naskah publikasi kondisi psikologis wanita...

42
NASKAH PUBLIKASI KONDISI PSIKOLOGIS WANITA ACEH MANTAN TENTARA GERAKAN ACEH MERDEKA (INONG BALEE) Oleh : SITTI HALIMAH 02320230 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2008

Upload: phamnga

Post on 06-Feb-2018

226 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

NASKAH PUBLIKASI

KONDISI PSIKOLOGIS WANITA ACEH MANTAN TENTARA GERAKAN ACEH MERDEKA

(INONG BALEE)

Oleh :

SITTI HALIMAH

02320230

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA 2008

NASKAH PUBLIKASI

KONDISI PSIKOLOGIS WANITA ACEH MANTAN TENTARA GERAKAN ACEH MERDEKA

(INONG BALEE)

Disetujui pada tanggal :

------------------------------------

Dosen Pembimbing Utama

H. Fuad Nashori, S.Psi., Msi.

KONDISI PSIKOLOGIS WANITA ACEH MANTAN TENTARA GERAKAN ACEH MERDEKA

(INONG BALEE)

Sitti Halimah

Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Program Studi Psikologi Universitas Islam Indonesia

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kondisi psikologis wanita Aceh mantan Tentara Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee) setelah penahanan oleh TNI/POLRI. Jumlah subyek dalam penelitian ini adalah 5 orang wanita Aceh mantan Tentara Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee). Penelitian ini berfokus pada kondisi psikologis wanita-wanita Aceh mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan dan mengolah data yang bersifat deskriptif, seperti transkip wawancara. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam terhadap subyek penelitian. Dari hasil tersebut diperoleh data-data yang mendukung pertanyaan penelitian yaitu Bagaimana kondisi psikologis wanita-wanita Aceh mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee) setelah penahanan yang dilakukan TNI/POLRI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subyek mengalami gangguan fisik dan psikologis setelah penahanan yang dilakukan TNI/POLRI. Sampai saat ini subyek belum pernah mendapat terapi yang layak. Kondisi semua subyek saat ini semakin lebih baik, optimis dan berpikir positif.

Kata Kunci : Inong balee, TNI/POLRI, Kondisi psikologis.

I. PENGANTAR

Aceh merupakan daerah yang sarat dengan tradisi pergolakan dan

kekerasan yang merupakan dampak dari serangkaian sejarah yang panjang yang di

alami masyarakat Tanah Rencong (Aceh Bersimbah Darah). Serangkaian

pemberontakan yang dilakukan rakyat Aceh berawal dari ketidakpuasan rakyat

terhadap pemerintah pusat, salah satunya adalah mengenai pemberian hak

keistimewaan terhadap daerah Aceh yang sudah lama dijanjikan oleh pemeritah

pusat yang tak kunjung dipenuhi.

Untuk mengatasi hal ini pemerintah berulangkali melakukan upaya

pendekatan secara militer yaitu memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM).

Daerah Operasi Militer adalah cara pemerintah pusat menyelesaikan konflik

dengan melibatkan militer dengan kekerasan untuk menumpas pemberontakan

yang dilakukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sampai ke akar-akarnya tanpa

mempertimbangkan nasib rakyat Aceh. Hal ini menambah kekecewaan rakyat

Aceh terhadap pemerintah. Militer gagal merebut hati rakyat Aceh. Kematian,

penghancuran desa di Aceh, pemerkosaan, memang menjadi konsukuensi logis

setelah Darurat Militer diterapkan. Warga sipil adalah korban paling empuk dari

dua pihak yang bersengketa. Darurat Militer juga memberi wewenang hampir tanpa

batas ke Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD). Menurut pasal 23 – 24 UU No

23/Prp/1959, kewenangan penguasa Darurat Militer begitu luas, bahkan nyaris

tanpa batas. Sejak memerintahkan penangkapan orang yang dicurigai hingga

membatasi penerbitan media massa. Akibatnya pelanggaran HAM terjadi dimana-

mana. Beberapa warga sipil dan aktivis HAM ditangkapi dengan tuduhan sebagai

simpatisan maupun anggota GAM (Kontras, 2003).

Sejumlah kekerasan yang terus berlangsung telah menggores luka psikis

yang berat di hati rakyat Aceh. Kemudian Gerakan Aceh Merdeka mengubah

misinya dari menuntut keadilan menjadi tuntutan kemerdekaan bagi daerah Aceh.

Korban-korban dan keluarga korban tindak kekerasan yang dilakukan militer

menjadi simpatik atas perjuangan Gerakan Aceh Merdeka. Tidak sedikit korban

dan keluarganya bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka ditambah lagi Gerakan

Aceh Merdeka menyebarkan misi perangnya dengan perang sabilillah (perang di

jalan Allah) untuk membebaskan diri dari kezaliman pemeritah. Salah satu

contohnya adalah wanita-wanita Aceh yang menjadi tentara Gerakan Aceh

Merdeka (Inong balee). Penerapan darurat militer di Aceh tanpa disadari telah

melakukan pembalikan terhadap makna kata Inong balee yang semula sangat mulia

tersebut. Operasi militer yang berlangsung di Aceh dalam kurun waktu satu tahun

melirik juga Inong balee sebagai potensi ancaman untuk meluaskan perlawanan

bersenjata. Para janda dari anggota GAM yang telah tewas dengan mudah diklaim

sebagai Inong balee, apalagi mereka yang jelas-jelas terbukti terlibat melakukan

perlawanan bersenjata (Iswandi, 2006).

Perekrutan wanita-wanita Aceh sebagai Tentara Gerakan Aceh Merdeka

yang dikenal dengan Inong balee dan informan bagi TNI/POLRI melibatkan dan

menjadikan wanita dan anak-anak ke dalam konflik terbuka, atau menjadikan

mereka bagian dari pelaku kekerasan oleh pihak-pihak yang bertikai, telah

menyalahi peraturan perang dunia dan merupakan tindakan kejahatan perang

(Jelajah, 2000). Peneliti sebagai rakyat Aceh telah banyak menyaksikan fenomena

ini. Wanita-wanita ini direkrut menjadi tentara perempuan kemudian diberi

pelatihan kemiliteran dan di persenjatai.

Konflik yang berkepanjangan di Aceh yang tidak ada habis- habisnya telah

memakan korban yang tidak terhitung lagi jumlahnya, baik dari pihak TNI, GAM

dan rakyat Aceh yang tidak berdosa. Hidup di daerah konflik setiap hari

menjadikan rakyat menyaksikan dan mengalami tindak kekerasan yang dilakukan

pihak- pihak yang bersenjata. Konflik ini juga telah membawa dampak yang sangat

tidak baik pada perkembangan psikologis mereka serta menggangu kesejahteraan

dan kesehatan psikologis semua pihak yang terlibat dalam konflik tersebut. Mereka

harus hidup dalam kecemasan dan ketakutan. Dalam keadaan seperti ini apabila

secara terus- menerus berlanjut, maka pihak- pihak yang telibat dalam konflik ini

kemungkinan besar akan mempengaruhi kondisi psikologis mereka, terlebih lagi

pada wanita – wanita Aceh mantan Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee) .

Selama masa penahanannya dia diinterogasi dan mendapat kekerasan secara

psikologis. Setelah orang tuanya melakukan negosiasi dan membayar uang tebusan

dia dibebaskan bersyarat. Syarat yang ditentukan adalah harus memberi laporan

dan tidak boleh berpergian keluar kota. Menurutnya hal ini sangat membawa efek

negatif bagi psikologisnya.

Kondisi yang dapat muncul akibat adanya kekerasan adalah: depresi, stress,

dan kecemasan. Depresi merupakan bagian dari gangguan psikologis dengan

karakteristik klinis berupa hilangnya kemampuan untuk mengontrol suasana hati

dan pengalaman subyektif terhadap stres (Burn, 1998). Menurut Kaplan dan

Sadock (1994) depresi adalah kehilangan energi, merasa sedih, tidak berharga dan

merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, menarik diri dari orang lain, kehilangan

minat serta kesenangan dalam melakukan aktivitas seharai-hari bahklan ada

individu yang depresi berkeinginan untuk bunuh diri. Depresi merupakan

terganggunya fungsi psikologis individu yang baerkaitan dengan alam perasaan

yang sedih dan gejala-gejalanya termasuk gangguan pada pola tidur seperti

insomnia dan gangguan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa

putus asa dan tak berdaya.

Stres menurut Gibson dkk. (1996) dapat didefinisikan berdasarkan definisi

stimulus dan definisi tanggapan. Definisi stimulus stres adalah kekuatan atau

stimulus yang menggerakkan individu sehingga menghasilkan suatu tanggapan

ketegangan. Dimana ketegangan tersebut dalam pengertian fisik mengalami

perubahan bentuk. Sedangkan definisi tanggapan stres adalah sebagai berikut, stres

adalah tanggapan fisiologis atau psikologis seseorang terhadap lingkungan penekan

(stressor) di mana penekan adalah kejadian ekstern atau situasi yang secara

potensial mengganggu.

Kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang

mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Kecemasan adalah

respon yang tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal bila

tingkatanya tidak sesuai dengan proporsi ancaman, atah bila sepertinya datang

tanpa ada penyebabnya yaitu, bila bukan merupakan respon terhadap perubahan

lingkungan dalam bentuknya yang ekstrim kecemasan dapat mengganggu fungsi

kita sehari-hari (Nevid, dkk. 2003).

A. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah diatas peneliti ingin mengetahui bagaimana kondisi

psikologis wanita Aceh mantan Tentara Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee).

B. Manfaat Penelitian

1. Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan memberi sumbangan teoritis

bagi disiplin psikologi klinis khususnya mengenai kondisi psikologis wanita di

daerah konflik.

2. Praktis

Hasil penelitian ini akan menggambarkan kondisi psikologis wanita Aceh

mantan Tentara Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee) dan diharapkan dapat

menjadi masukan bagi pihak-pihak terkait untuk segera mengambil langkah

yang tepat dan melakukan rehabilitasi psikologis wanita-wanita Aceh yang

terlibat dengan Gerakan Aceh Merdeka (Inong Balee).

C. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang kondisi psikologis wanita-wanita Aceh mantan tentara

Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee) merupakan penelitian baru karena di

Indonesia sendiri belum pernah secara langsung dan terbuka menerjunkan tentara

wanita (KOWAT/POLWAN) ke medan peperangan. Adapun penelitian yang sudah

pernah diteliti antara lain trauma akibat kerusuhan, bencana alam dan tsunami.

1. Topik Penelitian

Topik yang diangkat dalam penelitian ini adalah kondisi psikologis wanita

Aceh mantan Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee) yang pernah ditangkap dan

ditahan TNI/POLRI, sedangkan topik penelitian sebelumnya berfokus pada

perbandingan antara Veteran yang mengalami PTSD dengan luka dan tanpa

luka pada spinal cord yang dilakukan oleh Cynthia (1998). Penelitian yang

lainnya berfokus pada faktor resiko, stres daerah perang serta cara

penyembuhan kembali kegembiraan, yang dilakukan oleh King dan King

(1999).

2. Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah wanita mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka (Inong

balee) yang pernah ditangkap TNI/POLRI. Tinggal di Aceh, sedangkan

penelitian sebelumnya adalah mantan tentara laki-laki (Departemen Veterans

Of Affairs Medical Center, Bronx). Penelitian lainnya yaitu laki-laki dan

perempuan mantan tentara nasional di Vietnam, serta veteran wanita yang

berkerja di Rumah sakit Vietnam.

3. Metode pengumpulan data

Penelitian menggunakan alat ukur skala CAPS (Clinician Administerred PTSD

Scale), dasar teori DSM-III-R, skala Blake dan skala Blanchard. Metode yang

digunakan dalam penelitian sebelumnya adalah studi kuantitatif eksperimenter.

Dalam penelitian ini memakai metode kualitatif interview dan menggunakan

guide interview dan teori gangguan psikologis (Stress, Depresi, Kecemasan).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan

studi kasus. Kekhasan dalam penelitian ini terletak pada penempatan tentara

wanita/ Inong balee dalam konflik yang berkepanjangan dan akan mengungkap

kondisi psikologis mereka. Untuk mengungkap hal tersebut diperlukan

wawancara secara terfokus.

D. Responden Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti mengambil responden yang relevan yaitu

wanita-wanita Aceh yang pernah bergabung dalam tubuh Gerakan Aceh Merdeka

dan menjadi tentara wanita gerakan tersebut. Mengenai target responden sendiri

adalah wanita Aceh mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka yang pernah tertangkap

oleh TNI/ POLRI di daerah Aceh. Jumlah subyek sebanyak 5 orang.

E. Metode Pengumpulan Data

Penelitian kualitatif bersifat terbuka dan luwes. Metode dan tipe

pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam disesuaikan dengan

masalah. Beberapa metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam

penelitian kualitatif antara lain observasi wawancara, diskusi kelompok terfokus,

studi riwayat hidup dan lain sebagainya (Poerwandari, 2001). Untuk dapat

memperoleh gambaran tentang kondisi psikologis wanita Aceh mantan tentara

Gerakan Aceh Merdeka, maka diperlukan metode yang tepat agar bisa terbangun

rasa kepercayaan subyek terhadap peneliti sehingga dapat mengumpulkan data

yang mendalam dan valid. Berdasarkan pertimbangan situasi subyek dan

keberadaan kancah penelitian di daerah pasca konflik maka peneliti menggunakan

beberapa metode yaitu : (1) Wawancara mendalam/ in depth Interview, (2)

Dokumentasi.

F. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana kondisi psikologis wanita-wanita Aceh mantan tentara Gerakan

Aceh Merdeka (Inong balee) setelah penahanan yang dilakukan TNI/POLRI ?.

G. Analisis Pengumpulan Data

Analisis data yang digunakan adalah analisis tematik sebagai dasar

penelitian kualitatif. Boyatzis (Poerwandari, 20001) menyatakan bahwa pengunaan

analisis tematik ini memungkinkan peneliti menemukan pola pihak lain yang tidak

melihatnya secara jelas. Pola dan tema itu tampil seolah secara acak dalam

tumpukan informasi yang tersedia. Setelah kita menemukan pola (seeing), kita

akan melakukan klarifikasi atau mengkode pola tersebut seeing as dengan memberi

label, definisi atau deskripsi. Menurut Patton (Maleong, 1989), analisis data adalah

proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori,

dan satuan uraian dasar.

Strauss dan Corbin (Poerwandari, 2001) membagi langkah coding dalam

tiga bagian, yakni coding terbuka (open coding), koding aksial (axial coding). Dan

coding selektif (selective coding). Coding terbuka memungkinkan untuk

mengidentifikasi kategori-kategori, properti-properti, dan demensi-demensinya.

Tahap selanjutnya adalah koding aksial yang dapat mengorganisasikan data dengan

mengembangkan hubungan (koneksi) antar kategori, atau antar kategori dengan

kategori yang lain. Tahap terahir adalah koding selektif, peneliti menyeleksi

kategori yang paling mendasar dan secara sistematis menghubungkannya dengan

kategori yang lain serta menvalidasi hubungan tersebut.

II. INDIKATOR GANGGUAN KLINIS

Indikator gangguan klinis terhadap kondisi psikologis seseorang berdasarkan

DSM-IV (APA,1994) diantaranya :

a. Gangguan kecemasan

1. Gangguan panik tanpa agorapobia

2. Gangguan panik dengan agorapobia

1. Agorapobia tanpa riwayat gangguan panik

2. Pobia spesifik danPobia sosial

3. Gangguan obsesif kompulsif

4. Gangguan stres pasca traumatik

5. Gangguan stres akut dan Gangguan kecemasan umum

6. Gangguan kecemasan akibat kondisi medis umum

7. Gangguan kecemasan dihubungkan dengan pengguanaan zat

8. Gangguan kecemasan yang tidak dapat ditentukan

b. Gangguan Mood (perasaan)

1. Gangguan depresi berat

2. Episode tunggal dan Rekuren

3. Gangguan distimik dan Gangguan depresif YTT

c. Gangguan tidur

Gangguan tidur parasomnias

1. Ganggaun mimpi buruk dan Gangguan teror tidur

2. Gangguan tidur berjalan dan Gangguan parasomnias YTT

3. Gangguan tidur yang dikaitkan dengan dengan gangguan mental yang

lain.

d. Gangguan penyesuaian

1. Gangguan penyesuaian dengan perasaan depresi

2. Dengan kecemasan dan Dengan campuran gangguan emosi dan tingkah

laku

3. Dengan campuran antara perasaan kecemasan dengan depresi dengan

gangguan tingkah laku

DSM-IV-TR, 2000 (Nolen, 2007) yang membagi karakteristik simtom

gejala pasca trauma dalam tiga kategori menurut karakteristiknya yaitu ;

1. Mengalami kembali peristiwa traumatik;

a. Ingatan distress terhadap peristiwa yang mengerikan

b. Mimpi distress mengenai peristiwa yang mengerikan

2. Emosi yang kaku dan pengaruhnya

Menghindari pikiran, perasaan, atau pembicaraan tentang peristiwa tersebut

a. Menghindari kegiatan, tempat atau orang yang berkaitan dengan

peristiwa tersebut

b. Mengalami kesulitan kalau mengingat aspek penting dalam peristiwa

tersebut. Tidak tertarik lagi dengan kegiatan sehari-hari dan Perasaan

terasing dari orang lain

c. Ketidakmampuan mempunyai perasaan cinta dan perasaannya terbatas

d. Perasaan bahwa masa depannya akan gelap atau putus asa.

3. Terlalu waspada secara kronis

a. Kesulitan tidurnSulit berkonsentrasi atau sering terbangun.

b. Waspada berlebihan dan Reaksi berlebihan ketika kaget/terkejut.

1. Kondisis yang dialami Inong balee

Akibat kekerasan dan terlibat dalam konflik secara terbuka muncul perasaan-

perasaan seperti waspada berlebihan di manapun berada termasuk di rumah

sendiri, perasaan curiga yang berlebihan pada orang yang baru dikenal atau

orang yang memiliki hubungan dengan kejadian traumatik, mengalami

gangguan tidur, sulit mengendalikan emosi kaget secara berlebihan ketika

melihat seragam loreng dan mendengar derap sepatu serta suara mobil yang

keras, reaksi emosi yang berlebihan, trauma terhadap simbol-simbol perang,

dan berusaha menghindar dari tempat yang didiami dan didatangi pelaku

kekerasan sehingga akan mengganggu kondisi psikologisnya. Walaupun

demikian Inong balee sampai saat ini kebanyakan masih berusaha untuk

menjalani kehidupannya dan mereka terlihat masih mampu melakukan interaksi

sosial dan bersikap hangat terhadap lingkungannya.

III. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KANDISI

PSIKOLOGIS NEGATIF

Gangguan kecemasan yang menyakut dengan periswa traumatis yaitu

gangguan stres pasca trauma yang dapat menyebabkan meningkatnya faktor resiko

pada seseorang untuk mengembangkan gangguan psikologis diantaranya menurut

Robert & Thomas (2003) ada tiga faktor resiko seseorang menjadi korban

gangguan psikologis yaitu;

1. Faktor sosial

Adanya kealamian dari trauma dan pada tingkatan beberapa individu telah

mencerminkan trauma tersebut dan adanya dukungan sosial yang mengikuti

trauma, korban trauma sering dapat mengembangkan gangguan psikologis

ketika trauma lebih hebat, dan ancaman kehidupan dan besarnya kebutuhan

perlindungan. Contohnya korban pemerkosaan yang diduga akan lebih mudah

mengembangkan gangguan pasca trauma jika pemerkosaan itu lengkap atau

selesai (Galea dkk, 2002).

2. Faktor biologis

Faktor biologis merupakan kecenderungan seseorang untuk mengembangkan

gangguan psikologis karena ada sifat bawaan dari keluarga dengan latar

belakang memiliki gangguan kecemasan.

3. Faktor psikologis

Faktor biologis merupakan hasil kombinasi teori operant conditioning dan

classical conditioning. Operant conditioning merupakan ketakutan terbesar

ketika teror menyatu dengan trauma, sebab diasosiasikan dengan peristiwa

trauma. Classical conditioning berada pada mempertahankan ketakutan.

IV. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KANDISI

PSIKOLOGIS POSITIF

Lingkungan sosial tertentu dapat menompang bagi kuatnya kesehatan

mental sehingga membentuk kesehatan mental yang positif, tetapi pada aspek lain

lingkungan sosial juga dapat pula menjadi tressor yang dapat menggangu

kesehatan mental (Notosoedirdjo & Latipun, 1999).

Kaplan dkk (1994) mengatakan bahwa adanya mekanisme hubungan

interpesonal dengan tujuan untuk melindungi individu lain dari efek stres yang

buruk. Pada umunya individu mempunyai sistem dukungan sosial yang kuat

kerentanan terhadap penyakit mental adalah rendah, dan kemungkinan pemulihan

gangguan-gangguan psikologis menjadi lebih tinggi. Sariana (2007) mengatakan

bahwa dukungan sosial adalah interaksi atau hubungan yang dapat membantu

individu dari rasa kesedihan, terisolasi, efek stres yang buruk dan dapat

membangkitkan semangat hidup individu tersebut yang dapat diperoleh dari orang

lain yang dicintai seperti keluarga, teman dekat, pacar dan lingkungan yang ada di

sekitarnya. Sehingga individu merasa diperhatikan dihargai dinilai dan dicintai.

Aspek dukungan sosial merupakan sudut pandang individu terhadap suatu

peristiwa atau kejadian yang dapat memberi nilai yang positif atas apa yang

dihadapi oleh individu tersebut. Ada dua aspek utama dalam dukungan sosial yaitu

: received support (dukungan yang diterima) dan perceived support (dukungan

yang dirasakan). received support artinya prilaku membantu yang muncul secara

alamiah yang diberikan, sedangkan received support diartikan sebagai keyakinan

bahwa prilaku membantu akan tersedia ketika diperlukan (Norris dan Barrera,

1996).

V. HASIL PENELITIAN

1. Deskripsi Kondisi Subyek

Semua subyek dalam penelitian ini berjumlah 5 orang wanita Aceh mantan

tentara Gerakan Aceh Merdeka yang ditangkap dan ditahan oleh TNI/POLRI

selama darurat militer kedua. Adapun data kondisi lengkapnya sebagai berikut :

Tabel I. Deskripsi Kondisi Subyek

Subyek Umur Lama ditahan

Perlakuan yang didapat

Reaksi mereka

Kondisi sekarang

L

28

- Dipukul, ditampar, ditendang

ketakutan - optimis, berpikir positif - perasaan positif - memiliki hubungan sosial yang baik

F

37

- Dipukul disetrum

- - optimis, berpikir positif - perasaan positif memiliki hubungan sosial yang baik

D

25

4 bulan

Dipukul, ditampar, ditendang dijambak, dijepit telinga, dibentak, diancam akan dibunuh, diacam akan diperkosa

Ketakutan, menangis, ingin bunuh diri, pasrah

- optimis, berpikir positif - perasaan positif - memiliki hubungan sosial yang baik

C

37

4 bulan

Dipukul, ditampar, ditendang dijepit telinga, dibentak, diancam akan dibunuh, diacam akan diperkosa

Ketakutan, menangis, ingin bunuh diri, pasrah

- optimis, berpikir positif - perasaan positif - memiliki hubungan sosial yang baik

N

28

- Dipukul, ditendang, ditampar, diancam

Ketakutan, - optimis, berpikir positif - perasaan positif - memiliki hubungan sosial yang baik

2. Hasil Penelitian

Hasil penelitian diperoleh dari hasil interview antara peneliti dan subyek

penelitian, adapun hasil penelitian dan pembahasannya sebagai berikut :

A. Gangguan negatif yang muncul diantaranya:

a. Gangguan kecemasan :

Secara umum besar Inong balee ini mengalami kembali peristiwa

traumatik dalam kehidupannya sehari-hari sebagai masyarakat biasa.

Hal ini dapat dilihat dari hasil kutipan wawancara berikut :

1. Gejala Stres Ingatan

Semua subyek masih mengingat kejadian traumatis di masa lalu dan

ingatan ini muncul kembali tiba-tiba walaupun subyek telah berusaha

untuk melupakannya, ingatan yang sering muncul seperti: di saat

penggerebekan rumah, di tahan, dan di siksa. Mereka teringat saat

sadar maupun saat tidak sadar karena mental subyek merekam apa

yang dirasakan dan di alami ketika masa perang seperti penembakan

orang di depan mata dan suasana mencekam. Untuk itu subyek harus

melakukan usaha melarikan diri untuk menyelamatkan nyawanya dan

sudah masuk ke dalam alam bawah sadarnya. Ingatan distress ini

muncul siang maupun malam ketika subyek berada sendiri, saat tidak

ada kegiatan, dan saat subyek mau tidur.

“Sampai sekarangpun saya masih mengingatnya, masa-masa lalu kita yang sudah-sudah, kita sudah pernah disiksa contohnya digerebek rumah, saya memang tidak bisa melupakan hal itu . . .” (L. 45-49). “Karena kita pernah diperlakukan seperti itu makanya kita teringat kembali, apakah seorang laki-laki bagaimana memperlakukan kita, apakah ada memperlakukan begini . . .” (L. 212-215).

“Teringat juga sekali-kali, walaupun sudah kita kubur terbayang juga sekali-kali, sebab pedih sekali” (F. 59-61) “Teringat” (D. 348). “Saat saya tidur . . .” (D. 358). “ . . . kalau saya tidak bisa tidur, saya duduk sendiri pikiran saya melayang kemana-mana . .” (D. 358-360). “Teringat, sebab saya pernah ditahan, disiksa dulu, yang sangat teringat dan paling berkesan disitu” (D. 417-419). “Entahlah, maksudnya kalau mata kupejamkan hati tidak tenang, susah begitu” (D. 589-560). “Nanti kalau sendiri terpikirkan teringat seperti itu, tidak mesti malam siangpun teringat seperti itu” (C. 49-51). “Waktu sepi-sepi” (N. 68). “Ingat sejarah-sejarah yang telah lalu, begitu teringatnya, kadang-kadang orang yang ditembak didepan, kita lari, kan teringat sekali seperti itu” (N. 72-74). “Ingat, kadang-kadang, dibakar apa saja nanti, apa entah dibakar sama anak-anak sudah mengingatkan kejadian di sana” (N. 68-70). Terbayang-bayang juga ketika melihat mereka (N. 88-89).

2. Mengalami perasaan itu dengan perasaannya seolah peristiwa

itu terjadi lagi

Empat subyek masih mengalami kembali kejadian traumatis dengan

perasaanya seolah-olah dia masih berada dalam kejadian tersebut

sehingga merasa peristiwa itu terjadi kembali, seperti; merasa

terbayang saat pemukulan, saat hendak bunuh diri dan saat mendapat

pelatihan. Hal ini muncul saat subyek melihat kembali tempat, orang

dan sesuatu yang berhubungan dengan kejadian traumatis.

“Saat teringat, ada” (F. 65). “Ketika tidak ada kerjaan, saat duduk sendiri” (F. 67). “Terbayang saat dipukul dulu, ada” (D. 371). “Itu kalau saya melewatinya sampai sekarang selalu kita berdua hampir mati disitu, kami berdua saat itu mau loncat kedalam sumur, tidak sangup menahannya lagi, tidak sangup berpikir lagi, kami mau melompat berdua, berdualah saat itu, kan ada pintu sudah lama sekali kami berdua disumur, sudah selesai saya renungkan, ayah pun sudah diculik sudah tidak ada artinya lagi hidup ini, setelah itu ditendang pintunya, saya mau

melompat tidak terpikir lagi tentang dosa, soalnya saya gimana ya, sudah trauma sekali, panas sekali rasanya saya, susah sekali, panas sekali saya begitulah saya dulu, sudah ditendang sampai saya tidak diizinkan lagi masuk ke kamar mandi dikawal. (D. 421-437). “Ketika saya lihat ke gunung, teringat masa-masa latihan sekarang kami seperti ini sudah merasakan pahit dan senang, sudah kami rasakan semua” (C. 53-56). “Ya, ya seolah-olah kami masih merasakannya” (C. 59-60). “Saya teringat . . ” (C. 89). “Tidak ada apa-apa, nanti kalau kita lewat kita melihat tempat itu kita menjadi sedih, teringat untuk diri sendiri seperti itu, kita mau melakukan apa tidak tau hendak melakukan apa, kita sendiri seperti ini, ya sudah begitu saja, kalau kita pikirkan terus malah jadi stress, saat diperlakukan kita begitu cukup stress” (C. 94- 101). “Teringat apa yang pernah kita alami, mengapa pasukan inong balee sekarang biasa saja, walaupun tidak ada kegiatan, teringat ketika aman seperti ini saat konflikpun begini, tidak ada perubahan” (L. 65-69). “Ya kita sebagai orang Aceh pasti ada rasa dendam, ada rasa sakit hati kepada mereka tapi kita sudah diberikan kedamaian seperti ini, jangan lagi kita, biasa saja, tapi timbul dalam pikiran kita dulu diperlakukan seperti ini, jangan pernah ada lagi sekarang” (L. 90-95) Namun subyek ini sudah tidak merasa lagi berada dalam kejadian tersebut;

“ Tidak terasa lagi”. (N. 79)

3. Stres psikologi dan fisik yang kuat ketika menginggat peristiwa

tersebut

Pada umunya saat mengingat kejadian traumatis subyek mengalami

distress psikologis dan fisik yang kuat seperti, badan lesu, lemas, sakit

badan, jantung berdebar, keluar keringat, menangis, panik, sedih, sakit

hati, pedih, kesal, marah, susah, benci dan dendam.

“Badan lesu seperti itu, ketika teringat buat mereka ya, saat teringat kontak senjata itu seperti panik begitu” (L. 72-74). “Terpikirkan, sedih, sedih sendiri dan orang, kita seorang pasukan inong balee diperlakukan seperti itu, tidak berarti, tidak berarti sama mereka, begitu” (L. 185-188).

“Sakit badan, ketakutan, lemas tapi marah, sakit hati, Panas rasanya hati ini” (F. 70-71). “air-air mata keluar” (F. 73). “Itu jantung berdebar-debar terus, kesal . . .” (F. 86). “ . . . kalau teringat hal itu saya merasa sangat pedih . . .” (D. 348-349). “Kalau terbayang, terbayang kesal marah ketika dipukul dulu ada” (D. 365-366). “Sakit, susah” (D. 374). “Keluar keringat, kesal marah seperti itu, kan banyak keluar keringatnya, sehabis kita hayal bukan hanya keringat air mata juga keluar” (D. 385-388). “Ketika pikiran saya berputar kekejadian itu bagaimana gak kesal sekali” (D. 399-400). “ . . . merasa lemas” (C. 60), “Ketakutan, tapi tidak terlalu takut” (C. 64), “ . . . seandainya kalau bisa gimana ya, gimana, sakit hati, sakit hati benci, kalau bisa kita bunuh seperti itu, sakit hati” (C. 89-92). “Ada sekali-kali, dalam tidur pernah juga menangis (C. 309-310). “Entah tidak tahu” (C. 312). “Itu menagis sendiri saya, sedih, tapi saya teringat saya pendam dalam hati begitu” (C. 319-319). “Merasa sedihlah, karena yang dulu-dulu itu sudah pernah kita alami, merasa sedih saya” (N. 98-99). “Tapi, merasa benci, benci, seandainya berjumpa dengan orang yang saya kenal, rasanya entah apa berbicara orang itu, masih ada dendam” (N. 103-105). “Kesal” (N. 107). Namun ada seorang subyek yang hanya mengalami distress psikologis saja tapi tidak mengalami distres fisik hal ini ditunjukkan oleh: “Biasa” (N. 84). “Tidak gementar, kecuali dulu, saat awal-awal kalau kita lihat mereka jangankan orangnya melihat bajunya aja takut”. (86-89).

4. Waspada berlebihan.

Pada kategori waspada berlebihan subyek merasa ada orang yang

selalu memata-matai sehingga takut diberitahu keberadaannya.

Ciri/indikatornya yaitu : merasa curiga dan terancam, kehilangan

kepercayaan dan bersikap terlalu hati-hati, tidak asal-asalan

melangkah atau mengambil keputusan, tidak berani seperti dulu, dan

selau merasa takut.

“Kecuali cuak (mata-mata/informan) itu akan diberitahukan tentang kita. Ada satu-satu yang jahat pasti kita akan diberitahukan keberadaan kita” (L. 132-135). “Reaksi, kita lihat bagaimana akalnya, maksudnya ini bagaimana apakah dia melakukan hal baik atau tidak baik harus kita selidiki dulu, kita harus pintar mengapa?, karena begini-begini kta langsung percaya kan tidak baik, istilahnya masuk kedalam duri”(L. 2001-2006). “Dalam pikiran kita ada, ada merasa terancam”(L. 210). “Karena diberitahukan oleh orang lain, istilahnya cuak (mata-mata)” (222-223). “Itu saya hati-hati sekali, yang seperti itu saya tidak sembarangan kalau tidak kenal, takut jadi seperti dulu” (F.160-163). “Ada, itu memang ada, ada mata-mata” (F. 166). “Tidak pernah, kalau pergi selalu bersama dengan keluarga” (F.169-170), “Tidak berani saya berpergian sendiri tidak sama seperti dulu” (F. 172-173). “Ternyata ada orang yang memberitahukan lagi, hai ada mata-matakan” (D. 293-294). “Dulu kan banyak sekali mata-mata “ (D. 296). “Takut, kalau ada yang mengajak sesuatu yang tidak jelas saya tidak mau lagi, tidak mau asal-asalan melangkah” (D. 379-381). “Tidak terancam tapi saya hati-hati juga, saya sudah banyak pengalaman” (D. 634-635), “Karena pengalaman tadi” (D. 637). “Ada, itu pasti ada, bagaimana engak, kalau engak mana mungkin ketahuan kami sudah pulang kerumah, pasti ada yang melaporkan, ada mata-mata” (D. 640-643). Tidak pernah, selalu ada ditemani seperti beli baju ada teman juga (D. 647-648). “Ada, ada orang kampung, orang kampung memang sudah tahu kepulangan saya” (C. 344-345). “Sudah diketahui kepulangan saya, saya tidak ada rencana tinggal dikampung, tapi tidak sempat berangkat lagi” (C. 348-350). “Tidak pernah, saya tidak seberani dulu” (C. 353). “Tentu ada, karena diberitahu oleh Syarwan, saya tahu itu tapi untuk apa saya ingat lagi” (N. 247-248). “Tidak pernah, kalau berpergian sama suami atau keluarga” (N. 250-252). “Mungkin juga takut, tapi karena jauh juga” (N. 254).

5. Reaksi berlebihan ketika kaget/terkejut.

Sejak ditangkap semua subyek selalu dibentak-bentak dan dianiaya

sehingga menimbulkan stress. sehinggai reaksi subyek menjadi

berlebihan ketika kaget/terkejut. Hal ini dapat dilihat pada indikator;

ketakutan, jantung berdebar, lemas, tidak bisa berbuat berbuat apapun,

kesal, sakit hati, sedih, gelisah dan histeris.

“Ada, ketika masa konflik memang saya sudah jantungan tapi sekarang saya sudah berobat, sudah sembuh” (L. 243-245). “Karena kita sering dibentak oleh mereka, kita sering apa, sering dianiaya oleh mereka makanya pikiran kita cepat stress jadilah kita jantungan” (L. 247-249). “Biasa saja karena saat kaget kita merasa sedih, saat seperti itu merasa gelisah jadi kita duduk-duduk aja agar tidak merasa gelisah, bekerja memang tidak sanggub lagi, karena kita sudah gelisah, ketakutan, begitu” (L. 252-256). “Ya, memang mudah sekali saya kaget, kalau dengar suara ledakan saya kaget, suara mobil yang keras, suara orang yang keras saya kaget juga” (F. 176-179). “Saya ketakutan, hati berdebar, lemas, terus tidak bisa berbuat apa-apa selama beberapa menit, lalu kesal, sakit hati, entah apa ganguin orang” (F. 182-185). “Cepat sekali saya kaget, kalau saya mendengar meriam bambu anak-anak, suara mobil yang keras, kalau ada orang yang ribut-ribut, itu memang cepat sekali saya kaget.” (D. 652-656), “Tidak ada, saya lemas, jantung saya berdebar, takut” (D. 659-660). “Cepat sekali, sedikit-sedikit orang kagetin langsung kaget, kalau saya masuk kerumah ada orang sembunyi dibelakang pintu itu saya histeris terduduk, kaget sekali, ketakutan sekali (C. 358-361). “Biasanya kalau sedang begitu ada orang yang kagetin tidak bisa berbuat apa-apa, saya terduduk tidak berbuat apapun, “mengapa kagetin saya” saya katakan begitu, “Mengapa kageti saya seperti itu, saya kasih tahu kalau saya kaget sekali saya bisa jantungan”, saya katakan” (C. 369-375).

“Ya, biasa kalau saya dengar sesuatu seperti suara sepatu banyak-banyak, suara letusan seperti meriam bambu, dan kalau dikagetin kaget juga” (N. 257-259). “Tidak ada, saya ketakutan, jangtung saya berdebar, lemas, gak bisa buat apapun” (N. 261-262).

b. Gangguan mood (perasaan)

Sejak adanya penangkapan itu, pada umumnya subyek mudah terganggu

dan sering marah tanpa alasan. Perubahan emosi yang tidak menentu oleh

subyek dapat dilihat dari indikator cepat kesal dan tersinggung, panik, sakit

hati, panas hati, judes, marah tanpa alasan, tidak bisa mengendalikan dan

cepat emosi, mudah sedih, mudah menangis.

“Selama ini ada, kenapa?, karena kita sudah pernah disiksa-siksa begitu jadi pikiran kita sekarang cepat panik ya, kata orang cepat kesal, cepat marah, cepat tersinggung” (L. 179-182). “memang kita cepat marah, cepat kesal, judes tetapi tetap kita beritahukan teman dulu” (L. 196-198). “Ada, setelah ditangkap itu memang cepat sekali marah, apalagi kalau saya melihat mereka langsung sakit hati, kesal, cepat marah, memang tidak sama lagi dengan yang dulu, tapi kalau tertawa sendiri tidak ada” (F. 145-149). “ . . . cepat kali marah kalau ada masalah, tidak bisa saya kendalikan emosi tidak sama lagi . . .” (F. 154-155).

“Kesal, marah, kesal, kesal, kesal sendiri. Kadang-kadang saya emosi sendiri tidak jelas apa masalahnya, trus saya berdoa dengan ibu saya, trus emosi sedih sendiri, kadang sedih . . . sedih begitu, saya kalau untuk orang sayang sekali, kalau saya marah emosi, emosi terus jadi kesal-kesal hati ini” (D. 482-489). “Itu memang saya cepat sekali marah, setelah kejadian itu, sedikit-sedikit emosi kalau ada masalah cepat sekali marah, cepat panas hati, tapi kadang-kadang sewaktu-waktu mudah juga menangis, mudah iba hati apalagi kalau ingat kejadian dulu” (D. 611-617). “Kalau tertawa sendiri tanpa sebab ya engak pernahlah, kalau marah cepat sekali, cepat kesal, tapi saya juga cepat baikkan lagi” (N. 236-238). Namun ada satu subyek yang masih bisa mengendalikan emosinya dengan baik yaitu: “Kalau marah agak susah, tidak sering begitu, walaupun ada yang menyampaikan ada orang yang mengatakan tidak baik untuk kamu, kalau saya masih sanggup sabar saya tidak marah malah dengan orang yang mengatakan hal itu saya tersenyum, orang itu pasti punya perasaan sendiri, kalau tidak alhamdulillah, tidak marah walaupun dibicarakan orang lain” (C. 220-227).

c. Gangguan penyesuaian

1. Menghindari pikiran, perasaan, atau pembicaraan tentang peristiwa

tesebut.

Pada umunya subyek berusaha menghindari pikiran, perasaan, atau

pembicaraan tentang peristiwa tersebut dengan cara, berusaha

mengubur dan melupakan kejadian tersebut dengan melakukan ibadah

sholat, melakukan aktifitas lain seperti menonton televisi, mendengar

musik, mencari teman untuk berbicara, dan merasa keberatan apabila

disinggung tentang peristiwa tersebut. Hal dimaksutkan agar tidak

membuat diri subyek gelisah dan stress.

“Saya biasa saja, jualan-jualan agar tidak tidak teringat yang begitu lagi nati mebuat stress, itu kegiatan sehari-hari yang saya lakukan” (L. 79-81). “ . . tapi tidak saya ingat lagi, itu sudah kukubur semua” (F. 55-56). “Tidak saya lakukan apa-apa, kadang-kadang saya duduk dibalai-balai berbicara dengan orang lain agar tidak teringat lagi” (F. 76-78). “Saya katakan itu sudah tidak perlu diingat lagi“ (F. 82). “Itu bukan saya tidak mau menceritakan, sudah saya lupakan” (F. 94-95). “ . . . saya sudah berjanji pada diri sendiri kejadian yang dulu sudah saya kubur semua, sekarang saya memulai kehidupan yang baru, tidak sanggup hidup seperti dulu lagi, itu sudah saya kubur . . .” (D. 349-359). “Ya kumpul-kumpul sama teman-teman, ngobrol-ngobrol, sholat begitu tiap hari” (D. 403-404). “Itu, itu sudah membuka dan kembali lagi ke kejadian dulu, anda menanyankan, kalau bisa tidak usah ditanyak-tanyak lagi ya!, sudah saya tutup rapat” (D. 409-412). “Biasanya saya hidupkan musik, agar rileks he . . he, nonton lagu” (C. 70-71). Namun ada satu subyek tidak berusaha menghindari pembicaraan mengenai peristiwa tersebut:

“Saya biasa saja karena sudah pernah mengalaminya, biasa aja, cuek aja memang selalu ada jangan mebuat diri sendiri gelisah lagi” (L. 84-86). “Tidak apa-apa, akan saya jawab dengan benar, apa yang saya alami saya ceritakan semua” (C. 78-80). “

2. Menghindari kegiatan, tempat atau orang yang berkaitan dengan

peristiwa tersebut

Hanya satu orang subyek berusaha menghindari kegiatan, tempat atau

orang yang berkaitan dengan peristiwa tersebut seperti adanya usaha

untuk menghindar dan tidak mau melihat tempat dan orang

berhubungan dengan tempat kejadian. Hal ini supaya tidak

mengingatkan kembali peristiwa dan rasa benci dan dendam.

“ . . . kalau bisa gak usah saya lihat” (F. 86-87). “Begitu juga, kalau bisa saya hindari, saya hindari” (F. 89-90).

3. Tidak tertarik lagi dengan kegiatan sehari-hari

Subyek merasa kehilangan semangat beraktivitas karena cepat capek.

Tidak tertarik lagi dengan kegiatan sehari-hari dapat dilihat dengan

indikator seperti : cepat capek, tidak sanggup berkerja berat dan

penurunan semangat pada subyek sangat drastis akibat peristiwa

tersebut.

“Kalau cepat capek sampai sekarang masih, tidak sanggup untuk kerja berat lagi, kalaupun pergi kehutan, kesawah cuman jalan-jalan aja agar senang padahal tidak sanggup untuk kerja berat lagi” (F. 104-108). “Ada, kalau saya pikirkan tidak sanggup bekerja lagi . . .” (D. 481-482). “Saya cepat capek, cepat sekali saya capek sekarang” (C. 228-229). “Kalaupun saya kerja tidak begitu lagi, kalau dulu saya tumbuk tepung lancar sekali, kalau sekarang

cepat sekali capeknya, apapun yang saya lakukan cepat capek, entah sudah jatuh sekali semangat saya, saya tidak tahu” (C. 231-235). “Tidak sama lagi seperti dulu, dulu mau ngapain aja enak begitu” (C. 240-241).

“Ada, setelah itu saya memang tidak sanggup kerja berat lagi, cepat capek . . .” (N. 206-207).

4. Mengalami kesulitan kalau mengingat aspek penting dalam

peristiwa tersebut.

Dua orang subyek yang mengalami kesulitan mengingat aspek penting

yang terjadi dalam peristiwa tersebut, seperti adanya gejala lupa hari

dan tanggal kejadian serta hanya mampu mengingat sedikit proses

kejadian tersebut. Ada juga berusaha dengan sengaja melupakan

kejadian agar dapat menjalani masa depan.

“Datangnya subuh digrebek rumah, ditendang pitu, terus ditanya sama ibu, setelah itu ditangkap, walaupun kita merasa bersalah tapi kita biasa saja, walaupun kita sudah disiksa kita biasa saja, kita tetap pemberani, saya lainya lupa” (L. 102-106). “Itu sudah saya lupakan, yang saya ingat sedikit, bisa saya ceritakan” (F. 40-41) . “Sudah lupa, gak usah ditanya lagi” (F. 51).

d. Gangguan tidur

1. Kesulitan merasa dan mempertahankan tidurnya

Akibat peristiwa tersebut empat subyek kesulitan merasa dan

mempertahankan tidurnya karena sering terbangun dengan indikator,

sering merasa susah, tidak tenang, gelisah, dan sering kaget saat

terutama saat subyek sedang tidur.

“Ada yang nyenyak ada juga yang susah tidurnya, gelisah kalau ingat kejadian dulu, lebih banyak yang susah tidurnya” (F. 139-141).

“Saat saya tidur, kalau saya tidak bisa tidur” (D. 358-359). “Kadang - kadang tidurnya nyeyak, kadang- kadang susah” (D. 585-587). “Entahlah, maksudnya kalau mata kupejamkan hati tidak tenang, susah begitu” (D. 587-590) “Ada, kaget sediri seperti itu, tidak sadar kaget begitulah” (C. 294-295) “Nyenyak, kadang gelisah juga kalau lagi banyak pikiran” (N. 230-231). Namun ada seorang subyek yang tidak mengalami hal tersebut yaitu; “Ada juga terpikirkan masalah dulu, tapi sekarang sudah damai alhamdulillah saya ucapkan, begitu”. (L. 174-181). “Tidak, tidak” (L. 184).

2. Mimpi buruk mengenai peristiwa yang mengerikan

Pada umumnya kejadian traumatis yang pernah dialami subyek

tersimpan di alam bawah sadar dan muncul kembali saat subyek tidur

sehingga menjadi mimpi yang sangat mengerikan serta disertai dengan

gejala distres fisik dan psikologis.

“Ada tapi sekali-kali” (F. 136).

“Adalah sekali-kali apalagi kalau kurang darah, ada bermimpi” (D. 579-580). “Kadang- kadang tidak ada, sekali-kali waktu ada tidak mesti selalu” (D. 582-583). “Ada juga sekali-kali” (C. 292).

“Ada, tapi tidak sering, sekali-kali” (N. 228). Namun ada satu subyek tidak mengalami lagi hal tersebut yaitu; “Ada juga terpikirkan masalah dulu, tapi sekarang sudah damai Alhamdulillah saya ucapkan, begitu” (L. 172). “ Tidak-tidak” (L. 176)

2. Aspek psikologis positif yang muncul diantaranya :

Namun ada beberapa aspek gangguan psikologis yang seharusnya muncul

namun tidak muncul pada semua subyek ini adalah :

a. Mampu melakukan hubungan sosial dengan baik

Semua subyek dapat melakukan interaksi dan merasakan adanya ikatan

hubungan sosial yang baik dari orang-orang terdekat dan lingkungan

sekitarnya, hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara berikut :

“Biasa, baik, baik” (L. 124). “Biasa juga, baik juga tidak sakit hati, tidak ada rasa dendam karena kita orang baik, bagimana ya, kita hidup sampai hari ini karena tidak pernah selisih paham dengan orang lain, dengan pemuda, dengan orang tua, dengan petua-petua” (L. 136-171). “Baik, kita harus baik dengan masyarakat walaupun sudah dianggap salah oleh kafir-jawa itu tapi kita harus baik agar mau membantu kita, ketika masa konflik sudah dianiaya kita, kalau kita baik . . .” (L. 135-139). “Sekarang, untuk sementara baik, tidak tahu hatinya” (L. 145-146). “Saya selalu baik dengan mereka semua”. (F. 111). “: Senang, saya suka berkumpul-kumpul seperti itu”. (F. 114-115). “Menurut saya selama ini baik-baik aja, tapi saya tidak tahu semuanya kan” (F. 118-119). “Baik, saya tidak pernah, tidak pernah ada masalah dengan tetangga” (D. 485-486). ‘Saya suka, saya senang tenang rasanya hati saya, ada teman untuk diajak bicara”. (D. 491-492). “Tidak mesti, sebab saya dengan masyarakat tidak pernah bermasalah, saya sendiri, saya tidak pernah main kerumah tetangga, selama ini saya jualan nasi jadi gak sempat berkumpul saya sibuk sendiri kalau siang saya tidak pernah ada dikampung, makanya saya tidak pernah punya masalah dengan orang lain, pagi saya pergi malam baru saya pulang, kadang jam 9, jam 10, paling cepat jam ½ 9 jadi gak sempat duduk dengan orang lain, kalau sama pemuda saya berteman semua tidak pernah sakit hati” (D. 501-513). “Saya selalu baik sekali, walaupun begini dengan masyarakat lebih baik dari pada yang sudah-sudah, siapa saja lebih dari yang dulu begitu” (C. 252-255). “Baik, baik sekali orang kampung terhadap saya, ya untuk sementara saya tahu, lebih dari itu saya tidak bisa melihatnya, kalau untuk sekarang baik sekali, saya pu tidak begitu mempermasalahkan tentang orang lain, lalai sendiri, sibuk sendiri, sibuk melakukan pekerjaan sendiri” (C. 254-264). “Saya senang banyak orang” (N. 221)

b. Mampu memiliki dan mengekspresikan perasaan cintanya

Subyek juga mampu mengekspresikan perasaan cinta terhadap orang

terdekat dan lingkungannya dengan bebas serta subyek mampu

merasakan cinta dan kasih sayang dari keluarga, teman dan masyarakat

sekitarnya, hal ini dapat dilihat dari :

“Yang saya ketahui pasukan-pasukan inong balee masih sayang kepada saya, masih cinta kepada saya tapi yang tidak saya ketahui tidak saya beritahukan, saya pasukan inongg balee tapi teman saya, orang yang dekat dengan saya masih sayang kepada saya”. (L. 149-154) Sayang, walaupun ada yang dipenjara saya menyayanginya juga, ada saya jeguk-jeguk walaupu saya tahu mulut harimau tapi kita masuk juga tapi kita pergi dengan akal”. (L. 157-160)

“Sayang sekali, begitu juga saya terhadap mereka saya juga” (F. 122-123). “Sayang” (D. 516). “Sayang, kalau sama orang lain saya sayang sekali, buat keluarga lebih lagi, kalau saya melihat keluarga yang kekurangan, saya sayang sekali, tidak menertawakan, saya tidak saya sama orang-orang kaya, orang miskin saya mengerti sebab saya orang miskin juga” (D. 519-525) “Sayang sekali” (C. 267). “Masih sayang, masyarakat juga, ya satu kali orang baik sepuluh kali saya akan baik terhadap mereka, ya tidak pernah ada selisih sama saya, masyarkat pun tidak pernah marah-marah” (C. 270-274). “Baik-baik saja, tidak pernah ada perselisihan” (N. 218). “Menurut saya selama ini baik, saya tidak pernah mendengar yang tidak enak tentang saya, kalau keluarga memang sayang sekali” (N. 225-227).

c. Optimis dan berpikir positif

Mereka juga memiliki harapan dan terus berusaha untuk mendapatkan

hasil yang lebih baik serta yakin masa depannya akan menjadi lebih

baik. Hal ini ditunjukkan oleh :

“Tidak, dalam suatu pejuangan kita kan tidak dibolehkan mundur, tapi kita juga dilarang berputus asa oleh Allah”. (L.

175-177). Masa depan saya karena saya seorang perempuan, saya ingin masa depan sudah damai, saya pasukan inong balee ya, bagimana orang ini mengurus agar kami maju, diajarin kami, kemana yang ditunjukkan oleh atasan kami kesitu kami pergi tapi atasan menunjukkan satu jalan kesini kami ikut, begitu (L. 163-170). “Baik, kita berdoa semoga tetap baik, jangan ada lagi seperti dulu, sayapun sudah berkeluarga Insya Allah akan baik. (F. 127-128). “Kalau saya sendiri tidak pernah lagi yang seperti itu, apalagi saya sekarang sudah berkeluarga lagi” (F. 130-132) “Saya berdoa untuk kedepan agar saya senang, jangan sempat saya rasakan lagi apa yang pernah saya alami, rasanya saya tidak mau terulang lagi, cukup sudah yang saya rasakan” (D. 531-535). “Ya saya sendiri ingin agar cerah, ada masa depan, bagaima caranya saya berusaha agar ada masa depan yang baik, saya berusaha untuk masa depan, saya raih kerja saya walaupun capek sekali” (C. 270-274) “Dulu pernah ada, saya tidak itu lagi hilang semangat, tapi sekarang sudah tidak lagi, sudah sepeti semula” (C. 285-287). “Untuk kedepan akan baik apalagi sudah punya anak, sekarangkan sudah lebih baik, ya kita berdoa akan baik-baik aja selalu”. (N. 230-232).

3. Aspek, Kategori dan Indikator gangguan

Tabel 3. Aspek, Kategori, Sub Kategori dan Indikator

Tema Kategori Sub kategori Indikator

Ganguan kcemasan

Stres .

- Stress ingatan - Teringat kejadian traumatis

- Terbayang kejadian traumatis

- Melihat tempat kejadian

- Waktu sepi-sepi mengingat kembali kejadian traumatis

- Melihat ada yang terbakar

- Psikologis - Panik, sedih, sakit hati, panas hati, marah, kesal, benci, merasa pedih, dendam dan ingin membalas, hanya memendam dihati, ketakutan

- Fisik - Badan lesu, sakit

badan, lemas, jantung berdebar, keluar keringat dan air mata

- Waspada

berlebihan - Curiga dan

terancam - Kehilangan

kepercayaan dan bersikap hati-hati

- Tidak asal-asalan melangkah atau mengambil keputusan

- Tidak berani, takut

Selalu waspada dan kecurigaan yang tinggi

Reaksi berlebihan ketika kaget/ terkejut

- Ketakutan - Jantung berdebar - Lemas - Kesal - Sakit hati - Sedih - Gelisah - Histeris

Gangguan mood (perasaan)

depresif

Mudah terganggu dan sering marah tanpa alasan

- Cepat kesal tersinggung, panik, sakit hati, panas hati

- Judes, marah tanpa alasan

- Tidak bisa mengendalikan dan cepat emosi

- Mudah sedih, mudah menangis

Perasaan bersalah - Menyesali - Teringat

selalu/terbebani - Selalu terbayang

Menghindari pikiran, perasaan, atau pembicaraan tentang peristiwa yang mengerikan

- Melakukan aktifitas dan menonton televisi

- Mencari teman untuk berbicara

- Sholat - Mendengar musik - Tidak mau

membuat diri gelisah dan stres

- Tidak mau ditanyai tentang peristiwa tersebut

- Berusaha mengubur dan melupakan kejadian tersebut

Menghindari kegiatan, tempat atau orang yang berkaitan dengan peristiwa tersebut

- Tidak mau melihat tempat yang berhubungan dengan kejadian traumatis

- Menghindari orang yang berhubungan dengan kejadian traumatis

Gangguan dengan campuran emosi dan tingkah laku

Mengalami kesulitan mengingat

- Lupa bagaimana proses terjadinya peristiwa traumatis

- Hanya ingat sedikit proses kejadian traumatis

Gangguan penyesuaian

Turunnya aktivitas (semangat)

- Cepat capek - Tidak sanggup

berkerja berat lagi - Semangatnya tidak

sama seperti dulu

- Sulit merasa dan mepertahankan tidurnya

- Merasa susah tidur - Tidak tenang/

gelisah - Sering kaget tanpa

alasan

Gangguan tidur

parasomnias

- Mimpi buruk - Bermimpi buruk - Menangis dalam

mimpi

4. Aspek indikator Psikologis positif

Tabel 4. Aspek, Kategori dan Indikator

Aspek Kategori Indikator Hubungan sosial

Interaksi dan dukungan sosial dari lingkunganya

- Senang ketika berkumpul

- Senag diajak berbicara

- Tidak penah berselisih paham

- Merasa diperlakukan dengan baik

Perasaan Positif

Mampu memiliki dan mengekspresikan perasaan cintanya

- Merasa disayangi - Merasa dicintai - Bisa menyayagi - Mampu mencintai

Persepsi terhadap masa depan

Optimis dan berpikir positif - Tidak pernah berputus asa

- Yakin masa depan akan cerah

- Terus berusaha

VI. PEMBAHASAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu prosedur penelitian

dengan wawancara mendalam yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

tertulis maupun lisan dari subyek dan perilaku yang dapat diamati saat wawancara

berlangsung. Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan mengetahui kondisi

psikologis wanita Aceh mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka (Inong bale)

setelah dilakukan penahahan TNI/POLRI..

Berdasarkan hasil wawancara mendalam yang dilakukan peneliti diperoleh

data bahwa subyek pernah mengalami kejadian traumatik namun setelah subyek

bebas dan tinggal bersama keluarga, subyek kembali survive serta gangguan

psikologisnya mulai menurun. Psikologis positif yang muncul pada diri subyek

diantaranya; semua subyek dapat melakukan interaksi dan merasakan adanya

ikatan hubungan sosial yang baik dari orang-orang terdekat dan lingkungan

sekitarnya (ww. L. 124, 136-137, 135-139, 145-146. F. 111, 114-115, 118-119. D.

485-486, 491-492, 501-513. C. 252-255, 254-264, N. 221), subyek juga mampu

mengekspresikan perasaan cinta terhadap orang terdekat dan lingkungannya

dengan bebas serta mampu merasakan cinta dan kasih sayang dari keluarga, teman

dan masyarakat sekitarnya (ww. L. 149-154, 157-160, F. 122-123. D. 516, 519-

525. C. 267, 270-274. N. 218, 225-227), serta memiliki harapan dan terus berusaha

untuk mendapatkan hasil yang lebih baik serta yakin masa depanya akan menjadi

lebih baik (ww. L. 163-170, 175-177, F. 127-128, 130-132. D. 531-535. C. 270-

274, 285-287. N. 230-232). Oleh karena itu peneliti berpendapat bahwa gangguan

yang dialami subyek sudah mulai menurun. Menurut Kaplan dkk (1994) adanya

mekanisme hubungan interpersonal dengan tujuan untuk melindungi individu lain

dari efek stres yang buruk, pada umunya individu mempunyai sistem dukungan

sosial yang kuat kerentanan terhadap penyakit mental adalah rendah, dan

kemungkinan pemulihan gangguan-gangguan psikologis menjadi lebih tinggi.

Menurunnya gangguan yang dialami subyek, disebabkan karena mendapat

dukungan sosial yang baik dari keluarga dan masyarakat sekitar tempat tinggal

subyek. Hadirnya dukungan sosial dari keluarga, teman atau anggota masyarakat

lainnya yang akrab dan bersahabat yang diperlukan subyek terutama pada waktu

mengalami penderitaan yaitu ketika terjadi peristiwa yang tragis dan menghayati

perasaan tidak bermakna, efek dari dukungan sosial ini membawa pengaruh yang

positif bagi subyek sehingga subyek bisa mengekspresikan perasaan cintanya

kepada orang lain, membangkitkan perasaan optimis terhadap masa depan dan

mempunyai penilaian yang baik serta gambaran diri yang positif (self image).

Sariana (2007) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah interaksi atau hubungan

yang dapat membantu individu dari rasa kesedihan, terisolasi, efek stres yang buruk

dan dapat membangkitkan semangat hidup individu tersebut yang dapat diperoleh

dari orang lain yang dicintai seperti keluarga, teman dekat, pacar dan lingkungan

yang ada di sekitarnya. Sehingga individu merasa diperhatikan dihargai dinilai dan

dicintai.

Namun ada aspek gangguan psikologis lain yang masih dialami oleh subyek

diantaranya: Gangguan kecemasan masih dialami oleh semua subyek yaitu; stres

ingatan terhadap peristiwa yang mengerikan dapat dilihat dari ingatan yang muncul

pada saat subyek sedang sendiri tanpa kegiatan, dan ketika melihat tempat kejadian

karena kejadian tersebut telah masuk dan tersimpan ke dalam alam bawah sadar

subyek sehingga sewaktu-waktu ingatan tersebut muncul kembali. Oleh karena itu

subyek masih merasa berada dalam kejadian konflik sehingga tidak bisa

membedakan perubahan situasi damai dan saat konflik (ww. F. 59-61. D. 358-360,

589-560. C. 49-51. L. 45-49, 212-215. N. 68-70, 72-74, 88-89). Selain itu subyek

juga mengalami gejala stres psikologis dan fisik yang kuat, seperti: perasaan panik,

sedih, sakit hati, panas hati, marah, kesal, benci, merasa pedih, ketakutan, dendam

dan ingin membalas perlakuan tersebut, dan gejala fisik seperti badan lesu, sakit

badan, lemas, jantung berdebar, keluar keringat dan air mata. (ww. L 72-74, 186-

188. F. 70-71, 73, 86. D 348-349, 365-366, 374, 385, 388, 399-400. C. 60, 64, 89-

92, 309-310, 312, 318-319). N. 98-99, 103-105, 107). Namun khusus pada subyek

N hanya mengalami stress psikologis tapi tidak mengalami lagi stress fisik (N. 84,

86-89). Kemudian subyek juga mengembangkan sikap waspada dan kecurigaan

yang tinggi seperti; merasa terancam, kehilangan kepercayaan dan bersikap terlalu

hati-hati, tidak asal-asalan melangkah atau mengambil keputusan, menurunnya

keberanian dan sering ketakutan. Ketika kaget subyek juga memperlihatkan reaksi

yang belebihan dan disertai ketakutan, jantung berdebar, lemas, tidak bisa berbuat

berbuat apapun, kesal, sakit hati, sedih, gelisah dan histeris. (ww. L. 132-135, 210,

222-223. F. 160-163, 166, 169-170, 172-173. D. 293-294, 296, 379-381, 634-635,

640-643, 647-648. C. 344-345, 348-350, 353. N. 247-248, 250-252, 254). Hal ini

sesuai dengan indikasi gangguan klinis dalam DSM-IV (1994) gangguan

kecemasan 300. 02 yaitu gangguan kecemasan umum. Reaksi-reaksi seperti

kaget/terkejut muncul karena sejak ditangkap selalu dibentak-bentak. Untuk

mengatasi beberapa indikasi seperti waspada berlebihan subyek apabila bepergian

atau keluar dari rumah selalu bersama keluarga/suami sehingga perasaan waspada

tersebut dapat berkurang.

Gangguan mood (perasaan) yang muncul pada subyek hampir sama antara

satu dengan yang lain ditunjukkan dengan gejala mudah terganggu dan sering

marah tanpa alasan yang dialami dengan perubahan emosi yang tidak menentu oleh

subyek seperti; cepat kesal dan tersinggung, panik, sakit hati, panas hati, judes,

marah tanpa alasan, tidak bisa mengendalikan dan cepat emosi, mudah sedih,

mudah menangis (ww. L. 179-182, 196-198. F. 145-149, 154-155. D. 482-489,

611-617. N. 236-238. Hal ini sesuai dalam DSM-IV (1994) gangguan mood

(perasaan) dengan kategori gangguan depresif. Namun ada seorang subyek yang

tidak mengalami gangguan itu lagi karena dia masih mampu mengendalikan

perasaan dengan baik, sabar dan tidak marah/tersenyum (ww. C. 220-227).

Subyek mengalami gangguan tidur dengan gejala; kesulitan dalam merasa

dan mempertahankan tidurnya atau sering terbangun, merasa gelisah dan kaget

tanpa alasan, sering bermimpi buruk serta menangis dalam mimpinya hal ini sesuai

dengan indikasi dalam DSM-IV (1994) gangguan tidur parasomnias dengan

diagnogsis 307.47, gangguan mimpi buruk. Aspek ini dapat dilihat dari (ww. F

136. D 579-580. C. 292). Namun ada satu subyek tidak mengalami lagi gangguan

tidur karena subyek berusaha melupakan, dan subyek dapat melihat sisi positifnya

yaitu situasi Aceh sekarang sudah damai (L. 172, 176).

Selain itu subyek juga mengalami gangguan penyesuaian yang ditunjukkan

oleh gejala menghindari pikiran, perasaan, atau pembicaraan tentang peristiwa

yang dialami oleh inong balee tersebut seperti: berusaha mengubur dan melupakan

kejadian tersebut dengan cara melakukan ibadah sholat, melakukan aktivitas dan

menonton televisi, mendengar musik, mencari teman untuk berbicara, dan merasa

keberatan ditanyai tentang peristiwa tersebut agar tidak membuat diri gelisah dan

stres (ww. L. 79-81. F. 55-56, 76-78, 82, 94-95. D. 348-359, 403-404, 409-412. C.

70-71, 78-80). Namun ada satu subyek tidak berusaha menghindari pembicaraan

mengenai peristiwa tersebut karena merasa sudah pernah mengalaminya, cuek saja

supaya jangan membuat diri sendiri gelisah lagi (ww. L. 84-86).

Pada gangguan penyesuaian tingkah laku ditunjukkan oleh adanya usaha

dari subyek untuk menghindari kegiatan, tempat atau orang yang berkaitan dengan

peristiwa tersebut hanya dialami oleh satu subyek saja (ww. F. 86-87,89-90). Hal

ini ditunjukkan dengan adanya usaha untuk menghindar dan tidak mau melihat

tempat dan orang berhubungan dengan tempat kejadian, dan gejala mengalami

kesulitan kalau mengingat aspek penting dalam peristiwa tersebut seperti: lupa hari

dan tanggal kejadian serta hanya mampu mengingat sedikit proses kejadian

tersebut. hal ini sengaja dilakukan agar subyek bisa menjalani hidupnya dan

menatap masa depanya. Subyek yang mengalami gangguan diatas sebanyak 2

orang yaitu : (ww. L. 102-106 dan F. 40-41, 51). Semua subyek juga mengalami

gejala menurunnya aktivitas kegiatan sehari-hari dapat ditunjukkan dengan cepat

capek, tidak sanggup berkerja berat lagi dan penurunan semangat pada subyek

tersebut serta mengalami kesulitan berkonsentrasi sehingga subyek sering

terbengong-bengong, tidak mampu menyelesaikan suatu tugas atau masalah

sendiri.

Didalam hasil wawancara, tidak semua subyek mengalami kategori

gangguan, ada beberapa subyek yang sama sekali sudah tidak mengalami lagi dan

ada subyek yang hanya mengalami satu kategori saja. Hal ini disebabkan subyek

mengalami kemampuan diri yang baik dan adanya dukungan sosial yang diperoleh

sehingga membuat subyek lebih survive serta mampu menurunkan intesintas

gangguan yang mereka alami meskipun belum memperoleh terapi dan konseling

dari para ahli.

Pada dasarnya dalam penelitian ini masih terdapat banyak kelemahan dan

kekurangan, karena peneliti dalam penggalian data-data tidak melakukan

wawancara lebih lanjut terhadap keluarga maupun masyarakat untuk mengetahui

pengaruh dukungan yang diberikan terhadap perkembangan kondisi psikologis

Inong balee ini. Kekurangan yang lain dapat dilihat pada data dan tempat peristiwa

itu berlangsung tidak dapat dimunculkan dokumentasinya karena situasi yang tidak

memungkinkan. Selain itu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti

terhadap subyek masih kurang tepat (dalam hal ini terlalu mengarahkan) sehingga

dapat dianggap kurang netral.

VII. KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa wanita Aceh mantan tentara

Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee) mengalami gangguan psikologis setelah

penahanan TNI/POLRI. Namun hal ini sudah mulai menurun dan dalam proses

penyembuhan karena adanya pengaruh dukungan sosial yang baik dari

lingkungannya, sehingga menumbuhkan aspek psikologis positif pada subyek dan

subyek menjadi survive kembali.

B. Saran

1. Bagi pemerintah dan para ahli (Psikolog) : Diharapkan agar dapat memberi

bantuan konseling dan terapi kepada wanita-wanita Aceh yang terlibat dalam

Gerakan Aceh Merdeka (Inong balee) yang mengalami gangguan psikologis.

2. Bagi subyek dan keluarga : diharapkan menghubungi pihak-pihak terkait untuk

berusaha mendapatkan bantuan konseling dan psikoterapi agar dapat segera

mengatasi gangguan psikologis yang masih muncul, juga terus meningkatkan

dukungan sosial dan emosional kepada korban.

3. Untuk peneliti berikutnya : Dapat melakukan penelitian pada Inong balee

secara keseluruhan agar dapat mengetahui gangguan psikologis yang lain

dengan menggunakan guide interview yang lebih netral. Penelitian ini juga

dapat difokuskan pada responden yang berbeda di antaranya; korban konflik

dari pihak sipil, korban konflik dari eks GAM, pada keluarga dan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Burns, D.D. 1998. Terapi Kognitif. Pendekatan Baru Bagi Penanganan Depresi.

Jakarta. Erlangga. Gibson, J.L, Ivancevich, J.M., dan Donnelly, J.H. 1996. Organisasi Perilaku

Struktur Proses, Edisi kelima. Jakarta: Binarupa Aksara Kaplan dan Sadock. 1994. Sinopsis Psikiatri. Jilid 2. Edisi Ketujuh. Jakarta.

Binarupa Aksara. Kontras. 2003. Darurat Militer Di Aceh. No. 7/VII.

W. King, A. King, dkk 1999. Journal Of Abnormal Psychology. Volum, 108. No. 1, 164-170

Radnitz Cythia L., Louis Hsu., Dennis D. Tirch., Jeffrey Willard., Lynn B. Lillian.,

Stacey Walczac., Joanne Festa., Lysandra Perez-Strumolo., Charles P. Broderick, Martin Bink., Ilana Schlein., Neil Bockian., Leon Green & Arthur Cytryn. 1998. Journal Of Abnormal Psychology. Volum, 107. No. 4, 679-680.

Maleong, L.J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja

Roesdakarya. Nevid Jeffrey. S., Spencer A. Rathus., Beverly. G. 1997. Abnormal Psychology. In

A Changing World. Third Edition. Prentice-Hall, Inc. Poerwandari, K. 2001. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Prilaku Manusia.

Jakarta : LPSP3. Fakultas Psikologi UI. Syahputra, I. 2006 . Jurnalisme damai. Kelompok Pilar Media, PT. Nuansa Aksara.

Yogyakarta. W. King, A. King, dkk 1999. Journal Of Abnormal Psychology. Volum, 108. No.

1, 164-170. www.Kompas.com