file · web viewtujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar dapat lebih memahami...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam berdarah dengue adalah penyakit yang terutama terdapat pada
anak remaja atau orang dewasa, dengan tanda-tanda klinis demam, nyeri otot
atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, nyeri pada penggerakan bola
mata, trombositopenia ringan dan bintik-bintik pendarahan (petekie) spontan
(Hendrawanto, 2004).
Pada tahun 1953, Quaintos dkk melaporkan kasus DBD di Filifina,
kemudian disusul negara lain seperti Thailand dan Vietnam. Kasus DB pertama
kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1986 (di Jakarta dan Surabaya). Pada
tahun-tahun selanjutnya DB cenderung meningkat (Mekadiana, 2007).
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia terutama di kota besar. Di Indonesia pada tahun 2008,
insiden DBD adalah 60,02 per 100 000 penduduk dengan case fatality rate
(CFR) 0,86%. DKI Jakarta merupakan salah satu kota besar di Indonesia
dengan jumlah penderita DBD terbanyak (DKK DKI Jakarta).
Menurut Data Dinas Kesehatan kota padang, pada awal tahun 2010
jumlah kasus DBD sebanyak 1045 kasus dengan 2 kematian , ini turun
dibanding tahun 2009 (1586 kasus) dan tahun 2008 (1219 kasus dengan 6
kematian). Kasus terbanyak terjadi pada bulan Januari (240) kasus dan
Februari (181 kasus), sedangkan kasus yang paling sedikit terjadi pada bulan
Desember sebanyak 20 kasus. Kasus terbanyak terjadi pada wilayah
Puskesmas Belimbing sebanyak 149 , diikuti Puskesmas Lubuk Buaya
sebanyak 125 kasus, dan Puskesmas Andalas 87 kasus. Kasus yang paling
sedikit terjadi pada Puskesmas Bungus sebanyak 7 kasus.
Untuk mengantisipasi terjadinya penyebaran kasus, maka dilakukan
fogging focus yang bertujuan untuk memutus mata rantai penularan.
Disamping itu tetap di sarankan pada masyarakat untuk tetap melakukan PSN
di rumah maupun kelurahan masing – masing . Dari jumlah kasus diatas bisa
dihitung CFR nya yaitu 0,19 % dari jumlah kasus, dengan insidens rate nya
122 / 100.000 penduduk (DKK Padang, 2011).
1
Di Indonesia pengaruh musim terhadap demam berdarah dengue tidak
begitu jelas, tetapi dalam garis besar dapat dikemukakan bahwa jumlah
penderita antara bulan Maret – Mei. Secara keseluruhan tidak terdapat pada
bedaan atara jenis kelamin penderita, tetapi kematian ditemukan lebih banyak
pada perempuan dari pada laki-laki. Penderita DHF yang tidak mendapat
pengobatan dan perawatan akan menimbulkan dampak seperti perdarahan pada
semua organ, ensepalopati dan penurunan kesadaran. Maka dari itu sangat
diperlukan peran perawat, untuk memberikan asuhan keperawatan yang
komprehensif untuk mencegah komplikasi yang terjadi. Melihat fenomena
diatas maka kelompok merasa tertarik untuk membahas tentang “Asuhan
Keperawatan dengan DHF” (Sesideswita, 2011).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar dapat lebih memahami
tentang Demam Berdarah Dengue dan memahami Asuhan Keperawatan pada
Pasien Dewasa dengan DBD.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui dan Memahami Defenisi Demam Berdarah Dengue (DBD).
b. Mengetahui dan Memahami Etiologi Demam Berdarah Dengue (DBD).
c. Mengetahui dan Memahami Patofisiologi Demam Berdarah Dengue
(DBD).
d. Mengetahui dan Memahami Klasifikasi Demam Berdarah Dengue
(DBD).
e. Mengetahui dan Memahami Tanda dan Gejala Demam Berdarah
Dengue (DBD).
f. Mengetahui dan Memahami Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis
Demam Berdarah Dengue (DBD).
g. Mengetahui dan Memahami Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue
(DBD).
h. Mengetahui dan Memahami Komplikasi Demam Berdarah Dengue
(DBD).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Epidemiologi
Di Indonesia, demam berdarah dengue (DBD) pertama kali dicurigai
di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada
tahun 1970. Di Jakarta, kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian
DBD berturut-turut dilaporkan di Bandung dan Jogjakarta (1972). Epedemi
pertama di luar Jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan
Lampung, disusul oleh Riau, Sulawesi Utara dan Bali (1973). Pada tahun
1974, epidemi dilaporkan di Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggaa Barat.
Pada tahun 1994 DBD telah menyebar ke seluruh (27) propinsi di Indonesia.
Pada saat ini DBD sudah endemis di banyak kota besar, bahkan sejak tahun
1975 penyakit ini telah terjangkit di daerah pedesaan (Irawan, 2005).
Berdasarkan jumlah kasus DBD, Indonesia menempati urutan kedua
setelah Thailand. Sejak tahun 1968 angka kesakitan rata-rata DBD di
Indonesia terus meningkat dari 0,05 (1968) menjadi 8,14 (1973), 8,65 (1983)
dan mencapai angka tertinggi pada tahun 1988 yaitu 27,09 per 100.000
penduduk dengan jumlah penderita sebanyak 47.573 orang, 1.527 orang
penderita dilaporkan meninggal.
Walaupun angka kesakitan rata-rata DBD di Indonesia cenderung
meningkat, suatu hal yang menggembirakan ialah angka kematian (Case
Fatality Rate = CFR) secara drastis menurun dari 41,3 % pada tahun 1968
menjadi 3 % pada tahun 1984. Sejak tahun 1991 CFR terlihat stabil di bawah
3%.
Jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) relatif turun setiap
tahunnya. Angka kematian penduduk atau case fatality rate (CFR) dan
penularan atau inciden rate (IR) juga merosot. Data Kementerian Kesehatan
(Kemenkes), kasus DBD secara nasional 2011 cenderung menurun jika
dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2009 jumlah kasus 158.912 dengan
korban meninggal 1.420 orang. Sedangkan IR 68,22/100.000 penduduk dan
CFR 0,89 persen. Pada 2010, jumlah kasus hanya 156.086 dengan korban
3
meninggal 1.358 orang. IR sebesar 65,70/100.000 penduduk dan CFR 0,87
persen. Sementara hingga Oktober 2011, jumlah kasus 49.486 dengan korban
meninggal 403 orang. IR 20,83/100.000 penduduk dan CFR 0,81 persen
(www.padang-today.com).
Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan dari berbagai negara
bervariasi dan disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain status umur
penduduk, kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus dengue, dan kondisi
meteologis.
Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu jelas, tetapi
dalam garis besar dapat dikemukakan bahwa jumlah penderita meningkat
antara bulan September sampai Februari yang mencapai puncaknya pada
bulan januari. Di daerah urban berpenduduk padat puncak penderita ialah
bulan juni/juli bertepatan dengan awal musim kemarau.
B. Anatomi Fisiologi
Darah merupakan salah satu komponen penting yang ada di dalam
tubuh manusia. Sebab darah berfungsi, mengalirkan zat – zat atau nutrisi yang
di butuhkan tubuh, kemudian mengalirkan karbondioksida hasil metabolisme
untuk di buang. ada empat fungsi utama darah, yaitu memberikan suplai
oksigen keseluruh jaringan tubuh, membawa nutrisi, membersihkan sisa-sisa
metabolisme dan membawa zat antibody.
Komposisi darah. Darah kita mengandung beberapa jenis sel yang yang
tersangkut di dalam cairan kuning yang disebut plasma darah. Plasma darah
tersusun atas 90% air yang mengandung sari makanan, protein, hormone, dan
endapan kotoran selain sel-sel darah.
Ada 3 jenis sel darah yaitu sel darah merah (eritrosit), sel darah putih
(leukosit) dan keeping darah (trombosit).Sel darah merah dan sel darah putih
di sebut juga korpuskel
1. Sel darah merah
Sel darah merah berbentuk piringan pipih yang menyerupai donat.
45% darah tersusun atas sel darah merah yang di hasilkan di sumsum
tulang. Dalam setiap 1 cm kubik darah terdapat 5,5 juta sel. Jumlah sel
4
darah merah yang diproduksi setiap hari mencapai 200.000 biliun, rata-rata
umurnya hanya 120 hari. Semakin tua semakin rapuh, kehilangan bentuk
dan ukurannya menyusun menjadi sepertiga ukuran mula-mula.
Sel darah merah mengandung hemoglobin yang kaya akan zat besi.
Warnanya yang merah cerah disebabkan oleh oksigen yang di serap dari
paru-paru. Pada saat darah mengalir ke seluruh tubuh, hemoglobin
melepaskan oksigen ke sel dan mengikat karbondioksida.
Sel darah merah yang tua akhirnya akan pecah menjadi partikel-partikel
kecil di dalam hati dan limpa. Sebagian besar sel yang tua dihancurkan
oleh limpa dan yang lolos dihancurkan oleh hati. Hati mentimpan
kandungan zat besi dari hemoglobin yang kemudian di angkut oleh darah
ke sumsum tulang untuk membentuk sel darah merah yang baru.
Persediaan sel darah merah di dalam tubuh diperbarui setiap empat bulan
sekali.
2. Sel darah putih
Sel darah putih jauh lebih besar dari pada sel darah merah jumlahnya
dalam setiap 13 darah adalah 4000-10.000 sel. Tidak seperti sel darah
merah, sel darah putih memiliki inti (nucleus). Sebagian sel darah putih
bisa bergerak di dalam aliran darah, membuatnya dapat melaksanakan
tugas sebagai system ketahanan tubuh.
Sel darah putih adalah bagian dari sistem ketahanan tubuh yang
penting. Sel darah putih yang terbanyak adalah neutrofil (+60%).
Tugasnya adalah memerangi bakteri pembawa penyakit yang memasuki
tubuh. Mula mula bakteri dikepung, lalu butir-butir didalam sel segera
melepaskan zat kimia untuk menghancurkan dan mencegah bakteri
berkembang biak.
Sel darah putih mengandung +5% eosinofil. Fungsinya adalah
memerangi bakteri, mengatur pelepasan zat kimia saat pertempuran, dan
membuang sisa-sisa sel yang rusak. Basofil yang menyusun 1% sel darah
putih, melepaskan zat untuk mencegah terjadinya penggumpalan darah di
dalam pembuluhnya. 20 s\d 30% kadungan sel darah putih adalah
trombosit. Tugasnya adalah menghasilkan antibody, suatu protein yang
5
membantu tubuh memerangi penyakit. Monosit bertugas mengepung
bakteri. Kira-kira ada 5 sampai 10% di dalam sel darah putih.
Tubuh mengatur banyak sel darah putih yang dihasilkan sesuai dengan
kebutuhan. Jika kita kehilangan darah, tubuh akan segera membentuk sel-
sel darah untuk menggantinya. Jika kita mengalami infeksi, maka tubuh
akan membentuk lebih banyak sel darah putih untuk memeranginya.
Pembekuan darah. Proses yang mencegah kehilangan darah dari badan
melalui luka disebut hemostasis dan proses ini terdiri dari tiga stadium yang
bekerja bersama-sama, yaitu : Spasme vaskuler : penyempitan lumen pembuluh
darah yang putus untuk mengurangi aliran darah yang hilang.
1. Pembentukan sumbat trombosit : untuk menghentikan kebocoran darah.
2. Pembekuan fibrin disekitar sumbat trombosit dan reaksi fibrin: untuk
merekat pembuluh yang putus dan menarik sisi pinggirnya supaya merapat
(Watson, 2001)
Menurut Syaifuddin (2005) fungsi darah terdiri atas :
1. Sebagai alat pengangkut, yaitu :
a. Mengambil O2/zat pembakar dari paru-paru untuk diedarkan keseluruh
jaringan tubuh.
b. Mengangkut CO2 dari jaringan untuk dikeluarkan melalui paru-paru.
c. Mengambil zat-zat makanan dari usus halus untuk diedarkan dan
dibagikan ke seluruh jaringan/alat tubuh.
d. Mengangkat/mengeluarka zat-zat yang tidak berguna bagi tubuh untuk
dikeluarkan melalui kulit dan ginjal.
2. Sebagai pertahanan tubuh terhadap serangan bibit penyakit dan racun yang
akan membinasakan tubuh dengan perantaraan leukosit, antibodi/zat-zat
anti racun.
3. Menyebarkan panas ke seluruh tubuh.
6
C. Landasan Teoritis Penyakit
1. Defenisi
Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus
dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai dengan
demam mendadak 2 sampai 7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah/lesu,
gelisah, nyeri ulu hati disertai tanda perdarahan dikulit berupa bintik
perdarahan, lebam/ruam. Kadang-kadang mimisan, berak darah, muntah
darah, kesadaran menurun atau shock (Depkes RI, 1992).
DHF (Dengue Haemoragic fever) adalah penyakit yang disebabkan
oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke dalam
tubuh penderita melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti (betina) (Christantie
Effendy, 1995).
Demam berdarah dengue adalah penyakit yang terutama terdapat pada
anak remaja atau orang dewasa, dengan tanda-tanda klinis demam, nyeri otot
atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, nyeri pada penggerakan bola
mata, trombositopenia ringan dan bintik-bintik pendarahan (petekie) spontan
(Hendrawanto, 2004).
2. Etiologi
Penyebab DHF adalah Arbovirus ( Arthropodborn Virus ) melalui
gigitan nyamuk Aedes ( Aedes Albopictus dan Aedes Aegepty ). Virus
dengue tergolong dalam family / suku / grup flaviviridae dan dikenal ada
empat serotipe (Sutaryo, 2005).
Dengue I dan II ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang
dunia ke-II, sedangkan dengue III dan IV dimukan pada saat wabah di
Filipina tahun 1953-1954. Virus dengue berbentuk batang, bersifat
termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietileter dan natrimdioksikolat,
stabil pada suhu 70°C. Keempat serotipe telah ditemukan pada pasien-pasien
di Indonesia. Dengue III merupakan serotipe yang banyak beredar
(Hendrawanto, 2004).
7
3. Patofisiologi
Virus dengue masuk kedalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes
aegypti dan kemudian bereaksi dengan antibodi dan terbentuklah kompleks
virus-antibody, dalam asirkulasi akan mengaktivasi sistem komplemen
(Suriadi & Yuliani, 2001).
Penyakit DBD ini ditularkan orang yang dalam darahnya terdapat
virus dengue. Orang ini bisa menunjukkan gejala sakit, tetapi bisa juga tidak
sakit, yaitu jika mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus dengue.
Jika orang digigit nyamuk Aedes Aegypti maka virus dengue masuk bersama
darah yang dihisapnya. Di dalam tubuh nyamuk itu, virus dengue akan
berkembang biak dengan cara membelah diri dan menyebar di seluruh bagian
tubuh nyamuk. Sebagian besar virus itu berada dalam kelenjar liur nyamuk.
Sebagian besar virus itu berada dalam kelenjar liur nyamuk. Dalam tempo 1
minggu jumlahnya dapat mencapai puluhan atau bahkan ratusan ribu
sehingga siap untuk dituarkan/dipindahkan kepada orang lain. Selanjutnya
pada waktu nyamuk itu menggigit orang lain, maka setelah alat tusuk nyamuk
(probosis) menemukan kapiler darah, sebelum darah itu dihisap, terlebih
dahulu dikeluarkan air liur dari kelenjar liurnya agar darah yang dihisap tidak
membeku. Bersama dengan liur nyamuk inilah, virus dengue dipindahkan
kepada orang lain (Irawan, 2005).
Virus dengue masuk kedalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan
infeksi pertama kali menyebabkan demam dengue. Reaksi tubuh merupakan
reaksi yang biasa terlihat pada infeksi oleh virus. Reaksi yang amat berbeda
akan tampak, bila seseorang mendapat infeksi berulang dengan tipe virus
dengue yang berlainan. Dan DHF dapat terjadi bila seseorang setelah
terinfeksi pertama kali, mendapat infeksi berulang virus dengue lainnya. Re-
infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik antibodi, sehingga
menimbulkan konsentrasi kompleks antigen-antibodi (kompleks virus-
antibodi) yang tinggi (Noer, dkk, 1999).
Virus yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes
aegypty, pertama-tama yang terjadi adalah viremia yang mengakibatkan
penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal
8
diseluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie),
hyperemia tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi seperti pembesaran
kelenjar getah bening, pembesaran hati (Hepatomegali) dan pembesaran
limpa (Splenomegali). Ruam pada DHF disebabkan karena kongesti
pembuluh darah dibawah kulit.
Kemudian virus akan bereaksi dengan antibody dan terbentuklah
kompleks virus-antibody. Dalam sirkulasi akan mengaktivasi system
komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a, dua
peptida yang berdaya untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator
kuat sebagai faktor meningkatnya permeabilitas dinding kapiler pembuluh
darah yang mengakibatkan terjadinya perembesan plasma ke ruang ekstra
seluler.
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan
membedakan DF dan DHF ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler
karena pelepasan zat anafilaktosin, histamin dan serotonin serta aktivasi
system kalikreain yang berakibat ekstravasasi cairan intravaskuler. Hal ini
berakibat berkurangnya volume plama, terjadinya hipotensi,
hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan.
Perembesan plasma ke ruang ekstra seluler mengakibatkan
berkurangnya volume plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, dan
hipoproteinemia serta efusi dan renjatan (syok). Hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit > 20 %) menunjukkan atau menggambarkan adanya
kebocoran (perembesan) plasma sehingga nilai hematokrit menjadi penting
untuk patokan pemberian cairan intravena. Terjadinya trobositopenia,
menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi (protombin
dan fibrinogen) merupakan faktor penyebab terjadinya perdarahan hebat ,
terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada DHF.
Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler dibuktikan
dengan ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu
rongga peritoneum, pleura, dan pericard yang pada otopsi ternyata melebihi
cairan yang diberikan melalui infus. Setelah pemberian cairan intravena,
peningkatan jumlah trombosit menunjukkan kebocoran plasma telah teratasi,
9
sehingga pemberian cairan intravena harus dikurangi kecepatan dan
jumlahnya untuk mencegah terjadinya edema paru dan gagal jantung,
sebaliknya jika tidak mendapatkan cairan yang cukup, penderita akan
mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan kondisi yang buruk
bahkan bisa mengalami renjatan. Jika renjatan atau hipovolemik berlangsung
lama akan timbul anoksia jaringan, metabolik asidosis dan kematian apabila
tidak segera diatasi dengan baik. Gangguan hemostasis pada DHF
menyangkut 3 faktor yaitu : perubahan vaskuler, trombositopenia dan
gangguan koagulasi.
Renjatan hipovolemik yang terjadi sebagai akibat kehilangan plasma,
bila tidak segera teratasi akan terjadi anoxia jaringan, asidosis metabolic dan
kematian. Sebab lain kematian pada DHF adalah perdarahan hebat.
Perdarahan umumnya dihubungkan dengan trombositopenia, gangguan fungsi
trombosit dan kelainan fungsi trombosit.
Fungsi agregasi trombosit menurun mungkin disebabkan proses
imunologis terbukti dengan terdapatnya kompleks imun dalam peredaran
darah. Kelainan system koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati
yang fungsinya memang tebukti terganggu oleh aktifasi system koagulasi.
Masalah terjadi tidaknya DIC pada DHF/ DSS, terutama pada pasien dengan
perdarahan hebat.
4. Klasifikasi DBD
WHO, 1986 mengklasifikasikan DHF menurut derajat penyakitnya menjadi 4
golongan, yaitu :
a. Derajat I
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan. Panas 2-7
hari, Uji tourniquet positif, trombositipenia, dan hemokonsentrasi.
b. Derajat II
Sama dengan derajat I, ditambah dengan gejala-gejala perdarahan spontan
seperti petekie, ekimosis, hematemesis, melena, perdarahan gusi.
c. Derajat III
10
Ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan
cepat (>120x/mnt ) tekanan nadi sempit ( £ 120 mmHg ), tekanan darah
menurun, (120/80 ; 120/100 ; 120/110 ; 90/70 ; 80/70 ; 80/0 ; 0/0 )
d. Derajat IV
Nadi tidak teraba, tekanan darah tidak teratur (denyut jantung ³ 140x/mnt)
anggota gerak teraba dingin, berkeringat dan kulit tampak biru.
5. Tanda dan Gejala Penyakit DBD
Diagnosa penyakit DBD dapat dilihat berdasarkan kriteria diagnosa
klinis dan laboratoris. Berikut ini tanda dan gejala penyakit DBD yang dapat
dilihat dari penderita kasus DBD dengan diagnosa klinis dan laboratoris :
a. Diagnosa Klinis
1). Demam tinggi mendadak 2 sampai 7 hari (38 – 40 º C).
2). Manifestasi perdarahan dengan bentuk: uji Tourniquet positif , Petekie
(bintik merah pada kulit), Purpura(pendarahan kecil di dalam kulit),
Ekimosis, Perdarahan konjungtiva (pendarahan pada mata), Epistaksis
(pendarahan hidung), Perdarahan gusi, Hematemesis (muntah darah),
Melena (BAB darah) dan Hematuri (adanya darah dalam urin).
3). Perdarahan pada hidung dan gusi.
4). Rasa sakit pada otot dan persendian, timbul bintik-bintik merah pada
kulit akibat pecahnya pembuluh darah.
5). Pembesaran hati (hepatomegali).
6). Renjatan (syok), tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang,
tekanan sistolik sampai 80 mmHg atau lebih rendah.
7). Gejala klinik lainnya yang sering menyertai yaitu anoreksia (hilangnya
selera makan), lemah, mual, muntah, sakit perut, diare dan sakit kepala.
b. Diagnosa Laboratoris
1).Trombositopeni pada hari ke-3 sampai ke-7 ditemukan penurunan
trombosit hingga 100.000 /mmHg.
2). Hemokonsentrasi, meningkatnya hematrokit sebanyak 20% atau lebih.
(Depkes RI, 2005).
11
6. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis
Menurut Hindra Irawan Satari (2005) ada beberapa pemeriksaan pada
pasien DBD, diantaranya :
a. Tes Tourniquet yang positif
b. Pemeriksaan Hematologi, beberapa diantaranya :
1). Hematokrit
Nilai hematokrit biasanya mulai meningkat pada hari ketiga dari
perjalanan penyakit dan makin meningkat sesuai dengan proses
perjalanan penyakit DBD.
2). Hemoglobin
Kadar hemoglobin pada hari-hari pertama biasanya normal atau
sedikit menurun. Tetapi kemudian kadarnya akan naik mengikuti
peningkatan hemokonsentrasi dan merupakan kelainan hematologi
paling awal yang dapat ditemukan pada DBD.
3). Jumlah leukosit dan hitung jenis
Pada penderita DBD dapat terjadi leukopenia ringan sampai
leukositosis sedang. Leukopenia dapat dijumpai antara hari pertama dan
ketiga dengan hitung jenis yang masih dalam batas normal. Jumlah
granulosit menurun pada hari ketiga sampai kedelapan.
4). Trombosit
Trombositopenia merupakan salah satu kriteria sederhana yang
diajukan oleh WHO sebagai diagnosis klinis peyakit DBD. Jumlah
trombosit biasanya masih normal selama 3 hari pertama.
Trombositopenia mulai tampak beberapa hari setelah panas, dan
mencapai titik terendah pada fase syok.
c. Diagnosis Laboratorium Infeksi Virus Dengue, uji laboratorium meliputi:
1). Isolasi Virus Dengue
Isolasi virus merupakan cara yang paling baik dala arti sangat
menentukan, tetapi diperlukan peralatan dan teknik yang canggih,
sehingga tidak dipakai secara rutin.
12
2). Pemeriksaan Serologi
Uji serologi dengan mendeteksi kenaikan antibodi jauh lebih
sederhana dan lebih cepat, tetapi kros reaksi antibodi antara virus
dengue dan virus dari kelompok flavirus dapat memberikan hasil positif
palsu.
Ditemukannya anti bodi IgG ataupun AgM yang meningkatkan
tinggi titernya mencapai empat kali lipat terhadap satu atau lebih
antigen dengue dalam spesimen serta berpandangan. Dibuktikan adanya
virus dengue dari jaringan otopsi dengan cara immunokimiawi atau
dengan cara immuno-flouresens, ataupun di dalam spesimen serum
dengan uji ELISA.
d. Pemeriksaan Radiologi dan USG
Pada pemeriksaan radiologi dan USG kasus DBD, terdapat beberapa
kelainan yang dapat dideteksi, yaitu : dilatasi pembuluh paru, efusi pleura,
kardiomegali, efusi perikard, hepatomegali, cairan dalam rongga
peritoneum.
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita dengan DHF adalah sebagai berikut :
a. Tirah baring atau istirahat baring.
b. Diet makan lunak.
c. Minum banyak (2 – 2,5 liter/24 jam) dapat berupa : susu, teh manis, sirup
dan beri penderita sedikit oralit, pemberian cairan merupakan hal yang
paling penting bagi penderita DHF.
d. Pemberian cairan intravena (biasanya ringer laktat, NaCl Faali) merupakan
cairan yang paling sering digunakan.
e. Monitor tanda-tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tensi, pernafasan) jika
kondisi pasien memburuk, observasi ketat tiap jam.
f. Periksa Hb, Ht dan trombosit setiap hari.
g. Pemberian obat antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminopen.
h. Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
i. Pemberian antibiotik bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.
13
j. Monitor tanda-tanda dan renjatan meliputi keadaan umum, perubahan
tanda-tanda vital, hasil pemeriksaan laboratorium yang memburuk.
k. Bila timbul kejang dapat diberikan Diazepam. Pada kasus dengan renjatan
pasien dirawat di perawatan intensif dan segera dipasang infus sebagai
pengganti cairan yang hilang dan bila tidak tampak perbaikan diberikan
plasma atau plasma ekspander atau dekstran sebanyak 20 – 30 ml/kg BB.
l. Pemberian cairan intravena baik plasma maupun elektrolit dipertahankan 12
– 48 jam setelah renjatan teratasi. Apabila renjatan telah teratasi nadi
sudah teraba jelas, amplitudo nadi cukup besar, tekanan sistolik 20 mmHg,
kecepatan plasma biasanya dikurangi menjadi 10 ml/kg BB/jam. Transfusi
darah diberikan pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal yang
hebat. Indikasi pemberian transfusi pada penderita DHF yaitu jika ada
perdarahan yang jelas secara klinis dan abdomen yang makin tegang
dengan penurunan Hb yang mencolok.
Pada DBD tanpa renjatan hanya diberi banyak minum yaitu 1½-2 liter
dalam 24 jam. Cara pemberian sedikit demi sedikit dengan melibatkan orang
tua. Infus diberikan pada pasien DBD tanpa renjatan apabila :
a. Pasien terus menerus muntah, tidak dapat diberikan minum sehingga
mengancam terjadinya dehidrasi.
b. Hematokrit yang cenderung mengikat.
8. Komplikasi
Menurut Hindra Irawan Satari (2005) komplikasi DBD tersebut
diantaranya :
a. Syok
Syok ditandai dengan denyut nadi cepat dan lemah tekanan darah
menurun (menjadi 20 mmHg atau kurang). Syok merupakan tanda
kegawatan yang harus mendapat perhatian serius, oleh kareha bila tidak
diatasi sebaik-baiknya dan secepatnya dapat menyebabkan kematian.
b. Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang
berkepanjangan dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD
14
yang tidak disertai syok. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara,
maka kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh
darah otak sementara sebagai akibat koagulasi intravaskuler yang
menyeluruh.
c. Kelainan Ginjal
Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan
menggantikan volume intravaskuler, penting diperhatikan apakah syok
telah teratasi dengan baik.
d. Udem Paru
Udem paru aadalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai
akibat pemberian cairan yang berlebihan.
15
9. WOC DBD
Infeksi virus dengue
Viremia
16
Suhu tubuh
Nafsu makan
Anoreksia
Reaksi ImunologiMk : Hipertermi
Pelepasan Histamin
Mk : Ketidakseimbangan Nutrisi kurang dari
kebutuhan
Peningkatan Permeabilitas
vaskuler
Mual, sakit kepala, nyeri epigastrium
Kebocoran Plasma
Hipovolemia
Mk : Ggn rasa nyaman nyeri
Hemokonsentrasi
Mk : Ggn Vol cairan
Hipoksia Jaringan, metabolisme
anaerob
Syok
Asidosis Metabolik
Kematian
Mk : Ggn pertukaran Gas
D.Landasan Teoritis Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas
DHF merupakan penyakit daerah tropis yang sering menyebabkan
kematian anak, remaja dan dewasa ( Effendy, 1995 )
b. Keluhan Utama
Pasien mengeluh panas, sakit kepala, lemah, nyeri ulu hati, mual dan
nafsu makan menurun.
c. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat kesehatan menunjukkan adanya sakit kepala, nyeri otot, pegal
seluruh tubuh, sakit pada waktu menelan, lemah, panas, mual, dan nafsu
makan menurun.
d. Riwayat penyakit terdahulu
Tidak ada penyakit yang diderita secara specific.
e. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat adanya penyakit DHF pada anggota keluarga yang lain
sangat menentukan, karena penyakit DHF adalah penyakit yang bisa
ditularkan melalui gigitan nyamuk aides aigepty.
f. Riwayat Kesehatan Lingkungan
Biasanya lingkungan kurang bersih, banyak genangan air bersih
seperti kaleng bekas, ban bekas, tempat air minum burung yang jarang
diganti airnya, bak mandi jarang dibersihkan.
g. Riwayat Tumbuh Kembang
h. Pengkajian Per Sistem
1). Sistem Pernapasan
Sesak, perdarahan melalui hidung, pernapasan dangkal, epistaksis,
pergerakan dada simetris, perkusi sonor, pada auskultasi terdengar
ronchi, krakles.
2). Sistem Persyarafan
Pada grade III pasien gelisah dan terjadi penurunan kesadaran serta
pada grade IV dapat trjadi DSS
17
3). Sistem Cardiovaskuler
Pada grde I dapat terjadi hemokonsentrasi, uji tourniquet positif,
trombositipeni, pada grade III dapat terjadi kegagalan sirkulasi, nadi
cepat, lemah, hipotensi, cyanosis sekitar mulut, hidung dan jari-jari, pada
grade IV nadi tidak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.
4). Sistem Pencernaan
Selaput mukosa kering, kesulitan menelan, nyeri tekan pada
epigastrik, pembesarn limpa, pembesaran hati, abdomen teregang,
penurunan nafsu makan, mual, muntah, nyeri saat menelan, dapat
hematemesis, melena.
5). Sistem perkemihan
Produksi urine menurun, kadang kurang dari 30 cc/jam, akan
mengungkapkan nyeri sat kencing, kencing berwarna merah.
6). Sistem Integumen.
Terjadi peningkatan suhu tubuh, kulit kering, pada grade I terdapat
positif pada uji tourniquet, terjadi pethike, pada grade III dapat terjadi
perdarahan spontan pada kulit.
i. Pengkajian Pola Fungsional Gordon
1) Pola persepsi dan penanganan kesehatan
Biasanya pada pasien DBD mengalami perubahan penatalaksanaan
kesehatan yang dapat menimbulkan masalah dalam kesehatannya
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Biasanya pada pasien DBD adanya mual, penurunan nafsu makan
selama sakit, nyeri saat menelan sehingga dapat mempengaruhi status
nutrisi berubah
3) Pola aktifitas dan latihan
Biasanya pada pasien DBD akan terganggu aktifitasnya akibat
adanya kelemahan fisik serta pasien akan mengalami keterbatasan gerak
akibat penyakitnya
18
4) Pola tidur dan aktifitas
Biasanya pada pasien DBD kebiasaan tidur akan terganggu
dikarenakan suhu badan yang meningkat, sehingga pasien merasa gelisah
pada waktu tidur
5) Pola eliminasi
Kebiasaan dalam buang BAK akan terjadi refensi bila dehidrasi
karena panas yang meninggi, konsumsi cairan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan
6) Pola reproduksi dan sexual
Pada pola reproduksi dan sexual pada pasien yang telah atau
sudah menikah akan terjadi perubahan
7) Pola persepsi dan pengetahuan/kognitif
Perubahan kondisi kesehatan dan gaya hidup akan mempengaruhi
pengetahuan dan kemampuan dalam merawat diri
8) Pola persepsi dan konsep diri
Terjadi perubahan apabila pasien tidak efektif dalam mengatasi
masalah penyakitnya
9) Pola penanggulangan stress
Biasanya pada pasien DBD stres timbul apabila seorang pasien
tidak efektif dalam mengatasi masalah penyakitnya
10) Pola Peran dan Hubungan
Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan
interpersonal dan peran serta mengalami tambahan dalam menjalankan
perannya selama sakit
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Timbulnya distres dalam spiritual pada pasien, maka pasien akan
menjadi cemas dan takut akan kematian, serta kebiasaan ibadahnya akan
terganggu.
19
2.Perumusan Diagnosa
Data Subjektif/Objektif Etiologi Masalah
Keperawatan
DO:
Suhu tubuh >37,5
Klien Gelisah
Klien Berkeringat
DS:
Klien mengeluh
badannya terasa
panas
Klien mengeluh
merasa tidak
nyaman
proses infeksi virus dengue
Viremia
Termoregulasi
demam
Hipertermi
DO:
Suhu klien>37,5
Mukosa bibir pucat,
kering dan pecah-
pecah
Turgor kulit tidak
elastis
DS:
Klien mengeluh mual
dan muntah
Klien mengeluh
kehausan
klien mengeluh
badannya terasa
lemas
Peningkatan suhu tubuh
Ektravasasi cairan
Intake kurang
Volume plasma berkurang
Penurunan volume cairan
tubuh
Kekurangan
volume cairan
tubuh
20
DO:
BB Klien menurun
Klien mual
Klien Anoreksia
DS:
Klien mengatakan
tidak nafsu makan
Nafsu makan menurun
Intake nutrisi tidak adekuat
Nutrisi kurang dari
kebutuhan
Perubahan nutrisi
kurang dari
kebutuhan tubuh
Diagnosa Keperawatan:
a. Hipertermi b/d proses infeksi virus dengue
b. Kekurangan volume cairan tubuh b/d kehilangan cairan ; peningkatan
permeabilitas kapiler
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang tidak
adekuat
3. Penentuan Kriteria Hasil (NOC)
a. Hipertermi b.d proses infeksi virus dengue
NOC:
1). Thermoregulasi
indikator:
a). Temperatur kulit (dalam batas normal)
b). Temperatur tubuh (dalam batas normal)
c). Tidak ada sakit kepala
d). Tidak ada perubahan warna kulit
e). Nadi dalam batas normal
f). Pernafasan dalam batas normal.
2). Hydrasi
indikator:
a) Tidak Muncul rasa haus yang abnormal.
b) Tidak ada demam.
c) Berkeringat dalam batas normal.
21
d) Urine yang keluar (batasan normal).
e) TD (batasan normal).
f) Hematokrit (batasan normal).
b. Kekurangan volume cairan tubuh b.d kehilangan cairan ; peningkatan
permeabilitas kapiler
NOC:
1). Fluid balance
indikator:
a) Tekanan darah dalam batas normal.
b) Nadi dalam batas normal.
c) Keseimbangan antara intake dan Output.
d) Turgor kulit bagus.
e) Mukosa kulit bagus/normal.
f) Hematokrit normal.
g) Elektrolit serum normal.
2). Nutritional status : food and fluid intake Fluid management
indikator:
a) intake oral adekuat.
b) intake cairan adekuat.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak
adekuat
NOC:
1. Nutritional status : nutrition intake
Indikator :
a) kalori intake adekuat.
b) protein intake adekuat.
c) karbohidrat intake adekuat.
d) vitamin intake adekuat.
e) mineral intake adekuat.
22
4. Perumusan Intervensi Keperawatan (NIC)
a. Hipertermi b.d proses infeksi virus dengue
NIC:
1). Pemantauan/Pemeriksaan TTV :
a) Pantau TD, nadi, temperatur suhu dan pernafasan.
b) Pergerakan dan fluktuasi dalam TD.
c) Pantau TD waktu pasien berbaring, duduk dan berdiri.
d) Auskultasi TD di kedua lengan dan bandingkan.
e) Berinisiasi dan mengatur/menjaga kesinambungan temperatur.
f) Pantau kualitas dan munculnya nadi.
g) Pantau ritme dan frekuensi jantung.
h) Pantau suara jantung.
i) Pantau suara frekuensi pernapasan dalam ritmenya.
j) Pantau ketidaknormalan pola pernafasan.
k) Pantau warna kulit, temperatur.
l) Pantau ada tidaknya sianosis pada central maupun perifer.
m) Identifikasi kemungkinan adanya penyebab perubahan pada tanda-
tanda vital.
n) Periksa secara periodik keakuratan instrumen, yang digunakan untuk
melengkapi data pasien.
2). Perawatan Demam :
a) Pantau temperatur suhu tubuh secara teratur/berkala.
b) Pantau kehidupan cairan yang tidak kelihatan.
c) Pantau perubahan warna kulit dan temperatur suhu tubuh.
d) Pantau TD, nadi, respirasi.
23
e) Pantau penurunan tingkat kesadaran.
f) Pantau nilai WBC, HTC.
g) Pantau masukan dan pengeluaran cairan.
h) Rencanakan pengobatan untuk mengobati penyebab demam.
i) Berikan selimut untuk menyelimuti klien.
j) Tingkatkan pemasukan cairan melalui IV.
b. Kekurangan volume cairan tubuh b.d kehilangan cairan ; peningkatan
permeabilitas kapiler
NIC:
1). Fluid management :
a) Pertahankan intake dan ouput yang akurat.
b) Monitor status hidrasi (kelembaban membarn mukosa, nadi adekuat,
tekanan darah ortostatik) jika diperlukan.
c) Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi cairan (BUN , Ht ,
osmolalitas urin).
d) Monitor vital sign.
e) Monitor masukkan makanan / cairan dan hitung intake kalori harian
f) Kolaborasikan pemberian cairan IV.
g) Monitor status nutrisi.
h) Berikan cairan IV pada suhu ruangan.
i) Dorong masukkan oral.
j) Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebihan muncul memburuk.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak adekuat
1). Manajemen Nutrisi :
a) Catat jika klien memiliki alergi makanan.
b) Tentukan jumlah kalori dan tipe nutrien yang dibutuhkan.
c) Dorong asupan kalori sesuai tipe tubuh dan gaya hidup.
24
d) Dorong asupan zat besi.
e) Berikan gula tambahan k/p.
f) Berikan makanan tinggi kalori, protein dan minuman yang mudah
dikonsumsi.
g) Ajarkan keluarga cara membuat catatan makanan.
h) Monitor asupan nutrisi dan kalori.
i) Timbang berat badan secara teratur.
j) Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana
memenuhinya.
k) Ajarkan teknik penyiapan dan penyimpanan makanan.
l) Tentukan kemampuan klien untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya.
2). Monitor nutrisi :
a) BB klien dalam interval spesifik.
b) Monitor adanya penurunan BB.
c) Monitor tipe dan jumlah nutrisi untuk aktivitas biasa.
d) Monitor respon emosi klien saat berada dalam situasi yang
mengharuskan makan.
25