oleh maulizan za aidil syah putra syarfuni · secara umum stereotip adalah pelabelan atau penandaan...
TRANSCRIPT
ISU GENDER DALAM PENDIDIKAN
(ISU-ISU KRITIS DALAM PENDIDIKAN)
.
OLEH
MAULIZAN ZA
AIDIL SYAH PUTRA
SYARFUNI
PROGRAM DOKTOR PENDIDIKAN BAHASA
PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2017
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah Swt. karena berkat rahmat dan hidayah-
Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Penyusunan makalah ini
tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini dengan ketulusan hati penulis
mengucapkan terima kasih yang tak terhingga terutama sekali kepada:
1. Prof. Dr. Aceng Rahmat. M.Pd. selaku dosen pengampu mata
kuliah Isu – Isu Kritis Dalam Pendidikan, yang telah banyak
memberikan arahan serta bimbingannya.
2. Teman-teman seperjuangan yang telah bersedia memberikan
masukan dan bantuan baik berupa moril maupun materil dalam
menyelesaikan makalah ini.
Penulis sudah berusaha menyusun makalah ini dengan sebaik-
baiknya, namun jika terdapat kekurangan dan kesalahan, dengan segala
kerendahan hati penulis menerima saran dan kritikan yang bersifat
membangun. Akhirnya dengan segenap harapan semoga makalah ini
dapat memberikan tambahan pemahaman bagi pembaca terutama bagi
pribadi penulis.
Jakarta, 14 Februari 2017
Penulis
iii
DAFTAR ISI
COVER ................................................................................................ i
DAFTAR ISI ......................................................................................... ii
Kata Pengantar .................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Pendahuluan ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 6
A. Pengertian Gender ................................................................... 6
B. Ketidaksetaraan Gender dan Bentuk Ketidaksetaraan ............. 7
C. Stereotip Gender ....................................................................... 8
D. Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan ................................ 9
E. Faktor-Faktor Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan ....... 10
F. Problematika Gender di Indonesia ............................................ 12
BAB III KESIMPULAN ................................................................................. 14
A. Kesimpulan .............................................................................. 14
B. Rekomendasi ........................................................................... 14
Daftar Pustaka .............................................................................................. 15
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Isu gender di era global adalah masalah penindasan dan eksploitasi,
kekerasan, dan persamaan hak dalam keluarga, masyarakat, dan negara.
Masalah yang sering muncul adalah perdagangan perempuan, dan pelacuran
paksa, yang umumnya timbul dari berbagai faktor yang saling terkait, antara
lain dampak negatif dari proses urbanisasi, relatif tingginya angka kemiskinan
dan pengangguran, serta rendahnya tingkat pendidikan.
Mengapa terjadi "perbedaan" gender? Terbentuknya perbedaan
gender dikarenakan oleh banyak hal diantaranya dibentuk, disosialisasikan,
diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural melalui ajaran
keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang, sosialisasi gender
tersebut akhirnya dianggap seolah-olah ketentuan Tuhan. Sebaliknya melalui
dialektika konstruksi sosial gender secara evolusional dan perlahan-lahan
mempengaruhi biologis masing-masing.
Perbedaan gender sebenarnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak
melahirkan ketidakadilan gender. Masalah itu akan muncul ketika perbedaan
gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, terutama bagi kaum
perempuan. Untuk memahami bagaimana keadilan gender menyebabkan
ketidakadilan gender perlu dilihat manifestasi ketidakadilan dalam berbagai
bentuknya, seperti marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi,
2
subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik,
pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence),
beban kerja lebih panjang dan lebih lama (burden), serta sosialisasi ideologi
nilai peran gender1.
Lalu apa itu gender? Istilah Gender sendiri menurut Oakley (1972)
dalam Sex, Gender dan Society berarti perbedaan atau jenis kelamin yang
bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis jenis kelamin
(sex) merupakan kodrat Tuhan dan oleh karenanya secara permanent dan
universal berbeda2. Sementara ”gender” adalah behavioral differences antara
laki-laki dan perempuan yang socially constructed, yakti perbedaan yang
bukan kodrat atau bukan ciptaan Tuhan melainkan diciptakan oleh baik laki-
laki dan perempuan melalui proses social dan budaya yang panjang.
Sedangkan menurut Caplan (1987) dalam The Cultural Construction of
Sexuality menegaskan bahwa perbedaan perilaku antara laki-laki dan
perempuan selain biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses
social dan cultural3. Oleh karena itu gender berubah dari waktu ke waktu, dari
tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas, sementara jenis kelamin
biologis (sex) akan tetap tidak berubah. Gender dalam pengertian ilmu social
diartikan sebagai pola relasi lelaki dan perempuan yang didasarkan pada ciri
social masing-masing. Tercakup didalamnya pembagian kerja, pola relasi
1 Mansour fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1997. H 13 2 Oakley, Aan. Sex, Gender and Society. London: Temple Smith. 1972
3Caplan, P. Cultural Construction of Sexuality. London: Tavistock publication. (1987).
3
kuasa, perilaku, peralatan, bahasa, persepsi yang membedakan lelaki
dengan perempuan dan banyak lagi.
Pada kenyataanya hasil kontruksi sosial yang ada (gender) sering kali
kurang menguntungkan bagi kaum perempuan. Baik itu dalam
implementasinya di dunia pendidikan maupun lapangan pekerjaan.
Perempuan misalnya, ketika ia bersolek diasumsikan dalam rangka
memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau
pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotip (pelabelan negatif) ini.
Masyarakat yang selama ini beranggapan bahwa tugas perempuan adalah
melayani suami, akan berakibat wajar jika pendidikan perempuan
dinomorduakan. Padahal di sekolah siswa perempuan umumnya memiliki
prestasi akademik yang lebih baik jika dibandingkan laki-laki.
Sebagai pranata social, gender bukan sesuatu yang baku dan tidak
berlaku universal. Artinya, berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain
dan dari satu waktu ke lainnya. Jadi, pola relasi gender di yogyakarta
misalnya sangat berbeda dengan di aceh, berbeda dengan di Saudi Arabia
dan sebagainya. ( Wardah Hafidz, MA : Pola relasi gender dan
permasalahannya). Jadi, konsep gender ialah suatu sifat laki-laki dan
perempuan yang dikonstruksi oleh masyarakat baik secara kultural maupun
sistemik. Misalnya perempuan secara kultural dikenal lemah lembut, cantik,
emosional atau keibuan, sedangkan laki-laki dikenal kuat, rasional jantan dan
perkasa.
4
Ironisnya, pendidikan yang diyakini sebagai modal utama dalam
membentuk tatanan kehidupan yang lebih berperadaban, justru menjadi
ajang sosialisasi bias gender. Dengan kata lain sekolah sebagai institusi
pendidikan formal, sesungguhnya bukan sekedar memiliki fungsi sebagai
lembaga pendidikan, namun juga merupakan sarana sosialisasi kebudayaan
yang dalam prosesnya berlangsung secara formal. Gender sebagai bagian
dari kebudayaan, proses sosialisasi juga berlangsung di sekolah. Sekolah
melakukan transfer nilai- nilai dan norma- norma yang berlaku dalam
masyarakat, termasuk nilai dan norma gender. Nilai dan norma tersebut
ditransfer secara lugas maupun tersembunyi, baik melalui teks tertulis dalam
buku pelajaran, maupun dalam perlakuan-perlakuan yang mencerminkan
nilai dan norma gender yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat.
Perempuan juga sering mendapatkan stigma-stigma atau label-label
yang merugikan kaum perempuan dari masyarakat, misalnya : emosional,
tukang ngrumpi, tidak rasional, cerewet, pesolek, genit, penakut sehingga
beberapa pekerjaan atau posisi penting tidak diberikan kepada perempuan
karena takut gagal. Sementara itu, sesungguhnya keadaan seperti di atas
biasanya terjadi sebagai akibat dari ketidakadilan yang ditanggung oleh
perempuan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan diatas yang menjadi rumusan masalah
dalam makalah ini adalah:
5
1) Pengertian Gender
2) ketidaksetaraan dan bentuk ketidaksetaraan gender.
3) Gender dan Stereotip
4) Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan
5) Problematika Gender di Indonesia
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gender
Gender merupakan perbedaan antara perempuan dan laki yang
dikontruksi secara sosial bukan berdasarkan perbedaan biologis semata4. Hal
yang hampir sama dikemukakan Moser (1993) gender adalah peran sosial
yang terbentuk dalam masyarakat5. Perbedaan peran gender ini terbentuk
oleh faktor-faktor ideologis, sejarah, etnis, ekonomi dan kebudayaan. Gender
adalah perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan bukan secara
biologis, melainkan terbentuk melalui proses sosial dan kultural. Gender
dapat berubah sementara jenis kelamin biologis akan tetap tidak berubah6
(Grewal & Kaplan, 2002).
Sementara itu menurut Mosse (1996) gender merupakan seperangkat
peran yang diberikan kepada perempuan dan laki-laki, bukan secara biologis
dan peran ini dapat berubah sesuai dengan budaya, kelas sosial, usia dan
latar belakang etnis. Gender menentukan berbagai pengalaman hidup, yang
4 Unger, R., & Crawford. (1992). Women and Gender a Feminist Psychology, New York: McGraw_Hill
Inc. 5 Mosse, J. C. (1996). Gender dan Pembangunan, Yogyakarta: Rifka Annisa WCC & Pustaka Pelajar
6 Grewal, I., & Kaplan, C. (2002). An introduction Women's Studies, New York: McGraw- Hill
Companies Inc.
7
dapat menentukan akses terhadap pendidikan, kerja, alat-alat dan sumber
daya7.
Gender berkaitan dengan kualitas dan relasi yang dibentuk dalam
hubungan kekuasaan dan dominasi dalam struktur kesempatan hidup
perempuan dan laki-laki, pembagian kerja yang lebih luas dan pada
gilirannya berakar pada kondisi produksi dan reproduksi yang diperkuat oleh
sistem budaya, agama dan ideologi yang berlaku dalam masyarakat8. Gender
adalah suatu kontruksi sosial yang mengkategorikan perempuan dan laki-laki
berdasarkan persepsi dan perasaan. Gender bervariasi berdasarkan waktu,
tempat, budaya serta pengalaman hidup9.
Oleh karena itu dapat disimpulkan pengertian gender berbeda dengan
jenis kelamin, jenis kelamin adalah perbedaan biologis antara perempuan
dan laki-laki, berlaku secara umum, tidak dapat berubah, dan merupakan
kodrat dari Tuhan. Sedangkan gender lebih berhubungan dengan perbedaan
perempuan dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial, budaya dan
psikologis.
B. Ketidaksetaraan Gender dan Bentuk Ketidaksetaraan
Gender merupakan sifat yang dilekatkan pada laki- laki dan
perempuan oleh budaya masyarakat. Sifat itu bisa dipertukarkan dan dirubah,
karena sifat tidak alami. Perubahan itu bisa terjadi karena adanya
Ibid 8 Ostergaard, L. (1992). Gender and Development Apractical Guide, New York: Routledge.
9 Bradley, H. (2007). Gender. Cambridge: Polity Press.
8
kesadaran/penyadaran bahwa peran-peran yang selama ini dilekatkan pada
laki- laki dan perempuan, maskulin- feminim yang bukan kodrat seperti hamil,
melahirkan, menyusui, dan lain- lain, bisa dirubah atau dipertukarkan.
Menurut Nurhaeni (2009) ketidaksetaraan gender adalah perlakuan
diskriminatif/berbeda yang diterima perempuan atau laki-laki10. Perlakuan ini
diberikan bukan berdasarkan atas kompetensi, aspirasi dan keinginannya
sehingga merugikan salah satu jenis kelamin. Ketidaksetaraan gender adalah
ketidakadilan bagi perempuan atau pun laki-laki berdasarkan sistem dan
struktur yang ada. Manifestasi yaitu marjinalisasi, subordinasi, stereotip,
kekerasan dan beban kerja11.
Gender ini bisa berubah karena skill atau kualitas seseorang. Suatu
peran sosial, seperti jabatan atau profesi tertentu bisa dipegang atau dijalani
siapa saja laki- laki maupun perempuan. Syaratnya dia harus mempunyai skill
atau kualitas yang memadai dibidang itu, jadi yang menentukan bukan jenis
kelamin tetapi skill dan kualitasnya.
Ketidaksetaraan gender disebabkan oleh akses, partisipasi dan kontrol
yang tidak seimbang bagi perempuan dalam mencapai sumber daya12.
Pembagian peran, tidak akan menjadi masalah selama perempuan dan laki-
laki diperlakuan secara adil, sesuai kebutuhannya dan tidak merugikan salah
satu jenis kelamin. Feminism dan maskulin digunakan sebagai dasar untuk
10
Nurhaeni, I. D. (2009). Reformasi Kebijakan Pendidikan Menuju Kesetaraan dan Keadilan Gender, Surakarta: UNS Press. 11
Fakih, M. (2008). Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Jakarta: Insist Press. 12
Moser, CON. (1993). Gender Planning and Development: Theory, Practice, and Training, London : Routledge
9
memperlakukan kedua jenis kelamin secara berbeda dan merugikan salah
satu jenis kelamin, maka telah terjadi ketidaksetaraan gender.
Manifestasi ketidaksetaraan gender telah terjadi di berbagai tingkatan,
bidang dan mengakar dari mulai keyakinan di setiap masing- masing orang,
keluarga, hingga tingkat negara yang bersifat global. Salah satu
ketidaksetaraan gender yang berkembang dalam masyarakat adalah bidang
pendidikan.
C. Stereotip Gender
Secara umum stereotip adalah pelabelan atau penandaan pada suatu
kelompok tertentu. Stereotip yang merugikan dan menimbulkan ketidakadilan
terhadap jenis kelamin tertentu, yaitu perempuan. Stereotip yang asalnya dari
asumsi bahwa perempuan bersolek merupakan upaya memancing lawan
jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu
dikaitkan dengan stereotip ini. Bahkan jika ada pemerkosaan yang dialami
perempuan,masyarakat cenderung menyalahkan korbannya. Masyarakat
memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani
suami, stereotip ini menjadi wajar sekali jika pendidikan kaum perempuan
dinomorduakan.
D. Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan
Ketidaksetaraan gender secara menyeluruh adalah akibat dari latar
belakang pendidikan yang belum setara. Ada 3 hal permasalahan yakni :
10
kesempatan, jenjang dan kurikulum (Suryadi & Idris, 2004). Menurut
Suleeman (1995) ketidaksetaraan gender dalam pendidikan adalah
perbedaan dalam hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki
dalammengecap pendidikan formal. Ketidaksetaraan gender dalam
pendidikan dapat dilihat dari indikator kuantitatif yakni angka melek huruf,
angka partisipasi sekolah, pilihan bidang studi, dan komposisi staf pengajar
dan kepala sekolah (Van Bemmelen,1995).
Ketidaksetaraan gender bidang pendidikan banyak merugikan
perempuan, hal tersebut dapat dilihat, anak perempuan cenderung putus
sekolah ketika keuangan keluarga tidak mencukupi, perempuan harus
bertanggung jawab terhadap pekerjaan rumah tangga, selain itu pendidikan
yang rendah pada perempuan menyebabkan mereka banyak terkonsentrasi
pada pekerjaan informal dengan upah rendah.
E. Faktor-Faktor Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan
Bias gender ini tidak hanya berlangsung dan disosialisasikan melalui
proses serta sistem pembelajaran di sekolah, tetapi juga melalui pendidikan
dalam lingkungan keluarga. Stereotip gender yang berkembang di
masyarakat telah mengkotak-kotakkan peran apa yang pantas bagi
perempuan dan laki- laki. Hal ini disebabkan oleh nilai dan sikap yang
dipengaruhi faktor-faktor sosial budaya masyarakat yang secara melembaga
telah memisahkan gender ke dalam peran-peran sosial yang berlainan.
Faktor yang menjadi alasan pokok yang penyebab ketidaksetaraan
11
gender menurut Suleeman (1995) yaitu: 1). Semakin tinggi tingkat pendidikan
formal semakin terbatas jumlah sekolah yang tersedia, 2). Semakin tinggi
tingkat pendidikan semakin mahal biaya untuk bersekolah, 3). Investasi
dalam pendidikan juga seringkali tidak dapat mereka rasakan karena anak
perempuan menjadi anggota keluarga suami setelah mereka
menikah.Sedangkan faktor-faktor penentuketidaksetaraan gender di
bidang pendidikan menurut Van Bemmelen (2003) meliputi: 1). Akses
perempuan dalam pendidikan, 2). Nilai gender yang dianut oleh masyarakat,
3). Nilai dan peran gender yang terdapat dalam buku ajar, 4). Nilai gender
yang ditanamkan oleh guru, 5). Kebijakan yang bias gender Suryadi dan Idris
(2004) mengkategorikan faktor-faktor kesenjangan gender bidang pendidikan
ke dalam 4 aspek yaitu: 1). Akses adalah peluang atau kesempatan dalam
memperoleh atau menggunakan sumber daya tertentu, 2). Partisipasi adalah
keikutsertaan tau peran seseorang/kelompok dalam suatu kegiatan dan atau
dalam pengambilan keputusan, 3). Kontrol adalah penguasaan atau
wewenang atau kekuatan untuk mengambil keputusan, 4). Manfaat adalah
kegunaan sumber yang dapat dinikmati secara optimal.
Studi yang dilakukan Suryadi (2001) menemukan bahwa pilihan
keluarga yang kurang beruntung memberikan prioritas bagi anak laki-laki
untuk sekolah dengan alasan biaya, bukan hanya dilandasi oleh pikiran kolot
dan tradisional semata, tetapi juga dilandasi dengan pengalaman empirik
bahwa tingkat balikan (rate of return) terhadap pendidikan perempuan yang
lebih rendah. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa rata-rata penghasilan
12
pekerja perempuan secara empirik memang lebih rendah dibandingkan
penghasilan pekerja laki-laki. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan
bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketidaksetaraan gender
dalam pendidikan antara lain nilai, akses, partisipasi, control dan manfaat.
Nilai yang berkembang dalam masyarakat yang mengkotak-kotakan peran
laki-laki dan perempuan dapat mempengaruhi stereotip gender.
F. Problematika Gender di Indonesia
Kesetaraan gender dimaknai sebagai kesamaan kondisi bagi laki laki
dan perempuan untuk memperoleh kesempatan sertahak-haknya sebagai
manusia dalam berperan dan perpartisipasi, melakukan control dan
menerima manfaat pembangunan di segala bidang kehidupan. Dalam realitas
kehidupan telah terjadi perbedaan peran sosial laki-laki dan perempuan yang
melahirkan perbedaan status sosial di masyarakat, dimana laki-laki lebih
diunggulkan dari perempuan melalui konstruksi sosial. Perbedaan gender
antara laki-laki dan perempuan ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut
membentuk, yang kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dibentuk
melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan
mitos-mitos. Perbedaan jenis kelamin sering dipergunakan masyarakat untuk
membentuk pembagian peran (kerja) laki-laki danperempuan atas dasar
perbedaan tersebut. Akibatnya terjadilahpembagian peran gender yaitu peran
domestik dan peran publik. Peran domestik cenderung tidak menghasilkan
uang, kekuasaan,dan pengaruh. Peran ini lebih banyak diserahkan kepada
13
kaum perempuan, sedangkan peran publik yang menghasilkan uang,
kekuasaan dan pengaruh diserahkan kepada kaum laki-laki.Akibat
pembagian kerja yang tidak seimbang melahirkan ketimpangan peran laki-
laki dan perempuan yang berakibatketidakadilan gender yang merugikan
perempuan.
Di Indonesia, ketimpangan gender terlihat dari segala aspek antara
lain dalam lingkungan keluarga, kependudukan, pendidikan, ekonomi,
pekerjaan, dan dalam pemerintahan. Perbedaan peran antara laki-laki dan
perempuan yang tidak seimbang ini juga sangat dipengaruhi oleh budaya dan
kultural masyarakat Indonesia yang terdiri dari banyak etnis dan buku. Setiap
masyarakat suku di Indonesia mempunyai ciri khastersendiri dalam
memaknai peran gender di Indonesia. Namun demikian, secara umum
menunjukkan bahwa ada dominasi lakilakidalam kehidupan sehari-hari.
14
BAB III
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Isu gender dalam pendidikan di indonesia merupakan masalah pokok
yang tidak boleh diabaikan. Mengingatnya banyaknya kaum peremuan yang
mengatasnamakan fenimisme yang menuntut kesamaan hak antara laki-laki
dan perempuan. Menurut hemat penulis tuntutan persamaan hak dimaksud
perlu diperjelas (memilki pegangan yang kuat) dengan bukti yang sahih
seperti dalam kitab suci sehingga tidak menuntut kesetaraan berdasarkan
rasional belaka. Karena setara dan adil bukan berarti sama.
B. Rekomendasi
Pemerintah dituntut lebih bertangung jawab terhadap warga negara
dalam penyetaraan gender khusunya dalam bidang pendidikan sesuai
dengan undang-undang yang berlaku norma Negara. Bagi masyarakat
hendaknya menyaring isu-isu gender yang berkembang serta mendukung
kesetaraan gender dalam lingkungan masyarakat. Khususnya bagi pelaku
penuntut kesetaraan gender agar tidak menggunakan rasionalisme daripada
aturan yang berlaku sehingga tidak timbul kegaduhan karena isuyang tidak
jelas. Singkatnya berpikir sebelum bertindak dan tanyakan kepada ahlinya
terkait isu gender dalam pendidikan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Bainar (Ed.) 1998. Wacana Perempuan dalam keindonesiaan dan Kemodernan. Jakarta: Pustaka Cidesindo
Caplan, P. Cultural Construction of Sexuality. London: Tavistock publication. (1987).
O'Neil, William. 2002. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Oakley, Aan. Sex, Gender and Society. London: Temple Smith. 1972
Freire, Paulo dkk. 1999. Menggugat Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Macdonald, Mandy dkk. 1999. Gender dan Perubahan Organisasi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Macdonald, Mandy dkk. (1999). Gender dan Perubahan Organisasi:
Menjembatani Kesenjangan antara Kebijakan dan Praktik. Alih bahsa: Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mansour Fakih. (1997). Analisis Gender dan Transformasi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. II. Nasaruddin Umar. (1999). Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an.
Jakarta: Paramadina. ----------. (2006). “Perspektif Jender dalam Islam”. dalam Jurnal Pemikiran
Islam PARAMADINA. Jakarta Selatan: Penerbit Yayasan Paramadina. http://media.isnet. org/islam/Paramadina/Jurnal/Jender2.html#r116 download 6 Januari 2006.
N.M. Shaikh. (1991). Woman in Muslim Society. New Delhi: Kitab Bhavan. Cet. I. Nurul Agustina. (1994). “Tradisionalisme Islam dan Feminisme”. Dalam Jurnal
Ulumul Qur’an. (Edisi Khusus) No. 5 dan 6, Vol. V. Tholkhah, Imam dkk. 2004. Membuka Jendela Pendidikan. Jakarta: Raja
Grafindo Persada