new jurnal · 2016. 9. 7. · 2 jurnal kebidanan dan keperawatan, vol. 9, no. 1, juni 2013: 1-9...

31
JKK 9.1.2013 SAY

Upload: others

Post on 22-Oct-2020

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • JKK

    9.1.

    2013

    SAY

  • Vol. 9 No. 1, Juni 2013 ISSN 1858-0610

    JurnalKebidanan dan Keperawatan

    Terbit 2 kali setahun pada bulan Juni dan Desember. Berisi tulisan yang diangkat dari hasilpenelitian dan kajian analisis-kritis di bidang kebidanan dan keperawatan.

    Ketua PenyuntingMamnu’ah

    Wakil Ketua PenyuntingEry Khusnal

    Penyunting PelaksanaWarsiti

    MufdlilahUmu Hani EN

    HikmahSulistyaningsih

    Yuli Isnaeni

    Pelaksana Tata UsahaDinik Rusinani

    IrkhamiyatiSri Rejeki

    Agung Suyudi

    Alamat Penyunting dan Tata Usaha: STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta, Jl. Ring RoadBarat No. 63, Mlangi, Nogotirto, Gamping, Sleman, Yogyakarta 55292. Telp (0274)4469199 pesawat 166, Fax. (0274) 4469204. E-mail: [email protected].

    Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Naskahdi ketik di atas kertas HVS kuarto spasi ganda sepanjang lebih kurang 20 halaman, denganformat seperti tercantum pada petunjuk bagi penulis JKK di bagian belakang jurnal ini. Naskahyang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah dan tata cara lainnya.

    JURNAL KEBIDANAN DAN KEPERAWATAN diterbitkan sejak bulan Juni 2005oleh STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta

    JKK

    9.1.

    2013

    SAY

  • Vol. 9 No. 1, Juni 2013 ISSN 1858-0610

    JurnalKebidanan dan Keperawatan

    Hubungan antara Stres Psikososial dengan Perilaku Merokok pada RemajaGani Apriningtyas B, Sumarni DW, Akhmadi 1-9

    Pengaruh Home Visit terhadap Kemampuan Pasien dan Keluarga dalam MerawatAnggota Keluarga yang Mengalami Gangguan JiwaMamnu'ah 10-18

    Penerapan Budaya Keselamatan Pasien sebagai Upaya Pencegahan KejadianTidak Diinginkan (KTD)Ag. Sri Oktri Hastuti 19-28

    Efektivitas Metode Perawatan Luka Moisture Balance Terhadap Penyembuhan Lukapada Pasien Ulkus DiabetikumSalia Marvinia, Widaryati 29-36

    Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian ASI EkslusifRisa Devita 37-46

    Pemanfaatan Metadon pada Injecting Drug Users di Puskesmas Gedong TengenYogyakartaHerlin Fitriana Kurniawati, Antono Suryoputro 47-56

    Gambaran Faktor-Faktor Kepatuhan Diet Lanjut Usia Penderita HipertensiKurnianto Priambodo, Lutfi Nurdian Asnindari 57-64

    Pengaruh Status Kepegawaian Terhadap Kinerja Perawat di Ruang Rawat InapMuhammad Saefulloh 65-73

    Pengalaman Orang dengan HIV/AIDS Mendapatkan Perawatan Keluarga:Studi FenomenologiSuratini, Wiwin Wiarsih, Henny Permatasari 74-83

    Hubungan Antara Kualitas Pelayanan Kesehatan Posyandu dengan FrekuensiKunjungan Ibu BalitaRahmi Nur Fitri Handayani, Tenti Kurniawati 84-92

    JKK

    9.1.

    2013

    SAY

  • HUBUNGAN ANTARA STRES PSIKOSOSIAL DENGANPERILAKU MEROKOK PADA REMAJA

    Gani Apriningtyas B, Sumarni DW, AkhmadiPSIK-FK UGM, Bagian Jiwa RSUP dr. Sardjito

    E-mail: [email protected]

    Abstract: This research aims at determining the relationship betweenpsychosocial stress and smoking behavior in teenagers. This research isa descriptive research with quantitative design (correlation analytic) andcross sectional approach. The population was teenagers who wereidentified as smokers. The samples were a number of 56 respondentswho were taken by using quota sampling technique. The instruments ofthis research were a psychosocial stress questionnaire and smokingbehavior questionnaire. The result of the statistic test showed thesignificance value on p 0.021 (p

  • 2 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 1-9

    PENDAHULUANDi Indonesia, usia rata-rata bersen-

    tuhan dengan rokok adalah pada saat usia14-15 tahun. Dinyatakan bahwa 3 dari 10pelajar (30,9%) merokok sebelum berumur10 tahun. Hasil survei menunjukkan bahwalebih dari sepertiga (37,3%) pelajar SMPIndonesia pernah merokok (Hidayati,2011). Hasil survei yang dilakukan olehDinas Kesehatan Provinsi DIY tahun 2006dan 2008 menunjukkan 18,7% remaja diDIY adalah perokok aktif (Dinas KesehatanProvinsi DIY, 2010). Alasan merokok yangdikemukakan antara lain untuk meringankanketegangan dan stres sebanyak 54,59% dan29,36% lainnya menyatakan untuk bersantai(Tempo Interaktif, 2011).

    Individu dalam tiap tahap perkem-bangan remaja akan mengalami stres (Ibung,2008). Stres yang terjadi pada usia remajabermanifestasi dalam bentuk lari daritanggung jawab dan melakukan perilakuberisiko tinggi (Dwiyathitami, 2011). Salahsatu perilaku berisiko pada remaja yangdilakukan adalah penggunaan rokok(Sadock & Saddock, 2003). Hal iniditunjukkan oleh penelitian yang dilakukanpada siswa di Malang mengenai hubunganstres dengan perilaku merokokmenunjukkan terdapat hubungan antaratingkat stres dan tingkat perilaku merokok(Rohman, 2009).

    Berdasarkan hasil wawancara denganguru di SMP PGRI, sekolah belum pernahmendapatkan penyuluhan mengenai rokokataupun bahaya merokok. Berdasarkanhasil studi pendahuluan, diketahui bahwadari 15 orang yang diduga merokok, 10diantaranya adalah perokok dan 5 dianta-ranya mengalami stres psikososial. Perawatmempunyai peran serta tanggung jawabdalam penanganan serta pencegahan peri-laku merokok pada remaja. Dalam hal ini,perawat dapat berperan sebagai edukatordimana perawat dapat memberikan infor-

    masi serta sosialisasi mengenai dampakmerokok dan cara pencegahan yang dapatdilakukan remaja. Melihat fenomena peri-laku merokok remaja yang semakin mening-kat, dan salah satu faktor penyebabnya ada-lah stres, maka peneliti tertarik untuk menelitiadakah hubungan antara stres psikososialyang dialami remaja dengan perilakumerokok.

    METODE PENELITIANPenelitian ini adalah penelitian kuan-

    titatif dengan analitik korelasi dan meng-gunakan rancangan cross-sectional. Pene-litian dilakukan pada bulan Juni 2011 diSMP PGRI Kasihan Bantul. Populasi pene-litian adalah siswa kelas VII dan VIII yangteridentifikasi berperilaku merokok yangberjumlah 65 orang. Penentuan sampel se-cara Quota Sampling. Sampel ditentukandengan menggunakan tabel penentuan jum-lah sampel yang menggunakan tabel Krejcie,dengan tingkat kesalahan sebesar 5% (Sudi-yanto, 1998). Berdasarkan pedoman terse-but, sampel yang diperlukan dalam penelitianini berjumlah 56 orang. Kriteria inklusi pene-litian ini adalah siswa yang kooperatif, aktifmengikuti kegiatan belajar mengajar, dansiswa yang teridentifikasi berperilakumerokok.

    Instrumen penelitian berupa kuesionerInstrumen Penilaian Stres Psikososial (IPSP)dan angket perilaku merokok. KuesionerIPSP berisi 35 butir keadaan yang berlakusebagai stresor dan 1 butir (butir ke 36) yangmasih kosong untuk tambahan apabila adaperistiwa lain yang belum disebutkan. Carapenilaian koesioner ini adalah denganmemberikan bobot 0 jika tidak terganggu, 1jika terganggu, serta 2 jika sangat tergangguoleh peristiwa tersebut. Untuk objektifitaspenilaian derajat beratnya stresor, makadiberikan bobot yang berbeda pada tiapperistiwa (Tabel 1). (Sudiyanto, 1998).

    Penghitungan skor masing-masing

    JKK

    9.1.

    2013

    SAY

  • 3Gani Apriningtyas B, dkk., Hubungan Antara Stres Psikososial...

    butir adalah dengan mengalikan bobot butirdengan bobot perasaan responden terhadapperistiwa, kemudian taraf beratnya stresorditentukan dengan menjumlah semua butirperistiwa yang ada. Stres psikososial kemu-dian dikategorikan menjadi 0 tidak meng-alami stres, (1-8) mengalami sedikit stres,(9-16) stres ringan, (17-24) stres sedang,(25-33) stres berat, (34-40) stres sangat be-rat dan (>41) malapetaka (Asmara, 2004).Sedangkan perilaku merokok dikategorikanmenjadi perokok ringan bila menghisap 10batang rokok atau kurang per hari, perokoksedang bila menghisap antara 11 hingga 20batang rokok per hari, dan perokok beratbila menghisap lebih dari 20 batang rokokper hari.

    Tabel 1. Butir dan Bobot Peristiwa Stre-sor Psikososial

    Butir Bobot

    1-5 1

    6-10 2

    11-15 3

    16-20 4

    21-30 5

    31-35 6

    Sumber: Sudiyanto (1998)

    Instrumen ini telah diuji dan dapat digu-nakan sebagai instrumen penelitian selan-jutnya. Nilai Cronbach-Alpha adalah0,9139 yang berarti instrumen (>0,6) inidinyatakan valid dan reliabel sehingga dapatdilakukan untuk pengambilan data (instru-men) pada penelitian ini (Sudiyanto, 1998).

    Pengumpulan data dalam penelitian iniadalah dengan cara mengambil data langsungdari subjek penelitian. Dalam pengumpulandata ini, peneliti dibantu oleh seorang asis-ten. Data yang telah dikumpulkan ditabulasiterlebih dahulu, dikelompokkan, dankemudian dianalisis dengan uji korelasi

    Spearman-Rank.HASIL DAN PEMBAHASAN

    Karakteristik RespondenResponden dalam penelitian ini terdiri

    dari 56 siswa perokok. Berdasarkan datakarakteristik responden diketahui bahwasebagian besar responden adalah laki-lakiyaitu sebesar 83,93% (Tabel 2). Hasil inisesuai dengan data WHO (2010), bahwaprevalensi merokok pada pria lebih tinggidibandingkan dengan wanita. Pria sebesar40%, sedangkan wanita (9%) dan jumlahpria yang merokok untuk persentase 80%mendekati satu juta orang.

    Pada tabel 2 terlihat bahwa respondenyang berperilaku merokok sebagian besar(58,93%) berusia kurang dari atau samadengan 14 tahun. Sesuai dengan data surveipada anak sekolah yang berusia 13-15tahun di Jakarta yang menunjukkan bahwalebih dari 20% anak adalah perokok tetap.Alasannya karena remaja ingin mencoba halbaru maupun pengaruh dari teman sebaya(Astuti, Kustanti, & Hartini, 2009).

    Tabel 2. Karakteristik Responden Ber-dasarkan Jenis Kelamin danUsia

    Karakteristik Responden

    Jumlah Persentase

    Jenis Kelamin

    Laki-laki 47 83,93

    Perempuan 9 16,07

    Total 56 100

    Usia

    ≤14 tahun 33 58,93

    >14 tahun 23 16,07

    Total 56 100

    Sumber: Data Primer

    Karakteristik responden berdasarkanpekerjaan ayah diperoleh bahwa 50% ayah

    JKK

    9.1.

    2013

    SAY

  • 4 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 1-9

    responden bekerja sebagai wiraswasta.Sedangkan berdasarkan pekerjaan ibu,diperoleh bahwa sebagian besar iburesponden merupakan ibu rumah tanggayaitu sebesar 58,93% (Tabel 3).

    Tabel 3. Karakteristik Responden Ber-dasarkan Pekerjaan Ayah danIbu

    Karakteristik Responden

    Jumlah Persentase

    Pekerjaan Ayah

    Wiraswasta 28 50,0

    PNS/Polri/TNI 2 3,57

    Buruh Tani 18 32,14

    Lainnya 3 5,36

    Tidak Bekerja 5 8,93

    Total 56 100

    Pekerjaan Ibu

    Wiraswasta 13 23,21

    PNS/Polri/TNI 0 0

    Buruh Tani 8 14,29

    Lainnya 2 3,57

    Tidak Bekerja 33 58,93

    Total 56 100

    Sumber: Data Primer

    Berdasarkan pendidikan ayah dan ibumenunjukkan bahwa keduanya sebagianbesar mempunyai pendidikan terakhir padajenjang SMA yaitu ayah sebesar 48,21%dan ibu sebesar 42,86% (tabel 4).

    Status sosial ekonomi dapat dilihat an-tara lain dari tingkat pendidikan dan peker-jaan (Rohman, 2009). Dari data didapatkanbahwa sebagian besar responden memilikiorang tua dengan pekerjaan sebagai wira-swasta (pedagang kecil/pedagang asongan)dan buruh/tani dengan tingkat pendidikanterakhirnya adalah SMA. Dapat dikatakanbahwa sebagian besar responden berasal

    dari kalangan sosial ekonomi rendah. DataTabel 4. Karakteristik Responden Ber-

    dasarkan Pendidikan Ayah danPendidikan Ibu

    Karakteristik Responden

    Jumlah Persentase

    Pendidikan Ayah

    SD 15 26,79

    SMP 10 17,86

    SMA 27 48,21

    Akademi/Perguru-an Tinggi

    4 7,14

    Total 56 100

    Pendidikan Ibu

    SD 15 26,79

    SMP 15 26,79

    SMA 24 42,86

    Akademi/Perguru-an Tinggi

    2 3,57

    Total 56 100

    Sumber: Data Primer

    World Health Organization (WHO) yangmenunjukkan bahwa persentase perokoklebih besar terjadi pada kelas sosial ekonomirendah (28% wanita dan 32% pria) diban-dingkan dengan yang terjadi pada kelassosial ekonomi tinggi (14% wanita dan 17%pria) (WHO, 2010).

    Berdasarkan tingkat pendidikannya,diketahui bahwa orangtua responden seba-gian besar berpendidikan SMA. Hal inimempengaruhi tingkat pengetahuan orang-tua terhadap bahaya merokok. Pengetahuanindividu terhadap bahaya merokok mempe-ngaruhi perilaku merokok seseorang. Sema-kin rendah tingkat pengetahuannya terhadapbahaya rokok, maka akan semakin besarrisiko untuk melanjutkan perilaku mero-koknya (Ding dalam Putri, Dasuki, &Hasanbasri, 2005).

    JKK

    9.1.

    2013

    SAY

  • 5Gani Apriningtyas B, dkk., Hubungan Antara Stres Psikososial...

    Gambaran Stres Psikososial Responden

    Tabel 5. Tingkat Stres Psikososial Res-ponden di SMP PGRI KasihanBantul Tahun Ajaran 2010/2011 Kelas VII dan VIII

    Stres Psikososial Jumlah

    Tidak Stres 6

    Sedikit 19

    Ringan 7

    Sedang 3

    Berat 9

    Sangat Berat 9

    Malapetaka 3

    Total 56

    Sumber: Data Primer

    Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwasebagian besar responden berada pada ting-kat sedikit stres (33,93%). Sebagai pem-banding, hasil dari penelitian Kusuma danPrabandari (2007) yang menunjukkan bah-wa remaja berada pada tahap tidak stres.Perbedaan hasil yang ada dapat disebabkanoleh perbedaaan karakteristik responden,yang merupakan siswa yang mempunyai la-tar belakang tingkat perekonomian mene-ngah ke atas. Pada penelitian ini ditemukanstresor yang paling banyak dialami dandirasakan mengganggu responden adalahadanya keinginan yang belum terpenuhi,karena responden berada pada tingkatekonomi menengah ke bawah.

    Gambaran Perilaku Merokok RespondenBerdasarkan tabel 6 diketahui bahwa

    sebagian besar responden adalah perokokringan yaitu sebesar 92,86%. Hasil yangberbeda ditunjukkan dalam penelitian Sari,Ramdhani dan Eliza (2003) bahwa sebagianbesar responden 51,33% merokok antara11-22 batang.

    Tabel 6. Klasifikasi Tingkat PerilakuMerokok Responden di SMPPGRI Kasihan Bantul TahunAjaran 2010/2011 Kelas VIIdan VIII

    Klasifikasi Perilaku Merokok

    Jumlah

    Perokok Ringan (≤10) 52

    Perokok Sedang (11-20) 4

    Perokok Berat (>20) 0

    Total 56

    Sumber: Data Primer

    Perbedaan hasil penelitian tersebutdapat terjadi karena perbedaan usia respon-den, dimana responden pada penelitian Sari,Ramdhani dan Eliza (2003) berusia antara15 hingga 22 tahun. Sebagai pembanding,hasil yang sama ditunjukkan pada penelitianRadityasari (2010) yang mengungkapkanbahwa responden mengkonsumsi antara 1hingga 10 batang rokok setiap hari.

    Pola Perilaku Merokok RespondenPola perilaku merokok responden me-

    liputi usia pertama kali merokok, alasan per-tama kali merokok, alasan merokok saat ini,cara mendapatkan rokok, tempat biasa me-rokok, lingkungan yang merokok, sumberinformasi tentang rokok, informasi mengenaibahaya merokok, mengetahui bahaya merokokdan jumlah uang untuk merokok (tabel 7).

    Penelitian ini menunjukkan bahwa se-banyak 37,50% responden menghisap ro-kok pertama kali saat berusia 12 tahun. Se-suai dengan penelitian lain bahwa subjekmerokok sejak usia 12-16 sebanyak 56%(Radityasari, 2010). Diketahui bahwa seba-gian besar responden menyatakan alasanpertama kali menghisap rokok karena ajak-an teman (36%) diikuti dengan menghilang-kan stres. Perkembangan penggunaan rokokdipengaruhi oleh beberapa hal yang

    JKK

    9.1.

    2013

    SAY

  • 6 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 1-9

    kompleks seperti personal, sosial dan kebu-dayaan yang dapat bervariasi sepanjangwaktu dalam tiap tahap perkembangan yangdapat berdampak pada laki-laki dan pe-rempuan (WHO, 2010).

    Sebagian besar responden merokokuntuk menghilangkan kejenuhan (33,80%)disertai alasan lain yaitu menghilangkan stres.Hasil penelitian ini didukung oleh beberapapenelitian, diantaranya adalah penelitianPrabandari (1994) bahwa alasan seorangremaja merokok antara lain adalah coba-coba, terlihat macho, ditawari oleh teman,mempererat persahabatan, tidak ketinggalanjaman, menyenangkan dan mengurangi stres.Komalasari dan Helmi (2000) mengung-kapkan bahwa remaja mempunyai suatupandangan bahwa rokok dapat membantumengurangi beban masalah, namun jikaremaja tidak menemukan pemecahan atasmasalah yang terjadi maka akan semakinmeningkatkan perilaku merokoknya.

    Sebagian besar responden memper-oleh rokok atau membeli rokok dari penjualasongan atau warung kecil yaitu sebesar31%. Hal ini terkait dengan banyaknya wa-rung di sekitar lingkungan sekolah, sehinggaresponden dapat dengan leluasa membelirokok secara eceran. Beberapa penelitianmenunjukkan hasil yang serupa yaitu padapenelitian Radityasari (2010) di manasebagian besar subyek membeli rokok seca-ra ecer di warung pinggir jalan.

    Data yang diperoleh menunjukkanbahwa responden paling banyak menghisaprokok di tempat umum (pinggir jalan, mall,warung/kafe/restoran dan angkutan umum)yaitu sebesar 53,33%. Hasil yang samaditunjukkan pada penelitian Astuti, Kustanti,dan Hartini (2009) bahwa sebanyak 37,5% remaja dengan persentase terbesar mero-kok di tempat umum, karena bebas daripengawasan guru dan orangtua, sehinggamerasa aman.

    Tabel 7. Pola Perilaku Merokok Responden di SMP PGRI Kasihan, Bantul TahunAjaran 2010/2011

    Sumber: Data Primer

    Pola Perilaku Merokok Kategori dengan Persentase

    Tertinggi Jumlah

    Usia Pertama Kali Merokok Usia 12 tahun 21

    Alasan Pertama Kali Merokok Ajakan teman 27

    Alasan Merokok Saat Ini Menghilangkan jenuh 24

    Cara Mendapatkan Rokok Penjual asongan 31

    Tempat Biasa Merokok Tempat umum 32

    Lingkungan yang Merokok a. Keluarga b. Teman Dekat c. Guru

    Ayah >10 orang 1- 5 orang

    36 24 30

    Sumber Informasi Orangtua 22

    Pernah Mendapat Informasi Mengenai Bahaya Rokok

    Ya

    48

    Jumlah Uang yang Dihabiskan Untuk Merokok

  • 7Gani Apriningtyas B, dkk., Hubungan Antara Stres Psikososial...

    Diketahui bahwa ayah merupakananggota keluarga dengan persentaseberperilaku merokok terbesar dalamanggota keluarga (43,93%). Sesuai denganpenelitian Harjanto, Purwanta dan Rahmat(2004) bahwa 91,7% orangtua remaja yangmerokok juga merupakan perokok. Rema-ja dengan orangtua yang merokok mempu-nyai kecenderungan 0,96 kali untuk mero-kok (Nurkania, dkk, 2007).

    Responden mendapatkan informasitentang rokok sebagian besar dari orangtua(29,33%) dan televisi (26,67%). Ini menun-jukkan bahwa remaja mempunyai aksesyang tinggi terhadap media baik media cetakmaupun elektronik, karena media dapatdijadikan sebagai sumber informasi, hiburanmaupun sarana interaksi dengan teman(Nurkania, Hakimi & Prabandari, 2007).

    Sebagian besar responden mengha-biskan kurang dari sepuluh ribu untukmembeli rokok (55,36%). Beberapa studimengindikasikan remaja yang banyak menghabiskan uang sakunya mempunyai tingkatyang tinggi dalam penggunaan rokok. Dibeberapa negara remaja lebih sensitifterhadap harga rokok, semakin tinggi hargarokok akan berpengaruh pada seberapauang yang diperlukan untuk merokok danmempunyai dampak substansial padapenggunaan rokok (WHO, 2010).

    Hubungan Antara Stres Psikososialdengan Perilaku Merokok Responden

    Hasil uji statistik menunjukkan nilaisignificancy (p) 0,021 (p

  • 8 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 1-9

    PGRI Kasihan, Bantul dengan arah positifnamun mempunyai kekuatan korelasi yanglemah.

    SaranBagi SMP PGRI Kasihan, Bantul

    diharapkan dapat lebih meningkatkanpendidikan kesehatan tentang perilakumerokok pada siswa-siswa terkait perilakumerokok siswa, agar menghentikan kebia-saan merokok sedini mungkin.

    DAFTAR RUJUKAN

    Astuti, F., Kustanti, A., & Hartini, S. 2009.Gambaran Persepsi, Sikap, dan Pe-rilaku Merokok pada SiswaSekolah Menengah Pertama(SMP) di Urban Kabupaten Slem-an. Skripsi. Tidak diterbitkan. Yogya-karta: Universitas Gadjah Mada.

    Byrne, D. G., & Mazanov, L. 2003. Ado-lescent Stress and Future SmokingBehavior A Prospective Investi-gation. Journal of PsychosomaticResearch, 54: 313-321.

    Dinas Kesehatan Provinsi Daerah IstimewaYogyakarta. 2010. Riset Kesehat-an Dasar Badan Penelitian danPengembangan Kesehatan Ke-menterian Kesehatan RepublikIndonesia. Jakarta: Dinas Kesehatan.

    Dwiyathitami, Ni. M. 2011. Mengenal StresPada Anak, (Online), (http://www.balipost.co.id/mediadetail.php§module=detailberita&kid=24&id=48084§), diakses 15 Februari 2011.

    Hidayati, N. 2011. Tiga dari 10 Pelajardi RI Merokok Sebelum Umur 10Tahun, (Online), (http://m.detik.com dari browser ponsel anda! detiknews.com), diakses 15 Februari2011.

    Harjanto, T., Purwanta., & Rahmat, I. 2004.Faktor-faktor yang Mempenga-ruhi Perilaku Merokok di Ka-langan Pelajar SMU Negeri 1Kartasura Jawa Tengah. Skripsi.Tidak diterbitkan. Yogyakarta:Universitas Gadjah Mada.

    Komalasari, D., & Helmi, A. F. 2000.Faktor-faktor Penyebab Perila-ku Merokok pada Remaja, (On-line), (http://avin.staff.ugm.ac.id/data/jurnal/perilakumerokok_avin.pdf.2000§), diakses 3 Juni 2011.

    Koval, J. J., Linda, L. P., Stella, S. H., &Chan. 2004. Psychosocial VariablesIn A Cohort of Students In Grades8 and 11: A Comparison of Currentand Never Smokers. PreventiveMedicine, 39: 1017-1025.

    Kusuma, M. T., & Prabandari, L. 2007.Hubungan Antara Status StresPsikososial dengan Status GiziSiswi SMP Stella Duce 1 Yogya-karta. Skripsi. Tidak diterbitkan.Yogyakarta: Universitas GadjahMada.

    Nurkania, N., Hakimi, M., Prabandari, Y.S. 2007. Pengaruh PenerapanKawasan Tanpa Rokok di Seko-lah Terhadap Sikap dan PerilakuBerhenti Merokok di KalanganSiswa SMA di Kota Bogor. Tesis.Tidak diterbitkan. Yogyakarta:Universitas Gadjah Mada.

    Prabandari, Y. S. 1994. PendidikanKesehatan Melalui Seminar danDiskusi sebagai Alternatif Pe-nanggulangan Perilaku Merokokpada Remaja Pelajar SLTA diKodya Yogyakarta. Tesis. Tidakditerbitkan. Yogyakarta: UniversitasGadjah Mada.

    JKK

    9.1.

    2013

    SAY

  • 9Gani Apriningtyas B, dkk., Hubungan Antara Stres Psikososial...

    Putri, I., Dasuki, D., Hasanbasri, M. 2005.Struktur Keluarga dan PerilakuMerokok Pada Remaja AnalisiData sakerti 3 Tahun 2000. Tesis.Tidak diterbitkan. Yogyakarta:Universitas Gadjah Mada.

    Radityasari, A. 2010. Gambaran PerilakuMerokok Siswa sekolah Mene-ngah Atas/ Sederajat di KotaSemarang Tahun 2010. Skripsi.Tidak Diterbitkan. UniversitasDiponegoro: Semarang, (Online),(http://eprints.undip.ac.id/17277/),diakses 3 Juni 2011.

    Rohman, A. 2009. Hubungan AntaraTingkat Stres dan Status SosialEkonomi Orang Tua denganPerilaku Merokok Pada Remaja.Skripsi. Jurusan Bimbingan danKonseling dan Psikologi FakultasIlmu Pendidikan Universitas NegeriMalang, (Online), (http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/BK-Psikologi/article/view/2685),diakses 27 Februari 2011.

    Sari, A. T. O., Ramdhani, N., & Eliza, M.2003. Empat i dan PerilakuMerokok di Tempat Umum. JurnalPsikologi, XXX (2): 81-90,(Online), (http://neila.staff.ugm.ac.id/wordpress/wpcontent/uploads/2008/02/empatijurnal1.pdf. 2003),diakses 9 April 2011.

    Sadock, V. A., & Saddock, B. J. 2003.Kaplan & Sadock’s Synopsis ofPsychiatry Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 9th Edition.Lippincott Williams & Wilkins:Philadelphia.

    Sudiyanto, A. 1998. Pengaruh PendidikanKesehatan Jiwa Keluarga Terha-dap Kekambuhan PenderitaGangguan Afektif Berat. Disertasi.Tidak diterbitkan. Yogyakarta:Universitas Gadjah Mada.

    Tempo Interaktif. 2011. Perokok MudaMakin Menggila, (Online), (http://majalah.tempointeraktif.com/id/a r s i p / 2 0 0 8 / 0 1 / 2 8 / K S H /mbm.20080128.KSH126188.id.html),diakses 15 Februari 2011.

    World Health Organization. 2010. Gender,Women, and the TobaccoEpidemic: 3. Prevalence ofTobacco Use and FactorsInûuencing Initiation andMaintenance Among Women(Online), (http://www.who.int/tobacco/ publications/gender/women_tob_epidemic/en/) ,diakses 15 Februari 2011.

    .

    JKK

    9.1.

    2013

    SAY

  • PENGARUH HOME VISIT TERHADAP KEMAMPUANPASIEN DAN KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA

    KELUARGA YANG MENGALAMI GANGGUAN JIWA

    Mamnu'ahSTIKES 'Aisyiyah YogyakartaEmail: [email protected]

    Abstract: The purpose of this quasi-experiment study was to determinethe effect of home visit on the abilities of clients and their families intaking care of the family member with mental problem in Banaran village,Galur, Kulon Progo. The sample of this research were patients who hadmental problem and their families. The sampling technique used in thisresearch was a random sampling technique taken from 11 clients whowere given four home visits in a month. The data were analyzed usingpaired t-test. After the patients were given the home visit, the researchersmeasured the respondents' abilities. The result showed that there wasan effect of home visits on the client's ability (p=0.000) and there wasno effect of home visit on the family ability in taking care the patients(p=0.480).

    Keywords: effect, home visit, family and patients ability

    Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis Pengaruh HomeVisit Terhadap Kemampuan Pasien dan Keluarga dalam MerawatAnggota Keluarga yang Mengalami Gangguan Jiwa Di Desa BanaranGalur Kulonprogo. Penelitian ini merupakan penelitian QuasiExperiment. Responden penelitian ini adalah pasien dan keluarga yangmempunyai anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Tekniksampel yang digunakan adalah acak pada sejumlah 11 responden yangdiberikan intervensi home visit sebanyak empat kali selama sebulan,kemudian diukur tingkat kemampuan pasien dan keluarga. Analisis datayang digunakan adalah Paired T Test. Diperoleh hasil adanya pengaruhhome visit terhadap kemampuan pasien (p=0,000) dan tidak ada pengaruhhome visit terhadap kemampuan keluarga (p=0,480).

    Kata kunci: pengaruh, home visit, kemampuan keluarga, pasien

    JKK

    9.1.

    2013

    SAY

  • 11Mamnu’ah, Pengaruh Home Visit .....

    PENDAHULUANMenurut Departemen Kesehatan RI

    (2000) kesehatan jiwa merupakan suatukondisi yang memungkinkan perkembanganyang optimal baik secara fisik, intelektualdan emosi dari seseorang yang selaras de-ngan orang lain. Organisasi Kesehatan Du-nia (WHO) mendefinisikan kesehatan seba-gai keadaan sehat fisik, mental, dan sosial,bukan semata-mata keadaan tanpa penyakitatau kelemahan. Definisi tersebut menekan-kan kesehatan sebagai suatu keadaan sejah-tera yang positif, bukan sekedar keadaantanpa penyakit. Orang yang memiliki kese-jahteraan emosional, fisik dan sosial dapatmemenuhi tanggung jawab kehidupan, ber-fungsi dengan afektif dalam kehidupan sehari-hari dan puas dengan hubungan interpersonaldan diri mereka sendiri (Videbeck, 2008).

    Upaya kesehatan jiwa ditujukan untukmenjamin setiap orang dapat menikmatikehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dariketakutan, tekanan, dan gangguan lain yangdapat mengganggu kesehatan jiwa. Upayakesehatan jiwa sebagaimana dimaksudterdiri atas preventif, promotif, kuratif, reha-bilitatif pasien gangguan jiwa dan masalahpsikososial (Undang-Undang No. 36 Tahun2009 Tentang Kesehatan).

    Kesehatan jiwa merupakan suatu ren-tang meliputi sehat jiwa, risiko dan gangguanjiwa. Setiap orang berisiko apakah akan se-hat jiwa, mengalami masalah psikososialmaupun gangguan jiwa. Hasil Riskesdas(2007) menunjukkan angka gangguan jiwaberat di Indonesia mencapai 0,46%, diDaerah Istimewa Yogyakarta mencapai0,38%. Angka ini masih di bawah angka na-sional akan tetapi beban akibat gangguanjiwa sangat berat apalagi bagi keluarga yangmerawat pasien dengan gangguan jiwa.

    Adanya gangguan jiwa di keluargamempengaruhi fungsi keluarga. Keluargayang berfungsi dengan baik akan dapatmemberikan perawatan pada anggota

    keluarganya dengan baik namun sebaliknyapada keluarga yang tidak menjalankan fungikeluarga dengan baik maka akan mempe-ngaruhi klien. Darwis (2007) mengatakanbanyak keluarga tidak membawa pulangklien karena malu, merasa terganggu, tidakmampu merawat dan sebagainya. Akibat-nya, kapasitas rumah sakit menjadi tidakmencukupi. Keluarga yang keberatan mene-rima kembali klien di lingkungan keluargaakan menambah beban klien akibatnya klientidak betah di keluarga dan merasa nyamandi rumah sakit. Penerimaan keluarga ini sa-ngat penting bagi kesembuhan klien karenaapabila klien sembuh akan mempengaruhifungsi keluarga.

    Masalah lain yang dirasakan keluargadengan adanya gangguan jiwa di keluargadapat mempengaruhi kemampuan ekonomikeluarga dalam membayar biaya rumahsakit. Biaya yang harus dikeluarkan keluargacukup tinggi. Keluarga diharuskan mengun-jungi anggota keluarganya yang mengalamigangguan jiwa di rumah sakit secara rutin,padahal belum tentu jarak rumah sakitdengan tempat tinggal klien dekat sehinggamembutuhkan biaya untuk transportasi danakomodasi.

    Berbagai macam cara dipilih keluargauntuk mencapai fungsi keluarga. Penelitianterkait pernah dilakukan oleh Seloilwe(2006) tentang pengalaman dan kebutuhankeluarga dengan gangguan jiwa di rumah diBotswana. Hasilnya bahwa merawat ang-gota keluarga dengan gangguan jiwa mem-buat keluarga bingung, sedih dan merupakanpenderitaan tiada habisnya. Pemberi pera-watan dituntut untuk melakukan koping seti-ap hari, menjadi tidak jujur dengan anggotakeluarga yang mengalami gangguan, mani-pulatif, akomodatif, menerima dan negosiasiterhadap situasi yang terjadi.

    Besarnya dampak yang ditimbulkangangguan jiwa terhadap keluarga khususnyayang merawat perlu diantisipasi dengan cara

    JKK

    9.1.

    2013

    SAY

  • 12 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 10-18

    salah satunya adalah melakukan berbagaimacam penelitian yang dibutuhkan untukmenentukan kebijakan pelaksanaan terapikeluarga yang dibutuhkan keluarga ketikamerawat anggota keluarganya yang menga-lami gangguan jiwa. Melalui penelitian ini,diharapkan home visit yang dilakukan olehperawat puskesmas akan membantu me-ningkatkan kemampuan keluarga dalammerawat anggota keluarga yang mengalamigangguan jiwa.

    Berdasarkan wawancara dengan pera-wat penanggung jawab program jiwa diPuskesmas Galur II didapatkan data bahwajumlah pasien gangguan jiwa di Desa Ba-naran sebanyak 75 pasien, angka ini tertinggidibandingkan dua desa lainnya yaitu di DesaNomporejo 30 pasien dan di Desa Krang-gan sebanyak 34 pasien. Petugas juga men-jelaskan adanya 15 pasien yang tidak kontrollagi ke puskesmas padahal sebelumnya rutinkontrol, kondisi ini menggambarkan salah satuindikator kemampuan pasien dan ketidak-mampuan keluarga dalam merawat anggotakeluarga yang mengalami gangguan jiwa.

    Berdasarkan latar belakang dan per-masalahan, maka dapat diasumsikan bahwahome visit mampu meningkatkan kemam-puan pasien dan keluarga dalam merawatanggota keluarga yang mengalami gangguanjiwa sehingga rumusan masalah dari peneli-tian ini adalah “Bagaimana pengaruh homevisit terhadap kemampuan pasien dan kelu-arga dalam merawat anggota keluarga yangmengalami gangguan jiwa?” Penelitian inibertujuan untuk menganalisis pengaruhhome visit terhadap kemampuan pasien dankeluarga dalam merawat anggota keluargayang mengalami gangguan jiwa.

    METODE PENELITIANPenelitian ini merupakan penelitian

    Quasi Experiment untuk menilai pengaruhhome visit terhadap kemampuan pasienkeluarga dalam merawat anggota keluarga

    yang mengalami gangguan jiwa. Penelitianini merupakan penelitian Pre-post Experi-ment dengan mengukur sebelum dan sesuahdiintervensi lalu diukur hasilnya (Noto-atmodjo, 2010). Populasi adalah keselu-ruhan objek penelitian atau objek yang diteliti(Arikunto, 2006). Populasi dalam penelitianini yaitu semua pasien dan keluarga yangmerawat anggota keluarga yang mengalamigangguan jiwa yang berjumlah 75 orang.Sampel adalah bagian populasi yang akanditeliti atau sebagian jumlah dari karakteristikyang dimiliki oleh populasi (Hidayat, 2007).Sampelnya adalah pasien dan keluarga yangbertanggungjawab merawat pasien yangmengalami gangguan jiwa di rumahnya. Tek-nik sampel yang digunakan adalah randomsampling sebanyak 11 orang pasien dan ke-luarga yang akan dilakukan intervensi.Instrumen yang digunakan dalam penelitianini adalah lembar kuesioner dalam bentukpertanyaan tertutup dan ceklist. Instrumenyang digunakan untuk intervensi home visitmenggunakan standar prosedur operasionalyang telah disusun oleh peneliti.

    Metode yang digunakan dalam pe-ngumpulan data adalah dengan memberikankuesioner dan ceklist untuk mendapatkandata kemampuan keluarga dalam merawat.Kemampuan pasien diukur menggunakanceklist. Home visit dilakukan empat kalipertemuan, pertemuan pertama membica-rakan tentang cara mengatasi gejala, perte-muan kedua cara memenuhi kebutuhanADL, pertemuan ketiga cara bersosialisasidan pertemuan keempat manajemen obat.Kegiatan ini dilakukan selama satu bulan,tiap pertemuan dilakukan selama 60 menit.Pengukuran kemampuan keluarga dilak-sanakan satu jam sebelum intervensi dansatu jam setelah dilakukan intervensi padapertemuan keempat. Dalam proses pengum-pulan data, peneliti dibantu oleh dua orangasisten. Data yang diperoleh dilakukan ujinormalitas data. Hasilnya diperoleh data

    JKK

    9.1.

    2013

    SAY

  • 13Mamnu’ah, Pengaruh Home Visit .....

    terdistribusi normal sehingga dilakukan ujiparametrik menggunakan paired t Test(Sugiyono, 2010).

    HASIL DAN PEMBAHASANDesa Banaran merupakan desa binaan

    Puskesmas Galur II Kabupaten KulonProgo. Desa ini mempunyai angka gangguanjiwa lebih tinggi dibandingkan dua desa lain-nya. Pelayanan kesehatan jiwa sudah dila-kukan di puskesmas ini. Kunjungan ke rumahpasien dan keluarga dilakukan tetapi tidakterjadwal secara rutin dan materi kunjunganjuga tidak terstruktur. Karakteristik respon-den dapat dilihat pada tabel 1.

    Karakteristik Responden BerdasarkanUmur, Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan

    Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rataumur pasien adalah 39 tahun (95% CI:28,96-49,03), dengan standar deviasi 14,93tahun. Umur termuda responden adalah 22tahun dan umur tertua 78 tahun. Dari hasilestimasi interval dapat disimpulkan bahwa95% diyakini bahwa rata-rata umur

    responden adalah diantara 28,96-49,03.Sedangkan umur keluarga yang merawatdidapatkan rata-rata 52 tahun (95% CI:44,38-59,80), dengan standar deviasi 11,47.Umur termuda 35 tahun dan umur tertua 72tahun. Dari hasil estimasi interval dapatdisimpulkan bahwa 95% diyakini bahwarata-rata umur responden adalah diantara44,38-59,80.

    Karakteristik Responden BerdasarkanJenis Kelamin

    Tabel 2 menunjukkan bahwa respon-den pasien paling banyak perempuansebanyak 6 (54,5%) sedangkan respondenkeluarga paling banyak laki-laki sebanyak54,5%.

    Karakteristik Responden BerdasarkanTingkat Pendidikan

    Tabel 3 menunjukkan bahwa pendi-dikan responden pasien paling banyak SMAsebanyak 5 (45,5%) sedangkan respondenkeluarga paling banyak SD dan SMAsebanyak 4 (36,4%).

    Tabel 1. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur

    Variabel Mean SD Minimal-Maksimal 95% CI

    Umur Pasien 39 14,93 22-78 28,96-49,03

    Umur Keluarga 52 11,47 35-72 44,38-59,80

    Sumber: Data Primer, 2013

    Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

    Jenis Kelamin Pasien Keluarga

    Frekuensi % Frekuensi %

    Laki-laki 5 45,5 6 54,5

    Perempuan 6 54,5 5 45,5

    Jumlah 11 100 11 100 Sumber: Data Primer, 2013

    JKK

    9.1.

    2013

    SAY

  • 14 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 10-18

    Karakteristik Responden BerdasarkanJenis Pekerjaan

    Tabel 4 menunjukkan bahwa respondenpasien sebagian besar tidak bekerja sebanyak6 (54,5%) sedangkan responden keluargasebagian besar bekerja swasta sebanyak 4(36,5%).

    Karakteristik Responden BerdasarkanHubungan Keluarga

    Tabel 5 menunjukkan hubungankeluarga dengan pasien, sebagian besarsebagai orang tua, ada 4 orang (36,3%).

    Analisis BivariatHasil uji statistik pengaruh home visit

    terhadap kemampuan pasien dan keluargadalam merawat anggota keluarga yangmengalami gangguan jiwa diuji menggunakanT Test Paired Test dan didapatkan hasilseperti pada tabel 6.

    Pada tabel 6 tersebut ditunjukkanbahwa rata-rata kemampuan pasien sebe-lum dilakukan home visit adalah 43,63dengan standar deviasi 7,80. Setelah dila-kukan home visit didapatkan rata-rata51,63 dengan standar deviasi 7,01. Terlihatnilai mean perbedaan sebelum dan sesudah

    Pendidikan Pasien Keluarga

    Frekuensi % Frekuensi %

    Tidak sekolah 1 9,1 0 0

    SD 2 18,2 4 36,4

    SMP 3 27,2 3 27,2

    SMA 5 45,5 4 36,4

    Jumlah 11 100 11 100

    Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

    Sumber: Data Primer, 2013

    Tabel 5. Distribusi Frekuensi Res-ponden Berdasarkan Hu-bungan dengan Pasien

    Hubungan Frekuensi Persentase

    Kakak/adik 3 27,3

    Anak 1 9,1

    Orang tua 4 36,3

    Suami 2 18,2

    Tante 1 9,1

    Jumlah 11 100

    Sumber: Data Primer, 2013

    Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pekerjaan

    Jenis Kelamin Pasien Keluarga

    Frekuensi % Frekuensi %

    Tidak bekerja 6 54,5 0 0

    IRT 3 27,2 3 27,2

    Buruh 0 0 3 27,2

    Swasta 1 9,1 4 36,5

    Tani 0 0 1 9,1

    Pensiunan 1 9,1 0 0

    Jumlah 11 100 11 100

    Sumber: Data Primer, 2013

    Pekerjaan

    JKK

    9.1.

    2013

    SAY

  • 15Mamnu’ah, Pengaruh Home Visit .....

    intervensi adalah 8 dengan standar deviasi4,242. Hasil uji statistik didapatkan nilai0,000 maka dapat disimpulkan adaperbedaan yang signifikan antara sebelumdan sesudah dilakukan home visit.

    Kemampuan KeluargaKemampuan keluarga dalam merawat

    anggota keluarga yang mengalami gangguanjiwa dapat dilihat pada tabel 7.

    Pada tabel 7 menunjukkan bahwarata-rata kemampuan keluarga sebelum dila-kukan home visit adalah 11,18 denganstandar deviasi 6,20. Setelah dilakukanhome visit didapatkan rata-rata 12,09 de-ngan standar deviasi 3,36. Terlihat nilai meanperbedaan sebelum dan sesudah intervensiadalah 0,909 dengan standar deviasi 4,109.Hasil uji statistik didapatkan nilai 0,480 ma-ka dapat disimpulkan tidak ada perbedaanyang signifikan antara sebelum dan sesudahdilakukan home visit.

    Kemampuan pasien sebelum dilaku-kan home visit pada skor 43,63 dan me-ningkat menjadi 51,63 setelah dilakukan

    home visit, terjadi kenaikan sebanyak 8poin. Hal ini menunjukkan bahwa home visityang dilakukan tenaga puskesmas selakupenanggung jawab program kesehatan jiwadi masyarakat memberikan dampak positifuntuk meningkatkan kemampuan pasien. Halini sesuai dengan teorinya Keliat (2012)bahwa adanya perawat Community Men-tal Health Nursing (CMHN) di puskesmasmempunyai tugas salah satunya adalahmelakukan kunjungan kepada pasien akanmampu meningkatkan kemampuan pasiendalam memenuhi kebutuhan sehari-hariseperti mandi, berdandan, interaksi sosialdan berobat secara teratur.

    Kemampuan pasien mengalami pe-ningkatan hal ini didukung oleh pendidikanpasien yang sebagian besar SMA sehinggamemudahkan dalam memberikan pendi-dikan kesehatan. Notoatmodjo (2003)memberikan gambaran bahwa kemampuanmeliputi kognitif, afektif dan psikomotor.Dalam home visit ini diberikan ketiga haltersebut kepada pasien. Kemampuan meng-atasi gejala gangguan jiwa yang dialami,

    Tabel 6. Distribusi Rata-Rata Skor Kemampuan Pasien Sebelum dan SesudahDilakukan Home Visit

    Variabel Mean SD SE P Value N

    Kemampuan

    Sebelum 43,63 7,80 2,35 0, 000 11

    Sesudah 51,63 7,01 2,11

    Sumber: Data Primer diolah, 2013

    Variabel Mean SD SE P Value N

    Kemampuan

    Sebelum 11,18 6,20 1,87 0,480 11

    Sesudah 12,09 3,36 1,01

    Tabel 7. Distribusi Rata-Rata Skor Kemampuan Keluarga Sebelum danS e s u d a h D i l a k u k a n Home Visit

    Sumber: Data Primer diolah, 2013

    JKK

    9.1.

    2013

    SAY

  • 16 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 10-18

    interaksi sosial, kepatuhan minum obat danpenggunaan fasilitas kesehatan yang diberi-kan pemerintah. Usia pasien yang rata-rataberusia 39 tahun memudahkan transferkemampuan. Umur menjadi salah satupendukung terjadinya peningkatan kemam-puan pasien dalam menerima materi yangdiberikan.

    Home visit yang dilakukan perawatpuskesmas kepada pasien merupakanbagian dari peran, fungsi dan tugas perawat.Apalagi jika dilakukan secara teratur danterstruktur seperti dalam penelitian ini.Dalam pembentukan Desa Siaga Sehat Jiwa(DSSJ), peran perawat jiwa sebagai ma-najer pelayanan kesehatan jiwa di komunitasdapat memberi kewenangan membentukkader-kader kesehatan jiwa yang bertugassebagai kepanjangan tangan perawatpuskesmas (Keliat, 2010). Tugas home visitbisa berkoordinasi dengan para kaderkesehatan jiwa sehingga pasien senantiasamerasa diperhatikan oleh petugas.

    Kemampuan keluarga sebelum dilaku-kan home visit rata-rata 11,18 dan mening-kat menjadi 12,09, terjadi peningkatansebanyak 0,909. Peningkatan ini sangatsedikit. Hasil uji statistik memperlihatkantidak ada pengaruh home visit terhadapkemampuan keluarga. Hal ini berkaitan de-ngan beban yang dirasakan keluarga denganadanya anggota keluarga yang mengalamigangguan jiwa merupakan hal sangat beratdan banyak sumber stresor di keluarga yangmempengaruhi keberfungsian keluarga.Menurut Torrey (1988 dalam Arif, 2006)bahwa adanya klien gangguan jiwa dalamkeluarga merupakan stresor yang sangatberat yang harus ditanggung keluarga.Keluarga sebagai matriks relasi maka seluruhanggotanya terhubung satu sama lain akanterkena dampak yang besar. Keseimbangankeluarga sebagai suatu sistem mendapatkantantangan yang besar.

    Penelitian terkait pernah dilakukan olehSeloilwe (2006) tentang pengalaman dankebutuhan keluarga dengan gangguan jiwadi rumah di Botswana. Hasilnya bahwamerawat anggota keluarga dengan gangguanjiwa membuat keluarga bingung, sedih danmerupakan penderitaan tiada habisnya.Pemberi perawatan dituntut untuk melaku-kan koping setiap hari, menjadi tidak jujurdengan anggota keluarga yang mengalamigangguan, manipulatif, akomodatif, mene-rima dan negosiasi terhadap situasi yangterjadi. Kondisi inilah yang dialami keluargadalam penelitian ini. Keluarga mengatakansangat berat mempunyai anggota keluargayang mengalami gangguan jiwa.

    Adanya sikap positif akan memudah-kan keluarga melakukan perawatan. Psiko-motor atau kemampuan praktek merujukpada pergerakan muskuler yang merupakanhasil dari koordinasi pengetahuan danmenunjukkan penguasaan terhadap suatutugas atau ketrampilan (Craven, 2006).Kemampuan psikomotor akan ditunjukkankeluarga dalam keseharian ketika merawatpasien. Aspek tersebut penting dalam pera-watan pasien.

    Pada penelitian ini tidak semua kelu-arga mempunyai sikap positif, ada yangmengatakan sama saja begitu-begitu terus.Ini merupakan tantangan besar bagi perawatCMHN untuk membuat metode baru yangmampu membangun sikap positif keluargadalam memberikan perawatan kepadaanggota keluarga yang mengalami gangguanjiwa. Menurut Stuart dan Laraia (2005) jugamenjelaskan bahwa keyakinan positif terha-dap suatu pengobatan akan mempercepatkesembuhan pasien. Untuk itulah diperlukansikap positif keluarga dalam melakukanperawatan kepada pasien.

    Tidak adanya pengaruh home visitterhadap kemampuan keluarga juga didu-kung usia keluarga yang merawat pasien

    JKK

    9.1.

    2013

    SAY

  • 17Mamnu’ah, Pengaruh Home Visit .....

    rata-rata berusia 52 tahun. Sehingga ke-mampuan menangkap informasi dan ke-mauan untuk meningkatkan kemampuanpasien kurang mendukung. Sehingga dibu-tuhkan peran serta masyarakat melalui kaderkesehatan jiwa untuk membantu mendam-pingi keluarga dalam memberikan pera-watan pada pasien gangguan jiwa. Adanyakader kesehatan jiwa sangat membantukeluarga memonitor dan mengevaluasi per-kembangan kemampuan pasien sekaligusmelaporkan segera ke perawat jiwa puskes-mas apabila terjadi kekambuhan pasiengangguan jiwa (Keliat, 2010).

    Beard dan Gillespie, (2001 dalam For-tinash dan Worret, 2004) mengemukakanbahwa tidak semua keluarga cukup kuatuntuk mengatasi tuntutan anggota keluargayang mengalami gangguan jiwa. Anggotakeluarga mungkin akan mengalami kesulitanuntuk membicarakan masalah yang merekatemukan selama merawat anggota keluargayang mengalami gangguan jiwa. Adanya ra-hasia dalam keluarga tentang anggota kelu-arga yang mengalami gangguan adalah halyang umum sehingga tidak mudah men-dapatkan informasi dari pemberi perawatankeluarga maupun anggota keluarga lainnya.

    Pada beberapa kasus, keluarga jugamengalami disfungsi dan tidak mampumemberi support yang penting bagi klien.Kadang-kadang anggota keluarga tidakmampu berperan atau menyelesaikan tugas-nya dengan berbagai alasan. Ketidakmam-puan sering terjadi selama waktu stres dantransisi terutama jika keluarga mengalamikecaman/ejekan.

    Pada penelitian ini juga tidak semuakeluarga terbuka menerima kunjungan daripetugas kesehatan. Ada hal-hal yang tidak bisamereka ceritakan secara terbuka danmenganggap sebagai aib keluarga yang tidakperlu diceritakan. Padahal kondisi ini akanmenambah beban keluarga selama merawatpasien. Home visit dengan memberikan

    psikoedukasi bagi keluarga diharapkanmampu mengatasi permasalahan keluarga.Sesuai teori Stuart (2009) bahwa psiko-edukasi keluarga, triangle therapy mampumemberikan solusi bagi keluarga dalammemberikan perawatan pasien gangguan jiwa.

    SIMPULAN DAN SARAN

    SimpulanBerdasarkan pembahasan dapat di-

    simpulkan bahwa kemampuan pasiensebelum dilakukan home visit rata-rata43,63 dan meningkat menjadi 51,63 setelahdilakukan home visit. Kemampuan kelu-arga sebelum dilakukan home visit rata-rata11,18 dan meningkat menjadi12,09 setelahdilakukan home visit. Ada pengaruh homevisit terhadap kemampuan pasien dalammelakukan kegiatan sehari-hari di DesaBanaran dan tidak ada pengaruh home visitterhadap kemampuan keluarga dalammerawat anggota keluarga yang mengalamigangguan jiwa di Desa Banaran.

    SaranDiharapkan kepala desa Banaran be-

    kerjasama dengan Puskesmas Galur IImemberikan dukungan dengan melakukanpendampingan secara terstrukur kepadakeluarga dan pasien untuk meningkatkankemampuannya dalam melakukan kegiatansehari-hari. Diharapkan penanggung jawabprogram keperawatan jiwa di PuskesmasGalur II melakukan home visit secara terja-dual untuk pasien dan keluarga yang meng-alami gangguan jiwa. Bagi pasien diharapkandapat menerapkan pengetahuan dan kete-rampilan yang diberikan saat home visitdalam kehidupan sehari-hari. Peneliti selan-jutnya diharapkan melakukan penelitianmenggunakan metode lain yang dilakukansaat home visit untuk meningkatkankemampuan keluarga dan dilakukan dalamjumlah sampel yang lebih besar.

    JKK

    9.1.

    2013

    SAY

  • 18 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 10-18

    DAFTAR RUJUKAN

    Arif, I. S. 2006. Skizofrenia MemahamiDinamika Keluarga Pasien. Ce-takan Pertama. PT Refina Aditama:Bandung.

    Arikunto, S. 2006. Prosedur PenelitianSuatu Pendekatan Praktek. EdisiVI. Rineka Cipta: Jakarta.

    Craven, R.F. & Hirnle, C.J. 2006.Fundamental of Nursing HumanHealth and Function. Fifth edition.Williams & Wilkins: Lippincott.

    Darwis, Y. 2007. 50 Persen Orang GilaTerlantar di RSJ, (Online), (http://www.banjarmasin post.co.id/content/view/4131/297/), diakses31 Januari 2008.

    Departemen Kesehatan RI. 2008. RisetKesehatan Dasar (Riskesdas)2007. Laporan Nasional 2007.Jakarta: Badan Penelitian dan Pe-ngembangan Kesehatan Depar-temen Kesehatan RI.

    Fortinash & Worret. 2004. PsychiatricMental Health Nursing. (3rdedition). Mosby: St. Louis.

    Hidayat, A. A. A. 2007. Riset Kepe-rawatan dan Teknik PenulisanIlmiah. Salemba Medika: Jakarta.

    Keliat, B.A. & Akemat. 2012. ModelPraktik Keperawatan Profe-sional Jiwa. EGC: Jakarta.

    Keliat, B.A. 2010. Manajemen Kepe-rawatan Jiwa Komunitas DesaSiaga (CMHN IntermediateCourse). EGC: Jakarta.

    Notoatmojo, S. 2003. Pendidikan danPerilaku Kesehatan. Rineka Cipta:Jakarta.

    Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Pene-litian Kesehatan. (Edisi Revisi).Rineka Cipta: Jakarta.

    Republik Indonesia. 2009. Undang - UndangRepublik Indonesia No. 36 Tahun2009 Tentang Kesehatan. Jakarta:Kementrian Hukum dan HAM.

    Seloilwe, E.S. 2006. Experineces andDemands of Families with MentallyIll People at Home in Botswana,Journal of Nursing Scholarship,38(3): 262-268.

    Stuart, G. W. 2009. Principles andPractice of Psychiatric Nursing.(9th edition). Mosby Elsevier:Canada.

    Stuart, G.W. & Laraia, M.T. 2005. Prin-ciples and Practice of PsychiatricNursing. (7th edition). Mosby: StLouis.

    Sugiyono. 2010. Statistika untuk Pene-litian. Cetakan ke-16. Alfabeta:Bandung.

    Videbeck, S. L. 2008. Buku Ajar Kepe-rawatan Jiwa. EGC: Jakarta.JK

    K 9.

    1.20

    13 S

    AY

  • PENERAPAN BUDAYA KESELAMATAN PASIENSEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN KEJADIAN

    TIDAK DIINGINKAN (KTD)

    Ag. Sri Oktri Hastuti

    Akper Panti Rapih Yogyakarta

    E-mail: [email protected]

    Abstract: This research aims at giving an overview on the patient safetybehavior application to prevent unwanted circumstances in Panti RapihHospital Yogyakarta. The approach used in this research was a cross-sectional approach. The population was the employee of Panti RapihYogyakarta  Hospital.  The  number  of  the  respondents  was  373respondents selected by using simple random sampling. The resultshowed that the highest positive response of the patient safety behaviorwas  the  development  of organization  learning  aspect  (81.67%).Meanwhile, the number of incident reports (21.09%) needed moreattention from the management. In conclusion, this research on patient

    safety behavior was not optimally achieved.

    Keywords:  adverse event, patient safety behavior, incident report.

    Abstrak:  Penelitian  ini  bertujuan  untuk  memberikan  gambaranpenerapan budaya Keselamatan Pasien (KP) untuk mencegah KejadianTidak Diinginkan (KTD) di RS Panti Rapih Yogyakarta. Pendekatanyang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan cross-sectional.Populasi adalah karyawan RS Panti Rapih Yogyakarta. Respondensejumlah 373 dipilih dengan metode simple random sampling. Hasilpenelitian menunjukkan bahwa budaya KP yang memiliki respon positiftertinggi adalah aspek pengembangan belajar organisasi (81,67%),sedangkan yang paling membutuhkan perhatian manajemen adalahbanyaknya pelaporan insiden (21,09%). Kesimpulan dari penelitian iniadalah budaya KP untuk pembelajaran belum tercapai secara optimal.

    Kata kunci: kejadian tidak diinginkan (KTD), budaya keselamatanpasien, pelaporan insiden.

    JKK

    9.1.

    2013

    SAY

  • 20 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 19-28

    PENDAHULUANKeselamatan  Pasien/KP  (Patient

    Safety) merupakan isu global dan meru-pakan komponen penting dari mutu pela-yanan kesehatan serta sebagai komponenkritis dalam manajemen mutu RS (WHO,2005). Fokus terhadap Keselamatan Pasienini didorong oleh masih tingginya angkaKejadian  Tidak  Diharapkan  (KTD)/Ad-verse Event (AE) di rumah sakit. Data me-nunjukkan bahwa angka kejadian KTD yangterjadi  di  berbagai  negara  diperkirakansekitar 3–16% (WHO, 2005) dan hampir50% diantaranya adalah kejadian yang dapatdicegah (Cahyono, 2008, Yahya, 2011).

    KTD selain berdampak pada pening-katan biaya pelayanan kesehatan dapat pulamembawa rumah sakit ke area blaming.Kondisi tersebut dapat menimbulkan konflikantara dokter/petugas kesehatan lain denganpasien,  dan  tidak  jarang  yang  berakhirdengan tuntutan hukum yang sangat merugi-kan rumah sakit (Depkes RI, 2006). DataKTD di Indonesia masih sulit diperolehsecara  lengkap dan akurat,  tetapi dapatdiasumsikan  bahwa  angka  kejadiannyatidaklah kecil (PERSI-KKP-RS, 2011).

    Reason (1998) berpendapat bahwasistem  pelaporan  yang  mengutamakanpembelajaran dari kesalahan ke perbaikansistem  pelayanan  merupakan  dasar  daribudaya keselamatan. Upaya menciptakanbudaya keselamatan merupakan langkahpertama  sebagaimana  tercantum  dalamkonsep “Tujuh Langkah Menuju Kesela-matan Pasien Rumah Sakit” di Indonesia.Hambatan  terbesar  dalam  memperbaikipelayanan kesehatan yang lebih aman adalahbudaya  organisasi  kesehatan  (Cooper,2008). Budaya organisasi merupakan sistemnilai-nilai, keyakinan dan kebiasaan bersamadalam organisasi yang berinteraksi denganstruktur formal untuk menghasilkan normaperilaku (Cahyono, 2008).

    Beberapa contoh upaya membangunbudaya KP adalah JCAHO (Joint Com-mission on Acreditaton of Healthcare Or-ganization) di Amerika, sejak tahun 2007telah menetapkan penilaian tahunan terhadapbudaya  keselamatan  sebagai  target  KP,sedangkan NPSA (National Patient SafetyAgency) di Inggris mencantumkan budayakeselamatan pasien sebagai langkah pertamadari Seven Step to Patient safety.

    Instrumen untuk survei budaya kesela-matan pasien yang dirancang untuk seluruhpekerja di RS adalah HSOPSC (HospitalSurvey on Patient Safey Culture) yang di-lakukan oleh Soora dan Nieva (2004), ter-diri atas 12 dimensi budaya keselamatan dan2 dimensi outcome. Pengukuran budayaKP di RS  penting dilakukan untuk menilaibagaimana sikap, persepsi, kompetensi indi-vidu dan perilaku orang/kelompok menen-tukan  komitmen  dalam  meminimalkaninsiden di rumah sakit.

    Rumah Sakit Panti Rapih (RSPR) ada-lah rumah sakit swasta tipe B yang beradadi wilayah Yogyakarta, dalam menyeleng-garakan  pelayanan  kesehatan  menem-patkan pasien menjadi fokus utama. Ge-rakan keselamatan pasien telah dimulai padatahun 2006 dengan dibentuknya Tim Kese-lamatan Pasien RS. Dengan 370 kapasitastempat tidur dan tingginya kompleksitaspelayanan  kesehatan  yang  ada  sangatdimungkinkan terjadinya cedera/insiden yangmerugikan pasien dan rumah sakit.

    Berdasarkan uraian tersebut, penelitianini difokuskan pada permasalahan budayakerja, yaitu  sejauh mana budaya kerja dapatmembentuk  budaya  keselamatan  (yangtercermin dalam 12 dimensi keselamatanpasien) dalam melakukan tugas profesinyamasing-masing. Penelitian ini bertujuan untukmemperoleh data tentang penerapan budayakeselamatan pasien untuk mencegah KTDdan untuk mendapatkan gambaran tentang

    JKK

    9.1.

    2013

    SAY

  • 21Ag. Sri Oktri Hastuti, Penerapan Budaya Keselamatan Pasien...

    karakteristik responden, gambaran budayakeselamatan, gambaran persepsi karyawantentang level budaya keselamatan serta gam-baran persepsi responden terhadap angkapelaporan insiden.

    METODE PENELITIANPenelitian ini merupakan penelitian

    deskriptif dengan pendekatan cross sectio-nal. Populasi  adalah  seluruh  karyawandalam  berbagai  profesi  yang  bekerja  diseluruh unit RSPR sejumlah 1.200 orang.Jenis sampel dalam penelitian ini adalahprobability sampling. Teknik pengambilansampel dalam penelitian ini adalah simplerandom sampling, sejumlah 35% dari totalpopulasi yaitu 420  karyawan.

    Menurut AHRQ bila  menghendakirespon rate (angka formulir dijawab leng-kap) lebih dari 60%  (>60), maka dibu-tuhkan formulir survei 30-50% dari jumlahtotal responden. Dari 420  kuesioner yangdisebarkan, yang kembali dan memenuhikriteria untuk dilakukan tabulasi sejumlah373 kuesioner.

    Pengumpulan  data  dilakukan  daritanggal 1 Juni sampai dengan 6 Agustus2012 dengan menggunakan instrumen Hos-

    pital Survey on Patient Safety Culture(Survei Budaya Keselamatan Pasien RumahSakit) yang disusun oleh AHRQ (AmericanHospital Research and Quality). Instrumenini dirancang untuk mengukur opini karyawanrumah sakit terhadap isu keselamatan pa-sien, medical errors, dan pelaporan insidenyang terdiri atas 42 item pertanyaan dalam12 dimensi keselamatan pasien yang sudahteruji validitas dan reliabilitasnya serta sudahdigunakan di beberapa negara untuk meng-ukur tingkat budaya keselamatan pasien dirumah sakit.

    Karena  keterbatasan, penulis  tidakmelakukan uji validitas dan uji reliabilitas ulangsebelum digunakan. Data yang diperolehdiolah  dengan  program  SPSS versi  15,dianalisis dengan menghitung frekuensi responsetiap item setelah data dikelompokkan dalam12 dimensi keselamatan dan analisis univariatdalam bentuk distribusi frekuensi.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Karakteristik Responden BerdasarkanProfesi di Rumah Sakit

    Data  tabel  1  menunjukkan  bahwasebagian besar responden berprofesi seba-

    Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Profesi/Jabatan di RS PantiRapih Yogyakarta tahun 2012

    No. Jabatan Frekuensi Persentase

    1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12  

    Dokter  Asisten Apoteker Teknisi  Perawat Ahli Gizi Analis Lab Radiografer Apoteker  Administrasi Sanitarian Satpam  Lain-lain  (cleaning service, asisten perawat, ) 

    7 16 3 

    179 2 12 5 3 57 3 4 80 

    1, 88 4, 29 0, 80 

    47, 99 0, 54 3, 22 1, 34 0, 80 

    15, 28 0, 80 1, 07 

    21, 45 

    Jumlah 373 100,00

    JKK

    9.1.

    2013

    SAY

  • 22 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 19-28

    gai perawat (47,99%), tenaga administrasisebesar 15,28%, analisis laboratorium se-banyak 3,22%, radiografer 1,34%, satpamsejumlah  1,07%  dan  apoteker  sejumlah0,8%. Melihat data tersebut dapat diketahuibahwa profesi perawat merupakan  jenisprofesi yang terbanyak  jika dibandingkandengan jenis profesi lain. Menurut Yahya(2011) semua profesi yang bekerja di suaturumah sakit memiliki risiko untuk melakukansuatu kesalahan (error).

    Perawat bekerja dan bersama pasienselama 24 jam, sekitar 60% dari keterampilanyang ada di rumah sakit adalah keterampilankeperawatan. Untuk mengantisipasi terjadinyaKTD,  seluruh  perawat  bekerja  denganmengunakan  SOP (standar operasional  pro-sedur) yang ada di rumah sakit.

    Karakteristik Responden BerdasarkanUnit Kerja

    Seluruh karyawan yang berkarya diRS Panti Rapih  terbagi dalam  44 unit kerja(Tabel 2). Responden yang paling besaradalah yang berkarya di unit rawat inap yaitusebanyak 32,97%. Karyawan yang bekerjadi seluruh unit di RS Panti Rapih berisikountuk terjadi kesalahan/KTD. Untuk itulah

    semua  profesi  di  seluruh  unit  harusmemahami  tentang budaya keselamatanpasien, bekerja sesuai SOP yang ada danmengupayakan keselamatan pasien sebagaifokus  dalam pelayanan  di unit  kerjanyamasing-masing.  Hal  ini  sesuai  denganpendapat Cahyono (2008) yang menyatakanbahwa KTD dapat terjadi dimana-mana dankapan saja di seluruh unit  pelayanan dirumah  sakit  yang  sangat  kompleks  danberagam.

    Tabel 3. Distribusi Frekuensi Res-ponden Berdasarkan LamaBekerja di RS Panti RapihYogyakarta tahun 2012

    Lama Bekerja di RSPR

    Frekuensi Persentase

    Kurang dari 1 tahun 1 – 5 tahun 6 – 10 tahun 11 – 15 tahun 16 – 20 tahun 21 tahun atau lebih 

             30          88          38          63          78          74 

    8, 09 23, 72 10, 24 16, 98 21, 02 19, 95

    Dari hasil pengumpulan data diketahuibahwa sebagian besar responden (23,72%)berada pada rentang 1-5 tahun bekerja di

    Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Unit Kerja di RS PantiRapih Yogyakarta tahun 2012

    No. Unit Kerja Frekuensi Persentase

    1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 

    Rawat Inap Rawat Jalan Farmasi  Fisiotherapi IGD dan Ruang Operasi Laboratorium Non Medis (LHK, keu, tenik, RM) Maternal PGPM (gizi) Pelayanan Medis Lain-lain 

    123 46 19 3 

    19 40 61 15 18 5 

    24 

    32, 97 12, 33 5, 09 0, 80 5, 09 10, 72 16, 35 4, 04 4, 83 1, 34 6, 44 

    Jumlah 373 100, 00

    JKK

    9.1.

    2013

    SAY

  • 23Ag. Sri Oktri Hastuti, Penerapan Budaya Keselamatan Pasien...

    rumah  sakit,  sedangkan  yang  bekerjaselama  kurang  dari  1  tahun  merupakanjumlah yang terkecil, yaitu 8,09%. Robbins(2003) berpendapat bahwa ada hubunganpositif antara senioritas dengan produktivitaskerja. Jika dikaitkan dengan sistem jenjangkarier profesi perawat yang disusun olehDepkes  RI  (2006)  rentang  pengalamankerja antara 1–5 tahun di rumah sakit setaradengan tingkatan perawat antara perawatklinik  I  (novice)  dan  perawat  klinik  II(advance beginners). Kondisi ini kurangaman  dan  perlu  diwaspadai  oleh  pihakmanajemen karena perawat dengan masakerja tersebut  rata-rata berusia sekitar 21–25 tahun yang merupakan usia rentan untukmencari pengalaman baru atau pun usia(menjelang pernikahan) sehingga memung-kinkan untuk pindah bekerja karena meng-ikuti suami ataupun alasan lain.

    Budaya Keselamatan Dalam 12Dimensi Keselamatan

    Dari hasil pengumpulan data (Tabel 4)dapat diketahui area budaya keselamatanyang  mempunyai  respon  positif  tinggi

    (>75%)  dan  area  budaya  yang  mem-butuhkan pengembangan (respon positif

  • 24 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 19-28

    melaporkan dan membahas kesalahan/KTDtanpa  bersikap  menyalahkan,  bekerjasecara teamwork dan memandang suatukesalahan  dalam  kerangka  sistem.  Jikadikaitkan dengan teori Reiling (2006) dalamSetyawati  (2010),  budaya  keselamatanterdiri  atas  informed culture, reportingcultur, just culture dan learning culture.

    Informed CultureKeselamatan  pasien  telah  diinfor-

    masikan ke seluruh karyawan. Di RS PantiRapih telah dibentuk tim keselamatan pasienrumah sakit dan telah dideklarasikan sejakbulan Desember 2010. Sampai saat ini timkeselamatan pasien ini tetap eksis dan ber-hasil mengadakan berbagai macam kegiatandan pelatihan-pelatihan baik internal maupuneksternal dalam upaya menurunkan KTD.Dukungan manajemen dirasakan baik olehseluruh karyawan yang ditunjukkan denganhasil pengumpulan data pada aspek du-kungan manajemen terhadap keselamatanpasien  mendapatkan respon positif sebesar75,68%.

    Data lain yang terkait dengan aspekbudaya dalam  kerja  tim  dalam unit  jugamenunjukkan respon positif yang cukup tinggiyaitu  mencapai  79,30%.  Hal  ini  meng-gambarkan  bahwa semangat bekerja samadan saling mendukung untuk terlaksananyaprogram keselamatan pasien telah terbangundengan baik. Kondisi ini terjadi karena budayakerja yang selama ini terbentuk di RS PantiRapih sudah baik. Melihat kesadaran seluruhkaryawan dan dukungan manajemen yangbaik, menumbuhkan harapan bahwa programkeselamatan pasien yang dicanangkan akanberjalan  dengan  baik  sehingga  mampumeminimalkan adanya KTD.

    Reporting CultureNPSA (The National Patient Safety

    Agency) menempatkan pelaporan sebagaisatu dari tujuh langkah keselamatan pasien,

    pelaporan dianggap sebagai bagian yangsangat penting dalam upaya membangunkeselamatan pasien. Dengan berjalannyaproses pelaporan yang baik (non punitif/tidak menghukum, tepat waktu, dianalisisoleh ahli  dan berorientasi  pada sistem),hasilnya dapat dimanfaatkan sebagai pem-belajaran dan berguna untuk menentukanprioritas pemecahan masalah, serta untukmonitoring dan evaluasi keberhasilan dalampenerapan program.

    Menurut  Cahyono  (2008)  budayayang dapat menghambat program kesela-matan pasien diantaranya adalah ketakutanterhadap hukuman, cara memandang suatukesalahan/KTD  dimana  penyebab  KTDdipandang sebagai kesalahan personal danbukan sistem, respon terhadap kesalahan/KTD dimana masih terdapat naming (men-cari siapa yang salah), blaming (menya-lahkan) dan mencari  “kambing hitam” padasaat  terjadi  kesalahan,  serta    menutupikejadian KTD, sistem pelaporan yang tidakpraktis dan pelaporan yang berujung sanksi.Hasil sebuah penelitian yang dilakukan olehTucker dalam Cahyono (2008), para pera-wat cenderung melakukan penyesuaian diridengan lingkungan yang tidak aman dannyaman  daripada  harus  membicarakanataupun melaporkan suatu kesalahan yangmengakibatkan cedera.

    Keterbukaan komunikasi yang dira-sakan oleh karyawan masih perlu mendapatperhatian. Hal ini dibuktikan dengan peni-laian aspek komunikasi dan umpan balikmengenai insiden keselamatan mendapatkanpenilaian respon positif sebesar 57,40%.Pelaporan  insiden  mendapatkan  responpositif yang paling rendah, yaitu sebesar21,09%. Keadaan ini membuktikan bahwamanfaat  pelaporan  insiden  belum  sepe-nuhnya dipahami oleh karyawan, sehinggamereka belum terbiasa melaporkan kejadiankesalahan di unitnya masing-masing.

    JKK

    9.1.

    2013

    SAY

  • 25Ag. Sri Oktri Hastuti, Penerapan Budaya Keselamatan Pasien...

    Menurut Hopskin (2002) budaya pela-poran sangat tergantung pada cara organisasimengatasi blaming dan penegakkan disiplin,sedangkan  menurut Arjaty Daud  (2011)masalah yang sering muncul dalam pelaporaninsiden diantaranya adalah bahwa laporanmasih  dipersepsikan  sebagai  “pekerjaantambahan”  perawat  dan  laporan  seringdisembunyikan/under report karena  takutdisalahkan, terlambat dalam pelaporan danlaporan miskin data karena ada blame culture.

    Data lain terkait dengan budaya kese-lamatan khususnya aspek Sumber DayaManusia (SDM)/ketenagaan, masih men-dapatkan respon positif sebesar 43,12%.Hal  ini    menunjukkan  bahwa  karyawanmerasa bekerja dengan beban kerja yangtinggi  sehingga  mudah  lelah  dan  masihenggan untuk melaporkan jika melakukankesalahan. Beban kerja yang terlalu tinggidapat sebagai penyebab kegagalan aktif(active failure)  yang  ikut  berkontribusiterhadap terjadinya insiden di rumah sakit(NPSA, 2004). Ilyas (2011) menyatakanbahwa  SDM merupakan kunci yang sangatpenting untuk kemajuan dan keberhasilanorganisasi,  maka  kualitas  dan  kuantitasSDM  rumah  sakit  harus  direncanakandengan baik. Jika kekurangan ketenagaanini tidak segera diatasi maka kemungkinanKTD akan mudah terjadi.

    Just CultureHerkutanto  (2009)  menyampaikan

    bahwa keselamatan pasien sebenarnya tidakterletak dalam diri seseorang, alat/depar-temen secara individual, tetapi muncul dariinteraksi  komponen-komponen  sebuahsistem dan berada dalam konteks pelayananyang berkualitas.

    Penilaian responden terhadap respontanpa hukuman untuk kesalahan menda-patkan  penilaian  respon  positif  sebesar41,81%. Dengan demikian dapat dipahami

    bahwa  sebagian  karyawan  merasakanbahwa  kesalahan  yang  mereka  lakukandigunakan untuk menyalahkan mereka, danbila melaporkan suatu insiden yang utamadibicarakan adalah pelakunya bukan masa-lahnnya, selain itu karyawan masih merasakhawatir  bahwa kesalahan yang merekabuat akan dicatat dalam penilaian kinerjamereka. Keterbukaan komunikasi menda-patkan respon positif sebesar 53,36%. Halini menunjukkan bahwa karyawan belummerasa bebas membicarakan tentang segalasesuatu yang berdampak negatif pada pa-sien dan belum merasa bebas menanyakanhal tersebut kepada atasan.

    Learning CultureHasil pengumpulan data memperoleh

    gambaran bahwa aspek belajar berkelan-jutan pada organisasi mendapatkan responpositif paling tinggi, yaitu 81,67%. Kondisiini menunjukkan bahwa seluruh karyawanmemiliki semangat belajar yang tinggi danmudah menyerap informasi baru. MenurutYahya  (2006) bahwa  nafas dari PatientSafety adalah belajar (learning) dari KTDyang  terjadi  pada  masa  lalu  dan  untukselanjutnya akan disusun langkah-langkahagar kejadian serupa tidak akan terulangkembali.

    Jika pelaporan insiden belum menjadibudaya  di  seluruh  unit,  maka  prosespembelajaran belum berjalan dengan baikkarena budaya pembelajaran dalam kesela-matan pasien dimulai dari proses pelaporaninsiden dan selanjutnya  dianalisis sampaidengan ditemukannya akar masalah yangdapat  digunakan  sebagai  dasar  untukmemperbaiki sistem kerja yang bergunadalam menurunkan statistik KTD.

    Budaya  pelaporan  insiden  yangdilaporkan dalam satu tahun terakhir inimenurut persepsi responden (tabel 5) adalahsebagian besar (46,92%) menyatakan tidak

    JKK

    9.1.

    2013

    SAY

  • 26 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 19-28

    ada pelaporan, sebesar 27,05%  menyata-kan terdapat 1-2  pelaporan,  dan  hanya6,17% responden yang menyatakan mela-porkan 21 atau lebih kejadian. Dari datatersebut  diketahui bahwa sebagian karya-wan telah memahami bahwa penting untukmelaporkan insiden kepada tim keselamatanpasien jika  terjadi KTD di unit kerjanya,namun sebagian  responden  belum mela-porkan adanya insiden.

    Salah satu program utama dalam pene-rapan keselamatan pasien rumah sakit ada-lah pelaporan insiden keselamatan pasien.Melalui sistem pelaporan dan investigasiyang baik dapat diungkap jenis kesalahan,jenis cedera, kegagalan petugas, kondisilingkungan yang memudahkan terjadinyakesalahan. Data yang diperoleh melalui sis-tem pelaporan dapat dianalisis dan diguna-kan untuk membuat rekomendasi untukmemperbaiki sistem yang ada.

    Dari  tabel 6  dapat diketahui  bahwapersepsi  responden  tentang  pentingnyakeselamatan pasien di seluruh unit RSPR sudahtumbuh baik. Hal  ini ditunjukkan denganpenilaian  (persepsi)  tingkat  budayakeselamatan oleh sejumlah 216 responden(57,91%)  menyatakan baik, dan sejumlah 107responden  (28,69%)  menyatakan  bisaditerima, dan hanya 1 responden (0,27%) yang

    menyatakan buruk. Data tersebut memberikangambaran bahwa program keselamatan pasiensudah diterima dengan baik oleh sebagianbesar karyawan, dan telah terlibat aktif dalampelaksanaan program keselamatan pasien yangdilakukan oleh tim keselamatan pasien rumahsakit. Perlu ditekankan juga bahwa persepsibaik  belum cukup  karena  masih  sebataskognitif dan belum menunjukkan perilaku yangsesungguhnya.

    SIMPULAN DAN SARAN

    SimpulanBudaya keselamatan yang ada di RS

    Panti Rapih dilihat dari 12 dimensi kesela-matan adalah area kekuatan yang memiliki

    Banyaknya Pelaporan IKP dalam 12 Bulan Terakhir

    Frekuensi Persentase

    Tidak ada laporan  175  46, 92 

    1—2 laporan  101  27, 05 

    3—5 laporan  38  10, 19 

    6—10 laporan  22  5, 90 

    11—20 laporan  14  3, 75 

    21/lebih laporan  23  6, 17 

    Jumlah 373 100

    Tabel 5. Gambaran Persepsi Responden terhadap Angka Pelaporan InsidenKeselamatan Pasien di RS Panti Rapih Yogyakarta tahun 2012

    Tabel 6. Gambaran Persepsi Respon-den tentang Tingkat BudayaKP di RS Panti Rapih Yogya-karta 2012

    Aspek Frekuensi Persentase Sempurna   26  6, 97 Baik   216  57, 91 Bisa diterima   107  28, 69 Sedang   23  6, 17 Buruk   1  0, 27 Jumlah 373 100, 00

    JKK

    9.1.

    2013

    SAY

  • 27Ag. Sri Oktri Hastuti, Penerapan Budaya Keselamatan Pasien...

    respon positif paling tinggi adalah aspekpengembangan belajar organisasi (81,67%),sedangkan area budaya keselamatan yangmasih membutuhkan perhatian dari mana-jemen secara khusus dan membutuhkanperhatian pengembangan adalah banyaknyapelaporan insiden yaitu 21,09%.

    Gambaran persepsi responden terha-dap angka pelaporan insiden adalah sebesar46,92% responden menyatakan tidak adapelaporan di unitnya, sedangkan persepsiresponden terkait dengan tingkat budayakeselamatan pasien adalah sebesar 216 res-ponden (57,91%)  menyatakan baik, se-jumlah 107 responden (28,69%) menya-takan bisa diterima, dan hanya 1 responden(0,27%) yang menyatakan buruk.

    SaranSaran  kepada  manajer/pimpinan

    supaya dapat menciptakan budaya mela-porkan KTD dengan cara melakukan so-sialisasi secara terus menerus tentang pen-tingnya melaporkan insiden keselamatanpasien  kepada  tim  KP-RSPR  misalnyadengan menyelenggarakan pelatihan khusustentang pelaporan insiden, mengidentifikasipenyebab rendahnya pelaporan insiden, jikadimungkinkan bisa  memberikan hadiah/reward bagi karyawan yang melaporkaninsiden,  sedangkan  untuk  menciptakanketerbukaan berkomunikasi baik antar stafataupun dengan pihak manajemen perludihidupkan kembali kegiatan informal sepertirekreasi bersama ataupun arisan.

    DAFTAR RUJUKAN

    Busroni, Wahid. 2007. Analisis PenentuanTarif Rawat Inap: Studi Kasus diRumah Sakit Umum DaerahKabupaten Sleman. Tesis. Diter-bitkan. Yogyakarta: MM-UGM.

    Cahyono, Suharjo, J.B. 2008. MembangunBudaya Keselamatan Pasien

    dalam Praktik Kedokteran,cetakan ke-5. Kanisius: Yogyakarta.

    Daud, Arjaty. 2011. Keselamatan Pasiendan Manajemen Risiko Klinis.Materi Workshop: Komite Kese-lamatan Pasien Rumah Sakit.

    Depkes RI. 2006. Panduan Nasional Ke-selamatan Pasien Rumah Sakit.Jakarta.

    Herkutanto. 2009. Profil Komite Medis danFaktor-faktor yang MempengaruhiKinerjanya dalam Menjamin Kese-lamatan Pasien. Jurnal ManajemenPelayanan Kesehatan, 12 (1).

    Hopskin A, 2002, Safety Culture, Min-fulness and Safe Behavior: Con-verging Idea.  The  AustralianNational Universiy.

    Ilyas, Y. 2011. Perencanaan SDM RumahSakit, Teori, Metoda dan Formu-la. FKM-UI: Jakarta.

    Joann Soora, Veronica Nieva,  Ph.D. 2004.Hospital Survey on Patient SafetyCulture. AHRQ Publication, 04-0041.

    Joint  Commission  International.  2011.Standar Akreditasi Rumah Sakit.Edisi ke-4. PT Gramedia: Jakarta.

    PERSI-KKP-RS. 2011. Kumpulan Ma-teri Workshop Keselamatan Pasi-en dan Manajemen Risiko Klinis:Jakarta.

    Raleigh, V.S., Cooper, J., Bremmer, S.a.,at.all. 2008. Patient Safety Indi-cators for England from HospitalAdministrative Data: Case-controlAnalysis and Comparison with USData. British Medical Journal, 337(a1702).

    Reason,  James.  1998. Achiving A  SafeCulture: Theory And Practice. Work& Stress, 12 (3).

    JKK

    9.1.

    2013

    SAY

  • 28 Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 9, No. 1, Juni 2013: 19-28

    Robbins, Stephen P. 2003. Perilaku Orga-nisasi.  Edisi  ke-10.  PT  IndexKelompok Gramedia: Jakarta.

    Yahya, Adib. 2006. Konsep dan Program“Patient Safety”. Makalah disam-paikan dalam Proceedings of  Na-tional Convention VI of The Hospi-tal Quality Hotel Permata Bidakara,Bandung.

    __________.  2011.  Kumpulan MateriWorkshop Keselamatan Pasien &Manajemen Risiko Klinis di RSPanti Rapih. Yogyakarta.

    JKK

    9.1.

    2013

    SAY