naskah

Upload: julie

Post on 18-Jul-2015

170 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Ikan lele banyak dikonsumsi oleh masyarakat DIY, sekitar 18 ton

perhari. Masyarakat mengkonsumsi ikan lele tidak hanya pada daging dan kulit tetapi bagian-bagian lain seperti tulang dan sirip, yang diolah dalam berbagai bentuk makanan olahan dari lele. seperti; lele bakar, lele goreng tepung, abon ikan, kripik kulit, kripik daging, kripik sirip, mangut lele kaleng, dan bakso lele. Salah satu biota air tawar yang banyak dibudidayakan dalam sistem keramba atau tambak dengan aliran air bersumber dari sungai yaitu ikan lele. Sungai menjadi media penampungan segala macam zat pencemar dari lingkungan disekitarnya. Kondisi badan perairan yang mengandung pencemar dari berbagai sumber ini akan mempengaruhi organisme yang hidup di dalamnya. Pencemaran di dalam badan air, akan berakibat fatal jika mengandung logam berat, Menurut Fardiaz (1992) Air sering tercemar oleh komponen-komponen anorganik antara lain logam berat Pb yang berbahaya. Pencemaran logam Pb berasal dari limbah domestik disekitar badan air sebagai dampak aktifitas manusia.

1

Logam berat Pb yang ada dalam badan air mempunyai pengaruh buruk terhadap biota perairan, diketahui dapat terakumulasi di dalam tubuh suatu organisme dan tinggal dalam jangka waktu yang lama sebagai racun yang terakumulasi (Darmono, 1995). Organisme perairan tersebut biasanya dimanfaatkan oleh manusia untuk dikonsumsi. Bila logam berat

terakumulasi dalam tubuh ikan yang dikonsumsi maka dengan sendirinya logam akan masuk ke dalam tubuh manusia (Sastrawijaya, 1991). Pemaparan logam Pb pada manusia juga dapat melalui makanan yang terkontaminasi dari lingkungan. (Sitting, 1991; Baxter et al.,1985). Sehingga penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui kadar logam Pb pada organ ikan lele yaitu; daging, kulit, sirip, dan tulang. Dalam Darmono (1995), analisis biota air sangat penting artinya daripada analisis air itu sendiri. Kandungan logam berat dalam biota air biasanya akan bertambah dari waktu ke waktu karena bersifat Bioakumulatif, sehingga biota air dapat digunakan sebagai indikator pencemaran logam dalam perairan sebelum sampai kepada manusia.

2

B. Rumusan Masalah Sebagian masyarakat ada yang gemar mengkonsumsi lele hanya bagian daging, dan kulit tetapi beberapa diantaranya juga gemar mengkonsumsi lele baik daging, kulit, sirip, hingga tulang lele. Karena tulang dan sirip merupakan tempat utama deposit Pb, sehingga perlu untuk mengetahui konsentrasi Pb dalam organ ; daging, kulit, sirip, dan tulang ikan lele.

C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui konsentrasi logam berat timbal (Pb) pada organ kulit, daging, sirip dan tulang pada ikan lele (Clarias batracus) 2. Mengetahui besar akumulasi logam Pb dalam tiap organ ikan lele menurut umur.

D. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi tingkat keamanan konsumsi makanan olahan ikan lele, baik pada tulang sebagai salah satu organ deposit Pb, daging, kulit dan sirip. 2. Pada kulit dan sirip ikan lele dapat dijadikan sebagai indikator tingkat pencemaran di lingkungan.

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A.

Sumber Pencemar Pb dalam Perairan Pembuangan air limbah secara langsung ke lingkungan inilah yang

menjadi penyebab utama terjadinya pencemaran air. Limbah baik berupa padatan maupun cairan yang masuk ke dalam lingkungan menyebabkan terjadinya penyimpangan dari keadaan normal menjadi sumber pencemaran bagi lingkungannya. Beberapa indikator air telah tercemar adalah adanya perubahan atau tanda yang dapat diamati melalui perubahan warna, bau dan rasa, adanya endapan, koloidal, bahan terlarut. Jika bahan buangan berupa bahan anorganik yang dapat larut maka air akan mendapat tambahan ion-ion logam yang berasal dari bahan anorganik. Banyak bahan organic yang memberikan ion-ion logam berat yang umunya bersifat racun, seperti Pb (Wardhana, 1995) Logam Pb dan persenyawaan dapat berada di dalam badan perairan secara alamiah dan dampak dari aktifitas manusia. Pb dapat masuk ke badan perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan. Pb yang masuk ke dalam bandan perairan sebagai dampak dari aktifitas manusia. Senyawa Pb yang ada dalam badan perairan dapat ditemukan

4

dalam bentuk ion divalen (Pb2+) atau ion tetra valen (Pb4+). Bila didasarkan pada pengelompokan ion-ion logam Richardson, maka ion Pb tetravalen memiliki daya racun yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan ion Pb divalen.

B.

Distribusi Pb pada Ekosistem Akuatik Logam didalam air, baik logam ringan maupun logam berat jarang

sekali berbentuk atom tersendiri. Bahan kimia inorganik seperti asam, garam, dan bahan toksik logam seperti Pb, Cd, Hg dalam kadar yang tinggi dapat menyebabkan matinya kehidupan air seperti ikan dan organisme lainnya. Banyak logam berat baik yang bersifat toksik maupun essensial terlarut dalam air dan mencemari air tawar dan air laut. Logam berat biasanya ditemukan sangat sedikit sekali dalam air secara alamiah, yaitu kurang dari 1g/l. Bryan (1976) Logam-logam dalam perairan akan mengendap bila kepekatan suatu logam dalam bentuk ion lebih tinggi daripada kelarutan senyawaan yang paling larut yang dapat dibentuk antara kation logam dan anion-anion yang ada dalam air. Dalam Laws (1981) menyatakan bahwa bermacam-macam logam berat yang masuk dalam lingkungan khususnya dalam sistem perairan dapat berasal dari hasil pelapukan tanah, batuan, letusan gunung berapi dan berbagai kegiatan manusia seperti pertambangan, dan pemrosesan logam

5

untuk industri. Sumber utama penyebaran timbale di lingkungan adalah pembakaran bensin, selain itu timbale juga masuk ke lingkungan dapat berasal dari operasi pertambangan, peleburan, serta debu yang beterbangan (May dan Mc Kinney, 1981). Menurut Darmono (1995) logam berat yang non-essensial juga dapat bersenyawa dengan protein jaringan dan tertimbun serta berikatan dengan protein, sehingga senyawanya disebut metalotionein yang dapat

menyebabkan toksik. Dalam badan perairan logam berat Pb umumnya berada dalam bentuk ion, baik sebagai pasangan ion ataupun dalam bentuk ion tunggal (Pallar, 1994). Masuknya suatu zat kimia ke dalam lingkungan akan menyebabkan perpindahan antar kompartemen. Di dalam suatu kompartemen yaitu udara, air, tanah, dan biota, pergerakan suatu zat kimia mula-mula merupakan fungsi dari ciri-ciri proses pengangkutan kompartemen tersebut (Tinsley, 1979). Tingkat kandungan logam berat pada setiap kompartemen sangat bervariasi, bergantung pada lokasi, jenis kompartemen dan tingkat pencemarannya. Senyawa Pb yang terlarut dalam air dapat diabsorpsi oleh partikulat dan masuk ke dalam sedimen yang terdiri partikel yang berasal dari penghancuran batuan dan rangka organisme (Hutabarat dan Hewart, 1985). Bahan partikel yang tidak terlarut seperti pasir, lumpur, tanah, dan bahan

6

kimia inorganik dan organik menjadi bentuk bahan tersuspensi di dalam air, sehingga bahan tersebut menjadi penyebab polusi tertinggi di dalam air. Siaka, et al (2000) ukuran partikel memiliki peranan penting dalam distribusi logam berat pada sedimen. Kandungan bahan organik

berhubungan dengan ukuran partikel sedimen. Pada sedimen yang halus persentase bahan organik lebih tinggi daripada sedimen yang kasar. Menurut Darmono (2001), bahan partikel yang tidak terlarut seperti bahan kimia inorganik dan organik menjadi bentuk bahan tersuspensi di dalam air, sehingga bahan tersebut menjadi penyebab polusi di dalam air. Partikel tersuspensi menyebabkan kekeruhan di dalam air, sehingga mengurangi kemampuan ikan dan organisme air lainnya memperoleh makanan, mengurangi kemampuan tanaman air melakukan fotosintesis, insang ikan dan benthos tertutup oleh sedimen dan akan mengakumulasi bahan beracun seperti senyawa logam. Sementara keberadaan Pb pada sedimen cenderung stabil, hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam berat (PPLH-IPB, 1997) bahwa logam berat mudah terakumulasi di sedimen, sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi dari konsentrasi logam berat di dalam air. Disamping itu, sedimen mudah tersuspensi karena pergerakan massa air, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar potensial dalam skala waktu tertentu.

7

Dalam Fardiaz (1992) sedimen adalah endapan bahan-bahan organic dan anorganik yang tersuspensi ke dalam air dan diangkat oleh air sehingga terjadi pengendapan pada suatu tempat, dimana air tidak lagi sanggup membawa partikel tersuspensi tersebut. Menurut Bachtiar dan Prasetyo (1984), logam berat cenderung terakumulasi pada sedimen kemudian mengalami mobilisasi sehingga terlepas lagi ke perairan atau badan air dan selanjutnya dapat masuk ke dalam rantai makanan, yang akhirnya sampai pada manusia dan dapat membahayakan kesehatan. Menurut (Paulson,1997) dalam (Alfons,2006) Pada sistem air sungai, adsorpsi senyawa logam pada permukaan partikel tersuspensi dan sedimen menunjukkan terjadinya proses geokimia yang memindahkan logam dari air ke sedimen. Beberapa penelitian terkini menyebutkan, bahwa senyawa organik dapat berperan sebagai pengontrol perpindahan kontaminan anorganik dan organik. Kontaminan terserap ke partikel di kolom air melalui adsorpsi fisiko-kimiawi dan uptake biologi. Akibat gravitasi, gabungan kontaminan-partikel turun ke dasar sungai untuk membentuk lapisan sedimen. Diperkirakan 95% Pb dalam sedimen (nonorganik dan organik) dibawa oleh air sungai menuju samudera. Pb relatif dapat melarut dalam air dengan pH < 5. Bryan (1976) Bila dibandingkan dengan air yang ada di atasnya sedimen dapat mengandung kepekatan-kepekatan logam yang sangat

8

tinggi. Sedikit demi sedikit, logam-logam yang terkandung dalam sedimen akan terdaur ulang ke dalam air yang berada di atas sedimen. Distribusi dan sumber logam berat Pb dalam lingkungan perairan digambarkan secara singkat dalam gambar berikut :

Asal Pb Emisi udara Limbah domestik

Ikan

Manusia

Logam-logam berat yang bersifat racun seperti Hg, Cd, Pb yang terdapat dalam air kebanyakan juga berbentuk ion. Logam berbahaya itu diserap oleh hewan air melalui insang dan saluran pencernaan. Karena sifatnya yang toksik, logam ini dapat mematikan. Logam bersifat tidak dapat terbiodegradasi dan diperhitungkan sebagai polutan lingkungan (More et al 2003 dalam Rauf). Organisme akuatik

9

memiliki kemampuan untuk mengakumulasi logam berat dari berbagai-bagai sumber termasuk sedimen, erosi tanah, dan lepas pantai, pengendapan udara dari kabut dan aerosol, dan pembuangan limbah (Labonne et al,2001; Goodwin et al,2003 dalam Rauf). Oleh karena itu logam berat dalam organisme akuatik bisa menyebabkan efek jangka pangjang, logam berat dapat juga mempengaruhi laju pertumbuhan ikan (Hayet et al,2007 dalam Rauf).

C.

Pemaparan logam Pb pada Ikan Semua logam berat dapat menyebabkan pengaruh negatif terhadap

organisme air pada batas konsentarsi tertentu. Pengaruh tersebut bervariasi menurut jenis logamnya, spesies hewan. Ikan merupakan puncak rantai makanan akuatik dan bisa mengandung beberapa logam berat dari air (Mansour and Sidky, 2002). Ada jenis ikan yang biasanya hidup di perairan dangkal dan berenang di dasar air, dan ada juga yang hidup di perairan yang dalam dan berenang dekat permukaan air. Ikan yang termasuk kelas teleostei adalah hewan air yang selalu bergerak. Kemampuan gerak yang cepat inilah yang menyebabkan ikan tidak banyak berpengaruh pada kondisi pencemar logam seperti mahluk lainnya (kepiting, udang, dan kerang). Tetapi pada lokasi tertentu yang daerah hidupnya terbatas akan menderita pada kondisi tercemar (Darmono, 2001).

10

Adanya logam berat di perairan, berbahaya baik secara langsung terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam berat. Menurut Pallar (1994) logam-logam berat yang terlarut dalam badan perairan pada konsentrasi tertentu dapat berubah fungsi menjadi sumber racun bagi kehidupan perairan. Meskipun daya racun yang ditimbulkan oleh satu jenis logam berat terhadap semua biota perairan tidak sama. Logam berat masuk ke dalam jaringan tubuh mahluk hidup melelui beberapa jalan, yaitu saluran pernapasan, pencernaan, dan penetrasi melalui kulit. Jika hewan air tersebut tahan terhadap kandungan logam yang tinggi, maka logam itu dapat tertimbun di dalam jaringannya, terutama hati dan ginjal. Dalam Connell dan Miller (1984) Secara alamiah Pb dapat masuk ke dalam badan perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan. Menurut Darmono (1995), logam di dalam air jarang sekali berbentuk atom tersendiri, tetapi biasanya terikat oleh senyawa lain sehingga berbentuk molekul. Ikatan ini dapat berupa garam organic, seperti senyawa metal, etil, fenil maupun garam anorganik berupa oksida, klorida, sulfide, karbonat, hidroksida, dan sebagainya. Efek toksik pada ikan tidak hanya pada organ tulang, beberapa organ ikan yang terkena efek toksik dari logam berat ialah; insang, alat pencernaan, ginjal. Insang sebagai alat pernafasan sangat peka terhadap

11

pengaruh toksisitas logam, hal tersebut diakibatkan oleh penipisan lamella sekunder.Toksisitas logam pada saluran pencernaan juga dapat terjadi melalui air yang mengandung dosis toksik logam. Sementara pada ginjal yang berfungsi untuk filtrasi dan mengekskresikan bahan yang biasanya tidak dibutuhkan oleh tubuh, termasuk bahan racun seperti logam berat yang toksik (Darmono, 2001)

D. Akumulasi Pb pada Ikan Akumulasi adalah penumpukan logam-logam berat dan senyawa kimia beracun lainnya, yang terjadi dalam tubuh organisme hidup dan manusia. Menurut Hughes dan Poole (1989), akumulasi logam secara intraselluler melalui 3 tahap, yaitu : pengikatan logam di permukaan sel dalam keadaan tertentu dapat dilanjutkan dengan transport logam melalui membrane ke dalam sel. Transpor tersebut dapat diikuti oleh akumulasi logam pada ruang tertentu dalam sel. Faktor-faktor yang mempengaruhi akumulasi logam berat pada ikan adalah ; umur dan ukuran tubuh, luas lokasi tempat ikan hidup serta lamanya waktu pemaparan logam juga mempengaruhi besarnya akumulasi. Hewan umur muda umumnya lebih peka terhadap polutan toksik, dibandingkan hewan dewasa. Ukuran tubuh yang lebih besar akan lebih resisten terhadap konsentrasi polutan yang tinggi bila dibandingkan dengan ikan yang lebih

12

kecil ukuran tubuhnya. Pada ukuran ikan yang bertubuh besar, laju metabolisme lebih kecil dibandingkan dengan ikan yang berukuran tubuh kecil (Anonim, 1985). Istilah akumulasi tidak lepas dari istilah bioakumulasi, biokonsentrasi dan biomagnifikasi. Bioakumulasi adalah istilah umum yang menjelaskan masuknya senyawa kimia ke dalam tubuh organisme melalui air dan melalui jalur pemaparan lainnya (makanan dan ingesti sedimen) (Connell, 1995). Proses akumulasi logam dalam jaringan ikan cukup bervariasi, tergantung pada jenis logam dan spesies ikan. Beberapa jenis logam terakumulasi lewat rantai pakan sehingga predator sebagai pemangsa ikan memiliki konsentrasi logam yang besar. Adapun jumlah akumulasi logam dari yang besar ke yang kecil berturut-turut ialah; Hati> ginjal> insang> daging. Sedangkan kekuatan penetrasi logam ke dalam jaringan berturutturut ialah; Cd> Hg> Pb> Cu> Zn> Ni. (Darmono, 2001). Pallar (1994) menyatakan bahwa Pb dapat memberikan efek racun terhadap banyak fungsi organ, logam Pb akan terakumulasi pada tulang dalam jaringan dan atau organ tubuh, karena logam ini dalam bentuk ion (Pb2+) mampu menggantikan keberadaan ion (Ca2+) yang terdapat dalam jaringan tulang.

13

E. Ikan lele lokal (Clarias batrachus) Ikan lele (Clarias batrachus) merupakan ikan yang hidupnya di perairan yang berlumpur. Ikan ini dapat hidup dalam air keruh juga tahan terhadap keadaan yang kering. Kulitnya licin tidak bersisik dan berlendir. Ikan lele dapat memakan segala macam makanan. (Djuhanda, 1981). Salah satu produk perikanan air tawar adalah ikan lele. Beberapa alasan yang mendasari hal tersebut ; (1) ikan lele mudah untuk dibudidayakan, (2) dapat dipelihara dengan padat tebar yang tinggi, (3) dapat dibudidayakan di kawasan marjinal dan hemat air (IPB, 2010) (4) Memiliki pertumbuhan yang cepat dengan umur 2 3 bulan sudah dapat dipanen, (5) Termasuk organisme yang memperoleh makanan dari substrat sedimen (bottom feeder), (6) Sifat hidup ikan lele yang relatife menetap dan tahan terhadap kondisi perairan yang ekstrim (Cholik- IPB, 2010). Ikan lele kaya akan kandungan gizi, jumlah protein mencapai 20 %. Dalam setiap 100 gram ikan lele, kandungan lemaknya hanya dua gram jauh lebih rendah dibandingkan daging sapid dan daging ayam. Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan juga menjadikan ikan lele sebagai salah satu komoditas unggulan. Keunggulan protein ikan adalah kelengkapan komposisi asam amino dan kemudahan cernanya. Nilai cerna protein ikan sangat tinggi, yaitu lebih dari 90 persen (Astawan, 2009). Peran

14

ikan air tawar sangat besar dalam penanggulangan masalah gizi kurang, dan menjadi pilihan yang relatif aman dan murah. Berbagai produk olahan makanan dari lele seperti mangut lele kaleng, kripik daging, kripik kulit, kripik sirip, bakso lele, pecel lele, lele bakar, dan nugget lele menjadi alasan masyarakat mengkonsumsi lele. Suplai ikan lele untuk memenuhi konsumsi masyarakat di daerah DIY mencapai 17-18 ton per hari (Surya, 2010).

F.

Pengaruh logam Pb pada Kesehatan Manusia Keracunan timbal atau Pb pada manusia telah diketahui sejak lama.

Menurut Darmono (1995) tiga masalah yang harus diperhatikan dalam hubungannya dengan toksisitas Pb ini adalah : Penentuan kandungan Pb yang tepat dalam tubuh manusia terutama anak-anak yang menyebabkan gangguan kesehatan pada mereka, mengukur kandungan Pb dalam lingkungan dan makanan, mengindentifikasi sumber-sumber pencemaran. Pada manusia, timbal dapat mengakibatkan bermacam-macam dampak biologi, bergantung pada tingkatan dan durasi terpaannya. Dampak yang bervariasi terjadi pada rentang dosis yang luas, dimana janin dan bayi lebih rentan terkena dampak dibanding manusia dewasa. Terpaan pada tingkat yang tinggi dapat mengakibatkan dampak keracunan biokimia pada manusia, yang selanjutnya dapat mengarah pada berbagai problem seperti

15

mengganggu proses sintesa hemoglobin, menyerang ginjal, saluran pencernaan, persendian, dan sistem reproduksi, serta menimbulkan kerusakan akut maupun kronis pada sistem saraf. Danny (2006) Dampak lebih jauh dari keracunan Pb adalah dapat menyebabkan hipertensi dan salah satu faktor penyebab penyakit hati. Ketika unsur ini mengikat kuat sejumlah molekul asam amino, haemoglobin, enzim, RNA, dan DNA; maka akan mengganggu saluran metabolik dalam tubuh. Keracunan Pb dapat juga mengakibatkan gangguan sintesis darah, hipertensi, hiperaktivitas, dan kerusakan otak. Plumbum organik seperti tetraethyl lead (TEL) yang dipakai sebagai bahan additives pada bahan bakar bensin dan tetramethyl lead (TML) hampir seluruhnya diabsorpsi melalui kulit dan traktus gastrointestinal karena mempunyai kemampuan mudah larut dalam substansi lemak (Bartik, 1981). Demikian juga TEL mudah diabsorpsi lewat kulit (Lang dan Kunze, 1948) dan melalui epitel paru (Mortensen, 1942). Dalam tubuh, TEL akan diubah menjadi triethyl lead dan diakumulasikan pada jaringan yang kaya lemak seperti hati, ginjal dan otak (Bolanowska et al., 1967). Menurut WHO batas konsumsi harian logam Pb adalah 3,5 g/kg atau 0,0035 ppm dari berat badan (Claeys dkk, 2003).

16

BAB III HIPOTESIS

1. Konsentrasi logam berat Pb pada ikan lele lokal (Clarias batracus) semakin besar menurut pertambahan waktu (umur) 2. Akumulasi logam berat Pb lebih besar terdapat pada organ tulang, sirip, daging, dan kulit.

17

BAB IV MATERI DAN METODA

Dalam penelitian ini, digunakan 100 ekor ikan lele lokal (Clarias batracus) yang berumur 6 minggu dengan berat antara 5,5 7,0 gr. Benih ikan lele yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari tempat pembenihan ikan Daerah Cangkringan, DIY. Penelitian berlokasi di tambak milik pribadi masyarakat yang terletak di daerah Barbasari, DIY yang dilaksanakan selama 6 minggu sejak 11 Oktober hingga 22 November 2010. Lokasi ini dipilih dengan meninjau beberapa alasan, yaitu lokasi yang dekat dengan jalan raya, serta air yang digunakan untuk pemeliharaan ikan lele pada tambak tersebut berasal dari selokan Mataram yang diindikasikan banyak mengandung bahan pencemar yang berasal dari bengkel serta jasa pencucian kendaraan yang berada disekitar selokan Mataram. Karamba yang digunakan terbuat dari bambu dengan ukuran 80 60 80 cm (gambar 1) sesuai dengan kepadatan benih ikan lele yang akan dipelihara. Sistem karamba yang digunakan menggunakan dasar tambak sebagai alasnya dan diletakkan dengan kedalaman sekitar 70 cm dari dasar tambak.

18

A.

Desain Penelitian Untuk keperluan penelitian distribusi logam berat Pb pada beberapa

organ; kulit, daging, dan tulang ikan lele (Clarias batracus), biota uji yang digunakan dalam penelitian adalah ikan lele (Clarias batracus) yang berumur 6 minggu. Sampel diambil dari tambak yang berlokasi di daerah Babarsari DIY. Sampel dikoleksi masing-masing sebanyak 8 ekor dari 2 minggu pertama, hingga 2 minggu ketiga. Sampel ikan dikomposit untuk keperluan analisis, juga dilakukan koleksi sampel air dan sedimen menurut waktu pegambilan sampel ikan yaitu pada selang waktu 2 minggu pertama hingga 2 minggu ketiga untuk mengetahui hubungan antara lingkungan dan kadar logam berat Pb dalam sampel ikan yang akan dianalisis.

B.

Bahan dan Alat Alat yang diperlukan meliputi : timbangan digital, ruang asam, oven

pemanas, erlenmeyer 100 ml, cawan petri, pipet tetes, pipet volumetrik, propipet, gelas arloji, corong gelas, Labu ukur 10 ml, kertas saring watman, kompor listrik, serta botol berbahan polypropilen untuk wadah sampel yang telah diekstraksi. Bahan yang digunakan meliputi larutan HCl, HNO3 pekat, HNO3 1% untuk keperluan merendam kertas saring, aquades, larutan ekstran 2% untuk mencuci alat yang akan digunakan. Sampel ikan lele yang digunakan untuk

19

keperluan penelitian memiliki berat 5,5 7,0 gr. Air yang dikoleksi dalam botol berbahan polypropilen dan sedimen yang dikoleksi dalam wadah plastik. C. Sampling Sampling dilakukan dalam selang waktu satu kali setiap 2 minggu dalam 3 periode waktu. Sampling pertama dilakukan pada tanggal 25 oktober 2010, sampling kedua dilakukan pada tanggal 8 November 2010, sampling ketiga dilakukan pada tanggal 22 November 2010. Sampling ikan lele dilakukan secara acak dengan menggunakan jala ikan, sampling sedimen menggunakan sekop, dan air tambak dikoleksi menggunakan botol kaca. Seluruh sampel yang telah dikoleksi dibawa menuju Laboratorium Kimia Fakultas Biologi, UKDW untuk keperluan preparasi dan ekstraksi.

D.

Analisis dan Pengukuran Pb pada Sampel Organ Ikan Lele, Sedimen, dan Air Preparasi dan ekstraksi logam berat Pb pada organ ikan lele (Clarias

batracus), air, dan sedimen dilakukan di Laboratorium Kimia Fakultas Biologi Universitas Kristen Duta Wacana. Preparasi sampel meliputi pemisahan organ kulit, daging, tulang, dan kulit dari ikan, serta pembersihan sedimen. Tiap organ dan sedimen ditimbang berat basahnya, kemudian dipanaskan dalam lemari oven pada suhu 150C selama 2 jam. Sebelum

20

diekstaksi sampel sedimen terlebih dahulu disaring agar benda/kotoran tidak terikut, masing-masing sampel ditimbang berat keringnya. Sebanyak 2,0 g berat kering atau dry weight (d.w) sedimen dan organ (kulit, daging, sirip, dan tulang) ikan lele diekstraksi dengan menggunakan metode aquaregia digestible method (IPCS, 1988) dengan campuran 18 ml HCl pekat dan 6 ml HNO3 pekat, kemudian dipanaskan hingga volume akhir ekstrak mencapai 10 ml, dibiarkan dingin kemudian ditambahakan lagi 18 ml HCl pekat dan 6 ml HNO3 pekat dipanaskan hingga volume sekitar 5-7 ml, ekstrak dituang dan disaring kedalam labu ukur 10 ml dengan menggunakan kertas watman yang sebelumnya direndam dalam HNO3 1% dan dibilas dengan aquades, lalu ditambahkan aquades hingga batas tanda. Untuk sampel air digunakan 50 ml, karena air tambak dalam keadaan keruh sehingga terlebih dahulu dilakukan penyaringan ke dalam Erlenmeyer 100 ml dengan kertas saring Watman karena logam Pb yang akan diukur adalah logam Pb terlarut.Setelah sampel disaring ke Erlenmeyer

ditambahkan 5 ml HNO3 pekat, kemudian dipanaskan dan dicegah agar tidak mendidih sampai volumenya menjadi 5-7 ml. Didiamkan selama 15 menit lalu ditambahkan lagi 5 ml HNO3 pekat, dipanaskan lagi hingga tersisa 5-7 ml ekstrak. Ekstrak disaring ke dalam labu ukur 10 ml dengan kertas saring Watman yang sebelumnya telah direndam HNO3 1% dan dibilas aquades, lalu ditambahkan aquades hingga batas tanda.

21

Selanjutnya analisis untuk memperoleh data konsentrasi logam berat Pb dalam hasil ekstraksi sampel organ ikan lele (Clarias batracus), air, dan sedimen dilakukan di Laboratorium Kimia Fakultas MIPA, UGM. Hasil ektraksi dianalisis menggunakan mesin AAS (Atomic Absorption

Spectrophotometer). E. Analisis Data Dalam penelitian yang dilakukan didapatkan data yaitu konsentrasi logam Pb pada organ lele, yaitu kulit, daging, tulang dan sirip. Selain dari organ lele, konsentrasi logam Pb juga didapatkan dari sedimen dan air tambak. Menggunakan analisis regresi linear alami dan regresi linear sederhana untuk melihat pengaruh terhadap dua varibel.

22

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini digunakan ikan lele berumur 6 minggu sebanyak 100 ekor. Ikan dipelihara selama interval waktu 42 hari untuk keperluan analisis, yang diambil setiap kurun waktu 14 hari berturut-turut dalam 3 periode. Berdasarkan data penelitian yang diperoleh, maka ada 4 hal yang akan dibahas oleh penulis berkaitan dengan penelitian akumulasi logam berat Pb pada organ ikan lele lokal, yaitu : (A) Berat ikan lele selama penelitian (B) Konsentrasi logam Pb pada air dan sedimen (C) Perbandingan konsentrasi logam Pb pada setiap organ ikan lele (D) Akumulasi total Pb dalam tubuh ikan lele, A. Berat ikan lele selama penelitian Hasil pertumbuhan ikan lele selama penelitian dapat dilihat pada lampiran 6a. Pertambahan berat ikan selama penelitian mengalami pertambahan berat. Pertumbuhan ikan dapat dinyatakan dengan pertambahan berat ikan dari minggu ke (t2 t6). Dari t2 t6 berat ikan selalu mengalami pertambahan berat, rerata pertambahan berat ikan dari t2 t6 sebesar 8,5 gr. Sesuai dengan pernyataan Effendi (2002) bahwa kurva pertumbuhan ikan berbentuk sigmoid. Pertambahan berat ikan lele selama satu minggu pemeliharaan sebesar 1,5 sampai 2,0 gr.

23

Tabel 1. Data pertumbuhan berat ikan selama penelitian t (minggu ke) 2 4 6 1 56,00 59,60 60,56 2 54,51 58,22 63,82 3 52,90 57,00 60,89 4 54,00 58,56 64,12 5 54,12 56,99 63,79 W (gr) 6 53,00 58,21 64,27 badan 7 56,22 58,30 62,00 ikan 8 53,00 57,41 62,24 min-maks 52,90-56,22 56,99-59,60 60,56-64,27 x 54,22 58,04 62,71 SD 1,23 0,82 1,39 KV 2,27 1,41 2,22 x= rerata, SD= Standar deviasi, W= weight (w/w), t= waktu (minggu ke), KV= koefisien variasi (%) Parameter Data berat ikan dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan persamaan regresi linear pada skala normal dan skala logaritma. Persamaan regresi digunakan untuk mengetahui pengaruh waktu terhadap pertambahan berat ikan. Digunakan persamaan berikut : W = at + b Ln W = at + b (Persamaan 1) (Persamaan 2) Replikat

Pada skala alami persamaan regresi linear diperoleh W= 2,122t + 49,83 dengan koefisien regresi kuadrat (R2) yaitu sebesar 0,99. Ini menunjukkan bahwa pengaruh waktu signifikan terhadap pertambahan berat. Dengan menggunakan skala logaritma diperoleh R2 sebesar 0,96 tidak berbeda jauh dengan skala linear alami.

24

67.5

63 W (w/w.gr)

58.5

54

W = 2.122t+ 49.83 R = 0.99

49.5 0 2 t (minggu ke) 4 6

67.5

63 W (w/w.gr)

58.5

54

ln W = 7.489t + 48.65 R = 0.96

49.5 0 2 t (minggu ke) 4 6

Gambar 1. Berat ikan (W) menurut waktu (t) dalam skala biasa (atas) dan skala logaritma (bawah)

25

Angka koefisien variasi (KV) dari data tabel 1 menampilkan nilai ratarata dibawah 10% baik ikan satu hingga ikan ke delapan. Koefisien variasi digunakan untuk melihat seberapa besar variasi antar individu dalam pertumbuhannya. Untuk t2 koefisien variasi sebesar 2,27%, untuk t4

koefisen variasi sebesar 1,41%, untuk t6 koefisien variasi sebesar 2,22%. Hasil seperti ini menunjukkan bahwa variasi antar individu dalam pertumbuhannya tidak berbeda jauh. Dari kurva berat ikan yang didapat, terlihat bahwa dalam waktu minggu pertama hingga minggu ketiga pertambahan berat sebesar 54,22 62,71 gr. Mulai dari minggu pertama hingga minggu kedua pertambahan berat ikan sebesar 3,82 gr, dan minggu kedua hingga minggu ketiga sebesar 4,06 gr. Pertambahan berat ikan semakin meningkat karena ikan sudah bisa beradaptasi dengan habitat barunya.

B.

Konsentrasi Pb pada Sedimen dan Air Untuk Hasil analisis pada Tabel 2, dapat dilihat logam Pb pada

sedimen dapat terdeteksi selama penelitian namun pada air tambak, Pb hanya terdeteksi pada interval waktu minggu 3 yaitu sebesar 1,040 (g.ml-1), dan pada sedimen Pb yang terdeteksi dari interval waktu minggu 1 hingga minggu 3 sebesar 5,916 5,920 (g.gr-1). Tidak terdeteksinya kadar Pb pada air, akibat cuaca atau iklim pada saat dilakukan sampling sedang terjadi hujan, seperti uraian sebelumnya Darmono (1995) menjelaskan bahwa pada

26

musim penghujan kandungan logam berat dalam perairan akan lebih kecil dibandingkan pada musim kemarau, kandungan logam berat akan lebih terkonsentrasi. Besarnya konsentrasi Pb pada sedimen merupakan

pengendapan dari ion-ion Pb dalam perairan tambak, dimana ion-ion logam Pb menjadi lebih terkonsentrasi pada sedimen dibandingkan pada air tambak. Tabel 2. Konsentrasi Pb pada Air, Sedimen, dan Biota Waktu (minggu ke) Rerata (x) 2 CB (g.g1) CW(g.ml-1) CS(g.g-1) 1,659 ttd 5,916 4 1,917 ttd 5,917 6 3,436 1,040 5,920

CB= konsentrasi biota, CS= konsentrasi sedimen, CW= konsentrasi air Logam berat seperti Pb yang terlarut dalam badan perairan pada konsentrasi tertentu akan mengakibatkan racun bagi kehidupan perairan seperti yang dijelaskan dalam Pallar (1994). Pb yang pada perairan ditemukan dalam bentuk ion, keberadaan logam lain, proses fisiologi lele yang termasuk jenis ikan yang memperoleh makanan dari sedimen (bottom feeder) mempengaruhi tingkat logam Pb yang terakumulasi dalam tubuh ikan. Ion-ion Pb dalam perairan akan mengalami pengendapan yang dikenal

27

dengan istilah sedimen. Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi Pb sedimen terhadap pertambahan konsentrasi Pb biota digunakan persamaan : CS = aCB + b Ln CB = aCS + b (Persamaan 2) (Persamaan 3)

Dari kedua persamaan,linear skala normal dan linear skala logaritma alami, diperoleh nilai R2 yang sama baiknya. Dapat dikatakan bahwa konsentrasi Pb sedimen memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertambahan konsentrasi Pb biota uji. Dimana bertambahnya konsentrasi Pb dalam sedimen akan diikuti kenaikan konsentrasi Pb pada biota uji ikan lele. Digunakan analisis korelasi untuk melihat hubungan Pb sedimen dengan Pb ikan lele. Hasil menunjukkan signifikan pada taraf kepercayaan 95%, nilai thitung > ttabel (8,23 > 6,314) pada lampiran 4b, sehingga Ha diterima artinya Pb sedimen dan Pb biota memiliki hubungan yang signifikan. Konsentrasi Pb dalam sedimen relatif sama dari minggu pertama hingga minggu ketiga, karena kondisi kolam sudah lama sehingga ion Pb lebih besar terkonsentrasi pada sedimen. Air tidak terdeteksi pada minggu pertama hingga kedua disebabkan faktor iklim, aliran inlet dan outlet mengalir secara continue dan kondisi fisik air yang cenderung lebih bersih dibandingkan minggu ketiga kondisi air lebih keruh.

28

8

CT = 853.8 CS - 5048. R = 0.96 tulang

CS = 623.6 CS - 3687 R = 0.95 sirip

6 CO (g.g-1)

4 CD = 165.8 CS - 980.6 R = 0.99 daging 5.916 CS (g.g-1) 5.919

2

CK= 177.0 CS - 1047. R = 0.90 kulit

0 5.913

5.922

8

lnCT = 5053.CS - 8980. R = 0.96 tulang

lnCS = 3690.CS - 6558. R = 0.96 sirip

6 CO (g.g-1)

4 ln CK = 1048 CS - 1862. R = 0.90 kulit

2

0 5.913

ln CD = 981.7 CS - 1744. R = 0.99 daging 5.916 CSg.g-1)

5.919

5.922

Gambar 2. Konsentrasi rerata Organ (CO) dengan konsentrasi sedimen (CS) dalam skala biasa (atas) dan skala logaritma alami (bawah)

29

Tabel 3. Korelasi Pb sedimen dengan Pb kulit, Pb tulang, Pb daging, dan Pb sirip

Dari hasil analisis korelasi pada tabel 3, diatas menampilkan hasil dimana konsentrasi Pb pada sedimen dengan konsentrasi Pb pada tulang, sirip, daging, dan kulit ikan lele signifikan. Lampiran 4b, menunjukkan hasil pada masing-masing organ ikan lele, dengan thitung > ttabel berarti Ho ditolak. Dari hasil diatas menyatakan bahwa variable sedimen memiliki hubungan keeratan dengan masing-masing konsentrasi Pb pada setiap organ ikan lele.

C.

Konsentrasi logam Pb pada organ lele Hasil konsentrasi logam Pb pada setiap organ ikan lele (Clarias

batrachus) dapat dilihat pada Lampiran 5 dan Gambar 3. Konsentrasi Pb terdeteksi paling besar terdapat pada tulang ikan lele dibandingkan dengan sirip, daging, dan kulit lele. Selama penelitian dilakukan, yaitu interval 2 minggu pertama sampai 2 minggu ketiga, meskipun Pb tidak terdeteksi pada air tetapi Pb terdeteksi pada setiap organ ikan lele selama sampling dilakukan. Pb yang terdeteksi pada setiap organ ikan lele, bisa berasal dari makanan yang dimakan oleh lele dan absorpsi Pb dari lingkungan.

30

Konsentarsi Pb pada setiap organ ikan lele yang diuji, dianalisis dengan regresi linear berikut :6.4 Konsentrasi (g.g-1)

4.8

3.2

1.6

0 1 2 3 4 5 6 Waktu (minggu ke) Tulang Sirip Daging Kulit

8 7 konsentrasi (g.g-1) 6 5 4 3 2 1 0 0 2 Waktu (minggu ke) kulit daging sirip tulang 4 6

Gambar 3. Konsentrasi rerata setiap organ lele menurut waktu (minggu ke)

31

Untuk melihat adanya pengaruh yang kuat antar setiap organ, maka dibandingkan dengan menggunakan regresi linear skala alami dan regresi linear skala logaritma. Tabel 4. Konsentrasi Pb setiap organ ikan lele berdasarkan waktu (minggu ke) Waktu (g.g-1) Min-maks rerata SD KV 2 CT CS CD CK 4 CT CS CD CK 6 CT CS CD CK 3,215 3,515 2,615 2,840 0,590 0,740 0 3,515 3,365 2,690 3,065 0,740 1,040 0,365 0,440 5,840 6,965 4,565 5,915 1,115 2,090 0,665 0,890 3,308 2,727 0,684 0 3,496 2,821 0,890 0,421 6,533 5,071 1,358 0,777 0,142 0,097 0, 072 0 0,094 0,166 0,122 0,038 0,542 0,585 0,487 0,096 4 4 11 0 3 6 14 9 8 12 36 12

CT = konsentrasi Pb tulang, CD = konsentrasi Pb daging, CK = konsentrasi Pb kulit, CS =konsentrasi Pb sirip, KV (%), SD = Standar deviasi

32

8

6 CT (g.g-1)

4

CT= 6.547 CD - 1.421 R = 0.68

2 0 0.4 0.8 CD 1.2 (g.g-1) 1.6 2

8

6 CT (g.g-1)

4

ln CT = 5.430 (CD) + 5.169 R = 0.63

2 0 0.4 0.8 CD 1.2 (g.g-1) 1.6 2

Gambar 4. Konsentrasi tulang (CT) dengan konsentrasi daging (CD) dalam skala biasa (atas) dan skala logaritma alami (bawah)

33

Mulai dari minggu 2 hingga minggu 6 konsentrasi Pb pada organ tulang (CT) terus meningkat sebesar 3,308 - 6,533 g.g-1, begitu juga Pb pada sirip (CS) sebesar 2,727 - 5,071 g.g-1, daging (CD) sebesar 0,684 1,358 g.g-1, dan kulit (CK) sebesar 0 - 0,777 g.g-1. Digunakan analisis korelasi pada Lampiran 4a untuk mengetahui apakah ada hubungan keeratan antara empat variable yang digunakan, yaitu organ tulang, sirip, kulit, dan daging ikan lele yang di uji. Koefisien variasi (KV) didapatkan dengan membagi standar deviasi dengan rerata lalu dikalikan dengan 100 %. Nilai KV dihitung untuk melihat seberapa besar variasi konsentrasi logam Pb antar organ selama penelitian dilakukan. Angka koefisien variasi (KV) dari data setiap organ, yaitu tulang, sirip, daging, dan kulit memiliki rata-rata yang berbeda. Hasil seperti ini menunjukkan adanya variasi antar organ tulang dari minggu 2 sampai minggu 6. Untuk mellihat hubungan konsentrasi logam Pb dalam tulang dengan logam Pb dalam daging , digunakan, persamaan berikut : CT = aCD + b Ln CT = aCD + b (Persamaan 3) (Persamaan 4)

Dilihat dari persamaan regresi linear pada Gambar 4, konsentrasi Pb dengan skala alami diperoleh R2 sebesar 0,68, pada skala logaritma diperoleh R2 sebesar 0,63 sehingga penggunaan skala linear alami lebih baik,

34

namun memiliki hasil yang sama baiknya, Hasil yang didapat dari kedua persamaan menunjukkan bahwa konsentrasi Pb dalam daging mempengaruhi konsentrasi Pb dalam tulang yang semakin meningkat. Pada hasil interpretasi Lampiran 4a. memperlihatkan angka koefisian korelasi sebesar 0,771** pada taraf keperceyaan 99 % dengan thitung>

ttabel (3,81>2,23) ini menyatakan

bahwa konsentrasi Pb dalam tulang memiliki keeratan hubungan dengan konsentrasi Pb dalam daging. Konsentrasi Pb yang besar dalam tulang diakibatkan karena Pb dalam bentuk ion divalen (Pb2+) akan menggantikan posisi Ca2+ dalam tulang yang kosong, selain karena tulang merupakan tempat terdeposisinya logam khususnya ion Pb2+ yang mampu menggantikan Ca2+ didalam tulang sehingga menyebabkan penumpukan Pb. Dalam Rabinowitz (1991) menyatakan bahwa Pb lebih mudah terdistribusi secara terus menerus dalam waktu yang lama dalam jaringan lunak, seperti tulang sebagai akibat dari absorpsi Pb olah ikan. Jika konsentrasi dalam daging kecil, dikarenakan dalam daging bukan sebagai tempat deposit logam Pb melainkan hanya mendistribusikan logam Pb ke jaringan lainnya yang nantinya akan diekskresikan dan terdeposit dalam jaringan lunak. Pb dalam daging dapat berasal dari makanan, penyerapan air, dan kulit yang kemudian akan membawa ion Pb dalam darah.

35

Untuk melihat hubungan konsentrasi tulang dengan konsentrasi sirip, maka digunakan persamaan berikut : CT = aCS + b Ln CT = aCS + b (Persamaan 5) (Persamaan 6)

Dari Lampiran 4a, dapat dilihat dari nilai rerata bahwa konsentrasi Pb pada sirip akan diikuti pertambahan konsentrasi Pb dalam tulang. Nilai R2 sebesar 0,92 dari hasil analisis linear kedua variable menyatakan kedua variable memiliki pengaruh yang dekat. Hasil interpretasi dari analisis korelasi menunjukkan thitung > ttabel (4,43 > 2,764). Hal ini berkaitan dengan proses adsorpsi logam Pb yang didistribusikan dalam jaringan dan tubuh ikan serta fisiologi dari sirip ikan yang terdiri dari tulang. Sehingga selain logam Pb yang banyak pada tulang juga pada sirip. Kedua variable yang diuji memiliki pengaruh yang besar, jika konsentrasi Pb dalam tulang meningkat dapat dipastikan konsentrasi Pb dalam sirip juga akan meningkat sesuai pertambahan waktu. Selain dipengaruhi oleh organ lainnya lingkungan juga akan ikut berpengaruh pada organ sirip, disebabkan sirip memiliki kontak langsung dengan lingkungan air terutama sedimen yang logam berat Pb tinggi, sehingga ion Pb yang terabsorpsi melalui kulit bagian sirip segera teradsorpsi oleh tulang dan kemudian bertumpuk dalam sirip dan tulang ikan lele.

36

8

6 CT (g.g-1) 4

CT = 1.279 CS - 0.083 R = 0.92

2 2 3 CS 4 (g.g-1) 5 6

8

6 CT (g.g-1) 4

ln CT= 5.006 CS - 1.657 R = 0.93

2 2 3 4 CS (g.g-1) 5 6

Gambar 5. Konsentrasi sirip (CS) dengan konsentrasi tulang (CT) dalam skala biasa (atas) dan skala logaritma alami (bawah)

37

Pada Tabel 4, ditampilkan nilai rerata bahwa pertambahan konsentrasi Pb kulit juga diikuti pertambahan besar konsentrasi Pb daging. Analisis regersi linear tidak dapat digunakan karena konsentrasi Pb kulit pada interval minggu pertama tidak terdeteksi. Namun untuk melihat adanya hubungan antara variable kulit dan daging ditampilkan pada lampiran 4a, dimana hasil analisis korelasi menunjukkan hasil yang signifikan artinya kedua variable memiliki hubungan keeratan dengan thitung > ttabel (3,030 > 1,812) sehingga Ho ditolak. Pada penelitian yang pernah dilakukan oleh Supriyanto (2007) konsentrasi Pb dalam daging ikan lele yang terindikasi dari selokan mataram sebesar 0,0165 dengan menggunakan lele berumur 2 bulan atau sekitar 8 minggu. Sedangakan pada penelitian ini didapatkan konsentrasi Pb dalam daging ikan lele sebesar 0,341. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya konsentrasi pb daging dalam penelitian ini, yaitu : penelitian yang dilakukan pada tahun yang berbeda, lokasi penelitian serta faktor lingkungan pada saat penelitian dilakukan. Sedangkan konsentrasi Pb dalam kulit tidak terdeteksi pada minggu pertama karena beberapa faktor dari lingkungan dan faktor pada saat pengukuran dilakukan. Seperti yang dinyatakan Darmono (1995) logam berat sangat kecil terdapat pada kulit meskipun logam dapat diabsorpsi melalui kulit. Faktor pengukuran dapat terjadi karena Pb dalam kulit

38

kemungkinan sangat kecil atau berada di bawah limit deteksi alat yaitu 0,029. Menurut (Goyer, 1990), Pb dapat diabsorpsi tubuh melalui inhalasi, makanan, dan kulit. Logam berat Pb yang masuk melalui kulit jumlah dan absorpsinya relative lebih kecil, karena logam akan terdistribusikan ke dalam jaringan tubuh ikan, kemudian melalui darah dan terdeposit di dalam tulang, menurut Daland (1995) sekitar 90% logam berat Pb akan terdeposit di dalam tulang sehingga logam Pb jauh lebih besar terdapat pada tulang, dibandingkan dengan daging dan kulit yang memiliki peran sebagai pendistribusi logam. Nilai R2 yang ditampilkan pada Gambar 4 sebesar 0,61 pada skala linear sederhana, dan pada skala logaritma nilai R2 sebesar 0,56. Hal ini menyatakan bahwa kedua variable memiliki pengaruh pertamabahan logam Pb antara Pb sirip dan Pb tulang. Pada lampiran 4a, hasil analisis korelasi menyatakan hal yang sama, dimana thitung > ttabel (10,45-2,765) jadi Ho ditolak artinya kedua variable memiliki hubungan dalam hal konsentrasi Pb, baik variable dependen (daging) dan variable independen (sirip). Adanya hubungan antara kedua variable tersebut, menyatakan bahwa konsentrasi Pb dalam daging akan ikut berpenagruh terhadap pertambahan konsentrasi pb dalam sirip yang tersusun atas tulang rawan. Dalam Connel (2006) logam Pb banyak terdapat dalam jaringan tulang mahluk hidup.

39

6

5 CS (g.g-1)

4

CS = 4.637 CD - 0.616 R = 0.61

3

2 0 0.4 CD (g.g-1) 0.8 1.2

6

5 CS (g.g-1)

4 lnCS = 3.828CD + 4.049 R = 0.56 3

2 0 0.4 CD (g.g-1) 0.8 1.2

Gambar 6. Konsentrasi sirip (CS) dengan konsentrasi daging (CD) dalam skala biasa (atas) dan skala logaritma alami (bawah)

40

Dari ketiga gambar grafik linear yang ditampilkan, maka sesuai dengan pernyataan Darmono (1995), bahwa logam yang tidak diregulasi (kemampuan mengeluarkan logam dalam jumlah yang relative besar dalam tubuhnya) oleh organisme air ialah logam yang terus menerus terakumulasi oleh jaringan organisme, sehingga kandungannya dalam jaringan dan organ akan meningkat sesuai kenaikan konsentrasi dan lingkungannya, serta logam ini hanya diekskresikan sedikit sekali, biasanya terhadap logam non esensial seperti Pb. Pounds et al., (1991), menyatakan bahwa tulang merupakan jalur utama deposisi dan akumulasi logam Pb. Konsentrasi logam Pb (g.g-1) pada ikan lele Clarias sp pada beberapa penelitian yang dilakukan.Olaifa, 2003

konsentrasi Pb (g.g-1)

Penelitian ini, 2010

Supriyanto.2007

Rosdiana.2008

0

1

2

3

4 Sumber data

5

6

7

8

Gambar 7. Konsentrasi Pb pada ikan lele (Clarias sp) dari berbagai sumber pustaka penelitian

41

Dari data pada Gambar 7 dan Lampiran 5, dapat dilihat konsentrasi pada penelitian ini lebih besar yaitu 0,341 g.gr-1 dibandingkan dengan Pb ikan pada selokan mataram 0,0165 g.gr-1, kedua data tersebut dibandingkan meninjau dari sumber air yang digunakan pada tambak berasal dari selokan mataram. Besarnya konsentrasi Pb pada penelitian ini, dikarenakan pada selokan mataram air mengalir secara kontinue sehingga logam berat yang ada pada perairan selokan mataram akan ikut bergerak searah aliran sementara pada tambak aliran air cenderung tetap dan stabil, selain itu logam Pb yang masuk dalam perairan akan mengalami pengendapan bahan-bahan organik dan anorganik yang tersuspensi ke dalam air. Selain faktor sumber aliran air, faktor lingkungan sekitar juga akan mempengaruhi konsentrasi logam Pb dalam daging ikan lele. Terutama air dalam selokan mataram berasal dari sungai boyong yang pada bagian hulunya banyak kegiatan pertanian maupun kegiatan rumah tangga yang membawa partikel anorganik ke daerah hilir termasuk selokam mataram. Berdasarkan laporan Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Sleman, kualitas Selokan Mataram semakin menurun bahkan pencemarannya diketahui sangat tinggi. Pencemaran terutama disebabkan adanya masukan limbah dari berbagai aktifitas masyarakat, seperti limbah rumah tangga, warung makan, dan kegiatan masyarakat sekitar. Adanya pencemaran di

42

Selokan Mataram mempengaruhi penduduk sekitar terutama pada bidang perikanan dan pertanian (Bernas Jogja, 2010) Dari tabel 2 dan tabel 3, Sesuai baku mutu air golongan C untuk perikanan, batas logam Pb yang diizinkan sebesar 0,03 mg.l-1 (Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20), sangat jauh perbedaan dengan konsentrasi logam berat Pb yang terukur dalam air sebesar 1,040 mg.l-1. Hal ini dapat menentukan tingkat pencemaran logam Pb pada sebagian sector perikanan di daerah sekitar selokan mataram terutama yang sumber airnya berasal dari selokan mataram yang sudah tercemar sangat tinggi (berdasarkan laporan Kantor Lingkungan Hidup) wilayah Sleman.

D.

Akumulasi Pb pada ikan lele Logam berat Pb yang ada dalam lingkungan khususnya akuatik,

masuk ke dalam jaringan tubuh mahluk hidup melalui beberapa jalan, yaitu saluran pernapasan, pencernaan, dan penetrasi melalui kulit (Darmono, 2001). Untuk menghitung besarnya akumulasi Pb dan persen akumulasi Pb dalam tubuh ikan, digunakan perhitungan : AOrgan = MOrgan BOrgan ATotal = AT + AS + AD + AK (Rumus 1) (Rumus 2) (Rumus 3)

43

30 25 20 Atotal (g) 15 10 5 0 2

Atotal (g)

daging kulit sirip tulang

4 waktu (minggu ke)

6

Atotal (%)100% 90% 80% 70% Atotal (%) 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 2 4 waktu (minggu ke) 6 Kulit Daging Sirip Tulang

Gambar 8. Akumulasi total (atas) dan persen Akumulasi total Pb pada Ikan Berdasarkan Waktu

44

Dari Gambar 8 yang ditampilkan, akumulasi total Pb dalam tubuh ikan semakin besar menurut pertambahan waktu, kemudian diikuti persen akumulasi Pb yang juga semakin besar berdasarkan pertambahan waktu atau umur. Menurut Waldichuk (1974) sebagian besar logam berat yang terakumulasi dalam tubuh organisme masuk melalui rantai makanan dan sedikit yang masuk melalui air. Sedangkan proses akumulasi logam dalam jaringan terjadi setelah absorpsi logam dari air atau melalui pakan yang terkontaminasi, ikan lele termasuk dalam golongan ikan yang memperoleh makanannya dari sedimen (bottom feeder), proses bioakumulasi logam dalam tubuh ikan cukup bervariasi, bergantung pada jenis logam dan spesies ikan.

45

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN 1. Konsentrasi Pb dalam organ ikan lele semakin bertambah sejalan bertambahnya waktu. Konsentrasi Pb tertinggi pada organ ikan lele terdapat dalam tulang (CT) sebesar 3,308-6,553 g.g-1, pada sirip (CS) sebesar 2,727-5,071 g.g-1, daging (CD) 0,684-1,358 g.g-1, dan kulit (CK) 0-0,777 g.g-1 2. Akumulasi total Pb organ ikan lele, lebih besar terdapat pada tulang sebesar 5,149-13,512 g, pada sirip sebesar 2,501-5,313 g, pada daging sebesar 2,436-5,059 g dan pada kulit sebesar 0,568-1.003 g

B. SARAN Jika ingin melakukan penelitian yang serupa, sebaiknya jangan hanya pada satu lokasi, sebaiknya pada 3 lokasi untuk digunakan sebagai pembanding.

46

DAFTAR PUSTAKA

Alfons, A. Maramis*.,et.,al. 2006. Sebaran Logam Berat dan Hubungannya Faktor Fisik-Kimia di Sungai Kreo, Semarang. Jurusan Biologi UKSW Vol 1. No.2 April 2006: 93-98 Anonim. 2010. Pencemaran Selokan Mataram Semakin Parah. Bernas Jogja., 20 November 2010 Anonim. 1985. Panduan Bahan Berbahaya., Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jendral, Pengawasan Obat dan Makanan; Jakarta. Bachtiar I., dan Prasetyo. B, 1984. Kualitas Perairan di Daerah Cilacap. Simposium. Pengkajian atas Usaha peningkatan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Cilacap, Pertamina. Bryan, G. W., 1979. Bioaccumalation of Marine Pollutants. Phil. Trans.Soc. London, Ser. B. Cornell, D. W. Gregory, J. Miller. Koestoer, Yanti (Editor). 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Universitas Indonesia Press: Jakarta Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Hubungannya dengan Toksikologi Senyawa Logam. Universitas Indonesia Press: Jakarta ________. 1994. Logam Dalam Sistem Biologi Mahluk Hidup. UI Press, Jakarta Daland. R. Juberg, Ph.D. 1995. Lead and Human Health : An Update. First Edition. American Council on Science and Health, Inc : New York Djuhanda. 1981. Dunia Ikan. Penerbit; Armico. Bandung Djohan., dan Tabbu., 2010. Akumulasi Timbal dalam Cakar Ayam Kampung. UKDW., Yogyakarta. Jurusan Biologi UKDW. Jurnal veteriner vol.11 No.1: 7-16 Effendi., M. I., 2002. Biologi Perikanan., Edisi kedua. Yayasan Pustaka Nustama ; Yogyakarta

47

Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanisius Goyer., R.A. 1990. Lead Toxicity. Env. Health Perspect. 86:177-181 Herman, D. Z. 2006. Tinjauan terhadap Tailing Mengandung Unsur Pencemar Arsen (As), Merkuri (Hg), Timbal (Pb), Kadmium (Cd) dari Sisa Pengolahan Bijih Logam. Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 1 Maret 2006: 31-36; hal 34. Hutabarat, S. dan Hewart M. E., 1985. Pengantar Oseanografi, Universitas Indonesia. Hutagalung, H. P. 1991. Pencemaran Laut oleh Logam Berat dan Petunjuk Praktek Logam Berat. Makalah disampaikan pada Kursus Pemantauan Pencemaran Laut IV. LIPI UNESCO UNDP Jakarta 15 Februari 21 Maret 1991. IPCS (International Programme on Chemical Safety). 1988. Environmental Health Critearia. EHC 61. World Health Organization, Geneva. Jerry, M.,Neef.,Ph.D. 2002. Bioaccumulation in Marine Organis. Elsevier. Duxbury Massachusetts, USA. Laws, Edward A,. 1981. Aquatic Pollution. A Wiley-Publication, New York. Leckie, J.O. and James, R.O. 1974.Control Mechanism for Trace Metals in Natural Waters. Dalam A.J. Rubin (Ed), AqueousEnvironmental Chemistry of Metals. Ann Arbor, Michigan, hlm. 1 Pallar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta: Jakarta Paustenbach, D. J. et al., 1997. The Cricitical Role of House dust in understanding the hazard posed by contaminated soil. Int. J. Toxicol. 16:339-362 Pounds, J. G.,Long,G.J.,and Rosen, J.F. 1991. Celluler and Moleculer Toxicity of Lead in Bone. Env. Health Perspect. 91 : 17-32. Purnomo, Tarzan. Muchyidin. 2007. Jurnal : Analisis Kandungan Timbal (Pb) pada Ikan Bandeng (Chanos chanos Forks.) di Tambak Kecamatan Gresik. Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Neptunus, Vol. 14, No. 1, Juli 2007: 68 77 Sastrawijaya, A, T. 1991. Pencemaran lingkungan. Rineka Cipta, Jakarta.

48

Siaka, M., C.M. Owens, and G.F. Birch, 2000. Distribution of Heavy Metals Between Grain Size, Review Kimia, Vol. 3 (2). Surya. 2010. Peningkatan Perikanan Ikan Lele. Spirit Bisnis, report on 11-112010 Sitting, M. 1991. Handbook of Toxic and Hazardous Chemicals and Carcinogens 3rd ed. Noyes Publication, New Jersey. Wardhana, W.A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan (Edisi Revisi) Ed III. Andi Offset: Yogyakarta Wulandari, Sri.et.al. 2005. Identifikasi Bakteri Pengikat Timbal (Pb) pada Sedimen di Perairan Sungai Siak. Jurnal Biogenesis Vol.1(2):62-65,2005. Universitas Riau Pekanbaru.

49