosiologis
sangat berguna dalam rangka penyusunan suatu peraturan
perundang-undangan yang akan mengaturnya, bahwa setiap norma
hukum yang dituangkan dalam perundang-undangan haruslah
mencerminkan tuntutan kebutuhan dengan realisasi kesadaran
hukum masyarakat.
3. Kajian Hukum Filosofis.
Setiap masyarakat selalu mempunyai rechtidee yaitu apa
yang masyarakat harapkan dari hukum, misalnya hukum
diharakan untuk menjamin adanya keadilan, kemanfaatan dan
21
ketertiban maupun kesejahteraan. Cita hukum atau rechtsidee
tumbuh dalam sistem nilai masyarakat tentang baik dan buruk.
Pandangan masyarakat mengenai hubungan individual dan
kemasyarakatan lainnya termasuk pandangan tentang dunia
gaib. Semua itu bersifat filosofis, artinya pandangan
menyangkut inti atau hakekat sesuatu. Hukum diharapkan
dapat mencerminkan sistem nilai yang baik sebagai sarana yang
melindungi nilai-nilai maupun sebagai sarana mewujudkan
tingkah laku masyarakat.
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
proses terwujudnya nilai-nilai yang terkandung dalam cita
hukum ke dalam norma hukum tergantung pada tingkat
kesadaran dan penghayatan akan nilai-nilai tersebut oleh para
pembentuk peraturan perundang-undangan. Tiadanya
kesadaran akan nilai-nilai tersebut dapat terjadi kesenjangan
antara cita hukum dengan norma yang dibuat.
22
BAB IIASAS-ASAS YANG DIGUNAKAN DALAM
PENYUSUNAN NORMA
A. Pengertian dan Peranan Asas Hukum.
Dalam ilmu hukum yang dimaksud dengan asas adalah
pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar
belakang peraturan konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang
setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-
undangan dan putusan hakim, yang merupakan hukum positif dan
dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum
dalam peraturan konrit tersebut.
Lebih lanjut, beberapa pakar memberikan pengertian asas
hukum, seperti Paul Scholten, yang memberikan pengertian asas
hukum sebagai berikut :
“Asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di
dalam dan di belakang sistem hukum, masing-masing
dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengannya dimana
23
ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual
dapat dipandang sebagai penjabarannya”.13
Kemudian Satjipto Rahardjo, mengartikan asas hukum
sebagai suatu hal yang dianggap oleh masyarakat hukum yang
bersangkutan sebagai basic truth atau kebenaran asasi, sebab
melalui asas-asas hukum itulah pertimbangan etis dan sosial
masyarakat masuk ke dalam hukum. Dengan demikian, asas hukum
menjadi semacam sumber untuk menghidupi tata hukumnya dengan
nilai-nilai etis, moral dan sosial masyrakatnya.
Asas-asas hukum berfungsi untuk menafsirkan aturan-aturan
hukum dan juga memberikan pedoman bagi suatu perilaku. Asas
hukum pun menjelaskan dan menjustifikasi norma-norma hukum,
dimana di dalamnya terkandung nilai-nilai ideologi tertib hukum.
Smits, memberikan pandanganya bahwa asas hukum memiliki
tiga fungsi yaitu : pertama, asas-asas hukum memberikan
keterjalinan dari aturan-aturan hukum yang tersebar, kedua, asas-
asas hukum dapat difungsikan untuk mencari pemecahan atas
masalah-masalah baru yang muncul dan membuka bidang-bidang
13 Sri Soemantri, Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung,1971, hlm 71
24
liputan masalah baru. Dari kedua fungsi tersebut, diturunkan fungsi
ketiga, bahwa asas-asas dalam hal-hal demikian dapat dipergunakan
untuk menulis ulang, bahan-bahan ajaran hukum yang ada
sedemikian rupa, sehingga dapat dimunculkan solusi terhadap
persoalan-persoalan baru yang berkembang.14
Merujuk pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa asas-
asas hukum bertujuan untuk memberikan arahan yang layak atau
pantas menurut hukum (rechtmatig) dalam hal menggunakan atau
menerapkan atauran-aturan hukum. Asas hukum berfungsi sebagai
pedoman atau arahan orientasi berdasarkan mana hukum dapat
dijalankan. Asas-asas hukum tersebut tidak saja akan berguna
sebagai pedoman ketika menghadapi kasus-kasus sulit, tetapi juga
dalam hal menerapkan aturan.
B. Asas-Asas Dalam Peraturan Daerah Terhadap Pengelolaan
Keuangan Desa.
Dalam Rangka mendukungnya terwujudnya good governance
dalam penyelenggaraan daerah, pengelolaan keuangan desa perlu
diselenggarakan secara professional dan terbuka dan
bertanggungjawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan
14Ibid, hlm 37
25
dalam Undnag-undang Dasar sesuai dengan amanat Pasal 23C UUD
1945 dan sesuai dengan asas-asas yang telah dikenal dalam
pengelolaan keuangan yaitu asas tranparan, asas akuntabel, asas
partisifatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran. Di
dalam hukum pembentukan peraturan daerah dimuat sejumlah
asas-asas hukum, dimana pilihan asas ini haruslah dilandasi oleh
filosofis dan tujuan pengolahan keuangan desa, dan pada gilirannya
asas-asas tersebut terjabarkan dalam draf ketentuan-ketentuan
peraturan pemerintah terkait dengan penataan pengelolaan
keuangan desa.
Secara khusus penerapan Perda pengelolaan keuangan desa
sebagai berikut :
1. Asas Ketertiban .
Yaitu dimaksud dengan asas ketertiban adalah asas yang menjadi
landasan keteraturan keserasian dan keseimbangan dalam
pengendalian penyelenggaraan proses perencanaan, pembahasan,
penguasaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban anggaran
yang berarti dalam pengelolaan keuangan desa yang mengikuti
prosedur yang berlaku.
2. Asas Ketaatan pada peraturan perundang-undangan.
26
Adalah pengelolaan keuangan desa harus mengikuti dan patuh
kepada peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintah,
organisasi, badan usaha yang menyangkut masyarakat, dan
pihak ketiga dilakukan berdasar hukum (peraturan yang sah).
3. Asas Efisien.
Yang dimaksud dengan asas efisien adalah dalam pelaksanaan
anggran belanja desa harus diusahakan dengan menggunakan
daya yang terbatas mencapai sasaran yang ditetapkan dalam
waktu sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan..
4. Asas Ekonomis.
Yang dimaksud dengan asas ekonomis adalah bahwa dalam
pelaksanaan anggaran belanja desa harus memperhatikan segi-
segi kehematan dan tidak mewah atau bersifat hati-hati dalam
pengeluaran uang, pemakaian barang, penggunaan waktu, tidak
boros, hemat atau meminimkan biaya dari penggunaan sumber-
sumber daya untuk sebuah aktifitas dengan memperhatikan
kualitas yang memadai.
5. Asas efektif.
Yang dimaksud dengan asas efektif berarti dalam pelaksanaan
anggaran belanja desa harus sesuai dengan kebutuhan yang telah
27
ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-
besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan.
6. Asas Transparan
Yang berarti bahwa dapat diketahuinya oleh banyak pihak yang
berkepentingan mengenai perumusan kebijaksanaan politik,
pemerintah, organisasi, badan usaha yang dilakukan secara
transparan dan good governance tidak membolehkan cara-cara
manajemen tertutup.
7. Asas Bertanggung Jawab (Akuntabilitas).
Yang dimaksud dengan asas akuntabilitas adalah bahwa dengan
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan dalam pengelolaan
keuangan desa harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan,
maupun manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum
pemerintahan dan pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsip-
prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pelaksanaan angaran
belanja desa sesuai dengan asas akuntabilitas yaitu kewajiban
untuk memeberikan pertanggungjawaban kepada pihak yang
memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan
atau pertanggung jawaban.
28
BAB III
MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH DAN KETERKAITANNYA
DENGAN HUKUM POSITIF
A. Kajian Keterkaitan dengan Hukum Positif yang Tarkait
Beberapa ketentuan hukum positif yang memiliki keterkaitan
dengan pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur
pengelolaan Keuangan Desa, yaitu sebagai berikut :
No
Materi RaperdaPengelolaanKeuangan Desa
PermendagriNomor 37 Tahun2007
1. Ketentuan Umum Bab I Pasal 1
Mengenai definisi
ruang lingkup
pengelolaan
keuangan desa
Mengenai definisi
ruang lingkup
pengelolaan
keuangan desa
2. Asas pengelolaan
Keuangan desa
Bab II Pasal 2
Dimuat mengenai
asas- asas
keuangan desa,
yaitu asas
transparan,
akuntabel,
partisifatip, serta
Dimuat mengenai
asas- asas
keuangan desa,
yaitu asas
transparan,
akuntabel,
partisifatip, serta
tertib anggaran
29
tertib anggaran
3. Kekuasaan
Pengelolaan
Keuangan Negara
BAB III . Pasal 3
ayat 1,2,3,4,5,6,7
Bab III. Pasal 3
Ayat 1,2,3,4,5,6,7
4. Pendapatan Desa Bab IV. Sumber
Pendapatan Desa,
Pendapatan Asli
Desa, Bagi Hasil
Pajak Daerah Dan
Retribusi, Alikasi
Dana Desa,
Bantuan Keuangan
Dari Pemerintah,
Pemerintah
Propinsi Dan
Pemerintah
Daerah, Penetapan
Pengurusan,
Pemanfaatan Dan
Pengelolaan
Sumber
Pendapatan Desa
dan Pengelolaan
Tanah Kas desa
Bab IV. Struktur
APBD Desa
5. Anggaran
Pendapatan Dan
Belanja Desa
BAB V : Struktur
APB Desa, Dasar
Penyusunan
BAB V :
Penyusunan
Rancangan PBDesa
30
Rancangan
APBDesa,
Penetapan
Rancangan
APBdesa, Evaluasi
Rancangan
APBDesa,
Pelaksanaan
APBDesa,
Perubahan
APBDesa
RPJMD dan RKP
Desa, Penetapan
Rancangan APB
Desa, Evaluasi
Rancangan APD
Desa, Pelaksanaan
APBDesa
6 Penatausahaan
Dan
pertanggungjawaba
n keuangan Desa
BAB VI :
Bendahara Desa,
Penatausahaan
Penerimaan,
Penatausahaan
Pengeluaran,
Pertanggungjawaba
n Penggunaan
dana
BAB VI :
Perubahan
APBDesa
7 Pertanggungjawaba
n Pelaksanaan
APBDesa
BAB VII :
Penetapan
Pertanggungjawaba
n Pelaksanaan APB
Desa, Penyampaian
Laporan
pertanggungjawaba
BAB VII :
Penatausahaan
Dan
Pertanggungjawaba
n Keuangan Desa
Berisi :
Penatausahaan
31
n Pelaksanaan
APBDesa
penerimaan,
Penatausahaan
Pengeluaran,
Pertanggungjawaba
n Penggunaan
Dana
8 Informasi
Keuangan Desa
BAB VIII ; Pasal 40 BAB VIII :
Pertanggungjawaba
n Pelaksanaan APB
Desa
Berisi : Penetapan
pertanggungjawaba
n Pelaksanaan
APBDesa,
Penyampaian
Laporan
pertanggungjawaba
n Pelaksanaan
APBDesa
9 Pembinaan dan
Pengawasan
BAB IX : Pasal 41,
42, 43
BAB IX :
Pengelolaan Alokasi
Dan Des
Berisi : Tujuan,
Pengelolaan Alokasi
Desa, Mekanisme
Penyaluran Dan
32
Pencairan,
Pelaksanaan
Kegiatan,
Pertanggungjawaba
n Dan Pelaporan.
10 Penghargaan Dan
Sanksi
BAB X : Pasal 44,
45, dan 46
BAB X : Pembinaan
dan Pengawasan
11 Ketentuan Penutup ---------------------- BAB XI : Ketentuan
lain
BAB XII Ketentuan
penutup
B. Materi Muatan Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur tentang
Pengelolaan Keuangan Desa.
Bagian ini membahas tentang ketentuan dan pengertian yang
bersifat umum dan subtansi peraturan daerah ini.
1. Ketentuan Umum.
Bagian ini membahas tentang ketentuan dan pengertian yang
bersifat umum dan subtansi peraturan daerah ini
2. Materi Pengaturan.
Materi pengaturan dengan sistematika sebagai berikut :
33
Bab I. Ketentuan umum yang membahas tentang
ketentuan dan pengertian yang bersifat umum dari
substansi peraturan daerah ini.
Bab II. Membahas tentang nama, Asas pengelolaan
Keuangan Desa.
Bab III. Membahas tentang Kekuasaan Pengelolaan
Keuangan Desa
Bab IV. Membahas tentang Pendapatan Desa.
Bab V. Membahas tentang Anggaran Pendapatan Dan
Belanja Desa.
BabVI. Membahas tentang Penatausahaan Dan
Pertanggungjawaban Keuangan Desa.
Bab VII. Membahas tentang Pertanggungjawaban
Pelaksanaan APBDesa.
Bab VIII. Membahas tentang Informasi Keuangan Desa.
Bab IX. Membahas tentang Pembinaan dan Pengawasan.
Bab X. Membahas tentang Penghargaan Dan Sanksi
Bab XI. Membahas tentang ketentuan penutup
34
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Sebagai akhir dari pembahasan masalah pengelolaan keuangan
desa dalam naskah akademik ini, penulis mencoba menarik
kesimpulan-kesimpulan sehubungan dengan permasalahan yang
dibahas sebagai berikut:
1. Pengelolaan keuangan desa di Kabupaten Cianjur perlu
ditetapkan dalam suatu peraturan daerah kabupaten cianjur
dimana didalamnya mencakup antara lain, asas pengelolaan
keuangan desa, kekuasaan pengguna keuangan desa, struktur
pengelolaan keuangan desa, penyusunan rencana anggaran
belanja desa, penetapan anggaran keuangan desa dan evaluasi
penggunaan keuangan desa, termasuk pula di dalamnya
perubahan anggaran keuangan desa dan pelaporan penggunaan
keuangan desa dan laporan pertanggungjwaban penggunaan
keuangan desa, pembinaan dan pengawasan pengelolaan
keuangan desa.
2. Beberapa hambatan dalam pengelolaan keuangan desa adalah
kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten dan
professional dalam pengelolaan keuangan desa sehingga tidak
35
jarang terjadi pengelolaan keuangan desa tidak sesuai dengan
asas-asas pengelolaan keuangan desa (dan pengelolaan
keuangan pada umumnya). Hal ini sudah barang tentu dapat
menimbulkan kesan ketidaktransparanan, ketidakepektifan
dalam penggunaan atau pengelolaan keuangan desa. Untuk itu
kehadiran peraturan daerah yang secara khusus mengatur
mengenai keuangan desa sangat diperlukan guna terciptanya
transparansi, epektifitas dan ketertiban sesuai dengan prinsip
anggaran.
3. Upaya yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Cianjur
dalam mengantisipasi berbagai permasalahan seputar
pengelolaan keuangan desa adalah dengan dibentuknya
peraturan yang khusus mengatur masalah pengelolaan
keuangan desa. Dengan demikian diharapkan pengelolaan
keuangan desa dapat dilaksanakan sesuai dengan prinsip-
prinsip dasar pengelolaan keuangan Negara/masyarakat pada
umumnya dan desa pada khususnya.
36
B. Saran.
Sebagai akhir dari pembahasan Naskah Akademik tentang
peraturan/pedoman pengelolaan keuangan desa ini, maka penulis
kemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1. Hendaknya Pemerintah Kabupaten Cianjur segera menyusun
rancangan ketetapan / praturan daerah tentang pengelolaan
keuangan desa. Hal ini perlu segera dilakukan untuk menghindari
penggunaan keuangan desa yang tidak sesuai dengan prinsip-
prinsip penggunaan anggaran.
2. Bagi pengelola keuangan desa yang dalam hal ini Kepala Desa dan
perangkatnya, ketiadaan peraturan yang mengatur masalah
pengelolaan keuangan desa bukan berarti keuangan desa dapat
digunakan sesuai dengan keinginannya, akan tetapi prinsip-
prinsip penggunaan anggaran sebagaimana dirumuskan dalam
dalam berbagai peraturan perundang-undangan dapat
diberlakukan terhadap permasalahan yang sama meskipun
berbeda secara tujuan maupun tuntutan administratifnya.
37
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku.
A. Mukhtie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing,
Malang, 2005.
Bagir Manan, Dasar-dasar Konstitusional Peraturan Perundang-
undangan Nasional, Fakultas Hukum Universitas Andalas,
Padang, 1994.
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Penerbit FSH UII,
Yogyakarta, 2002.
Daan Suganda, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia dan
Pemerintahan Daerah, Sinar Baru, Bandung.
Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis
Menyusun & Merancang Peraturan Daerah; Suatu Kajian
Teoritis & Praktis Disertai Manual; Konsepsi Teoritis Menuju
Artikulasi Empiris, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2010.
HAW. Widjaya, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia Dalam Rangka
Sosialisasi UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005.
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II,
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Jakarta, 2006.
Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, penerbit
ANDI, Yogyakarta, 2004.
38
Maryunani, Keuangan dan Ekonomi Desa, makalah Pada Universitas
Brawijaya, Malang, 2006.
Maurice Duverger, dalam Kuntjoro Purbopranoto, Sistem
Pemerintahan Demokrasi, cet 3. PT.Eresco, Bandung, 1978.
Ryaas Rasyid, Perspektif Otonomi Luas, Dalam Otonomi Atau
Federalisme Dampaknya Terhadap Perekonomian, Suara
Harapan, Jakarta, 2000.
Sri Soemantri, Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Alumni,
Bandung, 1971
Surachmin, Asas Dan Prinsip Hukum Serta Penyelenggaraan Negara,
Yayasan Gema Yustisia Indonesia, Jakarta.
Undang-Undang.
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara ;
Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang PerbendaharaanNegara;
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang PembentukanPeraturan Perundang-Undangan ;
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang PemerintahanDaerah Sebagaimana Telah Diubah Keduakalinya DenganUndang-Undang Nomor 12 Tahun 2008;
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 tahun 2007 tentangPedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 tahun 2007 TentangPengelolaan Kekayaan Desa