ospek nya manusia merdeka

4
Menggagas OSPEK-nya Manusia Merdeka MOS/OSPEK identik dengan kekerasan ? Beberapa hari yang lalu seorang pelajar SMK di daerah Bantul meninggal dunia saat mengikuti masa orientasi siswa (MOS). Siswi tersebut, Aninda Puspita, menambah daftar panjang korban tewas dalam pelaksanaan MOS bagi siswa atau OSPEK bagi mahasiswa. Masih belum lepas dari ingatan kita pada tahun 2012 yang lalu, Erfin Juniayanto siswa Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Tangerang dan Ainul Yakin calon taruna BP2IP Surabaya harus meregang nyawa setelah dua hari mengikuti Diklat Orientasi Pembelajaran (DOP) atau semacam OSPEK (orientasi studi pengenalan kampus). Kejadian yang sama juga terjadi tahun 2011, yang menimpa Awaluddin, mahasiswa Universitas Hasanuddin Makassar dan Yayan Abu Sofyan, mahasiswa Universitas Pakuan Bogor. Mereka meninggal setelah mengikuti kegiatan OSPEK/MOS. Korban yang terus berjatuhan dalam pelaksanaan OSPEK/MOS setiap tahunnya seharusnya menjadi pembelajaran bagi pemerintah maupun sekolah/ perguruan tinggi untuk membenahi pelaksanaan MOS/OSPEK ini. Sejatinya MOS/OSPEK bertujuan baik untuk mengenalkan pelajar/mahasiswa baru dengan sekolah/kampus dan lingkungan yang akan menjadi tempat mereka menuntut ilmu, tentang kurikulum, guru/dosen, maupun OSIS atau BEM/UKM. Sayangnya kegiatan ini kerap menjadi ajang perpeloncoan dan balas dendam kakak kelas terhadap adik kelas. OSPEK/MOS yang sebenarnya peninggalan Sekolah Pendidikan Dokter Hindia atau Stovia (1898-1927) di jaman kolonial ini sudah sering berganti nama. Di Stovia, OSPEK ini bersifat sukarela dan istilahnya adalah "ontgroening" atau “membuat tidak hijau lagi” dengan tujuan mendewasakan mahasiswa baru. 1 1 http://edukasi.kompasiana.com/2012/07/12/mos-masa- orientasi-siswa-hapuskan-477264.html

Upload: mukti-ali-azis

Post on 21-Jan-2016

27 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

mos, ospek, kreatif

TRANSCRIPT

Page 1: OSPEK nya Manusia merdeka

Menggagas OSPEK-nya Manusia Merdeka

MOS/OSPEK identik dengan kekerasan ?

Beberapa hari yang lalu seorang pelajar SMK di daerah Bantul meninggal dunia saat mengikuti masa orientasi siswa (MOS). Siswi tersebut, Aninda Puspita, menambah daftar panjang korban tewas dalam pelaksanaan MOS bagi siswa atau OSPEK bagi mahasiswa. Masih belum lepas dari ingatan kita pada tahun 2012 yang lalu, Erfin Juniayanto siswa Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Tangerang dan Ainul Yakin calon taruna BP2IP Surabaya harus meregang nyawa setelah dua hari mengikuti Diklat Orientasi Pembelajaran (DOP) atau semacam OSPEK (orientasi studi pengenalan kampus).

Kejadian yang sama juga terjadi tahun 2011, yang menimpa Awaluddin, mahasiswa Universitas Hasanuddin Makassar dan Yayan Abu Sofyan, mahasiswa Universitas Pakuan Bogor. Mereka meninggal setelah mengikuti kegiatan OSPEK/MOS.

Korban yang terus berjatuhan dalam pelaksanaan OSPEK/MOS setiap tahunnya seharusnya menjadi pembelajaran bagi pemerintah maupun sekolah/ perguruan tinggi untuk membenahi pelaksanaan MOS/OSPEK ini.

Sejatinya MOS/OSPEK bertujuan baik untuk mengenalkan pelajar/mahasiswa baru dengan sekolah/kampus dan lingkungan yang akan menjadi tempat mereka menuntut ilmu, tentang kurikulum, guru/dosen, maupun OSIS atau BEM/UKM. Sayangnya kegiatan ini kerap menjadi ajang perpeloncoan dan balas dendam kakak kelas terhadap adik kelas.

OSPEK/MOS yang sebenarnya peninggalan Sekolah Pendidikan Dokter Hindia atau Stovia (1898-1927) di jaman kolonial ini sudah sering berganti nama. Di Stovia, OSPEK ini bersifat sukarela dan istilahnya adalah "ontgroening" atau “membuat tidak hijau lagi” dengan tujuan mendewasakan mahasiswa baru. 1

Namun, lambat laun kegiatan ini juga dilakukan di tingkatan sekolah menengah, baik SMP maupun SMA. dengan nama-berbeda-beda mulai dari masa prabakti mahasiswa (MAPRAM), masa prabakti siswa (MAPRAS), MPA (Masa Pengenalan Akademik), dan beragam nama lainnya. Yang sama adalah bahwa isi kegiatannya makin tidak mendidik bahkan tidak sedikit terjadi tindak kekerasan fisik dan psikologis (mental) dari senior kepada yuniornya. Tidaklah heran, setiap pelaksanaannya, korban banyak yang berjatuhan, mulai dari yang jatuh sakit hingga yang meninggal akibat tidak tahan dengan siksaan.

OSPEK "nggak" ada matinyaSetiap ada kejadian OSPEK yang menelan korban tewas, maka ramai-ramai orang berteriak menuntut penghapusannya. Media berlomba-lomba memberitakan kasusnya dengan berbagai sudut pandang, mulai dari detil

1 http://edukasi.kompasiana.com/2012/07/12/mos-masa-orientasi-siswa-hapuskan-477264.html

Page 2: OSPEK nya Manusia merdeka

kejadian, keadaan keluarga korban pasca kejadian, opini pembaca, sampai analisis para pakar pendidikan terkait kegiatan tersebut. Sayangnya ulasan maupun kritik yang kadang berujung pada seruan penghapusan OSPEK perlahan menghilang seiring berjalannya waktu.

Respon pemerintah menghadapi tuntutan penghapusan OSPEK sebenarnya sering kali dengar berupa pengaturan hingga pelarangan OSPEK. Sejak masih bernama Mapram atau Mapras, dengan SK Menteri P dan K No. 043 / 1971, pemerintah sudah melarangnya, tapi Mapram terus berevolusi dengan nama yang lain. Terakhir adalah SK Dirjen Dikti No.38 Tahun 2000 yang menghapus OSPEK dan menyerahkan prosesi pengenalan kehidupan kampus itu pada pengelola kampus dengan bersifat akademis saja. Untuk tingkat SMP/SMA, Pemerintah mengeluarkan Permendiknas No. 39 Tahun 2008 tentang pembinaan kesiswaan dimana pada bagian lampiran disebutkan salah satu jenis kegiatannya adalah kegiatan orientasi siswa baru dengan syarat bersifat akademik dan pengenalan lingkungan tanpa kekerasan.

Hanya saja, kegiatan ini semacam ini tetap berlangsung dan hampir selalu terdengar adanya korban kekerasan. Lembaran-lembaran aturan pemerintah yang dibuat, ibarat mati makna, tak bisa berbuat apa-apa. Ujung-ujungnya, bila kejadian korban tewas kembali terulang, hanya akan menjadi ajang menghancurkan hidup siswa/mahasiswa pelaku atau mencari kambianng hitam dari pihak pengelola sekolah/perguruan tinggi tanpa ada solusi permanen dan berlaku sebagai sebuah sistem. Seolah tinggal menunggu nasib, siapa dan dimana orang-orang yang akan kena nasib sial oleh makhluk yang bernama OSPEK/MOS, baik korban, pelaku maupun pengelola.

Apa yang harus dilakukan ?Memadamkan api dengan api tidak pernah bisa menjadi penyelesaian. Pun demikian dengan OSPEK/MOS. Ibarat para wali penyebar agama Islam di Jawa, pemerintah hendaknya mengelola OSPEK/MOS dengan berdagang konsep yang lebih baik ataupun mengawinkan beberapa konsep-konsep unggul yang sudah dikembangkan dalam OSPEK/MOS namun masih berserak menjadi sebuah konsep utuh dan tersistem. Tidak lah salah kalau kita perlu belajar pada sejarah Sunan Kalijaga yang mampu memberikan inovasi pada dunia pewayangan di masanya ataupun tembang-tembang jawa yang dibungkus dengan syair suluk, seperti gundul-gundul pacul dan Lir Ilir.

Mungkin penulis terlalu jauh memberikan perumpamaan di atas, tetapi OSPEK/MOS hendaklah dimaknai sebagai produk budaya yang tidaklah bisa diberantas hanya dengan selembar kertas yang bernama peraturan atau pelarangan. Dan terbukti, semua aturan tersebut hanya bisa berakhir di laci meja sekolah/perguruan tinggi, sementara kegiatan tersebut tetap terus berlangsung.

Oleh karena itu, INOVASI adalah jalan keluar terbaik untuk meredam kekerasan dan anarkisme dalam kegiatan OSPEK/MOS dibanding usaha untuk menghapus atau melarangnya.

Mengenali akar penyebab kekerasan MOS/OSPEK

Page 3: OSPEK nya Manusia merdeka

Kalau kita mau introspeksi, Mengapa kegiatan MOS/OSPEK masih mengandung unsur penindasan dan kekerasan ? Jawabnya adalah karena tidak adanya kreatifitas. Panitianya tidak berani kreatif. Pengelola sekolah juga tidak merasa penting untuk menjadi kreatif.

Sebagai ilustrasi, coba kita lihat komedi-komedi slapstick yang cenderung mengumbar ejekan verbal maupun kekerasan fisik. Para komedian memilih ini, karena sangat gampang dilakukan dan mudah memancing tawa audiensnya. Tapi sebenarnya ada beberapa jenis komedi cerdas yang juga bisa mengundang tawa yang lebih besar, tapi hal ini tidak dipilih karena memerlukan usaha yang besar disertai daya kreatifitas yang tinggi dari komediannya.

Ibarat komedian di atas, penyelenggara MOS/OSPEK lebih memilih mengikuti gaya slapstick "tradisi" senior-seniornya ketimbang merepotkan diri untuk menjadi lebih kreatif dengan menciptakan aktivitas "cerdas" tapi tetap "segar".

Kalau ditarik lebih jauh lagi, sebenarnya sistem pendidikan kita juga yang menyebabkan mereka seperti ini. Sekolah dan perguruan tinggi kita selama ini memang hanya menjadi pabrik pencetak "robot-robot" yang pandai menjawab soal guru/dosennya. Semua pemikiran dibuat seragam, sehingga akhirnya siswa tidak terbiasa untuk berusaha lebih keras untuk menjadi manusia kreatif. Penjelasan di atas akan panjang kalau diteruskan, tetapi penulis akan kembali fokus pada permasalahan MOS/OSPEK.

Solusi membenahi MOS/OSPEKMelalui tulisan ini penulis memperkenalkan alternatif solusi yang kemudian diberi nama MOS/OSPEK-nya Manusia Merdeka.

Sebagai sebuah produk budaya, MOS/OSPEK