nata de cassava
TRANSCRIPT
Magsiter manajemen
Universitas islam indonesia
Yogyakarta
2011
Inovasi bisnis
Nur Kartika Indah M (23) berhasil mengolah limba tapioka dicampur dengan serat singkong menjadi Nata de Cassava
Faisal Akbar 10911019
6/24/2011
Indonesia termasuk sebagai negara penghasil ubi kayu terbesar ketiga
(13.300.000 ton) setelah Brazil (25.554.000 ton), Thailand (13.500.000 ton) serta
disusul negara-negara seperti Nigeria (11.000.000 ton), India (6.500.000 ton)dari total
produksi dunia sebesar 122.134.000 ton per tahun
Berdasarkan kontribusi terhadap produksi nasional terdapat sepuluh propinsi
utama penghasil singkong yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Selatan,
Sulawesi Tenggara, Maluku, Sumatera Selatan dan Yogyakarta yang menyumbang
sebesar 89,47 % dari produksi Nasional sedangkan produksi propinsi lainnya sekitar 11-
12 % . Di Daerah Istimewa Yogyakarta terutama di Kabupaten Gunung Kidul dari tahun
1998 sampai dengan 2005 mengalami fluktuasi produktivitas anatar 127 kw/ha sampai
174 kw/ha dan produksi tertinggi sebesar 812.321 ton.
Dan salah satu jenis industri yang cukup banyak menghasilkan limbah adalah
pabrik pengolahan tepung tapioka (tepung singkong). Harga 1 kg pati aci Rp 4.500,00-
Rp 5.000,00. Oleh masyarakat sekitar biasanya pati aci diproses menjadi mie pentil, Mie
des dan kerupuk bendera. Mie pentil ini adalah makanan khas masyarakat Pundong.
Rasanya unik, kenyal, dan alami. Nama mie pentil didapat karena bentuk mienya
panjang dan kenyal seperti pentil sepeda.
Dari proses pengolahan singkong menjadi tepung tapioka, dihasilkan limbah
sekitar 2/3 bagian atau sekitar 75% dari bahan mentahnya. Limbah ini biasa disebut
onggok .Warga sekitar pabrik tapioka sangat akrab dengan bahan yang bernama onggok
dan tahu persis sedahsyat seperti apa baunya. Dalam keadaan kering sekalipun, onggok
sudah mengeluarkan bau tak sedap, apalagi dalam keadaan basah saat musim hujan.
Banyak sekali perusahaan tepung tapioka yang membuang limbahnya begitu saja, Tidak
mengherankan bila sering terdengar keluhan para penduduk sekitar pabrik pengolahan
tepung tapioka seperti didaerah Mesuji, Menggala, Way Jepara (Lampung), atau di
sekitar Tayu (Pati), dan di Tasikmalaya (Jawa Barat).
Dukuh Nangsri merupakan sentra industri rumah tangga pati aci/tapioka yang
terletak di desa Srihardono, kecamatan Pundong, Bantul, Yogyakarta. Hampir seluruh
masyarakatnya memproduksi pati dari singkong secara turun temurun. Proses
produksinya masih tergolong tradisional. Mulai dari pengupasan kulit singkong,
pemarutan singkong dengan mesin, pemerasan pati masih menggunakan tenaga
manusia. Pengeringan patinya juga masih sederhana yaitu menggunakan sinar matahari,
sehingga mengalami kendala dalam musim penghujan
Limbah cair pati aci (onggok) adalah limbah cair pada saat pemerasan dan
pengendapan pati. Setiap kali produksi 2-4 kuintal singkong dihasilkan limbah kurang
lebih 300 liter. Jumlah seluruh perajin pati aci di desa Srihardono adaah 120. Limbah
sisa produksi sangat melimpah dan membutuhkan pengolahan lebih lanjut agar tidak
mencemari lingkungan. Dulu sebelum ada IPAL, limbah hanya dibuang sembarang
apabila terkena kulit akan gatal, mematikan tanaman di halaman, ikan di sungai mati,
dan pencemaran bau yang menggangu. Akhirnya oleh pemerintah dibuatkan IPAL yang
sederhana untuk mengurangi dampak pencemaran.
Ketersediaannya (onggok) terus meningkat sejalan dengan meningkatnya
produksi tapioka. Hal ini diindikasikan dengan semakin luas areal penanaman dan
produksi ubi kayu. Luas areal tanaman meningkat dari 1,3 juta hektar dengan produksi
13,3 juta ton pada tahun 1990 menjadi 1,8 juta hektar dengan produksi 19,4 juta ton
pada tahun 1995 (BPS, 1996). Dilaporkan pula bahwa onggok tersebut memiliki potensi
sebagai polutan di daerah sekitar pabrik. Penggunaan onggok dalam penyusunan pakan
ternak sangat terbatas, padahal kandungan serat kasar yang tinggi (lebih dari 35%).
Kandungan Nutrisi pada Ubi Kayu ( per 100 gram )
Kalori 146 kalAir 62,5 gramPhosphor 40 mg
Karbohidrat 34 gramKalsium 33 mgVitamin C 30 mg
Protein 1,2 gramBesi 0,7 mgLemak 0,3 gram
Vitamin B1 0,06 mgBerat dapat dimakan 75 gram
Ide inovasi
Nur Kartika Indah M (23) berhasil mengolah limba tapioka dicampur dengan serat
singkong menjadi Nata de Cassava
Melihat hal tersebut timbul pemikiran untuk memanfaatkan limbah karena
karakteristiknya yang asam maka berpotensi dimanfaatkan menjadi produk nata. Salah
satu syarat terbentuknya nata de coco adalah kandungan asam air kelapa, bahkan untuk
menambah keasamannya membutuhkan air cuka dalam pembuatan nata de coco.
Mengapa tidak menggunakan asam dari air limbah pati aci. Akhirnya mulailah kami
melakukan penelitian pembuatan nata de cassava dari air limbah pati tapioka dan
singkong. Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT berkat kerjasama dari
berbagai pihak akhirnya ditemukannya Formula untuk membuat nata de cassava ini.
Perkembangannya terakhir 2010 terdapat 10 perajin nata de cassava di Nangsri, selain
mereka produksi pati aci juga produksi nata de cassava dari limbah yang mereka
hasilkan. Meningkatkan taraf hidup secara finansial. Harapannya seluruh perajin pati aci
dapat menjadi petani nata de cassava.
Peluang bisnis
"Saya awalnya tertarik untuk garap bisnis ini karena saya lihat peluang pasarnya nata de
coco ini tinggi. Sekarang ini baru terpenuhi 40 persen di Bantul," ujar alumnus
Teknologi Industri Pertanian UGM Yogyakarta angkatan 2005 ini.
Melihat peluang besar tersebut, Yasti, panggilan akrabnya, beserta ketiga temannya pun
mencari akal untuk menggarap bisnis nata de coco dengan sentuhan yang berbeda.
Ide kemudian tercetus saat mereka berempat main ke sebuah daerah bernama Pundong
di Yogyakarta. "Kami ke Pundong dan ternyata di sana banyak perajin tapioka
kampung. Di situ kami lihat ada limbah tapioka yang asam. Dari sini kami berpikir
karena sifatnya itu, pasti bisa jadi bahan dasar buat nata," ungkap Yasti kepada
Kompas.com.
Akhirnya, Yasti dan teman-teman memutuskan menggunakan limbah tapioka yang
dimodifikasi dengan singkong sebagai seratnya. "Untuk buatnya kami selalu gagal. Dari
12 nampan paling yang berhasil cuma satu," cerita perempuan kelahiran Surakarta ini.
Akhirnya, setelah masuk ke laboratorium selama beberapa minggu dan menemukan
formula yang tepat, kini tingkat kegagalan Nata de Cassava buatan Yasti pun
berangsung mengecil hingga 10 persen.
Nata De Cassava & Masyarakat Nangsri, Bantul, Yogyakarta
Adalah Nata de Sarilo (sarining telo) merupakan kelompok binaan program UP-FMA
yang memproduksi nata de cassava. Kelompok ini melalui program UP-FMA mendapat
pelatihan pembuatan nata de cassava oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)
Yogyakarta pada Januari 2010. Pelatihan ini dimaksudkan agar masyarakat memiliki
kemampuan dalam mengolah hasil pertanian menjadi produk bernilai jual tinggi.
Dengan memanfaatkan air limbah tapioka yang banyak terdapat di Srihardono, Nata de
Saliro dengan 17 orang anggota, 7 orang aktif memproduksi Nata de Cassava mulai
maret 2010. Nata de Cassava pun mampu menjadi sumber penghasilan bagi seluruh
anggota kelompok.
Kelompok yang diketuai oleh Sumadi ini memanfaatkan air limbah tapioka yang
dicampur dengan air kelapa sehingga bentuknya menyerupai nata de coco.
Perbedaannya dengan nata de coco pada rasanya, produk ini memiliki rasa yang mirip
tapai singkong. Kandungan dari nata de cassava ini sama dengan nata de coco yaitu
seratnya yang tinggi sehingga baik untuk pencernaan.
Proses produksi
Pembuatan nata de cassava ini menggunakan air kelapa dan air limbah tapioka dengan
perbandingan 1 : 3. Bahan baku pembuatan nata harus didiamkan terlebih dahulu
minimal tiga hari. Jika digunakan bahan baku yang masih baru akan akan mengalami
kegagalan karena bahan yang baru tidak baik untuk proses fermentasi. Bahan lain yang
diperlukan yaitu asam acetate 25%, gula pasir, ZA dan bibit nata (stater).
Untuk proses pembuatannya diperlukan waktu 7 hari sampai nata benar-benar siap
dipanen dan dipasarkan. Langkah pertama dari pembuatan nata ini, air limbah tapioka
direbus sampai mendidih. Kemudian tambahkan bahan lainnya yaitu air kelapa, asam
acetate, gula pasir, ZA lalu diaduk sampai merata dan ditunggu hingga mendidih.
Langkah selanjutnya, larutan bahan nata yang mendidih disaring dan dituang kedalam
nampan kurang lebih 1,4 liter. Setelah mengalami pendinginan selama satu malam,
ditambahkan bibit nata (stater). Nata kemudian didiamkan atau difermentasikan selama
6-8 hari. Nata yang sudah siap panen akan mengeras dan kandungan airnya habis.
Bahan baku pembuatan nata de cassava tersebut mudah didapatkan sehingga
memungkinkan di produksi oleh warga untuk menambah penghasilan keluarga.
Kelompok ini membeli air kelapa dan air limbah tapioka Rp. 2.500 – 3000 per 30 liter.
Kebutuhan lain yang diperlukan yaitu kayu bakar dan serbuk gergaji harganya cukup
terjangkau. Kayu bakar di beli dengan harga Rp. 12.000 per ikat dan untuk serbuk
gergaji Rp. 23.000 per karung.
Kendala
Saat ini, Nata de Sarilo membuat nata dengan kapasitas 2 kuintal perminggu.Kapasitas
ini masih sangat minimum dan memungkinkan untuk di tingkatkan mengingat
ketersediaan bahan baku. Keterbatasan nampan atau cetakan yang dimiliki menadi
kendala utama dalam memaksimalkan kapasitas produksi. Saat ini kelompok baru
memiliki 400 nampan, sehingga produksi hanya berjalan selama dua hari dalam satu
minggu. Agar proses produksi dapat berjalan penuh selama satu minggu atau tujuh hari
dibutuhkan tambahan 1600 nampan dengan harga satuan Rp. 2250. Sehingga, agar
produksi maksimal diperlukan tambahan modal sekitar Rp. 2,7 juta.
Meskipun Nata de Sarilo telah mampu memproduksi Nata de Cassava, namun dalam
penjualannya masih dalam bentuk mentah. Kelompok ini menjual Nata de cassava
mentah di jual ke pengepul dari Kretek bantul dengan harga sekitar Rp. 850 per nampan
(+/- 9 ons). Dengan kapasitas produksi 2 kuintal, kelompook ini hanya mampu meraih
omset sekitar Rp. 340.000 dengan keuntungan bersih sekitar 50%. Meskipun
keuntungan yang didapat cukup besar, namun rendahnya harga jual belum mampu
meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Penjelasan ilmiah
Bibit sering disebut biang/starter. Seperti halnya membuat tempe, bahan baku
kedelai harus ditambahkan biang/usar/ragi agar menjadi tempe. Pembuatan bibit nata de
cassava tidak jauh berbeda dengan pembuatan tempe. Prinsipnya adalah menambahkan
bibit/biang pada media dan bibit akan tumbuh pada media tersebut.
Produk nata merupakan produk fermentasi yang memanfaatkan keberadaan
mikrobia dalam proses produksinya. Mikrobia yang digunakan adalah bakteri nata
(Acetobacter xylinum). Ketangguhan bakteri nata dalam proses fermentasi merupakan
salah satu faktor untuk menghasilkan nata dengan ketebalan yang optimal. Pada
dasarnya bakteri merupakan makhluk hidup yang membutuhkan asupan energi untuk
melakukan aktivitasnya dan faktor lingkungan yang mendukung bagi pertumbuhan dan
perkembangan bakteri nata.
Media pertumbuhan yang digunakan untuk membuat bibit adalah air kelapa, agar
bakteri tumbuh dengan optimal maka perlu adanya penambahan gula sebagai sumber
karbon dan sedikit ZA untuk memenuhi kebutuhan sumber N bagi tubuh bakteri. Oleh
bakteri, bahan-bahan tersebut akan dicerna dan diproses untuk pertumbuhan bakteri.
Ada satu faktor mendasar yang harus dipenuhi dalam pembuatan bibit nata de cassava
yaitu kandungan asam dalam bahan. Karena kondisi asam disini dibutuhkan agar bakteri
membentuk selimut perlindungan diri. Selimut ini berupa benang-benang/fibril yang
disusun membentuk suatu lapisan/selulosa.
Lapisan ini disebut lembaran nata. Asam dapat diperoleh secara alami tanpa
harus menambahkan asam cuka, yaitu dengan mendiamkan air kelapa untuk beberapa
saat sesuai dengan kadar asam yang dibutuhkan yaitu keasaman dengan pH 3-4.
Pembuatan bibit nata de cassava dan produk lembaran nata de cassava prinsipnya adalah
sama yaitu menggunakan media yang telah ditambahkan bahan-bahan yang dibutuhkan
dalam pembuatan nata namun untuk pembuatan bibit, media dituangkan ke botol
sedangkan untuk membuat lembaran produk nata menggunakan nampan
sebagipencetaknya.
Bakteri nata adalah bakteri aerob fakultatif yang membutuhkan oksigen untuk
tumbuh sehingga lembaran nata akan tumbuh dipermukaan media. Karena nampan tidak
setinggi botol maka cairan/media akan menebal membentuk lapisan nata semuanya,
sedangkan media yang dituang di botol, karena botol tinggi maka yang akan membentuk
nata hanya di bagian permukaan saja sedangkan cairan di bawah lapisan nata dapat
digunakan sebagai bibit baru. (ArdianZzZ, 2010).
B.Proses produksi ( ilmiah )
Nata de Cassava dibuat dengan fermentasi bertingkat secara mikrobiologis.
Bahan baku yang digunakan dapat berupa ketela, limbah padat maupun limbah cair.
Pada limbah cair untuk pembuatan nata dapat langsung ditambahkan sedikit gula dan
stater Acetobacter xylinum karena sudah mengandung gula (glukosa). Sedangkan untuk
limbah padat difermentasi terlebih dahulu dengan Kapang dan khamir selama 3 hari
untuk menghidrolisis pati pada onggok menjadi molekul lebih sederhana berupa gula
yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan nata oleh Acetobacter xylinum.
Larutan yang telah mengandung kadar gula 5-7% sudah dapat digunakan untuk
fermentasi lebih lanjut menjadi nata de cassava selama 7 hari. Proses pembuatan nata
de cassava membutuhkan waktu yang lebih lama yaitu 8 hari karena dibutuhkan waktu 1
hari untuk membuat air kelapa dari singkong dan 7 hari untuk proses fermentasi.
(natadecassava.wordpress.com, 2008).
Cara pengolahan nata de cassava sebenarnya tak sulit. Hanya saja,
pengolahannya butuh proses selama tujuh hari. Hari pertama, limbah cair tapioka
direbus bersama dengan ampas singkong. Hari kedua, rebusan tersebut disaring lalu
dituang dalam nampan. Hari ketiga, bibit nata dicampurkan ke dalamnya. Cairan
fermentasi tersebut akan menjadi nata pada hari kelima atau ketujuh.
Untuk penyajian Setelah nata dipotong-potong kecil sebaiknya direbus dua kali
dengan air yang berbeda. Tujuannya agar nata benar-benar bersih dan bau bibit natanya
hilang. Setelah itu, nata bisa segera direbus dengan air gula atau dicampur dengan air
sirup.
C.Kelebihan dan Kekurangan Nata De Cassava
Nata de Cassava, demikian nama yang mereka berikan terhadap nata berbahan
dasar onggok ini, juga memiliki beberapa kelebihan lain. Pertama, prospek bisnisnya
lebih bagus ketimbang nata yang terbuat dari berbagai bahan baku lain. Sebab,
Indonesia merupakan negara penghasil ubi kayu terbanyak ketiga di dunia setelah Brasil
dan Thailand, dengan kapasitas produksi 13,3 juta ton/tahun. Dengan demikian, bahan
baku tersedia secara melimpah dan murah.
Kedua, onggok yang selama ini hanya digunakan sebagai pakan ternak, bahkan
limbah cairnya mendatangkan dampak yang merugikan bagi lingkungan, dapat
dimanfaatkan secara maksimal, sehingga memberi nilai tambah baik dari segi ekonomis
maupun lingkungan.
Ketiga, nata dari onggok cuma mampu bertahan seminggu setelah dipanen. Tapi,
bila disimpan dalam larutan gula, masa kadaluarsanya dapat diperpanjang.
Keempat, Nata de Cassava memiliki citarasa yang mirip dengan Nata de Coco,
sehingga masa pengenalan produk tersebut di pasaran akan lebih cepat. Bahkan Nata de
cassava lebih kenyal, tebal, dan putih. Selain itu, juga dapat menjadi pertimbangan bagi
perusahaan-perusahaan berbasis nata untuk bekerja sama.
Kelima, Nata de cassava lebih kenyal karena kandungan serat/selulosa yang
lebih tinggi (dibuktikan dengan hasil uji laboratorium). (Russanti Lubis, 2009)
Selain memilik kelebihan yang begitu banyak, nata de cassava juga memiliki
beberapa kekurangan yaitu: Nata de cassava membutuhkan biaya bahan bakar yang
lebih tinggi daripada nata de coco karena nata de cassava harus direbus 2x. Rebusan
pertama untuk membuat air kelapa dari singkong dan rebusan kedua dengan
penambahan Za (1 liter air singkong diberi 2 gram Za) untuk membuat media nata de
cassava. (Ardianzzz, 2010)
Kendala usaha ini adalah musim hujan, jika tidak telaten menyelimuti bahan
fermentasi, akan tumbuh jamur yang merusak produk. Paling bagus, fermentasi
disimpan dalam suhu 30º-31º Celsius.
Macam kemasan yg telah ada dan kisaran harga
legalitas
Agar dapat menjual produk mereka dalam bentuk produk siap konsumsi, diperlukan ijin
P-IRT yang dikeluarkan oleh Depkes. Namun untuk itu perlu pelatihan dengan
pembiayaan mandiri. Kondisi ini menjadi kendala tersendiri, sehingga kelompok Nata
de Sarilo sangat membutuhkan bantuan dari pemerintah untuk memfasilitasi perolehan
perijinan P-IRT.(Nura/Fernande
pemasaran
Setelah ditemukan formula yang tepat, Yasti nekat dengan berbekal tas ransel ia bertolak
ke sejumlah daerah di Yogyakarta, Wonosobo, Bogor, dan Lampung untuk menawarkan
nata buatannya kepada para supplier.
Alhasil, sudah ada satu perusahaan yang sudah menjadi klien tetapnya dan satu lagi
yang sebentar lagi mencapai kesepakatan. Omzetnya kini memang baru Rp 5 juta
dengan estimasi keuntungan Rp 1,5 juta. "Tapi aku yakin pasti aku bisa jadi besar dari
sini. Keyakinan itu yang terus aku pegang selama dua tahun," ujarnya mantap.
Keyakinan ini bukan tanpa alasan, pasalnya perusahaan berbasis industri rumah tangga
yang dibuat Yasti ini juga tengah didekati supplier yang meminta nata darinya sebanyak
20 ton per minggu. "Nah ini yang sedang kami kejar, sekarang baru bisa 2 ton yang
dikerjakan bertujuh," tandasnya.
Untuk itu, ke depannya ia akan segera membesarkan ruang produksi dan meningkatkan
jumlah pegawai yang juga adalah petani tapioka di Bantul tersebut.
Usaha Yasti bukan berarti terus tanpa hambatan. Pada Maret 2010, usahanya mengalami
gagal produksi sampai perlu tiga bulan untuk bangkit kembali. Akibatnya, teman-teman
yang awalnya bersama merintis pun akhirnya berguguran meninggalkan Yasti seorang
diri.
Di saat itulah, ia berencana meninggalkan mimpinya sebagai wirausahawan sukses dan
melamar pekerjaan ke suatu perusahaan. "Doa orangtua sangat berpengaruh, saat jatuh
karier. Orangtua saya yang mendukung untuk bersabar. Eh taunya sekarang saya lolos
Shell ini," ujar Yasti yang memenangi anugerah Green Enterpreneurship dalam Shell
LiveWIRE Business Start-up Awards 2010.
Menurutnya, menjadi wirausahawan adalah pilihan hidup. Dengan berwirausaha, ia bisa
memiliki waktu lebih dengan keluarga sekaligus mampu berbagi rezeki dengan sesama.
Keyakinan akan bisnis Nata de Casaava menghantarkan Yasti pada sebuah mimpi untuk
memasarkan produknya hingga pelosok Nusantara, bahkan dunia dan juga Nata de
Cassava dikenal sebagai brand tersendiri bukan brand supplier. "Hidup itu seperti salak.
Dia berduri, kadang kena gesekan dengan sekelilingnya tapi benturan itu akan buat dia
jadi luwes durinya hilang. Jadi, lebih luweslah menghadapi permasalahan hidup. Dengan
itu, kita jadi bisa lebih bersyukur terhadap apa yang kita punyai," ujar Yasti
mengungkapkan filosofi hidupnya.