noer erin meilina_035_koefisien partisi

11
LABORATORIUM PRAKTIKUM KIMIA MEDISINAL SEMESTER GANJIL 2015 2016 PENENTUAN KOEFISIEN PARTISI MINYAK/AIR ASAM SALISILAT Hari/ Jam Praktikum : Selasa/ 13.00 16.00 WIB Tanggal Praktikum : 15 September 2015 Kelompok : IX Asisten : Sheila Pratiwi Theresia Ratnadewi NOER ERIN MEILINA 260110150035 LABORATORIUM KIMIA MEDISINAL FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2015

Upload: sheila-pratiwi

Post on 23-Jan-2016

16 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

ww

TRANSCRIPT

Page 1: Noer Erin Meilina_035_Koefisien Partisi

LABORATORIUM PRAKTIKUM KIMIA MEDISINAL

SEMESTER GANJIL 2015 – 2016

PENENTUAN KOEFISIEN PARTISI MINYAK/AIR

ASAM SALISILAT

Hari/ Jam Praktikum : Selasa/ 13.00 – 16.00 WIB

Tanggal Praktikum : 15 September 2015

Kelompok : IX

Asisten : Sheila Pratiwi

Theresia Ratnadewi

NOER ERIN MEILINA

260110150035

LABORATORIUM KIMIA MEDISINAL

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

2015

Page 2: Noer Erin Meilina_035_Koefisien Partisi

PENENTUAN KOEFISIEN PARTISI MINYAK/AIR

ASAM SALISILAT

I. Tujuan

Menentukan koefisien partisi asam salisilat dengan metode pengocokan

II. Prinsip

2.1.Koefisien Partisi

Koefisien partisi (partition coefficient) merupakan perbandingan antara

fraksi berat solute dalam fraksi ekstrak dibagi dengan fraksi berat solute

dalam fase rafinat pada keadaan kesetimbangan ( ) ( ) atau

dapat juga dinyatakan dalam fraksi mol yaitu perbandingan antara fraksi

mol solute dalam fase rafinat dibagi dengan fraksi mol solute dalam fase

ekstrak (Kasmiyatun dan Bakti, 2008).

2.2.Titrasi Asam Basa

Titrasi merupakan cara analisis dengan pengukuran jumlah larutan yang

dibutuhkan untuk bereaksi secara tepat dengan zat yang terdapat dalam

larutan lain, dimana konsentrasi salah satu larutan diketahui (Shahira, 2011).

III. Reaksi

Page 3: Noer Erin Meilina_035_Koefisien Partisi

IV. Teori Dasar

Koefisien partisi disebut juga koefisien distribusi (JR., R.A. Day dan

A.L. Underwood, 2002). Koefisien partisi pada umumnya ditentukan dari

percobaan dengan menggunakan campuran dua fase, yaitu air dan pelarut

organic yang tidak bercampur dengan air, misalnya minyak tanaman, kloroform,

oktanol, benzene, eter, isopropil miristat yang mencerminkan membrane

biologic lipofil (Simanjuntak, 2005).

Menurut Hukum Distribusi Nerst, jika dalam dua pelarut yang tidak

saling bercampur dimasukkan solute yang dapat larut dalam kedua pelarut

tersebut, maka akan terjadi pembagian kelarutan. Setelah dikocok-kocok

kemudian dibiarkan selama beberapa menit akan terjadi dua fasa yang terpisah.

Perbandingan konsentrasi solute di dalam kedua pelarut tersebut adalah tetap

dan merupakan suatu tetapan pada suhu tetap. Tetapan tersebut dikenal dengan

koefisiensi distribusi, koefisien partisi atau tetapan distribusi (Hendrawan,

2002).

Ukuran kuantitatif banyaknya solut yang terdapat dalam kedua pelarut

dapat dilihat dari koefisien distribusi atau angka banding distribusi, yang dapat

dihitung berdasarkan hukum dasar distribusi Nernst. Hukum ini menyatakan

bahwa solut akan mendistribusikan diri di antara dua pelarut yang tidak saling

bercampur, sehingga setelah kesetimbangan distribusi tercapai, perbandingan

konsentrasi solut di dalam kedua fasa pelarut pada suhu konstan akan

merupakan suatu tetapan, yang disebut koefisien distribusi (Kd ), jika di dalam

kedua fasa pelarut tidak terjadi reaksi-reaksi apapun. Akan tetapi, jika solut di

dalam kedua fasa pelarut mengalami reaksi-reaksi tertentu seperti assosiasi,

dissosiasi, maka akan lebih berguna untuk merumuskan besaran yang

menyangkut konsentrasi total komponen senyawa yang ada dalam tiap-tiap fasa,

yang dinamakan angka banding distribusi (D) (Endang Budiasih, 1998).

Kelarutan didefinisikan dalam besaran kuantitatif sebagai konsentrasi

zat terlarut dalam larutan jenuh pada temperatur tertentu dan secara kualitatif

Page 4: Noer Erin Meilina_035_Koefisien Partisi

didefinisikan sebagai interaksi spontan dari dua atau lebih zat untuk membentuk

disperse molekuler homogen. Kelarutan dapat digambarkan secara benar

dengan menggunakan fase Gibbs, , dimana F adalah jumlah

derajar kebebasan, C adalah jumlah komponen terkecil yang cukup untuk

menggambarkan komposisi kimia dari setiap fase dan P adalah jumpah fase.

Kelarutan obat dapat dinyatakan dalam beberapa cara. Menurut U. S.

Pharmacopeia dan National Formulary, definsi kelarutan obat adalah jumlah mL

pelarut dimana akan larut 1 gram zat terlarut (Martin. A, dkk, 1990).

Kelarutan suatu obat pada umumnya disebabkan oleh polaritas pelarut,

yaitu momen dipol pelarut. Pelarut polar melarutkan zat ionik dan zat polar

lainnya. Kelarutan zat bergantung pula pada gambaran struktur seperti

perbandingan gugus polat terhadap gugus non polar dalam molekul. Apabila

panjang rantai non polar suatu alcohol alifatik, kelarutan dalam air berkurang.

Percabangan yang ada pada rantai karbon dapat mengurangi efek non polar dan

kelarutan dalam air akan naik (Martin. A, dkk, 1990).

Zat cair dan zat padat berbeda dengan gas, perbedaannya adalah pada

molekul – molekul zat cair atau zat padat terjadi ikatan yang sangat kuat antar

molekulnya. Minyak dan air tidak dapat bercampur sebab gaya tarik menarik

molekul – molekul minyak sendiri, sehingga tidak ada kesempatan bagi molekul

– molekul minyak berada diantara molekul – molekul air. Gaya – gaya ikat

antar molekul – molekul tersebut disebut gaya Van der Waals yang

sesungguhnya disebabkan adanya interaksi elektromagnetik (interaksi polar)

antar molekul yaitu gaya polar (polar forces), gaya dispersi (dispersion forces),

gaya ikatan hydrogen (hydrogen bonding forces) (Kasmiyatun dan Bakti, 2008).

V. Alat dan Bahan

5.1. Alat

5.1.1. Batang pengaduk

Page 5: Noer Erin Meilina_035_Koefisien Partisi

5.1.2. Beaker glass

5.1.3. Buret

5.1.4. Gelas ukur

5.1.5. Labu erlenmeyer

5.1.6. Labu ukur

5.1.7. Neraca top loading

5.1.8. Perkamen

5.1.9. Pipet

5.1.10. Spatula

5.1.11. Statif

5.2. Bahan

5.2.1. Air (H₂O)

5.2.2. Asam Salisilat

5.2.3. Dietil eter

5.2.4. Indikator fenolftalein (PP)

5.2.5. Natrium Hidroksida (NaOH)

5.3. Gambar Alat

Batang pengaduk Beaker glass Buret Gelas ukur

Labu erlenmeyer Labu ukur Neraca top loading Perkamen

Page 6: Noer Erin Meilina_035_Koefisien Partisi

Pipet Spatula Statif

VI. Prosedur

6.1. Membuat pereaksi NaOH dan Asam Salisilat

Pelet NaOH 0,6 gram dan serbuk asam salisilat 1,5 gram ditimbang,

kemudian air dimasak hingga mendidih . setelah air mendidih, tutup panci

dibuka dan uap air dibiarkan keluar dari celah tutup panci agar CO₂ keluar

dan yang tersisa hanya air murni O₂. setelah air menjadi hangat, air

dimasukkan ke dalam dua buah labu erlenmeyer masing-masing 150 mL.

Pelet NaOH 0,6 gram dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer A dan serbuk

asam salisilat dimasukkan le dalam labu erlenmeyer B. Kedua larutan

diaduk hingga terlarut sempurna dan masing-masing larutan dimasukkan

ke dalam botol secara terpisah.

6.2. Pembakuan NaOH

Larutan asam oksalat 0,1 N 10 mL dimasukkan ke dalam labu

erlenmeyer dan ditambahkan 2 tetes PP kemudian dititrasi dengan NaOH

hingga larutan yang berada di dalam labu erlenmeyer berubah warna

menjadi merah muda.

6.3. Bagian 3

Larutan asam salisilat (1 gram/100 mL air) 15 mL dimasukkan ke

dalam labu erlenmeyer lalu ditambahkan air 20 mL dan 2 tetes PP (0,1

gram dalam 100 mL etanol). Kemudian dititrasi dengan larutan standar

NaOH (sekitar 0,1M) hingga warna merah muda.

Page 7: Noer Erin Meilina_035_Koefisien Partisi

6.4. Bagian 4

Larutan asam salisilat 15 mL dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer

lalu ditambahkan 10 mL dietil eter. Larutan dikocok kemudian lapisan air

dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer dan ditambahkan 20 mL air dan 2 tetes

PP. lalu dititrasi dengan NaOH hingga warna menjadi merah muda.

VII. Data Pengamatan dan Perhitungan

No. Perlakuan Hasil

1 Menimbang NaOH sebanyak 0,6 gram

2 Memanaskan air CO₂ hilang dan menguap

3 Melarutkan NaOH ke dalam air 150 mL lalu

diaduk

NaOH larut semua dalam

air

4 Menimbang asam salisilat 1,5 gram

5 Menggunakan air yang telah dipanaskan

6 Melarutkan asam salisilat ke dalam air 150

mL lalu aduk

Asam salisilat tidak

semuanya larut dalam air

7 Melakukan pembakuan NaOH (duplo)

Asam oksalat 0,1 N 10 mL + 2 tetes PP +

NaOH (Titrasi)

Asam oksalat 0,1 N 10 mL + 2 tetes PP +

NaOH ( Titrasi)

Vo = 0 ΔV1 = 12 mL

V1 = 12 mL

Vo = 0 ΔV2 = 13,2 mL

V2 = 13,2 mL

8 Bagian 3 (duplo)

Asam salisilat 15 mL + aquades 20 mL + 2

tetes PP + NaOH (Titrasi)

Asam salisilat 15 mL + aquades 20 mL + 2

tetes PP + NaOH (Titrasi)

Vo = 0 ΔV1 = 7,3 mL

V1 = 7,3 mL

Vo = 0 ΔV2 = 8,6 mL

V2 = 8,6 mL

9 Bagian 4

Asam salisilat 15 mL + aquades 20 mL + 3

Vo = 0 ΔV = 15 mL

Page 8: Noer Erin Meilina_035_Koefisien Partisi

tetes PP + didietil eter 10 mL + NaOH

(Titrasi)

V1 = 15 mL

Pembakuan NaOH (titrasi duplo)

ΔV1 = 12 mL

ΔV2 = 13,2 mL

Vrata-rata = 12,6 mL

N1. V1 = N2. V2

0,1. 10 = N2. 12,6

N2 = 0,079 N NaOH

Bagian 3 (titrasi duplo)

ΔV1 = 7,3 mL

ΔV2 = 8,6 mL

Vrata-rata = 7,95 mL

N1. V1 = N2. V2

0,07. 7,95 = N2. 35

N2 = 0,0159 N Asam salisilat

Page 9: Noer Erin Meilina_035_Koefisien Partisi

Bagian 4 (fase air)

ΔV = 15 mL

V1.N1 = V2.N2

15. 0,07 = 35. N2

N2 = 0,03 N Asam Salisilat

Konsentrasi asam salisilat dalam fase organic (dietil eter)

0,03 – 0,0159 = 0,0141 N

Kd = Corganik/Canorganik = 0,0141/0,03 = 0,47

VIII. Pembahasan

NaOH merupakan salah satu contoh baku sekunder. Larutan baku sekunder

merupakan suatu larutan dimana konsentrasinya ditentukan dengan jalan pembakuan

menggunakan larutan baku primer. Sedangkan larutan baku primer adalah suatu

larutan yang telah diketahui secara tepat konsentrasinya. NaOH dibakukan

menggunakan larutan asam oksalat melalui proses titrasi asam basa. Sebelum proses

titrasi, 2 tetes fenolftalein ditambahkan pada larutan asam oksalat sebagai penanda

bahwa asam oksalat dengan NaOH tepat habis bereaksi atau mencapai titik ekuivalen.

Maka dengan cara inilah dapat ditemukan normalitas NaOH. Setelah mendapatkan

normalitas NaOH, kemudian larutan NaOH dititrasi dengan asam salisilat. Larutan ini

merupakan larutan asam-basa, maka dari itulah dilakukan lagi titrasi asam basa. Dan

melakukan titrasi asam basa NaOH dengan asam salisilat menggunakan dietil eter

untuk mendapatkan fase air.

Page 10: Noer Erin Meilina_035_Koefisien Partisi

IX. Kesimpulan

9.1. Koefisien partisi asam salisilat dari praktikum ini adalah 0,089.

Daftar Pustaka

Budiasih, Endang. 1998. Mipa dan Pembelajarannya. Diakses online di

http://journal.um.ac.id/index.php/mipa/article/view/875 [20 September

2015].

Hendrawan. 2002. Kajian tentang Kinetika Transfer Asam Asetat pada Antarmuka

Cair-Cair dengan Menggunakan Rotating Membrane Cell. Bandung :

Universitas Pendidikan Indonesia.

JR, R.A. Day dan A.L. Underwood. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Keenam.

Diakses online di

https://books.google.co.id/books?id=63qleQuMe40C&pg=PA482&lpg=P

A482&dq=koefisien+partisi+atau+koefisien+distribusi&source=bl&ots

=6RqUnn6FM3&sig=cpsQC_U1qzjsybGbsN8ux6u-

9qU&hl=id&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=koefisien%20partisi%2

0atau%20koefisien%20distribusi&f=false[20 September 2015].

Kasmiyatun, Mega dan Bakti Jos. 2008. Ekstraksi Asam Sitrat dan Asam Oksalat

Pengaruh Trioctylamine sebagai Extracting Power dalam Berbagai

Solven Campuran terhadap Koefisien Distribusi. Semarang : Universitas

Diponegoro.

Martin, A, dkk. 1990. Farmasi Fisika. Jakarta : Universitas Indonesia Press.

Page 11: Noer Erin Meilina_035_Koefisien Partisi

Petrucci, R.H. 1992. Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern Jilid II. Jakarta :

Erlangga.

Simanjuntak, M.T. 2005 Biofarmasi Sediaan yang Diberikan Melalui Kulit. Sumatera

Utara : Universitas Sumatera Utara.

Shahira, Naila. 2011. Ringtone Kimia. Jakarta : PT Grasindo.