opini reklamasi teluk benoa
DESCRIPTION
paper ekonomi sumber daya alamTRANSCRIPT
OPINI TENTANG REKLAMASI TELUK BENOA BALI
OLEH:
NS. I WAYAN DIANA AMERTA,S Kep
MAHASISWA PASCA SARJANA PROGRAM STUDI P2WL
UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASARA
TAHUN 2015/2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pariwisata sudah menjadi nafas dan urat nadi bagi Bali. Ini terjadi karena
pariwisata dijadikan sebagai tulang punggung ekonomi, akan tetapi pariwisata
bagai pisau bermata dua. Pariwisata memang penuh paradoks dan ironi. Terlebih
dengan pemanfaatan kebudayaan sebagai modal utama dalam pengembangan
pariwisata. Seringkali dikatakan pariwisata sebagai senjata kapitalis untuk
menghancurkan budaya itu sendiri namun tidak sedikit juga dikatakan sebagai
wahana pelestari budaya.
Pariwisata di Bali adalah pariwisata budaya, yang mengekpos budaya Bali
sebagai produk utama. Interaksi panjang antara orang Bali dan wisatawan telah
menghasilkan akulturasi, membuat orang Bali hidup dalam dua dunia, dunia
tradisional dan dunia pariwisata. Namun sejajar dengan pergeseran arti Pariwisata
Budaya, kita juga menyaksikan pergeseran dalam urutan prioritas. Hal yang kini
lebih diperhatikan pemangku kebijakan adalah bagaimana memanfaatkan budaya
demi pariwisata, bukan lagi menilai dampak pariwisata terhadap kebudayaan
mereka.
Banyaknya vila dan hotel yang melanggar sempadan pantai dan jalur hijau,
menunjukkan bahwa para pemangku kebijakan belum memahami konsep
pembangunan pariwisata yang sudah dibuat sejak pertengahan tahun 1970. Bali
jika bercermin dari hasil penelitian dan pengkajian SCETO, konsultan pariwisata
dari Prancis tahun 1975, di Pulau Bali maksimal dibangun 24.000 kamar hotel
berbintang untuk menjaga daya dukung Bali. Namun kenyataannya di Bali kini
telah dibangun 55.000 kamar hotel berbintang atau dua kali lipat daya dukung
Bali (antaranews.com). Tahun 2012, jumlah kunjungan wisatawan ke Bali
mencapai 2.893.074 orang (PHRI Bali, 2013). Kendati angka kunjungan cukup
besar, namun tingkat hunian kamar (THK) hotel di Bali, bisa dikatakan fluktuatif.
Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, Ketua BPD Perhimpunan Hotel dan
Restoran Indonesia (PHRI) Bali, mengatakan kunjungan wisatawan tidak diikuti
dengan meningkatnya tingkat hunian ini disebabkan menurunnya length of
stay atau lama tinggal dan jumlah kamar yang
meningkat sehingga supply dan demand tidak seimbang.
Begitu pula halnya dengan pembangunan vila di tengah sawah yang ada di
Bali. Tentu saja hal tersebut akan berdampak pada pemotongan jalur air. Air yang
seharusnya untuk subak serta pertanian pada akhirnya habis untuk puluhan hingga
ratusan vila di satu tempat. Namun yang terlihat dewasa ini bukanlah moratorium
pembangunan vila dan hotel, melainkan eksploitasi pariwisata secara berlebihan
sehingga bermuara pada alih fungsi lahan hijau.
Filosofi Tri Hita Karana seakan tidak lagi menjadi pedoman utama dalam
pembangunan pariwisata di Bali. Wisatawan mancanegara pada dasarnya datang
berlibur ke Bali untuk melihat alam dan budaya masyarakat Bali yang tidak dapat
dijumpai di negara asal mereka. Wisatawan datang untuk melihat sistem subak,
sawah terasering, serta pemandangan alam yang begitu luar biasa. Di era otonomi
daerah ini, para pemangku kebijakan di Bali seyogyanya tidak hanya memikirkan
pendapatan asli daerah (PAD) semata, yang salah satunya diperoleh dari
pemberian izin pembangunan hotel, vila dan rumah makan di lokasi-lokasi yang
seharusnya tetap dibiarkan hijau.
Berdasarkan kondisi riil diatas penulis mencoba untuk masuk dan
memberikan pandangan pribadi terhadap permasalahan yang sedang hangat
menjadi polemik di Bali yaitu “Reklamasi Teluk Benoa”.
BAB II
TINJAUAN KASUS
Sebagai landasan berfikir, sebelum mengemukakan pendapat mengenai
permasalahan lingkungan yang ada, penulis mencoba menyajikan landasan teori
yang bisa dijadikan pijakan berfikir terhadap fenomena saat ini serta kesenjangan
yang terjadi dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa ditimbulkan sebagai
dampak dari sebuah kegiatan reklamasi di suatu tempat
A. Definisi Reklamasi
Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Orang dalam rangka
meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan
sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase (UU No
27 Thn 2007).
Pengertian reklamasi lainnya adalah suatu pekerjaan/usaha memanfaatkan
kawasan atau lahan yang relatif tidak berguna atau masih kosong dan berair
menjadi lahan berguna dengan cara dikeringkan. Misalnya di kawasan pantai,
daerah rawa-rawa, di lepas pantai/di laut, di tengah sungai yang lebar, ataupun di
danau. Pada dasaranya reklamasi merupakan kegiatan merubah wilayah perairan
pantai menjadi daratan. Reklamasi dimaksudkan upaya merubah permukaan tanah
yang rendah (biasanya terpengaruh terhadap genangan air) menjadi lebih tinggi
(biasanya tidak terpengaruh genangan air). (Wisnu Suharto dalam Maskur, 2008).
Sesuai dengan definisinya, tujuan utama reklamasi adalah menjadikan
kawasan berair yang rusak atau tak berguna menjadi lebih baik dan bermanfaat.
Kawasan baru tersebut, biasanya dimanfaatkan untuk kawasan pemukiman,
perindustrian, bisnis dan pertokoan, pertanian, serta objek wisata. Dalam
perencanaan kota, reklamasi pantai merupakan salah satu langkah pemekaran
kota. Reklamasi diamalkan oleh negara atau kotakota besar yang laju
pertumbuhan dan kebutuhan lahannya meningkat demikian pesat tetapi
mengalami kendala dengan semakin menyempitnya lahan daratan (keterbatasan
lahan). Dengan kondisi tersebut, pemekaran kota ke arah daratan sudah tidak
memungkinkan lagi, sehingga diperlukan daratan baru. (http//www.lautkita.org)
Dalam konteks pengembangan wilayah, reklamasi kawasan pantai ini
diharapkan akan dapat meningkatkan daya tampung dan daya dukungan
lingkungan (environmental carrying capacity) secara keseluruhan bagi kawasan
tersebut. Reklamasi dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat sumberdaya
lahan yang ditinjau dari sudut lingkungan dan social ekonomi dengan cara
pengurugan, pengeringan lahan atau drainase (UU 27, 2007). Hal ini umumnya
terjadi karena semakin tingginya tingkat populasi manusia, khususnya di kawasan
pesisir, sehingga perlu dicari solusinya. Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1990,
Tujuan reklamasi yaitu untuk memperbaiki daerah atau areal yang tidak terpakai
atau tidak berguna menjadi daerah yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan manusia antara lain untuk lahan pertanian, perumahan, tempat rekreasi
dan industri.
B. Babak Baru Reklamasi Teluk Benoa
Lahirnya Perpres No. 51 tahun 2014 di akhir Mei tahun ini seolah menjadi
babak baru dalam perjuangan menjaga Bali dari reklamasi. Bagaimana tidak,
dalam Perpres ini wilayah Teluk Benoa yang dulunya merupakan zona L3 atau
konservasi (Perpres No. 45 tahun 2011) ,kini masuk dalam zona P atau
penyangga. Dalam zona ini terdapat kegiatan kegiatan yang di perbolehkan seperti
kegiatan kelautan, perikanan, pariwisata, pengembangan ekonomi, pemukiman
bahkan penyelenggaraan reklamasi.
Pada Intinya penerbitan Perpres No. 51 Tahun 2014 ini menghapuskan
pasal-pasal yang menyatakan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi
sebagaimana yang disebutkan di dalam pasal 55 ayat 5 Perpres No. 45 Tahun
2011. Serta mengubah kawasan konservasi perairan pesisir Teluk Benoa menjadi
zona penyangga, yang secara tegas di muat dalam pasal 63A ayat (2) Perpres No.
51 tahun 2014 yang berakibat pada dapat di reklamasiya teluk benoa (pasal 101A
Perpres No. 51 tahun 2014). Bahkan luas wilayah yang dapat di reklamasipun
telah di tentukan, yakni maksimal seluas 700 hektar.
Selain klausul yang mengijinkan kegiatan revitalisasi termasuk
penyelenggaraan reklamasi, Perpres No. 51 tahun 2014 juga mengurangi luasan
kawasan konservasi perairan dengan menambahkan frasa “sebagian” pada pasal
55 Perpres No. 51 tahun 2014. Lahirnya Perpres No. 51 tahun 2014 ini seolah
menjadi jalan bebas hambatan untuk di langsungkanya reklamasi di Teluk Benoa.
C. Dampak Negatif Reklamasi Teluk Benoa
Dalam etika pembangunan dan keadilan, pembangunan tidak hanya cukup
mengandalkan indikator PAD, terdapat indikator lain seperti angka kematian dan
harapan hidup. Jika azas keadilan tidak mendapat perhatian serius maka
perekonomian tetap tidak dapat tumbuh seperti yang diharapkan. Prinsip keadilan
yang mungkin sering diabaikan dapat menimbulkan permasalahan sosial yang
serius berupa perubahan beberapa norma yang ada di masyarakat. Ketimpangan
sosial semakin melebar merupakan dampak serius akibat kurangnya rasa keadilan
di masyarakat. Oleh karena itu dalam melaksanakan pembangunan, 2 (dua)
prinsip keadilan, yaitu setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar
yang paling luas dan pengaturan ketimpangan sosial agar setiap orang merasa
diuntungkan harus senantiasa diperhatikan.
Jika hanya melihat dari perhitungan normatif terkait dengan keuntungan di
bidang ekonomi, tindakan pemerintah untuk menyetujui reklamasi ini dirasa tidak
tepat. Daerah Teluk Benoa yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi
dalam Perpres No. 45 tahun 2011 sebelum diubah menjadi Perpres No. 51 tahun
2014 menjadi salah satu tempat mata pencaharian nelayan setempat. Daratan baru
yang akan dibuat tentunya akan mengorbankan kehidupan para nelayan tersebut,
tidak ada lagi daerah tangkapan ikan yang mudah dijangkau. Akibatnya jika terus
dibiarkan, perubahan struktur masyarakat dengan profesi nelayan pun terjadi,
dimana dengan tantangan yang begitu sulit untuk menangkap ikan, tidak menutup
kemungkinan bahwa tidak ada lagi warga sekitar yang ingin melaut. Pasar-pasar
ikan tradisional disekitar wilayah tersebut juga terancam punah. Tidak ada lagi
ikan segar yang dapat diperjualbelikan. Tingginya harga jual ikan oleh nelayan di
wilayah Benoa akibat peningkatan biaya untuk melaut mendorong terjadinya
kebangkrutan nelayan setempat.
Contoh : Jika kita berpikir flashback terkait reklamasi Serangan sebagai acuan
untuk merefleksi pikiran kita terhadap dampak reklamasi, yang dirasakan saat ini
oleh warga Serangan yakni mereka tidak lagi sepenuhnya menggantungkan
sumber penghidupan dari hasil laut karena ikan-ikan konsumsi sudah menghilang
dari perairan Serangan. Begitu pula dengan predikat Pulau Serangan sebagai
Pulau Penyu akan tinggal kenangan lantaran satwa penyu sudah sangat jarang
mendarat di Serangan untuk bertelur. Pulau Serangan sudah menjadi satu daratan
dengan pulau-pulau kecil sebelumnya, sehingga tidak ada lagi pantai yang landai,
alami dan aman untuk habitat Penyu bertelur.
Selain permasalahan ekonomi, reklamasi Teluk Benoa tentu akan
menimbulkan bencana ekologis. Alasannya jika reklamasi tetap dilaksanakan,
maka akan terjadi perubahan arus air laut di sekitar perairan tersebut. Dampak
paling nyata yang dapat dirasakan adalah semakin memperparah terjadinya
abrasi di sejumlah pantai di sekitar Teluk Benoa. Indonesia Maritime Institute
(IMI) menegaskan, reklamasi di Teluk Benoa berpotensi merusak ekosistem
terumbu karang yang selain sebagai penopang kehidupan jutaan biota laut, juga
menjadi andalan wisata bahari di Pulau Bali, jika reklamasi dilakukan maka tentu
sedimentasi yang ditimbulkan akan mematikan terumbu karang dan biota lainnya.
Teluk Benoa dikelilingi oleh daratan Tanjung Benoa dan Pulau Serangan,
kemudian bila latar belakang reklamasi yang diutarakan untuk menjaga Bali dari
bahaya tsunami atau gelombang pasang, tentunya tidak beralasan karena yang
akan lebih dahulu dihantam oleh tsunami (bila benar terjadi) adalah dua pulau
tersebut yaitu daratan Tanjung Benoa dan Pulau Serangan. Selain itu, kawasan
Teluk Benoa juga merupakan Green Nature Garden, yang berarti bahwa
mangrove hanya dapat tumbuh di kawasan tersebut.
Jadi, pelanggaran tata ruang Provinsi Bali yang memberikan ijin reklamasi
kepada PT. Tirta Wahani Bali Internasional (PT. TWBI) seharusnya dituntaskan
melalui penegakan hukum, bukanlah melalui revisi perpres. Pengakuan yang
menyatakan kondisi Teluk Benoa oleh pemerintah pusat yang tidak lagi sesuai
untuk kawasan konservasi seharusnya diikuti penyelamatan atau rehabilitasi
ekosistem tanpa diikuti dengan pembangunan akomodasi pariwisata secara masif
yang tentunya akan menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang lebih besar.
Yang terjadi saat ini membuktikan bahwa pemerintah tidak lagi berkomitmen
dalam menjaga kelestarian lingkungan. Jika Teluk Benoa tetap direklamasi, maka
dapat dipastikan bahwa Bali akan semakin mengalami penurunan kualitas
lingkungan.
Jika mereka yang terancam secara langsung akibat dampak dari reklamasi
ini memiliki modal (keahlian khusus ataupun biaya) untuk ikut ambil bagian di
bidang pariwisata, maka hal tersebut tentunya tidak akan menjadi beban bagi
pemerintah daerah. Umpan balik negatif dengan meningkatnya pengangguran
akibat nelayan berhenti melaut harus mendapat perhatian khusus dalam
pengambilan keputusan mengenai reklamasi ini. Termasuk keturunan dari
nelayan-nelayan tersebut yang belum tentu mampu mengenyam pendidikan
seperti yang diharapkan pemerintah daerah sehingga dapat diserap oleh industri
pariwisata sangat mungkin meningkatkan angka kemiskinan di daerah tersebut.
Ancaman peningkatan pengganguran ini sudah tentu memicu terjadinya angka
kriminalitas yang tinggi. Mereka yang semula berpenghasilan cukup untuk
kebutuhan pangan harus bersaing keras baik oleh sesama ataupun kaum pendatang
(dari luar pulau Bali) yang mencoba mengadu nasib di Pulau Dewata ini.
Sehingga bisa jadi berwisata di Bali tidak seaman dan senyaman sebelumnya.
Sudah menjadi sejarah dalam proses pembangunan di Bali, bahwa laju
pembangunan sarana kepariwisataan berbanding lurus dengan lajunya arus alih
fungsi lahan sawah. Pada tahun 1980an, kasus yang sama pernah terjadi. Dalam
era itu, pembangunan kepariwisataan sedang di-push. Tercatat laju alih fungsi
lahan sawah pada saat itu seketika melompat menjadi lebih dari 1.000 ha/tahun.
Sementara itu, dengan metode analisis spasial, tim Litbang Kompas (2013)
mencatat bahwa, di mana ada pembangunan kawasan wisata, maka di kawasan
itulah berkembang kawasan kumuh. Jadi, ada hubungan yang kuat antara
pembangunan pariwisata dengan kawasan kumuh di Bali. Analogi inilah yang
terjadi antara pembangunan kawasan wisata (reklamasi) dengan alih fungsi lahan
sawah (Bali Express).
Guru Besar Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Windia, MS
menegaskan bahwa setiap pembangunan kawasan wisata akan mendorong orang
untuk bekerja di sana, termasuk masuknya kaum migran. Kondisi ini akan
mendorong pembangunan fisik lainnya, seperti pembangunan warung, toko,
restoran, perumahan, hotel kecil, dan berbagai sarana prasarana lainnya.
Pembangunan fisik sebagai akibat dari multiplier-efect pembangunan (reklamasi)
inilah yang mendorong alih fungsi lahan sawah. Bahwa kehadiran migran di Bali
sudah menjadi rahasia umum. Saat ini, pertumbuhan penduduk di Badung dan
Denpasar naik sekitar 3-5 persen pertahun. Kenaikan itu, 50 persen disebabkan
karena kedatangan migran. Kenapa migran datang ke Bali? Tentu saja karena di
Bali ada pembangunan pariwisata. Kalau pembangunan pariwisata di Bali tidak
dihentikan (sementara), maka migran akan semakinbanyak berdatangan. Migran
yang beranak pinak akan memangsa lahan sawah di Bali. Itulah sebabnya,
pembangunan pariwisata telah menjadi kanibal bagi sektor pertanian. Oleh
karenanya, seperti tidak masuk akal kalau dikatakan bahwa penggunaan reklamasi
yang akan dimanfaatkan sebagai sarana kepariwisataan, akan dapat
menghentikan/mengendalikan alih fungsi lahan sawah di Bali. Justru sebaliknya
yang akan terjadi.
D. Dampak Positif Reklamasi Teluk Benoa
Menurut informasi gubernur Bali Made Mangku Pastika pengelolaan
wilayah perairan Teluk Benoa seluas 838 Ha, menurut rencana yang masih harus
menunggu kajian final, sebagian besar diantaranya atau sekitar 438 Ha akan
dibangun hutan mangrove. Sementara sekitar 300 Ha dibangun fasilitas umum
seperti art centre, gedung pameran kerajinan, gelanggang olahraga, tempat
ibadah, sekolah, dsb, dan hanya sebagian kecil atau sekitar 100 Ha dibangun
akomodasi pariwisata. Kawasan tersebut sekaligus menjadi penyangga wilayah
Bali selatan, yang dikembangkan tetap berdasarkan filosofi tri hita karana.
Dalam perkembangan pembangunan ke depan, reklamasi dan kehadiran
pulau baru ini memiliki keuntungan bagi Bali sebagai berikut:
1. Secara geografis, luas pulau Bali akan bertambah. Pulau baru yang
dibangun investor di kawasan ini akan menjadi milik Bali, milik
masyarakat Bali. Demikian pula luas hutan kita, khususnya hutan
mangrove, akan bertambah. Keberadaan hutan bakau yang sangat luas di
kawasan tersebut, akan sangat melindungi kawasan pesisir dari ancaman
abrasi akibat iklim global, termasuk melindungi Bali dari bencana tsunami
2. Dalam hal lapangan kerja, dibangunnya akomodasi pariwisata dan fasilitas
umum akan memberikan peluang lapangan kerja bagi masyarakat Bali
dalam 5 sampai 10 tahun mendatang. Diperkirakan sekitar 200.000
lapangan kerja baru akan tersedia di kawasan ini. Saat ini jumlah angkatan
kerja, khususnya lulusan perguruan tinggi, terus bertambah. Sementara
lapangan kerja mengalami stagnasi, karena sangat bergantung pada kondisi
dan perkembangan pariwisata yang sangat rentan terhadap kondisi
keamanan, dan kondisi sosial lainnya. Sebagai contoh, pada saat diskusi
digelar, berlangsung upacara wisuda lulusan Universitas Udayana. Saat itu
lebih dari 900 mahasiswa diwisuda, dari jenjang diploma hingga pasca
sarjana. Mungkin sebagian dari jumlah itu sudah bekerja, sementara
sebagian lainnya menjadi pengangguran. Belum lagi lulusan perguruan
tinggi negeri dan swasta lainnya di Bali yang berjumlah sekitar 40 buah,
yang meluluskan mahasiswanya ratusan orang setiap tahun, bahkan ada
perguruan tinggi yang melaksanakan wisuda dua sampai tiga kali dalam
setahun. Dapat dihitung berapa lulusan perguruan tinggi yang berpotensi
menganggur bertambah setiap tahun. Demikian pula lulusan SMA/SMK
yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, mereka adalah angkatan kerja
potensial yang belum tentu semuanya mendapatkan pekerjaan. Angka
pengangguran kita di Bali saat ini memang terbaik di tanah air, tetapi itu
tidak menjamin dalam tahun-tahun mendatang dapat bertahan, apabila kita
tidak berupaya menyiapkan lapangan kerja baru seluas-luasnya. Terlebih
lagi tahun 2015 kita akan menjadi bagian dari Komunitas Tunggal
ASEAN, sejalan dengan diberlakukannya ASEAN Free Trade
Area(AFTA). Dalam masa tersebut, para pekerja dari luar negeri akan
datang ke Bali untuk bersaing mendapatkan pekerjaan dalam seluruh
bidang, mulai dari manager, sopir, sampai tukang sapu. Keberadaan
lapangan kerja baru akan sangat membantu persaingan kerja bagi para
tenaga kerja lokal Bali. Demikian pula para penari dan seniman lulusan
SMK Kesenian, dan juga perguruan tinggi seni, akan mendapat
kesempatan luas untuk tampil dengan dibangunnya art centre dan
akomodasi pariwisata baru.
3. Dalam mendukung pembangunan pariwisata, keberadaan pulau reklamasi
akan menjadi destinasi wisata baru. Konsep pariwisata budaya mutlak
diimplementasikan dalam membangun dan mengembangkan kawasan dan
atraksi wisata di kawasan tersebut. Kejenuhan wisatawan asing atas atraksi
dan obyek wisata yang ada saat ini, wajib diantisipasi untuk 5 sampai 10
tahun ke depan. Kita berharap pariwisata budaya kita menuju quality
tourism, dalam arti wisatawan yang datang adalah yang memang
berwisata dan berbelanja di Bali. Di sisi lain, kita tidak boleh menutup
mata terhadap kemajuan yang dialami pariwisata negara-negara tetangga,
seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura. Kita tidak boleh malu belajar
dari kemajuan yang mereka capai. Belum lagi daerah-daerah lainnya di
tanah air yang sedang gencar-gencarnya membangun pariwisatanya, mulai
dari yang terdekat yaitu Banyuwangi dan NTB, sampai pada
pengembangan Kepulauan Raja Ampat, yang sangat berobsesi
mengalahkan kemajuan pariwisata Bali. Kawasan yang sudah ada di Bali,
sangat sulit dikembangkan mengingat sempitnya lahan. Oleh karena itu,
kawasan pulau baru akan mudah dikembangkan termasuk melalui
diversifikasi program dan atraksi wisata budaya. Para perajin kita telah
disediakan arena pameran dan promosi. Para seniman, budayawan dan
sekaa-sekaa kesenian yang ada, akan disiapkan art centre dan panggung-
panggung seni lainnya, sehingga akan mendorong kelestarian seni budaya
kita.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dalam era globalisasi ini, daerah manapun di dunia ini tidak akan pernah
luput dari pembangunan, baik itu pembangunan infrastruktur negara maupun
pembangunan di berbagai sektor kehidupan, namun yang menjadi catatan penting
dalam perencanaan dan realisasi percepatan pembangunan ini hendaknya
dilakukan dengan penyesuaian-penyesuaian adat dan istiadat yang ada di Bali.
Perlu untuk dipahami kegiatan apapun yang kita lakukan akan memberi dampak
positif dan negatif, bagi mereka yang terpenuhi harapannya akan senang dengan
kegiatan tersebut sebaliknya mereka yang harapannya terabaikan tentu akan
melakukan penolakan pada program yang dibangun. Pemerataan pembangunan di
Bali adalah salah satu indikator untuk memberikan kontribusi dalam hal
penyediaan lapangan pekerjaan baru dan peningkatan pendapatan asli daerah di
daerahnya masing-masing. Jangan sampai percepatan pembangunan hanya
berfokus pada beberapa tempat khususnya Bali Selatan yang pada akhirnya akan
semakin menambah kesenjangan antar masyarakat khususnya dari aspek
ekonomi. Pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan harus dikedepankan
sebagai embrio pembangunan ekonomi berkelanjutan sesuai dengan pasal 33
UUD 1945.
B. Saran
` Proses reklamasi ini masih sangat panjang, yang memerlukan pemikiran
kita bersama untuk mewujudkannya, sehingga nantinya benar-benar memberikan
manfaat bagi kesejahteraan seluruh masyarakat Bali di masa mendatang. Bali
yang maju adalah Bali yang tidak tercerabut dari akar budayanya yang adiluhung,
dengan kemajuan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.
Saya selaku mahasiswa P2WL mengharapkan seluruh rakyat Bali, untuk
membangun Bali dengan dasar cinta, dan menyumbangkan pemikiran dan hasil
karya sesuai kompetensi dan swadharma masing-masing. Harapan saya apapun
rencananya dan siapapun pelakunya hal-hal yang wajib dipenuhi dalam
pengembangan rencana reklamasi ini oleh calon investor, yaitu:
1. Mentaati ketentuan perundang-undangan yang berlaku,
2. Memperhatikan kelestarian lingkungan,
3. Mengikutsertakan dan mempekerjakan masyarakat di sekitar tempat
usaha serta membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar, dan
4. Menghormati nilai-nilai agama, budaya, kesusilaan dan/atau ketertiban
umum dalam penyelenggaraan kegiatan.
Gambar Rencana Lokasi Reklamasi