oleh: choiril chodri 108051100025 -...
TRANSCRIPT
KONSTRUKSI SOSIAL KEHIDUPAN PENJUAL TAHU DALAM FILM
FEATURES DOKUMENTER DONGENG RANGKAS
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh:
Choiril Chodri
108051100025
KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
KONSENTRASI JURNALISTIK
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013/1434 H
i
ABSTRAK
Konstruksi Sosial Kehidupan Penjual Tahu Dalam Film Features DokumenterDongeng Rangkas
Nama : Choiril ChodriNIM : 108051100025
Film features dokumenter “Dongeng Rangkas” merupakan sebuah filmdokumenter yang menceritakan kehidupan penjual tahu di Rangkasbitung,Banten. Walapun film ini dibangun dari realitas yang sebenarnya, namundibubuhi aspek sinema dan features agar menjadi film yang sebenarnya bukansekedar memberikan informasi seperti film dokumenter pada umumnya.
Melihat persoalan tersebut, bagaimana konstruksi sosial kehidupan penjualtahu dalam film features dokumenter dongeng rangkas? Faktor apa saja yangmempengaruhi konstruksi sosial dalam film featutes dokumenter dongengrangkas? Bagaimana cara mengetahui alur features dalam film dokumenterDongeng Rangkas?
Adapun teori yang digunakan adalah teori konstruksi sosial oleh Peter L.Berger dan Thomas Luckman. Melalui teori ini peneliti menelaah konstruksirealitas film features dokumenter secara umum, dan film “Dongeng Rangkas” darikehidupan penjual tahu yang ada dalam film tersebut.
Metodologi penelitan yang digunakan adalah metodologi kualitatifdeskriptif. Sumber data diperoleh dari observasi dengan ikut serta membuat filmdokumenter dengan Forum Lenteng, wawancara semua sutradara. Selain itu jugadata diperoleh dari buku, internet dalam hal ini situs resmi film “DongengRangkas”, dan akumassa.
Konstruksi sosial film features dokumenter “Dongeng Rangkas” terjadimelalui tiga tahapan yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Pada tahapeksternalisai terjadi proses interaksi dan ekspresi diri sutradara dalam realitaspenjual tahu. Tahap objektivasi sebagai interaksi sosial dalam dunia intersubjektifyang dilembagakan. Sedangkan tahap internalisasi merupakan upaya individumengidentifikasi diri dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosialtempat individu berada.
Jadi konstruksi sosial kehidupan penjual tahu dalam film featuresdokumenter Dongeng Rangkas bersifat realitas objektif dan subjektif. Realitasobjektif sutradara tidak merubah realitas yang sebenarnya dalam kehidupanpenjual tahu, dan subjekif karena adanya proses penyerapan realitas kehidupanpenjual tahu dalam pemikiran sutradara dan dibentuk menjadi film dokumentersesuai kaidah-kaidah film serta features.
Faktor yang mempengaruhi film features dokumenter “Dongeng Rangkas”dilandasi atas dasar kondisi pendidikan, sosial, dan ekonomi para pembuat danpenjual tahu. Adapun alur features nya terlihat dari banyaknya unsur humaninterest, adanya lead, body, ending, dan karya yang tidak mudah basi.Keyword: Film, Features, Dokumenter, Konstruksi Sosial
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrohim
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
karunia dan nikmat-Nya, serta tidak lupa penulis sampaikan salawat serta salam
kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Penulis merasa bersyukur atas
selesainya skripsi ini setelah mengenyam pendidikan jurnalistik di kampus UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama penulisan skripsi ini penulis menemukan
banyak sekali pengalaman dan wawasan baru yang dapat memicu penulis untuk
terus belajar dan berkarya.
Penulis mengucapkan terimaksih kepada kedua orang tua almarhum Bapak H.
Muhammad Saidurrosyd dan Ibu Hj. Mudrikah yang telah memberikan dukungan
baik moril maupun materi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Selain itu terimakasih buat adik Choirul Syamsudin dan Ferdiansyah yang telah
memberikan semangatnya, serta tidak lupa berterimaksih kepada seorang wanita
Eva Dewi Purita yang selalu menemani penulis, memberikan semangat, serta
menjadi teman diskusi dalam pengerjaan skripsi ini.
Terselesainya skripsi ini dipengaruhi oleh orang-orang yang berjasa. Oleh
karena itu penulis ini menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Arif Subhan, MA Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.
2. Rubiyanah, MA selaku ketua Jurusan dan Ibu Ade Farida, M.Si selaku
sekretaris Jurusan Konsentrasi Jurnalistik yang senantiasa membantu
iii
penulis dalam berbagai hal termasuk memberikan kemudahan dalam
penyelesaian skripsi ini.
3. Rachmad Baihaky, MA selaku pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingan dan arahanya kepada penulis. Beliau adalah orang
yang berarti bagi penulis skripsi ini.
4. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta atas segala ilmu dan pencerahan yang diberikan.
5. Segenap Staff TU dan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan pelayanan baik kepada penulis.
6. Perpustakan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Perpustakaan
Djuanda, Perpustakaan Forum Lenteng atas referensi buku-buku yang
digunakan penulis dalam skripsi ini.
7. Fuad Fauzi, Badrul Munir, Syaiful Anwar, dan Andang Kelana sebagai
narasumber dalam dalam pengumpulan data skripsi ini.
8. Hafiz Rancajale dan Mahardika Yudha yang telah memberikan arahan
mengenai film, dan film dokumenter serta sebagai salah satu narasumber
dalam pengumpulan data.
9. Teman-teman jurnalistik terutama yang dipertemukan di Jurnalistik A.
Kelas ini begitu indah atas segala rasa, cita dan asa yang telah terjalin
selama ini.
10. Lembaga organisasi yang menjadi tempat bagi penulis untuk belajar,
berkarya, dan berimajinasi serta bercanda tawa. Komka Uin, Komunitas
Djuanda, Forum Leneng, Ikatan Mahasiswa Purworejo Jakarta Raya
iv
(Imapurjaya), jurnalfootage.net, akumassa.org, galeritangsel.com, dan
revienspurworejo.com
11. Teman-teman terbaik yang menjadi sandaran dari cerita klasik dan masa
dimana kebersamaan selalu menghadirkan canda, tawa, imajinasi akan
masa depan Arofi Teja Pradana, Drajat Wahyu Hndoko (Pembina
Imapurjaya), Endang Sulistiyowati, Al muhaimin, Femi Dinda Proklamasi,
Wahyu Puji Lestari, Aditiyo Kusumo, Muhammad Khoirudin, Khamid,
M.Khayatul Khikam, Ray Sangga Kusuma, Imam FR, Muhammad Tohir,
Mufti Al umam, Rizki M Zein, Renal Rinoza, Faraby Ferdiansyah, Eni
Wibowo, Jayu Julie, Mukhlis, Nur Hidayati, Miftahul Fikiri, M. Reza,
Reza Andrian, Rizky Aditya.
Penulis mohon maaf tidak dapat menyebut satu persatu, namun
dukungan orang-orang yang membantu baik langsung atau tidak langsung
penulis sangat hargai dan berterimakasih banyak.
Ciputat, 10 September 2013
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR........................................................................................... ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .....................................................................1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ..........................................................8
C. Tujuan Penelitian ................................................................................9
D. Manfaat Penelitian ............................................................................10
E. Metodologi Penelitain.......................................................................10
1. Metode Penelitian .......................................................................10
2. Subjek dan Objek Penelitian.......................................................11
3. Teknis Pengumpulan Data ..........................................................11
4. Teknis Analisis Data ...................................................................13
F. Tinjauan Pustaka...............................................................................13
G. Sistematika Penulisan .......................................................................14
BAB II LANDASAN TEORI
A. Teori Konstruksi Sosial ....................................................................16
B. Film Features Dokumenter ...............................................................22
1. Film.............................................................................................22
2. Features .......................................................................................25
3. Dokumenter ................................................................................32
vi
BAB III GAMBARAN UMUM DAN KOMUNITAS PEMBUAT FILM
A. Gambaran Umum Film Dongeng Rangkas.......................................37
1. Sinopsis Film ..............................................................................37
2. Produksi Film..............................................................................38
3. Tim Produksi Film......................................................................40
4. Biografi Singkat Sutradara..........................................................41
B. Gambaran Umum Komunitas Pembuat Film....................................49
BAB IV ANALISIS DAN TEMUAN
A. Film Features Dokumenter Dongeng Rangkas .................................52
B. Konstruksi Sosial dalam Film Features Dokumenter
Dongeng Rangkas .............................................................................54
1. Tahap Eksternalisasi ...................................................................57
2. Tahap Objektivasi .......................................................................60
3. Tahap Internalisasi ......................................................................61
C. Faktor Konstruksi Sosial dalam Film Features Dokumenter
Dongeng Rangkas .............................................................................66
Alur Features dalam Film Dokumenter Dongeng Rangkas..............70
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .......................................................................................73
B. Saran .................................................................................................76
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................77
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini film dokumenter semakin banyak peminatnya. Banyak
bermunculan pembuat film dokumenter baik dari kalangan independen,
pendidikan, dan pertelevisian. Walaupun banyak bermunculan pendatang
baru di dunia dokumenter, namun film dokumenter di Indonesia masih
menjadi anak tiri dalam medan dunia perfilman Indonesia.
Perhatian masyarakat dan lembaga pembuat film lebih memberikan
ruang lebih terhadap fiksi dibandingan dengan film dokumenter. Hal itu
mungkin didasari atas lebih glamornya film fiksi, namun masyarakat dan
instansi pembuat film melupakan bahwasanya film dokumenter pada
hakekatnya adalah apa yang disebut dengan kultural eduktif.1
Hal ini sangat berbanding terbalik dengan keadaan film dokumenter
di luar negeri seperti di Eropa, film dokumenter sudah ditempatkan sejajar
dengan fiksi.2 Hal itu didasari perkembangan film Eropa jauh lebih maju
dibandingkan Indonesia. Selain itu juga keadaan ini disebabkan ada
bebearapa faktor dianatranya, selama sejarah perfilaman Indonesia tidak
ada rumusan yang jelas terhadap apa yang dimaksud dengan film
1 D. A. Peransi, Film/Media/Seni, (Jakarta: FFTV-IKJ PRESS, 2005), h.45.2 Didapat dari pengamatan langsung penulis terhadap film dokumenter, serta
masyarakat terhadap film dokumenter di Denmarak saat mengunjungi festival filmdokumenter bertaraf internasional di Copenhagen, Denmark September 2012.
2
dokumeter, dalam kekosongan rumusan pendapat lain dibentuk oleh film
berita, dan film laporan, film dokuementer dibuat oleh perusahaan film
Negara (PFN) dan swasta hampir tidak ada yang membuatnya, kecuali
Perfini yang hanya membuat beberapa film di tahun 1950 dan 1960 an.3
Di Eropa pada umumnya atau di Denmark secara khusus yang
penulis kunjungi pada Copenhagen International Documentary Film
Festival (CPH:DOX), masyarakat dari kalangan remaja, hingga orang tua
sangat antusias menghadiri setiap pemutaran film dokumenter yang diputar
di teater yang ada di kota Copenhagen, Denmark saat berlangsungnya
festival film dokumenter bertaraf internasioanal tersebut.
Hampir disetiap teater atau tempat pemutran lain penontonya
memenuhi tempat pemutaran tersebut. Dalam setiap pemuataran
pegunjung harus membayar tiket seperti halnya kita menonton film fiksi di
bioskop-bioskop Indonesia. Berbeda halnya dengan di Indonesia, walapun
penonton diberi gratis, namun antusias masyarakat terhadap film
dokumenter masih kecil.
Walapun di Indonesia film dokumenter masih menjadi anak tiri,
namun tidak sedikit pembuat film dokumenter di Indonesia dan setiap
pembuat film dokumenter juga memiliki gaya sendiri dalam
pembuatannya serta memiliki kepentingan yang berbeda pula. Tidak
berbeda halnya dengan seorang pembuat film dokumenter yang membuat
film dengan tema-tema islami juga memiliki kepentingan sediri, baik
3 D. A. Peransi, Film/Media/Seni, (Jakarta: FFTV-IKJ PRESS, 2005), h.46.
3
untuk memberikan pemahaman islam secara global, atapun menyiarkan
kebaikan kepada orang lain.
Setiap orang dapat menyerukan kebaikan kepada orang lain dengan
jalan dan caranya sediri sesuai dengan keahilannya. Seorang da’i
menyiarkan kebaiakn kepada orang lain dengan berdakwah di masjid-
masjid atupun majelis ta’lim.
Berdakwah atau menyiarkan kebaikan kepada orang lain tidak hanya
dengan menggunakan lisan seperti yang biasa da’i lakukan, namun juga
dapat menggunakan media. Di era informasi dan media yang semakin
berkemabang ini, seharusnya umat islam pada umumnya dan da’i pada
khususnya mampu memanfaatkan media untuk melakukan dakwahnya
atau menyampakaikan informasi mengenai islam. Salah satunya dengan
menggunakan media film, baik film fiksi, ataupun film dokumenter.
karena film adalah media penyampai informasi, atau sebagai media
pendidikan yang sangat efektif.
Penyampaian informasi atau pendidikan menggunakan film itu
merupakan proses komunikasi, seperti halnya berdakwah juga merupakan
proses komunikasi yang dilakukan oleh pendakwah kepada jama’ahnya.
Menurut Berelson dan Stainer yang dikutip dalam buku “Filsafat Ilmu
Komunikasi” adalah sebuah proses penyampaian informasi, gagasan,
emosi, atau keahlian dengan melalui kata-kata, gambar-gambar, atau
angka-angka.
4
Film fiksi dan film dokumenter merupakan sebuah gambar bergerak
yang memiliki alur cerita. Di dalam alur cerita tersebutlah informasi
atapun gagasan yang mengandung unsur pendidikan dimasukkan oleh sang
sutradara. Oleh karena itu film dapat dimanfaatkan menjadi media dakwah
yang sangat efektif.
Jika film menjadi media dakwah tentunya memiliki kelebihan
tersendiri dibandingkan dengan media lain atau cara berdakwah lainya.
Lewat media film, pesan dakwah disampaikan dengan memperlihakan
cerita yang enak dilihat dan akan lebih mudah dirasakan, serta mudah
menyentuh hati penontonya. Hal itu senada dengan ajaran Allah SWT.
Yang mana dalam memberikan pesan kepada orang lain hendaknya
dilakukan secara qawlan syadidan, yaitu pesan yang dikomunikasikan
dengan benar, menyentuh, dan membekas dalam hati.4
Walaupun film dapat digunakan sebagai media dakwah dan banyak
yang membuat film doumenter dengan berbagai kepentingan, namun pada
dasarnya semua film dokumenter dibuat dari peristiwa nyata apa adanya.5
Film tersebut dikonstruk dari peristiwa nyata atau realitas yang terjadi
dalam masyarakat.
Dari realitas itulah kemudian dibentuk menjadi sebuah cerita sesuai
dengan keinginan sang sutradara dengan tanpa meninggalkan kisah
aslinya, namaun dibumbuhi dengan aspek-aspek sinema yang sutradara
4 Widjaja, Ilmu Komunikasi Dan Pengantar Studi, (Jakarta, PT RinekaCipta,2000),hal.79
5 Gerzon R. Ayawaila, Dokumenter dari Ide Sampai Produksi, (Jakarta: FFTV-IKJPRESS, 2008.), h.22.
5
ketahui. Atas dasar itulah banyak yang beranggapan jika film dokumenter
sudah bukan lagi realitas seperti reaitas aslinya.
Dalam pembuatan film dokumenter seperti halnya kita
mendokumentasikan suatu kejadian, ataupun permasalahan yang ada
dalam kehidupan masyarakat. Proses pendokumentasian itu tidak langsung
dapat disebut sebuah film dokumenter karena di dalam sebuah film
dokumenter masih banyak asepek-asepek pendukung di dalamnya. Aspek
pendukung yang dapat menjadikan sebuah dokumentasi menjadi sebuah
film dokumenter yang utuh. Aspek-aspek dalam film dokumenter di
antaranya memiliki konten informasi ataupun pengetahuan, gagasan
terhadap film dokumenter itunya sendiri, dan penyutradaaraan dalam
membangun cerita.6
Film dokumenter yang memiliki aspek informasi atau pengetahuan
merupakan konteks dari dokumenter media massa (televisi) karena
dokumenter tersebut berkaitan juga dengan jurnalisme. Dalam jurnalisme,
informasilah yang sangat ditekankan, karena film dokumenter dalam
konteks ini merupakan media informasi selain berita-berita pada
umumnya.
Kenyataan dalam jurnalisme itu sendiri adalah sebuah informasi,
Namun film dokumenter dalam konteks sinema yang sebenarnya adalah
sebuah ide (gagasan) dan drama. ‘Sinema adalah fenomena gagasan’
6 Obrolan Pribadi dengan Bang Hafiz Rancajale (Salah Seorang Pembuat FilmDokumenter di Indonesia)
6
(Andre Bazim).7 Dalam hal ini, pembuat film selain membuat sebuah alur
cerita agar film lebih menarik, juga memang harus menunjukkan gagasan
apa yang akan diberikan kepada khalayak lewat karya filmnya tersebut.
Namun, pada dasarnya semua dokumenter baik yang masuk dalam
konteks media massa ataupun sinema, di dalamnya ada usur informasi,
baik secara langsung ataupun tidak langsung dalam memberikan
informasinya kepada penonton. Semua tergantung bagaimana sang
pembuat film dalam mengemasnya dan jenis dokumenter apa yang sedang
dibuatnya.
Bentuk yang digunakan sang sutradara dalam mengemas film
dokumenter bisa dengan pendekatan naratif yang lebih menekankan pada
titik narasai. Narasi dalam film dokumenter terkadang lebih menekankan
sebuah informasi apa yang akan di berikan kepad khalayaknya. Adapula
dengan pendekatan features dokumenter yang lebih menekankan aspek
humant interst dan lebih menekankan gagasan apa yang ada dalam film
tersebut. Dalam penelitan ini, penulis lebih menekankan pada penelitian
film features dokumenter.
Dalam konteks sinema, informasi dalam sebuah film dokumenter
tidak begitu terlihat, karena bangunan sinematis yang lebih ditonjolkan,
seperti halnya kita melihat sebuah film non dokumenter. Seperti pada jenis
dokumenter features, informasi yang ada di dalamnya mengalir dan tidak
terlalau tampak memberikan sebuah informasi kepada penonton. Features
7 Andre Bazim. Sinema Apakah itu?. (Jakarta. Pusat Pembinaan danPengembangan Bangsa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), h.9.
7
itu sendiri dalam kajian jurnalistik termasuk dalam sebuah reportase yang
dikemas secara lebih mendalam dan luas disertai sedikit sentuhan aspek
human interst agar memiliki dramatika.8 Features tersebut merupakan
dokumenter televisi, yang lebih menekankan pada aspek reportasenya.
Berbeda halnya dengan film features dokumenter, yang mana dalam
film jenis ini tidak hanya ada unsur human interst, namun juga harus
memfikirkan aspek sinema (film) yang sebenarnya dalam mengkonstruk
film features dokumenter.
Jadi dalam pembangunan atau mengkonstruk sebuah film feature
dokumenter harus menekankan aspek-aspek yang ada dalam feature
sendiri juga aspek cinema yang utuh. Walaupun pada dasarnya bahan dari
bangunan features film dokumenter dan features televisi adalah realitas
yang ada dalam masyarakat.
Dongeng Rangkas merupakan sebuah film features dokumenter yang
diproduksi oleh dua Komunitas, yaitu Forum Lenteng (Jakarta), dan
Saidjah Forum (Rangkasbitung, Banten). Film Dongeng Rangkas bercerita
tentang aktivitas dua pemuda yang berasal dari Rangkasbitung yaitu Iron
dan Kiwong. Keduanya merupakan penjual tahu di Kota tersebut.
Walaupun seorang penjual tahu namun mereka masih memegang teguh
mimpi-mimpinya. Kiwong bermimpi menjadi pemuda yang lebih baik,
yang menjadikan keluarga hidup lebih baik dari sebelumnya. Sedangkan
8 Gerzon R. Ayawaila, Dokumenter dari Ide Sampai Produksi, (Jakarta: FFTV-IKJPRESS, 2008), h. 26.
8
Iron, percaya musik adalah anugrah dari Tuhan, dan ia ingin terus
mengembangkan fantasi musiknya di jalur ‘underground’.9
Walapun Iron seorang metal dan berada dalam jalur musik
underground, namun ia tidak lantas meninggalkan kewajiban sebagai
seorang muslim yaitu sholat. Bagi Iron metal bukan tiga jari, namun satu
jari telunjuk yang dimaknai olehnya sebagai perlambang syahadat. Selain
itu film ini juga pernah meraih juara pertama dalam festival film
dokumenter bertaraf nasional yang diadakan di Yogyakarta, serta
pemutaran di Korea, Copenhagen dan pemutaran berbagai tempat di
Indonesia.
Film ini dikonstruk atau dibangun dengan keadaan yang sebenarnya
dalam kehidupan masyarakat penjual tahu yang ada di Rangkasbitung,
Banten. Berdasarkan penjelasan yang dipaparkan di atas, maka penelitian
ini diberi judul “Konstruksi Sosial Kehidupan Penjual Tahu Dalam
Film Features Dokumenter Dongeng Rangkas”
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Merujuk pada latar belakang yang telah dijabarkan, penulis
membatasi ruang penelitain pada konstruksi sosial kehidupan penjual
tahu dalam film features dokumenter Dongeng Rangkas.
9 website film feature Dongeng Rangkas www.dongengrangkas.akumassa.org
9
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah yang dijabarkan oleh penulis, adapun
rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana konstruksi sosial kehidupan penjual tahu dalam
features dokumenter Dongeng Rangkas?
b. Faktor apa saja yang mempengaruhi konstruksi sosial dalam film
features Dongeng Rangkas?
c. Bagaimana cara mengetahui alur features dalam film dokumenter
Dongeng Rangkas?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pemikiran dan rumusan masalah di atas, ujuan dari
penelitian ini adalah:
1) Secara khusus penelitian ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana
konstruksi realitas pada film features dokumenter Dongeng Rangkas.
2) Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi konstruksi sosial dalam
film dongeng Rangkas.
3) Untuk mengetahui alur features dalam film dokumenter Dongeng
Rangkas?
10
D. Manfaat Penelitian
1) Manfaat Teoritis
Dalam segi akademis selain dapat menambah pengetahuan serta
wawasan tentang bagaimana sebuah realitas masyarakat dikonstruksi
menjadi sebuah film dokumenter yang bergenre features, juga
diharapkan dapat memberikan kontribusi pada disiplin ilmu jurnalistik
dan sosiologi komunikasi dalam membangun sebuah realiatas pada
film features dokumenter .
2) Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembuat
film dokumenter, praktisi komunikasi, terutama disiplin ilmu sosiologi
komunikasi, terlebih mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah (UIN) Jakarta Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam
Konsentrasi Jurnalistik agar lebih mengetahui bagaimana sebuah
realitas dalam kehidupan manusia dibangun menjadi sebuah film
features dokumenter.
E. Metodologi Penelitian
1) Metode Penelitan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
deskriptif yang bersifat kualitatif. Metode deskriptif bertujuan untuk
menyelidiki sebuah kedudukan atau status fenomena yang ada dalam
masyarakat dan untuk melihat hubunganya antara satu faktor dengan
11
faktor yang lain10. Dengan metode ini akan dijabarkan mengenai
bagaimana konstruksi realitas kehidupan penjual tahu dalam film
features dokumenter Dongeng Rangkas.
2) Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dari penelitan ini adalah film features dokumenteer
Dongeng Rangkas, Sedangkan yang menjadi objek dalam penelitian ini
adalah kehidupan penjual tahu dalam film features dokumenter
Dongeng Rangkas.
3) Teknis Pengumpulan Data
Adapun sumber data dalam penelitian ini terbagi dalam dua
kategori yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan
sasaran utama dalam penelitian ini, sedangkan data sekunder digunakan
untuk diaplikasikan guna mempertajam analisis data primer, yaitu
sebagai pendukung dan penguat data dalam penelitian.
Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui telaah materi
film features dokumenter Dongeng Rangkas, observasi dan wawancara
dengan Sutradara dan pembuat film feature dokumenter Dongeng
Rangkas. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari
buku-buku, ensiklopedia, artikel, jurnal, atau tulisan lain yang berkaitan
dengan penelitian.
10 Andri Prastowo, Memahami Metode-metode penelitian, (Yogyakarta: Arruzza Media, 2001), h. 204
12
Telaah materi film features dokumenter Dongeng Rangkas yaitu
menonton dan membedah setiap elemen-elemen dalam film feature
doumenter tersebut baik dari segi alur ceritanya, bahasa sinemanya,
bagaimana realitas yang dikonstruksi dan menemukan konstruksi
realitas kehidupan penjual tahu dalam film tersebut.
Observasi yaitu merupakan metode pengamatan langsung
terhadap suatu benda, situasi dan kondisi yang masih ada relasinya
terhadap apa yang ingin diteliti.11 Dalam hal ini, observasi yang
dilakukan penulis yaitu ikut terjun langsung ke lapangan dengan
mengikuti kegiatan memproduksi film dokumenter yang dilakukan oleh
Forum Lenteng.
Wawancara (interview) merupakan sebuah bentuk komunikasi
antara dua orang yang ingin mencari informasi dengan orang yang ingin
diperoleh informasi dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
berdasarkan tujuan tertentu12. Prosesnya bisa dilakukan secara langsung
dengan bertatap muka langsung (face to face) dengan narasumber.
Namun, bisa juga dilakukan dengan tidak langsung seperti melalui
telepon, internet atau surat (wawancara tertulis) untuk mendapatkan
informasi dari narasumber.
Langkah selanjutnya ialah mengolah hasil temuan atau data,
melalui tinjauan kembali berkas-berkas yang telah terkumpul. Data
11 Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, (Jakarta: RajagrafindoPersada, 2007), h.52
12 Dedi Mulyana, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: RemajaRosdakarya, 2008), h.180
13
yang diperoleh yaitu dari hasil telaah materi, observasi, wawancara,
serta dokumentasi. Seluruh data tersebut nantinya akan dipaparkan
dengan didukung oleh beberapa hasil temuan studi pustaka yang
kemudian dianalisis.
4) Teknis Analisis Data
Analisa data yang digunakan penulis untuk mengetahui
bagaimana konstruksi realitas kehidupan penjual tahu dalam film
features Dongeng Rangkas adalah dengan analisa deskriptif yang
menggambarkan keadaan sebenarnya dalam film dan dianggap akurat
serta meruangkannya kedalam konteks penulisan karya ilmiah, dengan
cara merasakan, menerangkan, memberikan gambaran serta klasifikasi
dan mengintrepretasikan data-data yang terkumpul secara apa adanya
terlebih dahulu, kemudian menarik kesimpulan atas permasalahan yang
berkaitan tersebut.
F. Tinjauan Pustaka
Skripsi yang menjadi acuan penulis untuk memfokuskan penelitian
ini adalah skripsi berjudul “Konstruksi Realitas Simbolik Pemberitaan
Aborsi di Republika Online” karya Iradatul Aini, mahasiswa Konsentrasi
Jurnalistik UIN Syarif Hidayatulaah Jakarta. Penulis memilih skripsi
tersebut untuk dijadikan sebagai acuan karena teori yang digunakan sama,
yakni konstruksi realitas. Namun dalam skripsi tersebut media massa yang
14
menjadi subjek penelitian, sedangkan dalam skripsi ini film features
dokumenter yang menjadi subjek penelitian.
Adapun skripsi lain yang menjadi acuan penulis yaitu skripsi
berjudul “Konstruksi Politik Kebudayaan di Layar Kaca Program
Televisi Eagle Award Metro TV 2011 Bagimu Indonesia”. Karya Dwi
Anggraini Puspa Ningrum, mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Penulis memilih skripsi tersebut sebagai acuan,
karena sama-masa mengangkat tentang film dokumenter. Namun dalam
skripsi tersebut bukanlah filmnya yang menjadi objek penelitian, namun
program kompetisi film dokumenter, sedangkan dalam skripsi ini film
dokumenternya yang menjadi objek penelitian. Selain itu keduanya juga
menggunakan teori konstruksi realitas.
G. Sistematika Penulisan
BAB I akan diawali dengan memapaparkan mengenai latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika
penulisan.
BAB II akan menguraikan kajian teoritis mengenai teori konstruksi atas
realiatas. Pada sub bab selanjutnya akan menguraikan penjabaran
mengenai tinjauan umum tentang film feature dokumenter, yang mana
bahasannya akan difokuskan pada features, film, dokumenter, sejarah dan
perkembangannya.
15
BAB III berisikan tentang gambaran umum film features dokumenter
Dongeng Rangkas, serta profil Komunitas pembuat film
BAB IV merupakan persoalan yang diangkat dalam skripsi ini, yaitu
berupaya menerangkan analisis cerita yang dibangun dalam film features
dokumenter Dongeng Rangkas yang miliki korelasi terhadap konstruksi
sosial kehidupan penjual tahu dalam film, faktor yang mempengaruhi
konstruksi sosial dalam film dan alur features dalam film dokumenter
Dongeng Rangkas.
BAB V merupakan akhir atau penutup dari skripsi ini yang berisikan
mengenai kesimpulan dan saran penulis.
16
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Teori Konstruksi Sosial
Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak
bisa terlepaskan dari bangunan teoretik yang telah dikemukakan oleh Peter
L. Berger dan Thomas Luckmann. Peter L. Berger merupakan sosiolog
dari New School for Social Reserach, New York, Sementara Thomas
Luckman adalah sosiolog dari University of Frankfurt.
Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of
reality), menjadi terkenal semenjak diperkenalkan oleh Peter L. Berger
dan Thomas Luckman dengan judul bukunya “The Social Construction of
Reality, a Treatise in the Sociological of Knowledge” tahun 1966. Ia
menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana
individu menciptakan sebuah realitas yang dimiliki dan dialami bersama
secara subjektif serta dilakukan secara terus menerus.1
Suatu proses konstruksi realitas sosial yang ada dalam masyarakat
merupakan bentukan individu berdasarakan subjektivtas individunya
tersebut. Di dalam masyarakat konstruksi realitas sosial dibentuk oleh
individu berdasarkan pendapat subjektif dari masing-masing individu dari
masyarakat yang dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi
kebiasaan atau budaya dan nilai yang selalu dipegang oleh masyarakat.
1 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007),h.189
17
Dari kebiasaan masyarakat ini lah yang kemudian menjadi kontruksi
realitas sosial.
Berger dan Luckman memulai sebuah penjelasan dalam bukunya
bahwasanya realitas sosial dengan memisahkan pemahaman “kenyataan”
dan “pengetahuan”. Realitas diartikan sebagai kualitas yang berada dalam
realitas-realitas yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak
tergantung kepada kehendak kita sendiri. Sedangkan pengetahuan
didefinisikan sebagai kepastian bahawasanya realitas-realitas itu adalah
kenyataan (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.2 Dalam
kenyataanya realitas tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya sesorang,
baik di dalam ataupun di luar realitas tersebut.
Seperti yang telah dijelaskan oleh Berger, bahwasanya masyarakat
tidak lain merupakan produk dari manusia dan manusia merupakan produk
masyakat, namun seseorang dapat menjadi diri sendiri yang beridentitas
ketika ia tetap tinggal dalam masyarakatnya. Dan proses dialektika
tersebut terjadi menjadi tiga tahapan. Yang pertama Eksternalisasi: yang
mana proses ini merupakan penyesuaian diri terhadap lingkunganya.
Dalam hal ini usaha mencurahkan atau ekspresi diri ke dalam dunia, baik
dalam kegiatan mental maupun fisik. Hal ini sudah menjadi sifat dasar dari
manusia. Setiap individu akan mencurahkan semua yang ada dalam
dirinya kepada tempat dimana dia tinggal. Manusia tidak akan dimengerti
sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha
2 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007),h. 191
18
menangkap dirinya sendiri, dan menghasilkan suatu dunia. Dengan kata
lain manusia menemukan dirinya sendiri dalam satu dunia.
Kedua objektivasi yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia
intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses
institusionalisasi.3 Yang mana proses tersebut merupakan hasil dari proses
eksternalisasi manusia tersebut. dari proses tersebutlah akan menghasilkan
realitas objektif yang dapat menghadapi sang penghasil itu sendiri sebagai
suatu faksilitas yang berada diluar dan berbeda dengan manusia yang
menghasilkannya. Lewat proses objektivasi ini, masyarakat menjadi
realitas suigeneris (berbeda dengan yang lainya). Lewat eksternalisasi
kebudayaan manusia akan menghasilakan suatu alat untuk menunjang
kehidupanya, serta kebudayaan non-materiil seperti halnya dalam bentuk
bahasa.
Alat dan bahasa tersebutlah merupakan hasil dari proses
ekternalisasi manusia berhadapan dengan dunia. Hasil dari manusia itulah
merupakan realitas objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia sebagai
penghasil produk kebudayaan, kebudayaan yang telah berstatus realitas
objektif. Yang mana hal tersebut berada diluar kesadaran manusia, ada
“disana” bagi setiap orang. Realitas objekif tersebut berbeda halnya
dengan kenyataan subjekif perorangan. Ia menjadi sebuah kenyataan yang
empiris dan dapat dipahami oleh setiap manusia.
3 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, (Jakarta:Prenada MediaGroup), h.15
19
Ketiga adalah internalisasi merupakan proses individu
mengidentivikasi dirinya sendiri terhadap lemabaga sosial dimana dia
tinggal. Dengan kata lain internalisasi merupakan proses penyerapan
kemabali dunia objektif kedalam kesadaranya sehinga subjektif individu
terpengaruh terhadap struktur dunia sosial. Berbagai unsur dari produk
dunia yang terobjektifkan akan tertangkap menjadi gejala realitas diluar
kesadaran, serta menjadi gejala internal untuk kesaranya sendiri.
Melalui proses internalisasi tersebutlah manusia menjadi hasil dari
masyarakat. Selain itu, bagi Berger realitas tidak dibentuk secara ilmiah,
dan tidak juga diturunkan oleh Tuhan. Akan tetapi realitas merupakan
hasil bentukan dan dikosntruksi oleh manusia itu sendiri. Dengan kata lain
manusia mengkonstruksi realitas yang ada dalam masyarakat tersebut.
Atas dasar pemahaman itu realitas bersifat dinamis, dan berwajah
ganda atau plural. Dan setiap orang akan memiliki konstruksi yang
berbeda-beda atas suatu realitas. Hal tersebut didasari oleh pengalaman,
prefensi, pendidikan, lingkungan dan pergaulan antara satu individu
dengan individu yang lain berbeda, sehingga akan menafsirkan realitas
sosial itu dengan konstruksinya masing-masing.4
Dalam tiga proses tahapan Eksternalisasi, Objektivasi, dan
Internalisasi tersebut, masyarakat mengkonstruksi sendiri realitas sosial
yang ada dalam masyarakat. Realitas yang bersifat objektif dan sebujektif.
Realitas objektif terjadi akibat proses eksternalisasi individu terhadap
4 Eriyanto, Analisis Framing, (Yogyakarta: Lkis Group, 2002) h. 16-17
20
lingkunganya. Sedangkan realitas subjektif terjadi akibat proses
internalisasi. Individu menyerap realitas yang terobjektivasi tersebut ke
dalam pikiranya sehingga akan mengakibatkan subjektifitas individu.
Menurut penjelasan Margaret M. Polama, Berger menegaskan
bahwasanya realitas sehari-hari memiliki dimensi sebjektif dan objektif.
Manusia merupakan instrument dalam menciptakan realitas sosial yang
objektif melalaui proses eksternalisasi. Hal tersebut mempengaruhi dalam
proses internalisasi yang mencerminkan realitas sosial secara subjektif.
Berger juga melihat masyarakat adalah produk dari manusia dan manusia
adalah produk dari masyarakat.5
Realitas sosial dalam masyarakat merupakan betukan atau
dikonstruk oleh manusia yang ada dalam masyarakat tersebut. Manusia lah
yang membentuk sebuah kelompok yang mengakibatkan timbulnya
sebuah kelompok sosial. Selain itu manusia dapat berkemabang tidak
hanya dengan lingkungan tertentu, tetapi dengan tatanan budaya dan soisal
tertentu.6 Dengan kata lain, manusia dapat berkembang tidak hanya
berinteraksi dengan lingkunaganya, namun dengan sosial budaya yang ada
di lingkungan tersebut.
Di dalam realitas sosial bentukan individu tersebut akan timbul
sebuah kebudayaan. Karena kebudayaan adalah produk dari seluruh
rangkaian proses sosial yang dijalankan oleh manusia dalam masyarakat
5 Margaret M. Polama, Sosiologi Kontenporer, (Jakarta: PT. RajagrafindoPersada, 2003), h. 320
6 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007)h.66
21
dengan segala aktifitas.7 Kebudayaan ini merupakan hasil dari proses
objektivitas. Dan hasil dari kebudayaan tersebut merupakan realitas
objektif bagi masyarakat. Sementara itu manusia memiliki kodrat sendiri
atau lebih jelasnya manusialah yang mengkostruksi kodratnya sendiri atau
dapat dibilang manusia menghasilkan diri sendiri.8
Penjelasan Ritzer yang dikutip dalam buku”Konstruksi sosial
media massa” menjelaskan bahwa manusialah yang menjadi aktor kreatif
dari realitas sosial berdasarkan ide dasar teori dalam paradigma definisi
sosial yang sebenarnya.9 Manusia secara kreatif dan memiliki kebebasan
berekspresi untuk membentuk sebuah realitas sosial yang ada dalam
lingkungannya.
Kreatifitas yang ada dalam masyarakat tersebutlah yang
menghasilkan lingkungan dengan tingkat sosial yang berbeda-beda sesuai
dengan keadaan mereka bercampur dengan individu-individu lainnya.
Karena memang setiap individu tidaklah dapat membentuk sebuah realitas
sosial tanpa ada individu yang lainya. Realitas sosial merupakan keadaan
yang sebenarnya dalam kehidupan masyarakat, namun realitas yang ada
tersebut merupakan hasil kreatif masyarakat dengan menggunakan
kekuatan kosntruksi sosial masyarakat.
7 Ibid h.528 Peter L. Berger & Thomas Luckman, “The Social Construction of Reality, aTrease in the Sociologicl of Knowledge” (New York: Penguin Books, 1966), h.679 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, (Jakarta:Prenada MediaGroup), h.11.
22
Selain itu juga dalam pandangan ontologi konstruktivis, realitas
merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu.10 Individu-
individu bebas melakukan sesuatu sesuai keinginannya agar terbentuk
sebuah sosial kemasyarakatan dan hubungan antara individu-individu lain,
karena pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa ada orang
lain disekitarnya.
Walaupun individu bebas melakukan sesuatu sesuai kreatifitas
masing-masing, namun pastilah mereka memiliki sebuah tujuan yang
berguna bagi dirinya atupun masyarakat disekitarnya. Seperti yang di
jelaskan oleh Max Webber, realitas sosial merupakan perilaku sosial yang
memiliki makna subjektif, karena perilaku memiliki tujuan dan motivasi.
Dalam paradigma komunikasi (Hidayat, 1999: 34) dimana realitas
sosial dilihat sebagai konstruksi sosial, dimana kebenaran suatu realitas
sosial bersifat relatif.11 Dalam hal ini sebuah realitas sosial masyarakat
tergantung bagaimana individu-individu mengkosntruksi sebuah realitas di
sekelilingnya yang dianggap relevan.
B. Film Features Dokumenter
1. Film
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, film diartikan dengan
dua pengertian, yang pertama film merupakan selaput tipis berbahan
10 Ibid h.1111 Ibid h. 5
23
seluloid yang digunakan untuk menyimpan atau mengabadikan gambar
negatif dari sebuah objek. Yang kedua film diartikan sebagai lakon
atau gambar hidup atau bergerak dalam konteks khusus, film juga
dapat disimpan dalam media seluloid tipis dalam bentuk gambar
negatif.12
Karena perkemabangan teknologi yang semakin maju, saat ini
film tidak hanya dapat disimpan dalam media seluloid, namun dapat
disimpan dalam media digital yang lebih praktis. Selain itu film dalam
bentuk gerak atau gambar hidup juga masuk dalam karya seni, atau
pun dapat menjadi sebagai media.
Film sebagai salah satu bentuk kesenian adalah sama dengan
media artistik lainya yang memiliki sifat-sifat dasar media yang terjalin
dengan susunan yang beragam. Seperti halnya seni pahat, lukisan, film
juga mempergunakan garis, susunan, warna, bentuk, volume, dan
massa sama baiknya dalam saling mempengaruhi antara cahaya dan
bayang-bayang.
Seperti halnya drama, film juga melakukan komunikasi verbal
dengan dialog, selain itu juga film menggunakan bahasa gambar untuk
membahsakan sebuah cerita. Seperti halnya novel, film mampu
memainkan waktu dan ruang.13 Kehidupan masa lampau dapat dilihat
saat ini dengan medium film tersebut.
12 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online13 Obrolan pribadi dengan Mahardika Yudha, seorang seniman dan pembuatfilm dokumenter
24
Atas dasar itulah, dimensi waktu dalam film dapat berpaling ke
belakang, dan memandang kelampauan yang jauh. Film dapat
membuat waktu satu abad menjadi satu menit, Film juga dapat
menyatukan spektrum kepekaan manusia, baik dari yang paling
lembut, halus, rapuh, kejam, dan memuakkan. Selain itu film yang
baik senantiasa dapat menimbulkan ilusi kejadian filemis yang
berlangsung dalam batas waktu lebih lama dari waktu menonton film
tersebut. Bahwa dalam kajadian itu ada permulaan, pengembangan,
dan akhir, serta mempunyai jangka waktu tertentu.14
Menurut Andre Bazim15 film atau sinema itu adalah fenomena
gagasan.16 Gagasan yang direka oleh manusia itu sudah ada secara
lengkap dibenaknya. Selain itu film tidak hanya sebatas melestarikan
untuk objek disalut seperti halnya serangga dari zaman pualam, film
memebebaskan seni borok dari katalepsi mendadak. Untuk pertama
kalinya, citra benda juga merupakan citra kelangsunganya dan sebagai
mumi perubahan. Di lain pihak sinema adalah bahasa.17
Biarpun film merupakan sebuah media yang unik dengan
kelengkapan, dan kekhususanya yang membedakan dari kesenian lain
14 D.A, Peransi. Film/Media/Seni, (Jakarta: FFTV-IKJ PRESS, 2005), h.515 André Bazin mulai menulis pada 1943 dan salah satu yang mendirikan
Cahiers du Cinéma pada 1951 bersama Jaxques Doniol-Valcroze dan Joseph-MarieLo Duca. Ia adalah salah satu tokoh penting yang menghadirkan studi-studi filempasca Perang Dunia II. Sejak menjadi salah satu editor di Cahiers du Cinéma hinggakematiannya, Bazin telah melahirkan empat edisi koleksi tulisan-tulisannya. Bazinpercaya bahwa filem seharusnya merupakan representasi visi personal sutradara.Pandangan inilah yang menjadikan berkembangnya teori auteur.16 Andre Bazim. Sinema Apakah itu?. Terjemahan Dr. Rahayu S. Hidayatdari Qu’est Que le Cinema? / What is Cinema? (Jakarta. Pusat Pembinaan danPengembangan Bangsa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), h.9.17 Ibid. h 5-6
25
seperti seni lukis, pahat, ataupun, drama, filmlah bentuk yang paling
popular serta sebagai media untuk bercerita yang memiliki unsur-unsur
yang sama seperti yang ditemui dalam novel.
Karena film dapat menyajikan kisah secara lengkap dalam
bentuk dramatis, film memiliki banyak kesamaan dengan pertujukan
panggung. Keduanya bermain dalam gerak dan suara, serta dramatisasi
cerita. Namun dalam film, bahasa yang dijadikan titik tekan. Dalam hal
ini bahasa gamabarlah yang digunakan untuk membuat dramatik cerita.
Dalam film gagasan dibangun oleh sang sutradara dengan bahasa
gambar.
Selain film sebagai fenomena gagasan dan bahasa gambar,
namun film juga memiliki alur cerita atau plot. Seperti yang dijelaskan
oleh Haig P. Manoogian yang dikutip dari buku Film/media/seni, Alur
cerita atau plot merukapan sebuah penjabaran dari film, yang terdiri
dari rentetan-rentetan kejadian bermotivasi dan saling berhungan
antara sebab akibat. Struktur menunjuk kepada cerita untuk menyusun
dan mengintregasi kejadian-kejadian dari pola tersebut.
2. Features
Kamus besar bahasa Indonesia terbitan balai pustaka,
Mengartikan bahwa features adalah sebuah karya yang
menggambarkan tentang sesuatu dengan lebih detail agar dapat
dirasakan oleh penikmatnya lebih hidup dan tergambar dalam
26
imajinasi.18 Dalam karangan yang berbentu features haruslah dapat
membawa khalayak ikut larut di dalam dan dapat menimbulkan
imajinasi yang sama dengan yang dirasakan oleh pembuat karya
tersebut.
Selain itu menurut Williamson yang dikutip dari buku “Menulis
untuk dibaca: feature & kolom” menjelaskan bahwasanya features
merupakan sebuah karya tulis kreatif, yang terkadang subjektif, yang
terutama untuk membuat senang dan menyuguhkan informasi kepada
pembaca tentang suatu peristiwa atau aspek dalam kehidupan.
Dalam hal ini features memiliki enam ciri-ciri: Ciri yang
Pertama merupakan hasil cipta penulis: yang mana karya features
tersebut bukanlah hasil curian gagasan orang lain, namun merupakan
buah pemikiranya sendiri terhadap memandang suatu peristiwa serta
sesuai pengalamanya, pengetahuan, dan perenungan. Dengan kata lain
features bukanlah sebuah karya yang dangkal, atau pencermatan
sepintas.
Karya features menjadi sebuah kreasi karya penulis, karena
telah melalui proses internal dari penulis. Sehingga karya yang ditulis
oleh penulis satu dengan satunya lagi akan berbeda. Hal ini disebabkan
pengalaman yang berbeda, pengetahuan, serta latar belakangnya. Atas
dasar itulah persepsi atau sudut pandangnya dalam tulisan mereka akan
berbeda pula.
18 Suhaimi dan Rulli Nasrullah. Bahasa Jurnalistik, (Ciputat: LembagaPenelitian UIN Jakarta, 2009). h. 32.
27
Kedua adalah membuat senang, dalam hal ini membuat senang
tidak hanya bercertita tentang kesukacitaan, atau melawak, namun
lebih dari itu. Features dapat menimbulkan inspirasi, kelegaan,
menambah wawasan, dan panaroma tentang subjek, selain memiliki
unsur hiburan. Karya features memang tidak seserius sebuah analisis
politik atau karya berita-berita hangat (straight news) yang
menghadirkan fenomen-fenomena yang sedang hangat-hangatnya
dalam masyarakat, mauapun dunia perpolitikan. Namun feature lebih
detail, faktual, enak, dan santai dalam menceritakan. Tidak hanya itu
features juga memiliki dimensi sendiri untuk menjelaskan atau
memberi latar belakang suatu peristiwa.
Ketiga adalah informatif, yang mana setiap fakta atau peristiwa
dapat dikatakan informatif tatkala mengandung unsur kebaruan. Dalam
hal ini kebaruan tidak hanya peristiwa atau kejadian yang baru, namun
juga dapat engle gagasanya yang baru. Patut diketahui bahwasanya
sudut pandang yang baru tidak harus objek yang baru pula.
Keempat, kadang kala subjektif, pada dasarnya memang
sedikit sulit untuk menghindari subjektivitas dalam sebuah berita.
Seperti halnya kita memilih narasumber A, karena tidak adanya
narasumber yang lain. Hal tersebut merupakan subjektivitas sang
wartawan. Seperti halnya dengan feature yang memakai narasumber
yang beragam dibandingkan dengan berita laianya.
28
Subjektivitas dalam karya features tidak hanya dari
narasumbernya sendiri, namun juga dalam penulisanya. Sebagai “seni
bercerita” features memiliki unsur lead, body dan ending. Ia memiliki
unsur tulisan yang secara imajinasi digambarkan seperti “bidak catur”.
Bangunan atau struktur yang bebas tidak akan menemukan bangunan
cerita yang mudah dipahami, namuan dalam features bagunan atau
struktur tersebut harus memiliki cara dan teknik bercerita, maka tulisan
tersebut harus memiliki unsur penceritaan.
Dalam proses penyuntingan tulisan ada yang dihilangkan, dan
ada bagian yang ditambahkan agar terbentuk susunan cerita.
Subjektivitas features terkadang timbul dari hal tersebut, namun
features yang baik tidak akan meningalkan profesionalitas agar tulisan
tetap objektif dan faktual.
Kelima tentang kehidupan yang terpendam, merupakan sesuatu
yang tidak terkait dengan alam raya atau berada dalam persembunyian
makro dan mikro komis yang menunggu eksplorasi sang kreator untuk
menggagasnya. Dengan kata lain karya features dibangun dari realitas
yang tidak biasa dilihat oleh orang lain atau bukan fenomena yang
sedang hangat-hangatnya dibahas oleh media massa atau masyarakat.
Features adalah suatu karya yang tidak lekas basi. Dapat
dikatakan tidak lekas basi, karena features sebuah karya yang
menggali cerita dari sebuah fakta. Informasi yang disampaikan adalah
29
penelusuran tentang masalah yang ditulis, sehinggga banyak data dan
informasi pendukung dalam tulisan yang cukup panjang.
Dalam tenggang waktu peliputan, features berbeda dengan
berita laianya, karena karya ini memiliki tenggang waktu yang lebih
lama sehingga akan mendapatkan informasi yang lebih mendalam serta
dalam penyajianyapun harus memiliki unsur cerita.19
Selain ciri-ciri itu, features dalam karya junalistik merupakan
sebuah berita ringan yang mengangkat human interst atau hal-hal yang
dianggap menarik, bermanfaat, dan mendatangkan rasa simpati serta
perlu diketahui oleh masyarakat luas.20 Human Interst itu sendiri
merupakan apa-apa yang terkait dengan ketertrikan dalam minat
seseorang.21
Kisah Human interst features dapat menjadi lebih hidup, dan
berwarna khalayak diajak untuk membayangkan detail-detail,
tindakan, atau latar tertentu. Hal ini dilakukan agar pembaca dapat
dibawa dan hanyut dalam tempat kejadian, merasakan apa yang
dirasakan penulis, baik yang sifatnya sedih ataupun senang.
Seolah-olah pembaca berada di tempat kejadian peristiwa atau
keadaan sosial yang ditulis sang penulis.22 Itu merupakan features
19 Zulhasril Nasir, Menulis untuk dibaca: feature & kolom, (Jakarta: YayasanObor Indonesia, 2010), h. 48-5520 Dana Iswara, Mengangkat Peristiwa Ke Layar Kaca, (Jakarta: Lembaga
Studi Pers dan Pengembangan, 2007), h. 77.21 Septiawan Santana K, Jurnalisme Kontenporer, (Jakarta: Yayasan OborIndonesia, 2005), h. 3622 Ibid h.37
30
dalam konteks teks, dan tidak berbeda halnya dengan konteks audio
visual dalam hal ini film. Yang membedakan dari keduanya hanyalah
dalam konteks tulis dan gambar bergerak, secara konseptual keduanya
sama. Karena features dalam bentuk audio visual merupakan hasil
adopsi dari karya features tulis. Selain dapat membangun imajinasi
yang akan membawa khalayak hanyut dalam karya tersebut, karya
features pada umumnya berpijak pada jurnalisme, yaitu memberikan
informasi, serta dapat menghibur khalayak media massa.
Menurut Sumadiria (2005:150) yang dikutip dalam buku Bahasa
Jurnalistik menjeaskan bahwa features adalah cerita atau karangan
yang berpijak pada fakta dan data yang diperoleh melalui proses
jurnalistik.23 Karena features ini adalah sebuah karya yang sering ada
dalam media massa baik cetak ataupun televisi. Features ada di media
massa untuk memberikan informasi yang berbeda kepada khalayaknya
agar khalayak dapat tetap menikmati informasi yang lebih ringan dan
mengandung hiburan.
Features berita bukalah sebuah berita yang sekedar berita
faktual yang menggunakan kaidah jurnalistik piramida terbalik, namun
juga sebuah berita yang dikemas dengan lebih menarik dan dibubuhi
aspek human interst agar berita yang dihasilkan tidak datar dan lebih
dramatik, atau dalam hal ini menurut Friedlender dan Lee yang dikutip
dalam buku “Jurnalisme Kontenporer” bentuk beritanya lebih cair.
23 Suhaimi dan Rulli Nasrullah. Bahasa Jurnalistik, (Ciputat: LembagaPenelitian UIN Jakarta, 2009). h. 32
31
Selain itu features memang sangat dekat dengan karya sastra.
Kisah features memiliki ekspresi yang dibangun dengan gairah. Kisah
dalam human interst juga menyimpan symbol-silmbol yang akan
memberikan pesan dibalik deskripsi-deskripsi yang ada dalam karya
tersebut. Atas dasar kedekatan itulah, maka features dalam pembuatan
dan pendeskripsianya harus membutuhkan kreatifitas.24
Dalam pengemasan sebuah karya features memang harus dapat
membentuk imajinasi kepada khalayak agar dapat membawanya
hanyut dalam berita teresebut. Khalayak tidak diberikan informasi
yang bersifat berita langsung, namun disuguhkan sebuah berita yang
syarat akan informasi dan hiburan.
Walapun demikian features juga karya jurnalistik yang dibuat
dari peristiwa atau isu sosial yang nyata dalam kehidupan masyarakat.
Features memang banyak kita temukan dalam media massa baik dalam
bentuk tulisan, maupun audio visual. Features dalam bentuk audio
visual biasanya ada dalam program dokumenter televisi yang
memberikan hiburan dan informasi selain berita pada umumnya,
karena bentuk features ini lebih mendalam, namun lebih terlihat santai
seperti halnya kita membuat sebuah karya sastra.
Menurut hemat peneliti, features dalam konteks audio visual
tidaklah jauh berbeda dengan konteks karya tulis yang selama ini
sering muncul di berbagai media cetak. Yang membedakan dalam hal
24 Septiawan Santana K, Jurnalisme Kontenporer, (Jakarta: Yayasan OborIndonesia, 2005), h. 38
32
ini hanyalah betuk visual gambar bergerak dengan tulisan, namun
pengemasan sama-sama memberikan sentuhan aspek human interst
yang menimbulkan dramatik dan imajinasi pembaca ataupun penonton.
Selain digunakan oleh media massa untuk membuat berita yang
berbeda, features juga digunakan dalam dunia perfilman, salah satunya
yaitu film dokumenter yang dibuat dengan pendekatan features.
Walaupun diadopsi oleh dunia film, namun pada dasarnya tidak jauh
berbeda dengan features yang ada di media massa.
Keduanya juga menekankan pada aspek human interst, dan
memiliki ciri khas yang sama, namun dalam film haruslah ditambah
dengan aspek film yang utuh. Selain itu dalam media massa
informasilah yang menjadi aspek yang harus ditonjokan, namun dalam
film atau sinema gagasan apa yang akan diberkan kepada khalayaknya.
3. Film Dokumenter
Film dokumenter dalam kamus besar bahasa indonesia
dijelaskan bahwa sebuah karya yang bersifat dokumentasi dalam
bentuk film mengenai suatu peristiwa bersejarah, atau suatu aspek seni
budaya yang mempunyai makna khusus agar dapat menjadi alat
penerangan dan alat pendidikan.25 Namun pada dasarnya tidak hanya
peristiwa bersejarah atau seni budaya, namun lebih terhadap
mendokumentasikan kenyataan yang dalam kehidupan kita.
25 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online
33
Film dokumenter atau yang sering banyak orang bilang sebagai
film non fiksi merupakan sebuah karya film yang dihasilkan dari
realita atau fakta yang ada dalam kehidupan sehari-hari baik
pengalaman hidup sesorang ataupun peristiwa.26 Film dokumenter
dibuat dari kenyataan-kenyataan atau realitas objektif, yang mana
kenyataan itu dibangun dengan interpretasi pembuatanya.27
“A movie abaut real life. And that is precisely the theproblem, documentaries are about real life, they are not reallife. They are not even windows onto real life. They are portraitsof real life, using real life as their raw material, constructed byartists and technicians who make myriad decisions abaout whatstory to tell to whom, and for what purpose. 28
“Sebuah film tentang kehidupan nyata. Dan itu lah yangmenjadi sebuah masalah, dokumenter adalah sebuah kehidupannyata. Tetapi juga bukan kehidupan nyata, bahkan dokumenterbukan jendela untuk melihat kehidupan nyata atau kenyataanhidup. Dokumenter adalah sebuah kehidupan nyata. Kehidupannyata adalah sebuah bahan yang digunakan oleh seniman untukmembuat keputusan tentang cerita dan kepada siapa cerita ituditujukan.”
Walaupun film dokumenter merupakan sebuah film yang
dibangun dari sebuah kenyataan yang ada dalam kehidupan manusia,
namuan pada dasarnya film ini juga harus melalui proses editing, dan
menentukan keputusan terhadap alur agar dapat menghasilkan sebuah
26 Garzon R. Ayawaila. Dokumenter dari Ide sampai Produksi, Jakarta: FFTV-IKJ PRESS, 2008), h. 35.27 D. A, Peransi. Film/Media/Seni. (Jakarta. FFTV-IKJ PRESS, 2005), h.46.28 Patricia Aufderheide. Documentary Film (a very short introduction), (NewYork: Oxford University Press, 2007). h.2.
34
alur cerita seperti halnya film fiksi. Selain itu dokumenter merupakan
potret realitas sebenarnya.
Penentuan keputusan cerita dilakukann oleh seorang sutradara
yang ingin membuat film tersebut. Selain itupula dalam membuat
sebuah film dokumenter pastilah memiliki sebuah tujuan. Baik yang
digunakan untuk propaganda atau hanya sekedar memberikan
informasi, memberikan tontonan, dan pendidikan sinema yang
sebenernya lewat sebuah film yang berbeda yaitu lewat film
dokumenter. Semua tujuan dan kepentingan dalam pembuatan film
dokumenter tergantung sang pembuat. Di dalam setiap kepentingan
tersebut pastilah memiliki target siapa yang akan menonton filmnya.
Film dokumenter dan film fiksi tidaklah memilki perbedaan
yang berarti, keduanyanya sama-sama sebuah sinema. Yang
membedakan diantara keduanya adalah hanya dalam bahan
pembuatanya. Dokumenter berasal dari realita nyata, dan fiksi berasal
dari karangan manusia.
Dalam film fiksi cerita dikarang oleh seorang pembuat
skenario, sedang dalam film dokumenter cerita berdasarkan cerita asli
yang ada dalam kehidupan manusia. Selain itu dalam film jenis ini
pada umumnya mengandalkan voice over narasi untuk
menggambarkan rekaman yang dihasilkan ketika proses produksi. Ini
dibuat agar film dokumenter dapat lebih hidup, dan dapat lebih
memberikan sebuah informasi kepada penontonya.
35
Sebuah film dokumenter juga sering kali berisi wawancara
dengan orang-orang yang menjadi tokoh dalam film yang sedang
diangkat untuk memberikan informasi. Wawancara dengan narasumber
atau tokoh yang akan diangkat dalam sebuah film dokuemnter tidak
selalu dilakukan. Semua itu tergantung sudah cukupkah informasi atau
gagasan yang akan diberikan ke khalayak hanya dengan bahasa
gambar.
Atas dasar itulah Film dokumenter dapat dibilang sangat erat
kaitanya dengan jurnalisme. Selain karena keduanya dibangun dari
sebuah realitas atau fakta yang sebenarnya, juga kaidah-kaidah yang
ada dalam karya jurnalistik seperti 5 W + 1 H serta wawancara.
Namun dalam karya jurnalistik lebih ditekankan pada sebuah informasi
atau berita yang hangat atau aktual.29 Sedang dalam film dokumenter
adalah gagasan apa yang ingin diberikan kepada khalayak. Selain itu
juga film dokumenter dibangun dengan kreatifitas dan pengetahuan
tentang film sang pembuatnya.
Jeremy Hicks dalam buku ‘Dziga Vertov Defining Documentary
film’ menjelaskan bahwa dahulu zaman soviet dokumenter berasal dari
transpormasi kreatif sebuah newsreel.30 Transpormasi kreatif dari
sebuah karya jurnalistik tersebut dapat menghasilkan sebuah karya
yang dapat memberikan hiburan serta informasi sekaligus.
29 Suhaimi dan Rulli Nasrullah. Bahasa Jurnalistik, (Ciputat: LembagaPenelitian UIN Jakarta, 2009), h. 28.30 Jeremy Hicks. Dziga Vertov Defining Documentary film, (London : I.B.Tuoris, 2007). h.1.
36
Proses pembuatan sebuah informasi dalam film dokumenter
dapat menggunakan banyak perangkat. Dalam pembuatan film
dokumenter haruslah merekam peristiwa yang bener-bener terjadi
dalam masyarakat, begitu pula dengan karya jurnalistik, namun film
dokumenter dapat menyampakan informasi dengan cara yang lain.31
Atas dasar dibangunya sebuah film dokumenter dari realitas
yang ada dalam kehidupan manusia, maka film dokumenter pada
umumnya berperan sebagai unsur yang mencerdaskan penonton dan
masyarakat. Karena kenyataan sebenar-benarnya yang diberikan
kepada masyarakat sehingga masyarakat atau penonton dapat
menafsirkan serta membuka perspekti baru terhadap kenyataan yang
dibangun menjadi sebuah film, dan disnilah hakekat yang sebenarnya
terhadap film dokumenter.
31 David Bordwell. Film Art An Introduction. (New York: McGraw-Hill,2003), h. 128.
37
BAB III
GAMBARAN UMUM FILM DAN KOMUNITAS PEMBUAT FILM
A. Gambaran Umum Film Dongeng Rangkas
1. Sinopsis Film
Film ini berusaha memotret Rangkasbitung dari aktivitas-
aktivitas masyarakat yang diwakili oleh sosok dua orang penjual tahu;
Kiwong dan Iron. Dua tokoh ini dapat dianalogikan sebagai potret dua
pemuda yang hidup paska Reformasi 1998 yang hidup di sebuah kota
berjarak 120 Km dari ibu kota Jakarta. Kota yang menjadi terkenal
oleh buku Multatuli itu, sepertinya begitu lambat tumbuh, di antara
hingar-bingar pembangunan paska Reformasi.
Kiwong dan Iron adalah dua pemuda sederhana yang memilih
hidup sebagai pedagang tahu, sementara mimpi-mimpinya tetap
dipegang teguh. Kiwong bermimpi menjadi pemuda yang lebih baik,
yang menjadikan keluarga hidup lebih baik dari sebelumnya.
Sedangkan Iron, percaya musik adalah anugrah dari Tuhan, dan ia
ingin terus mengembangkan fantasi musiknya di jalur ‘underground’.
Walapun Iron seorang metal dan berada dalam jalur musik
underground, namun ia tidak lantas meninggalkan kewajiban sebagai
seorang muslim yaitu sholat. Bagi Iron metal bukan tiga jari, namun
satu jari telunjuk yang dimaknai olehnya sebagai perlambang
syahadat. Sedangkan Kiwong seoarang anak manusia yang pernah
38
mengadu nasib di Jakarta, hingga pada ahirnya diapun kembali ke
kampung aslinya di Rangkasbitung dan bekerja sebagai penjual tahu.
Hal ini dia lakukan tidak lebih untuk mencari hidup yang lebih baik
dari sebelumnya.1
Selain pernah meraih juara pertama film feature dokumenter
panjang terbaik dalam ajang festival tahunan di Festival Film
Dokumenter (FFD) Yogyakarta tahun 2011, juga pernah masuk dalam
festival bertaraf internasional yaitu special screening di DMZ – 3rd
Korean International Documentary Film Festival 2011, “Asian
Perspective” Poju, South Korea, serta amnesty aword official
competition selection di Copenhagen International Documentary Film
Festival (CPH:DOX) 2011, Copenhagen, Denmark.2
2. Produksi Film
Produksi film ini berlangsung selama tiga bulan, dari bulan Mei
sampai dengan Juli 2011. Produksi ini melibatkan pelaku dokumenter
dari Forum Lenteng, Jakarta, dan Saidjah Forum, Rangkasbitung.
Selain itu dalam penyutradaraannya berkolaborasi dengan melibatkan
beberapa lima sutradara dalam pembuatan film Dongeng Rangkas.
Proses perekaman film tersebut dilakukan di desa Kampung
Muara, kawasan Sungai Ciujung, Kota Rangkasbitung, dan suasana
Kereta Api Rangkasbitung. Film Dongeng Rangkas hadir sebagai
1 Website film Dongeng Rangkas http://dongengrangkas.akumassa.org/tentang/2 Litbang Forum Lenteng
39
usaha untuk merekam persoalan lokal, serta produksi doumenter ini
merupakan bagian dari peningkatan kapasistas Komunitas akumassa
yang diprakarsai oleh Forum Lenteng.
Kerja-kerja yang dilaukan oleh akumassa yaitu melakukan
pendidikan media kepada Komunitas-komunitas yang ada di
Indonesia dalam rangka membangun kesadaran “media” kepada
masyarakat sebagai bagian dari pengembangan diri dan masyarakat
sekitar
Akumassa adalah aku dan massa (masyarakat), dalam hal ini
aku merupakan bagian dari masyarakat itu. selain itu akumassa
merupakan program advokasi dan pengembangan komunitas dalam
bentuk lokakarya (workshop) yang difasilitasi oleh Forum Lenteng.
Secara mendasar, program akumassa adalah tentang penggunaan
medium video, text dan media online di komunitas-komunitas pekerja
kreatif muda (mahasiswa, seniman muda, pelaku budaya lokal) di
Indonesia guna mendorong kemandirian dalam masyarakat. Program
ini memfokuskan kepada pengkajian aspek-aspek sosial dan budaya
yang dibentuk sebagai materi pembelajaran guna mengupayakan
kesadaran partisipatoris akan persoalan-persoalan yang hidup di dalam
masyarakat.3
Program ini merupakan kerja kolaborasi dan berjejaring
dengan berbagai Komunitas di daerah dengan melakukan pelatihan
3 Litbang Forum Lenteng
40
media (video, teks, fotografi, dan media online). Sejak 2008 hingga
saat ini, program akumassa telah dilaksanakan di 10 lokasi, yaitu:
(Rangkasbitung, Lebak, Banten), (Ciputat, Tangerang Selatan,
Banten), (Cirebon, Jawa Barat), (Lenteng Agung, Jakarta Selatan),
(Padang Panjang, Sumatera Barat), (Serang, Banten), (Surabaya, Jawa
Timur), (Randublatung, Blora, Jawa Tengah), (Pemenang, Lombok
Utara, Nusa Tenggara Barat) dan (Depok, Jawa Barat).4
3. Tim Produksi Film
a. Kolaborasi Penyutradaraan: Andang Kelana, Badrul “Rob” Munir,
Fuad Fauji, Hafiz & Syaiful Anwar
b. Kamera: Syaiful Anwar & Fuad Fauji
c. Asisten Kamera: Andang Kelana & Badrul Munir
d. Pewawancara: Badrul “Rob” Munir, Andang Kelana, Fuad Fauji,
Helmi Darwan & Zainudin “Dableng
e. Penyunting: Hafiz & Syaiful Anwar
f. Penyelaras Suara: H. Sutan Pamuncak
g. Koreksi Warna: Ari Dina Krestiawan
h. Dokumentasi: Badrul Munir, Fuad Fauji, Zainudin “Dableng”,
Bima Mulia, Aboy Sirait, Andang Kelana, Litbang Forum Lenteng
dan Litbang Saidjah Forum
i. Manajer Lapangan: Helmi Darwan
4 www.akumassa.org
41
j. Asisten Manajer Lapangan: Aboy Sirait, Kuni Ahmed
k. Pimpinan Produksi: Otty Widasari
l. Produser: Hafiz Rancajale
4. Biografi Singkat Sutradara
a) Fuad Fauzi
Fuad Fauji dilahirkan di Lebak, 10 Maret 1983. Fuad Fauji
menetap di Forum Lenteng Jakarta sebagai periset dan penulis seni
rupa. Tahun 2005 ia dan kawan-kawan lainnya terlibat mendirikan
komunitas Saidjah. Kerja video pertamanya adalah “Saidjah
Project”, 2005. Pada tahun 2007 akhir, ia mendapatkan gelar S1
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa, konsentrasi Jurnalistik.
Film fiksi pertamanya “Maria”, hasil project workshop
Cerpen ke Filem yang diadakan Forum Lenteng, 2008. Dia
dibesarkan oleh keluarga yang sederhana. Kedua orang tuanya
petani musiman di Leuwidamar. Kadang bertani kadang tidak.
Ayahnya telah meninggal bersamaan dengan kerja residensi
pertamanya di Tanjung Priuk tahun 2009. Terlibat dalam produksi
teks dan video dokumenter di akumassa. Sejak tahun 2010 hingga
sekarang ia bekerja dengan Dewan Kesenian Jakarta sebagai
peneliti kritik seni rupa Indonesia.
42
Bersama program akumassa dan Saidjah Forum, karya-
karyanya telah diputar di berbagai perhelatan filem dan seni rupa,
antara lain; Festival Film Dokumenter ke-9 (2009); The Loss of
The Real, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung (2010);
Decompression #10, Expanding Space and Public, ruangrupa,
Galeri Nasional Indonesia – Jakarta (2010); The Decade of
Reformation: Indonesian Film/Video, Artsonje Arthall, Korea
Selatan; 24 Edition Images Festival, Toronto Free Gallery, Kanada;
Selametan Digital, Langgeng Art Foundation, Yogyakarta (2011);
Entre Utopia y Distopia-Palestra Asia di Museo Universitario Arte
Contemporaneo, Meksiko (2011)
b) Badrul Munir
Badrul Munir dilahirkan pada 16 April 1978. Menyelesaikan
studi Hubungan Masyarakat di LP3I tahun 2000 dan studi Ilmu
Dakwah di STITDA, Lebak tahun 2008-2009. Pengajar ilmu Bahasa
Inggris di STKIP Banten & STIB Pandeglang ini merupakan pelopor
musik underground di Lebak, terutama di Kitarung Underground
sejak tahun 1997-98.
Ia pernah bermain di Poster Cafe pada tahun 1996 bersama
bandnya Pupils sebagai vokalis, yang memenangi juara satu festival
band se-Jabotabek tahun 1997. Di sela-sela itu ia juga membuka
kursus bahasa Inggris secara perorangan (privat). Tahun 2000, ia
aktif di HPI (Himpunan Pramuwisata Indonesia).
43
Sejak tahun 2007, lelaki yang akrab dipanggil Cak Rob ini
mulai aktif di Saidjah Forum dan terlibat dalam proyek akumassa,
Lebak di akhir tahun 2008. Video individu terakhir yang dibuatnya
yaitu Bahbir di tahun 2010. Bersama program akumassa dan Saidjah
Forum.
Karya-karyanya telah dipresentasikan di berbagai perhelatan
filem dan seni rupa, antara lain; Festival Film Dokumenter ke-9
(2009); The Loss of The Real, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung
(2010); Decompression #10, Expanding Space and Public,
ruangrupa, Galeri Nasional Indonesia – Jakarta (2010); The Decade
of Reformation: Indonesian Film/Video, Artsonje Arthall, Korea
Selatan; 24 Edition Images Festival, Toronto Free Gallery, Kanada;
Selametan Digital, Langgeng Art Foundation, Yogyakarta (2011);
Entre Utopia y Distopia-Palestra Asia di Museo Universitario Arte
Contemporaneo, Meksiko (2011).
c) Andang Kelana
Andang Kelana dilahirkan di Jakarta pada 7 Mei 1983. Dalam
beberapa tahun terakhir, seniman ini fokus dalam mengembangkan
proyek seni media melalui karya-karya web-base. Ia pernah studi
ilmu komunikasi di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP),
Jakarta, namun tak lulus.
Desainer Grafis paruh waktu ini mendirikan KelanaDesain
(Rumah Desain) di tahun 2005-2007, Di tahun 2010 mendirikan
44
Merah Membara (Rumah Desain) bersama kawannya. Dan saat ini ia
bekerja sebagai Kekretaris Jendral di Forum Lenteng.
Pengalamannya dalam filem-video dimulai pada tahun 2003
dengan menjadi partisipan dalam Massroom Project yang
menghasilkan 9 video dokumenter tentang Jakarta. Tahun 2005 ia
menjadi partisipan sekaligus koordinator dalam proyek video
dokumenter di Meksiko atas kerjasama Forum Lenteng dan El-
TVDCM, El Despacho, Meksiko dengan tajuk Intimacy Project.
Setelah itu ia aktif sebagai fasilitator dalam berbagai loka karya
video baik yang diadakan oleh komunitas maupun instansi
pemerintah dalam mensosialisasikan seni media di berbagai daerah
di Indonesia.
Selain itu tahun 2010 ia terlibat dalam proyek filem
dokumenter Crossing The Boundaries: Cross-Culture Video Project
For Peace 2010 bersama Yayasan Interseksi. Selain video, ia juga
terlibat dalam pameran fotografi, antara lain; tahun 2004 ia pameran
foto bersama sejumlah perupa kontemporer Indonesia dengan tajuk
Top Collection.
Ia juga terlibat dalam penyelengga-raan Jakarta 32oC yang
dibentuk kelompok ruang rupa Jakarta sejak tahun 2004 hingga
2010. Tahun 2006 ia berpameran fotografi JEDA di Galeri Cipta III-
Taman Ismail Marzuki dan Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta. Tahun
2010, komposer musik elektronik ini terlibat dalam pameran ID
45
Contemporary Art Indonesia di Gallery Kunstraum
Kreuzberg/Bethanien, Berlin.
Sedang bersama Forum Lenteng, karya-karyanya telah
dipresentasikan baik dalam perhelatan festival filem nasional seperti;
Jakarta International Film Festival, Festival Film Dokumenter,
maupun dalam perhelatan internasional, seperti International Film
Festival Rotterdam, Belanda; Zinebi International Festival
Documentary and Short Film of Bilbao, Spanyol; Experimenta,
India; Internationale Kurzfilmtage Oberhausen, Jerman. Juga
perhelatan seni rupa, seperti Pameran Entre Utopia y Distopia-
Palestra Asia di Museo Universitario Arte Contemporaneo, Meksiko
tahun 2011 dan 24 Edition Images Festival (Special Presentation),
Toronto Free Gallery, Kanada di tahun yang sama.
Selain berkarya, ia juga beberapa kali menjadi pembicara
dalam berbagai diskusi dan seminar, antara lain pada Video Vortex
#7 yang diadakan di Yogyakarta pada tahun ini. Baru-baru ini
berpameran bersama Forum Lenteng dalam Pameran Seni Video
“Membajak TV” di Komunitas Salihara dengan karya “Masa
Analog, Masa Represi”.
d) Syaiful Anwar
Syaiful Anwar dilahirkan di Jakarta pada 26 Februari 1983. Ia
menyelesaikan Strata 1 ilmu komunikasi di Institut Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik di tahun 2007. Tahun 2010 ia terlibat dalam proyek
46
filem dokumenter Crossing The Boundaries: Cross-Culture Video
Project For Peace 2010 bersama Yayasan Interseksi.
Tahun 2011, karya videonya menjadi salah satu pemenang
kompetisi seni media yang diselenggarakan oleh Direktorat
Kesenian, Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film,
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Di tahun yang sama ia menjadi mentor untuk workshop video
dalam perhelatan Jakarta 32oC. Ia juga pernah terlibat dalam
beberapa pameran fotografi, antara lain; pameran fotografi JEDA di
Galeri Cipta III-Taman Ismail Marzuki dan Rumah Seni Cemeti,
Yogyakarta, pada tahun 2006.
Kini ia tinggal dan bekerja di Jakarta sebagai Koordinator
Produksi di Forum Lenteng. Bersama Forum Lenteng, karya-
karyanya telah dipresentasikan baik dalam perhelatan festival filem
nasional seperti; Jakarta International Film Festival, Festival Film
Dokumenter, maupun dalam perhelatan internasional, seperti
International Film Festival Rotterdam, Belanda; Zinebi International
Festival Documentary and Short Film of Bilbao, Spanyol;
Experimenta, India; Internationale Kurzfilmtage Oberhausen,
Jerman. Juga perhelatan seni rupa, seperti Pameran Entre Utopia y
Distopia-Palestra Asia di Museo Universitario Arte Contemporaneo,
Meksiko tahun 2011 dan 24 Edition Images Festival (Presentasi
Khusus), Toronto Free Gallery, Kanada di tahun yang sama. Selain
47
itu ia juga berpameran bersama Forum Lenteng dalam Pameran Seni
Video “Membajak TV” di Komunitas Salihara dengan karya “Masa
Analog, Masa Represi”.
e) Hafiz
Hafiz dilahirkan di Pekanbaru pada 4 Juni 1971. Perupa dan
Pembuat Video ini menyelesaikan studi Seni Murni di Institut
Kesenian Jakarta tahun 1994. Ia salah satu pendiri Forum Lenteng
(2003) dan Ruangrupa (2000).
Sebagai perupa, ayah dari seorang anak ini aktif melakukan
pameran di dalam maupun di luar negeri, diantaranya: Pameran di
Cemeti Art House (1999, 2002, 2005); Bentara Budaya, Yogyakarta
(1997); Galeri Cipta, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta (1999,
2002); Pameran/Residensi Painting Project di Centre Soleil de
Afrique, Bamako, Mali (2001); Gwangju Bienalle Korea (2002);
Bienalle Istambul Turki (2005); dan New Beginners Project di
TENT. Center Rotterdam, Belanda (2005); 24 Edition Images
Festival, Toronto Free Gallery, Kanada (2011); Entre Utopia
Distopia-Palestra Asia di Museo Universitario Arte Contemporaneo,
Meksiko (2011).
Ia juga seorang sutradara film dokumenteer, dan ia pernah
menyutradarai beberapa film dokumenter baik individu maupun
kerja kolaborasi dengan sutradara dari beberapa negara diantaranya
The Valley of the Dog Songs (2005), The Carriage (2008), Alam:
48
Syuhada (2005), BE RTDM (2006), Bertemu Jen (2008) yang
merupakan salah satu bagian dalam omnibus 9808.
Karya-karyanya telah diputar di berbagai perhelatan filem baik
nasional maupun internasional, seperti International Film Festival
Rotterdam, Belanda; Zinebi International Festival Documentary and
Short Film of Bilbao, Spanyol; Experimenta, India; Internationale
Kurzfilmtage Oberhausen, Jerman. Pada perhelatan 24 Edition
Images Festival tahun 2011,
Pernah menjadi salah satu juri dalam kompetisi internasional.
Ia juga seorang penulis kritik filem dan seni rupa di berbagai terbitan
nasional, sebagai editor Jurnal Kebudayaan KARBON (2000-2003),
dan sejak 2009 menjadi Pemimpin Redaksi Jurnal Online Film-
Video Footage.
Hafiz juga aktif menjadi pembicara dalam diskusi ataupun
seminar yang diadakan baik nasional maupun internasional, seperti
Simposium “Globalism-Chances, Discontents, and Extremes di
Museum of Contemporary Art (MUMOK) di Wina, Austria, dan
Video Vortex #7 di Yogyakarta pada tahun 2011. Bersama Forum
Lenteng ia melakukan pameran seni video “Membajak TV” di
Komunitas Salihara dengan karya “Masa Analog, Masa Represi”.
Tahun 2006 sampai 2008 ia menjadi kurator tamu untuk
pameran dan riset yang diadakan oleh Komite Senirupa Dewan
Kesenian Jakarta. Sejak 2003, menjadi Artistic Director (Kurator
49
OK.Video – Jakarta International Video Festival) yang diadakan
oleh Ruangrupa Jakarta di Galeri Nasional Indonesia hingga
sekarang. Di sela-sela kesibukannya sebagai Ketua Forum Lenteng,
ia juga bekerja sebagai kurator independen dalam pergelaran filem,
video, maupun seni rupa nasional dan internasional.5
B. Gambaran Umum Komunitas Pembuat Film
1. Forum Lenteng
Forum Lenteng adalah organisasi nirlaba egaliter sebagai
sarana pengembangan studi sosial dan budaya. Forum Lenteng berdiri
sejak tahun 2003 yang didirikan oleh mahasiswa (ilmu
komunikasi/jurnalistik), pekerja seni, periset dan pengamat
kebudayaan untuk menjadi alat pengkajian berbagai permasalahan
budaya dalam masyarakat, guna mendukung dan memperluas peluang
bagi terlaksananya pemberdayaan studi sosial dan budaya Indonesia.
Forum Lenteng bekerja dengan merangkum serta mendata
aspek-aspek sosial dan budaya yang mencakup kesejarahan dan
kekinian di dalam kerangka kajian yang sejalan dengan perkembangan
jaman dengan mengadakan pendekatan solusif bagi keberagaman
permasalahan sosial dan budaya di Indonesia serta dunia internasional.
Salah satu medium yang digunakan Forum Lenteng adalah medium
audio visual (film dan video). Komunitas ini berlokasi di Jalan Raya
5 Website film Dongeng Rangkas, www.dongengrangkas.akumassa.org
50
Lenteng Agung Nomor 34 RT.007/RW.02, Lenteng Agung, Jakarta
Selatan, Jakarta 12610.
a. Visi
Menjadikan masyarakat Indonesia yang terbuka dan kritis
melalui proses belajar, memberi dan menerima informasi yang
terbuka, serta memiliki kesadaran terhadap lingkungan, sejarah dan
keberagaman dalam menghadapai perubahan sosial politik ke
depan.
b. Misi
Membangun sistem komunikasi dan informasi yang terbuka dan
independen dalam rangka melakukan upaya-upaya partisipasi yang
lebih luas (menerima, mengolah, memproduksi dan menyebarkan
informasi), dalam kerangka kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan
yang ada, saluran aspirasi maupun upaya ikut mempengaruhi
pengambilan keputusan.6
2. Saidjah Forum
Saidjahforum adalah kelompok belajar yang didirikan oleh
mahasiswa Jurnalistik UNTIRTA (Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa) pada 3 Februari 2005 di Serang, Banten. Seiring dinamika
organisasi, Saidjahforum kini bertempat di Rangkasbitung, Lebak.
Berfokus pada kerja komunitas dan pemberdayaan masyarakat lewat
6 Litbang Forum Lenteng
51
media teks, video, arsip, dan kajian sosial budaya lokal, Saidjahforum
didirikan sebagai respon terhadap pembelajaran akademik dan
memastikan akses terbuka terhadap pendidikan dan pertukaran
informasi di masyarakat Lebak, Banten, Indonesia. Anggota Saidjah
Forum antara lain Helmi Darmawan, Badrul Munir, Jaenudin, Kuni
Ahmad, Firmansyah, Bima Mulia, Aji Jidni, Hendra Fathoni, dan Fuad
Fauzi. Komunitas ini berlokasi di Jalan Kitarung No.54 Kmpung
Jeruk, Rangkasbitung, Lebak 42311, Banten.7
7 Website www.saidjahforum.org
52
BAB IV
ANALISIS DAN TEMUAN
A. Film Features Dokumenter Dongeng Rangkas
Film features dokumenter Dongeng Rangkas merupakan sebuah
film dokumenter yang berdurasi kurang lebih 75 menit. Film ini
dikonstruksi dan menceritakan realitas sosial masyarakat Rangkasbitung
yang diwakili oleh dua orang penjual tahu yaitu Iron dan Kiwong.
Kiwong dan Iron adalah dua pemuda sederhana yang memilih
hidup sebagai pedagang tahu, sementara mimpi-mimpinya tetap dipegang
teguh. Kiwong bermimpi menjadi pemuda yang lebih baik, yang
menjadikan keluarga hidup lebih baik dari sebelumnya. Sedangkan Iron,
percaya musik adalah anugrah dari Tuhan, dan ia ingin terus
mengembangkan fantasi musiknya di jalur ‘underground’. Film ini dibuka
dengan gambar suasana pabrik tahu, pasar, stasiun kereta, dan perkenalan
tokoh Iron dan Kiwong.
00:07:50 = Iron dan istri sedang mencuci tahu.
00:08:39 = Iron menceritakan menjual tahu karena turunan dari keluarga.
Dan semuanya berjualan di pasar.
00:09:30 = Kiwong menceritakan awalnya berjualan tahu, yang awalnya
dia jualan di pasar dan bangkrut, kemudian pergi ke Jakarta
bekera menjadi kuli bangunan.
00:22:08 = Iron bermain band dengan rekanya.
53
00:24:09 = Iron menceritakan bahwasanya dia memiliki proyek bermusik
bukan nonton. Dia merasa puas dan tidak bisa dirubah, karena
itu adalah panggilan hatinya.
00:25:47 = Iron menceritakan kalau underground itu apa adanya,
tanpa rekayasa.
00:26:50 = Iron mandi di sungai sambil berkata
“ngopi ditengah sungai, asyk nih”
00:29:45 = Para pembuat tahu sedang menggoreng tahu.
00:30:45 = Kiwong menceritakan masa kecilnya yang sering dipukuli
temannya dan memutuskan masuk pesantren untuk belajar
ilmu kebal.
00:32:05 = Sekarang kamu senang berjualan tahu? Kiwong menjawab
Iya, Alhamdulillah.
00:34:48 = Gambar Iron sedang shalat.
00:38:58 = Kiwong dan pembuat tahu lainya sedang menggoreng tahu.
00:50:38 = Gambar Kiwong sedang merapihkan dan memberi penyedap
tahu yang siap dijual.
00:54:20 = Suasana di dalam kereta tempat para pedagang tahu
menjajakan daganganya.
00:58:31 = Iron sedang berjualan tahu di pasar.
00:59:24 = Iron berkata “sekarang saya aliran metal satu jari”
01:03:53 = Iron berkata “menurut saya, musik adalah anugrah dari Tuhan”
01:04:04 = Iron berkata kalau sampek sekarang dari tahun 1998 masih
54
tetap konsisten di jalur musik underground
01:04:22 = Menurut Iron hanya satu kenapa dia masih tetap dalam jalur
underground yaitu KEPUASAN hati naruni, dan naluri.
00:30:45 = Kiwong berkata “kalau dulu saya ikut nasihat abang, mungkin
keadaan saya tidak begini”.1
B. Konstruksi Sosial dalam Film Feature Dokumenter Dongeng Rangkas
Film merupakan sebuah tontonan yang banyak digemari
masyarakat. Di dunia ini telah banyak beredar berbagai jenis film baik dari
film cerita sampai film dokumenter, namun film atau sinema itu pada
hakekatnya menurut Andre Bazim adalah fenomena gagasan. Gagasan
yang direka oleh manusia itu sudah ada secara lengkap dibenaknya.
Selain itu film tidak hanya sebatas melestarikan untuk objek disalut
seperti halnya serangga dari zaman pualam, film memebebaskan seni
borok dari katalepsi mendadak. Selain film fiksi, juga film dokumenter.
Dalam hal ini peneliti mencontohkan dengan film dokumenter dongeng
rangkas. Dongeng Rangkas merupakan film yang berjenis feature
dokumenter, hal ini dikarenakan film dongeng rangkas merupakan sebuah
film yang menyajikan suatu realitas sosial dari kehidupan dua orang
penjual tahu di daerah Rangkasbitung dengan lebih santai, cair, lebih
hidup, serta mengedepankan dramatik. Selain itu dalam film dongeng
rangkas ini, para sutradara ingin memberikan bentuk film dokumenter
1 Transkip materi film feature dokumenter Dongeng Rangkas
55
yang berbeda dengan film dokumenter lainya. Serta dibuat atas dasar
estetika film.
“Kenyataan sosial jarang dihadirkan lewat film.Sekalinya dihadirkan biasanya ceritanya masing ngwang-ngawang. Seperti kisah umum warga kaya dan miskin.Kadang para pembuat film seringkali membuat filmdokumenter berakhir di tokoh si korban. Eksploitasi si miskindan kesenjangan masyarakat. Saya termotivasi untuk membuatfilm dokumenter berbeda. Kepingan cerita pekerja tahu danoptimismenya dalam kehidupan sehari-hari”.2
Para pembuat film dokumenter pada dasarnya memiliki tujuan dan
kepentingan sendiri tergantung oleh latar belakang mereka, namun dalam
film ini menurut para pembuat film tidak memiliki motivasi dan tujuan
yang berarti selain untuk melakukan upgrading program akumassa oleh
Forum Lenteng untuk komunitas jaringanya yaitu Saidjah Forum.
Selain itu menurut sutradara yang berasal dari Rangkasbitung, juga
tidak memiliki tujuan khusus. Mereka mengangkat penjual tahu menjadi
film dokumenter dikarenakan kedekatan sutradara dengan masyarakat
penjual tahu tersebut, dan bagi para pembuat ada keunikan tersendiri
realitas penjual tahu ini diangkat menjadi sebuah film dokumenter. 3
Film dokumenter atau yang sering banyak orang bilang sebagai
film non fiksi merupakan sebuah karya film yang dihasilkan dari realita
atau fakta yang ada dalam kehidupan sehari-hari baik pengalaman hidup
sesorang ataupun peristiwa. Film dokumenter dibuat dari kenyataan-
2 Wawancara dengan pesan elektronik (email) dengan Fuad Fauzi yang juga salahsatu sutradara yang sekaligus orang asli Rangkasbitung pada 20 Mei 2013.3 Wawancara dengan pesan elektronik (email) dengan Badrul munir salah satusutradara yang sekaligus orang asli Rangkasbitung pada 22 Mei 2013.
56
kenyataan atau realitas objektif, yang mana kenyataan itu dibangun dengan
interpretasi pembuatanya.
Dalam bab ini peneliti mengurai mengenai konstruksi atas realitas
dalam film features dokumenter dongeng rangkas kehidupan penjual tahu.
Pada bab II telah dijelaskan mengenai teori konstruksi atas realitas sosial
yaitu merupakan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana
individu menciptakan sebuah realitas yang dimiliki dan dialami bersama
secara subjektif serta dilakukan secara terus menerus.
Dalam film dongeng rangkas ini konstruksi atas realitas sosial pada
kehidupan penjual tahu di daerah Rangkasbitung merupakan suatu
konstruksi sosial dimana masyarakat yang menjadi penjual tahu adalah
tradisi keluarga, atau diturunkan dari keluarga.
Masyarakat yang sebagian besar merupakan penjual tahu dan
pembuat tahu ini tidak ingin meninggalkan tradisi mereka. Hal ini dilihat
dari dua tokoh film tersebut yaitu Iron dan Kiwong. Masing-masing tokoh
memiliki mimpinya sendiri seperti Iron yang bercita-cita sebagai pemusik,
Iron percaya musik adalah anugrah dari Tuhan, dan ia ingin terus
mengembangkan fantasi musiknya di jalur ‘underground’. Sedangkan
Kiwong bermimpi menjadi pemuda yang lebih baik, yang menjadikan
keluarga hidup lebih baik dari sebelumnya.
Dari konstruksi realitas sosial itu lah daerah Rangkasbitung
menjadi daerah yang dikenal penghasil tahu. Hal ini dikarenakan sebagian
penduduknya merupakan penjual dan pembuat tahu. Namun ada yang
57
menarik film features dokumenter ini, yaitu dari budaya yang turun
menurun sebagi penjual dan pembuat tahu, serta mengundang masyarakat
pendatang untuk singgah dan menjadi penjual tahu di tanah
Rangkasbitung, sehingga menimbulkan banyak persaingan antara penjual
dan pembuat tahu. Dari tokoh Kiwong dilihat harus bersaing dengan
penjual tahu yang lain, Kiwong harus nekat berjualan di kereta api dan
main kucing-kucingan dengan petugas kereta.
Dalam proses konstruksi atas realitas sosial di dalam film features
dokumenter dongeng rangkas telah terjadi dialetika antara individu
mencipatakan masyarakat dan masyarakat mencipatakan individu. Proses
dialektika ini melalui eksternalisasi, obyektivitasi dan internalisasi. ketiga
proses dialektika ini merupakan gagasan Berger dan Luckman yang
memunculkan suatu proses konstruksi atas realtias sosial. Teori ini dilihat
dari segi asal muasalnya merupakan hasil dari ciptaan manusia yang
melalui interakasi intersubjektif.
1. Tahap Eksternalisasi
Eksternalisasi yang mana proses ini merupakan penyesuaian diri
terhadap lingkunganya. Dalam hal ini usaha mencurahkan atau
ekspresi diri ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun
fisik. Hal ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan
mencurahkan diri ketempat ia berada. Manusia tidak akan dimengerti
58
sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha
menangkap dirinya sendiri, dan menghasilkan suatu dunia.
Dalam film features dokumenter dongeng rangkas, terlihat dari dua
tokoh Iron dan Kiwong yang melakukan penyesuaian terhadap
kehidupan sosial yang ada di masyarakat Rangkasbitung, mereka
mengikuti tradisi yang ada sebagai penjual dan pembuat tahu. Dimulai
dari wawancara peneliti dengan sutradara film Dongeng Rangkas.
“... Kita coba si Kiwong itu, bareng. Karena dasarnya diapenjual tahu dan dia orang asli situ. Nah selama temuanproduksi itu, banyak yang menarik yaitu, ketika tahu-tahu dikawasan muara ini terletak di Rangkasbitung di daerah. Yangdimana banyak pabrik tahu, nah si Kiwong ini sebagai salahsatu pembawa tahu-tahu ini keluar Rangkasbitung, karena diaberjualan di kereta itu. kreta penghubung dengan Jakarta, diajualan dari siang sampai malam pulang. Dan rutinitasnyaseperti itu, dan dia menemukan berbagai macem cerita yangseperti ketemu oranglah, seperti meeting points, karena diaketemu dengan banyak orang yang berantem, belum lagidengan para petugasnya keretanya sendiri, jadi sepertipergulatan di keretanya”.4
Dari wawancara dengan sutradara film features dokumenter
dongeng rangkas ini terlihat proses ketika suatu produk sosial telah
menjadi bagian penting dalam masyarakat yang setiap saat
dibutuhkan oleh individu, maka produk sosial itu menjadi bagian
penting dalam kehidupan seseorang untuk melihat dunia luar.
Tahap eksternalisasi pada film features dokumenter dongeng
rangkas ini berlangsung ketika masyarakat mulai mengetahui jika
4 Wawancara pribadi dengan Saiful Anwar salah satu sutradara yang sekaligusorang asli Rangkasbitung pada 21 Mei 2013.
59
daerah Rangkasbitung merupakan daerah penghasil tahu dikarenakan
banyak pabrik pembuatan tahu di daerah itu. Kemudian timbul lah
keinginan dari masyarakat luar daerah untuk datang ke Rangkasbitung
dan menetap menjadi pembuat dan penjual tahu.
Selain itu sang pemuat film features dokumenter dongeng rangkas
juga melakukan penyesuaian dan ekspresi terhadap lingkungan
penjual tahu di Rangkasbitung dengan melakukan proses observasi
langsung. Observasi terhadap penjual dan pembuat tahu dilakukan
dengan mengikuti semua aktivitas kesehariannya. Proses riset dan
observasi dimulai sejak tahun 2008 saat workshop akumassa di
Saidjah Forum.
Proses penyesuaian dan ekspresi diri para pembuat film ini dengan
lingkungan pembuat dan penjual tahu juga menggunakan konsep
akumassa. Akumassa merupakan gabungan antara aku dan massa. Jadi
dalam konsep akumassa, ‘aku’ dalam hal ini adalah sang pembuat film
harus menjadi bagian dari massa. Kaitanya dalam film ini massa
merupakan masyarakat Rangkasbitung khususnya para penjual dan
pembuat tahu.
Proses eksternalisasi yang dilakukan para pembuat film features
ini, para pembuat menjadi bagian dari kelompok pembuat dan penjual
tahu di Rangkasbitung. Terlebih sutradara dari Forum Lenteng,
Jakarta yang pada dasarnya bukan masyarakat setempat, maka harus
lebih dapat memahami realitas sosial yang sudah berjalan dalam
60
kehidupan pembuat dan penjual tahu di Rangkasbitung. Kecuali dua
sutradara Fuad Fauzi dan Badrul Munir yang berasal dari
Rangkasbitung, mereka sudah menjadi bagian dari pembuat dan
penjual tahu, terlebih Kiwong yang merupakan salah satu tokoh dalam
film merupakan adik kandung dari sutradara Badrul Munir.
2. Tahap Objektivasi
Objektivasi yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia
intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses
institusionalisasi. Yang mana proses tersebut merupakan hasil dari
proses eksternalisasi manusia tersebut. dari proses tersebutlah akan
menghasilkan realitas objektif yang dapat menghadapi sang penghasil
itu sendiri sebagai suatu faksilitas yang berada diluar dan berbeda
dengan manusia yang menghasilkannya. Pada tahap ini sebuah produk
sosial berada pada proses instituasionalisasi sedangkan individu
memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang
tersedia baik dalam produk-produk kegiatan manusia. Objektivasi
dalam dongeng rangkas ini juga dapat dilihat dari hasi wawancara
dengan sutradara film ini Badrul Munir.
61
“Sebenarnya tidak ada nama komunitas tahu di MuharaKebon Kelapa, tapi mereka sering menyebut hanya pedagangtahu dari muhara. Dan karena jumlah pabrik tahu semakinbertambah, jumlah pabrik tahu sekarang ada 25 pabrik tahu.Dan hanya dibentuk koperasi tahu saja, dengan nama almuawanah, diambil dari nama mesjid yang ada di kampungsaya”.5
Di daerah rangkas meskipun tidak ada komunitas resmi yang di
bentuk oleh para penjual tahu. Namun pembentukan kelompok di
Rangkasbitung itu terbentuk karena sistem. Mereka membentuk
sebuah komunitas atau kelompok penjual tahu di Rangkasbitung, baik
mereka penduduk asli Rangkasbitung maupun pendatang yang juga
ikut membuat dan menjual tahu di daerah Rangkasbitung. Dengan
adanya komunitas ini kehidupan para penjual dan pembuat tahu lebih
baik, dikarenakan setiap berkumpul bersama, mereka membicarakan
kebutuhan produksi, dan juga menunjang kebutuhan simpan pinjam,
serta solidaritas sesama pekerja tahu.6 Konstruksi atas realitas sosial
ini mengubah indvidu menjadi kelompok, dan kelompok juga
mempengaruhi kehidupan sosial individu.
3. Tahap Internalisasi
Internalisasi merupakan proses individu mengidentifikasi dirinya
sendiri terhadap lembaga sosial dimana dia tinggal. Dengan kata lain
5 Wawancara dengan pesan elektronik (email) dengan Badrul munir salahsatu sutradara yang sekaligus orang asli Rangkasbitung pada 15 Juli 2013.6 Wawancara dengan pesan elektronik (email) dengan Fuad Fauzi salah satusutradara yang sekaligus orang asli Rangkasbitung pada 20 Mei 2013.
62
internalisasi merupakan proses penyerapan kemabali dunia objektif
kedalam kesadaranya sehinga subjektif individu terpengaruh terhadap
struktur dunia sosial. Berbagai unsur dari produk dunia yang
terobjektifkan akan tertangkap menjadi gejala realitas diluar kesadaran,
serta menjadi gejala internal untuk kesaranya sendiri. Melalui proses
internalisasi tersebutlah manusia menjadi hasil dari masyarakat.
Dalam tahapan ini, pembuat film features dokumenter dongeng
rangkas setelah melakukan riset dan observasi langsung kemudian
melakukan penyerapan terhadap realitas sosial penjual tahu yang telah
terobjektivasi kedalam pikiranya dan kemudian melakukan konstruksi
ulang ke dalam medium film.
Selain itu Internalisasi dalam arti umum merupakan dasar, yakini
pemahaman individu dengan orang lain, pemahaman mengenai dunia
sebagai sesuatu yang maknawi dari kenyataan sosial .
3.1 Pemahaman mengenai individu dengan orang lain
Dasar dari internalisasi yang pertama yakini pemahaman
mengenai individu dengan orang lain ketika sutradara
melakukan negoisasi terhadap individu yang mejadi subyek
dari film dokumenter. Dalam film features dokumenter
dongeng rangkas ini sutradara melakukan eksternalisasi dengan
melakukan riset dan observasi langsung terlebih dahulu
sebelum membuat film, hal ini dilakukan agar sutradara dapat
memahami situasi baik sosial maupun ekonomi masyarakat
63
penjual dan pembuat tahu di daerah Rangkasbitung. Hal ini
merupakan upaya untuk terbentukanya suatau hubungan yang
dinamis antara individu dengan orang lain, agar menghasilkan
suatu produk kebudayaan sosial.
“... Realitas sosial yang ada dalam masyarakatpenjual tahu di Rangkasbitung sama seperti dalamfilm Dongeng Rangkas. Idenya dari 2008 saatwaorkshop akumassa pertama di saidjah forum. Risetdan workshop hampir sebulan disana, taulahwilayah-wilayah situs, memetakan. Semacam kayakpemetaan, disana melihat dan disana kayak muncul(bukan muncul), tapi memang ada penjual, pabriktahu yang emang terkenal di rangkas.Kalau orangpada pergi di kereta sampai keman. Tanah Abang,Kota (Jakarta) itu, tahunya disana mbuatnya. Jadiemang, ternyata pabrik tahu yang kebanyakan orangtahu sumedang ternyata di Rangkas juga banyak”.7
Selain melakukan riset dan juga pemetaan, sutradara juga
bekerjasama dengan penduduk setempat dengan melibatkan
penduduk setempat menjadi sutradara yang di wakili oleh Fuad
Fauzi dan Badrul Munir, serta anggota Saidjah Forum lainya.
Hal tersebut dikarenakan mereka lebih mengetahui bagaiamana
situasi dan kondisi masyarakat Rangkasbitung itu sendiri.
Dengan bekerjasama dengan masyarakat Rangkasbitung,
maka pembuatan film dokumenter benar-benar mengangkat
kehidupan yang dialami oleh para pembuat dan penjual tahu di
7 Wawancara pribadi dengan Saiful Anwar salah satu sutradara yangsekaligus orang asli Rangkasbitung pada 21 Mei 2013.
64
Rangkasbitung. Dalam pembuatan film ini sutradara
bekerjasama dengan masyarakat.
“... Tempat pembuatan film ‘dongeng rangkas’tentang para pekerja tahu di daerah Rangkasbitungyang letaknya di sisi sungai. Ada belasan pabrikmenyatu dengan warga dan pekerjanya. Hampirkebanyakan para pejual dan pekerja pabrik tahuberasal dari daerah pinggiran kota rangkasbitung.Mereka berasal dari daerah selatan rangkasbitung.Karena warga kampung ini banyak pendatang jadisedikit terbuka pemikirannya. Untuk menerima kamiselama produksi misalnya”.8
3.2 Pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi
Dasar internalisasi kedua tentang pemahaman mengenai
dunia sebagai suatu yang maknawi dari kenyataan sosial.
Dalam film features dokumenter dongeng rangkas merupakan
wujud nyata dari kehidupan para pembuat dan penjual tahu di
daerah Rangkasbitung, bagi siapa saja yang menyaksikan film
ini akan mengerti bagaimana optimisme para penjual tahu di
daerah Rangkasbitung.
“... Kenyataan sosial jarang dihadirkan lewat film.Sekalinya dihadirkan biasanya ceritanya masingngwang-ngawang. Seperti kisah umum warga kayadan miskin. Kadang para pembuat film seringkalimembuat film dokumenter berakhir di tokoh sikorban. Eksploitasi si miskin dan kesenjanganmasyarakat. Saya termotivasi untuk membuat film
8 Wawancara dengan pesan elektronik (email) dengan Fuad Fauzi salahsatu sutradara yang sekaligus orang asli Rangkasbitung pada 20 Mei 2013.
65
dokumenter berbeda. Kepingan cerita pekerja tahudan optimismenya dalam kehidupan sehari-hari”.9
Setelah melakukan tahapan eksternalisasi kemudian melakukan
internalisasi terhadap realitas sosial pembuat dan penjual tahu, yang
mana dalam proses terakhir inilah sutradara menyerap kembali realitas
sosial tersebut kedalam alam bawah sadarnya kemudian dibentuk
menjadi film features dokumenter yang nantinya film tersebut akan
bersifat objektif dan subjektif.
Menurut penjelasan Margaret M. Polama, Berger menegaskan
bahwasanya realitas sehari-hari memiliki dimensi sebjektif dan
objektif. Manusia merupakan instrument dalam menciptakan realitas
sosial yang objektif melalaui proses eksternalisasi. Yang mana ia
mempengaruhi dalam proses internalisasi yang mencerminkan realitas
sosial secara subjektif
Konstruksi atas realitas sosial yang paling nampak dan bersifat
objektif dalam film features dokumenter dongeng rangkas ini adalah
para pembuat film tidak mengubah realitas sebenarnya yang terjadi
dalam kehidupan penjual tahu tersebut. Dimana pembuat dan penjual
tahu khususnya Iron dan Kiwong, pada akhirnya tetap meneruskan
usaha keluarga mereka sebagai penjual tahu.
9 Wawancara dengan pesan elektronik (email) dengan Fuad Fauzi salah satusutradara yang sekaligus orang asli Rangkasbitung pada 20 Mei 2013.
66
Keluarga mereka sudah turun temurun menjadi penjual tahu
sehingga Kiwong dan Iron memilih atau menjadikan diri mereka juga
menjadi pedagang tahu dan berbaur dengan realitas yang ada di
lingkungan Rangkasbitung sebagai daerah penghasil tahu. Kiwong
dan Iron meruapakn penjual tahu yang mengesampingakan mimpi
mereka dan terbawa arus dimana pada akhirnya kelompok sosial
menentukan kehidupan individu itu sendiri. Hal tersebut merupakan
hasil dari poses eksternalisasi.
Sedangkan yang mencerminkan realitas subjektif, sutradara
melakukan internalisasi terhadap realitas penjual tahu yang terlah
terkobjektivasi ke dalam pikiranya kemudian dibentuk menjadi sebuah
film features dokumenter. Dalam pembentukanya menggunakan
kaidah-kaidah film yang memiliki alur, cerita, dan plot. Sehingga
pembuat film ini harus merangkai potongan-potongan gambar hasil
observasi langsung, riset, dan pengambilan gambar menjadi
sedemikian rupa, sehingga akan menghasilkan cerita yang menarik
untuk ditonton.
C. Faktor Konstruksi Sosial dalam Film Dongeng Rangkas
Dalam kehidupan sehari-hari sering ditemui penjual tahu yang
menawarkan daganganya di sekitar tempat tinggal kita, namun masyarakat
mengangap hal itu adalah hal yang sepele dan tidak perlu di perhatikan.
Dalam penelitian ini, peneliti mengangkat sebuah film features
67
dokumenter yang berjudul dongeng rangkas, dimana film ini bercerita
tentang kehidupan penjual tahu di daerah Rangkasbitung.
Realitas sosial merupakan keadaan yang sebenarnya dalam
kehidupan masyarakat, namun realitas yang ada tersebut merupakan hasil
kreatif masyarakat dengan menggunakan kekuatan konstruksi sosial
masyarakat. Realitas yang berkembang dalam masyarakat Rangkabitung
yang mayoritas bekerja sebagai pedagang tahu juga hasil dari konstrukasi
mereka sendiri.
“... Mungkin dalam hal realitas sosial disini menurut andaadalah realitas kehidupan sosial para pedagang tahu ataumasyarakat disekitar para pedagang tahu. Realitas sosialpedagang tahu adalah kenyataan dalam hal berjuang untukbertahan hidup, dikarenakan pekerjaan yang lebih baiksusah didapat dan para pedagang tahu mayoritas tidakmempunyai pendidikan tinggi maka menjadi pedagang tahuadalah solusi yang tepat bagi mereka dalam halrealitasnya.10
Kehidupan penjual tahu sebagai sebuah konstuksi realitas sosial
di film features dokumenter dongeng rangkas memiliki sebuah makna
dimana mereka (para pembuat dan pedagang tahu) tidak memiliki
pendidikan yang tinggi sehingga berdagang tahu adalah solusi untuk
tetap bertahan hidup. Masyarakat membuat konstruksi tersendiri akan
kehidupan berkelompok mereka sebagai pedagang tahu.
10 Wawancara dengan pesan elektronik (email) dengan Badrul munir salah satusutradara yang sekaligus orang asli Rangkasbitung pada 22 Mei 2013.
68
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti beranggapan bahwa ada
beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya kontruksi realitas
sosial, adapaun faktor yang mempengaruhi kehidupan penjual tahu
sebagai konstruksi realitas sosial adalah kondisi pendidikan, kondisi
sosial dan juga ekonomi.
1. Kondisi Pendidikan
Dalam suatu konstruksi realitas sosial tentu saja faktor pendidikan
juga berperan dalam pembentukan relitas sosial di masyarakat
penjual tahu dalam film features dokumenter dongeng rangkas yang
bercerita tentang kehidupan penjual tahu.
“... Realitas sosial pedagang tahu adalah kenyataandalam hal berjuang untuk bertahan hidup, dikarenakanpekerjaan yang lebih baik susah didapat dan parapedagang tahu mayoritas tidak mempunyai pendidikantinggi maka menjadi pedagang tahu adalah solusi yangtepat bagi mereka dalam hal realitasnya”.11
Pendidikan masyarakat yang tidak tinggi membuat
masyarakat daerah Rangkasbitung tidak memiliki pilihan lain dalam
bidang pekerjaan, sehingga sebagian masyarakat khususnya Iron dan
Kiwong memilih meneruskan tradisi keluarga sebagai seorang
penjual dan pembuat tahu seperti masyarakat yang lain.
11 Wawancara dengan pesan elektronik (email) dengan Badrul munirsalah satu sutradara yang sekaligus orang asli Rangkasbitung pada 22 Mei 2013.
69
2. Kondisi Sosial
Kondisi sosial tentu merupakan hal yang sangat berpengaruh
terhadap konstruksi realitas sosial yang terbentuk dalam masyarakat
penjual dan pembuat tahu di daerah Rangkasbitung.
“... Realitas sosial masyarakat penjual tahu diRangkasbitung khususnya di muhara kebon kelapa yangdimana sebagian besar pengambilan gambar dilakukan,tidaklah begitu terpinggirkan atau terendahkan karenahampir kebanyakan di sana adalah pedagang walaupunbukan hanya pedagang tahu. Bahkan para pedagangtahu sangatlah bermasyarakat dengan penduduk asli disana, karena hampir semua pedagang tahudirangkasbitung adalah pendatang dari pinggiran kotaLebak”.12
Dari hasil wawancara, penelitian ini masyarakat penjual tahu
di Rangkasbitung memiliki jiwa sosial yang tinggi hal ini terlihat
dari masyarakat disana sangat bermasyarakat. Para penjual tahu di
daerah Rangkasbitung membuat sebuah kelompok atau komunitas
pembuat dan penjual tahu, mereka juga membuat sebuah koprasi
usaha hal ini tentu memudahkan kehidupan sosial di masing-masing
masyarakat.
3. Kondisi Ekonomi
Dalam kehidupan masyarakat di daerah yang mayoritas
pedagang tentu kondisi ekonomi masyarakat di Rangkasbitung
12 Wawancara dengan pesan elektronik (email) dengan Badrul munir salahsatu sutradara yang sekaligus orang asli Rangkasbitung pada 22 Mei 2013.
70
mempengaruhi konstruksi realitas sosial yang akan terbangun di
dalam kehidupan penjual tahu di dalam film features dokumenter
dongeng rangkas.
“Kondisi ekonomi masyarakat di Rangkasbitungkhususnya penjual dan pembuat tahu, mayoritas merekasangat sederhana, kalau para pemilik pabrik tahu,mereka mayoritas punya rumah sendiri walau masihdikatagorikan sederhana, dan kalau para penjual tahu,mereka mayoritas masih ngontrak, penghasilan parapedagang tahu dikereta dan dipasar, kesehariannyamereka mendapatkan 60 ribu sampai 100 ribuperharinya, itupun tergantung habis dan tidaknya tahuyang dijajakan. Kalu para pembuat tahu berpenghasilan70 sampai 90 ribu perhari kerja selama 8 samapi 9 jam,informasi ini saya dapatakan langsung dari kiwong salahsatu tokoh di film dongeng rangkas”.13
Sebagian masyarakat Rangkasbitung yang berprofesi
menjadi pembuat dan penjual tahu dikatakan sederhana, karena
memiliki penghasilan yang tidak menentu. Pendapatan mereka
bergantung pada omset penjualan tahu hari itu juga
D. Alur Features dalam Film Dokumenter Dongeng Rangkas
Features merupakan karya yang menggambarkan tentang sesuatu
dengan lebih detail dan dapat dirasakan oleh peminatnya lebih hidup dan
tergambar dalam imajinasi. Selain itu karya features juga lebih
menekankan aspek human interst agar lebih dramatik, atau lebih cair.
Dalam film features dokumenter Dongeng Rangkas yang menceritakan
kehidupan penjual tahu di Rangkasbitung juga terlihat cair dan tidak
13 Wawancara dengan pesan elektronik (email) dengan Badrul munir salah satusutradara yang sekaligus orang asli Rangkasbitung pada 15 Juli 2013.
71
terkesan kaku seperi layaknya film dokumenter televisi yang lebih
menekankan aspek informasi. Hal itu terlihat dengan banyaknya aspek
human interst dalam film tersebut. Di antara adegan dalam film
dokumenter Dongeng Rangkas yang memperlihatkan aspek human interst
itu, misalnya Kiwong menceritakan di masa mudanya dia belajar di
pesantren agar mendapatkan ilmu kebal, merantau ke Jakarta, atau mabok
dengan minum autan. Contoh lain, misalnya Iron shalat sedangkan dia
adalah seoraang pemusik metal undergound, Iron mandi di sungai sambil
berkata “ngopi di sungai asyk nih”, atau Iron yang menceritakan
kesukaanya pada musik metal underground dan bagi lak-laki penjual tahu
ini musik adalah anugrah dari Tuhan, serta kepuasan yang didapat dari
bermusik.
Unsur lain yang memperlihatkan alur features dalam film tersebut
adalah adanya lead yang menggambarkan perkenalan tempat seperti
pabrik tahu, stasiun, dan pasar serta perkenalan tokoh Iron dan Kiwong.
Unsur kedua body cerita yang menggambarkan kegiatan kedua tokoh
dengan kehidupan sosial mereka. Unsur ketiga adalah ending yang
digambarkan dengan kereta yang memperlihatkan suasana perkampungan
yang diambil dari dalam kereta. Dengan adanya unsur-unsur tersebut karya
features memiliki bangunan atau struktur bercerita atau penceritaan karena
pada dasarnya karya features merupakan karya informasi yang dikemas
dengan pendekatan bercerita agar informasi yang disajikan tidak kaku.
72
Features juga merupakan karya yang tidak lekas basi. Dikatakan
tidak lekas basi, karena features merupakan karya yang menggali sebuah
cerita dari fakta. Informasi yang disampaikan adalah penelusuran tentang
masalah yang ditulis, sehingga banyak data dan informasi pendukung
dalam karya yang cukup panjang. Unsur tersebut dalam film dokumenter
Dongeng Rangkas membicarakan musik metal underground, namun
berangkat dari cerita kehidupan penjual tahu di Rangkasbitung, sehingga
dalam film tersebut banyak data pendukung untuk memperkuat cerita dan
gagasan yang ingin disampaikan oleh para pembuatnya. Hal tersebut yang
menjadikan film dokumenter Dongeng Rangkas tidak mudah basi.
73
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dalam penelitian yang mengangkat tema konstruksi atas realitas
kehidupan penjual tahu dalam film features dokumenter dongeng rangkas,
yang menceritakan bagaimana kehidupann masyarakata penjual tahu di
daerah Rangkasbitung. Penelitian ini di lihat dari dua gagsan yang berada
dalam film, yaitu bagaimana mereka menjalani hidup sebagai penjual tahu
tanpa melupakan mimpi mereka. Mimpi seorang Iron yang ingin tetap
mengekspresikan diri pada musik metal ‘underground’ dengan tetap
tergabung dalam grub band monster. Serta mimpi Kiwong yang ingin
memperbaiki hidup agar lebih baik dari kehidupan sebelumnya.
Tradisi masyarakat Rangasbitung sebagai penjual tahu pada
akhirnya memperngaruhi sebagian besar masyarakat untuk membuat dan
menjual tahu sebagai pekerjaaan turun temurun masyarakat itu, dari
penjelasan tersebut maka dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Kehidupan Penjual Tahu Sebagai Wujud Konstruksi Realitas Sosial
Dalam hal ini kehidupan mengenai komuitas penjual tahu yang
menjadi tradisi turun temurun masyarakat Rangkasbitung merupakan
wujud konstruksi realitas sosial. Hal ini karena seorang individu
dipengaruhi oleh kelompok masyarakat untuk mengikuti kebudayaan
yang telah ada melalui beberapa proses eksternalisasi, objektivikasi,
74
dan Internalisasi. Proses tersebut lah yang akhirnya membentuk
sebuah realitas sosial, dimulai dari individu mengidentifikasikan diri
dengan lingkungan, lalu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
menyerap kembali keadaan yang ada di lingkungan sekitar.
2. Faktor yang Memengaruhi Konstruksi Realitas Sosial
Adapaun faktor yang memengaruhi kehidupan penjual tahu
sebagai konstruksi realitas sosial adalah kondisi pendidikan, kondisi
sosial dan juga ekonomi.
a. Kondisi Pendidikan
Dalam suatu konstruksi realitas sosial tentu saja faktor
pendidikan juga berperan dalam pembentukan realitas sosial
dimasyarakat penjual tahu dalam film features dokumenter
dongeng rangkas yang bercerita tentang kehidupan penjual tahu.
b. Kondisi Sosial
Kondisi sosial tentu merupakan hal yang sangat berpengaruh
terhadap konstruksi realitas sosial yang terbentuk dalam
masyarakat penjual dan pembuat tahu di daerah Rangkasbitung.
c. Kondisi ekonomi
Sebagian masyarakat Rangkasbitung yang berprofesi menjadi
pembuat dan penjual tahu dikatakan sederhana, karena memiliki
penghasilan yang tidak menentu. Pendapatan mereka bergantung
pada omset penjualan tahu hari itu juga.
75
Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa masyarakat Rangkasbitung
khususnya Kiwong dan Iron (aktor dan penjual tahu), mereka berdua lahir
dari keluarga penjual tahu dan masyarakat yang mayoritas adalah penjual
tahu. Hal tersebut membuat kedua tokoh ini mengidentifikasikan diri
dengan lingkungan dengan mulai bekerja sebagai penjual tahu, melakukan
penyesuaian dengan masyarakat sekitar yang menjual tahu mereka ke luar
Rangasblitung dan pada akhirnya mereka menyerap kembali keadaan
mereka sebagai penjual tahu yang turun temurun dari keluarga meskipun
mereka memiliki mimpi yang berbeda.
Hal itu merupakan konstruksi realitas film yang bersifat objektif
karena dalam film sutradara tidak mengubah realitas yang sudah ada,
namun mengkonstruksi kembali ke dalam medium yang berbeda, serta
bersifat subjektif dikarenakan adanya proses internalisasi sutradara dalam
melihat realitas objektif tersebut.
3. Alur Features dalam Film Dokumenter Dongeng Rangkas
Alur features dalam film dokumenter Dongeng Rangkas
memperlihatkan aspek human interst, Kiwong menceritakan di masa
mudanya dia belajar di pesantren agar mendapatkan ilmu kebal, merantau
ke Jakarta, atau mabok dengan minum autan. Contoh lain, misalnya Iron
shalat sedangkan dia adalah seoraang pemusik metal undergound, Iron
mandi di sungai sambil berkata “ngopi di sungai asyk nih”, atau Iron yang
menceritakan kesukaanya pada musik metal underground dan bagi lak-laki
76
penjual tahu ini musik adalah anugrah dari Tuhan, serta kepuasan yang
didapat dari bermusik.
Unsur lain yang memperlihatkan alur features dalam film tersebut
adalah adanya lead yang menggambarkan perkenalan tempat seperti
pabrik tahu, stasiun, dan pasar serta perkenalan tokoh Iron dan Kiwong.
Unsur kedua body cerita yang menggambarkan kegiatan kedua tokoh
dengan kehidupan sosial mereka. Unsur ketiga adalah ending yang
digambarkan dengan kereta yang memperlihatkan suasana perkampungan
yang diambil dari dalam kereta.
Film dokumenter Dongeng Rangkas membicarakan musik metal
underground, namun berangkat dari cerita kehidupan penjual tahu di
Rangkasbitung, sehingga dalam film tersebut banyak data pendukung
untuk memperkuat cerita dan gagasan yang ingin disampaikan oleh para
pembuatnya. Hal tersebut yang menjadikan film dokumenter Dongeng
Rangkas tidak mudah basi.
B. Saran
1. Di masa depan pembuat film dokumenter harus lebih
mengedepankan fungsi dalam pembuatan film dokumenter.
2. Untuk para pembuat film dokumenter lainnya, mereka harus
melakukan riset yang lebih mendalam dalam membuat film
dokumenter, serta melakukan pendekatan terhadap subjek yang
ingin dibuat menjadi film.
77
DAFTAR PUSTAKA
Aufderheide, Patricia. Documentary Film (a very short introduction), New York:
Oxford University Press, 2007.
Arvon, Henri. Estetika Marxis, Yogyakarta: Rasist book, 2010.
Berger, Peter L. & Thomas Luckman. The Social Construction of Reality, a
Trease in the Sociologicl of Knowledge, New York: Penguin Books, 1966.
Bazim, Andre. Sinema Apakah itu?, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bangsa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996.
Bordwell, David. Film Art an Introduction, New York: McGraw-Hill, 2003.
Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi, Jakarta: Prenada Media Group, 2007.
Bungin, Burhan. Konstruksi Sosial Media Massa, Jakarta:Prenada Media Group,
2007.
D. A. Peransi, Film/Media/Seni, Jakarta: FFTV-IKJ PRESS, 2005.
Eriyanto. Analisis Framing, Yogyakarta: Lkis Group, 2002.
Faisal, Sanapiah. Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2007.
Gerzon R. Ayawaila, Dokumenter dari Ide Sampai Produksi, Jakarta: FFTV-IKJ
PRESS, 2008.
Hicks, Jeremy. Dziga Vertov Defining Documentary film, London : I.B. Tuoris,
2007.
Iswara, Dana. Mengangkat Peristiwa ke Layar Kaca, Jakarta: Lembaga Studi
Pers dan Pengembangan, 2007.
Mulyana, Dedi. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya,
78
2008.
Nasir, Zulhasril. Menulis untuk dibaca: Feature & Kolom, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2010.
Prastowo, Andri. Memahami Metode-metode penelitian, Yogyakarta: Ar ruzza
Media, 2001.
Polama, Margaret M. Sosiologi Kontenporer, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
2003.
Septiawan Santana K. Jurnalisme Kontenporer, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2005.
Suhaimi dan Rulli Nasrullah. Bahasa Jurnalistik, Ciputat: Lembaga Penelitian
UIN Jakarta, 2009.
Widjaja. Ilmu Komunikasi dan Pengantar Studi, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000.
Internet
http://dongengrangkas.akumassa.org/tentang/
http://badanbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/
http://akumassa.org/program-akumassa/
http://filmindonesia.or.id/article/hafiz-rancajale-kerja-untuk-sinema-atas-nama-
cinta#.T5FzcDItjDE diakses ulang pada 06 September 2013 Pukul 23.10 WIB
http://jurnalfootage.net/v4/artikel/filem-dokumenter-pasca-reformasi-sebuah-
kritik diakses ulang pada 06 September 2013 Pukul 23.15 WIB
http://www.jurnalharian.com/2013/01/asal-usul-sejarah-film-dokumenter-di.html
diakses ulang pada 05 Agustus 2013 Pukul 23.00 WIB
HASIL WAWANCARA PENELITIAN
Narasumber 1: Badrul Munir (Salah satu sutradara film feature
Dokumenter Dongeng Rangkas dan juga warga asli Rangkasbitung, Banten)
1. Bagaimana realitas sosial menurut anda?
Mungkin dalam hal realitas sosial disini menurut anda adalah realitas
kehidupan sosial para pedagang tahu atau masyarakat disekitar para
pedagang tahu. Realitas sosial pedagang tahu adalah kenyataan dalam hal
berjuang untuk bertahan hidup, dikarenakan pekerjaan yang lebih baik susah
didapat dan para pedagang tahu mayoritas tidak mempunyai pendidikan
tinggi maka menjadi pedagang tahu adalah solusi yang tepat bagi mereka
dalam hal realitasnya.
2. Bagaimana konstruksi realitas sosial itu sendiri?
Kontruksi sosial disini saya kurang mengerti, pertanyaan nya terlalu luas
cakupannya. Menurut hemat saya kontruksi sosial adalah sebuah tatanan
kehidupan yang terjadi dimasyarakat dengan berbagai macam tingkatan
status sosial disekitarnya.
3. Bagaimana realitas sosial masyarakat penjual tahu di rangkasbitung
tempat pembuatan film dongeng rangkas?
Realitas sosial masyarakat penjual tahu dirangkasbitung khususnya di
muhara kebon kelapa yang dimana sebagian besar pengambilan gambar
dilakukan, tidaklah begitu terpinggirkan atau terendahkan karena hampir
kebanyakan di sana adalah pedagang walaupun bukan hanya pedagang tahu.
Bahkan para pedagang tahu sangatlah bermasyarakat dengan penduduk asli
di sana, karena hampir semua pedagang tahu dirangkasbitung adalah
pendatang dari pinggiran kota Lebak.
4. Dalam mengkonstruksi realitas itu kenapa menggunakan film
dokumenter feature dalam mediumnya? Apa tujuanya?
Mungkin karena kita adalah sebuah komunitas yang dimana bergerak dalam
bidang realitas budaya dan seni, maka dokumenter adalah medium yang
tepat untuk menyampaikan pesan kepada khalayak. Karena di visual film
tersebut dapat terlihat kegiatan asli tanpa rekayasa dari realitas itu sendiri.
Dan tujuannya adalah mengkontruksi realitas dengan audio visual lebih
mudah dipahami dan menurut saya lebih menantang.
5. Apa motivasi dan tujuan menganggat realitas sosial penjual tahu?
sebenarnya tidak ada tujuan khusus, dikarenakan kami sangat dekat dengan
mereka dalam hal tempat dan setiap hari kita bertemu dengan para
pedagang tahu, dan menurut saya sangatlah unik apabila diangkat untuk
menjadi sebuah film dokumenter.
6. Pesan atau gagasan apa yang ingin disampaikan kemasyarakat?
Pesan dan gagasannya adalah agar tetap optimis dan menjadi diri sendiri
apapun profesi kita. Karena dalam film tersebut kita tidak mengatur tokoh
tokoh, tapi kita hanya mengangkat apa adanya mereka.
7. Dari mana anda mendapatkan ide itu untuk diangkat menjadi film
feature dokumenter? Dan kenapa kedua tokoh itu “Kiwong dan Iron”
yang menjadi tokoh dalam film tersebut?
Idenya karena tempat kami sangat dekat dengan mereka, dan sudah ada
beberapa tulisan tentang pabrik tahu sebelumnya, bisa disebut kami sudah
melakukan riset kecil-kecilan sejak saidjah mulai aktif menulis tentang pabrik
tahu. Kenapa kiwong dan iron? Karena mereka sangat dekat dengan saya,
bahkan kiwong adalah adik kandung saya sendiri. Dan mereka punya latar
belakang yang berbeda.
8. Bagaimana proses produksiny dari awal sampai akhir? Dan bagaimana
pendanaanya serta kendalanya?
Proses produksinya diawali dengan riset dan diskusi yang cukup melelahkan
dengan teman-teman sutradara, sambil di selingi pengambilan footage
sekitar pabrik tahu pada siang atau sore harinya, setelah selesai mengambil
gambar kita review dan edit. Dan pendanaannya dari forum lenteng.
9. Seperi apa proses pengemasan film tersebut?
Pengemasan film tersebut berjalan sesuai dengan kebutuhan materinya, kita
mencoba mengemas film tersebut dengan footage – footage yang telah kita
ambil.
10. Kenapa menggunakan judul Dongeng Rangkas?
Karena dalam film tersebut aktor-aktornya berdongeng atau bertutur cerita
tentang sekitar Rangkas. Dan dikarenakan pula pembuatan film tersebut
dari rangkas.
11. Bagaimana keunikan film feature dokumenter Dongeng Rangkas
dengan film-film laian??
Menurut saya Dongeng Rangkas dan film-film lain sedikit berbeda, karena
dongeng rangkas buatan orang rangkas sendiri dan dibantu oleh forum
lenteng.
12. Bagaimana menurut anda ketika sebuah realitas dikonstruksi atau
dibangun menjadi sebuah film feature dokumenter?
Itu akan lebih menarik.
13. Bagaimana sebuah kehidupan penjual tahu dikonstruksi menjadi film
feature dokumenter Dongeng Rangkas?
Anda bisa tonton sendiri di film dongeng rangkas, dan itulah sedikit
gambaran tentang kehidupan para pedagang tahu.
14. apa nama komunitas penjual tahu tujuan di bentuknya komunitas danlatar belakang komunitas itu?
Sebenarnya tidak ada nama komunitas tahu di muhara kebon kelapa... tp
mereka sering menyebut hanya pedagang tahu dari muhara. Dan karena
jumlah pabrik tahu semakin bertambah, jumlah pabrik tahu sekarang ada
25 pabrik tahu. Dan hanya dibentuk koperasi tahu saja, dengan nama al
muawanah, diambil dari nama mesjid yang ada di kampung saya.
15. Bagaimana kondisi ekonomi masyarakat Rangkas bitung khususnyapenjual dan pembuat tahu?
Kondisi ekonomi masyarakat di Rangkasbitung khususnya penjual dan
pembuat tahu, mayoritas mereka sangat sederhana, kalau para pemilik
pabrik tahu, mereka mayoritas punya rumah sendiri walau masih
dikatagorikan sederhana, dan kalau para penjual tahu, mereka mayoritas
masih ngontrak, penghasilan para pedagang tahu dikereta dan dipasar,
kesehariannya mereka mendapatkan 60 ribu sampai 100 ribu perharinya,
itupun tergantung habis dan tidaknya tahu yang dijajakan. Kalu para
pembuat tahu berpenghasilan 70 sampai 90 ribu perhari kerja selama 8
samapi 9 jam, informasi ini saya dapatakan langsung dari kiwong salah
satu tokoh di film dongeng rangkas.
Narasumber 2: Fuad Fauzi (Salah satu sutradara film feature
Dokumenter Dongeng Rangkas dan juga warga asli Rangkasbitung,
Banten)
16. Bagaimana realitas sosial menurut anda?Kata istilah realitas sosial saya pikir baiknya disederhanakan. Menururt
saya padanannya apa dan berakhir diapa? Sekilas kata ini dipahami oleh
saya merupakan sebuah ‘gejala kenyataan masyarakat’. Mudah-mudahan
saya keliru. Gejala dan kenyataan masyarakat itu terbentuk oleh banyak
faktor dan pengaruh.
17. Bagaimana konstruksi realitas sosial itu sendiri?
Saya sama sekali tidak paham ‘kontruksi realitas sosial’ yang anda
maksud? Kontruksi realitas sosial yang mana dan dimana?
18. Bagaimana realitas sosial masyarakat penjual tahu di rangkas bitung
tempat pembuatan film dongeng rangkas?
Tempat pembuatan film ‘dongeng rangkas’ tentang para pekerja tahu di
daerah rangkasbitung yang letaknya di sisi sungai. Ada belasan pabrik
menyatu dengan warga dan pekerjanya. Hampir kebanyakan para pejual
dan pekerja pabrik tahu berasal dari daerah pinggiran kota
rangkasbitung. Mereka berasal dari daerah selatan rangkasbitung.
Karena warga kampung ini banyak pendatang jadi sedikit terbuka
pemikirannya. Untuk menerima kami selama produksi misalnya.
19. Dalam mengkonstruksi realitas itu kenapa menggunakan film
dokumenter feature dalam mediumnya? Apa tujuanya?
Bagi saya film dokumenter adalah potongan-potongan kenyataan.
Apabila disusun akan menghasilkan cerita kenyataan yang panjang. Tapi
pada dasarnya film adalah fiksi. Untuk tujuan, penting sekali
meghadirkan kenyataan-kenyataan kecil dari masyarakat kita dihadirkan
lewat dokumenter. Selagi dokumenternya bukan dibuat untuk kepentingan
industri dan adpokasi LSM. Dokumenter ini dibuat atas dasar
kepentingan estetik film. Mungkin sedikitnya dipengaruhi realisme Italy.
20. Apa motivasi dan tujuan menganggat realitas sosial penjual tahu?
Kenyataan sosial jarang dihadirkan lewat film.Sekalinya dihadirkan
biasanya ceritanya masing ngwang-ngawang. Seperti kisah umum warga
kaya dan miskin. Kadang para pembuat film seringkali membuat film
dokumenter berakhir di tokoh si korban. Eksploitasi si miskin dan
kesenjangan masyarakat. Saya termotivasi untuk membuat film
dokumenter berbeda. Kepingan cerita pekerja tahu dan optimismenya
dalam kehidupan sehari-hari.
21. Pesan atau gagasan apa yang ingin disampaikan kemasyarakat?
Pesan dari filem ini adalah ‘kerja keras dan optimisme’ dalam menjalani
kehidupan.
22. Dari mana anda mendapatkan ide itu untuk diangkat menjadi film
feature dokumenter? Dan kenapa kedua tokoh itu “Kiwong dan Iron”
yang menjadi tokoh dalam film tersebut?
Sama seperti dengan komunitas Juanda di Tangsel. Kami berkolaborasi
dengan forumlenteng dalam produksi film. Idenya dari tulisan kawan-
kawan saijah di rangkasbitung. Dari sekian banyak tulisan kami pilih satu
saja tulisan untuk dibongkar menjadi ide dasarnya. Dari sekian banyak
pekerja tahu yang kami tau dan paling terbuka terhadap kamia adalah
kedua tokoh ini.
23. Bagaimana proses produksiny dari awal sampai akhir? Dan
bagaimana pendanaanya serta kendalanya?
Prosesnya memakan waktu beberapa bulan saja. Sedangkan risetnya
dilakuan oleh kawan saijah sekitar satu tahunan. Pada saat kawan
forumlenteng datang. Riset itu dikembangkan kembali hingga menjadi
kemungkinan-kemungkinan gambaran dokumenter. Pendanaanya
patungan dengan kawan forumlenteng.
24. Seperi apa proses pengemasan film tersebut?
Film disajikan untuk produk kebudayaan masyarakat didaerah pada
umumnya setelah reformasi.
25. Kenapa menggunakan judul Dongeng Rangkas?
Dongeng Rangkas dipilih sebagai judul film karena secara keseluruhan
film ini banyak tuturan lisan dari kedua tokoh.
26. Bagaimana keunikan film feature dokumenter Dongeng Rangkas
dengan film-film laian??
Saya tidak merasa film ini unik. Film ini sama saja dengan film lainnya.
Bedanya adalah sudut pandang dan eksekusi visual film ini.
27. Bagaimana menurut anda ketika sebuah realitas dikonstruksi atau
dibangun menjadi sebuah film feature dokumenter?
Sangat menggembirakan dalam prosesnya. Ada banyak hal baru dan
benturan pandangan. Apalagi film ini digarap oleh banyak kepala. Pada
akhirnya perbedaan itu memebentuk warna-warni sudut pandang dalam
proses pembuatan.
28. Bagaimana sebuah kehidupan penjual tahu dikonstruksi menjadi
film feature dokumenter Dongeng Rangkas?
Biasa-biasa saja.
29. apa nama komunitas penjual tahu tujuan di bentuknya komunitas
dan latar belakang komunitas itu?
Tidak ada komunitas penjual tahu. Yang ada hanya semacam kumpulan
atas dasar kesamaan propesi saja. Seperti iron dan kiwong berkumpul
bersama ketika mereka hendak bekerja atau saat hari libur.
Membiacarakan kebutuhan produksi. Kumpulan itu ada untuk
menunjang kebutuhan simpan pinjam dan solideritas sesama pekerja
tahu. Mereka memiliki kedekatan dengan saya dan kawan saijah karena
mereka suka main musik.
30. Bagaimana kondisi ekonomi masyarakat Rangkas bitung khususnya
penjual dan pembuat tahu?
Saya pikir kondisi ekonomi penjual tahu di lebak pendapatannya tidak
menentu. Tergantung pada harga kedelai nasional. Semakin mahal
harga kedelai maka semakin mahal pula tahu. Setahu saya mereka
mengakalinya dengan membuat ukuran tahu kecil-kecil dan menurunkan
harga menjadi murah. Sekilas pembeli melihat harga tahu murah.
Padahal sama saja jika membandingkan ukuran normal tahu.
Narasumber 3: Syaiful Anwar (Salah satu sutradara film feature
Dokumenter Dongeng Rangkas)
31. Bagaimana realitas sosial masyarakat penjual tahu di rangkasbitung
tempat pembuatan film dongeng rangkas?
Realitas sosial yang ada dalam masyarakat penjual tahu di
Rangkasbitung sama seperti dalam film Dongeng Rangkas. Idenya dari
2008 saat waorkshop akumassa pertama di saidjah forum. Riset dan
workshop hampir sebulan disana, taulah wilayah-wilayah situs,
memetakan. Semacam kayak pemetaan, disana melihat dan disana kayak
muncul (bukan muncul), tapi memang ada penjual, pabrik tahu yang
emang terkenal di rangkas. Kalau orang pada pergi di kereta sampai
kemana…Tanah Abang, Kota (Jakarta) itu, tahunya disana mbuatnya.
Jadi emang, ternyata pabrik tahu yang kebanyakan orang tahu
sumedang ternyata di Rangkas juga banyak.
Itu yang orang rangkasbitung asli atau orang pendatang? Sebenarnya
banyak orang luarnya, cuman sebagian besar orang asli situ dari
Rangkas. Sebenarnya yang di dongeng rangkas itu sendiri idenya adalah
seorang seorang penjual tahu, cuman dia juga bermain music metal. Itu
dari si Iron. Karena dia menjual tahu seperti dari tradisi, turunan dari
keluarganya yang udah jualan tahu sekian lama, entah berapa lama
cuman gue kurang tau persis. Cuman itu kayak jadi turunan ke keluarga,
tapi dilain sisi dia keinginan untuk melampiaskan ideology/ekspresinya
bermain music metal. Dia punya band namnya ‘monster’ dia bermain
musik metal. Dan ide itu ada disemacam permukaan, dan Di tahun 2010
ahirnya, saat yang namanya upgrading di forum lenteng, jadi klanjutan
dari akumassa yang sebulan itu tadi. Kami bareng-bareng membuat itu.
Si Iron ini si penjual tahu ini punya sisi lain yaitu suka musik metal itu.
32. Kenapa milih Iron dan Kiwong, karena itu?
Iya ide dasarnya ituIron musik metal, kalau Kiwong dan kenapa milih si
Kiwong? Kiwong berjalan dari saat produksi, Enggak jadi karena saat
memulai ide tadi, Iron dan Kiwong. Anggaplah Iron si pemusik metal
dan penjual tahu ini berjalan dan kita pecah, kemudian sambil riset
ternyata nemu satu lagi penjual tahu yang asli situ, itu namnya si
Kiwong. Itu adalah adiknya dari si Robb (Badrul Munir) salah satu
angota dari Saidjah Forum. Kiwonng itu salah satu penjual tahu
lokallah. Ya..entah kenapa, tapi emang, karena ini dekat dengan kita,
dalam artian itu dengan Saidjah dan itu bisa di eksplor untuk membuat
film ini. kita coba si Kiwong itu, bareng. Karena dasarnya dia penjual
tahu dan dia orang asli situ. Nah selama temuan produksi itu, banyak
yang menarik yaitu, ketika tahu-tahu di kawasan muara ini terletak di
Rangkasbitung di daerah. Yang dimana banyak pabrik tahu, nah si
Kiwong ini sebagai pembawa.salah satu pembawa tahu-tahu ini keluar
Rangkasbitung, karena dia berjualan di kereta itu. kreta penghubung
dengan Jakarta, di jualan dari siang sampai malam pulang. Dan
rutinitasnya seperti itu, dan dia menemukan berbagai macem cerita yang
seperti ketemu oranglah, seperti meeting points, karena dia ketemu
dengan banyak orang yang berantem, belum lagi dengan para
petugasnya keretanya sendiri, jadi seperti pergulatan di kretanya.
33. Itu realias sebenarnya seperti itu om?
- Iya itu realitasnya seperti itu, karena yaa…dia harus berjualan tahu.
Intinya dia harus berjualan untuk memenuhi hidupnyakan, dan bukan
hanya tahu aja di kreta itu, ada pedagang laian, dan belum lagi dengan
penjual tahu yang lain. Dia harus bersaing. Dan juga harus umpet-
upetan dengan petugas kreta, karena sebenernya itu tidak boleh juga,
jualan di atas kreta. Belum lagi bertemu crita-crita dengan penumpang.
ya mungkin itudapat dikatakan sebagai pengalaman pribadinya yang
kita coba kasih di Dongeng Rangkas.
34. Dalam mengkonstruksi realitas itu kenapa menggunakan film
dokumenter feature dalam mediumnya? Bukan dokumenter yang
lain? Apa tujuanya?
- yaa…sebenernya kan, kalau dilihat dari idenya dan temuan-temuanya,
dari ide dan temuanyanya lebih baik jadi cerita itu, ya maksud gue
dokumenter bercerita (feature)itu.
a. Menurut lo feature itu seperti apa, apa seperti dokumenter yang
lain, atau mendekati fiksi?
hemmm…gimana ya, sebenernya panjang. Gampangnya ini aja, lo
seperti ngebuat. Intinya kita membuat dokumenter yang sama dengan
tivi gitu, dengan melakukan atvokasi, atau membikin-bikin bahwa ini
apa namanya…sedih atau apa? Feature dsini lebih bercerita dengan
gambar, obrolan, atau dengan gambar-gambar yang ada, jadi kalau
gue melihat feature menjadi bentuk yang efektif menyampaikan cerita
di dokumenter ini.
35. Apa motivasi dan tujuan menganggat realitas sosial penjual tahu?
- Ya senernya pas membuat tidak tahu motivasi dan tujuanya. Kalau untuk
penjual tahu tidak ada tujuanya. Jujur. Tapi kalau untuk penjual tahu, itu
termasuk ekonomi yang cukup besar, pengaruh, karena di Rangkas
banyak pabrik tahu selain terkenalnya berjualan bambo.
a. Kenapa tidak penjual bambu aja?
Ya itu tadi karena temannya tadi ada si Iron dan music metal, dan ide
dasarnya itu. Kalau bambu itu mungkin bisa, karena kedekatanya
dengan Iron dan kiwong dan menemukan hal-hal yang lain tentang
penjual tahu ini. tapi kalau tujuanya dokumenter ini untuk saidjah
forum, untuk meningkatkan kapasitas, ini menjadi film mereka, dan
menjadi bahan mereka menjadi posisi mereka di Rangkas dan di luar
Rangkas. Dengan film tentang daerahnya sendiri yang baik.
b. Untuk edukasi untuk orang lain tidak?
Itu tergantung orang yang menontonya, dan menginterpretasikannya.
36. Pesan apa yang ingin disampaikan kemasyarakat?
Pesanya ya sebenrnya tentang filmnya aja, jadi bukan ide dari tukang
tahu, tetapi film itu bukan seperti yang ada di tv, penjual tahu yang sedih
dan ini itu, cuman ini kayak ngebangun optimis, atau kita ngebuatnya
selalu begitu. Film itu bukan seperti barang dagangan untuk dijual,
namun sebagai informasi atau sebagai… ya maksud gue, ya gampangnya
adalah Film punya bahasa sendiri yang orang lain bisa
menginterpretasikan jauh dari yang ada. Sepertinya intinya bukan
televisi atau bukan barang daganganlah. Eksploitasi subjek-ubjek yang
ada dalam filmnya.
37. Bugeting dalam memproduksi film ini bagaimana?
- Tadi gue bilang ini adalah upgrading, bohong kalau tidak ada buget
sama sekali. Ya ada tapi minim, kalau untuk dibuat film dokumenter
panjang seperti ini, feature panjang, itu bisa dikategorikan minim, tapi
e…karena ini upgrading dan program akumassa, akumassa dari Forum
Lenteng ada bisaya dari situ, punya funding jadi ada biaya.walaupun
tidak besar tapi ada biayanya untuk peoduksi sampai distribusi film ini.
a. Proses distribusinya seperti apa?
Yaa…apa ya? Sebenarnya ada tujanya untuk edukasi atau
edukatif. Kita akan mengasih untuk kepentingan belajar,
pendidikan, yaitu menaroknya di perpustakaan kampus,
Komunitas atau siapapun untuk kepentingan pendidikan, jadi di
beri gratis. Distribusi selama ini sampai saat ini seperti itu. yang
kedua berapa kali masuk..dicobalah masuk berapa festival, dan
ini cukup diterima, satu di Korea, dan di dalam negeripun jadi
juara satu di festival dokumenter di jogja. Itu salah satu distribusi
unyuk di film ini tau film Forum Lenteng.
38. Apa kendalanya dalam membuat film tersebut?
yaa.. ini aja si..sebenarnya paling dasar ini, ini kerja kolaboratif, ada
forum lenteng, ada saidjah forum terusnya kita membuat film
dokumenter yan dapat kita katakana berusaha professional itu adalah
dengan menggunakan kamera yang baik, dan menulis skenarionya atau
asumsinya. Kalua itu kolaboraif makanya agak di kejar, dalam artian
kita berusaha anggota saidjah bisa me geerti akan hal itu, jadi katakana
egual/ sejajar. Ini membuat dokumenter yang kolaboratif menggunakan
alatnyapun baru, kalau ini sudah sejajar mungkin ceritanya akan laian.
39. Seperi apa proses produksi film tersebut?
- produksi pada tahun 2010,kurang lebih proses produksi selama dua
minggu syuting, dan sempat ada yang kurang footage dan balik
lagi.cuma sekali balik. Dan balik lagi ke Jakarta, kita ngedit di Forum
Lenteng, ngeditnya bisa dibilang rame-ramelah. Tapi ngeditnya Hafiz an
ague.
a. Konsep membuat ceritanya didiskusiin ramai-ramai, atau
cuma sutradara dan editor?
Enggak, apa namnya karena ini ramai-ramai tidak ada sutradara
editor, jadi lebih tepatnya karena di tuliskan, karena ini
kolaboratif. Realisasinya bareng-bareng, jadi saat ngedit kita
akan menyusun seperti apa, bareng-bareng duduk dan dibuat di
computer. Yaa,,kayak semacam diskusi story boardnya kayak
gimana, karena selama produskinyapun kita sudah bisa
ngebayanginkan membuat tokoh-tokoh ini menjadi cerita di
filmnya nanti. Di Jakarta tingal cuma mengemas gimana
enaknya. Mulai dari apa dan akan bagaimana. Cerita tentang ini
atau bagaimana.
b. Film tersebutkan di Edit berdasarkan diskusi, apakah jalan
ceritanya akan disama dengan realitasnya yang sebenernya?
Ya pasti berubah…kalau menurut gue pasti berubah, karena tidak
mungkin disamakan dengan realitas disana dengan di film. Dan
tidak pasti sama itu. maksud gue lo sudah dapat ang baru realitas
ada si Kiwong dan Iron, kita akan membuat realitas film. Jadi
realitas film ya Iron yang bermusik metal underground, dan si
Kiwong dengan pergulatan di kreta dan keluarga. Ya pasti akan
selalu berkembang.selama ngedit pun atau disukusi. Walapun
asumsi atau ceritanya sudah ada saat syuting,dan saat ngditpun
akan berkembang. ya mungkin, buka bergeser, tapi ya
berkembangnya pasti ada, berkembangnya si tokoh atau
ceritanya.
40. Bagaimana sebuah kehidupan penjual tahu dikonstruksi menjadi film
feature dokumenter Dongeng Rangkas? Apa menjadi sebuah realitas
lagi atau apa?
yaa.. itu sebenernya gue pribadi bilang, sudah tidak ada realitas dalam
film, yang ada ya realitas film, kenpa itu, karena suda di frame, dibentuk
oleh sutradara, atau di edit, karena untuk ngebangun si tokoh ya pasti itu
akan ada konstruksi itu, atau asumsi si sutradara yang mejadi subjektif
gak lagi menjadi objektif, tapi bagaimna… maksud gue cerita-cerita ini
menjadi mendekati realitas yang sebenernya gitu. Kita berusaha
meminimalisir cerita itu jadi, mkasud gue jadi yang di tv tadi. Gak ada di
Dongeng Rangkas kayak sedih-sedih, karena emang sebenernyakan ini
orangnya mah fun-fun aja seneng, dia walapun penjual tahu dan suka
music underground, walapun Kiwong anakny… hidup di kamar…dia tidak
merasa sedit, tapi biasa aja. Di tetap optimis.
POTONGAN ADEGAN FILM FEATURE DOKUMENTER DONGENG RANGKAS