naskah publikasi hubungan antara pola asuh otoriter dengan · hubungan antara pola asuh otoriter...
TRANSCRIPT
2
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH OTORITER DENGAN
PERILAKU BULLYING PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH
Oleh :
RIKA LESTARI TRI UTAMI
RINA MULYATI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2009
3
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH OTORITER DENGAN PERILAKU
BULLYING PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH
Telah Disetujui Pada Tanggal
________________________
Dosen Pembimbing Utama
(Rina Mulyati, S.Psi.,M.Si )
4
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH OTORITER DENGAN PERILAKU
BULLYING PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH
Rika Lestari Tri Utami Rina Mulyati
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh otoriter dengan perilaku bullying pada siswa sekolah menengah. Hipotesisnya, ada hubungan antara pola asuh orangtua otoriter dengan perilaku bullying pada siswa sekolah menengah. Semakin tinggi pola asuh otoriter semakin tinggi perilaku bullying. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kejuruan tingkat menengah keatas, kelas 2 dan 3, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, tinggal bersama orangtua, berdomisili di yogyakarta, terdiri dari 85 siswa. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket yang terdiri dari skala pola asuh otoriter dengan 43 aitem, rancangan penulis berdasarkan konsep Baumbrind (Garcia,2007), dan skala perilaku bullying dengan 43 aitem, rancangan penulis berdasarkan konsep Rigby (Riauskina dkk, 2005). Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik product moment. Sebelum dilakukan uji hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang mencakup uji normalitas dan uji linearitas. Korelasi product moment dari Pearson menunjukkan korelasi r sebesar 0,245, dengan p = 0,012 (p<0,01) pada uji korelasi satu ekor. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pola asuh otoriter maka semakin tinggi perilaku bullying ada keterkaitan dimana pola asuh otoriter rendah maka semakin rendah perilaku bullying. Kata kunci : Pola Asuh Otoriter, Perilaku Bullying
5
Pengantar
Permasalahan remaja dalam dunia pendidikan seringkali muncul, baik pihak
akademisi maupun orangtua dituntut untuk lebih bekerjasama dalam hal ini.
Pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan
pemerintah. Keluarga khususnya orangtua memegang peranan penting dalam
membentuk sikap dan perilaku anak. Berbagai permasalahan dapat mempengaruhi
minat anak untuk mengikuti kegiatan belajar di sekolah. Sejalan dengan itu, Astuti,
(2008) menyebutkan bahwa penekanan dari sekelompok individu yang lebih kuat,
lebih senior, lebih besar, terhadap individu atau bisa juga beberapa individu yang
lebih lemah, lebih kecil, lebih junior, dapat berujung pada pemerasan (meminta
uang atau materi), tetapi dapat juga dalam bentuk lain dengan menyuruh korban
melakukan sesuatu yang sama sekali tidak disukai oleh korban, penekanan tersebut
tidak terjadi sekali atau dua kali tetapi berkelanjutan bahkan diturunkan dari satu
generasi ke generasi berikutnya, sehingga menjadi semacam kebiasaan atau bahkan
kebudayaan dari kelompok. Perilaku penekanan tersebut diatas biasanya disebut
dengan istilah bullying atau penindasan yang dilakukan oleh teman–teman
sebayanya (peer group).
Perilaku bullying kurang begitu diperhatikan, karena dianggap tidak memiliki
pengaruh yang besar pada siswa. Penelitian SEJIWA (2007) menyebutkan bahwa
sebagian kecil guru menganggap bullying merupakan perilaku normal. Sekitar
27,5% dari guru yang disurvei menganggap bahwa bullying tidak mengganggu
keadaan psikologis siswa. Hal tersebut tidak bisa dianggap normal karena siswa
tidak dapat belajar apabila siswa berada dalam keadaan tertekan, terancam dan ada
6
yang menindasnya setiap hari sehingga perilaku bullying tidak bisa dianggap
normal atau biasa (Netto, 2007).
Bullying terjadi mulai dari kalangan pendidikan pra-sekolah hingga
perkuliahan. Perilaku bullying diantaranya adalah labeling (memberikan julukan
terhadap temannya), pemukulan terhadap teman, dan juga pemerasan baik materiil
maupun non-materil. Perilaku ini paling sering terjadi pada masa–masa sekolah
menengah keatas (SMA), dikarenakan pada masa ini remaja memiliki
egosentrisme yang tinggi (Edwards, 2006).
Sebuah survei yang dilakukan oleh Ratna Juwita psikolog UI pada tahun 2005
dari tiga kota yaitu Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta mengenai gambaran
bullying di sekolah, ditemukan kasus bullying 70,65 persen SMP dan SMA di
Yogyakarta, akan tetapi belum diketahui sebap tingginya persentase bullying
tersebut. Ditemukan sekolah di Yogyakarta yang tingkat bullyingnya rendah,
sesuai dengan hasil survei disebutkan bahwa sekolah tersebut berada di daerah
pinggiran kota Yogyakarta (Riauskina dkk, 2005).
Perilaku bullying mungkin terjadi karena proses modeling dari pola asuh
dimasa kecil atau dari media cetak maupun elektronik yang seringkali
menayangkan contoh-contoh kekerasan. Norma atau nilai memiliki peran penting
dalam mencegah terjadinya bullying sekaligus kenakalan remaja pada umumnya.
Terutama pada nilai-nilai agama, terkait pula dengan keimanan dan pembentukan
akhlak. Sekelompok siswa yang memiliki afiliasi terhadap nilai agama yang cukup
kuat akan mengarahkan potensinya kepada hal-hal positif, dan lebih prestatif dalam
akademis (Ghuraba, 2008).
7
Hurlock (1993) menyebutkan korban dari intimidasi ialah sekelompok target
yang menjadi reaksi berulang dalam konteks dimana ia memiliki kekuatan dan
kebanggaan yang kurang dibandingkan orang–orang yang melakukan agresi
terhadapnya. Korban bullying bukan yang paling kecil atau yang paling lemah
tetapi sering kali korban tidak dapat membela diri ataupun menghentikan
perlakuan intimidasi temannya, sehingga selalu menjadi korban dari intimidasi.
Rice dan Dolgin (2008) manambahkan bahwa bullying merupakan perilaku yang
dipicu perilaku agresif dengan kecenderungan menyakiti orang lain yang biasanya
berulang lagi dan lagi, dan berpangkal dari perbedaan yang dapat dilihat diantara
pelaku bullying dengan korbannya.
Sama halnya dengan pendapat Papalia et al (2004) bahwa bullying adalah
perilaku agresif yang disengaja dan dilakukan berulang untuk menyerang target
atau korban, yang secara khusus korban adalah orang yang lemah, mudah diejek
dan tidak bisa membela diri.
Berns (2004) menyebutkan bahwa bullying yaitu perbuatan negatif yang biasa
dilakukan oleh satu atau bahkan beberapa siswa seperti mengancam, mengganggu,
memanggil dengan istilah, wajah atau bahasa tubuh yang menandakan tidak suka
atau mengejek, memukul, menendang, mencubit, dan penganiayaan fisik lainnya
yang korbannya senantiasa mendapat perlakuan yang dapat dilihat dan diulang
dalam waktu yang lama.
Sejalan dengan pendapat diatas, Riauskina dkk (2005) mengemukakan bahwa
peristiwa penindasan di lingkungan sekolah (school bullying) yaitu perilaku agresif
yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang atau sekelompok siswa yang berkuasa
8
terhadap siswa-siswi lain yang lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut.
Korban dari bullying menyebutkan memiliki persepsi bahwa pelaku melakukan
bullying lebih karena tradisi, yaitu balas dendam karena pernah mendapat
perlakuan sama (menurut korban laki-laki), sedangkan menurut korban perempuan
yaitu ingin menunjukkan bahwa dia memiliki kekuasaan, marah pada korban yang
tidak berperilaku sesuai yang pelaku harapkan, mendapat kepuasan setelah
membullying korbannya, serta iri hati. Korban juga mempersepsikan dirinya
dijadikan korban perploncoan karena berpenampilan mencolok, perilakunya tidak
sesuai, dianggap berperilaku tidak sopan, dan sudah menjadi tradisi.
School bullying disebabkan karena adanya ketidakseimbangan kekuasaan
dimana para pelaku memiliki kekuasaan yang lebih besar sehingga korban merasa
tidak berdaya untuk melawan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dampak
perilaku bullying terhadap korbannya yaitu korban cenderung mengalami berbagai
macam gangguan yang meliputi kesejahteraan psikologis yang rendah (low
psychological well-being), penyesuaian sosial yang buruk yang mengakibatkan
korban terlihat seperti membenci lingkungan sosialnya, merasa enggan untuk
berangkat ke sekolah, sering merasa kesepian, sering bolos sekolah, gangguan
psikologis, dan kesehatan memburuk. Sejalan dengan itu, Riauskina, dkk (2005)
memandang bahwa apabila ditinjau lebih jauh korban bullying dapat mengalami
gangguan psikologis seperti rasa cemas yang berlebihan, selalu merasa takut,
depresi, ingin bunuh diri, dan gejala-gejala gangguan stress pasca-trauma (post-
traumatic stress disorder). Selain dampak negatif dari segi psikologis ada juga dari
segi fisik seperti sakit kepala, sakit tenggorokan, flu, bibir pecah-pecah, dan sakit
9
dada. Sedangkan bagi para korban bullying yang langsung mengalami perilaku
agresif juga dapat mengalami luka-luka fisik.
Salah satu contoh gambaran dari banyaknya peristiwa bullying di sekolah
sesuai penelitian Juwita (2005) pelaku bullying dipicu antara lain pola asuh orang
tua yang otoriter, tradisi yang berlaku di sekolah, tayangan televisi yang
menyuguhkan adegan kekerasan. Bullying memberikan dampak buruk bagi korban.
Survei yang dilakukan di SMAN 103 Jakarta menunjukkan korban bullying
mengalami trauma, malas berangkat ke sekolah dan menerima pelajaran, siswa
sulit berkonsentrasi dalam belajar yang akhirnya menghambat aktualisasi diri
(tidak mampu mengembangkan potensi diri) dan siswa menjadi sulit
berkonsentrasi serta dapat menjadi pribadi yang tidak percaya diri, prestasi
akademik menurun karena sulit berpikiran jernih, dan masih banyak hal buruk
yang dapat ditimbulkan karena perilaku bullying (Komalasari, 2008).
Sejiwa (2008) menyimpulkan bahwa bullying yaitu sebuah situasi dimana
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan/kekuatan yang dilakukan oleh
seseorang/sekelompok yang kuat sebagai pelaku dan yang lemah sebagai korban
dengan melakukan tindakan berulang sehingga mengakibatkan korban merasa
terintimidasi.
Karakteristik pelaku bullying juga disebutkan memiliki keinginan menguasai,
kebutuhan untuk merasa kuat dan superior, senatiasa ingin selalu lebih kuat dari
teman sebayanya, cenderung impulsive, mudah marah, dan frustasi. Selebihnya
mereka menentang, melawan, agresif, tidak mudah terkejut, cenderung tidak
memiliki rasa empati, dan menarik diri dari lingkungan sosial. Karaktersitik bagi
10
korbannya memiliki fisik yang lemah dibanding teman sebayanya, mereka
memiliki kondisi fisik yang kurang dan cenderung mendapatkan perlakuan tidak
adil, disakiti bahkan menyakiti diri sendiri. Mereka lebih berhati-hati, pemalu,
mudah tersinggung, pendiam, tidak semangat, merasa cemas, tidak aman, dan tidak
senang. Tidak terkejut dengan perlakuan yang diberikan bahkan memiliki konsep
diri yang negatif dan kesulitan dalam menghargai diri.
Uraian diatas mencoba menjelaskan bahwa bullying berdampak buruk pada
pelaku dan juga korban, pelaku bullying lebih mungkin untuk jatuh pada bias
atribusional hostile dari pada korban. Mereka menyerang orang lain secara
berulang karena orang tersebut dipersepsikan berpotensi untuk menjadi berbahaya.
Karakteristik dapat dibedakan meskipun mereka memainkan kedua peran baik
pelaku maupun korban. Individu yang menjadi pelaku lebih rendah dalam self
esteem dan juga belief bahwa mereka dapat mengontrol diri mereka sendiri, dan
lebih tinggi dalam hal Machiavellianism yaitu suatu kecenderungan untuk
melakukan pendekatan yang kasar dan manipulatif dalam berhubungan dengan
orang lain.
Adapun cara untuk menanggulangi terjadinya bullying yaitu murid-murid
dilatih untuk mengintervensi (melakukan pendekatan) daripada hanya berdiam diri
saat intimidasi terjadi. Murid perempuan lebih mampu untuk mengintervensi
daripada murid laki-laki, yang cenderung untuk mempersepsikan intimidasi
sebagai bagian dari menjadi maskulin.
Idealnya Guru harus berperan dalam meminimalisir terjadinya bullying yaitu
dengan memahami bahwa pelaku bullying memiliki self esteem yang rendah, guru
11
dapat mengambil langkah untuk meningkatkan perasaan self-worth (peraya diri)
siswa yang dapat menjadi langkah awal yang berguna untuk mengurangi
intimidasi. Orangtua dan juga psikolog sangat berperan dalam penanggulangan
bullying.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa usaha untuk memenuhi
tugas perkembangan, individu memerlukan kemampuan penyesuaian diri sebagai
modal menuju kedewasaan dalam bersosialisasi dan mengatasi konflik yang
terjadi. Kemampuan penyesuaian yang baik tidak dapat dimiliki individu tanpa
bantuan orang lain. Terutama lingkungan sekitarnya yaitu orangtua sebagai
pembimbing dan peletak dasar yang mempunyai pengaruh kuat dalam keluarga,
juga pada sikap dan perilaku seseorang.
Sikap orangtua dalam berhubungan dengan anak dapat dilihat dari berbagai
segi antara lain cara yang diberikan orangtua untuk mendidik anak menjadi
disiplin, mengajari anak untuk berhubungan dan berkomunikasi yang baik dengan
orangtua, maupun cara orangtua dalam menempatkan diri sebagai orang yang
mempunyai kekuasaan dalam keluarga khususnya dalam mengasuh anak.
Pola asuh yang diterapkan oleh orangtua kepada anak memberikan dampak
yang berbeda-beda misalnya pola asuh yang serba membolehkan menurut Hurlock,
(1984) bahwa anak akan merasa tidak aman dan juga bingung. Hal ini disebabkan
kurangnya pengalaman yang diberikan orangtua kepada anak, yaitu dalam hal
membuat keputusan dalam bertingkah laku yang dapat diterima oleh masyarakat.
Pola asuh disiplin otoriter juga memberikan dampak lain bagi anak yaitu anak
menjadi pendiam dan penurut. Mereka juga sering menyimpan sakit hati atas
12
perlakuan orangtua tersebut sehingga mengakibatkan anak menjadi tidak bahagia,
tidak aman dan percaya diri kurang. Keberhasilan mendidik anak akan
mendapatkan anak dengan pribadi yang sehat, memiliki penyesuaian diri yang
baik, sehingga mampu mengatasi persoalan-persoalan.
Menurut para ahli Gunarsa dan Gunarsa, 1995; Helm dan Turner, 1995;
Papalia, Olds dan Feldman, 1998 (Dariyo, 2004) mengemukakan bahwa pola asuh
dari orangtua sangat mempengaruhi kepribadian dan perilaku anak. Pola asuh
otoriter (parent oriented) menekankan segala aturan orangtua harus ditaati oleh
anak. Apa yang diperintahkan orangtua harus dikerjakan dan tidak boleh dibantah.
Anak seolah-olah menjadi “robot”, sehingga anak menjadi kurang inisiatif, merasa
takut, tidak percaya diri, pencemas, rendah diri, minder dalam pergaulan. Disisi
lain anak bisa memberontak, nakal, atau bahkan melarikan diri dari kenyataan.
Segi positif dari diterapkannya pola asuh otoriter yaitu anak akan cenderung
menjadi disiplin dengan selalu mentaati peraturan. Akan tetapi anak hanya mau
menunjukkan kedisiplinan dihadapan orangtua, padahal didalam hatinya berbicara
lain, sehingga ketika dibelakang orang tua, anak bersikap dan bertindak lain. Hal
itu tujuannya semata hanya untuk menyenangkan hati orangtua. Jadi anak
cenderung memiliki kepatuhan dan kedisiplinan yang semu.
Kenakalan remaja seringkali terjadi di kota-kota besar, kebanyakan mereka
berasal dari lingkungan keluarga yang kurang memperoleh perhatian dan kasih
sayang dari orangtua. Bisa jadi kedua orangtua sibuk dengan pekerjaan, kedua
orangtua yang sering bertengkar, pisah ranjang dan sampai bercerai (divorce of
parent). Usaha anak untuk memperoleh pengakuan, penerimaan, dan perhatian dari
13
orang lain, maka seringkali remaja salah dalam melakukan tindakan-tindakan,
seperti tindak kekerasan, pembunuhan, penganiayaan, pencurian, penipuan,
pemerasan (pemalakan), penyalahgunaan obat (drug/alchohol abuse),
kriminalitas, penodongan/perampokan, perusakan bis kota dengan melempari kaca-
kacanya menurut Sudarsono (Dariyo, 2004).
Penuturan salah seorang siswi dengan inisial Z menyebutkan bahwa siswi
tersebut merasa kesal dan kadang tidak terima apabila diejek teman sebayanya.
Siswi selaku korban intimidasi cenderung tidak melawan, diam, membiarkan
dirinya diejek karena menurut korban apabila melawan akan terus diejek oleh
pelaku. Korban lebih cenderung pasrah dan diam saat diganggu karena menurutnya
kalau ditanggapi akan terus berkelanjutan. Korban juga sangat terganggu disaat
mengerjakan tugas ataupun disaat mencatat pelajaran di kelas, kesulitan
berkonsentrasi, tugas ataupun catatan terbengkalai. Karakteristik pelaku yang
sering mangganggu korban yaitu cerewet, usil, jail, dan suka memaksa. Pelaku
meminta sesuatu baik barang ataupun uang dengan memaksa, seandainya korban
sedang tidak ada uang akan dibilang pelit sehingga membuat korban merasa kesal
pada pelaku bullying tersebut.
Uraian diatas memberikan gambaran teoritis mengenai pentingnya dunia
pendidikan untuk lebih memperhatikan dampak dari perilaku bullying pada siswa
didiknya. Mencari tahu lebih lanjut faktor pemicu munculnya perilaku bullying dan
juga penanggulangan yang dapat dilakukan. Beberapa artikel yang penulis
temukan bahwa pelaku bullying dipengaruhi oleh pola asuh orangtua, akan tetapi
pola asuh yang lebih tinggi menjadi pemicu munculnya perilaku bullying pada
14
anak yaitu pola asuh otoriter, karena pada faktor dan juga aspek dari pola asuh
otoriter lebih menjelaskan bahwa pola asuh otoriter lebih mempengaruhi pada
pembentukan perilaku anak menjadi bullying. Baumbrid (Garcia, 2007)
mendefinisikan pola asuh otoriter adalah suatu cara pengasuhan orangtua yang
tidak seimbang lebih tinggi dalam hal demandingness (tuntutan/ kontrol) dan
rendah dalam hal responsiveness (tanggapan/ respon). Dampak dengan tidak
seimbangnya kedua aspek tersebut yaitu hubungan orangtua dengan anak tidak
harmonis, anak cenderung memiliki disiplin yang semu yaitu anak akan mematuhi
orangtua hanya saat didekat orangtua. Alangkah baiknya para orangtua untuk lebih
memperhatikan pola asuh untuk anak-anak mereka. Maka permasalahan yang
dapat dikaji dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah secara empiris
ada hubungan antara pola asuh orangtua otoriter dengan perilaku bullying pada
siswa sekolah menengah.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang diterapkan dalam penelitian ini yaitu dengan
menggunakan metode skala untuk mengungkap perilaku bullying dan pola asuh
otoriter.
1. Skala Perilaku Bullying
Skala perilaku bullying yang digunakan dalam penelitian ini merupakan skala
yang dirancang sendiri oleh penulis berdasarkan teori Rigby (Riauskina dkk,
2005). Aitemnya disusun berdasarkan karakteristik 4 kategori pengelompokan
perilaku bullying yang terdiri dari kontak fisik langsung, kontak verbal langsung,
perilaku non-verbal langsung, dan perilaku non-verbal tidak langsung,.
15
Skala perilaku bullying ini bersifat favourable yaitu butir skala yang sesuai
dengan variabel. Skala perilaku bullying mempunyai pilihan jawaban yaitu: Tidak
Pernah (TP), Sering (S), Kadang-kadang (K), Jarang (J), dan Sangat Sering (SS).
Skor dalam setiap aitem berkisar dari 5 sampai dengan 1, tersusun atas 60 aitem.
Adapun pendistribusian aitemnya dapat dilihat dari tabel 1.
Ketentuan pemberian skor diberikan adalah skor 5 diberikan untuk pilihan
jawaban Sangat Sering (SS), skor 4 untuk jawaban Sering (S), skor 3 untuk
jawaban Kadang-kadang (K), skor 2 untuk jawaban Jarang (J), dan skor 1 untuk
jawaban Tidak Pernah (TP).
2. Skala Pola asuh Otoriter
Skala pola asuh otoriter yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
skala yang dirancang sendiri oleh penulis berdasarkan konsep pola asuh otoriter
menurut Baumbrid (Garcia, 2007). Skala pola asuh otoriter disusun berdasarkan
metode skala Likert yang terdiri dari pernyataan favourable, dengan melakukan
modifikasi terhadap alternatif jawaban menjadi lima kategori pilihan jawaban yaitu
TP (Tidak Pernah), S (Sering), K (Kadang-kadang), J (Jarang), SS (Sangat Sering)
dengan pemberian skor dari 5 sampai 1, tersusun atas 60 aitem. Adapun
pendistribusian aitemnya dapat dilihat dari tabel 2.
Ketentuan pemberian skor diberikan adalah skor 5 diberikan untuk pilihan
jawaban Sangat Sering (SS), skor 4 untuk jawaban Sering (S), skor 3 untuk
jawaban Kadang-kadang (K), skor 2 untuk jawaban Jarang (J), dan skor 1 untuk
jawaban Tidak Pernah (TP).
16
Metode Analisis Data
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan
teknik product moment. Sebelum dilakukan uji hipotesis terlebih dahulu dilakukan
uji asumsi yang mencakup uji normalitas dan uji linearitas. Proses analisis data
menggunakan program SPSS for windows 12.0.
Hasil Penelitian
1. Uji Asumsi
a. Uji Normalitas
Uji asumsi normalitas dilakukan untuk melihat apakah sebaran skor subjek
bervariasai secara normal. Sebaran yang normal menggambarkan bahwa data yang
diperoleh telah mewakili keseluruhan data. Uji normalitas ini menggunakan one
sample kolmogorov-smirnov test, dan hasil yang didapat setelah pengolahan
menunjukkan bahwa signifikansi kedua variable penelitian yakni lebih dari 0,05
atau p > 0,05. Signifikansi variabel Pola asuh otoriter adalah 0,593 dan perilaku
bullying adalah 0,150. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa kedua variabel
tersebut memiliki sebaran normal.
b. Uji Linearitas
Uji asumsi linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah kedua variabel
penelitian memiliki hubungan yang linier. Hal ini dilakukan untuk menentukan
taraf hubungan antara keduanya secara tepat. Hasil uji asumsi menunjukkan F
linearity sebesar 7,501 dengan signifikansi p = 0,010 (p < 0,05). Hal ini berarti
hubungan antara variabel Pola asuh otoriter dengan perilaku bullying memenuhi
asumsi linearitas.
17
2. Uji Hipotesis
Data penelitian telah memenuhi asumsi normalitas dan linearitas,
karenanya hipotesis penelitian akan diuji menggunakan teknik korelasi product
moment pearson. Hasil analisa menunjukkan koefisien korelasi rxy sebesar 0,245
dengan p = 0, 012 (<0,01) pada uji korelasi satu ekor. Hal ini menunjukkan bahwa
ada korelasi positif yang signifikan antara pola asuh otoriter dengan perilaku
bullying. Artinya, semakin tinggi pola asuh otoriter, maka semakin tinggi pula
perilaku bullying. Dengan demikian, hipotesis yang mengungkapkan ada hubungan
antara pola asuh otoriter dengan perilaku bullying pada siswa sekolah menengah.
Semakin siswa mendapatkan pola asuh otoriter semakin siswa berperilaku bullying
di sekolahnya, sehingga hipotesis diterima.
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku bullying akan semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya pola asuh otoriter, dan sebaliknya
semakin rendahnya pola asuh otoriter maka perilaku bullying juga semakin rendah.
Perilaku bullying pada penelitian ini dikaitkan dengan pola asuh otoriter karena
secara teoritis perilaku Bullying terjadi karena pola asuh rejecting dan
authoritarian yang diterapkan orangtua. Ditemukan tehnik efektif yang dapat
dipakai untuk menolong siswa untuk mendapatkan perkembangan yang nyaman
dalam lingkungan sosialnya yaitu cognitive behavioural modification yang dapat
dipakai untuk mengurangi kecemasan siswa pemalu yang selalu diejek. Setiap
individu harus mampu membuat dirinya memiliki self defeating cognition yaitu
suatu kemampuan dan keberanian untuk melawan dan berani menyelesaikan
18
perselisihan (Rice & Dolgin, 2008).
Bagi siswa yang mendapatkan pola asuh otoriter dari orangtuanya maka siswa
tersebut akan melampiaskan kekesalannya pada teman-teman sekolah, guru,
ataupun siswa akan cenderung menjadi pendiam dan menarik diri. Pada lingkungan
masyarakat, siswa bertindak brutal dan juga mencari lingkungan yang bisa
menerima dirinya karena dilingkungan keluarganya siswa terlalu dikekang. Dapat
juga karena lingkungan masyarakat yang kurang bisa menerima sehingga siswa
berperilaku bullying di sekolahnya.
Pola asuh otoriter dapat mengarahkan siswa pada perilaku bullying, ini
dibuktikan dengan beberapa penelitian, seperti penelitian yang dilakukan Bowers
dkk (Krahe, 2005) secara umum mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang dapat
mempengaruhi siswa dalam berperilaku antisosial yang dapat menyebapkan
bullying yaitu hubungan orangtua dengan siswa yang renggang, toleransi orangtua
terhadap perilaku agresif yang dilakukan siswa, dan orangtua menerapkan pola
asuh yang agresif pada siswa. Hal serupa dapat dilihat pada penelitian
Ardiyansyah, 2008 yang membahas tentang toleransi orangtua terhadap perilaku
agresif yang dilakukan anak
Ardiyansyah (2008) menyebutkan pada hasil penelitian diperoleh faktor-faktor
yang mempengaruhi seseorang melakukan bullying diantaranya yaitu faktor
keluarga disebutkan bahwa keluarga merupakan lingkungan pertama yang
dimasuki oleh setiap individu sebagai tempat pemberi dukungan terhadap masing-
masing anggota keluarga berupa dukungan positif dan negatif. Pada hasil analisis
disebutkan bahwa keluarga memberikan tanggapan mengenai bullying dengan
19
menilai bahwa bullying perilaku yang wajar dan biasa dilakukan remaja. Selain itu
juga dipicu oleh adanya salah satu anggota keluarga yang menjadi pelaku bullying.
Seseorang yang salah satu keluarganya seorang pelaku bullying maka
berkemungkinan akan mempengaruhi anggota keluarga lainnya, karena anggota
keluarga lainnya akan mengamati sebagai model (vicarious experience), dari
uraian diatas dapat peneliti simpulkan bahwa orangtua cuek terhadap perilaku
anak, kurang kontrol, kurang tanggapan sehingga kedua aspek dalam pola asuh
yaitu demandingness dan responsiveness tidak imbang karena orangtua
menganggap bullying merupakan perilaku yang wajar dan biasa dilakukan remaja.
Penelitian Ormel, dkk (2005) menegaskan bahwa munculnya pelaku bullying
berasal dari lingkungan rumah yang diantaranya orangtua yang menerapkan
disiplin fisik, yang terkadang dengan kekerasan dan penolakan, yang menjadikan
anak kurang memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah, dan orangtua
permisif yang cenderung agresif mengenai perilaku anak atau setiap mengajari
anak dengan memukul dan juga memarahi. Karakteristik pola asuh orangtua
tersebutlah yang merupakan bagian terbesar yang mempengaruhi munculnya
perilaku bullying pada anak dan remaja.
Sejalan dengan penelitian diatas juga disebutkan Olweus (Santrock, 2001)
bahwa pelaku dan juga korban bullying berperilaku tersebut karena melihat
perlakuan orangtua yang menanggapi mereka dalam berinteraksi dengan teman
sebayanya. Disebutkan bahwa pelaku bullying memiliki orangtua yang suka
menolak, otoriter, ataupun permisif terhadap perilaku anak. Sedangkan orangtua
korban lebih cenderung pencemas dan terlalu protektif.
20
Secara keseluruhan, penulis mengakui bahwa penelitian ini masih mempunyai
banyak kelemahan terutama dalam hal pengukuran perilaku bullying pada siswa
sekolah menengah, penelitian terhadap perilaku bullying ini akan mendapatkan
hasil yang lebih akurat bila pengukuran yang dilakukan dengan menggunakan
metode observasi terlebih dahulu, yakni dengan mengobservasi secara langsung
subjek penelitian dalam setting yang dialaminya. Sedangkan untuk pengukuran
pola asuh otoriter, metode yang sebaiknya digunakan adalah metode angket dan
wawancara, agar dapat melihat keterkaitan yang lebih akurat antara pola asuh
otoriter dan perilaku bullying.
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku bullying akan semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya pola asuh otoriter, dan sebaliknya
semakin rendahnya pola asuh otoriter maka perilaku bullying juga semakin rendah,
sehingga hipotesis yang diajukan diterima.
Saran
Hasil penelitian sebagaimana telah disebutkan diatas ada beberapa saran
yang dapat peneliti tuliskan.
1. Bagi Subjek Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian, para subjek penelitian hendaknya mengerjakan
dengan sungguh-sungguh dan sesuai dengan peristiwa yang benar-benar di alami
agar hasil penelitian lebih valid, dengan hasil penelitian yang telah disebutkan
hendaknya subjek mempertahankan perilaku positif agar tidak mengarah ke perilaku
bullying dan perilaku negatif lainnya, serta mampu menumbuhkan suasana yang
21
hangat dalam keluarga dan dapat saling menerima antara anak dengan orangtua
ataupun anggota keluarga. Subjek hendaknya lebih menyalurkan energinya pada
kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler sehingga semua waktunya tersalur pada
kegiatan postitif dan tidak mengarah pada perilaku bullying.
2. Bagi Sekolah
Baik subjek beserta guru dan karyawan lebih waspada dengan perilaku bullying
yang dapat muncul kapan saja dan mengantisipasi dengan mencanangkan gerakan
anti-bullying yaitu dengan cara membuat poster, mading, slogan anti-bullying yang
kebetulan di sekolah SMKN 2 Yogyakarta belum ada. Banyaknya kegiatan intra-
kurikuler maupun ekstra-kurikuler yang terdapat di SMKN 2 Yogyakarta
menjadikan para siswa lebih menyalurkan energinya pada kegiatan yang lebih positif
sehingga dalam sekolah tersebut perilaku bullyingnya rendah. Pihak sekolah dapat
memvariasikan aktifitas di sekolah menjadi lebih banyak dan lebih positif supaya
siswa tidak bosan dengan kegiatan yang monoton dan tidak menjadi bullying.
2. Bagi penelitian selanjutnya
Untuk penelitian selanjutnya yang berminat untuk mengangkat tema yang sama
diharapkan mempertimbangkan variabel-variabel yang lebih mempengaruhi
perilaku bullying seperti media massa, status sosial ekonomi, intelegensi, jenis
sekolah dan disarankan juga untuk menggunakan alat ukur tidak hanya skala, akan
tetapi observasi, wawancara, laporan dari teman sebaya, dan dokumentasi.
22
DAFTAR PUSTAKA
Ardiyansyah, A.A. 2008. Faktor-Faktor Yang Memepengaruhi Bullying Pada Remaja. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia
Astuti, P. R. 2008. Meredam Bullying; Tiga Cara Efektif Menanggulangi Kekerasan Pada Anak. Penerbit Grasindo. Jakarata.
Berns, M.R. 2004. Child.Family.School.Community.Socialization and upport.Sixth dition.Wadsworth Thomson, Belmont USA.
Dariyo, A. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor. Ghalia Indonesia.
Edwards, D.C. 2006. Ketika Anak Sulit Diatur : Panduan bagi Orang Tua Untuk Mengubah masalah Perilaku Anak. Bandung. Penerbit Kaifa.
Garcia, J.F. & Martinez, I. 2007. Impact of Parenting Styles on Adolescents Self- teem and Internalization of Values in Spain. The Spanish Journal of sychology, 10, 2, 338-348.
Hurlock, E. B. 1993. Perkembangan Anak Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga. Komalasari, N. 2008. Bisnis Indonesia Hot Topic Setop bullying. (http://bisnis.com/Fri, 27 Jun 2008 16:00:00 WIB)
Krahe, B. 2005. Perilaku Agresif. Panduan Psikologi Sosial. Pustaka Pelajar offset.Yogyakarta.
Netto, G. 2007. Bullying di sekolah. http://genenetto.blogspot.com/ 2007/05/bullying- di-sekolah.html Ormel, J., Verhulst, F.C., De Winter, A,F., Oldehinkel, A,J., Liendberg, S. and Veenstra, R. 2005. Bullying and Victimization in Elementary Schools: A Comparison of Bullies, Victims, Bully/Victims, and Uninvolved Preadolescents. Journal Developmental Psychology Vol.41,No 4.672-682 Papalia, Diane E., Olds, Sally W., & Feldman, Ruth D. (2004). Human Development (9thEd.). New York: McGraw-Hill, Inc.
Riauskina, I. I., Djuwita, R., dan Soesetio, S. R. (2005). ”Gencet-gencetan”dimata siswa/siswi kelas 1 SMA: Naskah kognitif tentang arti, skenario, dan dampak”gencet-gencetan”. Jurnal Psikologi Sosial, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. 12 (01), 1 – 13
23
Rice, P. F., Dolgin, G. K. 2008. The Adolescent: Development, Relationships, and Culture. Twelfth Edition. Pearson education. USA. (Hal 267-277) Santrock, J.W. 2001. Adolescent. Eighth adition. USA: The Mc Graw Hill.
Ghuraba. 2008.Remaja, Gank, dan Bullying. (http://sighuraba.wordpress.com) /11:01/18 juli. Yayasan Semai Jiwa Amini (SEJIWA). 2008. Bullying. Mengatasi Kekerasan Di sekolah dan Lingkungan. Grasindo. Jakarta.
24
Identitas Penulis
Nama : Rika Lestari Tri Utami
Alamat : Dsn Menjanganan no. 27 Rt/Rw 05/V Ds. Putat Kec. Purwodadi
Kab. Grobogan Jateng 58111
No HP : 085643513565