otonomi daerah adalah buah dari reformasi yang bergulir sejak runtuhnya rezim orde baru pada 1998

4
Otonomi daerah adalah buah dari reformasi yang bergulir sejak runtuhnya rezim Orde Baru pada 1998. Otonomi daerah pula yang membuat kebijakan pengelolaan keuangan negara yang semula sentralistik menjadi terdesentralisasi. Desentralisasi fiskal di Indonesia dilakukan dengan pemberian diskresi belanja daerah yang luas dengan didukung oleh pendanaan transfer dari pusat ke daerah. Amanat itu tertuang dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Desentralisasi fiskal diarahkan untuk mewujudkan alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui hubungan keuangan pusat dan daerah yang transparan dan akuntabel melalui instrumen: dana alokasi umum (DAU) untuk mengurangi horizontal imbalance, dana alokasi khusus (DAK), dan dana bagi hasil (DBH). Dengan instrumen DAU, daerah diharapkan memiliki sumber daya fiskal yang memadai untuk menunjang tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan ekonomi daerah yang berbasis keotonomian. Hingga saat ini, transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah dianggap sebagai bagian dari belanja pemerintah pusat yang tertuang dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Sekitar sepertiga dana transfer dari APBN masuk ke anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dan sekitar sepertiga dana Pusat dibelanjakan di daerah melalui dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan serta belanja instansi pusat yang ada di daerah. Oleh karenanya, kinerja perekonomian nasional juga sangat tergantung dari kinerja perekonomian daerah. Setelah kebijakan ini berjalan hampir 10 tahun, patut kita bertanya seberapa besar pengaruh desentralisasi fiskal tersebut terhadap efisensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat daerah? Mampukah kebijakan tersebut mendorong kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat di daerah? Plus Minus Kebijakan Dalam UU No 33 Tahun 2004, DAU dialokasikan ke daerah dengan formula yang didasarkan atas fiscal gap ditambah alokasi dasar (AD). Dengan demikian, semakin besar fiscal gap maka akan semakin tinggi DAU yang

Upload: didi-setiawan

Post on 11-Jan-2016

217 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

didi

TRANSCRIPT

Page 1: Otonomi Daerah Adalah Buah Dari Reformasi Yang Bergulir Sejak Runtuhnya Rezim Orde Baru Pada 1998

Otonomi daerah adalah buah dari reformasi yang bergulir sejak runtuhnya rezim Orde Baru pada 1998. Otonomi daerah pula yang membuat kebijakan pengelolaan keuangan negara yang semula sentralistik menjadi terdesentralisasi.

Desentralisasi fiskal di Indonesia dilakukan dengan pemberian diskresi belanja daerah yang luas dengan didukung oleh pendanaan transfer dari pusat ke daerah. Amanat itu tertuang dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Desentralisasi fiskal diarahkan untuk mewujudkan alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui hubungan keuangan pusat dan daerah yang transparan dan akuntabel melalui instrumen: dana alokasi umum (DAU) untuk mengurangi horizontal imbalance, dana alokasi khusus (DAK), dan dana bagi hasil (DBH). Dengan instrumen DAU, daerah diharapkan memiliki sumber daya fiskal yang memadai untuk menunjang tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan ekonomi daerah yang berbasis keotonomian.

Hingga saat ini, transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah dianggap sebagai bagian dari belanja pemerintah pusat yang tertuang dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Sekitar sepertiga dana transfer dari APBN masuk ke anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dan sekitar sepertiga dana Pusat dibelanjakan di daerah melalui dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan serta belanja instansi pusat yang ada di daerah. Oleh karenanya, kinerja perekonomian nasional juga sangat tergantung dari kinerja perekonomian daerah.

Setelah kebijakan ini berjalan hampir 10 tahun, patut kita bertanya seberapa besar pengaruh desentralisasi fiskal tersebut terhadap efisensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat daerah? Mampukah kebijakan tersebut mendorong kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat di daerah?

Plus Minus KebijakanDalam UU No 33 Tahun 2004, DAU dialokasikan ke daerah dengan formula yang didasarkan atas fiscal gap ditambah alokasi dasar (AD). Dengan demikian, semakin besar fiscal gap maka akan semakin tinggi DAU yang diterima daerah. Analoginya ialah, semakin miskin suatu daerah, dan semakin kecil potensi keuangan daerah yang dapat diperolehnya, maka semakin besar DAU yang diterimanya. Hal ini terjadi karena kebutuhan daerah tersebut besar, sebaliknya, kemampuan keuangannya rendah.

Efektifitas instrumen DAU ini memang perlu dipertanyakan karena ketimpangan antarpulau, antarprovinsi, antarkabupaten dalam provinsi, antarkecamatan dalam satu kabupaten tidak semakin membaik. Sumber utama ketimpangan adalah kondisi infrastruktur antarwilayah yang parah. Oleh karena itu, untuk mengatasi kendala infrastruktur ini, maka dikucurkan DAK yang bertujuan mendorong pencapaian standar pelayanan minimum (SPM). Jadi, perlu reformulasi instrumen DAU dan instrumen DAK dalam revisi UU Nomor 33 Tahun 2004.

Sementara itu, hasil evaluasi dan pengamatan terhadap efektifitas pelaksanaan otonomi daerah dan

Page 2: Otonomi Daerah Adalah Buah Dari Reformasi Yang Bergulir Sejak Runtuhnya Rezim Orde Baru Pada 1998

desentralisasi fiskal menunjukkan belum tercapainya tujuan yang hakiki dari otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal belum mampu meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Beberapa indikator yang menunjukkan kebijakan desentralisasi fiskal belum maksimal adalah: (1) jumlah daerah yang berada di bawah garis kemiskinan tidak berkurang, (2) kualitas sumber daya manusia masih belum memadai, (3) indeks pembangunan manusia (IPM) masih jauh di bawah rata-rata nasional di 19 provinsi (BPS 2010), (4) rendahnya penciptaan lapangan kerja dan angka pengangguran yang cukup tinggi, dan (5) pengembangan infrastruktur yang masih minim.

Namun demikian, harus diakui juga bahwa ada dampak positif dari otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Beberapa daerah mampu meningkatkan tingkat kemandirian dalam mengelola pembangunan ekonomi daerahnya, seperti tercermin dari sistem perencanaan ekonomi daerah yang lebih mempertimbangkan aspirasi masyarakat di daerah, peningkatan kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan, serta perkembangan perekonomian yang signifikan.

Selain itu, cukup banyak daerah yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebagaimana tercermin dari peningkatan produk domestic regional bruto (PDRB) dan PDRB per kapita. Namun demikian, kualitas pertumbuhan ini masih belum memadai karena belum mampu mendistribusikan pendapatan regional secara merata. Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) pada Kongres ke-18 di Yogyakarta bulan Oktober 2012 menyebutkan, kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah selama ini hanya berkontribusi terhadap sekelompok orang saja dan cenderung merugikan masyarakat.

Peran Perbankan DaerahSalah satu tolok ukur kemajuan ekonomi daerah adalah dengan melihat kemajuan sistem perbankannya. Karena perbankan merupakan motor penggerak perekonomian, maka peningkatan peran perbankan dalam pembangunan ekonomi daerah menjadi sangat penting.

Sebaliknya, terjadinya peningkatan pembangunan ekonomi di daerah akan meningkatkan atau memajukan perbankan di daerahnya. Saat ini, sebagian besar daerah telah memiliki Bank Pembangunan Daerah (BPD). Ada daerah yang melakukan divestasi terhadap BPD semula dan mendirikan BPD baru pascaotonomi daerah. Sementara itu, ada pula yang masih tetap menggunakan BPD semula secara bersama- sama.

Namun, dalam satu dekade terakhir, peran perbankan daerah belum menunjukkan peningkatan yang bermakna bagi pembangunan daerahnya. Penilaian ini dapat dilihat dari indikator fungsi intermediasi dan penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) perbankan daerah. Proporsi kredit BPD terhadap kredit perbankan secara nasional hanya meningkat sedikit. Pada 2002, total kredit BPD Rp 21,5 triliun dan tahun 2012 menjadi Rp 218,4 triliun. Walaupun secara absolut terlihat besar, dilihat dari proporsi kredit BPD terhadap kredit perbankan nasional, dapat disimpulkan hampir tidak terjadi peningkatan karena hanya meningkat dari 6% (2002) menjadi 8% (2012).

Hal yang sama juga terjadi pada penghimpunan DPK. Pada 2002 total DPK BPD Rp 46 triliun (5% dari DPK perbankan nasional), naik menjadi Rp 270,3 triliun (9% dari DPK perbankan nasional). Geliat BPD

Page 3: Otonomi Daerah Adalah Buah Dari Reformasi Yang Bergulir Sejak Runtuhnya Rezim Orde Baru Pada 1998

dapat dijadikan sebagai salah satu tolok ukur dari keberhasilan kebijakan desentralisasi fiskal. Sebagai bank milik pemerintah daerah, geliat BPD mencerminkan geliat pembangunan daerah. Jika demikian halnya, dibutuhkan evaluasi dan revisi yang komprehensif terhadap UU No 33 tahun 2004 agar benar-benar mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dengan tingkat distribusi yang lebih baik.

Mangasa Augustinus Sipahutar, chairman management & economics development studies (Mecode Studies), mahasiswa Program Doktor Ilmu Perencanaan Pembangunan, Fakultas Ekonomi & Manajemen (FEM) IPB