niswah afifah-fkik.pdf
TRANSCRIPT
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
DERMATITIS KONTAK PADA PEKERJA PROSES FINISHING
MEUBEL KAYU DI WILAYAH CIPUTAT TIMUR
TAHUN 2012
SKRIPSI
Diajukan sebagai persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh :
NISWAH AFIFAH
108101000050
PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3)
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012 M/1433 H
i
ii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Skripsi, Desember 2012
Niswah Afifah, NIM : 108101000050
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DERMATITIS
KONTAK PADA PEKERJA PROSES FINISHING MEUBEL KAYU DI WILAYAH
CIPUTAT TIMUR TAHUN 2012.
120 halaman, xvi halaman, 6 lampiran
ABSTRAKSI
Dermatitis kontak akibat kerja adalah penyakit kulit dimana pajanan di tempat
kerja merupakan faktor penyebab utama serta faktor kontributor. Penyebabnya adalah
pajanan substansi dari luar tubuh, baik substansi iritan maupun substansi allergen.
Pekerja proses finishing meubel kayu menggunakan bahan kimia berupa dempul, zat
pewarna, sanding sealer, melamic clear, dan hidrogen peroksida yang meningkatkan
risiko dermatitis kontak..Berdasarkan studi pendahuluan pada 15 pekerja proses finishing
meubel kayu, didapatkan 9 orang (60%) mengalami dermatitis kontak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor (lama kontak, frekuensi
kontak, usia, masa kerja, riwayat alergi, riwayat atopi, dan riwayat penyakit kulit) yang
berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel
kayu di Ciputat Timur Tahun 2012. Jenis penelitian ini adalah epidemiologi analitik
dengan pendekatan cross sectional study. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode
total sampling dengan jumlah sampel 82 orang. Instrumen penelitian yang digunakan
adalah kuesioner, lembar pemeriksaan dokter, daily activity recall dan lembar observasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 33 orang (40.2%) pekerja proses
finishing meubel kayu mengalami dermatitis kontak yang berlokasi di punggung tangan,
telapak tangan, sela jari tangan, dan pergelangan tangan. Analisis bivariat yang
dilakukan dengan uji chi square, t-test independent, dan mann-whitney menunjukkan
bahwa variabel yang berhubungan dengan dermatitis kontak adalah usia (pvalue :
0.000), masa kerja (pvalue : 0.000), riwayat atopi (pvalue : 0.009), dan riwayat penyakit
kulit sebelumnya (pvalue : 0.04).
Untuk mengurangi risiko dermatitis kontak, disarankan bagi pengelola untuk
menyediakan sarana dan prasarana personal hygiene yang baik dan alat pelindung diri
(sarung tangan) yang sesuai. Pekerja diharuskan untuk menggunakan sarung tangan saat
bekerja dan menjaga personal hygiene dengan baik.
Daftar Bacaan : 39 (1980-2012)
iii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH DEPARTMENT
OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH
Thesis, December 2012
Niswah Afifah, NIM : 108101000050
FACTORS RELATED TO THE INCIDENT OF CONTACT DERMATITIS ON
FINISHING PROCESS WORKERS OF WOOD FURNITURE AT EAST CIPUTAT IN
2012
120 pages, xvi pages, 6 attachments
ABSTRACT
Occupational contact dermatitis is a skin disease where exposure in the
workplace become a major factor as well as a contributing factor. The cause is exposure
to substances from outside the body, both the irritant substance and allergen. Finishing
prosses workers of wood furniture uses chemicals such as wood filler, wood stain,
sanding sealer, melamic clear, and hydrogen peroxide which increases the risk of
contact dermatitis. Based on the preliminary study on 15 finishing prosses workers,
obtained that 9 (60%) of workers were contact dermatitis.
This study aimed to determine the factors (long-term contact, contact frequence,
age, period of empolyment, history of allergy, history of atopy, and history of previous
skin disease) related with the incidence of contact dermatitis on finishing process
workers of wood furniture at East Ciputat in 2012. This study is a kind of analytic
epidemiology with cross sectional study approach. Sampling was carried out by total
sampling method with a total sample of 82 people. Instruments of this research are a
questionnaire, the doctor's examination sheet, daily activity recall and observation sheet.
The results of this study indicated that 33 people (40.2%) of finishing process
workers in wood furniture were suffered from contact dermatitis and most were located
on the back of the hands, palms, between fingers, and wrists. Bivariate analyzes were
conducted with chi square, independent t-test, and mann whitney test showed that the
variables related with contact dermatitis on finishing process workers of wood furniture
are age (pvalue: 0.000), period of employment (pvalue: 0.000), a history of atopy
(pvalue: 0.009), and a history of previous skin disease (pvalue: 0.04).
To reduce the risk of contact dermatitis in finishing prosses workers, manager of
wood furniture have to provide facilities and infrastructure of personal hygiene and
suitable gloves. Then workers are suggested to use the gloves while working and
maintaining a good personal hygiene.
Reference : 39 (1980-2012)
iv
v
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Niswah Afifah
Tempat, Tanggal, Lahir : Jakarta, 30 Juli 1990
Alamat : Jalan Warung Jati Timur 2 B No : 64 RT : 005 RW : 04
Kelurahan : Kalibata
Kecamatan : Pancoran
Kotamadya : Jakata Selatan
Kode Pos : 12740
Agama : Islam
Golongan Darah : AB
No. Telepon : (021) 7981425 / 085694924393
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan
1994 – 1996 : TK Darul Hikmah, Jakarta Selatan
1996 – 2002 : SDI An Nizomiyah, Jakarta Selatan
2002 – 2005 : SMP Pondok Pesantren Modern La Tansa, Lebak Banten
2005 – 2008 : SMA Pondok Pesantren Modern La Tansa, Lebak Banten
2008 – 2012 : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat Banten
vii
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
terselesaikannya skripsi yang berjudul Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah
Ciputat Timur Tahun 2012.
Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu persyaratan kelulusan program
studi SI Kesehatan Masyarakat Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam pelaksanaan dan pembuatan skripsi ini, penulis telah dibantu oleh
berbagai pihak. Oleh karenanya penulis ingin sekali mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Keluarga tercinta, Mama dan Ayah yang selalu memberikan nasihat dan
semangat agar selalu menjadi orang yang mengamalkan ilmunya. Serta kakak
dan adik-adikku yang senantiasa mendukung setiap kegiatan yang dilakukan.
2. Prof. Dr. dr. MK Tajudin, Sp.And, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS sebagai Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat yang telah membuka jalan pengetahuan Kesehatan
Masyarakat yang luas.
4. Ibu Iting Shofwati ST, MKKK selaku pembimbing pertama dan penanggung
jawab peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang secara tulus dan
sabar membimbing dan memberikan semangat selama penyusunan skripsi.
5. Ibu Minsarnawati, SKM, M.Kes selaku pembimbing kedua skirpsi. Terima
kasih atas bimbingannya selama ini.
viii
6. Rahmi Nurmadinisia, selaku teman terbaik seperjuangan kuliah, terima kasih
karena dengan penuh kesabaran mendengar dan memahami semua keluh-
kesah & suka-duka selama penyusunan skripsi ini.
7. Astrianda, Sofia Septiani, Novia Zulfa Hanum, dan Riska Ferdian. Terima
kasih banyak atas informasi dan dukungan yang sangat berharga selama ini.
8. Sahabat-sahabat tercinta di Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, K3 dan Gizi, semoga keberkahan selalu menyertai
langkah kita.
9. Ebi Nurhardianto, terima kasih banyak atas partisipasinya dalam membantu
penyusunan skripsi ini.
Jakarta, Desember 2012
Niswah Afifah
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... i
ABSTRAK ............................................................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................... iv
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................... vi
KATA PENGANTAR ............................................................................................. vii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ix
DAFTAR TABEL ................................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xiv
DAFTAR BAGAN .................................................................................................. xv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 7
C. Pertanyaan Penelitian .......................................................................................... 8
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum ............................................................................................... 9
2. Tujuan Khusus .............................................................................................. 9
E. ManfaatPenelitian
1. Manfaat Bagi Pengelola ................................................................................ 11
2. Manfaat Bagi Peneliti ................................................................................... 11
F. Ruang Lingkup .................................................................................................... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Gambaran Umum Industri Meubel Kayu
1. Pengertian Meubel Kayu ............................................................................... 13
2. Proses Produksi Industri Meubel Kayu ......................................................... 13
B. Dermatitis Kontak
1. Definisi .......................................................................................................... 15
x
2. Jenis Dermatitis Kontak ................................................................................ 16
3. Etiologi .......................................................................................................... 18
a. Dermatitis Kontak Iritan ......................................................................... 18
b. Dermatitis Kontak Alergik ...................................................................... 19
4. Gejala Klinis ................................................................................................. 20
a. Dermatitis Kontak Iritan ......................................................................... 21
b. Dermatitis Kontak Alergik ...................................................................... 22
5. Patofisiologi
a. Anatomi Kulit ......................................................................................... 24
b. Mekanisme Terjadinya Dermatitis Kontak ............................................. 29
6. Diagnosis
a. Anamnesa ................................................................................................ 32
b. Pemeriksaan Klinis ................................................................................. 33
c. Pemeriksaan Penunjang .......................................................................... 33
7. Epidemiologi Dermatitis Kontak .................................................................. 36
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak
1. Bahan Kimia ................................................................................................. 39
2. Lama Kontak ................................................................................................. 42
3. Frekuensi Kontak .......................................................................................... 43
4. Usia ............................................................................................................... 44
5. Jenis Kelamin ................................................................................................ 44
6. Jenis Pekerjaan .............................................................................................. 45
7. Masa Kerja .................................................................................................... 46
8. Ras ................................................................................................................. 46
9. Tekstur Kulit ................................................................................................. 47
10. Pengeluaran Keringat .................................................................................... 48
11. Musim ........................................................................................................... 48
12. Riwayat Alergi .............................................................................................. 49
13. Riwayat Atopi ............................................................................................... 50
14. Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya ............................................................ 50
xi
15. Suhu dan Kelembaban .................................................................................. 52
16. Pemakaian APD ............................................................................................ 53
17. Personal Hygiene .......................................................................................... 54
D. KerangkaTeori .................................................................................................... 56
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep ................................................................................................ 58
B. Definisi Operasional ........................................................................................... 63
C. Hipotesis ............................................................................................................. 66
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian .................................................................................................... 67
B. Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................................. 67
C. Populasi dan Sampel ........................................................................................... 67
D. Instrumen Penelitian
1. Lembar Pemeriksaan Fisik ............................................................................ 71
2. Daily Activity Recall ..................................................................................... 71
3. Self Administered Questionnaire .................................................................. 71
4. Lembar Observasi ......................................................................................... 72
E. Pengumpulan Data .............................................................................................. 73
F. Pengolahan Data
1. Data Coding .................................................................................................. 73
2. Data Editing .................................................................................................. 74
3. Data Entry ..................................................................................................... 74
4. Data Cleaning ............................................................................................... 74
G. Teknik Analisa Data
1. Analisis Univariat ......................................................................................... 74
2. Analisis Bivariat ............................................................................................ 74
BAB V HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Lokasi Penelitian ............................................................................... 76
B. Analisis Univariat ............................................................................................... 77
xii
1. Gambaran Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing
Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012 .................................. 77
2. Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak
pada Pekerja Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu
di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012 ......................................................... 78
C. Analisis Bivariat .................................................................................................. 82
1. Hubungan Antara Lama kontak dengan Dermatitis Kontak ......................... 85
2. Hubungan Antara Frekuensi Kontak dengan Dermatitis Kontak ................. 85
3. Hubungan Antara Usia dengan Dermatitis Kontak ...................................... 86
4. Hubungan Antara Masa Kerja dengan Dermatitis Kontak ........................... 86
5. Hubungan Antara Riwayat Alergi dengan Dermatitis Kontak ..................... 86
6. Hubungan Antara Riwayat Atopi dengan Dermatitis Kontak ...................... 87
7. Hubungan Antara Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya dengan
Dermatitis Kontak ........................................................................................ 87
BAB VI PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian ....................................................................................... 89
B. Kejadian Dermatitis Kontak................................................................................ 90
C. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak ............ 95
1. Hubungan Lama Kontak dengan Dermatitis Kontak .................................... 95
2. Hubungan Frekuensi Kontak dengan Dermatitis Kontak ............................. 98
3. Hubungan Usia dengan Dermatitis Kontak .................................................. 102
4. Hubungan Masa Kerja dengan Dermatitis Kontak ....................................... 104
5. Hubungan Riwayat Alergi dengan Dermatitis Kontak ................................. 106
6. Hubungan Riwayat Atopi dengan Dermatitis Kontak .................................. 109
7. Hubungan Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya dengan Dermatitis Kontak 111
BAB VII SIMPULAN & SARAN
A. Simpulan ............................................................................................................ 115
B. Saran ................................................................................................................... 116
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 117
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Iritan dan Allergen Pekerja Yang Umum ................................................. 40
Tabel 3.1 Definisi Operasional ................................................................................. 63
Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Sampel ......................................................................... 70
Tabel 5.1 Gambaran Dermatitis Kontak Pada Pekerja Proses Finishing
Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012.............................. 78
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Variabel Faktor-Faktor (lama kontak,
frekuensi kontak, usia, dan masa kerja) pada Pekerja Proses
Finishing Meubel Kayu ........................................................................... 79
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Variabel Faktor-Faktor (Riwayat alergi,
riwayat atopi, riwayat penyakit kulit) pada Pekerja
Proses Finishing Meubel Kayu ................................................................ 79
Tabel 5.4 Hubungan Faktor – Faktor (Lama kontak dan Usia) dengan
Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Proses Finishing
Meubel Kayu ........................................................................................... 83
Tabel 5.5 Hubungan Faktor – Faktor (Frekuensi kontak dan Masa Kerja)
dengan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Proses
Finishing Meubel Kayu ............................................................................ 84
Tabel 5.6 Hubungan Faktor – Faktor (Riwayat alergi, Riwayat atopi,
Riwayat penyakit kulit, dan Personal hygiene) dengan
Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja Proses
Finishing Meubel Kayu ........................................................................... 84
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Anatomi Kulit ....................................................................................... 25
Gambar 5.1 Pekerja proses finishing melakukan pemlituran meubel kayu .............. 76
Gambar 6.1 Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel................... 92
xv
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Teori ........................................................................................ 57
Bagan 3.1 Kerangka Konsep ..................................................................................... 62
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner Penelitian
Lampiran 2 Lembar Observasi
Lampiran 3 Lembar Pemeriksaan Fisik
Lampiran 4 Daily Activity Recall
Lampiran 5 Hasil Uji Statistik Penelitian
Lampiran 6 Foto Dermatitis Kontak
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit kulit akibat kerja adalah penyakit kulit yang diakibatkan
oleh pajanan substansi kimiawi di lingkungan tempat kerja. Penyakit kulit
akibat kerja atau yang didapat saat melakukan pekerjaan banyak
penyebabnya antara lain, agen sebagai penyebab penyakit kulit tersebut yang
berupa agen fisik, kimia, maupun, biologis (Roebidin, 2008). Walaupun tidak
menyebabkan kematian, penyakit kulit sangat mengganggu bagi kenyamanan
penderitanya. Oleh karena itu, penyakit kulit merupakan faktor yang sangat
penting untuk terjadinya penurunan produktifitas kerja dan meningkatnya
angka cuti sakit. Secara klinis, penyakit kulit akibat kerja dapat dibagi
menjadi 2 kelompok yaitu dermatitis kontak dan dermatitis non-ekzema
(Harrianto, 2008).
Dermatitis kontak adalah kondisi peradangan pada kulit yang
disebabkan oleh faktor eksternal, substansi-substansi partikel yang
berinteraksi dengan kulit (Occupational Contact Dermatitis in Australia,
2006). Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak
iritan dan dermatitis kontak alergik; keduanya dapat bersifat akut maupun
kronis (Djuanda, 2003). Dermatitis kontak alergik pada lingkungan kerja
terjadi lebih sedikit dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan karena
hanya mengenai orang yang kulitnya hipersensitif (Sumantri dkk, 2008).
2
Dermatitis kontak iritan terjadi pada 80% dari seluruh penderita dermatitis
kontak sedangkan dermatitis kontak alergik hanya sekitar 10-20% (Keefner,
2004).
Dermatitis kontak merupakan penyakit akibat kerja yang paling
sering ditemukan, kira-kira 40% dari seluruh penyakit akibat kerja adalah
penyakit kulit dermatitis kontak (W.J. Cunliffe dalam Harianto, 2008).
Gangguan kesehatan berupa dermatitis kontak akibat kerja akan mengurangi
kenyamanan dalam melakukan tugas dan akhirnya akan mempengaruhi
proses produksi, secara makro akan mengganggu proses pembangunan secara
keseluruhan. Menurut Fregert (1988), beberapa pekerjaan yang mempunyai
risiko terjadi dermatitis kontak adalah petani, industri mebel dan petukangan
kayu, pekerja bangunan, tukang las dan cat, salon dan potong rambut, tukang
cuci, serta industri tekstil. Kemudian referensi lain mengemukakan bahwa
pekerjaan dengan risiko besar untuk terpapar bahan iritan yaitu pemborong,
pekerja industri mebel, pekerja rumah sakit (perawat, cleaning services,
tukang masak), penata rambut, pekerja industri kimia, pekerja logam,
penanam bunga, dan pekerja di gedung (Perdoski, 2009).
Penyakit dermatitis kontak akibat kerja telah menjadi salah satu dari
sepuluh besar penyakit akibat kerja (PAK) berdasarkan potensial insidens,
keparahan dan kemampuan untuk dilakukan pencegahan sejak tahun 1982
(NIOSH, 1996 dalam Utomo, 2007). Di Amerika Serikat 90% klaim
kesehatan yang diakibatkan oleh kelainan kulit pekerja diakibatkan oleh
dermatitis kontak (Sumantri dkk, 2008) sama halnya dengan pernyataan
3
bahwa di negara maju, dermatitis kontak ditemukan lebih dari 90% dari
seluruh kasus penyakit kulit akibat kerja (Harrianto, 2008). Biro Statistik
Amerika Serikat (1988) menyatakan bahwa penyakit kulit menduduki sekitar
24% dari seluruh penyakit akibat kerja yang dilaporkan (Lestari dkk, 2007).
Sedangkan di Jerman, angka insiden dermatitis kontak iritan adalah 4,5 setiap
10.000 pekerja, dimana insiden tertinggi ditemukan pada penata rambut (46,9
kasus per 10.000 pekerja setiap tahunnya), tukang roti dan tukang masak
(Hogan, 2009). Bedasarkan penelitian yang dilakukan oleh S.Lan dkk,
ditemukan bahwa 3.8% pekerja dari 479 pekerja industri meubel di
Singapura mengalami penyakit dermatitis kontak.
Data dari balai hiperkes yang sejak tahun 2005 menjadi pusat
keselamatan kerja dan hiperkes, menunjukkan hampir 90% penyakit kulit
akibat kerja adalah dermatitis kontak akibat kerja (Utomo, 2007). Pada sub
bagian alergi imunologi bagian ilmu penyakit kulit dan kelamin RSUPN
Cipto Mangunkusumo Jakarta, insidens dermatitis kontak akibat kerja pada
tahun 1996 adalah 50 kasus/tahun atau 11.9% dari seluruh dermatitis kontak
(Effendi, 1997). Utama Wijaya (1972) menemukan 23,75% dari pekerja
pengelolaan minyak di Sumatera Selatan menderita dermatitis akibat kerja,
sementara Raharjo (1982) hanya menemukan 1,82% (Siregar, 1996). Lestari
dkk (2007) menemukan melalui penelitiannya bahwa 48.8% (39 orang)
pekerja body pressing dan chasis mobil mengalami kejadian dermatitis
kontak. Kemudian berdasarkan penelitian Nuraga dkk (2008), sebanyak 74%
4
(40 orang) pekerja industri otomotif yang menggunakan bahan kimia
mengalami dermatitis.
Penelitian yang dilakukan pada pekerja penebang kayu di Palembang,
30% pekerja mengalami dermatitis kontak dan 11,8% pekerja perusahaan
kayu lapis di Palembang menderita dermatitis kontak (Siregar, 1996).
Laporan dari poliklinik perusahaan pembuatan triplek (plywood) di
Kalimantan, menemukan 10% pekerjanya mengalami penyakit kulit akibat
kerja. Sedangkan hasil penelitian Astono & Sudardja (2002) yang dilakukan
pada pekerja industri plywood di Kalimantan Selatan, menemukan bahwa
35% (696 orang) dari 2000 sampel mengalami penyakit kulit, dan 21,3%
(148 orang) diantaranya mengalami dermatitis kontak. Kejadian dermatitis
kontak didukung oleh berbagai faktor-faktor yang mempengaruhinya
(Ruhdiyat, 2006)
Menurut Larry.L.Hipp (1985), faktor-faktor penyebab dermatitis
kontak yaitu bahan-bahan kimia, usia, jenis kelamin, ras, tekstur kulit
(ketebalan), musim, personal hygiene, alergi, penyakit kulit yang pernah ada
sebelumnya. Sedangkan menurut Rietschel (1985) adalah bahan beracun,
pigmentasi, ketebalan kulit, usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan, keringat,
personal hygiene, musim, dan riwayat atopi. Dalam Djuanda dan Sularsito
(2002) menjelaskan bahwa faktor penyebab dermatitis kontak adalah lama
kontak, frekuensi kontak, usia, jenis kelamin, tekstur kulit, ras, penyakit kulit
yang pernah ada sebelumnya, lingkungan (suhu & kelembaban), dan
personal hygiene. Bahan kimia merupakan faktor langsung yang
5
mempengaruhi dermatitis kontak (Hipp, 1985;Rietschel, 1985). Dermatitis
kontak umumnya terjadi pada pekerja yang kontak dengan bahan kimia iritan
ataupun allergen pada berbagai bidang pekerjaan.
Pekerja meubel kayu adalah pekerja yang menggunakan berbagai
jenis kayu sebagai bahan baku/utama dalam proses produksinya serta
menerapkan cara kerja yang bersifat tradisional (Depkes, 2002). Kayu yang
merupakan bagian dari struktur tumbuh-tumbuhan tersusun dari zat organik,
sehingga debu kayu dapat digolongkan ke dalam debu organik. Disamping
itu, beberapa golongan kayu yang digunakan dalam pembuatan meubel,
mengandung substansi kimia yang dapat memberikan efek alergi dan toksik
pada manusia seperti kayu johar, kayu ebony, kayu rengas, kayu kasasi,
sehingga debu dan getah kayu tersebut dapat menimbulkan dermatitis,
konjungtivitis, asma rinitis dan lain-lain (Purnomo, 2007 dalam Yunus,
2010). Kayu digunakan dalam pembuatan meubel melalui berbagai tahapan
proses sehingga menjadi meubel yang layak.
Pada dasarnya, proses pembuatan meubel dari kayu melalui lima
proses utama yaitu proses penggergajian kayu, penyiapan bahan baku, proses
penyiapan komponen, proses perakitan dan pembentukan (bending), dan
proses penyelesaian akhir (Yunus, 2010). Dalam melaksanakan proses
penyelesaian akhir meubel yang terdiri dari (1) pengamplasan / penghalusan
permukaan meubel, (2) pendempulan lubang dan sambungan dengan dempul,
(3) pemutihan meubel dengan H2O
2, (4) pemlituran atau “sanding sealer”,
6
(5) pengecatan dengan “wood stain” atau bahan pewarna yang lain, dan (6)
pengkilapan dengan menggunakan melamic clear (Depkes, 2002), pekerja
menggunakan berbagai jenis bahan kimia yang dapat menimbulkan
dermatitis kontak pada pekerja. Hal tersebut diperkuat dengan pelaksanaan
studi pendahuluan terlebih dahulu.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 15 pekerja
proses finishing meubel kayu di Kecamatan Ciputat Timur, ditemukan bahwa
9 orang (60%) pekerja meubel kayu yang melakukan keseluruhan proses
finishing atau penyelesaian akhir mengalami dermatitis kontak. Dengan ciri
spesifik sebagai berikut, 9 orang (60%) mengalami gatal-gatal, 5 orang
(33.3%) kemerahan, 3 orang (20%) ditemukan adanya tonjolan isi air yang
gatal, 4 orang (27%) perih, 3 orang (20%) kulit tangan mengelupas dan
33.3% (5 orang) ditemukan adanya bentol/tonjolan padat yang gatal. Hasil
studi pendahuluan diperoleh dari wawancara yang diperkuat dengan
pemeriksaan oleh dokter. Berdasarkan observasi lapangan di ketahui bahwa
15 orang (100%) pekerja proses finishing meubel kayu tidak menggunakan
alat pelindung diri yang berupa sarung tangan saat melakukan pekerjaannnya.
Penelitian dilakukan di tempat pembuatan meubel kayu karena pada
proses finishing meubel kayu digunakan bahan-bahan kimia yang dapat
menimbulkan bahaya dermatitis kontak pada pekerja. Sedangkan pemilihan
wilayah penelitian di Ciputat Timur dikarenakan Ciputat Timur merupakan
salah satu pusat penjualan dan importir meubel antik yang berbahan kayu
yang dimulai sejak tahun 1974 (Lesmana & Anggoro, 2010). Ciputat Timur
7
merupakan kawasan yang lebih dulu terkenal sebagai pusat meubel kayu
dibandingkan dengan 3 wilayah lain di Jakarta yakni Kemang, Klender, dan
Pondok Pinang (Aljihad, 2012). Kemudian hasil penelitian ini akan
digunakan sebagai data based pelaksanaan program intervensi di wilayah
sekitar Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta dimana diketahui
bahwa Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah terletak di wilayah
kecamatan Ciputat Timur.
Berdasarkan latar belakang yang diperkuat dengan hasil studi
pendahuluan mengenai dermatitis kontak pada pekerja proses finishing
meubel kayu, perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan
dengan kejadian dermatitis kontak yang dialami para pekerja proses finishing
meubel kayu. Untuk mengetahui hal tersebut perlu dilakukannya penelitian.
Sehingga peneliti bermaksud meneliti mengenai faktor-faktor yang
berhubungan dengan dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel
kayu di wilayah Kecamatan Ciputat Timur. Dengan adanya penelitian ini,
diharapkan dapat dilakukan tindakan preventif untuk mencegah kejadian
dermatitis kontak pada pekerja industri meubel kayu.
B. Rumusan Masalah
Dalam melaksanakan proses produksi tahap finishing/penyelesaian
akhir, pekerja proses finishing meubel kayu terpapar berbagai macam bahan
kimia yang digunakan yang berpotensi menimbulkan gangguan kulit yaitu
dermatitis kontak. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada
15 pekerja proses finishing meubel kayu di Kecamatan Ciputat Timur
8
ditemukan bahwa 9 pekerja (60%) proses finishing meubel kayu yang
melakukan keseluruhan proses finishing/penyelesaian akhir mengalami
dermatitis kontak. Berdasarkan observasi lapangan di ketahui bahwa 100%
(15 orang) pekerja proses finishing meubel kayu tidak menggunakan APD
(sarung tangan) saat melakukan pekerjaannnya. Sehingga perlu adanya
penelitian untuk mengetahui apa sajakah faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel
kayu.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran dermatitis kontak pada pekerja proses finishing
meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012?
2. Bagaimana gambaran (lama kontak, frekuensi kontak, usia, masa kerja,
riwayat alergi, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit sebelumnya dan
personal hygiene) pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat
Timur Tahun 2012?
3. Apakah ada hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis
kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur
Tahun 2012?
4. Apakah ada hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis
kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur
Tahun 2012?
5. Apakah ada hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak pada
pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012?
9
6. Apakah ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis
kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur
Tahun 2012?
7. Apakah ada hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis
kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur
Tahun 2012?
8. Apakah ada hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis
kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur
Tahun 2012?
9. Apakah ada hubungan antara riwayat penyakit kulit yang ada sebelumnya
dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel
kayu di Ciputat Timur Tahun 2012?
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat
Timur Tahun 2012.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya gambaran dermatitis kontak pada pekerja proses
finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012.
b. Diketahuianya gambaran (lama kontak, frekuensi kontak, usia, masa
kerja, riwayat alergi, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit sebelumnya
10
dan personal hygiene) pekerja proses finishing meubel kayu di
Ciputat Timur Tahun 2012.
c. Diketahuinya hubungan antara lama kontak dengan kejadian
dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di
Ciputat Timur Tahun 2012.
d. Diketahuinya hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian
dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di
Ciputat Timur Tahun 2012.
e. Diketahuinya hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak
pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun
2012.
f. Diketahuinya hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis
kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur
Tahun 2012.
g. Diketahuinya hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian
dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di
Ciputat Timur Tahun 2012.
h. Diketahuinya hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian
dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di
Ciputat Timur Tahun 2012.
i. Diketahuinya hubungan antara riwayat penyakit kulit yang ada
sebelumnya dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses
finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012.
11
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Bagi Pengelola Meubel Kayu
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
pemahaman pengelola meubel kayu mengenai penyakit kulit akibat kerja
dermatitis kontak yang dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu, sehingga
pengelola dan pekerja dapat melakukan tindakan preventif untuk
mencegah terjadinya penyakit kulit akibat kerja yaitu dermatitis kontak.
2. Manfaat Bagi Peneliti
Sebagai bahan referensi yang dapat dijadikan bahan bacaan oleh
peneliti dan peneliti lain mengenai dermatitis kontak serta sebagai sarana
dalam mengaplikasikan teori yang telah dipelajari semasa kuliah
khusunya mengenai penyakit kulit akibat kerja dermatitis kontak.
Penelitian ini juga bermanfaat sebagai data based pelaksanaan program
intervensi dermatitis kontak pada pekerja.
F. Ruang Lingkup
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Spetember 2012.
Lokasi penelitian ini adalah tempat pembuatan meubel kayu yang ada di
wilayah kecamatan Ciputat Timur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada
pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur Tahun 2012.
Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan desain cross sectional. Sampel
penelitian ini adalah 82 pekerja proses finishing meubel kayu diwilayah
Ciputat Timur Tahun 2012. Hal tersebut dilakukan karena berdasarkan hasil
12
studi pendahuluan yang dilakukan pada 15 pekerja proses finishing meubel
kayu, ditemukan adanya kejadian dermatitis kontak pada 9 pekerja (60%).
Data yang digunakan adalah data primer yang didapat dari kuesioner, daily
activity recall, pemeriksaan oleh dokter, dan observasi.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gambaran Umum Industri Meubel Kayu
1. Pengertian Meubel Kayu
Meubel kayu adalah istilah yang digunakan untuk perabot rumah
tangga yang berfungsi sebagai tempat penyimpan barang, tempat duduk,
tempat tidur, tempat mengerjakan sesuatu dalam bentuk meja atau tempat
menaruh barang di permukaannya, misalnya meubel kayu sebagai tempat
penyimpan biasanya dilengkapi dengan pintu, laci dan rak, contoh lemari
pakaian, lemari buku dan lain-lain. Meubel kayu dapat terbuat dari kayu,
bambu, logam, plastik dan lain sebagainya. Meubel kayu sebagai produk
artistik biasanya terbuat dari kayu pilihan dengan warna dan tekstur indah
yang dikerjakan dengan penyelesaian akhir yang halus. Menurut Depkes RI
(2002), industri meubel kayu adalah pekerja sektor informal yang
menggunakan berbagai jenis kayu sebagai bahan baku/utama dalam proses
produksinya serta menerapkan cara kerja yang bersifat tradisional.
2. Proses Produksi Meubel Kayu
Pada dasarnya, pembuatan meubel dari kayu melalui lima proses
utama yaitu proses penggergajian kayu, penyiapan bahan baku, proses
penyiapan komponen, proses perakitan dan pembentukan (bending), dan
proses akhir (Depkes RI, 2002).
14
a. Penggergajian Kayu
Bahan baku kayu tersedia dalam bentuk kayu gelondongan sehingga
masih perlu mengalami penggergajian agar ukurannya menjadi lebih
kecil seperti balok atau papan. Pada umumnya, penggergajian ini
menggunakan gergaji secara mekanis atau manual dan juga menimbulkan
bising.
b. Penyiapan Bahan Baku
Proses ini dilakukan dengan menggunakan gergaji baik dalam bentuk
manual maupun mekanis, kampak, parang, dan lain-lain. Proses ini juga
menghasilkan debu terutama ukuran yang besar karena menggunakan
mata gergaji atau alat yang lainnya yang relatif kasar serta suara bising.
c. Penyiapan Komponen
Kayu yang sudah dipotong menjadi ukuran dasar bagian meubel,
kemudian dibentuk menjadi komponen-komponen meubel sesuai yang
diinginkan dengan cara memotong, meraut, mengamplas, melobang, dan
mengukir, sehingga jika dirakit akan membentuk meubel yang indah dan
menarik.
d. Perakitan dan Pembentukan
Komponen meubel yang sudah jadi, dipasang dan dihubungkan satu sama
lain hingga menjadi meubel. Pemasangan ini dilakukan dengan
menggunakan baut, sekrup, lem, paku ataupun pasak kayu yang kecil dan
lain-lain untuk merekatkan hubungan antara komponen.
15
e. Finishing/Penyelesaian Akhir
Kegiatan yang dilakukan pada penyelesaian akhir ini meliputi: (1)
Pengamplasan / penghalusan permukaan meubel, (2) pendempulan
lubang dan sambungan, (3) pemutihan meubel dengan H2O
2, (4)
pemlituran atau “sanding sealer”, (5) pengecatan dengan “wood stain”
atau bahan pewarna yang lain, dan (6) pengkilapan dengan menggunakan
melamic clear. Pada bagian ini menimbulkan debu kayu dan bahan kimia
serta pewarna yang tersedia di udara, seperti H2O
2, sanding sealer,
melamic clear, dan wood stain yang banyak menguap dan beterbangan di
udara, terutama pada penyemprotan yang menggunakan sprayer.
f. Pengepakan
Proses pengepakan sebenarnya bukan lagi bagian pembuatan meubel
karena sebelum masuk proses ini meubel telah selesai. Tahap ini
merupakan langkah penyiapan meubel untuk dipasarkan dan hanya
ditemukan terutama pada industri meubel sektor formal.
B. Dermatitis Kontak
1. Definisi
Dermatitis kontak adalah reaksi peradangan yang terjadi pada kulit
akibat terpajan dengan substansi dari luar tubuh, baik oleh substansi iritan
maupun substansi allergen (National Occupational Health and Safety
Commision, 2006). Dermatitis merupakan penyakit kulit yang sering
dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, baik di masyarakat umum, terlebih
16
lagi pada masyarakat industri. Dalam era industrialisasi saat ini, terdapat
kecendrungan untuk semakin banyak menggunakan bahan-bahan industri,
yang merupakan substansi allergen dan iritan, sehingga menyebabkan
kenaikan prevalensi dermatitis kontak. Di negara maju, penyakit kulit ini
ditemukan lebih dari 90% dari seluruh kasus penyakit kulit akibat kerja
(Harrianto, 2008).
Menurut Djuanda (1987), Dermatitis kontak ialah dermatitis karena
kontaktan eksternal yang menimbulkan fenomen sensitisasi atau toksik.
Sedangkan menurut John, SC (1998) dalam Occupational Dermatology,
dermatitis kontak akibat kerja didefinisikan sebagai penyakit kulit dimana
pajanan di tempat kerja merupakan faktor penyebab yang utama serta faktor
kontributor. Menurut Permana (2010), tangan merupakan lokasi tersering
terkena dermatitis. Lebih dari sepertiga penyakit kulit akibat kerja berlokasi
ditangan (Wilde dkk, 2008).
2. Jenis Dermatitis Kontak
Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis kontak
iritan dan dermatitis kontak alergik; keduanya dapat bersifat akut maupun
kronis (Djuanda, 2003).
a. Dermatitis kontak akibat iritasi
Deramtitis kontak akibat iritasi merupakan peradangan kulit
akibat kontak dengan bahan yang menyebabkan iritasi. Dermatitis jenis
ini merupakan hasil reaksi non-imunologis. Dermatitis kontak yang
17
disebabkan oleh substansi iritan yang kuat seperti asam dan basa
konsentrasi tinggi dapat menyebabkan derma kontak iritan akut, tetapi
bila disebabkan oleh substansi iritan yang lemah seperti deterjen dan air,
menifestasinya sebagai dermatitis kontak irtasi kronik.
Dermatitis kontak akibat iritasi merupakan jenis yang paling
umum dijumpai di antara penyakit kulit akibat kerja lainnya, meliputi
kira-kira dua pertiga kasus penyakit kulit akibat kerja. Penyakit ini lebih
sering terjadi di industri yang berkaitan dengan pekerjaan yang basah
(berkaitan dengan air) seperti catering, penyepuhan elektrik, dan industri
yang banyak menggunakan bahan deterjen (Harrianto, 2008).
b. Dermatitis kontak alergi
Dermatitis kontak alergi adalah suatu proses peradangan kulit
akibat kontak dengan substansi eksternal, tetapi berbeda dengan
dermatitis kontak akibat iritasi, kelainan kulit ini disebabkan oleh suatu
proses imunologis. Tidak seperti dermatitis kontak akibat iritasi kelainan
kulit ini tidak menyebabkan kerusakan langsung pada lapisan korneum
kulit. Sebelum individu menjadi sensitive pada suatu allergen, ia harus
mengalami beberapa kali kontak dengan substansi allergen tesebut
terlebih dahulu. Dengan demikian reaksi alergi biasannya baru timbul
setelah berulang kali kontak dengan allergen tersebut. Gejala dermatitis
biasanya timbul setelah 36 jam – 48 jam kontak dengan allergen.
18
Manifestasinya mungkin akut, subakut, atau kronik tergantung sensitvitas
individu (Harrianto, 2008).
3. Etiologi
Banyak agen yang dapat menyebabkan dermatitis kontak. Beberapa
contohnya yaitu, sekret serangga, lipas, dan sebagainya serta getah tumbuh-
tumbuhan dapat menimbulkan dermatitis venenata, yang berbentuk linier.
Bahan kimia terdapat dalam banyak bahan. Soda dalam sabun, zat-zat
detergen (misalnya lisol), desinfektan dan zat warna (untuk pakaian, sepatu)
dapat mengakibatkan dermatitis. Dermatitis akibat kerja, misalnya di
perusahaan batik, percetakan, pompa bensin, bengkel, studio poto, salon
kecantikan, pabrik karet, pabrik plastik, dan sebagainya. Pada dermatitis
akibat kerja seringkali nampak pula fisura, skuama, dan paronikia sebagai
akibat iritasi kronik (Djuanda, 1987).
a. Dermatitis Kontak Iritan
Penyebab munculnya dermatitis kontak iritan adalah bahan yang
bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam
alkali, serbuk kayu, bahan abrasif, enzim, minyak, larutan garam
konsentrat, plastik berat molekul rendah atau bahan kimia higroskopik.
Kelainan kulit yang muncul bergantung pada beberapa faktor, meliputi
faktor dari iritan itu sendiri, faktor lingkungan dan faktor individu
penderita (Strait, 2001; Djuanda, 2003).
19
Iritan adalah substansi yang akan menginduksi dermatitis pada
setiap orang jika terpapar pada kulit dalam konsentrasi yang cukup, pada
waktu yang sufisien dengan frekuensi yang sufisien. Pada orang dewasa,
DKI sering terjadi akibat paparan terhadap bahan yang bersifat iritan,
misalnya bahan pelarut, detergen, minyak pelumas, asam, alkali, dan
serbuk kayu. Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran
molekul, daya larut, konsentrasi, vehikulum, serta suhu bahan iritan
tersebut, juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu
lama kontak, kekerapan (terus-menerus atau berselang), adanya oklusi
menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian pula gesekan dan trauma
fisis. Suhu dan kelembaban lingkungan juga berperan (Fregert, 1998).
b. Dermatitis Kontak Alergik
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering
berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang
juga disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi
oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di
kulit (Djuanda, 2003).
Kulit dapat mengalami suatu dermatitis alergik bila terpapar oleh
bahan-bahan tertentu, misalnya alergen, yang diperlukan untuk timbulnya
suatu reaksi alergi. Hapten merupakan alergen yang tidak lengkap
(antigen), contohnya formaldehid, ion nikel dll. Hampir seluruh hapten
memiliki berat molekul rendah, kurang dari 500-1000 Da (dalton).
20
Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen,
derajat pajanan dan luasnya penetrasi di kulit.
Dupuis dan Benezra membagi jenis-jenis hapten berdasarkan
fungsinya yaitu:
1) Asam, misalnya asam maleat.
2) Aldehida, misalnya formaldehida.
3) Amin, misalnya etilendiamin, para-etilendiamin.
4) Diazo, misalnya bismark-coklat, kongo- merah.
5) Ester, misalnya Benzokain
6) Eter, misalnya benzil eter
7) Epoksida, misalnya epoksi resin
8) Halogenasi, misalnya DNCB, pikril klorida.
9) Quinon, misalnya primin, hidroquinon.
10) Logam, misalnya Ni2+, Co2+,Cr2+, Hg2+.
11) Komponen tak-larut, misalnya terpentin
4. Gejala Klinis
Penjelasan mengenai gejala klinis dermatitis kontak iritan dan
dermatitis kontak alergik akan mengacu kepada referensi menurut Djuanda
dan Sularsito (2002).
21
a. Dermatitis Kontak Iritan
1) Dermatitis kontak iritan akut
Penyebabnya iritan kuat, biasanya karena kecelakaan. Kulit
terasa pedih atau panas, eritema, vesikel, atau bula. Luas kelainan
umumnya sebatas daerah yang terkena, berbatas tegas. Pada
umumnya, kelainan kulit muncul segera, tetapi ada sejumlah bahan
kimia yang menimbulkan reaksi akut lambat, misalnya podofilin,
antralin, asam fluorohidrogenat, sehingga dermatitis kontak iritan
akut lambat. Kelainan kulit baru terlihat setelah 12-24 jam atau lebih.
Contohnya adalah dermatitis yang disebabkan oleh bulu serangga
yang terbang pada malam hari (dermatitis venenata); penderita baru
merasa pedih pada esok harinya, pada awalnya terlihat eritema dan
sorenya sudah menjadi vesikel atau bahkan nekrosis.
2) Dermatitis kontak iritan kronis
Nama lain ialah dermatitis iritan kumulatif, disebabkan oleh
kontak iritan lemah yang berulang-ulang (oleh faktor fisik, misalnya
gesekan, trauma, mikro, kelembaban rendah, panas atau dingin; juga
bahan, contohnya detergen, sabun, pelarut, tanah, bahkan juga air).
Dermatitis kontak iritan kronis mungkin terjadi oleh karena kerja
sama berbagai faktor. Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup
kuat menyebabkan dermatitis iritan, tetapi bila bergabung dengan
faktor lain baru mampu. Kelainan baru nyata setelah berhari-hari,
22
berminggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian.
Sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan faktor paling penting.
Dermatitis iritan kumulatif ini merupakan dermatitis kontak
iritan yang paling sering ditemukan. Gejala klasik berupa kulit kering,
eritema, skuama, lambat laun kulit tebal (hiperkeratosis) dan
likenifikasi, batas kelainan tidak tegas. Bila kontak terus berlangsung
akhirnya kulit dapat retak seperti luka iris (fisur), misalnya pada kulit
tumit tukang cuci yang mengalami kontak terus menerus dengan
deterjen. Ada kalanya kelainan hanya berupa kulit kering atau skuama
tanpa eritema, sehingga diabaikan oleh penderita. Setelah kelainan
dirasakan mengganggu, baru mendapat perhatian. Banyak pekerjaan
yang berisiko tinggi yang memungkinkan terjadinya dermatitis kontak
iritan kumulatif, misalnya: mencuci, memasak, membersihkan lantai,
kerja bangunan, kerja di bengkel, dan berkebun.
b. Dermatitis Kontak Alergik
Penderita pada umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit
bergantung pada keparahan dermatitis. Pada yang akut dimulai dengan
bercak eritema berbatas jelas, kemudian diikuti edema, papulovesikel,
vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan
eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama,
papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas. Kelainan
23
ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis; mungkin
penyebabnya juga campuran (Djuanda, 2003).
Sifat alergen dapat menentukan gambaran klinisnya. Bahan kimia
karet tertentu (phenyl-isopropyl-p-phenylenediamine) bisa menyebabkan
dermatitis purpura, dan derivatnya dapat megakibatkan dermatitis
granulomatosa. Dermatitis pigmentosa dapat disebabkan oleh parfum dan
kosmetik (Fregert, 1998).
Gejala klinis dermatitis kontak alergik yang dijelaskan pada tiap
fase (Sularsito & Subaryo, 1994 dalam Trihapsoro, 2003) :
1) Fase akut.
Kelainan kulit umumnya muncul 24-48 jam pada tempat terjadinya
kontak dengan bahan penyebab. Derajat kelainan kulit yang timbul
bervariasi ada yang ringan ada pula yang berat. Pada yang ringan
mungkin hanya berupa eritema dan edema, sedang pada yang berat
selain eritema dan edema yang lebih hebat disertai pula vesikel atau
bula yang bila pecah akan terjadi erosi dan eksudasi. Lesi cenderung
menyebar dan batasnya kurang jelas. Keluhan subyektif berupa gatal.
2) Fase Sub Akut
Jika tidak diberi pengobatan dan kontak dengan alergen sudah tidak
ada maka proses akut akan menjadi subakut atau kronis. Pada fase ini
akan terlihat eritema, edema ringan, vesikula, krusta dan
pembentukan papul-papul.
24
3) Fase Kronis
Dermatitis jenis ini dapat primer atau merupakan kelanjutan dari fase
akut yang hilang timbul karena kontak yang berulang-ulang. Lesi
cenderung simetris, batasnya kabur, kelainan kulit berupa likenifikasi,
papula, skuama, terlihat pula bekas garukan berupa erosi atau
ekskoriasi, krusta serta eritema ringan. Walaupun bahan yang
dicurigai telah dapat dihindari, bentuk kronis ini sulit sembuh spontan
oleh karena umumnya terjadi kontak dengan bahan lain yang tidak
dikenal.
5. Patofisiologi
a. Anatomi Kulit
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan
membatasinya dari lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa
1.5 m2 dengan berat kira-kira 15% berat badan. Kulit merupakan organ
yang esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan.
Kulit juga sangat kompleks, elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaan
iklim, umur, seks, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh
(Wasitaatmadja, 1987).
25
Gambar 2.1 Anatomi Kulit Sumber : http://www.pustakasekolah.com/struktur-dan-anatomi-kulit.html
Kulit merupakan indera peraba. Kulit adalah alat indera kita yang
mampu menerima rangsangan temperatur suhu, sentuhan, rasa sakit,
tekanan, tekstur, dan lain sebagainya. Pada kulit terdapat reseptor yang
merupakan percabangan dendrit dari neuron sensorik yang banyak
terdapat di sekitar ujung jari, ujung lidah, dahi, dll (Yusri, 2011). Kulit
secara garis besar tersusun atas 3 lapisan utama yaitu lapisan epidermis
atau kutikel, lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin), dan lapisan
subkutis (hipodermis) dengan penjelasan sebagai berikut (Wasitaatmadja,
1987). :
1) Lapisan Epidermis
Lapisan epidermis terdiri atas : stratum korneum, stratum lusidum,
stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale.
26
a) Stratum Korneum
Lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas beberapa lapis sel-
sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah
berupa menjadi keratin (zat tanduk).
b) Stratum Lusidum
Terdapat langsung dibawah lapisan stratum korneum, merupakan
lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang
berubah menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan tersebut
tampak lebih jelas di telapak tangan dan kaki.
c) Stratum Granulosum
Merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel gepeng dengan sitoplasma
berbutir kasar dan terdapat inti diantaranya. Butir-butir kasar ini
terdiri atas keratohialin. Mukosa biasanya tidak mempunyai
lapisan ini. Stratum granulosum juga tampak jelas di telapak
tangan dan kaki.
d) Stratum Spinosum
Disebut pula pricle cell layer terdiri atas beberapa lapis sel yang
berbentuk polygonal yang besarnya berbeda-beda karena adanya
proses mitosis. Protoplasmanya jernih karena mengandung
banyak glikogen, dan inti terletak di tengah-tengah. Sel-sel ini
makin dekat ke permukaan makin gepeng bentuknya. Diantara
sel-sel stratum spinosum terdapat jembatan-jembatan antar sel
27
yang terdiri atas protoplasma dan tonofibril atau keratin.
Perlekatan antar jembatan ini membentuk penebalan bulat kecil
yang disebut nodulus bizzozero. Diantara sel-sel spinosum
terdapat pula sel langerhans. Sel-sel stratum spinosum
mengandung banyak glikogen.
e) Stratum Basale
Stratum basale terdiri atas sel-sel berbentuk kubus (kolumnar)
yang tersusun vertikel pada perbatasan dermo-epidermal berbaris
seperti pagar (palisade). Lapisan ini merupakan lapisan epidermis
yang paling bawah. Sel-sel basal ini mengadakan mitosis dan
berfungsi reproduktif. Lapisan ini terdiri atas dua jenis sel yaitu :
(1) Sel-sel yang berbentuk kolumnar dengan protoplasma
basofilik inti lonjong dan besar, dihubungkan satu dengan
yang lain oleh jembatan antar sel.
(2) Sel pembentuk melanin atau clear cell merupakan sel-sel
berwarna muda, dengan sitoplasma basofilik dan inti gelap,
dan mengandung butir pigmen (melanosomes).
2) Lapisan Dermis
Lapisan dermis adalah lapisan di bawah epidermis yang jauh
lebih tebal daripada epidermis yang jauh lebih tebak daripada
epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastik dan fibrosa padat
28
dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut. Secara garis besar
dibagi menjadi dua bagian yakni :
a) Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi
ujung serabut saraf dan pembuluh darah.
b) Pars retikulare, yaitu bagian di bawahnya yang menonjol kea rah
subkutan, bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang
misalnya serabut kolagen, elastin, dan retikulin. Dasar lapisan ini
terdiri atas cairan kental asam hialuronat dan kondroitin sulfat, di
bagian ini terdapat pula fibroblast, membentuk ikatan yang
mengandung hidroksiprolin dan hidroksilisin. Kolagen muda
bersifat lentur dengan bertambah umur menjadi kurang larut
sehingga makin stabil. Retikulin mirip kolagen muda. Serabut
elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf dan mudah
mengembang serta lebih elastis.
3) Lapisan Subkutis
Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis, terdiri atas
jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel-sel lemak
merupakan sel bulat, besar, denga inti terdesak ke pinggir sitoplasma
lemak yang bertambah. Sel-sel ini membentuk kelompok yang
dipisahkan satu denga yang lain oleh trabekula yang fibrosa. Lapisan
sel-sel lemak disebut panikulus adipose, berfungsi sebagai cadangan
makanan. Dilapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh
29
darah, dan getah bening. Tebal tipisnya jaringan lemak tidak sama
tergantung pada lokasinya. Di abdomen dapat mencapai ketebalan 3
cm, di daerah kelopak mata dan penis sangat sedikit. Lapisan lemak
ini juga merupakan bantalan.
b. Mekanisme terjadinya dermatitis kontak
1) Dermatitis Kontak Iritan
Dermatitis kontak iritan timbul setelah pemaparan tunggal
atau pemaparan berulang pada agen yang sama. Beberapa mekanisme
dapat menjadi penyebab terjadinya dermatitis kontak iritan. Pertama,
bahan kimia mungkin merusak sel dermal secara langsung dengan
absorpsi langsung melewati membrane sel kemudian merusak sistem
sel.
Mekanisme kedua, setelah adanya sel yang mengalami
kerusakan maka akan merangsang pelepasan mediator inflamasi ke
daerah tersebut oleh sel T maupun sel mast secara non-spesifik.
Misalnya, setelah kulit terpapar asam sulfat maka asam sulfat akan
menembus ke dalam sel kulit kemudian mengakibatkan kerusakan sel
sehingga memacu pelepasan asam arakidonat dari fosfolipid dengan
bantuan fosfolipase. Asam arakidonat kemudian dirubah oleh
siklooksigenase (menghasilkan prostaglandin, tromboksan) dan
lipoosigenase (menghasilkan leukotrien). Prostaglandin dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah (sehingga terlihat kemerahan)
30
dan mempengaruhi saraf (sehingga terasa sakit); leukotrien
meningkatkan permeabilitas vaskuler di daerah tersebut (sehingga
meningkatkan jumlah air dan terlihat bengkak) serta berefek
kemotaktik kuat terhadap eosinofil, netrofil, dan makrofag. Mediator
pada inflamasi akut adalah histamine, serotonin, prostaglandin,
leukotrien, sedangkan pada inflamasi kronis adalah IL1, IL2, IL3,
TNFα2. Reaksi ini bukanlah akibat imun spesifik dan tidak
membutuhkan pemaparan sebelumnya agar iritan menampakan
reaksi.
Beberapa faktor mungkin mempengaruhi tingkatan respon
kulit. Adanya penyakit kulit sebelumnya dapat menghasilkan
dermatitis yang parah akibat membiarkan iritan dengan mudah
memasuki dermis. Jumlah dan konsentrasi paparan bahan kimia juga
penting. Iritan kimia kuat, asam dan basa tampaknya menghasilkan
keparahan yang reaksi inflamasi yang sedang dan parah. Iritan yang
lebih ringan, seperti detergen, sabun, pelarut mungkin membutuhkan
pemaparan yang banyak untuk mengakibatkan dermatitis. Selain itu,
faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban atau perekaan basah
dapat berpengaruh (Crowe, M.A & James W.D, 2001, dalam
Sumantri, dkk, 2008).
31
2) Dermatitis Kontak Alergik
Dermatitis Kontak Alergi merupakan reaksi inflamasi pada
dermal akibat paparan allergen yang mampu mengaktifasi sel T, yang
kemudian migrasi menuju tempat pemaparan. Tempat pemaparan
biasanya daerah tubuh yang kurang terlindungi, namun allergen
uroshiol yang terbawa dalam partikulat asap rokok mampu
mempengaruhi tempat-tempat yang secara umum terlindungi. Selain
itu, urosiol dapat aktif lama hingga 100 tahun, Penampakan dermatitis
kontak alergik biasanya tidak langsung terlihat pada daerah tersebut
sesaat setelah pemaparan karena allergen melibatkan reaksi
imunologis yang membutuhkan beberapa tahap dan waktu.
Berikut adalah mekanisme reaksi imunologis tersebut,
pertama pemaparan awal alergen tersebut akan mensensitisasi sistem
imun. Tahap ini dikenal dengan tahap induksi. Menurut beberapa
dokter, secara umum gejala belum tampak pada tahap tersebut.
Walaupun demikian, gejala dermatitis tetap dapat langsung terjadi
setelah pemaparan (tergantung faktor individu, allergen, dan
lingkungan). Pada tahap ini, urushiol secara cepat (10 menit) masuk
melewati kulit dan berikatan dengan protein permukaan sel
langerhans di epidermis dan sel makrofag di dermis. Sell langerhans
kemudian memberi sinyal kepada sel limfosit mengenai informasi
32
antigen kemudian sel limfosit berproloferasi menghasilkan sel T
limfosit tersensitisasi.
Setelah sistem imun tersensitisasi, maka dengan pemaparan
selanjutnya akan menginduksi hipersensitifitas tertunda tipe IV, yang
merupakan reaksi yang dimediasi oleh sel dan membutuhkan waktu
24-48 jam atau lebih. Dermatitis yang tertangani dan tidak tertangani,
secara alami akan sembuh dalam 10-21 hari, karena adanya sistem
imun (Crowe M.A & James W.D, 2001, dalam Sumantri, dkk, 2008).
6. Diagnosis
Terdapat tiga metode diagnosis yang dilakukan dalam
mengidentifikasi dermatitis kontak. Metode-metode tersebut yaitu dengan
melakukan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan juga pemeriksaan penunjang
(Utomo, 2007).
a. Anamnesis
Agar tidak terjadi kesalahan dalam melakukan anamnesis dermatitis
kontak akibat kerja perlu diperhatikan kategori-kategori sebagai berikut :
1) Penyakit ini muncul pada saat masa kerja yang terpajan oleh bahan
iritan atau setelah masa kerja dalam waktu yang tidak terlalu jauh.
2) Penyakit ini muncul pertama kali di daerah yang paling banyak
terpajan. Biasanya memberikan karakteristik tertentu.
3) Penyakit ini tidak akan muncul; kecuali jika terpajan dengan pajanan
yang sama dengan hasil penyakit yang sama.
33
4) Penyakit ini akan berubah atau hilang ketika sudah tidak terpajan lagi.
5) Penyakit ini akan segera muncul kembali jika pajanan dimulai lagi.
6) Morfologi dari penyakit ini akan konsisten sesuai dengan pajanannya.
7) Rekan kerja yang terkena pajanan juga akan mengalami penyakit
yang sama.
(The Chief Adviser Factories, 1965 dalam Utomo, 2007)
b. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis dilakukan untuk melihat tanda-tanda yang
muncul akibat dermatitis kontak pada kulit. Pada umumnya dermatitis
kontak terjadi di daerah yang terpajan, tetapi tidak menutup kemungkinan
lesi meluas ke area lain yang tidak terpajan secara langsung. Sebagian
dermatitis muncul di daerah tangan dan lengan yaitu sebesar 90% di
tangan. Karena tangan paling sering digunakan dalam pekerjaan. Pada
awalnya dermatitis menyerang pada bagian epidermis yang tipis yaitu
pada dorsum manus dan sela jari. Untuk bahan iritan yang bersifat
airborne (fume, vapour) dapat menyerang dan menimbulkan kelainan di
wajah, dahi, telinga, dan leher (Cohen, 1999).
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang biasanya dilakukan untuk mencari tahu
penyebab terjadinya dermatitis kontak alergik dan juga dapat digunakan
untuk membedakan dermatitis kontak alergik dan dermatitis kontak iritan.
34
Salah satu jenis pemeriksaan penunjang adalah dengan patch test
(Firdaus, 2002).
Ketika suatu dermatitis kontak diindikasikan sebagai dermatitis
kontak alergik biasanya digunakan patch test untuk mengetahui apakah
penyakit itu adalah dermatitis kontak akibat kerja atau bukan. Uji
berdasarkan teori yang menyatakan bahwa akan muncul eczematous
dermatitis akut atau kronik jika diberikan agen sensitizing. Caranya
dengan menempelkan (biasanya di punggung ataupun di lengan atas)
material yang dianggap memberikan efek pada areal yang tidak terinfeksi
selama 48 jam akan menyebabkan reaksi inflamasi. Jika hasil uji positif
maka pekerja tersebut memilki alergi terhadap material yang diujikan
(Cohen, 1999).
Patch test atau uji tempel, tempat untuk melakukan uji tempel
biasanya di punggung. Untuk melakukan uji tempel diperlukan antigen,
biasanya antigen standar buatan pabrik misalnya Finn Chamber System
Kit dan T.R.U.E Test. Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel
di kulit, misalnya kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel,
dapat langsung digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan yang
secara rutin dipakai dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo,
pasta gigi, maka harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut
dalam air diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak mineral.
Produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya deterjen, hanya boleh
35
diuji bila diduga karena penyebab alergi. Apabila pakaian, sepatu, sendal,
atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi, maka uji tempel
dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut yang direndam dalam air
garam yang tidak dibubuhi bahan pengawet/air. Lalu ditempelkan di kulit
dengan memakai Finn chamber, dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam.
Perlu diingat bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar perlu
kontrol (5-10 orang), untuk menyingkirkan kemungkinan iritasi.
Hal yang harus diperhatikan dalam uji tempel adalah :
1) Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam keadaan
akut atau berat maka dapat terjadi reaksi "angry back" atau "excited
skin", reaksi positif palsu, dapat juga menyebabkan penyakit yang
sedang dideritanya makin memburuk.
2) Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian
kortikosteroid sistemik dihentikan, sebab dapat menghasilkan reaksi
negatif palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak mempengaruhi
hasil tes kecuali karena diduga urtikaria kontak.
3) Uji tempel dibuka setelah 2 hari, kemuadian dibaca; pembacaan
kedua dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah aplikasi.
4) Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel
menjadi longgar, karena memberikan hasil negatif palsu. Penderita
juga dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga
36
agar punggung selalu kering, setelah dibuka uji tempelnya sampai
pembacaan terakhir selesai.
5) Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap penderita
yang mempunyai riwayat urtikaria dadakan, karena dapat
menimbulkan urtikaria generalisata bahkan reaksi anafilaksis.
6) Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas.
Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek
tekanan bahan yang diuji telah menghilang atau minimal (Bantas,
2009. Materi Presentasi Mata Ajar Anatomi Fisiologi).
7. Epidemiologi Dermatitis Kontak
Di Amerika Serikat, 90% klaim kesehatan akibat kelainan kulit pada
pekerja diakibatkan oleh dermatitis kontak. Konsultasi dengan dokter kulit
akibat dermatitis adalah sebesar 4-7%. Di Skandinavia yang telah lama
memakai uji tempel sebagai standar, terlihat insiden dermatitis kontak lebih
tinggi dari pada Amerika. Biro Statistik Amerika Serikat (1988) menyatakan
bahwa penyakit kulit menduduki sekitar 24% dari seluruh penyakit akibat
kerja yang dilaporkan (Lestari dkk, 2007). Sedangkan di Jerman, angka
insiden dermatitis kontak iritan adalah 4,5 setiap 10.000 pekerja, dimana
insiden tertinggi ditemukan pada penata rambut (46,9 kasus per 10.000
pekerja setiap tahunnya), tukang roti dan tukang masak (Hogan, 2009).
Di Indonesia laporan dari Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin FK
Unsrat Manado dari tahun 1988-1991 menujukkan insiden dermatitis kontak
37
sebesar 4.45%. Di RSUD Dr. Abdul Aziz Singkawang Kalimantan Barat
pada tahun 1991-1992 dijumpai insiden dermatitis kontak sebanyak 17.76%.
Sedangkan di RS. Dr. Pirngadi Medan insiden dermatitis kontak pada tahun
1992 sebanyak 37.54% tahun 1993 sebanyak 34.74% dan tahun 1994
sebanyak 40.05%. Dari data kunjungan pasien baru di RS. Dr. Pringadi
Medan, selama tahun 2000 terdapat 3897 pasien baru di poliklinik alergi
dengan 1193 pasien (30.61%) dengan diagnosis dermatitis kontak (Nasution
dkk, 1994 dalam Sumantri dkk, 2008).
Dari bulan Januari hingga Juni 2001 terdapat 2122 pasien alergi
dengan 645 pasien (30.40%) menderita dermatitis kontak. Walaupun
demikian, kasus dermatitis kontak sebenarnya diperkirakan 10-50 kali lipat
dari data statistik yang terlihat karena adanya kasus yang tidak dilaporkan.
Selain itu perkiraan yang lebih besar tersebut juga diakibatkan oleh semakin
meningkatnya perkembangan industri (Keefner, 2004 dalam Sumantri dkk,
2008)
Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita
dermatitis alergik lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang kulitnya
sangat peka (hipersensitif). Dermatitis kontak iritan timbul pada 80% dari
seluruh penderita dermatitis kontak sedangkan dermatitis konta alergik hanya
berkisar 10-20% (Keefner, 2004, dalam Sumantri dkk, 2008). Di Jerman,
angka insiden DKI adalah 4,5 setiap 10.000 pekerja, dimana insiden tertinggi
38
ditemukan pada penata rambut (46,9 kasus per 10.000 pekerja setiap
tahunnya), tukang roti dan tukang masak (Hogan, 2009).
Berdasarkan jenis kelamin, dermatitis kontak iritan secara signifikan
lebih banyak pada perempuan dibanding laki-laki. Tingginya frekuensi
ekzem tangan pada wanita dibanding pria karena faktor lingkungan, bukan
genetik (Hogan, 2009). Angka kejadian dermatitis kontak alergik yang terjadi
akibat kontak dengan bahan-bahan di tempat pekerjaan mencapai 25% dari
seluruh dermatitis kontak akibat kerja (DKAK) (Trihapsoro, 2003). Angka
kejadian ini sebenarnya 20-50 kali lebih tinggi dari angka kejadian yang
dilaporkan (National Institute of Occupational Safety and Health, 2006).
Data dari balai hiperkes yang sejak tahun 2005 menjadi pusat
keselamatan kerja dan hiperkes, menunjukkan hampir 90% penyakit kulit
akibat kerja adalah dermatitis kontak akibat kerja (Utomo, 2007). Pada sub
bagian alergi imunologi bagian ilmu penyakit kulit dan kelamin RSUPN
Cipto Mangunkusumo Jakarta, insidens dermatitis kontak akibat kerja pada
tahun 1996 adalah 50 kasus/tahun atau 11.9% dari seluruh dermatitis kontak
(Effendi, 1997). Utama Wijaya (1972) menemukan 23,75% dari pekerja
pengelolaan minyak di Sumatera Selatan menderita dermatitis akibat kerja,
sementara Raharjo (1982) hanya menemukan 1,82% (Siregar, 1996). Lestari
dkk (2007) menemukan melalui penelitiannya bahwa 48.8% (39 orang)
pekerja body pressing dan chasis mobil mengalami kejadian dermatitis
kontak. Kemudian berdasarkan penelitian Nuraga dkk (2008), sebanyak 74%
39
(40 orang) pekerja industri otomotif yang menggunakan bahan kimia
mengalami dermatitis.
Penelitian yang dilakukan pada pekerja penebang kayu di Palembang,
30% pekerja mengalami dermatitis kontak dan 11,8% pekerja perusahaan
kayu lapis di Palembang menderita dermatitis kontak (Siregar, 1996).
Laporan dari poliklinik perusahaan pembuatan triplek (plywood) di
Kalimantan, menemukan 10% pekerjanya mengalami penyakit kulit akibat
kerja. Sedangkan hasil penelitian Astono & Sudardja (2002) yang dilakukan
pada pekerja industri plywood di Kalimantan Selatan, menemukan bahwa
35% (696 orang) dari 2000 sampel mengalami penyakit kulit, dan 21,3%(148
orang) diantaranya mengalami dermatitis kontak.
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak
1. Bahan Kimia
Saat ini sudah lebih dari 400 juta ton bahan kimia yang diproduksi
tiap tahunnya dan lebih dari 1000 bahan kimia baru diproduksi setiap
tahunnya. Penggunaan bahan kimia ini selain membawa dampak yang positif
bagi kemajuan dunia industri juga memiliki dampak negatif terutama bagi
kesehatan pekerja, salah satunya adalah dermatitis (Lestari dkk, 2007).
Menurut Hipp (1985) dalam Utomo (2007), bahan kimia merupakan faktor
langsung penyebab dermatitis kontak. Paparan bahan kimia ditentukan oleh
banyak faktor termasuk lama kontak, frekuensi kontak, konsentrasi bahan, dll
(Agius R, 2006).
40
Tabel 2.1 Iritan dan Allergen Pekerja yang Umum
Iritan Pekerja
(n=310)
Prosentase
(%)
Allergen Pekerja
(n=215)
Prosentase
(%)
Cairan Pendingin/minyak
yang larut 20 Kromat 49,3
Semen 17,4 Bahan kimia karet 16,3
Pelarut 17,1 Nikel 12,6
Minyak/Lemak 16,2 Kobalt 13
Sabun/Detergen/Air 11,9 Damar 6
Cairan Patri 7,8 Makanan 2,3
Damar 4,8 Cairan Patri 1,4
Lain-lain 4,8 - - Sumber : Goh CL, 1987
Bahaya bahan kimia adalah korosif dan racun. Bahan kimia dapat
menyebabkan jaringan kulit iritas sampai cedera atau korosi pada permukaan
logam, namun sering terjadi adalah cedera korosi yang merusak jaringan
lunak baik kulit maupun mata. Iritasi kulit merupakan derajat cedera korosif
dengan derajat ringan. Menurut Cohen & Rice (2004) dalam Ruhdiat (2006),
bahan kimia selalu dan merupakan penyebab terbesar terjadinya dermatitis
kontak akibat kerja.
Pada proses finishing meubel kayu, bahan kimia yang umum
digunakan adalah sebagai berikut (Joyce, 1987):
a. Wood Filler
Wood Filler adalah bahan yang digunakan untuk meratakan pori kayu,
celah, dan bolong pada permukaan kayu (dempul). Umumnya wood filler
mengandung resin yang kemudian diaplikasikan dengan campuran
thinner. Pengamplasan dilakukan untuk mengangkat wood filler pada
meubel.
41
b. Wood Stain
Fungsi utama Wood Stain adalah mewarnai kayu sesuai dengan warna
natural kayunya. Kandungan dalam wood stain adalah solven dan zat
pewarna. Alkohol dan acetone base juga terkandung didalamnya sebagai
bahan yang tahan terhadap sinar uv.
c. Cat Dasar
Cat dasar atau sering disebut Sanding Sealer merupakan satu tahapan
aplikasi untuk melindung lapisan pewarnaan kayu oleh stain. Formulanya
adalah acrilic Solvent Base yang biasanya diaplikasikan dengan campuran
thinner.
Selain itu, pada proses pemutihan meubel lama yang akan dilakukan
finishing ulang, bahan yang digunakan umumnya adalah hidrogen peroksida
ataupun soda api. Kedua bahan tersebut jika terkena kulit dapat menimbulkan
iritasi begitu pula dengan pelarut yang ada dikandungan cat-cat yang
digunakan. Kemudian pada proses pengkilapan digunakan sanding melamic
clear yang mengandung resin.
Pelarut organik misalnya thinner yang sering digunakan sebagai
bahan campuran dalam finishing meubel kayu terdiri atas campuran alkohol,
keton, dan terkadang toluene dan dipentene (bahan pemeka). Pelarut aromatic
khususnya dapat mengiritasi kulit. Pelarut yang belum hilang seluruhnya
misalnya pada pakaian kerja yang dibersihkan dengan sedikit air dapat
mengiritasi kulit pada tungkai, pergelangan tangan dan leher. Semua pelarut
42
dapat menyebabkan dermatitis yang merusak pelindung alamiah kulit. Pelarut
menutupi permukaan lemak, lemak pada stratum korneum dan fraksi lemak
pada membran sel. Pelarut juga dapat menyebabkan kerusakan stratum
korneum (RH. Adam, 1993 dalam Cholis, 1995).
Serbuk kayu yang dihasilkan oleh kayu juga merupakan pencetus
timbulnya dermatitis kontak, karena serbuk kayu merupakan salah satu bahan
iritan yang dapat menyebabkan kejadian dermatitis kontak (Strait, 2001;
Djuanda, 2003). Adanya kandungan substansi kimia dari getah tumbuh-
tumbuhan yang ada dalam serbuk kayu dapat menyebabkan dermatitis
kontak (Djuanda, 1987).
Kontak dengan bahan kimia, selain menyebabkan iritasi juga dapat
menyebabkan reaksi alergi pada kulit yang merugikan dengan sensitisasi
sistem kekebalan tubuh yang dihasilkan dari kontak bahan kimia atau
struktur bahan kimia yang serupa sebelumnya. Contoh bahan yang
menyebabkan reaksi alergi yaitu formaldehid, kromium, nikel, dan fenoliat.
2. Lama Kontak
Lama kontak adalah kurun waktu kontak pekerja dengan bahan kimia
yang ditangani. Semakin lama kontak dengan bahan kimia akan
menyebabkan rusaknya sel kulit lapisan luar, semakin sering berkontak maka
semakin rusaknya sel kulit lapisan yang lebih dalam (Cohenn, 1999).
Semakin lama kontak dengan bahan kimia, maka peradangan atau iritasi kulit
dapat terjadi sehingga menimbulkan kelainan kulit (Nuraga, 2008) karena
43
semakin lama bahan kimia kontak dengan kulit maka akan semakin luas dan
dalam penetrasi bahan kimia terhadap lapisan kulit, yang akan mencetuskan
reaksi peradangan/iritasi kulit yang lebih luas dan berat (Agius R, 2004;
Cohen dan Rice R.H, 2004).
Berdasaran penelitian Nuraga dkk (2008), proporsi pekerja yang
mengalami dermatitis kontak dengan lama kontak 8 jam adalah 73.1%,
sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan lama
kontak <8 jam adalah sebesar 22.2%. Hal tersebut menunjukkan bahwa
semakin lama kontak maka semakin besar pula resiko kejadian dermatitis
yang dialami pekerja.
3. Frekuensi Kontak
Frekuensi kontak adalah jumlah berapa kalinya kontak dengan bahan
kimia. Frekuensi kontak yang berulang untuk bahan yang mempunyai sifat
sensitisasi akan menyebabkan terjadinya dermatitis kontak jenis alergi, yang
mana bahan kimia dengan jumlah sedikit akan menyebabkan dermatitis yang
berlebih baik luasnya maupun beratnya tidak proporsional. Oleh karena itu
upaya menurunkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja adalah dengan
menurunkan frekuensi kontak dengan bahan kimia (Cohen, 1999 dalam
Nuraga dkk, 2008).
Berdasarkan penelitian Ruhdiat (2006), proporsi pekerja yang
mengalami dermatitis kontak dengan frekuensi kontak ≥5 kali/hari sebesar
96.3%, sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak
44
dengan frekuensi kontak <5 kali/hari adalah sebesar 79.4% dengan nilai
pvalue 0.004. Dan hasil penelitian Nuraga, dkk (2008) menemukan bahwa
Kejadian dermatitis kontak dengan frekuensi kontak 15x terjadi pada
dermatitis kontak akut sebanyak 14 responden (100%), sub akut 17
responden (81%) dan kronis 4 responden (80%) dengan nilai p= 0.000. Hal
ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara kejadian dermatitis kontak
dengan frekuensi kontak.
4. Usia
Usia merupakan salah satu faktor yang dapat memperparah terjadinya
dermatitis kontak. Pekerja dengan usia tua memiliki tingkat risiko yang lebih
tinggi terkena dermatitis kontak dibanding pekerja yang lebih muda. Hal ini
terkait dengan kondisi kulit mereka (Cohen, 1999). Pada pekerja yang lebih
tua terjadi peningkatan kerentanan terhadap bahan iritan dan kegagalan
dalam pengobatan, sehingga timbul dermatitis kontak (Cronin, 1980). Pada
pekerja dengan usia yang lebih tua, ketebalan kulit pun semakin berkurang,
sehingga lapisan kulit menipis dan menyebabkan mudahnya bahan kimia
masuk ke dalam lapisan kulit yang lebih dalam lagi.
5. Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan
perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Dalam hal penyakit kulit
perempuan dikatakan lebih beresiko mendapat penyakit kulit dibandingkan
dengan pria (Djuanda & Sularsito, 2002). Berdasarkan Aesthetic Surgery
45
Journal dalam Suryani (2011), terdapat perbedaan antara kulit pria dan
wanita, perbedaan tersebut dilihat dari jumla folikel rambut, kelenjar
sebaceous atau kelenjar keringat dan hormone. Kulit pria mempunyai
hormon yang dominan yaitu androgen yang dapat menyebabkan kulit pria
lebih banyak berkeringat dan ditumbuhi banyak bulu, sedangkan kulit wanita
lebih tipis daripada kulit pria sehingga lebih rentan terkena penyakit kulit.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Trihapsoro (2003), pada
pasien rawat jalan RSUP H. Adam Malik Medan, ditemukan bahwa proporsi
pasien perempuan yang menderita dermatitis kontak sebesar 72.5%
sedangkan pria hanya sebesar 27.5%. Hal tersebut menujukkan bahwa
perempuan lebih beresiko tekena dermatitis kontak disbanding laki-laki.
6. Jenis Pekerjaan
Dalam mempengaruhi kejadian dermatitis kontak, jenis pekerjaan
terkait dengan bahan kimia yang digunakan pada suatu jenis pekerjaan
tersebut. Karena pada dasarnya bahan yang digunakan pada suatu jenis
pekerjaan berbeda dengan jenis pekerjaan lainnya. Dermatitis kontak akan
muncul pada permukaan kulit jika zat kimia tersebut memiliki jumlah,
konsentrasi dan durasi (lama pajanan) yang cukup. Dengan kata lain semakin
lama besar jumlah, konsentrasi dan lama pajanan, maka semakin besar
kemungkinan pekerja tersebut terkena dermatitis kontak (Cohen 1999 dalam
Lestari 2007).
46
Berdasarkan penelitian Lestari (2007) menunjukkan bahwa pada dua
jenis proses kerja yaitu proses realisasi dan proses pendukung memiliki
hubungan yang signifikan dengan kejadian dermatitis kontak. Pada proses
realisasi terlihat bahwa pekerja yang terkena dermatitis kontak sebesar
60.4%, sedangkan pekerja proses pendukung, pekerjanya lebih banyak tidak
terkena dermatitis yaitu sebanyak 22 orang (68,8%) dari total pekerja 32
orang.
7. Masa Kerja
Masa kerja adalah kurun waktu atau lamanya pekerja bekerja disuatu
tempat tertentu. Masa kerja juga dapat mempengaruhi terhadap terjadinya
penyakit dermatitis. Hal ini berhubungan dengan lama kontak dan frekuensi
kontak pekerja dengan bahan kimia, sehingga pekerja yang lebih lama
bekerja lebih risiko terkena dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja
yang masih baru. Menurut Djuanda dan Sularsito (2007), semakin sering
pekerja menglami kontak dengan bahan kimia, maka semakin tinggi
kesempatan untuk mengalami dermatitis kontak serta meningkatkan
keparahan penyakitnya. Sehingga dapat dipastikan bahwa pekerja dengan
masa kerja yang lebih lama cenderung lebih sering kontak dengan bahan
kimia.
8. Ras
Ras berhubungan dengan dermatitis terlihat dari warna kulit. Setiap
individu memiliki warna kulit yang berbeda-beda tergantung ras nya masing-
47
masing. Kulit putih lebih rentan terhadap dermatitis dibandingkan dengan
orang kulit hitam. Orang kulit hitam lebih tahan terhadap lingkungan industri
karena kulinya kaya akan melanin. Mereka jarang terkena tumor kulit akibat
radiasi ultra violet, kurang peka terhadap debu kimia, dan bahan pelarut
alkali (Gilles L, 1990 dalam Florence, 2008).
9. Tekstur Kulit
Kulit merupakan indera peraba. Kulit adalah alat indera kita yang
mampu menerima rangsangan temperatur suhu, sentuhan, rasa sakit, tekanan,
tekstur, dan lain sebagainya. Pada kulit terdapat reseptor yang merupakan
percabangan dendrit dari neuron sensorik yang banyak terdapat di sekitar
ujung jari, ujung lidah, dahi, dll (Bantas, 2009. Materi Presentasi Mata Ajar
Anatomi Fisiologi). Kulit merupakan bagian terluar yang melapisi manusia
dimana berfungsi untuk melindungi organ-organ internal. Kulitlah yang
pertama kali terkena eksposur dari luar seperti sinar matahari, udara, minyak,
sabun, cat, dan sejenisnya. Oleh karena itu kulit sangat riskan mengalami
inflamasi dan kerusakan akibat pengaruh zat yang mengenainya (Permana,
2010).
Perbedaan ketebalan kulit menyebabkan perbedaan permeabilitas
(Djuanda & Sularsito, 2002), sehingga kulit dengan lapisan yang lebih tebal
lebih sulit dimasuki oleh bahan kimia hal tersebut dipengaruhi oleh ukuran
dan jumlah pori. Lapisan kulit yang tebal lebih memproteksi dibandingkan
dengan lapisan kulit yang tipis.
48
10. Pengeluaran Keringat
Keringat adalah air yang dikeluarkan oleh kelenjar keringat pada kulit
manusia. Kandungan utama dalam keringat adalah natrium klorida (bahan
utama garam dapur) selain bahan lain (yang mengeluarkan aroma) seperti 2-
metilfenol (o-kresol) dan 4-metilfenol (p-kresol). Pada manusia, keringat
dikeluarkan untuk mengatur suhu tubuh (detikhealth.com, 2012).
Keringat melindungi kulit dengan cara mengencerkan dan
menghanyutkan bahan-bahan iritan. Keringat dapat pula mengubah bahan-
bahan yang larut dalam air menjad bentuk lain dan mempermudah absorpsi
melalui pori-pori kulit (Gilles L, 1990 dalam Florence, 2008). Kulit yang
tidak tidak berketingat cenderung memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi
terhadap dermatitis kontak karena kulit yang tidak berkeringat cenderung
kering. Kekeringan pada kulit memudahkan bahan kimia untuk menginfeksi
kulit, sehingga kulit lebih mudah kena dermatitis (Cohen 1999). Vichy
(2004) dalam Ruhdiat (2006) juga menyatakan bahwa kulit yang lebih kering
akan lebih rentan terkena dermatitis kontak.
11. Musim
Dermatitis akibat kerja banyak dijumpai pada waktu musim panas
berhubungan dengan pengeluaran keringat pada pekerja. Sehingga pekerja
lebih cenderung menggunakan pakaian lengan pendek ataupun celana lengan
pendek yang memudahkannya kontak langsung dengan bahan kimia.
Sedangkan cuaca dingin menyebabkan pekerja malas mencuci
49
diri/membersihkan diri dengan air setelah kontak dengan bahan kimia (Gilles
L, 1990 dalam Florence, 2008).
12. Riwayat Alergi
Riwayat alergi adalah reaksi tubuh manusia yang berlebihan terhadap
benda asing tertentu atau bahan yang bersifat allergen. Pengertian lain adalah
reaksi terhadap berbagai rangsangan/zat dari luar tubuh misalnya seperti
debu, obat, atau makanan, yang pernah dialami oleh pekerja. Dalam
melakukan diagnosis dermatitis kontak dapat dilakukan dsengan berbagai
cara, diantaranya adalah dengan melihat sejarah dermatologi termasuk
riwayat penyakit pada keluarga, aspek pekerjaan, sejarah alergi (misalnya
alergi terhadap obat-obatan tertentu),dan riwayat lain yang berhubungan
dengan dermatitis (Putro, 1985 dalam Utomo, 2007). Reaksi sensitifitas
allergen sangat bervariasi tergantung pada faktor genetik seseorang.
Demikian pula sensitifitasnya terhadap bahan kimia pada diri seseorang
berbeda-beda (Dewan K3 Nasional, 1982).
Dalam penelitian Utomo (2007) didapatkan bahwa, proporsi pekerja
yang mengalami dermatitis kontak dengan riwayat alergi adalah sebesar
57.7% (15 orang) dari 26 pekerja, sedangkan proporsi pekerja yang
mengalami dermatitis kontak tanpa riwayat alergi adalah sebesar 44.4% (24
orang) dari 54 pekerja dengan nilai pvalue 0.383. Hal tersebut menunjukkan
bahwa pekerja dengan riwayat alergi lebih banyak mengalami dermatitis
kontak dibandingkan dengan pekerja yang tidak mengalaminya alergi.
50
13. Riwayat Atopi
Atopik merupakan suatu reaksi yang tidak biasanya, berlebihan
(hipersensitivitas) dan disebabkan oleh paparan benda asing yang terdapat
didalam lingkungan kehidupan manusia (Harijono, 2006). Menurut Djuanda,
2002 atopik merupakan istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit
pada individu yang cenderung diturunkan atau familial. Sindrom atopik disini
meliputi dermatitis atopik (DA), rhinitis alergi, asma bronkiale (Djuanda,
2002). Pengertian lain menyebutkan bahwa atopi adalah reaksi seseorang
terhadap allergen sangat bervariasi tergantung factor genetik, demikian pula
sensitifitasnya terhadap bahan kimia pada diri seseorang berbeda (Cohen,
1999).
Hasil penelitian Ruhdiat (2006) menyebutkan bahwa proporsi pekerja
yang mengalami dermatitis kontak dengan riwayat atopi sebesar 94%,
sedangkan yang tidak memiliki riwayat atopi sebesar 79%. Nuraga dkk
(2008) menunjukkan bahwa proporsi pekerja yang mengalami dermatitis
kontak dengan memilki riwayat atopi adalah sebesar 79%, sedangkan
proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak tanpa memiliki riwayat
atopi adalah sebesar 71.4%. Hal tersebut menujukkan bahwa pekerja denga
riwayat atopi lebih beresiko terkena dermatitis kontak.
14. Riwayat Penyakit Kulit sebelumnya
Pekerja yang sebelumnya pernah menderita dermatitis akibat kerja
lebih rentan terhadap kerjadian dermatitis kontak akibat kerja. Penyakit kulit
51
yang pekerja derita sebelumnya dapat menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan pekerja menderita dermatitis kontak kembali (riwayat
berulang) (Lestari dan Utomo, 2007). Di Indonesia, umunya pekerja telah
bekerja pada lebih dari satu tempat kerja. Hal ini menyebabkan adanya
kemungkinan bahwa pekerja yang telah mengalami dermatitis pada pekerjaan
sebelumnya terbawa ke tempat kerja yang baru. Menurut Cahyawati dan
Budiono (2011), riwayat penyakit digunakan sebagai salah satu dasar
penentuan apakah suatu penyakit terjadi akibat penyakit terdahulu, sehingga
riwayat penyakit sangat penting dalam proses penyembuhan seseorang.
Sedangkan menurut Jeyaratnam & Koh (1996) pekerja yang pernah
mengalami riwayat penyakit kulit sebelumnya dengan meninggalkan bekas
seperti kulit yang mengelupas, lecet, atau tergores dapat menjadi faktor
predisposisi dermatitis kontak.
Berdasarkan penelitia Utomo (2007), proporsi pekerja yang
mengalami dermatitis kontak dengan riwayat penyakit kulit sebelumnya
adalah sebesar 81.8%, sedangkan proporsi pekerja yang mengalami
dermatitis kontak tanpa riwayat penyakit kulit sebelumnya adalah sebesar
43.5%. Hal tersebut menujukkan bahwa pekerja dengan riwayat penyakit
kulit sebelumnya lebih berisiko terkena dermatitis kontak dibandingkan
dengan pekerja yang tidak memiliki riwayat penyakt kulit sebelumnya. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan bahwa pekerja dengan riwayat dermatitis
kronik maka pekerja tersebut lebih rentan untuk terkena dermatitis bila
52
bekerja pada tempat tertentu dikarenakan reaksi iritan ataupun sensitivasi
(Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional, 1982).
15. Suhu dan Kelembaban
Pengalaman yang disepakati oleh para ahli di Indonesia menyatakan
bahwa daerah cuaca nyaman seperti itu adalah 24 – 26 0C suhu kering. Juga
perbedaan di antara suhu di dalam dan di luar ruangan sebaiknya tidak
melebihi 5 0C ( Suma’mur,1989 ). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan
Indonesia No 1405 tahun 2002, suhu ruangan lingkungan kerja adalah sekitar
180C-28
0C, sedangkan kelembabannya adalah 40% - 60%.
Menurut Sedarmayanti (1996), bahwa temperatur yang terlampau
dingin akan mengakibatkan gairah kerja menurun. Sedangkan temperatur
yang terlampau panas, dapat mengakibatkan timbulnya kelelahan tubuh yang
lebih cepat dan dalam bekerja cenderung membuat banyak kesalahan.
Berdasarkan beberapa penelitian, suhu dan kelembaban berpengaruh dalam
kejadian dermatitis kontak, karena semakin rendahnya suhu dan kelembaban
lingkungan kerja maka semakin berpotensi menyebabkan dermatitis kontak
selain didukung oleh faktor lain.
Hasil penelitian Ruhdiat (2006), menemukan bahwa proporsi pekerja
yang mengalami dermatitis kontak dengan suhu lingkungan 230C adalah
100%, dengan suhu lingkungan 250C sebesar 87%, dengan suhu lingkungan
260C sebesar 80%, dan dengan suhu 29
0C adalah sebesar 81%. Sedangkan
proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan kelembaban
53
lingkungan kerja <65% adalah sebesar 87%, sedangkan proporsi pekerja
yang mengalami dermatitis kontak dengan kelembaban udara lingkungan
kerja ≥65% adalah sebesar 0%.
16. Pemakaian APD
Alat pelindung diri adalah peralatan keselamatan yang harus
digunakan oleh pekerja yang berada di area kerja yang berbahaya. APD yang
digunakan untuk bahan kimia berbahaya umunya adalah sarung tangan.
Diperkirakan hampir 20% kecelakaan yang menyebabkan cacat adalah
tangan, kemampuan kerja akan sangat berkurang. Kontak dengan bahan
kimia kaustik beracun, bahan-bahan biologis, sumber listrik, benda yang
suhunya sangta dingi atau sangat panas dapat menyebabkan iritasi pada
tangan. APD tangan dikenal dengan sebutan safety gloves dengan berbagai
jenis penggunaannya. Untuk melindungi tangan dari bahan kimia adalah
sarung tangan vinyl dan neoprene. Nugraha dkk (2008) mengungkapkan
bahwa kebiasaan memakai alat pelindung diri (APD) diperlukan untuk
melindungi pekerja dari kontak dengan bahan kimia. Pekerja yang selalu
menggunakan sarung tangan dengan tepat akan menurunkan terjadinya
dermatitis kontak akibat kerja baik jumlah maupun lama perjalanan
dermatitis kontak (Susanti, 2010).
Penelitian Susanti (2010), menunjukkan adanya hubungan antara
pemakaian alat pelindung diri (sarung tangan) dengan penurunan kejadian
dermatitis kontak. Hal ini ditunjukkan dari hasil uji kai kuadrat diperoleh
54
hasil nilai signifikan sebesar 0,012 (<0,05) maka secara statistik ada
hubungan antara pemakaian alat pelindung diri dengan penurunan kejadian
dermatitis kontak iritan. Diperoleh pula nilai Rasio Prevalensi RP = 0,48(< 1)
hal ini berarti bahwa pemakaian alat pelindung diri (sarung tangan)
merupakan faktor preventif dan bukan faktor resiko dari terjadinya dermatitis
kontak iritan. Lestari dkk (2007), menunjukkan bahwa proporsi pekerja yang
mengalami dermatitis kontak dengan pemakaian APD yang kurang baik
adalah sebesar 51.8%, sedangkan proporsi pekerja yang mengalami
dermatitis kontak dengan pemakaian APD yang baik adalah sebesar 41.7%.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara
pemakaia APD dengan kejadian dermatitis kontak.
17. Personal Hygiene
Personal hygiene berasal dari bahasa Yunani yang artinya personal
berarti perorangan dan hygiene yang berarti sehat. Kebersihan diri seseorang
adalah cara perawatan diri seseorang untuk menjaga kesehatannya.Tujuan
pelaksanaan personal hygiene adalah untuk, menghilangkan minyak dan
keringat, sel-sel kulit mati, dan bakteri, menghilangkan bau badan,
memelihara integritas permukaan kulit, menstimulasi sirkulasi peredaran
darah seseorang, serta meningkatkan dan menjaga derajat kesehatan
seseorang (Pradjawanto, 2011). Personal hygiene merupakan salah satu
faktor yang dapat mencegah terjadinya dermatitis kontak terkait dengan
55
kebiasaan pekerja membersihkan dirinya setelah bekerja seperti mencuci
tangan dan mencuci pakainnya setelah bekerja (Lestari & Utomo, 2007).
Menurut Cohen (1999) kebiasaan mencuci tangan yang jelek akan
menyebabkan kontak dengan bahan kimia yang lebih lama yang akan
menyebabkan kerugian kulit, sehingga kebiasaan mencuci merupakan upaya
preventif bermakna namun sangat tergantung pada kualitas mencuci tangan
dan kemudahan menjangkau fasilitas sarana pencuci tangan. Mencuci tangan
dengan baik adalah dengan menggunakan air bersih yang mengalir. Menurut
Koh dan Goh (1996), larutan pelarut seperti thinner dan kerosene dapat pula
mengakibatkan dermatitis kontak iritan kumulatif bila sering digunakan
secara salah sebagai pembersih kulit
Penelitian Ruhdiat (2006) menemukan bahwa proporsi pekerja yang
mengalami dermatitis kontak dengan personal hygiene kadang-kadang adalah
sebesar 85%. Kemudian penelitian Utomo (2007), menunjukkan bahwa
proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan personal hygiene
yang kurang baik adalah sebesar 51.8% (P1), sedangkan proporsi pekerja
yang mengalami dermatitis kontak dengan personal hygiene yang baik adalah
sebesar 41.7%. Hal tersebut menunjukkan adanya korelasi yang positif antara
dermatitis kontak dengan personal hygiene.
D. Kerangka Teori
Berdasarkan beberapa referensi para ahli yaitu Larry.L.Hipp (1985)
dalam Utomo (2007) yang menyatakan bahwa faktor-faktor penyebab dermatitis
56
kontak yaitu bahan-bahan kimia, usia, jenis kelamin, ras, tekstur kulit
(ketebalan), musim, personal hygiene, alergi, dan penyakit kulit yang pernah ada
sebelumnya. Rietschel (1985) dalam Utomo (2007) yang berpendapat bahwa
faktor penyebabnya adalah bahan kimia beracun, pigmentasi (ras), ketebalan
kulit, usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan, keringat, personal hygiene, musim, dan
riwayat atopi. Siregar (1996) menyatakan bahwa pemakaian APD mempengaruhi
kejadian dermatitis kontak. Kemudian Djuanda dan Sularsito (2002) menjelaskan
bahwa faktor penyebab dermatitis kontak adalah lama kontak, frekuensi kontak,
usia, jenis kelamin, tekstur kulit, ras, penyakit kulit yang pernah ada sebelumnya,
lingkungan (suhu & kelembaban), dan personal hygiene). Maka kerangka teori
penelitian ini adalah sebagai berikut :
57
Bagan 2.1 Kerangka Teori
Sumber : Hipp, 1985 dalam Utomo, 2007; Rietschel, 1985 dalam Utomo, 2007;
Siregar (1996); Djuanda & Sularsito, 2002
1. Bahan kimia 2. Lama Kontak
3. Frekuensi Kontak
4. Usia
5. Jenis Kelamin
6. Jenis Pekerjaan
7. Masa Kerja
8. Ras
9. Tekstur kulit
10. Pengeluaran Keringat
11. Musim
12. Riwayat Alergi
13. Riwayat Atopik
14. Riwayat penyakit
kulit yang ada
sebelumnya
15. Suhu
16. Kelembaban
17. Personal Hygiene
18. Pemakaian APD
DERMATITIS
KONTAK
58
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing
meubel kayu di wilayah Kecamatan Ciputat Timur tahun 2012. Faktor-faktor
yang termasuk dalam kerangka konsep mengacu kepada teori-teori dari para
ahli yaitu Larry.L.Hipp (1985), Rietschel (1985), Siregar (1996) dan Djuanda
& Sulartiso (2002). Menurut para ahli tersebut, faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya dermatitis kontak adalah bahan-bahan kimia, lama
kontak, frekuensi kontak, usia, jenis kelamin, ras, tekstur kulit (ketebalan),
keringat, personal hygiene, musim, jenis pekerjaan, riwayat atopi, riwayat
alergi, penyakit kulit yang ada sebelumnya, suhu, kelembaban, dan
pemakaian APD. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah :
1. Lama Kontak
Lama kontak mempengaruhi kejadian dermatitis kontak. Lama kontak
merupakan lamanya waktu pekerja kontak dengan bahan-bahan penyebab
dermatitis kontak di tempat kerja yang dihitung jam/hari. Pekerja dengan
lama kontak yang lebih lama akan menyebabkan rusaknya lapisan kulit
luar, sehingga semakin lama kontak semakin bertambah pula kerusakan
lapisan kulit luar yang akan merusak lapisan kulit yang lebih dalam, dan
meingkatkan resiko terjadinya dermatitis kontak.
59
2. Frekuensi Kontak
Frekuensi kontak merupakan jumlah berapa kalinya responden kontak
dengan bahan yang menyebabkan dermatitis kontak di tempat kerja dalam
hitungan x/kali. Pekerja yang kontak dengan bahan kimia yang sedikit
jumlahnya tetapi dengan frekuensi kontak yang lebih banyak akan
beresiko mengalami dermatitis dengan luas dan berat yang lebih.
3. Usia
Usia merupakan salah satu faktor penyebab dermatitis kontak. Semakin
bertambahnya usia, maka kulit manusia mengalami degenerasi, terutama
dari sisi ketebalan lapisan kulit. Menipisnya lapisan kulit ini memudahkan
proses bahan kimia mengiritasi kulit. Sehingga pada kulit usia lanjut lebih
rentan terhadap dermatitis kontak.
4. Masa Kerja
Masa kerja merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian dermatitis
kontak. Semakin lama masa kerja seseorang maka semakin sering pekerja
terpajan dan kontak dengan bahan kimia. Semakin seringnya kontak
dengan bahan kimia, maka lapisan kulit akan semakin rusak sehingga
memudahkan bahan kimia masuk dan meningkatkan risiko dermatitis
kontak.
5. Riwayat Alergi
Pekerja yang memiliki riwayat alergi merupakan pekerja dengan kulit
yang hipersensitif terhadap bahan-bahan tertentu. Sehingga pekerja
dengan riwayat alergi memiliki risiko yang lebih terhadap kejadian
60
dermatitis kontak ditinjau dari sensitifitas kulitnya yang lebih mudah
bereaksi ketika terpajan benda asing tertentu salah satunya bahan kimia.
6. Riwayat Atopi
Riwayat atopi mempengaruhi kejadian dermatitis kontak, karena pekerja
yang memiliki riwayat penyakit yang terkait dengan hipersensitifitas
tubuh yang diturunkan atau familial, cenderung memilki reaksi tubuh
yang berlebihan terhadap bahan kimia sehingga memiliki risiko yang
lebih terhadap kejadian dermatitis kontak.
7. Riwayat Penyakit Kulit sebelumnya
Pekerja yang sebelumnya pernah mengalami penyakit kulit atau non
dermatitis akibat kerja lebih mudah mendapat dermatitis akibat kerja,
karena fungsi perlindungan kulit yang sudah berkurang akibat penyakit
kulit tersebut. Hilangnya lapisan kulit, rusaknya kelenjar minyak dan
keringat membuat penuruan fungsi kulit sehingga mempermudah terkena
dermatitis kontak
8. Personal Hygiene
Kebersihan perorangan seperti mencuci tangan yang baik sebelum dan
sesudah bekerja mencegah terjadinya dermatitis kontak. Karena dengan
membersihkan diri mampu menghilangkan bahan-bahan kimia yang
menempel pada kulit. Akan tetapi personal hygiene tergantung akan sikap
dan kesadaran para pekerja dalam merawat diri.
61
Variabel-variabel yang tidak diteliti oleh peneliti adalah :
1. Bahan kimia
Bahan kimia yang digunakan oleh pekerja berjenis sama, sehingga
bersifat sama/homogen. Peneliti tidak meneliti konsentrasi bahan kimia,
dikarenakan bahan kimia yang digunakan pekerja terdiri dari berbagai
jenis sehingga sulit menentukan bahan kimia mana yang menyebabkan
dermatitis kontak.
2. Jenis kelamin
Jenis kelamin pekerja keseluruhan adalah laki-laki sehingga variabel jenis
kelamin merupakan homogen.
3. Jenis pekerjaan
Peneliti tidak meneliti variabel jenis pekerjaan karena jenis pekerjaan
pekerja bersifat homogen yaitu pekerja meubel kayu yang melakukan
keseluruhan proses finishing.
4. Tekstur Kulit
Peneliti tidak meneliti variabel tekstur kulit karena pengukuran variabel
tekstur kulit tidak cukup jika diukur hanya dengan pemeriksaan fisik oleh
dokter. Sehingga memerlukan uji mikroskopik agar hasilnya akurat. Hal
tersbut terkait waktu dan biaya penelitian ini.
5. Pengeluaran Keringat
Peneliti tidak meneliti variabel pengeluaran keringat karena variabel ini
tidak cukup jika hanya diukur dengan pemeriksaan fisik oleh dokter
sehingga memerlukan uji yang lebih akurat. Hal tersebut terkait waktu
dan biaya penelitian ini.
62
6. Suhu dan Kelembaban
Peneliti tidak meneliti variabel suhu dan kelembaban karena penelitian
dilakukan di satu wilayah yaitu Ciputat Timur sehingga variabel suhu dan
kelembaban sama/homogen di setiap tempat meubel kayu.
7. Pemakaian APD
Pemakaian APD tidak diteliti oleh peneliti karena pekerja meubel kayu
tidak menggunakan APD yang berupa sarung tangan pada saat melakukan
pekerjaannya.
8. Ras
Pekerja memiliki ras yang sama terkait dengan pigmentasi kulitnya
sehingga variabel ras homogen.
9. Musim
Musim di wilayah Ciputat Timur cenderung sama, sehingga variabel
musim homogen.
Variabel penelitian yang akan diteliti disajikan dalam bagan 3.1
berikut :
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
1. Lama Kontak
2. Frekuensi
Kontak
3. Usia
4. Masa Kerja
5. Riwayat Alergi
6. Riawayat Atopi
7. Riwayat
Penyakit kulit
sebelumnya
8. Personal
Hygiene
DERMATITIS
KONTAK
63
B. Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Kriteria Skala
1 Dermatitis Kontak Peradangan pada kulit akibat
paparan bahan kimia selama
melakukan pekerjaan, dengan
gejala berupa gatal, rasa
terbakar, kemerahan, bengkak,
pembentukan lepuh kecil pada
kulit, kulit kering, mengelupas,
kulit bersisik, dan terjadi
penebalan pada kulit..
Lembar
pemeriksaan fisik
Diagnosis
dokter
0. Tidak dermatitis
1. Dermatitis
Ordinal
2 Lama Kontak Lama waktu responden kontak
dengan bahan kimia di tempat
kerja dalam satu hari kerja
Daily Activity
Recall
Pencatatan
oleh peneliti
Jam/Hari Rasio
3 Frekuensi Kontak Jumlah berapa kalinya
responden kontak dengan
bahan kimia di tempat kerja
dalam satu hari
Daily Activity
Recall
Pencatatan
oleh peneliti
x/hari Rasio
4 Usia Lama hidup pekerja terhitung
sejak lahir sampai penelitian
berlangsung. Dibulatkan ke atas
bila >6 bulan, dan dibulatkan ke
bawah bila <6 bulan.
Self Administered
Questionnaire
Pengisian
kuesioner oleh
pekerja
Tahun Rasio
64
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Kriteria Skala
5 Masa Kerja Kurun waktu atau lamanya
responden bekerja sebagai
pekerja meubel sejak awal
bekerja sampai penelitian
berlangsung
Self Administered
Questionnaire
Pengisian
kuesioner oleh
pekerja
Tahun Rasio
6 Riwayat Alergi Reaksi tubuh pekerja yang
berlebihan terhadap benda
asing/zat tertentu misalnya
debu, obat, atau makanan.
Seperti alergi pada kulit dan
alergi pada saluran pernapasan
Self Administered
Questionnaire
Pengisian
kuesioner oleh
pekerja
0 Tidak beresiko
1 Beresiko
Ordinal
7 Riwayat Atopi Penyakit pada pekerja yang
mempunyai riwayat kepekaan
dalam keluarganya atau
diturunkan dari keluarganya,
seperti asma, rhinitis alergi,
dermatitis atopi, dan
konjungtivitis alergi
Self Administered
Questionnaire
Pengisian
kuesioner oleh
pekerja
0 Tidak Beresiko
1 Beresiko
Ordinal
65
No Variabel Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Kriteria Skala Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Kriteria Skala
8 Riwayat penyakit
kulit yang pernah
ada sebelumnya
Peradangan pada kulit dengan
gejala subyektif berupa gatal,
rasa terbakar, kemerahan,
bengkak, pembentukan lepuh
kecil pada kulit, kulit
mengelupas, kulit kering, kulit
bersisik, dan penebalan pada
kulit atau kelainan kulit
lainnya yang sebelumnya
pernah diderita oleh pekerja.
Self Administered
Questionnaire
Pengisian
kuesioner oleh
pekerja
0 Tidak Beresiko
1 Beresiko
Ordinal
9 Pesonal Hygiene Kebiasaan pekerja untuk
membersihkan tangan dengan
baik sebelum dan setelah
bekerja dan tidak adanya noda
atau cipratan bahan kimia di
pakaian pekerja saat bekerja.
Lembar Observasi Pengamatan
langsung oleh
peneliti
0 Baik
1 Tidak Baik
Ordinal
66
C. Hipotesis
1. Ada Hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada
pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur tahun 2012.
2. Ada hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis kontak
pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur tahun 2012.
3. Ada hubungan antara usia dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja
proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur tahun 2012.
4. Ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada
pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur tahun 2012.
5. Ada hubungan antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak pada
pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur tahun 2012.
6. Ada hubungan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis kontak pada
pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur tahun 2012.
7. Ada hubungan antara riwayat penyakit kulit yang pernah ada sebelumnya
dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu
di Ciputat Timur tahun 2012.
67
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian epidemiologi analitik dengan disain
cross sectional study yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing
meubel kayu di Ciputat Timur tahun 2012. Pada disain ini, data variabel
dependen dan variabel independennya dikumpulkan pada waktu yang bersamaan
kemudian dianalisis menggunakan uji statistik chi square, t-test independen, dan
mann whitney untuk menguji hipotesis yang dibuat.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di 39 meubel kayu yang melakukan proses
finishing atau penyelesaian akhir di wilayah Ciputat Timur. Penelitian
dilaksanakan pada bulan Juli-September tahun 2012.
C. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah 88 pekerja proses finishing meubel kayu
yang berada di 39 meubel kayu di Ciputat Timur, Tangerang Selatan tahun 2012.
Sampel penelitian ini merupakan pekerja yang mewakili populasi yaitu pekerja
proses finishing meubel kayu yang melakukan proses finishing/penyelesaian
akhir. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode Total Sampling.
Perhitungan besar sampel menggunakan rumus uji beda dua proporsi seperti
dibawah ini :
68
Keterangan :
n : Jumlah sampel minimal yang diperlukan
P : Rata-rata proporsi pada populasi {(P1 + P2)/2}
P1 : Proporsi kejadian pada salah satu partisipasi pada kelompok tertentu
P2 : Proporsi kejadian pada salah satu partisipasi pada kelompok tertentu
Z1-α/2 : Derajat kemaknaan α pada dua sisi (two tail) yaitu sebesar 5% = 1,96
Z1-β : Kekuatan uji 1-β yaitu sebesar 95% = 1,64
Peneliti menggunakan tingkat kepercayaan 95% dengan derajat
kemaknaan 5% dan kekuatan uji 95% dalam penelitian ini. Pengambilan sampel
menggunakan metode perhitungan sampel untuk penelitian ini berdasarkan
perhitungan sampel per-variabel yang akan diteliti dengan mengacu kepada
perhitungan penelitian sebelumnya. Variabel-variabel tersebut adalah :
1. Lama Kontak
Berdasaran penelitian Nuraga dkk (2008), proporsi pada populasi pekerja
yang mengalami dermatitis kontak dengan lama kontak 8 jam adalah 70.3%
(P1), sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan
lama kontak <8 jam adalah sebesar 3.7% (P2).
69
2. Frekuensi Kontak
Berdasarkan penelitian Nuraga dkk (2008), proporsi pada populasi pekerja
yang mengalami dermatitis kontak dengan frekuensi kontak >7kali/hari
sebesar 64.8% (P1), sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis
kontak dengan frekuensi kontak ≤ 7kali/hari adalah sebesar 9.25% (P2).
3. Riwayat Alergi
Berdasarkan penelitian Utomo (2007), proporsi pekerja yang mengalami
dermatitis kontak dengan riwayat alergi adalah sebesar 57.7% (P1),
sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak tanpa riwayat
alergi adalah sebesar 44% (P2).
4. Riwayat Atopi
Hasil penelitian Nuraga dkk (2008) menunjukkan bahwa proporsi pekerja
yang mengalami dermatitis kontak dengan memilki riwayat atopi adalah
sebesar 46.2% (P1) sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis
kontak tanpa memiliki riwayat atopi adalah sebesar 27.7% (P2).
5. Riwayat penyakit kulit sebelumnya
Berdasarkan penelitian Utomo (2007), proporsi pekerja yang mengalami
dermatitis kontak dengan riwayat penyakit kulit sebelumnya adalah sebesar
81.8% (P1), sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak
tanpa riwayat penyakit kulit sebelumnya adalah sebesar 43.5% (P2).
6. Personal Hygiene
Hasil penelitian Utomo (2007), menunjukkan bahwa proporsi pekerja yang
mengalami dermatitis kontak dengan personal hygiene yang kurang baik
70
adalah sebesar 51.8% (P1), sedangkan proporsi pekerja yang mengalami
dermatitis kontak dengan personal hygiene yang baik adalah sebesar 41.7%
(P2).
Tabel 4.1
Hasil Perhitungan Sampel
No Variabel
P1, P2, &
P : Rata-rata
proporsi
Odds Ratio/r Hasil
1 Lama Kontak
P1 : 70.37% : 0.7037
P2 : 3.7% : 0.037
P : 0.37
19 11
2 Frekuensi Kontak
P1 : 64.81% : 0.6481
P2 : 9.25% : 0.0925
P : 0.37
3.5 17
3 Riwayat Alergi
P1 : 57.7% : 0.577
P2 : 44.4% : 0.444
P : 0.5105
1.705
(0.662 – 4.386) 365
6 Riwayat Atopi
P1 : 46.2% : 0.462
P2 : 27.7% : 0.277
P : 0.752
1.5 837
7 Riwayat penyakit
kulit sebelumnya
P1 : 81.8% : 0.818
P2 : 43.5% : 0.435
P : 0.6265
5.85
(1.176 – 29.103) 39
8 Personal Hygiene
P1 : 51.8% : 0.518
P2 : 41.7% : 0.417
P : 0.4675
1.504
(0.572 – 3.951) 632
Dari hasil perhitungan, didapatkan bahwa hasil yang memungkinkan
untuk dijadikan sampel adalah 39, kemudian dilakukan perhitungan kembali
dengan cara, hasil sampel = tidak dermatitis (%) x n untuk mengetahui jumlah
sampel minimum. Sehingga perlu diketahui prosentase tidak dermatitis pada
penelitian lain yang serupa yaitu 51.3%. Maka hasil perhitungannya adalah
sebagai berikut :
39 = 51.3/100 x n
n = 39 x 100/51.3 n = 76
71
Maka diketahui bahwa jumlah sampel minimum penelitian ini adalah
sebesar 76 orang. Akan tetapi untuk menghindari missing jawaban dari
responden maka jumlah sampel ditambahkan sehingga jumlah sampel yang
dibutuhkan adalah sebesar 88 responden yaitu semua populasi dijadikan sampel.
D. Instrumen Penelitian
1. Lembar Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dermatitis kontak dilakukan dengan pemeriksaan fisik oleh
dokter berdasarkan tanda dan gejala klinis yang muncul. Hasil pemeriksaan
dicatat pada lembar pemeriksaan fisik.
2. Daily Acivity Recall
Daily Acivity Recall merupakan lembar pencatatan kegiatan pekerja dalam
melakukan pekerjaanya sehari-hari dalam waktu tertentu. Daily Activity
Recall digunakan peneliti untuk mengetahui variabel lama kontak dan
frekuensi kontak pekerja dengan bahan kimia di tempat kerja. Dengan
merunut kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh responden dalam satu hari,
maka dapat diketahui lama kontak dalam satuan jam responden dan frekuensi
kontak dalam berapa kalinya responden kontak dengan bahan kimia.
3. Self Administered Questionnaire
Self Administered Questionnaire adalah kuesioner yang akan dibagikan
kepada responden dengan metode pengisian yang didampingi oleh peneliti.
Kuesioner ini berfungsi untuk mengumpulkan data primer penelitian dari
responden yang berupa lama kontak, frekuensi kontak, usia, masa kerja,
riwayat alergi, riwayat atopi, dan riwayat penyakit kulit sebelumnya. Untuk
72
variabel riwayat alergi dan riwayat penyakit kulit sebelumnya beberapa
pertanyaan di kuesioner mengacu pada kuesioner dari Health and Safety
Excecutive (HSE). Kuesioner yang digunakan berupa kuesioner tertutup yaitu
kuesioner yang sudah disediakan jawabannya sehingga responden dapat
memilih langsung jawaban pada kolom yang disediakan dengan member
tanda x (silang).
Dalam kuesioner, pertanyaan E1 dan E2 tentang riwayat atopi, jika jawaban
responden dalam salah satu dari pertanyaan (E1 atau E2) atau kedua
pertanyaan (E1 dan E2) adalah ‘Ya’ maka responden dinyatakan memiliki
riwayat topi. Sedangkan dalam pertanyaan F1 tentang riwayat penyakit kulit
sebelumnya, jika jawaban responden adalah ‘Ya’ maka responden dinyatakan
memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya. Dalam pertanyaan G1 mengenai
variabel riwayat alergi, jika jawaban pertanyaan G1 adalah ‘Ya’ maka
responden dinyatakan memiliki riwayat alergi.
4. Lembar Observasi
Lembar observasi merupakan panduan peneliti dalam mengamati responden.
Data primer yang akan diperoleh dengan menggunakan lembar observasi
adalah personal hygiene. Dalam lembar observasi, ada 6 poin yang akan
diobservasi oleh peneliti. Jika salah satu dari 6 poin tidak terpenuhi oleh
responden atau memiliki kategori ‘Tidak’ maka personal hygiene responden
dinyatakan ‘TIdak Baik’. Akan tetapi jika ke 6 poin observasi terpenuhi oleh
responden maka personal hygiene dinyatakan ‘Baik’.
73
E. Pengumpulan Data
Pengumpulan data responden dilakukan berdasarkan satu jenis data yaitu
data primer. Data primer merupakan data yang didapat langsung oleh peneliti
dari pekerja proses finishing meubel kayu yang berada di wilayah Ciputat Timur.
Data primer yang akan dikumpulkan berupa usia, masa kerja, riwayat alergi,
riwayat atopi, dan riwayat penyakit kulit sebelumnya yang didapat dari Self
Administered Questionnaire. Kemudian variabel dermatitis kontak di periksa
oleh dokter dan dicatat pada lembar pemeriksaan fisik, serta data personal
hygiene yang di dapat dari lembar observasi.
F. Pengolahan Data
1. Data Coding
Coding data merupakan tahap mengklasifikasikan data dan pemberian kode
jawaban responden sesuai dengan tujuan pengumpulan data. Data coding
berguna untuk memudahkan dalam membedakan antara data yang satu
dengan lainnya dalam pengolahan data. Data coding dalam penelitian ini
adalah :
a. Dermatitis kontak, 0 : Tidak dermatitis kontak 1 : Dermatitis kontak
b. Riwayat alergi, 0 : Tidak beresiko 1 : Beresiko
c. Riwayat atopi, 0 : Tidak beresiko 1 : Beresiko
d. Riwayat penyakit kulit sebelumnya, 0 : Tidak beresiko 1 : Beresiko
e. Personal Hygiene, 0 : Baik 1 : Tidak baik
74
2. Data Editing
Data lapangan yang ada dalam instrumen penelitian perlu diperiksa, diteliti,
dan diedit. Tujuan dilakukannya editing adalah untuk: (1) Melihat lengkap
tidaknya pengisian kuesioner. (2) Melihat logis tidaknya jawaban. (3)
Melihat konsistensi antar pertanyaan.
3. Data Entry
Data entry adalah proses memasukan data dari hasil yang didapat dalam
instrumen penelitian yang sudah diberikan kode pada masing-masing
variabel, kemudian dilakukan analisis data dengan memasukkan data tersebut
dengan software statistik untuk dilakukannya analisis univariat dan bivariat.
4. Data Cleaning
Data cleaning merupakan proses pengecekan kembali data yang telah
dimasukkan untuk memastikan data tersebut tidak ada yang salah, sehingga
dengan demikian data tersebut telah siap diolah dan dianalisis.
G. Teknik Analisa Data
1. Analisis Univariat
Analisis univariat adalah analisis yang digunakan terhadap tiap variabel dari
hasil penelitian. Pada umunya dalam analisa ini hanya menghasilkan
distribusi frekuensi dan prosentase dari tiap variabel. Sehingga dari analisis
univariat hasil yang diperoleh adalan gambaran variabel secara umum.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mencari hubungan variabel independen
dengan variabel dependen menggunakan uji statistik yang sesuai dengan
75
skala data yang ada. Uji statistik pada penelitian ini adalah Chi Square, t-test
independent, dan mann whitney. Uji Chi Square untuk menghubungkan
variabel kategorik dan kategorik. Variabel yang termasuk pada uji Chi
Square adalah riwayat alergi, riwayat atopi, dan riwayat penyakit kulit
sebelumnya dengan dermatitis kontak. Untuk menguji variabel usia,
frekuensi kontak, lama kontak, dan masa kerja perlu dilakukan uji normalitas
data terlebih dahulu karena data yang didapatkan berupa data numerik. Bila
hasil uji normalitas data berdistribusi normal maka akan dilanjutkan dengan
uji t-test independen untuk menguji antara variabel numerik dan kategorik.
Sedangkan jika hasil uji normalitas didapatkan bahwa data berdistribusi tidak
normal maka digunakan uji mann whitney.
76
BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Lokasi Penelitian
Berdasarkan hasil observasi penelitian yang dilakukan pada pekerja
proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur, pekerja proses finishing meubel
kayu melakukan beberapa proses kerja yaitu pengamplasan/penghalusan meubel,
pendempulan meubel jika ada kayu yang bolong, pemlituran meubel yang
meliputi cat dasar dan cat akhir meubel, serta pengkilapan meubel yang
merupakah tahap akhir proses finishing. Bahan-bahan kimia yang digunakan
sangat beragam dan berbeda sesuai prosesnya seperti wood filler untuk
pendempulan, wood stain untuk pemlituran, sanding sealer untuk politur sebagai
cat dasar, thinner dan spirtus sebagai bahan campuran, dan sanding melamic
clear untuk pengkilapan.
Gambar 5.1
Pekerja proses finishing melakukan pemlituran meubel kayu Sumber :http://diskonews.blogspot.com/2010/12/wisata-furniture-kuno-di-jalan-ciputat.html
Sebagian besar pekerja melakukan pekerjaannya selama 8 jam tiap hari
kecuali jika adanya pesanan borongan sehingga memungkinkan pekerja untuk
77
bekerja lebih lama dari biasanya. Keseluruhan pekerja proses finishing di Ciputat
Timur tidak menggunakan APD yang berupa sarung tangan untuk melindungi
kulit dari kontak langsung dengan bahan kimia, sehingga risiko dermatitis pun
meningkat. Kemudian, diketahui dari observasi lapangan bahwa pekerja tidak
melakukan personal hygiene yang baik dimana pekerja tidak melakukan cuci
tangan dengan benar langsung setelah melakukan setiap tahap proses finishing.
Jumlah total awal responden adalah 88 orang pekerja proses finishing,
akan tetapi saat turun lapangan, didapatkan 82 orang pekerja yang bersedia untuk
menjadi responden penelitian. Dengan jumlah total responden 82 orang, sudah
cukup untuk memenuhi sampel minimum yang berjumlah 76 orang yang
diketahui melalui perhitungan sampel sebelumnya, sehingga berkurangnya
responden penelitian tidak berpengaruh secara signifikan terhadap hasil
penelitian.
Berikut merupakan hasil penelitian yang dilakukan mengenai Faktor-
Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja
Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012.
B. Analisis Univariat
1. Gambaran Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel
Kayu di Wilayah Kecamatan Ciputat Timur Tahun 2012.
Hasil analisis univariat kejadian dermatitis kontak pada pekerja
proses finishing meubel kayu di wilayah Ciputat Timur tahun 2012 dapat
dilihat pada tabel 5.1 berikut :
78
Tabel 5.1
Gambaran Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel
Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012
B
e
r
Berdasarkan tabel 5.1, diketahui bahwa dari 82 pekerja proses finishing
meubel kayu, 33 orang (40.2%) mengalami dermatitis kontak dan 49 orang
(59.8%) tidak mengalami dermatitis kontak.
2. Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dermatitis Kontak pada
Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur
Tahun 2012.
Analisis univariat gambaran distribusi frekuensi berdasarkan variabel
faktor-faktor (lama kontak, frekuensi kontak, usia, masa kerja, riwayat alergi,
riwayat atopi, riwayat penyakit kulit sebelumnya dan personal hygiene) yang
berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing
meubel kayu di wilayah Ciputat Timur tahun 2012, dapat dilihat pada tabel
5.2 dan 5.3 berikut :
Gambaran
Dermatitis Kontak Frekuensi Prosentase (%)
Dermatitis Kontak 33 40.2
Tidak Dermatitis Kontak 49 59.8
Total 82 100
79
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Lama kontak, Frekuensi kontak, Usia, dan Masa
kerja Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah
Ciputat Timur Tahun 2012
No Variabel Mean SD Min Max
1 Lama Kontak 6.8 jam/hari 1.3 4 jam/hari 9.5 jam/hari
2 Frekuensi Kontak 4 kali/hari 2 2 kali/hari 8 kali/hari
3 Usia 35 tahun 11 16 tahun 65 tahun
4 Masa Kerja 89 bulan 79.9 1 bulan 360 bulan
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Riwayat Alergi, Riwayat Atopi, Riwayat Penyakit
Kulit, dan Personal Hygiene Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di
Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012
No Variabel Kategori Frekuensi Prosentase
(%)
1 Riwayat Alergi Berisiko (Alergi)
Tidak Berisiko (Tidak Alergi)
25
57
30.5
69.5
2 Riwayat Atopi Berisiko (Atopi)
Tidak Berisiko (Tidak Atopi)
32
50
39
61
3 Riwayat Penyakit Kulit
Berisiko (Ada Riwayat
Penyakit Kulit) 58 70.7
Tidak Berisiko (Tidak Ada
Riwayat Penyakit Kulit) 24 29.3
4 Personal Hygiene Tidak Baik
Baik
82
0
100
0
80
a. Lama Kontak
Lama kontak merupakan lamanya waktu pekerja kontak dengan bahan-
bahan penyebab dermatitis kontak di tempat kerja yang dihitung jam/hari.
Data mengenai lama kontak diperoleh dari lembar daily activity
recallpekerja. Pada tabel 5.2 diketahui bahwa rata-rata lama kontak
pekerja proses finishing meubel kayu adalah sebesar 6.8 jam/hari dengan
nilai standar deviasi sebesar 1.3.Waktu lama kontak terpendek pekerja
adalah 4 jam/hari dan lama kontak terpanjang adalah 9.5 jam/hari.
b. Frekuensi Kontak
Frekuensi kontak merupakan jumlah berapa kalinya responden kontak
dengan bahan yang menyebabkan dermatitis kontak di tempat kerja
dalam hitungan x/kali. Data mengenai frekuensi kontak diperoleh dari
lembar daily activity recall pekerja. Pada tabel 5.2 diketahui bahwa rata-
rata frekuensi kontak pekerja proses finishing meubel dengan bahan
kimia yang digunakan adalah sebesar 4 kali/hari dengan nilai standar
deviasi sebesar 2. Frekuensi kontak terendah pekerja adalah 2 x/hari dan
frekuensi kontak tertinggi adalah 8 x/hari.
c. Usia
Usia adalah lama hidup pekerja terhitung sejak lahir sampai penelitian
berlangsung yang diketahui melalui kuesioner. Berdasarkan tabel 5.2
diketahui bahwa rata-rata usia pekerja proses finishing meubel adalah 35
tahun dengan nilai standar deviasi sebesar 11. Usia termuda pekerja
adalah 16 tahun dan usia tertua pekerja adalah 65 tahun.
81
d. Masa Kerja
Masa kerja adalah kurun waktu atau lamanya responden bekerja sebagai
pekerja meubel sejak awal bekerja sampai penelitian berlangsung. Data
masa kerja diperoleh dari kuesioner. Berdasarkan tabel 5.2 diketahui
bahwa rata-rata masa kerja pekerja proses finishing meubel kayu adalah
89 bulan dengan nilai standar deviasi sebesar 79.9. Masa kerja terpendek
adalah 1 bulan dan masa kerja terlama adalah 360 bulan.
e. Riwayat Alergi
Riwayat alergi adalah reaksi tubuh pekerja yang berlebihan terhadap
benda asing/zat tertentu yang diketahui melalui kuesioner. Pada tabel 5.3
diketahui bahwa pekerja yang mempunyai alergi adalah sebanyak 25
orang (30.5%) dan pekerja yang tidak mempunyai alergi adalah sebanyak
57 orang (69.5%).
f. Riwayat Atopi
Riwayat atopi adalah penyakit pada pekerja yang mempunyai riwayat
kepekaan dalam keluarganya atau diturunkan dari keluarganya, seperti
asma, rhinitis alergi, dermatitis atopi, dan konjungtivitis alergi. Data
riwayat atopi diperoleh dari kuesioner. Berdasarkan tabel 5.3 diketahui
bahwa pekerja yang memiliki riwayat atopi sebanyak 32 orang (39%) dan
pekerja yang tidak memiliki riwayat atopi adalah sebanyak 50 (61%).
g. Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya
Riwayat penyakit kulit sebelumnya adalah peradangan pada kulit dengan
gejala subjektif berupa gatal, rasa terbakar, kemerahan, bengkak,
82
pembentukan lepuh kecil pada kulit, kulit mengelupas, kulit kering, kulit
bersisik, dan penebalan pada kulit atau kelainan kulit lainnya yang
sebelumnya pernah atau sedang diderita oleh pekerja. Data riwayat
penyakit kulit sebelumnya diperoleh melalui kuesioner. Berdasarkan
tabel 5.3 diketahui bahwa pekerja yang memiliki riwayat penyakit kulit
sebelumnya adalah sebanyak 58 orang (70.7%) sedangkan pekerja yang
tidak memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya adalah sebanyak 24
orang (29.3%).
h. Personal Hygiene
Personal hygiene adalah kebiasaan pekerja untuk membersihkan tangan
dengan baik sebelum dan setelah bekerja dan tidak adanya noda atau
cipratan bahan kimia di pakaian pekerja saat bekerja yang diketahui
melalui lembar observasi. Berdasarkan tabel 5.3 diketahui bahwa pekerja
dengan personal hygiene yang tidak baik adalah sebanyak 82 orang
(100%).
C. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mencari hubungan variabel independen
dengan variabel dependen menggunakan uji statistik yang sesuai dengan skala
data yang ada. Uji normalitas data didapatkan bahwa variabel numerik yang
berdistribusi normal adalah lama kontak dan usia sehingga digunakan uji t-test
independent untuk menguji hubungan lama kontak dan usia dengan dermatitis
kontak. Sedangkan data variabel frekuensi kontak dan masa kerja tidak
berdistribusi normal sehingga digunakan uji mann-whitney untuk menguji
83
hubungan frekuensi kontak dan masa kerja dengan dermatitis kontak. Untuk
menguji variabel katagorik dari faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
dermatitis kontak (riwayat alergi, riwayat atopi, dan riwayat penyakit kulit)
dengan variable dermatitis kontak digunakan uji Chi Square.
Hasil analisis hubungan antara faktor – faktor (Lama kontak, Frekuensi
Kontak, Usia, Masa Kerja, Riwayat Alergi, Riwayat Atopi, dan Riwayat
Penyakit Kulit) dengan kejadian dermatitis kontak pada Pekerja Proses Finishing
Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012, dapat dilihat pada tabel
berikut ini :
Tabel 5.4
Hubungan Faktor – Faktor (Lama kontak dan Usia) dengan
Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel
Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012.
No Variabel Kejadian Dermatitis
Kontak N Mean Pvalue
1 Lama Kontak Dermatitis Kontak 33 6.9 jam/hari 0.532
Tidak Dermatitis Kontak 49 6.7 jam/hari
3 Usia Dermatitis Kontak 33 41.3 tahun 0.000
Tidak Dermatitis Kontak 49 31.4 tahun
84
Tabel 5.5
Hubungan Faktor – Faktor (Frekuensi Kontak dan Masa Kerja)
dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing
Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012
Tabel 5.6
Hubungan Faktor – Faktor (Riwayat alergi, Riwayat atopi, &
Riwayat penyakit kulit) dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada
Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur
Tahun 2012
No Variabel Kategori
Frekuensi
P
Value Dermatitis
Tidak
Dermatitis Total
N % N % N %
1 Riwayat
Alergi
Berisiko (Alergi) 14 56 11 44 25 100
0,093 Tidak Berisiko
(Tidak Alergi) 19 33.3 38 66.7 57 100
2 Riwayat
Atopi
Berisiko (Atopi) 19 59.4 13 40,6 32 100
0.009 Tidak Berisiko
(Tidak Atopi) 14 29.8 36 70,2 50 100
3
Riwayat
Penyakit
Kulit
Berisiko
(Ada Riwayat
Penyakit Kulit)
28 48,3 30 51.7 58 100
0.04 Tidak Berisiko
(Tidak Ada
Riwayat Penyakit
Kulit)
5 20,8 19 79,2 24 100
No Variabel Kejadian Dermatitis
Kontak N
Mean
Rank P value
1 Frekuensi Kontak Dermatitis Kontak 33 38.26
43.68 0.304
Tidak Dermatitis Kontak 49
2 Masa Kerja Dermatitis Kontak 33 53.88
33.16 0.000
Tidak Dermatitis Kontak 49
85
1. Hubungan Antara Lama kontak dengan Kejadian Dermatitis Kontak
pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur
Tahun 2012.
Berdasarkan penyajian hasi uji statistik pada tabel 5.4 diketahui
bahwa rata-rata lama kontak pekerja yang mengalami dermatitis kontak
adalah 6.9 jam/hari, sedangkan rata-rata lama kontak pekerja yang tidak
mengalami dermatitis kontak adalah 6.7 jam/hari. Variabel lama kontak
memiliki nilai p value sebesar 0.532 yang dapat diartikan bahwa pada =5%
tidak ada hubungan antara lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak
pada pekerja proses finishing meubel kayu di wilayah Ciputat Timur tahun
2012.
2. Hubungan Antara Frekuensi Kontak dengan Kejadian Dermatitis
Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat
Timur Tahun 2012.
Berdasarkan penyajian hasi uji statistik pada tabel 5.5 diketahui
bahwa mean rank frekuensi kontak pada pekerja yang dermatitis kontak
adalah sebesar 38.26 sedangkan mean rank frekuensi kontak pada pekerja
yang tidak dermatitis kontak adalah sebesar 43.68. Variabel frekuensi kontak
memiliki nilai p value sebesar 0.304 yang dapat diartikan bahwa pada =5%
tidak ada hubungan antara frekuensi kontak dengan kejadian dermatitis
kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di wilayah Ciputat Timur
tahun 2012.
86
3. Hubungan Antara Usia dengan Kejadian Dermatitis Kontak pada
Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur
Tahun 2012.
Berdasarkan penyajian hasi uji statistik pada tabel 5.4 diketahui
bahwa rata-rata usia pekerja yang mengalami dermatitis kontak adalah 41
tahun, sedangkan rata-rata usia pekerja yang tidak mengalami dermatitis
kontak adalah 31 tahun. Variabel usia memiliki nilai pvalue sebesar 0.000
yang dapat diartikan bahwa pada =5% ada hubungan antara usia dengan
kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di
wilayah Ciputat Timur tahun 2012.
4. Hubungan Antara Masa Kerja dengan Kejadian Dermatitis Kontak
pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur
Tahun 2012.
Berdasarkan penyajian hasi uji statistik pada tabel 5.5 diketahui
bahwa mean rank masa kerja pekerja yang dermatitis kontak adalah sebesar
53.88 sedangkan mean rank masa kerja pekerja yang tidak dermatitis kontak
adalah sebesar 33.16. Variabel masa kerja memiliki nilai pvalue sebesar
0.000 yang dapat diartikan bahwa pada =5% ada hubungan antara masa
kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel
kayu di wilayah Ciputat Timur tahun 2012.
5. Hubungan Antara Riwayat Alergi dengan Kejadian Dermatitis Kontak
Pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur
Tahun 2012.
Berdasarkan tabel 5.6 dapat diketahui bahwa dari 25 orang pekerja
yang memiliki riwayat alergi, terdapat 14 orang (56%) yang mengalami
dermatitis kontak dan 11 orang (44%) yang tidak mengalami dermatitis
87
kontak. Sedangkan dari 57 orang pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi,
terdapat 19 orang (33.3%) yang mengalami dermatitis kontak dan 38 orang
(66.7%) yang tidak mengalami dermatitis kontak. Hasil uji statistik
menunjukkan bahwa nilai pvalue variabel riwayat alergi adalah sebesar 0.093
yang dapat diartikan bahwa pada =5% tidak ada hubungan antara riwayat
alergi dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing
meubel kayu di wilayah Ciputat Timur tahun 2012.
6. Hubungan Antara Riwayat Atopi dengan Kejadian Dermatitis Kontak
pada Pekerja Proses Finishing Meubel Kayu di Wilayah Ciputat Timur
Tahun 2012.
Berdasarkan tabel 5.6 dapat diketahui bahwa dari 32 orang pekerja
yang memiliki riwayat atopi, terdapat 19 orang (59.4%) yang mengalami
dermatitis kontak dan 13 orang (40.6%) yang tidak mengalami dermatitis
kontak. Sedangkan dari 50 orang pekerja yang tidak memiliki riwayat atopi,
terdapat 14 orang (29.8%) yang mengalami dermatitis kontak dan 36 orang
(70.2%) yang tidak mengalami dermatitis kontak. Hasil uji statistik
menunjukkan bahwa nilai pvalue variabel riwayat atopi adalah sebesar 0.009
yang dapat diartikan bahwa pada =5% ada hubungan antara riwayat atopi
dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu
di wilayah Ciputat Timur tahun 2012.
7. Hubungan Antara Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya dengan
Kejadian Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel
Kayu di Wilayah Ciputat Timur Tahun 2012.
Berdasarkan tabel 5.6 dapat diketahui bahwa dari 58 orang pekerja
yang memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya, terdapat 28 orang (48.3%)
88
yang mengalami dermatitis kontak dan 30 orang (51.7%) yang tidak
mengalami dermatitis kontak. Sedangkan dari 24 orang pekerja yang tidak
memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya, terdapat 5 orang (20.8%) yang
mengalami dermatitis kontak dan 19 orang (79.2%) yang tidak mengalami
dermatitis kontak. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai pvalue
variabel riwayat penyakit kulit sebelumnya adalah sebesar 0.040 yang dapat
diartikan bahwa pada =5% ada hubungan antara riwayat penyakit kulit
sebelumnya dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing
meubel kayu di wilayah Ciputat Timur tahun 2012.
89
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian
1. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain study
cross sectional. Dengan desain study cross sectional, penelitian dilakukan
pada satu waktu tertentu sehingga tidak dapat menentukan hubungan sebab
akibat. Akan tetapi hanya mampu menjelaskan hubungan antar variabel.
2. Penentuan diagnosis dermatitis kontak dilakukan dengan pemeriksaan fisik
oleh dokter, dimana dokter memeriksa melalui gambaran umum tanda dan
gejala yang dialami oleh pekerja tanpa menggunakan uji tempel yang
merupakan uji untuk memperkuat kejadian dermatitis kontak. Hal tersebut
disebabkan karena adanya ketebatasan biaya dan waktu penelitian.
3. Penelitian ini tidak melakukan uji konsentrasi bahan kimia yang digunakan
karena beragamnya jenis bahan kimia yang digunakan pada proses finishing
meubel sehingga sulit untuk menentukan bahan kimia mana yang
menyebabkan kejadian dermatitis kontak. Hal tersebut juga disebabkan oleh
keterbatasan biaya dan waktu penelitian.
4. Hasil penelitian sangat dipengaruhi oleh ingatan dan kejujuran responden
dalam menjawab pertanyaan terkait variabel lama kontak, frekuensi kontak,
riwayat alergi, riwayat atopi, dan riwayat penyakit kulit sebelumnya dalam
kuesioner penelitian.
90
B. Kejadian Dermatitis Kontak
Menurut Djuanda (1987), Dermatitis kontak ialah dermatitis karena
kontaktan eksternal yang menimbulkan fenomen sensitisasi atau toksik.
Sedangkan menurut John, SC (1998) dalam Occupational Dermatology,
dermatitis kontak akibat kerja didefinisikan sebagai penyakit kulit dimana
pajanan di tempat kerja merupakan faktor penyebab yang utama serta faktor
kontributor.
Penelitian mengenai dermatitis kontak pada pekerja proses finishing
meubel kayu di wilayah Ciputat Timur tahun 2012 menunjukkan bahwa 40.2%
(33 orang) dari 82 pekerja mengalami dermatitis kontak. Menurut Cohen & Rice
(2004) dalam Ruhdiat (2006), bahan kimia selalu dan merupakan penyebab
terbesar terjadinya dermatitis kontak akibat kerja. Sehingga kejadian dermatitis
kontak dalam penelitian ini disebabkan karena pekerja proses finishing meubel
kayu menggunakan berbagai jenis bahan kimia dalam proses kerjanya serta
adanya kontak dengan serbuk kayu. Seperti yang diutarakan oleh Harrianto
(2008) bahwa kecenderungan untuk semakin banyak menggunakan bahan-bahan
industri, yang merupakan substansi allergen dan iritan, dapat menyebabkan
kenaikan prevalensi dermatitis kontak. Serbuk kayu merupakan salah satu bahan
iritan yang dapat menyebabkan kejadian dermatitis kontak (Strait, 2001;
Djuanda, 2003). Adanya kandungan substansi kimia dari getah tumbuh-
tumbuhan yang ada dalam serbuk kayu dapat menyebabkan dermatitis kontak
(Djuanda, 1987).
91
Berdasarkan hasil observasi lapangan, bahan kimia yang digunakan
pekerja proses finishing meubel kayu adalah wood filler untuk pendempulan,
wood stain untuk pewarnaan, sanding sealer untuk politur sebagai cat dasar,
thinner dan spirtus sebagai bahan campuran, dan sanding melamic clear sebagai
cat akhir untuk pengkilapan. Bahan dasar dari bahan-bahan tersebut adalah resin
nitrosellulosa (diasamkan dengan asam nitrat & asam sulfat), melamine
(formaldehid dan fenol), alkyd (glyserol dan asam phtalat), shellac (kelenjar
insekta) dan pigmen. Kemudian spirtus dan thinner yang digunakan sebagai
bahan campuran mengandung methanol, xylen, toluene, butyl alcohol, butyl
cellosove, isopropyl alcolol. Bahan-bahan tersebut seperti formaldehid, asam
nitrat, asam sulfat, xylen, dan toluen merupakan bahan yang berbahaya pada
kulit karena dapat menyebabkan iritasi pada kulit.
Tanda dan gejala kelainan kulit yang dialami oleh 33 orang (40.2%)
pekerja yang mengalami dermatitis kontak adalah berupa gatal, perih,
kemerahan, papula (tonjolan padat), vesikel (tonjolan berisi air), krusta,
licenifikasi (kulit mengkilap), kulit mengelupas, hyperkeratosis (penebalan
kulit). Tanda dan gejala tersebut mencakupi pernyataan dalam Djuanda dan
Sularsito (2002) yang menyebutkan pada penderita dermatitis kontak kulit terasa
pedih atau panas, kering, adanya eritema (kemerahan), vesikel atau bula, papula,
krusta, fisura, edema, skuama, dan likenifikasi (kulit mengkilap, menebal,
menghitam).
92
Gambar 6.1
Dermatitis Kontak pada Pekerja Proses Finishing Meubel
Kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu
berlokasi pada bagian tangan yaitu punggung tangan, telapak tangan, sela jari
tangan, dan pergelangan tangan. Menurut Permana (2010), tangan merupakan
lokasi tersering terkena dermatitis. Lebih dari sepertiga penyakit kulit akibat
kerja berlokasi ditangan (Wilde dkk, 2008). Hal tersebut terjadi karena pekerja
menggunakan tangannya secara langsung dalam mengaplikasikan bahan kimia
yang digunakan dalam proses kerja sehingga tangan mengalami kontak langsung
dengan bahan kimia maupun serbuk kayu yang ada pada meubel.
Kejadian tersebut juga didukung oleh perilaku pekerja yang tidak
menggunakan APD berupa sarung tangan pada saat melakukan pekerjaan sebagai
pembatas kontak langsung pada kulit dan personal hygiene pekerja yang buruk.
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, 100% (82 orang) pekerja proses finishing
tidak menggunakan APD yang berupa sarung tangan sehingga risiko terjadinya
dermatitis kontak semakin meningkat. Faktor personal hygiene juga mendukung
93
kejadian dermatitis kontak. Pengamatan yang dilakukan terhadap personal
hygiene pekerja didapatkan bahwa 100% (82 orang) pekerja memiliki personal
hygiene yang buruk, dimana menurut beberapa sumber yaitu Hipp (1985) dan
Rietschel (1985) dalam Utomo (2007) serta Djuanda & Sularsito (2002)
menyatakan bahwa personal hygiene merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kejadian dermatitis kontak.
Dalam pengamatan peneliti, setelah melakukan pekerjaannya, pekerja
tidak langsung mencuci tangan untuk membersihkan bahan-bahan kimia yang
menempel pada kulit tangan melainkan langsung istirahat dan melakukan
pekerjaan lain sehingga risiko dermatitis kontak pun meningkat. Seperti halnya
tujuan pelaksanaan personal hygiene adalah untuk, menghilangkan minyak dan
keringat, sel-sel kulit mati, dan bakteri, menghilangkan bau badan, memelihara
integritas permukaan kulit, menstimulasi sirkulasi peredaran darah seseorang,
serta meningkatkan dan menjaga derajat kesehatan seseorang (Pradjawanto,
2009). Sehingga pekerja dengan personal hygiene yang buruk lebih besar
risikonya terhadap dermatitis kontak.
Sebagian besar pekerja mencuci tangan dengan menggunakan air yang
ditampung di ember atau penampungan lain yang tidak melngalir, padahal telah
tersedianya sarana mencuci tangan di setiap tempat kerja yang berupa kamar
mandi. Bahkan, sebagian besar pekerja mencuci tangan menggunakan spirtus dan
thinner dengan alasan lebih mudah menghilangkan noda bahan kimia yang
menempel ditangan. Padahal menurut Koh dan Goh (1996), larutan pelarut
94
seperti thinner dan kerosene dapat pula mengakibatkan dermatitis kontak iritan
kumulatif bila sering digunakan secara salah sebagai pembersih kulit.
Berdasarkan observasi, diketahui juga bahwa pada sebagian besar sarana
yang mendukung personal hygiene, disediakan sabun yang fungsinya bukan
untuk mencuci tangan melainkan untuk mencuci pakaian dan/atau perabotan
dapur. Kesalahan penggunaan sabun ini bisa menjadi penyebab yang
memperparah kondisi dermatitis kontak. Karena menurut Cohen (1999),
pemilihan jenis sabun pencuci tangan juga dapat berpengaruh terhadap
kebersihan sekaligus kesehatan kulit pekerja.
Dari variabel-variabel (lama kontak, frekuensi kontak, usia, masa kerja,
riwayat alergi, riwayat atopi, riwayat penyakit kulit sebelumnya) yang diteliti
dalam penelitian ini, terdapat 4 variabel yang berhubungan dengan kejadian
dermatitis kontak yaitu usia (rata-rata 35 tahun), masa kerja (rata-rata 89 bulan),
riwayat atopi, dan riwayat penyakit kulit sebelumnya. Penelitian ini memiliki
beberapa keterbatasan yang telah dijelaskan sebelumnya, sehingga diharapkan
untuk peneliti selanjutnya untuk melakukan uji tempel yang berguna untuk
memperkuat pemeriksaan dermatitis kontak.
Di bawah ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai hasil penelitian
faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja
proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur tahun 2012.
95
C. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis Kontak
1. Hubungan Lama Kontak dengan Dermatitis Kontak
Lama kontak merupakan lamanya waktu pekerja kontak dengan
bahan-bahan penyebab dermatitis kontak di tempat kerja yang dihitung
jam/hari. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa variabel lama kontak
memiliki nilai pvalue sebesar 0.532 yang artinya tidak ada hubungan antara
lama kontak dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing
meubel kayu di wilayah Ciputat Timur tahun 2012.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Nuraga (2008), yang menyatakan bahwa adanya hubungan
antara lama kontak dengan dermatitis kontak. Proporsi pekerja yang
mengalami dermatitis kontak dengan lama kontak 8 jam adalah 73.1%,
sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan lama
kontak <8 jam adalah sebesar 22.2% (Nuraga,2008). Hasil penelitian Nuraga
(2008) menunjukkan bahwa semakin lama kontak maka semakin besar pula
risiko kejadian dermatitis yang dialami pekerja.
Lama kontak mempengaruhi kejadian dermatitis kontak karena
semakin lama kulit kontak dengan bahan kimia, maka menyebabkan
rusaknya sel kulit lapisan luar, semakin sering berkontak maka semakin
rusaknya sel kulit lapisan yang lebih dalam sehingga kejadian dermatitis
kontak semakin berisiko tinggi (Cohen, 1999). Semakin lama kontak dengan
bahan kimia, maka peradangan atau iritasi kulit dapat terjadi sehingga
menimbulkan kelainan kulit (Nuraga, 2008). Menurut Djuanda (2003),
96
semakin lama kontak dengan bahan kimia maka semakin berisiko terjadinya
dermatitis kontak.
Lama kontak pekerja proses finishing meubel kayu dengan bahan
kimia berbeda-beda. Hal tersebut disebabkan karena ada pekerja yang
bekerja terkait dengan jam kerja yang ditetapkan serta ada juga pekerja yang
bekerja secara suka-suka. Kemudian adanya sistem kerja borongan yang
mengharuskan pekerja bekerja lebih ekstra dari biasanya, yang dapat
menyebabkan lama kontak pekerja lebih lama dari biasanya.
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa rata-rata lama
kontak pekerja yang mengalami dermatitis kontak adalah 6.9 jam/hari,
sedangkan rata-rata lama kontak pekerja yang tidak mengalami dermatitis
kontak adalah 6.7 jam/hari. Jadi dapat diartikan bahwa baik pekerja yang
dermatitis kontak dan tidak dermatitis kontak rata-rata lama kontak dengan
bahan kimia adalah selama ±7 jam/hari. Sehingga lama kontak antara pekerja
yang dermatitis kontak dan tidak dermatitis kontak tidak berbeda satu sama
lain.
Dengan rata-rata lama kontak yang sama yaitu ±7 jam/hari, dapat
diasumsikan pekerja memiliki risiko dermatitis kontak yang sama. Akan
tetapi, dalam penelitian ini didapatkan bahwa ada pekerja yang mengalami
dermatitis kontak dan ada pekerja yang tidak mengalami dermatitis kontak.
Hal tersebut terjadi karena berdasarkan analisis, diketahui bahwa rata-rata
masa kerja (pvalue : 0.000) pekerja yang tidak mengalami dermatitis kontak
(rata-rata lama kontak 6.7 jam/hari) adalah sebesar 65 bulan (5 tahun 5 bulan)
97
lebih pendek dibandingkan dengan rata-rata masa kerja pada pekerja yang
mengalami dermatitis kontak (rata-rata lama kontak 6.9 jam/hari) yaitu 124
bulan (10 tahun 4 bulan). Sehingga dapat disimpulkan bahwa perbedaan
risiko kejadian dermatitis kontak antar kelompok pekerja dengan rata-rata
lama kontak yang sama, dipengaruhi oleh masa kerja pekerja pada masing-
masing kelompok yang berbeda.
Pekerja dengan masa kerja yang lebih lama cenderung memiliki
frekuensi kontak dan lama kontak yang lebih sering dibanding dengan
pekerja yang baru. Seperti yang dikatakan oleh Djuanda dan Sularsito (2007),
semakin sering pekerja mengalami kontak dengan bahan kimia, maka
semakin tinggi kesempatan untuk mengalami dermatitis kontak serta
meningkatkan keparahan penyakitnya.
Dalam penelitian ini, tidak adanya hubungan antara lama kontak
dengan dermatitis kontak, dimungkinkan disebabkan adanya pengaruh
faktor-faktor lain seperti riwayat atopi (pvalue : 0.009) dan riwayat penyakit
sebelumnya (pvalue : 0.04). Pekerja dengan lama kontak yang cenderung
sebentar belum tentu memiliki risiko dermatitis kontak yang lebih rendah
dibandingkan dengan pekerja yang lama kontaknya cenderung sering. Dalam
penelitian ini diketahui bahwa dari 14 orang pekerja yang mengalami
dermatitis kontak dengan lama kontak < 6.9 jam, terdapat 9 orang (64.3%)
memiliki riwayat atopi dan 11 orang (78.6%) memiliki riwayat penyakit kulit
sebelumnya.
98
Orang dengan riwayat atopi memiliki tubuh dengan hipersensitivitas
yang tinggi jika terkena paparan benda asing di lingkungannya (Harijono,
2006), karena hal tersebutlah pekerja dengan riwayat atopi memiliki risiko
yang lebih tinggi terhadap dermatitis kontak. Kemudian.adanya riwayat
penyakit kulit sebelumnya menyebabkan fungsi perlindungan kulit menurun
karena adanya kerusakan pada kulit. Menurut Jeyaratnam & Koh (1996)
pekerja yang pernah mengalami riwayat penyakit kulit sebelumnya dengan
meninggalkan bekas seperti kulit yang mengelupas, lecet, atau tergores dapat
menjadi faktor predisposisi dermatitis kontak sehingga bahan kimia lebih
mudah masuk ke dalam kulit. Jadi jika pekerja memiliki riwayat penyakit
kulit sebelumnya dan melakukan kontak dengan bahan kimia, meskipun
sebentar akan dapat menyebabkan timbulnya dermatitis kontak.
Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan tersebut diperkirakan karena
adanya pengaruh dari riwayat atopi (pvalue : 0.009) dan riwayat penyakit
kulit sebelumnya (pvalue : 0.04) menyebakan tidak adanya hubungan antara
lama kontak dengan dermatitis kontak pada penelitian ini.
2. Hubungan Frekuensi Kontak dengan Dermatitis Kontak
Frekuensi kontak merupakan jumlah berapa kalinya responden kontak
dengan bahan yang menyebabkan dermatitis kontak di tempat kerja dalam
hitungan x/kali. Hasil uji statistik pada tabel 5.4 menunjukkan bahwa
variabel frekuensi kontak memiliki nilai pvalue sebesar 0.304 yang dapat
diartikan bahwa pada =5% tidak ada hubungan antara frekuensi kontak
99
dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu
di wilayah Ciputat Timur tahun 2012.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Ruhdiat (2006) yang menyatakan adanya hubungan antara frekuensi
kontak dengan kejadian dermatitis kontak dengan proporsi pekerja yang
mengalami dermatitis kontak dengan frekuensi kontak ≥5 kali/hari sebesar
96.3%, sedangkan proporsi pekerja yang mengalami dermatitis kontak
dengan frekuensi kontak <5 kali/hari adalah sebesar 79.4%. Hasil penelitian
Ruhdiat (2006) menyatakan bahwa pekerja dengan frekuensi kontak lebih
banyak maka akan lebih berisiko terkena dermatitis kontak dibandingkan
dengan pekerja dengan frekuensi kontak yang lebih sedikit.
Terjadinya dermatitis kontak akibat kerja sebagian besar karena
kontak dengan bahan kimia yang dipengaruhi oleh faktor lamanya kontak
dan frekuensi kontak. Semakin lama bahan kimia kontak dengan kulit maka
akan semakin luas dan dalam penetrasi bahan kimia terhadap lapisan kulit,
yang akan mencetuskan reaksi peradangan/iritasi kulit yang lebih luas dan
berat (Agius R, 2004; Cohen dan Rice R.H, 2004). Jika pekerja kontak
dengan bahan kimia yang sedikit jumlahnya tetapi dengan frekuensi kontak
yang lebih banyak, maka akan beresiko mengalami dermatitis dengan luas
dan berat yang lebih.
Frekuensi kontak pekerja proses finishing meubel kayu berbeda-beda
satu sama lainnya, karena sistem kerja yang dilakukan di meubel kayu
berbeda-beda ada yang terkait dengan jam kerja yang ditetapkan ada juga
100
yang bekerja secara suka-suka. Umumya pekerja bekerja secara borongan
tergantung pesanan konsumen, sehingga ada saatnya pekerja sering kontak
dengan bahan kimia, dan ada kalanya pekerja jarang kontak dengan bahan
kimia yang digunakan.
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa rata-rata frekuensi
kontak pekerja proses finishing meubel dengan bahan kimia pada tabel 5.2
adalah sebesar 4 kali/hari dengan frekuensi kontak minimum 2kali/hari dan
maksimum 8 kali/hari. Hasil tersebut menunjukkan bahwa rata-rata frekuensi
kontak pekerja tidak sering bahkan cenderung jarang jika mengacu pada
kategori dalam penelitian Ruhdiat (2006). Pada dasarnya diketahui bahwa
pekerja dengan frekuensi kontak yang jarang lebih rendah risikonya
dibandingkan dengan pekerja dengan frekuensi kontak yang sering.
Dalam penelitian ini, pekerja dengan frekuensi kontak yang lebih
jarang belum tentu lebih rendah risikonya terhadap dermatitis kontak. Hal ini
disebabkan karena adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi dermatitis
kontak. Salah satunya adalah faktor usia (pvalue : 0.000). Dalam penelitian
ini diketahui bahwa rata-rata usia pekerja yang mengalami dermatitis kontak
dengan frekuensi kontak ≤ 4 kali/hari adalah 40 tahun. Menurut Health
Safety Executive (2000) dalam Suryani (2011) kondisi kulit mengalami
proses penuaan mulai dari usia 40 tahun. Terkait dengan tekstur kulitnya
pekerja yang berusia tua lebih berisiko terkena dermatitis kontak karena
fungsi perlindungan kulit yang semakin menurun dan kecenderungan
101
menipisnya lapisan luar kulit pada usia tua yang memudahkan penetrasi
bahan kimia ke dalam kulit (Cohen, 1999).
Kemudian jika ditinjau dari faktor masa kerja (pvalue : 0.000),
diketahui bahwa rata-rata masa kerja pekerja yang mengalami dermatitis
kontak dengan frekuensi kontak ≤ 4 kali/hari adalah 124 bulan (10 tahun 4
bulan). Jika frekuensi kontak pekerja sedikit tetapi masa kerjanya lebih lama
maka pekerja akan mengalami kontak dengan bahan kimia yanglebih lama
pula sehingga meningkatkan risiko dermatitis kontak karena bahan
kimiamasuk dan menempel pada kulit lebih lama. Menurut Djuanda dan
Sularsito (2007), semakin sering pekerja mengalami kontak dengan bahan
kimia, maka semakin tinggi kesempatan untuk mengalami dermatitis kontak
serta meningkatkan keparahan penyakitnya.
Beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi adalah riwayat atopi
(pvalue : 0.009) dan riwayat penyakit kulit sebelumnya (pvalue : 0.04).
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa dari 21 orang pekerja yang
mengalami dermatitis kontak dengan frekuensi kontak ≤ 4 kali/hari,
didapatkan 13 orang (61.9%) memiliki riwayat atopi dan 17 orang (81%)
memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya. Orang dengan riwayat atopi
memiliki tubuh dengan hipersensitivitas yang tinggi jika terkena paparan
benda asing di lingkungannya (Harijono, 2006), karena hal tersebutlah
pekerja dengan riwayat atopi memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap
dermatitis kontak. Demikian pula dengan riwayat penyakit kulit sebelumnya,
menurut Jeyaratnam & Koh (1996) pekerja yang pernah mengalami riwayat
102
penyakit kulit sebelumnya dengan meninggalkan bekas seperti kulit yang
mengelupas, lecet, atau tergores dapat menjadi faktor predisposisi dermatitis
kontak hingga bahan kimia lebih mudah masuk ke dalam kulit.
Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan tersebut diperkirakan karena
adanya pengaruh dari usia (pvalue : 0.000), masa kerja (pvalue : 0.000)
riwayat atopi (pvalue : 0.009) dan riwayat penyakit kulit sebelumnya (pvalue
: 0.04) yang menyebakan tidak adanya hubungan antara frekuensi kontak
dengan dermatitis kontak pada penelitian ini.
3. Hubungan Usia dengan Dermatitis Kontak
Usia adalah lama hidup pekerja terhitung sejak lahir sampai penelitian
berlangsung yang diketahui melalui kuesioner. Hasil uji statistik pada tabel
5.4 menunjukkan bahwa usia memiliki nilai pvalue sebesar 0.000 yang dapat
diartikan bahwa pada =5% ada hubungan yang signifikan antara usia
dengan kejadian dermatitis kontak.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata usia pekerja
adalah 35 tahun dengan usia termuda adalah 16 tahun dan usia tertua pekerja
adalah 65 tahun. Pada tabel 5.4 dapat diketahui bahwa rata-rata usia pekerja
yang mengalami dermatitis kontak adalah 41 tahun sedangkan rata-rata usia
pekerja yang tidak mengalami dermatitis kontak adalah 31 tahun. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa pekerja yang mengalami dermatitis kontak
adalah pekerja dengan rata-rata usia 41 tahun yaitu pekerja yang tergolong
usia tua. Menurut Health Safety Executive (2000) dalam Suryani (2011),
kondisi kulit mengalami proses penuaan mulai dari usia 40 tahun.
103
Kondisi kulit pekerja yang lebih tua cenderung lebih rentan karena
fungsinya sudah menurun dibandingkan dengan kondisi kulit pekerja yang
lebih muda yang cenderung lebih sehat sehingga lebih berisiko terkena
dermatitis kontak. Sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa kulit manusia
mengalami degenerasi seiring bertambahnya usia. Sehingga kulit kehilangan
lapisan lemak diatasnya dan menjadi lebih kering. Kekeringan pada kulit ini
memudahkan bahan kimia untuk menginfeksi kulit, sehingga kulit lebih
mudah terkena dermatitis (Cohen, 1999). Pada pekerja yang lebih tua terjadi
peningkatan kerentanan terhadap bahan iritan dan kegagalan dalam
pengobatan, sehingga timbul dermatitis kontak (Cronin, 1980). Pada pekerja
dengan usia yang lebih tua, ketebalan kulit pun semakin berkurang, sehingga
lapisan kulit menipis dan menyebabkan mudahnya bahan kimia masuk ke
dalam lapisan kulit yang lebih dalam lagi.
Pada industri meubel kayu, tidak adanya sistem penempatan dimana
pekerja yang lebih muda ditempatkan di tempat yang lebih berisiko
dibanding pekerja yang lebih tua, sehingga risiko yang dihadapi pun sama.
Dengan risiko yang sama tetapi kondisi kulit yang berbeda, maka dapat
menjadi alasan bahwa pekerja lebih tua yang lebih berisiko terkena dermatitis
kontak. Hal inilah yang menyebabkan adanya hubungan antara usia dengan
kejadian dermatitis kontak.
Untuk mengurangi risiko dermatitis kontak, pengelola diharuskan
untuk menyediakan sarana dan prasarana penunjang personal hygiene yang
baik. Peningkatan kesadaran pekerja terhadap personal hygiene juga perlu
104
dilakukan, seperti adanya poster-poster mengenai kebersihan. Setelah
tersedianya sarana dan prasarana tersebut maka pekerja diwajibkan untuk
menggunakannya dengan baik sehingga risiko dermatitis kontak berkurang.
Kemudian penyediaan alat pelindung diri yang berupa sarung tangan sebagai
proteksi terhadap kontak langsung dengan bahan kimia juga diperlukan.
Sarung tangan yang cocok untuk melindungi tangan dari bahan kimia adalah
sarung tangan vinyl dan neoprene (Cholis, 1995). Pekerja juga diwajibkan
untuk memakai sarung tangan yang telah disediakan dengan pertimbangan
sensitivitas masing-masing individu. Dengan penerapan pengendalian
tersebut, diharapkan risiko dermatitis kontak berkurang.
4. Hubungan Masa Kerja dengan Dermatitis Kontak
Masa kerja adalah kurun waktu atau lamanya responden bekerja
sebagai pekerja meubel kayu sejak awal bekerja sampai penelitian
berlangsung. Hasil uji statistik pada tabel 5.4 diketahui masa kerja memiliki
nilai pvalue sebesar 0.000 yang dapat diartikan bahwa pada =5% ada
hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis
kontak.
Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa rata-rata masa kerja pekerja
proses finishing meubel adalah 89 bulan (7 tahun 5 bulan). Masa kerja
terpendek adalah 1 bulan dan masa kerja terlama adalah 360 bulan. Rata-rata
masa kerja pekerja proses finishing meubel cenderung lama yaitu 89 bulan
(7tahun 5 bulan). Dengan rata-rata masa kerja selama 89 bulan (7 tahun 5
bulan) maka dapat diasumsikan bahwa pekerja proses finishing meubel telah
105
lama melakukan kontak dengan bahan kimia sehingga risiko dermatitis
kontak pun meningkat.
Pekerja dengan masa kerja yang lebih lama cenderung memiliki
frekuensi kontak dan lama kontak yang lebih sering dibanding dengan
pekerja yang baru. Seperti yang dikatakan oleh Djuanda dan Sularsito (2007),
semakin sering pekerja menglami kontak dengan bahan kimia, maka semakin
tinggi kesempatan untuk mengalami dermatitis kontak serta meningkatkan
keparahan penyakitnya.
Pekerja dengan masa kerja yang lebih lama merupakan pekerja
dengan usia yang lebih tua, maka dari itu risiko dermatitis meningkat karena
kondisi kulit pekerja yang lebih tua telah menurun dibanding dengan pekerja
yang lebih muda. Sesuai dengan teori Cohen (1999) bahwa kulit manusia
mengalami degenerasi seiring bertambahnya usia. Sehingga kulit kehilangan
lapisan lemak diatasnya dan menjadi lebih kering. Kekeringan pada kulit ini
memudahkan bahan kimia untuk menginfeksi kulit, sehingga kulit lebih
mudah terkena dermatitis. Hal tersebutlah yang menyebabkan bahwa pekerja
dengan masa kerja yang lama memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap
dermatitis kontak dibanding dengan pekerja yang baru.
Pengendalian yang dapat dilakukan untuk pekerja proses finishing
meubel kayu adalah dengan mengurangi lama kontak kulit dengan bahan
kimia. Akan tetapi mengingat bahwa jam kerja pekerja tidak teratur serta
adanya sistem kerja borongan, maka pengurangan lama kontak tidak bisa
dilakukan. Hal lain yang dapat dilakukan adalah pengelola dianjurkan untuk
106
menyediakan sarana dan prasarana personal hygiene yang dibutuhkan
pekerja. Kemudian pekerja diharuskan untuk selalu menjaga personal
hygiene yang baik dibawah pengawasan pengelola yaitu dengan mencuci
bagian tubuh yang terkena bahan kimia dengan sabun menggunakan cara
yang benar setelah melakukan tiap proses finishing agar bahan kimia tidak
melekat terus di kulit sehingga meningkatkan risiko dermatitis kontak.
Pengelola juga dianjurkan untuk menyediakan alat pelindung diri
yang berupa sarung tangan vinyl dan neoprene untuk pekerja. Setelah
tersedia, maka pekerja diwajibkan untuk menggunakannya agar terhindar dari
kontak langsung antara bahan kimia dengan kulit pekerja. Pekerja yang selalu
menggunakan sarung tangan dengan tepat akan menurunkan terjadinya
dermatitis kontak akibat kerja baik jumlah maupun lama perjalanan
dermatitis kontak (Susanti, 2010).
5. Hubungan Riwayat Alergi dengan Dermatitis Kontak
Riwayat alergi adalah reaksi tubuh manusia yang berlebihan terhadap
benda asing tertentu atau bahan yang bersifat allergen. Pengertian lain adalah
reaksi terhadap berbagai rangsangan/zat dari luar tubuh misalnya seperti
debu, obat, atau makanan, yang pernah dialami oleh pekerja. Hasil uji
statistik menunjukkan bahwa nilai pvalue variabel riwayat alergi adalah
sebesar 0.093 yang dapat diartikan bahwa pada =5% tidak ada hubungan
antara riwayat alergi dengan kejadian dermatitis kontak. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian Utomo (2007) yang menyatakan bahwa tidak ada
hubungan antara riwayat alergi dengan dermatitis kontak.
107
Berdasarkan tabel 5.3, diketahui bahwa distribusi pekerja yang
memiliki riwayat alergi sebesar 25 (30.5%) orang, sedangkan yang tidak
memiliki riwayat alergi sebanyak 57 orang (69.5%). Pada tabel 5.5 dapat
diketahui bahwa dari 25 orang pekerja yang memiliki riwayat alergi, terdapat
14 orang (56%) yang mengalami dermatitis kontak dan 11 orang (44%) yang
tidak mengalami dermatitis kontak. Sedangkan dari 57 orang pekerja yang
tidak memiliki riwayat alergi, terdapat 19 orang (33.3%) yang mengalami
dermatitis kontak dan 38 orang (66.7%) yang tidak mengalami dermatitis
kontak.
Riwayat alergi merupakan salah satu aspek dalam menegakkan
diagnosis dermatitis kontak. Menurut Putro (1985) dalam Utomo (2007),
dalam melakukan diagnosis dermatitis kontak dapat dilakukan dengan
berbagai cara, diantaranya adalah dengan melihat sejarah dermatologi
termasuk riwayat penyakit pada keluarga, aspek pekerjaan, sejarah alergi
(misalnya alergi terhadap obat-obatan tertentu), dan riwayat lain yang
berhubungan dengan dermatitis.
Dalam penelitian ini, tidak adanya hubungan antara riwayat alergi dan
dermatitis kontak, dimungkinan disebabkan karena sebelumnya pekerja tidak
pernah melakukan pemeriksaan mengenai riwayat alergi sehingga pekerja
tidak mengetahui adanya riwayat alergi pada diri mereka. Kemudian pekerja
juga menyepelekan gejala alergi yang mereka alami sehingga tidak
menyadari bahwa mereka memiliki riwayat alergi. Dalam Dewan K3
Nasional (1982) dikatakan bahwa, reaksi sensitifitas allergen sangat
108
bervariasi tergantung pada faktor genetik seseorang, demikian pula
sensitifitasnya terhadap bahan kimia pada diri seseorang berbeda-beda.
Sehingga pekerja tidak menyadari tanda dan gejala alergi yang timbul pada
diri mereka, karena adanya perbedaan reaksi setiap tubuh orang terhadap
allergen. Hal tersebut berpengaruh dalam pemberian jawaban di kuesioner
yang diberikan.
Dalam penelitian ini, pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi
belum tentu memiliki risiko yang lebih rendah terhadap dermatitis kontak
karena dimungkinkan adanya faktor lain yaitu usia (pvalue : 0.000), masa
kerja (pvalue : 0.000), dan riwayat penyakit kulit sebelumnya (pvalue : 0.04).
Dalam penelitian ini, diketahui bahwa rata-rata usia pekerja yang mengalami
dermatitis kontak dan tidak memiliki riwayat alergi adalah 41 tahun. Menurut
Health Safety Executive (2000) dalam Suryani (2011), kondisi kulit
mengalami proses penuaan mulai dari usia 40 tahun, sehingga pekerja dengan
usia ≥ 40 tahun memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap dermatitis kontak.
Pada pekerja yang lebih tua terjadi peningkatan kerentanan terhadap bahan
iritan dan kegagalan dalam pengobatan, sehingga timbul dermatitis kontak
(Cronin, 1980).
Berdasarkan hasil analisis, diketahui pula rata-rata masa kerja pekerja
yang mengalami dermatitis kontak dan tidak memiliki riwayat alergi adalah
126 bulan (10 tahun 6 bulan). Semakin lamanya masa kerja pekerja maka
semakin lama pula pekerja kontak dengan bahan kimia sehingga risiko
dermatitis kontak meningkat. Menurut Djuanda dan Sularsito (2007),
109
semakin sering pekerja mengalami kontak dengan bahan kimia, maka
semakin tinggi kesempatan untuk mengalami dermatitis kontak serta
meningkatkan keparahan penyakitnya.
Kemudian diketahui pula dari 19 orang pekerja yang mengalami
dermatitis kontak dan tidak memiliki riwayat alergi, terdapat 14 orang
(73.7%) memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya. Sehingga meskipun
pekerja tidak memiliki riwayat alergi akan tetapi pekerja memiliki riwayat
penyakit kulit sebelumnya yang menyebabkan terkikisnya lapisan epidermis
kulit dan menimbulkan bekas kerusakan pada kulit, maka pekerja tersebut
memliki risiko yang lebih tinggi karena sistem perlindungan kulit telah
menurun dan mempermudah jalan masuknya bahan kimia ke dalam kulit
(Jeyaratnam & Koh, 1996).
Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan tersebut diperkirakan karena
adanya pengaruh dari usia (pvalue : 0.000), masa kerja (pvalue : 0.000) dan
riwayat penyakit kulit sebelumnya (pvalue : 0.04) yang menyebakan tidak
adanya hubungan antara frekuensi kontak dengan dermatitis kontak pada
penelitian ini.
6. Hubungan Riwayat Atopi dengan Dermatitis Kontak
Atopi merupakan suatu reaksi yang tidak biasanya, berlebihan
(hipersensitivitas) dan disebabkan oleh paparan benda asing yang terdapat
didalam lingkungan kehidupan. Sindrom atopik disini meliputi dermatitis
atopik (DA), rhinitis alergi, asma bronkiale. Hasil uji statistik variabel
riwayat atopi menunjukkan bahwa nilai pvalue variabel riwayat atopi adalah
110
sebesar 0.009 yang dapat diartikan bahwa pada =5% ada hubungan yang
signifikan antara riwayat atopi dengan kejadian dermatitis kontak.
Berdasarkan tabel 5.3 diketahui bahwa pekerja yang memiliki riwayat
atopi sebanyak 32 orang (39%) dan pekerja yang tidak memiliki riwayat
atopi adalah sebanyak 50 (61%). Pada tabel tabel 5.5 dapat diketahui bahwa
dari 32 orang pekerja yang memiliki riwayat atopi, terdapat 19 orang (59.4%)
yang mengalami dermatitis kontak dan 13 orang (40.6%) orang yang tidak
mengalami dermatitis kontak. Sedangkan dari 50 orang pekerja yang tidak
memiliki riwayat atopi, terdapat 14 orang (29.8%) yang mengalami
dermatitis kontak dan 36 orang (70.2%) yang tidak mengalami dermatitis
kontak.
Proporsi pekerja yang memiliki riwayat atopi dan mengalami
dermatitis kontak (59.4%) lebih banyak dibandingkan dengan pekerja yang
memiliki riwayat atopi dan tidak mengalami dermatitis kontak (40.6%).
Kemudian proporsi pekerja yang tidak memiliki riwayat atopi dan tidak
memiliki dermatitis kontak (70.2%) juga cukup tinggi. Maka dapat
disimpulkan bahwa pekerja yang memiliki riwayat atopi lebih berisiko
terkena dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja yang tidak memiliki
riwayat atopi.
Riwayat atopi merupakan salah satu faktor predisposisi dari
dermatitis kontak. Atopi merupakan suatu reaksi yang tidak biasanya,
berlebihan (hipersensitivitas) dan disebabkan oleh paparan benda asing yang
terdapat didalam lingkungan kehidupan manusia yang bersifat familial atau
111
turunan (Harijono, 2006 dalam Indriani, 2010). Dalam penelitian ini, riwayat
atopi berhubungan secara signifikan dengan dermatitis kontak. Hal tersebut
sesuai dengan pernyatan Sularsito (2007) yang menyatakan bahwa seseorang
yang telah memiliki riwayat atopik akan lebih mudah terkena dermatitis
kontak dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat atopik.
Pengendalian yang dapat dilakukan adalah, pengelola menyediakan
sarana dan prasarana personal hygiene yang baik. Kemudian pekerja
diharuskan untuk menjaga personal hygiene dengan menggunakan sarana
dan prasarana yang tersedia. Pengelola juga harus melakukan pengawasan
terhadap perilaku personal hygiene pekerja. Kemudian penyediaan alat
pelindung diri berupa sarung tangan vinyl dan neoprene untuk pekerja dan
mengawasi pekerja untuk selalu menggunakan sarung tangan tersebut
sebagai proteksi kulit dari bahan kimia. Hal tersebut guna memperkecil risiko
timbulnya dermatitis kontak.
7. Hubungan Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya dengan Dermatitis
Kontak
Riwayat penyakit kulit sebelumnya adalah peradangan pada kulit
dengan gejala subyektif berupa gatal, rasa terbakar, kemerahan, bengkak,
pembentukan lepuh kecil pada kulit, kulit mengelupas, kulit kering, kulit
bersisik, dan penebalan pada kulit atau kelainan kulit lainnya yang
sebelumnya pernah atau diderita oleh pekerja.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa nilai pvalue variabel riwayat
penyakit kulit sebelumnya adalah sebesar 0.040 yang dapat diartikan bahwa
112
pada =5% ada hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit kulit
sebelumnya dengan kejadian dermatitis kontak. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Utomo (2007) yang menyatakan adanya hubungan antara
riwayat penyakit kulit sebelumnya dengan dermatitis kontak dengan proporsi
pekerja yang mengalami dermatitis kontak dengan riwayat penyakit kulit
sebelumnya adalah sebesar 81.8%, sedangkan proporsi pekerja yang
mengalami dermatitis kontak tanpa riwayat penyakit kulit sebelumnya adalah
sebesar 43.5%.
Pada tabel 5.3 diketahui bahwa pekerja yang memiliki riwayat
penyakit kulit sebelumnya adalah sebanyak 58 orang (70.7%) sedangkan
pekerja yang tidak memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya adalah
sebanyak 24 orang (29.3%). Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa
dari 58 orang pekerja yang memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya,
terdapat 28 orang (48.3%) yang mengalami dermatitis kontak dan 30 (51.7%)
orang yang tidak mengalami dermatitis kontak. Sedangkan dari 24 orang
pekerja yang tidak memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya, terdapat 5
orang (20.8%) yang mengalami dermatitis kontak dan 19 orang (79.2%) yang
tidak mengalami dermatitis kontak.
Riwayat penyakit kulit mempengaruhi kejadian dermatitis kontak.
Menurut Cahyawati dan Budiono (2011), riwayat penyakit digunakan sebagai
salah satu dasar penentuan apakah suatu penyakit terjadi akibat penyakit
terdahulu, sehingga riwayat penyakit sangat penting dalam proses
penyembuhan seseorang. Penyakit kulit yang pekerja derita sebelumnya
113
dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pekerja menderita
dermatitis kontak kembali (riwayat berulang) (Lestari dan Utomo, 2007).
Kulit yang memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya, memiliki kerentanan
terhadap terjadinya penyakit kulit lain, karena lapisan kulit telah mengalami
kerusakan sebelumnya sehingga bahan kimia lebih cepat masuk ke dalam
kulit.
Pekerja dengan riwayat penyakit kulit sebelumnya perlu diperhatikan
agar penyakit kulit yang sudah ada sebelumnya tidak dapat timbul kembali.
Bila terdapat pekerja dengan riwayat dermatitis kronik maka pekerja tersebut
lebih rentan untuk terkena dermatitis bila bekerja pada tempat tertentu
dikarenakan reaksi iritan ataupun sensitivasi (Dewan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Nasional, 1982). Kerusakan kulit akibat penyakit kulit yang
sebelumnya diderita membuat kulit lebih rentan karena fungsinya sudah
menurun karena lapisan terluar kulit telah terkikis. Seperti pernyataan
Jeyaratnam & Koh (1996) bahwa pekerja yang pernah mengalami riwayat
penyakit kulit sebelumnya dengan meninggalkan bekas seperti kulit yang
mengelupas, lecet, atau tergores dapat menjadi faktor predisposisi dermatitis
kontak. Hal inilah yang menyebabkan bahwa pekerja dengan riwayat
penyakit kulit lebih berisiko terkena dermatitis kontak.
Faktor personal hygiene sangat penting dalam mengurangi risiko
dermatitis kontak pada pekerja khusunya yang lebih berisiko. Sehingga
pengelola meubel kayu dianjurkan untuk menyediakan sarana dan prasarana
personal hygiene yang baik dan terjangkau untuk pekerja. Kemudian
114
melakukan pengawasan terhadap perilaku personal hygiene pekerja agar
pekerja selalu menjaga personal hygiene dengan baik. Penyediaan alat
pelindung diri berupa sarung tangan vinyl dan neoprene juga diwajibkan bagi
pengelola. Setelah tersedia, pekerja diwajibkan untuk memakai sarung tangan
tersebut untuk melindungi tangan dari bahan kimia dibawah pengawasan
pengelola. Hal tersebut diharapkan dapat mengurangi risiko dermatitis kontak
pada pekerja.
115
115
BAB VII
SIMPULAN & SARAN
A. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai kejadian
dermatitis kontak pada pekerja proses finishing meubel kayu di Ciputat Timur,
dapat disimpulkan bahwa :
1. Gambaran pekerja proses finishing yang mengalami dermatitis kontak adalah
sebanyak 33 orang (40.2%).
2. Hasil uji statistik univariat diketahui bahwa dari 82 pekerja proses finishing
yang diteliti, didapatkan :
a. Rata-rata lama kontak pekerja dengan bahan kimia adalah 6.8 jam/hari.
b. Rata-rata frekuensi kontak pekerja dengan bahan kimia adalah 4 kali/hari.
c. Rata-rata usia pekerja proses finishing adalah 35 tahun.
d. Rata-rata masa kerja pekerja proses finishing adalah 89 bulan (7 tahun 5
bulan).
e. Pekerja yang memiliki riwayat alergi adalah sebanyak 25 orang (30.5%).
f. Pekerja yang memiliki riwayat atopi adalah sebanyak 32 orang (39%).
g. Pekerja yang memiliki riwayat penyakit kulit sebelumnya adalah
sebanyak 58 orang (70.7%).
h. Pekerja dengan personal hygiene yang tidak baik adalah sebanyak 82
orang (100%) .
116
3. Hasil uji bivariat menunjukkan bahwa variabel usia (pvalue : 0.000), masa
kerja (pvalue : 0.000), riwayat atopi (pvalue : 0.009), dan riwayat penyakit
kulit sebelumnya (pvalue : 0.04) memiliki hubungan dengan kejadian
dermatitis kontak.
B. SARAN
1. Bagi Pengelola Meubel Kayu
a. Dianjurkan untuk menyediakan sarana dan prasarana personal hygiene
yang sesuai dan terjangkau oleh pekerja saat bekerja, seperti
menyediakan sabun pencuci tangan yang sesuai dan penyediaan sarana
pencuci tangan yang dekat dengan pekerja.
b. Dianjurkan untuk meningkatkan disiplin pekerja dengan menerapkan
aturan yang mengharuskan pekerja menjaga personal hygiene dengan
baik dan melakukan pengawasan terhadap berjalannya aturan tersebut.
c. Dianjurkan untuk meningkatkan disiplin pekerja dengan menerapkan
aturan yang mengharuskan pekerja untuk menggunakan alat pelindung
diri (sarung tangan) dengan baik dan melakukan pengawasan terhadap
berjalannya aturan tersebut.
d. Dianjurkan untuk menyediakan alat pelindung diri yang berupa sarung
tangan vinyl dan neoprene untuk melindungi tangan pekerja saat kontak
dengan bahan kimia.
2. Bagi Pekerja
a. Dianjurkan untuk menjaga personal hygiene yang baik dengan cara
mencuci tangan secara benar setelah kontak dengan bahan kimia.
117
b. Dianjurkan untuk menggunakan alat pelindung diri yang berupa sarung
tangan vinyl dan neoprene untuk melindungi tangan saat kontak dengan
bahan kimia.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
a. Disarankan untuk melakukan uji tempel pada pekerja untuk memperkuat
dugaan dermatitis kontak.
b. Disarankan untuk melakukan uji konsentrasi bahan kimia yang digunakan
oleh pekerla.
118
DAFTAR PUSTAKA
Agius R. Practical Occupational Medicine.(online). http:// www.agius.com. 2004.
Astono, Sudidan Sudarja, Herliani. Penyakit Kulit di Kalangan Tenaga Kerja Industri Plywood di
Propinsi Kalimantan Selatan. Program Pasca Sarjana Hiperkes Medik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Cermin Dunia Kedokteran No 136. 2002.
Avivah. Hubungan Antara Pajanan Pestisida dengan Dermatitis Kontak Petani Padi di
Kecamatan Cilamaya Kulon Karawang. Universitas Indonesia. 2005.
Bantas. Materi Presentasi Mata Ajar Anatomi Fisiologi. Universitas Indonesia. 2009
Cahyawati, I Dan Budiono, I. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dermatitis pada
Nelayan. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Universitas Negeri Semarang. 2011.
Cohen. DE. Occupational Dermatosis, Handbook of Occupational Safety and Health, second edition,
Canada. 1999
Cholis. M. Dermatitis pada Pekerja Karoseri. Majalah Kedokteran Indonesia. 1995.
Cronin E. Contact Dermatitis. Ediburgh London dan New York : Churchill Livingstone. 1980.
Depkes RI. Upaya Kesehatan Kerja Bagi Perajin Kulit, Meubel, Aki Bekas, Tahu dan Tempe,
Batik. Puskesja Sekjen Depkes RI, Jakarta. 2002.
Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional. 1982 dalam Utomo, Suryo Hari. Faktor-
Faktor yang Berhubungan dengan Dermatitis Kontak pada Pekerja di Bagian Produksi
dan Quality Control PT. IPPI Tahun 2007. Skripsi. Universitas Indonesia. 2007.
http://diskonews.blogspot.com/2010/12/wisata-furniture-kuno-di-jalan-ciputat.html diakses pada
tanggal 2 Oktober 2012 pukul 10.05 WIB
Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FKUI Jakarta. 2002.
Firdaus, U. Dermatitis Kontak Akibat Kerja : Penyakit Kulit Akibat Kerja Terbanyak di
Indonesia. Majalah Kesehatan Masyarakat, Vol. II no.5. 2002.
Florence, Suryani Situmeang. Analisa Dermatitis Kontak Pada Pekerja Pencuci Botol PT. X
Medan Tahun 2008. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. 2008.
119
Fregert, Sigfird. Contact Dermatitis (Manual of Contact Dermatitis). Yayasan Essentia Medika.
Yogyakarta. 1981.
Gilles L, et all.The Pathophysiologi of Irritant Contac Dermatitis. In: Jackson EM, Goldner R,
editors Irritant Contac Dermatitis. Clinical Dermatology, New York: Marcel Dekker,
1990.
Hamzah, Syafei. Dermatitis Kontak Karena Pestisida. UPF Penyakit Kulit dan Kelamin, Rumah
Sakit Umum Dr. Abdul Muluk, Bandar Lampung. Cermin Dunia Kedokteran No. 107,
1996
http://health.detik.com/read/2012/11/22/122435/2098148/763/kelenjar-keringat-berperanpenting-
sembuhkan-luka-kulit diakses pada tanggal 20 September 2012 pukul 07.44 WIB.
Hogan D. Allergic contact dermatitis. Medicine J. vol 2, no.11. 2001.
http://id.scribd.com/doc/100941637/Penyakit-Kulit-Akibat-Kerja diakses pada tanggal 2 Oktober
2012 pukul 09.44 WIB
Hajsmy.us › Dunia Berita diakses pada tanggal 2 Oktober 2012 pukul 10.12 WIB
Harrianto. Penyakit Akibat Kerja Karena Pajanan Zat Kimia (Buku Ajar Kesehatan Kerja).
Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta. 2008.
Hudyono, J. Dermatosis Akibat Kerja. Majalah Kedokteran Indonesia. 2002.
Indriani, Fitria. Pengaruh Riwayat Atopik Terhadap Timbulnya Dermatitis Kontak Iritan di
Perusahaan Batik Putra Laweyan Surakarta. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta. 2010.
Jeyaratnam, J dan Koh, David. Buku Ajar Praktik Kedokteran Kerja edisi 1. Penerbit buku
kedokteran EGC. Jakarta.
John, S.C. A Color Handbook of Occupational Dermatology. Manson Publishing. 1998.
Joyce, Ernest. The Technique of Furniture Making (4th
Edition). BT Batsford Ltd, London, 1987).
http://apikayu.wordpress.com/category/teknikal-desain/ diakses pada tanggal 19 Juli 2012
Pukul 08.45 WIB.
Keefner, D.M, dan Curry, C.E., Contact Dermatitis dalam Handbook of Nonprescription
Drugs,12th
Edition.APHA, Washington D.C. 2004.
120
http://kesehatan123.com/yusri/author/kesehatan-kulit/2011 diakses pada tanggal 2 Oktober pada
pukul 09.28 WIB
Lestari, Fatma dan Utomo, Suryo Hari. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Dermatitis
Kontak Pada Pekerja Di PT. Inti Pantja Press Industri. Departemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. 2007.
National Institute of Occupational Safety and Health. Occupational and Environment Exposure
of Skin to Chemic. 2006 dalam http://www.mines.edu/outreach/oeesc
Nuraga, Wisnu dkk. Dermatitis Kontak pada Pekerja yang Terpajan Dengan Bahan Kimia di
Perusahaan Industri Otomotif Kawasan Industri Cibitung Jawa Barat. Program Studi
Magister Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Departemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. 2008.
Occupational Contact Dermatitis in Australia. Australian Safety & Compensation Council. 2006
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI).2009
http://www.perdoski.org/index.php/public/information/news-detail/17.
Permana, Made Gede Cahyadi. Dermatitis Kontak Akibat Kerja pada Tukang Cuci Mobil.
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 2010.
Pradjawanto, Agus. Perawatan diri http ://www.kreasimahasiswa.page/Keperawatan-Dasar.
diakses pada tanggal 14 Juli 2012 pukul 14.33 WIB
Roebidin, Rachmat. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dematosis pada Pekerja
Sentra Industri Tahu di Kelurahan Jomblang Kecamatan Candi Sari Kota Semarang.
Tesis. Universitas Muhammadiyah Semarang. 2008.
Ruhdiat, Rudi. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya dermatitis kontakakibat
kerja pada pekerja laboratorium kimia di PT Sucofindo Area Cibitung Bekasi Tahun
2006. Tesis. Universitas Indonesia. 2006.
Sedarmayanti. Tata Kerja dan Produktifitas Kerja. Mandar Maju. Bandung. 1996
Siregar, RS. Dermatosis Akibat Kerja. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya/Rumah Sakit Umum Pusat, Palembang. Cermin Dunia
Kedokteran Vol 107. 1996.
121
Sulistyani, dkk. Pengaruh Riwayat Atopik terhadap Timbulnya Dermatitis Kontak Iritan di
Perusahaan Batik Putra Laweyan Surakarta. Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta. 2010.
Suma’mur PK. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. PT Gunung Agung. Jakarta. 1989.
Sumantri, Muhammad, dkk. Dermatitis Kontak. Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta. 2008.
Suryani, Febria. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Dermatitis Kontak pada Pekerja
Bagian Processing dan Filling Di PT.Cosmar Indonesia. Tahun 2011
Susanti, Diah Rifqi. Hubungan Pemakaian Alat Pelindung Diri (SarungTangan) Terhadap
Penurunan Kejadian Dermatitis Kontak Iritan pada Pekerja Bagian Penyelesaian Akhir di
CV. Roda Jati Karanganyar. Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2010.
The Prevalence of Occupational Dermatitis amongst Printers In the Midland. HSE UK. 2000.
Trihapsoro, Iwan. Dermatitis Kontak Alergik pada pasien rawat jalan di RSUP Haji Adam
Malik, Medan. Universitas Sumatera Utara, Indonesia, 2003.
Utomo, Suryo Hari. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Dermatitis Kontak pada Pekerja di
Bagian Produksi dan Quality Control PT. Inti Pantja Press Industri Tahun 2007. Skripsi.
Universitas Indonesia. 2007.
Wilde. M.M, dkk. National of Occupational Skin Disease by Dermatologist in The Netherlands.
Occupational Medicine. 2008
Yunus, Muhammad. Pengaruh Keadaan Lingkungan Kerja, Karakteristik Pekerjadan Kadar
Debu Kayu (PM 10) terhadap Kapasitas Vital Paru Pekerja Industri Kecil Meubel di Kota
Banda Aceh Tahun 2010. Universitas Sumatera Utara. 2010.
KUESIONER PENELITIAN
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
DERMATITIS KONTAK PADA PEKERJA PROSES FINISHING MEUBEL
KAYU DI WILAYAH CIPUTAT TIMUR
TAHUN 2012
Assalamualaikum Wr. Wb
Kuesioner ini merupakan instrumen penelitian. Hasil penelitian ini merupakan
tugas akhir dari peneliti untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM).
Untuk itu, saya mengharapkan partisipasi Bapak/Saudara/i untuk mengisi kuesioner ini
secara jujur dan lengkap.
Pengisian kuesioner ini tidak akan berpengaruh terhadap pekerjaan
Bapak/Saudara/i. Jawaban Bapak/Saudara/i dalam kuesioner ini akan dijaga
kerahasiaannya. Atas perhatian dan kerjasama Bapak/Saudara/i saya ucapkan terima
kasih.
Saya menyatakan bahwa saya telah membaca pernyataan diatas, dan saya setuju
untuk menjadi responden dalam penelitian ini.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Ciputat Timur, Agustus 2012
Peneliti Responden
(Niswah Afifah) ( )
No
Responden
Tanggal
Identitas Responden
Nama :
Alamat :
No. Telp./Hp :
Kuesioner
No Pertanyaan Kode
A Lama Kontak
A1 Berapa lama anda bersentuhan/kontak dengan bahan kimia
dalam satu hari?
…………….jam/hari
[ ]
B Frekuensi Kontak
B1 Berapa kali anda bersentuhan dengan bahan kimia tersebut
dalam 1 hari?
………………x/hari
[ ]
C Usia
C1 Pada tanggal, bulan, dan tahun berapa anda lahir?
Tanggal…….., bulan…………………., tahun………… [ ]
D Jenis Pekerjaan
Jenis Pekerjaan apa yang sedang anda lakukan?
a. Penghalusan
b. Pendempulan
c. Pemutihan
[ ]
d. Pemlituran
e. Pengecatan
f. Pengkilapan
E Riwayat Atopi
E1 Apakah anda pernah menderita salah satu penyakit yang
bersifat keturunan seperti asma, rhinitis alergi, dermatitis atopi,
serta konjungtivitis alergi?
1. Ya
2. Tidak
Jika “ya” langsung ke pertanyaan F1, jika “tidak” lanjut ke
pertanyaan E2.
[ ]
E2 Apakah salah satu keluarga anda pernah menderita salah satu
penyakit yang bersifat keturunan seperti asma, rhinitis alergi,
dermatitis atopi, serta konjungtivitis alergi?
1. Ya
2. Tidak
[ ]
F Riwayat Penyakit Kulit
F1 Apakah sebelumnya anda pernah mengalami
penyakit/peradangan pada kulit?
1. Ya
2. Tidak
Jika “ya” lanjut ke pertanyaan F2, jika “tidak” langsung ke
pertanyaan G1
[ ]
F2 Bagaimana tanda dan gejala penyakit/peradangan kulit yang
pernah anda alami?
(jawaban boleh lebih dari satu)
a. Gatal ( )
b. Rasa terbakar ( )
c. Kemerahan ( )
[ ]
d. Bengkak ( )
e. Lepuh kecil pada kulit ( )
f. Kulit mengelupas ( )
g. Kulit kering ( )
h. Kulit bersisik ( )
i. Penebalan pada kulit ( )
F3 Pada bagian mana anda mengalami penyakit kulit tersebut?
a. Telapak tangan ( )
b. Punggung tangan ( )
c. Lengan tangan ( )
d. Sela jari tangan ( )
e. Wajah ( )
f. Leher ( )
g. Punggung ( )
h. Kaki ( )
i. Lainnya ……………………….
[ ]
F4 Bagaimana cara anda mengobati penyakit kulit tersebut?
a. Tidak melakukan pengobatan
b. Melakukan pengobatan
Alasan : …………………………………………………..
[ ]
G Riwayat Alergi
G1 Apakah anda pernah mengalami alergi pada kulit?
1. Ya
2. Tidak
Jika “ya” lanjut ke pertanyaan G2, jika “tidak” langsung ke
pertanyaan H1.
[ ]
G2 Apakah penyebab alergi tersebut?
a. Bahan kimia
b. Debu
[ ]
c. Logam
d. Tanaman
e. Obat
f. Lainnya ………………………………….
G3 Pada bagian mana anda mengalami alergi tersebut?
a. Telapak tangan ( )
b. Punggung tangan ( )
c. Lengan tangan ( )
d. Sela jari tangan ( )
e. Wajah ( )
f. Leher ( )
g. Punggung ( )
h. Kaki ( )
i. Lainnya ……………………….
[ ]
G4 Bagaimana cara anda mengobati penyakit kulit tersebut?
a. Tidak melakukan pengobatan
b. Melakukan pengobatan
Alasan : …………………………………………………..
[ ]
H Masa Kerja
H1 Kapan anda mulai bekerja di meubel kayu ini?
Bulan……………………, tahun………………….
H2 Apakah sebelumnya anda pernah bekerja di tempat lain?
1. Ya
2. Tidak
Jika “ya” lanjut ke pertanyaan H3.
[ ]
H3 Dimana anda bekerja sebelumnya?
a. Meubel kayu ( )
b. Lainnya, sebutkan…………..
[ ]
H4 Berapa lama anda bekerja ditempat tersebut? ………….. [ ]
H5 Apakah ditempat kerja anda sebelumnya ada kemungkinan
anda kontak dengan bahan kimia?
1. Ya
2. Tidak
[ ]
Lembar Observasi (dilakukan oleh peneliti)
Personal Hygiene Kode
1 Pekerja mencuci tangan dengan air bersih dan sabun setelah
melakukan pekerjaan?
1. Ya
2. Tidak
[ ]
2 Pekerja mencuci tangan dengan benar?
1. Ya
2. Tidak
[ ]
3 Pekerja mengeringkan tangan setelah mencuci tangan?
1. Ya
2. Tidak
[ ]
4 Pekerja mengeringkan tangan menggunakan pengering/lap
khusus tangan?
1. Ya
2. Tidak
[ ]
6 Pakaian pekerja bersih dari bahan kimia?
1. Ya
2. Tidak
[ ]
Lembar Pemeriksaan Fisik
No :
Nama :
Tanggal Anamnesis/Pemeriksaan Lokasi
Dermatitis Diagnosis
Paraf &
Nama Dokter
1. Keluhan utama (gejala klinis) :
a. Gatal
b. Kemerahan
c. Pembengkakan
d. Vesikel/bullae
e. Kulit kering bersisik
f. Fissura (kulit pecah-pecah)
g. Exudat (cairan bening / darah)
h. Krusta/pengeringan dari krusta
i. Lichenifikasi (kulit menghitam, mengkilap)
j. Sidik jari tidak tampak
k. Hiperkeratosis (kapalen)
l. Kerusakan kuku-kuku jari
m. Infeksi
2. Riwayat keluhan :
a. Adanya riwayat kontak dengan suatu bahan : ya/tidak
b. Apakah berkurang / hilang bila libur atau tidak kerja : ya/tidak
c. Bertambah bila terus menerus bekerja dalam beberapa hari tanpa istirahat :
ya/tidak
3. Tipe Kulit Pekerja
a. Tebal
b. Tipis
4. Pengeluaran keringat pekerja
a. Berkeringat
b. Tidak Berkeringat
Diisi oleh peneliti
A Hasil Diagnosis Dermatitis Kontak oleh Dokter Kode
A1 1. Tidak Dermatitis Kontak
2. Dermatitis Kontak [ ]
Daily Activity Recall
No Waktu Kegiatan Keterangan
1. Frekuensi Kontak :
2. Lama Kontak :
HASIL UJI STATISTIK
A. Uji Normalitas Data
B. Analisis Univariat ( Distribusi Frekuensi )
C. Analisis Bivariat
1. Uji T-test Independent
a. Lama Kontak dengan Dermatitis Kontak
b. Usia dengan Dermatitis Kontak
2. Uji Mann Whitney
a. Frekuensi Kontak dengan Dermatitis Kontak
b. Masa Kerja dengan Dermatitis Kontak
3. Uji Chi Square
a. Riwayat Alergi dengan Dermatitis Kontak
b. Riwayat Atopi dengan Dermatitis Kontak
c. Riwayat Penyakit Kulit Sebelumnya dengan Dermatitis Kontak
d. Personal Hygiene
FOTO DERMATITIS KONTAK
FOTO DERMATITIS KONTAK
FOTO DERMATITIS KONTAK
FOTO DERMATITIS KONTAK
FOTO DERMATITIS KONTAK
FOTO DERMATITIS KONTAK