naskah dliy al-anwÂr fi tashfiat...
TRANSCRIPT
i
Naskah “DLIYÂ AL-ANWÂR FI TASHFIAT AL-AKDÂR”
Karya Muhammad Idrus Qaimuddin
(Tinjauan Stilistika)
TESIS
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum)
Pembimbing:
Dr. Darsita Suparno, M.Hum
Oleh:
AMSIR
NIM: 21160222000013
PROGRAM MAGISTER BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVESRSITS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
JAKARTA
2019
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang saya tulis sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora (M. Hum.) dan diajukan pada
jurusan Magister Bahasa dan Sastra Arab, pada Fakultas Adab dan Humaniora,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, ini sepenuhnya karya
tulis ilmiah pribadi.
Adapun tulisan maupun pendapat orang lain yang terdapat dalam tesis ini
telah saya sebutkan kutipannya secara jelas sesuai dengan etika keilmuan yang
berlaku di bidang karya ilmiah.
Apabila kemudian hari terbukti bahwa sebagian atau seluruh isi tesis ini
merupakan hasil dari plagiat atau mencontek karya tulis orang lain, saya bersedia
untuk menerima sanksi yang berupa pencabutan gelar kesarjanaan yang saya
terima ataupun sanksi akademik lain sesuai dengan peraturan akademik yang
berlaku.
Jakarta, 12 Juni 2020
Amsir
Nim: 21160222000013
iii
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
Naskah “DLIYÂ AL-ANWÂR FI TASHFIAT AL-AKDÂR”
Karya Muhammad Idrus Qaimuddin
(Tinjauan Stilistika)
Tesis ini diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk memenuhi
syarat-syarat mencapai gelar sarjana Magister Humaniora (M. Hum)
Oleh:
Amsir
NIM: 21160222000013
Di bawah bimbingan
Dosen pembimbing,
Dr. Darsita Suparno, M.Hum
NIP, 196108071993032001
PROGRAM MAGISTER BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVESRSITS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2020M
iv
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan karunia-Nya sehingga penelitian dengan judul “Naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi
Tashfiat al-Akdâr Karya Muhammad Idrus Qaimuddin (Tinjauan Stilistika)”
dapat terselesiakan. Shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah membimbing umat manusia kepada kebahagiaan dunia dan
akhirat.
Penulis telah mampu merampungkan tesis ini dengan baik. Segala bentuk
rintangan dan cobaan, merupakan suatu perjuangan bagi penulis. Tentu semua itu,
membutuhkan proses panjang dan berliku. Kesabaran dan keuletan merupakan
obat yang mujarap, sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Di balik semua itu,
banyak pihak-pihak yang ikut membantu serta mendoakan hingga tesis ini dapat
terselesaikan. Tanpa dukungan, bantuan, dan do‟a dari mereka, tentu tesis ini
belum bisa terselesaikakn hingga saat ini. Untuk itu, penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian tesis ini.
Berbagai pihak tersebut antara lain: 1. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr.
Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A.
2. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Bapak Drs. Saiful Umam, M.A.,
Ph.D.
3. Ketua Program Magister Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan
Humaniora, Bapak Dr. Adib Misbachul Islam, M.Hum, terima kasih atas
semua bantuannya, terutama dalam hal administrasi serta pengaturan
jadwal ujian.
4. Dosen Pembimbing, Ibu Dr. Darsita Suparno, M.Hum, terima kasih telah
banyak meluangkan waktu dan memberikan saran serta motivasi yang tak
henti dalam menyelesaikan tesis ini. Semoga Allah SWT membalas
kebaikan Ibu dengan pahala yang berlipat ganda, Amin.
5. Dosen Pengajar Program Magister Bahasa dan Sastra Arab Fakultas
Adab dan Humaniora, Bapak Dr. Zubair, M.Ag, yang telah banyak
meluangkan waktunya untuk konsultasi pemilihan judul serta
vi
mengarahkan penelitian. Dengan sabar mendengarkan keluhan dan
pertanyaan sehingga memberikan solusi penyelesaian tesis. Semoga
Allah SWT membalas kebaikan Bapak dengan pahala yang berlipat
ganda, Amin.
6. Dewan Penguji Tesis Saya, pada Program Magister Bahasa dan Sastra
Arab Fakultas Adab dan Humaniora, Ibu Dr. R. Yaniah Wardani M.A,
yang telah banyak memberikan saran guna kesempurnaan Tesis saya.
Semoga Allah SWT membalas kebaikan Ibu dengan pahala yang berlipat
ganda, Amin.
7. Kepada kedua orang tuaku, yang telah melahirkan dan membesarkanku.
Membimbing serta mengajarkanku tentang makna hidup. Mendoakan
dengan setulus hati agar anaknya berhasil dan sukses.
8. Kepada teman-teman seangkatan, Program Magister Bahasa dan Sastra
Arab pada Fakultas Adab dan Humoniora. Terutama teman-teman dari
Jambi, Ust. Muttaqi, Ust. Saupi, Ust. Fajri, yang telah menemeni
berdiskusi tentang tesis yang diteliti.
9. Kepada teman-teman serumpun dari Tanah Buton yang berada di Jakarta
(HIPMIB). Terutama Ust. Sairul, Ust. Falah, Ust. Syarif, Ust. Rasyid,
Ust. Elfar, Ust. Lani, Ust. Jumadin, Ust. Razak, Ust. Hafid, dan masih
banyak lagi teman-teman lainnya yang tidak sempat saya sebutkan satu
persatu. Saya ucapkan terima kasih telah mendukung selama pendaftaran,
perkuliahan, hingga penyelesaian tesis ini.
10. Keluargaku, sahabatku, di Tanah Buton yang telah mengirimkan do‟a
dan dukungan kepada saya. Semoga Allah SWT membalas kebaikan
mereka dengan pahala yang berlipat ganda, Amin.
Akhirnya penulis berdoa dan berharap semoga semua pihak yang telah
membantu, selalu mendapat balasan dari Allah SWT. Semoga hasil penelitian ini
dapat memberikan manfaat, terutama yang tertarik dengan linguistik dan stilistika.
Jakarta, 23 April 2019
Penulis
Amsir
vii
ABSTRAK
Amsir (NIM : 21160222000013), “Naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr
Karya Muhammad Idrus Qaimuddin (Tinjauan Stilistika),” Program Magister
Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2019, Pembimbing: Dr. Darsita Suparno, M. Hum.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penggunaan diksi dan gaya bahasa
dalam naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr. Dengan menggunakan jenis
penelitian deskriptif kualitatif, penelitian ini mengambil data berupa diksi dan
gaya bahasa yang terdapat dalam naskah berupa kata, frasa, dan kalimat yang
menunjukkan adanya ciri-ciri diksi dan gaya bahasa. Sumber data dalam
penelitian ini adalah Naskah Naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr. Teknik
pengumpulan data yang digunakan ialah teknik catat. Data di analisis dengan
menggunakan tinjauan stilistika.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) terdapat Sembilan (9) diksi yang
digunakan dan di bagi berdasarkan jenisnya yaitu: a) diksi bermakna denotitif, b)
diksi bermakna konotatif, c) diksi bermakna sinonim, d) diksi bermakna antonim,
e) diksi bernilai rasa, f) diksi bermakna konkret, g) diksi bermakna abstrak, h)
diksi bermakna keumuman, i) diksi bermakna kekhususan, 2) terdapat tiga (3)
gaya bahasa kiasan yang digunakan dan di bagi berdasarkan jenisnya yaitu: a)
gaya simile (tasybih), b) metafora (isti‟ârah), c) personifikasi (tajsîd).
Dengan penemuan di atas, semoga dapat membantu para pembaca untuk
memahami isi naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr, baik dari segi diksi
dan gaya bahasanya maupun makna yang terkandung didalamnya. Berdasarkan
hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan stilistika dapat
dijadikan sebagai alat mengaanalisis dalam penelitian naskah tasawuf.
Kata Kunci: Naskah, Diya Al-Anwar fi Tasfiat Al-Akdar, stilistika, diksi, gaya
bahasa.
viii
ABSTRACT
Amsir (NIM: 21160222000013), “Manuscript of Dliyâ' al-Anwâr fi Tashfiat al-
Akdâr by Muhammad Idrus Qaimuddin (Stylistic Review),” Arabic Language and
Literature Master Program, Faculty of Adab and Humanities, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2019, Advisor: Dr. Darsita Suparno, M. Hum.
This study aims to determine the use of diction and language style in the
manuscript Dliy 'al-Anwar fi Tashfiat al-Akdâr. By using descriptive qualitative
research, this study takes data in the form of diction and language style in the
manuscript in the form of words, phrases, and sentences that indicate the
characteristics of diction and language style. The data source in this study is the
Manuscript of Dliy'al al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr. The data collection
technique used is the note taking technique. Data were analyzed using stylistics
reviews.
The results showed that: 1) there were nine (9) diction which were used and
divided based on the type, namely: a) denotitive meaningful diction, b)
connotative meaningful diction, c) diction meaning synonym, d) diction
meaningful antonym, e) diction worth taste, f) diction meaning concrete, g)
diction meaning abstract, h) diction meaning publicity, i) diction meaning
specificity, 2) there are three (3) figures of speech language used and divided by
type: a) simile style (tasybih), b) metaphor (isti'ârah), c) personification (tajsîd).
With the above findings, hopefully it can help the reader to understand the
contents of the Dliyâ' al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr manuscript, both in terms of
diction and language style as well as the meaning contained therein. Based on the
above research results, it can be concluded that the and stylistics approach can be
used as an analysis tool in Sufism manuscript research.
Keywords: Manuscripts, Dliyâ' al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr, stylistics, diction,
language style.
ix
الملخص
نص ضياء الأنوار في تصفية الأكدار بتأليف بؿمد إدركس قاإـ الدين ”(،21161222111113م ىوية الطالب : أمست )رق
، قسم اللغة العربية كآدابها، كلية الآداب كالعلوـ الإنسانية، جامعة شريف ىداية الله الإسلامية “ الأسلوبية ( البحث في علم ( سوبارنو.فة: د. دارستا ، مشر٢ابغكومية جاكرتا،
تصفية في الأنوار ضياء بـطوطة في اللغة كالأسلوب الكلمة اختيار استخداـ برديد إلى البحث ىذه تهدؼ
تدؿ التي كابعملة الكلمة بشكل البيانات يأخذ البحث ىذا كاف النوعي، الوصفي البحث باستخداـ. الأكدار في الأنوار ضياء بـطوطة ىو البحث ىذا في البيانات مصدر. اللغة كالأسلوب الكلمة اختيار خصائص على
.الأسلوبية منهج باستخداـ البيانات برليل تم. ابؼلاحظات تدكين تقنية ىي البيانات بصع تقنية. الأكدار تصفية
الكلمة( أ(: كىي ، النوع على كتقسيمها استخدامها يتم التي الكلمة اختيار تسعة ىناؾ( 1:أف النتائج أظهرت( ق( تضاد، معت بؽا الكلمة( د (ادؼ، معت بؽا الكلمة( ج(بؾازم، معنىى بؽا الكلمة( ب( قيقة،ح معنىى بؽا
(العاـ معت بؽا الكلمة( ح (باطن، معت بؽا الكلمة( ز (ظاىر، معت بؽا الكلمة( ك( سياقية، معت بؽا الكلمة: كىي النوع، على كتقسيمها استخدامها يتم التي الغوية أسلوب ثلاثة ك ىناؾ( 2 ابػاص، معت بؽا الكلمة( ط .بذسيد معت بؽا الكلمة( ج (استعارة، معت بؽا الكلمة( ب( ، تشبيو معت بؽا الكلمة( أ(
تصفية في الأنوار ضياء بـطوطة بؿتويات فهم على القارئ يساعد أف نأمل أعلاه، ابؼذكورة النتائج مع لذلك أف أعلاه، البحث نتائج على بناءن ك .فيو كاردة التي كابؼعت اللغة كأسلوب الكلمات اختيار حيث الأكدارمن
.التصوؼ بـطوطات بحث في لتحليل يستخدـ أف بيكن ةالأسلوبي ابؼنهج
.الكلمة، أسلوب اللغة ،الأسلوبية ، ضياء الأنوار في تصفية الأكدار،بـطوطةالكلمات ابؼفتاحية:
x
PEDOMAN TRANSLITERASI*
* Metode transliterasi diadopsi dari Pedoman Akademik Program Magister dan Doktor
Kajiam Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007/2008
I. Konsonan II. Vokal Pendek
' ء a
B ة i
T د u
TS III. Vokal Panjang س
ا J ج â
H ح î
KH ر û
D IV. Diftong د
DZ ر au
R س ai
Z V. Pembauran ص
-al ا S ط
ؼا SY ػ al-sy-
-Wa al ا SH ؿ
xi
DL ك
TH ه
ZH ظ
A„ ع
GH ؽ
F ف
Q ق
K ن
L ي
M
N
W
H
Y
T ح
xii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ........................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING............ ................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN TESIS ............................................................................. iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................................... x
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Batasan Masalah........................................................................................... 4
C. RumusanMasalah ......................................................................................... 5
D. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 5
E. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 5
F. Kerangka teori .............................................................................................. 5
G. Tinjauan Kajian Terdahulu .......................................................................... 6
H. Metode Penelitian......................................................................................... 8
I. Sistematika Penulisan ................................................................................ 10
BAB II DIKSI DAN GAYA BAHASA
A. Diksi ........................................................................................................... 12
B. Gaya Bahasa ............................................................................................... 18
C. Gaya Bahasa Kiasan ................................................................................... 22
BAB III BIOGRAFI MUHAMMAD IDRUS QAIMUDDIN DAN NASKAH
DLIYÂ’ AL-ANWÂR FI TASHFIAT AL-AKDÂR
1. Biografi Muhammad Idrus Qaimuddin ................................................... 25
2. Karya-karya Muhammad Idrus Qaimuddin............................................ 29
3. Naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr ........................................ 32
xiii
BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penggunaan Diksi dan Maknanya Pada Naskah ....................................... 36
B. Penggunaan Bahasa Kiasan dan Maknanya Pada Naskah ....................... 64
C. Analisis .................................................................................................... 113
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................. 128
B. Saran ........................................................................................................ 129
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 130
LAMPIRAN TERJEMAHAN NASKAH ........................................................ 137
xiv
DAFTAR TABEL
A. Tabel 1 Simpulan Penanda Gaya Bahasa Simile (tasybih) ....................... 84
B. Tabel 2 Ciri Gaya Bahasa Metafora (isti‟ârah) ...................................... 106
C. Tabel 3 Ciri Gaya Bahasa Personifikasi (tajsîd) ..................................... 112
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan Islam di Nusantara tidak terlepas dari pengaruh Ulama-
ulama yang berada di Timur Tengah. Hubungan antara para penuntut ilmu dari
Nusantara dengan Ulama Timur Tengah.1 Hubungan interaksi inilah, kelak akan
melahirkan Ulama-ulama yang fasih di bidang agama, khususnya dalam
pemahaman dan pengamalan ajaran agama Islam.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki wilayah lautan
yang luas. Pulau-pulau terbentang di seluruh Nusantara.2 Buton merupakan salah
satu pulau di Nusantara yang terletak bagian timur Indonesia. Posisinya berada di
ujung tenggara Sulawesi.3 Buton berada dalam jalur pelayaran yang
menghubungkan Makssar dan Maluku.4 Di sanalah tempat lahirnya seorang
Ulama yang alim dan pandai menulis. Memiliki karya agung dalam sejarah
kesusastraan di Nusantara. Tulisan yang menggugah jiwa serta menuntun jalan
kebajikan. Ia adalah Muhammad Idrus Qaimuddin, seorang sastrawan Islam dari
Tanah Buton.
Muhammad Idrus Qaimuddin termasuk ulama yang menganut ajaran
tasawuf.5 Dapat dilihat pada karyanya yang bernuansa ajaran tasawuf,
diantaranya: Kashf al-Hijâb fi Murâqabat al-Wahhâb, Mu‟nisat al-Qulȗb fi al-
Dzikr wa Mushâdah „Allam al-Ghuyûb, Dliyâ al-Anwâr fi tashfiat al-Akdâr.6
Menurut Rosidi (1994:337), Muhammad Idrus Qaimuddin termasuk salah seorang
1 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
& XVIII (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal. 1. 2 Susanto Zuhdi dkk, Orang Buton Dalam Diaspora Nusantara Dan Integrasi Bangsa
(Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2019), hal. 1. 3 M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf Di Nusantara (Jakarta: PT Raja Grafindo,
2005), hal. 245. 4 Susanto Zuhdi, Sejarah Buton Yang Terabaikan, Labu Rope Labu Wana (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), hal. 3. 5 M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf Di Nusantara (Jakarta: PT Raja Grafindo,
2005), hal. 273. 6 Falah Sabirin, Tarekat Sammaniyah Di Kesultanan Buton, Kajian Naskah-Naskah
Buton (Jakarta: YPM, 2011), hal. 71.
2
“sastrawan sufi terkenal abad XIX,” sedangkan karya-karyanya digolongkan
kepada kelompok “zaman Islam.”.7
Selain sebagai ulama, Muhammad Idrus Qaimuddin adalah seorang
Sultan. Muhammad Idrus terpilih sebagai Sultan Buton ke dua puluh sembilan
pada tahun (1824-1851).8 Walaupun Muhammad Idrus sebagai Sultan, tidak
mengurangi semangatnya untuk melahirkan karya gemilang. Di sela-sela
kesibukannya sebagai Sultan, ia juga menyempatkan waktu untuk menulis. Dapat
dilihat pada tulisannya yang berjudul “Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr,”
ditulis pada hari ketiga, bulan rabi‟ul awwal 1250 H atau Kamis, sepuluh Juli
1834 M. Maka dapat dipastikan bahwa naskah ini, ditulis ketika Muhammad Idrus
telah menjabad sepuluh tahun sebagai Sultan Buton Ke-29 (1824-1851 M).9
Karya Muhammad Idrus Qaimuddin saat ini tersimpan di Keraton Buton, berada
dalam pengawasan Al-Mujazi yang tinggal di sekitaran Berteng Keraton Buton.
Karya tersebut telah berumur ratusan tahun yang kini dikenal dengan naskah
kuno.
Naskah dalam pandangan Arab ialah tulisan tangan yang disebut “al-
Makhtûtât.” Adapun dalam bahasa Inggris, naskah ialah “manuscript” yang
merupakan buku, dokumen atau lainnya yang ditulis tangan. Naskah atau
manuskrip dalam pemahaman filologi ialah tulisan tangan yang berbahan kertas,
lontar, bambu, dan lainnya yang telah berumur tua. Melalui naskah, kita
mendapatkan informasi sejarah serta cermin kehidupan masa lalu yang dapat
dikaitkan dengan masa kini, sehingga dapat menambah inspirasi dalam berpikir.10
Selain karya Muhammad Idrus Qaimuddin, dalam naskah koleksi Al-
Mujazi juga terdapat karya ulama serta cendekia lainnya yang turut memperkaya
khazasnah kepustakaan di Tanah Buton. Karya-karya tersebut, ada yang berkaitan
dengan ajaran-ajaran Islam seperti: tarekat, tasawuf, fikih, tauhid. Ada pula yang
berkaitan ilmu pengetahuan lainnya seperti: hukum, sejarah, primbon, bahasa, dan
7 La Niampe, Nasihat Leluhur Untuk Masyarakat Buton-Muna (Mujahid Press, 2014),
hal. xiv. 8 Abdul Mulku Zahari, Syair Bula Malino Kapekarunana Yinca (Baubau: CV. Dia dan
Aku, n.d.), hal. 6. 9 Falah Sabirin, Tarekat Sammaniyah Di Kesultanan Buton, Kajian Naskah-Naskah
Buton (Jakarta: YPM, 2011), hal. 85. 10
Oman Fathurahman, Filologi Indonesia Teori Dan Metode (Jakarta: Prenada Media
Group, 2015), hal. 22–23.
3
hikayat. Naskah-naskah tersebut diwarisi oleh ayahnya yaitu Abdul Mulku Zahari
yang merupakan sekertaris Sultan terakhir. Naskah Dliyâ al-Anwâr fi Tashfiat al-
Akdâr adalah salah satu dari koleksi Al-Mujazi yang berisi tentang ajaran tasawuf.
Dalam naskah, dijelaskan tentang sifat-sifat tercela yang ada di hati serta
anjuran untuk mensucikan jiwa dari sifat tersebut. Selain penjelasan tentang
penyakit hati, masih banyak lagi uraian lainnya yang tidak kalah menarik untuk
disimak. Salah satunya ialah tentang zikir, dijelaskan bahwa dengan berzikir dapat
mendekatkan seorang hamba kepada tuhan, sebagaimana yang tampak pada
penggalan kutipan berikut:
11
Artinya: „Sesungguhnya temanmu yang tidak akan pernah
meninggalkanmu dalam kesendirianmu, perjalananmu, tidurmu, terjagamu,
begitupula dalam hidup dan matimu, Dia adalah tuhanmu sebagai walimu,
pemimpinmu, dan penciptamu. Dan ketika engkau mengingatNya, maka dia akan
duduk bersamamu.‟
Kutipan di atas, jika dibaca secara sederhana tentu akan sulit dipahami
makna yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan karena ungkapan tersebut
menggunakan bahasa perumpamaan, dalam Ilmu Bayan disebut tasybih.12
Dapat
dilihat pada diksi yang dipakai “ج١غه” (duduk bersamamu) yang
mengumpamakan seorang kawan yang menemani, seolah-olah tuhan datang
kepada seorang hamba yang berzikir bagaikan seorang kawan yang menemani.
Manfaat zikir selain dapat mendekatkan seorang hamba kepada tuhan, juga
dapat membuka hakekat kebenaran hati. Sebagaimana yang tampak pada
penggalan kutipan berikut:
13
11 Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 12r.
12 Bayan ialah salah satu bab dalam ilmu Balaghah yang mempelajari tentang tasybih.
Adapun tasybih ialah penjelasan suatu hal atau beberapa hal yang memiliki kesamaan sifat dengan
hal lain; Lihat: Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Terjemah Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2018), hal. 21. 13
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 7r.
4
Artinya: „Amalan zikir ini dapat mempercepat membuka (kebenaran) hati
dan mendekatkan diri kepada Allah, dengan syarat menghadirkan makna zikir di
dalam hati pada setiap kali mengucapkannya. Sebab zikir adalah kunci hakekat
hati dan mengangkat derajat para salik pada alam gaib.‟
Sama halnya dengan kutipan sebelumnya, kutipan ini juga sulit dipahami
makna yang sesungguhnya jika dibaca secara sederhana. Hal ini disebabkan
karena ungkapan tersebut juga menggunakan bahasa perumpamaan. Dapat dilihat
pada diksi yang dipakai “فزبح” (kunci) yang mengumpamakan pembuka hati,
yaitu dengan berzikir akan membuka hakekat-hakekat kebenaran yang ada di
dalam hati.
Jika kita menelaah lebih jauh, pemaparan di dalam naskah banyak
menggunakan diksi dan bahasa kiasan. Hal ini mengandung gaya bahasa yang
menarik untuk diteliti. Diksi apa saja yang digunakan, juga gaya bahasa apa saja
yang terdapat dalam naskah.
Mengungkap diksi dan gaya bahasa yang terdapat dalam naskah ini sangat
penting, guna memahami isi naskah secara utuh dan mendalam. Dengan
pendekatan linguistik dan stilistika, maka diksi dan gaya bahasa dalam naskah
Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr akan terungkap. Berangkat dari sini,
penelitian diksi dan gaya bahasa dalam naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-
Akdâr dapat diteliti.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa pendekatan yang tepat
digunakan untuk menganalisis naskah ialah linguistik, stilistika, dan tasawuf.
Linguistik akan mengkaji diksi berdasarkan maknanya. Stilistika mengkaji gaya
bahasanya. Adapun tasawuf digunakan untuk membantu memperkaya makna-
makna yang diuraikan dalam pemaknaan gaya bahasa.
B. Batasan Masalah
Penelitian ini menitik beratkan pada analisis:
1. Diksi dan maknanya pada naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr.
2. Gaya bahasa kiasan dan maknanya pada naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat
al-Akdâr.
5
C. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang ingin di analisis pada penelitian ialah :
1. Bagaimana penggunaan diksi dan maknanya pada naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi
Tashfiat al-Akdâr ?
2. Bagaimana penggunaan gaya bahasa kiasan dan maknanya pada naskah Dliyâ‟
al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr ?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini diantaranya:
1. Untuk mengetahui penggunaan diksi dan maknanya pada naskah Dliyâ‟ al-
Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr.
2. Untuk mengetahui penggunaan gaya bahasa kiasan dan maknanya pada
naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini diantaranya:
1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai wawasan dan sarana
pengembangan analisis bahasa, khususnya penggunaan diksi dan gaya bahasa
pada naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr.
2. Memberikan kerangka teoritik untuk pengembangan kajian naskah melalui
pendekatan linguistik dan stilistika.
3. Pengembangan kajian naskah melalui pendekatan linguistik dan stilistika.
F. Kerangka Teori
Diksi atau pilihan kata dalam praktik berbahasa, sesungguhnya
mempersoalkan kesanggupan sebuah kata, frasa atau kelompok kata, untuk
menimbulkan gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar.14
Didalam diksi terdapat untaian kata-kata yang dapat mendukung ungkapan. Kata,
rangkaian kata, dan pasangan kata yang dipilih si penyusun secara seksama dapat
menimbulkan suatu efek yang dikehendaki pada diri pembaca.15
Pengertian kata
(Murphy, 2013:11) merujuk kepada satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri,
14
Kunjana Rahardi, Dimensi-Dimensi Kebahasaan: Aneka Masalah Bahasa Terkini
(Jakarta: Erlangga, 2006), hal. 31. 15
Zubair, Stilistik Arab, Studi Ayat-Ayat Pernikahan Dalam Alquran (Jakarta: Amzah,
2017), hal. 63.
6
satuan bahasa itu dapat berupa morfem bebas atau morfem terikat. Makna sebuah
kata meskipun secara sinkronik tidak berubah, tetapi karena berbagai faktor dalam
kehidupan dapat menjadi bersifat umum. Makna kata itu baru menjadi jelas kalau
berada dalam konteksnya.16
Setiap kata yang dipilih oleh pengarang digunakan
untuk menyampaikan suatu fenomena. Sehubungan dengan ini digunakan konsep
diksi atau pilihan kata yang dikenal dengan istilah gaya bahasa. Adapun yang
secara khusus mengkaji gaya bahasa ialah stilistika. Agar lebih jelas uraian
tentang kerangka teori yang mengkaji linguistic dan stilistik pada penelitian ini
akan dipaparkan lebih lanjut pada bab dua.
G. Tinjauan Kajian Terdahulu
Setelah dilakukan penelusuran naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-
Akdâr, ditemukan beberapa penelitian diantaranya yang berjudul “Tarekat
Sammânîyah di Kesultanan Buton: Kajian Naskah-Naskah Buton”. Penelitian ini
dilakukan oleh Falah Sabirin sebagai tesisnya pada SPS UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Penelitian ini menguraikan bagaimana naskah-naskah kuno
mengilustrasikan Tarekat Sammânîyah dan hubungan Tarekat Sammânîyah di
Buton dengan Tarekat Sammânîyah lainnya di Nusantara yaitu Banten serta
berbagai coraknya.17
Adapun perbedaan dalam penelitian yang saya lakukan
terletak pada analisis yang dilakukan. Saya mengkaji diksi dan gaya bahasa kiasan
pada naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr.
Selanjutnya Jurnal yang diterbitkan BRILL oleh A.C.S. Peacock, di
Univefsitas St Andrews dengan judul “Arabic Manuscripts from Buton, Southeast
Sulawesi, and the Literary Activities of Sultan Muḥammad ʿAydarûs (1824–
1851).” Penelitian ini ditemukan koneksi Buton dan gerakan sufi reformisnya
dengan dunia Islam yang lebih luas di Nusantara dan luar negeri termasuk Hijaz.18
Perbedaan penelitian yang saya lakukan terletak pada analisis yang dilakukan.
16
Abdul Chaer dan Liliana Muliastuti, Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Universitas
Terbuka, 2009), hal. 1.27. 17
Falah Sabirin, Tarekat Sammaniyah Di Kesultanan Buton, Kajian Naskah-Naskah
Buton (Jakarta: YPM, 2011). 18
A.C.S. Peacock, “Arabic Manuscripts from Buton, Southeast Sulawesi, and the
Literary Activities of Sultan Muḥammad ʿAydarūs 1824–1851,” BRILL, Journal of Islamic
Manuscrip, 2019, 44–83, Brill.com/04/16/2019 02:08:53PM via University of St. Andrews.
7
Saya mengkaji diksi dan gaya bahasa kiasan pada naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi
Tashfiat al-Akdâr.
Kemudian kajian manuskrip oleh Imam Sya'roni dengan judul “Kitâb
Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr.” Penelitian ini ditemukan biografi tentang
Sultan Muahammad Idrus Qaimuddin. Kemudian peneliti mendeskripsikan
susunan pembahasan didalam naskah tersebut. Perbedaan dalam penelitian yang
saya lakukan terletak pada pada analisis yang dilakukan. Saya mengkaji diksi dan
gaya bahasa kiasan pada naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr.19
Adapun tesis yang berkaitan dengan kajian stilistika, ditemukan sebagai
berikut: penelitian yang berjudul “Analisa Stilistika Pada Surat Al-Jin.” Penelitian
ini dilakukan oleh Muthmainah sebagai tesisnya di UIN Sunan Kali Jaga.
Penelitian ini mendeskripsikan Surah al-Jin dan gaya bahasa dalam surat tersebut,
yaitu gaya bahasa berdasarkan kata, struktur kalimat dan langsung tidaknya
makna.20
Perbedaan dalam penelitian yang saya lakukan terletak pada obyek yang
diteliti dan fokus analisis. Saya lebih memfokuskan pada analisis penggunaan
diksi dan gaya bahasa pada naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr.
Begitu juga penelitian Suniarti Sunny yang berjudul “Gaya Bahasa dalam
Surat Ar-Rahmân (Kajian Stilistika).” Penelitian ini sebagai tesisnya di UIN
Sunan Kalijaga. Dalam penelitian ini memahami konteks surah ar-Raḥmān isinya
adalah nikmat- nikmat Allah sehingga berimplikasi pada pilihan kata dan
ritmenya. Bentuk gaya bahasa dalam surat ar-Raḥmân ini mempunyai ciri-ciri
pengulangan ayat. Ditemukan juga gaya bahasa berdasarkan nada, yaitu gaya
bahasa sederhana dan gaya bahasa mulia dan bertenaga. Kemudian gaya bahasa
berdasarkan struktur kalimat dan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya
makna.21
Perbedaan dalam penelitian yang saya lakukan terletak pada obyek
penelitian dan fokus analisis. Saya lebih memfokuskan pada analisis penggunaan
diksi dan gaya bahasa pada naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr.
19
Imam Sya‟roni, "Kitab Dliyâ‟ al-Anwâr Fi Tashfiat al-Akdâr Karya Muhamad Idrus
Kaimuddin Ibnu Fakir Badaruddin al-Butuni”, n.d., http://nahdlatululama.id/blog/6/17/2020. 20
Muthmainah, Analisa Stilistika Pada Surat Al-Jinn (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga,
2012). 21
Suniarti Sunny, Gaya Bahasa Dalam Surat Ar-Rahmān (Kajian Stilistika) (Yogyakarta:
Uin Sunan Kalijaga, 2014).
8
Kemudian penelitian disertasi Syihabudin Qalyubi yang berjudul
“Stilistika al-Qur‟an Kisah Ibrahim.” Gaya bahasa kisah Ibrahim kemudian
dianalisis dari aspek leksikal, gramatika, gaya retoris dan kiasan serta kohesi.22
Penelitian ini ditemukan gaya bahasa aspek leksikal, gramatika, gaya retoris dan
kiasan serta kohesi. Perbedaan dalam penelitian yang saya lakukan terletak pada
obyek penelitian dan fokus analisis. Saya lebih memfokuskan pada analisis
penggunaan diksi dan gaya bahasa pada naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-
Akdâr.
H. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang merupakan penelitian
kepustakaan (library research). Digolongkan kepada penelitian dokumen yaitu
naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr karya Muhammad Idrus Qaimuddin.
Penelitian kualitatif bidang perpustakaan yang sering dilakukan adalah analisis
dokumen. Penelitian dokumen atau historiografi yang selama ini terkumpul di
perpustakaan kemudian diorganisir dan dianalisis secara kualitatif.23
Studi dengan
cara mengkaji naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr, buku-buku, naskah-
naskah, serta sumber kepustakaan lainnya yang relevan dengan dalam penelitian.
2. Sumber Data
Sumber data terbagi dua yaitu primer dan sekunder. Data primer ialah data
utama yang dikumpul dan diolah sendiri oleh peneliti langsung dari objek.
Sedangkan data sekunder adalah data pendukung dalam penelitian.24
Data primer
dalampenelitian ini ialah Naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr karya
Muhammad Idrus Qaimuddin. Sedangkan data sekunder adalah buku-buku yang
membahas naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr, buku-buku yang
membahas karya Muhammad Idrus Qaimuddin, buku-buku yang mengkaji diksi,
buku-buku kajian gaya bahasa, buku-buku yang mengkaji tasawuf, dan sumber-
22
Syihabuddin Qalyubi, Stilistika Al-Qur‟an, Makna Di Balik Kisah Ibrahim
(Yogyakarta: LKiS, 2009). 23
Sri Hartinah Zahari, “Metode Penelitian Perpustakaan” (Banten: UT, n.d.). 24
Sri Hartinah Zahari, “Metode Penelitian Perpustakaan” (Banten: UT, n.d.).
9
sumber lain yang masih relevan dengan kajian penelitian yang berasal dari
kepustakaan manual dan digital.
3. Obyek dan Penelitian
Pada penelitian ini, yang menjadi obyek untuk diteliti ialah naskah Dliyâ‟
al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr. Penelitian ini tergolong dalam analisis semiotik,
melihat sisi tanda dari setiap sisi kejadian atau peristiwa (dalam hal ini bahasa)
sebagai sumber makna.25
Dengan menggunakan teori linguistik dan stilistika
untuk mengungkap makna. Teori berguna menjelaskan variabel yang diteliti
sesuai ruang lingkup yang diteliti. Fungsi teori sebagai dasar untuk membuat
hipotesis.26
Berdasarkan objek dan pendekatan di atas, maka analisis terhadap
naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr terutama diksi dan gaya bahasa yang
terdapat di dalamnya, dapat dianalisis dengan lebih mendalam.
4. Tehnik Penyediaan Data
Lembar catatan data menyertai pengkodean, menganalisis, mengecek sel
satu demi satu selagi mengkode masing-masing dokumen.27
Teknik catatan yaitu
dengan mencatat bahasa tulis yang terdapat dalam naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi
Tashfiat al-Akdâr berupa frase, klausa, kalimat dan paragraf yang berkaitan
dengan obyek penelitian.
5. Metode dan Tahap Analisis Data
Setelah menyingkap dan menguraikan fenomena, teori-teori tersebut
menganjurkan pendekatan dan cara analisis yang memadai.28
Menyingkap
fenomena-fenomena kebahasaan utamanya gaya bahasa yang terdapat dalam
naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr, kemudian menguraikan sesuai
dengan teori dan pendekatan dalam penelitian. Dalam hai ini teori slistika guna
dapat diklasifikasi data yang akan diteliti lebih lanjut.
25
Izzuddin Musthafa dan Acep Hermawan, Metodologi Bahasa, Arab (Bandung: PT.
Remaja Rosda, 2018), hal. 285. 26
Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi, Mixed Methods (Bandung: Alfabeta, 2011),
hal. 423–24. 27
Matthew B. Miles dan A.Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber
Tentang Metode-Metode Baru (Jakarta: UI Press, 1992), hal. 134. 28
Ambar Yoganingrum dkk, Merajuk Makna Penelitian Kualitatif Bidang Perpustakaan
Dan Informasi (Cipta Karsa Mandiri, 2009), hal. 55.
10
6. Metode Analisis
Setelah data terkumpul dari hasil pengumpulan data, perlu segera digarap
oleh peneliti.29
Setelah data diseleksi sesuai rumusan masalah, kemudian
mengumpulkan data, mengevaluasi semua pilihan dalam data, kemudian
memecahkan masalah sesuai teori dan pedekatan yang dipakai. Selanjutnya
pemaparan metode pemecahan masalah yang sesuai rumusan masalah, kemudian
menyempurnakannya dan menguraikan hasil penelitian.30
Data yang telah diseleksi yang memiliki unsur-unsur diksi dan gaya
bahasa dalam naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr dicek dan dievalusi
kembali guna menyesuaikan dengan rumusan masalah yang akan diteliti guna
meyakinkan dan memahami data yang telah terkumpul. Selanjutnya membahas
data tersebut dengan cara kerja aplikasi yang sesuai dengan teori dan pendekatan
yang digunakan dalam hal ini linguistik dan stilistika. Hasil pembahasan yang
telah dianalisis sesuai teori, kemudian disempurnakan dengan melihat stuktur
diksi dan gaya bahasa. Serta menguraikan hasil penelitian yang terdapat dalam
naskah yang merupakan hasil dari rumusan masalah.
I. Sistematika Penulisan
Untuk mendapat hasil yang sistematis dan mudah dipahami, penelitian ini
di bagi sistematika penulisan penelitian ini yaitu:
Bab satu adalah pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, batasan
masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian
terdahulu, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab ini merupakan
kerangka dasar yang merupakan pijakan untuk penelitian bab-babselanjutnya.
Bab berikutnya bab kedua adalah penjelasan diksi dan gaya bahasa. Kajian
diksi dan maknanya meliputi: diksi bermakna denotitif dan konotatif, sinonim dan
antonim, nilai rasa, konkret dan abstrak, keumuman dan kekhususan, kelugasan
kata, penyempitan dan perluasan makna kata, keaktifan dan kepasifan, ameliorasi
dan peyorasi, kesenyawaan kata, kebakuan dan ketidakbakuan. Kajian gaya
29
Sumarsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2014), hal. 278. 30
Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian (Jakarta: Grafindo Persada, 1995),
hal. 94.
11
bahasa dikhususkan pada gaya bahasa kiasan meliputi: gaya simile (tasybih),
metafora (isti'ârah), personifikasi (tajsîd).
Bab ketiga adalah penjelasan biografi dan naskah. Menerangkan tentang
biografi Muhammad Idrus Qaimuddin yang meliputi latar belakang keluarga,
nama dan gelar, jabatan dan prestasi, pendidikan dan karya-karyanya.
Menerangkan perihal naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr meliputi
keberadaan naskah, penamaan naskah, motifasi penulisan naskah, dan
karakteristik naskah. Penjelasan pada bab ini, diharapkan mampu menerangkan
secara singkat tentang biografi dan naskah yang akan diteliti.
Bab keempat adalah penjelasan tentang hasil temuan terhadap penggunaan
diksi dan gaya bahasa pada naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr.
Penggunaan diksi meliputi: 1) diksi bermakna denotitif, diksi bermakna konotatif,
2) diksi bermakna sinonim, diksi bermakna antonim, 3) diksi bernilai rasa rasa, 4)
diksi bermakna konkret diksi bermakna abstrak, 5) diksi bermakna keumuman
dan diksi bermakna kekhususan. Penggunaan gaya bahasa kiasan meliputi: (1)
gaya simile (tasybih), (2) metafora (isti'ârah), (3) personifikasi (tajsîd).
Bab lima adalah penjelasan kesimpulan dan penutup. Pada bab ini terbagi
pada kesimpulan-kesimpulan, saran-saran dan kata penutup. Kesimpulan
merupakan hasil dari rangkaian penelitian yang berasal dari masalah akademik,
analisis dan pemaparan hasil sesuai dengan yang dijelaskan pada bab-bab
sebelumnya. Dari kesimpulan ini akan dijelaskan jawaban dari permasalahan yang
diajukan pada rumusan masalah. Selanjutnya dilengkapi dengan saran dari
penelitian, untuk penelitian selanjutnya. Tujuan bab ini memberikan gambaran
yang utuh dan efektif terkait masalah yang diajukan pada bab sebelumnya.
12
BAB II
DIKSI DAN GAYA BAHASA
Pada bab ini akan dipaparkan teori yang digunakan dalam menganalisis
diksi dan gaya bahasa.
A. Diksi
Diksi adalah pilihan kata yang tepat dan selaras untuk mengungkapkan
suatu gagasan sehingga gagasan itu dapat diterima oleh pendengar atau pembaca
dengan tepat.31
Diksi atau pilihan kata dalam praktik berbahasa, sesungguhnya
mempersoalkan kesanggupan sebuah kata, frasa atau kelompok kata, untuk
menimbulkan gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar.32
Didalam diksi terdapat untaian kata-kata yang dapat mendukung ungkapan.
1. Kata
Kata adalah unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan yang merupakan
perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam
berbahasa33
Kata, rangkaian kata, dan pasangan kata yang dipilih si penyusun
secara seksama dapat menimbulkan suatu efek yang dikehendaki pada diri
pembaca.34
Pengertian kata (Murphy, 2013:11) merujuk kepada satuan bahasa
yang dapat berdiri sendiri, satuan bahasa itu dapat berupa morfem bebas atau
morfem terikat. Morfologi memandang kata sebagai satuan terbesar dalam unit
analisis. Suatu hal yang bertolak belakang dengan morfologi ialah sintaksis.
Tataran ini memandang kata sebagai satuan analisis terkecil. Sedangkan semantik,
mempelajari makna kata. Penjelasan tersebut mengindikasikan bahwa kata
merupakan satuan bahasa yang mempertemukan tiga tataran dalam linguistik
31
Teguh Santoso, “Diksi Dan Pola Sintaksis Dalam Pepatah Aceh,” HUMANIORA, No. 3
Oktober, VOLUME 19 (2007): Halaman 309-316. https://media.neliti.com/media/publications/6/12/2020.
32 Kunjana Rahardi, Dimensi-Dimensi Kebahasaan: Aneka Masalah Bahasa Terkini
(Jakarta: Erlangga, 2006). 33
Tim, “Kamus Besar Bahasa Indonesia,” n.d., https://kbbi.web.id/api/6/12/2020. 34
Zubair, Stilistik Arab, Studi Ayat-Ayat Pernikahan Dalam Alquran (Jakarta: Amzah,
2017), hal. 63.
13
yakni morfologi, sintaksis dan semantik.35
Setiap kata yang digunakan memiliki
konsep makna.
2. Makna Kata
Makna menurut pendekatan konseptual adalah gagasan, ide, konsep atau
pengertian yang ada atau melekat secara inheren pada sebuah satuan bahasa atau
satuan ujaran yang dalam hal ini bisa diwakili oleh sebuah kata atau leksem
karena makna itu merupakan komponen yang ada pada kata leksem itu.36
Makna
sebuah kata meskipun secara sinkronik tidak berubah, tetapi karena berbagai
faktor dalam kehidupan dapat menjadi bersifat umum. Makna kata itu baru
menjadi jelas kalau berada dalam konteksnya. Kalau terlepas dari konteks kalimat
maka makna kata itu menjadi kabur, tidak jelas.37
Didalam pragmatik, juga
mengkaji makna. Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh
penutur dan ditafsirkan oleh pendengar. Sebagai akibatnya, studi ini lebih banyak
berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan
tuturan-tuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang
digunakan dalam tuturan itu sendiri.38
Setiap kata yang dipilih oleh pengarang
digunakan untuk menyampaikan suatu fenomena. Sehubungan dengan ini
digunakan konsep diksi atau pilihan kata.
3. Pilihan Kata
Pemilihan kata-kata yang layak atau pantas, penting sekali dalam semua
bentuk komunikasi terutama dalam bahasa tulis yang harus membawakan ide atau
gagasan dan sikap tanpa peragaan, ekspresi, intonasi, atau isyarat berupa gerakan
tubuh. Pilihan kata merupakan satu unsur yang sangat penting. Dalam memilih
kata yang setepat-tepatnya untuk menyatakan suatu maksud, dapat digunakan
kamus. Kamus dapat membantu ketepatan pemakaian kata. Pemakaian kata yang
tepat akan membantu seseorang mengungkapkan apa yang ingin disampaikannya
dengan tepat, baik lisan mau- pun tulisan, sesuai dengan situasi dan tempat
35
Darsita Suparno, Morfologi Bahasa Indonesia (Jakarta: UIN Press, 2015), hal. 34. 36
Abdul Chaer dan Liliana Muliastuti, “Semantik Bahasa Indonesia,”
PBIN4215/MODUL 1, n.d., 1.14, http://repository.ut.ac.id/6/12/2020. 37
Abdul Chaer dan Liliana Muliastuti, Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Universitas
Terbuka, 2009), hal. 1.27. 38
George Yule, Pragmatik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hal. 4.
14
penggunaan kata itu. Diksi atau pilihan kata didasarkan pada tiga tolok ukur, yaitu
ketepatan, kebenaran, dan kelaziman. Kata yang tepat adalah kata yang
mempunyai makna yang dapat mengungkapkan makna sesuai dengan gagasan
pemakai bahasa.39
4. Piranti-piranti Diksi
Kalau pendekatan konseptual berteori bahwa setiap kata atau saatuan
bahasa lainnya pada dirinya secara inheren telah memiliki makna yang bisa
berupa konsep, ide, gagasan atau hal, maka pendekatan komponensial ini berteori
bahwa makna yang dikandung setiap kata itu dapat dianalisis atau diuraikan atas
sejumlah ciri atau komponen yang membentuk makna kata itu secara
keseluruhan.40
Diksi memiliki banyak bentuk dan makna, bengantung pada situasi dan
konteksnya. Ada beberapa bentuk Piranti-piranti diksi yang dikemukakan oleh
Rahardi, namun yang dijelaskan disini hanyalah diksi yang berkaitan dengan
penggunaan diksi dalam naskah yang menjadi objek penelitian. Adapun uraian
diksi sebagai berikut:
a) Diksi bermakna denotatif
Makna denotatif ialah makna yang merujuk pada makna sebenarnya,
makna yang ditunjuk oleh sesuatu yang disimbolkan.41
Menurut Arifin dan Tasai
(2010:28), makna denotatif adalah makna dalam alam wajar secara eksplisit.
Makna wajar ini adalah makna yang sesuai dengan apa adanya. Denotatif adalah
suatu pengertian yang dikandung sebuah kata secara objektif. Hal ini didukung
oleh pendapat Alwasilah (2011: 169) yang mengemukakan bahwa denotasi
mengacu kepada makna leksis yang umum dipakai, objektif. Belum dibayangi
perasaan, nilai, dan rasa tertentu. Dikatakan objektif sebab makna denotasi ini
berlaku umum. Selain itu Berger (2010:65) mengatakan bahwa makna denotasi
39
Teguh Santoso, “Diksi Dan Pola Sintaksis Dalam Pepatah Aceh,” HUMANIORA, No.
3. Oktober, VOLUME 19 (2007): Halaman 309-316. https://jurnal.ugm.ac.id/jurnal-
humaniora//6/12/2020. 40
Abdul Chaer dan Liliana Muliastuti, “Semantik Bahasa Indonesia,”
PBIN4215/MODUL 1, n.d., 1.14, http://repository.ut.ac.id//6/12/2020. 41
Kunjana Rahardi, Dimensi-Dimensi Kebahasaan: Aneka Masalah Bahasa Terkini
(Jakarta: Erlangga, 2006), hal. 32.
15
bersifat langsung, dan dapat disebut sebagai gambaran dari suatu petanda.42
b) Diksi Bermakna Konotatif
Makna konotatatif adalah makna yang mengandung arti tambahan,
perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu di samping makna dasar yang umum.
Makna konotatif bergantung pada konteks.43
Makna konotatif adalah makna
asosiatif, makna yang timbul sebagai akibat dari sikap sosial, sikap pribadi, dan
kriteria tambahan yang dikenakan pada sebuah makna konseptual. Makna-makna
konotatif sifatnya lebih profesional dan operasional daripada makna denotatif.
Makna konotatif adalah makna yang dikaitkan dengan suatu kondisi dan situasi
tertentu (Arifin dan Tasai, 2010:28).44
Makna konotatif juga dapat dikatakan
sebagai makna kias, bukan makna sesungguhnya. Konotasi merupakan perubahan
nilai arti kata yang terjadi akibat pendengar mengartikan kata dengan memakai
perasaannya.45
c) Diksi Bermakna Sinonim
Kata bersinonim berarti kata sejenis, sepadan, sejajar, serumpun, dan
memiliki makna yang sama walaupun bentuk katanya berbeda.46
Sinonim adalah
hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan
ujaran dan satuan ujaran lainnya. Relasi sinonim ini bersifat dua arah. Hubungan
sinonimi ditandai oleh kemampuan dua leksem yang bisa saling menggantikan
sebagai pengisi gatra di dalam kalimat tanpa mengubah makna. Sinonim yang
tidak mengubah makna itu disebut sinonim mutlak (absolute synonym). Namun,
sinonim mutlak jarang sekali ditemukan dalam bahasa karena setiap kata memiliki
makna tersendiri.47
42
Nina Selviana Tudjuka, “Makna Denotasi Dan Konotasi Pada Ungkapan Tradisional
Dalam Konteks Pernikahan Adat Suku Pamona,” Prodi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia,
FKIP Universitas Tadulako 3 No 2 (2018), jurnal.untad.ac.id/6/12/2020. 43
Kunjana Rahardi, Dimensi-Dimensi Kebahasaan: Aneka Masalah Bahasa Terkini
(Jakarta: Erlangga, 2006). 44
Tudjuka, “Makna Denotasi Dan Konotasi Pada Ungkapan Tradisional Dalam Konteks
Pernikahan Adat Suku Pamona.” 45
Dwi Puspitasari, “Makna Denotasi, Konotasi, Dan Asosiasi Dalam Unsur-Unsur Pokok
Iklan Alianz,” FIB UI, 2014, http://lib.ui.ac.id/2016-3//6/12/2020. 46
Kunjana Rahardi, Dimensi-Dimensi Kebahasaan: Aneka Masalah Bahasa Terkini
(Jakarta: Erlangga, 2006). 47
Zaenal Arifin, Kesinoniman Dalam Bahasa Indonesia (Universitas Indraprasta PGRI,
16
d) Diksi Bermakna Antonim
Kata berantonim berlawanan dengan kata bersinonim. Bentuk kebahasaan
tertentu dapat dikatakan berantonim kalau bentuk itu memiliki makna
berlawanan.48
Chaer yang mengungkapkan bahwa antonim adalah ungkapan
(biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang
maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Jadi, hanya dianggap
kebalikan bukan mutlak berlawanan. Relasi makna antara dua buah kata yang
berantonim bersifat dua arah. Sejalan dengan pernyataan tersebut menegaskan
bahwa antonim tidak saja pada tataran kata, tetapi juga pada tataran morfem,
frasa, dan kalimat.49
e) Diksi Bernilai Rasa
Kata bernilai rasa ialah bentuk kebahasaan tertentu yang dianggap atau
dirasakan lebih tepat, lebih memenuhi nilai rasa yang sesuai dengan konteks.50
Untuk mengetahui makna kata-kata tersebut bernilai rasa halus atau bernilai kasar,
apabila kata-kata itu diterapkan dalam kalimat atau konteks tertentu.51
f) Diksi Bermakna Konkret
Kata konktret adalah kata-kata yang menunjuk pada objek yang dapat
dipilih, didengar, dirasakan, diraba, atau dicium.52
Kata konkrit adalah kata yang
menunjuk pada sesuatu yang dapat dilihat ataudirasakan oleh satu atau lebih dari
pancaindra. Kata-kata konkrit menunjukkepada barang yang aktual dan spesifik
dalam pengalaman. Kata konkrit digunakan untuk menyajikan gambaran yang
n.d.), 4, http://journal.unas.ac.id/6/12/2020.
48 Kunjana Rahardi, Dimensi-Dimensi Kebahasaan: Aneka Masalah Bahasa Terkini
(Jakarta: Erlangga, 2006), hal. 33. 49
Paramita Ida Safitri Rosika Herwin Puspitasari, “Daya Pragmatik (Pragmatik Force)
Pada Perbandingan Antonim Bahasa Jawa Dan Bahasa Indonesia Serta Korelasi Budaya
Masyarakat Penuturnya,” Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret, n.d., 106,
https://jurnal.uns.ac.id/6/12/2020.. 50
Kunjana Rahardi, Dimensi-Dimensi Kebahasaan: Aneka Masalah Bahasa Terkini
(Jakarta: Erlangga, 2006). 51
“Kata Bernilai Rasa Halus (Konotasi Halus) Dan Bernilai Rasa Kasar (Konotasi
Kasar),” Pelajaran Bahasa Indonesia Di Jari Kamu, Tata Bahasa, Oktober 2013,
https://www.wartabahasa.com/6/12/2020. 52
Kunjana Rahardi, Dimensi-Dimensi Kebahasaan: Aneka Masalah Bahasa Terkini
(Jakarta: Erlangga, 2006).
17
hidup dalam pikiran pembaca melebihi kata-kata yang lain.53
g) Diksi Bermakna Abstrak
Kata abstrak menunujuk pada konsep atau gagasan. Kata-kata abstrak
sering dipakai untuk mengungkapkan gagasan yang cenderung rumit.54
Kata
abstrak adalah kata yang mempunyai referan berupa konsep, sedangkan kata
konkret adalah kata yang mempunyai referen berupa objek yang dapat diamati.
Kata abstrak lebih sulit diamati daripada kata konkret. Kata abstrak menununjuk
pada konsep atau gagasan. Kata-kata abstrak sering digunakan untuk
mengungkapkan gagasan yang cenderung rumit.55
h) Diksi Bermakna Umum
Kata-kata umum adalah kata-kata yang perlu dijabarkan lebih lanjut dngan
kata-kata yang sifatnya khusus untuk mendapatkan perincian lebih baik.56
Kata
umum, adalah kata yang mempunyai cakupan ruang lingkup yang luas, kata-kata
umum menunjuk kepada banyak hal, kepada himpunan, dan kepada
keseluruhan.57
i) Diksi Bermakna Khusus
Kata-kata khusus adalah kebalikan dari kata-kata umum. Kata-kata khusus
digunakan dalam konteks terbatas pada kepentingan-kepentingan yang perlu
perincian.58
Kata khusus yaitu sebuah kata mengacu kepada
pengarahanpengarahan yang khusus dan kongkrit.59
53
Lamsike Pateda, “Gaya Kepengarangan Tere Liye Dalam Novel „Moga Bunda
Disayang Allah‟ Tinjauan Retorika-Stilistika,” IAIN Sultan Amai Gorontalo, n.d.,
http://journal.iaingorontalo.ac.id/6/12/2020. 54
Kunjana Rahardi, Dimensi-Dimensi Kebahasaan: Aneka Masalah Bahasa Terkini
(Jakarta: Erlangga, 2006). 55
Dwi Nur Prasetyo 1), , Teguh Suharto2), and , Ermi Adriani Meikayanti 3), Analisis
Diksi Dan Gaya Bahasa Pada Baliho Kampanye Pemilu Di Kabupaten Magetan Tahun 2018,
Juni, vol. Volume 06, Widyabastra, Nomor 1 (Universitas PGRI Madiun, 2018), 79. http://e-
journal.unipma.ac.id/index.php/widyabastra/article/6/12/2020. 56
Kunjana Rahardi, Dimensi-Dimensi Kebahasaan: Aneka Masalah Bahasa Terkini
(Jakarta: Erlangga, 2006), hal. 35. 57
Irfariati, “Diksi Dalam Retorika Anas Urbaningrum,” Balai Bahasa Provinsi Riau,
Madah, Volume 4 (2013): Nomor 1. http://garuda.ristekbrin.go.id/6/12/2020. 58
Kunjana Rahardi, Dimensi-Dimensi Kebahasaan: Aneka Masalah Bahasa Terkini
(Jakarta: Erlangga, 2006), hal. 36. 59
David Adikara, Gaya Bahasa (Style) Dalam Buku Dongeng Klasik 5 Benua Karya
18
B. Gaya Bahasa
Gaya bahasa termasuk dalam ranah kajian stilistika. Sebagai disiplin ilmu
tersendiri, stilistika lahir pada abad kedua puluh yang merupakan pengembangan
dari ilmu retorika yang telah lama berkembang di Yunani pada zaman Plato dan
Aristoteles. Stilistika berasal dari bahasa Latin, yaitu stilus yang berarti „pena‟,
kemudian berkembang menjadi sesuatu yang berkaitan dengan teknik penulisan,
khususnya tulisan tangan. Makna ini juga kemudian berkembang menjadi
„ekspresi bahasa sastra‟. Berbeda dengan kata stylos berasal dari bahasa Yunani,
yang berarti „tiang‟ atau „pilar‟. Dari kata inilah gelar diberikan pada seorang ahli
hikmah Yunani yang bernama Simeon Stilita, karena hidupnya selalu bersandar
pada sebuah tiang/pilar. Adapun dalam bahasa inggris, style yang berarti „gaya‟
seharusnya tertulis stil, dianggap sebagai kata serapan dari bahasa Yunani.60
1. Istilah Stilistika
Istilah stilistika lebih singkat dan efisien dari pada terjemahnya yaitu
“kajian gaya bahasa” atau “kajian stile.” Stilistika merujuk pada pengertian studi
tentang stile (Leech dan Short, 2007:11), yaitu kajian terhadap wujud performasi
kebahasaan khususnya yang terdapat dalam sebuah teks-teks kesastraan. Bahasa
yang dipakai dalam berbagai karya sastra yang menjadi fokus kajian. Akan tetapi
kajian stilistika tidak bertumpu pada bahasa sastra saja, namun dapat juga
ditujukan pada kajian ragam bahasa lainnya yang tidak terbatas pada ragam sastra
saja. Lewat kajian stilistika dapat dibedakan tanda-tanda linguistik, ciri khas, atau
tanda khusus dalam bahasa sastra dan non sastra.61
Stilistika adalah telaah tentang variasi pemilihan dan penggunaan unsur-
unsur bahasa yang sesuai dengan situasi serta memperhatikan akibat bagi
pembaca atau pendengar, apakah respon pembaca atau pendengar seperti yang
dikehendaki penulis atau pembicara. Stilistika sangat memperhatikan pilihan-
pilihan (satuan bahasa) yang tersedia, dan alasan mengapa bentuk dan ungkapan
Astri Damayanti (SMK Muhamadiyah 5 Babat, Lamongan, n.d.), 52, e-
jurnal.unisda.ac.id/6/12/2020. 60
Zubair, Stilistik Arab, Studi Ayat-Ayat Pernikahan Dalam Alquran (Jakarta: Amzah,
2017), hal. 58. 61
Burhan Nurgiantoro, Stilistika (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2014), hal.
75.
19
tertentu yang dipilih (parera, 1993).62
2. Stilistika dan Sastra
Sebuah karya sastra menjadi bernilai seni, indah, dan menghibur dalam
banyak hal disebabkan perpaduan yang harmonis antara unsur bentuk dan isi,
form dan content, yaitu cara mengungkapkan dan apa yang diungkapkan. Bentuk
yang indah dengan muatan makna yang berbobot akan menjamin nilai sebuah
karya sastra.63
Karya sastra termasuk karya seni seperti halnya karya seni lainnya,
didalamnya sudah mengandung penilaian seni. Sampai sejauh manakah nilai seni
suatu karya sastra ini “indah” sedang karya sastra yang lainnya tidak. Menurut
Rene Wellek, kita tak dapat memahami dan menganalisis karya seni (satra) tanpa
menunjuk kepada nilai, karena kalau kita menyatakan suatu struktur sebagai karya
seni (sastra), kita sudah memakai timbangan penilaian. Jadi, bila kita mengkritik
karya sastra tanpa penilaian, maka karya sastra yang kita kritik itu tetap tidak
dapat kita pahami baik buruknya, atau berhasil tidaknya sastrawan
mengungkapkan pengalaman jiwanya.64
Seniman pada umumnya, bila ternyalakan emosi keseniannya oleh sesuatu,
akan berusaha semerdeka mungkin untuk bersatu dengan medium yang
dipakainya untuk menyatakan haru yang ditimbulkan itu.65
Jika seseorang setuju
dengan pandangan I.A. Richards pada awal tahun 1929, yang memformulasikan
bahwa seni merupakan bentuk supremasi aktivitas komunikasi, penelitian tentang
seni dapat dipahami dengan cara menghubungkannya dengan semiotik dan teori
informasi.66
Bahasa sebagai media komunikasi sangat berperan dalam kehidupan
masyarakat. Dengan bahasa seseorang dapat mengungkapkan pikiran, jiwa dan
kepribadiannya. Dengan bahasa pula seseorang mendapatkan efek tertentu, dan
62
Abdul Chaer dan Liliana Muliastuti, Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Universitas
Terbuka, 2009), hal. 612. 63
Burhan Nurgiantoro, Stilistika (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2014), hal.
70. 64
Rachmat Djoko Pradopo, Prinsip-Prinsip Kritik Sastra (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2011), hal. 30. 65
Samsuri Analisa Bahasa, Memahami Bahasa Secara Ilmiah (Jakarta: Erlangga, 1978),
hal. 24. 66
Sugihastuti, Rona Bahasa Dan Sastra Indonesia, Tanggapan Penutur Dan
Pembacanya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hal. 94.
20
dengan bahasa seseorang dapat mencapai tujuannya. Adapun ilmu yang
mempelajari penggunaan bahasa dan efek yang ditimbulkannya adalah Stilistika
atau Ilmu Uslub dalam istilah sastra Arab. Maka, Menerangkan hubungan antara
bahasa dengan sastra atau fungsi artistik dan maknanya.67
Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi bukan sebuah imitasi.
Sang seniman menciptakan sebuah dunia baru, sastra merupakan luapan emosi
yang spontan.68
Kata-kata bersinonim ada yang dapat saling menggantikan ada
pula yang tidak. Karena itu kita harus memilih secara tepat asas bersinonim
dengan kata dasar, pokok, dan prinsip.69
Karya sastra yang mendapat apresiasi
adalah karya sastra yang sesuai dengan keadaan situai “muqtadhol hal” yaitu
karya yang ditulis pengarangnya dengan penuh tanggung jawab dan rasa empatik
yang tinggi pada lingkungan dan dunia dimana ia berada.70
3. Stilistika dan Balagah
Stilistika dalam istilah Arab, dikenal dengan sebutan Ilmu Uslub. Adapun
Uslub menurut istilah, cara berbicara seseorang dalam menyusun kalimat dan
memilih lafaz-lafaznya. Dengan demikian, Uslub merupakan cara yang dipilih
seseorang atau penulis didalam menyusun lafaz-lafaz untuk mengungkapkan suatu
tujuan. Uslub terdiri dari tiga hal, yaitu cara, lafaz, dan makna. Sedangkan dalam
aspek keilmuannya tentang studi Ilmu Uslub atau gaya bahasa disebut dengan
Uslubiyyah atau kita sering mengenalnya dengan istilah stilistika.71
Retorika dalam istilah Arab, sepadan dengan Ilmu Balagah.72
Balagah
dapat didefinisikan sebagai seni yang didasarkan pada kebeningan bakat alami
dan kedalaman menemukan sisi artistik dan pikiran, sehingga tidak meninggalkan
hal-hal yang samar, dan juga kecerdaan dalam mengakomodasi situasi atau
67
Yaniah Wardani dan Umi Musyarofah, Retorika Dakwah Dai Di Indonesia, Kajian
Stilistika Dalam Sastra Arab (Banten: Adabia Press, 2019), hal. 57. 68
Jan Van Luxamburg Mieke Bal Willen G Weststeijd, Pengantar Ilmu Sastra (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1986), hal. 5. 69
Ida Bagus Putrayasa, Kalimat Efektif, Diksi, Srtktur, Dan Logika (Bandung: Refika
Aditama, 2007), hal. 8. 70
Anwar Efendi, Bahasa Dan Sastra, Dalam Berbagai Perspektif (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2008), hal. 270. 71
Yaniah Wardani dan Umi Musyarofah, Retorika Dakwah Dai Di Indonesia, Kajian
Stilistika Dalam Sastra Arab (Banten: Adabia Press, 2019), hal. 59; Lihat: Adib Dahlan, Stulistika
dalam Pandangan Al-Jahiz dan Al-Baqilani, (SPS UIN Syarif Hidayatullah), 2014. 72
Syihabuddin Qalyubi, Stilistika Al-Qur‟an, Makna Di Balik Kisah Ibrahim
(Yogyakarta: LKiS, 2009), hal. 17.
21
konteks. Sebagai sebuah disiplin ilmu, balagah meliputi tiga bidang, ma‟ani,
bayan dan Badi.73
Sebagaimana kita ketahui, bahwa hubungan Ilmu Uslub dan Ilmu
Balaghah terdapat tanda kesamaan diantara keduanya. Tujuan akhir dari Ilmu
Uslub adalah mengungkap berbagai bentuk struktur secara konprehensip meliputi
jenis-jenis mufradat, struktur, dan secara khusus adalah makna, dan hal tersebut
sebagaimana dideskripsikan didalam Ilmu Balaghah. Dalam Ilmu Balaghah juga
menyajikan metode tertentu dalam penggunaan kata seperti dalam isti‟ârah,
majazmursal, dan kinayah.74
4. Ranah Kajian Stilistika
Analisis stilistika biasanya dimaksudkan untuk menerangkan sesuatu yang
pada umumnya dalam dunia kesasteraan untuk menerangkan hubungan bahasa
dengan fungsi artistik dan maknanya (Wellek dan Warren, 1989: 180). Penjelasan
fungsi artistik, fungsi keindahan, bentuk-bentuk kebahasaan tertentu dalam sebuah
teks. Dengan kata lain, kajian stilistika dimaksudkan untuk menjelaskan fungsi
keindahan penggunaan bentuk kebahasaan tertentu mulai dari aspek bunyi,
leksikal, struktur, bahasa figuratif, sarana retorika, sampai grafologi. Hal ini
dipandang sebagai bagian terpenting dalam analisis bahasa sebuah teks dengan
pendekatan stilistika.75
Yang dimasud dengan teks ialah ungkapan bahasa yang
menurut isi, sintaksis, dan pragmatik yang merupakan suatu kesatuan yang dalam
praktek ilmu sastra dibatasi pada teks-teks tertulis.76
Kajian stiistika yang
disarankan oleh Leech dan Short, dapat diarahkan pada semua kategori
kebahasaan meliputi leksikal, gramatikal, pemakaian majas, kohesi dan konteks.77
Hampir senada dengan yang dikemukakan oleh Ahmad Asy-Syayib, Uslub
73
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik Dan Modern (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2012), hal. 138-140. 74
Yaniah Wardani dan Umi Musyarofah, Retorika Dakwah Dai Di Indonesia, Kajian
Stilistika Dalam Sastra Arab (Banten: Adabia Press, 2019), hal. 63. 75
Burhan Nurgiantoro, Stilistika (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2014), hal.
76. 76
Jan Van Luxamburg Mieke Bal Willen G Weststeijd, Pengantar Ilmu Sastra (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1986), hal. 24. 77
Zubair, Stilistik Arab, Studi Ayat-Ayat Pernikahan Dalam Alquran (Jakarta: Amzah,
2017), hal. 26.
22
(Stilistika) mencakup kajian tentang unsur-unsur dan sifat-sifatnya, kata, kalimat,
paragraf, ungkapan, dan seni penggambaran.78
C. Gaya Bahasa Kiasan
Gaya bahasa kiasan dibentuk berdasarkan pada perbandingan atau
persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, berusaha
menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut,
untuk mendapatkan pemahaman. Sebagai bandingannya dalam khasanah sastra
Arab, gaya kiasan ini mirip dengan istilah al-Bayan.79
Merujuk pada Ilmu Balagah
yang diuraikan dalam terjemah “Al-Balaaghatul Waadhihah,” dijelaskan bahwa
Ilmu Balaghah meliputi Bayan, Ma‟ani, Badi.‟80
Bahasa kiasan adalah bahasa yang menyatakan sesuatu dengan
menggunakan perumpamaan atau pilihan kata yang dapat menggambarkan
sesuatu yang ingin disampaikan. Diksi atau pilihan kata yang terdapat dalam gaya
bahasa kiasan, merupakan diksi bermakna kias. Pemanfaatan diksi digunakan
untuk menggambarkan objek dalam sebuah ungkapan agar memiliki citra yang
lebih hidup. Ada banyak bentuk bahasa kiasan, namun hanya beberapa gaya
bahasa kiasan yang akan dijelaskan di sini, sesuai dengan penelitian sebagai
berikut:
1. Simile (tasybih)
Simile ialah membandingkan dua hal yang memiliki kesamaan sifat
dengan menggunakan kata seperti, laksana, umpama.81
Dalam sastra Arab, simile
dikenal dengan istilah tasybih.82
Adapun tasybih ialah menjelaskan suatu hal yang
memiliki kesamaan sifat dengan hal lain. Penjelasan tersebut menggunakan huruf
kaf‟ atau sejenisnya, baik tersirat maupun tersurat. Unsur tasybih terdiri„ / ن /
dari: musyabbah, musyabbah bih, adat tasybih, wajah syibeh. Adapun wajah
78
Syihabuddin Qalyubi, Stilistika Al-Qur‟an, Makna Di Balik Kisah Ibrahim
(Yogyakarta: LKiS, 2009), hal. 19. 79
Syihabuddin Qalyubi, Stilistika Al-Qur‟an, Makna Di Balik Kisah Ibrahim
(Yogyakarta: LKiS, 2009), hal. 134. 80
Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Terjemah Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2018). 81
Tim, “Kamus Besar Bahasa Indonesia,” n.d., https://kbbi.web.id/api/6/12/2020. 82
Syihabuddin Qalyubi, Stilistika Al-Qur‟an, Makna Di Balik Kisah Ibrahim
(Yogyakarta: LKiS, 2009), hal. 20.
23
syibeh pada musyabbah bih diisyaratkan lebih kuat dan lebih jelas daripada
musyabbah.83
Simile atau tasybih memiliki posisi khusus dalam seni berbahasa,
karena mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi, mendekatkan yang jauh, dan
memperjelas suatu pesan; disamping memiliki nilai estetik.84
Berdasarkan
jenisnya, tasybih terbagi dalam beberapa jenis: (1) tasybih mursal adalah tasybih
yang di sebut adat tasybih-nya, (2) tasybih mu‟akkad adalah tasybih yang di
buang adat tasybih-nya, (3) tasybih mujmal adalah tasybih yang di buang wajah
syibeh-nya, (4) tasybih mufashshal adalah tasybih yang di sebut wajah syibeh-nya,
(5) tasybih baligh adalah tasybih yang di buang adat tasybih-nya dan wajah
syibeh-nya.85
2. Metafora (isti'ârah)
Metafora adalah perbandingan yang bersifat implisit. Dimaksud dengan
perbandingan yang bersifat implisit ialah bahwa ia tidak langsung menyatakan
sesuatu sama dengan hal yang lain dan tidak menggunakan kata: seperti, bagaikan,
laksana. Dalam stilistika Arab yang mirip dengan metofora ialah isti‟ârah, atau
yang dikenal dengan metafora sebagian.86
Berdasarkan jenisnya, isti‟ârah terbagi dalam beberapa jenis: (1) isti‟ârah
murasysyahah adalah isti‟ârah yang disertai penyebutan kata-kata yang relevan
dengan musyabbah bih, (2) isti‟ârah mujarradah adalah isti‟ârah yang disertai
penyebutan kata-kata yang relevan dengan musyabbah, (3) isti‟ârah muthlaqah
yaitu isti‟ârah yang tidak disertai penyebutan kata-kata yang relevan dengan
musyabbah bih maupun musyabbah, (4) isti‟ârah tamtsiliyyah adalah susunan
kalimat yang digunakan bukan pada makna aslinya karena ada hubungan
keserupaan (antara makna asli dan makna majazi) disertai adaya karinah yang
menghalangi pemahaman terhadap kalimat tersebut dengan maknanya yang asli.87
83
Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Terjemah Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2018), hal. 21. 84
Zubair, Stilistik Arab, Studi Ayat-Ayat Pernikahan Dalam Alquran (Jakarta: Amzah,
2017), hal. 121. 85
Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Terjemah Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2018), hal. 28. 86
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik Dan Modern (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2012), hal. 142. 87
Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Terjemah Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2018), hal. 121-133.
24
3. Personifikasi (tajsîd)
Personifikasi merupakan suatu gaya bahasa di dalam karya sastra yang
memberikan sifat-sifat insani kepada suatu benda mati atau benda hidup yang
bukan manusia, sehingga seolah-olah bisa atau dapat bersikap layaknya seorang
manusia.88
Penggunaan majas personifikasi dalam sebuah karya sastra bertujuan
untuk menambah estetika dalam suatu ungkapan dan untuk meningkatkan kesan
beserta pengaruhnya terhadap pembaca.89
88
Parta Ibeng, “Pengertian Majas Personifikasi, Ciri, Beserta 25 Contohnya,”
Pendidikan.Co.Id Januari 10 (2020), https://pendidikan.co.id/6/12/2020. 89
Ni Luh Jessica Pratiwi, “Penerjemahan Majas Personifikasi Dalam Novel Sekai
NoChuushin De Ai Wo Sakebu Karya Katayama Kyoichi,” Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu
Budaya Unud 20.1 Agustus (2017): 162–168. https://ojs.unud.ac.id/6/12/2020.
25
BAB III
BIOGRAFI MUHAMMAD IDRUS QAIMUDDIN
DAN NASKAH DLIYÂ’ AL-ANWÂR FI TASHFIAT AL-AKDÂR
A. Biografi Muhammad Idrus Qaimuddin
1. Latar Belakang Keluarga Muhammad Idrus Qaimuddin
Muhammad Idrus Qaimuddin merupakan keturunanan bangsawan Buton.
Ia adalah putra dari La Badaru sebagai Sultan kedua puluh tujuh (1799-1823). Ia
diperkirakan lahir sekitar abad kedelapan belas akhir. Ia termasuk keturunan
keenam belas dari raja Sipanjonga yaitu raja melayu yang pernah migrasi ke
Tanah Buton. Muhammad Idrus mempunyai tiga puluh tiga istri dan Sembilan
puluh sembilan anak. Diantara anak tersebut ada yang menjadi Sultan yaitu
Muhammad Isa (Sultan Buton ketiga puluh satu) dan Muhammad Salih (Sultan
Buton ketiga puluh dua).90
2. Nama dan Gelar
Muhammad Idrus juga memiliki nama dan gelar yang di sandangkan
kepadanya yaitu:
a) La Ode
La Ode merupakan gelar bagi bangsawan Buton dari golongan
tertinggi yang menduduki jabatan penting dalam struktur pemerintahan.
b) Oputa Mokobaadiana
Oputa Mokobaadiana merupakan gelar yang diberikan sebagai julukan
yang bermakna „Sultan Pemilik Kota Baadia.‟ disebabkan Muhammad Idruslah
telah membuka perkampungan Badia yang sebelumnya sebagai hutan.
c) Oputa Ikuba
Oputa Ikuba merupakan gelar yang diberikan julukan yang bermakna
„Sultan yang Menggali Kolam.‟ Hal tersebut berkaitan dengan pembutan kolam di
samping Masjid yang terletak di Kota Badia.
90
Abdul Mulku Zahari, Syair Bula Malino Kapekarunana Yinca (Baubau: CV. Dia dan
Aku, n.d.), 47.
26
d) Oputa Mancuana
Oputa Mancuana merupakan gelar sebagai julukan “Sultan Tua” yang
identik dengan “Kaimuddin I.” Hal ini berkaitan dengan dua orang putranya yaitu
Muhammad Isa sebagai “Kaimuddin II” dan Muhammad Saleh sebagai
“Kaimuddin III.”
e) Sultan Khalifatullah
Sultan Khalifatullah merupakan gelar sebagai julukan yang dijelaslan H.
Abdul Ganiu bahwa “dinamakan dia Sultan Butun itu, Sultan Khalifatullah.”
f) Sulutani Moadilina dan Aedurusu Matambe
Sulutani Moadilina dan Aedurusu Matambe merupakan gelar yang tertulis
pada syair yang dibuatnya. “Sulutani Moadilina” yang bermakna ‟Sultan yang
adil.‟ “Aedurusu Matambe” yang bermakna “Idrus yang hinakan diri di hadapan
tuhan-Nya.”91
3. Muhammad Idrus Qaimuddin Sebagai Sultan
Muhammad Idrus Qaimuddin dipilih menjadi Sultan Buton kedua puluh
Sembilan pada tahun (1924-1851).92
Sebelum menjadi Sultan, Muhammad Idrus
menjabat sebagai kapitalao (panglima angkatan darat). Beliau termasuk perwira
kerajaan yang tangguh sehingga dalam masa tugasnya, banyak mengemban misi-
misi pengamanan wilayah-wilayah Kesultanan Buton yang terancam dari dalam
dan luar Buton.93
Pusat pemerintahan Kesultanan Buton berada di Wolio. Para pejabat
kesultanan juga pegawainya tinggal di sana sehingga aktifitas pemerintahan
berpusat disana. Wilayah tersebut dikelilingi benteng yang luasnya + 2.740. M.94
91
Abdul Mulku Zahari, Syair Bula Malino Kapekarunana Yinca (Baubau: CV. Dia dan
Aku, n.d.), hal. 1-3. 92
Abdul Mulku Zahari, Syair Bula Malino Kapekarunana Yinca (Baubau: CV. Dia dan
Aku, n.d.), hal. 6. 93
Abdul Mulku Zahari, Daarul Butuni Sejarah Dan Adatnya 3 (Baubau: CV. Dia dan
Aku, 2017), hal. 18. 94
La Niampe, Undang-Undang Buton Versi Muhammad Idrus Qaimuddin (Kendari:
FKIP Unhalu, n.d.), hal. 23.
27
4. Kehidupan Politik Muhammad Idrus Qaimuddin
Pada awal masa jabatannya ia mengirim utusannya untuk melakukan
pembaharuan perjanjian 1766. Isi perjanjiannya secara umum menjelaskan bahwa
tidak ada kerugian atau penebangan cengkeh dan pala ditambah dan menjadi 120
Ringgit.95
Pada tahun 1847, Sultan Buton memberikan perlindungan politik
kepada Raja Banggai yang meninggalkan Kesultanannya karena berperang
dengan Ternate.
5. Kehidupan Sosial Muhammad Idrus Qaimuddin
Melihat perkembangan yang terjadi dalam lingkungan kesultanan, maka
sesuai dengan keadaan penduduk di dalam keraton dan sekitarnya yang mungkin
mulai meningkat jumlahnya, maka Muhammad Idrus Qaimuddin membuka
perkampungan baru yang diberi nama dengan “Baadia.” Sebagai penghuni
kampung baru tersebut adalah Muh. Idrus sendiri bersama-sama dengan pengikut-
pengikutnya yang lambat laun, Baadia menjadi kampung baru yang ramai dan
padat penduduknya. Kemudian Muh. Idrus mengangkat seorang pejabat yang
khusus mengepalai Baadia dengan gelar “Lakina Baadia” kemudian berturut-
turut dibangun mesjid dan kolam air.
6. Pengaruh Muhammad Idrus Terhadap Pemerintahan
Pada Tahun 1838 Undang-undang mengenai pemerintahan disempurnakan
karena pasal-pasal di dalamnya tidak seauai lagi dengan perkembangan masa
sehingga butuh penyempurnaan.96
Begitu pula dengan penyempurnaan atas
ketentuan-ketentuan lain yang belum diuraikan pada masa Dayanu Iksanuddin.
Muhammad Idrus juga menyusun kembali Undang-undang Buton yang menjadi
pedoman.97
7. Pengaruh Muhammad Idrus Terhadap Keagamaan
Pada masa periode pemerintahannya, Muhammad Idrus sangat
memperhatikan bidang keagamaan hingga bahasa pengantar dalam Kesultanan
95 Abdul Mulku Zahari, Daarul Butuni Sejarah Dan Adatnya 3 (Baubau: CV. Dia dan
Aku, 2017), hal. 18. 96
Abdul Mulku Zahari, Daarul Butuni Sejarah Dan Adatnya 3 (Baubau: CV. Dia dan
Aku, 2017), hal. 22. 97
La Niampe, Undang-Undang Buton Versi Muhammad Idrus Qaimuddin (Kendari:
FKIP Unhalu, n.d.), hal. 23.
28
memakai bahasa Arab.98
Tak luput perhatiannya terhadap mesjid, maka mesjid
keraton dengan mengadakan perbaikan lantainya dengan jalan disemen,
sedangkan pada mesjid Baadia diperlengkapi dengan pegawainya yang terdiri dari
seorang Imam, Khatib, dan Bilal.99
8. Muhammad Idrus Sebagai Ulama Sufi
Muhammad Idrus juga seorang sufi ternama. Ia termasuk penganut
Tarekat Khalwatiyah Samaniyah yang ada di Nusantara. Pemikiran-pemikirannya
tentang amali kelihatannya terpengaruh oleh tokoh tasawuf Sunni. Adapun
pemikiran tentang wujudiyyah, ia dipengaruhi oleh tokoh sufi falsafi. Hal ini dapat
nampak dalam karya-karyanya. Pemikirannya tentang fana dan baqa dapat dilihat
dalam karyanya yang berjudul “Mu'nisah al-Qulub fi Dzikr wa-Musyahadah.”
Pemikirannya tentang zikir dan Khalawat dapat dilihat dalam karyanya yang
berjudul “Mu'nisat al-Qulȗb fi al-Dzikr wa Mushâdah, Dliyâ al-Anwâr fi tashfiat
al-Akdâr, Kashf al-Hijâb fi Murâqabat al-Wahhâb, dan Jauharana
Manikamu.”100
.
9. Pendidikan Muhammad Idrus Qaimuddin
Muhammad Idrus pada masa kecilnya menerima pendidikan agama dari
kakeknya bernama La Jampi yang pernah menjadi Sultan Buton kedua puluh tujuh
pada tahun (1763-1788) dengan gelar Sultan Qaimuddin Tua. Tempat
pendidikannya yang di kenal dengan Zawiyah, masih dapat disaksikan sampai
tahun 1974. Selain belajar dari kakeknya, Muhammad Idrus juga belajar pada
Syekh Muhammad Ibn Syekh Syais Sumbul al-Makki. Darinya ia menerima
ajaran Tarekat Khalwatiyah Sammânîyah hingga dianugerahkan ijazah kepadanya
dan sekaligus mengukuhkannya sebagai syekh.101
98
Abdul Mulku Zahari, Daarul Butuni Sejarah Dan Adatnya 3 (Baubau: CV. Dia dan
Aku, 2017), hal. 16. 99
Abdul Mulku Zahari, Syair Bula Malino Kapekarunana Yinca (Baubau: CV. Dia dan
Aku, n.d.), hal. 19. 100
M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf Di Nusantara (Jakarta: PT Raja Grafindo,
2005), hal. 273. 101
Abdul Mulku Zahari, Syair Bula Malino Kapekarunana Yinca (Baubau: CV. Dia dan
Aku, n.d.), hal. 3.
29
9. Wafatnya Muhammad Idrus Qaimuddin
Sebelum sultan Muhammad idrus meninggal dunia, beliau telah menulis
beberapa surat wasiat untuk keluagra, masyarakat dan pemerintah agar
memperbanyak ibadah. Melaksanakan sholat, Puasa, zakat dan pesan lainnya.102
Demikianlah sejarah dan peristiwa selama Sultan Muhammad hidup. Setelah itu
Sulatan berpulang kerahmatullah pada tanggal dua puluh delapan April 1851 di
Baadia. Beliau dimakamkan dalam area mesjid Kuba yang berada di Badia.
B. Karya-karya Muhammad Idrus Qaimuddin
Muhammad Idrus banyak menulis tentang keagamaan dalam bahasa wolio,
Arab dan Jawi.103
Karya-karya tersebut mungkin hanya merupakan sebagian dari
tulisan Muhammad Idrus Kaimuddin. Hal ini dikarenakan naskah-naskah Buton
yang dihasilkan pada abad kesembilan belas, tidak hanya berada dalam lingkup
kota Baubau, khususnya pusat pemerintahan Kesultanan Buton, namun naskah-
naskah Buton tersebar sampai ke wilayah Wakatobi yang merupakan bekas
wilayah Kesultanan Buton pada masa silam. Dua naskah pertama (satu dan dua)
yang disebut di atas ditemui di luar koleksi Mulku Zahari yang merupakan salah
satu kolektor naskah terbanyak di Buton. Hal ini mengindikasikan masih adanya
naskah-naskah lain yang berada di luar kota Baubau. Salah satu di antaranya
adalah adanya naskah al-Qur‟an yang di temui di Wakatobi, yang di pegang oleh
La Ode Hati. Naskah al-Qur‟an tersebut di bawa pada masa pemerintahaan
Muhammad Idrus Kaimuddin. Di samping itu, didapatkan pula beberapa salinan
naskah di wilayah Wakatobi (Pulau Binongko) dalam bahasa Wolio. Teks naskah
tulisan itu berasal dari masa pemerintahaan Muhammad Idrus Qaimuddin.104
102
Abdul Mulku Zahari, Syair Bula Malino Kapekarunana Yinca (Baubau: CV. Dia dan
Aku, n.d.), hal. 7. 103
Abdul Mulku Zahari, Daarul Butuni Sejarah Dan Adatnya 3 (Baubau: CV. Dia dan
Aku, 2017), hal. 16. 104
Andi Tenri Machmud Hasaruddin, “Peranan Sultan Dalam Pengembangan Tradisi
Tulis Di Kesultanan Buton,” Majalah : JUMANTARA 3 (Oktober 2012): No. 2.
https://www.perpusnas.go.id/27/2/2020.
30
1. Buku Dalam Bahasa Wolio
Buku dalam bahasa wilio cenderung digunakan untuk kabanti105
. Adapun
karyanya dalam Buku Kabanti yang berbahasa Wolio sebagai berikut:
1) Bula malino (Bulan Sunyi)
2) Tazikiri momapodona (Zikir Pendek)
3) Jaohara maanikamu molabina (Permata Manikam yang Indah)
4) Fakihi (Orang yang Pandai)
5) Guru molakina (Guru yang Baik)106
Tradisi lisan kabanti merupakan salah satu bentuk puisi yang paling
banyak berkembang dalam masyarakat Wakatobi. Kabanti lahir dan berkembang
secara turun-temurun sebagai salah satu kesenian dan juga sebagai bagian dari
berbagai aktivitas kehidupan masyarakat Wakatobi. Kabanti di tulis dengan
menggunakan aksara Arab, Arab Melayu dan Aksara Walio dan menceritakan
tentang tema-tema tasawuf atau keagamaan.107
2. Buku dalam Bahasa Arab dan Jawi
Buku dalam bahasa merupakan buku keagamaan. Adapun karyanya dalam
bahasa Arab sebagai bedikut:
108
1) Hadits Arba‟în (Kumpulan hadis empat puluh)
2) Nur al-Mu‟minîn (Cahaya orang-orang beriman)
3) Al Maulîd Al-Karîm wa al-Rasûl al-Azîm (kelahiran orang yang mulia dan
utusan yang agung)
4) Dliyâ al-Anwâr fî Tashfiyat al-Akdâr (Pancaran cahaya dalam pensucian
hal keruh)
5) Fathur Rahîm fî Tauhîd Rabb al-„Arys al-„Azhîm (Pembuka ketuhanan
dalam keesaan pemilik singgasana yang agung)
105
Kabanti merupakan salah satu bentuk puisi yang menceritakan tentang tema-tema
tasawuf atau keagamaan. Kabanti lahir dan berkembang secara turun-temurun sebagai salah satu
kesenian dan juga sebagai bagian dari berbagai aktivitas kehidupan, biasanya dilantunkan pada
waktu-waktu tertentu; lihat pula: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditwdb/kabanti/6/12/2020. 106
Abdul Mulku Zahari, Daarul Butuni Sejarah Dan Adatnya 3 (Baubau: CV. Dia dan
Aku, 2017), hal. 16. 107
“Kabanti,” Ditindb 17 Desember 2015 (2015), https://kebudayaan.kemdikbud. go.id. 108
Andi Tenri Machmud Hasaruddin, “Peranan Sultan Dalam Pengembangan Tradisi
Tulis Di Kesultanan Buton,” Majalah : JUMANTARA 3 (Oktober 2012): No. 2.
https://www.perpusnas.go.id/27/2/2020.
31
6) Ibtidâ‟ Sâyr al-Ârifîn (Awal perjalanan orang-orang Arif)
7) Kasyf al-Hijâb fî Murâqabat al-Wahhâb (Pembuka tabir/hijab dalam
pengawasan Yang Maha Pemberi)
8) Kasyf al-Muntazar Limâ Yarâh Al-Muhtadar (Pembuka seorang penanti
terhadap apa yang dilihat oleh orang yang akan wafat)
9) Hidâyat al-Basyîr fi Ma‟rifat Al-Qadîr (Hidayah pembawa berita gembira
dalam pengetahuan al-Qadir)
10) Zubdat al-Asrâr fi Tahqîqi Ba‟da Nasyârib fi al-Akhyâr wa Risâlah As-
Syatariyyah (Intisari rahasia-rahasia dalam penelitian sebagian (nasyarib)
dalam hal-hal yang dipilih dan risalah terekat Syattariyyah)
11) Mushbâh al-Râjîn fî Dzikr al-Shalât wa al-Salâm „alâ al-Nabî Syafî‟ al-
Mudznibîn (cahaya bagi orang yang memohon dalam zikir shalawat dan
salam bagi Nabi penyembuh/penyelamat orang-orang yang berdosa)
12) Mu‟nisat al-Qulûb fî Dzikr wa Musyâhadat „Allâm al-Ghuyûb
(ketenangan hati dalam berzikir dan musyahadah alam-alam ghaib)
13) Sabîl al-Salâm li Bulûgh al-Marâm (Jalan keselamatan untuk menggapai
maksud)
14) Sabîl al-Salâm ilâ Bulûgh al-Marâm Fi Ahadisi Sayyid Al-Anam (Jalan
keselamatan untuk menggapai maksud dalam hadist-hadist Nabi)
15) Tahsîn al-Awlâd fî Thâ‟at Rabb al-„Ibâd (Pendidikan anak dalam ketaatan
kepada Tuhan Seluruh Hamba)
16) Tanbîh al-Gafîl wa Tanzîlat al-Mahâfil (Peringatan untuk orang lalai dan
penempatan orang yang lupa)
17) Tanqiyyah al-Qulûb fî Ma‟rifat „Allâm al-Ghuyûb (Penyucian hati dalam
ma‟rifah alam-alam ghaib) (Ikram, et. al. 2001: 46-159)
18) Raudhah al-Ikhwân fî „Ibâdat al-Rahmân (Taman untuk pemuda yang
beribadah kepada yang maha penyayang)
19) Durrat al-Ahkâm109
(Seputar Masalah Hukum-hukum)
Selain buku berbahsa Wolio dan Arab, terdapat pula buku dalam Bahasa
Jawi yaitu “Bidayatil Alamiyyati.”110
Buku-buku di atas yang populer dan khusus
109
A. Ginanjar Sya‟ban, “Fathur Rahim, Kitab Karya Sultan Idrus Kaimuddin Buton,”
Khadim Pusat Kajian Islam Nusantara (PKIN) Pascasarjana Islam Nusantara UNU Indonesia,
September 26, 2018, https://www.butonmagz.id/6/12/2020.
32
membahas tentang tasawuf antara lain: Jauharana Manikamu, Mu‟nisat al-Qulûb
fî Dzikr wa Musyâhadah, Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr dan Kasyf al-Hijâb
fî Murâqabat al-Wahhâb.111
Dalam karyanya Mu‟nisat al-Qulûb fî Dzikr wa Musyâhadah, Fana‟
menurutnya terbagi kepada tiga macam: Fana‟ al-af‟al, fana‟ shifat dan fana‟ al-
Dzat. Sedangkan baqa‟, menurutnya, terbagi kepada dua macam, yaitu: Syuhud
al-Kasrah fi wahdah (menyaksikan yang banyak pada yang esa), dan Syuhud al-
Wahdah fi Kasrah (menyaksikan yang esa pada yang banyak). Uraiannya tentang
fana‟ dan baqa‟ ini menunjukkan bahwa ia cenderung pada corak tasawuf yang
berkembang pada masanya, yakni corak teosofi atau falsafi. Hanya saja, ia
menyangkal akan terjadinya hulul dan ittihad. Ajarannya tentang dzikir dianut
juiga oleh Muhammad Idrus. Ajarannya tentang zikir ini termuat dalam beberapa
tulisannya, antara lain dalam Mu‟nisat al-Qulûb fî Dzikr wa Musyâhadah, Dliyâ‟
al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr, Kasyf al-Hijâb fî Murâqabat al-Wahhâb, dan
Jauharana Manikamu. Dalam tulisan-tilisannya ini dikemukakan hal-hal yang
menyangkut kemuliaan, adab, dan tata cara zikir.112
C. Naskah Dliyâ’ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr
1. Penamaan Naskah
Nama Naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr diambil dari penamaan
yang beradadalam naskah tersebut. Dalam naskah tercata bahwa ditulis pada hari
ketiga bulan Rabiul Awwal 1250 H/ atau Kamis, sepuluh Juli 1834 M, maka dapat
diketahui bahwa naskah ini di tulis pada saat Muhammad Idrus telah menjabat
sepuluh tahun sebagai Sultan Buton. Sedangkan judul naskah yang terdata pada
Perpuatakaan Keraton Buton yaitu Pustaka Faoka Zahari Wolio Butuni “Liyatul
Anwari” dengan kode nomor naskah: 145/Arab/19/55. Judul tersebut dikoreksi
dalam Buku Katalog Naskah Buton, Koleksi Abdul Mulku Zahari dengan nama
110
Abdul Mulku Zahari, Daarul Butuni Sejarah Dan Adatnya 3 (Baubau: CV. Dia dan
Aku, 2017), hal. 16. 111
La Niampe, “Siapa Muhammad Idrus (Sultan Buton Ke 29) Itu ?,”
Kerajaantiworo.Blogspot.Com, September 2013. http://kerajaantiworo.
blogspot.com/2013/09/./27/2/2020. 112
La Niampe, Mengungkap Ketokohan Muhammad Idrus (Pusatstudiwakatobi.Blogspot,
2011), http://pusatstudiwakatobi.blogspot.com/6/12/2020.
33
Diya' al-Anwar fi Tasfiyat al-Akdar.113
Dalam katalog dari The British Library
kode referensi EAP212/2/7 dan berdasarkan katalog terbitan melalui Katalog
Naskah Buton: Koleksi Abdul Mulku Zahari, terdaftar dengan kode naskah
IS/25/SYAM. Dalam Katalog Naskah Buton disebutkan bahwa daftar Arsip
Nasional judul naskah “Liyatul Anwari” dengan nomor koleksi
146/Arab/19/54.114
2. Keberadaan Naskah Dliyâ’ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr
Naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr saat ini berada ditangan Al-
Mujazi yang merupakan anak dari Abdul Mulku Zahari. Ia mewarisi berbagai
buku karya Muhammad Idrus dan penulis lainnya dari ayahnya yang merupakan
sekertaris Sultan Buton ketiga puluh delapan bernama Muhammad Falihi. Al-
Mujazi tinggal di sekitaran Benteng Keraton Buton. Kesehariaannya banyak
mengurus Museum Kesultanan Buton yang terletak di Baadia Kota Baubau.
3. Motivasi Penulisan
Dalam menulis Dliyâ‟al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr, Muhammad Idrus
ingin menganjurkan kepada masyarakat agar menjauhi sifat tercela serta
menggantinya dengan sifat-sifat kebajikan. Sifat buruk diantaranya ialah menjauhi
sifat tercela seperti hasad, dengki, sombong. Kemudian menggantinya dengan
sifat terpuji seperti sabar, sukur, zikir, salat. Juga berkhalawat guna mendekatkan
diri kepada Allah SWT.
4. Metode Penulisan Naskah
Naskah Dliyâ‟al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr, penulisannya diawali dengan
muqaddima pembukaan yaitu dengan pujian kepada Allah SWT, rasa syukur atas
nikmat yang diberikannya. Kemudian shalam kepada dan salam kepada rasul
Muhammad SAW, para sahabat, para pengikutnya, orang-orang soleh, serta
penduduk langit dan bumi hingga akhir zaman. Pada bagian diuraikan penjelaskan
tentang pembahasan yaitu sifat tercela dan cara mensucikan serta penjelasann
lainnya. Kemudian penutup disertai penamaan pada kitab tersebut. Di dalam
113
Falah Sabirin, Tarekat Sammaniyah Di Kesultanan Buton, Kajian Naskah-Naskah
Buton (Jakarta: YPM, 2011), hal. 84. Lihat: Katalok Naskah Buton Abdul Mulku Zahari… 114
Diah Ayu Agustina, “Diya Al-Anwar Fi Tasfiat al-Akdar‟: Menelusuri Naskah
Tasawuf Dari Kesultanan Buton,” n.d., https://bincangsyariah.com/6/12/2020.
34
penulisan teks, Jika diperhatikan tidak terlalu banyak kekeliruan, baik dari segi
morfologis (sarfiyyah) maupun segi sintaksisnya (nahwiyyah). Hanya di beberapa
kata-kata tertentu terdapatkekeliruan, itu pun sangat sedikit. Namun demikian, ada
sedikit catatan dalam penulisan nibrah (tempat hamzah) yang selalu diberi dua
titik di bagian bawahnya sehingga tampak seperti huruf ya, seperti dalam kata /
Terlepas dari ./ دائ, عبئش/ Dalam teks suntingan kata tersebut ditulis / دائ١, عبئ١ش
semua catatan tersebut, teks ini sangat patut untuk dibaca guna memperkaya
khasanah keilmuan khususnya bidang tasawuf.115
5. Sistematika Pembahasan Naskah
Pemabahasan dalam teks diawali dengan mendeskripsikan tentang sifat
tercela. Kemudian menjelaskantentang hasad, dengki, iri hati, sombong, cinta
dunia. Kemudian membahasa tentang tata cara membersihkan hati dari sifat
tercela. Menganjurkan khalawat, dengan cara mengasingkan diri. Memperbanyak
amalan sunah, berdzikir, solat, puasa. Selain itu membahas adab-adab dalam
bergaul kepada orang lain, kepada yang lebih pintar, kepada guru, dan kepada
orang tua. Tidak luput pula penjelasan tentang keadaan roh setelaheninggal dunia,
ruh para Nabi, para syahid, orang-orang mukmin, orang munafik, dan orang kafir.
6. Karakteristik Naskah
Karakteristik naskah merupakan hasil pengamatan peneliti terhadap
naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr berdasarkan ciri-ciri yang terdapat
pada tema-tema pembahasan. Dalam naskah, terdapat tema pembahasan yang
menjelaskan tentang sifat-sifat tercela serta anjuran untuk menjauhinya. Terdapat
pula tema pembahasan tentang anjuran untuk memperbaiki akhlak. Anjuran untuk
menjauhi sifat tercela dan mengganti dengan sifat terpuji. merupakan ajaran yang
terdapat dalam aliran tasawuf akhlaqi, yaitu aliran tasawuf yang berorientasi pada
perbaikan moral dan aklak. Penjelasan tentang keistimewaan khalawat,
menggambarkan tentang keadaan seorang hamba yang telah berhasil dalam
khalawatnya, sehingga terpancar padanya cahaya keyakinan dan ketakwaan
bagaikan cahaya di waktu pagi. Uraiaan di atas menggambarkan tata cara
115
Diah Ayu Agustina, “Diya Al-Anwar Fi Tasfiat al-Akdar‟: Menelusuri Naskah
Tasawuf Dari Kesultanan Buton,” n.d., https://bincangsyariah.com/6/12/2020.
35
berkhalawat yang berkaitan dengan membuka hijab penghalang antara hamba dan
khalik yang dikenal dalam ilmu tasawuh dengan istilah wujudiyah. Dapat
disimpulkan bahwa Pemikiran-pemikirannya yang tertuang dalan naskah Dliyâ‟
al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr, khusus tentang amal kebaikan dapat dikatakan
termasuk dalam kategori tasawuf Sunni atau tasawuf akhlaqi. Adapun pemikiran
tentang wujudiyyah, dapat dikatakan termasuk dalam kategori tasawuf falsafi.
36
BAB IV
ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini menjawab pernyataan masalah, ada dua aspek yang
disebutkan sebagai pernyataan masalah, kedua aspek tersebut adalah penggunaan
diksi dan maknanya juga penggunaan gaya bahasa kiasan dan maknanya pada
naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr. Uraian jawaban tersebut sebagai
berikut.
A. Penggunaan Diksi dan Maknanya Pada Naskah
Dalam menganalisis diksi atau pilihan kata dan maknanya dapat dilihat
dari kriteria diksi yang dikemukakan oleh Rahardi.116
Dalam bukunya yang lain,
dikemukakan pula piranti-piranti untuk menganalisis diksi yang meliputi beberapa
kriteria berikut: 1) diksi bermakna denotitif dan konotatif, 2) sinonim dan
antonim, 3) nilai rasa, 4) konkret dan abstrak, 5) keumuman dan kekhususan, 6)
kelugasan kata, 7) Penyempitan dan perluasan makna kata, 8) keaktifan dan
kepasifan, 9) ameliorasi dan peyorasi, 10) kesenyawaan kata, 11) kebakuan dan
ketidakbakuan.117
Analisis dan Pembahasan ini diawali dengan menganalisis diksi dan
maknanya dalam naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr, dilihat dengan
menggunakan piranti-piranti analisis diksi sebagaimana dianjurkan oleh Rahardi
(2006). Analisis dan pembahasannya diuraikan sebagai berikut:
1. Diksi Bermakna Denotatif
Makna denotatif ialah makna yang merujuk pada makna sebenarnya,
dalam Ilmu Balaghah disebut / ؼ دم١مخ / yaitu makna yang ditunjuk oleh sesuatu
yang disimbolkan.118
Dapat dilihat pada kutipan berikut:
116
Kunjana Rahardi, Dimensi-Dimensi Kebahasaan: Aneka Masalah Bahasa Terkini
(Jakarta: Erlangga, 2006), hal. 45. 117
Kunjana Rahardi, Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: Erlangga,
2015), hal. 35-40. 118
Kunjana Rahardi, Dimensi-Dimensi Kebahasaan: Aneka Masalah Bahasa Terkini
(Jakarta: Erlangga, 2006), hal. 32.
37
1) Kutipan Data No. 11
119
Terjemah penulis: „Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Iblis
terlaknat: aku lebih baik dari dia (Adam), aku terbuat dari api sedangkan dia
(Adam) terbuat dari tanah.‟
Pada data teks (11), terdapat kata / بس / yang berarti „api‟ dengan kategori
atau kelas kata sebagai kata benda atau / إع /. Kata / بس / merupakan bentuk kata
bermakna denotatif atau makna yang disimbolkan. Kata / بس / bermakna „api; api
neraka‟ sebagaimana tertera dalam Kamus Almaany online.120
Dalam literatur
bahasa Indonesia berdasarkan KBBI, kata /api/ bermakna „panas dan cahaya dari
sesuatu yang terbakar.‟121
Selanjutnya, ada kata dalam bahasa Arab yaitu / ه١ / yang berarti „tanah.‟
Kata ini dikategorikan sebagai kata benda atau / إع /. Kata / ه١ / merupakan
bentuk kata bermakna denotatif. Kata / ه١ / dapat juga bermakna „tanah liat;
lumpur‟ sebagaimana tertera dalam Kamus Almaany online.122
Dalam literatur
bahasa Indonesia berdasarkan KBBI, kata /tanah/ bermakna „permukaan bumi
atau lapisam bumi yang di atas sekali.‟123
Berdasarkan konteks tuturan, ungkapan
tersebut menggambarkan kesombongan Iblis dihadapan Allah SWT, dengan
berkata: “aku (Iblis) terbuat dari “api” sedangkan Dia (Nabi Muhammad) terbuat
dari “tanah.”
2) Kutipan Data No. 46
124
119
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 4r. 120
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 121
Departemen Pendidikan Nasional Pusat Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”
(Jakarta: Balai Pustaka, 2015), hal. 60. 122
Anonim, “Kamus Arab Indonesia Almaany, https://www.Almaany.Com/Id/Dict/Ar-
Id/Arab-Ke-Indonesia/6/12/2020. 123
Tim, “Kamus Besar Bahasa Indonesia Online,” n.d.,
https://kbbi.web.id/api/6/12/2020. 124
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 10v.
38
Terjemah penulis: „Apabila seorang hamba senantiasa berzikir dengan
penuh keikhlasan, dan membiasakan dirinya berzikir dengan tanpa beban,
sehingga bibirnya mengalir ucapan ke hatinya tanpa disadari oleh lidahnya,
maka inilah tujuan utama di dalam berkhalawat.‟
Merujuk pada data teks (46) seperti tertera pada terjemahan penulis,
terdapat kata / اؾخـ / yang berarti „orang; individu; manusia.‟ Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata “orang” bermakna „manusia; dirinya sendiri.‟125
Bertumpu pada penjelasan ini, kata /اؾخـ / merupakan kata bermakna denotatif
dan berkelas kata nomina atau kata benda. Dalam konteks tuturan, ungkapan
tersebut menganjurkan untuk banyak melakukan zikir ketika melakkukan
khalawat.
3) Kutipan Data No. 25
126
Terjemahan penulis: „Meminum air bagi para pelaku riyadah,127
akan
memecah konsentrasi.‟
Pada data teks (25), terdapat kata / بء / yang berarti „air.‟128
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia kata air bermakna „cairan jernih tidak berwarna, tidak
berasa, dan tidak berbau.‟129
Bertumpu pada penjelasan ini, kata /بء / merupakan
kata bermakna denotatif dan berkelas kata nomina atau kata benda. Dalam
konteks tuturan, ungkapan tersebut bermaksud menjelaskan tentang akibat dari
meminum air bagi orang yang melakukan riyadah.
4) Kutipan Data No. 42
130
125
Departemen Pendidikan Nasional Pusat Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”
(Jakarta: Balai Pustaka, 2015), hal. 801. 126
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 6r-6v. 127
Riyadah menurut sufi yaitu menumbuhkan akhlak yang terpuji didalam diri dengan
cara membiasakan ibadah dan mengekang hawa nafsu; Dictionary Almaany, “Kamus Arab
Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019), https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-
indonesia/ 6/11/2020. 128
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 129
Tim, “Kamus Besar Bahasa Indonesia,” n.d., https://kbbi.web.id/api/6/12/2020. 130
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 9v.
39
Terjemah penulis: „Adapun yang berkaitan dengan tempat, maka akan
jauh lebih baik jika ada orang yang tinggal dekat dengan rumah tempat
khalawatnya.‟
Pada data teks (42), terdapat kata / ث١ذ / yang berarti „rumah.‟131
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “rumah” bermakna „bangunan untuk tempat
tinggal.‟132
Bertumpu pada penjelasan ini, kata / ث١ذ / merupakan kata bermakna
denotatif dan berkelas kata nomina atau kata benda. Dalam konteks tuturan,
ungkapan tersebut bermaksud menganjurkan bagi orang yang ingin melakukan
khalawat untuk tinggal pada rumah yang berdekatan dengan tempat khalawatnya.
5) Kutipan Data No. 43
133
Terjemah penulis: „Laksanakanlah shalat sejak matahari tergelincir
sampai gelapnya malam.‟134
Pada data teks (43), terdapat kata / ؽظ / yang berarti „matahari.‟135
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “matahari” bermakna „benda
angkasa, titik pusat tata surya berupa bola berisi gas yang mendatangkan terang
dan panas pada bumi pada siang hari.‟136
Bertumpu pada penjelasan ini, kata
merupakan kata bermakna denotatif dan berkelas kata nomina atau kata / ؽظ/
benda. Dalam konteks tuturan, ungkapan tersebut bermaksud menganjurkan untuk
melaksanakan shalat sejak tergelincir matahari hingga gelap malam.
2. Diksi Bermakna Konotatif
Makna konotatatif adalah makna yang mengandung arti tambahan, dalam
Ilmu Balaghah disebut / ؼ جبص / yaitu makna yang mengandung perasaan
tertentu, atau nilai rasa tertentu di samping makna dasar yang umum. Makna
131
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 132
Tim, “Kamus Besar Bahasa Indonesia,” n.d., https://kbbi.web.id/api/6/12/2020. 133
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 9v. 134
Tafsir Al Quran Al Karim (Terjemah Al Qur'an, Tafsir Al Qur'an, Ilmu Al Qur'an, Software Al
Qur'an, Ebook Al Qur'an, Tilawah Al Qur'an, Murattal Al Qur'an);
http://www.tafsir.web.id./6/3/2020. 135
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 136
Tim, “Kamus Besar Bahasa Indonesia,” n.d., https://kbbi.web.id/api/6/12/2020.
40
konotatif bergantung pada konteks. Makna konotatif juga dapat dikatakan sebagai
makna kias, bukan makna sesungguhnya. Konotasi merupakan perubahan nilai
arti kata yang terjadi akibat pendengar mengartikan kata dengan memakai
perasaannya.137
Data berikut menunjukkan adanya bentuk penggunaan diksi
bermakna konotatif yang berada dalam naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-
Akdâr. Dapat dilihat pada kutipan berikut:
1) Kutipan Data No. 2
138
Terjemah penulis: „Salawat serta salam tercurahkan kepada junjungan
kita nabi Muhammad, seorang yang suci lagi mensucikan serta memiliki akhlak
mulia, baik sifat yang nampak maupun yang tersembunyi. Dan atas keluarganya
serta sahabatnya juga pengikutnya, para al-Aqtâb139
(pemimpin para wali), al-
Autâd140
(wali empat penjuru), al-Abdâl141
(para wali yang zuhud dan soleh).‟142
Pada data teks (2), terdapat kata / الألطبة / bentuk jamak dari / لطت / yang
berarti „sumbu, poros, kutub.‟143
Namun dalam konteks tuturan yang terdapat
dalam teks di atas, kata / لطت / bukan mengacu pada makna kata „sumbu‟ yang
sesungguhnya, sebab kata „sumbu‟ tidak dapat menjelaskan makna ungkapan
secara utuh. Oleh karena itu, makna yang tepat berdasarkan konteks tuturan di
137
Dwi Puspitasari, “Makna Denotasi, Konotasi, Dan Asosiasi Dalam Unsur-Unsur
Pokok Iklan Alianz,” FIB UI, 2014, http://lib.ui.ac.id/6/12/2020. 138
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 2v. 139
A-Aqtâb adalah para wali Kutub yang merupakan pusat dari seluruh wilayah yang ada
sekelilingnya, dan merupakan cermin kebenaran dan keyakinan bagi para sufi diseluruh dunia;
lihat: لطت )رقف( .منزل القطب ومقامه لابن عربي. https://ar.wikipedia.org/wiki/. 140
Al-Autâd merupakan empat orang wali yang menempati empat penjuru dunia bagian
timur, barat, utara dan selatan, dan masing-masing mereka memimpin penjuru itu; Dictionary
Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/11/2020. 141
Al-Abdâl merupakan para wali yang zuhud dan soleh, dunia tidak terlepas dari
keberadaan mereka. Jika salah seorang dari mereka meninggal, Allah akan menggantikannya
dengan yang lain. Julukan yang diberikan kepada para sufi dan kepada mereka yang diperintahkan
untuk mengikuti tugas-tugas kepemimpinannya setelah kematiannya atau sebuah gelar yang
diberikan kepada para Sufi yang memiliki tingkat suluk yang tinggi diantara mereka (para sufi);
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/11/2020. 142
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 2v. 143
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020.
41
atas, kata / لطت / bermakna „pemimpin para wali.‟ Dalam hal ini, „pemimpin
spiritual,‟ „pemimpin seluruh wali yang ada di dunia‟ kemudian, kata / الأربد /
bentuk jamak dari / رذ / yang berarti „pancang, peniti, baji, pasak.‟144
Namun
dalam konteks tuturan yang terdapat dalam teks di atas, kata / رذ / bukan mengacu
pada makna kata „pancang‟ yang sesungguhnya, sebab kata „pancang‟ tidak dapat
menjelaskan makna ungkapan secara utuh. Oleh karena itu, makna yang tepat
berdasarkan konteks tuturan di atas, kata / رذ / bermakna „para wali empat
penjuru.‟ Selanjutnya, kata / الأثذاي / bentuk jamak dari / ثذي / yang berarti
„pengganti.‟145
Namun dalam konteks tuturan yang terdapat dalam teks di atas,
kata / ثذي / bukan mengacu pada makna kata „pengganti‟ yang sesungguhnya,
sebab kata „pengganti‟ tidak dapat menjelaskan makna ungkapan secara utuh.
Olehnya itu, makna yang tepat untuk kata / ثذي / sesuai dengan konteks tuturan di
atas ialah bermakna „para wali.‟ Dalam hal ini, „para wali di seluruh alam yang
memiliki tingkat suluk yang tinggi.‟
2) Kutipan Data No. 67
146
Terjemah penulis: „Bangkitlah wahai orang yang terpedaya, tinggalkanlah
reruntuhannya (dunia) karena ia adalah tempat yang sementara.‟
Pada data teks (67), terdapat kata / دطب / yang berarti „bekas,
peninggalan, reruntuhan, rongsokan.‟147
Namun dalam konteks tuturan yang
terdapat dalam teks, kata / دطب / bukan mengacu pada makna „reruntuhan‟ yang
sesungguhnya, sebab kata „reruntuhan‟ tidak dapat menjelaskan makna ungkapan
secara utuh. Oleh karena itu, makna yang tepat berdasarkan konteks tuturan di
atas, kata / دطب / bermakna „kesenangan.‟ Dalam hal ini, „kesenangan dunia yang
menipu.‟
144
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 145
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 146
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 15r. 147
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020.
42
3) Kutipan Data No. 56
148
Terjemah penulis: „Adab-adabnya (di dalam pergaulan pada sesama
manusia) sebagai berikut: tundukkan kepala, memusatkan perhatian,
membiasakan diam, meredam anggota badan, bersegera kepada kebaikan dan
menghindari kemungkaran, mengurangi keluhan, membiasakan zikir, senantiasa
menggunakan akal pikiran, mengutamakan fokus kepada Allah, tidak berharap
pada makhluk.‟
Pada data teks (56), terdapat kata / إهشاق اشأط / yang berarti
„mengemukakan kepala.‟149
Namun dalam konteks tuturan, kata / إهشاق اشأط /
bukan mengacu pada makna „mengemukakan kepala‟ yang sesungguhnya, sebab
kata „mengemukakan kepala‟ tidak dapat menjelaskan makna ungkapan secara
utuh. Oleh karena itu, makna yang tepat berdasarkan dengan konteks tuturan di
atas, kata /إهشاق اشأط / bermakna „mengeluarkan pemikiran yang baik.‟ Dalam hal
ini, „pemikiran yang mampu membimbing dan memberi manfaat.‟
4) Kutipan Data No. 2
150
Terjemah penulis: „Salawat serta salam tercurahkan kepada junjungan
kita nabi Muhammad, seorang yang suci lagi mensucikan serta memiliki akhlak
mulia, baik sifat yang nampak maupun yang tersembunyi. Dan atas keluarganya
serta sahabatnya juga pengikutnya, para al-Aqtâb151
(pemimpin para wali), al-
148
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 12v. 149
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 150
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 2v. 151
Al-Aqtâb adalah para wali Kutub yang merupakan pusat dari seluruh wilayah yang ada
sekelilingnya, dan merupakan cermin kebenaran dan keyakinan bagi para sufi diseluruh dunia;
lihat: لطت )رقف( .منزل القطب ومقامه لابن عربي. https://ar.wikipedia.org/wiki/6/12/2020.
43
Autâd152
(wali empat penjuru), al-Abdâl153
(para wali yang zuhud dan soleh). Dan
atas seluruh malaikat, muslimin dan muslimat juga mukmin dan mukminat yang
masih hidup dan yang wafat, dan seluruh umat Muhammad SAW yang senantiasa
dalam kebaikan hingga ke negeri abadi. Dan para sholeh dari penduduk langit
dan bumi serta serta hamba yang senantiasa berbuat kebajikan. Dan atas seluruh
malaikat, muslimin dan muslimat juga mukmin dan mukminat yang masih hidup
dan yang wafat, dan seluruh umat Muhammad SAW yang senantiasa dalam
kebaikan hingga ke negri abadi.‟
Pada data teks (2), terdapat kata / داس امشاس / yang berarti „tempat
ketetapan.‟154
Namun dalam konteks tuturan, kata / داس امشاس / bukan mengacu
pada makna „tempat ketetapan‟ yang sesungguhnya, sebab kata „tempat
ketetapan‟ tidak dapat menjelaskan makna ungkapan secara utuh. Oleh karena itu,
makna yang tepat berdasarkan konteks tuturan di atas, kata / داس امشاس / bermakna
„hari ketetapan.‟ Dalam hal ini ialah „negeri abadi.‟
5) Kutipan Data No. 18
155
Terjemah penulis: Dari Aisyah ra. berkata: “Biasakanlah mengetuk pintu
kerajaan alam malakut, maka akan dibukakan untukmu” kemudian ditanyakan:
“bagaimana melakukannya?” kemudian dijawab: “dengan lapar dan haus.”
Pada data teks (18), terdapat kata / ثبة اىد / yang berarti „pintu
kerajaan.‟156
Namun dalam konteks tuturan, kata / ثبة اىد / bukan mengacu
152
Al-Autâd merupakan empat orang wali yang menempati empat penjuru dunia bagian
timur, barat, utara dan selatan, dan masing-masing mereka memimpin penjuru itu; Dictionary
Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/11/2020. 153
Al-Abdâl merupakan para wali yang zuhud dan soleh, dunia tidak terlepas dari
keberadaan mereka. Jika salah seorang dari mereka meninggal, Allah akan menggantikannya
dengan yang lain. Julukan yang diberikan kepada para sufi dan kepada mereka yang diperintahkan
untuk mengikuti tugas-tugas kepemimpinannya setelah kematiannya atau sebuah gelar yang
diberikan kepada para Sufi yang memiliki tingkat suluk yang tinggi diantara mereka (para sufi);
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/11/2020. 154
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 155
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 5r. 156
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
44
pada makna „pintu kerajaan‟ yang sesungguhnya, sebab tidak dapat menjelaskan
makna ungkapan secara utuh. Oleh karena itu, makna yang tepat berdasarkan
konteks tuturan di atas, kata / ثبة اىد / bermakna „pintu alam malakut.‟
3. Diksi Bermakna Sinonim
Kata bersinonim berarti kata sejenis, dalam Ilmu Balaghah disebut / ؼ
yaitu makna yang sepadan, sejajar, serumpun, dan memiliki makna yang / ادف
sama walaupun bentuk katanya berbeda157
. Data berikut menunjukkan adanya
bentuk penggunaan diksi bermakna sinonim yang ditemukan pada teks dalam
naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr. Dapat dilihat pada kutipan berikut:
1) Kutipan Data No. 1
158
Terjemah penulis: „Segala puji bagi Allah yang memerintahkan kepada
kita sekalian untuk membersihkan segala sifat buruk yang berada di dalam hati
dengan cara memperbanyak al-Mujâhadah159
(kesungguhan dalam perjuangan
meninggalkan sifat-sifat tercela), al-Riyâdlah160
(melatih jiwa untuk
meninggalkan sifat tercela), dan al-Adzkâr (berdzikir kepada Allah SWT baik
yang tertulis maupun yang tercipta).‟
2) Kutipan Data No. 34
161
Terjemah penulis: „Adapun zikir hati itu tidak membutuhkan adab tertentu
(secara fisik), namun lebih kepada pembersihan hati dari ingatan selain Allah
Ta‟âlâ.‟
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020.
157 Kunjana Rahardi, Dimensi-Dimensi Kebahasaan: Aneka Masalah Bahasa Terkini
(Jakarta: Erlangga, 2006). 158
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 2v. 159
Al-Mujâhadah ialah kesungguhan dalam perjuangan meninggalkan sifat-sifat buruk;
M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf Di Nusantara (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2005), hal. 89. 160
Al-Riyâdlah ialah internalisasi kejiwaan dengan sifat-sifat terpuji dan melatih
membiasakan meninggalkan sifat-sifat jelek; M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf Di
Nusantara (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2005), hal. 89. lihat: Al-Ghazali, Risalah Al-Laduniyyah,
dalam Al-Qushur Al-„Awali, Jilid 1, Maktabah Al-Jundi, Mesir, 1970, hal. 122. 161
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 7v.
45
Pada data teks (1), terdapat kata / شرط١ / yang berarti „membersihkan,‟162
memiliki makna yang sama dengan kata / رقف١خ / berarti „membersihkan‟163
pada
data teks (34). Kedua kata di atas memiliki bentuk yang berbeda tetapi
mempunyai makna yang sama yaitu „membersihkan.‟ Dalam konteks tuturan, kata
membersihkan pada data teks (1) digunakan untuk menjelaskan tentang
„membersihkan hati dari sifat tercela.‟ Adapun data teks (34), kata
„membersihkan‟ digunakan untuk menjelaskan tentang „membersihkan hati dari
sifat syirik.‟
3) Kutipan Data No. 19
164
Terjemah penulis: „Sungguh banyak hadits yang diriwayatkan tentang
keutamaan lapar dan haus.‟
4) Kutipan Data No. 20
165
Terjemah penulis: „Lapar dan haus merupakan mujahadah166
yang paling
baik untuk diri.‟
Pada data teks (19), terdapat kata / اؼطؼ / yang berarti „haus‟167
memiliki
makna yang juga sama dengan kata / اظأ / berarti „haus‟ pada data teks (20).
Kedua kata di atas memiliki bentuk berbeda namun memiliki makna yang sama
yaitu „menahan diri dari meminum air.‟168
Dalam konteks tuturan, kata „haus‟
pada data teks (19) digunakan untuk menjelaskan tentang „keutamaan lapar dan
haus.‟ Adapun data teks (20) kata „haus‟ digunakan untuk menjelaskan „keadaan
lapar dan haus merupakan amalan mujahadah yang paling baik untuk diri.‟
162
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 163
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 164
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 6r. 165
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 5v. 166
Mujahadah ialah kesungguhan dalam perjuangan meninggalkan sifat-sifat buruk; M.
Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf Di Nusantara (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2005), hal. 89. 167
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 168
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020.
46
5) Kutipan Data No. 2
169
Terjemah penulis: „Salawat serta salam tercurahkan kepada junjungan
kita nabi Muhammad, seorang yang suci lagi mensucikan serta memiliki akhlak
mulia, baik sifat yang nampak maupun yang tersembunyi.‟
6) Kutipan Data No. 17
170
Terjemah penulis: „Sebaiknya bagi para murid171
yang melakukan salik,172
agar (mendawamkan) mujahadah173
dan riyadah,174
dengan cara mengurangi
makan, minum, dan tidur. Karena seseorang yang mengurangi makan, minum,
dan tidur, akan membuat hatinya bersih serta terang jiwanya sehingga
mempermudah baginya membentuk akhlak yang diridhoi dan sifat-sifat mulia.‟
Pada data teks (2) terdapat kata / الأخلاق اذدح / berarti „akhlak yang
terpuji,‟175
memiliki makna yang juga sama dengan kata / الأخلاق اشم١خ / berarti
„akhlak yang diridhoi‟176
pada data teks (17). Kedua kata di atas memiliki bentuk
yang berbeda namun mempunyai makna yang sama yaitu „akhlak mulia seperti
169
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 2v. 170
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 5r. 171
Murid adalah orang yang memiliki iradah. Iradah ialah tekad kuat secara sadar untuk
melakukan tindakan atau yang disengaja pada hal tertentu; Dictionary Almaany, “Kamus Arab
Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019), https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-
indonesia/6/11/2020. 172
Salik adalah orang yang menempuh jalan suluk. Adapun suluk ialah cara mengenal
Tuhan melalui olah batin dan badan; Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.”
(Almaany.com, 2019), https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/11/2020. 173
Mujahadah ialah kesungguhan dalam perjuangan meninggalkan sifat-sifat buruk; M.
Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf Di Nusantara (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2005), hal. 89. 174
Riyadah menurut sufi yaitu menumbuhkan akhlak yang terpuji didalam diri dengan
cara membiasakan ibadah dan mengekang hawa nafsu; Dictionary Almaany, “Kamus Arab
Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019), https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-
indonesia/ 6/11/2020. 175
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 176
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020.
47
sabar, sukur, ridho.‟ Dalam konteks tuturan, kata „akhlak mulia‟ pada data teks
(2) digunakan untuk menjelaskan tentang „akhlak mulia yang terdapat pada Nabi
Muhammad SAW.‟ Adapun pada data teks (17) kata „akhlak mulia‟ digunakan
untuk menjelaskan „manfaat mujahadah dan riyadah akan membentuk akhlak
mulia.‟
4. Diksi Bermakna Antonim
Kata berantonim berlawanan dengan kata bersinonim,177
dalam Ilmu
Balaghah disebut / ؼ رنبد / yaitu makna yang memiliki makna yang
berlawanan.
Data berikut menunjukkan adanya bentuk penggunaan diksi bermakna
antonim yang ditemukan pada teks dalam naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-
Akdâr. Dapat dilihat pada kutipan berikut:
1) Kutipan Data No. 2
178
Terjemah penulis: „Salawat serta salam tercurahkan kepada junjungan
kita nabi Muhammad, seorang yang suci lagi mensucikan serta memiliki akhlak
mulia, baik sifat yang nampak maupun yang tersembunyi. Dan atas keluarganya
serta sahabatnya juga pengikutnya, para al-Aqtâb179
(pemimpin para wali), al-
Autâd180
(wali empat penjuru), al-Abdâl181
(para wali yang zuhud dan soleh). Dan
177
Kunjana Rahardi, Dimensi-Dimensi Kebahasaan: Aneka Masalah Bahasa Terkini
(Jakarta: Erlangga, 2006), hal. 33. 178
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 2v. 179
Al-Aqtâb adalah para wali Kutub yang merupakan pusat dari seluruh wilayah yang ada
sekelilingnya, dan merupakan cermin kebenaran dan keyakinan bagi para sufi diseluruh dunia;
lihat: لطت )رقف( .منزل القطب ومقامه لابن عربي. https://ar.wikipedia.org/wiki/6/12/2020. 180
Al-Autâd merupakan empat orang wali yang menempati empat penjuru dunia bagian
timur, barat, utara dan selatan, dan masing-masing mereka memimpin penjuru itu; Dictionary
Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/11/2020. 181
Al-Abdâl merupakan para wali yang zuhud dan soleh, dunia tidak terlepas dari
keberadaan mereka. Jika salah seorang dari mereka meninggal, Allah akan menggantikannya
dengan yang lain. Julukan yang diberikan kepada para sufi dan kepada mereka yang diperintahkan
untuk mengikuti tugas-tugas kepemimpinannya setelah kematiannya atau sebuah gelar yang
48
atas seluruh malaikat, muslimin dan muslimat juga mukmin dan mukminat yang
masih hidup dan yang wafat, dan seluruh umat Muhammad SAW yang senantiasa
dalam kebaikan hingga ke negri abadi. Dan para sholeh dari penduduk langit dan
bumi serta serta hamba yang senantiasa berbuat kebajikan. Dan atas seluruh
malaikat, muslimin dan muslimat juga mukmin dan mukminat yang masih hidup
dan yang wafat.‟
Pada data teks (2), terdapat kata yang memiliki makna berlawanan atau
bertolak belakang yaitu kata / الأػلا / bentuk jamak dari / ػ / yang berarti
„nampak‟182
dengan kata / الأعشاس / bentuk jamak dari /عش / yang berarti
„rahasia.‟183
Dalam konteks tuturan, kedua kata tersebut memiliki makna
berlawanan namun sama-sama mengacu pada pemberitahuan.
Selanjutnya, kata / اغاد / bentuk jamak dari / عبء / yang berarti „langit,
berwarna biru, lapisan langit‟184
memiliki makna yang bertolak belakang dengan
kata / الأسم١ / bentuk jamak dari /أسك / yang berarti „bumi, tanah, daratan,
landasan, lahan, daerah, teritorial, wilayah, negeri.‟185
Dalam konteks tuturan,
kedua kata tersebut memiliki makna berlawanan namun sama-sama
menyimbolkan ciptaan tuhan.
Selanjutnya, kata / اغ١ / bentuk jamak dari / غ / yang berarti „orang
Islam‟186
memiliki makna yang berlawanan dengan kata / اغبد / bentuk jamak
dari / غخ / yang berarti „perempuan muslim.‟187
Dalam konteks tuturan, kedua
kata tersebut memiliki makna berlawanan tetapi sama-sama menyimbolkan dua
karakter umat Islam.
diberikan kepada para Sufi yang memiliki tingkat suluk yang tinggi diantara mereka (para sufi);
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/11/2020. 182
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 183
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 184
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 185
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 186
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 187
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020.
49
Selanjutnya, kata / اؤ١ / bentuk jamak dari / ؤ / yang berarti „orang
yang beriman‟188
memiliki makna yang berlawanan dengan kata / اؤبد /
bentuk jamak dari / ؤخ / yang berarti „perempuan mukmin.‟189
Dalam konteks
tuturan, kedua kata tersebut memiliki makna berlawanan tetapi sama-sama
menyimbolkan dua jenis karakter orang beriman.
Selanjutnya, kata / الأد١بء / bentuk jamak dari /د١بء / yang berarti „hidup,
kehidupan, eksistensi, seumur hidup‟190
memiliki makna yang berlawanan dengan
kata / الأاد / bentuk jamak dari / د / yang berarti „kematian, maut.‟191
Dalam
konteks tuturan, kedua kata tersebut memiliki makna berlawanan tetapi sama-
sama menyimbolkan fase kehidupan manusia.
2) Kutipan Data No. 54
192
Terjemah penulis: „Seandainya engkau mengenalnya (Allah SWT dengan
sebenar-benarnya ma‟rifat), maka engkau akan menjadikannya sebagai sahabat
dan meninggalkan orang di sekelilingmu. Namun bila engkau tidak mampu
melakukan hal itu di setiap waktumu, maka engkau akan menyia-nyiakan
waktumu pada siang dan malam dengan kehampaan tanpa bermunajat dengan
penuntunmu (Allah SWT).‟
Pada data teks (54), terdapat kata yang memiliki makna berlawanan atau
bertolak belakang yaitu / بس / yang berarti „siang hari.‟193
dengan kata / بس /
yang berarti „siang hari.‟194
Dalam konteks tuturan, kedua kata tersebut memiliki
makna berlawanan tetapi sama-sama menyimbolkan waktu.
188
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 189
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 190
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 191
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 192
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 12v. 193
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 194
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020.
50
5. Diksi Bernilai Rasa
Kata bernilai rasa ialah bentuk kebahasaan tertentu yang dianggap atau
dirasakan lebih tepat, lebih memenuhi nilai rasa, dalam Ilmu Balaghah disebut /
.yaitu makna yang memiliki rasa dan sesuai dengan konteks / ؼ ع١بل١خ195
Data
berikut menunjukkan adanya bentuk penggunaan diksi bernilai rasa yang
ditemukan pada teks dalam naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr. Dapat
dilihat pada kutipan berikut:
1) Kutipan Data No. 63
196
Terjemah penulis: „Kesusahan senantiasa meliputi orang yang mencintai
sesuatu, maka bebaskan hatimu dengan tidak mencintainya, karena sesungguhnya
zuhud di dunia akan menenangkan hati dan badan.‟
Pada data teks (63), terdapat kata / صذ / yang berarti „meninggalkan
kesenangan duniawi.‟ 197
Kata tersebut berdasarkan konteks tuturan, diidentifikasi
sebagai kata yang memiliki makna bernilai rasa. Kata / صذ / yang dipilih oleh
pengarang (Muhammad Idrus) dianggap sebagai kata yang mengandung nilai rasa.
Ditinjau dari aspek makna kata / صذ /, manusia harus meninggalkan kesenangan
yang bersifat fisik dan batin ditinjau dari kalimat itu. Contoh pada klausa yang
mengandung makna zuhud kepada dunia akan membebaskan hati dan badan.
Badan dapat diartikan bersifat fisik misalnya kesenangan seksual, makanan, harta,
pemandangan, yang harus ditinggalkan. Demikian juga halnya dengan yang
bersifat batin yaitu cinta, bahagia, dan kasih sayang. Jadi, kata / صذ / yang
bermakna „meninggalkan kesenangan duniawi‟ mengandung kata bernilai rasa
dari segi fisik maupun batin. Kata / صذ / yang bermakna „kesenangan duniawi,‟
dalam bahasa Arab terdapat beberapa bentuk leksikan lainnya yang sepadan,
diantaranya / رضذ , رؼجذ , رغه , ذ , رجز Kata-kata tersebut, tidak dipilih ./ػف , غه , ص
oleh pengarang dalam mengungkapkan kalimat “ فئ اضذ ف اذ١ب ٠ش٠خ امت اجذ, ”
195
Kunjana Rahardi, Dimensi-Dimensi Kebahasaan: Aneka Masalah Bahasa Terkini
(Jakarta: Erlangga, 2006), hal. 34. 196
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 14v-
15r. 197
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020.
51
karena kata / صذ / dianggap lebih memiliki makna bernilai rasa dibandingkan
dengan kata / , رضذ , رؼجذ , رغه رجز ذ , ,Dalam konteks tuturan ./ػف , غه , ص
ungkapan tersebut menjelaskan tentang sikap zuhud di dunia yang akan
menenangkan jiwa dan badan.
2) Kutipan Data No. 64
198
Terjemah penulis: „Apabila engkau mementingkan kebahagiaan dunia,
maka sesungguhnya engkau akan meninggalkannya. Namun bila engkau
mementingkan kebahagian akhirat, maka Allah SWT akan menambahkannya
dunia dan akhirat untukmu.‟
Pada data teks (64), terdapat kata / / yang memiliki arti „kesedihan,
penderitaan, kekhawatiran, kebimbangan.‟199
Kata tersebut berdasarkan konteks
tuturan, diidentifikasi sebagai kata yang memiliki makna bernilai rasa. Kata / /
yang dipilih oleh pengarang (Muhammad Idrus) sebagai kata yang mengandung
nilai rasa, bahwa manusia yang mementingkan kehidupan dunia maka kelak akan
berpisah dengannya, tetapi manusia yang mementingkan akhirat maka kelak akan
disempurnakan nikmat itu oleh Allah SWT. Contoh kesenangan dunia harta, tahta,
wanita, anak-anak, rumah, ternak, kendaraan. Adapun kesenangan akhirat
misalnya taman surga, bidadari, istana, makanan, minuman. Kata / / dalam
bahasa Arab memiliki padanan /٠ذاء ,دض ,اثزئبط ,أع namun bentuk leksikal ini ,/ع
tidak dipilih oleh pengarang untuk menyatakan ungkapannya, karena kata /
/lebih memiliki makna yang bernilai rasa serta kesesuaian terhadap topik yang
disampaikan. Dalam konteks tuturan, ungkapan tersebut menjelaskan tentang
perbandingan antara mementingkan kehidupan dunia dengan mementingkan
kehidupan akhirat.
3) Kutipan Data No. 71
200
198
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 15r. 199
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 200
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 15v.
52
Terjemah penulis: „sesungguhnya di dalamnya (dunia) terdapat kelelahan
dan memperdaya, hingga engkau tidak menemukan waktu untuk beristirahat.‟
Pada data teks (71), terdapat kata / سادخ / yang berarti „tenang.‟201
Kata
tersebut berdasarkan konteks tuturan, diidentifikasi sebagai kata yang memiliki
makna bernilai rasa. Kata / سادخ / dipilih oleh pengarang (Muhammad Idrus)
karena kata itu mengandung nilai rasa, bahwa kelelahan dan kesengsaraan tidak
akan terlepas dari kehidupan manusia hingga ia tidak merasa tenang. Kata lain
yang sepadan dengam kata / سادخ / ialah kata / جب / yang berarti „sukses,
kemakmuran, keberhasilan, lulus.‟ 202
Namun kata tersebut terkesan datar dan
kurang bernilai rasa. Dalam bahasa Arab, Kata / سادخ / memiliki makna
„beristirahat, rileks, menenangkan, membebaskan, menghibur.‟203
Oleh karena
itu, kata ini diidentifikasi sebagai satu kata yang memiliki banyak makna atau
disebut polisemi. Kata / سادخ / yang berkaitan dengan batin manusia, dianggap
bernilai rasa bila dikaitkan dengan situasi “keadaan batin, pikiran, perasaan hati
yang tentram dan aman.” Selanjutnya, kata / سادخ / bila dikaitkan dengan badan
atau fisik, kata ini akan bermakna „diam tidak bergerak atau tenang.‟ Dalam
konteks tuturan, ungkapan diatas bermaksud menjelaskan tentang keadaan
manusia yang tak lepas dari kelelahan dan kesengsaraan hidup di dunia.
4) Kutipan Data No. 44
204
Terjemah penulis: „Bertawasul dengannya (syekh) kepada Allah dengan
merendahan diri, lemah merasa butuh, dan hina.‟
Pada data teks (44), terdapat kata / ري / yang berarti „kerendahan,
kesederhaan, kehinaan, ketundukan.‟ 205
Kata tersebut berdasarkan konteks
tuturan, diidentifikasi sebagai kata yang memiliki makna bernilai rasa. Kata / ري /
yang dipilih oleh pengarang (Muhammad Idrus) sebagai kata yang mengandung
201
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 202
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 203
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 204
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 10r. 205
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020.
53
nilai rasa, bahwa merasa hina ketika mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kata
/ dalam bahasa Arab memiliki padanan /ري / خؾغ , خنغ , خغ , عف /, namun bentuk
frasa ini tidak dipilih oleh pengarang untuk menyatakan ungkapannya. Hal ini
karena kata / ري / lebih memiliki makna yang bernilai rasa serta kesesuaian
terhadap topik yamg disampaikan. Dalam konteks tuturan, ungkapan tersebut
menjelaskan tentang tata cara berkhalawat.
5) Kutipan Data No. 45
206
Terjemah penulis: „Seseorang yang berkhalawat hendaklah tetap diam
ditempat saat bermuraqabah dan menjadi pemberani ketika suara melengking.‟
Pada data teks (45), terdapat kata / ؽجبع / yang berarti „yang teguh hati,
berani, tegas, gagah berani, tak takut, tak gentar.‟207
Kata tersebut berdasarkan
konteks tuturan, diidentifikasi sebagai kata yang memiliki makna bernilai rasa.
Kata / ؽجبع / dipilih oleh pengarang (Muhammad Idrus) karena kata itu
mengandung nilai rasa, bahwa didalam berkhalawat hendaknya memiliki mental
yang teguh hati dalam menghadapi ujian-ujian yang mengganggu. Kata / ؽجبع /
dalam bahasa Arab memiliki padanan / مذا ,ثبع /, namun bentuk frasa ini tidak
dipilih oleh pengarang untuk menyatakan ungkapannya. Hal ini karena kata / ؽجبع
/ lebih memiliki makna yang bernilai rasa serta kesesuaian terhadap topik yamg
disampaikan. Dalam konteks tuturan, ungkapan di atas menjelaskan tentang
keberanian menghadapi ujian dalam berkhalawat dengan cara menghadapinya
dengan teguh hati.
6. Diksi Bermakna Konkret
Kata konktret adalah kata-kata yang menunjuk pada objek yang dapat
dipilih, didengar, dirasakan, dalam Ilmu Balaghah disebut / ؼ ظبش / yaitu
makna yang dapat diraba, atau dicium.208
Data berikut menunjukkan adanya
206
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, n.d., 10r–10v. 207
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 208
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020.
54
bentuk penggunaan diksi bermakna konkret yang ditemukan pada teks dalam
naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr. Dapat dilihat pada kutipan berikut:
1) Kutipan Data No. 25
209
Terjemah penulis: „Meminum air bagi para pelaku riyadah, 210
akan
memecah konsentrasi.‟
Pada data teks (25), terdapat kata / بء / yang berarti „air,‟ 211
merupakan
kata yang memiliki makna konkret, sebab kata tersebut merujuk pada suatu benda
yang memiliki bentuk dan wujud berupa „benda cair.‟ Dalam konteks tuturan
berdasarkan pokok bahasan pada ungkapan yang tertera pada data no.25.
Ungkapan tersebut bermaksud menjelaskan akibat meminum air bagi orang yang
melakukan riyadah akan merusak amalannya.
2) Kutipan Data No. 42
212
Terjemah penulis: „Adapun yang berkaitan dengan tempat, maka akan
jauh lebih baik jika ada orang yang tinggal dekat dengan rumah tempat
khalawatnya.‟
Pada data teks (42), terdapat kata / ث١ذ / yang berarti „rumah,‟ 213
merupakan kata yang memiliki makna konkret, sebab kata tersebut merujuk pada
suatu benda yang memiliki bentuk fisik yaitu „bangunan tempat tinggal.‟ Dalam
konteks tuturan berdasarkan pokok bahasan pada ungkapan yang tertera pada data
no. 41, ungkapan tersebut bermaksud memberikan anjuran bagi para salik untuk
tinggal pada rumah yang dekat dengann tempat khalawatnya.
209 Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 6v.
210 Riyadah menurut sufi yaitu menumbuhkan akhlak yang terpuji didalam diri dengan
cara membiasakan ibadah dan mengekang hawa nafsu; Dictionary Almaany, “Kamus Arab
Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019), https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-
indonesia/ 6/11/2020. 211
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 212
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 9v. 213
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020.
55
3) Kutipan Data No. 43
214
Terjemah penulis: „Laksanakanlah shalat sejak matahari tergelincir
sampai gelapnya malam.‟215
Pada data teks (43), terdapat kata / ؽظ / yang berarti „matahari,‟ 216
merupakan kata yang memiliki makna konkret, sebab kata tersebut merujuk pada
suatu benda yang yang dapat dirasakan yaitu „cahaya panas yang menyinari
bumi.‟ Dalam konteks tuturan berdasarkan pokok bahasan pada ungkapan yang
tertera pada data no. 43, ungkapan tersebut menganjurkan untuk shalat sejak
waktu tergelincirnya matahari hingga gelapnya malam.
4) Kutipan Data No. 11
217
Terjemah penulis: „Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Iblis
terlaknat: “aku lebih baik dari dia (Adam), aku terbuat dari api sedangkan dia
(Adam) terbuat dari tanah.”
Pada data teks (11), terdapat kata / بس / yang berarti „api,‟218
merupakan
kata yang memiliki makna konkret, sebab kata tersebut merujuk pada suatu benda
yang yang dapat dirasakan yaitu „rasa panas.‟ Selanjutnya, kata / ه١ / yang
berarti „tanah,‟219
merujuk pada benda yang dapat diraba yaitu „benda padat.‟
Dalam konteks tuturan berdasarkan pokok bahasan pada ungkapan yang tertera
pada data no. 11, ungkapan tersebut ingin menjelaskan tentang sikap sombong
yang dilakukan Iblis karena ia diciptakan dari api, sedangkan Muhammad
diciptakan dari tanah.
214
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 9v. 215
Tafsir Al Quran Al Karim (Terjemah Al Qur'an, Tafsir Al Qur'an, Ilmu Al Qur'an,
Software Al Qur'an, Ebook Al Qur'an, Tilawah Al Qur'an, Murattal Al Qur'an);
http://www.tafsir.web.id./6/3/2020. 216
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 217
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 4r. 218
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 219
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020.
56
5) Kutipan Data No. 46
220
Terjemah penulis: „Apabila seorang hamba senantiasa berzikir dengan
penuh keikhlasan, dan membiasakan dirinya berzikir dengan tanpa beban,
sehingga bibirnya mengalir ucapan ke hatinya tanpa disadari oleh lidahnya,
maka inilah tujuan utama di dalam berkhalawat.‟
Pada data teks (46) terdapat kata / غب / yang berarti „lidah,‟ 221
merupakan
kata yang memiliki makna konkret, sebab kata tersebut merujuk pada suatu benda
yang dapat raba yaitu „organ mulut yang berfungsi merasakan dan mencerna
makanan.‟ Dalam konteks tuturan berdasarkan pokok bahasan pada ungkapan
yang tertera pada data no. 46, ungkapan tersebut menjelaskan tentang seorang
hamba yang terbiasa berzikir tanpa beban, hingga lidahnya tidak terasa terus
menerus mengucapkan lafaz dzikir dengan tanpa beban.
7. Diksi Bermakna Abstrak
Kata abstrak menunujuk pada konsep atau gagasan, dalam Ilmu Balaghah
disebut / ؼ ثبه / yaitu makna yang dapat mengungkapkan gagasan yang
cenderung rumit.222
Data berikut menunjukkan adanya bentuk penggunaan diksi
bermakna abstrak yang ditemukan pada teks dalam naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi
Tashfiat al-Akdâr. Dapat dilihat pada kutipan berikut:
1) Kutipan Data No. 40
223
Terjemah penulis: „Bagi orang-orang yang hendak melaksanakan
khalawat, maka sebaiknya mendahulukan pengasingan diri karena itu merupakan
220
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 10v. 221
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 222
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 223
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 9r.
57
syarat. Sampai ia terbiasa menyendiri serta jauh dari keramaian orang disertai
mengurangi makan, minum, tidur.‟
Pada data teks (40), terdapat kata / خح / yang berarti „tempat yang tenang,
tempat tersembunyi, tempat pribadi, tempat pingitan, tempat ibadah kecil.‟224
Kata tersebut merupakan kata bermakna abstrak, sebab kata / خح / masih dalam
bentuk konsep yaitu “pengasingan diri (untuk menenangkan pikiran dan
sebagainya).225
Bila di tambah dengan imbuhan [ber-] pada awal kata „khalwat,‟
maka kata tersebut berubah menjadi kata kerja „berkhalawat‟ yang memiliki
makna „mengasingkan diri di tempat yang sunyi untuk bertafakur, beribadah.‟
Dalam konteks tuturan, ungkapan tersebut menganjurkan bagi orang yang ingin
berkhalawat agar mendahulukan pengasingan diri, disertai dengan mengurangi
makan, minum, dan tidur.
2) Kutipan Data No. 8
226
Terjemah penulis: „Makna riya adalah mengharapkan pengakuan dari
makhluk (manusia) untuk mendapatkan kehormatan. Tidaklah terjadi kehancuran
pada manusia, kecuali disebabkan oleh manusia pula.‟
Pada data teks (8), terdapat kata / جب / yang berarti „rangking tertinggi,
kemuliaan, gengsi, prestise, penghormatan, penghargaan, ketenaran‟227
merupakan kata bermakna abstrak, sebab kata / جب / masih dalam bentuk konsep,
bukan dalam bentuk fisik yang dapat dilihat, disentuh, didengar. Dalam konteks
tuturan, ungkapan tersebut menjelaskan tentang sifat riya yang melakukan sesuatu
karena mengharapkan penghormatan dari manusia.
3) Kutipan Data No. 11
228
224
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 225
Tim, “Kamus Besar Bahasa Indonesia,” n.d., https://kbbi.web.id/api/6/12/2020. 226
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 3v. 227
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 228
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 4r.
58
Terjemah penulis: „Makna ujub dan takabur adalah melihat diri sendiri
dengan pandangan mulia dan keagungan, namun melihat orang lain dengan
pandangan hina dan rendah.‟
Pada data teks (11), terdapat kata / ػض / yang berarti „kemuliaan, kekuatan,
kehormatan, martabat, gengsi, kedudukan tinggi‟229
dikategorikan sebagai kelas
kata benda230
merupakan kata bermakna abstrak, sebab kata / ػض / masih dalam
bentuk konsep, bukan dalam bentuk fisik yang dapat dilihat, disentuh, didengar.
Dalam konteks tuturan, ungkapan tersebut menjelaskan tentang sifat ujub dan
takabur yang menggap dirinya lebih mulia dari orang lain.
4) Kutipan Data No. 18
231
Terjmah penulis: „Dari Aisyah ra. berkata: “Biasakanlah mengetuk pintu
kerajaan alam malakut, maka akan dibukakan untukmu” kemudian ditanyakan:
“bagaimana melakukannya?” kemudian dijawab: “dengan lapar dan haus.”
Pada data teks (18), terdapat kata / ىد / yang berarti „kekuasaan,
kerajaan‟232
dikategorikan sebagai kelas kata benda233
merupakan kata bermakna
abstrak, sebab kata / ىد / atau „kekuasaan‟ masih dalam bentuk konsep atau
gagasan, bukan dalam bentuk fisik yang dapat dilihat, disentuh, didengar. Dalam
ungkapan di atas, terdapat simbol berupa „kekuasaan,‟ namun yang dimaksud
pada ungkapan di atas ialah kekuasaan Allah SWT.
5) Kutipan Data No. 76
234
Terjemah penulis: „Adapun arwah orang-orang yang taat dari para
mukmin, mereka berada pada taman-taman surga.‟
229
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 230
Qbab.la, “Https://En.Bab.La/Dictionary/Arabic-English/6/12/2020. 231
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 5r. 232
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 233
Qbab.la, “Https://En.Bab.La/Dictionary/Arabic-English/6/12/2020. 234
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 16r.
59
Pada data teks (76), terdapat kata / اجخ / yang berarti „kebun, taman,
surga‟235
merupakan kata bermakna abstrak, sebab kata / اجخ / masih dalam
bentuk konsep, bukan dalam bentuk fisik yang dapat dilihat, disentuh, didengar.
Surga merupakan tempat di akhirat yang diperuntukkan bagi orang-orang yang
beramal soleh. Dalam konteks tuturan, ungkapan tersebut menjelaskan tentang
keadaan orang beriman setelah meninggal dunia, akan ditempatkan di surga yang
penuh kenikmatan.
8. Diksi Bermakna Umum
Kata-kata umum adalah kata-kata yang perlu dijabarkan lebih lanjut,
dalam Ilmu Balaghah disebut / اؼب ؼ / yaitu makna yang sifatnya khusus untuk
mendapatkan perincian lebih lanjut.236
Data berikut menunjukkan adanya bentuk
penggunaan diksi bermakna umum yang ditemukan pada teks dalam naskah
Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr. Dapat dilihat pada kutipan berikut:
1) Kutipan Data No. 4
237
Terjemah penulis: „Makna hasad ialah mengharapkan hilangnya nikmat
dari sisi orang lain.‟
Pada data teks (4), terdapat kata / اؼ / yang merupakan bentuk jamak dari
‟.memiliki arti „nikmat / ؼ /238
Dalam konteks tuturan, kata / ؼ / merupakan kata
bermakna umum, sebab kata tersebut masih membutuhkan penjelasan yang lebih
rinci tentang „nikmat‟ yang dimaksudkannya.
2) Kutipan Data No. 14
239
235
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 236
Kunjana Rahardi, Dimensi-Dimensi Kebahasaan: Aneka Masalah Bahasa Terkini
(Jakarta: Erlangga, 2006), hal. 35. 237
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 3r. 238
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 239
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 4v.
60
Terjemah penulis: „Bila engkau melihat orang berilmu, katakanlah dalam
dirimu: ia telah diberi (ilmu oleh Allah) dan aku belum diberi (ilmu), telah
mencapai suatu ilmu dan aku belum mencapainya, dia mengetahui apa yang tidak
kuketahui, maka bagaimana seharusnya aku bisa sepertinya.‟
Pada data teks (14), terdapat kata / ثؾ / yang memiliki arti „sampai.‟240
Dalam konteks tuturan, kata / ثؾ / merupakan kata bermakna umum, sebab kata
tersebut masih membutuhkan penjelasan lebih rinci tentang apa yang „sampai‟
dimaksudkannya.
3) Kutipan Data No. 17
241
Terjemah penulis: „Sebaiknya bagi para murid242
yang melakukan salik,243
agar (mendawamkan) mujahadah244
dan riyadah,245
dengan cara mengurangi
makan, minum, dan tidur. Karena seseorang yang mengurangi makan, minum,
dan tidur, akan membuat hatinya bersih serta terang jiwanya sehingga
mempermudah baginya membentuk akhlak yang diridhoi dan sifat-sifat mulia.‟
Pada data teks (17), terdapat kata / الأخلاق اشم١خ / yang memiliki arti
„akhlak yang diridhoi‟246
atau „akhlak mulia.‟ Dalam konteks tuturan, kata / الأخلاق
merupakan kata bermakna umum, sebab kata tersebut masih / اشم١خ
240
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 241
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 5r. 242
Murid adalah orang yang memiliki iradah. Iradah ialah tekad kuat secara sadar untuk
melakukan tindakan atau yang disengaja pada hal tertentu; Dictionary Almaany, “Kamus Arab
Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019), https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-
indonesia/6/11/2020. 243
Salik adalah orang yang menempuh jalan suluk. Adapun suluk ialah cara mengenal
Tuhan melalui olah batin dan badan; Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.”
(Almaany.com, 2019), https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/11/2020. 244
Mujahadah ialah kesungguhan dalam perjuangan meninggalkan sifat-sifat buruk; M.
Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf Di Nusantara (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2005), hal. 89. 245
Riyadah menurut sufi yaitu menumbuhkan akhlak yang terpuji didalam diri dengan
cara membiasakan ibadah dan mengekang hawa nafsu; Dictionary Almaany, “Kamus Arab
Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019), https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-
indonesia/ 6/11/2020. 246
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020.
61
membutuhkan penjelasan lebih rinci tentang „akhlak mulia‟ yang
dimaksudkannya.
4) Kutipan Data No. 21
247
Terjemah penulis: „Hendaknya bagi para pelaku riyadah,248
menjadikan
amalan riyadahnya dengan melakukan puasa sebagai pendekatan diri kepada
Allah Ta‟âlâ juga amalan-amalan tambahan (amalan Sunnah), sehingga lahirlah
padanya pancaran kecintaan Allah.‟
Pada data teks (21), terdapat kata / ااف / yang merupakan bentuk jamak
dari kata /ف / memiliki arti „tambahan‟249
atau „ibadah tambahan.‟ Dalam
konteks tuturan, kata / ف / merupakan kata bermakna umum, sebab kata tersebut
masih membutuhkan penjelasan dan rincian lebih lanjut tentang „ibadah
tambahan‟ yang dimaksudkannya.
5) Kutipan Data No. 71
250
Terjemah penulis: „Sesungguhnya dunia dan seisinya, tidak sebanding
dengan luasnya pemberian Allah kepada hambanya yang beriman.‟
Pada data teks (71), terdapat kata / ػطب٠ب / yang memiliki arti
„pemberian.‟251
Dalam konteks tuturan, kata / ػطب٠ب / merupakan kata bermakna
umum, sebab kata tersebut masih membutuhkan penjelasan dan rincian tentang
„pemberian‟ apa yang dimaksudkannya.
247
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 8v. 248
Riyadah menurut sufi yaitu menumbuhkan akhlak yang terpuji didalam diri dengan
cara membiasakan ibadah dan mengekang hawa nafsu; Dictionary Almaany, “Kamus Arab
Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019), https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-
indonesia/ 6/11/2020. 249
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020. 250
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 15v. 251
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020.
62
9. Diksi Bermakna Khusus
Kata-kata khusus adalah kebalikan dari kata-kata umum, dalam Ilmu
Balaghah disebut / اخبؿ ؼ / yaitu kata-kata khusus yang digunakan dalam
konteks terbatas pada kepentingan-kepentingan yang perlu perincian.252
Data
berikut menunjukkan adanya bentuk penggunaan diksi bermakna khusus, yang
ditemukan pada teks dalam naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr. Dapat di
lihat pada kutipan berikut:
1) Kutipan Data No. 1
253
Terjemah penulis: „Segala puji bagi Allah yang memerintahkan kepada
kita sekalian untuk membersihkan segala sifat buruk yang berada didalam hati
dengan cara memperbanyak al-Mujâhadah254
(berusaha mendekatkan diri kepada
Allah), al-Riyâdlah255
(melatih diri dengan amal-amal sholeh), dan al-Adzkâr
(berdzikir kepada Allah SWT baik yang tertulis maupun yang tercipta.‟
Pada data teks (1), terdapat kata bermakna khusus yaitu rincian amalan
yang dapat dilakukan untuk membersihkan hati diantaranya al-mujâhadah
(berusaha mendekatkan diri kepada Allah), al-riyâdlah (melatih diri dengan
amal-amal sholeh), dan al-adzkâr (berdzikir kepada Allah SWT baik yang tertulis
maupun yang tercipta). Dalam konteks tuturan, ungkapan tersebut menjelaskan
tentang latihan-latihan yang dapat dilakuakan untuk membersihkan sifat-sifat
buruk yang ada di dalam hati.
252
Kunjana Rahardi, Dimensi-Dimensi Kebahasaan: Aneka Masalah Bahasa Terkini
(Jakarta: Erlangga, 2006), hal. 36. 253
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 2v. 254
Mujahadah ialah kesungguhan dalam perjuangan meninggalkan sifat-sifat buruk; M.
Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf Di Nusantara (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2005), hal. 89. 255
Riyadah menurut sufi yaitu menumbuhkan akhlak yang terpuji didalam diri dengan
cara membiasakan ibadah dan mengekang hawa nafsu; Dictionary Almaany, “Kamus Arab
Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019), https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-
indonesia/ 6/11/2020.
63
2) Kutipan Data No. 3
256
Terjemah penulis: „Ketahuilah saudara sekalian, sesungguhnya sifat-sifat
buruk yang ada di dalam hati sangatlah banyak. Di antara sifat-sifat itu adalah
marah, iri hati, kikir, cinta harta, cinta kehormatan, cinta dunia, sombong,
merasa hebat, riya, makan dan minum berlebih-lebihan, serta bicara yang
berlebihan.‟
Pada data teks (3), terdapat kata-kata bermakna khusus yaitu rincian sifat-
sifat tercela diantaranya: „marah, iri hati, kikir, cinta harta, cinta pangkat, cinta
dunia, sombong, merasa hebat, riya, makan dan minum berlebih-lebihan, bicara
yang berlebihan.‟ Dalam konteks tuturan, ungkapan tersebut menjelaskan tentang
jenis-jenis sifat tercela yang ada di dalam hati.
3) Kutipan Data No. 7
257
Terjemah penulis: „Sesungguhnya dunia tidak hampa dari begitu banyak
anugerah dan pengetahuan yang diberikan Allah kepada seseorang yang
dikehendaki nya berupa ilmu, kehormatan, dan harta.‟
Pada data teks (7), terdapat kata bermakna khusus yaitu rincian anugerah
diantaranya: „ilmu, kehormatan, dan harta.‟ Dalam konteks tuturan, ungkapan
tersebut menjelaskan tentang anugerah yang diberikan Allah kepada hamba yang
dikehendaki.
4) Kutipan Data No. 20
258
256
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 2v-3r. 257
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 3r-3v. 258
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 5v.
64
Terjemah penulis: „Lapar dan haus merupakan mujahadah yang paling
baik untuk diri, namun dengan syarat bahwa dalam melakukannya hendaknya
disertai dengan memperbaiki akhlak seperti sifat sabar, ridho, syukur, lembut,
zuhud, ikhlas, dermawan dan sebagainya.‟
Pada data teks (20), terdapat kata bermakna khusus yaitu kata yang
memiliki perincian. Adapun rianciannya ialah tentang akhlak terpuji, seperti sifat:
„sabar, ridho, syukur, lembut, zuhud, ikhlas, dermawan.‟ Dalam konteks tuturan,
ungkapan tersebut menjelaskan bahwa dalam berusaha mendekatkan diri kepada
Allah SWT, selain berpuasa, maka perlu juga memperbaiki akhlak dan sifat mulia
seperti:
5) Kutipan Data No. 40
259
Terjemah penulis: „Bagi orang-orang yang hendak melaksanakan
khalawat, maka sebaiknya mendahulukan pengasingan diri karena itu merupakan
syarat. Sampai ia terbiasa menyendiri serta jauh dari keramaian orang disertai
mengurangi makan, minum, tidur.‟
Pada data teks (40), terdapat kata bermakna khusus yaitu berupa kata yang
memiliki rincian. Adapun rinciannya ialah hal-hal yang harus dikurangi pada saat
melakukan khalawat, diantaranya: mengurangi „makan, minum, dan tidur.‟
Ungkapan diatas, menjelaskan tentang hal-hal yang perlu dikurangi pada saat
melakukan khalawat.
B. Penggunaan Bahasa Kiasan dan Maknanya
Zubair (2017) menyebutkan bahwa fenomena bahasa yang paling istimewa
dalam suatu naskah ada dua hal yaitu: gaya bahasa itu sendiri, termasuk majas.
Majas mencakupi aneka persoalan dua puluh tiga gaya bahasa. Majas dianggap
sebagai aspek utama atau tolak ukur untuk mengetahui ada tidaknya gaya bahasa
pada suatu karya sastra. Penjelasan di atas dapat dipahami bahwa majas
merupakan bagian dari gaya bahasa, bukan padanan atau sinonim dari gaya
bahasa. Kajian Stilistika yang disarankan oleh Leech dan Short, dapat diarahkan
259
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 9r.
65
pada semua kategori kebahasaan meliputi leksikal, gramatikal, pemakaian majas,
kohesi dan konteks.260
Hampir senada dengan yang dikemukakan oleh Ahmad
Asy-Syayib, Uslub (Stilistika) mencakup kajian tentang unsur-unsur dan sifat-
sifatnya, kata, kalimat, paragraf, ungkapan, dan seni penggambaran.261
Berdasarkan ranah kajian stilistika yang dijelaskan di atas, penelitian ini di
fokuskan pada analisis diksi atau pilihan kata dalam gaya bahasa kiasan.
1. Makna Kiasan
Makna kiasan, bukan merujuk pada makna yang sesungguhnya melainkan
makna dari sebuah kata yang dikiaskan pada makna lain. Diksi atau pilihan kata
yang terdapat dalam gaya bahasa kiasan, merupakan diksi bermakna kias.
Penggunaan kata bermakna kiasan biasanya untuk menggambarkan suatu objek
atau maksud tertentu agar lebih jelas dan terang. Penggunaan kata bermakna kias
juga dapat memperindah sebuah ungkapan agar memiliki citra yang lebih hidup.
Gaya bahasa kiasan dibentuk berdasarkan pada perbandingan atau
persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, berusaha
menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut,
untuk mendapatkan pemahaman. Sebagai bandingannya dalam khasanah sastra
Arab, gaya kiasan ini mirip dengan istilah al-Bayan.262
Merujuk pada Ilmu Balaghah yang diuraikan dalam terjemah “Al-
Balaaghatul Waadhihah,” kajian balaghah meliputi: Bayan, Ma‟ani, Badi‟.
Namun yang secara khusus mengkaji bahasa kiasan ialah al-Bayan. Ranah kajian
Bayan meliputi: tasybih, majaz, kinayah.263
Ilmu Balagah juga menyajikan
metode tertentu dalam penggunaan istiarah, majas mursal, dan kinayah.264
260
Zubair, Stilistik Arab, Studi Ayat-Ayat Pernikahan Dalam Alquran (Jakarta: Amzah,
2017), hal. 26. 261
Syihabuddin Qalyubi, Stilistika Al-Qur‟an, Makna Di Balik Kisah Ibrahim
(Yogyakarta: LKiS, 2009), hal. 19. 262
Syihabuddin Qalyubi, Stilistika Al-Qur‟an, Makna Di Balik Kisah Ibrahim
(Yogyakarta: LKiS, 2009), hal. 134. 263
Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Terjemah Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2018), hal. 19. 264
Yaniah Wardani dan Umi Musyarofah, Retorika Dakwah Dai Di Indonesia, Kajian
Stilistika Dalam Sastra Arab (Banten: Adabia Press, 2019), hal. 63.
66
Berdasarkan penelitian pada naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr,
penggunaan gaya bahasa kiasan sebagai berikut: (1) simile (tasybih), (2)
metafora (isti‟ârah), (3) personifikasi (tajsîd).
a) Simile (tasybih)
Simile atau tasybih memiliki posisi khusus dalam seni berbahasa, karena
mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi, mendekatkan yang jauh, dan
memperjelas suatu pesan; disamping memiliki nilai estetik.265
Simile ialah
membandingkan dua hal yang memiliki kesamaan sifat dengan menggunakan kata
seperti, laksana, umpama.266
Bertumpu pada penjelasan ini, dapat diketahui bahwa
suatu pemakaian ujaran dalam naskah sastra bergaya bahasa simile terdapat dua
aspek penting, yaitu:
1) Bagian yang diperbandingkan
2) Bagian yang dibandingkan
Kedua bagian tersebut dihubungkan dengan kata /sebagaimana/, /seperti/,
/sama/, /sebagai/, /bagaikan/, /laksana/, /bagai/.
Pada naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr, ditemukan gaya bahasa
simile dengan menggunakan kata penghubung sebagai penanda simile yaitu kata:
/sebagaimana/, /seperti/, /sama/, /sebagai/, /bagaikan/, /laksana/, /bagai/. Dalam
sastra Arab, simile dikenal dengan istilah tasybih.267
Kegunaan tasybih ialah
menjelaskan suatu hal yang memiliki kesamaan sifat dengan hal lain untuk
memperjelas makna yang disifatinya. Penjelasannya menggunakan huruf / ن / kaf
atau sejenisnya, baik tersirat maupun tersurat. Unsur tasybih terdiri dari:
musyabbah, musyabbah bih, adat tasybih, wajah syibeh. Adapun wajah syibeh
pada musyabbah bih diisyaratkan lebih kuat dan lebih jelas daripada
musyabbah.268
Penggunaan gaya bahasa simile (tasybih) pada naskah dapat dilihat pada
data berkut:
265
Zubair, Stilistik Arab, Studi Ayat-Ayat Pernikahan Dalam Alquran (Jakarta: Amzah,
2017), hal. 121. 266
Tim, “Kamus Besar Bahasa Indonesia,” n.d., https://kbbi.web.id/api/6/12/2020. 267
Syihabuddin Qalyubi, Stilistika Al-Qur‟an, Makna Di Balik Kisah Ibrahim
(Yogyakarta: LKiS, 2009), hal. 20. 268
Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Terjemah Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2018), hal. 21.
67
1) Kutipan Data No. 15
269
Terjemah penulis: „Apabila engkau melihat orang yang kafir, maka
katakanlah pada dirimu: saya tidak mengetahui, boleh jadi kelak ia (hamba) akan
masuk islam, sehingga Dia (Allah) menutup usianya dengan kebaikan amal dan
melepaskan dosanya (hamba) sebab keislamannya sebagaimana lepasnya rambut
dari kumpulannya (kepala). Sedangkan aku, boleh jadi Allah SWT menyesatkanku
sehingga aku menjadi kafir, dan Dia (Allah) menutup usiaku dengan keburukan
amal. Lalu bagaimana jikalau esok, ia menjadi orang yang dekat kepada Allah
SWT dan aku menjadi orang yang jauh darinya (Allah).‟
Kutipan pada data (15), di dalam ungkapannya terdapat frasa yang
mengandung unsur bahasa perumpamaan yakni gaya simile (tasybih).270
Dapat
dilihat pada diksi (pilihan kata) yang dipakai yaitu frasa / وب ٠غ اؾؼش اؼج١ /
bermakna „sebagaimana melepaskan rambut dari kumpulannya.‟
Mengumpamakan terlepasnya dosa seorang hamba dari dirinya. Ketika Allah
SWT mengampuni dosa seorang hamba karena taubatnya, maka orang tersebut
akan bersih dari segala dosa-dosanya yang telah lalu.
Frasa / ٠غ اؾؼش اؼج١ / bemakna „melepas rambut dari kumpulannya‟
adalah musyabbah bih, dibandingkan frasa / ٠غ ثئعلا رث / bermakna
„melepas dosa hamba karena keislamannya‟ sebagai musyabbah, dengan
menggunakan kata pembanding / وب / bermakna „sebagaimana‟ sebagai adat al-
tasybih. Ungkapan pada data (15) tidak memiliki wajah syibeh, sehingga
ungkapan ini termasuk dalam kategori tasybih mursal mujmal.271
269
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 4v. 270
Tasybih adalah penjelasan suatu hal atau beberapa hal memiliki kesamaan sifat dengan
hal yang lain. Penjelasan tersebut menggunkan huruf kaf atau sejenisnya, baik tersurat maupun
tersirat; Lihat: Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Terjemah Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2018), hal. 20. 271
Tasybih Mursal adalah tasybih yang disebut adat tasybihnya dan Tasybih Mujmal
adalah tasybih yang dibuang wajah syibehnya; Lihat: Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Terjemah
Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2018), hal. 28.
68
Di sisi lain, sebagai „alaqah (hubungan kesamaan) pada tasybih di atas
ialah sama-sama memiliki sifat „melepaskan,‟ yakni tidak terdapat lagi sesuatu
yang melekat. Pada frasa / ٠غ اؾؼش اؼج١ / bermakna „melepas rambut dari
kumpulannya,‟ bertanda bahwa rambut yang “terlepas” tidak akan mungkin lagi
melekat di kepala. Begitupula frasa / ٠غ ثئعلا رث / bermakna „melepas
dosa hamba karena keislamannya,‟ bertanda bahwa sesorang yang telah diampuni
oleh Allah SWT akan “terlepas” segala dosa-dosanya yang telah lalu.
Ungkapan pada data (13), ingin menggambarkan keadaan seorang hamba
yang diampuni dosanya. Terlepasnya dosa karena taubat dan keislaman. Dalam
paragraf terdapat dua sosok yang berbeda. Sosok pertama adalah tokoh “aku”
yang diumpamakan melihat orang kafir. Tokoh “aku” dinasehati oleh narator,
yang mana narator ini bisa merujuk kepada pengarang yang berperan sebagai
ulama tasawuf (Muhammad Idrus). Dinasehatinya tokoh “aku,” dilarang
berprasangka buruk kepada orang kafir. Karena boleh jadi, orang kafir mendapat
hidayah dari Allah SWT, kemudian ia bertobat dan masuk Islam sehingga ia
termasuk orang yang beriman. Sebaliknya, boleh jadi orang mukmin akan
tergelincir keimananya pada kehinaan karena merasa ujub, suci, takabur, hebat,
sombong, sehingga ia dilaknat oleh Allah dan di akhir hayatnya tersesat dari jalan
yang lurus dan termasuk orang yang tercela.
Tobat (pengampunan), datangnya dari Allah untuk hamba yang dipilih-
Nya.272
Ketika seorang hamba dengan sungguh-sungguh bertaubat, niscaya Allah
SWT akan mengampuninya. Seorang hamba yang memiliki banyak dosa, jika
mendapat ampunan dari Allah SWT akan bersih dari segala dosanya. Oleh karana
itu, seorang hamba tidak boleh menggap orang lain hina karena perbuatan
dosanya, dan menganggap dirinya lebih baik dari orang lain karena amalannya.
Boleh jadi orang yang berdosa melakukan taubat serta melakukan amal sholeh
hingga dia meninggal dunia dalam keadaan akhir yang baik. Sebaliknya, boleh
jadi Allah SWT menyesatkan seorang Muslim karena kesombongannya sehingga
ia meninggal dalam keadaan kafir.
272
Sentot Hartono, Syaikh Al-Waasi‟ Achmad Syaechudin “Bulan Terang Di Bukhara”
Risalah Tentang Tasawuf (Jakarta: Khazanah, 2007), hal. 72.
69
2) Kutipan Data No. 29
273
Terjemah penulis: „Di dalam Hadist Qudsi dikatakan: la ilaha illallah
adalah bentengku, dan barangsiapa yang masuk ke dalam bentengku akan
selamat dari siksaku.‟
Ungkapan pada data (29) diidentifikasi sebagai ) diidentifikasi sebagai
gaya simile (tasybih). Dapat di lihat pada diksi (pilihan kata) yang di pakai yaitu
kata / دق / yang bermakna „benteng,‟ mengkiaskan perlindungan yaitu kalimat
la ilâha illallâh adalah pelindung dari azab hari kiamat.
Kata / دق / yang bermakna „benteng‟ adalah musyabbah bih,
dibandingkan dengan frasa / إ اللهلا / bermakna „tiada tuhan selain Allah‟ sebagai
musyabbah, namun tidak menggunakan kata pembanding sebagai adat al-tasybih.
Ungkapan pada data (29) sebagai wajah syibehnya „barangsiapa yang masuk
kedalam benteng akan selamat dari mara bahaya.‟ Dengan demikian, ungkapan
ini termasuk dalam kategori tasybih mu‟akkad.274
Di sisi lain, sebagai sebagai „alaqah (hubungan kesamaan) pada tasybih di
atas ialah sama-sama memiliki unsur “menyelamatkan.” Pada kata „benteng,‟
merupakan sesuatu yang dapat “menyelamatkan” dari serangan musuh.
Begitupula pada kata „tiada tuhan selain Allah,‟ terdapat unsur yang dapat
“menyelamatkan” karena ungkapan tersebut adalah nama tuhan yang melindungi
manusia.
Ungkapan pada data (29) adalah ucapan (Hadist) Rasulullah SAW yang
merupakan (Hadist Qudsi) menjelaskan tentang keutamaan kalimat „la ilâha
illallâh‟. Dalam hadist digambarkan bahwa kalimat la ilâha illallâh bagaikan
benteng yang melindungi dari azab pada hari kiamat. Allah SWT memberikan
syafaat (pertolongan) bagi orang-orang yang mengucapkan la ilâha illallâh
dengan penuh keikhlasan tanpa menyekutukannya dengan sesuatu apapun. Syafaat
atau pertolongan dari Allah SWT berupa terbebas dari azab dan siksa api neraka.
273
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 6v-7r. 274
Tasybih mu‟akkad adalah tasybih yang dibuang adat tasybihnya; Lihat: Ali Al-Jarim
dan Musthafa Amin, Terjemah Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung: Sinar Baru Algensindo,
2018), hal. 28.
70
3) Kutipan Data No. 33
275
Terjemah penulis: „Amalan zikir ini dapat mempercepat membuka
(kebenaran) hati dan mendekatkan diri kepada Allah, dengan syarat
menghadirkan makna zikir di dalam hati pada setiap kali mengucapkannya.
Sebab zikir adalah kunci hakekat hati dan mengangkat derajat para salik pada
alam gaib.‟276
Ungkapan pada data (33) diidentifikasi sebagai gaya simile (tasybih).
Dapat dilihat pada diksi (pilihan kata) yang dipakai yaitu frasa / فزبح دمبئك امة /
bermakna „kunci hakekat hati.‟ Menggambarkan kunci rahasia hati, yaitu dengan
berdzikir akan menyingkap tabir rahasia yang berada di dalam hati, berupa
ketajaman mata hati dalam mengenal kebesaran tuhan serta keyakinan yang
mendalam akan kekuasaannya.
Frasa / فزبح دمبئك امة / bermakna „kunci hakekat hati‟ adalah musyabbah
bih, dibandingkan dengan kata / ازوش / bermakna „zikir‟ sebagai musyabbah,
namun tidak menggunakan kata pembanding sebagai adat al-tasybih. Ungkapan
pada data (33) tidak terdapat wajah syibehnya. Dengan demikian, ungkapan ini
termasuk dalam kategori tasybih baligh.277
Di sisi lain, sebagai sebagai „alaqah (hubungan keserupaan) pada tasybih
di atas ialah sama-sama memiliki unsur “pembuka.” Pada frasa „kunci hakekat
hati,‟ merupakan “pembuka” hakekat kebenaran hati. Begitupula pada kata „zikir‟
juga dapat “membuka” tabir rahasia yang berada di dalam hati.
Ungkapan pada data (33) menjelaskan tentang amalan dzikir dapat
membuka rahasia hakekat hati. digambarkan bahwa zikir bagaikan kunci hakekat
hati. Hamba yang senantiasa berzikir, akan diberi petunjuk di dalam hatinya oleh
Allah.
275
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 7r. 276
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 7r. 277
Tasybih baligh adalah tasybih yang dibuang adat tasybihnya dan wajah syibehnya;
Lihat: Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Terjemah Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 2018), hal. 28.
71
Dalam ajaran Ibnu „Arabi sebagaimana dalam sufisme umumnya, hati
(qalbu) adalah organ penghasil pengetahuan sejati, intuisi komprehensif, gnosis
(ma‟rifat) tuhan dan misteri-misteri ilahiah.278
zikir ialah mengingat Allah dengan
cara memuji dan menyebut namanya. Orang yang senantiasa berzikir, akan di
angkat derajatnya di sisi Allah SWT. Makhluk ciptaan Tuhan yang ada di bumi
dan di langit juga senantiasa berzikir. Bahkan ada pula malaikat yang ditugaskan
khusus oleh Allah SWT untuk berzikir. Denngan berzikir pula, dapat membuka
rahasia hakekat kebenaran hati (qalbu). Dengan berzikir, hati dapat melihat
pancaran kebesaran Allah SWT. Dengan berzikir dapat mendekatkan seorang
hamba kepada sang khalik. Ketika berzikir hendaknya diiringi dengan mengingat
kebesaran tuhan. Berzikir dengan mengesakannya sebagai satu-satu tuhan yang
disembah.
4) Kutipan Data No. 43
279
Terjemah: „Dan Kami turunkan dari Al Qur‟an (sesuatu) yang menjadi
penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang
zalim (Al Quran itu) hanya akan menambah kerugian.‟280
Ungkapan pada data (43) diidentifikasi sebagai gaya simile (tasybih).
Dapat dilihat pada diksi (pilihan kata) yang dipakai yaitu kata / ؽفبء / yang
bermakna „obat,‟ menggambarkan petunjuk ilahi dan solusi kehidupan, yakni
sebagai petunjuk dan solusi dari seluruh permasalahan hidup bagi umat manusia.
Kata / ؽفبء / yang bermakna „obat‟ adalah musyabbah bih dibandingkan
dengan kata / مشآا / bermakna „dunia‟ sebagai musyabbah dengan tidak memakai
kata pembanding sebagai adat al-tasybihnya. Ungkapan ini, tidak terdapat wajah
syibehnya. Dengan demikian, ungkapan pada data (43) termasuk dalam kategori
tasybih baligh.281
278
Henri Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibnu ‟Arabi (Yogyakarta: LKiS, 2014), hal.
302. 279
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 10r. 280
Tafsir Al Quran Al Karim (Terjemah Al Qur'an, Tafsir Al Qur'an, Ilmu Al Qur'an,
Software Al Qur'an, Ebook Al Qur'an, Tilawah Al Qur'an, Murattal Al Qur'an);
http://www.tafsir.web.id./6/3/2020. 281
Tasybih baligh adalah tasybih yang dibuang adat tasybihnya dan wajah syibehnya;
Lihat; Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Terjemah Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung: Sinar
72
Di sisi lain, sebagai sebagai „alaqah (hubungan kesamaan) pada isti‟ârah
di atas ialah sama-sama memiliki unsur “solusi.” Kata „obat‟ adalah bahan untuk
penyembuhkan penyakit yang menjadi “solusi” bagi orang yang menderita sakit.
Begitupula pada frasa „petunjuk dan solusi kehidupan,‟ juga merupakan “solusi”
dari seluruh permasalahan kehidupan.
Ungkapan pada data (43) adalah kutipan dari Al-Qur‟an dalam Surat Al-
Isr'a ayat (82) yang menjelaskan tentang tujuan diturunkan Al-Qur‟an.
Didalamnya, Allah SWT menggambarkan Al-Qur‟an sebagai obat dan rahmat
bagi orang beriman. Selain kedua makna di atas, Al-Qur'an juga sebagai solusi
dan petunjuk bagi kehidupan manusia. Dengan petunjuk Al-Qur'an, dapat
diketahui perintah dan larangan Allah sang pencipta. Dengan petunjuk Al-Qur'an
pula, dapat diketahui pedoman hidup yang akan menuntun kepada jalan
kebahagiaan di dunia dan akhirat.
5) Kutipan Data No. 45
282
Terjemah penulis: „Seseorang yang berkhalawat hendaklah tetap diam
ditempat saat bermurâqabah dan menjadi pemberani ketika suara melengking
atau apapun yang nampak padanya seperti kilat, cahaya, sesuatu yang
tersingkap, tabir rahasia, pandangan, pengetahuan, dan pengenalan, maka
hendaknya ia berhati-hati dari segala hal yang dapat memalingkannya (dari
murâqabah) dan apapun yang nampak padanya sebab itu merupakan hijab
penghalang. Tetapi hendaknya ia melakukan amalan-amalan (beserta Allah),
(karena Allah), (di dalam keridhoan Allah), dan bukan amalan selain itu,
sehingga ia merasakan kenikmatan ketika bermurâqabah dan mendekatkan diri
Baru Algensindo, 2018), hal. 28.
282 Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 10v.
73
kepada Allah, hingga Allah menjadikannya sebagai orang yang mulia dan
tercerahkan. Begitupula ketika ia memasuki tempat khalawat yang dicintainya,
hendaknya ia memperbanyak zikir dan rasa syukur kepada Allah Ta'ala atas apa
yang dianugerahkan kepadanya, dengan senantiasa tekun melakukan zikir di
dalam hatinya sesuai dengan tuntunan yang telah diajarkan oleh gurunya.
Kecuali jika ia lupa, maka boleh melakukannya dengan ucapan. Barangsiapa
yang sering melakukan hal itu, maka akan nampak padanya cahaya bagaikan
cahaya di waktu pagi.‟
Ungkapan pada data (45) diidentifikasi sebagai gaya simile (tasybih),
sebab menggunakan bahasa perumpamaan. Hal ini dapat dilihat dari diksi (pilihan
kata) yang dipakai yaitu frasa / س وبقجبح / bermakna „cahaya bagaikan di waktu
pagi.‟ Mengumpamakan cahaya petunjuk Ilahi, berupa cahaya keimanan dan
ketakwaan yang terpancar dari diri seorang hamba yang telah berhasil melakukan
khalawat.
Frasa / س وبقجبح / bermakna „bagaikan cahaya di waktu pagi‟ adalah
musyabbah, dibandingkan dengan frasa / ظش ػ١ س / bermakna„nampak
padanya cahaya‟ sebagai musyabbah bih, menggunakan kata pembanding / ن /
bermakna „bagaikan‟ sebagai adat al-tasybih. Namun ungkapan tersebut tidak
memiliki wajah syibeh. Dengan demikian, ungkapan pada data (41) dapat
dikategorikan sebagai tasybih mursal mujmal.283
Ditinjau dari aspek „alaqah (hubungan kesamaan) pada tasybih di atas,
sama-sama memiliki sifat „menerangi.‟ Frasa / س وبقجبح / bermakna „bagaikan
cahaya di waktu pagi,‟ merujuk pada suatu keadaan ketika pagi telah datang,
maka seluruh alam akan “terang-benerang”. Begitupula frasa / ظش ػ١ س /
bermakna „nampak padanya cahaya‟ menunjukkan keadaan “terangnya” jiwa
setelah berhasil didalam melakukan khalawat, berupa pancaran cahaya keimanan
dan ketakwaan.
Data (45) diidentifikasi sebagai paragraf sebab akibat. Tokoh “aku” yang
digunakan dalam paragraf adalah sosok yang bisa mendapat akibat dari
perbuatannya. Hal itu digunakan oleh tokoh “aku” yang diawasi oleh nurani
283
Tasybih mursal adalah tasybih yang disebut adat tasybihnya dan tasybih mujmal
adalah tasybih yang dibuang wajah syibehnya; Lihat: Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Terjemah
Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2018), hal. 28.
74
sebagai orang yang serba tahu dan bisa menasehati, narasi ini dapat diperankan
oleh pengarang (Muhammad Idrus).
Merujuk pada penjelasan-penjelasan yang dikemukakan oleh Kunjana
(2018:130), terdapat paragraf sebab akibat yaitu penjelasan cerita berasal dari
sebab-sebab yang bermuara pada akhirat. Paragraf (45) mengkisahkan tentang
tokoh “aku” yang mendekatkan diri kepada Allah SWT, yaitu tidak boleh
terganggu oleh berbagai aspek yang menimbulkan hilangnya konsentrasi untuk
mengingat Allah. Hal ini berdampak pada rusaknya amal khalawat. Sebaliknya,
bila ia berkonsentrasi melakukan penyerahan diri kepada Allah SWT maka ia
akan mendapat cahaya keyakinan. Keyakinan merupakan akibat / hasil dari upaya
Khalawat kepada Allah. Alamat ini, yang menyebabkan paragraf ini sebagai
paragraf sebab akibat.
Ungkapan pada data (45), menjelasankan tentang keadaan seorang hamba
yang melakukan khalawat. Dimenggambarkan keadaan seorang hamba yang telah
berhasil dalam khalawatnya, akan terpancar padanya cahaya berupa cahaya
keyakinan dan ketakwaan yang bersinar cerah bagaikan cahaya di waktu pagi.
Dalam melakukan khalawat, hendaknya memiliki semangat yang tinggi serta
keteguhan jiwa. Sebab didalam melakukan khalawat, terdapat banyak cobaan dan
gangguan yang dapat memalingkan diri seorang hamba dari mengingat Allah.
Gangguan tersebut merupakan hijab penghalang bagi orang yang melakukan
khalawat. Oleh karena itu, maka hendaknya banyak melakukan dzikir dan hal-hal
lain yang dapat mengantarkan pada mengingat Allah SWT.
Terbukanya hijap seseorang, sesuai dengan kadar tingkatan ilmunya. Ilmu
mengenal Allah SWT merupakan pemberian dari-Nya yang di peroleh setelah
melakukan mujahadah.284
Ketika pengaruh rahasia itu mulai menjamah hati dan
pikiran, melalui praktek kontak ibadah, meditasi, dan pengabdian serta melalui
penyingkapan-penyingkapan, gairah sang pencari pada pencarian semakin
menyala-nyala.285
Menurut Abdul Rauf al-Sinkili seorang ulama sufi dari Aceh,
seorang sufi yang telah mengalami puncak pendakian ruhani, pandangan hatinya
284
Ibnu ‟Arabi, Cahaya Penakluk Surga, Sisi Praktis Khalawat Di Kalangan Para Auliya
(Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), hal. 18. 285
Mutiara Hikmah Tokoh-Tokoh Tasawuf (Tangerang Selatan: Alifia Books, 2018), hal.
30.
75
akan berpusat kepada Allah sepenuhnya.286
Seorang hamba yang melakukan
khalawat dengan baik, akan mengetahui kenikmatan ketika mendekatkan diri
kepada Allah. Beserta itu, Allah akan menjadikannya sebagai orang yang mulia
dan jernih jiwanya. Dalam melakukan khalawat, hendaknya memperbanyak zikir
dan rasa syukur kepada Allah SWT atas apa yang dialaminya. Senantiasa tekun
melakukan zikir di dalam hatinya sesuai dengan tuntunan yang telah diajarkan
gurunya. Barangsiapa yang sering melakukannya, maka akan nampak padanya
cahaya bagaikan cahaya di waktu pagi. Cahaya yang akan menerangi hatinya
dengan keyakinan dan ketakwaan pada Allah SWT.
6) Kutipan Data No. 63
287
Terjemah penulis: „Berkata Qotbul Gaus Syekh Abu Bakar bin Salim,
semoga Allah yang maha kuasa mensucikan ruhnya: “kepadamu wahai
saudaraku, harus meninggalkan dunia secara zahir dan batin, karena itu
merupakan pangkal dari semua keburukan. Keluarkanlah ia (cinta dunia) dari
dalam hatimu.”
Uangkapan pada data (63) diidentifikasi sebagai gaya simile (tasybih).
Dapat dilihat pada diksi (pilihan kata) yang dipakai yaitu kata / سأط / yang
bermakna „kepala‟, mengkiaskan pangkal keburukan, yaitu mencintai dunia
merupakan pangkal dari semua keburukan.
Frasa / سأط و خط١ئخ / yang bermakna „kepala dari setiap keburukan‟
adalah musyabbah dibandingkan dengnan frasa / هت اذ١ب / bermakna „mencari
dunia‟ sebagai musyabbah dengan tidak memakai kata pembanding sebagai adat
al-tasybihnya. Ungkapan ini, tidak terdapat wajah syibehnya. Dengan demikian,
ungkapan pada data (63) termasuk dalam kategori tasybih baligh.288
286
M. Wildan Yahya, Menyingkap Tabir Rahasia Spiritual Syekh Abdul Muhyi,
Menapaki Jejak Para Tokoh Sufi Nusantara Abad XVII & XVIII (PT. Refika Aditama, 2007), hal.
97. 287
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 14v. 288
Tasybih baligh adalah tasybih yang dibuang adat tasybihnya dan wajah syibehnya;
Lihat: Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Terjemah Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 2018), hal. 28.
76
Disisi lain, sebagai sebagai „alaqah (hubungan kesamaan) pada (tasybih)
di atas ialah sama-sama memiliki unsur “pusat.” Kata „kepala‟ adalah bagian
tubuh yang menjadi “pusat” syaraf dari segala aktifitas badan. Begitupula pada
frasa „pangkal keburukan,‟ juga merupakan “pusat” dari segala keburukan.
Ungkapan pada data (63), merupakan ungkapan Syekh Abu Bakar bin
Salim yang ingin menjelasankan tentang bahaya mecintai dunia. Ia
menggambarkan bahwa mencintai dunia merupakan pangkal dari setiap
keburukan. Seseorang yang mencintai dunia, akan terpedaya hingga ia lupa
kepada akhirat. Pada umumnya, manusia sangat mencintai dunia karena
didalamnya terdapat banyak kenikmatan dan keindahan.
Anda bisa menjauh dari kemegahan dunia, segala kenikmatan jasmani
yang berlebihan. Namun jika secara rohani, pikiran, hati, perasaan, dan hasrat
anda masih mencintai semua hal tersebut, anda masih terjerat ego.289
Meninggalkan cinta kepada dunia kemudian menggantinya dengan cinta kepada
Allah semata, merupakan cara untuk bisa memurnikan cinta kepada sang pencipta.
7) Kutipan Data No. 63
290
Terjemah penulis: „Keluarkanlah ia (cinta dunia) dari dalam hatimu,
karena mencintainya (dunia) dan mencintai Allah SWT, tidak akan dapat bersatu
di dalam hati. Laksana tidak dapat bersatunya air dan api di dalam satu wadah.
Mencarinya (dunia) merupakan kehinaan di sisi Allah SWT dan makhluknya.
Sesungguhnya ia (dunia) adalah tempat yang menipu dan memperdaya.
Kesusahan senantiasa meliputi orang yang mencintainya, maka bebaskan dirimu
dengan meniggalkannya.‟
Ungkapan pada data (63) diidentifikasi sebagai gaya simile (tasybih). Hal
ini dilihat pada diksi (pilihan kata) yang dipakai yaitu frasa / ٠جزؼب ابء ابس لا وب
bermakna „laksana air dan api yang tidak akan bersatu di dalam / ف إبء ادذ
289
Zaprulkhan, Pencerahan Sufistik, Menimba Kearifan Hidup Melalui Kisah-Kisah
Kaum Sufi (Jakarta: Quanta, 2015), hal. 145. 290
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 14v.
77
wadah.‟ Kata laksana merupakan sinomim dari kata sebagaimana, atau bagaikan.
Perumpamaan diatas, diindikasikan sebagai cara untuk menggambarkan keadaan
hati seorang hamba yang tidak mungkin bisa mencintai dunia dan mencintai Allah
SWT sekaligus di dalam hatinya.
Frasa / ابء ابس / bermakna „air dan api‟ adalah musyabbah,
dibandingkan frasa / دجب دت الله / bermakna „mencintainya (dunia) dan mencintai
Allah‟ sebagai musyabbah bih dengan menggunakan kata pembanding / وب /
bermakna „sebagaimana‟ sebagai adat al-tasybih. Ungkapan ini yang menjadi
wajah syibehnya ialah frasa / ٠جزؼبلا / bermakna „tidak dapat bersatu.‟ Dengan
demikian, ungkapan pada data (63) termasuk dalam kategori tasybih mursal
mufashshal.291
Di sisi lain sebagai „alaqah (hubungan kesamaan) pada tasybih di atas
ialah sama-sama memiliki unsur “saling kontradiksi.” Frasa / ابء ابس /
bermakan „air dan api‟ memiliki unsur yang “saling kontradiksi” yaitu panas dan
dingin. Begitu pula frasa / دجب دت الله / bermakna „mencintainya (dunia) dan
mencintai Allah,‟ juga memiliki unsur yang “saling kontradiksi” yaitu cinta
kepada dunia dan cinta kepada Allah.
Ungkapan pada kutipan data (63) ialah ungkapan Syekh Abu Bakar bin
Salim yang penjelasan tentang bahaya mencintai dunia. Ia menggambarkan
tentang suatau keadaan yang mana tidak dapat disatukannya antara mencintai
dunia dan mencintai Allah SWT sekaligus di dalam hati, sebagaimana tidak dapat
bersatunya air dan api di dalam sebuah wadah. Seorang hamba yang mencintai
dunia akan mustahil baginya dapat mencintai Allah SWT dengan sempurna, sebab
hatinya telah dipenuhi oleh kecintaan terhadap keindahan dunia. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa mencintai dunia secara berlebihan merupakan pangkal
dari segala keburukan.
Ketika hasrat (syahwat) menguasai kalbu hingga tak terkendali, maka
Setan akan bercokol di relungnya. Hati yang tidak mengandung sifat-sifat kotor,
Setan bisa saja memasukinya bukan karena adanya syahwat, tetapi karena
kosongnya hati sebab lalai dari zikir kepada Allah. Bila ia kembali berzikir,
291
Tasybih mursal adalah tasybih yang disebut adat tasybihnya dan Tasybih Mufashshal
adalah tasybih yang disebut wajah syibehnya; Lihat: Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Terjemah
Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2018), hal. 28.
78
Setanpun akan keluar dan pergi bersembunyi.292
Mencari kesenangan dunia
merupakan kehinaan di sisi Allah. Seharusnya seorang hamba lebih mencintai
sang pencipta dari pada ciptaan. Dunia sesungguhnya adalah tempat yang menipu
dan memperdaya bahkan kesusahan senantiasa meliputi orang yang mencintainya.
Oleh karena itu, tinggalkan kecintaan terhadap dunia yang berlebihan karena
dapat melalaikan dari mengingat Allah SWT.
8) Kutipan Data No. 65
293
Terjemah penulis: „Berkata penghulu orang-orang terdahulu dan terakhir
Muhammad SAW: “Dunia merupakan tempat bagi orang yang tidak memiliki
tempat, dan dikumpulkannya (kesenangan dunia) oleh orang yang tidak memiliki
akal.”
Ungkapan pada data (65) diidentifikasi sebagai ) diidentifikasi sebagai
gaya simile (tasybih). Dapat dilihat pada diksi (pilihan kata) yang dipakai yaitu
Frasa / داس لا داس / yang bermakna „tempat bagi orang yang tidak memiliki
tempat,‟ mengkiaskan orang yang mencintai dunia sebab tidak mengetahui
nikmatya kehidupan akhirat.
Frasa / داس لا داس / yang bermakna „tempat bagi orang yang tidak
memiliki tempat‟ merupakan musyabbah dibandingkan dengan kata / اذ١ب/
bermakna „dunia‟ sebagai musyabbah bih, tanpa menggunakan kata pembanding
sebagai adat al-tasybih. Ungkapan ini yang menjadi wajah syibehnya ialah frasa
ػم لا ٠جزؼب / / bermakna „dikumpulkannya (dunia) oleh orang yang tidak
memiliki akal.‟ Di sisi lain, sebagai sebagai „alaqah (hubungan kesamaan) pada
tasybih di atas ialah sama-sama memiliki unsur yang “menginginkan
dunia”.Dengan demikian, ungkapan pada data (65) termasuk dalam kategori
tasybih mu‟akkad.294
292
Mahbub Djamaluddin, Imam Al-Ghazali, Biografi & Warisan Sang Ensiklopedi
Zaman (Senja Publishing, 2015). 293
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 15r. 294
Tasybih mu‟akkad adalah tasybih yang dibuang adat tasybihnya; Lihat: Ali Al-Jarim
dan Musthafa Amin, Terjemah Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung: Sinar Baru Algensindo,
2018), hal. 28.
79
Ungkapan pada data (65) adalah ucapan (Hadits) Rasulullah SAW yang
menjelaskan tentang keadaan orang yang mencintai dunia. Ia menggambarkan
bahaya orang yang mencintai dunia bagaikan orang yang tidak memiliki akal.
Kebodohan orang yang mencintai dunia secara berlebihan. Digambarkan bahwa
dunia adalah tempat yang indah, sehingga manusia banyak yang terpedaya
karenanya. Terkadang manusia hanya memilih kejayaan dan kesenangan dunia
tetapi lupa pada akhirat. Orang yang hanya mengejar perhiasan dunia akan
meruggi di akhirat kelak.
9) Kutipan Data No. 66
295
Terjemah penulis: „Dunia adalah musuh Allah dan musuh para walinya.‟
Ungkapan pada data (66) diidentifikasi sebagai gaya simile (tasybih).
Dapat dilihat pada diksi (pilihan kata) yang di pakai yaitu frasa / ػذح الله ػذح
yang bermakna „musuh Allah dan musuh para nabi,‟ menggambarkan / أ١بئ
kebencian Allah SWT dan para walinya terhadap kelalaian dan kemaksiatan yang
ada di dunia.
Frasa / ػذح الله ػذح أ١بئ / yang bermakna „musuh Allah dan musuh para
wali,‟ merupakan musyabbah dibandingkan dengan kata / اذ١ب / yang bermakna
„dunia‟ sebagai musyabbah bih, tanpa menggunakan kata pembanding sebagai
adat al-tasybih. Ungkapan ini tidak terdapat wajah syibehnya. Dengan demikian,
ungkapan pada data (66) termasuk dalam kategori tasybih baligh.296
Di sisi lain, sebagai sebagai „alaqah (hubungan kesamaan) pada tasybih di
atas ialah sama-sama memiliki unsur yang “kebencian.” Pada kata „musuh,‟
terdapat “kebencian” bagi orang yang saling bermusuhan. Begitupula kata
„dunia,‟ juga terdapat “kebencian” sebab didalamnya terjadi kemaksiatan.
Ungkapan pada data (66) adalah ucapan (Hadits) Rasulullah SAW yang
menjelaskan tentang kebencian Allah SWT dunia karena kemaksiatan.
Digambarkan bahwa Allah SWT dan para walinya membenci dunia bagaikan
musuh kepada dunia. Allah SWT membenci dunia karena kelalaian manusia dari
295
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 15r. 296
Tasybih baligh adalah tasybih yang dibuang adat tasybihnya dan wajah syibehnya; Lihat: Ali
Al-Jarim dan Musthafa Amin, Terjemah Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2018), hal. 28.
80
ketaatan dan ibadah. Para walinya membenci dunia disebabkan sakitnya menahan
diri dari godaan yang berada didunia. Kezaliman dilakukan tanpa memperdulikan
syariat dan hukum yang diturunkan kepada manusia didunia. Oleh sebab itu,
sudah seharusya kita menjauhi kemaksiatan karena itu akan menyebabkan murka
Allah SWT.
10) Kutipan Data No. 70
297
Terjemah penulis: „Berkata Rasulullah sallalâhu alaihi wa sallam: “dunia
adalah penjara bagi mukmin dan surga bagi orang kafir.”
Ungkapan pada data (64) diidentifikasi sebagai gaya simile (tasybih).
Dapat dilihat pada diksi (pilihan kata) yang dipakai yaitu frasa / عج اؤ جخ
‟yang bemakna „penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir /اىبفش
menggambarkan orang mukmin yang menahan diri dari segala yang di larang
Allah SWT dan orang kafir yang hidup bebas menikmati dunia tanpa
memperdulikan aturan serta laranga Allah SWT.
Frasa / عج اؤ جخ اىبفش / yang bemakna „penjara bagi orang beriman
dan surga bagi orang kafir‟ merupakan musyabbah dibandingkan dengan kata /
yang bermakna „dunia,‟ sebagai musyabbah bih, tanpa menggunakan kata / اذ١ب
pembanding sebagai adat al-tasybih. Ungkapan ini ,tidak terdapat wajah
syibehnya. Dengan demikian, ungkapan pada data (70) termasuk dalam kategori
tasybih baligh.298
Disisi lain, sebagai sebagai „alaqah (hubungan kesamaan) pada tasybih di
atas ialah sama-sama memiliki unsur “kontra diksi.” Pada frasa „penjara dan
surga‟ merupakan sesuatu yang “kontra diksi.” begitupula kata„dunia‟ didalamnya
terdapat hal yang “kontra diksi” yaitu menahan diri dan perilaku bebas.
Ungkapan pada data (70) adalah ucapan (Hadits) Rasulullah SAW yang
menjelaskan tentang keadaan orang beriman dan orang kafir di dunia.
Digambarkan bahwa dunia adalah tempat yang penuh kesengsaraan bagi orang
297
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 16v. 298
Tasybih baligh adalah tasybih yang dibuang adat tasybihnya dan wajah syibehnya;
Lihat: Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Terjemah Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 2018), hal. 28.
81
beriman karena menahan diri dari hal yang dilarang Allah SWT, tetapi sebagai
tempat yang menyenangkan bagi orang kafir karena memperturutkan hawa nafsu.
11) Kutipan Data No. 74
299
Terjemah penulis: „Adapun ruh para Nabi, ketika keluar dari jasadnya
(meninggal dunia), ia menyerupai minyak wangi dan kapur harum, ia berada di
surga yang penuh kenikmatan. Pada malam harinya, ia berlindung pada lampu
yang berada di bawah „Arsyi.‟
Ungkapan pada data (74) diidentifikasi sebaga gaya simile (tasybih). Hal
ini dapat dilihat pada diksi (pilihan kata) yang dipakai yaitu frasa /ث اغه اىبفس
/ bermakna „seperti minyak wangi dan kapur harum.‟ Mengumpamakan keadaan
ruh para Nabi yang begitu mulia dan istimewa. Ruh para nabi ketika keluar dari
jasadnya pada saat meninggal dunia, berbentuk halus dan istimewa serta berbau
harum semerbak karena amal dan ibadahnya.
Frasa / اغه اىبفس / bermakna„minyak wangi dan kapur harum‟ adalah
musyabbah bih, dibandingkan frasa / أساح الأج١بء / bermakna „ruh para nabi‟
sebagai musyabbahnya, dengan menggunakan kata pembanding / ث / bermakna
„seperti‟ sebagai adat al-tasybih. Ungkapan pada data (74) tidak terdapat wajah
syibeh-nya, sehingga ungkapan ini termasuk dalam kategori tasybih mursal
mujmal.300
Ditinjau dari aspek „alaqah (hubungan kesamaan) pada tasybih di atas
ialah sama-sama memiliki unsur “keistimewaan.” Frasa / اغه اىبفس / bermakna
„minyak wangi dan kapur harum‟ memiliki unsur yang “istimewa” yaitu
disenangi banyak orang karena memiliki “keistimewaan” aroma yang wangi.
Begitupula frasa / أساح الأج١بء / bermakna„ruh para nabi‟ juga memiliki unsur yang
“istimewa” yaitu keistimewaan amal dan ibadahnya.
299
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 16r. 300
Tasybih mursal adalah tasybih yang disebut adat tasybihnya dan tasybih mujmal
adalah tasybih yang dibuang wajah syibehnya; Lihat: Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Terjemah
Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2018), hal. 28.
82
Ungkapan pada data (74), menjelasankan tentang keadaan ruh setelah
meninggal dunia. Digambarkan bahwa keadaan ruh para Nabi yang diistimewakan
oleh Allah bagaikan kapur harum yang semerbak karena amal dan ibadahnya.
Ketika manusia meninggal dunia, ruhnya akan keluar dari jasadnya dalam
beberapa bentuk penyerupaan dan tetap hidup di alam yang berbeda.
Allah yang menghidupkan, mematikan, dan menghidupkan kembali. Ruh
kembali keasal ruh.301
Ruh akan kembali kepada penciptanya. Ruh mengalami
keadaan berbeda-beda setelah keluar dari jasadnya bergantung pada amalannya
selama di dunia. Keadaan ruh ketika keluar dari jasadnya terbagi atas lima bentuk
yaitu keadaan ruh para nabi, ruh para syahid, ruh orang yang taat dari para
mukmin, ruh orang yang bermaksiat dari para mukmin, ruh orang-orang kafir.
Keadaan ruh para nabi ketika keluar dari jasadnya memiliki bentuk yang
istimewa. Hal ini disebabkan karena amalanya yang begitu mulia, hingga Allah
SWT menganugerahkan keistimewaan tersebut. Perjuangan para nabi dalam
mendakwahkan agama begitu besar, mengajak umatnya untuk beribadah kepada
Allah SWT dan menuntun umatnya agar mendapatkan hidayah dan petunjuk ke
jalan kebenaran. Usaha itu dilakukan guna keselamatan umatnya di dunia dan
akhirat.
12) Kutipan Data No. 79
302
Terjemah penulis: „Berkat petunjuk Allah yang Maha Mulia, tamatlah
tulisan ini pada hari selasa bulan rabi'ul awal tahun 1250H. Hari ini merupakan
bulan yang penuh berkah sebagaimana bulan hijrahnya Nabi dan para
sahabatnya. Teriring salawat dan salam kepadanya. Kuberikan judul pada tulisan
ini, “Diya al-Anwar fi Tasfiat al-Akdar.” Seraya berharap kepada Allah, semoga
menjadikannya (para sahabat) sebagai orang yang ikhlas disisi-Nya, serta
301
Candra Malik, Makrifat Cinta (Jakarta: Noura Books, 2012), hal. 11. 302
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 16v.
83
memasukkan kedalam surga yang penuh kenikmatan. Tiada daya dan upaya,
kecuali atas izin Allah yang maha tinggi lagi mulia. Semoga Allah merahmati
orang-orang yang telah mempersatukan mukmin yang berselisih. Persatuan
mukmin seperti bangunan yang saling memperkuat satu sama lain.‟
Ungkapan pada data (79) diidentifikasi sebagai gaya simile (tasybih). Hal
ini di lihat pada diksi (pilihan kata) yang di gunakan yaitu frasa / ث اج١ب ٠ؾذ
bermakna „sebagaimana bangunan yang saling memperkuat satu / ثؼن ثؼنب
sama lain.‟ Mengumpamakan persatuan kaum mukminin, yaitu persaudaraan di
antara sesama mukmin yang saling mendukung dan menguatkan satu sama lain.
Kata / اج١ب / bemakna „bangunan‟ adalah musyabbah bih dibandingkan
kata / اؤ / bermakna „orang-orang beriman‟ sebagai musyabbah dengan
menggunakan kata pembanding / ث / bermakna „seperti‟ sebagai adat al-tasybih.
Ungkapan ini yang menjadi wajah syibehnya ialah frasa / ٠ؾذ ثؼن ثؼنب /
bermakna „saling memperkuat satu sama lain.‟ Dengan demikian, ungkapan pada
data (79) termasuk dalam kategori tasybih mursal mufashshal.303
Di sisi lain, sebagai sebagai „alaqah (hubungan kesamaan) pada tasybih di
atas ialah sama-sama memiliki unsur yang “saling memperkuat”. Kata / اج١ب /
bermakna „bangunan‟ memiliki struktur rangka dan material yang “saling
mendukung dan memperkuat.” Begitupula pada kata / اؤ / bermakna „orang-
ornag beriman,‟ memiliki ikatan persaudaraan (ukhuwah Islamiyah) diantara
sesama mukmin yang “saling mendukung dan memperkuat” satu sama lain.
Ungkapan pada data (79), menjelasankan tentang persatuan kaum
muslimin. Digambarkan bahwa persaudaraan sesama mukmin seperti bangunan
yang kokoh karena memiliki struktur yang saling mendukung satu sama lain. Pada
dasarnya, seorang muslim ialah bersaudara karena diikat oleh tali akidah. Oleh
karena itu, seorang muslim yang baik ialah muslim yang mencintai saudaranya
sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Saling tolong menolong diantara
sesama muslim.
Adab bersaudara dan bertetangga kepada sesama muslim secara umum
ialah mendahului untuk memberi salam, bermuka manis, bersahabat, memanggil
303
Tasybih mursal adalah tasybih yang disebut adat tasybihnya dan tasybih mufashshal
adalah tasybih yang disebut wajah syibehnya; Lihat: Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Terjemah
Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2018), hal. 28.
84
dengan nama yang baik, tidak menyukai perdebatan, menjenguk ketika sakit,
menghiburnya ketika di timpa musibah, menegur ketika bersalah dengan cara
yang baik, memaafkan kesalahannya.304
Selain dari mengikuti apa yang
diperintahkan dan menjauhi apa yang di larangan, puncak tertinggi pandangan
hidup seorang muslim ialah cinta.305
Bertumpu kepada hasil analisis data di atas, dapat diketahui bahwa pada
naskah ini terdapat pemakaian gaya bahasa simile yang dapat diketahui melalui
tanda pemakaian kata konjungsi, /sebagaimana/, /bagaikan/, /laksana/, /seperti/,
rekapitulasi dapat digambarkan sebagai berikut penanda gaya bahasa simile.
Tabel 1 Simpulan Penanda Gaya Bahasa Simile (tasybih)
304
Imam al-Gazali, Jalan Bijak, Adab Berinteraksi Dengan Allah Dan Sesama (Jakarta:
Zaman, 2016), hal. 195. 305
Hamka, Renungan Hati (Jakarta: Republika, 2016), hal. 54.
Data
Ungkapan Kutipan
Pada Naskah
Penanda
Adat tasybih Keterangan
1 Data
No. 15
Sebagaim
ana melepaska
n rambut
dari
kumpulan
nya
Ungkapan
٠غ اؾؼش /
وب اؼج١ /
bermakna :
„sebagaimana
melepaskan
rambut dari
kumpulannya‟
/sebagaimana/ Tasybih mursal
mujmal
2 Data
No. 29 Benteng
Ungkapan
yang / دق /
bermakna
„benteng‟
Tidak ada Tasybih
mu‟akkad
3 Data
No. 33 kunci
Ungkapan /
فزبح دمبئك
/ امة
bermakna
„kunci hakekat
hati‟
Tidak ada Tasybih baligh
4 Data
No. 43 Obat
Ungkapan
Kata / ؽفبء /
yang
bermakna
„obat‟ adalah
Tidak ada Tasybih baligh
5 Data
No. 45
cahaya
bagaikan
Ungkapan
/ س وبقجبح //bagaikan/
Tasybih mursal
mujmal
85
di waktu
pagi
Bermakna
„cahaya
bagaikan di
waktu pagi‟
6 Data
No. 63 Kepala
Ungkapan /
/ اذ١ب
bermakna
„kepala‟
Tidak ada Tasybih baligh
7 Data
No. 63
Laksana
air dan
api
Ungkapan
/ ٠جزؼب لا وب
ابس ف ابء
/ إبء ادذ
bermakna
„laksana air
dan api yang
tidak akan
bersatu di
dalam wadah‟
/laksana/ Tasybih mursal
mufashshal
8 Data
No. 65
Tempat
bagi
orang
yang
tidak
memiliki
tempat
Ungkapan داس
داسلا / /
yang
bermakna
„tempat bagi
orang yang
tidak memiliki
tempat‟
Tidak ada Tasybih
mu‟akkad
9 Data
No. 66
Musuh
Allah dan
musuh
para wali
Ungkapan
ػذح الله ػذح /
yang / أ١بئ
bermakna
„musuh Allah
dan musuh
para wali‟
Tidak ada Tasybih baligh
10 Data
No. 70
Penjara
bagi
orang
beriman
dan surga
bagi
orang
kafir
/ عج اؤ
/جخ اىبفش
yang bemakna
„penjara bagi
orang
beriman dan
surga bagi
orang kafir‟
Tidak ada Tasybih baligh
11 Data
No. 74
Sepert
minyak
wangi
dan kapur
harum
Ungkapan
ث اغه /
/ اىبفس
bermakna
„seperti
minyak wangi
dan kapur
/seperti/ Tasybih mursal
mujmal
86
b) Gaya Metafora (isti’ârah)
Dalam Zubair (2017), menjelaskan bahwa metafora atau isti'ârah ialah
penggunaan suatu kata pada makna yang tidak sebenarnya karena adanya relasi
keserupaan („alaqah musabbah bih) antara makna denotasi dan konotasi yang
disertai oleh indikator yang memalingkan makna denotasi.306
Menurut Syukron
Kamil (2012), isti‟ârah ialah metafora sebagian.307
Dalam Naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr, penjelasannya juga
menggunakan gaya metafora (isti‟ârah). Hal ini untuk menggambarkan obyek
atau maksud yang dituju, dapat dilihat pada kutipan berikut:
1) Kutipan Data No. 11
308
Terjemah penulis: „Makna ujub dan takabur adalah melihat diri sendiri
dengan pandangan mulia dan keagungan, namun melihat orang lain dengan
pandangan hina dan rendah, kemudian ia membanggakan sifat itu (ujub dan
kibr), yang akan mempersulit dokter dari penyembuhan.‟
Ungkapan pada data (11) berdasarkan analisis, dikategorikan sebagai
metafora (isti‟ârah). Alasan identifikasi sebagai metafora didasarkan pada frasa
yang dipilih pengarang (diksi) untuk mengungkapkan / ٠ؼجض الأهجبء ػ ػلاج / yang
306
Zubair, Stilistik Arab, Studi Ayat-Ayat Pernikahan Dalam Alquran (Jakarta: Amzah,
2017), hal. 135. 307
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik Dan Modern (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2012), hal. 142. 308
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 4r.
harum‟
12 Data
No. 79
sebagaim
ana bangunan
yang
saling
memperk
uat satu
sama lain
Ungkapan
ث اج١ب ٠ؾذ /
/ ثؼن ثؼنب
bermakna
„sebagaimana
bangunan
yang saling
memperkuat
satu sama
lain‟
/sebagiamana/ Tasybih mursal
mufashshal
87
berarti „menyulitkan dokter dari penyembuhan,‟ mengkiaskan bahaya sifat „ujub
dan takabur,‟ yaitu sulitnya menghilangkan sifat „ujub‟ dan „takabur‟ dari dalam
hati.
Frasa / ٠ؼجض الأهجبء ػ ػلاج / yang berarti „menyulitkan dokter dari
penyembuhan‟ adalah isti‟ârah dari „sulitnya menghilangkan sifat hasad.‟ Di sisi
lain, sebagai sebagai „alaqah (hubungan keserupaan) pada isti‟ârah di atas ialah
sama-sama memiliki unsur yang “sulit”. Frasa „menyulitkan dokter dari
penyembuhan‟ memiliki unsur yang “menyulitkan” yaitu menyulitkan dokter dari
kesembuhan. Begitupula pada frasa „sulitnya menghilangkan sifat hasad‟ juga
memiliki unsur yang “menyulitkan” yaitu sulitnya menghilangkan sifat hasad di
dalam hati karena telah berakar di dalam jiwa, sebagai qarinahnya adalah haliyah.
Dengan demikian, dapat dikategorikan bahwa isti‟ârah di atas termasuk isti‟ârah
tamtsiliyyah.309
Ungkapan pada data (11) adalah ungkapan Muhammasd Idrus Qaimuddin
yang menjelaskan tentang bahaya sifat takabur. Ia menggambarkan sulitnya
menghilangkan sifat takabur dari dalam hati. Makna ujub dan takabur adalah
melihat diri sendiri dengan pandangan mulia dan keagungan, namun melihat
orang lain dengan pandangan hina dan rendah. Sesungguhnya manusia di hadapan
tuhan adalah sama, namun yang membedakan ialah amal perbuatannya. Memiliki
sifat ujub dan takabur di dalam hati sangat berbahaya karena dapat membuat diri
merasa hebat dan besar sehingga lupa pada Allah yang maha kuasa. Oleh karena
itu, sucikanlah batin dari sifat ujub dan takabur.
Menurut al-Kalahazi, suci batin yaitu bersih dari segala penyakit-penyakit
hati.310
Sifat ujub dan takabur merupakan bagian dari penyakit hati. Orang yang
memiliki sifat ujub dan takabur, terkadang ia lupa bahwa segala yang dimilikinya
adalah pemberian Allah SWT. Ciri-ciri orang yang memiliki sifat tersebut ialah ia
membanggakan pada manusia dengan berkata: "aku dan aku", sebagaimana yang
309
Isti‟ârah tamtsiliyyah adalah susunan kalimat yang digunakan bukan pada makna
aslinya karena ada hubungan keserupaan (antara makna asli dan makna majazi) disertai adanya
karinah yang menghalangi pemahaman terhadap kalimat tersebut dengan maknanya yang asli;
Lihat: Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Terjemah Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 2018), hal. 133. 310
Kautsar Azhari Noer, Warisan Agung Tasawuf (Jakarta: Sadra Press, 2015), hal. 168.
88
telah dikatan iblis yang terlaknat: "aku lebih baik dari dia, aku terbuat dari api
sedangkan dia terbuat dari tanah".
2) Kutipan Data No. 12
311
Terjemah penulis: „Dalam Hadist Nabi SAW, dijelaskan: tidak akan
masuk surga, seseorang yang memiliki seberat biji zara dari sifat takabur di
dalam hatinya.‟
Ungkapan pada data (12) termasuk gaya metafora (isti‟ârah). Dapat dilihat
pada diksi (pilihan kata) yang dipakai yaitu frasa / ثمبي ازسح / bermakna „seberat
biji dzarah‟ mengkiaskan kecilnya sifat takabur, yaitu sekecil apapun sifat takabur
di dalam hati akan menyebabkan terhalangnya masuk surga.
Pada frasa [ثمبي ازسح], diidentifikasi sebagai frasa yang dipilih (diksi) oleh
pengarang untuk mengungkapkan aspek yang bermakna „seberat biji dzarah.‟
Frasa ini adalah isti‟ârah dari sesuatu benda yang lebih kecil dari „secercah sifat
takabur‟ yang merupakan isti‟ârah tashrîhiyyah.312
Di sisi lain, sebagai „alaqah
(hubungan keserupaan) pada isti‟ârah di atas ialah sama-sama memiliki unsur
“kecil”. Frasa „seberat biji dzarah‟ memiliki unsur yang “kecil” yaitu bentuk biji
tanaman yang sangat kecil. Begitupula pada frasa „secercah sifat takabur‟ juga
memiliki unsur yang “kecil” yaitu kecilnya takabur yang ada dalam jiwa. Dengan
demikian, isti‟ârah pada data (12) dapat dikategorikan sebagai Isti‟ârah
Muthlaqah.313
Ungkapan pada data (12) adalah ucapan (Hadits) Rasulullah SAW yang
menjelaskan tentang bahaya sifat takabur. Ia menggambarkan bahaya sifat takabur
di dalam hati, walaupun sekecil biji zarrah akan mengakibatkan terhalangnya
untuk masuk kedalam surga. Sifat takabur sangat di benci oleh Allah SWT,
sehingga siapapun yang memilikinya akan jauh dari rahmat-Nya. Sifat takabur
merupakan sifat manusia yang membanggakan diri, biasanya disebabkan karena
merasa memiliki kelebihan tertentu sehingga memandang orang lain dengan
311
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 4r. 312
Isti'ârah tashrîhiyyah yaitu isti'ârah yang musabbah bihnya ditegaskan. 313
Isti'ârah muthlaqah adalah isti'ârah yang tidak disertai penyebutan kata-kata yang
relevan dengan musyabbah bih maupun musyabbah; Lihat: Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin,
Terjemah Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2018), hal. 121.
89
pandangan hina. Kelebihan yang dimiki manusia pada hakekatnya adalah milik
tuhan, tidak pantas bagi manusia membanggakan diri. Sifat takabur atau
membesarkan diri hanya pantas di miliki oleh Allah SWT yang mengusai seluruh
alam.
Renungkanlah hal berikut, Dia (Allah) menciptakan kita sebagai makhluk
yang paling rentan, sengsara, menderita dan hina, kemudian memberi akal sebagai
sebuah pemberian dari kebijaksanaan-Nya yang menjadi sarana untuk
menemukan kebahagiaan.314
Sifat takabur memandang dirinya di atas orang lain.
Sehingga di dalam hatinya timbul kepuasan, kesenangan, kecenderungan terhadap
apa yang diyakini dan terasa berwibawa di dalam dirinya dengan hal tersebut.315
Tuhan sangat membenci dan mengancam orang yang membanggakan diri serta
mengharamkan surga bagi orang yang memiliki sifat takabur walaupun sekecil
biji zarrah.
3) Kutipan Data No. 18
316
Terjemah penulis: „Sungguh telah dikutip oleh Qusyairi rt. Dari Aisyah ra.
berkata: “Biasakanlah mengetuk pintu kerajaan alam malakut, maka akan
dibukakan untukmu” kemudian ditanyakan: “bagaimana melakukannya?”
kemudian dijawab: “dengan lapar dan haus.”
Ungkapan pada data (18) diidentifikasi sebagai gaya metafora (isti‟ârah).
Dapat dilihat pada diksi (pilihan kata) yang dipakai yaitu frasa / دىثبة ا / لشع
bermakna „mengetuk pintu kerajaan.‟ Mengkiaskan ajuran untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT dengan cara melakukan amalan puasa. Dalam hal ini,
puasa-puasa Sunnah.
Frasa / دىثبة ا ‟,yang bermakna „mengetuk pintu alam malakut / لشع
adalah isti‟ârah dari „mendekatkan diri kepada Allah SWT,‟ yang merupakan
314
Sugeng Hariyanto, Dimensi Abadi Kehidupan, Terjemah Dari: Badiuzzaman Said
Nursi "The Resurrection and The Hereaster (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 100. 315
Mohammad Toriquddin, Sekularitas Tasawuf, Membumikan Tasawuf Dalam Dunia
Modern (Malang: Uin Malang Press, 2008), hal. 95. 316
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 5r.
90
isti‟ârah tashrîhiyyah.317
Di sisi lain, sebagai sebagai „alaqah (hubungan
keserupaan) pada isti‟ârah di atas ialah sama-sama ingin “berhubungan lebih
dekat.” Pada frasa „mengetuk pintu kerajaan‟ terdapat unsur ingin “berhubungan
lebih dekat,” karena urusan tertentu ataupun hajat lainnya. Begitupula pada kata
„mendekatkan diri kepada Allah SWT‟ juga memiliki unsur keinginan
“berhubungan lebih dekat” dalam hal ini, dekat dalam ibadah. Dengan demikian
isti‟ârah di atas dapat dikategorikan sebagai isti‟ârah muthlaqah.318
Ungkapan pada data (18) adalah ucapan (Hadits) Rasulullah SAW yang
menjelaskan tentang cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ia
menggambarkan mendekatkan diri kepada Allah SWT seperti layaknya mengetuk
pintu penguasa. Mendekatkan diri dengan cara menahan lapar dan haus atau
berpuasa. Dalam hal ini, puasa-puasa sunah yang telah dicontohkan oleh
Rasulullah seperti (puasa senin-kamis dan puasa sunah lainnya). Orang yang
menahan lapar (berpuasa) dapat merasakan kedekatan batin pada Allah. Begitu
pula ketika berbuka puasa, ia juga akan merasa kenikmatan dengan segala rezki
yang dimakannya.
Salah satu amalan didalam bermujahadah ialah berpuasa. Mujahadah bisa
juga berarti melatih diri dengan sungguh-sungguh dengan cara menundukkan
keinginan nafsu, kemudian memisahkannya sekaligus mendorongnya untuk
menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangannya.319
Puasa termasuk
amalan mujahadah untuk melatih diri. Puasa yang dilakukan dengan sempurna
serta penuh keikhlasan, dapat mendekatkan diri kepada Allah.
4) Kutipan Data No. 25
320
317
Isti'ârah tashrîhiyyah yaitu isti'ârah yang disebut musyabbah bihnya. 318
Isti‟ârah muthlaqah adalah isti‟ârah yang tidak disertai penyebutan kata-kata yang
relevan dengan musyabbah bih maupun musyabbah; Lihat: Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin,
Terjemah Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2018), hal. 121. 319
Saifuddin Aman & Abdul Qadir Isa, Tasawuf “Revolusi Mental” Dzikir “Mengolah
Jiwa & Raga” (Banten: Ruhama, 2014), hal. 134. 320
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 6r-6v.
91
Terjema penulis „Berkata al-'Ârif al-Buni rt.; “Sungguh ia tidak meminum
air, kecuali setelah lima hari.” Meminum air bagi para pelaku riyâdah,321
akan
memecah konsentrasi. Dan tanda sahnya amalan riyadah seseorang, jika Allah
SWT hadir kepada hamba, seolah-olah mengalirkan air disela-sela giginya
(seorang hamba). Hal ini merupakan tanda bahwa riyadah tersebut berhasil
dengan baik.‟
Ungkapan pada data (25) diidentifikasi sebagai gaya metafora (isti‟ârah).
Frasa / ٠ذذس الله رؼب ؼجذ ف أدذ أعب أ بر ػ١ب بء رجش ف ف١ إ أ ٠ش /
bermakna „Allah SWT berbicara kepada hamba dengan menampakkan mata air
yang mengalir di sela-sela gigi seorang hamba,‟ Mengkiaskan Allah SWT
menganugerahkan rahmatnya, berupa menghilangkan rasa haus seorang hamba
yang sedang melaksanakan puasa.
Frasa / ٠ذذس الله / yang bermakna „Allah berbicara,‟ diserupakan dengan
manusia, kemudian musyabbah bihnya dibuang dan diisyaratkan dengan salah
satu sifatnya sebagai isti‟ârah makniyyah.322
Selanjutnya, terdapat pula kata-kata
yang relevan dengan musyabbah bih yaitu frasa / / ػ١ب بء رجش ف ف١ إ أ ٠ش
yang bermakna „mata air yang mengalir disela-sela gigi seorang hamba.‟ Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa isti‟ârah di atas ialah isti‟ârah murasysyahah.
323
Ungkapan pada data (25) adalah ucapan al-'Ârif al-Bauni yang
menjelaskan tentang tanda diterimanya riyadah seseorang. Ia menggambarkan
bahwa Allah SWT menganugerahkan rahmatnya kepada hamba bagaikaikan Allah
berbicara kepada hamba tersebut. Jika Allah SWT menerima amalan riyadah
seorang hamba maka Dia (Allah AWT) menghilangkan rasa haus hamba tersebut.
Meminum air bagi para pelaku Riyadah, akan memecah konsentrasinya.
321
Riyadah ialah internalisasi kejiwaan dengan sifat-sifat terpuji dan melatih
membiasakan meninggalkan sifat-sifat jelek; M. Solihin, Melacak Pemikiran Tasawuf Di
Nusantara (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2005), hal. 89; Lihat: Al-Ghazali, Risalah Al-Laduniyyah,
dalam Al-Qushur Al-„Awali, Jilid 1, Maktabah Al-Jundi, Mesir, 1970, hal. 122. 322
Isti‟ârah makniyyah, yaitu isti‟ârah yang dibuang musyabbah bihnya dan sebagai
isyarat ditetapkan salah satu sifat khasnya. 323
Isti‟ârah murasysyahah adalah isti‟ârah yang disertai penyebutan kata-kata yang
relevan dengan musyabbah bih; Lihat: Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Terjemah Al-Balaaghatul
Waadhihah (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2018), hal. 120.
92
5) Kutipan Data No. 31
324
Terjemah penulis: „Dari Atbân bin Malik berkata; “Sesungguhnya Allah
mengharamkan api bagi seorang hamba yang mengucapkan laâilâha illallah
dengan mengharap wajah Allah.”
Ungkapan pada data (31) diidentifikasi sebagai gaya metafora (isti‟ârah).
Dapat di lihat pada diksi (pilihan kata) yang dipakai yaitu frasa / ٠جزغ ث ج الله /
yang bermakna „mengharap wajah Allah,‟ yang mengkiaskan sebuah amalan yang
ikhlas dilakukan demi mencari keridhoan Allah SWT.
Frasa / ٠جزغ ث ج الله / bermakna „mengharap wajah Allah‟ adalah isti‟ârah
dari „mengharap ridho Allah SWT,‟ yang merupakan isti‟ârah tashrîhiyyah.325
Di
sisi lain, sebagai sebagai „alaqah (hubungan keserupaan) pada isti‟ârah di atas
ialah sama-sama memiliki unsur “diterima.” Pada frasa „mengharap wajah Allah,‟
dapat dikatakan bahwa setiap orang yang berjumpa tentu berharap “diterima”
dengan baik. Begitupula pada frasa „mengharapkan ridho Allah‟ juga dapat
dikatakan bahwa setiap orang yang beramal tentu akan berharap “diterima” amal-
amalnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ungkapan di atas termasuk
dalam kategori isti‟ârah muthlaqah. 326
Ungkapan pada data (31) adalah ucapan (Hadits) Rasulullah SAW yang
menjelaskan tentang amalan yang dilakukan dengan ikhlas dengan mengharap
keridhoan Allah SWT. Ia menggambarkan bahwa amalan yang ikhlas (mencari
keridhoan Allah SWT) bagaikan amalan yang dilakukan dengan mengharap wajah
Allah SWT. Makna ungkapan di atas, ingin menjelaskan tentang keistimewaan
dzikir. Digambarkan bahwa orang yang berzikir dengan ikhlas karena mengharap
keridhoan Allah SWT, kelak di akhirat akan terbebas dari siksaan api neraka.
Zikir juga akan mendatangkan rahmat dan anugerah dari Allah SWT, dengan
dzikir pula hati menjadi tenang.
324
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 7r. 325
Isti'ârah tashrîhiyyah yaitu isti‟ârah yang disebut musyabbah bihnya. 326
Isti‟arah Muthlaqah adalah isti‟ârah yang tidak disertai penyebutan kata-kata yang
relevan dengan musyabbah bih maupun musyabbah; Lihat: Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin,
Terjemah Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2018), hal 121.
93
Dalam ranah tasawuf, riyadah (latihan) yang paling utama adalah
dzikrullah.327
Adapun dzikir yang paling utama ialah kalimat "laâilâha illallah".
Seorang hamba yang rajin berzikir, kelak di akhirat akan berjumpa dengan Allah
sang pencipta.
6) Kutipan Data No. 38
328
Terjemah penulis: „Ada tiga adab berzikir untuk bagian terakhir, (1) diam
dan (2) tenang - Sambil khusyu (merasa diawasi) Allah, Boleh jadi ada
wujud/hasilnya - Di waktu yang singkat dianugrahi/diwarisi musyahadah,
Janganlah hentikan/lemahkan usahamu/riyadlahmu - Pada saat terseret kepada
limpahan rahmat, Pada hatimu yang memiliki - Pengharapan di dunia maka
bersiaplah, Ketika hati bertemu dengan yang diharapkan (Allah) - Maka engkau
tidak melihat kesulitan yang menyengsarakan.‟
Ungkapan pada data (38) diidentifikasi sebagai gaya metafora (isti‟ârah).
Dapat dilihat pada diksi (pilihan kata) yang dipakai yaitu frasa / إر عذج ف١بمخ /
bermakna „ketika terseret kepada limpahan rahmat (anugerah dari Allah).‟
Mengkiaskan terbimbing oleh Allah sehingga nampah padanya limpahan
anugerah darinya (Allah SWT) yang merupakan hasil dari amalan zikirnya ketika
bermuraqabah dalam khalawatnya.
Frasa / إر عذج ف١بمخ / bermakna „ketika terseret kepada limpahan rahmat
(anugerah dari Allah),‟ adalah isti‟ârah dari „terbimbing kepada limpahan
rahmat,‟ yang merupakan isti‟ârah tashrîhiyyah.329
Di sisi lain, sebagai sebagai
„alaqah (hubungan keserupaan) pada isti‟ârah di atas ialah sama-sama memiliki
unsur “tertuntun.” Pada frasa „ketika terseret kepada limpahan rahmat (anugerah
dari Allah),‟ terdapat unsur “tertuntun” yakni dituntun kepada limpahan rahmat.
Begitupula pada frasa „terbimbing kepada limpahan rahmat‟ juga terdapat unsur
“tertuntun” yakni dituntun oleh Allah kepada anugerah Allah SWT. Dengan
327
Cecep Alba, Tasawuf Dan Tarekat, Dimensi Esoteris Ajaran Islam (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, n.d.). 328
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 8r-8v. 329
Isti'ârah tashrîhiyyah yaitu isti'ârah yang disebut musyabbah bihnya.
94
demikian, dapat dikatakan bahwa isti‟ârah di atas termasuk isti‟ârah
mujarradah.330
Ungkapan pada data (38) menjelaskan tentang keadaan orang yang
dibimbing kepada rahmat Allah ketika berdzikir (Muraqabah). Digambarkan
bahwa orang yang terbimbing kepada anugerah Allah, bagaikan terseret pada
anugerahnya (Allah SWT). Berzikir dengan diam dan tenang sambil khusyu
sesuai adab zikir dua puluh, boleh jadi ada wujud dan hasil dari zikirnya,
walaupun dalam waktu yang singkat berupa anugrah dari Allah SWT. Dengan
demikian, janganlah hentikan usahamu dalam berdzikir. Ketika hati bertemu
dengan yang diharapkan Allah, maka engkau tidak melihat kesulitan yang
menyengsarakan.
7) Kutipan Data No. 38
331
Terjemah penulis: „Maka usahakanlah tiga hal ini (adab zikir:
sebelum/sedang/setelah), kemudian tekunilah – (Barangsiapa yang
membiasakannya), maka nampakkanlah padanya hasil dari dzikirnya, Padanya
diperkuat selalu, - Akan datang limpahan rahmat dengan sangat deras, (3)
Menahan diri dari meminum air, sebab dapat meredakan - Panasnya rindu
kepada-Nya (Allah), (yang merupakan hasil dari berzikir) kecuali setelah
beberapa saat - atau separuh dari bebera saat atau yang lebih singkat dari
bebera saat.‟
Ungkapan pada data (38) diidentifikasi sebagai gaya metafora (isti‟ârah).
Dapat dilihat pada diksi (pilihan kata) yang dipakai yaitu frasa / غ ؽشة ابء إر را
دشلخ ؽق -٠طف / bermakna „menahan diri dari meminum air sebab dapat
meredakan panasnya rindu.‟ Mengkiaskan orang yang telah berhasil dalam
zikirnya ketika bertaqarrub (mendekatkan diri kepada Allah pada saat melakukan
330
Isti‟arah mujarradah adalah isti‟ârah yang tidak disertai penyebutan kata-kata yang
relevan dengan musyabbah; Lihat: Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Terjemah Al-Balaaghatul
Waadhihah (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2018), hal. 121. 331
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 8v.
95
khalawat) akan nampak padanya limpahan rahmat, namun dengan meminum air,
akan lenyap seketika apa yang dirasakannya (limpahan rahmat dari Allah SWT).
Frasa / دشلخ ؽق / bermakna „panasnya rindu‟ adalah isti‟ârah dari
„konsentrasi,‟ yang merupakan isti‟ârah tashrîhiyyah.332
Di sisi lain, sebagai
sebagai „alaqah (hubungan keserupaan) pada isti‟ârah di atas ialah sama-sama
memiliki unsur “semangat”. Pada frasa „panasnya rindu,‟ yang memiliki
“semangat” untuk berjumpa. Begitupula pada frasa „konsentrasi‟ juga terdapat
“semangat” dalam melakukan sesuatu yang dihadapinya. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa isti‟ârah di atas termasuk Isti‟ârah mujarradah.333
Ungkapan pada data (38) menjelaskan tentang adab dalam berdzikir.
Digambarkan bahwa orang yang semangat orang yang berdzikir bagaikan
panasnya rindu. Seseorang yang telah berhasil dalam bermuraqabah zikirnya,
hendaknya tidak meminum air kecuali beberapa saat karena hala itu dapat
menghilangkan konsentrasi dari menghayati limpahan rahmat darinya (Allah
SWT). Ada tiga hal yang perlu dilakukan sebagai akhir dari adab berdzikir yaitu
diam, tenang dan menahan diri dari meminum air. Barangsiapa yang dapat
membiasakannya, maka nampakkanlah padanya hasil dari dzikirnya. Akan datang
limpahan rahmat padanya dengan sangat deras.
8) Kutipan Data No. 54
334
Terjemah penulis: „Berkata Syekh hujjatul Islam Al-Gazali, semoga Allah
SWT merahmatinya: Sesungguhnya temanmu yang tidak akan pernah
meninggalkanmu dalam kesendirianmu, perjalananmu, tidurmu, terjagamu,
begitupula dalam hidup dan matimu, Dia adalah tuhanmu sebagai walimu,
pemimpinmu, dan penciptamu. Dan ketika engkau mengingatNya, maka dia akan
duduk bersamamu.‟
332
Isti'ârah tashrîhiyyah yaitu isti‟ârah yang disebut musyabbah bihnya. 333
Isti‟arah Mujarradah adalah isti‟ârah yang tidak disertai penyebutan kata-kata yang
relevan dengan musyabbah; Lihat: Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Terjemah Al-Balaaghatul
Waadhihah (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2018), hal. 121. 334
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 12r.
96
Ungkapan pada data (54) diidentifikasi sebagai gaya metafora (isti‟ârah).
Dapat dilihat pada diksi (pilihan kata) yang dipakai yaitu kata / ج١غه / yang
bermakna „duduk bersamamu,‟ mengkiaskan seolah-olah tuhan datang kepada
seorang hamba yang berzikir bagaikan seorang kawan yang menemani yakni
menaungi dan menolongnya.
Kata / ج١غه / yang bermakna „duduk bersamamu‟ diserupakan dengan
manusia, kemudian musyabbah bihnya dibuang dan diisyaratkan dengan salah
satu sifatnya sebagai isti‟arah makniyyah.335
Disisi lain, sebagai sebagai „alaqah
(hubungan keserupaan) pada isti‟ârah di atas ialah sama-sama memiliki unsur
“kedekatan.” Pada kata „duduk bersamamu,‟ menggambarkan kedekatan dianatara
keduanya. Begitupula pada kata „Allah yang menaungi,‟ juga menggambarkan
kedekatan Tuhan kepada hambanya. Dengan demikian, ungkapan pada data (52)
termasuk dalam kategori Isti‟ârah Muthlaqah 336
Ungkapan pada data (54) adalah ucapan imam Al-Gazali yang
menjelaskan tentang keutamaan amalan dzikir. Ia menggambarkan bahwa ketika
seorang hamba yang berzikir kepada Allah SWT, maka Allah akan dekat
kepadanya bagaikan seorang kawan yang menemani. Ketika seorang hamba
mengingat Allah seraya bermohon dan berdoa kepadanya, niscaya Allah SWT
akan menolongnya dan mengabulkannya. Hamba yang senantiasa berzikir akan
merasakan ketenangan jiwa, dan kemudahan urusan. Keberkahan hidup jika
segala urusan dilakukan dengan menyertakan Allah sebagai penolongnya. Oleh
karena itu, perbanyaklah mengingat Allah dimana saja berada.
9) Kutipan Data No. 60
337
335
Isti‟ârah makniyyah, yaitu isti‟ârah yang dibuang musyabbah bihnya dan sebagai
isyarat ditetapkan salah satu sifat khasnya. 336
Isti‟arah muthlaqah adalah isti‟ârah yang tidak disertai penyebutan kata-kata yang
relevan dengan musyabbah bih maupun musyabbah; Lihat: Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin,
Terjemah Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2018), hal. 121. 337
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 14r.
97
Terjemah penulis: „Jika engkau memiliki kedua orang tua, maka adab
kepada kepada kedua orang tua ialah mendengarkan kata-katanya, berdiri jika
mereka berdiri, melaksanakan perintahnya, tidak berjalan mendahuluinya, tidak
bersuara melebihi suaranya, menyambut panggilannya, mengharap keridhoanya,
merendahkan sayap di hadapannya dengan hina.‟
Ungkapan pada data (60) diidentifikasi sebagai gaya metafora (isti‟ârah).
Dapat dilihat pada diksi (pilihan kata) yang dipakai yaitu frasa / ٠ذفل ب جبح
yang bermakna „rendahkan sayapmu di hadapannya (mereka berdua) / ازي
dengan hina,‟ mengkiaskan kerendahan hati, yaitu merendahkan hati kepada
kedua orang tua sebagai wujud penghormatan.
Frasa / ٠ذفل ب جبح ازي / yang bermakna „merendahkan sayap di
hadapannya (mereka berdua) dengan hina‟ adalah isti‟ârah dari „kerendahan hati
dihadapan kedua orang tua‟ yang merupakan isti‟ârah isti‟ârah tashrîhiyyah.338
Disisi lain, sebagai sebagai „alaqah (hubungan keserupaan) pada isti‟ârah di atas
ialah sama-sama memiliki unsur “penghormatan.” Pada frasa „rendahkan
sayapmu di hadapan mereka berdua dengan hina,‟ melambangkan sebuah
“penghormatan.” Begitupula pada frasa „kerendahan hati,‟ juga mengandung
maksud sebuah bentuk “penghormatan.” Dengan demikian, ungkapan pada data
(60) termasuk dalam kategori isti‟ârah muthlaqah 339
Ungkapan pada data (60) menjelaskan tentang adab kepada kedua orang
tua. digambarkan bahwa merendahkan diri dihadapan kedua orang tua bagai
merendahkan sayap. Seorang anak sudah sepatutnya bersikap rendah hati
dihadapan kedua orang tua, sebagai wujud penghormatan kepada orang tua.
Mereka berdua telah telah melahirkan dan membesarkan kita, sehingga itu sudah
sepantasnya kita berbakti kepada mereka berdua. Diantara wujud bakti kepada
orang tua adalah janganlah memanggil mereka dengan cara berdiri, dan janganlah
memandang mereka dengan sinis, dan janganlah memandang kepada mereka
dengan muka kusut dan senantiasa mengharap keridoannya.
338
Isti'ârah tashrîhiyyah yaitu isti‟ârah yang disebut musyabbah bihnya. 339
Isti‟ârah muthlaqah adalah isti‟ârah yang tidak disertai penyebutan kata-kata yang
relevan dengan musyabbah bih maupun musyabbah; Lihat: Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin,
Terjemah Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2018), hal. 121.
98
10) Kutipan Data No. 63
340
Terjemah penulis: „Mencarinya (dunia) merupakan kehinaan di sisi Allah
SWT dan makhluknya. Sesungguhnya ia (dunia) adalah tempat yang menipu dan
memperdaya. Kesusahan senantiasa meliputi orang yang mencintainya, maka
bebaskan dirimu dengan meniggalkannya.‟
Ungkapan pada data (63) diidentifikasi sebagai gaya metafora (isti‟ârah).
Dapat di lihat pada diksi (pilihan kata) yang dipakai yaitu kata / داس اىش اخذاع /
yang bermakna „tempat yang memperdaya dan yang menipu,‟ mengkiaskan
tempat yang melalaikan dengan segala keindahannya, sehingga mengejar dunia
akan melalaikan diri dari perintah dan larangan Allah SWT.
Frasa / داس اىش اخذاع / yang bermakna „tempat yang menipu‟ adalah
isti‟ârah dari „tempat yang melalaikan‟ yang merupakan isti‟ârah tashrîhiyyah.341
Disisi lain, sebagai sebagai „alaqah (hubungan keserupaan) pada isti‟ârah di atas
ialah sama-sama memiliki unsur “tempat yang memperdaya.” Pada kata „tempat
yang menipu‟ merupakan “tempat yang memperdaya.” Begitupula kata „tempat
yang melalaikan,‟ juga merupakan “tempat yang memperdaya.” Dengan
demikian, ungkapan pada data (63) termasuk dalam kategori isti‟ârah muthlaqah
342
Ungkapan pada data (63) adalah ucapan Abu Bakar bin Salim yang
menjelaskan tentang peringatan agar tidak tertipu oleh dunia. Digambarkan bahwa
dunia sebagai tempat yang memperdaya dan menipu. Menginginkan kesenangan
dunia merupakan kehinaan disisi tuhan dan para malaikatnya. Sesungguhnya
kesenangan dunia memperdaya dan menipu karena hingga manusia lupa pada
akhirat. Kedukaan akan menyertai mereka yang mencintai duina.
340
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 14v. 341
Isti'ârah tashrîhiyyah yaitu isti‟ârah yang disebut musyabbah bihnya. 342
Isti‟arah muthlaqah adalah isti‟ârah yang tidak disertai penyebutan kata-kata yang
relevan dengan musyabbah bih maupun musyabbah; Lihat: Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin,
Terjemah Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2018), hal. 121.
99
11) Kutipan Data No. 66
343
Terjemah penulis: „Seandainya Dia (Allah) tidak menyamakannya
(nilainya) dengan sayap seekor nyamuk, maka Dia (Allah) tidak akan memberi
minum orang yang kafir. Lalu bagaimana mungkin engkau dapat tinggal di
dalamnya pada siang dan malam hari wahai orang yang terpedaya.‟
Ungkapan pada data (66) diidentifikasi sebagai gaya metafora (isti‟ârah).
Dapat dilihat pada di diksi (pilihan kata) yang di pakai yaitu kata / غشس / yang
bermakna „orang yang tertipu,‟ mengkiaskan orang yang terpedaya, yaitu
bagaimana mungkin bisa hidup tenang di dunia yang penuh ujian bagi orang yang
terpedaya.
Kata /غشس / yang bermakna „orang yang tertipu‟ adalah isti‟ârah dari
„orang yang terlena‟ merupakan isti‟ârah tashrîhiyyah.344
Di sisi lain, sebagai
sebagai „alaqah (hubungan keserupaan) pada isti‟ârah di atas ialah sama-sama
memiliki unsur “orang yang terpedaya.” Pada frasa „orang yang tertipu,‟
merupakan “orang yang terpedaya.” Begitupula frasa orang yang terlena.‟ Juga
Merupakan “orang yang terpedaya.” Dengan demikian, ungkapan pada data (66)
termasuk dalam kategori isti‟ârah muthlaqah 345
Ungkapan pada data (66) adalah ucapan Rasulullah SAW yang
menjelaskan tentang kehidupan dunia yang sementara. Digambarkan bahwa
manusia bagaikan orang yang terpedaya kepada kesenagan dan keindahan dunia.
Keindahan dunia menyebabkan manusia tertipu padahal hidup di dunia tidak
untuk selamanya. Manusia tinggal di dunia hanyalah sementara menuju akhirat
yang kekal. Sehingga manusia yang hanya mengejar kesenangan dunia akan
merugi di akhirat. Jangan terlena dan tertipu pada kehidupan dunia yang
sementara. Manusia tinggal di dunia, hanyalah merupakan tempat dia diuji. Kelak
di akhirat akan menerima balasan amal perbuatannya. Pada hakekatnya dunia
343
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 15r. 344
Isti'ârah tashrîhiyyah yaitu isti‟ârah yang disebut musyabbah bihnya. 345
Isti‟arah muthlaqah adalah isti‟ârah yang tidak disertai penyebutan kata-kata yang
relevan dengan musyabbah bih maupun musyabbah; Lihat: Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin,
Terjemah Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2018), hal. 121.
100
hanyalah tempat persinggahan, sehingga tak mungkin untuk tetap tinggal selama-
lamanya. Oleh karena itu, janganlah tertipu olehnya.
12) Kutipan Data No. 66
346
Terjemah penulis: „Jadilah seperti sebuah ungkapan: “berpuasalah dari
dunia dan berbukalah dengan akhirat.”
Ungkapan pada data (66) diidentifikasi sebagai gaya metafora (isti‟ârah).
Dapat di lihat pada diksi (pilihan kata) yang di pakai yaitu frasa / ف اذ١ب اجؼ
‟,yang bemakna „berpuasalah di dunia dan berbukalah diakhirat / فطشن ا٢خشح
mengkiaskan menahan diri dari maksiat bagi yang orang beriman selama hidup
didunia dan menikmati amal kebaikannya di akhirat.
Frasa / ف اذ١ب اجؼ فطشن ا٢خشح / yang bemakna „berpuasalah di dunia
dan berbukalah diakhirat‟ merupakan isti‟ârah dari „menahan diri dan menikmati
amal.‟ Di sisi lain, sebagai sebagai „alaqah (hubungan kesamaan) pada isti‟ârah
di atas ialah sama-sama memiliki unsur “pengendalian diri.” Pada frasa „berpuasa
dan berbuka‟ merupakan usaha “mengedalikan diri” agar tidak memperturutkan
hawa nafsu. Begitupula „menahan diri dan menikmati amal,‟ juga terdapat unsur
“mengendalikan diri” guna menjadi orang yang selamat dunia dan akhirat.
Dengan demikian, ungkapan pada data (66) termasuk dalam kategori isti‟ârah
tamtsiliyyah.347
Ungkapan pada data (66) menjelaskan tentang anjuran menahan diri dari
segala kesenangan dunia dan menikmati amal diakhirat. Ia menggambarkan
bahwa orang yang menahan diri di dunia bagaikan orang berpuasa. Orang yang
menikmati amalannya di surga bagaikan orang yang berbuka puasa. Seseorang
yang ingin terbebas dari cinta dunia akan berusaha dan melatih diri dengan cara
berkhalawat agar dapat mendekatkan diri pada tuhan. Menjauhkan diri dari
pengaruh kejahatan-kejahatan yang ada di dunia.
346
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 15r. 347
Isti‟arah tamtsiliyyah adalah susunan kalimat yang digunakan bukan pada makna
aslinya karena ada hubungan keserupaan (antara makna asli dan makna majazi) disertai adaya
karinah yang menghalangi pemahaman terhadap kalimat tersebut dengan maknanya yang asli;
Lihat: Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Terjemah Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 2018), hal. 133.
101
Salah satu adab mengasingkan diri (uzlah) ialah meyakini bahwa
pengasingan dirinya untuk menghindarkan kejahatan dari mereka para pelaku
maksiat.348
Orang beriman yang menahan diri di dunia dari segala hal yang
dilarang syariat akan menikmatinya amal kebaikannya kelak di akhirat. Segala
amal soleh akan dibalas oleh Allah SWT dengan surga yang penuh kenikmatan
13) Kutipan Data No. 67
349
Terjemah penulis: „Dalam sebuah syair diungkapkan: “Bangkitlah wahai
orang yang terpedaya, tinggalkanlah reruntuhannya (dunia) karena ia adalah
tempat yang sementara, tidak kekal untuk dinikmati. Mencarinya (kesenangan
dunia), sebuah hal yang berbau busuk dari penciuman, sehingga Allah
meridhoiku bila kumeninggalkannya.”
Ungkapan pada data (67) diidentifikasi sebagai gaya metafora (isti‟ârah).
Dapat di lihat pada diksi (pilihan kata) yang di pakai yaitu kata /غشس / yang
bermakna „orang yang terpedaya‟ dan frasa / ف زب أ ٠ؾب / yang bermakna
„berbau busuk dari penciuman.‟ Dalam ungkapan, mengkiaskan orang yang
terpedaya oleh dunia agar bangkit dari keterpurukannya dengan meninggalkannya
(cinta dunia) karena itu (cinta dunia) merupakan perbuatan yang hina, sehingga
mencintainya (dunia) dapat membawa orang tersebut terhina dimata tuhan sang
pencipta.
Kata /غشس / yang bermakna „orang yang terpedaya‟ adalah isti‟arah dari
„orang yang terlena‟ dan frasa / زب أ ٠ؾبف / yang bermakna „berbau busuk
dari penciuman‟ adalah ist‟arah dari „kehinaan diri karena mencintai dunia.‟ Di
sisi lain, sebagai sebagai „alaqah (hubungan keserupaan) pada isti‟ârah di atas
ialah sama-sama memiliki unsur “kehinaan” Pada frasa „orang yang terpedaya‟
dan frasa „berbau busuk dari penciuman‟ juga tergambar kelemahan dan
“kehinaan” karena mencintai dunia. Begitupula pada frasa „orang yang terlena‟
dan „kehinaan diri karena mencintai dunia.‟ juga mengisyaratkan dan
348
Imam al-Gazali, Jalan Bijak, Adab Berinteraksi Dengan Allah Dan Sesama (Jakarta:
Zaman, 2016), hal. 165. 349
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 15r.
102
menyimbolkan “kehinaan” karena mencintainya (dunia). Dengan demikian,
ungkapan pada data (67) termasuk dalam kategori isti‟ârah tamtsiliyyah.350
Ungkapan pada data (67) menjelaskan tentang kehinaan diri karena
mencintai dunia. Digambarkan bahwa manusia bagaikan orang yang terpedaya
karena mencintai dunia. Didalam syair tersebut, dianjurkan untuk bangkit dari
keterpurukannya dengan meninggalkannya (cinta dunia), karena itu (cinta dunia)
merupakan perbuatan yang hina di mata tuhan, Mencintainya (dunia) dapat
membawa orang lupa kepada akhirat yang kekal.
Makna kutipan kalimat di atas ialah menjelaskan tentang anjuran untuk
meninggalkan kesenangan dunia. Digambarkan bahwa dunia adalah tempat yang
sementara. Sudah sepatutnya, meninggalkan hal-hal yang dapat menyebabkab
manusia lalai dari perintah Allah dan rasulnya. Perhiasan dunia yang memukau
akan menggoda keinginan untuk memilikinya, namun terkadang pengaruhnya
akan memggelincirkan manusia pada perbuatan yang melanggar syariat agama
seperti harta, tahta, wanita. Oleh karena itu, semoga kita terhindar dari pengaruh
dunia yang melalaikan. Kesenangan dunia yang tidak kekal untuk dinikmati.
Makna kutipan di atas adalah anjuran untuk meninggalkan perasaan cinta
kepada dunia. Digambarkan bahwa mencari kenikmatan dunia dengan
menghalalkan segala cara, akan menyebabkan manusia menjadi hina. Mencintai
dunia akan melalaikan dari cinta pada Allah SWT. Oleh sebab itu, sudah
seharusya menjauhi hati dari rasa cinta pada dunia yang berlebihan.
14) Kutipan Data No. 69
351
Terjemah penulis: „Ketahuilah, sesungguhnya tempat ini (dunia) adalah
tempat yang keruh, maka janganlah engkau tenggelam di dalam kekeruhannya,
Beristirahat di dalamnya (dunia) sesuatu yang langka, engkau tidak mendapati
350
Isti‟arah tamtsiliyyah adalah susunan kalimat yang digunakan bukan pada makna
aslinya karena ada hubungan keserupaan (antara makna asli dan makna majazi) disertai adaya
karinah yang menghalangi pemahaman terhadap kalimat tersebut dengan maknanya yang asli;
Lihat: Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Terjemah Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 2018), hal. 133. 351
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 15v.
103
kelangkaan itu kecuali berupa kenikmatan, ketenangan, dan gembiraan
sementara.‟
Ungkapan pada data (69) diidentifikasi sebagai gaya metafora (isti‟ârah).
Ungkapan diatas, menkiaskan keadaan dunia yang penuh kemaksiatan dan
kesengsaraan hidup. Mencari ketenangan didunia, sulit didapatkan kecuali hanya
sementara.
Kata / رغزغشة / bermakna „tenggelam‟ adalah isti‟ârah dari „larut dalam
kenikmatan dunia.‟ Kata / الأوذاس / bermakna „keruh‟ adalah isti‟ârah dari
„kemaksiatan‟. Kata / اشادخ / bermakna „istirahat‟ merupakan isti‟ârah dari
„ketenangan.‟ Di sisi lain, sebagai sebagai „alaqah (hubungan keserupaan) pada
isti‟ârah di atas ialah sama-sama memiliki unsur “kesulitan hidup didunia.”
Dengan demikian, ungkapan pada data (69) termasuk dalam kategori isti‟ârah
tamtsiliyyah.352
Ungkapan pada data (69) menjelaskan tentang keadaan dunia yang selalu
di landa ujian. Digambarkan bahwa dunia tidak akan henti dilanda ujian yang
terus-menerus. Orang-orang yang menginginkan ketenangan di dunia akan sulit
didapatka, kecuali mereka yang hanya mencari kenikmatan serta kesenangan yang
sesaat. Namun kesenangan itu silih berganti dengan kesedihan dan kedukaan.
Apabila ingin mencari ketenangan di dunia, maka itu akan sulit didapatkan
karena dunia adalah tempat ujian. Namun sebalik bagi mereka yang mencari
kesenangan semata akan menemukannya namun hanya sesaat.
15) Kutipan Data No. 71
353
Terjemah penulis: „Sesungguhnya luasnya dunia, tidak sebanding dengan
luasnya pemberian Allah kepada hambaNya yang beriman di dunia, karena itu
disebut sebagai penjara karena sempitnya. Maka kekeruhan, kekacauan dan
kesedihan hati, janganlah engkau larut didalamnya.‟
352 Isti‟arah tamtsiliyyah adalah susunan kalimat yang digunakan bukan pada makna
aslinya karena ada hubungan keserupaan (antara makna asli dan makna majazi) disertai adaya
karinah yang menghalangi pemahaman terhadap kalimat tersebut dengan maknanya yang asli;
Lihat: Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Terjemah Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 2018), hal. 133. 353
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 15v.
104
Ungkapan pada data (71) diidentifikasi sebagai gaya metafora (isti‟ârah).
Dapat di lihat pada diksi (pilihan kata) yang di pakai yaitu frasa / فغبب عجب ن١مب
bermakna „disebut sebagai penjara karena sempitnya,‟ mengkiaskan nikmat / ػ١
Allah SWT yang begitu luas di dunia ini yang diberikan kepada orang yang
beriman, namun tidak diketahui oleh kebanyakan orang sebab tidak mengenal
Allah SWT.
Pada frasa / فغبب عجب ن١مب ػ١ / bermakna „disebut sebagai penjara
karena sempitnya,‟ adalah isti‟ârah dari „ketidak tahuan akan nikmat Allah SWT,‟
yang merupakan isti‟ârah tashrîhiyyah.354
Selanjutnya, terdapat pula kata-kata
yang relevan dengan musyabbah bih yaitu frasa / رغغ ؽ١ئب ػطب٠ب اللهلا أ اذ١ب ج١ؼب
yang bermakna „Sesungguhnya luas dunia, tidak sebanding dengan luasnya /ؼجذ
pemberian Allah kepada hambanya.‟ Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
isti‟ârah di atas ialah isti‟ârah mujarradah. 355
Ungkapan pada data (71) menjelaskan tentang penjara yang
menyempitkan luasnya dunia. Digambarkan bahwa penjara bagaikan
mempersempit luasnya dunia. Betapapun luasnya dunia tidak sebanding dengan
pemberian Allah kepada hamba. Namun betapapun banyaknya nikmat pada
hamba tersebut akan terasa sempit karena terpenjara.
16) Kutipan Data No. 72
356
Terjemah penulis: „Roh para manusia di dunia, terpenjara dengan
jasadnya, merindukan Allah dan kampungnya setiap waktu. Ia memiliki dua mata
untuk memandang tetapi terhalang oleh hijab. Barangsiapa yang dibebaskan oleh
Allah pandangannya, maka terbakar hijabanya. Dan Allah memuliakannya
dengan kemuliaan-kemuliaan disisinya. Lalu Allah memberinya rezki dengan
354
Isti'ârah tashrîhiyyah yaitu isti‟ârah yang disebut musyabbah bihnya. 355
Isti‟arah mujarradah adalah isti‟ârah yang disertai penyebutan kata-kata yang relevan
dengan musyabbah; Lihat: Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Terjemah Al-Balaaghatul
Waadhihah (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2018), hal. 121. 356
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 15v-
16r.
105
berzikir, sehingga ia (hamba) merasa nikmat. Bertambah rindunya kepada taman
yang berseri-seri dan juga taman-taman surga. Begitulah perumpamaan ruh
orang yang beriman.‟
Ungkapan pada data (72) diidentifikasi sebagai gaya metafora (isti‟ârah).
Dapat dilihat pada diksi (pilihan kata) yang di pakai yaitu kata / خشق / yang
bermakna „terbakar,‟ mengkiaskan tersingkapnya hijab yang menghalangi
pandangan roh orang yang beriman ketika telah meninggal dunia yakni
tersingkapnya hijab penghalang pandangannya sehingga ia dapat melihat surga.
Kata / خشق / yang bermakna „terbakar‟ adalah isti‟ârah dari „tersingkap,‟
yang merupakan isti‟ârah tashrîhiyyah.357
Di sisi lain, sebagai sebagai „alaqah
(hubungan keserupaan) pada isti‟ârah di atas ialah sama-sama memiliki unsur
“lenyap.” Pada kata „terbakar,‟ menandakan “lenyapnya” sesuatu karena terbakar.
Begitupula kata „tersingkap,‟juga menandakan “lenyapnya” sesuatu yang
menghalangi pandangan. Dengan demikian, ungkapan pada data (66) termasuk
dalam kategori isti‟ârah muthlaqah 358
Makna dari kutipan di atas ialah menjelaskan tentang tersingkapnya hijap.
Digambarkan bahwa seseorang yang dikehendaki Allah SWT, akan tersingkap
hijap penghalang yang menghalangi pandangannya untuuk melihat surga. Hamba
yang terhalang pandangannya oleh hijab jika dikehendaki Allah SWT maka
tersingkap hijap yang menghalangi pandangannya. Ia akan dapat melihat surga
yang indah. Hal ini dianugerahkan kepada para nabi karena amalannya yang
mulia.
Bertumpu kepada hasil analisis data di atas, dapat diketahui bahwa pada
naskah ini terdapat pemakaian gaya bahasa metafora (Isti‟ârah) yang dapat
diketahui melalui rekapitulasi dapat digambarkan sebagai berikut.
357
Isti'ârah tashrîhiyyah yaitu isti‟ârah yang disebut musyabbah bihnya. 358
Isti‟arah muthlaqah adalah isti‟ârah yang tidak disertai penyebutan kata-kata yang
relevan dengan musyabbah bih maupun musyabbah; Lihat: Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin,
Terjemah Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2018), hal. 121.
106
Tabel 2 Ciri Gaya Bahasa Metafora (isti’ârah)
No Judul Kutipan Pada
Naskah
Ciri-Ciri
Perbandingan
Analogis Antara
Ox dengan Oy
Keterangan
Data
No.11 Sifat hasad
Frasa
/ ثمبي ازسح /
bermakna
„seberat biji
dzarah‟
mengkiaskan
kecilnya sifat
takabur
Seberat biji zarah
dari sifat takabur
Isti‟ârah
Muthlaqah
Data
No. 12 Sifat ujub
Frasa
٠ؼجض الأهجبء ػ /
/ ػلاج
yang berarti
„menyulitkan
dokter dari
penyembuhan‟
merupakan
isti‟ârah dari
„sulitnya
menghilangkan
sifat hasad‟
Sifat ujub Isti‟ârah
tamtsiliyyah
Data
No. 18
Mengetuk
pintu
penguasa
Frasa
دىثبة ا / لشع
/ bermakna „
Mengetuk pintu
penguasa,
Mengetuk pintu
penguasa
Isti‟ârah
muthlaqah
Data
No. 25
Allah
berbicara
Frasa / ٠ذذس الله /
yang bermakna
„Allah
berbicara‟
Allah berbicara Isti‟ârah
murasysyahah
Data
No. 31 Wajah Allah
Frasa
/ ٠جزغ ث ج الله /
bermakna
„mengharap
wajah Allah‟
Wajah Allah Isti‟ârah
muthlaqah
Data
No. 38
Terseret
pada
limpahan
rahmat
Farasa / إر عذج
/ ف١بمخ
bermakna
„ketika terseret
kepada
limpahan
rahmat
(anugerah dari
Ketika terseret
kepada
limpahan
rahmat
(anugerah dari
Allah)‟
Isti‟ârah
mujarradah
107
Allah)‟
Data
No. 38
Panasnya
rindu
Frasa / غ ؽشة
-٠طف ابء إر را
/ دشلخ ؽق
bermakna
„menahan diri
dari meminum
air sebab dapat
meredakan
panasnya
rindu‟
Menahan diri
dari meminum
air sebab dapat
meredakan
panasnya rindu
Isti‟ârah
mujarradah
Data
No. 53 Duduk
Kata
/ ج١غه /
yang bermakna
„duduk
bersamamu‟
Duduk
bersamamu
Isti‟ârah
muthlaqah
Data
No. 60 Sayap
Frasa
٠ذفل ب جبح /
/ ازي
yang bermakna
„rendahkan
sayapmu di
hadapannya
(mereka
berdua) dengan
hina‟
Rendahkan
sayapmu
Isti‟ârah
muthlaqah
Data
No. 63
Tempat
yang
memperdaya
kata / اخذاع
اسد اىش / yang
bermakna
„tempat yang
memperdaya
dan yang
menipu‟
Tempat yang
memperdaya dan
menipu
Isti‟ârah
muthlaqah
Data
No. 66
Orang yang
terpedaya
kata
/ غشس /
yang bermakna
„orang yang
terpedaya‟
Orang yang
terpedaya
Isti‟ârah
muthlaqah
Data
No. 66 Berpuasa
Frasa / ف اذ١ب
اجؼ فطشن
yang / ا٢خشح
bemakna
„berpuasalah di
dunia dan
berbukalah
diakhirat,
Berpuasalah di
dunia dan
berbukalah
diakhirat
Isti‟ârah
tamtsiliyyah
Data Orang yang Kata /غشس / Orang yang Isti‟ârah
108
No. 67 terpedaya yang bermakna
„orang yang
terpedaya‟
terpedaya tamtsiliyyah
Data
No. 69 Tenggelam
Frasa / رغزغشة
/ ف١ب الأوذاس
bermakna
„tenggelam
dalam
kekeruhannya‟
Tenggelam dalam
kekeruhannya
Isti‟ârah
tamtsiliyyah
Data
No. 71
Penjara
yang sempit
Frasa / فغبب
ب ػ١عجب ن١م /
bermakna
„disebut
sebagai
penjara karena
sempitnya,‟
Dunia yang
sempit
Isti‟ârah
mujarradah
Data
No. 72 Terbakar
Kata
/ خشق /
yang bermakna
„terbakar,‟
Tersingkap Isti‟ârah
muthlaqah
c) Gaya Personifikasi (tajsîd).
Personifikasi merupakan suatu gaya bahasa di dalam karya sastra yang
memberikan sifat-sifat insani kepada suatu benda mati atau benda hidup yang
bukan manusia, sehingga seolah-olah bisa atau dapat bersikap layaknya seorang
manusia.359
Penggunaan majas personifikasi dalam sebuah karya sastra bertujuan
untuk menambah estetika dalam suatu ungkapan dan untuk meningkatkan kesan
beserta pengaruhnya terhadap pembaca.360
Dalam Naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr, ditemukan
penggunaan gaya bahasa personifikasi. Penjelasan tersebut tampak pada kutipan
berikut:
359
Parta Ibeng, “Pengertian Majas Personifikasi, Ciri, Beserta 25 Contohnya,”
Pendidikan.Co.Id Januari 10 (2020), https://pendidikan.co.id/6/12/2020. 360
Ni Luh Jessica Pratiwi, “Penerjemahan Majas Personifikasi Dalam Novel Sekai
NoChuushin De Ai Wo Sakebu Karya Katayama Kyoichi,” Jurnal Humanis, Fakultas Ilmu
Budaya Unud 20.1 Agustus (2017): 162–68. https://ojs.unud.ac.id/6/12/2020.
109
1) Kutipan Data No. 5
361
Terjemah penulis: „Sifat hasad merobek nikmat Allah SWT yang ada pada
orang lain yaitu anugerah yang diberikan kepada hambanya berupa harta, ilmu,
rasa cinta manusia, atau keberuntungan hingga dia menginginkan lenyapnya
anugerah pada orang tersebut sehingga tidak memiliki sesuatu apapun. Dan ini
merupakan hal yang teramat buruk.‟
Ungkapan pada data (5) diidentifikasi sebagai gaya personifikasi (tajsîd).
Dapat dilihat pada diksi (pilihan kata) yang dipakai yaitu frasa / اذغد از ٠ؾك
bermakna „sifat hasad merobek nikmat Allah SWT yang diberikan / ػ١ إؼب الله رؼبي
kepada hamba,‟ yang mengkiaskan sifat hasad dapat melenyapkan nikmat yang
ada pada diri orang lain.
Pada frasa / الله رؼبي اذغد از ٠ؾك ػ١ إؼب / bermakna „sifat hasad
merobek nikmat Allah SWT yang diberikan kepada hamba‟ menggambarkan
seolah-olah sifat hasad memiliki sifat layaknya manusia yaitu “merobek.” Gaya
bahasa yang identik dengan sifat manusia, termasuk dalam kategori gaya
personifikasi. Dengan demikian, gaya bahasa pada ungkapan diatas ialah gaya
personifikasi (tajsîd).
Di sisi lain, ungkapan diatas juga memiliki unsur isti‟ârah. Dapat dilihat
pada kata / ٠ؾك / yang bermakna „merobek‟ diserupakan dengan manusia,
kemudian musyabbah bihnya dibuang dan diisyaratkan dengan salah satu sifatnya
sebagai isti‟arah makniyyah.362
Selanjutnya, terdapat pula kata-kata yang relevan
dengan musyabbah yaitu frasa / ١ذت صاب / bermakna „menginginkan
hilangnya nikmat darinya.‟ Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa isti‟ârah di
atas termasuk isti‟ârah mujarradah. 363
361
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 3r. 362
Isti‟ârah makniyyah, yaitu isti‟ârah yang dibuang musyabbah bihnya dan sebagai
isyarat ditetapkan salah satu sifat khasnya. 363
Isti‟arah mujarradah adalah isti‟ârah yang disertai penyebutan kata-kata yang relevan
dengan musyabbah; Lihat: Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Terjemah Al-Balaaghatul
Waadhihah (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2018), hal. 121.
110
Ungkapan pada data (5) menjelaskan tentang bahaya sifat hasad.
Digambarkan bahwa Sifat hasad merobek nikmat-nikmat yang telah diberikan
Allah SWT kepada hambanya. Makna hasad ialah menginginkan lenyapnya
kenikamatan dari diri orang lain.
Bertumpu kepada hasil analisis data di atas, dapat diketahui bahwa pada
naskah ini terdapat pemakaian gaya bahasa metafora yang dapat diketahui melalui
tanda pemakaian berupa perbandingan atau Personifikasiogis yang mana kata
atau frasa yang digunakan bukanlah makna sebenarnya. Gaya ini cenderung
menggambarkan perbandingan atau persamaan pada suatu objek dengan objek
lainnya. Rekapitulasi atau simpulan yang dapat digambarkan sebagai berikut
penanda gaya bahasa metafora (tajsîd).
2) Kutipan Data No. 6
364
Terjemah penulis: „Rasul S.A.W. bersabda: “sesungguhnya perbuatan
hasad akan memakan kebaikan bagaikan api memakan kayu bakar.”
Ungkapan pada data (6) diidentifikasi sebagai gaya personifikasi. Dapat
dilihat pada diksi (pilihan kata) yang dipakai yaitu frasa / رأو ابس اذطت بو / yang
bermakna „bagaikan api memakan kayu bakar,‟ mengkiaskan bahaya sifat hasad
yang dapat menghabiskan amal kebaikan disebabkan keburukannya (sifat hasad).
Pada frasa / رأو ابس اذطت بو / bermakna „bagaikan api memakan kayu
bakar,‟ menggambarkan seolah-olah api memiliki sifat layaknya manusia yaitu
„makan.‟ Gaya bahasa yang identik dengan sifat manusia, termasuk dalam
kategori gaya personifikasi. Dengan demikian, gaya bahasa pada ungkapan diatas
ialah gaya personifikasi (tajsîd).
Di sisi lain, ungkapan diatas juga memiliki unsur tasybih (perumpamaan).
Dapat di lihat pada frasa / رأو ابس اذطت بو / bermakna „bagaikan api memakan
kayu bakar, adalah musyabbah bih, dibandingkan dengan frasa / اذغذ ٠أو اذغبد /
bermakna „perbuatan hasad akan memakan kebaikan‟ sebagai musyabbah,
menggunakan kata pembanding / بو / bermakna „sebagaimana‟ sebagai adat al-
tasybih. Adapun sebagai sebagai „alaqah (hubungan kesamaan) pada tasybih di
364
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 3r.
111
atas ialah sama-sama memiliki unsur “melenyapkan.” Pada frasa „bagaikan api
memakan kayu bakar,‟ yang menggambarkan api “melenyapkan” kayu bakar.
Begitupula pada frasa „perbuatan hasad akan memakan kebaikan,‟ juga
menggambarkan sifat hasad yang dapat “melenyapkan” kebaikan. Ungkapan pada
data (6) ini, tidak memiliki wajah syibeh, sehingga ungkapan ini termasuk dalam
kategori tasybih mursal mujmal.365
Ungkapan pada data (6) adalah ucapan (Hadits) Rasulullah SAW yang
merupakan (Hadits Qudsi) menjelaskan tentang bahasa sifat hasad. Digambarkan
bahwa sifat hasad dapat memakan kebaikan bagaikan api yang dapat memakan
kayu bakar. Sifat hasad ialah menginginkan lenyapnya kenikamatan dari diri
orang lain. Sifat hasad merupakan perbuatan dosa karena zolim pada oramg lain.
Perbuatan dosa karena menyakiti orang lain yang disebabkan oleh sifat hasad
lama-kelamaan akan memhabiskan amal kebaikan orang yang memiliki sifat
hasad tersebut.
3) Kutipan Data No. 7
366
Terjemah penulis: „Sifat hasad penyiksa dengan tidak memiliki rasa
kasihan, dan tidak berhenti selalu menyiksa.‟
Ungkapan pada data (7) diidentifikasi sebagai gaya personifikasi. Dapat di
lihat pada frasa / اذغد اؼزة از لا ٠شد / bermakna „sifat hasad menyiksa
dengan tidak memiliki rasa kasihan‟ yang mengkiaskan sifat hasad yang
menyiksa orang lain tanpa belas kasihan yakni sifat dengki dan iri hati dalam
hatinya mendorong dirinya untuk berbuat zalim pada orang lain yang memiliki
kelebihan dari nikmat Allah SWT.
Pada frasa / اذغد اؼزة از لا ٠شد / yang bermakna „sifat hasad
menyiksa dengan tidak memiliki rasa kasihan‟ menggambarkan seolah-olah sifat
hasad memiliki sifat layaknya manusia yaitu “menyiksa.” Gaya bahasa yang
identik dengan sifat manusia, termasuk dalam kategori gaya personifikasi. Dengan
demikian, gaya bahasa pada ungkapan diatas ialah gaya personifikasi (tajsîd).
365
Tasybih Mursal adalah tasybih yang disebut adat tasybihnya dan Tasybih Mujmal
adalah tasybih yang dibuang wajah syibehnya; Lihat: Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Terjemah
Al-Balaaghatul Waadhihah (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2018), hal. 28. 366
Muhammad Idrus Qaimuddin, Diya Al-Anwar Fi Tashfiat al-Akdar, 1834, hal. 3r.
112
Di sisi lain, ungkapan diatas juga memiliki unsur isti‟ârah. Dapat dilihat
pada kata / اؼزة / yang bermakna „menyiksa‟ diserupakan dengan manusia,
kemudian musyabbah bihnya dibuang dan diisyaratkan dengan salah satu sifatnya
sebagai isti‟arah makniyyah.367
Selanjutnya, terdapat pula kata-kata yang relevan
dengan musyabbah yaitu frasa / ٠ضاي ف ػزاة دائفلا / bermakna „tidak berhenti
selalu menyiksa.‟ Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa isti‟ârah di atas
termasuk isti‟ârah mujarradah. 368
Ungkapan pada data (6) menjelaskan tentang bahaya sifat hasad.
Digambarkan bahwa Sifat hasad menyiksa dengan tiada belas kasihan kepada
orang lain. Sifat hasad menzolimi orang lain karena rasa iri pada sesuatu yang
dimilikinya. Menzolimi orang lain tanpa henti padahal orang tersebut tidak
bersalah padanya.
Bertumpu kepada hasil analisis data di atas, dapat diketahui bahwa pada
naskah ini terdapat pemakaian gaya bahasa personifikasi melalui rekapitulasi yang
dapat digambarkan sebagai berikut.
Tabel 3 Ciri Gaya Bahasa Personifikasi (tajsîd)
No Judul Kutipan Pada
Naskah
Ciri-Ciri
Perbandingan
Analogis
Antara Ox
dengan Oy
Keterangan
Data
No. 5 Merobek
Frasa
اذغد از ٠ؾك /
/ ػ١ إؼب الله رؼبي
bermakna
„sifat hasad
merobek nikmat
Allah SWT‟yang
diberikan kepada
hamba,‟
Sifat yang ingin
melenyapkan
Disertai
isti‟ârah
mujarradah
Data
No. 6 Memakan
Frasa
رأو ابس اذطت بو / /
bermakna
Sifat yang dapat
menghabiskan
Disertai
tasybih mursal
mujmal
367
Isti‟ârah makniyyah, yaitu isti'ârah yang dibuang musyabbah bihnya dan sebagai
isyarat ditetapkan salah satu sifat khasnya. 368
Isti‟arah mujarradah adalah isti'ârah yang disertai penyebutan kata-kata yang relevan
dengan musyabbah; Lihat: Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, Terjemah Al-Balaaghatul
Waadhihah (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2018), hal. 121.
113
„bagaikan api
memakan kayu
bakar,‟
Data
No. 7 Menyiksa
Frasa
اذغد اؼزة /
/ از لا ٠شد
yang bermakna
„sifat hasad
penyiksa dengan
tidak memiliki rasa
kasihan‟
Sifat yang
penyiksa
Disertai
isti‟ârah
mujarradah
C. Analisis
1. Penggunaan Diksi
Analisis penggunaan diksi pada naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-
Akdâr, diuraikan sebagai berikut:
a) Diksi Bermanka Denotatif
Pada data teks (11), penggunaan kata „api dan tanah‟ merupakan kata
yang merujuk pada makna sebenarnya atau makna yang di tunjuk oleh sesuatu
yang disimbolkan. Berdasarkan konteks tuturan, ungkapan tersebut
menggambarkan tentang kesombongan Iblis di hadapan Allah SWT, dengan
berkata: “aku (Iblis) terbuat dari “api” sedangkan Dia (Nabi Muhammad) terbuat
dari “tanah”. Dengan demikian, kata „api dan tanah‟ dapat dikatan sebagai diksi
bermanka denotatif.
Pada data teks (46), penggunaan kata „orang; individu; manusia‟
merupakan kata yang merujuk pada makna sebenarnya atau makna yang di tunjuk
oleh sesuatu yang disimbolkan. Berdasarkan konteks tuturan, ungkapan tersebut
menganjurkan pada setiap orang, agar banyak melakukan zikir ketika melakkukan
khalawat, karena itu merupakan amalan yang mulia di dalam khalawat. Dengan
demikian, kata „orang; individu; manusia‟ dapat dikatan sebagai diksi bermanka
denotatif.
Pada data teks (25), penggunaan kata „air‟ merupakan kata yang merujuk
pada makna sebenarnya atau makna yang di tunjuk oleh sesuatu yang
disimbolkan. Berdasarkan konteks tuturan, ungkapan tersebut menjelaskan
114
tentang akibat dari meminum „air‟ bagi orang yang melakukan riyadah. Dengan
demikian, kata „air‟ dapat dikatan sebagai diksi bermanka denotatif.
Pada data teks (42), penggunaan kata „rumah.‟ merupakan kata yang
merujuk pada makna sebenarnya atau makna yang di tunjuk oleh sesuatu yang
disimbolkan. Berdasarkan konteks tuturan, ungkapan tersebut menganjurkan bagi
orang yang ingin melakukan khalawat untuk tinggal pada rumah yang berdekatan
dengan tempat khalawatnya. Dengnan demikian, kata „rumah‟ dapat dikatan
sebagai diksi bermanka denotatif.
Pada data teks (43), penggunaan kata „matahari‟ merupakan kata yang
merujuk pada makna sebenarnya atau makna yang ditunjuk oleh sesuatu yang
disimbolkan. Berdasarkan konteks tuturan pada data teks (42), ungkapan tersebut
bermaksud menganjurkan untuk melaksanakan shalat sejak matahari tergelincir
hingga gelap malam. Dengan demikian, kata „matahari‟ dapat dikatan sebagai
diksi bermanka denotatif.
Sebagai kesimpulan, bahwa penggunaan diksi bermakna denotatif pada
naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr bertujuan untuk menyebutkan kata
yang merujuk pada makna sebenarnya atau makna yang di tunjuk oleh sesuatu
yang disimbolkan seperti: api, tanah, orang, air, rumah, dan matahari. Tanpa
menggunakan diksi bermakna denotatif, sulit kiranya dapat menyebutkan sebuah
objek yang dapat disimbolkan.
b) Diksi Bermakna Konotatif
Pada data teks (2), penggunaan kata „sumbu, poros, kutub‟ merupakan kata
yang mengandung arti tambahan di samping makna dasar yang merujuk pada
makna sebenarnya atau makna yang di tunjuk oleh sesuatu yang disimbolkan.
Berdasarkan konteks tuturan data teks (2), kata „kutup‟ mengacu pada pemimpin
spriritual yaitu pemimpin spiritual sebagai penerus perjuangan Nabi yang ada di
dunia. Dengan demikian, kata „kutub‟ dapat dikatan sebagai diksi bermanka
konotatif.
Pada data teks (67), penggunaan kata „bekas, peninggalan, reruntuhan,
rongsokan‟ merupakan kata yang mengandung arti tambahan di samping makna
dasar yang merujuk pada makna sebenarnya atau makna yang di tunjuk oleh
sesuatu yang disimbolkan. Berdasarkan konteks pada data (67) kata „kesenangan
115
mengacu pada „kesenangan‟, dalam hal ini, „kesenangan dunia yang menipu.‟
Dengan demikian, kata „kutub‟ dapat dikatan sebagai diksi bermanka konotatif.
Pada data teks (59), penggunaan kata „mengemukakan kepala‟ merupakan
kata yang mengandung arti tambahan di samping makna dasar yang merujuk pada
makna sebenarnya atau makna yang ditunjuk oleh sesuatu yang disimbolkan.
Berdasarkan konteks pada data (59) kata „mengemukakan‟ bermakna
„mengeluarkan pemikiran yang baik.‟ Dalam hal ini, „pemikiran yang mampu
membimbing dan memberi manfaat.‟ Dengan demikian, kata „mengemukakan
kepala‟ dapat dikatan sebagai diksi bermanka konotatif.
Pada data teks (2), penggunaan kata „tempat ketetapan.‟ merupakan kata
yang mengandung arti tambahan di samping makna dasar yang merujuk pada
makna sebenarnya atau makna yang ditunjuk oleh sesuatu yang disimbolkan.
Berdasarkan konteks pada data (2) kata „tempat‟ bermakna „hari ketetapan,‟
dalam hal ini ialah „hari kiamat.‟ Dengan demikian, kata „hari ketetapan‟ dapat
dikatan sebagai diksi bermanka konotatif.
Pada data teks (18), penggunaan kata „pintu kerajaan‟ merupakan kata
yang mengandung arti tambahan di samping makna dasar yang merujuk pada
makna sebenarnya atau makna yang ditunjuk oleh sesuatu yang disimbolkan.
Berdasarkan konteks pada data (18), kata „pintu kerajaan‟ bermakna „pintu
kerajaan alam malakut.‟ Dengan demikian, kata „pintu kerajaan‟ dapat dikatakan
sebagai diksi bermanka konotatif.
Sebagai kesimpulan, bahwa penggunaan diksi bermakna konotatif pada
naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr bertujuan untuk menyebutkan kata
yang memiliki arti tambahan di samping makna dasar yang umum seperti: kutub,
reruntuhan, mengemukakan kepala, tempat ketetapan, pintu penguasa. Tanpa
menggunakan diksi bermakna konotatif, sulit kiranya menggambarkan sebuah
objek atau ungkapan-ungkapan sebagai kiasan.
c) Diksi Bermakna Sinonim
Pada data teks (1) dan (34), penggunaan kata / رط١ش / dan kata / رقف١خ
/yang berart „membersihkan‟ merupakan kata sejenis, sepadan, sejajar, serumpun,
dan memiliki makna yang sama walaupun bentuk katanya berbeda. Dalam
konteks tuturan, kata membersihkan pada data teks (1) digunakan untuk
116
menjelaskan tentang „membersihkan hati dari sifat tercela.‟ Adapun data teks
(34), kata „membersihkan‟ digunalan untuk menjelaskan tentang „membersihkan
hati dari sifat syirik.‟ Dengan demikian, kata / رط١ش / dan kata / رقف١خ /, dapat
dikatakan sebagai diksi bermanka sinonim.
Pada data teks (19) dan (20), penggunaan kata / اؼطؼ / dan / اظأ / yang
berarti „haus,‟ merupakan kata sejenis, sepadan, sejajar, serumpun, dan memiliki
makna yang sama walaupun bentuk katanya berbeda. Dalam konteks tuturan, kata
„haus‟ pada data teks (19) digunakan untuk menjelaskan tentang „keutamaan
lapar dan haus.‟ Adapun data teks (20) kata „haus‟ digunakan untuk menjelaskan
„keadaan lapar dan haus merupakan amalan mujahadah yang paling baik untuk
diri.‟ Dengan demikian, kata / اؼطؼ / dan / اظأ / dapat dikatakan sebagai diksi
bermanka sinonim.
Pada data teks (2) dan (17) penggunaan kata / الأخلاق اذدح / dan kata
,yang berarti „akhlak yang diridhoi,‟ merupakan kata sejenis / الأخلاق اشم١خ /
sepadan, sejajar, serumpun, dan memiliki makna yang sama walaupun bentuk
katanya berbeda. Dalam konteks tuturan, kata „akhlak mulia‟ pada data teks (2)
digunakan untuk menjelaskan tentang „akhlak mulia yang terdapat pada Nabi
Muhammad SAW‟. Adapun pada data teks (17) kata „akhlak mulia‟ digunakan
untuk menjelaskan „manfaat mujahadah dan riyadah akan membentuk akhlak
mulia.‟ Dengan demikian, kata / الأخلاق اذدح / dan kata / الأخلاق اشم١خ / dapat
dikatakan sebagai diksi bermanka sinonim.
Sebagai kesimpulan, bahwa penggunaan diksi bermakna antonim pada
naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr bertujuan untuk menyebutkan kata
yang memiliki makna sama dengan bentuk kata yang berbeda seperti kata: /رط١ش /
dan / اؼطؼ / ,/ رقف١خ / dan / الأخلاق اذدح / ,/ اظأ / dan / الأخلاق اشم١خ /. Tanpa
menggunakan diksi bermakna sinonim, maka akan terdapat kata yang berulang
sehingga kalimat tersebut nampak kurang berkesan.
d) Diksi Bermakna Antonim
Pada data teks (2), penggunaan kata „nampak‟ dan „rahasia‟ merupakan
kata yang memiliki makna berlawanan namun sama-sama mengacu pada
keterangan. Begitupula kata „langit‟ dan „bumi‟ merupakan kata memiliki makna
berlawanan namun sama-sama menyimbolkan suatu ciptaan tuhan. Selanjutnya,
117
kata „muslimîn‟ dan „muslimât‟ merupakan kata memiliki makna berlawanan
namun sama-sama menyimbolkan dua karakter umat Islam. Selanjutnya, kata
„mu‟mîn dan „mu‟minât‟ merupakan kata memiliki makna berlawanan namun
sama-sama menyimbolkan dua jenis karakter orang beriman. Selanjutnya, kata
„hidup‟ dan „mati‟ merupakan kata memiliki makna berlawanan namun sama-
sama menyimbolkan fase kehidupan manusia. Dengan demikian, kata „nampak‟
dan „rahasia,‟ kata „langit‟ dan „bumi,‟ kata „muslimîn‟ dan „muslimât,‟ kata
„mu‟mîn dan „mu‟minât,‟ kata „hidup‟ dan „mati,‟ dapat dikatakan sebagai diksi
bermakna antonim.
Pada data teks (54), penggunaan kata „siang‟ dan „malam‟ merupakan kata
yang yang memiliki makna berlawanan tetapi sama-sama menyimbolkan waktu. .
Dengan demikian, kata „siang‟ dan „malam‟dapat dikatakan sebagai diksi
bermakna antonim.
Sebagai kesimpulan, bahwa penggunaan diksi bermakna antonim pada
naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr bertujuan untuk menyebutkan kata
yang memiliki makna berlawanan seperti kata: „nampak‟ dan „rahasia,‟ „langit‟
dan „bumi,‟ „muslimîn‟ dan „muslimât,‟ „mu‟mîn‟ dan „mu‟minât,‟ „hidup‟ dan
„mati,‟ „siang‟ dan „malam.‟ Tanpa menggunakan diksi bermakna antonim, akan
sulit kiranya membedakan sebuah objek yang dijadikan keterangan, sehingga
kurang memperjelas penyampaian maksud ungkapan.
e) Diksi Bernilai Rasa
Pada data teks (63), penggunaan kata / صذ / yang berarti „meninggalkan
kesenangan duniawi.‟ merupakan bentuk kebahasaan lebih memenuhi nilai rasa
yang sesuai dengan konteks. Dengan demikian, kata / صذ / dapat dikatakan
sebagai diksi bernilai rasa.
Pada data teks (64), penggunaan / / yang memiliki arti „kesedihan,
penderitaan, kekhawatiran, kebimbangan‟ merupakan bentuk kebahasaan lebih
memenuhi nilai rasa yang sesuai dengan konteks. Dengan demikian, kata / /
dapat dikatakan sebagai diksi bernilai rasa.
Pada data teks (71), terdapat kata / سادخ / yang berarti „tenang.‟ merupakan
bentuk kebahasaan lebih memenuhi nilai rasa yang sesuai dengan konteks.
Dengan demikian, kata / سادخ / dapat dikatakan sebagai diksi bernilai rasa.
118
Pada data teks (44), terdapat kata / ري / yang berarti „kerendahan,
kesederhaan, kehinaan, ketundukan‟ merupakan bentuk kebahasaan lebih
memenuhi nilai rasa yang sesuai dengan konteks. Dengan demikian, kata / ري /
dapat dikatakan sebagai diksi bernilai rasa.
Pada data teks (45), terdapat kata / ؽجبع / yang berarti „yang teguh hati,
berani, tegas, gagah berani, tak takut, tak gentar‟ merupakan bentuk kebahasaan
lebih memenuhi nilai rasa yang sesuai dengan konteks. Dengan demikian, kata /
.dapat dikatakan sebagai diksi bernilai rasa / ري
Sebagai kesimpulan, bahwa penggunaan diksi bernilai rasa pada naskah
Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr bertujuan untuk menyebutkan kata yang
lebih memenuhi nilai rasa yang sesuai dengan konteks seperti kata: / صذ /, / / ,
kata / سادخ / ,/ ري / ,/ ؽجبع /. Tanpa menggunakan diksi bernilai rasa,
makna ungkapan terkesan datar dan penggunaan kata tidak sesuai dengan konteks.
Bahkan tidak memiliki nilai rasa yang dapat mewakili sebuah ungkapan.
f) Diksi Bermakna Konkret
Pada data teks (25), penggunaan kata / بء / yang berarti „air,‟ merupakan
kata yang merujuk pada suatu benda yang memiliki bentuk dan wujud berupa
„benda cair.‟ Dalam konteks tuturan, ungkapan tersebut menjelaskan akibat
meminum air bagi orang yang melakukan riyadah akan merusak amalannya.
Dengan demikian, kata „air‟ dapat dikatakan sebagai diksi bermakna konkret.
Pada data teks (42), penggunaan kata / ث١ذ / yang berarti „rumah,‟
merupakan kata yang merujuk pada suatu benda yang memiliki bentuk dan wujud
berupa „bangunan.‟ Dalam konteks tuturan, ungkapan tersebut bermaksud
memberikan anjuran bagi para salik untuk tinggal pada rumah yang dekat dengann
tempat khalawatnya. Dengan demikian, kata „rumah,‟ dapat dikatakan sebagai
diksi bermakna konkret.
Pada data teks (43), penggunaan kata / ؽظ / yang berarti „matahari,‟
merupakan kata yang merujuk pada suatu benda yang yang dapat dirasakan yaitu
„cahaya panas yang menyinari bumi.‟ Dalam konteks, ungkapan tersebut
menganjurkan untuk shalat sejak waktu tergelincirnya matahari hingga gelapnya
malam. Dengan demikian, kata „matahari,‟ dapat dikatakan sebagai diksi
bermakna konkret.
119
Pada data teks (11), penggunaan kata / بس / yang berarti „api,‟ merupakan
kata yang merujuk pada suatu benda yang yang dapat dirasakan yaitu „rasa
panas.‟ Selanjutnya, kata / ه١ / yang berarti „tanah,‟ merujuk pada benda yang
dapat diraba yaitu „benda padat.‟ Dalam konteks tuturan, ungkapan tersebut ingin
menjelaskan tentang sikap sombong yang dilakukan Iblis karena ia diciptakan dari
api, sedangkan Muhammad diciptakan dari tanah. Dengan demikian, kata „api'
dan „tanah‟ dapat dikatakan sebagai diksi bermakna konkret.
Pada data teks (46) penggunaan kata / غب / yang berarti „lidah,‟
merupakan kata yang merujuk pada suatu benda yang dapat raba yaitu „organ
mulut yang berfungsi merasakan dan mencerna makanan.‟ Dalam konteks
tuturan, ungkapan tersebut menjelaskan tentang seorang hamba yang terbiasa
berzikir tanpa beban, hingga lidahnya tidak terasa terus menerus mengucapkan
zikir dengan tanpa beban. Dengan demikian, kata „lidah‟ dapat dikatakan sebagai
diksi bermakna konkret.
Sebagai kesimpulan, bahwa penggunaan diksi bermakna konkret pada
naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr bertujuan untuk menyebutkan objek
yang dapat di pilih, didengar, dirasakan, diraba atau dicium seperti: air, rumah,
matahari, api, tanah, lidah. Tanpa menggunakan diksi bermakna konkret, sulit
kiranya menyebutkan sebuah objek yang dapat di kenali oleh indera. Bahkan
menjelaskan sesuatu benda akan terkesan abstrak.
g) Diksi Bermakna Abstrak
Pada data teks (40), penggunaan kata / خح / yang berarti „tempat yang
tenang, tempat tersembunyi, tempat pribadi, tempat pingitan, tempat ibadah
kecil,‟ merupakan kata yang menunujuk pada konsep atau gagasan. Dalam
konteks tuturan, ungkapan tersebut menganjurkan bagi orang yang ingin
berkhalawat agar mendahulukan pengasingan diri, di sertai dengan mengurangi
makan, minum, dan tidur. Dengan demikian, kata / خح / dapat dikatakan sebagai
diksi bermakna abstrak.
Pada data teks (8), penggunaan kata / جب / yang berarti „rangking tertinggi,
kemuliaan, gengsi, prestise, penghormatan, penghargaan, ketenaran‟ merupakan
kata yang menunujuk pada konsep. Dalam konteks tuturan, ungkapan tersebut
menjelaskan tentang sifat riya yang melakukan sesuatu karena mengharapkan
120
penghormatan dari manusia. Dengan demikian, kata / جب / dapat dikatakan sebagai
diksi bermakna abstrak.
Pada data teks (11), penggunaan kata / ػض / yang berarti „kemuliaan,
kekuatan, kehormatan, martabat, gengsi, kedudukan tinggi‟ merupakan kata yang
menunujuk pada konsep. Dalam konteks tuturan, ungkapan tersebut menjelaskan
tentang sifat ujub dan takabbur yang menggap dirinya lebih mulia dari orang lain.
Dengan demikian, kata / ػض /dapat dikatakan sebagai diksi bermakna abstrak.
Pada data teks (18), penggunaant kata / ىد / yang berarti „kekuasaan,
kerajaan‟ dikategorikan sebagai kelas kata benda merupakan kata yang
menunujuk pada konsep. Dalam konteks tuturan, ungkapan tersebut menjelaskan
tentang cara mengetuk pintu kekuasan, dalam hal ini kekuasaan Allah SWT.
Dengan demikian, kata / ىد / dapat dikatakan sebagai diksi bermakna abstrak.
Pada data teks (76), penggunan kata / اجخ / yang berarti „kebun, taman,
surga‟ merupakan kata yang menunujuk pada konsep. Dalam konteks tuturan,
ungkapan tersebut menjelaskan tentang keadaan orang beriman setelah meninggal
dunia, akan ditempatkan di surga yang penuh kenikmatan. Dengan demikian, kata
.dapat dikatakan sebagai diksi bermakna abstrak / اجخ /
Sebagai kesimpulan, bahwa penggunaan diksi bermakna abstrak pada
naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr bertujuan untuk mengungkapkan
konsep atau gagasan seperti: kata / اجخ / ,/ ىد / ,/ ػض / ,/ جب / ,/ خح /. Tanpa
menggunakan kata bermakna abstrak, sulit kiranya menyebutkan sebuah konsep
atau gagasan dalam sebuah ungkapan yang memiliki maksud dan tujuan yang
ingin disampaikan.
h) Diksi Bermakna Umum
. Pada data teks (4), penggunaan kata / اؼ / yang merupakan bentuk jamak
dari /ؼ / memiliki arti „nikmat.‟ merupakan kata yang perlu dijabarkan lebih
lanjut dengan kata-kata yang sifatnya khusus untuk mendapatkan perincian lebih
baik. Dengan demikian, kata / اؼ / dapat dikatakan sebagai diksi bermakna umum
Pada data teks (14), penggunaan kata / ثؾ / yang memiliki arti
„sampaikanlah.‟ merupakan kata yang perlu dijabarkan lebih lanjut dengan kata-
kata yang sifatnya khusus untuk mendapatkan perincian lebih baik. Dengan
demikian, kata / ثؾ / dapat dikatakan sebagai diksi bermakna umum.
121
.Pada data teks (17), penggunaan kata / الأخلاق اشم١خ / yang memiliki arti
„akhlak yang diridhoi‟ atau „akhlak mulia‟ merupakan kata-kata yang perlu
dijabarkan lebih lanjut dengan kata yang sifatnya khusus untuk mendapatkan
perincian lebih baik. Dengan demikian, kata / الأخلاق اشم١خ / dapat dikatakan
sebagai diksi bermakna umum.
Pada data teks (21), penggunaan kata / ااف / yang merupakan bentuk
jamak dari kata /ف / merupakan kata-kata yang perlu dijabarkan lebih lanjut
dengan kata-kata yang sifatnya khusus untuk mendapatkan perincian lebih baik.
Dengan demikian, kata / ااف / dapat dikatakan sebagai diksi bermakna umum.
Pada data teks (71), penggunaan kata / ػطب٠ب / yang memiliki arti
„pemberian,‟ merupakan kata yang perlu dijabarkan lebih lanjut dengan kata-kata
yang sifatnya khusus untuk mendapatkan perincian lebih baik. Dengan demikian,
kata / ػطب٠ب / dapat dikatakan sebagai diksi bermakna umum.
Sebagai kesimpulan, bahwa penggunaan diksi bermakna umum pada
naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr bertujuan untuk mengungkapkan
kata-kata yang masih bersifat umum seperti: penyampaian, akhlak mulia, amalan
tambahan, pemberian. Tanpa menggunakan diksi bermakna umum, sulit kiaranya
menyampaikan sebuah maksud dengan cara singkat dan efektif.
i) Diksi Bermakna Khusus
Pada data teks (1), penggunaan kata: „mujâhadah, riyâdah, dan adzkâr,‟
merupakan kata-kata khusus yang terperinci. Dalam konteks tuturan, ungkapan
tersebut menjelaskan tentang latihan-latihan yang dapat dilakuakan untuk
membersihkan sifat-sifat buruk yang ada di dalam hati. Dengan demikian, kata
„mujâhadah, riyâdah, dan adzkâr,‟ dapat dikatakan sebagai diksi bermakna
khusus.
Pada data teks (3), penggunaan kata: „marah, iri hati, kikir, cinta harta,
cinta pangkat, cinta dunia, sombong, merasa hebat, riya, makan dan minum
berlebih-lebihan, bicara yang berlebihan.‟ merupakan kata-kata khusus yang
terperinci. Dalam konteks tuturan, ungkapan tersebut menjelaskan tentang jenis-
jenis sifat tercela yang ada di dalam hati. Dengan demikian, kata „marah, iri hati,
kikir, cinta harta, cinta pangkat, cinta dunia, sombong, merasa hebat, riya, makan
122
dan minum berlebih-lebihan, bicara yang berlebihan,‟ dapat dikatakan sebagai
diksi bermakna khusus.
Pada data teks (7), penggunaan kata: „ilmu, kehormatan, dan harta,‟
„marah, iri hati, kikir, cinta harta, cinta pangkat, cinta dunia, sombong, merasa
hebat, riya, makan dan minum berlebih-lebihan, bicara yang berlebihan,‟
merupakan kata-kata khusus yang terperinci. Dalam konteks tuturan, ungkapan
tersebut menjelaskan tentang anugerah yang diberikan Allah kepada hamba yang
di kehendaki. Dengan demikian, kata „ilmu, kehormatan, dan harta,‟ „marah, iri
hati, kikir, cinta harta, cinta pangkat, cinta dunia, sombong, merasa hebat, riya,
makan dan minum berlebih-lebihan, bicara yang berlebihan,‟ dapat dikatakan
sebagai diksi bermakna khusus.
Pada data teks (20), penggunaan kata: „sifat sabar, ridho, syukur, lembut,
zuhud, ikhlas, dermawan,‟ merupakan kata-kata khusus yang terperinci. Dalam
konteks tuturan, ungkapan tersebut menjelaskan tentang akhlak mulia yang
dianjurkan dalam berkhalawat. Dengan demikian, kata: „sifat sabar, ridho,
syukur, lembut, zuhud, ikhlas, dermawan,‟ dapat dikatakan sebagai diksi
bermakna khusus.
Pada data teks (40), penggunaan: „makan, minum, dan tidur,‟ merupakan
kata-kata khusus yang terperinci Dalam konteks tuturan berdasarkan tema,
ungkapan tersebut menjelaskan tentang kebiasaan-kebiasaan yang harus dikurangi
dalam melakukan khalawat. Dengan demikian, kata „makan, minum, dan tidur,
dapat dikatakan sebagai diksi bermakna khusus.
Sebagai kesimpulan, bahwa penggunaan diksi bermakna umum pada
naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr bertujuan untuk mengungkapkan
kata-kata yang bersifat rincian seperti: amalan yang dapat membersihkan sifat
tercela (mujâhadah, riyâdah, dan adzkâr), sifat-sifat tercela (marah, iri hati,
kikir, cinta harta, cinta pangkat, cinta dunia, sombong, merasa hebat, riya, makan
dan minum berlebih-lebihan, bicara yang berlebihan), anugerah Allah (ilmu,
kehormatan, dan harta,‟ „marah, iri hati, kikir, cinta harta, cinta pangkat, cinta
dunia, sombong, merasa hebat, riya, makan dan minum berlebih-lebihan, bicara
yang berlebihan), akhlak mulia (sifat sabar, ridho, syukur, lembut, zuhud, ikhlas,
dermawan), sesuatu yang dikurangi dalam melakukan khalawat (makan, minum,
123
dan tidur). Tanpa menggunakan diksi bermakna khusus, sulit kiranya dapat
menyampaikan maksud secara terperinci.
2. Penggunaan Bahasa Kiasan
Analisis penggunaan bahasa kiasan pada naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi
Tashfiat al-Akdâr, diuraikan sebagai berikut:
a) Simile (tasybih)
Ungkapan pada data (15), penggunaan gaya Simile (tasybih) untuk
menggambarkan melepaskan dosa seorang hamba karena keislamannya, yaitu
ketika Allah SWT mengampuni dosa seorang hamba, maka orang tersebut akan
bersih dari segala dosanya yang telah lalu.
Ungkapan pada data (29) penggunaan gaya Simile (tasybih) untuk
menggambarkan perlindungan yaitu kalimat la ilâha illallâh adalah pelindung
dari azab hari kiamat.
Ungkapan pada data (33) penggunaan gaya Simile (tasybih) untuk
menggambarkan menggambarkan jalan menyingkap rahasia hati, yaitu dengan
berzikir akan menyingkap tabir rahasia yang berada di dalam hati.
Ungkapan pada data (43) penggunaan gaya Simile (tasybih) untuk
menggambarkan tentang tujuan diturunkan Al-Qur‟an. Didalamnya, Allah SWT
menggambarkan al-Qur‟an sebagai petunjuk bagi orang beriman.
Ungkapan pada data (45) penggunaan gaya Simile (tasybih) untuk
menggambarkan cahaya petunjuk Ilahi, berupa cahaya keimanan dan ketakwaan
yang terpancar dari diri seorang hamba yang telah berhasil melakukan khalawat.
Ungkapan pada data (63), penggunaan gaya Simile (tasybih) untuk
menggambarkan bahwa mencintai dunia merupakan pangkal dari setiap
keburukan. Seseorang yang mencintai dunia, akan terpedaya hingga ia lupa
kepada akhirat.
Ungkapan pada kutipan data (63) penggunaan gaya Simile (tasybih) untuk
menggambarkan tentang suatau keadaan yang mana tidak dapat disatukannya
antara mencintai dunia dan mencintai Allah SWT sekaligus di dalam hati.
124
Ungkapan pada data (65) penggunaan gaya Simile (tasybih) untuk
menggambarkan bahaya orang yang mencintai dunia bagaikan orang yang tidak
mengetahui kenikmatan dan keindahan syurga diakhirat.
Ungkapan pada data (66) penggunaan gaya Simile (tasybih) untuk
menggambarkan kelalaian manusia dari ketaatan dan ibadah sakitnya menahan
diri dari godaan yang berada didunia bagi para wali Allah.
Ungkapan pada data (70) penggunaan gaya Simile (tasybih) untuk
menggambarkan dunia adalah tempat yang penuh kesengsaraan bagi orang
beriman karena menahan diri dari hal yang dilarang Allah SWT, tetapi sebagai
tempat yang menyenangkan bagi orang kafir karena memperturutkan hawa nafsu.
Ungkapan pada data (74), penggunaan gaya Simile (tasybih) untuk
menggambarkan keadaan ruh para Nabi yang diistimewakan oleh Allah bagaikan
kapur harum yang semerbak karena amal dan ibadahnya.
Ungkapan pada data (79), penggunaan gaya Simile (tasybih) untuk
menggambarkan persaudaraan dan persatuan sesama mukmin antara satu sama
lain.
Sebagai kesimpulan, bahwa penggunaan gaya Simile (tasybih) pada
naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr, bertujuan untuk membantu
menggambarkan sebuah objek atau ungkapan seperti: melepaskan dosa,
penyelamat diakhirat, menyingkap tabir, petunjuk bagi orang beriman, cahaya
keimanan, pangkal keburukan, tidak dapat disatukannya antara mencintai dunia
dan mencintai Allah SWT sekaligus, orang yang tidak mengetahui kenikmatan
dan keindahan syurga diakhirat, kelalaian manusia dari ketaatan dan ibadah
sakitnya menahan diri dari godaan, adalah tempat yang penuh kesengsaraan bagi
orang beriman, keadaan ruh para Nabi, persaudaraan dan persatuan sesama
mukmin. Tanpa menggunakan gaya Simile (tasybih), sulit kiranya
menggambarkan serta memperjelas ungkapan dalam naskah. Dengan penggunaan
gaya Simile (tasybih), maka dengan mudah memahami ungkapan tersebut dalam
kehidupan sehari-hari.
125
b) Gaya Metafora (isti’ârah)
Ungkapan pada data (11) penggunaan gaya Metafora (isti‟ârah) untuk
menggambarkan kecilnya sifat takabur, yaitu sekecil apapun sifat takabur di
dalam hati, akan menyebabkan terhalangnya masuk surga.
Ungkapan pada data (12 penggunaan gaya Metafora (isti‟ârah) untuk
menggambarkan bahaya sifat ujub dan takabur, yaitu sulitnya menghilangkan sifat
ujub dan takabur dari dalam hati.
Ungkapan pada data (18) penggunaan gaya Metafora (isti‟ârah) untuk
menggambarkan tentang cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mendekatkan
diri kepada Allah SWT.
Ungkapan pada data (25) penggunaan gaya Metafora (isti‟ârah) untuk
menggambarkan bahwa Allah SWT menganugerahkan rahmatnya kepada hamba.
Ungkapan pada data (31) penggunaan gaya Metafora (isti‟ârah) untuk
menggambarkan tentang amalan yang dilakukan dengan ikhlas dengan mengharap
keridhoan Allah SWT.
Ungkapan pada data (38) penggunaan gaya Metafora (isti‟ârah) untuk
menggambarkan orang yang terbimbing kepada anugerah Allah, bagaikan terseret
pada anugerahnya (Allah SWT).
Ungkapan pada data (38) penggunaan gaya Metafora (isti‟ârah) untuk
menggambarkan orang yang semangat orang yang berzikir dalam
bermuraqabahnya.
Ungkapan pada data (53) penggunaan gaya Metafora (isti‟ârah) untuk
menggambarkan ketika seorang hamba yang berzikir kepada Allah SWT, maka
Allah akan dekat kepadanya.
Ungkapan pada data (60) penggunaan gaya Metafora (isti‟ârah) untuk
menggambarkan merendahkan diri dihadapan kedua orang tua.
Ungkapan pada data (63) penggunaan gaya Metafora (isti‟ârah) untuk
menggambarkan dunia sebagai tempat yang memperdaya dan menipu.
Ungkapan pada data (66) penggunaan gaya Metafora (isti‟ârah) untuk
menggambarkan orang yang terpedaya kepada kesenangan dan keindahan dunia.
126
Ungkapan pada data (66) penggunaan gaya Metafora (isti‟ârah) untuk
menggambarkan orang yang menahan diri di dunia bagaikan orang berpuasa.
Orang yang menikmati amalannya di surga bagaikan orang yang berbuka puasa.
Ungkapan pada data (67) penggunaan gaya Metafora (isti‟ârah) untuk
menggambarkan manusia bagaikan orang yang terpedaya karena mencintai dunia
sebab mencintainya (dunia) dapat membawa orang lupa kepada akhirat yang
kekal.
Ungkapan pada data (69) penggunaan gaya Metafora (isti‟ârah) untuk
menggambarkan dunia yang tidak akan henti dilanda ujian yang terus-menerus
sehingga orang-orang yang menginginkan ketenangan di dunia akan sulit
didapatkan.
Ungkapan pada data (71) penggunaan gaya Metafora (isti‟ârah) untuk
menggambarkan dunia yang sempit sebab tidak mengenal Allah.
Ungkapan pada data (72) penggunaan gaya Metafora (isti‟ârah) untuk
menggambarkan Roh para manusia di dunia ketika meninggal dunia jika
dikehendaki Allah SWT, akan tersingkap hijap penghalang yang menghalangi
pandangannya untuk melihat surga.
Sebagai kesimpulan, bahwa penggunaan gaya Metafora (isti‟ârah) pada
naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr, bertujuan untuk membantu
mengkiaskan sebuah objek atau ungkapan manusia seperti: kecilnya sifat takabur,
sulitnya menghilangkan sifat ujub dan takabur, mendekatkan diri kepada Allah
SWT, Allah menganugerahkan rahmatnya kepada hamba, mengharap keridhoan
Allah SWT, orang yang terbimbing kepada anugerah Allah, semangat orang yang
berdzikir, Allah dekat kepada hamba, merendahkan diri dihadapan kedua orang
tua, dunia tempat yang memperdaya, orang yang terpedaya, orang yang menahan
diri di dunia, terpedaya karena mencintai dunia, dunia yang tidak akan henti
dilanda ujian, dunia yang sempit sebab tidak mengenal Allah, tersingkap hijap
penghalang yang menghalangi pandangannya. Tanpa menggunakan gaya
Metafora (isti‟ârah), sulit kiranya menggambarkan serta memperjelas ungkapan
dalam naskah. Sebab dengan penggambaran tersebut, maka dengan mudah
memahami ungkapan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
127
c) Gaya Personifikasi (tajsîd)
Ungkapan pada data (5) penggunaan gaya personifikasi untuk
menggambarkan sifat hasad yang ingin melenyapkan nikmat pada diri orang lain.
Ungkapan pada data (6) penggunaan gaya personifikasi untuk
menggambarkan dari sifat hasad yang dapat menghabiskan amal kebaikan.
Ungkapan pada data (7) penggunaan gaya personifikasi untuk
menggambarkan sifat hasad yang menyakiti orang lain tanpa belas kasihan.
Sebagai kesimpulan, bahwa penggunaan gaya personifikasi (tajsîd) pada
naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr, bertujuan untuk membantu
mengkiaskan sebuah objek yang menyerupai sifat-sifat manusia seperti:
menghabiskan amal kebaikan, menyakiti orang lain, melenyapkan nikmat. Tanpa
menggunakan gaya personifikasi (tajsîd), sulit kiranya menggambarkan serta
memperjelas ungkapan dalam naskah.
128
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap diksi dan gaya bahasa kiasan pada
naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-Akdâr, diperoleh kesimpulan mengenai
diksi dan gaya bahasa yang digunakan sebagai berikut:
1. Terdapat Sembilan (9) diksi yang digunakan dan dibagi berdasarkan jenisnya
yaitu: 1) diksi bermakna denotitif, 2) diksi bermakna konotatif, 3) diksi
bermakna sinonim, 4) diksi bermakna antonim, 5) diksi bernilai rasa, 6) diksi
bermakna konkret, 7) diksi bermakna abstrak, 8) diksi bermakna keumuman,
9) diksi bermakna kekhususan. Diksi bermakna denotitif diantaranya: tanah,
api, manusia, air, rumah, matahari. Diksi bermakna konotatif diantaranya:
kutub bermakna pemimpin, pancang bermakna pembimbing, pengganti
bermakna penerus Nabi, reruntuhan bermakna kesenangan, mengemukakan
kepala bermakna mengeluarkan pemikiran baik, tempat ketetapan bermakna
hari kiamat, pintu alam malqût bermakna „pintu kerajaan langit.‟ Diksi
bermakna sinonim diantaranya: tathir dan tasfiyah yang sama bermakna
membersihkan, „atos dan zom‟a yang sama bermakna haus, akhlah mahmudah
dan akhlak mardiah yang sama bermakna sifat terpuji. Diksi bermakna
antonym diantaranya: sifat yang nampak maupun yang tersembunyi,
penduduk langit dan bumi, kaum muslimin dan muslimat, mukmin dan
mukminat, yang masih hidup dan yang wafat, siang dan malam. Diksi bernilai
rasa diantaranya: meninggalkan kesenangan duniawi, khawatir, tenang,
kehinaan, tenang, berani. Diksi bermakna konkret diantaranya: air, rumah,
matahari, api, lidah. Diksi bermakna abstrak diantanya: tempat yang tenang,
kehormatan, kemuliaan, kekuasaan, surga. Diksi bermakna keumuman
diantaranya: nikmat, penyampaian, akhlak mulia, ibadah tambahan,
pemberian. Diksi bermakna kekhususan diantaranya: perbanyak amalan
mujahadah, riyadah, dan adzkar, sifat-sifat tercela diantaranya: „marah, iri
hati, kikir, cinta harta, cinta pangkat, cinta dunia, sombong, merasa hebat, riya,
makan dan minum berlebih-lebihan, bicara yang berlebihan, anugerah Allah
129
berupa ilmu, kehormatan, dan harta, memperbaiki akhlak seperti sifat sabar,
rido, syukur, lembut, zuhud, ikhlas, dermawan dan sebagainya, kebiasaan
yang harus dikurangi diantaranya makan, minum, dan tidur.
2. Terdapat tiga (3) gaya bahasa kiasan yang digunakan dan dibagi berdasarkan
jenisnya yaitu: 1) gaya simile (tasybih), 2) metafora (isti‟ârah), 3)
personifikasi. Gaya simile (tasybih) memaknai dan menggambarkan
tentang:prasangka buruk kepada orang kafir, keistimewaan zikir,
keistimewaan al-Qur‟an, tersingkapnya hijab, cinta dunia, keadaan ruh setelah
meninggal dunia, persatuan kaum muslimin. Gaya metafora (isti‟ârah)
memaknai dan mengkiaskan tentang: bahaya sifat takabur, sifat ujub dan kibr,
berpuasa, amalan riyadah, keistimewan dzikir, adab dzikir, adab kepada orang
tua, keteguhan iman, keadaan dunia, keadaan ruh manusia. Gaya personifikasi
(tajsîd) memaknai dan menggambarkan bahaya sifat hasad.
B. Saran
Setelah penelitian dilakukan terhadap naskah Dliyâ‟ al-Anwâr fi Tashfiat al-
Akdâr dengan kaca mata stilistika, maka kajian ini merupakan bentuk kajian
integrasi ilmu antara ilmu agama dan ilmu umum yaitu sastera. Dari sini makna
tasawuf yang berada dalam naskah akan lebih mendalam dirasakan. Walaupun
berkaitan dengan ilmu umum, akan tetapi tidak meninggalkan kaidah islamiyah
dalam memahami naskah tasawuf tersebut. Oleh karena itu, beberapa hal yang
perlu diperhatikan peneliti selanjutnya antara lain:
1. Kajian stilistika ini, dapat digunakan untuk mengkaji naskah-naskah tasawuf.
Dari kajian ini, didapatkan gaya bahasa terhadap naskah yang lebih
mendalam.
2. Dengan stilistika pula bisa menguak diksi dalam gaya bahasa yang digunakan
sehingga pengkajian terhadap teks akan lebih kaya.
3. Kajian stilistika adalah hal yang menarik, walaupun kadang-kadang
menjemukan karena masih berkaitan dengan struktur-struktur gramatika yang
sudah kaku. Tetapi kelebihannya, peneliti dapat menganalis dari rasa bahasa
yang ada.
130
DARTAR PUSTAKA
Alba, Cecep, Tasawuf Dan Tarekat, Dimensi Esoteris Ajaran Islam, Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
al-Gazali, Imam, Jalan Bijak, Adab Berinteraksi Dengan Allah Dan Sesama,
Jakarta: Zaman, 2016.
al-Jarim, Ali dan Musthafa Amin, Terjemah Al-Balaaghatul Waadhihah,
Bandung, Sinar Baru Algensindo, 2018.
Aman, Saifuddin & Abdul Qadir Isa, Tasawuf “Revolusi Mental” Dzikir
“Mengolah Jiwa & Raga,” Banten: Ruhama, 2014.
Amirin, Tatang M., Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Grafindo Persada,
1995.
‟Arabi, Ibnu, Cahaya Penakluk Surga, Sisi Praktis Khalawat Di Kalangan Para
Auliya, Surabaya: Pustaka Progressif, 2002.
Arikunto, Sumarsimi, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2014.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII & XVIII, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Chaer, Abdul dan Liliana Muliastuti, Semantik Bahasa Indonesia, Jakarta:
Universitas Terbuka, 2009.
Corbin, Henri, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibnu ‟Arabi, Yogyakarta: LKiS, 2014.
Dahlan, Adib, Stulistika dalam Pandangan Al-Jahiz dan Al-Baqilani, SPS UIN
Syarif Hidayatullah, 2014.
Departemen Pendidikan Nasional Pusat Bahasa, “Kamus Besar Bahasa
Indonesia,” Jakarta: Balai Pustaka, 2015.
131
Djamaluddin, Mahbub, Imam Al-Ghazali, Biografi & Warisan Sang Ensiklopedi
Zaman, Senja Publishing, 2015.
Efendi, Anwar, Bahasa Dan Sastra, Dalam Berbagai Perspektif , Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2008.
Fathurahman, Oman, Filologi Indonesia Teori Dan Metode, Jakarta: Prenada
Media Group, 2015.
Hamka, Renungan Hati, Jakarta: Republika, 2016.
Hartono, Sentot, Syaikh Al-Waasi‟ Achmad Syaechudin “Bulan Terang Di
Bukhara” Risalah Tentang Tasawuf, Jakarta: Khazanah, 2007.
Hariyanto, Sugeng, Dimensi Abadi Kehidupan, Terjemah Dari: Badiuzzaman
Said Nursi "The Resurrection and The Hereaster, Jakarta: Prenada Media,
2003.
Kamil, Sukron, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik Dan Modern, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2012.
Malik, Candra, Makrifat Cinta, Jakarta: Noura Books, 2012.
Miles, Matthew B. dan A.Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, Buku
Sumber Tentang Metode-Metode Baru, Jakarta: UI Press, 1992.
Musthafa, Izzuddin dan Acep Hermawan, Metodologi Bahasa, Arab, Bandung:
PT. Remaja Rosda, 2018.
Noer, Kautsar Azhari, Warisan Agung Tasawuf, Sadra Press, 2015.
Niampe, La, Nasihat Leluhur Untuk Masyarakat Buton-Muna, Mujahid Press,
2014.
Niampe, La, Undang-Undang Buton Versi Muhammad Idrus Qaimuddin,
Kendari: FKIP Unhalu.
132
Nurgiantoro, Burhan, Stilistika, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2014.
Pradopo, Rachmat Djoko, Prinsip-Prinsip Kritik Sastra, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2011.
Putrayasa, Ida Bagus, Kalimat Efektif, Diksi, Srtktur, Dan Logika, Bandung:
Refika Aditama, 2007.
Qalyubi, Syihabuddin, Stilistika Al-Qur‟an, Makna Di Balik Kisah Ibrahim,
Yogyakarta: LKiS, 2009.
Rahardi, Kunjana, Dimensi-Dimensi Kebahasaan: Aneka Masalah Bahasa
Terkini, Jakarta: Erlangga, 2006.
Sabirin, Falah, Tarekat Sammaniyah Di Kesultanan Buton, Kajian Naskah-
Naskah Buton, Jakarta: YPM, 2011.
Samsuri, Analisa Bahasa, Memahami Bahasa Secara Ilmiah, Jakarta: Erlangga,
1978.
Solihin, M., Melacak Pemikiran Tasawuf Di Nusantara, Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2005.
Sugihastuti, Rona Bahasa Dan Sastra Indonesia, Tanggapan Penutur Dan
Pembacanya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi, Mixed Methods, Bandung: Alfabeta,
2011.
Toriquddin, Mohammad, Sekularitas Tasawuf, Membumikan Tasawuf Dalam
Dunia Modern, Malang: Uin Malang Press, 2008.
Wardani, Yaniah dan Umi Musyarofah, Retorika Dakwah Dai Di Indonesia,
Kajian Stilistika Dalam Sastra Arab, Banten: Adabia Press, 2019.
Weststeijd, Jan Van Luxamburg Mieke Bal Willen G, Pengantar Ilmu Sastra,
133
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1986.
Yahya, M. Wildan, Menyingkap Tabir Rahasia Spiritual Syekh Abdul Muhyi,
Menapaki Jejak Para Tokoh Sufi Nusantara Abad XVII & XVIII, PT.
Refika Aditama, 2007.
Yoganingrum, Ambar dkk, Merajuk Makna Penelitian Kualitatif Bidang
Perpustakaan Dan Informasi, Cipta Karsa Mandiri, 2009.
Yule, George, Pragmatik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.
Zahari, Abdul Mulku, Daarul Butuni Sejarah Dan Adatnya 3, Baubau: CV. Dia
dan Aku, 2017.
Zahari, Abdul Mulku, Syair Bula Malino Kapekarunana Yinca, Baubau: CV. Dia
dan Aku.
..........., Mutiara Hikmah Tokoh-Tokoh Tasawuf, Tangerang Selatan: Alifia
Books, 2018.
Zahari, Sri Hartinah, “Metode Penelitian Perpustakaan,” Banten: UT.
Zaprulkhan, Pencerahan Sufistik, Menimba Kearifan Hidup Melalui Kisah-Kisah
Kaum Sufi, Jakarta: Quanta, 2015.
Zubair, Stilistik Arab, Studi Ayat-Ayat Pernikahan Dalam Alquran, Jakarta:
Amzah, 2017.
Zuhdi, Susanto dkk, Orang Buton Dalam Diaspora Nusantara Dan Integrasi
Bangsa, Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2019.
Zuhdi, Susanto, Sejarah Buton Yang Terabaikan, Labu Rope Labu Wana, Jakarta:
Rajawali Pers, 2010.
134
PUSTAKA DIGITAL
Adikara, David, Gaya Bahasa (Style) Dalam Buku Dongeng Klasik 5 Benua
Karya Astri Damayanti (SMK Muhamadiyah 5 Babat, Lamongan, n.d.),
52, e-jurnal.unisda.ac.id/6/12/2020.
Agustina, Diah Ayu, “Diya Al-Anwar Fi Tasfiat al-Akdar‟: Menelusuri Naskah
Tasawuf Dari Kesultanan Buton,” n.d.,
https://bincangsyariah.com/6/12/2020.
Arifin, Zaenal, Kesinoniman Dalam Bahasa Indonesia (Universitas Indraprasta
PGRI, n.d.), 4, journal.unas.ac.id/6/12/2020..
Chaer, Abdul dan Liliana Muliastuti, “Semantik Bahasa Indonesia,”
PBIN4215/MODUL 1, n.d., 1.14, http://repository.ut.ac.id/6/12/2020..
Ditindb, “Kabanti” Desember 17, 2015 (n.d.), https://kebudayaan.kemdikbud.
go.id/6/12/2020.
Hasaruddin, Andi Tenri Machmud, “Peranan Sultan Dalam Pengembangan
Tradisi Tulis Di Kesultanan Buton,” Majalah : JUMANTARA Edisi: Vol.
3 No. 2-Oktober 2012. https://www.perpusnas.go.id.23.03.42/2/27/2020.
Ibeng, Parta, “Pengertian Majas Personifikasi, Ciri, Beserta 25 Contohnya,”
Pendidikan.Co.Id Januari 10 (2020). https://pendidikan.co.id/6/12/2020..
Irfariati, “Diksi Dalam Retorika Anas Urbaningrum,” Balai Bahasa Provinsi
Riau, Madah, Volume 4 (2013): Nomor 1.
http://garuda.ristekbrin.go.id/6/12/2020.
Niampe, La, “Mengungkap Ketokohan Muhammad Idrus,” www.Pusatstudi
wakatobi.Blogspot. http://pusatstudiwakatobi.blogspot.com/2011/04/.
16.55/27/2/2020.
135
Niampe, La, “Siapa Muhammad Idrus (Sultan Buton Ke 29) Itu..?,”
Kerajaantiworo.Blogspot.Com, September 2013, http://kerajaantiworo.
blogspot.com/2013/09/.04.08/2/27/2020.
Pateda, Lamsike, “Gaya Kepengarangan Tere Liye Dalam Novel „Moga Bunda
Disayang Allah‟ Tinjauan Retorika-Stilistika,” IAIN Sultan Amai
Gorontalo, n.d. http://journal.iaingorontalo.ac.id/6/12/2020..
Prasetyo, Dwi Nur 1), , Teguh Suharto2), and , Ermi Adriani Meikayanti 3),
Analisis Diksi Dan Gaya Bahasa Pada Baliho Kampanye Pemilu Di
Kabupaten Magetan Tahun 2018, Juni, vol. http://e-
journal.unipma.ac.id/index.php/widyabastra/article/6/12/2020..
Pratiwi, Ni Luh Jessica, “Penerjemahan Majas Personifikasi Dalam Novel Sekai
No Chuushin De Ai Wo Sakebu Karya Katayama Kyoichi,” Jurnal
Humanis, Fakultas Ilmu Budaya Unud 20.1 Agustus (2017): 162–68.
https://ojs.unud.ac.id/6/12/2020.
Puspitasari, Dwi, “Makna Denotasi, Konotasi, Dan Asosiasi Dalam Unsur-Unsur
Pokok Iklan Alianz,” FIB UI, 2014, http://lib.ui.ac.id/6/12/2020..
Puspitasari, Paramita Ida Safitri Rosika Herwin, “Daya Pragmatik (Pragmatik
Force) Pada Perbandingan Antonim Bahasa Jawa Dan Bahasa Indonesia
Serta Korelasi Budaya Masyarakat Penuturnya,” Pendidikan Bahasa
Indonesia Universitas Sebelas Maret, n.d., 106,
https://jurnal.uns.ac.id/6/12/2020.
………, “Kata Bernilai Rasa Halus (Konotasi Halus) Dan Bernilai Rasa Kasar
(Konotasi Kasar),” Pelajaran Bahasa Indonesia Di Jari Kamu, Tata
Bahasa, Oktober 2013, https://www.wartabahasa.com/6/12/2020.
136
Santoso, Teguh, “Diksi Dan Pola Sintaksis Dalam Pepatah Aceh,” HUMANIORA,
No. 3 Oktober, VOLUME 19 (2007): Halaman 309-316.
https://media.neliti.com/media/publications/6/12/2020.
Sya‟ban, A. Ginanjar, “Fathur Rahim, Kitab Karya Sultan Idrus Kaimuddin
Buton,” Khadim Pusat Kajian Islam Nusantara (PKIN) Pascasarjana Islam
Nusantara UNU Indonesia, Jakarta, September 26, 2018,
https://www.butonmagz.id/2018/09/. 03.40/2/27/2020.
Tafsir Al Quran Al Karim (Terjemah Al Qur'an, Tafsir Al Qur'an, Ilmu Al Qur'an,
Software Al Qur'an, Ebook Al Qur'an, Tilawah Al Qur'an, Murattal Al
Qur'an); http://www.tafsir.web.id./6/3/2020.
Tudjuka, Nina Selviana, “Makna Denotasi Dan Konotasi Pada Ungkapan
Tradisional Dalam Konteks Pernikahan Adat Suku Pamona,” Prodi
Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, FKIP Universitas Tadulako 3
No 2 (2018), jurnal.untad.ac.id/6/12/2020..
Redaksi JCS, “Manfaat Dzikir,” October 20, 2018,
https://www.jurnalcianjurselatan.com/5/27/2020
KAMUS DIGITAL
Dictionary Almaany, “Kamus Arab Indonesia Almaany.” (Almaany.com, 2019),
https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/arab-ke-indonesia/6/12/2020.
Tim, “Kamus Besar Bahasa Indonesia Online,” n.d.,
https://kbbi.web.id/api/6/12/2020.
Qbab.la, “Https://En.Bab.La/Dictionary/Arabic-English/6/12/2020.,
(تصوفقطب ) . https://ar.wikipedia.org/wiki/6/12/2020.
137
Lampiran terjemahan naskah Dliyâ al-Anwâr fi tashfiat al-Akdâr
Terjemahan Indonesia Salinan Naskah
1) Segala puji bagi Allah yang memerintahkan kepada kita sekalian
untuk membersihkan segala sifat buruk yang berada di dalam hati
dengan cara memperbanyak al-Mujâhadah (kesungguhan dalam
perjuangan meninggalkan sifat-sifat tercela), al-Riyâdlah (melatih
jiwa untuk meninggalkan sifat tercela), dan al-Adzkâr (berdzikir
kepada Allah SWT baik yang tertulis maupun yang tercipta).
2) Salawat serta salam tercurahkan kepada junjungan kita nabi
Muhammad, seorang yang suci lagi mensucikan serta memiliki
akhlak mulia, baik sifat yang nampak maupun yang tersembunyi. Dan
atas keluarganya serta sahabatnya juga pengikutnya, para al-Aqtâb
(pemimpin para wali), al-Autâd (wali empat penjuru), al-Abdâl (para
wali yang zuhud dan soleh). Dan atas seluruh malaikat, muslimin dan
muslimat juga mukmin dan mukminat yang masih hidup dan yang
wafat, dan seluruh umat Muhammad SAW yang senantiasa dalam
kebaikan hingga ke negri abadi. Dan para sholeh dari penduduk
كبو نستعت، ابغمد لله .بسم الله الربضن الرحيم (1ا بتطهت بصيع الصفات ابؼذمومة في الذم امرن
.القلب بكثرة المجاىدة كالرياضة كالأذكار
كالصلاة كالسلاـ على سيدنا بؿمد الطاىر ابؼطهر (2ابؼتخلق بالأخلاؽ المحمودة في الأعلاف ك الأسرار، كعلى آلو كأصحابو كمن تبعهم من الأقطاب كالأكتاد كالأبداؿ كالصابغت من أىل السموات
كالأبرار، كعلى بصيع ابؼلائكة كابؼسلمت كالأرضت كابؼسلمات كابؼؤمنت كابؼؤمنات الأحياء منهم كالأموات، كسائر أمة بؿمد صلى الله عليو ك سلم
.بإحساف الى دار القرار
138
langit dan bumi serta serta hamba yang senantiasa berbuat
kebajikan. Dan atas seluruh malaikat, muslimin dan muslimat juga
mukmin dan mukminat yang masih hidup dan yang wafat, dan seluruh
umat Muhammad SAW yang senantiasa dalam kebaikan hingga ke
negeri abadi.
3) Selanjutnya, Ketahuilah saudara sekalian, sesungguhnya sifat-sifat
buruk yang ada di dalam hati sangatlah banyak. Di antara sifat-sifat
itu adalah marah, iri hati, kikir, cinta harta, cinta kehormatan, cinta
dunia, sombong, merasa hebat, riya, makan dan minum berlebih-
lebihan, serta bicara yang berlebihan. Namun sumbernya ada empat
yaitu iri hati, riya, merasa hebat, sombong. Oleh karena itu, maka
berusahalah untuk membersikan hati darinya.
4) Makna hasad ialah mengharapkan hilangnya nikmat dari sisi orang
lain. Sifat itu (hasad), merupakan cabang dari sifat al-syahhu. Sifat
bakhil ialah sifat kikir terhadap sesuatu yang dimilikinya (berupa
harta) untuk diberikan kepada orang lain. Adapun sifat syahhu ialah
sifat kikir terhadap nikmat Allah yang dimilikinya (berupa harta,
كبعد، فاعلم أيها الإخواف أف الصفات ابؼذمومة (3في القلب كثتة. منها الغضب كابغسد كالبخل
حب الدنيا كالتكبر كحب ابؼاؿ كحب ابعاه ك كالعجب كالرياء ككثرة الأكل كالشرب كفضوؿ الكلاـ. كلكن أصوبؽا أربعة كىى ابغسد كالرياء
.كالعجب كالكبر، فاجتهد في تطهت قلبك منها
معت ابغسد أف يتمت زكاؿ النعمة عن غته. فهو (4متشعب من الشح، فإف البخيل ىو الذم يبخل
كالشحيح ىو الذم يبخل بدا في يده على غته، بنعمة الله، كىي في خزانة قدرتو تعالى لا في خزائنة
على عباد الله تعالى، فشحو أعظم.
كابغسود ىو الذم يشق عليو إنعاـ الله تعالى من (5خزانة قدرتو على عبد من عباد الله بداؿ أك علم أك
139
jabatan, ilmu, wewenang, dukungan). Padahal yang dimilikinya itu
adalah milik Allah ta‟âla dan bukan milik seorang hamba. Oleh
karena itu, maka sifat syahhu lebih besar.
5) Sifat hasad merobek nikmat Allah SWT yang ada pada orang lain
yaitu anugerah yang diberikan kepada hambanya berupa harta, ilmu,
rasa cinta manusia, atau keberuntungan hingga dia menginginkan
lenyapnya anugerah pada orang tersebut sehingga tidak memiliki
sesuatu apapun. Dan ini merupakan hal yang teramat buruk.
6) Untuk itu, Rasul SAW bersabda: “sesungguhnya perbuatan hasad
akan memakan kebaikan bagaikan api memakan kayu bakar.”
7) Sifat hasad penyiksa dengan tidak memiliki rasa kasihan, dan tidak
berhenti selalu menyiksa. Sesungguhnya dunia tidak hampa dari
begitu banyak anugerah dan pengetahuan yang diberikan Allah
kepada seseorang yang dikehendakiNya berupa ilmu, kehormatan,
dan harta. Namun ia (orang yang memiliki sifat hasad) selalu
menyakiti orang lain ketika hidup di dunia sampai ia meninggal
dunia. Maka baginya (orang yang memiliki sifat hasad), kelak di
بؿبة في قلوب الناس أك حظ من ابغظوظ حتى أنو منو كاف لم بوصل لو شيئ، ك ىذا ليحب زكابؽا منتهى ابػبث.
كبؽذا قاؿ صلى الله عليو كسلم: إف ابغسد يأكل (6 ابغسنات كم تأكل النار ابغطب.
كابغسود ىو ابؼعذب الذم لا يرحم، كلا يزاؿ في (7عذاب دائم. فإف الدنيا لا بزلو عن خلق كثت من
أك أقرانو ك معارفو بفن أنعم الله عليهم بعلم أك جاه ماؿ، فلا يزاؿ في عذاب دائم في الدنيا إلى موتو، كلعذاب الآخرة أشد كأكبر. كلا يصل العبد إلى حقيقة الإبياف ما لم بوب لسائر ابؼسلمت ما بوب
لنفسو.
كمعت الرياء طلب ابؼنزلة في قلوب ابػلق ليناؿ بو (8
140
akhirat akan di adzab dengan lebih keras dan dasyat. Tidak akan
sampai seorang hamba pada hakikat kesempurnaan iman, hingga ia
mencintai kaum muslimin sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
8) Makna riya adalah mengharapkan pengakuan dari makhluk
(manusia) untuk mendapatkan kehormatan. Tidaklah terjadi
kehancuran pada manusia, kecuali disebabkan oleh manusia pula
dan itu merupakan syirik kecil. Ia merasa senang jika ibadah dan
amal kebaikannya diketahui oleh orang lain, hingga merasa takjub
kepadanya. Berkata al-Syaid Kholîl Abu Ali al-Fâdlil bin „Iyâd rt,
berkata: “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya',
sedangkan mengerjakan amal karena manusia adalah syirik. Adapun
ikhlas adalah jika Allah menyelamatkanmu dari kedua perkara tadi.”
9) Sungguh mulia sebuah ungkapan dikalangan masyarakat:
Berapa banyak orang yang mencoba# Kebenaran yang sulit dan tidak
mengetahuinya sia-sia# Karena tidak ada keihklasan dan syariat yang
menyertai# Bila engkau mengabaikannya maka inilah sesuatu yang
tertolak
ابعاه فما أىلك الناس الا الناس. كىو الشرؾ لموا بعبادتو كأعمالو ابغسنة حتى ابػفي، يفرح إذا ع
ينظركف إليو بعت التعظيم. قاؿ الشيد ابػليل ابو علي الفاضل بن عياض ربضو الله تعالى: ترؾ العمل لأجل الناس الرياء، كالعمل لأجل الناس شرؾ،
خلاص أف يعافيك الله منهما.لإكا
كلقد احسن القائل في الناس: (9
من يدريو ابغق صعب ك - كم امرؤ فيما بواكلوكإف - ما لم يكن خالص كالشرع يقبلو مفقود،
.تناىا فهذا الشيء مردكد
قاؿ حجة الإسلاـ الغزالي رحم الله تعالى: اعلم (11أف الرياء حراـ، كصاحبو بفقوت عند الله تعالى. ففي ابػبر: إف أخوؼ ما أخاؼ على أمتي الشرؾ
141
10) Berkata hujjatul islam al-Gazali rt.: “ketahuilah bahwa
sesungguhnya sifat riya adalah sesuatu yang haram, dan pelakunya
sangat dibenci oleh Allah.” Dalam Khabar dijelaskan: sungguh hal
yang paling kuhawatirkan kepada umatku ialah syirik kecil, lalu
mereka berkata: “apa yang dimaksud dengan syirik kecil ya
Rasulullah” ?, dijawab: “riya,” Allah berkata pada hari kiamat
(kepada orang yang berbuat riya) ketika manusia akan dibalas amal
kebaikannya: pergilah engkau kepada orang yang telah kau berbuat
riya padanya dan lihatlah, apakah engkau mendapatkan balasan
amalmu dari mereka. Dalam Khabar juga disampaikan:
sesungguhnya orang yang berbuat riya, kelak di akhirat akan
dipanggil, wahai sang durhaka, sang munafik, sang riya, telah sesat
amalanmu dan lenyaplah seluruh pahalamu, pergilah dan ambillah
balasan dari orang yang engkau berbuat ria kepadanya.
11) Makna ujub dan takabur adalah melihat diri sendiri dengan
pandangan mulia dan keagungan, namun melihat orang lain dengan
pandangan hina dan rendah, kemudian ia membanggakan sifat itu
(ujub dan takabur), yang akan mempersulit dokter dari penyembuhan,
الأصغر، قالوا: ما الشرؾ الأصغر يا رسوؿ الله؟ : الرياء، يقوؿ الله تعالى يوـ القيامة إذا أجاز قاؿ
العباد بأعمابؽم: اذىبوا الى الذين كنتم تراءكف في الدنيا فأنظركا ىل بذدكف عندىم ابعزاء. كفي ابػبر أيضا: إف ابؼرائي، يناد يوـ القيامة: يا فاجر، يا غادر، يا رائي، ضل عملك ك حبط أجرؾ. اذىب
لو. فخذ أجرؾ بفن كنت تعمل
كمعت العجب كالكبر نظر العبد الى نفسو بعت (11العز كالإستعظاـ ك نظره الى غته بعت الذؿ ك كالإحتقار، كىو اكبرىا الذم يعجز الأطباء عن
من يقوؿ: انا كانا، كما علاجو. كبشرتو على اللسافقاؿ إبليس اللعت: أنا خت منو خلقتت من نار
لمجالس التفع كالتقدـ كخلقتو من طت، ك بشرتو في اكطلب التصدر، كفي المجاكرة الاستكاؼ أم
142
dan ia membanggakan dengan berkata: aku dan aku, Sebagaimana
yang telah dikatakan oleh Iblis terlaknat: “aku lebih baik dari dia
(Adam), aku terbuat dari api sedangkan dia (Adam) terbuat dari
tanah,” kemudian dia membanggakan dirinya pada majelis agung
seraya mengharapkan pengakuan pujian dari seluruh hadirin.
12) Dalam Hadist Nabi SAW, dijelaskan: tidak akan masuk surga,
seseorang yang memiliki seberat biji zara dari sifat takabur di dalam
hatinya. Berkata hujjatul islam al-Gazali rt.: “setiap orang yang
melihat dirinya lebih baik dari makhluk Tuhan yang lain, maka ia
termasuk orang yang takabur.”
13) Dan ketahuilah, sesungguhnya orang yang baik ialah orang yang
baik menurut Allah di akhirat kelak. Oleh karena itu, kita tidak dapat
mengetahui (orang yang baik) kecuali pada akhir kehidupannya.
Maka hendaknya, engkau melihat orang lain lebih baik darimu. Bila
engkau melihat yang lebih rendah darimu, maka katakanlah dalam
dirimu: ia tidak bermaksiat kepada Allah, dan aku telah berbuat
maksiat kepadanya (Allah), maka aku tidak meragukan lagi, bahwa ia
الاستكمار من أف يرد كلامو عليو.
كفي ابػبر: لا يدخل ابعنة من كاف في قلبو (12مثقاؿ ذرة من كبر. قاؿ حجة الإسلاـ الغزالي ربضو الله تعالى: ككل من رأل نفسو ختا من أحد من
خلق الله فهو متكبر.
ابػت من ىو خت عند الله في الآخرة، كاعلم (13كذلك لا يعرؼ إلا بابػابسة. فينبغى أف تنظر الناس كلهم ختا منك، فإف رأيت صغتا قلت: ىذا لم
كاف يعص الله كأنا عصيتو فلا أشك أنو خت مت، رأيت كبتا قلت: ىذا عبد الله قبلي،
كإف رأيت عابؼا قلت: ىذا قد أعطي ما لم (14ما لم أبلغ، كعلم ما جهلت، فكيف أعط، كبلغ
أكوف مثلو، كإف رأيت جاىلا قلت: ىذا عصى
143
lebih baik dariku, dan bila engkau melihat orang yang lebih hebat
darimu, maka katakanlah dalam dirimu: ia adalah hamba Allah
sebelumku.
14) Bila engkau melihat orang berilmu, katakanlah dalam dirimu: ia
telah diberi (ilmu oleh Allah) dan aku belum diberi (ilmu), telah
mencapai suatu ilmu dan aku belum mencapainya, dia mengetahui
apa yang tidak kuketahui, maka bagaimana seharusnya aku bisa
sepertinya, dan bila engkau melihat orang yang bodoh katakanlah
dalam dirimu: ia bermaksiat kepada Allah karena kebodohannya,
sedangkan aku bermaksiat kepada-Nya dengan kepandaianku, maka
ketentuan Allah Pasti berlaku. Aku tidak mengetahui bagaimana Dia
(Allah) mengakhiri hidupku dan bagaimana Dia (Allah) mengakhiri
hidupnya.
15) Apabila engkau melihat orang yang kafir, maka katakanlah pada
dirimu: saya tidak mengetahui, boleh jadi kelak ia (hamba) akan
masuk islam, sehingga Dia (Allah) menutup usianya dengan kebaikan
amal dan melepaskan dosanya (hamba) sebab keislamannya
الله بجهل ك أنا عصيتو بعلم، فحجة الله علي آكد، كما أدرم بدا بىتم لي كبدا بىتم لو،
أدرم عسى أف يسلم لا كإف رأيت كافرا قلت: (15ك بىتم لو بخت العمل، كينسل بإسلامو من ذنوبو
العجت، كأما أنا فعسى أف كما ينسل الشعر منيضلت الله فأكفر فيختم لي بشر العمل، فيكوف
غدا ىو من ابؼقربت كأنا من ابؼبعدين،
بأف تعرؼ أف لا فلا بىرج الكبر من فلبك إ (16الكبت من ىو كبت عند الله تعالى، ك ذلك موقوؼ على ابػابسة كىي مشكوؾ فيها، فيشغلك خوؼ
على عباد الله. ابػابسة أف يتكبر مع شك فيهاكيقينك كإبيانك في ابغاؿ لا يناقض بذويز التغت في الاستقباؿ، فإف الله تعاؿ يقلب القلوب ك
144
sebagaimana lepasnya rambut dari kumpulannya (kepala).
Sedangkan aku, boleh jadi Allah SWT menyesatkanku sehingga aku
menjadi kafir, dan Dia (Allah) menutup usiaku dengan keburukan
amal. Lalu bagaimana jikalau esok, ia menjadi orang yang dekat
kepada Allah SWT dan aku menjadi orang yang jauh darinya (Allah).
16) Tidak akan keluar sifat takabur dari dalam hatimu, kecuali jika
engkau mengetahui bahwasanya kebesaran (kemuliaan) itu ialah
kebesaran (kemuliaan) di sisi Allah ta‟âlâ. Dan hal itu, terletak pada
akhir dari kehidupan (kematian) yang sangat menggetarkan. Maka
engkau akan disibukkan dengan rasa takut akan kematian disertai
keguncangan jiwa yang begitu hebat bagi seorang hamba.
Keyakinanmu dan keimananmu jangan sampai berubah
menghadapinya, karena sesungguhnya Allah membolak balikkan hati
dan pandangan, Dia memberi petunjuk kepada yang dia kehendaki
dan menyesatkan yang dia kehendaki pula. Ya Allah, akhirilah hidup
kami dengan husnul khotimah, amin.
17) Perhatian, sebaiknya bagi para murid yang melakukan salik, agar
الأبصار، يهدم من يشاء ك يضل من يشاء. اللهم اختمنا بحسن ابػابسة. آمت.
تنبيو (17
فينبغي على ابؼريدين السالكت أف يداكـ المجاىدة ب كابؼناـ، لأف من كالرياضة بتقليل الطعاـ كالشرا
قلل طعامو كشرابو كنومو صفا قلبو كأشرؽ لبو فيسهل عليو التخلق بالأخلاؽ ابؼرضية كالصفات
السنية.
كقد نقل القشتم رحم الله تعالى عن عائشة (18رضي الله عنها أنها قالت: أدبيوا قرع باب ابؼلكوت يفتح لكم، قالوا: كيف ندن ذلك؟ قالت: بابعوع
ك العطش.
145
(mendawamkan) mujahadah dan riyadah, dengan cara mengurangi
makan, minum, dan tidur. Karena seseorang yang mengurangi
makan, minum, dan tidur, akan membuat hatinya bersih serta terang
jiwanya sehingga mempermudah baginya membentuk akhlak yang
diridhoi dan sifat-sifat mulia.
18) Sungguh telah dikutip oleh Qusyairi rt. Dari Aisyah ra. berkata:
“Biasakanlah mengetuk pintu alam malqȗt, maka akan dibukakan
untukmu” kemudian ditanyakan: “bagaimana melakukannya?”
kemudian dijawab: “dengan lapar dan haus.”
19) Sungguh banyak hadits yang diriwayatkan tentang keutamaan lapar
dan haus, sebab rasa lapar dapat membuat seorang murid menguasai
dirinya setelah dikuasai oleh nafsunya. Sungguh Allah ta‟ala tidaklah
memberi petunjuk dan mendekati (hamba), kecuali didapatinya dalam
keadaan lapar (puasa), maka ketika datang kepadamu seorang murid,
ingatkanlah sebagaimana yang telah lalu.
20) Untuk itu, lapar dan haus merupakan mujahadah yang paling baik
untuk diri, namun dengan syarat bahwa dalam melakukannya
كرد في فضل ابعوع كالعطش أحاديث كقد (19كثتة، لأف ابعوع بيلك ابؼريد نفسو بعد أف كانت
بؼا لا مالكتو، فإنها ما اىتدت كرجعت إليو تعالى إألقيت في بحر ابعوع، فإذا جاع الطالب تذكرت
العهد السابق.
فلهذا، كاف ابعوع ك الظمأ من أعظم المجاىدة (21فسو في للنفس، لكن بشرط أف بهاىد مع ذلك ن
برست الأخلاؽ، كالصبر كالرضا كالشكر كابغلم كالزىد كالإخلاص كالسخاء كبكوىا. كأما إذا كاف بؾرد جوع كظمأ فليس لله حاجة في أف يدع طعامو
ك شرابو.
كينبغي لصاحب الرياضة أف بهعل رياضتو في (21الصياـ متقربا إلى الله تعالى بالنوافل فينتج لو المحبة
146
hendaknya disertai dengan memperbaiki akhlak seperti sifat sabar,
ridho, syukur, lembut, zuhud, ikhlas, dermawan dan sebagainya.
Adapun jika hanya menahan rasa lapar dan haus, maka Allah tidak
butuh atas usahanya dalam menahan rasa lapar dan dahaga.
21) Hendaknya bagi para pelaku riyadah, menjadikan amalan
riyadahnya dengan melakukan puasa sebagai pendekatan diri kepada
Allah SWT juga amalan-amalan tambahan (amalan Sunnah),
sehingga lahirlah padanya pancaran kecintaan Allah. Hadits qudsi
mengatakan: tidak akan berhenti seorang hamba mendekatkan diri
kepadaku dengan amalan-amalannya, sehingga aku mencintainya, al-
hadis. Mereka (para pelaku riyadah) berusaha menahan rasa lapar
sedikit demi sedikit dengan cara mengurangi makanan ketika berbuka
puasa di malam hari. Mereka mengurangi uang belanja untuk
berbuka, sehingga mereka berbuka puasa pada malam harinya
dengan menggunakan buahan dan sebagian lagi dengan buah
zabibah dan buah lawizah, serta mengenyangkan perut mereka
dengan buahan tersebut. namun dengan buah-buahan itu, tidak
يزاؿ لا د بها ابغديث القدسي: الإبؽية التي كر عبدم يتقرب إلي بالنوافل حتى أحبو، ابغديث. كأف يكوف جوعو بالتدريج شيء فشيء حتى أف بعضهم يزف غداءه في كل ليلة عند الفطر ينقص منو دربنا أك كثر إلى أف يصل في غدائو في اليلة كاليوـ الى بسر، كبعضهم الى زبيبة كإلى لوزة، ك
يتضرر من ذلك ابعسد. لا عدة، كتكتفي بها ابؼ
ككذلك في ابؼاء حتى بيكث ابؼريد الأياـ الكثتة (22يشرب. كلقد قاؿ الشيخ قاسم ابؼغربي أف شيخو لا
قاؿ: إذا أردت أف بزتبر نفسك ىل تقدر على الزىد في الدنيا فازىد في ابؼاء، فإف قدرت على الزىد فيو فاعلم انك تقدر على الزىد في الدنيا،
.فلالا كإ
147
merusak kesehatan badan mereka.
22) Begitu pula pada air minum, seorang murid menahan diri, untuk
tidak minum selama berhari-hari. Sungguh Syekh Kasim al-Magribi
telah berkata, telah disampaikan oleh gurunya: “bila engkau ingin
menguji dirimu, apakah engkau mampu untuk zuhud di dunia, maka
zuhudlah terhadap air, apabila engkau sanggup melakukannya, maka
ketahuilah bahwa engkau telah sanggup untuk zuhud terhadapnya
(dunia), namun bila engkau tidak sanggup, maka engkau termasuk
orang yang tidak sanggup akan hal itu (zuhud).”
23) Berkata Syekh Mustofa al-Bakri rt.: telah disampaikan oleh
sahabatnya bahwa ada seorang pemuda yang bertekad menahan diri
selama empat puluh hari dengan tidak meminum air. Ia sangat
berhati-hati ketika berwudu, sebagaimana ia berhati-hati ketika
berpuasa. Sungguhnya Nabi Ilyas as. tidak meminum air kecuali
setelah satu tahun lamanya.
24) Dari Syekh Akbar Muhiddin ibnu A'rabi, semoga Allah mensucikan
rasahasianya, berkata: "dan ketahuilah, sesungguhnya kami telah
:قاؿ الشيخ مصطفى البكرم رحم الله تعالى (23أخبره بعض الأصحاب عن شاب متعبدا أنو
يشرب فيها ابؼاء، كأنو لا بيكث بكو أربعت يوما بوتز من ابؼاء عند الوضوء كما بوتز الصائم، كأف
بعد سنة.لا يشرب ابؼاء إلا الإلياس عليو السلاـ
قدس كقاؿ الشيخ الأكبر بؿي الدين ابن عربي (24 من الله سره: "كاعلم اف العطش جربناه فوجدناه
الشهوات الكاذبة، كجربو غتنا فوجده كذلك، فعود نفسك أف بسسكها من ابؼاء. كإف عطشت
فإنك إف جاىدتها قليلا تنعمت بها كثتة.
قاؿ العارؼ البوني رحم الله تعالى: إف ابؼاء لا (25بعد بطسة أياـ، لأف شرب ابؼاء لأىل لا يشربو إ
الرياضة تفرقة. كعلامة صحة الرياضة أف بودث الله
148
menguji diri kami dengan rasa haus, namun kami mendapati di
dalamnya (diri kami) syahwat yang menipu, dan telah diuji pula oleh
orang lain, namun hasilnya juga demikian. Kemudian dicoba oleh
selain kami, namun hasilnyapun demikian. Biasakanlah diri anda
untuk melakukannya (menahan haus). Bila engkau dapat
melakukannya (menahan haus) walaupun sedikit, maka engkau akan
mendapatkan kenikmatan yang besar.
25) Berkata Berkata al-„Ârif al-Buni rt.; “Sungguh ia tidak meminum air,
kecuali setelah lima hari.” Meminum air bagi para pelaku riyâdah,
akan memecah konsentrasi. Dan tanda sahnya amalan riyadah
seseorang, jika Allah SWT hadir kepada hamba, seolah-olah
mengalirkan air disela-sela giginya (seorang hamba). Hal ini
merupakan tanda bahwa riyadah tersebut berhasil dengan baik. Akan
dijelaskan kemudian tata cara pelaksanaannya (riyadah), insya Allah
ta‟âlâ.
26) Perhatian, sebaiknya bagi para murid yang ingin memulai suluk,
agar memperbanyak dzikir dalam keadaan apapun, baik dalam
تعالى للعبد في أحد أسنانو أك بؽاتو عينا من ماء بذرم في فيو إلى أف يركل، يكوف في ابػلوة أفضل،
كستأتي كيفيتها إف شاء الله تعالى.
تنبيو (26
إلو لا فينبغي للمريد في ابتداء سلوكو أف يكثر ذكر يامو كفي خاؿ الله في حاؿ سفره كحضره كقلا إ
سيما بعد لا مرضو كصحتو كقعوده كمضجعو صلوات ابػمس ليستعت بو في تطهت قلبو من سائر الصفات ابؼذمومة كالغضب كبكوىا، كما
تقدـ.
قاؿ كفضيلة ىذه الكلمة ابؼشرفة كثتة، منها: (27صل الله عليو كسلم: أفضل ما قلت أنا كالنبيوف
149
bepergian, kedatangan, berdiri, sakit dan sehat, duduk dan
berbaring, serta dalam solat lima waktu untuk memohon pertolongan
kepadanya (Allah) agar disucikan hatinya dari sifat tercela seperti:
marah dan semacamnya, sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya. Betapa banyak keutamaan kalimat yang agung ini, di
antaranya:
27) Berkata Rasul SAW: keutamaan kata yang kuucapkan, sebagaimana
ucapan para nabi terdahulu ialah kata laa ilaha illa allah, akan
masuk surga.
28) Berkata Rasulullah SAW: barangsiapa di akhir hidupnya
mengucapan la ilaha illallah, akan masuk surga.
29) Di dalam Hadits qudsi dikatakan: lâ ilâha illallâh adalah bentengku,
dan barangsiapa yang masuk ke dalam bentengku akan selamat dari
siksaku. Diriwayatkan oleh ibnu Asâkir.
30) Di sampaikan oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah ra. Telah berkata,
Dari rasul SAW: “perbaharui iman kalian,” kemudian mereka
الله دخل ابعنة؛لا الو إلا من قبلي
ك قاؿ صلى الله عليو كسلم: من كاف آخر (28الله دخل ابعنة، ركاه أبو داكد لا إلو إلا كلامو كغته؛
الله حصت، لا إلو إلا ك في حديث القدسي: (29من دخل حصت أمن من عذبابي، ركاه ابن
عساكر؛
أخرج ابغاكم عن أبي ىريرة رضي الله عنو قاؿ: (31قاؿ رسوؿ الله صلى الله عليو كسلم: جددكا
انكم، قيل: كيف بقدد إبياننا يا رسوؿ الله؟ إبي الله؛لا إلو إلا قاؿ: أكثركا من قوؿ
كالشيخاف، عن عتباف بن مالك: إف الله تعالى (31
150
bertanya: “bagaimana cara memperbarui iman kita ya rasulullah,”
dijawab: “perbanyak ucapan la ilaha illallah.”
31) Syaikhani (Imam Bukhari dan Imam Muslim) menyampaikan: Dari
Atbân bin Malik berkata; “Sesungguhnya Allah mengharamkan api
bagi seorang hamba yang mengucapkan lâilâha illallâh dengan
mengharap wajah Allah.”
32) Disampaikan oleh Nasai, dari Abu Said al-Khudri, dari Nabi SAW
berkata: Nabi Musa as. berkata: “wahai Tuhanku, ajarkanlah aku
suatu kalimat yang dapat aku berzikir dengannya,” maka Allah
berfirman: “ucapkanlah laa ilaha illallah,” maka ia (Nabi Musa)
berkata: “wahai Tuhanku, semua hamba-Mu mengucapkan ini,
sesungguhnya aku menginginkan sesuatu yang khusus buat-ku,”
maka Dia (Allah) menjawab: “wahai Musa, seandainya ketujuh
langit serta seluruh penghuninya, selain Aku, dan ketujuh bumi
diletakkan dalam satu timbangan dan kalimat lailahaillah diletakkan
dalam timbangan yang lain, niscaya kalimat lailahaillah lebih berat
timbangannya.”
الله يبتغي بو لا إلو إلا قد حرـ على النار من قاؿ كجو الله؛
كالنسائي عن أبي سعيد ابػدرم، عن النبي (32صلى الله عليو كسلم قاؿ: قاؿ موسى عليو
لاـ: يا رب، علمت شيئا أذكر بو، فقاؿ: قل السالله، فقاؿ: يا رب، كل عبدؾ يقوؿ لا إلو إلا
ىذا، إبما أريد شيئا بزتص بو، فقاؿ: يا موسى، لو أف السموات السبع كعامرىن غتم كالأرضت
الله في كفة بؼالت لا إلو إلا السبع جعلنا في كفة ك الله.لا إلو إلا بهن
للقلب كتقريبا من ك ىذا الذكر أسرع فتحا (33الرب بشرط إحضار معت الذكر بقلبو مع كل مرة، فيهي مفتاح حقائق القلوب كترتقي السالكت إلى
151
33) Dan amalan zikir ini dapat mempercepat membuka (kebenaran) hati
dan mendekatkan diri kepada Allah, dengan syarat menghadirkan
makna zikir di dalam hati pada setiap kali mengucapkannya. Sebab
zikir adalah kunci hakekat hati dan mengangkat derajat para salik
pada alam gaib.
34) Manfaat, sesungguhnya zikir terbagi dua yaitu zikir lisan dan zikir
galbu. Zikir lisan membutuhkan tindakan sebagaimana yang akan
dibahas kemudian. Adapun zikir hati itu tidak membutuhkan adab
tertentu (secara fisik), namun lebih kepada pembersihan hati dari
ingatan selain Allah SWT. Adapun tata cara pelaksanan zikir lisan
sangat banyak, namun langkah yang paling utama ialah bertaubat.
Pengantar melakukan taubat ada tiga:
35) Satu, mengingat dampak dari keburukan dosa. Dua, mengingat
kerasnya balasan siksa dari Allah ta'âla atas dosa, dan pedihnya
siksaan dan kemarahannya (Allah) yang tidak akan sanggup engkau
menanggungnya. Tiga, mengingat lemah dan sedikitnya kekuatanmu
untuk itu.
علاـ الغيوب.
فائدة (34
إف الذكر قسماف: ذكر باللساف كذكر في القلب. كأما الذكر باللساف بوتاج إلى الآداب كما سيأتي،
إلى كأما الذكر بالقلب فلا بوتاج إلى الآداب بلكآداب الذكر تصفية سريرتو عما سول الله تعالى.
باللساف كثتة، أعظمها التوبة. كأما مقدمات التوبة فثلاث:
الثانية: ذكر أحدىا: ذكر غاية قبيح الذنوب؛ (35شدة عقوبة الله تعالى ك عظيم سخطو كغضبو
الثا لثة: ذكر ضعفك كقلة طاقة لك بو؛لا الذم حيلتك في ذلك.
152
36) Syarat tobat ada tiga, pertama meninggalkan perbuatan dosa. Kedua,
menyesali perbuatan dosa yang telah lalu. Ketiga, bertekad untuk
tidak kembali melakukan perbuatan dosa seperti yang telah lalu pada
masa yang akan datang.
37) Apabila dosa tersebut bersangkutan dengan hak manusia seperti
merampas dan mencuri harta, maka tata caranya ada empat, namun
tiga di antaranya telah dijelaskan. Adapun yang keempat ialah
mengembalikan harta, menggantinya atau meminta dihalalkan oleh
pemiliknya. Sebaiknya hal ini dilakukan bagi mereka yang ingin
bertobat agar terlepas dari dosanya.
38) Telah disampaikan oleh yang mulia tuan guru kita, pembimbing kita
yang faham dan arif kepada Allah ta'ala al-Sayyid Mustofa bin
Kamaludin al-Bakri tentang tata cara berdzikir sebelumnya,
perbedaan dan tata cara yang benar (dalam berdzikir), kemudian ia
berkata: Adab berzikir itu berjumlah dua puluh, maka peliharalah -
Janganlah dilupakan dan diabaikan begitu saja, Ada Lima adab
sebelum berzikir, maka dengarkanlah - Wahai orang-orang yang
الأكؿ: الإقلاع عن الذنب ثلاثة:كشرائطها (36 كالثاني: الندـ على ما مضى عن الذنب؛ فيو؛
كالثالث: ترؾ نية العود إلى الذنب في الزماف الزماف الآتي.
كإف كاف الذنب حقا لآدمي، كغصب ابؼاؿ (37كالسرقة، فللتوبة منها أربعة أركاف: ىذه الثلاثة
ستحلاؿ ابؼذكورة، كالرابع رد الظابؼة اك بدبؽا أك امن صاحبها. فينبغي لأحد إذا تاب أف يتوب من
بصيع الذنوب كلها.
كقد ذكر مولانا كأستاذنا الأعظم كملاذنا (38الأفخم العارؼ بالله تعالى السيد مصطفى بن كماؿ الدين البكرم آداب الذكر السابقة كابؼقارنة
تكن لا ك -كاللاحقة فقاؿ:آدابو عشركف فاحفطها
153
berzikir kepada Allah, (2) Mandi atau berwudhulah kemudian (1)
bertaubat - (3) Berzikir dalam keadaan tenang dan diam dengan hati
dan pikiran yang lurus, Seorang murid hendaknya (4) menyandarkan
zikirnya kepada gurunya - Sambil (5) meyakini asal zikirnya
bersambung kepada nabi Muhammad, Kemudian dua belas hal zikir
berikutnya - Ada pada saat berzikir kepada pemilik kebajikan
(Allah), (1) Duduklah seperti saat sedang shalat - Sambil menghadap
ke arah yang sangat mulia (kiblat), (2) Letakanlah kedua tangan di
atas paha - (3) Sambil memenjamkan kelopak mata, (4) Duduklah di
tempat yang suci - Lagi (5) gelap demi mendapatkan rahasia yang
terbaik, Dalam zikir ada (6) kejujuran dan (7) keikhlasan maka
jagalah keduanya - (8) Harumkan pakaian dengan wewangian serta
berzikir dalam keadaan sadar, (9) Baguskanlahkanlah tempat duduk
dan hilangkan segala yang ada dalam hati - Demikianlah riwayat
penjelasan zikir, (10) Zikir La ilaaha illalah - (11) Hadirkanlah dan
resapi maknanya, (12) Lalu bayangkan sosok guru - Jangan lalaikan
hal ini, agar konsentrasi semakin tinggi, Ada tiga adab berzikir untuk
bagian terakhir, (1) diam dan (2) tenang - Sambil khusyu (merasa
diawasi) Allah, Boleh jadi ada wujud/hasilnya - Di waktu yang
مسة قبل الشركع فاستمع تلهو كتسهو عنها، فخيا من يذكر ابغق في القرب بصع، غسل أك -
صمت سكوف ثم يا من قبلا، -الوضوء توبة تلا معتقدا إمداده من -إف يستمد من مربيتو الصبي
في حالة الذكر بذم -النبي، ثم لو عشرة كاثناف مستقبلا - بالإحساف، جلوسو كحالة الصلاة -يضع يديولأشرؼ ابعهات، كفوؽ فخذيو
يغمض الأجفاف من عينيو، كبهلسن على مكاف في ظلمة لأجل سر باىر، كالصدؽ -طاىر
كطيب ثوبا ثم كن -كالإخلاص فيو فاحفظا جود عن -مستيقظا، كطيب المجلس كانف كل مو
-الله لا إلو إلا القلب كىكذا رككا، كالذكر كاستحضرف صاح لو معناه، ثم خياؿ صورة الشيخ
تكن ذا غفلة ترقى العلا، ثم ثلاث عنو -لا ك
154
singkat dianugrahi/diwarisi musyahadah, Janganlah
hentikan/lemahkan usahamu/riyadlahmu - Pada saat terseret kepada
limpahan rahmat, Pada hatimu yang memiliki - Pengharapan di
dunia maka bersiaplah, Ketika hati bertemu dengan yang diharapkan
(Allah) - Maka engkau tidak melihat kesulitan yang menyengsarakan,
Maka usahakanlah tiga hal ini (adab zikir: sebelum/sedang/setelah),
kemudian tekunilah – (Barangsiapa yang membiasakannya), maka
nampakkanlah padanya hasil dari dzikirnya, Padanya diperkuat
selalu, - Akan datang limpahan rahmat dengan sangat deras, (3)
Menahan diri dari meminum air, sebab dapat meredakan - Panasnya
rindu kepada-Nya (Allah), (yang merupakan hasil dari berzikir)
kecuali setelah beberapa saat - atau separuh dari bebera saat atau
yang lebih singkat dari bebera saat.
39) Perhatian, hendaknya bagi para murid salik, untuk dapat membantu
memperbaiki hatinya, hendaknya melakukan khalwat untuk berzikir.
Adapun bentuk khalwat, terbagi dalam tiga jenis: khalwat arif,
khalwat salik, khalwat muhaqqiq. Khalwat arif dilakukan oleh Mullah
(ahli fiqih) atau yang dinamakan dengan khalwat mutlaqah. Khalwat
مرتقبا لوارد يكوف، فربدا يعمر -صمت كالكوف في بغظة كيورث الشهودا، بدا بو ليست -ابعودا
في مدة إذ سحبو فياضة، كاف على -تفي الرياضة كارد في الدنيا فمستعد، إذا -قلبك يا ذا يكوف
فلا ترل بؤس عناء كردا، -يقبل القلب بؼا قد كرد نتيجة الذكر لو -فاحرص على ىذا الثلاث دأبها
تأتي الفيوضات لو -تبدك بها، نفسو يزمو مرار حرقة شوؽ -مدرارا، كمنع شرب ابؼاء إذ ذا يطفي
كنصفها ك -بعيد ساعة لا للسلو ينفي، عقيبو إ .بػفي الساعة
تنبيو (39
فينبغي للمريد السالك أف يستعت في إصلاح قلبو كابغلوة ثلاثة أقساـ: خلوة سالك بابػلوة للذكر.
155
muhaqqiq, tidak dapat dilakukan kecuali oleh para Qotbul Ghous
(pemimpin para wali) di setiap zaman. Adapun khalawat selain dari
yang dua ini, maka khalwat tersebut bukanlah ditujukan untuk Allah,
tetapi hanya untuk menambah persiapan dan jauh dari para makhluk
terhadap segala yang menyibukkannya dari ketaatan, yakni khalwat
seorang salik yang akan kita bahas.
40) Dan penjelasan syarat-syarat dan adab-adabnya adalah jalan untuk
sampai kepada kedua khalwat ini (khalwat mutlak dan khlawat
muhaqqiq). Waktu paling singkat dalam berkhalawat yang dilakukan
oleh para sufi ialah tiga hari, adapula yang empat puluh hari, namun
sesungguhnya batasan waktu lebih dari itu tidak ditentukan.
Dikisahkan, bahwa Syekh Sya‟ban Afandi telah menetap dalam
khalawatnya selama tiga puluh tahun.
41) Wahai para murid sekalian, (saya berharap) semoga Allah
memberikan taufik kepadaku dan kepada kalian semua. Bagi orang-
orang yang hendak melaksanakan khalawat, maka sebaiknya
mendahulukan pengasingan diri karena itu merupakan syarat.
كخلوة عارؼ كخلوة بؿقق. فخلوة العارؼ في ابؼلأ، لا تكوف إلا كتسمى ابػلوة ابؼطلقة، كخلوة المحقق
لقطب الغوث في كل زماف. كأما خلوة غت ىذين فلا تكوف بالله، كإبما ىي بؼزيد الإستعداد كالبعد عما يشغلو عن الطاعات من ابؼخلوقت، كىي
السالك التي بكن بصددىا. كبياف شركطها خلوةكآدابها فهي طريق موصل إلى ىاتت ابػلوتت. كأقل زمن ابػلوة عند بعض الصوفيت ثلاثة أياـ، كقيل
حد لأكثره. كحكي أف الشيخ لا أربعت يوما، ك شعباف أفندم بيكث في ابػلوة ثلاثت سنة.
كاعلم أيها الطالب كفقنا الله كإياؾ أف من أراد (41بد لو من تقدن العزلة، كىي لا أف يدخل ابػلوة
شرط حتى تألف النفس الوحدة كالانفراد عن الناس، ك تقلل الطعاـ كالشراب كابؼناـ، كأف يكوف
156
Sampai ia terbiasa menyendiri serta jauh dari keramaian orang
disertai mengurangi makan, minum, tidur. Melakukan puasa didalam
khalawatnya. Itulah pertama yang diwajibkan bagi orang yang
memasukinya, kewajiban secara „uruf (tradisi) bukan kewajiban
syariah. Hendaknya memperbanyak amalan-amalan sunnat sebelum
memasukinya dan
42) Mensucikan diri dan mensucikan pakaian, tempat shalat dan
memasuki rumah/tempat khalwatnya sebagaimana yang dikatakan
(dianjurkan). Kondisi tempat khalwat tingginya setinggi ketika berdiri
dan panjangnya memungkinkan untuk shalat di dalamnya, luasnya
sebatas untuk duduk di dalamnya, hendaknya tidak ada lobang/celah
untuk cahaya masuk, pintunya dibuat sedikit dan sempit dari arah
menghadap kiblat, hendaknya juga di tempat yang jauh dari bising
suara-suara dan dari pemukiman masyarakat.
43) Adapun yang berkaitan dengan tempat, maka akan jauh lebih baik
jika ada orang yang tinggal dekat dengan rumah tempat
khalawatnya, akan tetapi ia tidak boleh terlalu banyak bergerak
صائما في خلوتو. ثم إف اكؿ ما بوب على الداخل كجوب شرعيا، أف يتصدؽ لا فيها، كجوبا عرفيا بنافلة قبل دخوبؽا،
صلاه، كيدخل بيت كيتطهر كيطهر اثوابو كم (41خلوتو قيل. ككيفيتو أف يكوف ارتفاعو قدر قامة، كطولو بحيث بيكنو الصلاة فيو، كعرضو بقدر
يكوف فيو منفذ للضوء، كليكن بابو لا جلسة فيو، كمن جهة القبلة قصتا ضيقا، كيكوف في مكاف بعيد
عن الاصوات في دار معمورة بالناس
يبا من كإف أمكن أف يبات عنده أحد يكوف قر (42يكثر لا بيت ابػلوة كاف أحسن، لكن بشرط أف
تكثر ابغركة عنده لا من ابغركة فيشغل قلبو بها، كأيضا فتشوش عليو أحوالو، كليلازـ على الفرائض
157
sehingga mengganggu konsentrasiya. Hendaknya ia memperbanyak
melakukan amalan yang wajib dan amalan mulia lainnya. Kemudian
melakukan wudlu dan sholat dua rakaat ketika selesai dari buang
hajat dan berhati-hati pula dari semua godaan yang mempengaruhi
jiwanya pada saat keluar untuk bersuci karena itu sebagaib ujian.
Adapun untuk makanannya, hendaknya ia tidak membebani orang
lain tetapi jauh lebih baik jika ia menyiapkannya sendiri. Kemudian
setelah melakukan wudlu, hendaknya ia memasuki tempat khalawat
nya dan sholat dua rakaat serta membaca surah al-Fatihah
dilanjutkan membaca:
44) (77) (Yang demikian itu) merupakan ketetapan bagi para rasul Kami
yang Kami utus sebelum engkau, dan tidak akan engkau dapati
perubahan atas ketetapan Kami, (78) Laksanakanlah shalat sejak
matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan (laksanakan pula
shalat) Subuh. Sungguh, shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat),
(79) Dan pada sebagian malam, lakukanlah shalat tahajud (sebagai
suatu ibadah) tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu
mengangkatmu ke tempat yang terpuji, (80) Dan katakanlah
كالنوافل ابؼرتبة، كركعتي الوضوء عند كل طهارة، كليحتز من ابؽول في حالة خركجو إلى الطهارة
لا ليكن غداؤه بفا فإنو يؤثر فيو باعتبار فراغو، ك كلفة لأحد فيو، كأف يكوف غداؤه معو في بيتو خلوتو كاف أحسن. ثم بعد الطهارة يدخل خلوتو كيصلى فيو ركعتت يقرأ فيهما بعد الفابرة قولو
تعالى:
دي (43 سينةى مىن قىد أىرسىلنىا قػىبػلىكى من ريسيلنىا كىلا بذىصلاةى لديليوؾ الشمس أىقم ال) ٧٧لسينتنىا برىويلا )
إلىى غىسىق الليل كىقػيرآفى الفىجر إف قػيرآفى الفىجر كىافى ( كىمنى الليل فػىتػىهىجد بو نىافلىةن لىكى ٧٧مىشهيودنا )
( كىقيل ٧٢عىسىى أىف يػىبػعىثىكى رىبكى مىقىامنا بؿىميودنا )دؽو كىأىخرجت بـيرىجى صدؽو رىب أىدخلت ميدخىلى ص
( كىقيل ٧) نىصتنا كىاجعىل لي من لىدينكى سيلطىاننا
158
(Muhammad), "Ya Tuhanku, masukkan aku ke tempat masuk yang
benar dan keluarkan (pula) aku ke tempat keluar yang benar dan
berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat
menolong(ku), (81) Dan Katakanlah, "Kebenaran telah datang dan
yang batil telah lenyap.” Sungguh, yang batil itu pasti lenyap, (82)
Dan Kami turunkan dari Al Qur‟an (sesuatu) yang menjadi
penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi
orang yang zalim (Al Quran itu) hanya akan menambah kerugian.
Hal ini dilakukan bila tidak memiliki syekh sebagai mursyid.
45) Bila seseorang yang melakukan khalawat bersama dengan seorang
Syekh sebagai mursyidnya (guru spiritual), maka hendaknya Syekh
tersebut memasuki tempat khalawat terlebih dahulu lalu sholat dua
rakaat dan berdoa untuk muridnya, kemudian disusul oleh murid
tersebut memasuki tempat khalawat setelah Syekh berada
didalamnya, kemudian ia sholat setelah meminta izin kepada Syekh
dan membaca surah al-Fatihah. Namun jika ia tidak bersama
seorang Syekh sebagai mursyidnya, maka ia meminta izin kepada
syekhnya dengan menggunakan hatinya, Bertawasul dengannya
جىاءى ابغىق كىزىىىقى البىاطلي إف البىاطلى كىافى ( كىنػينػىزؿي منى القيرآف مىا ىيوى شفىاءه كىرىبضىةه ٧) زىىيوقنا
ىذا ). ٧الظالمتى إلا خىسىارنا )للميؤمنتى كىلا يىزيدي إذا لم يكن عنده شيخ.
أما إذا عنده شيخ كدخل الشيخ قبلو في بيت (44ابػلوة كصلى فيها ركعتت كدعا لو فهو أكلى، ثم ليدخل بعد دخوؿ الشيخ كيصلي بعد استئذاف
لا الشيخ كقراءة الفابرة معو إف كاف عنده، كإتو، كيتوسل بو إلى فليستئذف بقلبو كيتوجو إليو بكلي
الله تعالى بالذؿ كالانكسار كالافتقار كالتذلل، كذلك بعد التوبة الصحيحة من بصيع الذنوب
كبتىا كصغتىا، كقد سبق بياف التوبة.
كينبغي للمختلي الثبات عند مراقبتو بأف يكوف (45
159
(syekh) kepada Allah dengan merendahan diri, lemah merasa butuh,
dan hina. Hal ini dilakukan setelah taubat dari seluruh dosa yang
besar maupun yang kecil, sebagaimana penjelasan pada pembahasan
terdahulu.
46) Seseorang yang berkhalawat hendaklah tetap diam ditempat saat
bermuraqabah dan menjadi pemberani ketika suara melengking atau
apapun yang nampak padanya seperti kilat, cahaya, sesuatu yang
tersingkap, tabir rahasia, pandangan, pengetahuan, dan pengenalan,
maka hendaknya ia berhati-hati dari segala hal yang dapat
memalingkannya (dari murâqabah) dan apapun yang nampak
padanya sebab itu merupakan hijab penghalang. Tetapi hendaknya ia
melakukan amalan-amalan (beserta Allah), (karena Allah), (di dalam
keridhoan Allah), dan bukan amalan selain itu, sehingga ia
merasakan kenikmatan ketika bermurâqabah dan mendekatkan diri
kepada Allah, hingga Allah menjadikannya sebagai orang yang mulia
dan tercerahkan. Begitupula ketika ia memasuki tempat khalawat
yang dicintainya, hendaknya ia memperbanyak zikir dan rasa syukur
kepada Allah Ta'ala atas apa yang dianugerahkan kepadanya,
شجاعا عند بظاع زعقة أك صيحة أك ما يظهر لو في خلوتو من بوارؽ كأنوار كمكاشفات كأسرار كىواتف كعوارؼ كمعارؼ، فليحذر من الالتفات كالوقوؼ معها، فإنو حجاب، بل يكوف بفن دخل
لشيء سول ابؼقصود الأعظم، لا بالله لله في الله عرؼ قدر ىذه النعمة حيث قربو كأدناه، كجعلو كلي
بفن اصطفى كصفاه، كلدخوؿ ابػلوة حباه كاجتباه، كيكثر من ابغمد كالشكر لو تعالى على
ق، فليثابر الذكر في قلبو الذم لقنو أستاذه، لاما أكزـ عليو لاإذا نسيها، فليستعن بلسانو. كمن لا إ
ظهر عليو نور كالصباح.
كره كأكثر، كللفت كإف الشخص إذا أخلص ذ (46لا الذكر نفسو جرل على لسانو من غت كلفة بل ك
قصد حتى أنو بهرم على خاطره من غت اختياره.
160
dengan senantiasa tekun melakukan zikir di dalam hatinya sesuai
dengan tuntunan yang telah diajarkan oleh gurunya. Kecuali jika ia
lupa, maka boleh melakukannya dengan ucapan. Barangsiapa yang
sering melakukan hal itu, maka akan nampak padanya cahaya
bagaikan cahaya di waktu pagi.
47) Apabila seorang hamba senantiasa berzikir dengan penuh keikhlasan,
dan membiasakan dirinya berzikir dengan tanpa beban, sehingga
bibirnya mengalir ucapan ke hatinya tanpa disadari oleh lidahnya,
maka inilah tujuan utama di dalam berkhalawat.
48) Adapun zikir yang dipilih oleh hujjatul islam al-Gazali dan para Arif
yang lain ialah kalimat laa ilaha illallah. Begitu pula yang dipilih
oleh Syekh Muhyiddin (Ibn „Arabi) dan para Muhaqqiqin ialah
“Allah-Allah”.
49) Perhatian, bagi para murid salik, hendaknya membersihkan hati dan
jiwanya dari segala gundah gulana ketika ia melakukan khalawat.
Maka oleh karena itu dikatakan: adab seorang murid salik ialah
memberikan kabar kepada syekh muryid (guru spiritual) setiap
كىذا ابؼقصود الأعظم في ابػلوة.
كالذم اختار حجة الإسلاـ الغزالي كغته من (47إلو لا بعض العارفت أف يذكر بكلمة الطيبة، كىي
كبعض من كلذم اختاره الشيخ بؿي الدين الله.لا إ المحققت لفظة الله الله.
تنبيو (48
ينبغي للمريد السالك أف يصفي قلبو كسريرتو من بصيع ابػواطر في حاؿ سلوكو. فلهذا قيل: إف من آداب ابؼريد أف بىبر شيخو بجميع خواطره، حسنة كانت أك قبيحة، بىبره بابؼكرر عليو منها، لأنها،
الليلة كثتة إذ ىي سبعوف ألف خاطر في اليوـ ك ليعرؼ طريق التمييز بها.
161
perasaan (khatir/khawatir) yang dialaminya berupa sesuatu hal yang
baik ataupun yang buruk. Mengabarkan kepadanya terus menerus,
karena dalam sehari terdapat hingga tujuh puluh ribu permasalahan
(khatir), itu dialaminya pada siang dan malam. Ini dilakukan untuk
mengetahui cara membedakan hal-hal tersebut".
50) Telah banyak dijelaskan sebelumnya tentang tata cara
menghilangkan kegelisahan hati, sehingga hati tidak sibuk hanya
kepada Allah, karena hal tersebut akan menghalanginya dipermulaan
khalawat. Adapun hal-hal yang perlu dilakukan ketika rasa khawatir
melanda hati, hendaknya memperhatikan kebersihan/thaharah
pertama kali dengan memperbaharui wudhuhnya. Apabila
kegelisahan tidak kunjung reda maka berdzikirlah dengan suara
keras, kemudian mengecilkan suara. Apabila tidak menghilang atau
berkurang kegelisahannya, maka hendaknya ia menemui syekh nya
untuk menghilangkannya. Namun bila kegelisahan itu datang dan
pergi, maka hendaknya ia meletakkan tangannya di dada kemudian
mengucapkan: “subhâna malikul quddȗs, al-af‟âl al-khalâiq,”
[sebanyak tujuh kali. Kemudian mengucapkan] “in yasya‟
كقد ذكركا اف من بصلة شركط الطريق اللازمة (49نفي ابػواطر عن القلب لئلا تشغلو عن ربو، فيكوف نفيها في ابػلوة أكلى. كبفا ينفع في طرد ابػواطر عن القلب إذا ىجمت عليو أف يشغل صاحبها بالطهارة أكلا، بأف بهدد الوضوء. فإف لم
صوت بالذكر إلى أف تقل، ثم يعد تذىب فلتفع الإلى خفضو بعد ذلك، فإف لم تذىب أك تقل فليتوجو بؽمة شيخو في دفعها، فإذا ذىبت ثم عادت فليضع يده على قلبو كليقل: سبحاف ابؼلك القدكس، الفعاؿ ابػلاإؽ، سبع مرات، ثم يقوؿ:
( كما ١إف يشأ يذىبكم كيأت بخلق جديد )كإذا كجد استخاء، أم ( ٧ذلك على الله بعزيز )
ابؼختلى في بدنو، كاستشعر الضعف فليغتسل كليذكر )يا قوم( إلى أف ينقطع نفسو سبع أنفاس،
162
yadzhabkum, wa ya‟ti bikhalqi jadid,” [sebanyak enam puluh satu
kali, kemudian mengucapkan] “wa ma dzalika ala allahi bi „aziz,”
[sebanyak tujuh puluh satu kali.]. QS. Fathir: ayat 16-17. Apabila ia
merasakan lemas atau kegelisahan pada dirinya, maka hendaknya ia
mandi terlebih dahulu kemudian berzikir “ya qawi,” sebanyak tujuh
kali, maka Allah akan menjadikannya kuat lahir dan batin.
51) Imam al-Buni menyampaikan: barangsiapa yang merasakan lapar,
kegelisahan, kekacauan hati, dan pikiran, maka hendaknya ia
berwudu dan melakukan zikir: “ya âmîn, ya haadii,” sebanyak tujuh
kali. Sebagaimana telah dijelaskan, maka Allah ta'ala akan
menghilangkan darinya rasa lapar serta menenangkan
kegelisahannya serta menjernihkan perasaannya, sehingga lenyaplah
kegelisahannya.
52) Ungkapan yang lain juga mengatakan: sesungguhnya nama-nama
Allah Ta'ala yang bermanfaat adalah (al-Shamad). Ketika menyebut
nama tersebut, maka akan terasa berbeda di dalam diri. Nama Allah
Ta'ala yang lain ialah (al-Jalîl), ketika seseorang yang sedang haus
فإف الله تعالى بودث فيو قوة باطنة كظاىرة.
كذكر الإماـ البوني: من أدركو جوع كقلق (51كتشوش خاطره من اختلاؼ الأفكار فليتوضأ
س كاملة، كما كيذكر )يا أمت، يا ىادم( سبع أنفاتقدـ، فإف الله تعالى يذىب عنو جوعو كيسكن
خاطره كيصفو كقتو. انتهى.
كذكر غته أف بفا ينفع ابعوع ابظو تعالى (51)الصمد(، فإنو اذا ذكره ابعائع ظهر أثره في ابغاؿ، كابظو تعالى )ابعليل( يتلوه الظمآف فيسكن ظمأه.
كيده كقيل إف سورة )تبارؾ ابؼلك( إذا تلاىا إنساف على قلبو سكن عطشو.
قاؿ الشيخ الأكبر بؿي الدين ابن عربي: (52كليكن عند دخولك إلى خلوتك، إف الله ليس
163
menyebut nama tersebut, maka akan hilang rasa hausnya. Begitu
pula dengan surat (tabaroka mulk), ketika dibaca oleh seseorang
seraya meletakkan tangannya di dada maka akan hilang rasa
hausnya.
53) Syekh al-Akbar Muhyiddin ibn 'Arabî berkata: “ketika seseorang
memasuki tempat khalawatnya (melakukan khalawat), maka
hendaknya ia meyakini bahwa ((sesungguhnya Allah tidak ada yang
serupa dengan Dia)). Maka setiap yang terlintas dalam pikiranmu
tentang bentuk Allah ketika sedang berkhalawat, seraya berkata
kepadamu: Aku Allah, katakanlah: Maha Suci Allah-Engkau bersama
Allah, dan terus berzikir. Janganlah meminta selain Allah di dalam
khalawatmu. Janganlah menggantungkan keinginan/hasrat-mu
(himmah) selain Allah, walaupun ditampakkan kepadamu segala apa
yang di alam semesta, maka ambillah dengan adab dan jangan
berhenti padanya.
54) Penutup, adab dalam berkawan dan berhubungan kepada sesama
manusia dan kepada Tuhan. Berkata Syekh hujjatul Islam Al-Gazali,
كمثلو شيء. فكل ما يتخيل لك من الصور في خلوتك كيقوؿ لك: أنا الله، فقل: سبحاف الله
تطلب من لا أنت بالله، كاستغل بالذكر دائما، كبغته، كلو تعلق بنتكلا الله في خلوتك سواه، ك
لا عرض عليك كل ما في الكوف فخذه بأدب ك تقف عنده.
خابسة (53
قاؿ . في آداب الصحبة كابؼعاشرة مع ابػلق كابػالقالشيج حجة الإسلاـ الغزالي رحم الله تعاؿ: اعلم أف صاحبك الذم لا يفارقك فى حضرؾ كسفرؾ كنومك كيقظتك بل فى حياتك كموتك ىو ربك
مهما ذكرتو فهو كمولاؾ ك سيدؾ كخالقك ك جليسك،
164
semoga Allah SWT merahmatinya: Sesungguhnya temanmu yang
tidak akan pernah meninggalkanmu dalam kesendirianmu,
perjalananmu, tidurmu, terjagamu, begitupula dalam hidup dan
matimu, Dia adalah Tuhanmu sebagai walimu, pemimpinmu, dan
penciptamu. Dan ketika engkau mengingatNya, maka dia akan duduk
bersamamu.”
55) Sebagaimana firman Allah: Aku bersama orang yang mengingat-Ku.
Meski hatimu sedang bersedih disebabkan kelalaianmu dalam
kewajiban agamamu maka Dia-lah teman dan pendamping-mu.
Ketika Ia berfirman: Aku bersama orang-orang yang hancur hatinya
karena-Ku. Seandainya engkau mengenalnya (Allah SWT dengan
sebenar-benarnya ma‟rifat), maka engkau akan menjadikannya
sebagai sahabat dan meninggalkan orang di sekelilingmu. Namun
bila engkau tidak mampu melakukan hal itu di setiap waktumu, maka
engkau akan menyia-nyiakan waktumu pada siang dan malam dengan
kehampaan tanpa bermunajat dengan penuntunmu (Allah SWT).
56) Adab-adabnya (di dalam pergaulan pada sesama manusia) sebagai
إذ قاؿ الله تعالى: أنا جليس من ذكرني. كمهما (54انكسر قلبك حزنا على تقصتؾ في حق دينك
فهو صحبك كملازمك
إذا قاؿ: أنا عند منكسرة قلوبهم من أجلي. (55فلو عرفتو حق معرفتو لابزذتو صاحبا ك تركت الناس جانبا، فإف لم تقدر على ذلك في بصيع
أف بزلي ليلك ك نهارؾ عن كقت اكقاتك فإيك بزلو فيو بدولاؾ، كتلتذ معو بدناجاتك، كعند ذلك
فعليك اف تتعلم آداب الصحبة مع الله تعالى.
كآدابو إطراؽ الرأس، كبصع ابؽم، كدكاـ (56الصمت، كسكوف ابعوارح، كمبادرة الأمر كاجتناب النهي، كقلة الاعتاض على القدر، كدكاـ الذكر،
كإيثار ابغق، كاليأس من ابػلق، كملازمة الفكر،
165
berikut: tundukkan kepala, memusatkan perhatian, membiasakan
diam, meredam anggota badan, bersegera kepada kebaikan dan
menghindari kemungkaran, mengurangi keluhan terhadap taqdir,
membiasakan zikir, senantiasa menggunakan akal pikiran,
mengutamakan fokus kepada Allah, tidak berharap pada makhluk,
tunduk di bawah kemuliaan, tenang terhadap tipu daya usaha yang
pasti, dan bertawakkal atas keutamaan Allah dengan sebaik-baiknya
ikhtiar. Ini semua hendaknya menjadi semboyanmu di setiap malam
dan siangmu. Demikianlah tata cara berkawan dengan kawan yang
tidak akan pernah meninggalkanmu. Padahal seluruh makluk
meninggalkanmu pada sebagian waktumu.
57) Apabila engkau seorang alim, maka adab seorang alim ada sembilan
belas: mengedepankan toleransi, harus pengertian, duduk dengan
penuh wibawa dengan tenang sembari menganggukkan kepala,
meninggalkan sifat takabbur kepada semua orang, mengutamakan
rendah hati dalam perayaa-perayaan maupun di majelis-majelis,
meninggalkan perkara yang sia-sia, bersenda gurau, bersikap ramah
terhadap pelajar, berhati-hati terhadap kesewenang-wenangan,
كابػضوع برت ابؽيبة، كالإنكسار برت ابغياء، كالسكوف عن حيل الكسب ثقة بالضماف، كالتوكل على فضل الله تعالى معرفة بحسن الاختيار. كىذا كلو ينبغي أف يكوف شعارؾ في بصيع ليلك كنهارؾ
لا فإنها آداب الصحبة مع صاحبك الذم هم يفارقونك في بعض أكقاتك.يفارقك، كابػلق كل
كإف كنت عابؼا فآداب العالم تسعة عشر: (57الاحتماؿ، كلزكـ ابغلم كابعلوس بابؽيبة على بظت الوقار مع إطراؽ الرأس، كترؾ التكبر على بصيع العباد، كإيثار التواضع في المحافل كالمجالس، كترؾ ابؽزؿ كالدعابة كالرفق بابؼتعلم، كالتأني بابؼتعجز،
صلاح البليد بحسن الإرشاد، كترؾ ابغرد عليو، كإأدرم(، كصرؼ ابؽمة إلى )لا كترؾ الأنفة من قوؿ
السائل، كتفهم سؤالو، كقبوؿ ابغجة، كالانقياد
166
mengarahkan orang dungu dengan petunjuk yang baik, meninggalkan
kekerasan, menjaukan diri dari perkataan “saya tidak tahu”,
memberikan ruang untuk penanya, menjelaskan pertanyaan penanya,
menerima hujjah/alasan, mengarahkan kepada kebenaran dan
kembali kepadanya ketika terjadi kesalahan, mencegah murid dari
segala ilmu yang membahayakannya, menegurnya dari keinginan
menuntut ilmu yang bermanfaat selain karena Allah ta‟ala,
menghalangi murid dari menyibukkan diri dari perihal fardhu kifayah
sebelum selesai dari perihal fardhu „ain.
58) Apabila engkau seorang pelajar, maka adab seorang pelajar kepada
gurunya ialah dengan mendahulukan penghormatan dan salam.
Berkata syekh akbar Muhyiddin Ibnu 'Arabi, semoga Allah SWT
mensucikan rahasianya (pribadinya): "ketika engkau memberi salam
kepada seseorang, dengan mengucapkan assalamu alaikum, maka
yang saya maksud disini ialah seluruh hamba yang soleh yaitu hamba
Allah SWT yang berada di bumi dan di langit, maka ketika itu
dijawab/kembali kepadamu. Maka tidak satupun malaikat yang
mengawal, ruh yang suci yang tidak menjawab salam. Salam adalah
للحق بالرجوع إليو عند ابؽفوة، كمع ابؼتعلم من كل علم يضره، كزجره عن أف يريد بالعلم النافع غت
ف يشتغل بفرض كجو الله تعالى، كصد ابؼتعلم عن أ الكفاية قبل الفراغ من فرض العت.
كإف كنت متعلما فآداب ابؼتعلم مع العالم أف (58قاؿ الشيخ الأكبر بؿي يبدأ بالتحية كالسلاـ.
الدين ابن عربي قدس الله سره: أف سلمت على أحد، فقلت: السلاـ عليكم، فأقصد كل عبد
الله في الأرض كالسماكات، كىي صالح من عبدلا حينئذ يرد عليك، فلا يبقي ملك مقرب ك فإنو
كيرد عليك. كىو لا ركح مطهرة يبلغها سلامك إدعاء مستجب لك فتفلح، كمن لم يبلغو سلامك من عباد الله ابؽائمت في جلاؿ الله للمستغلت بو، فإف الله ينوب عنهم في الرد عليك ككفى بهذا شرفا
167
dua yang mustajab bagimu, maka beruntunglah kamu. Bagi yang
tidak menjawab salammu dari hamba Allah yang (haimin) yang
sedang sibuk (zikir) kepada-Nya, maka Allah menggantikan mereka
dalam menjawabmu. Dan Cukuplah dengan ini lebih mulia karena
dijawab langsung oleh Allah. Maka seandainya (semoga saja) tidak
didengar orang yang engkau salami agar Allah menggantikan setiap
balasan salam bagimu.
59) Sedikitlah berkata-kata kepadanya (guru). Dan jangan berbicara
sesuatu yang tidak ditanyakan oleh guru. Dan janganlah bertanya
sebelum meminta izin terlebih dahulu. Janganlah berkata-kata yang
bertentangan dengan pendapatnya (guru). Berkata Fulan yang
bertentangan dengan perkataanmu, janganlah memberi isyarat yang
bertentangan dengan pemikirannya sehingga ia (murid) merasa lebih
tau dari ustadznya, janganlah meminta menjadi teman ngobrol di
majlisnya, tidak menoleh kesana-sini tetapi tetap fokus dengan tata
krama sebagaimana dalam sholat, tidak terlalu lama bersamanya
ketika ia sedang letih. Ketika ia berdiri maka ikut berdiri
bersamanya, dan tidak mengikutinya dengan pertanyaan dan ucapan.
حيث يسلم عليك الرب جل كعلا، فليتو لم يسمعأحد بفن سلمت عليهم حتى ينوب الله عن الكل
في الرد عليك.
يتكلم ما لم لا كأف يقلل بت يديو الكلاـ، ك (59لا ، كلايسأؿ ما لم يستأذف أكلا يسألو أستاذه، ك
يقوؿ في معارضة قولو: قاؿ فلاف خلاؼ ما قلت، يشت عليو بخلاؼ رأيو فتل أنو أعلم لا ك
يسأؿ جليسو فيلا بالصواب من أستاذه، كيلتفت إلى ابعوانب بل بهب مطرقا لا بؾلسو، ك
يكثر عليو عند مللو. لا متأدبا كأنو في الصلاة، كيسأؿ لا كإذا قاـ قاـ لو كلم يتبعو بسؤالو ككلامو، ك
يسيء الظن لا منو في طريق إلى أف يبلغ منزلو، ك في أفعاؿ ظاىرىا منكرة عنده فهو أعلم بأسراره.
168
Tidak bertanya kepadanya ketika berada dalam perjalanan kecuali
telah sampai di rumahnya. Tidak berprasangka buruk kepada
perbuatannya yang nampak kurang baik (munkar) karena ia lebih
mengetahui rahasianya.
60) Jika engkau memiliki kedua orang tua, maka adab kepada kepada
kedua orang tua ialah mendengarkan kata-katanya, berdiri jika
mereka berdiri, melaksanakan perintahnya, tidak berjalan
mendahuluinya, tidak bersuara melebihi suaranya, menyambut
panggilannya, mengharap keridhoanya, merendahkan sayap
dihadapannya dengan hina dan tidak luput untuk selalu berbakti
padanya, tidak memanggilnya dengan berdiri, tidak memandang
mereka dengan pandangan sinis, tidak mempertentangkan wajah
dengan wajah mereka berdua dan tidak bepergian kecuali dengan
izin mereka.
61) Ketahuilah, manusia yang sesungguhnya memiliki beberapa bentuk,
apakah ia orang yang benar, atau orang yang pandai, apakah orang
yang bodoh. Ketika diuji dengan awam yang bodoh maka adab dalam
والدين أف كإف كاف لك كالداف فالأدب مع ال (61يستمع كلامهما، كيقوـ لقيامهما، كبيتثل أمربنا،
يرفع صوتو فوؽ صوتهما، لا بيشي أمامهما، كلا ككيلبي دعوتهما، كبورص علي طلب مرضيتهما،
بيتن عليهما بالبر لا كبوفض بؽما جناح الذؿ، كلا ينظر إليهما شزرا، كلا بالقياـ بأمربنا، كلا بؽما ك
لا افر إيسلا تقطب كجهك في كجوىهما، ك بإذنهما.
كاعلم الناس بعد ىؤلاء في حقك ثلاثة: إما (61أصدقاء كإما معارؼ كإما بؾاىيل فإف بليت بالعواـ المجهولت فآداب بؾالسة العامة ترؾ ابػوض في حديثهم، كقلة الإصغاء إلى أرجيفهم، كالتغافل عما بهرم في سوء ألفاظهم، كالإحتاز عن كثرة لقائهم
لتنبيو على منكراتهم باللطف كابغاجة إليهم، كا
169
majelis ialah meninggalkan kesesatan dari ucapannya. Mengurangi
untuk mendengarkan fitnahnya. Mengabaikan ucapan-ucapan
buruknya. Waspadalah dari sering bertemu dengannya dan bermohon
kepadanya. memperingati keburukan mereka dengan lemah lembut,
memberi nasehat ketika dimintai mereka.
62) Kepada saudara dan teman, terdapat dua tanggung jawab, satu
diantaranya ialah engkau mencari tahu syarat dalam berteman dan
bergaul. Janganlah berteman, kecuali dengan yang kepada yang baik
untuk ditemani. Nabi Muhammad bersabda: “Seseorang itu
tergantung pada agama temannya, maka hendaknya memperhatikan
dengan siapa dia berteman”. Maka jika kamu mencari teman untuk
menjadi rekanmu dalam belajar dan dalam perkara agama serta
perkara dunia.
63) Penyelesaian, sifat dunia dan keburukannya. Berkata Qotbul Gaus
Syekh Abu Bakar bin Salim, semoga Allah yang maha kuasa
mensucikan ruhnya: “kepadamu wahai saudaraku, harus
meninggalkan dunia secara zahir dan batin, karena itu merupakan
كالنصح عند رجاء القبوؿ منهم.
كأما الإخوة كالأصدقاء فعليك كظيفتاف: (62أحدبنا أف تطلب أكلا شركط الصحبة كالصداقة، فلا تواخي إلا من يصلح للأخوة. قاؿ صلى الله عليو كسلم: ابؼرء على الدين خليلو فلينظر إحدكم
شريكك في من بىالل، فإذا طلبت رفيقا ليكوف .التعلم كصاحبك في أمر دينك
تتمة (63
في صفة الدنيا كذمها
قاؿ القطب الغوث الشيخ أبو بكر بن سالم قدس الله ركحو العزيز: )كعليك يا أخي بتؾ الدنيا ظاىرا كباطنا، فإنها رأس كل خطيئة. كأخرجها من
170
pangkal dari semua keburukan. Keluarkanlah ia (cinta dunia) dari
dalam hatimu, karena mencintainya (dunia) dan mencintai Allah
SWT, tidak akan dapat bersatu di dalam hati. Laksana tidak dapat
bersatunya air dan api di dalam satu wadah. Mencarinya (dunia)
merupakan kehinaan di sisi Allah SWT dan makhluknya.
Sesungguhnya ia (dunia) adalah tempat yang menipu dan
memperdaya. Kesusahan senantiasa meliputi orang yang mencintai
sesuatu, maka bebaskan hatimu dengan tidak mencintainya, karena
sesungguhnya zuhud di dunia akan menenangkan hati dan badan.
64) Berkata wanita arab kepada suaminya, ketika melihatnya sedang
sibuk: “Apabila engkau mementingkan kebahagiaan dunia, maka
sesungguhnya engkau akan meninggalkannya. Namun bila engkau
mementingkan kebahagian akhirat, maka Allah SWT akan
menambahkannya dunia dan akhirat untukmu.”
65) Berkata penghulu orang-orang terdahulu dan terakhir Muhammad
SAW: “Dunia merupakan tempat bagi orang yang tidak memiliki
tempat, dan dikumpulkannya (kesenangan dunia) oleh orang yang
بهتمعاف في قلب لا قلبك، فإف حبها كحب الله اء ك النار في إناء كاحد، بهتمعاف ابؼلا كاحد، كما
كطالبها ذليل عند الله ذليل عند ابػلق، فإنها دار ابؼكر كابػداع، كابؽموـ متعلقة بدن أحبها فأرح قلبك بتكها، فإف الزىد في الدنيا يريح القلب
كالبدف.
قالت الأعربية لزكجها بؼا رأيتو مهموما: أف (64بنك بالدنيا قد فرغ منها، كإنك بنك بالأخرة
ادؾ الله بنا بها.فز
قاؿ سيد الأكلت كالآخرين بؿمد صلى الله (65دار لو كبهتمعها من لا عليو كسلم: الدنيا دار بؼن
عقل لو.لا
كالدنيا عدكة الله كعدكة أكليائو، كلو سويت (66
171
tidak memiliki akal.”
66) Dunia adalah musuh Allah dan musuh para walinya. Seandainya Dia
(Allah) tidak menyamakannya (nilainya) dengan sayap seekor
nyamuk, maka Dia (Allah) tidak akan memberi minum orang yang
kafir. Lalu bagaimana mungkin engkau dapat tinggal di dalamnya
pada siang dan malam hari wahai orang yang terpedaya. Jadilah
seperti sebuah ungkapan: “berpuasalah dari dunia dan berbukalah
dengan akhirat.”
67) Dalam sebuah syair diungkapkan: “Bangkitlah wahai orang yang
terpedaya, tinggalkanlah reruntuhannya (dunia) karena ia adalah
tempat yang sementara, tidak kekal untuk dinikmati. Mencarinya
(kesenangan dunia), sebuah hal yang berbau busuk dari penciuman,
sehingga Allah meridhoiku bila kumeninggalkannya.”
68) Berkata sebagian orang: Walaupun dunia terbuat dari emas akan
lenyap, dan akhirat terbuat dari keramik (tembikar) akan kekal. Maka
sebaiknya kita memilih keramik (tembikar) yang kekal dari pada
emas. Namun bagaimana sebaliknya, seandainya dunia terbuat dari
عند الله جناح بعوضة ما سقى كافرا منها شربة ماء، ككيف أنت معتكف عليها نهارؾ كليلك يا
يل: صم الدنيا كاجعل فطرؾ مغركر، ككن كما ق الآخرة.
تيقظ يا مغركر، كاترؾ حطامها فهي " :شعره (67يبقي لنعيمها، كطالبها في نتنها أف لا دار فاف،
."يشمها، ككفقت ربي على ترؾ كلها
كقاؿ بعضهم: لو كانت الدنيا من ذىب يفت (68كالآخرة من خزؼ يبقي لكاف لنا أف بلتار خزفا
كيف كالأمر بالعكس يبقى على ذىب، ككفقت ف الدنيا خزفا يفت كالآخرة ذىبا يبقى.
كاعلم أف ىذا الدار بؿلا للأكدار، فلا (69ندرؾ لا تستغرب فيها الأكدار، كالراحة فيها نادرة
172
keramik (tembikar) yang tidak kekal dan akhirat terbuat dari emas
yang kekal.
69) Ketahuilah, sesungguhnya tempat ini (dunia) adalah tempat yang
keruh, maka janganlah engkau tenggelam di dalam kekeruhannya,
Beristirahat di dalamnya (dunia) sesuatu yang langka, engkau tidak
mendapati kelangkaan itu kecuali berupa kenikmatan, ketenangan,
dan gembiraan sementara.
70) Berkata Rasulullah sallalâhu alaihi wa sallam: “dunia adalah
penjara bagi mukmin dan surga bagi orang kafir.” Hadits ini
diperuntukkan bagi semua orang beriman. Adapun ungkapan
"penjara bagi orang beriman" terdiri dari tiga penjelasan yaitu:
71) Pertama, sesungguhnya di dalamnya (dunia) terdapat kelelahan dan
memperdaya, hingga engkau tidak menemukan waktu untuk
beristirahat. Kedua, seorang penguasa jika murka pada orang lain
maka ia akan memenjararakannya. Ketiga, sesungguhnya dunia dan
seisinya, tidak sebanding dengan luasnya pemberian Allah kepada
hambaNya yang beriman di dunia, karena itu disebut sebagai penjara
إلا لأجل الذكؽ كالصفا كالأسرار.
قاؿ صل الله عليو كسلم: الدنيا سجن ابؼؤمن (71كجنة الكافر. كىذا ابغديث يطلق على كل مؤمن،
لو )سجن ابؼؤمن( يعت من ثلاثة أكجو:قو
لا أف فيها التعب كالنصب بحيث -أحدىا (71أف ملوؾ الدنيا إذا -الثانى توجد فيها الراحة؛
الثالث بالسجن؛لا غضبوا على أحد لم يعاقبوه إتسع شيئا من عطايا الله لا أف الدنيا بصيعها -
لعبده ابؼؤمن فيها، فسماىا سجنا لضيقها عليو. تستغرب فيها.لا كابؽموـ كالأحزاف الأكدار
كأركاح الإنساف في الدنيا سجوف بأجسادىا، (72مشتاقة إلى الله في كل كقت كإلى أكطانها، بؽا أنت كحنت كلكن عليها حجب. كمن أنقذ الله بصتتو
173
karena sempitnya. Maka kekeruhan, kekacauan dan kesedihan hati,
janganlah engkau larut didalamnya.
72) Roh para manusia di dunia, terpenjara dengan jasadnya, merindukan
Allah dan kampungnya setiap waktu. Ia memiliki dua mata untuk
memandang tetapi terhalang oleh hijab. Barangsiapa yang
dibebaskan oleh Allah pandangannya, maka terbakar hijabanya. Dan
Allah memuliakannya dengan kemuliaan-kemuliaan disisinya. Lalu
Allah memberinya rezki dengan berzikir, sehingga ia (hamba) merasa
nikmat. Bertambah rindunya kepada taman yang berseri-seri dan
juga taman-taman surga. Begitulah perumpamaan ruh orang yang
beriman.
73) Ketauhilah, sesungguhnya keadaan ruh terbagi atas lima bentuk: ruh
para Nabi, ruh para Syuhada, ruh orang-orang yang taat dari para
mukmin, ruh para pelaku maksiat dari mukmin, dan ruh orang-orang
kafir.
74) Adapun ruh para Nabi, ketika keluar dari jasadnya (meninggal
dunia), ia menyerupai minyak wangi dan kapur harum, ia berada di
خرؽ ابغجب كأمده الله بالإمداد من حضرتو، كجعلو يتغدل بذكره كيتنعم بو كيزداد شوقا إلى
نس كرياض ابعنة. كابؼراد بو أركاح رياض الأ ابؼؤمنت.
كاعلم أف الأركاح على بطسة اقساـ: اركاح (73الأنبياء كاركاح الشهداء كأركاح ابؼطيعت من ابؼؤمنت
كاركاح العصاة من ابؼؤمنت كاركاح الكفار.
فأما أركاح الأنبياء فتخرج من اجسادىا كتصت (74في ابعنة على صورتها مثل ابؼسك كالكافور، كتكوف
تأكل كتتنعم كتأكل باليل إلى قناديل معلقة برت العرش.
كأما أركاح الشهداء في اجواؼ طيور قصر (75تدكر بها في أنهار ابعنة كتأكل من بشارىا كتشرب
174
surga yang penuh kenikmatan. Pada malam harinya, ia berlindung
pada lampu yang berada di bawah „Arsyi.‟
75) Adapun arwah para syuhada berada dalam perut burung kecil,
berkeliling pada sungai yang berada di surga dan makan dari buah-
buahannya serta meminum airnya, kemudian berlindung pada lampu
emas yang bergantung pada naungan „arsyi.
76) Adapun arwah orang-orang yang taat dari para mukmin, mereka
berada pada taman-taman surga. Mereka tidak makan dan tidak pula
menikmati, tetapi hanya melihat surga saja.
77) Ruh orang yang bermaksiat dari para mukmin, mereka berada
diantara langit dan bumi terletak di angkasa. Adapun ruh orang yang
kafir, berada didalam perut burung hitam yang terpenjara di bawah
lapisan bumi yang ketujuh. Ruh tersebut disertai dengan jasadnya,
tersiksa ruhnya maka akan terasa pula jasadnya. begitupula ruh
orang yang beriman, berada di tempat yang tinggi dengan penuh
kenikmatan dan akan terasa pula pada jasadnya. Sebagaimana sabda
Rasul SAW: "jasadnya di kubur dan ruhnya di tempat yang tinggi nan
من ماء فيها، كتأكل إلى قناديل ذىب معلقة في ظل العرش.
كأما أركاح ابؼطيعت من ابؼؤمنت فهي في رياض (76تتنعم لكن تنظر في ابعنة لا كتأكل لا ابعنة،
فقط.كأركاح العصاة من ابؼؤمنت فبت السماء كالأرض في ابؽول.
كأما أركاح الكافر ففي أجواؼ طيور سود في (77سجت، كسجت برت الأرض السابعة، كىي متصلة بأجسادىا، فتعذب أركاحها فيتألم بذلك ابعسد، كما أف أركاح ابؼؤمنت في عليت متنعمة
سد، لقولو صل الله عليو كسلم: ابعسد متصل بابع في القبر كالركح في عليت.
أحيانا الله بإسلاـ كالإبياف كأمتنا بكلمة (78
175
mulia.
78) Semoga Allah menghidupkan kita dalam keadaan Islam dan iman,
kita dimatikan dalam kalimat ikhlas dan ihsan, dan menjadikan kita
sebagai orang yang sukses berdzikir di setiap kesempatan, baik yang
tersembunyi maupun yang nampak, dan dengan segala kemuliaan
junjungan kita, Nabi besar Muhammad SAW yang terlahir dalam
segala keagungannya.
79) Berkat petunjuk Allah yang Maha Mulia, tamatlah tulisan ini pada
hari selasa bulan rabi'ul awal tahun 1250 H. Hari ini merupakan
bulan yang penuh berkah sebagaimana bulan hijrahnya Nabi dan
para sahabatnya. Teriring salawat dan salam kepadanya. Kuberikan
judul pada tulisan ini, “Dliyâ al-Anwâr fi Tasfiat al-Akdâr.” Seraya
berharap kepada Allah, semoga menjadikannya (para sahabat)
sebagai orang yang ikhlas disisi-Nya, serta memasukkan kedalam
surga yang penuh kenikmatan. Tiada daya dan upaya, kecuali atas
izin Allah yang maha tinggi lagi mulia. Semoga Allah merahmati
orang-orang yang telah mempersatukan mukmin yang berselisih.
الإخلاص كالإحساف، كجعلنا بفن ظفر بذكره في الأسرار كالأعلاف، بجاه سيدنا بؿمد صلى الله عليو
كسلم أفضل كلد عدناف.
كبست ىذه النبذة بتوفيق ابؼولى يوـ الثلاث في (79شهر ربيع الأكؿ ابؼباركة في ىجرة النبوية على صاحبها أفضل الصلاة كالسلاـ ألف كمائتاف
ضياء الأنوار في "كاثناف كبطسوف سنة. كبظيتها ، أرجو الله أف بهعلها خالصا "تصفية الأكدار
لا حوؿ كلا لوجهو الكرن كفوزا بجنات النعيم. كل خلاؿ بالله العلي العظيم. رحم الله بؼن رألا قوة إ
فأصلحها ابؼؤمن مثل البنياف يشد بعضهم بعضا.
كصلى الله على خت خلقو بؿمد كآلو كصحبو (08كأىل بيتو كذرياتو كسلم تسليما كثتا. كابغمد لله
176
Persatuan mukmin seperti bangunan yang saling memperkuat satu
sama lain.
80) Salawat dari Allah kepada ciptaan terbaiknya Muhammad, dan atas
keluarganya, dan keturunannya, dan salam keselamatan yang
banyak, dan segala puji bagi Allah, Tuhan yang memelihara alam.
Amin.
رب العابؼت. أمت.