naskah seminar silvano

21
Naskah Seminar Optimasi Firing Rate dalam Tungku Pembakaran Gerabah Tipe Updraft dengan Cross Inlet untuk Mempercepat Proses Pembakaran Gerabah Kasongan Optimasi Firing Rate dalam Tungku Pembakaran Gerabah Tipe Updraft dengan Cross Inlet untuk Mempercepat Proses Pembakaran Gerabah Kasongan Muhammad Silvano Ibrahim Aiwan 10/302106/TK/37292 Dosen Pembimbing: Rahman Sudiyo, S.T., M.T., Ph.D. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Jalan Grafika No: 2 Yogyakarta, 55281 Telp.(0274) 902171 Fax. (0274) 902170 [email protected] INTISARI Industri gerabah merupakan mata pencarian utama bagi warga Kasongan. Tungku pebakaran gerabah yang umum digunakan saat ini di Kasongan adalah tungku api langsung dengan posisi inlet di depan dan belakang tungku. Setelah gempa yang melanda Kasongan pada tahun 2006 dikembangkan tungku api langsung dengan posisi inlet yang menyilang.Tungku ini diklaim dapat mengurangi penggunaan bahan bakar sampai 30 %. Dengan tungku api jenis ini waktu pembakaran untuk mematangkan gerabah menjadi delapan jam. Akan tetapi dibutuhkan waktu yang cukup lama atau laju pemanasan yang lambat pada empat jam pertama pembakaran. Pada tahap ini terjadi proses penguapan air yang terikat sekunder pada kisaran suhu 80-200 0 C. Apabila laju pemanasan pemanasan sangat cepat maka akan menimbulkan pecahnya gerabah. Laju pemanasan yang digunakan pada tahap ini biasanya sekitar 0.3- 0.5 0 C/menit. Berdasarkan literature ditemukan bahwa laju pemanasan yang dapat digunakan untuk tahap ini sekitar 1.1 0 C/menit. Oleh karena itu akan dicari laju pemanasan yang cocok untuk tahap ini. Untuk mempelajari fenomena yang terjadi selama gerabah dibakar maka dilakukan analisis dilatometer. Berdasarkan analisis dilatometer, gerabah dapat dibakar dengan laju pemanasan konstan sebesar 5 0 C/menit. Penyusustan panjang yang terjadi untuk sampel dilatometer sebesar 1.1028% untuk Tanah Bangunjiwo. Untuk mengetahui laju pemanasan yang cocok setelah tahap pertama pembakaran maka dilakukan analisis modulus patah untuk sampel yang dibakar dengan laju pemanasan yang berbeda yaitu 4, 5, dan 6 0 C/menit. Untuk sampel yang dibakar denan laju pemanasan 4 0 C/menit mengasilkan modulus patah sebesar 39.3641 kg/cm 2 . Untuk sampel yang dibakar dengan firing rate 5 0 C/menit memiliki nilai modulus patah sebesar 34.1306 kg/cm 2 dan sampel yang dibakar dengan firing rate 6 0 C/menit nilai modulus patahnya sebesar 40.9003 kg/cm 2 . Hasil ini menunjukkan bahwa untuk kisaran firing rate yang diuji Muhammad Silvano Ibrahim Aiwan (10/302106/TK/37292) Laboratorium Teknologi Keramik dan Komposit 1

Upload: muhammad-silvano-ibrahim-aiwan

Post on 24-Nov-2015

55 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Naskah SeminarOptimasi Firing Rate dalam Tungku Pembakaran Gerabah Tipe Updraft dengan Cross Inlet untuk Mempercepat Proses Pembakaran Gerabah Kasongan

Optimasi Firing Rate dalam Tungku Pembakaran Gerabah Tipe Updraft dengan Cross Inlet untuk Mempercepat Proses Pembakaran Gerabah KasonganMuhammad Silvano Ibrahim Aiwan10/302106/TK/37292Dosen Pembimbing: Rahman Sudiyo, S.T., M.T., Ph.D.Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah MadaJalan Grafika No: 2 Yogyakarta, 55281Telp.(0274) 902171 Fax. (0274) [email protected]

INTISARIIndustri gerabah merupakan mata pencarian utama bagi warga Kasongan. Tungku pebakaran gerabah yang umum digunakan saat ini di Kasongan adalah tungku api langsung dengan posisi inlet di depan dan belakang tungku. Setelah gempa yang melanda Kasongan pada tahun 2006 dikembangkan tungku api langsung dengan posisi inlet yang menyilang.Tungku ini diklaim dapat mengurangi penggunaan bahan bakar sampai 30 %. Dengan tungku api jenis ini waktu pembakaran untuk mematangkan gerabah menjadi delapan jam. Akan tetapi dibutuhkan waktu yang cukup lama atau laju pemanasan yang lambat pada empat jam pertama pembakaran. Pada tahap ini terjadi proses penguapan air yang terikat sekunder pada kisaran suhu 80-2000C. Apabila laju pemanasan pemanasan sangat cepat maka akan menimbulkan pecahnya gerabah. Laju pemanasan yang digunakan pada tahap ini biasanya sekitar 0.3-0.50C/menit. Berdasarkan literature ditemukan bahwa laju pemanasan yang dapat digunakan untuk tahap ini sekitar 1.10C/menit. Oleh karena itu akan dicari laju pemanasan yang cocok untuk tahap ini.Untuk mempelajari fenomena yang terjadi selama gerabah dibakar maka dilakukan analisis dilatometer. Berdasarkan analisis dilatometer, gerabah dapat dibakar dengan laju pemanasan konstan sebesar 50C/menit. Penyusustan panjang yang terjadi untuk sampel dilatometer sebesar 1.1028% untuk Tanah Bangunjiwo. Untuk mengetahui laju pemanasan yang cocok setelah tahap pertama pembakaran maka dilakukan analisis modulus patah untuk sampel yang dibakar dengan laju pemanasan yang berbeda yaitu 4, 5, dan 60C/menit. Untuk sampel yang dibakar denan laju pemanasan 40C/menit mengasilkan modulus patah sebesar 39.3641 kg/cm2. Untuk sampel yang dibakar dengan firing rate 50C/menit memiliki nilai modulus patah sebesar 34.1306 kg/cm2 dan sampel yang dibakar dengan firing rate 60C/menit nilai modulus patahnya sebesar 40.9003 kg/cm2. Hasil ini menunjukkan bahwa untuk kisaran firing rate yang diuji tidak mempengaruhi kekuatan gerabah, sehingga sebagai kesimpulan awal laju pemanasan pada pembakaran Gerabah Kasongan dapat dipercepat dengan menggunakan firing rate 60C/menit.Kata kunci: laju pemanasan, air terikat sekunder, penyusutanABSTRACTIndustry of pottery become main earning for Kasongan people. The common furnace which is used now is updraft kiln which has inlet position at front and back side of furnace. After the Bantuls earthquake occurred on 2006 there was developed a new kind of updraft kiln with cross inlet. This furnaces claimed that it could decrease the consumption of firewood up to 30% and the firing time will be eight hours. Beside that it needed quite long time or low firing rate on the four beginning hours of firing. In this step the unbounded water would be eavaporated at the temperature about 80-2000C. If the firing rate too high, the cracking would be occurred on the pottery. In this step, the usual firing rate is about 0.3-0.50C/minute. Based on the literature the firing rate that could be used is 1.10C. So, it would be founded the suitable firing rate for this step.The dilatometry analysis should be conducted in order to learn the phenomena during firing process. Based on the dilatometer analysis, the pottery could handle firing rate of 50C/minute. The dilation of the sample is about 1.1028% for Bangunjiwo Clay. The modulus of rupture was conducted in order to find the suitable firing rate after the first step was passed for samples which was fired with varied the firing rate of 4,5, and 60C/minute. The sample with firing rate of 40C/minute has modulus of rupture value of 39.3641 kg/cm2. The sample with firing rate of 50C/minute has modulus of rupture value of 34.1306 kg/cm2. The sample with firing rate of 60C/minute has modulus of rupture value of 40.9003 kg/cm2. This result shows that in that range of firing rate didnt affect to the samples strength. So, it could be concluded that the firing rate in Kasongan could be increased until 60C/minute.Keywords: firing rate, unbounded water, dilationPENGANTARGerabah merupakan perkakas yang terbuat dari lempung atau tanah liat. Industri gerabah telah menjadi mata pencarian penting bagi warga Kasongan, Yogyakarta. Gerabah Kasongan telah dipasarkan secara domestik maupun internasional. Setiap bulannya gerabah dari Kasongan dapat diekspor rata-rata mencapai 80 kontainer. Sampai saat ini untuk mengeringkan gerabah dilakukan dengan sistem pembakaran tungku tradisional dan menggunakan bahan bakar berupa kayu bakar. Tungku yang digunakan di Kasongan masih merupakan tungku jenis updraft dengan enam buah inlet, tiga buah terletak di bagian kanan dan tiga buah terletak di bagian kiri. Pada tahun 2006 pasca gempa muncul inovasi jenis tungku updraft. Tungku ini memiliki tiga buah inlet pada bagian belakang dan masing-masing satu buah di bagian kanan dan kiri. Berdasarkan informasi dari perancangnya, tungku ini memiliki banyak kelebihan dibanding tungku updraft yang lain. Tungku ini dapat menghemat sampai 30 persen bahan bakar dibanding tungku updraft yang biasanya. Selain itu tungku ini juga dapat mencapai suhu 800 derajat celcius sedangkan tungku updraft yang biasanya hanya mampu mencapai suhu 600 derajat celcius.Pada proses pembakaran gerabah terkadang operator menggunakan blower untuk mempercepat prosesnya. Dari informasi operator tungku proses pembakaran gerabah pada tungku ini jika tidak menggunakan blower memerlukan waktu selama 10-12 jam sedangkan jika menggunakan blower prosesnya dapat dipercepat sampai 8-9 jam. Berarti penggunaan blower meningkatkan firing rate pada proses pembakaran gerabah. Akan tetapi proses pembakaran dengan menggunakan blower jarang dilakukan karena kebutuhan bahan bakar menjadi boros dan ada tambahan biaya untuk listrik. Selain itu kualitas gerabah yang dihasilkan belum terjamin baik dengan meningkatnya firing rate ini.Pada penelitian kali ini akan diketahui pengaruh firing rate terhadap penyusutan dari gerabah sehingga dapat diketahui nilai firing rate tertentu yang tidak menyebabkan cracking pada gerabah. Pada akhirnya peneliti dapat menyarankan pada operator tungku pada tahap-tahap pembakaran mana saja firing rate dapat dinaikkan sehingga waktu pembakaran gerabah menjadi minimum tanpa mengurangi kualitas gerabah yang dihasilkan.TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORIPada awal-awal proses pembakaran gerabah kenaikan suhu pada empat jam pertama pembakaran cukup rendah, berarti firing ratenya rendah. Pada tahap ini terjadi proses drying untuk menghilangkan kandungan air di dalam gerabah. Pada tahap ini firing rate dijaga pada nilai yang relatif rendah karena apabila firing rate terlalu tinggi gerabah yang dibakar dapat mengalami cracking. Cracking terjadi apabila air yang terkandung dalam gerabah dipanaskan secara cepat dan tiba-tiba sehingga menguap dan volumenya membesar dan akhirnya mendesak struktur gerabah dan akhirnya pecah. Firing rate pada pemanasan gerabah memiliki nilai tertentu agar gerabah yang dihasilkan berkualitas baik. Pada dua jam pertama pemanasan, firing rate sebaiknya bernilai 1500F/jam dengan kenaikan yang perlahan. Kemudian dilanjutkan dengan firing rate sebesar 4000F/jam untuk tiga jam berikutnya. Untuk jam-jam berikutnya firing rate diset sebesar 1200F/jam sampai temperatur yang diinginkan tercapai. (http://pottery.about.com)perubahan struktur gerabah dan suhu sinter merupakan parameter penting pada proses sintering. Perubahan ini sangat berhubungan dengan kurva perubahan dimensi material atau kurva ekspansi thermal. Analisis terhadap kurva ekspansi thermal ini memberikan informasi penting mengenai proses sintering yang terjadi. Perubahan parameter thermal ini dapat diketahui dari analisis dilatometer. Dilatometer merupakan suatu alat untuk mengukur nilai ekspansi thermal suatu bahan. Analisis dilatometer akan menghasilkan kurva ekspansi thermal yang memberikan informasi penting mengenai proses sintering yang terjadi. Pada saat analisis menggunakan dilatometer, sampel akan dikenai panas dengan laju pemanasan yang dapat diatur nilainya. Kemudian akan dihasilkan kurva ekspansi thermal terhadap laju pemanasan dan diperoleh pula data suhu sintering. Dengan pengaturan laju pemanasan akan diperoleh pula data laju pemanasan optimum yang tidak menimbulkan cracking sehingga jika data laboratorium ini diterapkan pada pembakaran gerabah di lapangan akan dapat mempersingkat waktu pembakaran gerabah.

(a) (b)Gambar 1. Laju Pneyusutan Gerabah (a) dan Laju Pengeringan (b)Lembah pertama terjadi sekitar suhu 1000C yaitu pada saat penghilangan kandungan air terikat sekunder, antara suhu 400-6000C terjadi evaporasi kandungan air terikat primer, juga biasa diketahui sebagai dehidrasi kaolinite (Persson, 2012).Tahap pengeringan air dari tanah liat merupakan tahap yang sangat penting dalam proses pengubahan tanah liat menjadi keramik. Terkadang air ditambahkan pada saat pembentukan tanah liat menjadi bentuk yang diinginkan. Air yang terkandung ini dihilangkan pada proses pengeringan untuk meningkatkan kekuatan dan densitas gerabah. tanah liat yang sudah kering tetapi belum melalui proses pembakaran disebut green body.

Pada tahap awal pengeringan terjadi penyesuaian kondisi bahan (suhu) dengan kondisi media pengering. Garis A-B terjadi apabila suhu bahannya berada di atas suhu bola basah dari media pengering sedangkan garis A-B terjadi apabila suhu bahan berada di bawah suhu bola basah media pengering. Pada garis B-C terjadi tahap laju pengeringan tetap. Pada tahap ini permukaan bahan terbasahi terus oleh cairan karena proses difusi cairan dianggap cukup cepat. Pada garis C-D terjadi tahap laju pengeringan turun linier. Pada tahap ini yang menjadi pengontrol lajunya adalah proses difusi cairan ke permukaan bahan. Garis D-E menunjukkan bahwa terjadi proses pengeringan dengan laju menurun yang tidak beraturan. Proses ini terjadi karena dalam padatan sudah terbentuk daerah daerah dalam padatan yang sudah kering. Selama pengeringan penyusutan gerabah terjadi dan hal ini diakibatkan karena kandungan air pada tanah liat dihilangkan. Laju pengeringan juga penting apabila difusi ke permukaan ketika terjadi proses penguapan yang mengontrol. Apabila laju penguapan lebih tinggi dari laju difusi, permukaan gerabah akan menyusut lebih cepat dibanding bagian dalam gerabah. Hal ini akan meningkatkan resiko terjadinya cracking. Tahap-tahap dari proses pengeringan air ditunjukkan pada gambar di bawah ini. Gambar 2. Tahap Penghilangan Air pada Gerabah. Bagian tengah menunjukkan kandungan air tidak terikat, bagian tengah menunjukkan kandungan air terikat, dan bagian kanan menunjukkan gerabah kering.

Ketebalan gerabah juga mempengaruhi penyusutan karena semakin tipis gerabah akan meningkatkan resiko terjadinya penyusutan yang tidak merata sehingga dapat menyebabkan gerabah mengalami perubahan bentuk. Kandungan air awal pada gerabah juga mempengaruhi proses penyusutan. Oleh karena itu penting untuk menjaga nilai kandungan air serendah mungkin. Apabila kandungan air terlalu tinggi maka yang mengontrol adalah laju perpindahan massa air di permukaan padatan. Apabila laju penguapan lambat maka air yang mendifusi ke permukaan akan terhambat dan menekan bagian dalam gerabah sehingga resiko terjadinya cracking semakin tinggi.Ukuran pori pada padatan juga mempengaruhi penyusutan. Untuk ukuran pori yang besar maka difusifitas air ke permukaan menjadi cepat sehingga yang menjadi pengontrol pengurangan air pada padatan adalah transfer massa air di permukaan padatan. Hal ini tidak diinginkan kerana akan memperbesar resiko terjadinya cracking.Proses penghilangan air ini terjadi di awal proses pembakaran ketika suhu tungku relatif belum terlalu tinggi. Semakin lama proses pembakaran berlangsung maka suhu tungku dan gerabah di dalamnya juga semakin tinggi sehingga perpindahan panas secara radiasi antar gerabah di dalam tungku tidak dapat diabaikan. Berikut adalah profil radiasi untuk tungku downdraft hasil penelitian terdahulu:

Gambar 3. Profil Radiasi di dalam Tungku DowndraftDari profil radiasi di atas, jelas sekali bahwa pengaruh radiasi sangat signifikan walaupun suhu furnace cukup rendah dibandingkan simulasi dengan mengabaikan radiasi. Wilayah yang memberikan pengaruh radiasi yang sangat besar tidak mengejutkan adalah inlet dari tungku. Radiasi antara gerabah juga terjadi dan tidak bias diabaikan (Nilenius, 2011).

METODOLOGI PERCOBAANBahanBahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:1. Tanah liat yang diperoleh dari Kecamatan Kasongan, Yogyakarta.2. Kayu bakar yang diperoleh dari Kecamatan Kasongan, Yogyakarta.3. Daun kering yang diperoleh dari Kecamatan Kasongan, Yogyakarta.4. Bensin yang diperoleh dari Kecamatan Kasongan, Yogyakarta.AlatAlat yang digunakan berupa tungku pembakaran gerabah dengan tipe updraft dengan cross inlet, thermocouple, dan blower yang dirangkai seperti pada Gambar 4. (a) (b)Gambar 4. Rngkaian Alat Percobaan (Tungku Updraft dengan Cross Inlet (a), Dilatometer (b))Prosedur pelaksanaanTahap pertama adalah persiapan sampel tanah liat. Tanah liat dibentuk balok dengan ukuran 10 cm x 5 cm x 3 cm. Kemudian sampel dengan bahan tanah liat Gerabah Kasongan dikeringkan dengan cara dijemur di bawah panas matahari selam sekitar satu minggu. Setelah kering, sampel ini siap untuk dibakar di dalam tungku.Tahap kedua adalah tahap pembakaran sampel. Pengambilan data penelitian dimulai dengan dimasukkannya sampel ke dalam tungku dengan meletakkan sampel pada titik A, B, C, D, E, F, G, dan H. Lalu tungku ditutup dan lubang-lubang pada titik-titik pengukuran suhu dipastikan sudah siap. Kemudian bahan bakar berupa kayu bakar dengan jumlah sekitar 30 ikat dengan setiap ikatnya seberat 15 kg, daun kering dengan jumlah 3 kg, dan bensin dengan jumlah 8 liter disiapkan pada setiap inlet. Pemberian bensin dan daun kering ini hanya dilakukan pada pembakaran awal. Langkah berikutnya adalah melakukan pembakaran terhadap bahan bakar. Pada penelitian kali ini suplai udara sebagai oksidator hanya disebabkan oleh konveksi bebas. Kemudian suhu pada titik-titik pengukuruan (1 sampai dengan 15) dan dinding luar pada sisi utara, selatan, timur, dan barat tungku diukur suhunya dengan menggunakan termokopel, lalu suhu yang tertera pada termokopel dicatat dalam selang waktu 60 menit sejak pembakaran dimulai. Pencatatan suhu ini dilakukan selama proses pembakaran berlangsung. Apabila pembakaran telah selesai, dilakukan pendinginan kurang lebih selama satu hari. Lalu dinding pada tungku dibongkar. Apabila tungku dan gerabah yang terdapat di dalamnya telah dingin, gerabah tersebut dikeluarkan dan tungku disiapkan kembali untuk pembakaran selanjutnya. Kemudian langkah penelitian dilakukan kembali untuk variasi proses pembakaran dengan menggunakan blower.Tahap ketiga adalah mempelajari pengaruh pemanasan (heating rate) terhadap penyusutan gerabah menggunakan dilatometer. Pada tahap ini akan dipelajari fenomena yang terjadi selama terjadi proses pembakaran dari Gerabah Kasongan. Pertama-tama sampel dicetak terlebih dahulu kemudian dikeringkan dengan cara dibirkan di udara terbuka selama satu minggu. Jika sampel sudah siap rangkaian alat disiapkan, kemudian sampel diletakkan pada tempat sampel. Lalu kecepatan pemanasan diatur pada nilai 50C/menit pada rangkaian alat dan diamati fenomena yang terjadi pada penyusutan gerabah.HASIL DAN PEMBAHASANSecara umum proses pembakaran gerabah dilakukan selama delapan sampai sepuluh jam dengan suhu akhir pembakaran mencapai 6000C sampai 8000C. Sebelum dibakar tanah liat yang sudah dibentuk dikeringkan terlebih dahulu di tempat yang teduh selama tiga sampai tujuh hari tergantung cuaca. Pengeringan dengan panas matahari langsung dihindari karena dapat membuat tanah liat yang sedang dijemur dapat mengalami keretakan.

(a) (b)Gambar 5. Proses Pengeringan Gerabah (a), Proses Penyusunan Gerabah (b)Setelah tanah liat dianggap cukup kering maka proses pembakaran dilakukan. Sebelum itu gerabah yang belum matang ini disusun terlebih dahulu di dalam tungku. Penyusunan gerabah dilakukan tanpa aturan khusus. Gerabah disusun di dalam tungku pembakaran se-bulky mungkin. Jarak gerabah yang satu dengan gerabah yang lain di dalam tungku sekitar lima centimeter dengan ukuran gerabah mulai dari 50 cm sampai satu meter.Setelah proses penyusunan gerabah selesai, proses pembakaran dimulai. Secara umum pada empat jam pertama pembakaran laju pemanasan diatur pada nilai yang rendah karena pada tahap ini terjadi proses penghilangan kandungan air yang terikat secara sekunder.Tiga jam berikutnya suhu gerabah dinaikkan sampai 4000C dengan laju pemanasan yang lebih tinggi daripada pada tahap pertama. Kemudian pada jam-jam terakhir pembakaran suhu gerabah dinaikkan sampai suhu matangnya gerabah yaitu sekitar 6000C.Data yang diambil pada penelitian ini terdiri dari dua jenis data, yaitu data lapangan dan data laboratorium . Data distribusi suhu yang didapat dari lapangan dibandingkan dengan data yang diperoleh dari laboratorium sehingga diperoleh beberapa saran yang dapat diajukan kepada pengrajin gerabah untuk membuat proses pembakaran gerabah di Kasongan menjadi lebih cepat. Pengambilan data pertama dilakukan pada kondisi yang agak lembab, kayu bakar yang digunakan masih memiliki kadar air yang tinggi sehingga pada sekitar jam ke-5 setelah pembakaran digunakan blower untuk membuat kondisi pembakaran dengan konveksi paksaan.

(a) (b)Gambar 6. Suhu Rata-rata dan Deviasi di dalam Tungku untuk Pembakaran Pertama (a), Tahapan Pembakaran dan Laju Pemanasan untuk Pembakaran Pertama (b)Grafik di atas merupakan grafik suhu rata-rata dalam tungku selama waktu pembakaran gerabah. Dari grafik di atas dapat terlihat bahwa nilai standar deviasi semakin tinggi pada apabila suhu rata-rata dalam tungku semakin tinggi. Hal ini berarti semakin lama waktu pembakaran atau semakin tinggi suhu di dalam tungku maka distribusi suhu di dalam tungku menjadi semakin tidak seragam. Standar deviasi rata-rata untuk pembakaran pertama ini sebesar 11.63069 %. Dengan kondisi operasi seperti ini suhu rata-rata maksimum yang dapat dicapai tungku sebesar 6000C dengan lama pembakaran 10 jam. Berarti heating rate rata-rata selama proses pembakaran sebesar 1.02030C/menit.Secara garis besar, proses pembakaran dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama adalah tahap pemanasan dari suhu lingkungan mencapi suhu 1500C dengan laju pemanasan rata-rata sebesar 0.45730C/menit dengan waktu pembakaran selama empat jam. Tahap kedua adalah pemanasan sampai suhu 3000C dengan laju pemanasan rata-rata sebesar 0.98720C/menit selama tiga jam. Tahap ketiga adalah pemanasan sampai suhu matang gerabah yaitu 6000C dengan nilai laju pemanasan rata-rata sebesar 1.65950C/menit selama tiga jam. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa laju pemanasan meningkat pada setiap tahapnya. Pada awal-awal waktu pembakaran laju pemanasan sangat kecil. Hal ini bertujuan agar gerabah tidak mengalami cracking karena pada tahap ini terjadi proses penguapan air yang terikat dengan ikatan sekunder(van der walls).Pada pengambilan data kedua di Kasongan, kondisi lingkungan kering dan kadar air pada kayu bakar relative kecil sehingga tidak diperlukan penggunaan blower.

(a) (b)Gambar 7. Suhu Rata-rata dan Deviasi di dalam Tungku untuk Pembakaran Kedua (a), Tahapan Pembakaran dan Laju Pemanasan untuk Pembakaran Kedua (b)Sama seperti pembakaran pertama, suhu maksimum rata-rata yang dicapai sebesar 6000C dengan lama pembakaran delapan jam sehingga heating rate rata-rata selama proses pembakaran berlangsung sebesar 1.27190C/menit. Kecenderungan mengenai standar deviasi juga serupa dengan data pembakaran pertama. Standar deviasi intuk pembakaran kedua ini sebesar 15.1377%.Pada tahap pertama pembakaran suhu gerabah dinaikkan sampai mencapai 1000C dengan laju pemanasan sebesar 0.323340C/menit selama empat jam. Dalam selang waktu pembakaran selama empat jam suhu tertinggi yang dicapai pada tahap pertama ini lebih rendah dibandingkan pada pembakaran pertama. Pada tahap kedua suhu gerabah dinaikkan sampai sekitar 2500C dengan laju pemanasan sebesar 1.07170C/menit selama dua jam. Pada tahap ketiga suhu gerabah dinaikkan sampai suhu matang gerabah yaitu 6000C dengan laju pemanasan sebesar 3.11900C/menit selama dua jam.

(a) (b)Gambar 8. Suhu Rata-rata dan Deviasi di dalam Tungku untuk Pembakaran Ketiga (a), Tahapan Pembakaran dan Laju Pemanasan untuk Pembakaran Ketiga (b)Pengambilan data suhu tungku ketiga ini dilakukan dengan kondisi lingkungan yang kering sehingga kadar air dalam kayu bakar relatif rendah. Pada pembakaran ketiga ini juga digunakan blower untuk meningkatkan rasio udara dan bahan bakar. Pada pembakaran dengan kondisi ini diperoleh suhu maksimum rata-rata dalam tungku sebesar 6800C dengan waktu pembakaran selama 10,5 jam. Berarti firing rate rata-rata selama proses pembakaran sebesar 1.05000C/menit.Dapat dilihat dari grafik diatas bahwa pada pembakaran ketiga ini strandar deviasi pada setiap waktunya relatif lebih rendah dibandingkan dengan standar deviasi pada pembakaran sebelumnya, dengan nilai 10.7967 %. Hal ini berarti distribusi suhu pada setiap titik pengukuran lebih seragam dibandingkan pada pembakaran-pembakaran sebelumnya. Pada tahap pertama pembakaran suhu gerabah dinaikkan dari suhu lingkungan sampai 1000C dengan laju pemanasan sebesar 0.279950C/menit selama empat jam. Pada tahap kedua suhu gerabah dinaikkan sampai suhu 2000C dengan laju pemanasan sebesar 0.55090C/menit. Pada tahap ketiga suhu gerabah dinaikkan sampai suhu 6800C dengan laju pemanasan sebesar 2.21030C.Pada pengambilan suhu untuk pembakaran ke empat keadaan lingkungan agak basah sehingga pada pembakaran ke empat digunakan blower mulai dari jam ke lima pembakaran selama sekitar satu jam. Pada pembakaran kali ini firing rate rata-rata sebesar 1.28830C/menit dengan waktu pembakaran selama delapan jam dan suhu akhir pembakaran mencapai 618.40C. Pada pembakaran ke empat ini diperoleh deviasi rata-rata sebesar 20.0203%, yang berarti pada selama pengambilan data pembakaran satu, dua, tiga, dan empat, pembakaran ke empat menghasilkan distribusi suhu di dalam tungku yang paling tidak merata.

(a) (b)Gambar 9. Suhu Rata-rata dan Deviasi di dalam Tungku untuk Pembakaran Keempat (a), Tahapan Pembakaran dan Laju Pemanasan untuk Pembakaran Keempat (b)Pada tahap pertama pembakaran firing rate terhitung sebesar 0.41670C/menit selama empat jam. Pada tahap kedua pembakaran firing rate terhitung sebesar 1.38890C/menit selama tiga jam. Firing rate pada tahap ketiga sebesar 4.16670C/menit selama satu jam.Untuk mempelajari fenomena yang terjadi selama pembakaran dan seberapa besar penyusutan selama pembakaran berlangsung maka dilakukan analisis dilatometer. Analisis dilatometer dilakukan untuk jenis tanah campura Bangunjiwo dan jenis tanah campuran Kulonprogo. Tanah campuran Bnagunjiwo memiliki perbandingan komposisi dengan perbandingan Lempung Bangunjiwo:Tanah Merah Kasongan:Pasir Besi Sungai Kasongan = 2:2:1. Sedangkan untuk tanah campuran Kulonprogo memiliki perbandingan komposisi Lempung Kalibawang:Pasir:Tanah Merah Borobudur = 4:1:7. Berikut ini merupakan data dari analisis dilatometer untuk sampel tanah campuran Bangunjiwo:

Gambar 9. Hasil Analisis Dilatometer untuk Tanah Campuran BangunjiwoSampel yang digunakan untuk analisis dilatometer ini merupakan tanah campuran Bangunjiwo yang dibentuk dengan cetakan sehingga menghasilkan bentuk silinder dengan diameter sebesar 2,530 cm dan diameter sebesar 0.57 cm. Sebelum dilakukan analisis, lempung yang sudah dicetak didiamkan di udara terbuka selama tujuh hari untuk menghilangkan kandungan air bebasnya. Pada analisis ini laju pemanasan diatur pada 500C/menit dan suhu dinaikkan dari suhu ruang sampai 8000C kemudian pada keadaan ini suhu dibuat konstan 8000C selama 20 menit. Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui terjadi penyusutan yang sangat besar pada kisaran suhu 2000C dan suhu 500-6000C. Berdasarkan teori, pada kisaran suhu 2000C terjadi pelepasan air yang terikat berdasarkan ikatan sekunder dan pada suhu 5000C terjadi pelepasan air yang terikat dengan ikatan primer. Oleh karena itu penyusutan di kisaran suhu tersebut menjadi sangat besar.Laju penyusutan yang sangat tinggi terjadi pada kisaran suhu 2000C dan suhu 5000C dengan alasan yang telah dikemukakan sebelumnya.

Gambar 10. Hasil Analisis Dilatometer untuk Tanah Campuran KulonprogoSampel yang digunakan untuk analisis dilatometer ini merupakan tanah campuran Kulonprogo yang dicetak sehingga menghasilkan bentuk silinder dengan diameter sebesar 2,760 cm dan diameter sebesar 0.57 cm. Sebelum dilakukan analisis, lempung yang sudah dicetak didiamkan di udara terbuka selama tujuh hari.Analisis dilatometer untuk tanah campuran Kulonprogo juga diperoleh hasil yang serupa dengan tanah campuran Bangunjiwo. Terjadi penyusutan yang besar dan laju penyusutan yang tinggi pada kisaran suhu 2000C dan 5000C. Penyusutan total dari tanah kedua jenis tanah tersebut hampir sama. Tanah campuran Bangunjiwo menyusut sebesar 279 micron selama pembakaran sedangkan tanah campuran Kulonprogo mengalami penyusutan sebesar 245 micron selama pembakaran. Pada data yang telah diperoleh tersebut data yang komparatif untuk perbandingan firing rate-nya adalah data pembakaran pada pembakaran kedua dan ketiga, ketika kondisi lingkungan pembakaran relatif kering. Dari kedua pembakaran tersebut diperoleh distribusi suhu yang lebih merata untuk pembakaran ketiga dengan memakai blower. Hal ini sesuai dengan teori. Penggunaan blower membuat kondisi gas di dalam tungku menjadi lebih turbulen sehingga distribusi suhunya pun menjadi lebih homogen. Akan tetapi firing rate pada pembakaran ketiga yang menggunakan blower lebih kecil dibandingkan dengan pembakaran kedua yang tanpa blower. Hal ini dimungkinkan karena laju aliran gas masuk ruang bakar terlalu tinggi sehingga waktu untuk mengakumulasikan panas di dalam tungku menjadi lebih pendek dan panas lebih banyak terbuang bersama gas keluar.

(a) (b)Gambar 11. Perbandingan Suhu Rata-rata di dalam Tungku dengan Suhu Exhaust Gas pada Pembakaran Kedua (a), Ketiga (b)Berdasarkan Gambar 11. Dapat diketahui bahwa pada pembakaran ketiga dengan menggunakan blower suhu gas buang mendekati suhu rata-rata di dalam tungku. Pada kondisi seperti ini berarti gas panas hasil pembakaran tidak memiliki cukup waktu untuk menaikkan suhu tungku dan gerabah sehingga laju pemanasannya menjadi kecil.Pada profil suhu rata-rata di dalam tungku baik untuk pembakaran pertama, kedua, dan ketiga laju pemanasan dijaga pada nilai yang rendah pada awal-awal waktu pembakaran yaitu sekitar empat jam pertama pembakaran. Akan tetapi pada analisis dilatometer digunakan laju pemanasan yang sangat tinggi dibandingkan pada pembakaran dengan tungku Kasongan. Laju pemanasan yang digunakan untuk analisis dilatometer sebesar 50C/menit, ini senilai dengan sepuluh kali nilai pembakaran gerabah di Kasongan. Dengan laju pemanasan sebesar ini sampel gerabah pada analisis dilatometer tidak mengalami cracking. Hal ini menunjukkan sebenarnya waktu pembakaran gerabah di Kasongan untuk awal waktu pembakaran dapat dipersingkat.Ada beberapa hal yang menjadi alasan laju pemanasan pada awal waktu pembakaran gerabah dibuat kecil. Sampel yang digunakan untuk analisis dilatometer berbentuk silinder dengan diameter 0,57 cm dan panjang sekitar 2,5 cm sedangkan sampel yang dibakar menggunakan tungku Kasongan berbentuk lempengan balok dengan panjang sekitar 7 cm , lebar sekitar 4 cm, dan tebal sekitar 2 cm. Setelah dibentuk dari lempung basah kedua jenis sampel ini dikeringkan pada udara terbuka selama seminggu. Karena ketebalan sampel dilatometer lebih kecil dibandingkan sampel tungku Kasongan maka laju pengeringan sampel dilatometer lebih cepat dibandingkan sampel tungku Kasongan. Dimungkinkan selama pengeringan seminggu kadar air yang tersisa untuk sampel Kasongan masih cukup besar sehingga apabila laju pemanasan dibuat tinggi akan menyebabkan cracking. Setelah diselidiki ternyata pengurangan kadar air selama tiga hari pengeringan untuk sampel dilatometer sebesar 10.9525% dan 13.84262% untuk sampel tungku Kasongan. Perbedaan pengurangan kadar air untuk kedua jenis sampel ini relatif tidak signifikan. Berdasarkan kenyataan ini seharusnya laju pemanasan untuk awal waktu pembakaran dapat dipercepat. Dari literature diketahui bahwa laju pemanasan untuk awal waktu pembakaran gerabah sebaiknya sebesar 1500F/jam atau ekuivalen dengan 1,10C/menit. Dengan laju pemanasan sebesar ini, maka waktu pembakaran yang tadinya selama empat jam dapat dipersingkat menjadi 1,6 jam. Pada awal waktu pembakaran ini yang berperan penting pada proses pengeringan adalah panas secara konveksi dan secara konduksi. Laju pemanasan yang kecil pada awal waktu ini juga dimungkinkan untuk memberikan waktu yang cukup untuk membuat suhu di dalam tungku dan badan gerabah menjadi lebih homogen.

Gambar 12. Kondisi Laju PengeringanApabila laju pemanasan di awal langsung dibuat tinggi maka dikhawatirkan kondisi A-C berlangsung sangat cepat sehingga difusi cairan ke permukaan padatan menjadi sangat cepat. Hal ini membuat gerabah menjadi rentan mengalami cracking. Untuk mengetahui pengaruh firing rate terhadap kualitas Gerabah Kasongan maka dilakukan analisis modulus patah bagi sampel Gerabah Kasongan yang dibakar dengan firing rate yang berbeda. Untuk analisis tersebut maka dibuat sampel yang berbentuk balok dengan dimensi panjang sekitar 6 cm, lebar sekitar 4 cm, dan tinggi sekitar 1 cm. Setelah sampel yang terbuat dari tanah campuran Bangunjiwo dibentuk, sampel didiamkan sampai sekitar satu minggu untuk menghilangkan kandungan air bebasnya.

(a) (b)Gambar 13. Sampel Sebelum Dibakar (a) dan setelah Dibakar (b)Setelah cukup kering sampel dibakar di dalam muffle dengan variasi firing rate 4, 5, dan 60C/menit dengan suhu akhir pembakaran 6500C. Firing rate diatur konstan selama pembakaran berlangsung.Setelah selesai dibakar dapat terlihat bahwa secara kasat mata tidak terdapat perbedaan antara sampel yang dibakar dengan firing rate 4, 5, dan 60C/menit dan tidak didapatkan keretakan pada sampel yang dibakar tersebut. Ketiga sampel tersebut juga mengalami penyusutan volume yang hampir sama sekitar 20 %. Kemudian dilakukan pengujian modulus patah untuk masing-masing sampel. Untuk sampel yang dibakar dengan firing rate 40C/menit nilai modulus patahnya sebesar 39.3641 kg/cm2. Untuk sampel yang dibakar dengan firing rate 50C/menit memiliki nilai modulus patah sebesar 34.1306 kg/cm2 dan sampel yang dibakar dengan firing rate 60C/menit nilai modulus patahnya sebesar 40.9003 kg/cm2. Hasil ini menunjukkan bahwa untuk kisaran firing rate yang diuji tidak mempengaruhi kekuatan gerabah, sehingga sebagai kesimpulan awal firing ratepada pembakaran Gerabah Kasongan dapat dipercepat dengan menggunakan firing rate 60C/menit.Tahapan yang paling krusial pada pembakaran gerabah adalah tahap pertama pembakaran. Pada tahap ini terjadi penguapan kandungan air terikat secara sekunder (Van der Waals) pada suhu 80-2000C. Pada pembakaran di Kasongan untuk tahap pertama ini firing rate yang biasa digunakan sebesar 0.50C/menit. Pada tahap ini perpindahan panas yang berperan secara konduksi. Pada tahap ini tujuan pembakaran adalah untuk membuat suhu gerabah dan suhu tungku bagian dalam menjadi homogen. Tanda bahwa suhu di dalam tungku telah homogen atau kadar air yag terikat secara sekunder pada gerabah sudah hilang adalah sudah tidak adanya asap putih pada bagian atas tungku. Tanda ini biasanya terjadi pada jam keempat pembakaran, yaitu ketika suhu tungku mencapai 150-2000C. Hal ini sesuai dengan teori. Pada awal waktu ini apabila firing rate tinggi maka dimungkinkan suhu luar gerabah akan lebih tinggi daripada suhu bagian dalam gerabah, sehingga penyusutan bagian luar gerabah menjadi lebih cepat dan dapat menimbulkan cracking. Selain itu apabila firing rate dibuat cepat pada tahap ini suhu bagian bawah tungku menjadi lebih panas. Hal ini menyebabkan penyusutan bagian bawah gerabah menjadi lebih cepat daripada bagian atas gerabah sehingga dapat menyebabkan cracking.

(a) (b)Gambar 14. Posisi Heating Elemen pada Muffle (a), dan pada Tungku Kasongan (b)Sampel yang dibakar di dalam muffle tidak mengalami cracking walaupun dibakar dengan firing rate yang relatif tinggi. Hal ini disebabkan suhu di dalam muffle lebih cepat homogen karena elemen pemanas pada muffle memanaskan muffle secara merata di sepanjang dinding muffle. Selain itu sampel yang dibakar dimensinya relatif kecil dibanding gerabah dan bentuknya sangat sederhana walaupun mengalami penyusutan volume yang cukup besar yaitu 20%. Dibandingkan dengan muffle, heating elemen pada tungku updraft memanaskan tungku dari dasar tungku sehingga bagian tungku yang lebih cepat panas adalah bagian dasar tungku. Apabila firing rate dibuat tinggi maka suhu dasar gerabah akan lebih panas dibandingkan suhu bagian atas gerabah. Hal ini menyebabkan penyusutan bagian bawah gerabah akan lebih besar dan karena perbedaan laju penyusutan ini akan menyebabkan cracking. Penyusutan sebesar 20% akan menjadi masalah yang serius untuk gerabah yang dimensinya relatif besar dan geometrinya memiliki banyak lengkungan.

(a) (b)Gambar 15. Profil Suhu dalam Tungku Untuk Beda Ketinggian sepanjang Waktu (a), dan Profil Gerabah yang Kering dari Kandungan Air Terikat secara Primer (b)Dapat terlihat dari grafik di atas bahwa untuk empat jam pertama yaitu pada tahap penghilangan kandungan air terikat sekunder profil suhu tungku bagian atas dan bawah berimpit yang artinya pada tahap itu suhu tungku dijaga agar homogen. Setelah tahap itu mulai terlihat bahwa homogenitas suhu di dalam tungku sudah bukan menjadi hal penting. Bagi operator tungku, asalkan suhu di dalam tungku sudah mencapai suhu penghilangan kandungan air terikat secara primer yaitu 400-6000C sudah cukup untuk mematangkan gerabah tanpa harus mempermasalahkan distribusi suhu di dalam tungku. Pada pembakaran sampel dengan muffle di laboratorium terdapat holding time selama 30 menit pada suhu 6500C sedangkan pada pembakaran gerabah di Kasongan tidak terdapat holding time pada suhu matangnya gerabah. Asal suhu gerabah sudah mencapai suhu matangnya gerabah maka pada saat itu juga pembakaran telah dianggap selesai yang berarti sudah tidak dilakukan penambahan bahan bakar ke dalam inlet tungku.Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kalali pada tahun 2011 diperoleh hasil bahwa kandungan air terikat mengalami evaporasi pada suhu 3560C setelah 6.5 detik. Hal ini sudah sesuai dengan teori karena teori menyatakan bahwa penguapan kandungan air terikat primer ini terjadi pada kisaran suhu 4000C. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Kalali ini dapat disimpulkan bahwa tidak perlu menahan suhu pembakaran pada suhu matang gerabah dalam waktu lama.KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan:1. Tidak ada pengaruh antara nilai modulus patah sampel dengan firing rate yang diuji.2. Tahap kedua dan ketiga pembakaran dapat dipercepat dengan menggunakan laju pemanasan sebesar 60C/menit.3. Proses pembakaran gerabah lebih cepat pada kondisi lingkungan yang kering dan tanpa penggunaan blower, akan tetapi distribusi suhu yang merata diperoleh apabila pembakaran berlangsung dengan menggunakan blower.

Saran Beberapa saran yang dapat diberikan untuk penelitian ini diantaranya:1. Untuk penelitian selanjutnya lebih baik focus pada analisis tahap pertama pembakaran.2. Untuk penelitian selanjutnya lebih baik dipelajari efek dari pembakaran gerabah terhadap kesehatan dari operator tungku.

DAFTAR PUSTAKAGeankoplis, C. J., 1993, Transport Processes and Unit Operations, Prentice Hall, Inc., New Jersey.Holman, J. P., 2010, Heat Transfer, McGraw-Hill companies, Inc., New York.Kalali, A.,2010,CDF simulation of Flue Gas Flow in Traditional Pottery Furnace, Gteborg : Department of Chemical and biological engineering, Division of Chemical Reaction Engineering, CHALMERS UNIVERSITY OF TECHNOLOGY.Nilenius, K., 2011, CFD Simulation of Flue Gas Flow in Traditional Indonesian Pottery Furnace. Gteborg, Sweden : Department of Chemical and biological engineering, Division of Chemical Reaction Engineering, CHALMERS UNIVERSITY OF TECHNOLOGY.Schotte,C., 2010,CFD Simulation of Flue Gas Flow in Traditional Kasongan Pottery Furnace, Gteborg : Department of Chemical and biological engineering, Division of Chemical Reaction Engineering, CHALMERS UNIVERSITY OF TECHNOLOGY.Sudiyo, R., Ikhsanudin, Wasono, M. S., and Nilenius, K., 2010, The Use of Coconut Shell Charcoal Briquette as Alternative fuel for Firing Clay Pottery in Downdraft Kiln, Departemen of Chemical Engineering Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.Treybal, R. E., 1981, MASS-TRANSFER OPERATIONS, McGraw-Hill, Co., Singapore.

Muhammad Silvano Ibrahim Aiwan (10/302106/TK/37292)Laboratorium Teknologi Keramik dan Komposit1