nur rahmah-akad dan transaksi murabahah dan tijarah
DESCRIPTION
ekonomi islam ttg akadTRANSCRIPT
AKAD DAN TRANSAKSI MURABAHAH DAN TIJARAH
Makalah
Dipresentasikan dalam Seminar Mata KuliahTeori Ekonomi Islam
Semester II Tahun Akademik 2013/2014
Oleh:
NUR RAHMAH80100212074
Dosen Pemandu:
Dr. H. Muslimin H. Kara, M.Ag.Dr. Abdul Wahab, S.E., M.Si.
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah dalam perekonomian sangat komprehensif, masalah
sebenarnya simple saja yaitu tidak adanya keadilan di dalamnya.
Sistem ekonomi kapitalis dan sosialis lebih mementingkan
kepentingan kelompok dan individu saja. Bagaimana pandangan
Islam tentang sistem ekonomi yang adil?
Pandangan ilmuwan dan orientalis barat menyebutkan bahwa
Islam adalah agama yang ekstrim, radikal dan hanya berorientasi
pada kehidupan akhirat. Hal ini menimbulkan kesalahpahaman
terhadap Islam. Seolah-olah Islam hanya berkaitan dengan kegiatan
ritual saja, bukan sebuah sistem yang mengolah kehidupan
masyarakat. Sehingga tercipta kehidupan yang damai, tentram dan
bahagia.1
Kehidupan masyarakat yang sejahtera, damai dan makmur
pernah terjadi pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dijelaskan
bahwa pada pemerintahnnya kehidupan masyarakatt waktu itu
sangat makmur dan sejahtera, bahkan hampir semua
masyarakatnya tidak ada yang miskin. Pandangan ini
menyimpulkan bahwa Islam ialah agama yang mempunyai sistem
1Ahmad Ifham Sholihin, Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 205.
2
yang dapat menciptakan kehidupan yang stabil bagi seluruh
pranata sosial dalam masyarakat.2
Salah satu pranata sosial ialah masalah perekonomian.
Kegiatan ekonomi sudah dipraktekkan oleh orang terdahulu
khususnya dalam bidang jual beli (murabahah) dan perdagangan
(tijarah). Namun dalam prakteknya khususnya di Indonesia hampir
tidak sesuai dengan ajaran Islam karena didominasi oleh sistem
ekonomi kapitalis yang lebih mementingkan keuntungan dunia
semata. Makalah ini akan menjelaskan akad dan transaksi dalam
ekonomi Islam : murabahah dan tijarah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka untuk memperjelas
uraian dalam makalah ini dapat dirumuskan masalah yang akan
dibahas sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep akad dalam ekonomi Islam?
2. Bagaimana murabahah dan tijarah dalam ekonomi Islam?
2Ibid.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akad
Menurut Kamus Hukum arti kata akad adalah perjanjian.
Ditinjau dari Hukum Islam, perjanjian yang sering disebut dengan
akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua
orang atau lebih berdasarkan persetujuan masing-masing. Dengan
kata lain akad adalah perikatan antara ijab dan kabul secara yang
dibenarkan syara’, yang menetapkan persetujuan kedua belah
pihak. Sementara itu, pengertian akad menurut Ahmad Azhar
Basyir adalah suatu perikatan antara ijab dan kabul dengna cara
yang dibenarkan syara’ yang menetapkan akibat-akibat hukum. Ijab
adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang
diinginkan, dan kabul adalah pernyataan pihak kedua untuk
menerimanya. Masing-masing pihak haruslah saling menghormati
4
terhadap apa yang telah mereka perjanjikan dalam suatu akad.3 Hal
ini sesuai dengan ketentuan hukum yang hidup dalam Al-Qur’an QS.
Al-Maidah 5:1.
:ل8ى >ت ي م8ا Aال إ A :ع8ام األن 8هAيم8ة> ب >م: 8ك ل >حAلQت: أ Aع>ق>ود: Aال ب و:ف>وا8 أ >وا آم8ن QذAين8 ال [ه8ا ي
8 أ 8ا ي
>رAيد> ي م8ا >م> 8ح:ك ي Qه8 الل QنA إ cم ح>ر> >م: :ت 8ن و8أ Aد: الصQي م>حAلfي :ر8 غ8ي >م: :ك 8ي 4ع8ل
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”
Islam dikenal dua istilah dalam akad, yaitu rukun akad dan
syarat akad. Rukun dapat dipahami sebagai unsur essensial yang
membentuk akad, yang harus selalu dipenuhi dalam suatu
transaksi, terdiri dari: pertama, subjek akad yaitu pihak yang
berakad, pihak yang berakad terdiri dari paling sedikit dua orang
yang harus sudah baligh, berakal sehat dan cakap untuk melakukan
perbuatan hukum sendiri. Kedua, Objek yang diakadkan, yaitu objek
akad bermacam-macam, sesuai dengan bentuknya. Dalam akad
3Abdullah Amrin, Asuransi Syariah (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2006), h. 38.
4Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009), h. 106.
5
jual beli, objeknya adalah barang yang diperjualbelikan dan
harganya.5
Sesuatu akad dapat dipandang sah, objeknya memerlukan
syarat sebagai berikut:6
a. Telah ada pada waktu akad diadakan. Objek akad harus telah
wujud pada waktu akad diadakan. Barang yang belum wujud
tidak dapat menjadi objek akad menurut pendapat kebanyakan
fukaha sebab hukum dan akibat akad tidak mungkin
bergantung pada sesuatu yang belum berwujud;
b. Dapat menerima hukum akad. Dalam akad jual beli misalnya,
barang yang diperjualbelikan harus merupakan benda bernilai
bagi pihak-pihak yang mengadakan akad jual beli;
c. Dapat ditentukan dan diketahui. Objek akad harus dapat
ditentukan dan diketahui oleh dua belah pihak yang melakukan
akad. Ketidakjelasan objek akad mudah menimbulkan sengketa
kemudian hari sehingga tidak memenuhi syarat menjadi objek
akad. Adanya syarat ini diperlukan agar pihak-pihak
bersangkutan dalam melakukan akad benar-benar atas dasar
kerelaan bersama. Oleh karenanya, adanya syarat ini
disepakati fuqaha;
d. Dapat diserahkan pada waktu akad terjadi. Objek akad harus
dapat diserahkan pada waktu akad terjadi, tetapi hal ini tidak
5Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 41.
6Abdullah Amrin, op.cit., h. 39.
6
berarti harus dapat diserahkan seketika. Yang dimaksud adalah
pada saat yang telah ditentukan dalam akad, objek akad dapat
diserahkan karena memang benar-benar ada dibawah
kekuasaan yang sah pihak yang bersangkutan.
Empat syarat objek akad tersebut di atas, secara garis besar
dapat disebutkan bahwa sesuatu dapat menjadi objek akad apabila
dapat menerima hukum akad dan tidak mengandung unsur-unsur
yang mungkin menimbulkan sengketa kemudian hari antara pihak-
pihak yang bersangkutan. Syarat yang disebut terakhir
mengharuskan objek akad itu telah wujud, jelas dan dapat
diserahkan.7
Jadi sahnya suatu akad sangat bergantung kepada
terpenuhinya rukun dan syarat akad, syarat sahnya perjanjian
adalah:8
Pertama, tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati
adanya. Maksudnya bahwa perjanjian yang diadakan oleh para
pihak itu bukanlah perbuatan yang bertentangan dengan hukum
atau perbuatan yang melawan hukum syariah, sebab perjanjian
yang bertentangan dengan hukum syariah adalah tidak sah, dan
dengan sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-masing pihak
untuk menepati atau melaksanakan perjanjian tersebut, atau
dengan perkataan lain apabila isi perjanjian itu merupakan
7Ibid.8Ala’eddin Kharota, Transaksi dalam Perundangan Islam (Cet. I; Selangor
Warni Sdn Bhd, 2007), h. 30.
7
perbuatan yang melawan hukum (hukum syariah), maka perjanjian
yang diadakan dengan sendirinya batal demi hukum.
Kedua, terjadinya perjanjian atas dasar saling ridho dan ada
pilihan, dalam hal ini tidak boleh ada unsur paksaan dalam
membuat perjanjian tersebut.Maksudnya perjanjian yang diadakan
dan para pihak haruslah didasarkan kepada kesepakatan kedua
belah pihak, yaitu masing-masing pihak ridha atau rela akan isi
perjanjian tersebut, atau dengan perkataan lain harus merupakan
kehendak bebas masing-masing pihak. Dalam hal ini berarti tidak
boleh ada paksaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain,
dengan sendirinya perjanjian yang diadakan tidak mempunyai
kekuatan hukum apabila tidak didasarkan kepada kehendak bebas
pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Ketiga, isi perjanjian harus jelas dan gamblang. Maksudnya
apa yang diperjanjikan oleh para pihak harus terang tentang apa
yang menjadi isi perjanjian, sehingga tidak mengakibatkan
terjadinya kesalahpahaman diantara para pihak tentang apa yang
telah mereka perjanjikan dikemudian hari. Dengan demikian pada
saat pelaksanaan atau penerapan perjanjian masing-masing pihak
yang mengadakan perjanjian atau yang mengikatkan diri dalam
perjanjian haruslah mempunyai interpretasi yang sama tentang apa
yang telah mereka perjanjikan, baik terhadap isi maupun akibat
yang ditimbulkan oleh perjanjian itu. Hampir sama dengan
perjanjian menurut KUH Perdata, menurut hukum Islam perjanjian
8
juga berdasarkan kata sepakat, dengan ayarat objek perjanjian
haruslah berwujud, hak milik dan dapat dikenai hukum akad.
B. Murabahah
1. Pengertian Murabahah
Murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan), yaitu prinsip
bai’ (jual beli) dimana harga jualnya terdiri dari harga pokok barang
ditambah nilai keuntungan (ribhun) yang disepakati. Pada
murabahah, penyerahan barang dilakukan pada saat transaksi
sementara pembayarannya dilakukan secara tunai, tangguh
ataupun dicicil. Pada murabahah, untuk terbentuknya akad
pembiayaan multiguna di dalam Islam, haruslah memenuhi rukun-
rukun dan syarat-syarat murabahah.9
Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan
menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang
disepakati oleh penjual dan pembeli. Pembayaran atas akad jual
beli dapat dilakukan secara tunai maupun kredit. Hal yang
membedakan murabahah dengan jual beli lainnya adalah penjual
harus memberitahukan kepada pembeli harga barang pokok yang
dijualnya serta jumlah keuntungan yang diperoleh.10
9Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 101.
10Ibid.
9
Penjualan dapat dilakukan secara tunai atau kredit, jika
secara kredit harus dipisahkan antara keuntungan dan harga
perolehan. Keuntungan tidak boleh berubah sepanjang akad, kalau
terjadi kesulitan bayar dapat dilakukan restrukturisasi dan kalau
kesulitan bayar karma lalai dapat dikenakan denda. Denda tersebut
akan dianggap sebagai dana kebajikan. Uang muka juga dapat
diterima, tetapi harus dianggap sebagai pengurang piutang.11
Dalam daftar istilah himpunan fatwa DSN (dewan syariah
nasional) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan murabahah
adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya
kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang
lebih sebagai laba.12
Murabahah merupakan bagian terpenting dari jual beli dan
prinsip akad ini mendominasi pendapatan bank dari produk-produk
yang ada di semua bank islam. Dalam islam, jual beli sebagai
sarana tolong menolong antara sesama umat manusia yang diridhai
oleh Allah SWT. "Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba"13
Ungkapan yang sering digunakan dalam transaksi murabahah
adalah:14
11Ibid., h. 106. 12Ahmad Ifham Sholihin, op.cit., h. 235.13Ibid.14Muhammad Syafi’I Antonio, op.cit., h. 97.
10
a. Bila seorang penjual mengatakan: “Saya jual dengan harga beli
saya atau dengan harga perolehan saya disertai dengan
keuntungan sekian”.
b. Bila seorang penjual mengatakan: “Saya jual dengan biaya-
biaya yang telah saya keluarkan disertai dengan keuntungan
sekian”
c. Bila seorang penjual mengatakan: “Saya jual dengan ra’sul
maal (harga pokok) disertai dengan keuntungan sekian”
Menurut As-Shawy, ungkapan tersebut tergantung pada
al-‘urf (kebiasaan suatu tempat), bila kebiasaan dalam
perdagangan ditempat itu menunjukkan bahwa yang dimaksud
dengan harga pokok adalah harga beli saja dan tidak termasuk
biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut
maka ungkapan ketiga ini masuk kategori ungkapan yang pertama.
Adapun bila kebiasaan menunjukkan bahwa harga pokok adalah
harga beli ditambah dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
memperolehnya maka ia masuk kategori ungkapan yang kedua.15
Transaksi jual beli murabahah sebagaimana yang disebutkan
oleh Ulama Malikiyah, adalah jual beli dimana pemilik barang
menyebutkan harga beli barang tersebut, kemudian ia mengambil
keuntungan dari pembeli baik secara sekaligus dengan
mengatakan, saya membelinya dengan harga sepuluh dinar dan
anda berikan keuntungan kepadaku sebesar satu dinar atau dua
15Ala’eddin Kharota, op.cit., h. 116.
11
dinar", atau merincinya dengan mengatakan, anda berikan
keuntungan sebesar satu dirham per satu dinarnya. Atau bisa juga
ditentukan dengan ukuran tertentu maupun dengan menggunakan
porsentase.16
Ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan mengatakan,
pemindahan sesuatu yang dimiliki dengan akad awal dan harga
awal disertai tambahan keuntungan.17
Menurut Ulama Syafi'iyyah dan Hambaliah, murabahah
adalah jual beli dengan harga pokok atau harga perolehan penjual
ditambah keuntungan satu dirham pada setiap sepuluh dinar atau
semisalnya, dengan syarat kedua belah pihak yang bertransaksi
mengetahui harga pokok.18
2. Transaksi Murabahah
Menurut mayoritas (jumhur) ahli-ahli hukum Islam, rukun
yang membentuk akad murabahah ada lima yaitu: Adanya penjual
(ba’i), Adanya pembeli (musytari), Objek atau barang (mabi’) yang
diperjualbelikan, Harga (tsaman) nilai jual barang berdasarkan
mata uang, Ijab qabul (shigat) atau formula akad, suatu pernyataan
kehendak oleh masing-masing pihak yang disebut Ijab dan Kabul.19
16Ibid., h. 113.17Abdul Jalil, Teologi Buruh (Cet. I; Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara,
2008), h. 132.18Ibid.19Abdullah Amrin, op.cit., h. 33.
12
Sementara itu, syarat murabahah adalah; Penjual
memberitahu biaya modal kepada nasabah, Kontrak pertama harus
sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan, Kontrak harus bebas
riba, Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat
atas barang sesudah pembelian, Penjual harus menyampaikan
semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika
pembelian dilakukan secara utang. Jadi di sini terlihat adanya unsur
keterbukaan.20
Pada pembiayaan murabahah, nasabah yang mengajukan
permohonan harus memenuhi syarat sah perjanjian yaitu, unsur
yaitu syarat subjektif harus berumur tahun atau telah/pernah
menikah, sehat jasmani dan rohani. Objek murabahah tersebut juga
harus tertentu dan jelas dan merupakan milik yang penuh dari
pihak bank. Dalam pelaksanaannya, pembelian objek murabahah
tersebut dapat dilakukan oleh pembeli murabahah tersebut sebagai
wakil dari pihak bank dengan akad wakalah atau perwakilan.
Setelah akad wakalah dimana pembeli murabahah tersebut
bertindak untuk dan atas nama bank untuk melakukan pembelian
objek murabahah tersebut. Setelah akad wakalah selesai dan objek
murabahah tersebut secara prinsip telah menjadi hak milik bank
maka terjadi akad kedua antara bank dengan pembeli murabahah
yaitu akad murabahah. Hal ini dimungkinkan dan tidak menyalahi
syariah Islam karena dalam dalam fatwa Nomor 04/ DSN-MUI/ IV/
20Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah (Cet. I; Jakarta: Azkia Publisher, 2009), h. 28.
13
2000 Tanggal 1 April 2000 tentang murabahah, sebagai landasan
syariah transaksi murabahah adalah sebagai berikut: pada bagian
pertama angka 9 disebutkan bahwa jika bank bendak mewakilkan
kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual
beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip,
menjadi milik bank.21
Disimpulkan di sini bahwa pelaksanaan prinsip syariah dalam
akad murabahah sudah sesuai dengan fatwa MUI, walaupun harga
jual objek akad yang merupakan harga beli ditambah keuntungan
(ribhun) biasanya lebih mahal dari pemberian kredit kepemilikan
pada bank konvensional tetapi pada murabahah nasabah
diuntungkan dalam hal tidak dikenakannya bunga dalam
murabahah ini sehingga nasabah tidak akan rugi apabila ada
kenaikan dan penurunan suku bunga pasar. Sementara pada
murabahah yan dipergunakan adalah harga jual yang tidak akan
berubah selama masa akad. Dengan demikian, nasabah sejak awal
sudah mengetahui jumlah cicilan yang akan dibayarkan selama
masa akad dan tidak akan mengalami kenaikan ataupun
penurunan.22
Selain harus memenuhi syarat sah perjanjian yang tercantum
dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Praktik muamalah dalam Islam
pada prinsipnya harus sesuaidan tidak bertentangan dengan
21Ahmad Ifham Sholihin, op.cit., h. 302.22Ibid.
14
norma-norma syariah. Para ahli fiqh sepakat bahwa dalam kegiatan
bisnis (muamalah) Islam haruslah menghindari unsur-unsur yang
dilarang oleh syara’ yakni, maisir (perjudian), gharar
(ketidakjelasan), riba (tambahan) dan bathil (ketidakadilan).23
Hal ini berlaku juga untuk kegiatan perbankan, khususnya
perbankan syariah. Unsur Maisir (untung-untungan) dan unsur
bathil (ketidakadilan) dalam murabahah dapat dihilangkan dengan
adanya kepastian proyek dan tingkat. pengembalian yang jelas,
sesuai dengan akad yang telah disepakati pada awal kerjasama.
Dalam hal ini nasabah tidak diberatkan dengan fluktuasi tingkat
suku bunga bank. Unsur gharar (ketidakpastian) dalam penerapan
murabahah dapat dihindari dengan adanya kepastian angsuran
pembayaran. Dengan demikian, sudah pasti dapat diprediksikan
jumlah angsuran perbulan sesuai dengan jangka waktu
pembiayaan, karena dalam hal ini bank syariah tidak mengenal
sistem bunga. Unsur riba dalam murabahah dapat dihilangkan
dengan konsep jual beli, karena pada dasarnya Islam menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba. Pada unsur teknisnya nasabah
tidak merasa dirugikan oleh bank adanya kejelasan mengenai harga
objek yang akan dibeli oleh nasabah dan keuntungan yang diambil
oleh bank. Begitu pula dengan objek yang diperjualbelikan harus
sudah ada pada saat penandatanganan akad. Dengan demikian,
dapat diambil kesimpulan bahwa penerapan produk murabahah
23K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis (Cet. IX; Yogyakarta: Kanisius, 2010), h. 51.
15
sudah sesuai dengan prinsip pembiayaan berdasarkan prinsip-
prinsip Islam yaitu tidak mengandung maisir (spekulatif), gharar
(ketidakpastian), riba (tambahan) dan bathil (ketidakadilan).24
C. Tijarah
1. Pengertian Tijarah
Tijarah sebagaimana yang telah didefinisikan oleh pada
fuqaha ialah pengusahaan harta benda dengan penggantian harta
benda yang lain. Akad tijarah digunakan dalam transaksi yang
sifatnya komersial/profit motif, sehingga boleh mengambil
keuntungan.25 Contoh transaksi seperti ini adalah jual beli, sewa-
menyewa, upah-mengupah kerjasama usaha atau bagi hasil. Akad
tijarah terbagi lagi menjadi dua yaitu:26
a. Natural certainty contract yang terdiri dari bai’ ( jual beli ) dan
ijarah.
b. Natural Uncertainty Contract yang terdiri dari musyarakah,
muzara’ah (benih dari pemilik lahan), mukhabarah (benih dari
penggarap) dan musaqah (tanaman tahunan).
Barang tijarah ialah apa yang disiapkan untuk usaha dengan
jalan jual beli. Suatu barang milik dikatagorikan sebagai tijarah jika
24Zainul Arifin, op.cit., h. 29.25Abdullah Amrin, op.cit.,h. 163.26Abdullah Siddik al-Hajj, Hukum Dagang Islam (Cet. I; Jakarta: Balai
Pustaka, 1993), h. 32.
16
terdapat dua unsur yang tidak terpisah yaitu terjadi transaksi jual
beli dan niat untuk mendapatkan keuntungan.27
Ada beberapa prinsip jual beli dalam akad tijarah yaitu:28
a. Cara pengambilan keuntungan ada empat yaitu:
musawwamah dimana penjual tidak memberitahukan harga
pokok dan keuntungan yang didapatkannya, murabahah yang
merupakan kebalikan dari musawwamah, muwadhaah yaitu
dengan prinsip diskon, tauli’ah yaitu dengan pemberian komisi
kepada pembeli.
b. Jenis barang pengganti yaitu: muqayyadah adalah kewenangan
terbatas atas pembeli untuk menentukan jenis barang
pengganti, mutlaqah yaitu kewenangan penuh atas pembeli
untuk menentukan jenis barang pengganti, yang terakhir
adalah sharf.
c. Cara pembayaran/waktu penyerahan yaitu naqdan dan ghoiru
naqdan.Untuk ghairu naqdan ada tiga yaitu muajjal dimana
barang diserahkan secara bertahap, salam dimana uang
dibayarkan lebih dahulu baru kemudian barang diserahkan,
istishna dimana uang dibayar lebih dahulu secara bertahap
baru kemudian barang diserahkan.
2. Hukum Perdagangan dalam Perundang-undangan Islam pada
zaman Rasulullah
27Abdullah Amrin, op.cit.,h. 164.28Hermawan Kartajaya & Muhammad Syakir Sula, Syariah Marketing (Cet.
III; Bandung: Mizan Media Utama, 2006), h. 127.
17
Hukum dagang dalam fiqh Islam termasuk dalam mu’amalah
maliyah atau hukum yang mengatur hubungan manusia dalam
masalah harta dan kekayaan. Hukum dagang dalam perundang-
undangan umum modern adalah bagian dari hukum privat, atau
merupakan jenis khusus dari hukum perdata.29
Pada masa Rasulullah SAW dan Khulafaurrasyidin diantaranya
Khalifah Umar Bin Khattab, Undang-undang perniagaan diatur
berdasarkan syari’at Islam dan para qadhi yang diangkat di setiap
daerah mempunyai kewenangan menerapkan dan mengawasi
jalannya undang-undang perniagaan tersebut. Khalifah Umar
disamping menjadi kepala Negara juga bertanggung jawab penuh
atas terlaksananya syari’at Islam pada tataran masyarakat bawah
diantaranya dengan selalu memantau pola kehidupan masyarakat
termasuk dalam masalah perniagaan. Kisah yang paling popular
ialah ketika beliau berkeliling ke pelosok negeri dan bertemu
dengan gadis penjual susu yang jujur dan tidak mau
mencampurnya dengan air agar mendapat keuntungan lebih
dengan cara yang bertentangan dengan syari’at Islam.30
Sebuah hadits pun disebutkan; Dari Jiyad bin Hudair ra
berkata:“Umar mempekerjakanku atas sepersepuluh Dan
memerintahkanku agar aku mengambil dari pedagang-pedagang
29Abdullah Siddik al-Hajj, op.cit., h. 45.30Mohd Nahar Mohd Arshad, Hidup Kaya tanpa RIba (Cet. I; Selangor: Zafar
Sdn Bhd, 2007), h. 153.
18
muslim dua sete-ngah persen.” (HR. Abu Ubaid al-Qasimy Ibnu
Salam).31
Rasulullah SAW pernah mengirim petugas pemungut zakat
kepada Khalid Bin Walid yang pernah berdagang perkakas perang.
Khalid tidak mengeluarkan zakatnya, sehingga pemungut zakat tadi
mengadu kepada Rasulullah SAW, maka beliau bersabda: “…
Adapun Khalid, kalian telah menganiayanya. Sesungguhnya ia telah
mewaqafkan baju-baju besinya dan peralatan perangnya di jalan
Allah.” (HR. Muslim).32
Hadits ini menunjukkan bahwa masalah peniagaan dan segala
hal yang berhubungan dengan ibadah mu’amalah termasuk juga
masalah pengelolaan zakat ditangani oleh Negara dan institusi
kenegaraan. Namun tidak berarti ketika Negara tidak menangani
perzakatan ini, kewajiban zakat tijarah terhapus dan tidak
dilaksanakan. Karena sebagaimana sebelumnya disinggung bahwa
hukum perdagangan termasuk hukum perdata yang setingkat
dengan hukum waris, nikah dan sejenisnya, maka selayaknya umat
Islam tetap memperhatikan hukum perdagangan sesuai dengan
syari’at Islam sambil tetap mengupayakan agar hukum Islam
menyangkut perdagangan dan perzakatan masuk pada perundang-
undangan Negara. Karena hanya dengan syari’at Islam, harta umat
Islam.
31Ibid.32Ibid., h. 155.
19
3. Karakteristik Perdagangan Syari’ah
Prinsip dasar yang telah ditetapkan Islam mengenai
perdagangan atau niaga adalah tolok ukur dari kejujuran,
kepercayaan dan ketulusan. Dalam perdagangan nilai timbangan
dan ukuran yang tepat dan standar benar-benar harus
diperhatikan.33 Seperti yang telah dijelaskan dalam surat Al
Muthoffifin ayat 2-7 :
( ون� ت�و�ف� ي�س� الن�اس� ع�ل�ى اك�ت�ال�وا �ذ�ا إ و� ٢ال�ذ�ين�أ� ك�ال�وه�م� �ذ�ا و�إ
( ر�ون� ي�خ�س� ن�وه�م� )٣و�ز� م�ب�ع�وث�ون�( ن�ه�م� أ� ول�ئ�ك� أ� ي�ظ�ن9 =(٤أ�ال ل�ي�و�م
( = ال�ع�ال�م�ين�( )٥ع�ظ�يم Bل�ر�ب الن�اس� وم� ي�ق� ار�( ٦ي�و�م� �ج ال�ف� ك�ت�اب� ��ن إ ك�ال
جBين= ) س� 34(٧ل�ف�ي
Terjemahnya:“Kecelakaan besarlah bagi orang yang curang, yaitu orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar, yaitu hari ketika manusia berdiri menghadap Tuhan Semesta Alam? Sekali-kali jangan curang, karena sesungguhnya kitab orang yang durhaka,tersimpan dalam Sijjin.”
Selain itu, Islam tidak hanya menekankan agar memberikan
timbangan dan ukuran yang penuh, tetapi juga dalam menimbulkan
itikad baik dalam transaksi bisnis. Hasil beberapa pengamatan yang
dilakukan menjelaskan bahwa hubungan buruk yang timbul dalam
bisnis dikarenakan kedua belah pihak yang tidak dapat menentukan
kejelasan secara tertulis syarat bisnis mereka. Untuk membina
33Hermawan Kartajaya & Muhammad Syakir Sula, op.cit., h. 27.34Departemen Agama RI, op.cit., h. 587.
20
hubungan baik dalam berbisnis, semua perjanjian harus dinyatakan
secara tertulis dengan menyantumkan syarat-syaratnya, karena
“yang demikian itu lebih adil di sisi Alloh, dan lebih menguatkan
persaksian, dan lebih dapat mencegah timbulnya keragu-raguan.” 35
Di samping itu, ada beberapa hal yang terkait dengan
perdagangan syariah, yaitu:36
a. Penjual berusaha memberikan pelayanan yang terbaik kepada
konsumen, sehingga konsumen akan merasa telah berbelanja
sesuai syariah Islam, dimana konsumen tidak membeli barang
sesuai keinginan tetapi menurut kebutuhan.
b. Penjual menjalankan bisnisnya secara jujur yakni kualitas
barang yang dijual sesuai dengan harganya, dan pembeli tidak
dirangsang untuk membeli barang sebanyak-banyaknya.
c. Hal yang paling baik bukan masalah harga yang diatur sesuai
mekanisme pasar, namun status kehalalan barang yang dijual
adalah lebih utama. Dengan konsep perdagangan syariah,
konsumen yang sebagian besar masyarakat awam akan
merasa terlindungi dari pembelian barang dengan tidak
sengaja yang mengandung unsur haram yang terkandung di
dalamnya. Barang-barang yang dijual dengan perdagangan
syariah juga diperoleh dengan cara tidak melanggar hukum
35Hermawan Kartajaya & Muhammad Syakir Sula, op.cit., h. 29.36Ibid.
21
diantaranya bukan barang selundupan, memiliki izin SNI dan
sebagian lagi memiliki label halal.
d. Sesungguhnya barang dan komoditi yang dijual haruslah
berlaku pada pasar terbuka, sehingga pembeli telah
mengetahui keadaan pasar sebelum melakukan pembelian
secara besar-besaran. Penjual tidak diperkenankan mengambil
keuntungan dari ketidaktahuan pembeli akan keadaan pasar
dan harga yang berlaku.
4. Perdagangan Yang Dilarang
a. Talqi – Jalab
Talqi-jalab adalah suatu kegiatan yang umum dilakukan oleh
orang-orang Madinah, yaitu manakala para petani membawa hasil
ke kota, lalu menjualnya kepada orang-orang di kota kemudian
orang kota tersebut menjual hasil panen tersebut, dengan harga
yang mereka tetapkan sendiri. Rasulullah tidak menyukai cara
perdagangan seperti ini, karena beliau menganggap perbuatan
tersebut mencurangi seseorang.37
b. Perdagangan melalui Al-Hadir-Libad
Ada beberapa orang bekerja sebagai agen-agen penjualan
hasil panen dan semua hasil panen dijual melalui mereka. Mereka
memperoleh keuntungan baik dari penjual maupun dari pembeli
dan seringkali mencabut keuntungan sebenarnya yang harus
37Ahmad bin ‘Abdurrazzaq ad-Duwairy, Fatwa-fatwa Jual Beli (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2005), h. 120.
22
diterima petani dan kepada para pembeli tidak diberi harga yang
benar dan wajar. Rasulullah melarang bentuk perdagangan dengan
menarik keuntungan dari penjual dan pembeli.38
c. Perdagangan dengan cara Munabadzah
Dalam perdagangan secara munabadzah, seseorang
menjajakan pakaian yang dia miliki untuk dijual kepada orang lain
dan penjualan tersebut menjadi sah, meskipun orang tersebut tidak
memegang atau melihat barang tersebut. Berarti bahwa penjual
langsung melemparkan barang kepada pembeli dan penjualan itu
sah. Pembeli tidak ada kesempatan untuk memeriksa pakaian
tersebut atau harganya. Ada kemungkinan penipuan atau
kecurangan atau penggmbaran yang keliru dalam bentuk
perdagangan seperti ini, sehingga Rasulullah melarang
perdagangan dengan cara munabadzah.39
d. Perdagangan dengan cara Mulamasah
Dalam perdangangan secara mulamasah, seseorang menjual
sebuah pakaian dengan boleh memegang tapi tanpa perlu
membuka atau memeriksanya. Hal ini juga dilarang Rasulullah
karena keburukannya sama seperti munabazah.40
e. Perdagangan dengan cara Habal-Al-Habalah
38Rudi Susanto, Perdagangan Syariah (http.artikel.staff.uns.ac.id/2009/01/31/perdagangan- syariah)
39M. Nashiruddin al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 2008), h. 587.
40Ibid.
23
Bentuk perdagangan ini sangat umum di negara Arab pada
waktu itu. Dalam perdagangan ini, seseorang menjual seekor unta
betina dengan berjanji membayar apabila unta itu melahirkan
seekor anak unta jantan atau betina. Cara perdagangan seperti
inipun dilarang oleh Rasulullah karena mengandung unsur perkiraan
atau spekulasi.41
f. Perdagangan dengan cara Al-Hasat
Dalam bentuk perdagangan seperti ini, penjual akan
menyampaikan kepada pembeli bahwa apabila pembeli
melemparkan pecahan-pecahan batu kepada penjual, maka
penjualan akan dianggap sah. Cara seperti ini juga diharamkan oleh
Rasulullah karena sama buruknya dengan perdagangan secara
munabazah dan mulamasah.42
g. Perdagangan dengan cara muzabanah
Dalam bentuk perdagangan ini, buah-buahan ketika masih di
atas pohon sudah ditaksir dan dijual sebagai alat penukar untuk
memeperoleh kurma dan anggur kering, atas sederhananya
menjual buah-buahan segar untuk memperoleh buah-buahan
kering. Rasulullah melarang cara seperti ini karena didasari atas
perkiraan dan dapat merugikan satu pihak jika perkiraan ternyata
salah.43
h. Perdagangan dengan cara Muhaqolah
41Ala’eddin Kharota, op.cit., h. 64.42M. Nashiruddin al-Albani, op.cit., h. 589.43Muhammad Syakir Sula, op.cit., h. 49.
24
Dalam sistem muhaqolah ini, panen yang belum ditunai dijual
untuk memperoleh hasil panen yang kering. Rasulullah melarang
cara perdagangan seperti ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Abdullah Ibn Umar, Abu Said al Khudri dan Said Ibn Mussayyib.
Bentuk ini sama dengan bentuk muzabanah dengan semua
kemudharatannya.44
i. Perdagangan tanpa hak pemilikian
Perdagangan barang-barang khususnya yang tidak tahan
lama, tanpa perolehan hak milik juga dilarang oleh Rasulullah
karena mengandung unsur keraguan dan penipuan. Diriwayatkan
oleh Ibn Umar bahwa Rasulullah bersabda: “Siapapun yang
membeli gandum tidak berhak menjualnya sebelum memperoleh
hak miliknya.”45
j. Perdagangan dengan cara Sarf
Perdagangan dengan cara sarf berarti menggunakan
transaksi di mana emas dan perak dipakai sebagai alat tukar untuk
memperoleh emas dan perak. Rasulullah bersabda bahwa
pertukaran emas dengan emas merupakan riba kecuali dari tangan
ke tangan, kurma dengan kurma adalah riba kecuali dari tangan ke
tangan, dan garam dengan garam adalah riba kecuali dari tangan
ke tangan.46
k. Perdagangan dengan cara Al-Gharar
44Ibid.45Ibid. h. 51.46Ahmad bin ‘Abdurrazzaq ad-Duwairy, op.cit., h. 123.
25
Perdagangan dengan cara Al-Gharar, Perdagangan yang
dilakukan dengan cara melakukan penipuan terhadap pihak lan.
l. Misrot
Misrot adalah hewan yang mempunyai susu, tapi susunya
tidak diperas. Kebanyakan orang apabila berkeinginan menjual
binatang ini terlebih dahulu diperah selama beberapa hari untuk
menipu pembeli. Ini adalah salah satu cara dimana pembeli
binatang merasa ditipu dan diminta untuk membayar dengan harga
yang lebih mahal.47
a. Najsh, terjadinya sesuatu kenaikan harga karena seseorang
telah mendengar bahwa harga barang tersebut telah naik, lalu
membelinya tetapi tidak karena ingin membelinya melainkan
karena ingin menjualnya kembali dengan menetapkan harga
yang lebih tinggi, atau berminat terhadap barang yang dijual
dengan tujuan untuk menipu orang lain.
b. Penjualan dengan sumpah, Penjual menjual barangnya (dalam
harga tinggi) dengan melakukan sumpah tentang tingginya
kualitas barang tersebut.
c. Pemalsuan
d. Perdagangan dengan cara menyembunyikan
e. Monopoli
47Ibid.
26
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada uraian makalah ini, penulis dapat mengambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh
dua orang atau lebih berdasarkan pada persetujuan masing-
masing dalam jual beli. Objek akad ialah barang yang
diperjual belikan dan harganya. Sesuatu yang dapat menjadi
objek akad apabila dapat menerima hukum akad dan tidak
mengandung unsur-unsur yang mungkin menimbulkan
sengketa kemudian hari antara pihak-pihak yang
bersangkutan. Sahnya suatu akad tergantung pada
terpenuhinya rukun dan syarat akad. Syarat akad
27
diantaranya; tidak menyalahi hukum syariah, saling ridho
(tidak ada paksaan), isi perjanjian jelas dan gambling.
2. Murabahah ialah transaksi penjualan barang dengan
menyatakan harga perolehan dan keuntungan yang
disepakati oleh penjual dan pembeli. Pada murabahah yan
dipergunakan adalah harga jual yang tidak akan berubah
selama masa akad. Dengan demikian, nasabah sejak awal
sudah mengetahui jumlah cicilan yang akan dibayarkan
selama masa akad dan tidak akan mengalami kenaikan
ataupun penurunan.
Akad tijarah digunakan dalam transaksi yang sifatnya
komersial/profit motif, sehingga boleh mengambil
keuntungan. Prinsip dasar yang telah ditetapkan Islam
mengenai perdagangan atau niaga adalah tolok ukur dari
kejujuran, kepercayaan dan ketulusan. Dalam perdagangan
nilai timbangan dan ukuran yang tepat dan standar benar-
benar harus diperhatikan. Beberapa hal yang terkait dengan
perdagangan syariah, diantaranya; Penjual berusaha
memberikan pelayanan yang terbaik kepada konsumen,
Penjual menjalankan bisnisnya secara jujur yakni kualitas
barang yang dijual sesuai dengan harganya, Hal yang paling
baik bukan masalah harga yang diatur sesuai mekanisme
pasar, namun status kehalalan barang yang dijual adalah
lebih utama. Dengan konsep perdagangan syariah, konsumen
28
yang sebagian besar masyarakat awam akan merasa
terlindungi dari pembelian barang dengan tidak sengaja yang
mengandung unsur haram yang terkandung di dalamnya.
Barang-barang yang dijual dengan perdagangan syariah juga
diperoleh dengan cara tidak melanggar hukum diantaranya
bukan barang selundupan, memiliki izin SNI dan sebagian lagi
memiliki label halal. Barang dan komoditi yang dijual haruslah
berlaku pada pasar terbuka, sehingga pembeli telah
mengetahui keadaan pasar sebelum melakukan pembelian
secara besar-besaran. Penjual tidak diperkenankan
mengambil keuntungan dari ketidaktahuan pembeli akan
keadaan pasar dan harga yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Ad-Duwairy, Ahmad bin ‘Abdurrazzaq. Fatwa-fatwa Jual Beli. Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2005.
al-Albani, M. Nashiruddin. Ringkasan Shahih Bukhari. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 2008.
29
Al-Hajj, Abdullah Siddik. Hukum Dagang Islam. Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 1993.
Amrin, Abdullah. Asuransi Syariah. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2006.
Antonio, Muhammad Syafi’I. Bank Syariah: dari Teori ke Praktik. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Arifin, Zainul. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. Cet. I; Jakarta: Azkia Publisher, 2009.
Arshad, Mohd Nahar Mohd. Hidup Kaya tanpa RIba. Cet. I; Selangor: Zafar Sdn Bhd, 2007.
Bertens, K. Pengantar Etika Bisnis. Cet. IX; Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya .Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009.
Jalil, Abdul. Teologi Buruh. Cet. I; Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2008.
Kartajaya, Hermawan dan Muhammad Syakir Sula. Syariah Marketing. Cet. III; Bandung: Mizan Media Utama, 2006.
Kharota, Ala’eddin. Transaksi dalam Perundangan Islam. Cet. I; Selangor Warni Sdn Bhd, 2007.
Sholihin, Ahmad Ifham. Pedoman Umum Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.