otonomi libre

3
Otonomi dan Politik Pendidikan Ida F Priyanto* Beberapa waktu ini sedang seru-serunya pembahasan otonomi perguruan tinggi. Ada dua sisi dengan argumen berbedapemerintah dan pakar pendidikan tinggi. Para pakar berharap otonomi perguruan tinggi dapat direalisasi karena memiliki implikasi besar dalam skala makro dalam politik pendidikan. Sayangnya, otonomi dan politik pendidikan harus berhadapan dengan politik praktis. Di sisi lain lagi masih ada sebagian kelompok yang melihat otonomi dari skala mikro di kalangan perguruan tinggi sendiri, sehingga tidak ada titik temu. Otonomi perguruan tinggi memberikan ruang gerak bagi pengembangan pendidikan. Perguruan tinggi dengan visi besar dan good university governance akan menjadikan perguruan tinggi tersebut mampu mengembangkan keilmuan dan kelembagaan pendidikan. Pemahaman politik pendidikan belum berkembang di Indonesia sementara negara lain sangat serius mengembangkan politik pendidikan ini melalui berbagai cara. Di kawasan Asia, Cina, India, Malaysia dan Korea Selatan memobilisasi mahasiswa mereka mengikuti pendidikan di luar negeri untuk kemudian kembali ke Negara mereka membangun pendidikan. Itulah sebabnya perguruan tinggi Amerika dan Eropa didominasi mahasiswa asing dari empat Negara tersebut. Menurut Institute of International Education (IIE), ada 157.558 mahasiswa Cina yang belajar di Amerika Serikat, 103.895 mahasiswa India dan 73.558 mahasiswa Korea Selatan. Ketiga negara tersebut mengirimkan mahasiswanya dalam berbagai bidang terutama manajemen, teknik dan sains, serta teknologi informasi. Sementara itu ada 6.942 orang mahasiswa Indonesia di Amerika (50 persen menurun dibanding jumlah sebelum reformasi tahun 1997/1998). Malaysia banyak mengirimkan mahasiswanya ke Australia dan Eropa dan menjadi negara terbesar ketiga di dunia yang mengirimkan mahasiswa ke luar negeri. Negara-negara kecil dengan jumlah penduduk kecil tetapi mutu pendidikan tinggi gencar mencari calon mahasiswa cerdas dari negara berkembang untuk diberikan pendidikan, kesempatan penelitian dan bahkan bekerja atau menjadi ilmuwan di negara tersebut. Singapura telah beberapa tahun mengundang anak-anak cerdas dari negara berkembang termasuk Indonesia sejak usia sekolah menengah untuk mengikuti pendidikan di negara tersebut dan menghasilkan penelitian disana. Saat ini Inggris dan Amerika Serikat juga mulai menarik mahasiswa S1 untuk belajar di negara mereka dengan tujuan utama menghasilkan semakin banyak luaran penelitian.

Upload: khairul-umam

Post on 19-Jan-2016

6 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Otonomi dan Politik Pendidikan

Ida F Priyanto*

Beberapa waktu ini sedang seru-serunya pembahasan otonomi perguruan tinggi. Ada dua sisi dengan

argumen berbeda—pemerintah dan pakar pendidikan tinggi. Para pakar berharap otonomi perguruan

tinggi dapat direalisasi karena memiliki implikasi besar dalam skala makro dalam politik pendidikan.

Sayangnya, otonomi dan politik pendidikan harus berhadapan dengan politik praktis. Di sisi lain lagi

masih ada sebagian kelompok yang melihat otonomi dari skala mikro di kalangan perguruan tinggi

sendiri, sehingga tidak ada titik temu. Otonomi perguruan tinggi memberikan ruang gerak bagi

pengembangan pendidikan. Perguruan tinggi dengan visi besar dan good university governance akan

menjadikan perguruan tinggi tersebut mampu mengembangkan keilmuan dan kelembagaan pendidikan.

Pemahaman politik pendidikan belum berkembang di Indonesia sementara negara lain sangat serius

mengembangkan politik pendidikan ini melalui berbagai cara. Di kawasan Asia, Cina, India, Malaysia dan

Korea Selatan memobilisasi mahasiswa mereka mengikuti pendidikan di luar negeri untuk kemudian

kembali ke Negara mereka membangun pendidikan. Itulah sebabnya perguruan tinggi Amerika dan

Eropa didominasi mahasiswa asing dari empat Negara tersebut.

Menurut Institute of International Education (IIE), ada 157.558 mahasiswa Cina yang belajar di Amerika

Serikat, 103.895 mahasiswa India dan 73.558 mahasiswa Korea Selatan. Ketiga negara tersebut

mengirimkan mahasiswanya dalam berbagai bidang terutama manajemen, teknik dan sains, serta

teknologi informasi. Sementara itu ada 6.942 orang mahasiswa Indonesia di Amerika (50 persen

menurun dibanding jumlah sebelum reformasi tahun 1997/1998). Malaysia banyak mengirimkan

mahasiswanya ke Australia dan Eropa dan menjadi negara terbesar ketiga di dunia yang mengirimkan

mahasiswa ke luar negeri.

Negara-negara kecil dengan jumlah penduduk kecil tetapi mutu pendidikan tinggi gencar mencari calon

mahasiswa cerdas dari negara berkembang untuk diberikan pendidikan, kesempatan penelitian dan

bahkan bekerja atau menjadi ilmuwan di negara tersebut. Singapura telah beberapa tahun mengundang

anak-anak cerdas dari negara berkembang termasuk Indonesia sejak usia sekolah menengah untuk

mengikuti pendidikan di negara tersebut dan menghasilkan penelitian disana. Saat ini Inggris dan

Amerika Serikat juga mulai menarik mahasiswa S1 untuk belajar di negara mereka dengan tujuan utama

menghasilkan semakin banyak luaran penelitian.

Jumlah penelitian yang dihasilkan oleh perguruan tinggi Malaysia saat ini juga sudah 9 kali lebih besar

dibandingkan jumlah penelitian dari Indonesia dan disusul oleh Singapura dan Thailand. Menurut data

riset lembaga komersial indeks sitasi jurnal, Malaysia menghasilkan hampir 20 ribu produk penelitian

yang termuat di dalam jurnal internasional; Singapura mendekati angka 16 ribu dan Thailand di atas 10

ribu riset. Sementara Indonesia menghasilkan 2.975 penelitian terpublikasi secara internasional menurut

data tahun lalu. Keunggulan riset Malaysia atas Singapura layak menjadi perhatian. Sementara itu

Microsoft Academic juga menunjukkan betapa kecil dan tidak meratanya hasil penelitian Indonesia.

Dalam kurun waktu 10-20 tahun mendatang peta politik pendidikan global akan mengalami pergeseran

besar. India akan berkembang dalam bidang sains dan engineering, sedangkan Cina pada bidang bisnis,

manajemen, sosial dan humaniora. Di sisi lain banyak juga pakar dari India, Cina dan Korea Selatan yang

kini menjadi diaspora. Perkembangan tersebut layak diperhatikan dan kita sangat membutuhkan

skenario nyata otonomi perguruan tinggi untuk dapat berkembang.

Politik pendidikan membutuhkan para pemikir skala makro yang saat ini jumlahnya sangat kecil dan

sayangnya, harus berhadapan dengan politik praktis dan pemikir skala mikro. Kita membutuhkan politisi

yang mampu membaca peta politik pendidikan dan mengimplementasikannya dalam kelembagaan

pendidikan.

Di sisi lain, peduli pendidikan masih didasarkan pada kacamata sosial. Memberikan beasiswa kepada

mereka yang tidak mampu agar dapat mengenyam pendidikan tinggi dan dapat bekerja dan hidup lebih

layak. Konsep utama kepedulian pendidikan masih terbatas pada sisi sosial. Hal ini seharusnya segera

dikaitkan dengan politik pendidikan. Mewadahi anak-anak cerdas untuk dikembangkan sebagai pemikir

unggul sangat diperlukan. Konsep beasiswa juga harus dikaitkan dengan prestasi. Juga, jangan sampai

karena menjadi juara bidang olah raga, kemudian diterima menjadi mahasiswa program studi arsitektur,

bidang yang ada di luar prestasinya. Hal yang tidak masuk akal, tetapi ada dalam realita pendidikan kita.

Peduli pendidikan dan politik domestik pendidikan perlu disinergikan sehingga menjadi sistem yang

besar untuk membangun nilai pendidikan Indonesia dalam skala nasional maupun internasional. Dengan

demikian keterpurukan sistem pendidikan di Indonesia juga dapat diatasi.

Rasa sosial dan nasionalisme saja tidak cukup untuk membangun pendidikan bangsa. Dibutuhkan

pemikiran yang lebih besar di tingkat nasional agar pendidikan Indonesia semakin maju dan diakui

bangsa lain.

*Ketua Dewan Perpustakaan DIY, sedang mengikuti PhD Information Science, University of North Texas, USA

[email protected]