naskah akademik peraturan di desa
DESCRIPTION
Konsep Naskah Akademik, Pemerintahan Daerah, Pemerintah Desa, Peraturan Perundang-undanganTRANSCRIPT
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG
PERATURAN DI DESA
Disusun oleh :
TIM PENYUSUN
BAGIAN PEMERINTAHAN DESA DAN KELURAHAN
SEKRETARIAT DAERAH
KABUPATEN KARANGANYAR
TAHUN 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sejarah pengaturan Desa, telah ditetapkan beberapa
pengaturan tentang Desa, yaitu :
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok
Pemerintahan Daerah;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah;
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah;
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja
Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya
Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia;
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah;
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan
Desa;
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah; dan terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
Berdasarkan catatan sejarah diatas, dapat kita lihat bahwa
pengaturan tentang desa selalu berhimpit dengan pengaturan tentang
pemerintahan daerah, atau dapat diartikan bahwa pengaturan tentang
desa dari sejak dahulu telah menjadi tarik ulur dalam ranah
desentralisasi, apakah menjadi bagian dari otonomi daerah kabupaten
atau merupakan otonomi desa.
2
Namun, pengaturan yang ada selama ini juga lebih pada desa
sebagai bagian dari desentralisasi kabupaten/kota. Salah satu dari
dampak reformasi adalah munculnya tuntutan otonomi, diawali dengan
otonomi Daerah yang menggulirkan era desentralisasi yang
memberikan kewenangan kepada Kabupaten/kota untuk mengatur
daerahnya masing-masing. Kewenangan ini selanjutnya diatur dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, yang pada perkembangan berikutnya dicabut dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, dan terakhir Undang-Undang tersebut dicabut dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
Pada kedua Undang-Undang awal, pengaturan tentang desa
masuk dalam substansi dan pada struktur UU, diatur dalam Bab
tersendiri, namun berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa, pengaturan tentang Desa pada UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dicabut. Mengenai hal ini
tercantum pada Pasal 121 Bab XVI Ketentuan Penutup, yang
berbunyi1:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pasal 200 sampai dengan Pasal 216 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Dengan demikian jelaslah sudah bahwa Desa telah berada diluar
otonomi Pemerintahan Daerah. Desa berstatus mandiri dan diakui
sebagai otonomi desa. Tujuan ditetapkannya pengaturan Desa dalam
1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
3
Undang-Undang ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18B ayat
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
yaitu:
1. memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang
sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas
Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi
mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;
3. melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya
masyarakat Desa;
4. mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat
Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna
kesejahteraan bersama;
5. membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan
efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
6. meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa
guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;
7. meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa
guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara
kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
8. memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi
kesenjangan pembangunan nasional; dan
9. memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek
pembangunan.2
Mengenai hal ini selanjutnya diperjelas dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah. Dimana pada UU terakhir ini, substansi tentang Desa sudah
2 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
4
tidak tercantum lagi, dan pada struktur UU tidak terdapat pengaturan
Bab tentang Desa.
Reformasi penyelenggaraan pemerintahan desa pada
hakekatnya adalah suatu proses pembalikan paradigma politik, dimana
proses demokratisasi yang selama Orde Baru berproses dari atas,
kemudian dibalik melalui proses yang berangkat dari desa. Dalam
paradigma baru tersebut, desa merupakan kesatuan hukum yang
otonom dan memiliki hak dan wewenang untuk mengatur rumah
tangga sendiri3.
Mengenai pertimbangan dari penyusun UU tentang Desa dapat
dibaca pada naskah Akademik RUU tentang Desa yang menjelaskan
sebagai berikut4:
Posisi Desa administratif itu membawa konsekuensi atas keterbatasan kewenangan Desa, terutama pada proses perencanaan dan keuangan. Kewenangan asal-usul (asli) susah diterjemahkan dan diidentifikasi karena keberagamannya. Kewenangan dalam bidang-bidang pemerintahan yang diserahkan oleh/dari kabupaten lebih banyak bersifat kewenangan sisa yang tidak dapat dilaksanakan oleh Kebupaten/Kota dan mengandung banyak beban akena tidak disertai dengan pendanaan yang semestinya. Misalnya kewenangan Desa untuk memberikan rekomendasi berbagai surat administratif, dimana Desa hanya memberi rekomendasi sedangkan keputusan berada di atasnya. Keterbatasan kewenangan itu juga membuat fungsi Desa menjadi terbatas dan tidak memberikan ruang gerak bagi Desa untuk mengurus Tata Pemerintahannya sendiri.
Konsekuensi dari pengakuan atas otonomi asli adalah Desa
memiliki hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat (self governing
community), dan bukan merupakan kewenangan yang diserahkan
pemerintahan atasan pada Desa.
3 Ali fauzan, Implementasi Peraturan Pemeirntah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa Terkait dengan Peran Badan Permusyawaratan Desa dalam Penyusunan dan Penetapan Peraturan Desa di Kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes, Disertasi Program Pascasarjana Undip, 2010.
4 Naskah Akademik RUU tentang Desa
5
Dengan pengaturan UU tersendiri maka desa sebagai bagian
pemerintahan dalam negara kesatuan Republik Indonesia diakui
secara yuridis memiliki kewenangan otonom. Hal ini tampak dari
tujuan diatas, dimana status desa sebelum dan sesudah
kemerdekaan RI menjadi jelas dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia. Dalam pertimbangan UU Desa disebutkan bahwa dalam
perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah
berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan
diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis
sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam
melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju
masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Efektivitas dan efisiensi pembangunan membutuhkan
terpenuhinya prasyarat berupa tata pemerintahan yang baik dan
bersih (good and clean government). Aspek-aspek penyelenggaraan
pemerintahan mengeliminasi praktek-praktek tidak sehat dan
merupakan mekanisme kontrol dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah Desa
dalam menyelenggarakan pemerintahan di desa juga harus
menerapkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik. Guna
mendukung pelaksanaannya maka perlu adanya pengaturan yang
jelas sebagai pedoman dan guna mewujudkan kepastian hukum
dalam penyelenggaraan pemerintahan di desa.
Meskipun masyarakat desa lebih bersifat homogen namun
sebagaimana adanya pola hubungan antar individu, maupun antar
individu dengan Pemerintah Desa, antara lembaga yang ada di desa
dan semua komponen yang berkepentingan di desa, maka perlu
disepakati norma-norma yang secara positif mengikat dan diakui serta
terlembaga dalam bentuk-bentuk peraturan perundangan.
6
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Permasalahan apa yang dihadapi terkait Peraturan di Desa selama
ini serta bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi.
2. Mengapa perlu Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar
pemecahan masalah tersebut?
3. Apa saja pengaturan dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
terkait Peraturan di Desa yang perlu ditindaklanjuti dengan
Peraturan Daerah?
4. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis,
sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah
tentang Peraturan di Desa?
5. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan Rancangan Peraturan Daerah
tentang Peraturan di Desa?
C. Maksud dan Tujuan Penyusunan Naskah Akademik
1. Maksud penyusunan Naskah Akademik
Adapun maksud penyusunan Naskah Akademik ini adalah
untuk menjelasakan tentang latar belakang perumusan ketentuan
dalam rancangan peraturan daerah tentang Peraturan di Desa,
sehingga dapat memberikan gambaran dalam pelaksanaan
peraturan tersebut dimasa yang akan datang.
2. Tujuan Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan
Daerah tentang Peraturan di Desa
Tujuan Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan
Daerah (Raperda) tentang Peraturan di Desa adalah sebagai
berikut:
a. untuk mengidentifikasi permasalahan-permasalahan yang
berkaitan dengan Peraturan di Desa;
7
b. untuk merumuskan pengaturan yang merupakan pemecahan
permasalahan berkaitan dengan Peraturan di Desa;
c. untuk merumuskan pengaturan sesuai dengan kondisi daerah
guna menindaklanjuti perintah undang-undang;
d. untuk menyiapkan rumusan konsep Rancangan Peraturan
Daerah (Raperda) tentang Peraturan di Desa yang
komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan secara
filosofis, yuridis dan sosiologis sehingga peraturan daerah yang
diundangkan dapat diterapkan di masyarakat dan tidak
menimbulkan permasalahan baru dimasa yang akan datang.
e. merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan
Peraturan Daerah (Raperda) tentang Peraturan di Desa .
3. Kegunaan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah
tentang Peraturan di Desa
Penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai acuan
atau referensi dalam penyusunan dan pembahasan Rancangan
Peraturan Daerah tentang Peraturan di Desa. Apabila dikemudian
hari terdapat perbedaan persepsi mengenai penafsiran akan
peraturan daerah ini, maka dengan melihat naskah akademik
ranperda ini akan jelas maksud dari perumusan raperda ini.
Diharapkan rumusan naskah akademik akan membantu
memperjelas maksud dan tujuan disusunnya ranperda ini.
D. Metode Penyusunan Naskah Akademik
1. Lokasi Kegiatan yang menjadi Obyek Kajian
Kegiatan penyusunan naskah akademik rancangan
peraturan daerah tentang Peraturan di Desa dilakukan di
Kabupaten Karanganyar dengan obyek kajian adalah 162 Desa
yang ada di Kabupaten Karanganyar.
8
Data diperoleh dengan melakukan kajian secara normatif
dan didukung dengan kejadian empirik yang selama ini dihadapi
oleh Pemerintah Kabupaten Karanganyar, khususnya yang
berkaitan dengan permasalahan Peraturan di Desa yang timbul
selama ini dan potensi permasalahan dimasa yang akan datang
dengan adanya peraturan perundang-undangan yang baru.
2. Metode Penelitian
Penyusunan Naskah Akademik terhadap Rancangan
Peraturan Daerah tentang Peraturan di Desa ini dilakukan dengan
menggunakan metode penelitian ilmiah pada umumnya. Hal ini
guna mendapatkan hasil kajian yang ilmiah sebagai dasar dalam
perumusan sebuah kebijakan, dalam hal ini bentuk kebijakan
tersebut adalah peraturan perundang-undangan berbentuk
peraturan daerah, dimana akan berdampak pada masyarakat
secara luas karena akan diberlakukan diseluruh Kabupaten
Karanganyar.
Berdasarkan penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maka,
penelitian hukum dapat dilakukan melalui metode yuridis
normatif dan metode yuridis empiris5.
a. Metode yuridis empiris dikenal juga
dengan penelitian sosiolegal.
Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian
yang diawali dengan penelitian normatif atau penelaahan
terhadap Peraturan Perundang-undangan (normatif) yang
dilanjutkan dengan observasi yang mendalam serta
penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor
nonhukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap
Peraturan Perundang-undangan yang diteliti.
5 Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
9
Metode pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan menelaah
data primer sebagai penunjang dan untuk mengkonfirmasi data
sekunder yang diperoleh dengan mengadakan diskusi
bersama para pemangku kepentingan. Dalam penyusunan
naskah akademik ranperda tentang Peraturan di Desa ini,
apabila metode ini digunakan maka yang bertindak sebagai
pemangku kepentingan adalah :
1) Pemerintah Daerah yang direpresentasikan dengan Satuan
Kerja Perangkat Daerah atau unit kerja yang memiliki tugas
pokok dan fungsi dibidang pembinaan, pengembangan dan
pemberdayaan Pemerintahan Desa;
2) Badan Permusyawaratan Desa;
3) Kepala Desa yang sedang atau pernah menjabat;
4) Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa.
Pengumpulan data primer dan sekunder dalam metode
penelitian ini akan melibatkan langsung pemangku kepentingan
tersebut. Namun yang menjadi permasalahan adalah
keberagaman latar belakang dari pemangku kepentingan yang
mengakibatkan faktor faktor eksternal yang berpengaruh
menjadi sangat kompleks. Kompleksitas ini mengakibatkan sulit
untuk memilah data-data yang ada. Oleh sebab itu, maka
metode ini sulit diterapkan dalam penyusunan naskah
akademik ini.
b. Metode yuridis normatif dilakukan
melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data
sekunder yang berupa Peraturan Perundang-undangan,
putusan pengadilan, perjanjian, kontrak, atau dokumen
hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan
referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat dilengkapi
dengan wawancara, diskusi (focus group discussion), dan
rapat dengar pendapat.
10
Untuk memperoleh data dilakukan dengan usaha studi
dokumen atau studi pustaka yang meliputi usaha-usaha
pengumpulan data dengan cara mengunjungi perpustakan-
perpustakaan, membaca, mengkaji dan mempelajari bahan
pustaka yang mempunyai kaitan erat dengan pokok
permasalahan.
Selanjutnya data yang diperoleh, diedit, diidentifikasi secara
khusus objektif dan sistematis diklarifikasikan, disajikan dan
selanjutnya dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan
permasalahan kajian.
Meskipun pada pengkajian kurang memperhatikan aspek
empiris, namun metode ini lebih dapat diandalkan dalam
penyusunan naskah akademik ranperda tentang Peraturan di
Desa.
Aspek empiris tetap menjadi bahan pertimbangan, namun
guna memudahan pengkajian maka aspek empiris disajikan
sebagai bahan pelengkap guna mendukung bahan kajian dari
data primer yang merupakan peraturan perundang-undangan
dan bahan pustaka.
Penyusunan naskah akademik Rancangan Peraturan
Daerah tentang Peraturan di Desa dilakukan dengan
menggunakan metode yuridis normatif. Diawali dengan
melakukan mengumpulkan data peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan Peraturan di Desa baik ditingkat
pusat maupun di Kabupaten Karanganyar.
Berdasarkan data peraturan perundang-undangan yang
ada dilakukan pengkajian dengan menyandingkan masing-
masing peraturan satu dengan yang lain guna melihat
keterkaitan substansi yang diatur. Selanjutnya disusun daftar
inventarisasi permasalahan terkait Peraturan di Desa yang
selama ini muncul di Kabupaten Karanganyar. Penyusunan
11
DIM ini didasarkan pada pengalaman empiris penyusun naskah
akademik yang merupakan perangkat daerah yang selama ini
menangani permasalahan terkait pemerintahan desa.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, meskipun didasarkan
pada kejadian empiris, namun metode yuridis empiris tidak
dapat dilakukan pada penyusunan naskah akademik ini karena
keterbatasan waktu dan tenaga penyusun, oleh sebab itu
penyusunan DIM dilakukan berdasarkan pengalaman empiris
yang dilengkapi dengan kajian potensi permasalahan yang
muncul terkait penerapan peraturan perundang-undangan yang
baru.
Selanjutnya data yang diperoleh, diedit, diidentifikasi secara
khusus objektif dan sistematis diklarifikasikan, disajikan dan
selanjutnya dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan
permasalahan kajian, dalam hal ini berkaitan dengan Peraturan
di Desa.
E. Sistematika Penulisan Naskah Akademik
Penyusunan naskah akademik Rancangan Peraturan Daerah
(Raperda) tentang Peraturan di Desa disusun dengan sistematika
sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Berisi tentang latar belakang penyusunan naskah
akademik, identifikasi permasalahan, naksud dan
tujuan penyusunan naskah akademik rancangan
peraturan daerah tentang Peraturan di Desa, metode
penyusunan naskah akademik dan sistematika
penulisan naskah akademik.
BAB II : KAJIAN TEORITIK DAN PRAKTEK EMPIRIS YANG
BERKAITAN DENGAN PERATURAN DI DESA
12
Berisi tentang kajian teoritik tentang Pemimpin,
Kepemimpinan, Desa sebagai organisasi
pemerintahan, dan Peraturan di Desa sebagai
Pemimpin. Kajian terhadap asas/prinsip yang
terkait dengan penyusunan norma, Kajian terhadap
praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta
permasalahan yang dihadapi masyarakat, dan Kajian
terhadap implikasi penerapan sistem baru yang
akan diatur dalam Peraturan Daerah terhadap aspek
kehidupan masyarakat.
BAB III : EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN BERKAITAN DENGAN
PERATURAN DI DESA
Bab ini memuat hasil kajian terhadap Peraturan
Perundangundangan terkait yang memuat kondisi
hukum yang ada, keterkaitan Undang-Undang dan
Peraturan Daerah baru dengan Peraturan
Perundang-undangan lain, harmonisasi secara
vertikal dan horizontal, serta status dari Peraturan
Perundang-undangan yang ada, termasuk Peraturan
Perundang-undangan yang dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku serta Peraturan Perundang-undangan
yang masih tetap berlaku karena tidak
bertentangan dengan UndangUndang atau
Peraturan Daerah yang baru.
BAB IV : LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN
YURIDIS BERKAITAN DENGAN PERATURAN DI
DESA
Berisi uraian tentang landasan filosofis, sosiologis dan
yuridis penyusunan naskah akademik.
13
BAB V : JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG
LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN
DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR TENTANG
PERATURAN DI DESA
Menguraikan arah pengaturan dari Rancangan
Peraturan Daerah tentang Peraturan di Desa.
BAB VI : PENUTUP
Berisi kesimpulan dan saran.
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS
14
A. Kajian Teoritis
1. Sumber Hukum
Sumber hukum bermacam-macam pengetian adalah
tergantung pada sudat mana kita melihanya. Namun demikian
sebagai gambaran berikut dua pakar hukum dibawah ini sebagai
gambaran tentang sumber hukum. Pengertian Sumber Hukum
Menurut Sudikno Mertokusumo, yaitu :
a. sebagai asas hukum sebagai suatu yang merupakan
permulaan hukum, misalnya kehendak Tuhan, akal manusia,
jiwa bangsa dan sebagainya;
b. Menunjukkan hukum terdahulu yang memberi bahan-bahan
pada hukum yang sekarang berlaku, seperti hukum prancis,
hukum romawi dan lain-lain;
c. Sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan berlaku
secara formal kepada peraturan hukum (penguasa atau
masyarakat);
d. mengenal hukum seperti; dokumen, undang-undang, lontar,
batu tertulis, dan sebagainya;
e. Sebagai sumber terjadinya hukum atau sumber yang
menimbulkan hukum.
Sedangkan menurut Joeniarto bahwa sumber hukum dapat
dibedakan menjadi :
a. sumber hukum dalam artian sebagai asal hukum positif,
wujudnya dalam bentuk yang konkrit berupa keputusan dari
yang berwewenang;
b. sumber hukum dalam artian sebagai tempat ditemukannya
aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan hukum positif. Entah
tertulis atau tak tertulis;
15
c. sumber hukum yang dihubungkan dengan filsafat, sejarah, dan
masyarakat. Kita dapatkan sumber hukum filosofis histories dan
sosiologis.
Sumber Hukum memiliki 2 (dua) arti yaitu Sumber Hukum
dalam arti materiil dan Sumber Hukum dalam arti formal.
Sumber hukum formal diartikan sebagai tempat atau sumber
dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Atau
menurut Utrecht sumber hukum formil adalah sumber hukum yang
dikenal dari bentuknya.
sumber hukum dalam arti formal lebih membahas tentang
"dimana dapat ditemukan aturan-aturan hukum tersebut."
Pada saat mempelajari ilmu hukum positif, sumber hukum dalam
arti formal lebih penting dibandingkan sumber hukum dalam arti
materiil. Hal ini dikarenakan sumber hukum dalam arti formal itu
menjelaskan tentang dimana menemukan ketentuan-ketentuan
hukum untuk dapat mengetahui apa hukum positif Indonesia itu
sebenarnya.
Sumber hukum dalam arti formal penting bagi pengetahuan
dan penguasaan hukum positif untuk keperluan praktis, sedangkan
sumbur hukum dalam arti materiil merupakan suatu usaha
pendalaman teoritis tentang hukum.
Sedangkan hukum materiil adalah sumber hukum yang
mentukan isi hukum.Dengan demikian bahwa sumber hukum
formal ini sebagai bentuk pernyataan berlakuknya hukum materiil.
Sumber hukum dalam arti materiil lebih menekankan pada
permasalahan "mengapa hukum itu mengikat" dan "apa kekuatan
hukum yang membuat hukum itu memiliki sifat mengikat".
Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa sumber hukum
materiil lebih menekankan pada penjelasan tentang hukum itu
sendiri, berupa sifat-sifat hukum, landasan sifat hukum itu dan
sebagainya. Sumber hukum materiil juga membahas tentang
16
mengapa orang mentaati hukum. Ada sebuah perspektif bahwa
sebuah masyarakat mentaati hukum karena takut akan sanksinya,
ada juga yang mengetakan karena memang orang itu taat dan
soleh yang dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk,
ada juga anggapan bahwa masyarakat tunduk pada hukum karena
pengaruh lingkungannya,dan masyarakat mentaati hukum karena
adanya alasan-alasan pragmatis. Dimana ketentuan hukum yang
tidak ada hubungannya dengan kehidupan atau pengaruh budaya
termasuk agama, peraturan hukum dinamakan sebagai netral
budaya (cullturally noutral). Akhirnya dapat dikatakan bahwa orang
mentaati hukum karena kombinasi semua faktor yang telah
disebutkan tadi.
Bahwasanya sumber hukum tata Negara tidak terlepas dari
pada sumber hukum formil dan materil
pertama, sumber hukum materil tata Negara adalah sumber
hukum yang menentukan isi kaidah hukum tata Negara, yaitu:
a. dasar dan pandangan hidup bernegara sepeti pancasila;
b. kekuatan politik yang berpengaruh pada saat merumuskan
kaidah hukum tata Negara. Sepeti halnya denga kekuatan
dalam proses perumusan dan perancangan perundang-
undangan yang tidak lepas dari pada kepentingan kelompok
partai dalam merumuskan hukum.
Kedua, sedangkan sumber hukum dalam arti formal, yaitu:
a. hukum perundang-undangan ketatanegaraan adalah hukum
tertulis yang dibentuk dengan cara-cara tertentu oleh pejabat
yang berwewenang dan dituangkan dalam bentuk tertulis;
b. hukum adat ketatanegaraan merupakan hukum asli bangsa
Indonesia yang tertulis, namun tumbuh dan dipertahankan oleh
masyarakat hukum adat.;
c. hukum adat kebiasaan atau konvensi ketatanegaraan adalah
hukum yang tumbuh dalam praktik penyelenggaraan Negara
17
untuk melengkapi, menyempurnakan, dan menghidupkan
(mendinamisasi) kaidah-kaidah hukum perundang-undangan
atau hukum adat ketatanegaraan.;
d. yurisprudensi ketatanegaraan adalah kumpulan putusan-
putusan pengadilan;
e. Traktat atau hukum perjanjian internasional ketatanegaraan
adalah persetujuan yang diadakan Indonesia dengan Negara-
negara lain;
f. doktrin ketatanegaraan ajaran-ajaran tentang hukum
tatanegara yang ditemukan dan dikembangkan di dalam dunia
ilmu pengetahuan sebagai hasil penyelidikan dan pemikiran
saksama berdasarkan logika formal yang berlaku.
Namun akan berbeda penjelasanya jika melihat dari pandang
teori-teori, contohnya teori hukum alam atau kodrati (natural lae
theory) mengatakan bahwa orang mentaati hukum karena Tuhan
atau alam menghendaki demikian. aliran ini mendasarkan pada
akal atau rasio manusia itu sendiri. Dilihat dari teori positivis atau
aliran positivisme beranggapan bahwa orang tunduk pada hukum
(atau undang-undang) karena hukum itu merupakan kehendak
penguasa yang dapat dipaksakan. Sehingga dalam mempelajari
hukum positif persoalan sumber hukum dalam arti materiil
merupakan persoalan yang "meta-yuridis" atau persoalan yang
terletak di luar hukum.
Sumber hukum formal berkaitan dengan masalah atau
persoalan dimana seseorang dapat menemukan peraturan atau
kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang kemasyarakatan/
kehidupan manusia. Sumber hukum dalam arti formal adalah :
a. undang-undang,
b. kebiasaan;
c. keputusan pengadilan;
d. traktat atau perjanjian;
18
e. pendapat ahli hukum terkemukan sebagai sumber tambahan.
2. Peran Hukum dalam Kehidupan Masyarakat
Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa
dipisahkan. Bahkan dalam ilmu hukum, terdapat adagium yang
terkenal yang berbunyi: “Ubi societas ibi jus” (di mana ada
masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap
pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama
masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat
sebagai “semen perekat” atas berbagai komponen pembentuk dari
masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai “semen perekat”
tersebut adalah hukum6.
Untuk mewujudkan keteraturan, maka mula-mula manusia
membentuk suatu struktur tatanan (organisasi) di antara dirinya
yang dikenal dengan istilah tatanan sosial (social order) yang
bernama: masyarakat. Guna membangun dan mempertahankan
tatanan sosial masyarakat yang teratur ini, maka manusia
membutuhkan pranata pengatur yang terdiri dari dua hal: aturan
(hukum) dan si pengatur (kekuasaan)7.
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum
yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai
pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat tersebut.
Untuk menjawab pertanyaan apakah hukum dapat
mengubah perilaku masyarakat, kiranya perlu dikemukakan teori
Marx klasik dan teori hukum mashab sejarah. Teori Marx klasik
membedakan kehidupan masyarakat dalam dua struktur, yakni
struktur atas dan struktur bawah. Yang dimaksud dengan struktur
atas adalah alam pikiran. Adapun struktur bawah adalah kebufuhan
jasmani. Menurut teori Marx itu shuktur bawah menentukan struktur
6 http://kelompok4isbd.wordpress.com/2012/04/12/makalah-ilmu-sosial-dan-budaya-dasar -manusia -nilai-moral-dan-hukum/) , diakses pada tanggal 16 Maret 2015
7 http://rizachnial.blogspot.com/2013/11/peran-hukum-dalam-kehidupan-manusia.html
19
atas, dan tidak sebaliknya. Dengan demikian, maka alam pikiran,
termasuk hukum, tidak dapat mempengaruhi atau mengubah
struktur bawah, atau kehidupan masyarakat.
Von Savigny, dari mashab sejarah berpendapat bahwa
hukum ifu tidak dibuat tetapi hukum itu ada dan terbentuk bersama-
sama dengan masyarakat (das Recht is nicht gemacht, aber Es ist
und wirdt mit demVolke). Berdasarkan dalil itu Von Savigny hukum,
yang ditetapkan dalam perundang-undangan, tidak dapat merubah
kehidupan masyarakat. Hal itu disebabkan bahwa itu tumbuh
bersama kehidupan masyarakat yang bersangkutan.8
Teori hukum pembangunan Mochtar Kusumaatmadja
memiliki pokok-pokok pikiran tentang hukum yaitu ;9
a. bahwa arti dan fungsi hukum dalam masyarakat direduksi pada
satu hal yakni ketertiban (order) yang merupakan tujuan pokok
dan pertama dari segala hukum. Kebutuhan terhadap
ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamental) bagi
adanya suatu masyarakat yang teratur dan merupakan fakta
objektif yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam
segala bentuknya. Untuk mencapai ketertiban dalam
masyarakat maka diperlukan adanya kepastian dalam
pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Disamping itu,
tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang
berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan
zamannya.
b. bahwa hukum sebagai kaidah sosial, tidak berarti pergaulan
antara manusia dalam masyarakat hanya diatur oleh hukum,
namun juga ditentukan oleh agama, kaidah-kaidah susila,
kesopanan, adat kebiasaan dan kaidah-kaidah sosial lainya.
8 http://www.rumahbangsa.net/2015/01/peran-dan-hubungan-hukum-dalam.html, diakses pada tanggal 16 Maret 2015
9 Mochtar Kusumaatmadja di dalam Otje Salman dan Eddy Damian, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung : Alumni, 2002, hlm 3-15
20
Oleh karenanya, antara hukum dan kaidah-kaidah sosial
lainnya terdapat jalinan hubungan yang erat antara yang satu
dan lainnya. Namun jika ada ketidaksesuaian antara kaidah
hukum dan kaidah sosial, maka dalam penataan kembali
ketentuan-ketentuan hukum dilakukan dengan cara yang
teratur, baik mengenai bentuk, cara maupun alat
pelaksanaannya.
c. bahwa hukum dan kekuasaan mempunyai hubungan timbal
balik, dimana hukum memerlukan kekuasaan bagi
pelaksanaanya karena tanpa kekuasaan hukum itu tidak lain
akan merupakan kaidah sosial yag berisikan anjuran belaka.
Sebaliknya kekuasaan ditentukan batas-batasnya oleh hukum.
Secara populer dikatakan bahwa hukum tanpa kekuasaan
adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah
kelaliman.
d. bahwa hukum sebagai kaidah sosial tidak terlepas dari nilai
(values) yang berlaku di suatu masyarakat, bahkan dapat
dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-
nilai yang berlaku dalam masyarakat. Sehingga dapat
dikatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup (The living law) dalam masyarakat
yang tentunya merupakan pencerminan nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat itu sendiri
e. bahwa hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat artinya
hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban
dalam masyarakat. Fungsi hukum tidak hanya memelihara dan
mempertahankan dari apa yang telah tercapai, namun fungsi
hukum tentunya harus dapat membantu proses perubahan
masyarakat itu sendiri. Penggunaan hukum sebagai alat untuk
melakukan perubahan-perubahan kemasyarakatan harus
sangat berhati-hati agar tidak timbul kerugian dalam
21
masyarakat sehingga harus mempertimbangkan segi sosiologi,
antroplogi kebudayaan masyarakat.
Mochtar Kusumaatmadja juga memberikan defini hukum
yang lebih memadai bahwa hukum seharusnya tidak hanya
dipandang sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang
mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula
mencakup lembaga (instituions) dan proses (procces) yang
diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.[ Jika
dianalisis, makna definisi tersebut adalah 10:
a. kata asas dan kaidah menggambarkan hukum sebagai gejala
normatif, sedang kata lembaga dan proses menggambarkan
hukum sebagai gejala sosial.
b. kata asas menggambarkan bahwa Mochtar memperhatikan
aliran hukum alam, karena asas itu ada kaitannya dengan nilai-
nilai moral tertinggi yaitu keadilan, sedangkan kata kaidah
menggambarkan bahwa Mochtar memperhatikan pengaruh
aliran positivisme hukum karena kata kaidah mempunyai sifat
normatif. Sedang kata lembaga menggambarkan bahwa
Mochtar memperhatikan pandangan mazhab sejarah. Kata
proses memperhatikan pandangan Pragmatic legal realism dari
Roscoe Pound, yaitu proses terbentuknya putusan hakim di
pengadilan. Lebih lanjut kata lembaga dan proses
mencerminkan pandangan Sosiological jurisprudence karena
lembaga dan proses merupakan cerminan dari living law yaitu
sumber hukum tertulis dan tidak tertulis yang hidup di
masyarakat. Kata kaidah mencerminkan berlakunya kaidah
dalam kenyataan menggambarkan bahwa bentuk hukum
haruslah undang-undang.
10 Ibid, hal 91
22
3. Bentuk produk hukum
Dalam ilmu hukum dikenal 2 jenis bentuk produk hukum
yakni penetapan (beschiking) dan regelling (pengaturan). Ciri-ciri
penetapan bersifat kongkrit, individual dan final. Sedangkan untuk
pengaturan bersifat umum, semua masyarakat dapat
mengetahuinya, dan kadang masih membutuhkan peraturan lain
agar dapat operasional, dan impersonal. Bentuk umum penetapan
adalah keputusan dan materi disusun dalam bentuk diktum.
Sedangkan bentuk umum pengaturan adalam peraturan yang
diundangkan dalam lembaran atau berita Negara/daerah. Artinya
semua masyarakat dapat mengetahuinya atau sejak diundangkan
masyarakat dianggap mengetahuinya.
4. Pengertian dan karakteristik Desa
Para ahli memberikan definisi tentang desa berdasarkan
pengertian dan sudut pandang masing-masing. Pengertian Desa
secara umum lebih sering dikaitkan dengan pertanian. Misalnya,
Egon E. Bergel11, mendefinisikan desa sebagai “setiap
pemukiman para petani (peasants)”. Sebenarnya, faktor
pertanian bukanlah ciri yang harus melekat pada setiap desa. Ciri
utama yang terlekat pada setiap desa adalah fungsinya sebagai
tempat tinggal (menetap) dari suatu kelompok masyarakat yang
relatif kecil.
Pengertian lain yang lebih luas disampaikan
Koentjaraningrat12 memberikan pengertian tentang desa melalui
pemilahan pengertian komunitas dalam dua jenis, yaitu
komunitas besar (seperti: kota, negara bagian, negara) dan
komunitas kecil (seperti: band, desa, rukun tetangga dan
sebagainya). Dalam hal ini Koentjaraningrat mendefinisikan desa
sebagai “komunitas kecil yang menetap tetap di suatu tempat”.
11 Egon Ernst Bergel. Urban Sociology. Mc Graw Hill, New York, 1955, Hal 121.12 Koentjaraningrat (ed.). Masyarakat Desa di Indonesia. Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta:
23
Koentjaraningrat tidak memberikan penegasan bahwa
komunitas desa secara khusus tergantung pada sektor
pertanian. Dengan kata lain artinya bahwa masyarakat desa
sebagai sebuah komunitas kecil itu dapat saja memiliki ciri-ciri
aktivitas ekonomi yang beragam, tidak di sektor pertanian saja13.
Desa menurut H.A.W. Widjaja dalam bukunya yang
berjudul “Otonomi Desa” menyatakan bahwa “Desa adalah
sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat
istimewa. Landasan pemikiran dalam mengenai Pemerintahan
Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli,
demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat14”
Mengenai kedudukan Desa, Rosidji Ranggawidjaja
menyebutkan bahwa desa merupakan bentuk dari komunitas
sosial yang keberadaannya sudah ada jauh sebelum Negara
Kesatuan Republik Indonesia terbentuk, dan pemerintahan desa
yang ada sekarang merupakan kelanjutan dari pemerintahan desa
yang ada sejak jaman dahulu15. Dari sini kemudian muncul
pemikiran bahwa desa bukan semata satuan pemerintahan,
namun berkaitan pula dengan asal usul desa tersebut. Desa dapat
tumbuh dari suatu kesatuan masyarakat dengan kesamaan asal
usul atau adat istiadat. Keragaman asal usul desa inilah yang perlu
diakui, tidak semata sebagai desa administratif semata.
Namun dari berbagai pengertian desa yang disampaikan
oleh para ahli, maka menurut hemat kami, pengertian desa yang
disampaikan oleh P.J. Bournen adalah yang paling mendekati,
yakni Desa adalah salah satu bentuk kuno dari kehidupan
13 Edi Indrizal, Memahami Konsep Perdesaan dan Tipologi Desa di Indonesia.
14 H.A.W Widjaja, Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli, Bulat dan Utuh, Rajawali Pers, Jakarta, 2008 hal 3,
15 Ranggawidjaja, Rosidji. 2013.dalam Abdurahman Ali et all. Satu Dasawarsa Undang-Undang Dasar 1945. Bandung. Fakultas Hukum-UNPAD. PSKN- FH UNPAD
24
bersama sebanyak beberapa ribu orang, hampir semuanya saling
mengenal, kebanyakan yang termasuk didalamnya hidup dari
pertanian, perikanan, dan usaha-usaha yang dapat dipengaruhi
oleh hukum dan kehendak alam lainnya; dan dalam tempat tinggal
itu terdapat banyak ikatan-ikatan keluarga yang rapat, ketaatan,
dan kaidah-kaidah sosial16.
Berdasarkan pengertian desa tersebut diatas, maka
karakteristik desa meliputi17:
a. Aspek morfologi, desa merupakan pemanfaatan lahan atau
tanah oleh penduduk atau masyarakat yang bersifat agraris,
serta bangunan rumah tinggal yang terpencar (jarang). Desa
berhubungan erat dengan alam, ini disebabkan oleh lokasi
goegrafis untuk petani, serta bangunan tempat tinggal yang
jarang dan terpencar.
b. Aspek jumlah penduduk, maka desa didiami oleh sejumlah
kecil penduduk dengan kepadatan yang rendah.
c. Aspek ekonomi, desa ialah wilayah yang penduduk atau
masyarakatnya bermata pencaharian pokok di bidang
pertanian, bercocok tanam atau agrarian, atau nelayan.
d. Aspek hukum, desa merupakan kesatuan wilayah hukum
tersendiri, dimana aturan atau nilai yang mengikat masyarakat
di suatu wilayah.Tiga sumber yang dianut dalam desa, yakni:
agama, adat asli dan NKRI.
e. Aspek sosial budaya, desa itu tampak dari hubungan sosial
antar penduduknya yang bersifat khas, yakni hubungan
kekeluargaan, bersifar pribadi, tidak banyak pilihan, dan
kurang tampak adanya pengkotaan, dengan kata lain bersifat
homogeny, serta bergotong royong.
16 http://hedisasrawan.blogspot.com/2014/07/16-pengertian-desa-menurut-para-ahli.html, diakses pada 13 September 2014.
17 Safari Imam Asy’ari..Sosiologi Kota dan Desa.Usaha Nasional,Surabaya, 1993, hal 93
25
Istilah desa dalam UUD 1945 sebelum amandemen dapat
kita jumpai dalam Pasal 18 dan penjelasannya, yang berbunyi
sebagai berikut :
“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya di tetapkan dengan undang – undang dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara, dan hak asal – usul dalam daerah yang bersifat istimewa”.
Dan Pasal 18 Undang – Undang Dasar 1945 penjelasan II,
berbunyi :
“dalam territoir Negara Indonesia terdapat kurang lebih 250 “ Zelbesturendelandschappen” dan “ Volkgemenschappen “ seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah – daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat di anggap sebagai daerah yang bersifat istimewa “.
Sedangkan setelah amandemen, Pasal 18 ayat (1) UUD
1945 berbunyi : “Negara kesatuan Republik Indonesia di bagi atas
daerah – daerah propinsi, dan daerah provinsi itu di bagi atas
kabupaten dan kota, yang tiap tiap provinsi, kabupaten dan kota
itu mempunyai pemerintahan daerah, yang di atur dengan undang
– undang”
Berdasarkan Pasal 18 diatas, maka kemudian dibentuklah
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, yang dalam Pasal 200 ayat (1) dibentuklah Pemerintahan
Desa, yang berbunyi : ” Dalam Pemerintahan daerah kabupaten /
kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah
desa dan badan permusyawaratan desa.”
Berdasarkan PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa,
disebut bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan
26
asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati
dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut ketentuan pasal 206 UU No 32 tahun 2004 Juncto
Pasal 4 PP No 72 Tahun 2005 Juncto Permendagri No 30 tahun
2006, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa
mencakup
c. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal
usul desa ;
d. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;
e. tugas pembantuan dari pemerintah,pemerintah provinsi
dan/atau pemerintah kabupaten/kota ;
f. urusan pemerintahan lainyayang oleh peraturan
perundangundangan diserahkan kepada desa.
Tugas pembantuan yang berasal dari pemerintah, pemerintah
provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota kepada desa, harus
disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber
daya manusia sehingga tugas tersebut dapat terlaksana dengan
baik.
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
desa mendefinisikan desa adalah desa dan desa adat atau yang
disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui
dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Berdasarkan definisi tersebut terdapat beberapa unsur dalam
definisi desa tersebut, yakni:
a. kesatuan masyarakat hukum;
27
b. dalam batas wilayah tertentu;
c. berwenang mengatur dan mengurus urusan :
1) pemerintahan
2) kepentingan masyarakat setempat
d. pengaturan didasarkan pada prakarsa masyarakat, hak asal
usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam
sistem pemerintahan NKRI.
Berdasarkan unsur-unsur desa tersebut dapat maka
Otonomi desa harus diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat dalam rangka kesejahteraan
bersama.
B. Kajian Terhadap Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan Yang Terkait Dengan Penyusunan Norma
1. Asas Pembentukan peraturan perundang-undangan
Dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan
penting untuk memiliki dasar yang tepat sebagai pedoman dalam
penyusunan rumusan peraturan. Oleh sebab itu penting untuk
memahami asas-asas hukum yang berlaku umum dalam
pembentukan suatu peraturan perundang-undangan.
Asas hukum merupakan unsur penting dalam suatu
peraturan dan menjadi landasan utama yag menjadi dasar atau
acuan bagi lahirnya suatu aturan.Pembentukan hukum praktis
sedapat mungkin berorientasi pada asas asas hukum. Asas
hukum menjadi dasar-dasar atau petunjuk arah dalam
pembentukan hukum positif.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dapat kita jumpai
tiga pengertian asas sebagai berikut.
a. Dasar, alas, pedoman; misalnya, batu yang baik untuk alas
rumah;
28
b. Suatu kebenaran yang menjadai pokok atau tumpuan berpikir
(berpendapat dan sebagainya; misalnya: bertentangan dengan
asas-asas hukum pidana; pada asasnya yang setuju dengan
usul saudara;
c. Cita-cita yang menjadi dasar (perkumpulan negara, &
sebagainya; misalnya, membicarakan asas dan tujuan18
Dari ketiga pengertian tersebut dapat kita lihat pengertian yang
esensial dari asas itu ialah: merupakan dasar, pokok tempat
menemukan kebenaran dan sebagai tumpukan berpikir, tentang
apa yang dimaksud dengan asas hukum banyak pengertian yang
dikemukakan oleh para ahli hukum, yang antara lain adalah
sebagai berikut.
Menurut C.W. Paton, yang dikutip oleh Muhadi, dalam
bukunya A Textbook of Jurisprudence, 1969, mengatakan asas
adalah: A principles is the broad reason, which lies at the base of
rule of law dalam bahasa indonesia, kalimat itu berbunyi: asas
adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan
mendasari adanya sesuatu norma hukum. Disingkatnya bahwa
dalam unsur-unsur asas sebagai berikut.
a. Alam pikiran
b. Rumusan luas
c. Dasar bagi pembentukan norma hukum
Jadi Asas ialah suatu alam pikiran, yang melatarbelakangi
pemberontakan norma hukum. Rumusan asas yang dihidangkan
oleh Paton memberi kesan, seolah-olah tiap norma hukum dapat
dikembalikam kepada susunan asas. Dalam praktek terdapat
norma-norma hukum, yang tidak dapat ditelusuri bagaimana bunyi
asas yang mendasarinya. Salah satu contoh, norma hukum positif
dalam bidang lalu lintas, yang menyuruh pemakai jalan umum yang
mempergunakan bagian kiri dari jalan itu. Untuk norma hukum itu
18 W.J.S. Purwadarminta . Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976
29
sulit dicarikan asasnya, tetapi kalau ia menjadi asas maka norma
hukum itu sendirilah yang berfungsi sebagai asas19.
Asas hukum memang bukan merupakan aturan hukum,
karena asas hukum tidak dapat dilaksanakan/ dioperasikan
langsung terhadap suatu peristiwa dengan menganggapnya
sebagai bagian dari aturan umum, tetapi harus dengan
penyesuaian substansi, untuk itu diperlukan isi yang lebih konkrit.
Asas-asas hukum umum bagi penyelenggaran pemerintahan
yang patut (algemene beginselen van behoorlijk best Undang-
undang) dimana asas ini tumbuh dalam rangka mencari cara-cara
untuk melakukan pengawasan atau kontrol yang sesuai hukum
(rechtmatigheidscontrole) terhadap tindakan-tindakan
pemerintahan, terutama yang dapat dilakukan oleh hakim yang
bebas. Asas-asas tersebut dirasakan akan bertambah penting
apabila dalam memenuhi tuntutan terselenggaranya kesejahteraan
rakyat diperlukan banyak peraturan perundang-undangan yang
memberikan keleluasaan yang besar kepada aparatur
pemerintahan.Dengan demikian maka terhadap aspek-aspek
kebijakan dari keputusan-keputusan pemerintah yang tidak dibatasi
oleh peraturan perundang-undangan dapat dilakukan pengujian
oleh hakim (rechterlijke toetsing), tanpa perlu hakim tersebut
menguji kebijakan pemerintahan yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan itu sendiri.
Asas-asas pembentukan peraturan perundangundangan
yang baik menurut I.C. van der Vlies dalam bukunya yang
berjudul Handboek Wetgeving dibagi dalam dua kelompok yaitu20:
a. Asas-asas formil:
1) Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke
doelstelling), yakni setiap pembentukan peraturan
19 Mahadi, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya, Alumni, Bandung, 1981., hal 5420 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan:Dasar-dasar dan Pembentukannya, hal 34
30
perundang-undangan harus mempunyai tujuan dan manfaat
yang jelas untuk apa dibuat;
2) Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste
orgaan), yakni setiap jenis peraturan perundang-undangan
harus dibuat oleh lembaga atau organ pembentuk peraturan
perundagundagan yang berwenang; peraturan
perundangundangan tersebut dapat
dibatalkan (vernietegbaar)atau batal demi
hukum (vanrechtswege nieteg), bila dibuat oleh lembaga
atau organ yang tidak berwenang;
3) Asas kedesakan pembuatan pengaturan (het
noodzakelijkheidsbeginsel);
4) Asas kedapatlaksanaan (dapat dilaksanakan) (het beginsel
van uitvoerbaarheid), yakni setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus didasarkan pada perhitungan
bahwa peraturan perundang-undangan yang dibentuk
nantinya dapat berlaku secara efektif di masyarakat karena
telah mendapat dukungan baik secara filosofis, yuridis,
maupun sosiologis sejak tahap penyusunannya.
5) Asas konsensus (het beginsel van de consensus).
b. Asas-asas materiil:
1) Asas terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel
van duidelijke terminologie en duidelijke systematiek);
2) Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
3) Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het
rechtsgelijkheidsbeginsel);
4) Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
5) Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan
individual (het beginsel van de individuele rechtsbedeling).
31
Selain itu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
mengingatkan kepada pembentuk undang-undang agar selalu
memperhatikan asas pembentukan peraturan perundangundangan
yang baik dan asas materi muatan.
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus
dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. “asas kejelasan tujuan” , bahwa setiap Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang
hendak dicapai;
b. “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat” , bahwa
setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh
lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-
undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan
tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat
oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang;
c. “asas kesesuaian antara jenis,hierarki, dan materi muatan” ,
bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
harus benarbenar memperhatikan materi muatan yang tepat
sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
undangan;
d. “asas dapat dilaksanakan”, bahwa setiap Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan
efektivitas Peraturan Perundangundangan tersebut di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis;
e. “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan”, bahwa setiap
Peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-
benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
32
f. “asas kejelasan rumusan”, bahwa setiap Peraturan Perundang-
undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan
Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau
istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti
sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya;
g. “asas keterbukaan”, bahwa dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan
bersifat transparan dan terbuka.
Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011,
digunakan asas-asas yang dipakai sebagai materi muatan Peraturan
Perundang-undangan yaitu:
a. Pengayoman
Adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-
undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam
rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
b. Kemanusiaan
Adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-
undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan
hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga
negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
c. Kebangsaan
Adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-
undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa
Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Kekeluargaan
33
Adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-
Undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai
mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
e. Kenusantaraan
Adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seiuruh
wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-
undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem
hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
f. Bhineka Tunggal Ika
Adalah bahwa materi muatan Peraturan Perundang-undangan
harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, Kondisi khusus daerah dan budaya khususnya yang
menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bemegara.
g. Keadilan
Adalah bahwa materi muatan Peraturan Perundang-undangan
harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap
warga negara tanpa kecuali.
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.
Adalah bahwa materi muatan Peraturan Pemndang-undangan
tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan
berdasarkan latar belakang antara lain agama, suku, ras,
golongan,. gender, atau status sosial.
i. Ketertiban dan kepastian hukum
Adalah bahwa materi muatan Peraturan Perundang-undangan
harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan adanya kepastian hukum.
j. Keseimbangan, keserasian dan keselarasan
Adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-
Undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian,
34
antara kepentingan individu dan masyarakat dengan
kepentingan bangsa dan negara.
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
Indonesia, sebagaimana halnya di negara lain, terdapat dua asas
hukum yang perlu diperhatikan, yaitu asas hukum umum yang
khusus memberikan pedoman dan bimbingan bagi pembentukan isi
peraturan, dan asas hukum lainnya yang memberikan pedoman
dan bimbingan bagi penuangan peraturan ke dalam bentuk dan
susunannya, bagi metode pembentukannya, dan bagi proses serta
prosedur pembentukannya.
Asas hukum yang terakhir ini dapat disebut asas peraturan
perundang-undanngan yang patut. Kedua asas hukum tersebut
berjalan seiring berdampingan memberikan pedoman dan
bimbingan serentak dalam setiap kali ada kegiatan pembentukan
peraturan perundang-undangan masing-masing sesuai dengan
bidangnya.
2. Penyusunan Norma dalam perumusan peraturan perundang-
undangan
Hukum merupakan alat yang efektif untuk mencapai tujuan
sosial karena aturan hukum secara konsisten melekat pada
petugas hukum dan masyarakat.21 Persoalan yang dihadapi
oleh negara kita adalah bagaimana hukum dapat memenuhi
tujuan sosial, sehingga menjadi efektif diberlakukan dimasyarakat
dan mampu menjadi panglima.
Keberadaan suatu norma timbul akibat adanya hubungan
antar orang dengan orang lainnya, karena norma itu pada
dasarnya mengatur tata cara tingkah laku seseorang dalam
21 Hari Purwadi, Memahami Hukum Dari Konstruksi Sampai Implementasi, Rajawali Pers, Jakarta, 2004, hlm. 64.
35
hubungan antara satu orang dengan orang lainnya. Setiap norma
mengandung suruhan-suruhan atau das Sollen.22
Hans Kelsen menyatakan bahwa norma dalam suatu negara
tersusun secara hierarkis, dari yang paling umum yang bersifat
abstrak hingga ke jenjang yang lebih khusus dan bersifat
individual. Di puncak dari norma tersebut terdapat norma dasar
(Grundnorm atau Ursprungnorm atau basic norm).
Grundnorm tersebut merupakan asas-asas (hukum) yang
bersifat abstrak yang karenanya disebut pula “abstracte norm”.
Norma dasar tersebut kemudian dikonkritkan melalui “norma
antar” (tussen norm), yang tertuang dalam peraturan perundang-
undangan atau norma positif yang kemudian dikonkritkan menjadi
norma yang nyata (concretenorm). Jadi, menurut Hans Kelsen
norma dalam negara itu tersusun dalam kesatuan yang utuh
menurut struktur piramida.23
Menurut Nawiasky, norma-norma hukum tersebut berada
dalam tata susunan dari atas ke bawah sebagai berikut24:
a. Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm)
b. Aturan dasar negara atau aturan pokok negara
(Staatsgrundgesetz)
c. Undang-undang (formal) (formel Gesetz);dan
d. Peraturan pelaksanaan serta peraturan otonom (Verordnung
& Autonome Satzung).
Tentang hierarki norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan
suatu teori (stufen theory) yang kemudian oleh Amiroeddin Sjarif
dirinci dengan lebih detail sebagai berikut:
22 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan jilid I, Kanisus, Yogyakarta, 2007, hal. 623 Ibid, hal 1424 Hans Kelsen, General Theory Of Law And State,diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Drs. Somardi, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Empirik-Diskriptif, Rimdi Press. Jakarta, 1995, hal 14
36
a. Perundang-undangan yang lebih rendah derajatnya tidak
dapat merubah atau mengenyampingkan aturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, tetapi jika sebaliknya maka dapa;
b. Perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah atau
ditambah hanya oleh perundang-undangan yang sederajat
atau lebih tinggi tingkatannya;
c. Ketentuan perundang-undangan yang lebih rendah
tingkatannya tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak
mengikat apabila bertentangan dengan perundangundangan
yang lebih tinggi tingkatannya, dan ketentuan perundang-
undangan yang lebih tinggi tetap berlaku dan mempunyai
kekuatan hukum serta mengikat, walaupun diubah, ditambah,
diganti atau dicabut oleh perundang-undangan yang lebih
rendah;
d. Materi yang seharusnya diatur oleh perundang-undangan
yang lebih tinggi tingkatannya tidak dapat diatur oleh
perundang-undangan yang lebih rendah, tetapi hal yang
sebaliknya dapat dilakukan.
Namun demikian tidaklah baik apabila perundang-undangan
yang lebih tinggi mengambil alih fungsi perundang- undangan
yang lebih rendah. Jika hal tersebut terjadi, maka menjadi
kabur pembagian wewenang yang mengatur di dalam suatu
negara. Disamping itu, badan pembentuk perundang-
undangan yang lebih tinggi akan terlalu sibuk dengan
persoalan-persoalan yang selayaknya diatur oleh lembaga
pembentuk perundang undangan yang lebih rendah.25
Sebagai norma dasar sebuah negara, Staatsfundamentalnorm
memberikan landasan bagi aturan dasar yang merupakan tatanan
suatu negara dalam bentuk Undang-Undang Dasar atau konstitusi
25 Ibnu Sam Widodo, Pengujian Materiil Peraturan Desa (Kajian Normatif-Yuridis terhadap Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), Tesis, FH UI- Jakarta, 2008, hal 76
37
tertulis, maka aturan dasar tersebut pada gilirannya merupakan
landasan bagi hukum perundang-undangan (Gezetsrecht) yang
berlaku dalam negara.
Biasanya aturan dasar tersebut apabila dituangkan dalam
suatu dokumen negara maka disebut Verfassung, dan apabila
dituangkan dalam dokumen hukum yang tersebar-sebar maka
disebut dengan Grundgesetz, Isi penting bagi aturan dasar selain
garis-garis besar atau pokok-pokok kebijaksanaan negara juga
terutama aturan-aturan untuk memberlakukan dan memberikan
kekuatan mengikat kepada norma-norma hukum peraturan
perundang-undangan, atau dengan perkataan lain menggariskan
tatacara membentuk peraturan perundang-undangan yang
mengikat umum.26
Hans Kelsen menuliskan bahwa hubungan antara norma yang
mengatur pembentukan norma lain dengan norma lainnya ini
dapat digambarkan sebagai hubungan antara ”superordinasi”dan
”subordinasi”,yang merupakan kiasan keruangan. Norma yang
menentukan pembentukan norma lain adalah norma yang lebih
tinggi, norma yang dibentuk menurut peraturan ini adalah norma
yang lebih rendah. Hal ini kemudian dijelaskan kembali oleh Jimly
Asshiddiqie dan M Ali Safa’at, bahwa hubungan antara norma
yang mengatur pembuatan norma lain dan norma lain tersebut
dapat disebut sebagai hubungan super dan sub-ordinasi dalam
konteks spesial. Norma yang menentukan pembuatan norma lain
adalah superior, sedangkan norma yang dibuat adalah inferior.27
Selain asas yang tersebut di atas peraturan perundang-
undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang
26 Ni’matul Huda. Negara Hukum, Demokrasi, dan Judicial Review, UUI Press, Yogyakarta 2005, hal. 52
27 Jimly Asshiddiqie dan M.Ali Safa’at. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Konstitusi Press. Jakarta, 2006, hal. 109.
38
hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan,
antara lain:
a. Dalam Hukum Pidana, misalnya: asas legalitas, asas tiada
hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan
asas praduga tak bersalah.
b. Dalam Hukum Perdata, misalnya: dalam hukum perjanjian,
antara lain asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan it
C. Kajian Terhadap Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,
Pemerintahan Desa di Karanganyar dan Kondisi Yang Ada.
1. Visi dan Misi Kabupaten Karanganyar
a) Visi
Visi adalah artikulasi dari citra, nilai arah dan tujuan yang
akan memandu masa depan atau suatu gambaran ideal yang
ingin dicapai dimasa yang akan datang oleh organisasi.
Berdasarkan kondisi dan tantangan yang akan dihadapi
dalam 5 (lima) tahun mendatang dan dengan mengacu Visi dan
Misi Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Karanganyar yang
telah tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menegah Daerah (RPJMD) Kabupaten Karanganyar Tahun
2014 – 2019 serta dengan mempertimbangkan potensi fisik,
ekonomi dan sosial budaya yang dimiliki, maka visi Sekretariat
Daerah Kabupaten karanganyar adalah
"Visi pembangunan Kabupaten Karanganyar adalah Bersama
memajukan Karanganyar "
b) Misi
1) Pembangunan infrastruktur menyeluruh.
2) Pencapaian 10.000 wirausahawan mandiri.
3) Pendidikan gratis SD/SMP/SMA dan kesehatan gratis;
4) Pembangunan Desa sebagai pusat pertumbuhan;
5) Peningkatan kualitas keagamaan dan sosial budaya;
39
2. Kondisi yang ada
a) Letak Geografis
Kabupaten merupakan salah satu kabupaten di Propinsi
Jawa tengah yang berbatasan dengan Kabupaten sragen
disebalah utara, Propinsi Jawa Timur di sebelah Timur ,
Kabupaten Sukoharjo dan Wonogiri di sebelah selatan serta
Kota Surakarta dan Kabupaten Boyolali di sebelah barat
Bila dilihat dari garis bujur dan lintang, Kabupaten
Karanganyar terletak antara 110° 40° – 110° 70° bujur timur
dan 7° 28° – 7° 46° lintang selatan , dengan ketinggian rata –
rata 511 meter diatas, permukaan laut serta beriklim tropis
dengan temperatur 22° – 31° .
b) Topografi
Luas wilayah Kabupaten Karanganyar : 77.378.64 Ha
yang terdiri dari : luas tanah sawah : 22.459,80 Ha, luas tanah
kering: 54.917.84 Ha, tanah sawah irigasi tehnis : 12.918.37 Ha
dan non tehnis : 7.586.58 Ha dan tidak berpengairan :1.955.61
Ha. Sementara itu luas tanah pekarangan/bangunan :
21.213.37 Ha dan luas untuk tegalan/kebun : 17.836,49 Ha.
Sedangkan hutan negara seluas 9.729,50 Ha dan perkebunan
seluas :3.251,50 Ha.
c) Kependudukan
Jumlah penduduk di Kabupaten Karanganyar sebanyak
878.210 jiwa, yang terdiri dari : laki – laki : 436.901 jiwa dan
perempuan sebanyak 441.309 jiwa, dengan pertambahan
penduduk sebanyak 6.454 jiwa atau mengalami pertumbuhan
sebesar 0,74% , dengan kepadatan pendudukan mencapai
1.135 jiwa/ km2.
d) Gambaran Desa di Kabupaten Karanganyar
40
Kabupaten Karanganyar terdiri dari 17 kecamatan, dan 162
desa serta 15 kelurahan. Dari 17 kecamatan yang ada di
Kabupaten Karanganyar hanya Kecamatan Karanganyar yang
terdiri dari 10 kelurahan, sedangkan pada Kecamatan
Tawangmangu terdapat 3 kelurahan dan 7 desa. Sedangkan
pada 15 kecamatan yang lain yakni :
1) Kecamatan Jaten terdiri dari 8 desa;
2) Kecamatan Tasikmadu terdiri dari 10 desa;
3) Kecamatan Kebakkramat terdiri dari 10 desa;
4) Kecamatan Colomadu terdiri dari 11 desa;
5) Kecamatan Gondangrejo terdiri dari 13 desa;
6) Kecamatan Karangpandan terdiri dari 11 desa;
7) Kecamatan Matesih terdiri dair 9 desa;
8) Kecamatan Mojogedang terdiri dari 13 desa;
9) Kecamatan Kerjo terdiri dari 10 desa;
10) Kecamatan Ngargoyoso terdiri dari 9 desa;
11) Kecamatan Jenawi terdiri dari 9 desa;
12) Kecamatan Jumantono terdiri dari 11 desa;
13) Kecamatan Jatiyoso terdiri dari 9 desa;
14) Kecamatan Jatipuro terdiri dari 10 desa;
15) Kecamatan Jumapolo terdiri dari 12 desa.
3. Gambaran Penyusunan Peraturan di Desa di Kabupaten
Karanganyar selama ini
Penyusunan Peraturan Desa di Kabupaten Karanganyar
selama ini didasarkan pada Peraturan Daerah Kabupaten
Karanganyar Nomor ...tentang Peraturan Desa. Peraturan Desa
yang selama ini sudah disusun berdasarkan ketentuan tersebut
antara lain adalah :
a. Peraturan Desa tentang Struktur dan Organisasi Desa pada
seluruh desa di Kabupaten Karanganyar;
41
b. Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa pada setiap desa di Kabupaten Karanganyar, perdes ini
disusun setiap tahun;
c. Peraturan Desa tentang Pungutan Desa pada desa-desa di
Kabupaten Karanganyar dengan rincian sebagai berikut :
1) Dari 162 desa, desa yang menyusun Peraturan Desa
tentang Pungutan Desa yang telah dievaluasi oleh Bupati
terdapat 44 Desa;
2) Dari 44 Perdes tersebut baru 2 yang telah diklarifikasi oleh
Bupati;
3) Dari Perdes tentang Pungutan desa semuanya masih
mengacu pada Peraturan Daerah Kabupaten Karanganyar
Nomor... Tahun 2...tentang Pungutan Desa, belum
mengacu pada Peraturan Menteri Desa Nomor 1 Tahun
2015 tentang Kewenangan Desa, dimana didalamnya
melarang
d. Peraturan Desa tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Desa pada beberapa desa di Kabupaten
Karanganyar, mengenai Perdes ini perlu disampaikan bahwa
penyusunan perdes ini difasilitasi oelh Program PNPM Mandiri
Perdesaan menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan
alokasi program PNPM Mandiri Perdesaan. Terdapat beberapa
kelemahan dari perdes ini pada aplikasi pelaksanaannya,
antara lain, perdes ini belum mencerminkan RPJM Desa yang
sebenarnya karena berdasarkan penuturan Kepala Desa
sebagai narasumber, penyusunannya yang berorientasi pada
program PNPM dan tidak berdasarkan pada perencanaan
matang dengan proses dan metode perencanaan yang
melibatkan musyawarah desa dengan memperhatikan
persoalan dan kebutuhan desa setempat, mengakibatkan
42
RPJM Desa tidak digunakan pada penyusunan APBDesa
selanjutnya.
e. Beberapa desa telah membentuk Badan Usaha Milik Desa
dengan Peraturan Desa, di Kabupaten Karanganyar
baru .....desa yang memiliki BUM Desa, yakni :
1) Desa.....
2) Desa ....
f. Beberapa desa memiliki Peraturan Desa dengan Pemakaian
Kekayaan Desa dan Peraturan Desa tentang Penjualan Tanah
Kas Desa, biasanya hal ini terkait dengan
D. Permasalahan yang Dihadapi
Secara empirik permasalahan yang dihadapi desa lebih banyak
berkaitan dengan permasalahan masyarakat desa sendiri. Masyarakat
desa yang homogen memang tidak memunculkan permasalahan
sosial yang kompleks, namun permasalahan di desa justru muncul
karena homogenitas itu sendiri, sehingga permasalahan yang ditemui
pun masih merupakan permasalahan dasar dalam pemerintahan dan
masyarakat. Pembangunan yang sudah menjangkau desa-desa saat
ini menyebabkan desa mengalami perubahan yang cukup besar.
Beberapa aspek perubahan ini bahkan belum pernah terjadi
sebelumnya sehingga telah mengubah wajah desa. Berbagai
karakteristik yang ditemukan pada desa-desa tradisional kini tidak
ditemukan lagi melainkan digantikan dengan berbagai kemajuan
teknologi yang terasa asing dan merupaan hal baru bagi masyarakat
desa.
Masyarakat desa sebagai sebuah komunitas yang sedang
mengalami perubahan karena pembangunan tidaklah lepas dari
masalah. Beberapa diantara masalah-masalah tersebut adalah
masalah lama yang belaum terselesaikan atau masalah baru yang
43
muncul akibat perubahan secara keseluruhan atau sebagai dampak
negative dari pembangunan itu sendiri. Sesuatu disebut masalah
apabila terjadi keadaan di mana harapan atau cita-cita tidak terpenuhi
karena sesuatu hal atau apa yang diharapkan terjadi berbeda dengan
kenyataan28.
Dengan demikian suatu masalah senantiasa memerlukan
penyelesaian atau pemecahan melalui upaya-upaya tertentu agar
apa yang dicita-citakan itu tercapai. Disini ditemukan bahwa tidak
semua keadaan desa yang dicita-citakan itu terwujud dalam
kehidupan sehari-hari. Bahkan tidak sedikit desa-desa yang taraf
perkembangannya masih sangat jauh dari cita-cita masyarakat dan
pemerintanya. Keadaan seperti ituah yang disebut masalah-masalah
di pedesaan. Masalah-masalah tersebut terjadi sebagai akibat
pengaruh dari luar desa, maupun sebagai akibat dinamika atau
perkembangan intern dari desa itu sendiri.
Permasalahan-permasalahan desa diantaranya adalah:
1. belum optimalnya peran pemerintahan desa;
2. masih terbatasnya alternatif lapangan kerja di desa yang
berkualitas;
3. rendahnya akses terhadap sumber-sumber permodalan-produksi-
pasar, dan
4. rendahnya ketersediaan serta akses terhadap sarana dan
prasarana sosial dasar.
Bentuk aktual permasalahan-permasalahan tersebut adalah
masih tingginya angka kemiskinan, terbatasnya lapangan kerja yang
renumeratif, masih redahnya tingkat pendidikan rat-rata penduduk,
munculnya pengangguran dan setegah pengangguran, pencemaran
air dan udara yang mulai merambah beberapa kawasan pedesaan,
28 http://mollo-mutis.blogspot.com/2012/05/permasalahan-pembangunan-masyarakat.html, diakses pada tanggal 2 Februari 2014
44
erosi, keterbatasan prasarana dan saran pelayanan umum, dan
sebagainya.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi
secara umum oleh desa diatas, maka akan terlihat secara umum pula
permasalahan yang dihadapi terkait peraturan di desa. Permasalahan-
permasalahan tersebut apabila dikaji dan diidentifikasi maka dapat
dikelompokkan pada 3 masalah utama yakni:
1. Kepemimpinan (leadership)
Permasalahan utama dalam penyelenggaraan pemerintahan
desa adalah permasalahan kepemimpinan. Sosok kepala desa
sebagai pemimpin mempunyai peran penting dalam pembangunan
di desanya. Kepala desa sebagai figur pemimpin yang
menggerakkan roda pemerintahan di desa harus mampu
mengayomi dan bersikap proaktif terhadap persoalan-persoalan
yang tumbuh di masyarakat. Mampu menjadi penengah terhadap
konflik yang muncul diantara berbagai kelompok/golongan yang
ada di masyarakat.
Selain itu, seorang kepala desa diharapkan memiliki
kepekaan dalam memahami orang lain dan mengambil kebijakan,
sehingga setiap keputusan dalam penyelenggaraan pemerintahan
dapat menyelesaikan akar permasalahan yang sebenarnya.
Kepekaan ini harus pula diimbangi dengan kemampuan kepala
desa untuk mengikuti perkembangan masyarakat di desanya,
namun sering kali justru kepala desa lebih mengedepankan
kepentingan pribadi atau golongan dibandingkan kepentingan
masyarakat secara umum, sehingga gagal untuk mendengar
aspirasi masyarakat dan kehilangan kearifannya.
Permasalahan kepemimpinan di atas berimbas pada kualitas
dan kuantitas peraturan di desa selama ini. Ketidakmampuan
Kepala Desa untuk mengidentifikasi kebutuhan desanya
45
mengakibatkan kurangnya kreatifitas dan lemahnya perencanaan
pembangunan dan perencanaan kebutuhan peraturan di desa.
Pengambilan kebijakan atas sebuah permasalahan di desa
tidak didasari dengan prinsip-prinsip pengambilan keputusan dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Kelemahan dalam hal
administrasi desa membuat kebijakan yang diambil tidak
didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan kebijakan
tidak dilembagakan dalam bentuk instrumen peraturan perundang-
undangan sebagai legalitas operasional kebijakan dimaksud.
Kelemahan kepemimpinan ini tidak semata di Pemerintah
Desa, namun di BPD dan Lembaga Masyarakat Desa lainnya.
2. Lemahnya Pemahaman administrasi penyelenggaraan
pemerintahan di desa
Ketika Undang-Undang nomor 6 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah diundangkan, maka isu yang pertama
diangkat adalah tentang dana desa sebesar 1 milyar kepada desa
dan keraguan akan pengelolaannya oleh desa. Keraguan ini cukup
berdasar karena lemahnya penguasaan administrasi
penyelenggaraan pemerintahan di desa.
Tidak dipungkiri bahwa kondisi dinamis di desa menuntut
penyelesaian yang cepat, dan tidak terkendala administrasi,
masyarakat minta sesuatu maka pemerintah desa harus segera
memenuhinya. Meskipun mungkin yang diminta masyarakat tidak
terdapat dalam perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa (APBDEsa) sebelumnya. Namun kondisi ini bisa muncul juga
karena lemahnya perencanaan dalam penyusunan APBDesa
sebelumnya yang tidak mendasarkan pada kebutuhan dan
lepibatan partisipasi masyarakat dalam mengajukan program atau
kegiatan.
Permasalahan yang muncul selama ini, apabila desa telah
menetapkan APBDesa, kemudian pada tahun anggaran berjalan
46
terdapat tambahan dana baik dari Pemerintah Pusat, Provinsi
maupun Kabupaten, seringkali dana tersebut langsung digunakan
tanpa terlebih dahulu melakukan Pembentukan Peraturan Desa
tentang perubahan APBDesa, kemudian pada akhir tahun muncul
pada laporan pertanggungjawaban APBDesa.
Permasalahan lain yang timbul adalah penyusunan Perdes
tentang APBDesa tanpa didahului dengan Perdes RPJM dan RKP.
Permasalahan berikutnya adalah pungutan yang dilakukan tanpa
dasar Perdes. Penerimaan sumbangan desa tanpa pengaturan
dasar hukumnya, dan lain sebagainya.
3. Tidak menguasai prinsip dasar hukum dan pengetahuan dasar legal
drafting
Selama ini guna memberikan pedoman bagi Pemerintah Desa,
telah diundangkan Peraturan Daerah Kabupaten Karanganyar
Nomor ... Tahun tentang Peraturan Desa.
Berdasarkan ketentuan Perda tersebut, sebenarnya desa
sudah mempunyai pedoman dalam pembentukan produk hukum di
desa. Guna memberikan pemahaman akan prinsip hukum dan
kemampuan dasar legal drafting, Pemerintah Kabupaten
Karanganyar selalu memberikan pelatihan maupun bimbingan
tehnis bagi perangkat desa dan BPD maupun LMD. Selain itu,
setiap kali Pemerintah Kabupaten memberikan suatu pedoman bagi
suatu pelaksanaan kegiatan yang harus ditindaklanjuti dengan
produk hukum, pada lampiran pedoman selalu disertakan contoh
format dari produk hukum yang dikehendaki.
Namun, pada kenyataannya meski sudah diberikan contoh,
selalu saja dalam aplikasi atau pelaksanaannya terdapat
kesalahan-kesalahan baik dari aspek implementasi dengan
mekanisme yang tidak tepat. Dari aspek mekanisme, misalnya
perdes tidak diawali dengan konsultasi dengan masyarakat desa
dan tidak melalui proses pembahasan di BPD, sekedar
47
menandatangani Keputusan BPD saja, tanpa tatap muka
pembahasan. Selain itu terdapat raperdes yang seharusnya
dievaluasi terlebih dahulu, namun sudah diundangkan. Berkaitan
dengan mekanisme evaluasi perdes ini, masih terdapat
ketidakpatuhan dari desa, khususnya untuk perdes pungutan.
Sedangkan untuk perdes APBDes adalah ketidaksesuain dengan
jadwal yang sudah ditetapkan.
Dari aspek legal drafting, konsideran menimbang, mengingat
dan rumusan bab belum menggambarkan isi, ketidaksesuaian judul
dengan isi, pengundangan oleh Sekdes dan penyusunan
penjelasan perdes.
Selain itu, terdapat desa yang menyusun Perdes Pungutan
setiap kali APBDes akan ditetapkan. Aspek lain adalah aspek
penyebarluasan perdes yang belum dilakukan dengan optimal.
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN BERKAITAN DENGAN
PERATURAN DI DESA
Kajian terhadap Peraturan Perundang-undangan ini
dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi atau materi
48
yang akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui posisi dari Undang-
Undang atau Peraturan Daerah yang baru.
Analisis ini dapat menggambarkan tingkat sinkronisasi,
harmonisasi Peraturan Perundang-undangan yang ada serta posisi dari
Undang-Undang dan Peraturan Daerah untuk menghindari terjadinya
tumpang tindih pengaturan. Hasil dari penjelasan atau uraian ini menjadi
bahan bagi penyusunan landasan filosofis dan yuridis dari
pembentukan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang akan dibentuk.
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Peraturan di Desa
punya korelasi dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih
tinggi tingkatannya. Materi muatan yang ada dalam batang tubuh
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) juga mempunyai landasan
terhadap beberapa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalam Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) sudah
menggambarkan adanya sinkronisasi dan harmonisasi dari beberapa
peraturan yang relevan sehingga tidak terjadi tumpang tindih
pengaturannya. Hal ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam penyusunan aspek filosofis, sosiologis dan yuridis.
Adapun beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar/acuan dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda)
tentang Peraturan di Desa antara lain :
A. Peraturan Perundang-undangan yang Mengatur Kewenangan
Pemerintah Daerah Untuk Mengatur dan Mengurus Sendiri Urusan
Pemerintahan Berdasarkan Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah
Undang-Undang ini diundangkan pada tanggal 2 Oktober
2014, artinya justru sebelum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa diundangkan. Mengenai hal ini dapat dijelaskan
sebagai berikut, UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang
49
diundangkan pada tanggal 15 Januari 2014 pada Pasal 121
mencabut Pasal 200 sampai dengan Pasal 216 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal-pasal
yang dicabut diatas adalah pasal-pasal dibawah Bab XI tentang
Desa. Sehingga dengan demikian sejak 15 Januari 2014,
pengaturan tentang Desa pada UU tentang Pemerintahan Daerah
telah dicabut dan diganti dengan ketentuan UU Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa.
Selain ketentuan tentang Desa, ketentuan tentang
Kepegawaian yang sudah diatur dengan UU Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara juga mencabut ketentuan Bab V
tentang Kepegawaian Daerah yang terdiri dari Pasal 129 sampai
dengan pasal 135.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta
masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan
kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Oleh sebab itu maka Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta seluruh perubahannya
perlu diubah.
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah
ditetapkan untuk memenuhi tuntutan perkembangan keadaan dan
ketatanegaraan, serta tuntutan penyelenggaran pemerintah
daerah. Muatan UU tersebut membawa banyak perubahan dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Salah satunyan adalah
pembagian urusan pemerintahan daerah. Klasifikasi urusan
pemerintahan terdiri atas tiga urusan yakni :
a. Urusan pemerintahan absolut adalah urusan pemerintahan
yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat;
50
b. Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan
yang dibagi antara pemerintah pusat, provinsi dan
kabupaten/kota;
c. Urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan Presiden.
Untuk urusan konkuren atau urusan pemerintahan yang dibagi
antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dibagi
menjadi urusan pemerintah wajib dan urusan pemerintahan pilihan.
Urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang
wajib diselenggarakan oleh semua daerah. Sedangkan urusan
pemerintahan pilihan adalah urusan pemerintahan yang wajib
diselenggarakan oleh daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki.
Prinsip secara umum atau garis besar UU Nomor 23 tahun
2014 ini merupakan kombinasi UU Nomor 5 tahun 1974 dan UU
Nomor 32 tahun 2004. Sehingga fungsi Gubernur bukan hanya
sebagai kepala daerah melainkan juga sebagai kepala wilayah
karna melaksanakan urusan pemerintahan umum. Bupati dan
walikota melibatkan urusan pemerintahan umum kepada camat,
otomatis camat merupakan kepala wilayah.
Pada pasal 2 dinyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dibagi atas daerah provinsi, provinsi dibagi atas
daerah kabupaten dan kota, kabupaten/kota dibagi atas kecamatan
dan kecamatan dibagi atas kelurahan dan/atau desa. Jadi, pasal ini
menegaskan bahwa atasan kepala desa/lurah adalah camat,
atasan camat adalah bupati/walikota, dan seterusnya.
Meskipun Pemerintahan Desa bukan lagi pelaksana urusan
pemerintahan kabupaten/kota, namun UU tentang Pemerintahan
Daerah penting sebagai dasar bagi Pemerintah Daerah untuk
melaksanakan fungsinya sebagai pembina pemerintahan desa.
51
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
Diundangkan pada 12 Agustus tahun 2011, Undang-Undang
tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan didasarkan
pada pemikiran bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.
Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang
kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk
pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan
sistem hukum nasional.
Sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di
Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang satu
dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi
permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang ini merupakan penyempurnaan terhadap
kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004, yaitu antara lain:
a) materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak
yang menimbulkan kerancuan atau multitafsir sehingga tidak
memberikan suatu kepastian hukum;
b) teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten;
c) terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan
perkembangan atau kebutuhan hukum dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan; dan
d) penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab
sesuai dengan sistematika.
Sebagai penyempurnaan terhadap Undang-Undang
sebelumnya, terdapat materi muatan baru yang ditambahkan dalam
Undang-Undang ini, yaitu antara lain:
52
a) penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan
hierarkinya ditempatkan setelah Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b) perluasan cakupan perencanaan Peraturan Perundang-
undangan yang tidak hanya untuk Prolegnas dan Prolegda
melainkan juga perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan lainnya;
c) pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan Undang-
Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
d) pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam
penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota;
e) pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan
Perundang-undangan, peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan
f) penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam
Lampiran I Undang-Undang ini.
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 terdapat
perubahan tata urutan Peraturan perundang-undangan yang diatur
dalam Pasal 7 adalah sebagai berikut:
(1) Undang-undang Dasar 1945
(2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(3) Undang-undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang
(4) Peraturan Pemerintah
(5) Peraturan Presiden
(6) Peraturan Daerah Provinsi
(7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
53
Selain adanya penambahan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis Peraturan
Perundang-undangan, yaitu adanya penegasan peraturan daerah
provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota sebagai suatu
hierarki tata turutan Peraturan perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 juga menjadi dasar
bagi penyusunan peraturan daerah kabupaten/kota baik
mekanisme perencanaan program legislasi daerah, penyusunan
peraturan daerah maupun teknis penyusunan naskah akademik.
Pada Pasal 56 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 ditegaskan
bahwa Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat berasal dari
DPRD Provinsi atau Gubernur, Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi harus disertai dengan penjelasan atau keterangan
dan/atau Naskah Akademik, Pasal tersebut berlaku secara mutatis
mutandis bagi penyusunan Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
B. Peraturan Perundang-undangan yang Mengatur Kewenangan
Pemerintah Daerah Dalam Membuat Kebijakan Tentang
Pemerintahan Desa.
1. UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Pada ketentuan pasal 112 ayat (1) UU ini disebutkan bahwa
Pemerintah Daerah bertugas membina dan mengawasi
penyelenggaraan pemerintahan di desa. Dalam rangka
melaksanakan tugas ini maka Pemerintah Daerah diberi
kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 115 huruf b, yang
langsung memerintahkan agar Pemerintah Kabupaten/kota
memberikan pedoman dalam penyusunan peraturan desa dan
peraturan kepala desa. Selain itu pada huruf e ditegaskan
Pemerintah Daerah harus melakukan pengawasan dan evaluasi
terhadap peraturan desa.
54
Pada UU tidak mengatur mengenai peraturan di desa
adalah:
a. definisi peraturan desa pada Pasal 1 angka 7;
b. pada kewenangan kepala desa dimana salah satunya adalah
menetapkan peraturan desa (Pasal 26 ayat (1) huruf d)
c. pada hak kepala desa untuk mengajukan rancangan dan
menetapkan peraturan desa (Pasal 26 ayat (3) huruf b)
d. pada fungsi BPD untuk emmbahas dan menyepakati
rancangan peraturan desa (Pasal 55 huruf a)
e. Pada hak anggota BPD untuk mengajukan usul rancangan
peraturan desa (Pasal 62 huruf a)
f. Bab khusus Peraturan Desa pada Bab VII, mulai dari Pasal 69
sampai dengan Pasal 70
g. Kepala Desa menetapkan hasil musyawarah desa tentang
APBDes pada peraturan desa (Pasal 72 ayat (3)
h. RPJMDesa dan RKP Desa ditetapkan dalam Peraturan Desa
(Pasal 79 ayat (3) dan (4)
i. Pendirian BUMDesa dengan peraturan desa (Pasal 88 ayat
(2)
j. Penjelasan Umum angka 7
2. PP 43 Tahun 2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan atas Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Pengaturan mengenai Tata cara Penyusunan Peraturan di
Desa diatur secara rinci pada Bab V. Bab ini terdiri dari 4 Bagian,
dari Pasal 83 sampai dengan pasal 89. Bagian Kesatu berjudul
Peraturan Desa, Bagian Kedua berjudul Peraturan Kepala Desa,
Bagian ketiga berjudul Pembatalan Peraturan Desa dan
Peraturan Kepala Desa, Bagian Keempat mengatur tentang
Peraturan Bersama Kepala Desa.
55
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang
Pedoman Tehnis Penyusunan Peraturan di Desa.
Pengaturan pada Permendagri ini lebih bersifat tehnis
penyusunan dan mekanisme penyusunan peraturan desa dari
perencanaan, penyusunan, evaluasi dan klarifikasi. Selanjutnya
mengenai Peraturan Bersama Kepala desa yang urutan
pengaturannya hamper sama dengan peraturan desa. Hanya saja
khusus untuk peraturan bersama kepala desa tidak diatur
mekanisme evaluasi dan klarifikasi.
Pada Permendagri ini dimunculkan kembali bentuk
Peraturan Kepala Desa sebagai salah satu bentuk peraturan di
desa. Pengaturan peraturan kepala desa cukup singkat dan tidak
mutatis mutandis sebagaimana pengaturan peraturan bersama
kepala desa.
Pengaturan lainnya adalah pembiayaan yang dibebankan
pada APBDesa. Permendagri ini memunculkan bentuk produk
hukum keputusan kepala desa pada bab ketentuan lain-lain.
Selanjutnya bentuk peraturan di desa dicantumkan dalam
Lampiran. Kekurangan dari Permendagri ini adalah tidak
mengatur mengenai bentuk perencanaan dan format standar
perencanaan. Oleh sebab itu apabila hal ini dibutuhkan oleh desa,
maka Pada Peraturan Daerah yang akan disusun nanti harus
memunculkan hal ini.
56
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
RANCANGAN PERATURAN DAERAH
TENTANG KEPALA DESA
Pembahasan pada Bab ini akan memberikan argumentasi perlu
tidaknya penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Peraturan di
Desa dipandang dari landasan filosofis, sosiologis dan yuridis. Ketiga
landasan tersebut akan menjadi sebagai bahan pertimbangan dalam
merumuskan pengaturan pada rancangan peraturan daerah.
Menurut S. Wojowasito29, bahwa landasan dapat diartikan sebagai
alas, ataupun dapat diartikan sebagai fondasi, dasar, pedoman dan
sumber. Landasan adalah dasar tempat berpijak atau tempat di mulainya
suatu perbuatan. Dalam bahasa Inggris, landasan disebut dengan istilah
foundation, yang dalam bahasa Indonesia menjadi fondasi. Fondasi
merupakan bagian terpenting untuk mengawali sesuatu.
Menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, landasan dimuat pada
konsideran yang diawali dengan kata “Menimbang”. Konsiderans memuat
uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan
alasan pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pokok pikiran pada
konsideran suatu peraturan perundang-undangan memuat unsur filosofis,
sosiologis dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan
pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari
filosofis, sosiologis dan yuridis.
29 S Wojowasito, Perkembangan Ilmu Bahasa (Linguistik) Abad 20 sebagai Dasar Pengajaran Bahasa (Hidup), FKSS IKIP Malang, Malang, 1972, hal 161
57
Guna memberikan gambaran yang jelas bagi kita, maka berikut
adalah landasan filosofis, sosiologis dan yuridis rancangan peraturan
daerah tentang Peraturan di Desa:
A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis menguraikan mengenai landasan filsafat
atau pandangan yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan
suatu masalah ke dalam peraturan perundang-undangan. Peraturan
perundang-undangan harus mendapatkan pembenaran yang dapat
diterima secara filosofis yaitu cita-cita kebenaran, keadilan dan
kesusilaan. Filsafat atau pandangan hidup suatu bangsa berisi nilai
moral dan etika dari bangsa tersebut. Moral dan etika pada dasarnya
berisi nilai-nilai yang baik dan yang tidak baik. Nilai yang baik adalah
nilai yang wajib dijunjung tinggi didalamnya ada nilai kebenaran,
keadilan dan kesusilaan dari berbagai nilai lainnya yang dianggap
baik.
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan
yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum
yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia
yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194530.
Pengertian baik, benar, adil dan susila tersebut menurut
takaran yang dimiliki bangsa yang bersangkutan, Peraturan
perundang-undangan yang dibentuk tanpa memperhatikan moral
bangsa akan sia-sia diterapkan tidak akan dipatuhi. Semua nilai yang
ada dibumi Indonesia hendaknya tercermin/bersumber dari Pancasila,
karena merupakan pandangan hidup, cita-cita bangsa, falsafah, atau
jalan kehidupan bangsa (way of life).
Adapun falsafah hidup berbangsa dan bernegara merupakan
suatu landasan penyusunan peraturan perundang-undangan dengan
30 Lampiran UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
58
demikian perundang-undangan yang dibentuk harus mencerminkan
falsafah suatu bangsa. Tujuan utama pendirian negara Indonesia
adalah terwujudnya kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakat
Indonesia. Landasan filosofis pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa tercantum pada konsideran menimbang huruf a
yang berbunyi Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional
dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
dan berperan mewujudkan cita- cita kemerdekaan berdasarkan
Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam hal ini yang menjadi dasar cita-cita dari Rancangan
Peraturan Daerah tentang Peraturan di Desa adalah penegasan
landasan filosofis undang-undang desa tersebut diatas. Karena
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi
suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang
bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis menjelaskan peraturan dianggap sebagai
suatu peraturan yang efektif apabila tidak melupakan bagaimana
kebutuhan masyarakat, keinginan masyarakat, interaksi masyarakat
terhadap peraturan tersebut. Sehingga dalam kajian ini realitas
masyarakat yang meliputi kebutuhan hukum masyarakat, kondisi
masyarakat dan nilai-nilai yang hidup dan berkembang (rasa keadilan
masyarakat).
Seiring dengan prinsip otonomi daerah yang seluas-luasnya
Pemerintahan daerah diberikan kewenangan untuk mengurus dan
mengatur urusan Pemerintahan diluar yang menjadi urusan
Pemerintahan Pusat Pemerintahan daerah baik Pemerintahan
Kabupaten/Kota memiliki kewenangan membuat suatu kebijakan
daerah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
59
Salah satu wujud kewenangan kabupaten/kota yang harus
dilakukan diantaranya dengan membuat suatu kebijakan daerah yang
berupa peraturan daerah khususnya yang mengatur tentang
Peraturan di Desa sebagai bentuk dari pelaksanaan asas subsidiaritas
dalam pengaturan UU Desa dimana kewenangan skala lokal desa
harus diatur pula oleh keputusan berskala lokal untuk kepentingan
masyarakat desa. Maka landasan sosiologis dari penyusunan
ranperda tentang peraturan di desa adalah pertimbangan bahwa
Peraturan di desa adalah guna mewujudkan ketertiban dalam
melaksanakan pembangunan, maka Penyelenggara Pemerintahan
Desa harus membentuk peraturan di desa;
C. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan kajian yang memberikan dasar
hukum bagi dibuatnya suatu peraturan perundang-undangan, baik
secara yuridis formal maupun yuridis materiil, mengingat dalam bagian
ini dikaji mengenai landasan hukum yang berasal dari peraturan
perundang-undangan lain untuk memberi kewenangan bagi suatu
instansi membuat aturan tertentu dan dasar hukum untuk mengatur
permasalahan (objek) yang akan diatur.
Peraturan perundang-undangan di level Pemerintahan
kabupaten/kota harus mempunyai landasan hukum atau dasar hukum
yang terdapat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi. Landasan yuridis merupakan landasan hukum yang
meliputi pertama mengenai kewenangan membuat peraturan
perundang-undangan, yang kedua mengenai materi peraturan
perundang-undangan yang harus dibuat.
Selain mengenai kewenangan dan materi muatan dalam
menyusun peraturan daerah harus memperhatikan asas-asas
sebagaimana di atur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Undang-Undang Beserta Penjelasannya.
60
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan
berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Adapun penjelasannya dapat diuraikan sebagai berikut :
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai
tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk
yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan
harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan
Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-
undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila
dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan
materi muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus benar benar memperhatikan materi
muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa
setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus
61
memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang undangan tersebut
di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan”
adalah bahwa setiap Peraturan Perundang undangan dibuat karena
memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa
setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan
teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika,
pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah
dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi
dalam pelaksanaannya.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.
Penetapan Peraturan Desa merupakan penjabaran atas
berbagai kewenangan yang dimiliki Desa mengacu pada ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebagai sebuah
produk hukum, Peraturan Desa tidak boleh bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi dan tidak boleh merugikan kepentingan
umum, yaitu:
a. terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat;
b. terganggunya akses terhadap pelayanan publik;
c. terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;
d. terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Desa; dan
62
e. diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras,
antargolongan, serta gender.
Sebagai sebuah produk politik, Peraturan Desa diproses secara
demokratis dan partisipatif, yakni proses penyusunannya
mengikutsertakan partisipasi masyarakat Desa. Masyarakat Desa
mempunyai hak untuk mengusulkan atau memberikan masukan
kepada Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam
proses penyusunan Peraturan Desa.
Berdasarkan uraian diatas, maka landasan yuridis penyusunan
ranperda tentang peraturan di desa ini adalah bahwa bahwa
Pemerintah Daerah perlu mengatur tentang Peraturan di Desa
sehingga dapat menjadi pedoman dalam penyusunan peraturan di
desa.
63
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH TENTANG
KEPALA DESA
A. Jangkauan dan Arah Pengaturan
Pengaturan tentang Peraturan di Desa yang akan disusun di
Kabupaten Karanganyar perlu dituangkan dalam ketentuan
perundang-undangan khususnya di dalam produk hukum daerah yang
berupa peraturan daerah, hal ini dilakukan dalam rangka untuk
memberikan kepastian hukum, untuk mengantisipasi dan mengatasi
berbagai permasalahan-permasalahan terkait penyusunan dan
pembentukan Peraturan di Desa, sehingga dapat menghindari
kemungkinan adanya multitafsir dan pertentangan antara para pihak-
pihak yang langsung atau tidak langsung.
Jangkauan peraturan daerah ini adalah berkaitan dengan
jenis dan materi muatan setiap peraturan di desa, mekanisme dan
bentuk setiap jenis peraturan di desa, pengundangan dan
penyebarluasan, serta pengawasan peraturan di desa.
Arah pengaturan dari peraturan daerah ini adalah guna
memberikan pedoman dari aspek legal drafting, aspek ketertiban
waktu dan mekanisme penyusunan peraturan di desa, kesesuaian
antara bentuk produk hukum dengan substansi serta kewenangan
pembentukan peraturan di desa, pembinaan aparatur dan
penyelenggara pemerintahan desa serta kepastian hukum suatu
peraturan di desa.
B. Lingkup Materi
Berdasarkan pertimbangan sebagaimana disebutkan dalam
landasan pemikiran maka materi yang perlu dituangkan dalam
64
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kepala Desa
meliputi:
1. Judul
2. Konsideran
a. Menimbang
b. Mengingat
3. Batang Tubuh
4. Penjelasan
a. Umum
b. Pasal demi Pasal
5. Lampiran
Adapun mengenai materi yang akan dituangkan dalam
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kepala Desa antara
lain:
1. Judul
“Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Karanganyar tentang
Peraturan di Desa.”
2. Konsideran Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Karanganyar tentang Peraturan di Desa.
Dalam konsideran menimbang dalam Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Karanganyar tentang Peraturan di
Desa perlu memaparkan sebagai berikut:
a. bahwa Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional
dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat dan berperan mewujudkan cita- cita kemerdekaan
berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945:
b. bahwa guna mewujudkan ketertiban dalam melaksanakan
pembangunan, maka Penyelenggara Pemerintahan Desa harus
membentuk peraturan di desa;
65
c. bahwa Pemerintah Daerah perlu mengatur tentang Peraturan di
Desa sehingga dapat menjadi pedoman dalam penyusunan
peraturan di desa;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan peraturan
daerah tentang Peraturan di Desa.
Dalam ketentuan konsideran mengingat harus memuat hal-
hal yang berisi alasan yuridis peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar penyusunan Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Karangayar tentang Kepala Desa yang disusun.
Adapun ketentuan mengingat yang dijadikan acuan dalam
penyusunan Rancangan Peraturan Daerah ini seharusnya
mencakup :
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan
Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa
Tengah;
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5587;
5. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5495);
66
6. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014
tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5539);
7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014
tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa.
3. Diktum
Dalam diktum memuat pernyataan Penetapan Peraturan Daerah
tentang Peraturan di Desa yang dibuat dan ditetapkan pejabat yang
berwenang.
“dengan Persetujuan Bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dengan Bupati Karanganyar”
C. Rancangan Peraturan Daerah
Dalam kerangka penyusunan Peraturan Daerah selain
mencakup judul, pembukaan, juga harus menguraikan mengenai
ketentuan batang tubuh. Adapun ketentuan batang tubuh secara
umum memuat substansi yang dituangkan dan dirumuskan dalam
bab-bab, dan pasal-pasal, dan paragraf.
Secara umum di dalam batang tubuh memuat mengenai
ketentuan umum, asas, landasan, tujuan, materi pokok, , ketentuan
pidana,ketentuan peralihan, ketentuan penutup. Pada rancangan
Peraturan Daerah ini menguraikan hal-hal sebagai berikut :
1. Ketentuan Umum
Pada ketentuan umum berisi pengertian terhadap istilah yang
digunakan pada peraturan daerah ini, antara lain adalah sebagai
berikut :
a. Daerah adalah Kabupaten Karanganyar;
b. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
67
pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
c. Pemerintahan Daerah adalah Pemerintah Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
d. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah
sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
e. Kecamatan adalah wilayah kerja Camat sebagai Perangkat
Daerah.
f. Camat adalah Camat di Daerah.
g. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak
tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
h. Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam
sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
i. Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut
dengan nama lain dibantu Perangkat Desa sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Desa.
j. Kepala Desa adalah Kepala Desa di Daerah.
k. Badan Permusyawaratan Desa adalah lembaga yang
melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya
68
merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan
keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.
l. Musyawarah Desa adalah musyawarah antara Badan
Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur
masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan
Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat
strategis.
m. Masyarakat Desa adalah penduduk yang bertempat tinggal di
Desa yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk.
n. Peraturan di Desa adalah Peraturan yang meliputi Peraturan
Desa, Peraturan Bersama Kepala Desa dan Peraturan Kepala
Desa.
o. Peraturan Desa adalah Peraturan Perundang-undangan yang
ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati
bersama BPD.
p. Peraturan Bersama Kepala Desa adalah Peraturan yang
ditetapkan oleh dua atau lebih Kepala Desa dan bersifat
mengatur.
q. Peraturan Kepala Desa adalah Peraturan yang ditetapkan oleh
Kepala Desa dan bersifat mengatur.
r. Keputusan Kepala Desa adalah penetapan yang bersifat
konkrit, individual, dan final.
s. Evaluasi adalah pengkajian dan penilaian terhadap rancangan
Peraturan Desa untuk mengetahui bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi.
t. Pegundangan adalah penempatan Peraturan di desa dalam
Lembaran Desa atau Berita Desa.
u. Klarifikasi adalah pengkajian dan penilaian terhadap Peraturan
di Desa untuk mengetahui bertentangan dengan kepentingan
69
umum, dan/atau Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi.
v. Bertentangan dengan kepentingan umum adalah kebijakan
yang menyebabkan terganggunya kerukunan antar warga
masyarakat, terganggunya akses terhadap pelayanan publik,
terganggunya ketentraman dan ketertiban umum,
terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan/atau diskriminasi terhadap
suku, agama dan kepercayaan, ras, antar golongan, dan
gender.
w. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, yang selanjutnya
disebut APB Desa adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan desa.
2. Azas, Jenis dan Materi Peraturan di Desa
Bab ini berisi Azas penyusunan peraturan di desa, jenis-jenis
peraturan di desa dan kewenangan pembentukannya, serta materi
pada masing-masing jenis peraturan di desa.
3. Tata Cara Penyusunan Peraturan di Desa
Pada Bab Tata Cara Penyusunan Peraturan di Desa memuat
mengenai tahapan penyusunan masing-masing jenis peraturan di
desa, diawali dari tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan
hingga pengundangan.
3. Evaluasi raperdes dan Klarifikasi Peraturan di Desa
Pada bab Evaluasi Raperdes dan Klarifikasi Peraturan di Desa
memuat jenis-jenis peraturan di desa yang diwajibkan evaluasi,
mekanisme evaluasi rancangan peraturan di desa dan klarifikasi
peraturan di desa.
Pada Bab ini juga dimuat sanksi bagi desa yang tidak
menindaklanjuti hasil evaluasi maupun klarifikasi serta jangka
waktu setiap tahapan guna kepastian pemberlakuan suatu
peraturan di desa.
70
4. Pembiayaan
Pembiayaan perlu diatur sehingga perencanaan pembentukan
peraturan di desa dapat berjalan lancar.
5. Pengundangan dan Penyebarluasan
Mengatur mengenai kewenangan dan waktu pengundangan serta
tindak lanjut pengundangan dengan penyebarluasan.
6. Pengawasan Peraturan di Desa
Pengaturan pengawasan produk hukum desa terkait dengan
sanksi yang diberikan kepada desa apabila desa tidak melakukan
penyusunan Peraturan di desa sebagaimana diperintahkan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan siapa yang
melaksanakan pengawasan serta mekanisme pengenaan sanksi
bagi desa.
7. Ketentuan Peralihan
Ketentuan Peralihan penting untuk mengatur status suatu
peraturan di desa yang sudah ditetapkan atau sedang dalam
proses.
8. Ketentuan Penutup
Penutup yang berisi pemberlakuan peraturan daerah ini.
9. Penjelasan Umum
Berisi penjelasan umum dari peraturan daerah tentang Peraturan
di Desa.
10. Penjelasan Pasal demi Pasal
Berisi penjelasan pasal demipasal dalam substansi peraturan
daerah ini yang perlu untuk dijelaskan guna mengindarkan
penafsiran yang berbeda dengan pembentuk peraturan daerah.
11. Lampiran
Berisi format Perencanaan Peraturan di Desa, Bentuk masing-
masing jenis Peraturan di Desa, dan Bagan Mekanisme
Penyusunan Peraturan di Desa.
71
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengundangan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentnag
Desa berakibat pada perubahan kedudukan Pemerintah Desa menjadi
pemerintah yang otonom. Pemerintah Desa yang otonom ini
berwenang menyelenggarakan pemerintahannya sendiri, dan tidak
sekedar melaksanakan urusan pemerintahan diatasnya di desa.
Dengan perubahan paradigma pemerintahan di desa ini, maka
pemerintah desa memiliki kewenangan yang luas menyangkut
kepentingan desanya. Sehingga indikator kemajuan desa ditentukan
oleh masyarakat desa yang bersangkutan melalui musyawarah desa.
Peran hukum dalam pembangunan direduksi menjadi
mewujudkan ketertiban dalam masyarakat. Oleh sebab itu, dalam
menyelenggarakan pemerintahan di desa, maka dibutuhkan kepastian
akan ketertiban hubungan antara lembaga dan masyarakat sehingga
penyelenggaraan pembangunan dan berbagai upaya mewujudkan
tujuan pembangunan di desa dapat diselenggarakan dalam kepastian
hukum. Oleh sebab itu, peran peraturan di desa menjadi penting
karenanya proses pembentukan dan substansi pengaturan harus
mencerminkan upaya perwujudan ketertiban tersebut.
Pengaturan tentang Peraturan di Desa harus mendasarkan pada
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta
berdasarkan atas kaidah hukum umum yang berlaku. Pengaturan
tentang Peraturan di Desa.
Oleh sebab itu perlu dirumuskan dengan baik dan melibatkan
berbagai elemen masyarakat sehingga diharapkan pengaturan baru
nanti dapat diterima dan dilaksanakan dengan baik.
B. Saran
72
Agar penyusunan Peraturan Daerah tentang Peraturan di Desa
dapat tersusun dan terlaksana dengan baik, maka disampaikan saran
sebagai berikut :
pertama, berdasarkan peraturan perundang-undang yang lebih
tinggi dan kaidah hukum yang berlaku umum, kedua, berdasarkan
kewenangan pemerintah daerah, ketiga, berdasarkan aspirasi dan
kepentingan masyarakat Kabupaten Karanganyar.
Karanganyar,
KEPALA BAGIAN
PEMERINTAHAN DESA DAN KELURAHAN
SEKRETARIAT DAERAH
SUNARNO, S.Sos., M.Hum
73
DAFTAR PUSTAKA
A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia, Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah
Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Indonesia, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Peraturan
Pelaksanaan tentang Desa
Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
B. BUKU/JURNAL
Ali fauzan, Implementasi Peraturan Pemeirntah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa Terkait dengan Peran Badan Permusyawaratan Desa dalam Penyusunan dan Penetapan Peraturan Desa di Kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes, Disertasi Program Pascasarjana Undip, 2010.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1993.
74
Edi Indrizal, Memahami Konsep Perdesaan dan Tipologi Desa di Indonesia.
Egon Ernst Bergel. Urban Sociology. Mc Graw Hill, New York, 1955.
H.A.W Widjaja, Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli, Bulat dan Utuh, Rajawali Pers, Jakarta, 2008.
Hans Kelsen, General Theory Of Law And State,diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Drs. Somardi, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Empirik-Diskriptif, Rimdi Press. Jakarta, 1995.
Hari Purwadi, Memahami Hukum Dari Konstruksi Sampai Implementasi, Rajawali Pers, Jakarta, 2004, hlm. 64.
Ibnu Sam Widodo, Pengujian Materiil Peraturan Desa (Kajian Normatif-Yuridis terhadap Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), Tesis, FH UI- Jakarta, 2008.
Jimly Asshiddiqie dan M.Ali Safa’at. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Konstitusi Press. Jakarta, 2006.
John C. Maxwell ,Developing The Leaders Aroud You, Nelson Business, Nasville.1995.
Kartini Kartono, Psikologi Untuk Manajeman Perusahaan dan Industri, PT Grafindo, Jakarta, 1994.
Koentjaraningrat (ed.). Masyarakat Desa di Indonesia. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta:
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan:Dasar-dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta
Miftha Toha, Perilaku Organisasi, Rajawali, Jakarta, 1983.
Moekijat, Analisis Jabatan. Bandung : Penerbit Mandar Maju. 1998
Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, Jakarta, Rineka Cipta, 2003.
Naskah Akademik RUU tentang Desa, Jakarta, 2009.
Ni’matul Huda. Negara Hukum, Demokrasi, dan Judicial Review, UUI Press, Yogyakarta 2005.
75
Ranggawidjaja, Rosidji. dalam Abdurahman Ali et all. Satu Dasawarsa Undang-Undang Dasar 1945. Bandung. Fakultas Hukum-UNPAD. PSKN- FH UNPAD, 2013.
Safari Imam Asy’ari..Sosiologi Kota dan Desa.Usaha Nasional,Surabaya, 1993.
C. WEBSITE
http://hedisasrawan.blogspot.com/2014/07/16-pengertian-desa-
menurut-para-ahli.html, diakses pada 13 September 2014.
http://kbbi.web.id/tugas diakses pada tanggal 10 Februari 2014
Safi, Pembaharuan Sistem Pemilihan Kepala Desa dalam
Kerangka Pemilihan Umum di Indonesia,
mfile.narotama.ac.id/files/M.../SISTEM%20PILKADES%20(4).rtf
http://mollo-mutis.blogspot.com/2012/05/permasalahan-
pembangunan-masyarakat.html, diakses pada tanggal 2 Februari
2014
76