ngan tuk
DESCRIPTION
fffgTRANSCRIPT
Forensic investigation of cranial injuries due to blunt
force trauma: current best practice
Abstrak : Trauma kekerasan tumpul adalah salah satu dari cedera yang paling umum
terjadi yang ditemui oleh ahli forensik dalam berbagai keadaan seperti kecelakaan lalu
lintas, meloncat atau jatuh dari ketinggian, cedera akibat ledakan, dan terhantam benda
keras. Cedera kekerasan tumpul yang berlokasi di kranium sering berhubungan dengan
penyebab kematian yang membuat pemeriksaan tersebut menjadi penting pada investigasi
medikolegal dari kematian. Artikel ini bertujuan untuk meninjau ilmu tentang mekanisme
cedera kekerasan tumpul pada kepala dan pola patah yang berhubungan untuk
memudahkan interpretasi cedera pada tulang atau tubuh yang telah sangat membusuk
dimana jaringan lunak sudah tidak terdapat lagi. Perkembangan terkini pada teori dan
praktik juga didiskusikan. Walaupun kemajuan bukti yang telah dibuat pada beberapa
dekade lampau, analisis trauma pada aspek medikolegal masih merupakan hal yang
rumit, terutama dengan telah hilangnya jaringan lunak. Oleh sebab itu, sangat penting
untuk bekerja dengan metode yang dapat diterima secara ilmiah dengan tingkat kesalahan
yang diketahui, dalam rangka memenuhi permintaan peradilan dengan bukti yang dapat
diterima dan kesaksian ahli.
Kata Kunci : trauma kepala, trauma kekerasan tumpul, forensik antropologi, patah,
cedera kepala.
Pendahuluan
Forensik antropologi adalah cabang disiplin ilmu dari forensik patologi untuk
pemeriksaan sisa rangka. Bagian dari tugas forensik antropologis adalah pemeriksaan dan
deskripsi dari trauma rangka dan hubungannya yang mungkin dengan penyebab
kematian. Cedera rangka dapat dibagi menjadi tengkorak dan badan, berdasarkan
lokasinya. Sistem klasifikasi yang berbeda berhubungan dengan kekerasan penyebab
(kekerasan tumpul, kekerasan tajam, dan trauma balistik). Cedera puncak kepala
dikategorikan menjadi depresi, penetrasi, kecelakaan, irisan, potongan, dan sayatan.
Penelitian ini akan fokus pada ilmu baru dan yang telah ada dan akan mendiskusikan
saran untuk praktik terbaik pada analisis trauma kekerasan tumpul.
Trauma kekerasan tumpul, seperti yang dideskripsikan dalam rancangan algoritma
pada analisis trauma yang dibuat oleh Scientific Working Group for Forensic
Anthropology (SWGANTH) pada tahun 2011, adalah “dihasilkan oleh hantaman
kecepatan rendah dari objek tumpul atau hantaman kecepatan rendah dari benda dengan
permukaan tumpul”. Passalacqua dan Fenton3 memberikan deskripsi yang detail dari
riwayat trauma kekerasan tumpul, menyoroti bahwa hal itu terjadi sekitar tahun 1980
ketika analisis trauma mulai dipertimbangkan sebagai bagian dari tugas forensik
antropologis. Hal itu mesti ditekankan bahwa pemeriksaan forensik pada tubuh yang
telah mati merupakan tugas dari ahli forensik, forensik antropologis bagaimanapun, dapat
terlibat pada keadaan tertentu dan dengan tambahan data riwayat hidup, analisis trauma
sekarang telah menjadi tugas reguler untuk ahli forensik di berbagai negara. Saat
sekarang ini, analisis trauma mencakup pemeriksaan cedera sebelum, sekitar, atau
sesudah kematian, identifikasi pola trauma dan hubungan yang mungkin antara trauma
dengan objek tertentu, dan secara umum deskripsi dan interpretasi kejadian trauma.
Waktu Kejadian Cedera
Pertanyaan pertama yang penting pada kasus kerusakan rangka adalah waktu kejadian
cedera dan apakah hal tersebut bersamaan dengan waktu kematian. Literatur forensik
telah menggunakan kata antemortem (sebelum kematian), perimortem (saat atau sekitar
waktu kematian), dan postmortem (setelah kematian) untuk mendeskripsikan waktu
kejadian cedera. Bagaimanapun, kata “perimortem” memiliki makna yang berbeda pada
disiplin ilmu yang berbeda. Pada literatur medikolegal, “perimortem” berarti bahwa
cedera terjadi sekitar waktu kematian dan kemungkinan apakah berhubungan dengan
penyebab kematian, dimana forensik antropologis dan osteoarkaeologis
mempertimbangkan cedera “perimortem” sebagai cedera yang terjadi ketika tulang masih
memiliki komponen viskoelastik dan sebelum tulang tersebut memasuki fase “kering”.
Bagaimanapun, seperti yang dikutip Berryman dan Symes9 dan ilmuwan lainnya, bagian
berbeda dari dari tubuh yang sama mencapai fase kering pada interval postmortem yang
berbeda, yang membuat definisi ini bahkan lebih problematis. Pada makalah ini, kami
akan mengikuti definisi antropologis pada trauma “perimortem”.
Trauma antemortem terindikasi ketika bukti penyembuhan, seperti tanda-tanda
remodelling, osteofit, dan/atau terdapat pembentukan kallus pada tulang. Tanda-tanda ini
mengindikasikan bahwa tulang sempat berada dalam proses penyembuhan ketika
kematian terjadi. Walaupun proses penyembuhan dimulai segera setelah mengalami
cedera, hal itu membutuhkan waktu setidaknya 1-3 minggu berdasarkan sumber yang
berbeda-beda5,8,10 sampai tanda-tanda tersebut menjadi bukti. Kalsifikasi kallus (kalsium
yang muncul dari tepi tulang yang patah) dimulai setelah minggu ketiga. Barbian dan
Sledzik memeriksa 127 tengkorak dari korban perang sipil Amerika untuk bukti
penyembuhan fraktur pada respon pembentukan osteoblas dan osteoklas dan garis
demarkasi, dan ditemukannya respon osteoklas pada permukaan ektokranial kira-kira 5
hari setelah cedera. Aktivitas osteoblas dan osteoklas dilaporkan pada semua kasus 6
minggu setelah cedera. Sauer mengutip studi Sledzik dan Kelly pada 257 krania dari
korban perang sipil Amerika dimana terdapat bukti remodelling osseus 7 hari setelah
cedera. Hal itu mesti ditekankan bahwa ketika tulang panjang cenderung untuk
membentuk kallus sebagai bagian dari proses penyembuhan, tengkorak normalnya
sembuh dengan perkembangan jembatan tulang antara dua fragmen.
Gambar I Fraktur pada tulang parietal kiri setelah kecelakaan mobil 25 tahun yang lalu.
Catatan : Pertemuan tulang pada permukaan ektokranial (A dan B) dan permukaan
endokranial (C dan D). (D) menggambarkan permukaan endokranial dalam rekonstruksi
3D dari data CT scan. Sumber : Department of Forensic Sciences. University of Crete.
Singkatan : CT, computed tomography.
Gambar 1 menunjukkan contoh penyembuhan permukaan endokranial pada tulang
temporal kiri setelah insiden trauma kekerasan tumpul 25 tahun yang lalu. Terdapatnya
tanda-tanda tersebut menunjukkan apakah cedera perimortem atau cedera postmortem.
Membedakan dua tipe tersebut sangat bergantung pada pola patahan yang muncul.
Kerusakan postmortem merupakan hasil perubahan taphonomic dan mencari-cari sisa
rangka. Fraktur postmortem khas akibat pola patah dengan bentuk kotak, tepi tajam pada
sudut yang tepat ke permukaan tulang, dan sangat mungkin menyebabkan fragmentasi
yang masif pada tulang kering. Kerusakan postmortem menunjukkan tekstur yang kasar
dengan tepi tidak rata, berlawanan dengan cedera perimortem dimana terdapat tekstur
yang halus dan tepi luar yang rata. Kerusakan postmortem khas muncul sudut yang tajam
pada tepi fraktur, dimana cedera perimortem menunjukkan sudut fraktur yang tumpul.
Karakteristik ini telah dikonfirmasi dengan CT scan. Hal itu mesti dicatat bahwa sudut
yang tajam telah diobservasi pada tulang orang yang baru meninggal. Dalam studi terbaru
oleh penulis pada pemeriksaan 88 fraktur (52 perimortem dari arsip pasien dan 36
postmortem dari bahan arkaeologis) setelah melewati CT scan, 88,68% dari fraktur
perimortem berupa fraktur oblik atau sudut tajam dan 73,68% dari fraktur postmortem
muncul sudut tajam yang tidak tersambung. Berdasarkan hasil penghitungan chi-square
didapatkan hubungan yang signifikan secara statistik pada level P<0,001.
Cedera perimortem diindikasikan oleh deformasi jaringan yang terdapat pada area
cedera, dan kehadiran fragmen yang rusak yang masih melekat pada tengkorak. Sebelum
tulang mencapai fase kering, tulang tersebut cenderung berupa serpihan ketika fraktur
dan fragmen-fragmen kecil masih tersambung satu sama lain, sering disebut “serpihan
tulang”. Hal ini mengindikasikan bahwa periosteum dan jaringan lunak lainnya masih
terdapat ketika terjadi fraktur, dengan demikian menunjukkan trauma perimortem.
Sebagai tambahan, ketika tulang segar bengkok, celah terbentuk antara lapisan diploe
(lapisan tengah pada flat bone) dan tables yang biasanya menghasilkan beveled fractures
on the inner table and a detachment of the outer table. Cedera-cedera tersebut juga
muncul kecendrungan dari garis fraktur untuk berpindah ke area yang lebih lemah pada
tengkorak., seperti area pertemuan pembuluh-pembuluh darah dan foramen. Terdapatnya
penyembuhan sepanjang garis fraktur menunjukkan adanya hubungan dengan kematian
seseorang. Ketika area tulang terdorong ke dalam, hal itu tidak sepenuhnya terpisah dari
badan utama dari tulang “basah”. Hal ini tidak terdapat pada tulang kering, karena
kurangnya elastisitas. Materi arkeologikal dan kemampuan tulang untuk mempertahankan
karakteristik hidup untuk periode pendek setelah kematian, bagaimanapun, mengaburkan
interpretasi.
Tabel 1 menyimpulkan kriteria untuk membedakan trauma kranial perimortem
dengan postmortem dari literatur yang ada.
Klasifikasi dari Trauma Tumpul pada kepala
Trauma tumpul pada kepala bisa dihubungkan dengan kasus pembunuhan (misalnya,
akibat benda tumpul), bunuh diri (misalnya, akibat melompat dari ketinggian), dan
kecelakaan lalu lintas (misalnya, akibat mengendarai atau menumpang sepeda motor).
Trauma tumpul pada kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan disiplin ilmu,
terminologi, dan kadang bervariasi secara signifikan. Pada review ini akan dibahas
tentang klasifikasi yang sederhana dari trauma tumpul pada kepala. Cedera kepala dapat
diklasifikasikan menjadi linear, depress, dan irregular atau lain-lain (yang meliputi tipe
diluar klasifikasi). Fraktur linear meliputi fraktur garis rambut atau fraktur fissure, yang
sering terjadi pada tempurung kepala, fraktur basilar yang mengenai dasar otak, dan
fraktur diastatic yang berupa pemisahan dari sutura yang sudah ada sebelumnya.1,8,9,17-19
Tabel I Kriteria untuk membedakan trauma perimortem dengan kerusakan postmortem
Tanda Deskripsi Antemortem Perimortem Postmortem ReferensiRespon Jaringan
Deformasi permanen tulang setelah melampaui batas repon elastik
Ada atau tidaknya tergantung lokasi fraktur
Ada Tidak ada 8, 9, 17-21
Serpihan Tulang
Fragmen tulang kecil yang melekat pada bagian yang cedera
NA Ada Tidak 8, 9, 19
Morfologi tepi
Ketajaman relatif batas fraktur
Halus Tajam, inkomplit atau tepinya bengkok
Tepi kotak pada sudut ke permukaan tulang-tidak ada bengkok
12, 15, 16, 19
Sudut fraktur Sudut antara korteks dengan arah fraktur
NA Tumpul Tajam 12, 15, 16, 19
Tekstur fraktur
Morfologi dari permukaan tulang yang patah
Halus Halus Kasar 12, 15, 16, 19
Garis tepi NA Rata Tidak rata 12, 15, 16Delaminasi Korteks
Cleavage between the diploe and the inner/outer table
NA Ada Tidak ada 9, 19
Remodelling tulang tengkorak
Jembatan tulang antar fragmen
Ada Tidak ada Tidak ada 16
Fraktur hinge didefinisikan sebagai crushing injuries, seperti kompresi kepala antara
tanah dan objek yang berat (misal, ban mobil). 1,17,18 Fraktur hinge transversum di
sepanjang dorsum sellae tengkorak.1,17,18
Fraktur depress umumnya dihubungkan dengan slow loading pada area kecil di
tengkorak, yang akan menghasilkan fraktur multiple (comminuted) pada permukaan,
sementara fragmennya akan tertekan atau meluas ke dalam rongga otak. Fraktur stellata
merupakan suatu akibat dari tidak bersatunya fragmen tulang tempurung kepala akibat
bergesernya pinggir tempurung kepala. Hal ini menghasilkan sebuah gambaran
karakteristik dari fraktur konsentrik yang bersilang dengan fraktur linear. Mekanisme
lebih lanjut mengenai cedera akan dibahas nanti di makalah ini. Fraktur kolam (pond)
adalah fraktur depresi dangkal yang merupakan hasil dari kompresi atau kelanjutan dari
fraktur linear. 23,24
Fraktur cincin yang melingkar di sekitar patah tulang foramen magnum , terjadi
akibat kekuatan pendorong kepala terhadap tulang belakang . Cedera seperti ini
umumnya terjadi pada koban yang jatuh dari ketinggian dan mendarat dengan kaki atau
bokong, 1,17 dan dalam kasus tabrakan yang pertema kali mengenai kepala pengemudi.
Moritz dan Spitz et al mendeskripsikan kasus fraktur yang mengenai lapisan dalam tulang
tengkorak, sedangkan lapisan luar tulang masih intak (fraktur plug). Mekanisme dari
cedera ini menurut penulis pertama berhubungan dengan kekokohan dari lapisan diploe
(lapisan tengah pada flat bone). Sedangkan menurut penulis kedua mekanismenya mirip
dengan merusak plester langit-langit ketika lantai di atasnya dipukul dengan tangkai sapu.
Hal ini dapat diartikan sebagai trauma kecepatan sedang yang berdampak pada area kecil
yang terlokalisir pada daerah kepala yang menghasilkan fragmen tulang yang longgar
pada endocranial yang dapat masuk ke dalam otak.
Rene Le Fort25 menggambarkan tiga pola klasik fraktur wajah dalam karya
eksperimental awal. Eksperimen Le Fort ini (N = 35) terdiri dari menjatuhkan tengkorak
mayat pada permukaan datar, menendang, atau memukul dengan tongkat kayu atau
batang logam. Beliau menemukan tiga pola fraktur yang berbeda, yang disebut "great
weak lines" yang mewakili Fraktur Le Fort I, II dan III.26 Setelah mengenai wajah, langit-
langit dapat dipisahkan dari maxilla (Le Fort I); rahang atas dapat dipisahkan dari muka
(Le Fort II); atau rahang dan bagian dari kondilus mandibula dapat terfragmentasi (Le
Fort III). Le Fort juga mencatat bahwa meskipun dalam beberapa kesempatan fraktur
wajah dan tengkorak keduanya diamati dalam percobaan, patah tulang tengkorak tidak
keluar ke permukaan.25,26 Fraktur blowout adalah fraktur dasar orbital tanpa atau disertai
fraktur dinding medial orbita, yang biasanya terjadi ketika ada pukulan tiba-tiba pada
mata yang mendorong bola mata dan kembali ke orbit.27 Peningkatan mendadak tekanan
intraorbital dalam kombinasi dengan perpindahan posterior bola mata dapat
mengakibatkan fraktur basis dinding medial orbit ke dalam sinus ethmoidal. Fraktur
wajah lainnya termasuk patah tulang sagital dan dentoalveolar seperti yang dijelaskan
oleh Di Maio.18
Moritz17 mencatat bahwa hasil kerusakan yang berdampak pada tempurung kepala
mungkin cukup jauh dari lokasi dampak ( fraktur remote) . Lebih khusus , sesuatu yang
jatuh di belakang kepala atau dampak pada bagian atas kepala dapat menyebabkan fraktur
independen dari atap orbital disebabkan karena gerakan " contra-coup " lobus orbital /
frontal terhadap daerah tipis tulang tengkorak.1 Patah tulang tersebut dikenal dalam
literatur forensik sebagai contrecoup fractures.1,18 Demikian pula , patah tulang yang
terletak di lokasi dampak sering disebut "coup fracture".1,18 Tabel 2 merangkum semua
jenis tengkorak trauma tumpul pada kepala seperti yang dijelaskan oleh beberapa penulis
lainnya.
Etiologi Cedera Benda Tumpul
Cedera kepala sudah lama menjadi penyebab umum dari mekanisme terjadinya
kematian. Keadaan ini merupakan penyebab kematian paling sering pada kasus
kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian ataupun bunuh diri. Pola cedera yang sama
dapat disebabkan dari mekanisme yang berbeda, sementara mekanisme yang sama dapat
menyebabkan pola cedera yang berbeda. Cedera benda tumpul dapat dihasilkan dari
kekerasan interpersonal (contonya: penyerangan), kecelakaan (contohnya: dampak
kecelakaan lalu lintas), atau kecelakaan yang ditimbulkan diri sendiri (bunuh diri dengan
cara meloncat dari ketinggian), sedangkan cedera benda tajam lebih dominan
dihubungkan dengan kekerasan interpersonal. Para peneliti setuju jika cedera tulang
tengkorak lebih sering disebabkan akibat kekerasan interpersonal, dibandingkan fraktur
badan
Fraktur linier merupakan tipe fraktur tulang tengkorak tersering, yaitu sekitar 70%
- 80% dari cedera tulang tengkorak dan berhubungan dengan kecelakaan seperti jatuh,
sedangkan fraktur depresi menunjukkan korelasi yang lebih tinggi akibat kekerasan
interpersonal. Data klinis menunjukkan bahwa mayoritas lesi tulang tengkorak
ditimbulkan oleh tongkat bisbol yang menghasilkan fraktur linear pada kubah dan basis
cranii. Moritz mencatat jika kepala bebas bergerak terhadap benturan , fraktur yang
dihasilkan cenderung berbentuk linear atau depresi inkomplit, sementara pada kepala
yang tidak bergerak (contonya, adanya tahanan permukaan keras) pukulan berat akan
mengakibatkan fraktur kominutif dengan pergeseran ke dalam.
Untuk merbedaan antara penyerangan kekerasan (contohnya pukulan kepala dengan
benda tumpul) dan kecelakaan (contohnya jatuh), hukum Hat Brim Line (HBL) diajukan
di banyak buku forensik patologi sebagai kriteria utama. HBL diambil dari lingkaran
maksimum kubah, dan lesi diatasnya lebih sering terjadi pada cedera pukulan/hantaman
daripada cedera akibat jatuh. Kremer et al menjelaskan aturan HBL (lihat Gambar 2),
mengujinya, dan meragukan keabsahannya sebagai kriteria utama. Sebagai gantinya,
mereka menyarankan bahwa HBL seharusnya digunakan secara bersamaan dengan
kriteria lainnya, seperti lateralisasi sisi , jumlah luka dan panjang luka.
Mereka menemukan sebuah penelitian retrospektif dari 133 kasus forensik (29 kasus
jatuh sendiri dari ketinggian, 21 kasus jatuh dari tangga, dan 63 kasus pembunuhan
dengan pukulan), dalam hal ini tidak termasuk kasus di mana korban dipukul sambil
berbaring di tanah. Mereka mengamati bahwa fraktur linear di sisi kanan lebih dominan
pada kasus jatuh dan hal ini dapat dijelasankan pada pengamatan dimana dominasi
pengguna tangan kanan lebih banyak pada populasi umum, menyoroti bahwa
perlindungan pertama mereka ketika jatuh adalah mencoba untuk menempatkan tangan
kanan dan oleh karena itu sisi kanan kepala lebih rentan untuk memukul tanah. Penelitian
ini menyatakan jika fraktur tulang tengkorak yang terjadi di sisi kiri lebih sering
berhubungan dengan pembunuhan dengan pelaku tangan kanan. Walaupun demikian,
pola ini konsisten untuk pembunuhan dengan pelaku berhadapan dengan korban. Jika
pelaku berdiri di belakang korban, pembunuhan dengan tangan kanan lebih sering
memukul sisi kanan kepala. Posisi fraktur depresi pada sisi kanan belakang dari tulang
tengkorak konsisten untuk pola cedera yang sering terlihat pada kasus kekerasan
penyerangan, diperkirakan penyerang dengan tangan kanan.
Gambar 2. HBL adalah area diantara dua garis paralel. Garis teratas melewati daerah
glabella (G-Line) dan garis dibawah melewati tepat pertengahan lubang telingan (EAM-
Line).
Guyomarc’h et al mempelajari sampel yang sama dengan Kremer et al, dengan
menambah beberapa kriteria seperti panjang laserasi kulit kepala, tipe fraktur calvaria,
jumlah lecet di wajah, kontusio, dan laserasi (termasuk laserasi di mulut), laserasi di
telinga, fraktur wajah, pola cedera dari tulang post-cranial dan viseral. Penulis
mengkonfirmasi jika HBL tidak dapat digunakan sebagai kriteria utama untuk
membedakan kecelakaan akibat jatuh dengan pemukulan kepala dan mengajukan sebuah
bagan yang memasukkan kritria tambahan. Mereka melaporkan nilai prediksi positif
sebesar 87% dan prediksi negatif sebesar 91% untuk metode yang diajukan.
Fracasso et al membandingkan temuan dari tiga penelitian tersebut dengan tulisan
mereka di Journal of Forensic Sciences in 2011. Pada tulisan ini, mereka menekankan
bahwa cedera tulang tengkorak benda tumpul akibat jatuh memang benar berada di atas
HBL, jika semua kondisi dibawah ini terpenuhi : a) Posisi badan berdiri sebelum jatuh, b)
jatuh dari suatu ketinggian, c) lantai datar, d) tidak ada hambatan diantaranya. Mereka
juga menyebutkan bahwa menurut Kratter (1921) “pemukulan dapat terjadi di setiap
regio kepala dengan pengeculian pada dasar dari tengkorak”.
Penelitian Ta'ala et al juga bertentangan dengan aturan HBL. Para penulis
mempelajari 85 tengkorak korban Khmer Rouge yang dimakamkan di kuburan massal di l
Phnom Penh, Kamboja, antara tahun 1975 dan 1979. Penilaian awal terhadap sepuluh
tengkorak dengan BFT di daerah oksipital dikelompokkan menjadi fraktur berbentuk
lingkaran atau fraktur basilar. Namun, pemeriksaan kedua mendapatkan hasil berbeda.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa cedera tulang tengkorak lebih banyak disebabkan
oleh eksekusi dengan beberapa senjata tumpul yang diterima pada belakang kepala / leher
oleh tentara Khmer Rouge, seperti yang dijelaskan dalam sumber-sumber sejarah dan
saksi mata. Hal ini juga bertentangan dengan hukum Kratter yang disebutkan
sebelumnya. Namun demikian, ada satu tindakan tambahan yang tidak dapat disingkirkan
yang terjadi selama eksekusi seperti korban ditendang dan/atau dipukul di bagian kepala
mereka ke tanah atau benda keras lainnya; dengan demikian, interpretasi harus dilakukan
dengan hati-hati. Harus diakui bahwa informasi kontekstual selalu penting dalam
penafsiran cedera dan aturan umum tidak selalu berlaku.
Casali et al secara khusus mempelajari keadaan jatuh bunuh diri pada 307 kasus di
Milan, Italia. Menurut temuan mereka, 40% dari korban menunjukkan fraktur tulang
tengkorak dan 30% menunjukkan fraktur wajah, dengan yang terakhir lebih sering terjadi
pada jatuh dari ketinggian lebih dari 12 m. Penelitian sebelumnya melaporkan frekuensi
variabel cedera kepala mulai dari 25% sampai 91%. Dalam beberapa penelitian, jatuh ke
tanah berhubungan dengan insiden yang tinggi dari fraktur tulang tengkorak, sedangkan
jatuh bunuh diri ke dalam air lebih berhubungan dengan peningkatan insiden cedera
abdomen. Data radiografis menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan secara
statistik pada frekuensi cedera tulang tengkorak antara seseorang yang jatuh dan
meloncat, sedangkan fraktur wajah secara signifikan lebih tinggi pada korban bunuh diri
(P <0,001). Hal ini bertentangan dengan penelitian sebelumnya yang melaporkan tidak
ada perbedaan yang signifikan dalam kejadian cedera.
Lefevre et al menyelidiki perbedaan cedera yang disebabkan oleh jatuh dari
ketinggian kurang dari 2,5 m (jatuh akibat kecelakaan dan jatuh karena kematian
mendadak) dan pembunuhan dan melaporkan tidak ada nilai diagnostik HBL dalam
penelitian mereka. Insiden fraktur tulang tengkorak pada pembunuhan dan jatuh akibat
kecelakaan hampir sama (70% dan 71%), sedangkan kelompok kematian mendadak
menunjukkan insiden cedera tulang tengkorak yang lebih rendah (18%). Fraktur depresi
tulang tengkorak pada kasus pembunuhan mencapai 37%, sedangkan tidak terdapat
fraktur depresi pada kelompok kematian karena jatuh akibat kecelakaan atau jatuh karena
kematian mendadak. Penulis menyarankan bahwa adanya minimal satu luka tumpul, satu
luka memar dalam dan bukti cedera intrakranial menunjukkan adanya indikasi
pembunuhan (daerah di bawah kurva = 0,9391). Terlepas dari kenyataan bahwa cedera
intrakranial yang ditemukan menjadi faktor diskriminatif untuk membedakan antara
pembunuhan dengan jatuh, tidak ada data perbedaan signifikan yang ditemukan antara
kedua kelompok berdasarkan tipe cedera (subdural atau ekstradural hematoma, memar
otak, perdarahan subarachnoid, dan cedera difus akson).
Ditemukannya beberapa cedera pada tulang tengkorak lebih sering dikaitkan
dengan peristiwa kekerasan daripada cedera tunggal. Perkiraan jumlah cedera dan urutan
waktu terjadinya mengikuti kriteria standar yang dikenal sebagai hukum Puppe. Jalur
fraktur dari pukulan kedua tidak akan menyeberang jalur fraktur sebelumnya.
Biomekanik dan Trauma Benda Tumpul
Dari sudut pandang biomekanik, patah tulang tengkorak adalah hasil dari kekuatan
berbeda yang mempengaruhi keadaan gerak tubuh (kepala) serta mengganggu jaringan
(tulang). Tulang adalah bahan anisotropik penahan beban yang menegakkan seluruh
tubuh sehingga membuat stabilisasi otot di lokasi yang berbeda. Tulang terdiri dari serat
kolagen yang memberikan elastisitas, fleksibilitas, dan kekuatan dalam menahan tekanan
serta komponen anorganik seperti kristal hidroksiapatit, yang membuat kekakuan,
kekerasan, kekuatan, dan kemampuan untuk rapuh dalam tekanan yang besar.44,45 Mineral
kalsium dan fosfat, bersama-sama dengan kolagen, merupakan unsur organik dari tulang
yang bertanggung jawab untuk sekitar 60% -70% menyusun jaringan tulang. Air
merupakan penyusun jaringan tulang sekitar 25% -30%.46 Anisotropik merupakan
properti tulang untuk bereaksi secara berbeda terhadap beban yang berbeda, tergantung
pada lokasi dan arah pembebanan. Tabel 3 memberikan tabel ringkasan dari dasar
terminologi biomekanik tulang berdasarkan beberapa manuskrip yang telah
diterbitkan.1,8,9,17-21,44-46
Tabel 3. Kumpulan terminologi biomekanikal tulang dan dekskripsi
Terminologi Deskripsi
Pembebanan Pemberian gaya kepada suatu objek
Anisotropik Keadaan tulang akan berubah sesuai dengan arah dari beban
yang diberikan
Viskoelastik Respon yang diberikan oleh tulang dimana respon tersebut
tergantung kepada kecepatan dan durasi/lama dari beban yang
diberikan
Strenght Kemampuan untuk menerima beban, tolak ukur didasari oleh
titik ketika terjadi kegagalan fungsi
Hardness dan
Elastisitas
Rasio tegangan-regangan pada daerah elastis pada deformitas
dimana karena kondisi tulang yang anisotropik maka akan
menyebabkan kelengkungan kurva tegangan- regangan
Stress Gaya yang diberika per unit luas area
Strain Deformitas/ kelainan bentuk relatif sebagai respon terhadap
suatu beban
Tension Gaya diberikan tidak langsung pada benda/ jauh namun
diteruskan.
Kompresi Gaya diberikan langsung menuju tulang sehingga menyebabkan
pemendekan panjang dari benda yang diberikan gaya (beban
axial)
Shear : Dua buah gaya diberikan sesuai dengan permukaan benda namun
dari arah yang berbeda, menyebabkankan terjadinya pemisahan
dua sisi sejajar.
Elastic deformitas Tulang bisa mendapatkan kembali bentuk awalnya setelah suatu
gaya dilepaskan
Plastic deformitas Tulang secara permanen mengalami kelainan bentuk dan tidak
bisa mendapatkan kembali bentuk awalnya
Load deformation
curve
Kurva yang menggambarkan hubungan antara pemberian beban
(gaya dari luar) dengan kuantitas deformitas/kelainan bentuk
(respon internal ) dari suatu benda.
Low-speed injuries Trauma tumpul
High-speed injuries Trauma keras dan tiba-tiba;ledakan,tembakan
Tulang adalah bahan yang sangat adaptif: sensitif apabila tidak digunakan,
imobilisasi atau kegiatan yang kuat, dan beban tinggi. Jaringan tulang mengadopsi sifat
yang berbeda sesuai dengan tuntutan mekanik yang didapatkannya. Wolff
memperkenalkan hukum Wolff yang berbunyi "Setiap perubahan dalam bentuk dan
fungsi dari tulang atau hanya fungsinya diikuti oleh perubahan definitif tertentu dalam
arsitektur internal, dan perubahan sekunder sesuai eksternal, sesuai dengan hukum
matematika".46
Perilaku tulang di bawah kondisi beban yang berbeda - seperti
dengan bahan lain - terbagi oleh kekuatan dan kekerasan yang didapatkan tulang tersebut.
Pada dasarnya, kekuatan dan kekerasan ini menentukan reaksi internal yang tulang untuk
setiap kekuatan yang diterapkan.47 Karena sifat elastis, tulang akan menyerap energi
sampai batas tertentu (batas elastis). Setelah batas ini tercapai, serat eksternal dari
jaringan tulang akan mulai menunjukkan istirahat dan pemutusan material dalam tulang
(titik deformasi) .47,48 Proses ini merupakan tahap deformasi plastik pada kurva deformasi
beban ( Gambar 3).
Respon tulang untuk memuat (strain) tergantung pada kecepatan (speed) dan
besarnya gaya yang diterapkan. Beban lambat namun tidak terbatas, termasuk pada
kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian, kecelakaan pesawat, dan serangan.
Setelah tulang memuat lambat dapat terjadi a) kembali ke bentuk aslinya setelah gaya
dihilangkan (deformasi elastis), b) rusak secara permanen (deformasi plastik), atau c)
patah.9
Gambar 3. Kurva umum deformitas
Catatan:Tanda silang hijau menggambarkan poin lapangan dan poin transisi dari fase
elastik hingga ke fase plastik. Dimana silang berwarna merah menggambarkan poin
terjadinya fraktur/kegagalan. Diadaptasi dari Symes et,al. Gambaran trauma pada tulang,
investigasi medikolegal: Dikrmaat DC,editor. Pendampingan untuk Frensik Antropologi.
Chichester: John Wiley&sons,Ltd,2012:340-389,Symes SA,L’Abbe EN, Chapman
EN,Wolff I, Dirkmaat DC, Copyright 2012 Blackwell Publishing Ltd.
Sebuah beban yang cepat dikaitkan dengan cedera balistik, seperti luka karena
senjata api, amunisi, atau bahan peledak. Setelah pemuatan cepat, tulang lebih kaku dan
memiliki toleransi yang lebih besar sebelum terjadinya patah tulang (fraktur).49 Alasan
untuk hal ini adalah bahwa pemuatan yang lambat menempatkan tulang di bawah tekanan
untuk jangka waktu yang lama sehingga melelahkan tulang secara fisik, dan
mengalirkannya ke fase elastis dan plastik sebelum mengalami patah tulang. Kecepatan
tinggi juga menyebabkan tulang menahan sampai titik tertentu dan kemudian
menghancurkan, dengan sedikit atau tanpa terjadinya deformasi plastik.9,20,21,50,51 Perlu
dicatat bahwa tulang berdasarkan sifat materialnya merupakan penyerap yang miskin
untuk gelombang kejut dan pemberian beban yang cepat, dan bisa pecah lebih mudah
daripada jaringan lain di sekitarnya. Hasil akhir setelah penerapan kekuatan pada tulang,
bagaimanapun, adalah kombinasi dari banyak faktor intrinsik (misalnya, morfologi
tulang, ketebalan tulang, tebal jaringan lunak, kepadatan kortikal, posisi tubuh, dll) dan
ekstrinsik (misalnya, kecepatan dan lamanya dampak, bentuk objek, berat badan, dll).8,9,17-
21
Secara umum, tipe tertentu dari beban akan menghasilkan pola fraktur yang khas.
Menurut Stewart,52 luka dengan kecepatan rendah yang melibatkan area yang luas
biasanya menghasilkan fraktur linear, sedangkan hasil trauma dengan kecepatan tinggi
menghasilkan fraktur yang kecil dan biasanya merupakan fraktur depresi. Trauma benda
tumpul (tidak termasuk trauma balistik) dianggap sebagai cedera dengan kecepatan
rendah. Ketika gaya yang diterapkan di atas permukaan yang luas, memungkinkan energi
kinetik untuk segera diserap dan dengan demikian menghasilkan luka yang lebih kecil,
sementara kekuatan di area lebih sempit atau lokal lebih bersifat merusak. Daerah
melengkung pada tengkorak, meskipun kuat karena bentuknya, membatasi luas
permukaan kontak dan karena itu biasanya menghasilkan luka yang parah, meskipun hal
itu selalu tergantung pada energi kinetik yang dihasilkan. Bentuk dan ukuran dari objek
yang digunakan untuk memberikan beban sangat terkait dengan pola fraktur yang akan
dihasilkan.
Ketika kepala dipukul atau diserang dengan sebuah objek yang memiliki luas
permukaan datar yang luas maka tengkorak pada titik yang lebih mendatar sesuai dengan
bentuk permukaan terhadap bagian yang terkena.1,17,18 Gambar 4A menunjukkan bahwa
orang yang jatuh dari ketinggian dengan kepala yang mendarat terlebih dulu. Gambar 4B
menggambarkan fraktur depresi setelah terjatuh dari lantai pertama bangunan (sekitar 7
m), dengan sisi kanan kepala yang mendarat terlebih dahulu antara tanah dan pintu
langkah depan. Gambar 4C adalah hasil dari terjatuh di tanah setelah mengenai hambatan
terlebih dulu. Gambar 4D adalah hasil dari jatuh dengan posisi belakang dari 1,70 m
sampai 2 m, dan mendarat dengan punggungnya. Orang tersebut tergantung di pintu besi
yang akhirnya jatuh di atas tubuh bagian atas dan kepala.
Gambar 4 Contoh trauma benda tumpul kranial.
Catatan : ( A ) Jatuh dari ketinggian mendarat di tempurung kepala . Copyright © 2001
dari Forensic Pathology. 2nd ed. by Di Maio VJM, Di Maio D.18 Diproduksi ulang
dengan izin dari Taylor dan Francis Group, LLC, a division of Informa plc. ( B ) Jatuh
dari lantai pertama ( dengan ketinggian sekitar 7 m ) mendarat di pinggir kepala. ( C )
Jatuh setelah mengenai obstracle . ( D ) Jatuh dan fraktur kompresi antara benda logam
dan tanah . ( B - D ) Sumber : Departemen Ilmu Forensik , University of Crete .
Berryman dan Symes9 menggambarkan fraktur depresi khas setelah dipukul dengan
sejenis tongkat kasti dalam empat tahap: a) benturan dengan kecepatan yang rendah pada
tengkorak menyebabkan pembentukan fraktur pada titik benturan tersebut karena kubah
kranial terputar ke dalam dengan bagian perifer yang terputar keluar; ke dalam
perpindahan fragmen tulang karena deformasi plastik; fragmen kecil yang tersisa di
tempat, menunjukkan bahwa benturan berlangsung sementara jaringan lunak ada; b)
patah tulang radial di daerah outbending yang dimulai pada satu atau lebih poin jauh dari
situs benturan, kemajuan baik menuju titik dampak dan dalam arah yang berlawanan
(jauh dari itu); c) fraktur radial berhenti ketika telah dekat sutura; dan d) pembentukan
patah tulang konsentris, tegak lurus dengan patah tulang radial. Ini juga telah
didokumentasikan bahwa penampang morfologi patah tulang radial berbeda dari patah
tulang konsentris.9,53 Teori ini pada inisiasi patah tulang di pinggiran dan kemudian
menyebarkan ke situs benturan, telah diusulkan oleh banyak patologis forensik1,17 dan
telah didukung oleh data eksperimen awal,53 serta dengan penelitian lebih baru pada
hewan percobaan54, namun penelitian terbaru dari Kroman et al,55 memberi hasil yang
bertentangan.50,51 Para penulis menggunakan kepala mayat manusia dewasa dan
menemukan patah tulang dimulai di lokasi benturan (pusat parietal) dan jauh dari area
ini.55 Hasil ini belum dilaporkan oleh kelompok riset lainnya.
Gambar 5 menggambarkan fraktur tengkorak setelah mendapatkan tendangan dari kuda
yang cocok dengan deskripsi fraktur depresi.9 Kesan melingkar sesuai dengan bentuk
tapal kuda.
Gambar 5 Fraktur cranial setelah tendangan dari kuda .
Catatan : Kesan melingkar sesuai dengan bentuk tapal kuda . Sumber : P Mylonakis ,
Patolog forensik , Kantor Pemeriksa Medis dari Thessaloniki , Yunani .
Berdasarkan arah pukulan, fragmen yang paling dalam adalah yang berlawanan
dengan arah objek. Moritz17 mencatat bahwa garis-garis fraktur biasanya terdapat di sisi
tulang yang berlawanan dengan permukaan benturan. Selain itu, patah tulang konsentris
karena trauma benda tumpul secara internal miring, sebagai lawan patah konsentris
karena luka tembak.20,53
Moritz17 membedakan pola fraktur tengkorak antara pukulan di kepala yang bebas
bergerak dan pada kepala yang bersandar pada permukaan padat (misalnya, orang
berbaring di tanah). Menurut penulis, pukulan ke kepala yang bebas bergerak hasil yang
paling mungkin terjadi adalah fraktur linear atau fraktur depresi yang tidak lengkap,
sementara pukulan berat ke kepala yang bersandar terhadap permukaan padat (dengan
resistensi) lebih mungkin menyebabkan patah tulang kominuta dengan fragmen ke dalam
tulang. Hal ini konsisten dengan beberapa kasus jatuh pada permukaan yang padat.
(Gambar 4A dan B). Jika pukulan itu mendarat di sudut kepala, patah tulang linear lebih
sering terjadi tergantung pada permukaan benda untuk pemukulan. Serangkaian pukulan
eksperimental dengan berbagai jenis benda tumpul, pada bola tulang buatan
(SYNBONE)56 (diisi dengan gelatin babi57 untuk mensimulasikan tengkorak manusia)
menghasilkan pola yang menarik. Sebuah pukulan ke kepala (sphere) terhadap
permukaan padat menyebabkan fraktur linear yang tidak tergantung sudut (vertikal atau
diagonal) dan jenis senjata (tongkat bisbol, rolling pin, dan jendela tiang pembuka)58
Sebaliknya, pukulan vertikal dengan tongkat baseball pada kepala yang bergerak bebas
mengakibatkan fraktur depresi khas seperti yang terlihat pada Gambar 6. Tentu hal ini
perlu observasi awal dan konfirmasi dengan serangkaian eksperimen yang lebih besar.
Beberapa penulis10 menunjukkan bahwa fraktur linear tunggal menunjukkan
kekuatan penyebabnya lebih sedikit dibandingkan pada fraktur yang berbentuk lebih
rumit, sedangkan penulis lainnya18 menunjukkan bahwa gaya dengan jumlah yang sama
diperlukan untuk membuat fraktur linear dan patah tulang kompresi dengan beberapa
garis fraktur. Saukko dan Knight24 menyatakan gaya yang sepadan dibutuhkan untuk
menyebabkan patah tulang tengkorak dan mencatat bahwa rata-rata kepala orang dewasa
memiliki berat 4,5 kg. Fraktur sederhana dapat terjadi dengan objek tetap (gaya yang
dibutuhkan = 73 N), sedangkan penurunan sederhana dari 1 m dengan dampak frontal
(510 N) juga dapat mengakibatkan patah tulang linear atau mosaik. Fraktur juga ada saat
benturan 1.314 N tercatat. Temuan awal dari percobaan yang sama pada bidang
SYNBONE mengungkapkan tidak ada patah tulang dalam kasus di mana benturan
berkisar 381-608 N, sementara benturan lebih dari 622 N mengakibatkan patah tulang
dari berbagai bentuk dan extent.58 Satu hal yang harus diingat bahwa tengkorak yang
berbeda akan memiliki toleransi yang berbeda untuk trauma kepala tergantung pada
ketebalan tengkorak, usia individu yang mempengaruhi sifat material tulang, dan semua
faktor ekstrinsik yang melibatkan benturan. Data eksperimen yang berguna untuk
memahami tentang kemungkinan bahwa benturan tidak dapat memberikan “diagnosis”
langsung, karena tidak ada simulasi identik dengan peristiwa nyata.
Gambar 6 Fraktur depresi pada bola SYNBONE yang diisi dengan gelatin babi yang
memperlihatkan gambaran sebuah kepala yang bebas bergerak setelah dipukul tepat
dengan tongkat baseball. Foto pemberian Yi - Hua Tang.
Praktek terbaik saat ini
Cedera tulang sangat sering ditemukan selama otopsi diberbagai kasus (kecelakaan
tabrakan, kecelakaan jatuh atau bunuh diri, dan pembunuhan). Spitz et AL1 melaporkan
bahwa trauma tumpul adalah jenis cedera yang paling umum ditemukan di otopsi dan
bahwa kepala adalah lokasi yang paling umum untuk trauma tumpul, terutama pada kasus
pembunuhan. Dengan demikian penting untuk melakukan analisis menyeluruh dan hati-
hati terhadap luka pada kedua kulit dan jaringan lunak (jika ada), serta pada jaringan
keras. Serangkaian teknik yang berbeda dapat dipilih oleh ahli patologi forensik ketika
berhadapan dengan trauma kepala. Diantaranya termasuk pemeriksaan radiografi tubuh,
pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik dari kulit dan jaringan lunak termasuk otak,
serta diseksi dan pemeriksaan tengkorak. Jika memungkinkan, analisis pencitraan medis
dengan penggunaan CT scan akan memungkinkan pemeriksaan virtual permukaan
endocranial tengkorak tanpa diseksi anatomi. Dengan tidak adanya jaringan lunak, maka
analisis akan menjadi jauh lebih menantang. Analis mungkin perlu menghilangkan sisa-
sisa jaringan lunak (jaringan kadang-kadang kering tidak mudah untuk dimanipulasi) atau
membesrihkan fragmen tulang untuk dapat mengamati permukaan ectocranial, tepi
fragmen dan sudut garis fraktur. Dalam beberapa kasus, fragmen tengkorak ini perlu
disatukan dengan bantuan lem non-permanen atau tape, kemudian difoto dan dibuatkan
sketsanya, dengan tujuan untuk menangkap garis fraktur dari sudut pandangan yang
berbeda, dan akhirnya, deskripsi komprehensif dari karakteristik morfologi cedera harus
dicatat.21 Pengukuran panjang fraktur dan penggunaan deskripsi anatomi universal sangat
direkomendasikan.2,21
Analisis mikroskopis dapat berguna dalam beberapa cara karena memungkinkan
pengamatan karakteristik patah tulang , rambut, dan sisa-sisa bahan lain seperti logam
atau kayu. Pembesaran rendah (Kekuatan × 3-40 ) dengan stereoscope direkomendasikan
oleh Symes et AL21 terutama pada pukulan yang bersifat multipel (dampak sisi cedera
yang berbeda, jumlah minimum / urutan pukulan ) atau alat yang digunakan. Ketika
kesan alat hadir , tidak harus dilakukan penyesuaian senjata yang mungkin digunakan
karena hal ini bisa mengubah karakteristik pada tulang . Sebaliknya , perbandingan
cetakan positif dari yang diduga alat dan alat tanda telah diusulkan sebagai pilihan
terbaik.2,21 Selain itu, seorang ahli hanya memberikan komentar apakah senjata / benda
akan konsisten sesuai dengan gambaran pola spesifik tertentu dari luka korban, bukan
untuk memberikan informasi tentang senjata apa yang digunakan.
Penggunaan teknologi pencitraan medis juga meningkat dalam metode penyelidikan
kasus manusia dengan beberapa publikasi baru.59 Kesimpulannya, analisis trauma
kewalahan dengan banyaknya metodologi baru yang tampaknya meningkatkan
kemungkinan analisis menyeluruh dan interpretasi.
Christensen dan Crowder60 membahas tentang tumbuh kekhawatiran mengenai metode
yang diterapkan oleh antropolog forensik dan keraguan metode ini menimbulkan
keraguan di ruang sidang, khususnya mengenai tingkat kesalahan. Analisis trauma secara
tradisional berbasis pengalaman dan beberapa penulis di masa lalu telah menyatakan
bahwa tidak ada ruang untuk data kuantitatif.61 Kebutuhan untuk suara dan teknik yang
handal dalam analisis trauma yang sesuai dengan kriteria Daubert,62 telah
memperlihatkan adanya pergeseran metode tradisional cedera tulang yang terutama
didorong oleh pengalaman analis. Saat ini, metode baru mengandalkan set data yang
lebih besar dan analisis statistik dan buku kumpulan kasus trauma yang sering terjadi.63
SWGANTH telah menghasilkan draft dokumen praktek terbaik untuk analisis trauma
berkaitan dengan kriteria diterimanya di ruang sidang AS.2 Sebuah kompilasi dari
rekomendasi ini juga didukung oleh ulasan terbaru dari komunitas ilmiah forensik. 5,8,21
Era baru bagi antropologi forensik menentukan pengembangan metode yang handal,
berulang, dan ilmiah dapat diterima dengan tingkat kesalahan yang dikenal untuk
mematuhi kriteria diterimanya data di sistem peradilan. Penelitian tentang analisis trauma
tulang harus fokus pada pengembangan baru dan metodologi yang akurat yang dapat
memenuhi tuntutan tersebut. Sebagai Passal-acqua dan Fenton3 telah mencatat dengan
benar, bahwa kita perlu "pergeseran paradigma dalam cara kita mendekati analisis trauma
tulang" yang akan melibatkan pendekatan multidisiplin dalam pengujian hipotesis dan
validasi sistematis metodologi yang dikembangkan
Ucapan Terima Kasih
Penulis ingin mengucapkan terima kasih Profesor Manolis Michalodimitrakis dan Dr
Despoina Nathena, Forensik Patolog, Departemen Ilmu Forensik, University of Crete; Dr
Panagiotis Mylonakis, Patolog forensik, Kantor Pemeriksa Medis dari Thessaloniki untuk
memungkinkan akses ke materi fotografi dan laporan forensik untuk ilustrasi kasus
Truma tumpul pada kepala; Profesor Apostolos Karantanas dan Mrs Aristea Haroniti,
Departemen Radiologi, Universitas Kreta untuk memungkinkan akses ke data yang
anonim CT scan pasien yang menderita Truma tumpul pada kepala; Yi-Hua Tang,
Antoine Ruchonnet, Anna Evatt, Julieta G Garcia-Donas, dan Caroline Lill atas
kontribusi mereka terhadap percobaan pada bidang SYNBONE; Meghan Dyer untuk
menyediakan protokol pada proses eksperimental dan Mara Karell dan Helen Langstaff
untuk melakukan review linguistik. Terima kasih khusus kepada tiga pengulas anonim
dan Profesor Henrik Druid, Pemimpin Redaksi Penelitian dan Laporan di Forensik Ilmu
Kedokteran, untuk komentar mereka yang berharga dan saran dalam versi sebelumnya
dari naskah ini.
Penyingkapan
Penulis melaporkan tidak ada konflik kepentingan dalam pekerjaan ini.